Proposal Hubungan Kebiasaan Merokok dan Status Gizi dengan Gejala ISPA
HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK KELUARGA DENGAN …
Transcript of HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK KELUARGA DENGAN …
HUBUNGAN KEBIASAAN MEROKOK KELUARGA DENGAN KEJADIAN INFEKSI
SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUMEDANG SELATAN
KABUPATEN SUMEDANG
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai
Gelar Sarjana Keperawatan
NOVIANTI LESTARI
AK.1.15.081
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2 0 1 9
1
2
3
4
ABSTRAK
Anak usia 1-5 tahun mempunyi resiko untuk terserang infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), karena keadaan anak dibawah 5 tahun imunitasnya
belum sempurna dan lumen saluran nafasnya relatif sempit. ISPA juga salah
satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas sekitar 40-60% dan 15-
30% di rumah sakit. Salah satu penyebab ISPA adalah kondisi lingkungan
seperti polutan udara, kepadatan anggota keluarga, kebersihan, dan
temperatur. Dalam poltan udara yang dapat menyebabkan ISPA adalah asap
rokok. Kebiasaan merokok orang tua atau keluarga berdampak buruk bagi
kesehatan balita, karena menjadikan balita perokok pasif. Perokok pasif ini
tidak merokok melainkan terpaksa meghisap asap rokok dari lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan
merokok keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
pada balita di wilayah kerja puskesmas Sumedang Selatan Kabupaten
Sumedang.
Metode penelitian Penelitian ini menggunakan deskriptif korelasi
dengan pendekatan cross sectional dengan variabel yang diukur adalah
kebiasaan merokok keluarga dan ISPA. Teknik pengambilan sampel yaitu
dengan accidental sampling dengan jumlah populasi sebanyak 5.330 balita
dan diambil sampel sebanyak 99 balita.
Hasil analisis univariat menunjukkan 69.4% keluarga mempunyai
kebiasaan merokok dan 61.6% balita terdiagnosa ISPA. Hasil analisa p-
value=0.025 (p<0.05) dan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara
kebiasaan merokok keluarga degan kejadian infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) pada balita di wilayah kerja puskesmas Sumedang Selatan. Kebiasaan
merokok keluarga menjadi salah satu penyebab terjadinya ISPA pada balita
sehingga peneliti menyarankan pihak puskesmas untuk menambahkan media
lain dalam hal penyampaian informasi seperti penyediaan poster atau pamflet,
dan pemberian motivasi kepada keluarga yang mempunyai kebiasaan
merokok untuk berhenti merokok.
Kata Kunci :
Daftar Pustaka :
: Balita, Ispa, Kebiasaan Merokok Keluarga
25 Buku (2009 – 2018)
8 Jurnal (2014 – 2018)
1 Website (2011)
5
ABSTRACT
Children aged 1-5 years have the risk for acute respiratory infections (ARI),
because the children under 5 years immunity condirion is not perfect and the
airway lumen is relatively narrow. ARI is also one of the main causes of patient
visits in community health centre around 40-60% and 15-30% in hospitals. One
cause of ARI is environmental conditions such as air pollutants, density of family
members, cleanliness, and temperature. In air poltan that can cause ARI is
cigarette smoke. The smoking habit of parents or family is bad for toddlers health,
because it makes toddlers become passive smokers. Passive smokers do not smoke
but are forced to inhale cigarette smoke from the environment.
This study aims to determine the relationship between family smoking habits
with the incidence of acute respiratory infections (ARI) on toddlers in south
Sumedang community health center working area at Sumedang district.
Research methods This study uses descriptive correlation with cross sectional
approach with the measured variables are family smoking habits and ARI. The
sampling technique is accidental sampling with 5,330 toddlers population and 99
samples taken.
Univariate analysis results showed 69.4% of families have smoking habits
and 61.6% of children under five diagnosed with ARI. Results of the analysis of p-
value = 0.025 (p <0.05) and it can be concluded that there is a relationship
between family smoking habits with the incidence of acute respiratory infections
(ARI)on toddlers in south Sumedang community health center working area at
Sumedang district. Family smoking habit is one of the causes of ARI on toddlers
so researchers suggest the community health center to add other media in terms
of delivering information such as providing posters or pamphlets, and providing
motivation.
Keywords :
Bibliography :
: Acute Respiratory Infection, Family Smoking Habits,
Toddler
25 Buku (2009 – 2018)
8 Jurnal (2014 – 2018)
1 Website (2011)
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini yang berjudul “Hubungan kebiasaan merokok keluarga dengan
kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang”.
Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa selama penyusunan Skripsi ini
tidak lepas dari segala saran, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. H. Mulyana, S.H., M.Pd., MH.Kes., selaku ketua Yayasan Adhi Guna
Kencana Bandung.
2. Dr. Entris Sutrisno, MH.Kes., Apt Selaku Rektor Universitas Bhakti Kencana
Bandung.
3. Rd. Siti Jundiah, S.Kp., M.Kep., selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Bhakti Kencana Bandung.
4. Lia Nurlianawati S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku Ketua Prodi Sarjana
Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Bhakti Kencana Bandung.
5. Novitasari T. S., S.Kep., Ners., M.Kep., selaku pembimbing I yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis dengan
penuh kesabaran serta memberikan saran yang sangat bermanfaat, sehingga
skripsi ini selesai tepat waktu.
7
6. Denni Fransiska, S.Kp., M.Kep selaku pembimbing II yang telah
meluangskan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis dengan
penuh kesabaran serta memberikan saran yang sangat bermanfaat, sehingga
skripsi ini selesai tepat waktu.
7. Terimakasih kepada staff dari UPT Puskesmas Sumedang Selatan.
8. Kepada semua dosen dan staff Universitas Bhakti Kencana Bandung yang
telah banyak memberikan ilmu pengetahuan selama ini.
9. Kepada keluarga tercinta terutama mamah (Dewi Maya) yang telah
memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis selama
mengikuti pendidikan dan penelitian.
10. Teman terdekat penulis (Ferry, Nova, Riska, Rinrin, Maudi, Andania, Rosipa,
Dini,Widya, Shiva) dan kepada teman-teman seperjuangan Prodi S1
Keperawatan angkatan tahun 2015 beserta adik tingkat serta kakak tingkat
terima kasih atas semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini sehingga tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini tidaklah sempurna, sehingga
dibutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki
kemajuan ilmu keperawatan dimasa mendatang.
Bandung, Juli 2019
Penulis
8
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
ABSTRACT ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 9
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 12
2.1 Konsep Merokok ................................................................................ 12
2.2 Konsep Keluarga ................................................................................ 19
2.3 Konsep ISPA ...................................................................................... 24
2.4 Konsep Balita ..................................................................................... 36
2.5 Teori Model Keperawatan Florence Nightingale ................................ 40
2.6 Kerangka Konsep ................................................................................ 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................... 43
3.1 Rancangan Penelitian ......................................................................... 43
3.1 Paradigma Penelitian .......................................................................... 43
3.1 Hipotesa Penelitian ............................................................................. 45
3.1 Variabel Penelitian ............................................................................. 46
3.5 Definisi Konseptual dan Operasional ................................................ 46
3.6 Populasi dan Sampel .......................................................................... 48
9
Halaman
3.7 Pengumpulan Data .............................................................................. 50
3.8 Langkah Penelitian .............................................................................. 53
3.9 Pengolahan Data dan Analisa Data ..................................................... 54
3.10 Etika Penelitian ................................................................................ 58
3.11 Lokasi Penelitian .............................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 61
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 61
4.2 Pembahasan ......................................................................................... 64
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 74
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 74
5.2 Saran .................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
10
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Definisi Operasional ....................................................................... 48
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kebiasaan merokok keluarga ........................ 62
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi ISPA .............................................................. 62
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian
ISPA pada balita ............................................................................ 63
11
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 2.1 Kerangka Konsep ........................................................................... 42
Bagan 3.1 Kerangka Penelitian ....................................................................... 45
12
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan dari STIKes
Bhakti Kencana ke Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumedang.
Lampiran 2 : Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan ke Ka. Sie
Promkes dan Pemberdayaan Dinas Kesehatan Kabupaten
Sumedang.
Lampiran 3 : Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan ke Ka. Bid
Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Dinas
Kesehatan Kabupaten Sumedang.
Lampiran 4 : Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan dari Dinas
Kesehatan Kabupaten Sumedang ke Puskesmas Sumedang
Selatan.
Lampiran 5 : Surat Permohonan Izin Studi Pendahuluan dari STIKes
Bhakti Kencana ke Puskesmas Sumedang selatan.
Lampiran 6 : Surat Keterangan Layak Etik.
Lampiran 7 : Surat permohonan Ijin Uji Conten dari Stikes Bhakti
Kencana Bandung.
Lampiran 8 : Lembar bimbingan Uji Content.
Lampiran 9 : Surat Permohonan Izin Uji Validitas dan Realibilitas dari
STIKes Bahkti Kencana Bandung ke Dinas Kesehatan
Kab. Sumedang.
Lampiran 10 : Surat Pengantar Permohonan Izin Uji Validitas dan
Realibilitas dari Dinas Kesehatan Kab. Sumedang ke UPT
Puskesmas Haurngombong.
Lampiran 11 : Surat Permohonan Izin Uji Validitas dan Realibilitas dari
Stikes Bhakti Kencana Bandung ke UPT Puskesmas
Haurngombong.
Lampiran 12 : Surat Balasan Permohonan Uji Validitas dan Reliabilitas
dari UPT Puskesmas Haurngombong
Lampiran 13 : Data Kuesioner Responden Uji Validitas dan Uji
13
Reliabilitas.
Lampiran 14 : Lembar hasil statistik uji validitas dan uji reliabilitas.
Lampiran 15 : Surat Permohonan Izin Penelitian dan Pengambilan data
dari Stikes Bhakti Kencana ke Dinas Kesehatan Kab.
Sumedang.
Lampiran 16 : Surat Pengantar Izin Penelitian dan Pengambilan data dari
Dinas Kesehatan ke UPT Puskesmas Sumedang Selatan.
Lampiran 17 : Surat Balasan Izin Penelitian dan Pengambilan data dari
UPT Puskesmas Sumedang Selatan.
Lampiran 18 : Lembar Permohonan Menjadi Responden.
Lampiran 19 : Lembar Persetujuan Menjadi Responden.
Lampiran 20 : Lembar Kisi-Kisi Kebiasaan Merokok Keluarga.
Lampiran 21 : Kuesioner Kebiasaan Merokok Keluarga.
Lampiran 22 : Data Kuesioner Responden Penelitian.
Lampiran 23 : Data Demografi.
Lampiran 24 : Tabel Frekuensi Kuesioner Kebiasaan Merokok Keluarga.
Lampiran 25 : Hasil Uji Statistik penelitian.
Lampiran 26 : Lembar Bimbingan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Balita adalah bayi dan anak yang berusia 1-5 tahun (Marimbi, 2010). Balita
merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian
keoptimalan fungsinya (Supartini, 2014). Balita juga merupakan salah satu periode
usia manusia setelah bayi. Rentang usia balita dimulai dari satu tahun sampai lima
tahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24 sampai 60 bulan
(Merryana & Bambang, 2012).
Anak berumur 1-5 tahun mempunyai resiko untuk terserang infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), karena keadaan pada anak dibawah umur 5 tahun
imunitasnya belum sempurna dan lumen saluran napasannya relatif sempit.
(Merryana & Bambang, 2012). ISPA adalah singkatan dari Infeksi saluran
pernafasan akut. Istilah ini di adaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute
Respiratory Infections (ARI). Penyakit infeksi akut ini menyerang salah satu bagian
atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran nafas) hingga alveoli
(saluran bawah) termasuk jaringan andeksanya seperti sinus, rongga telinga tengah
dan pleura. Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak.
Karena sistem pertahanan tubuh anak masih rendah (Irianto, 2015).
ISPA juga merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien sekitar 40-
60% adalah kunjungan pasien di Puskesmas dan 15-30% kunjungan pasien di
2
Rumah sakit (Kemenkes RI, 2012). ISPA merupakan penyakit yang sering
dijumpai pada anak-anak dengan keadaan ringan maupun berat. Sampai saat ini
ISPA masih menjadi masalah kesehatan dunia. Menurut World health organization
(WHO) tahun 2011 di New York jumlah penderita ISPA adalah 48.325 anak dan
memperkirakan di negara berkembang berkisar 30-70 kali lebih tinggi dari negara
maju dan di duga 20% dari bayi yang lahir di negara berkembang gagal mencapai
usia 5 tahun dan 25-30% dari kematian anak disebabkan oleh ISPA.
Menurut Irianto (2015) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan ISPA
yaitu, bakteti virus dan jamur, usia anak karena usia di bawah 5 tahun imunitasnya
belum sempurna, status imunisasi juga dapat menjadi faktor resiko yang
menyebabkan ISPA, anak yang melakukan imunisasi secara lengkap maka resiko
terserang ISPA nya semakin kecil, lingkungan menjadi salah satu faktor penyebab
ISPA karena lingkungan yang udara nya tidak baik seperti polusi dan asap rokok
dapat menyebabkan ISPA pada anak.
Adapun empat faktor penyebab ISPA menurut WHO (2013) yaitu yang
pertama kondisi lingkungan seperti polutan udara, kepadatan anggota keluarga,
kebersihan musim, dan temperatur. Yang kedua ketersediaan dan efektivitas
pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah
penyebaran. Yang ketiga faktor penjamu seperti usia, kebiasaan merokok,
kemampuan penjamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi
sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain. Yang
terakhir karakteristik patogen seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi
3
dan jumlah atau dosis mikroba.
Pencemaran lingkungan terbagi menjadi beberapa yang dapat menjadi
masalah kesehatan salah satunya polutan udara, dalam polutan udara yang menjadi
penyebab terjadi nya ISPA adalah asap rokok. Kebiasaan orang tua atau keluarga
merokok dapat berdampak negatif terhadap bagi anggota keluarganya khususnya
balita. Asap rokok yang menempel dan meninggalkan bahan kimia atau residu di
baju, atap, sofa, gorden dan tempat lainnya. Jika merokoknya diluar ruangan atau
sebagai perokok pasif asap rokok dapat menempel di baju dan kulit, dan yang
menghisap asap rokok tersebut disebut dengan third hand smoker (Riyanto, 2016).
Dari teori model Nightingale bahwa Menurutnya ada 3 faktor lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan pasien, namun yang terpenting adalah faktor lingkungan
fisik. Lingkungan fisik merupakan elemen dasar dari lingkungan pasien dan bisa
mempengaruhi aspek lingkungan lainnya. Dalam teorinya, Nightingale
menjelaskan konsep sanitasi (kebersihan), udara segar, ventilasi, pencahayaan, air,
tempat tinggal, kehangatan, ketenangan. Kesehatan dapat dirusak oleh faktor
lingkungan seperti: kelembaban, tidak bersih, dingin, bau dan gelap. Lingkungan
secara langsung berhubungan dengan pecegahan penyakit dan angka mortalitas
pasien. Salah satu faktor penyebab ISPA pada balita diakibatkan oleh lingkungan
udara yang tidak bersih yaitu asap rokok, sehingga salah satu upaya perawat yang
dapat dilakukan adalah memonitor lingkungan pasien agar mendapatkan udara
bersih.
4
Polusi udara yang ditimbulkannya sebagai asap rokok lingkungan atau
Environment Tobacco Smoke (ETS). Mereka yang menghisap ETS sebagai
peorkok pasif atau secondhand smoke, perokok pasif ini tidak merokok tetapi
terpaksa menghisap asap rokok dari lingkungannya. Asap sisa pembakaran rokok
tidak begitu saja menguap ke udara, namun ada residu nikotin yang menempel pada
debu atau barag-barang disekitar kita, missal; baju, karpet, dinding, meubeul, atau
kusri. Debu nikotin ini tidak akan hilang dalam waktu pendek sehingga akan
terhirup oleh orang lain meskipun perokok sudah meninggalkan tempat (Willer et
al., 2005; Hoh et al., 2012)
Dari hasil penelitian Syahputra (2018) tentang Perbandingan kejadian ISPA
balita pada keluarga yang merokok di dalam rumah dengan keluarga yang tidak
merokok didapat hasil chi-square menunjukan p-value 0,028 dan nilai OR= 3,429
terdapat perbedaan kejadian ISPA balita yang merokok didalam rumah dengan
yang tidak merokok dan balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok
didalam rumah 3,4 kali lebih beresiko terserang ISPA dibandingkan dengan
keluarga yang tidak merokok.
Dari hasil penelitian Rachmawati (2017) tentang Hubungan antara perilaku
merokok pada orangtua dengan kejadian Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
pada anak sekolah dasar usia 7-12 tahun di PKM Porong Aceh besar didapatkan
hasil bahwa orangtua peorkok mengakibatkan anak 4-6 kali mengalami ISPA per
tahun pada anak usia 7-12 tahun dengan orangtua merokok setiap hari selama 10
tahun.
5
Selanjutnya dari hasil penelitian Ijana dkk pada tahun 2017, tentang analisis
faktor resiko terjadinya infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di
lingkungan pabrik keramik wilayah puskesmas Dinoyo, kota Malang didapatkan
hasil faktor lingkungan (faktor pencemaran udara) 83%, faktor dukungan
pelayanan kesehatan 3,3%, faktor status gizi anak 3,3%, faktor umur anak 26,7%,
faktor pendidikan orang tua56,7%, status sosial ekonomi 66,7%, faktor pemberian
asi 73,3%. Faktor yang paling dominan mempengaruhi adalah faktor pencemaran
udara, lingkungan yang tidak sehat 11,35 kali lipat beresiko terjadi ISPA pada
balita.
Di Indonesia kasus ISPA berjumlah 503.738 pada realisasi penemuan, ISPA
pada balita di Indonesia tertinggi di Jawa barat dengan jumlah keseluruhan balita
yang mengidap ISPA sebanyak 169.791 balita di Jawa barat (CFR 0,01%) target
penemuan ISPA berjumlah 164.343 didapatkan bayi kurang dari 1 tahun dengan
gangguan pernafasan sebanyak 60.941 pada usia 1-4 tahun sebanyak 103.972,
pneumonia berat didapatkan pada usia kurang dari 1 tahun 3.049 dan pada usia 1-
4 sebanyak 2.532 (Kemenkes RI, 2017).
Lima kabupaten/kota di Jawabarat yang mempunyai insiden dan pravalensi
ISPA tertinggi untuk semua umur adalah kota Tasikmalaya, Kab. Sumedang, Kab.
Tasikmalaya, Kab. Bandung, dan Kab. Purwakarta. Faktor risiko yang
berkontribusi terhadap insidens ISPA tersebut antara lain gizi kurang, ASI ekslusif
rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan, cakupan imunisasi campak rendah
6
dan BBLR. Provinsi Jawabarat mempunyai AKABA sebesar 1,8/ 1000 kelahiran
hidup (Dinkes Prov. Jabar, 2017).
Di Kab. Sumedang angka kejadian ISPA pada tahun 2018 tertinggi pada di
Kecamatan Sumedang Selatan (Dinkes Kab. Sumedang, 2018). Di wilayah kerja
Puskesmas Sumedang selatan pada tahun 2017 ada 4.920 balita berkunjung ke
Puskesmas Sumedang selatan dengan keluhan batuk atau kesukaran bernafas, dan
716 balita yang mengalami ISPA tercatat dari jumlah balita 5.330 di Puskesmas
Sumedang selatan, sedangkan pada tahun 2018 tercatat 978 balita yang mengalami
ISPA, sedangkan pada puskesmas Cisarua 321 dan puskesmas Situ 259 (Dinkes
Kab. Sumedang).
ISPA dipengaruhi oleh lingkungan salah satunya asap rokok, dampak dan
pengaruh orang yang merokok dapat merugikan orang sekitar terutama keluarga,
karena secara tidak langsung udara di dalam rumah telah dikotori oleh asap rokok,
secara langsung merusak paru-paru terutama pada anak. Pengaruh asap rokok ini
sangatlah merugikan anak di bawah umur terutama pada balita yang sistem
imunnya belum kuat maka cenderung mengalami infeksi saluran pernafasan
dikemudian hari (Nainggolan, 2012).
Kebiasaan merokok keluarga didalam rumah menjadikan anak sebagai
perokok pasif, menjadi perokok pasif memiliki jauh lebih besar resiko kesehatan di
bandingkan dengan perokok aktif bahkan mencapai 3 kali lipat. Zat berbahaya yang
masuk kedalam perokok pasif lebih besar karena perokok pasif tidak memiliki filter
saat asap memasuki tubuhnya beda halnya dengan perokok aktif, selain itu racun
7
rokok berasal dari asap yang mengepul dari ujung rokok yang sedang dihisap itu
adalah pembakaran tembakau yang tidak sempurna (Bustan, 2015).
Merokok didalam rumah adalah hal yang harus diselesaikan oleh Dinas
kesehatan bagian promosi kesehatan, Dari persentase pencapaian perilaku hidup
bersih dan sehat dalam rumah tangga Dinas Kesehatan kabupaten Sumedang pada
tahun 2018, bersalin dengan tenaga kesehatan dari jumlah ibu bersalin 16.652 yang
menggunakan LINAKES sebanyak 16.652 atau sebanyak 100%, dari jumlah bayi
6-12 bulan sebanyak 15.650 bayi yang lulus asi esklusif sebanyak 13.807 (85,99%),
jumlah bayi dan balita di kabupaten sumedang sebanyak 91.299 dan yang
melakukan timbang sebanyak 84.142 (92,04%), yang mencuci tangan
menggunakan air bersih sebanyak 313.860 dan yang menggunakan air bersih
beserta sabun sebanyak 304.728 (89,11%), yang menggunakan jamban sehat
sebanyak 307.818 (94,03%), memberantas jentik dirumah sebanyak 310.751
(95,08%), memakan buah dan sayur 314,776 (92,88%), melakukan aktifias fisik
314.485 (93,15%), pada indikator tidak merokok didalam rumah didapatkan hasil
232.843 (66,95%), Dari persentasi pencapaian Dinas kesehatan sumedang yang
masih menjadi masalah adalah merokok didalam rumah (Dinkes, Kab. Sumedang,
2018).
Menurut Kemenkes (2010) perokok dibagi menjadi 3 pembagian dengan rata-
rata dihisap per hari, yang pertama 1-10 batang rokok perhari, yang kedua 11-20
batang rokok perhari dan yang ketiga 21-30 batang per hari. Menurut Ratih (2012)
seseorang dikatakan perokok apabila merokok 1-20 batang setiap harinya,
8
sedangkan seseorang dikatakan bukan perokok apabila tidak merokok 1 batang
rokok sama sekali setiap harinya.
Hasil studi pendahuluan kepada petugas KIA Puskesmas Sumedang selatan
mengatakan bahwa ada 978 balita yang mengalami ISPA dan ada sedikitnya yang
sampai mengalami pneumonia berat pada tahun 2018, di Kecamatan Sumedang
selatan terdapat 8 Desa dan yang mengalami ISPA paling tinggi adalah Desa
Pasanggrahan, dari 978 balita yang mengalami ISPA di wilayah Sumedang selatan
269 balita ISPA diantaranya terdapat di desa Pasanggrahan. Selain itu petugas KIA
mengatakan bahwa sebagian besar dari warganya mempunyai kebiasaan merokok.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasi bahwa angka
kejadian ISPA di puskesmas Sumedang selatan terutama di desa Pasanggrahan
sangatlah tinggi dibandingkan dengan desa lain. Dampak lain yang bisa terjadi pada
balita dengan ISPA jika tidak di tindak lanjuti akan mengakibatkan pneumonia
berat bahkan kematian, maka peneliti tertarik mengambil judul “Hubungan
kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sumedang Selatan Kabupaten
Sumedang”.
9
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: “Apakah ada Hubungan
kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut
(ISPA) pada balita di wilayah kerja Puskesmas Sumedang Selatan Kabupaten
Sumedang?”
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan kebiasaan
merokok keluarga dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kebiasaan merokok keluarga di wilayah kerja Puskesmas
Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
2. Mengidentifikasi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
3. Mengidentifikasi Hubungan kebiasaan merokok keluarga dengan kejadian
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di wilayah kerja
Puskesmas Sumedang Selatan Kabupaten Sumedang.
10
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan mengenai Hubungan kebiasaan merokok orang tua di dalam
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita.
2. Bagi Institusi STIKes Bhakti Kencana Bandung
Sebagai bahan masukan dalam pengembangan ilmu keperawatan, terutama
yang berkaitan dengan Hubungan kebiasaan merokok keluarga di dalam
rumah dengan kejadian infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Bagi UPT Puskesmas Sumedang selatan
Diharapkan dapat lebih efektif dalam memberikan penyuluhan
kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga tentang
bahaya merokok didalam rumah untuk kesehatan anak balita.
2. Bagi Perawat
Diharapkan dapat berperan sebagai mediator dan educator khususnya
dalam meningkatkan pengetahuan ibu dan keluarga tentang bahaya
merokok di dalam rumah untuk kesehatan anak balita.
11
1.4.3 Manfaat bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan
memberikan pengembangan pemikiran ilmu pengetahuan untuk penelitian
selanjutnya.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Merokok
2.1.1 Pengertian Merokok
Merokok adalah seseorang yang menghisap rokok yang ujungnya dibakar
dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup melalui mulut pada ujung
lain. Namun perokok terbagi menjadi dua yaitu perokok aktif dan perokok
pasif, perokok aktif orang yang langsung menghisap rokoknya perokok pasif
adalah orang yang menghirup asap yang dikeluarkan oleh perokok aktif (Fajar,
2011).
2.1.2 Pengertian Rokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran 70-120 mm (bervariasi)
dengan diameter 10mm. Didalamnya berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah. Dalam rokok terdapat 4.000 zat kimia berbahaya. Tar, misalnya
bersifat karsinogenik. Karsinogenik adalah zat yang merangsang pertumbuhan
kanker. Adapun karbon monoksida, zat beracun lain dalam rokok akan
menurunan kemampuan tubuh dalam membawa oksigen ke seluruh tubuh
(Fajar, 2011).
Seorang perokok akan mempunyai carboxyhaemoglobin lebih tinggi dari
orang normal, sekitar 2-15%, pada orang normal carboxyhaemoglobin hanya
sekitar 0,5-2%. Selain itu CO merusak dinding arteri yang pada akhirnya akan
13
menyebabkan atherosclerosis dan penyakit jantung korner. CO juga merusak
bayi dalam kandungan (Fajar, 2011).
2.1.3 Tipe-tipe Perokok
Menurut Kemenkes (2010) perokok dibagi menjadi 3 pembagian dengan
rata-rata dihisap per hari, yang pertama 1-10 batang rokok perhari, yang kedua
11-20 batang rokok perhari dan yang ketiga 21-30 batang per hari. adapun
pengklasifikasian merokok menjadi perokok saat ini dan tidak merokok.
Kebiasaan merokok saat ini diklasifikasikan kembali menjadi perokok setiap
hari dan perokok kadang-kadang sedangkan kebiasaan tidak merokok
diklasifikasikan menjadi mantan perokok dan bukan perokok (Kemenkes,
2013).
Menurut Ratih (2012) seseorang dikatakan perokok berat apabila ia
menghisap 20 batang rokok dalam sehari, dikatakan perokok sedang apabila
perokok menghisap 5-14 batang, dan dikatakan perokok ringan apabila
merokok 1-4 batang dalam sehari. Sedangkan seseorang dikatakan bukan
perokok apabila tidak merokok 1 batang rokok sama sekali setiap harinya.
2.1.4 Zat yang terkandung dalam rokok
1. Acrolein
Acrolein merupakan zat cair yang tidak berwarna, seperti aldehyde. Zat
ini diperoleh dengan mengambil cairan glyceril atau dengan
mengeringkannya. Zat ini sedikit banyaknya mengandung alkohol. Dengan
kata lain, acrolein itu adalah alkohol yang cairannya telah diambil. Cairan
14
ini sangat mengganggu kesehatan.
2. Karbon monoxida
Zat ini merupakan sejenis gas yang tidak mempunyai bau. Insur ini
dohasilkan oleh pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau
karbon. Zat ini sangan beracun. Oxigen dan carbonmonoxide dapat dibawa
oleh hemoglobin kedalam otot-otot dalam seluruh tubuh. Satu molekul
hemoglobin itu dapat membawa 4 molekul oxigen. Kalau hemoglobin itu
dibebani dengan karbon monoxida, maka akan berkuranglah oxigen yang
dapat dibawa hemoglobin itu ke dalam tubuh. Maka akibatnya, seseorang
akan kekurangan oxigen. Oleh karena banyak ATP yang dibutuhkan untuk
otak dari fungsi otit, racun carbon monoxide akan membuat seseorang
mudah lelah dan gerogi.
3. Nikotin
Nikotin adalah cairan berminyak yang tidak berwarna dan dapat
membuat rasa perih yang sangat. Nikotin itu menghalangi kontraksi rasa
lapar. Itu sebabnya seseorang bisa merasakan tidak lapar karena merokok.
Itu jugalah sebabnya kalau seseorang berhenti merokok akan menjadi
gemuk.
4. Ammonia
Ammonia merupakan gas yang tidak berwarna yang terdiri dari
nitrogen dan hydrogen. Zat ini sangat tajam bau nya dan sangat
merangsang. Ammonia inij sangat gampang memasuki sel-sel tubuh.
15
Begitu kerasnya racun yang terdapat pada ammonia itu, sehingga kalau
disuntikan sedikitpun kepada peredaran darah akan mengakibatkan
seseorang pingsan atau koma.
5. Formic acid
Formic acid adalah sejenis cairan tidak berwarna yang bergerak bebas
dan dapat membuah lepuh. Cairan ini sangat tajam dan menusuk baunya.
Zat ini dapat menyebabkan seseorang seperti merasa di gigit semut.
Bertembahnya jenis acid apapun di peredaran darah akan menambah
cepatnya pernafasan seseorang.
6. Hydrogen Cyanide
Zat ini sejenis gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak memiliki
rasa. Hydrogen cyanide ini merupakan zat yang paling ringan serta
gampang terbakar. Dapat membahayakan seperti yang terdapat dalam bom
hydrigen. Zat ini sangat efisien untuk menghalangi pernafasan, dan dapat
merusak fungsi silia yang terdapat pada salran pernafasan.
7. Nitrous oxide
Zat ini adalah gas yang tidak berwarna, dan bila mana dihisap dapat
menyebabkan hilangnya pertimbangan dan mengakibatkan rasa sakit.
Nitrous oxide adalah sejenis zat yang pada mulanya dapat digunakan
sebagai anestesia waktu diadakan operasi.
8. Formaldehyde
Zat ini merupakan sejenis gas yang tidak berwarna dengan bau yang
16
tajam. Gas ini adalah gas yang tergolong pengawet dan pembasmi hama.
Salah satu jenis formaldehyde ini banyak digunakan sebagai pengawet
laboratorium. Ini disebabkan formaldehyed sangatlah beracun dan keras
terhadap semua organisme-organisme hidup.
9. Phenol
Phenol adalah campuran yang terdiri dari kristal yang di hasilkan dan
distilasi beberapa zat organik seperti kayu dan arang; dan juga diperoleh
dari ter arang. Bahan ini adalah zat racun yang sangat membahayakan.
Phenol ini terikat ke protein dan menghalangi aktifitas enzyme.
10. Acetol
Acetol adalah hasil dari pemanasan aldehyde (sejenis zat yang tidak
berwarna yang bebas bergerak) dan juga mudah menguap dengan alkohol.
11. Hydrogen Sulfide
Hydrogen Sulfide merupakan sejenis gas beracun yang mudah terbakar
dan memiliki bau yang keras. zat ini menghalangi oxidasi enzyme (zat besi
yang berisi pigmen).
12. Pyridine
Pyridine merupakan cairan yang tidak berwarna dengan bau yang
tajam. Diperoleh dari penyulingan minyak tulang-tulang, ter aranf, serta
dari pembusukan sejenis alkoloid tertentu (sejenis alkaline dari tumbuh-
tumbuhan). Zat ini terdapat pada tembakau.zat ini dapat digunakan untuk
mengubah sifat alkohol sebagai pelarut, pembunuh hamam yang juga
17
pernah dipakai sebagai obat penyakit asma.
13. Methyl Chloride
Zat ini merupakan campuran dari zat-zat bervalensa satu atas mana
hidrogen dan karbon merupakan unsur yang terutama. Gas hidrogen mudah
terbakar. Zat ini adalah compound organis yang sangat beracun. Uapnya
dapat berperan seperti anestesia.
14. Methanol
Methanol adalah sejenis cairan ringan yang mudah menguap, dan
mudah terbakar. Cairan ini dapat diperoleh dengan penyulingan bahan kayu
atau dari sintesis karbon monoxida dan hydrogen. Meminum atau
menghisap methanol dapat mengakibatkan kebutaan bahkan kematian.
15. Tar
Dalam bahsa Indonesia di sebut dengan ter. Zat ini sejenis cairan kental
berwarna coklat tua atau hitam yang diproleh dengan xara distilasi dari kayu
atau arang. Tar ini juga didapatkan dari getah tembakau. Ter terdapat dalam
rokok yang terdiri dari ratusan bahan kimia yang dapat menyebabkan
kanker pada hewan. Bilamana zat-zat itu dihisap (Nainggolan, 2012).
16. VOC (volatile organic compounds)
Zat ini adalah emisi gas yang berasal dari bahan padat atau larutan.
VOC terdiri dari berbagai bahan kimia yang mempengaruhi kesehatan dan
konsentrasinya didalam rumah 2-5 kali konsentrasinya lebih tinggi daripada
konsentrasinya di luar. Pengaruh VOC terhadap kesehatan adalah dapat
18
menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan, sakit kepala,
sesak nafas, mual, perdarahan hidung (epitaksis), alergi kulit, gangguan
keseimbangan, merusak hati dan ginjal, sistem saraf pusat. Beberapa zat
yang tergolong kedalam VOC acetaldehyde, acetone, ethanol,
formaldehyde, isobutane, limonene, methoxyethanol, methoxyethoxyl
ethanol, phenol, pinene (Kholid, 2012).
2.1.5 Dampak dari merokok
Seseorang yang menghisap rokok disebut dengan perokok aktif, sedangkan
orang yang menghirup asap yang dikeluarkan oleh perokok aktif disebut
dengan perokok pasif. Perokok pasif memiliki resiko kesehatan jauh lebih besar
dari perokok aktif, mencapai tiga kali lipat. Menurut para ahli, 25% zat
berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, sementara
75% beredar di udara bebas dan beresiko masuk ke tubuh orang di sekelilingnya
(Fajar, 2011).
Zat berbahaya yang masuk ke tubuh perokok pasif lebih besar karena racun
yang terisap melalui asap perokok aktif tidak tersaring, sedangkan racun yang
masuk ke tubuh perokok aktif telah tersaring melalui filter yang terdapat pada
rokok. Racun rokok tersebar dihasilkan oleh asap yang mengepul dari ujung
rokok yang sedang diisap sebab itu berasal dari pembakaran tembakau yang
tidak semurna (Bustan, 2015).
Dampak dan pengaruh orang yang merokok didalam rumah dapat
merugikan orang sekitar terutama keluarga, karena secara tidak langsung udara
19
di dalam rumah telah dikotori oleh asap rokok, secara langsung merusak paru-
paru terutama pada anak. Pengaruh asap rokok ini sangatlah merugikan anak di
bawah umur terutama pada balita yang sistem imunnya belum kuat maka
cenderung mengalami infeksi saluran pernafasan dikemudian hari (Nainggolan,
2012).
Asap rokok dapat mengganggu kemampuan makrofag alveolar untuk
membunuh bakteri, sebuah proses yang dikenal sebagai fagositosis. Asap rokok
yang dihisap, baik oleh perokok aktif maupun pasif akan menyebabkan fungsi
silia terganggu, volume lender meningkat, humoral terhadap antigen diubah,
serta kuantitatif perubahan dalam komponen selular terjadi. Beberapa
perubahan dalam mekanisme pertahanan tidak akan kembali sebelum terbebas
dari paparan asap rokok (Amin, 2011).
2.2 Konsep Keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan,
darah dan ikatan adopsi, para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-
sama dalam satu rumah tangga, anggota keluarga berinteraksi satu sama lain
dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami istri, ayah ibu, anak laki-laki
dan anak perempuan, saudara dan saudari, keluarga biasanya menggunakan
kultur yang sama (Friedman, 2010).
20
2.2.2 Tipe Keluarga
Tipe-tipe keluarga menurut Yohanes dan Yasinta (2013):
1. Secara Tradisional
a. Keluarga Inti (Nuclear Family)
Keluarga inti adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan
anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi atau keduanya.
b. Keluarga Besar
Keluarga besar adalah keluarga inti yang ditambah anggota
keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah (kake, nenek,
paman, bibi).
2. Secara Modern
Secara modern keluarga adalah berkembangnya peran individu dan
meningkatnya rasa indiviualisme maka pengelompokan tipe keluarga selain
diatas adalah:
a. Traditional Nuclear
Keluarga inti (ayah, ibu, dan anak) tinggal dalam satu rumah
ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu
atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.
b. Reconstituted Nuclear
21
Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali
suami/istri, tinggal salam pembentukan satu rumah dengan anak-
anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari
perkawinan baru, satu/ keduanya dapat bekerja di luar rumah.
c. Middle age/ Aging Couple
Suami sebagai pencari uang, istri dirumah kedua-duanya bekerja
dirumah, anak-anak meninggalkan rumah karena
sekolah/perkawinan/meniti karier.
d. Dyadic Nuclear
Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak yang
keduanya atau salah satu bekerja dirumah.
e. Single Parent
Satu orangtua sebagai akibat perceraian atau kematian pasangannya
dan anak-anaknya dapat tinggal dirumah atau diluar rumah.
f. Dual Carrier
Yaitu suami dan istri atau keduanya adalah orang yang berkarier
dan tanpa anak.
g. Commuter Married
Suami istri atau keduanya orang karier dan tinggal terpisah pada
jarak tertentu. Keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu.
h. Single Adult
22
Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya
keinginan untuk kawin.
i. Three Generation
Yaitu tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu dalam rumah yang
sama.
j. Institusional
Yaitu anak-anak atau orang-orang dewasa tinggal dalam suatu
panti-panti.
k. Communal
Yaitu satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang
monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan
fasilitas.
l. Group Marriage
Yaitu satu perumahan terdiri dari orangtua dan keturunannya
didalam satu kesatuan keluarga dan tiap individu adalah kawin dengan
yang lain dan semua adalah orangtua dari anak-anak.
m. Unmarried Parent and Child
Yaitu ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya
diadopsi.
n. Cohibing Couple
Yaitu dua orang atau satu pasangan tinggal bersama tanpa adanya
sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan kawin.
23
o. Gay dan Lesby Family
Yaitu keluarga yyang dibentuk oleh pasangan yang berjenis
kelamin sama.
2.2.3 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan
Ada 5 pokok tugas keluarga yang dijabarkan oleh Friedman (2010), yaitu:
1. Mengenal masalah kesehatan keluarga
Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh dibaikan
karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berati dan karena
kesehatanlah kadanff seluruh kekuatan sumber daya dan dana akan habis.
Orang tua perlu mengenal keadaan kesehatan anggota keluarganya.
2. Membuat keputusan tindakan yang tepat
Sebelum keluarga dapat membuat keputusan yang tepat ada beberapa
hal yang perlu dikaji, seperti: pengetahuannya, seperti pa yang dirasakan,
dan informasi seperti apa yang keluarga dapatkan.
3. Memberi perawatan pada anggta keluarga yang sakit
Ketika memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit,
keluarga harus mengetahuibbeberapa hal, seperti: keadaan penyakitnya,
sifat dan perkembangan penyakitnya, sumber-sumber yang ada dalam
keluarga, dan sikap keluarga terhadap yang sakit.
4. Mempertahankan atau mengusahakan suasana rumah
Ketika memodifikasi lingkungan atau menciptakan suasana rumah yag
sehat, keluarga harus mengetahui beberapa hal, seperti: sumber-sumber
24
yang dimiliki, keuntungan atau manfaat pemeliharaan lingkungan,
pentingnya hygiene sanitasi, upaya pencegahan penyakit, sikap atau
pandangan keluarga terhdap hygiene sanitasi.
5. Menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat
Ketika merujuk anggota keluarga ke fasiltas kesehatan ada beberapa hal
yang diketahui, yaitu: keberadaan fasilitas keluarga, keuntungan yang
diperoleh dari fasilitas kesehatan, tingkat kepercayaan terhadap petugas
kesehatan, dll.
2.3 Konsep ISPA
2.3.1 Pengertian ISPA
ISPA adalah singkatan dari Infeksi saluran pernafasan akut. Istilah ini di
adaptasi dari istilah dalam bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI).
Penyakit infeksi akut ini menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran
nafas mulai dari hidung (saluran nafas) hingga alveoli (saluran bawah)
termasuk jaringan andeksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura
(Irianto, 2015).
2.3.2 Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan
Anatomi fisiologi menurut Ikawati (2014)
1. Anatomi sistem pernafasan
Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring, sampai laring;
sedangkan saluran pernafasan bawah meliputi trakhea, bronkus, bronkiolus
25
dan paru-paru yang berujung pada alveolus. Saluran pernafasan dari hidung
sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia (rambut
getar), ketika udara masuk ke rongga hidung, udara akan disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi dari
mukosa pernafasan, yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan
bersel goblet.
Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresikan oleh
sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel debu yang kasar akan disaring oleh
bulu-bulu hidung, sedangkan partikel halus akan mendorong lapisan mukus
kedalam sistem pernafasan bawah menuju faring, dimana mukus akan
tertelan atau di batukan.selanjutnya udara akan dilembabkan dan
dihangatkan dengan panas yang berasal dari jaringan dibawahnya yang kaya
akan pembuluh darah, sehingga ketika udara mencapai saluran pernafasan
bawah hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh, dan
kelembabannya mencapai 100%.
Setelah itu, udara mengalir turun melalui trakhea, bronkus, bronkiolus,
dan sampai ke duktus alveolus. Alveolus dilingkupi oleh kapiler pulmoner,
dan didaerah dimana terjadi pertukaran gas O2 dan CO2 membrannya
sangat tipis. Ada kurang lebih 300 juta alveolus pada paru-paru manusia,
dan area total dinding alveolus kira-kira 70-75 m2 (seluas sebuah lapangan
tenis).
26
Di alveolus, terdapat 2 tipe sel epithelial pneumosit, yaitu pneumosit
tipe I dan pneumosit tipe II. Sel tipe I merupakan sel yang sitoplasmiknya
besar dan merupakan sel utama yang melapisi alveolus. Sel tipe II, disebut
granular pneumocytes lebih tebal dan mengandung sejumlah badan inklusi
lamelar. Sel tipe II ini memproduksi surfaktan, yang merupakan elemen
anatomi spesifik yang membantu menurunkan tegangan permukaan pada
alveolus. Tanpa surfaktan yang melapisi permukaan alveolar, akan terjadi
gangguan mengembang dan mengempisnya alveolar, sehingga terjadi
gangguan pernafasan. Selain itu di paru-paru juga terdapat sel lain yaitu
makrofag alveolus paru, limfosit, sel plasma, dan sel mast.
Trakhea dan bronkus memiliki kartilago (cincin tulang rawan) pada
dindingnya, tetapi memiliki lebih sedikit otot polos. Mereka dilapisi oleh
epitelium bersilia yang mengandung grandula mukosa dan serosa. Silia
terdapat sampai bronkiolus, sedangkan glandula sudah tidak dijumpai lagi
pada epitelium bronkiolus dan ujung bronkiolus, dindingnyajuga tidak
mengandung kartilago. Tetapi, dindingnya mengandung lebih banyak otot
polos, terutama diujung bronkiolus.
Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan terletak
di dalam rongga dada atau toraks. Kedua paru-paru terpisah oleh adanya
mediastinum sntral yang berisi jantung dan beberapa pembuluh darah besar.
Paru-paru kanan lebih besar daripada paru-paru kiri dan dibagi menjadi 3
lobus, sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi 2 lobus. Dirongga dada
27
terdapat lapisan tipis yang kontinyu mengandung kolagen dan jaringan
elastis yang disebut pleura.
Pleura parietalis melapisi rongga dada, sedangkan yang menyelubungi
paru-paru disebut pleura viselaris. Diantara pleura parietalis dan pleura
viselaris terdapat lapisan tipis cairan pleura yang berfungsi memudahkan
kedua permukaan bergerak selama pernafasan. Jika terjadi radang pleura
atau ada udara atau cairan yang masuk kedalam rongga pleura, misalnya
karena sobeknya pleura, maka paru-paru bisa tertekan atau kolaps.
Pada sistem pernafasan terdapat persarafan, pada dinding bronkus dan
bronkiolus terdapat sistem saraf otonom. Yang pertama adalah sistem saraf
parasimpatik, yaitu dengan reseptor muskarinik yang memperantarai respon
bronkokontriksi, vasodilatasi pulmonar, dan sekresi kelenjar mukus. Yang
kedua, sistem saraf simpatik, yaitu reseptor adrenergik alfa dan beta yang
terdapat pada epitelium bronkus, otot dan sel mast.
Pada manusia, reseptor beta 2 paling banyak dijumpai di paru-paru.
Injeksi atau inhalasi suatu agonis beta dapat menyebabkan bronkodilatasi,
vasikontriksi pulmonar dan berkurangnya sekresi kelenjar mukus. Dan ada
inevasi saraf nonkolinergik non adrenergik (NANC) pada bronkiolus yang
melibatkan berbagai mediator seperti ATP, oksida nitrat, substance P, dan
VIP (vasoactive intestinal peptide). Sistem NANC terlibat dalam respon
penghambatan, meliputi bronkodilatasi, dan diduga berfungsi sebagai
penyeimbang terhadap fungsi pemicuan oleh sistem kolinergik.
28
Selain itu, terdapat juga serabut sarf aferen, yang terdiri dari:
a. Serabut saraf dari reseptor peregangan (stretch), yang berlokasi di
trakea dan bronkus bagian atas. Stimulasi pada serabut ini oleh inflasi
paru menyebabkan bronkodilatasi, vasodilatasi, dan peningkatan denyut
jantung.
b. Serabut saraf dari reseptor iritan, yang juga berlokasi di bagian atas
saluran nafas. Stimulasi reseptor ini oleh adanya picuan non-spesifik
akan menyebabkan respon eferen seperti batuk, bronkokontriksi, dan
sekresi mukus.
c. Serabut C, atau serabut dari reseptor jukstakapiler, yaitu suatu serabut
tidak bermielin yang berujung di parenkim paru dan dinding bronkus
yang berespon terhadap stimulus mekanis maupun kimiawi. Stimulasi
serabut ini menimbulkan respon antara lain pola nafas dangkal yang
cepat, sekresi mukus, batuk, dan melambatnya denyut jantung.
Selain itu di paru-paru terdapat pembuh darah diantaranya sistem
pembuluh paru dan pembuluh darah bronkhial. Pembuluh darah paru
merupakan pembuluh darah yang memiliki otot polos yang berjalan
sepanjang cabang bronkus dan memfasilitasi perfusi pada parenkim paru.
Mereka sangat sensitif terhadap tekanan O2 alveolar (PO2), dengan respon
vasokontriktor hipoksia. Hal ini akan menyediakan mekanisme sensitif
untuk memilihara perfusi alveolar dan ventilasi yang sesuai. Pembuluh
darah bronkhial merupakan pembuluh darah sistemik yang mensuplai darah
29
ke semua struktur intrapulmonr kecuali parenkim, meliputi cabang
bronkhial, sistem saraf dan limfatik pulmonar, dan jaringan ikat (Ikawati,
2014).
2. Fisiologi sistem pernafasan
Pernafasan spontan dihasilkan oleh picuan secara ritmik pada saraf
motor yang menginervasi otot-otot pernafasan. Picuan ini bergantung
sepenuhnya pada impuls saraf dari otak, terutama dari medula spinalis.
Picuan ritmis ini diatur oleh perubahan PO2, PCO2, dan konsentrasi H+,
selain itu juga ada sejumlah pengaruh non-kimiawi.
Otot-otot pernafasan pada pola pernafasan regular diatur oleh pusat
pernafasan yang terdiri dari neuron dan reseptor pada pons dan medula
oblongata. Pusat pernafasan yang lebih tinggi merupakan bagian dari sistim
saraf pusat yang mengatur semua aspek pernafasan. Unsur utama pada
pengaturan pernafasan adalah respon dari kemoreseptor di dekat pusat
pernafasan terhadap tekanan parsial CO2 dan pH darah arteri. Peningkatan
PaCO2 atau penurunan pH merangsang pernafasan. Penurunan tekanan
parsial O2 (PaO2) di arteri juga merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer
yang berada di badan karoid pada percabangan arteria karotid komunis dan
dalam badan aorta di lengkung aorta peka terhadappenurunan PaO2. PaO2
harus turun dari 90-100 mmHg menjadi 60 mmHg untuk bisa merangsang
ventilasi.
30
Mekanisme kontrol yang lain adalah jumlah udara yang masuk ke
dalam paru-paru. Pada waktu paru-paru mengembang, reseptor peregangan
akan mengirim sinyal ke pusat pernafasan untuk menghentikan
pengembangan lebih lanjt. Sebaliknya sinyak akan berhenti jika paru-paru
dalam keadaan mengemis yaitu pada akhir ekspirasi dan pusat pernafasan
bebas untuk memulai lagi inspirasi.
2.3.3 Penyebab ISPA
1. Bakteri, virus dan jamur.
Lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan jamur. Mayoritas penyebab
ISPA adalah virus dengan frekuensi lebih dari 90% untuk ISPA bagian atas,
sedangkan ISPA untuk bagian bawah frekuensinya lebih kecil. Dalam
Harrison’s Principle of Internal Medicine disebutkan bahwa penyakit
saluran pernafasan akut bagian atas mulai dari hidung, nasofaring,
sinusmparasanalis sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral,
sedangkan infeksi akut saluran pernafasan bagian bawah hampir 50%
diakibatkan oleh bakteri Streptococcus pneumonia adalah yang
bertanggung jawab untuk kurang lebih 70-90%, sedangkan Stafilococcus
aureus dan H. Influenza sekitar 10-20%.
2. Usia
Anak yang usia nya lebih muda, lebih besar beresiko terkena penyakit
ISPA dibandingkan dengan anak usia lebih tua karena daya tahan tubuhnya
lebih rendah.
31
3. Status Imunisasi
Anak dengan status imunisasi lengkap, daya tahan tubuhnya lebih baik
dibandingkan dengan anak yang status imunisasinya tidak lengkap.
4. Lingkungan
Lingkungan yang uadaranya tidak baik, seperti polusi udara dikota-
kota besar dan asap rokok akan dapat menyebabkan timbulnya penyakit
ISPA pada anak (Irianto, 2015).
Menurut WHO (2013), ada empat faktor penyebab penyakit ISPA
yaitu:
1. Kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga,
kelembaban, kebersihan, musim, dan temperatur).
2. Ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan
infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin, akses terhadap
fasilitas kesehatan, kapasitas ruang isolasi).
3. Faktor penjamu, seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan penjamu
menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau
infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan
umum.
4. Karakteristik patogen, seperti cara penularan, daya tular, faktor virulensi
(misalnya, gen penyandi toksin) dan jumlah atau dosis mikroba (ukuran
inokulum).
32
Dari hasil penelitian Ijana dkk (2017), bahwa faktor-faktor yang dapat
menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada anak balita yaitu:
1. Faktor lingkungan atau pencemaran udara (asap rokok)
2. Faktor dukungan pelayanan kesehatan
3. Faktor status gizi anak
4. Faktor umur anak
5. Faktor pendidikan orang tua
6. Status sosial ekonomi
7. Faktor pemberian asi
Dan hasil penelitian Marlina (2014), bahwa faktor-faktor yang dapat
menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada anak balita yaitu:
1. Faktor balita (umur, status gizi, imunisasi)
2. Ventilasi
3. Kepadatan hunian ruang tidur
4. Keberadaan perokok
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Syahputra pada tahun
2018 didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan antara balita yang memiliki
anggota keluarga yang merokok didalam rumah dan yang tidak merokok,
kejadian ISPA balita yang memiliki anggota keluarga tidak merokok didalam
rumah dan balita yang memiliki anggota keluarga yang merokok didalam
rumah 3,4 kali lebih beresiko terserang ISPA dibandingkan dengan keluarga
yang tidak merokok.
33
2.3.4 Klasifikasi ISPA
1. Bukan pneumonia
Mencakup kelompok pasien balita dengan batuk yang tidak
menunjukan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam. Contohnya
common cold, faringitis, tonsilitis, dan otitis.
2. Pneumonia
Didasarkan dengan adanya gejala batuk dan atau kesukaran bernafas.
Diagnosis gejala ini berdasarkan umur. Batas frekuensi nafas cepat pada
anak berusia dua bulan sampai dengan kurang dari satu tahun adalah 50 kali
per menit dan anak usia 1 sampai dengan 5 tahun adalah 40 kali per menit.
3. Pneumonia berat
Didasarkan dengan adanya batuk atau kesukaran bernafas dosertai
sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam (Ichest
indrawing) pada anak berusia dua bulan sampai dengan kurang dari lima
tahun. Untuk anak berusia kurang dari dua bulan, diagnosis pneumonia
berat ditandai dengan frekuensi nafas mencapai 60 kali per menit atau lebih,
adanya tarikan yang kuat pada dinding dada bagian bawah ke arah dalam
(Irianto, 2015).
2.3.5 Gejala ISPA
1. Gejala ISPA ringan
34
Adapun tanda dan gejala penyakit ISPA ringan yaitu batuk, serak yaitu
anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu
berbicara atau menagis), pilek yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari
hidung, panas atau demam, suhu badan lebih dari 37oC atau jika dahi anak
diraba dengan punggung tangan terasa panas.
2. Gejala ISPA sedang
Pernapasan lebih dari 50 kali/menit pada umur kurang dari satu tahun
atau lebih dari 40 kali/menit pada anak satu tahun atau lebih, suhu badan
lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada
kulit menyerupai bercak campak, telinga sakit dan mengeluarkan nanah dari
lubang telinga, pernapasan berbunyi seperti berdengkur, pernapasan
berbunyi seperti menciut-ciut.
3. Gejala ISPA berat
Bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis (dengan
cukup lebar) pada waktu bernapas, anak tidak sadar atau kesadarannya
menurun, pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah,
sela iga tertarik kedalam pada waktu bernapas, nadi cepat lebih dari 60
kali/menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah (Hetti, 2009).
2.3.6 Patofisiologi ISPA
Patogenesa saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengar dunia
luar sehingga dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien dari
sistem saluran pernafasan ini. Ketahanan saluran pernafasan terhadap infeksi
35
maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur
alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa
dan gerak moksila, makrofag alveoli, dan antibodi setempat. Sudah menjadi
suatu kecenderungan, bahwa terjadinya infeksi bakterial, mudah terjadi pada
saluran pernafasan yang telah rusak sel-sel epitel muosanya, yang disebabkan
oleh infeksi-infeksi terdahulu.
Keutuhan gerak lapisan mukosa dan silia dapat terganggu oleh beberapa
hal yaitu:
1. Asap rokok dan gas O2, polutan utama adalah pencemaran udara
2. Sindroma imotil.
3. Pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25% atau lebih)
Makrofag biasanya banyak terdapat di alveoli dan baru akan di mobilisasi
ke tempat-tempat dimana terjadi infeksi. Asap rokok menurunkan kemampuan
makrofag membunuh bakteri, sedangkan alkohol menurunkan mobilitas sel-sel
ini. Antibodi setempat pada saluran nafas adalah imunoglobulin A (IgA) yang
banyakterdapat di mukosa. Kurangnya antibodi ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernafasan, seperi pada keadaan defisiensi IgA pada
anak (Amin, 2011).
Mereka dengan keadaan-keadaan imunodefisiensi juga akan mengalami
hal yang serupa, seperti halnya penderita-penderita yang mendapat terapi
situastik, radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas, dan lain-lain.
Gambaran klinik radang oleh karena infeksi sangat tergantung pada
36
karakteristik inokulum, daya tahan tubuh seseorang, dan umur seseorang.
Karakteristik inokulum sendiri terdiri dari besarnya aerosol, tingkat virulensi
jasad renik dan banyak (jumlah) jasad renik yang masuk. Daya tahan tubuh,
terdiri dari utuhnya sel epitel mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli,
dan IgA (Amin, 2011).
Umur mempunyai pengaruh besar terutama pada ISPA bagian bawah anak
dan bayi, akan memberikan gambaran klinik yang lebih jelek bila dibandingkan
dengan orang dewasa. Terutama penyakit-penyakit yang disebabkan oleh
infeksi pertama karena virus, pada mereka ini tampak lebih berat karena belum
diperoleh kekebalan alamiah. Pada orang dewasa, mereka memberikan
gambaran klinik yang ringan sebab telah terjadi kekebalan yang diberikan oleh
infeksinta terdahulu. Pada ISPA terkenal ada 3 cara penyebaran infeksinya,
yaitu:
1. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk.
2. Melalui aerosol yang lebih ksar, terjadi waktu batuk dan bersin.
3. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah tercemari
jasad renik (hand to hand transmission)
Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus, melalui
bahan sekresi hidung, virus ISPA terdapat 10-100 kali lebih banyak dalam
mukosa hidung dari pada faring. Dari beberapa klinik, laboratorium, maupun
di lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand to hand
merupakan modus terbesar bila di bandingkan dengan cara penularan aerogen
37
yang semula banyak diduga (Amin, 2011).
2.4 Konsep Balita
2.4.1 Pengertian Balita
Balita adalah bayi dan anak yang berusia 1-5 tahun (Marimbi, 2010). Balita
merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam
pencapaian keoptimalan fungsinya (Supartini, 2014). Usia anak 1 sampai 5
tahun pada balita merupakan dalam daur kehidupan dimana pertumbuhan tidak
sepesat pada masa bayi karena aktivitas mereka sangat banyak. Anak berumur
di atas 1 tahun sampai 5 tahun mempunyai resiko terserang infeksi saluran
pernapasan akut, karena keadaan pada anak imunitasnya belum sempurna dan
lumen saluran napasannya relatif sempit. Balita adalah individu atau
sekelompok individu dari suatu penduduk yang berada dalam rentang usia
tertentu. Balita juga merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi.
Rentang usia balita dimulai dari satu tahun sampai lima tahun, atau biasa
digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24 sampai 60 bulan (Merryana &
Bambang, 2012).
Balita merupakan generasi yang perlu mendapatkan perhatian, karena
balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup
bangsa, balita amat peka terhadap penyakit, tingkat kematian sangat tinggi.
Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani, sosial
dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita
38
merupakan masalah nasional, mengingat angka kesakitan dan angka kematian
pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang
sesungguhnya karena penyebab utamanya berhubungan dengan faktor
lingkungan dan lainnya (Merryana & Bambang, 2012).
2.4.2 Klasifikasi Perkembangan Balita
1. Usia Bayi (0-1 tahun)
Bayi memiliki sistem kekebalan tubuh yang primitive dengan kekebalan
pasif yang didapat dari ibunya selama dalam kandungan. Pada saat bayi
kontak dengan antigen yang berbeda ia akan memperoleh antibodinya
sendiri. Imunisasi diberikan untuk kekebalan terhadap penyakit yang dapat
membahayakan bayi berhubungan secara alamiah (Supartini, 2014).
2. Usia toddler (1-3 tahun)
Masa toddler memiliki rentang usia 1-3 tahun. Baik pertumbuhan fisik
maupun pemerolehan keterampilan motorik baru sedikit melambat selama
usia toddler. Penyempurnaan keterampilan motorik, dilanjutkan dengan
pertumbuhan kognitif, dan kemahiran keterampilan bahasa yang tepat
sangat penting selama masa toddler (Terri Kyle, Susan Carman, 2014).
Erikson (1963) mendefinisikan periode todler sebagai waktu otonomi
versus malu dan ragu, waktu menegaskan seseorang belajar kontrol dan
kemandirian. Ambivalensi selama perubahan dari dependen ke otonomi
sering kali menyebabkan kelabilan emosi.
39
3. Usia Pra Sekolah (3-5 tahun)
Anak-anak prasekolah, antara usia 3-6 tahun tumbuh lebih lambat
daripada tahun sebelumnya dan anak prasekolah yang sehat bertumbuh
ramping dan tangkas dengan postur tubuh yang tegak. Perkembangan
kognitif, bahasa, dan psikososial sangat penting selama periode prasekolah.
Seiring dengan peningkatan keterampilan kognitif, pmikiran magis
berlebihan (Papalia dan Felman, 2009). Sebagian besar tugas yang dimulai
selama periode toddler dikuasai dan disempurnakan selama periode
prasekolah terutama koordinasi motorik halus. Anak harus belajar
keterampilan yang akan mengarah pada keberhasilan dikemudian hari pada
periode usia sekolah.
2.4.3 Tahapan Perkembangan Balita
Berdasarkan psikoanalisa Sigmud Freud (Siswanto, 2010 membagi
tahapan perkembangan balita, yaitu:
1. Masa Oral (0-1 tahun)
Di dalam masa ini fokus kepuasan baik fisik maupun emosional berada
pada sekitar mulut (oral). Kebutuhan untuk makan, minum sifatnya harus
dipenuhi.
2. Masa Anal (1-3 tahun)
Pada fase ini kesenangan atau kepuasan berpusat disekitar anus dan
segala aktivitas yang berhubungan dengan anus. Anak pada fase ini
40
diperkenalkan dengan toilet training, yaitu anak mulai diperkenalkan
tentang ingin buang air besar dengan buang air kecil.
3. Fase Phalic (3-6 tahun)
Pada fase ini alat kelamin merupakan bagian paling penting, anak
sangat senang dan hatinya merasa puas memainkan alat kelaminnya. P ada
fase ini anak laki-laki menujukkan sangat dekat dan merasa mencintai
ibunya (Oedipus complex), sebaliknya anak perempuan sangat mencintai
ayahnya (electra complex).
2.5 Teori model keperawatan Florence Nightingale
Menurut nightingale, keperawatan berarti maipulasi faktor-faktor lingkungan,
sehingga dapat menyembuhkan pasien. Nightingale mengatakan bahwa perawat
harus memberikan lingkungan yang bersih, nyaman dan aman tempat klien
memulihkan diri.menurutnya ada 3 faktor lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan klien, namun yang terpenting adalah faktor lingkungan fisik.
1. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik merupakan elemen dasar dari lingkungan klien dan
bisa mempengaruhi aspek lingkungan lainnya. Dalam teorinya, nightingale
menjelaskan konsep sanitasi (kebersihan), udara segar, ventilasi,
pencahayaan, air, tempat tinggal, kehangatan, dan ketenangan. Kesehatan
dapat dirusak oleh faktor lingkungan seperti; kelembaban, tidak bersih,
dingin, baud an gelap.
41
Lingkungan secara langsung berhubungan dengan pencegahan
penyakit dan angka mortalitas pasien. Salah satu faktor penyebab ISPA
pada balita diakibatkan oleh lingkungan udara yang tidak bersih yaitu asap
rokok, sehingga upaya perawat yang dapat dilakukan adalah memonitor dan
memodifikasi lingkungan klien agar mendapatkan udara yang bersih dan
lingkungan yang memberikan kesehatan.
2. Lingkungan psikologis
Nightingale memahami bahwa ada pengaruh kesehatan psikologis
terhadap klien, lingkungan yang tidak sehat bisa menyebabkan stress
psikologis dan itu akan berdampak negative pada emosi klien. Sehingga
perawat harus dapat membina komunikasi yang baik dengan klien agar
dapat menjaga kesehatan psikologs kliennya.
3. Lingkungan social
Pencegahan penyakit berkaitan dengan lingkungan sosial. Karena itu,
penting bagi perawat untuk memonitor lingkungan sosial. Dalam artian
mengumpulkan informasi spesifik yang berhubungan dengan terjadinya
penyakit dari komunitas dan lingkungan sosialnya (Aini, 2018).
42
2.6 Kerangka Konsep
2.1 Bagan kerangka konsep
p
1. Faktor lingkungan
a. Polutan udara (asap rokok, a
b. Kepadatan anggota keluarga
c. Kelembaban dan kebersihan
d. Temperatur
e. Ventilasi
3. Faktor penjamu
a. Umur
b. Status gizi
c. Imunisasi
2. Faktor dukungan pelayanan kesehatan
4. Patogen dan karakteristiknya
5. Faktor pendidikan orang tua
7. Status sosial ekonomi
6. Faktor pemberian ASI
Faktor-faktor penyebab ISPA
a. Polutan udara
a. Usia
Polutan udara (asap rokok)
Usia (balita)
Kebiasaan merokok keluarga
Sumber: Irianto (2015); WHO
(2013); Ijana dkk (2017);
Marlina (2014); Aini (2018)
Infeksi Saluran
Pernafasan (ISPA)
: Yang diteliti
: Yang tidak diteliti
Keterangan :