HPV Pap Smear
-
Upload
adhitya-fajar-prasetya -
Category
Documents
-
view
182 -
download
2
Transcript of HPV Pap Smear
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi human papillomavirus (HPV) dan persistensi virus merupakan
faktor risiko utama dalam perkembangan lesi intra-epitel skuamosa dan
karsinoma invasif pada serviks. Di Amerika Serikat, kematian akibat
karsinoma sel skuamosa serviks telah menurun hingga 75% sejak tahun
1960-an karena skrening Papanikoláou (Pap) smear. Namun, Pap smear
tradisional memiliki sensitivitas sekitar 70% untuk mendeteksi lesi pra-
kanker dan kanker yang bermakna secara klinis akibat kesalahan sampling
dan interpretasi. Pengenalan 2 sistem koleksi Pap smear berbahan cairan
pada tahun 1990-an, penggunaan uji HPV sebagai triase dan salah satu alat
uji bersama dengan Pap smear, dan pengenalan 2 alat skrening otomatis
memiliki dampak berarti pada perbaikan deteksi lesi pra-kanker tersebut.
Tinjauan ini memberikan analisis perubahan dalam pengumpulan Pap smear,
perbaikan dalam penapisan, perubahan evolusioner uji HPV risiko tinggi,
istilah pelaporan Pap smear, dan panduan penanganan klinis. Dampak
lanjutan dari 2 vaksin HPV profilaktik atas kejadian karsinoma serviks juga
dibahas. Artikel ini juga membahas alternatif seperti skrening primer untuk
uji HPV risiko tinggi dengan inspeksi visual untuk deteksi kanker serviks yang
digunakan dalam keadaan yang miskin sumber dengan insidensi tinggi
kanker serviks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi HPV
Infeksi dengan 15 jenis HPV anogenital onkogen menjadi penyebab hampir semua lesi
intra-epitel pra-kanker dan kanker pada serviks. Di antara semua jenis HPV, HPV 16 adalah
yang bertanggung jawab menyebabkan 56% dari semua kanker skuamosa serviks, sementara
HPV 18 menjadi penyebab 10-15% dan HPV 45 sekitar 7%. HPV 18 juga menyebabkan 35%
adenokarsinoma serviks. Insidensi berbagai jenis HPV yang berbeda kurang lebih umum di
berbagai belahan dunia. Memahami biologi epitel HPV banyak meningkatkan pemahaman
terkini kita atas karsinogenesis serviks. Kanker serviks disebabkan oleh infeksi HPV,
menetapnya virus, progresi sebuah klon dari sel yang terinfeksi secara menetap menuju pra-
kanker (neoplasia intra-epitel serviks atau CIN 3), dan akhirnya invasi (Gambar 1). Infeksi HPV
merupakan infeksi menular seksual yang umum dengan insidensi keseluruhan 26,8% dalam
sampel wanita yang mewakili di Amerika Serikat, sementara insidensi seumur hidup HPV
dilaporkan sebanyak 80%. Prevalensi tertnggi 44,8% Nampak pada wanita berusia 20-24 tahun,
dan menurun setelah usia 30 tahun, barangkali karena tingginya angka bersihan virus pada
wanita muda dan mungkin karena imunitas didapat yang spesifik tipe HPV. Prevalensi
keseluruhan yang dilaporkan bagi HPV berisiko tinggi berturut-turut 1,5% dan 0,8% pada tipe 16
dan 18. Infeksi beraneka jenis HPV di saat yang bersamaan merupakan fenomena yang umum,
karena semua jenis HPV menempuh jalur penularan yang sama. Sebagian besar infeksi HPV
serviks dengan atau tanpa kelainan sitologik cenderung dibersihkan melalui imunitas yang
dimediasi sel dalam 1-2 tahun setelah pajanan. Menetapnya virus yang berlangsung hingga lebih
dari 1-2 tahun merupakan faktor risiko utama untuk progresi ke arah neoplasia. Masih
diperdebatkan apakah infeksi lenyap oleh bersihan sempurna partikel virus atau apakah virus
bertahan dalam keadaan laten pada sel basal epitel skuamosa non-keratinisasi pada serviks pada
kadar yang sangat rendah yang berakibat pada gagalnya ekspresi virus penuh. Teori bahwa virus
bertahan dalam keadaan laten bahkan ketika wanita tidak menampakkan tanda infeksi HPV yang
terlihat mungkin menjelaskan kemunculan kembali infeksi HPV pada pasien transplantasi ginjal
dan wanita yang positif HIV. Di antara berbagai jenis onkogenik, HPV 16 umumnya cenderung
tinggal lebih lama daripada yang lainnya. Merokoq, multiparitas, dan obat kontrasepsi oral dapat
menaikkan risiko menetapnya virus serta progresi hingga pra-kanker dan kanker pada wanita
dengan tipe infeksi onkogen hingga 2-3 kali lipat. Namun, peran tersebut, kalaupun ada, dari
penyakit menular seksual lain, faktor gizi, dan peradangan kronis kurang jelas.
Gambar 1. Model skematik karsinogenesis serviks yang disebabkan HPV.
HPV tipe 6 dan 11 umumnya menyebabkan kutil pada kemaluan (kondiloma akuminata)
dan amat jarang ditemui pada lesi intra-epitel tingkat tinggi (CIN 3) maupun kanker skuamosa
invasif. HPV 16 beserta HPV 18 merupakan jenis yang paling banyak menginfeksi serviks uteri
sekaligus menetap dan bertanggung jawab atas mayoritas neoplasia intra-epitel dan skuamosa
invasif. HPV 18 lebih sering dihubungkan dengan adenokarsinoma dan kanker neuro-endokrin
small cell pada serviks. Khan dkk. melaporkan bahwa skrening HPV untuk tipe 16 dan 18 dapat
mengidentifikasi wanita yang berisiko tinggi mengalami lesi intra-epitel serviks (CIN 3 atau
kanker) tersebut dan dapat membantu penanganan wanita lain secara kurang agresif dengan jenis
infeksi HPV onkogenik lainnya. Perkiraan prevalensi tipe HPV onkogenik lain (mis. tipe 31, 33,
35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, dan 69) tidak dapat diperkirakan secara akurat karena metode
deteksi HPV mengkategorikan risiko tinggi maupun rendah ketimbang tipe perseorangan. Risiko
total mengalami CIN 3 pada serviks bagi wanita bertambah ketika membawa sejumlah tipe HPV
onkogenik dibandingkan dengan wanita dengan 1 tipe HPV saja. Sekarang, tidak dapat dipahami
dengan jelas apakah risiko seorang wanita lebih besar daripada jumlah risiko tipe HPV secara
perorangan. Pengukuran muatan virus bukanlah alat ramal hasil yang baik bagi pertumbuhan
CIN 3 maupun kanker kecuali pada kasus HPV 16. Nampaknya ada korelasi kuat tidak hanya
dengan tipe HPV onkogen spesifik namun juga antara keadaan fisik DNA HPV dalam sel inang
dan potensi untuk pertumbuhan kanker serviks. Pada wanita dengan infeksi HPV dengan risiko
onkogen yang rendah, DNA virus terdapat dalam sel inang sebagai plasmid ekstra-kromosom,
molekul sirkular monomer, sementara pada kanker, DNA HPV terlihat sebagai molekul sirkular
multimer dengan delesi terdeteksi dan yang paling umum tergabung dalam kromosom inang.
Semua genom HPV bersifat ko-linear dan memiliki kerangka baca terbuka yang dikodekan pada
1 galur DNA. Kerangka baca terbuka terbagi atas 2 regio, awal (E) dan akhir (L); dalam regio E
ada regio regulasi hulu ketiga (Gambar 2). Protein-protein yang dikodekan oleh E6, E7, dan E5
bertanggung jawab untuk transformasi di mana E1 mengkodekan 2 protein atau lebih yang
diperlukan untuk regulasi replikasi DNA episom dan E2 mengkodekan 2 protein atau lebih yang
bertanggung jawab untuk regulasi transkripsi virus. L1 dan L2 mengkodekan protein kapsid
mayor dan minor. Protein E4 diduga memodulasi perubahan structural pada sitoplasma sel yang
terinfeksi. Genom HPV mengkodekan 8 gen (Gambar 2) sementara E6 dan E7 merupakan
onkoprotein HPV utama dengan target multiseluler dengan p53 dan protein supresi tumor
retinoblastoma (pRB) adalah yang paling bermakna. E6 menghambat p53 sehingga menghambat
apoptosis, sementara E7 menghambat henti siklus sel penghapus pRB. E7 bertindak sebagai
protein transformasi primer. Protein E6 dan E7 diekspresikan dalam kadar rendah selama proses
infeksi HPV, dan pada beberapa titik setelah penggabungan virus ke dalam inang, ekspresi E6
dan E7 dideregulasi karena perubahan genetik ataupun epigenetik yang mengakibatkan over-
ekspresi dan pertumbuhan CIN 3 dan kanker.
Gambar 2. Genom HPV 16 (catatan: E1-E7, gen awal; L1-L2, gen akhir (kapsid))
B. HPV dan Model Karsinogenesis Serviks
Tabel 1. Terminologi Sitologi Perbandingan dan Persamaan Histologik atas Lesi Pra-Kanker
Serviks
Gambar 3. Siklus hidup HPV dalam epitel skuamosa non-keratin pada serviks. (Catatan: membrana basalis–induksi virus HPV, ambilan, transpor inti, dan produksi protein awal; lapisan sel parabasal–replikasi virus DNA menyebabkan produksi lebih banyak protein awal; lapisan sel intermediat dan superfisial–produksi virion
dengan ekspresi protein kapsid, penyusunan virion, pemecahan inti, dan pembebasan virus.Zona transformasi serviks merupakan cincin mukosa yang amat rentan terhadap infeksi
HPV dan infeksi HPV persisten, khususnya tipe 16 dan 18 yang sanggup menyebabkan
karsinoma sel skuamosa dan juga adenokarsinoma (kebanyakan akibat HPV 18) pada serviks
uteri. Secara histologis, infeksi HPV mengenai sel basal, cadangan, maupun punca pada zona
transformasi sebagai akibat robekan mikroskopis selama hubungan seksual. Sel tipe basal
tersebut berpotensi untuk berdiferensiasi menjadi sel skuamosa, glandular, ataupun
neuroendokrin yang mempertahankan keutuhan epitel. Pada sel basal yang terlibat dalam
diferensiasi skuamosa, proses maturasi dan diferensiasi yang sangat teratur terjadi di seluruh
ketebalan epitel pada tingkatan morfologik sekaligus molekuler tempat pembelahan sel terbatas
pada sel-sel di membrana basalis dan parabasalis. Pada pasien dengan infeksi HPV yang
terdeteksi dengan uji molekuler seperti reaksi berantai polimerase, Hybrid Capture II, maupun
Invader Technology yang menggunakan Cervista namun tanpa kelainan morfologis pada Pap
smear, replikasi dan ekspresi gen HPV dihambat hingga kadar yang pada pokoqnya bersifat
rumatan. Replikasi virus dan ekspresi gen dengan HPV berlanjut dalam sel yang telah
mengalami pematangan skuamosa, dan di zona parabasalis, ekspresi regio awal virus terjadi,
menyebabkan sintesis DNA virus dan pembentukan banyak virion yang terjadi secara episomal.
Hal ini menghasilkan pematangan dan diferensiasi di mana sel-sel matang pada permukaan epitel
menunjukkan pembesaran inti dan hiperkromasia akibat sintesis DNA inang yang diperantarai
E6/E7. Jenis kelainan ini disebut sebagai displasia ringan atau lesi intra-epitel skuamosa stadium
rendah (LSIL) dalam Sistem Bethesda 2001 terkini maupun neoplasia intra-epitel serviks 1 (CIN
1 dalam histologi; lihat Tabel 1 untuk perbandingan istilah). Siklus hidup HPV dalam epitel
skuamosa non-keratin pada serviks diilustrasikan dalam Gambar 3. Kini, terminologi CIN
digunakan dalam diagnosis histopatologis, sementara Sistem Bethesda 2001 atas LSIL dan lesi
intra-epitel skuamosa stadium lanjut (HSIL) digunakan untuk melaporkan lesi intra-epitel
skuamosa dalam sitologi. Beberapa sel yang terinfeksi HPV tersebut dapat menunjukkan
koilositosis dengan halo perinuklear khas dan atipia nuklear (Gambar 4). Dipercaya bahwa
jumlah dan jenis ekspresi E4 HPV yang benar menghasilkan perubahan sitoskelet dalam
sitoplasma dan menyebabkan koilositosis. LSIL berkurang pada banyak pasien, dan dalam
skema karsinogenesis serviks, LSIL ataupun CIN 1 tidak memperkirakan risiko tinggi bagi
pertumbuhan displasia berat/karsinoma in situ, HSIL, maupun CIN 3 dalam histologi. Jika proses
LSIL tidak berkembang sempurna, sel-sel pada permukaan epitel sering menunjukkan kelainan
inti yang lebih sedikit dan menghasilkan sel skuamosa atipik yang kepentingannya tidak jelas
(ASC-US).
Gambar 4. Usapan serviks yang menunjukkan lesi intra-epitel skuamosa stadium awal dengan kavitasi perinuklear ataupun koilositosis dan membesar, nukleus hiperkromatik (pewarnaan Papanikoláou 400x). Biopsi yang
berhubungan akan menunjukkan CIN 1.
Gambar 5. Usapan serviks yang menunjukkan lesi intra-epitel skuamosa stadium lanjut pra-kanker yang di dalamnya biopsy yang cocok akan menunjukkan CIN 3. Perhatikan agregat sinsisial sel dengan inti hiperkromatik dan
sitoplasma yang sedikit (pewarnaan Papanikoláou 400x).Dalam perkembangan HSIL, virus mengakibatkan regulasi E6/E7 menyebabkan
proliferasi sel tipe basal tak terkendali dengan aktivitas mitotik hingga 23
ketebalan epitel
skuamosa non-keratin dengan diferensiasi minimum pada permukaan (HSIL maupun displasia
sedang dalam sitologi dan CIN 2 dalam histologi) maupun keseluruhan tebal epitel yang tidak
menunjukkan diferensiasi (HSIL, dysplasia parah/karsinoma in situ, dan CIN 3 dalam histologi).
Para kader dapat berperan dalam langkah ini termasuk merokoq, infeksi dengan virus lainnya,
peradangan, maupun mutasi random lainnya. Dalam proses karsinogenesis serviks ini, istilah
pra-kanker merujuk pada diagnosis morfologis HSIL maupun CIN 3 juga displasia
berat/karsinoma in situ (Gambar 5) ketika sel tipe basal yang tidak terdiferensiasi dengan
abnormalitas genetik menetap menggantikan hampir semua ketebalan epitel skuamosa serviks.
Namun, dari sudut biologis ini, perbedaan vital terjadi ketika LSIL maupun CIN 1 dan HSIL
maupun CIN 2, dengan perubahan ke arah proliferatif yang berlawanan dengan diferensiasi dan
fenotip produktif virus, dan konsisten dengan Sistem Bethesda yang terdiri atas CIN 2 dan CIN 3
juga HSIL untuk tujuan penanganan klinis.
HSIL menghasilkan sel tipe basal yang berkembang biak secara mitosis yang memiliki
potensi yang lebih besar untuk memperoleh mutasi tambahan. Seleksi klon yang dipengaruhi
oleh infeksi HPV risiko tinggi, terutama tipe 16, 18, dan 45, menghasilkan karsinoma skuamosa
invasif (Gambar 6) dalam inang yang umumnya rentan. Subtipe karsinoma skuamosa serviks
yang berbeda, yakni, tipe keratin di ektoserviks, non-keratin di sekitar zona transformasi, dan
karsinoma neuro-endokrin small cell yang banyak di kanalis endoserviks, sebagian besar
mencerminkan jalur genetik yang berbeda yang diatur oleh lingkungan khusus di mana kanker
tumbuh. HPV 18 menampakkan predileksi umum dari penggabungan virus ke dalam genom
inang dan dapat menunjukkan kecenderungan pada sel-sel yang berdiferensiasi ke arah epitel
skuamosa dan dikaitkan dengan pertumbuhan adenokarsinoma endoserviks dan karsinoma
neuro-endokrin small cell pada serviks. Untuk replikasi produktif, sebuah lingkungan
diferensiasi skuamosa amat penting. Sehingga, ada teori bahwa infeksi yang gagal maupun laten
pada sel-sel endoserviks yang normal secara morfologis menimbulkan disregulasi ekspresi gen
virus yang menghasilkan hiperproliferasi sel glandular dikenal sebagai dysplasia
endoserviks/adenokarsinoma in situ dan memiliki potensi mengarah ke adenokarsinoma invasif.
Argumen serupa dapat dicetuskan untuk pertumbuhan karsinoma neuro-endokrin small cell pada
serviks. Di samping kanker serviks, keganasan seperti pada esophagus, anus, penis, vulva, dan
vagina telah banyak dikaitkan kausanya dengan berbagai sub-tipe infeksi HPV.
Gambar 6. Usapan serviks yang menunjukkan karsinoma skuamosa non-keratin dengan sel-sel ganas satu per satu dan dalam agregat sinsisial dengan inti hiperkromatik dan nukleolus yang menonjol. Perhatikan bukti perdarahan
dan diatesis tumor di latar belakang (pewarnaan Papanikoláou 400x).
C. Peranan Pap Smear dalam Skrening Kanker Serviks
Kanker serviks dengan prevalensi global tahunan 2,3 juta kasus adalah yang kedua
setelah kanker payudara sebagai penyebab utama kanker pada wanita dan penyebab mortalitas
terkait kanker ketiga paling umum di seluruh dunia pada wanita. Di Amerika Serikat, kasus
kanker serviks telah menurun hingga 75% atau lebih sejak tahun 1960-an karena keberhasilan
program skrening kanker serviks berbasis sitologi yang menggunakan Pap smear, sementara 82%
kasus baru kanker serviks terjadi di negara berkembang yang tidak memiliki program skrening.
Dr. Geórgios Papanikoláou (Dr. Pap), yang awalnya menyajikan teknik usapan skreningnya pada
konferensi tahun 1928 di Battle Creek, Michigan, dalam makalahnya yang berjudul New Cancer
Diagnosis, dan sebuah artikel koran New York yang meliput konferensi melaporkan tujuan
teknisnya adalah sebagai berikut:
Meskipun Dr. Papanikoláou tidak berharap untuk memperkirakan seberapa
berguna metode diagnostik baru dalam penanganan keganasan itu sendiri yang
sesungguhnya, nampaknya memungkinkan jika metode tersebut akan terbukti
bernilai dalam menentukan kanker dalam stadium awal pertumbuhannya ketika
kanker tersebut dapat dilawan dan dirawat. Bahkan ada harapan bahwa keadaan
pra-kanker dapat dilacak dan diperiksa.
Sayangnya, artikel dr. Pap tidak mendatangkan minat apapun dalam komunitas medis
hingga ia, bersama dengan ko-peneliti ginekolog, dr. Herbert Traut, menerbitkan penemuan
terkait Pap smear pada tahun 1941. Secara luas, American Cancer Society mempromosikan
teknik skreningnya, yang menimbulkan penyusunan program skrening kanker serviks di banyak
tempat di AS dan Eropa. Laporan awal yang membuktikan validitas Pap smear dalam
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat kanker serviks diterbitkan pada tahun 1955 oleh
Eriksson dan kolega di Tennessee dan oleh Christopherson dkk. di Kentucky. Christopherson
dkk. melaporkan data mereka mengenai pengurangan signifikan dalam morbiditas dan mortalitas
yang dikumpulkan dalam masa lebih dari 21 tahun sejak pertengahan 1950-an ketika program
skrening kanker serviks disusun di Kentucky. Pap smear segera menjadi leksikon kesehatan
wanita dan menikmati keberhasilan luar biasa di AS dan Eropa, juga di beberapa negara
berkembang dengan program skrening yang berhasil. Keberhasilan program skrening didasarkan
pada berulangnya skrening wanita dalam jarak pendek selama proses karsinogenesis yang lama,
dari kejadian infeksi HPV hingga perkembangan HSIL atau CIN 3 (biasanya 2-15 tahun) dan
dari HSIL atau CIN 3 menuju kanker (biasanya 10 tahun atau lebih). Metode yang digunakan
oleh dr. Pap dengan mengikis sel-sel dari serviks dan mengusapnya di kaca mikroskop dengan
pengenal nama pasien dan melekatkannya dalam alkohol disebut sebagai Pap smear
konvensional. Pap smear konvensional digunakan selama lebih dari 45 tahun. Pap smear
ditujukan sebagai program skrening, dan dari sudut pandang klinis, Pap smear konvensional
memiliki sensitivitas sekitar 70% untuk deteksi HSIL maupun karsinoma yang bermakna secara
klinis dan memerlukan pengulangan dalam interval pendek untuk meningkatkan efikasinya.
Kedua, ada reprodusibilitas hasil yang lemah bahkan di antara para ahli seperti yang
diilustrasikan dalam ASCUS LSIL Triage Study (ALTS) yang dilaksanakan oleh National
Cancer Institute. Ketiga, sitologi adalah uji yang harus dilakukan secara intensif, dan kesalahan
manusia dalam menginterpretasikannya dapat terjadi. Namun, di mata publik, bahkan 1 Pap
smear bisa efektif dan hampir setara dengan kebijakan asuransi kanker serviks yang mampu
memberikan manfaat yang besar jika kanker serviks tumbuh.
Di AS, lanskap skrening serviks berubah secara dramatis setelah tanggal 2 November
1987 melalui publikasi oleh Walt Bogdanich dalam Wall Street Journal yang berjudul Lax
Laboratories: The Pap Test Misses Much Cervical Cancer Through Labs’ Errors. Artikel ini
memperbesar penelitian public atas uji Pap dan litigasi skrening kanker serviks bertambah, dan
Centers for Medicare and Medicaid Services mengadakan perubahan besar dengan Clinical
Laboratory Improvement Amendments of 1988 (CLIA’88) untuk segala jenis laboratorium klinik
termasuk sitologi. Harapan publik untuk efikasi skrening Pap smear 100% yang tak mungkin dan
aturan CLIA’88 yang kurang dipahami menimbulkan peningkatan berarti dalam litigasi terkait
Pap smear. Namun, hasil positifnya menimbulkan perbaikan sensitivitas Pap smear dalam hal
persiapan dan skrening, sebagaimana pelaporan.
D. Permulaan Uji Pap Berbahan Cairan
Untuk meminimalisasi diagnosis Pap smear yang tak akurat dan kurang tegas yang
berkaitan dengan kesalahan sampling dan persiapan spesimen yang sub-optimal, sebuah cara
baru mengumpulkan semua sel dari alat-alat koleksi Pap smear dalam bahan pengawet larutan
mulai dipraktekkan dengan izin FDA untuk ThinPrep (Hologic Corporation, Boxborough,
Massachusetts) pada tahun 1996. Dalam sistem ThinPrep, alat koleksi dengan spesimen serviks
dimasukkan dalam vial yang mengandung 20 mL bahan pengawet (PreservCyt), alih-alih
diusapkan di kaca mikroskop dan dikirim ke laboratorium sitologi, dan dipersiapkan
menggunakan peralatan milik perusahaan dan proses untuk menghasilkan satu lapis sel
berukuran 20-mm untuk visualisasi optimal. Proses khusus ini mengurangi kelebihan darah, sel-
sel radang, dan debris lain apapun yang dapat mengaburkan detail sel, dan usapan tersebut
diwarnai dengan pewarnaan Pap untuk tinjauan mikroskop. Metode pengumpulan dalam bahan
pengawet larutan juga memudahkan pengujian untuk penyakit menular seksual yang disebabkan
oleh Chlamydia, gonore, dan juga HPV dari vial yang sama tanpa perlu spesimen klinis lainnya.
Sejak izin FDA, banyak studi yang dilaksanakan yang membandingkan Pap smear konvensional
dan ThinPrep dan telah melaporkan bahwa ThinPrep mengurangi jumlah usapan unsatisfactory
dan meningkatkan sensitivitas untuk mendiagnosis semua kelainan, khususnya HSIL yang
bermakna secara klinis. 2 studi berbasis masyarakat di Kosta Rika dan Tiongkoq
membandingkan sensitivitas Pap smear konvensional dengan ThinPrep dengan korelasi biopsi
(baku emas) untuk akurasi diagnostik. Studi kelompok Belinson’s Cleveland Clinic dari Provinsi
Shanxi mendokumentasikan sensitivitas untuk mendeteksi biopsi yang dibuktikan HSIL untuk
ThinPrep sekitar 94% untuk CIN 2 dan 98% untuk CIN 3. Pada tahun 2000, uji Pap berbahan
cairan BDSurePath kedua diizinkan oleh FDA. Uji Pap berbahan cairan BD SurePath
menggunakan metode pengumpulan berbahan cairan yang sama, suatu proses pemilikan untuk
menghilangkan sel-sel radang yang berlebihan, darah, dan sebagainya menggunakan prosesor
slide BD PrepStain. Kaca-kaca yang disediakan kemudian diwarnai dalam pewarna otomatis
untuk memproduksi persiapan sel satu lapis 13 mm. Bishop dkk. melaporkan analisis
perbandingan mereka antara uji Pap berbahan cairan BD SurePath (dahulu disebut sebagai
AutoCyte Prep) dan Pap smear konvensional serta menjelaskan pengurangan unsatisfactory
bermakna dan satisfactory namun terbatas karena tidak usapan zona transformasi dan juga
peningkatan 64,4% dalam deteksi HSIL ketika dibandingkan dengan usapan konvensional.
Laporan perbandingan antara konvensional, ThinPrep, dan BD Surepath diberikan di Tabel 2.
Tabel 2. Analisis perbandingan metode Pap smear (catatan: CIN=neoplasia intra-epitel serviks, FoV=field of
view/lapang pandang)
E. Skrening Otomatis dalam Sitologi
Pada tahun 2003, Hologic Corp memperkenalkan ThinPrep Imaging System (TIS)
dengan Dual Review ke dalam sitopatologi diagnostik dan berusaha meningkatkan lagi
sensitivitas usapan ThinPrep Pap juga produktivitas laboratorium. TIS Dual Review memindai
usapan ThinPrep Pap menggunakan algoritma komputer khusus, memindai seluruh slide, dan
sebelumnya memilih 22 lapang yang memuat sebagian besar sel yang bermakna dari setiap slide
untuk ditinjau kembali oleh sitoteknolog menggunakan bidang review. Jika sitoteknolog, dengan
pemeriksaan yang hati-hati atas 22 lapang pandang tidak menemukan kelainan sitologis apapun,
usapan itu dapat dilaporkan negatif untuk lesi intra-epitel ataupun keganasan. Jika sel-sel
abnormal dideteksi dalam 22 lapang pandang, sitoteknolog dapat kembali pada skrening manual
untuk evaluasi usapan secara hati-hati, menandai sel-sel abnormal, dan melaporkan penemuan
secara tepat. Dziura dkk. memindai 27.525 usapan, secara manual dan TIS, dan menemukan
bahwa TIS bekerja lebih baik secara bermakna dibandingkan skrening manual dalam mendeteksi
HSIL yang dikonfirmasi oleh biopsi. Dawson menjelaskan perbaikan produktivitas sitoteknolog
dengan TIS dan potensinya memusatkan bagian skrening/interpretasi dari fraksi yang negatif
palsu, sehingga memperbaiki hasil perawatan pasien.
BD FocalPoint Slide Profiler (AutoPap Primary Screening System) telah digunakan
untuk skrening primer Pap smear konvensional dan kini untuk Pap smear berbahan larutan BD
SurePath. Menggunakan algoritma komputer, sistem skrening ini dapat memindai seluruh slide,
menilai selularitan, dan menyediakan tingkatan kuintil untuk setiap slide yang berhubungan
dengan kemungkinan slide mengandung kelainan sebagai bilangan dari 1 sampai 5 di mana
kuintil 1 adalah yang paling bermakna mengandung sel abnormal untuk membantu sitoteknolog
untuk tinjauan lanjut yang hati-hati. Kini, FDA telah mengizinkan BD FocalPoint GS Imaging
System, yang termasuk BD FocalPoint Slide Profiler dan BD FocalPoint GS Review Station. BD
FocalPoint GS Imaging System membantu skrening serviks menggunakan Pap smear berbahan
cairan BD SurePath untuk mendeteksi karsinoma skuamosa, adenokarsinoma, dan keadaan yang
mendahuluinya. Slide tersebut awalnya dipindai dan tingkatannya diurutkan menurut kuintil
menurut kemungkinan kelainan dan menyediakan relokasi dan tinjauan visual 10 lapang pandang
yang paling mungkin memuat sel-sel abnormal kepada sitoteknolog untuk diagnosis
menggunakan FocalPoint GS Review Station. Ini juga mengidentifikasi 15% dari semua slide
yang berhasil diproses menggunakan BD FocalPoint Slide Profiler Directed QC Technology
untuk skrening ulang kontrol mutu yang terarah. Kardos menyajikan penemuannya atas
efektivitas BD FocalPoint Slide Profiler dan BD FocalPoint GS Review Station selama Annual
Meeting of the American Society of Cytopathology pada tahun 2003.
F. Sistem Bethesda (TBS) untuk Pelaporan Diagnosis Sitologis
Serviks/Vagina
Pada bulan Desember 1988, National Cancer Institute mensponsori lokakarya dalam
usaha pengembangan leksikon terstandarisasi untuk laporan sitopatologi serviks/vagina yang
secara khusus menekankan ketentuan panduan yang jelas untuk penanganan klinis. Tujuan utama
lokakarya pertama Bethesda pada tahun 1988 adalah untuk mengurangi kebingungan klinis yang
disebabkan oleh penggunaan berbagai sistem klasifikasi dari terminologi asli Papanikoláou dan
terminologi World Health Organization yang menggunakan displasia ringan, sedang, dan berat
serta karsinoma in situ untuk lesi pra-kanker (Tabel 1). Konferensi kedua Bethesda
diselenggarakan pada tahun 1991 untuk memodifikasi terminologi pelaporan Pap smear yang
didasarkan atas laboratorium dan pengalaman klinis menggunakan pelaporan TBS 1988 untuk
hasil uji Pap. Penelitian lanjutan yang berkenaan dengan terminologi TBS 1991 juga peranan
teknologi pembantu yang baru dan berkembang, dan pemahaman biologi HPV yang lebih besar
dalam karsinogenesis serviks, meratakan jalan untuk konferensi ketiga Bethesda pada tahun
2001. Satu tonggak utama adalah pemahaman peran uji HPV risiko tinggi sebagai alat triase bagi
sekitar 2 juta wanita di AS yang mendapatkan diagnosis atypical squamous cells of
undetermined significance (ASCUS) tiap tahun. Diagnosis ASCUS membawa peningkatan risiko
bagi pasien tersebut untuk CIN 2, CIN 3, dan kanker yang lazim sementara evaluasi kolposkopi
mengungkapkan bahwa >70% adalah CIN 1, tanda infeksi HPV jinak yang paling umum akan
dibersihkan. Sehingga, kolposkopi yang memuaskan diperlukan untuk semua wanita tersebut
untuk mengenali minoritas kecil yang mungkin memiliki penyakit yang bermakna secara klinis
dan memerlukan tindak lanjut ketat. Hal ini menimbulkan beban berlebih pada klinik kolposkopi
dan juga arus keuangan utama dalam waktu yang menaikkan biaya medis tersebut.
G. Permulaan Uji HPV sebagai Alat Triase untuk Sitologi
Disponsori oleh National Cancer Institute, percobaan klinis acak multisentra atas
penanganan wanita dengan sitologi stadium rendah dan kurang jelas, disebut ASCUS/LSIL
Triage Study (ALTS), dikerjakan dari bulan November 1996 hingga Desember 1998. Tujuan
studi ini adalah membandingkan sensitivitas dan spesifisitas kolposkopi langsung, sitologi
berulang, dan uji HPV untuk deteksi CIN 3 yang secara histologis terkonfirmasi tepat pada
waktunya dengan risiko tinggi progresi hingga kanker invasif dan sehingga progression
memerlukan penanganan segera. Sejumlah 3488 wanita dengan diagnosis ASCUS dan 1572
wanita dengan diagnosis LSIL dari 4 sentra kedokteran utama di AS diikutsertakan dalam studi
ini dan secara acak diberikan 1 dari 3 cabang penanganan: (a) kolposkopi langsung setelah
diagnosis sitologis ASCUS atau LSIL, (b) penanganan konservatif dengan sitologi dan
kolposkopi tindak lanjut hanya jika sitologi follow-up adalah HSIL atau di atas, atau (c) triase
kolposkopi berdasarkan pada hasil HPV (+) risiko tinggi dari Hybrid Capture 2 (HC2) dan hasil
sitologi ThinPrep. Cabang triase HPV wanita dengan diagnosis sitologis LSIL ditunda lebih dulu
karena analisis sementara mengungkapkan mayoritas besar wanita (83%) akan ditriasekan pada
hasil HC2 berbasis kolposkopi sementara dipahami bahwa mayoritas LSIL akan mengalami
regresi secara spontan. Cabang kolposkopi langsung bersifat apriori yang dianggap menyediakan
standar untuk deteksi HSIL (CIN 3 dalam biopsi) yang akan dibandingkan dengan uji HPV dan
tindak lanjut dengan sitologi. Kesimpulan utama ALTS adalah bahwa uji HPV yang
menggunakan HC2 untuk tipe risiko tinggi memiliki sensitivitas yang lebih besar untuk
mendeteksi CIN 3 ataupun di atas dan spesifisitas yang dapat dibandingkan dengan satu uji
sitologi tambahan dengan ASCUS atau di atas dan kemudian menyediakan pilihan aktif untuk
penanganan wanita dengan ASCUS. Pasien dengan sel skuamosa atipik, di mana HSIL (ASC-H)
tidak dapat disingkirkan, langsung dirujuk untuk kolposkopi karena lesi tersebut memiliki nilai
prediksi yang bermakna untuk HSIL dan DNA HPV onkogenik dideteksi hingga 70-85% kasus.
Dengan membaiknya pemahaman atas proses neoplasia serviks, peranan uji HPV risiko
tinggi, dan berubahnya kebutuhan klinikus dan sitopatolog, ada keperluan untuk konferensi
ketiga Bethesda pada tahun 2001 untuk memodifikasi lebih lanjut sistem TBS 1991. TBS 2001
mengembangkan banyak forum masing-masing dengan anggota dari semua komunitas
kepentingan, termasuk sitoteknolog, sitopatolog, klinikus, dan pengacara pasien. Salah satu
kelompok forum menyebutkan penggunaan tes penunjang, yang paling umum di antara mereka
adalah uji HPV. Forum ini menggunakan pengujian HPV sebagai model uji HPV, yang juga bisa
bermanfaat sebagai model untuk tes penunjang lain yang mungkin muncul di masa depan. Forum
ini menganjurkan bahwa uji HPV spesifik biasa disebutkan dengan jelas dan hasil yang
dilaporkan untuk HPV sebagai positif ataupun negative untuk tipe kelas tertentu (mis. HPV
risiko tinggi). Uji Pap dan hasil uji HPV harus berhubungan satu sama lain dan lebih baik bila
dilaporkan bersamaan. Beberapa skema laporan termasuk laporan probabilitas, laporan
terintegrasi, laporan sebagai hasil, dan laporan dengan rekomendasi penanganan klinis.
Meskipun banyak metode molekuler, termasuk hibridisasi in situ, hibridisasi Southern blotting,
reaksi berantai ligase, DNA sinyal cabang, dan reaksi berantai polimeras, 2 uji HPV paling
umum yang diizinkan oleh FDA adalah Hybrid Capture II atau HC2 dan Cervista HPV HR yang
digunakan dengan ThinPrep. Validasi dapat dilakukan di laboratorium untuk Pap smear tipe
BDSurePath. Teknologi HC2 didasarkan pada asas amplifikasi sinyal dan dideteksi oleh
kemiluminesens dan hasil ditampakkan sebagai RLU (unit cahaya relatif), namun tidak dapat
menentukan apakah DNA manusia yang cukup ada untuk otentikasi hasil uji HPV. Cervista HPV
HR menggunakan bahan kimia paten Invader yang menggunakan amplifikasi sinyal dan deteksi
fluoresens, yang unik karena mengandung kendali dalam untuk memvalidasi apakah ada DNA
yang cukup untuk menguji dan dapat mendeteksi 14 galur onkogen HPV dengan risiko rendah
reaktivitas silang. Cervista HPV HR juga uji pertama yang dapat melakukan genotipe spesifik
untuk HPV 16 dan HPV 18 yang dihubungkan lebih dari 70% dari semua kanker serviks dan
direkomendasikan sebagai alat tindak lanjut dalam stratifikasi risiko untuk pertumbuhan
karsinoma invasif. Studi perbandingan kedua teknik tersebut oleh Johnson dkk. menemukan
bahwa umumnya hasil dari kedua pengujian tersebut dapat diperbandingkan bila
membandingkan evaluasi sitologis namun uji berbahan Invader menunjukkan sensitivitas klinis
98% dalam kasus ASC-US untuk CIN 2 atau yang lebih jelek dan 100% untuk CIN 3 atau yang
lebih buruk dan nilai prediksi negatif 96.9%. Pengarangnya merasakan karena Digene HC2
memiliki tingkat positif palsu antara 10-19% akibat reaktivitas silang dengan DNA HPV risiko
rendah, metode Invader lebih menguntungkan untuk laboratorium.
Bolick menggambarkan cara-cara untuk pelaksanaan uji HPV yang berhasil di
laboratorium, serta Seabrook dan Hubbard menjelaskan bagaimana agar berhasil menambahkan
uji HPV sehingga mendapatkan hasil bermutu tinggi yang dapat digandakan dan di saat yang
sama memenuhi persyaratan CLIA’88 dalam uji molekuler HPV. Zuna dkk. melaporkan
bagaimana uji HPV dilakukan dari volume sisa uji Pap berbahan larutan dapat digunakan secara
klinis untuk tindak lanjut pasien dan dapat berfungsi sebagai monitor jaminan mutu untuk
laboratorium sitologi.
H. Perubahan dalam Panduan Penanganan Klinis dan
Penggunaan Uji Bersama HPV dengan Pap Smear
American Society for Colposcopy and Cervical Pathology (ASCCP) menyelenggarakan
konferensi konsensus setelah konferensi TBS 2001 untuk mengembangkan panduan berdasar
bukti untuk penanganan wanita dengan kelainan serviks yang berkisar dari diagnosis kurang jelas
seperti ASC-US hingga HSIL (CIN 3) yang didasarkan pada penemuan studi ALTS dan studi
longitudinal berikutnya yang membuktikan penemuan asli ALTS bahwa satu uji HPV setara
sensitivitasnya dengan kolposkopi dan 2 sitologi tindak lanjut yang berjarak 6 bulan. Hal ini
menyebabkan ASSCP merekomendasikan jika Pap smear berbahan larutan digunakan pada
pasien dengan diagnosis sitologis ASC-US, uji HPV risiko tnggi merupakan metode terpilih
untuk menindak pasien untuk mendeteksi 8-20%dari sub-kumpulan yang berisiko mengandung
HSIL atau kinder yang dapat dirujuk ke kolposkopi dan perawatan lanjut. Uji HPV disarankan
untuk pasien dengan diagnosis LSIL (CIN 1) atau ASC-H karena tingginya prevalensi positivitas
HPV dan kemudian rujukan kolposkopi lebih dipilih untuk uji refleks HPV. Juga disarankan
bahwa uji HPV merupakan penanda valid sebagai tindak lanjut bagi wanita yang tidak dirawat
untuk ASC-US atau LSIL dan sebagai penanganan pascaterapi wanita dengan LSIL, ASC-US
dan ASC-H HPV (+), dan mereka yang dirawat dengan konisasi HSIL mendeteksi bukti
rekurensi HSIL yang tinggi di kanalis endoservikalis. Keuntungan klinis besar atas uji refleks
HPV misalnya rujukan segera untuk kolposkopi jika HPV positif penanganan lanjutan tanpa
keterlambatan apapun untuk hasil sitologi ulangan setelah 6 bulan, pengurangan rendah untuk
pemenuhan tindak lanjut, efektivitas harga, dan kurangnya kegelisahan untuk pasien dengan
hasil HPV (-) karena nilai prediktif uji HPV hampir 100% negatif.
Tabel 3. Panduan Manajemen Klinis ASCCP untuk Uji HPV dan Penemuan Pap Smear yang Abnormal (singkatan: ASCCP=American Society for Colposcopy and Cervical Pathology; HPV=human papillomavirus; CIN=neoplasia intra-epitel serviks; ASC-US=atypical squamous cells of undetermined significance; ASC-H=atypical squamous
cells yang tak dapat menyingkirkan HSIL)Sensitivitas Pap smear konvensional adalah sekitar 70% dan 93% denga ThinPrep yang
berbahan larutan, namun bukanlah 100% harapan publik dari program skrening kanker serviks.
Dengan kemajuan pengujian HPV yang digabungkan dengan uji Pap smear berbahan larutan,
amat mungkin 100% sensitivitas dan 100% nilai prediktif negatif jika kedua uji tersebut negatif.
Ini akan menjadi kemajuan besar untuk meminimalisasi risiko pasien dan laboratorium dan hasil
untuk pasien yang lebih baik. Lorincz dan Richart, dalam analisis metanya dalam 10 studi besar
yang menggunakan HC2 dan 3 studi yang menggunakan uji reaksi berantai polymerase untuk
memprediksikan HSIL (CIN 2/3) yang mendasari yang jarang dan menggunakan triase HPV
pada pasien dengan diagnosis ASCUS, menyimpulkan bahwa uji DNA HPV lebih sensitif
daripada sitologi Pap smear konvensional ataupun berbahan cairan. Mereka juga melaporkan
bahwa gabungan uji DNA HPV dan Pap memiliki sensitivitas dan nilai prediktif negatif sekitar
100%. Spesifisitas uji gabungan tersebut dilaporkan sedikit lebih rendah dibandingkan uji Pap
namun penurunan ini dapat diimbangi melalui perlindungan yang lebih besar dan penghematan
biaya dari interval skrening yang panjang. Satu uji HPV DNA dan Pap “negatif ganda” dapat
memberikan jaminan prognosis yang lebih baik terhadap risiko perkembangan HSIL (CIN 3) di
masa depan dibandingkan dengan 3 uji Pap konvensional berikutnya dan kemudian dapat
memungkinkan interval skrening 3 tahun dari wanita berisiko rendah tersebut. Hasil serupa
dilaporkan dalam studi berbasis populasi dari Swedia dan Kanada. Semua penemuan tersebut
menyebabkan uji HPV diizinkan oleh FDA bersamaan dengan untuk wanita >30 tahun (uji
Papanikoláou DNA) pada tanggal 31 Maret 2003. Ikhtisar perbandingan panduan skrening dan
penanganan yang berbeda disajikan dalam Tabel 3.
Castle dkk. dan lainnya membenarkan keuntungan menggabungkan uji DNA HPV dan
Pap untuk wanita >30 tahun untuk deteksi HSIL (CIN 2/3) bila dibandingkan dengan
mengulangi uji Pap sendiri. Namun, masalah utama dengan uji HPV adalah spesifisitas 83%,
sedikit di bawah uji Pap. Sehingga, banyak penulis yang menekankan penggunakan gabungan uji
HPV dan uji Pap untuk mendapatkan peningkatan sensitivitas 23-43% dari uji HPV bila
dibandingkan dengan sitologi dan mendapatkan peningkatan 5-8% dalam hal spesifisitas Pap
smear jika dibandingkan dengan uji HPV, dan ini belum waktunya menggunakan uji HPV
sebagai satu-satunya uji skrening primer.
Pendidikan dan pemenuhan pasien serta pengembangan kemitraan kuat antara dokter dan
pasien merupakan aspek penting untuk keberhasilan program skrening. Roach menekankan
pentingnya mendidik masyarakat tentang uji HPV, mengurangi penekanan sifat penyakit tersebut
yang menular secara seksual, dan mengembangkan kemitraan kuat antara komunitas professional
dan pasien untuk mendapatkan hasil optimal dalam meminimalisasi insidensi kanker serviks.
I. Skrening Primer HPV di Negara Berkembang
Keuntungan penerapan klinis uji HPV sebagai alat skrening primer dalam lingkungan
yang miskin sumber daya dengan insidensi tinggi kanker serviks dan kurangnya program
skrening karena tidak adanya sumber daya dan tenaga terlatih pertama kali dipelajari dalam studi
penunjuk oleh Belinson dkk. di Provinsi Shanxi, Tiongkoq. Dalam studi ini, masing-masing
wanita yang pada tahun 1997 berusia 35-45 tahun menjalani uji sendiri untuk pengujian HC2
untuk HPV risiko menengah dan risiko tinggi, spektroskopi fluoresen, uji Pap berbahan larutan
(dibaca secara manual dan melalui skrening otomatis), diagnosis inspeksi visual (IVA), dan
kolposkopi dengan sejumlah biopsi serviks. Berdasarkan penemuan tersebut, penyusun
menyimpulkan bahwa di daerah pedesaan Tiongkoq, pengujian HPV bisa berhasil sebagai alat
skrening primer yang diikuti oleh IVA di mana asam asetat disemprotkan ke dalam serviks dan
ablasi transformasi pada wanita yang dicurigai pra-kanker tersebut untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas dari kanker serviks. Pilihan ini mencegah keterlambatan dalam skrening,
diagnosis, dan penanganan wanita dari daerah pedesaan yang mungkin terlewat dari tindak lanjut
jika ko-pengujian HPV dengan Pap smear didengung-dengungkan sebagai satu-satunya pilihan
untuk skrening bagi wanita tersebut. Hasil dari percobaan POBASCAM di Belanda juga
membenarkan penggunaan uji DNA HPV sebagai skrening primer rutin dengan pemantauan
berkelanjutan dan interval skrening yang panjang. Goldie dkk. menegaskan bahwa penggunaan
IVA dan uji DNA HPV dalam 1 atau 2 kunjungan klinis merupakan alternatif yang lebih hemat
biaya dibandingkan dengan 3 skrening berbasis sitologi yang berkaitan di daerah miskin sumber
daya di India, Kenya, Peru, Afrika Selatan, dan Thailand. Studi skrening New Technologies for
Cervical Cancer (NTCC) menye alenggarakan percobaan acak terkontrol yang membandingkan
sitologi berbahan cairan dengan DNA HPV dalam tahap pertama dan uji DNA HPV sendiri
dalam tahap kedua. Kesimpulan studi itu adalah melakukan uji DNA HPV dan menggunakan
sitologi sebagai triase hanya untuk pasien dengan uji HPV (+) dan dengan HSIL (CIN 2/3) dalam
sitologi untuk kolposkopi dan persiapan lanjutan. Denny dkk. melaporkan studinya di Cape
Town, Afsel, bahwa uji DNA HPV dan inspeksi visual langsung serviks dengan 5% asam asetat
(yakni VIA) dan servikografi mengidentifikasi jumlah HSIL yang serupa dan karsinoma invasive
sebagai Pap smear, namun hasil positif palsu dengan uji DNA HPV dan IVA lebih tinggi
daripada Pap smear.
J. Keadaan Terkini Uji HPV di AS
Pada tahun 2006, ASCCP merevisi panduan penanganan untuk menangani wanita dengan
hasil skrening kanker serviks yang abnormal berdasarkan pemahaman terkini biologi HPV dan
pada studi besar yang membandingkan efikasi uji HPV untuk refleks, sebagai ko-tes primer
dengan Pap smear, dan untuk tindak lanjut pasien setelah pengobatan lesi pra-kanker yang
bermakna. Panduan konsensus ASCCP merekomendasikan uji HPV untuk triase pasien dengan
ASC-US untuk kolposkopi, sebagai ko-tes untuk skrening primer wanita >30 tahun, dan untuk
memantau dan tindak lanjut pasien yang memiliki kelainan pra-kanker yang bermakna pada
epitel skuamosa (HSIL) maupun epitel kelenjar endoserviks (sel glandular atipikal menyerupai
neoplasia maupun adenokarsinoma in situ).
Rekomendasi dibuat untuk populasi khusus seperti remaja dengan prevalensi tinggi
infeksi dan bersihan HPV transien. Dalam populasi ini, bagi remaja puteri dengan ASC-US dan
LSIL, uji HPV tidak disarankan, namun Pap smear tindak lanjut dalam 12 bulan disarankan, dan
jika menunjukkan HSIL (CIN 2/3) maka ditindaklanjuti dengan kolposkopi. Pendekatan
konservatif ini disarankan untuk meminimalisasi prosedur ablasi agresif seperti prosedur eksisi
bedah listrik kumparan atau konisasi lesi yang mungkin mengalami regresi dan mencegah
komplikasi serviks inkompeten dalam wanita kelompok usia ini dalam masa reproduktifnya.
Rekomendasi dengan jelas diuraikan untuk populasi khusus, seperti wanita yang hamil, pasca-
menopause, maupun imunosupresi dengan diagnosis sitologis LSIL atau HSIL. Lebih banyak
kepentingan ditempatkan pada pendekatan “skrening dan tangani” segera untuk wanita dengan
HSIL. Juga direkomendasikan uji HPV untuk menangani wanita dengan sel kelenjar atipik
setelah evaluasi kolposkopi dan sampling endometrium. Ko-pengujian HPV dengan Pap smear
sebagai metode skrening primer untuk wanita >30 tahun diizinkan oleh FDA pada tahun 2003
dan panduan sementara ASCCP pada tahun 2004 secara resmi diadopsi dengan panduan
penanganan yang jelas jika salah satu tes positif tersedia. Itu menekankan bahwa jika DNA HPV
dan Pap smear normal, skrening berulang baru perlu dilakukan setelah 3 tahun.
K. Vaksin HPV dan Efeknya pada Kanker Serviks
Penelitian dalam biologi HPV dan peran tipe 16 dan 18 yang berisiko tinggi, menjadi
penyebab sekitar 70% karsinoma serviks di seluruh dunia, dan peran risiko onkogen rendah tipe
6 dan 11, menjadi penyebab kutil yang banyak tumbuh di anogenital, yang akhirnya
menimbulkan pengembangan 2 vaksin profilaktik yang disetujui FDA berdasarkan pada partikel
seperti virus terhadap protein kapsid L1: (a) vaksin HPV kuadrivalen (HPV 4; Gardasil, Merck,
Whitehouse Station, New Jersey) yang sasarannya tipe onkogenik 16 dan 18 serta tipe HPV 6
dan 11 yang utamanya bertanggung jawab untuk kutil anogenital dan (b) vaksin penyerta AS04
HPV 16/18 (Cervarix, GlaxoSmithKline Biologicals, Rixensart, Belgium), sebuah vaksin bivalen
yang sasarannya tipe HPV 16 dan 18 hanya dengan perlindungan silang sebagian terhadap tipe
HPV 31 dan 45. Kedua vaksin tersebut Nampak relatif aman, imunogenik, dan amat efektif
melawan infeksi yang spesifik tipe, khususnya bila diberian pada gadis muda sebelum awitan
aktivitas seksual. Gardasil dan Cervarix untuk perempuan berusia 11-12 tahun, namun bisa juga
diberikan pada usia semuda 9 tahun. Gardasil juga diizinkan sebagai prasyarat vaksinasi susulan
untuk gadis dan wanita usia 13-26 tahun yang tidak menerima semua dari 3 dosis vaksin yang
diberikan pada hari 1, bulan 2, dan bulan 6. Pada tahun 2009, FDA melisensikan Gardasil untuk
penggunaan pada pria berusia 9-26 tahun untuk pencegahan kutil anogenital. Koutsky dari
Females United to Unilaterally Reduce Endo/Ectocervical Disease (FUTURE) II Study Group
mengadakan percobaan random dan double-blind 1:1 dari 12.167 wanita usia antara 15-26 tahun
di mana wanita dalam kelompok vaksin menerima 3 dosis vaksin kuadrivalen Gardasil. Titik
akhir gabungan primernya adalah CIN 2/3, adenokarsinoma in situ, atau kanker serviks yang
berhubungan dengan HPV 16 atau HPV 18. Semua subyek dipantau selama 3 tahun untuk
menentukan efikasi vaksin. Saat diberikan pada subyek yang tidak terpajan baik kepada HPV 16
maupun HPV 18, vaksin tersebut sangat efektif (98%) dalam mencegah CIN 2/3 terkait HPV 16
atau HPV 18, adenokarsinoma in situ, ataupun kanker serviks. Efikasi vaksin jatuh 44% untuk
populasi wanita yang mengalami randomisasi, yang termasuk wanita dengan HPV 16 maupun
HPV 18 CIN 2/3 atau infeksi dengan HPV 16 dan HPV 18 sebelum injeksi pertama. Banyak
kritik yang merasa bahwa study FUTURE II tidak cukup berlangsung lama untuk membuktikan
efikasi vaksin dan menyatakan bahwa dalam tindak lanjut 3 tahun, sulit mencapai signifikansi
statistik dalam proses penyakit yang memakan waktu 10 tahun untuk berkembang. Dalam
randomisasi terkini, percobaan double-blind yang melibatkan populasi per-protokol, Manalastas
dkk. melaporkan efikasi terhadap penyakit atau infeksi terkait dengan HPV tipe 6, 11, 16, dan 18
adalah 90,5% dan 83,1% untuk penyakit maupun infeksi yang berhubungan dengan HPV 16 dan
HPV 18 sendiri. GlaxoSmithKline Vaccine HPV-007 Study Group dan sejawatnya melaporkan
bahwa efikasi terus-menerus dan imunogenisitas vaksin HPV-16,18 yang dibantu AS04 atau
Cervarix dengan percobaan berkontrol plasebo acak yang melibatkan 27 tempat di 3 negara
mencapai 6,4 tahun. Schwartz melaporkan bahwa Cervarix terus menunjukkan tingginya kadar
antibodi total dan netralisasi melawan HPV 16 dan HPV 18, sekitar 7,3 tahun setelah vaksinasi.
Keamanan dan imunogenisitas Gardasil dan Cervarix kini telah dibandingkan dengan kelompok
studi lainnya. Studi tersebut dilaksanakan untuk mendapatkan data yang dapat mendukung
aplikasi untuk pendekatan regulasi untuk vaksinasi tiap orang yang berada di luar kisaran data
efikasi bisa diperoleh. Dalam 2 studi tersebut, Gardasil nampak aman dan imunogenik pada
lelaki dan gadis remaja dengan peningkatan antibody spesifik VLP (partikel serupa virus) hingga
2 kali lipat daripada respon pada wanita muda. Kedua vaksin tersebut telah dievaluasi untuk
keamanan dan imunogenisitas dalam percobaan wanita “yang lebih tua” (usia 24-45 tahun untuk
Gardasil dan usia 26-55 tahun untuk Cervarix) dan hasil yang diperoleh dalam konferensi ilmiah.
Mereka menegaskan bahwa vaksin tersebut aman pada wanita yang lebih tua dan laju
serokonversi tinggi tanpa memandang usia. Cervarix kini diizinkan di Australia untuk gadis dari
usia 10 tahun hingga wanita lewat usia 45 tahun. Slade dkk. meringkas laporan itu untuk Vaccine
Adverse Event Reporting System dan melaporkan bahwa sebagian besar efek samping setelah
imunisasi dengan Gardasil tidaklah lebih besar daripada laju latar yang dilaporkan untuk vaksin
lain, dengan pingsan dan kejadian tromboemboli vena adalah yang paling umum. Efek kecil
lainnya adalah nyeri atau kesakitan di daerah vaksinasi, demam, nyeri kepala, dan telah
dilaporkan sindrom Guillain-Barré yang jarang muncul.
Goldfarber-Fiebert dkk. melaporkan bahwa vaksinasi gadis sebelum usia 12 tahun akan
mungkin efektif secara biaya dalam skrening kanker serviks menggunakan model empiris untuk
menilai tahun kehidupan sesuai kualitas, biaya hidup, dan efektivitas biaya tambahan krening
serviks, vaksinasi gadis tanggung, dan vaksinasi yang digabungkan dengan skrening. Inisiasi
skrening serviks dalam model ini adalah 25 tahun untuk wanita yang tidak divaksin dan 25 tahun
untuk wanita yang divaksin, dan interval skrening adalah 3 tahun untuk kelompok yang tidak
divaksin dan 5 tahun untuk yang divaksin. Untuk wanita yang tak divaksin, skrening dengan
sitologi serviks dengan triase HPV antara usia 21 dan 25 tahun serta uji DNA HPV primer
dengan triase sitologi atau ko-pengujian HPV dan sitologi untuk wanita berusia 30 tahun ke atas
diketahui lebih efektif biaya. Untuk kelompok gadis yang divaksinasi dari usia 12 tahun,
skrening dengan sitologi serviks dengan triase HPV setiap 5 yang dimulai dari usia 25 dan
beralih ke pengujian DNA HPV primer dengan triase sitologi pada usia 35 tahun diketahui lebih
efektif biaya untuk mempertahankan ambang yang sama seperti kelompok yang tidak divaksin.
Meskipun disetujui bahwa vaksin HPV dapat menawarkan kemajuan besar dalam pencegahan
kanker serviks, terlalu banyak masalah tak terpecahkan seperti usia yang direkomendasikan
untuk vaksinasi, biaya, efek samping yang mungkin terjadi, lamanya periode imunitas yang
diberikan oleh vaksin, kemungkinan perlunya booster, dan sebagainya. Namun, di Negara
berkembang tanpa program skrening yang berhasil, vaksinasi dapat memainkan peran besar
dalam mengurangi kesakitan dan kematian yang dikaitkan dengan keadaan pra-kanker dan
kanker. Mungkin juga lebih efektif biaya ketika vaksinasi digunakan sebagai strategi pencegahan
sebagaimana yang dilaporkan dalam model prediktif dari Meksiko dan negara lain. Banyak
vaksin terapi yang berada dalam berbagai tahap percobaan klinis dan tak satupun yang diizinkan
oleh FDA. Vaksin tersebut memberikan harapan karena ditujukan untuk mempromosikan
antibody melawan onkoprotein E6 dan E7, yang diekspresikan dalam pra-kanker dan kanker
terkait HPV serta memainkan peran penting dalam induksi, pemeliharaan, transformasi selular,
dan progresi penyakit terkait HPV.
L. Masa Depan Skrening Kanker Serviks di AS
National Health Interview Survey memperkirakan bahwa ada sekitar 66 juta uji skrening
serviks Papanikoláou yang dilakukan di AS pada tahun 2000 dan 65 juta pada tahun 2005.
Eltoum dan Roberson melaporkan bahwa dengan kemajuan ko-pengujian HPV primer dengan
Pap smear untuk wanita usia 30 tahun ke atas, frekuensi skrening yang berkurang hingga 3 tahun
jika uji DNA HPV dan Pap smear sama-sama negatif, lainnya menyarankan penggunaan uji HPV
oleh ASCCP, dampak vaksin HPV, dan perubahan demografi, volume uji Pap akan berkurang
setiap tahun hingga 43%. Namun, sebuah perkiraan tingkat reduksi uji Pap yang akurat,
perubahan dalam peranannya dari skrening hingga triase untuk uji DNA HPV sebagaimana yang
diusulkan dalam beberapa studi, dan tingkatan adopsi vaksinasi HPV dan dampaknya
menyediakan scenario dinamis untuk skrening kanker serviks di masa depan.