HPKI tugas

32
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam Makalah Perkawinan di Bawah Umur Oleh : Muhammad Iqbal Fadillah

description

j

Transcript of HPKI tugas

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam

Makalah

Perkawinan di Bawah Umur

Oleh :

Muhammad Iqbal Fadillah

13/351920/HK/19721

Yogyakarta

2015

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diingnkannya. Pembentukan keluarga yang bahagia dan kekal itu, haruslan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan ,aupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan daru hasil perkawinan yang sah manghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.

Perkawinan adalah kontrak social dan kontrak Ketuhanan. Di dalamnya merupakan penyatuan dua pribadi yang saling mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri, hubungan yang menyebabkan seorang laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam satu keluarga. Kehadiran perkawinan dalam kehidupan manusia senantiasa menjadi impian dan cita-cita, karena sejatinya manusia diciptakan oleh yang Maha Kuasa untuk berpasang-pasangan.

Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabla Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan, sesuai kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kepada Allah sebagai Al-Khaliq (Tuhan Maha Pencipta) dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupa jenisnya. Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab-kabul dalam akad nikah yang dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah). Hak dan kewajiban suami istri timbal balik diatur dalam suatu perehelatan (walimah). Hak dan kewajiban antara irang tua dan anak-anaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami dan istri, diatur pula bagaimana cara mengatasinya. Dituntunkan pula adat sopan santun pergaulan dalam keluarga dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup terpelihara dan terjamin.Pengaturan mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang merupakan salah satu persoalan dalam kehidupan manusia terdapat dalam Undang-undang. Peraturan itu banyak diterapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari kriteria, proses perkawinan, larangan dan kewajiban dalam perkawinan. Begitu pula dengan institusi pemerintahan juga mengambil intervensi dalam pengaturan perkawinan seseorang, walaupun sebenarnya nikah adalah hak setiap individu.

Pernikahan merupakan suatu hal yang sakral serta menjadi dambaan dan hampir setiap orang yang berkeinginan untuk membentk sebuah rumah tangga dan keluarga yang bahagia dengan orang yang dicintainya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukanlah bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup, tidak semua orang bisa memahami hakekat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati dalam berumah tangga. Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah penting atau dapat dikatakan sangat penting. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga suami istri. Tujuan dari perkawinan adalah memperoleh keturunan yang baik. Perkawinan pada usia yang terlalu muda mustahil akan memperoleh keturunan yang berkualitas. Kedewasaan ibu mempunyai pengaruh kepada perkembangan anak, karena ibu yang telah dewasa secara psikologis akan lebih terkendali emosi maupun tindakannya, bila dibandingkan dengan para ibu muda. Selain mempengaruhi aspek fisik, umur ibu juga mempengaruhi aspek psikologi anak, ibu usia remaja sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu dalam arti keterampilan mengasuh anaknya. Ibu muda lebih menonjolkan sifat keremajaannya daripada sifat keibuannya.Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah penting atau dapat dikatakan sangat penting. Hal ini disebabkan karena didalam perkawinan menghendaki kematangan prikologis. Usia perkawinan yang terlalu mida dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggungjawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri.

Perkawinan pada usia muda yang sangat menarik untuk dikaji karena pada usia muda masih banyak hal yang belum tentu mereka pahami mengenai pola kehidupan berumah tangga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Ketuhaan Yang Maha Esa, dan mengingat peraturan mengenai usia perkawinan yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi laki-laki tidak sinkron dengan praktek di lapangan yaitu mereka melakukan perkawinan pada rata-rata usia 14 tahun sampai 18 tahun. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam memahami tujian dari perkawinan yang ada pada Undang-undang perkawinan di Indonesia khisisnya Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan hukum positif di Indonesia ?

2. Bagaimana pandangan Islam terhadap perkawinan anak di bawah umur ?

3. Bagaimana cara untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur ?BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Ekstensi institusi ini adalah melealkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dengan seorang wanita. Menurut Scholten perkawinan adalah suatu persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita yang diakui oleh Negara untuk bersama yang kekal.

Perkawinan menurut KUHPer adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Perkawinan menurut hukum adat suatu perkawinaan merupakan urusan masyarakat pribadi satu sama lain dalam hubungan yang berbeda-beda atau merupakan salah satu cara untuk menjalankan upacara-upacara yang banyak corak ragamnya menurut tradisi masing-masing.

Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Perkawinan memiliki dua aspek :

1. Aspek formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat ikatan lahir batin artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak juga mempunyai ikatan bau=in yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin merupakan inti dari perkawinan.

2. Aspek sosial keagamaan, dengan disebutkan membentuk keluarga dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya perkawinan mempuyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.Bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua pihak yang berakad dan akibaynya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Suatu perikatan perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut ajaran agama masing-masing, yang mana dalam Islam sahnya perkawinan apabila telah memenuhi syarat dan rukun. Apabila definisi tersebut ditelaah terdapat lima unsur perkawinan yaitu :

1. Ikatan lahir batin

2. Antara seorang pria dan seorang wanita

3. Sebagai suami istri

4. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha EsaMenurut Hukum Islam perkawinan adalah akad atau persetujuan antara calon suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qabul atau serah terima. Akad nikah tersebut dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia menciptakan rumah-tangga yang harmonis, akan hidup semati dalam menjalani rumah-tangga bersama-sama

Menurut Wiryono, perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (wiryono 1978:15). Subekti mengartikan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Menurut Jumali perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang wanita dengan seorang pria, hidup bersama dalam rumah tangga melanjutkan menurut ketentuaan hukum syariat islam

Kompilasi Hukum Islam yang secara spesifik meletakkan perkawinan sebagai salah satu ibadah muamalah. Ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :

Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Hukum perdata barat melalui ketentuan dalam Pasal 26 KUHPerdata menganggap perkawinan hanya sebagai perjanjian lahiriah/keperdataan belaka sama seperti perjanjian keperdataan lainnya, yang tidak mengandung nilai atau ikatan batiniah atau rohaniah atau agama. Dalam pasal 26 KUHPerdata dinyatakan: Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata

Pasal 26 KUHPerdata, perkawinan hanya sah dan dianggap mempunyai kekuatan hukum bila dibuktikan dengan adanya suatu akta perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Pencatatan Sipil. Dalam prespektif hukum perdata barat, perkawinan hanya dipandang sebagai hubungan kepardatan belaka. Perkawinan selain mempunyai nilai lahiriah atau keperdataan juga mempunyai nilai batiniah atau rohaniah atau agama dan ini merupakan unsur yang penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan dapat hubungan dengan keturunan, sehingga UUP dikatakan bahwa perkawinan itu bukan saja ikatan lahir belaka atau ikatan batin belaka, melainkan sekaligus ikatan lahir batin kedua-duanya, yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita.

Dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia III Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan usia pernikahan, baik batasan usia minimal maupun maksimal. Walaupun demikian, hikmah tasyri dalam pernikahan adalah menciptakan keluarga sakinah, serta dalam rangka memperoleh keturunan dan hal ini bisa tercapai pada usia dimana calon mempelai telah semupurna akal pikirannya serta siap melakukan proses reproduksi. Berdasarkan hal tersebut, Komisi Fatwa menetapkan beberapa ketentuan hukum. Pertama, Islam pada dasarnya tidak memberikan batasan usia minimal pernikahan secara definitive. Usia kelayakan pernikahan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak sebagai ketentuan sinn al-rusyd. Kedua, pernikahan usia di bawah umur hukumnya sah sepanjang telah terpenuhinya syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika mengakibatkan mudharat. Kedewasaan usia merupakan salah satu indicator bagi tercapainya tujuan perkawinan, yaitu kemaslahatan hidup berumahtangga dan bermasyarakat serta jaminan keamanan bagi kehamilan. Ketiga, guna merealisasikan kemaslahatan, ketentuan perkawinan dikembalikan pada standarisasi usia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 sebagai pedoman.Dalil yang menjadi dasar penetapan ketentuan hukum adalah :

a. Al-Quran, QS An.Nisa (4) : 6

b. QS At-Thalaq (65) : 4

c. QS An-Nur (24) : 32

d. Hadist Muttafaq Alaih dari Aisyah

e. Hadist Bukhari dan Muslim dari Al-Qamah

f. Kaidah fiqi dalah Qawaid al-Ahkam fi Mashalh al-Anam, karya Izzudin Abd al-Salam jilid I hal.51

g. Pandangan Ibn Jumhur Fuqaha yang membolehkan perkawinan usia di bawah umurpandangan Ibn Syubrumah dan Abu Bakr Al-Asham, sebagaimana disebutkan dalam fath al-Bari juz 9 hslsmsn 237 yang menyatakan bahwa perkawinan usia di bawah umur hukumnya terlarang, dan menyatakan bahwa praktik nkah Nabi dan Aisyah adalah kekhususan

h. Pendapat Ibn Hazm yang memilah antara perkawinan anak lelaki kecil dengan anak perempuan kecil. Perkawinan anak perempuan yang masih kecil oleh bapaknya dibolehkan, sedangkan perkawinan anak lelaki kecil dilarang.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Bagaimana hukum perkawinan di bawah umur berdasarkan hukum positif di Indonesia ?Hukum perkawinan di bawah umur jika dilihat dari pandangan hukum positif Indonesia, dapat dilihat berdasarkan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Jika dilihat dari Undang-undang Perkawinan, Undang-undang ini merumuskan prinsip berupa calon suami dan istri harus siap jiwa dan raganya agar dapat melakukan perkawinan supaya dapat mewujudkan tujuan dari dilakukannya sebuah perkawinan tersebut dengan baik dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Undang-undang Perkawinan juga menjelaskan syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh calon mempelai, yaitu pada Pasal 6. Pada ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai, selanjutnya pada ayat 2 dikatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua, Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 menjelaskan mengenai batas minimal seorang pria dan wanita dapat melaksanakan perkawinan, yaitu pihak pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita mencapai umur 16 tahun.

Sedangkan menurut Negara pembatasan umur minimal kawin bagi warga Negara pada prinsipnya dimaksudkan agar orang yang akan menikah diharapkan sudah memiliki kematangan berfikir, jiwa, dan fisik, serta faktor ekonomi seorang pria yang akan menikah harus menghidupi keluarganya nanti. Keuntungan lain yang diperoleh adalah kemungkinan keretakan rumah tangga yang berakhir dengan perceraian dapat dihindari, karena pasangan tersebut memiliki kesadaran dan pengertian yang lebih mengenai tujuan perkawinan yang harus terpenuhinya kebahagiaan lahir dan batin pasangan tersebut.Sedangkan jika dilihat dari Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, terdapat hal-hal yang terkait dengan perkawinan di bawah umur, yaitu pada Pasal 26 ayat (1) butir c Undang-undang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa Orang Tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadnya perkawinan di usia anak-anak, dan mengenai usia seorang anak itu telah disebutkan di dalam Pasal 1 yaitu definisi dari anak, anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal yang sering melatarbelakangi perkawinan di bawah umur adalah karena pasangan tersebut melakukan perzinahan dan sebagai pertanggungjawabannya adalah dengan menikah, dan juga karena faktor ekonomi dengan kata lain kemiskinan. Banyak orang tua dari keluarga miskin beranggapan bahwa dengan menikahnya anak dari mereka, hal tersebut akan mengurangi beban ekonomi keluarga dan dapat membantu beban ekonomi keluarga, tanpa memperhatikan dampak positif maupun negatifnya.

Hal tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan atas ekonomi dengan beranggapan anak adalah sebuah asset keluarga dan bukan sebuah amanat dari Tuhan yang diberikan hak atas dirinya. Berdasarkan hal tersebut, Negara harus melakukan perlindungan terhadap anak secara komperhensif, yaitu dengan memberikan pemahaman kepada keluarga dan masyarakat tentang hak dari seorang anak yang melekat pada diri mereka, memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sejak anak-anak, mendorong keluarga dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang ramah, dan adanya kebijakan Negara yang lebih untuk melindungi hak anak terutama dalam peraturan tentang pernikahan di bawah umur. Undang-undang Perlindungan Anak dibuat berdasarkan 4 asas, yaitu :

a. Non-Diskriminasi

b. Kepentingan terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan

d. Penghargaan terhadap anak

Pada Undang-undang Perlindungan Anak disebutkan juga mengenai hak dan kewajiban dari seorang anak, yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk berfikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi dan berkreasi, serta hak untuk mendapatkan perlindungan.Dalam hal mendapatkan pendidikan, jika anak di bawah umur tersebut menikah, maka secara otomatis pendidikan yang sedang dan akan dijalaninya akan hancur karena harus mengurusi keluarganya. Padahal pendidikan merupakan hal yang sangat penting agar seorang anak dapat mencapai cita-citanya. Dalam hal berfikir dan berekspresi, tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtuanya. Dengan pernikahan di bawah umur, tentunya anak sudah tidak lagi bisa mengekspresikan diri dan berfikir sesuai dengan usianya karena dituntut melaksanakan kewajiban sebagai orang tua. Dalam hal menyatakan pendapat dan didengar, nyatanya orang dewasa memandangan anak belum dapat menentukan keputusan sendiri, yang akhirnya orang dewasa yang mengambil keputusan karena belum dapat mempercayakannya kepada seorang anak. Padahal motif pernikahan anak dibawah umur berdasarkan kepentingan orang tua, contohnya dalam faktor ekonomi. Dalam hal waktu yang dimiliki anak anak, pasangan di bawah umur yang menikah sulit untuk memanfaatkan waktu untuk bermain, bergaul, berekspresi dengan temannya. Dan dalam hal mendapatkan perlindungan, hak perlindungan ini telah sejalan dengan Pasal 2 ayat (3)(4) Undang-undang Kesejahteraan Anak, yang menyebutkan bahwa anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesuda dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Anak seharusnya diberi perlindungan terhadap hal yang membawa dampak negative bagi kehidupan kedepannya, baik dalam hal fisik maupun psikis. Dengan terjadinya perkawinan di bawah umur, perlindungan orang tua akan berkurang. Anak-anak seharusnya dihindari dari perkawinan di bawah umur, yang memiliki dampak pada perkembangannya. Undang-undang Perlindungan Anak telah membuat ancaman pidana bagi para pelanggarnya dan itu dalam hal perkawinan di bawah umur yang tertera di dalam Pasal 82 Undang undang Perlindungan Anak yang menyatakan bawha barang siapa melakukan bujukrayu, tipumuslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, maka dapat dijerat pidana pernjara 3-15 tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 dan paling sedikit Rp 60.000.000,00.3.2 Bagaimana pandangan Islam terhadap perkawinan anak di bawah umur ? Menurut ilmu fiqih, pengertian perkawinan adalah ikatan untuk menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan merupakan muhrim.

Perkawinan yang merupakan perbuatan mulia tersebut pada prinsipnya dimaksudkan untuk menjalin ikatan lahir dan batin yang sifatnya abadi dan tidak hanya dalam jangka sementara waktu, yang juga kemudian diputuskan lagi. Atas dasar sifat ikatan perkawinan tersebut, maka dimungkinkan dapat didirikan rumah tangga yang damai dan teratur serta memperoleh keturunan yang baik dalam masyarakat.

Selanjutnya sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Buku I tentang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah dirumuskan perngertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miltsaaqon gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sementara itu Pasal 3 juga diatur bahwa tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Dalam Al-Quran ada dua kata kunci yang menunjukkan konsep pernikahan, yaitu zawwajai dan kata derivasinya berjumlah lebih kurang dalam 20 ayat ayat dan nakaha dan kata derivasinya sebanyak lebih kurang dalam 17 ayat (Al-Baqi 1987: 332-333 dan 718). Yang dimaksud dengan nikah dalam konteks pembicaraan ini adalah ikatan (aqad) perkawinan.

Perkawinan adalah suatu akad yang sangat kuat untuk menaati perintah dari Allah SWT dan melaksanakannya merupakan suatu ibadah. Yang bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. dan hukumnya dapat berubah sesuai dengan berubahnya illah, dengan kata lain dapat sunah, makruh, haram, dan wajib.

Sebagaimana terlihat dalam Hadist sedangkan aku menikah, maka barangsiapa tidak suka sunnah (petunjukku), maka bukan dari golonganku. Perintah dan anjuran melakukan perkawinan, tidak memberikan batasan umur, namum ditekanka perlunya kedewasaan seseirang untuk melaksanakan suatu perkawinan agar mencegah kemudharatan. Sehingga kedewasaan secara psikologis dan biologis secara implicit dianjurkan melalui beberapa Hadist dan yang tertera dalam ayat Al-Quran. Namun, muncul kontrovensi menyangkut batasan kedewasaan seseorang terkait boleh menikah atau tidak, yang berimplikasi terhadap tidak ada keberatan atas pernikahan di bawah umur dari pandangan Islam.Istilah dan batasan nikah di bawah umur dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah dibawah umur, pada umumnya dapat diartikan sebagai orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum haid/menstruasi bagi perempuan.Syarat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap dalam berbagai hal, yaitu siap mental, fisik, psikis, ekonomi, dewasa dan paham arti penting dari sebuah perkawinan, yang mana perkawinan itu merupakan ibadah. Tidak ditetapkan usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan/atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.

Dalam fiqih juga ada yang disebut dengan kesetaraan, yang mana dengan kata lain Islam mengakui adanya perbedaan kasta dalam masyarakat.kesetaraan disini bukanlah suatu keharusan dan bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkaiwnan, namun pertimbangannya hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dami lancarnya bahtera rumah tangga. Diantaranya kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin beribadah, tidak dianjurkan bahkan tidak boleh untuk dinikahkan dengan perempuan yang rusak agamanya. Sedangkan kesetaraan dalam hal keturunan, ras, kaya-miskin bukan menjadi masalah, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin kaya seseorang. Miskin bukanlah cela dalam pandangan agamam yang cela hanya kekayaan yang didapat dari usaha illegal dan kemiskinan akibat kemalasan.

Terkait dengan perkawinan di bawah umur, sudah pernah terjadi pada masa Rasul dan Aisyah, beberapa orang ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan karena Nabi tidak pernah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan perkawinan di bawah umur. Akad perkawinan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang berusia 10 tahun tidak dapat dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan, yaitu :

a. Perkawinan itu merupakan perintah Allah SWT sebagaimana sabda Rasul, Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu.

b. Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam

c. Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah.

d. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; e. Masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.3.3 Bagaimana cara untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur ?

Perkawinan anak di bawah umur merupakan suatu fenomena sosial yang sering terjadi khususnya di Indonesia. Dalih utama yang digunakan untuk memuluskan jalan melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur adalah mengikuti sunnah Nabi SAW. Namun, dalih seperti ini bisa jadi bermasalah karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahihan informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan 'Aisyah r.a. . Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka yang berkaitan dengan pernikahan anak di bawah umur.

Pemerintah harus berkomitmen serius dalam menegakkan hukum yang berlaku terkait pernikahan anak di bawah umur sehingga pihak-pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah umur berpikir dua kali terlebih dahulu sebelum melakukannya. Selain itu, pemerintah harus semakin giat mensosialisasikan UU terkait pernikahan anak di bawah umur beserta sanksi-sanksinya bila melakukan pelanggaran dan menjelaskan resiko-resiko terburuk yang bisa terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat, diharapkan dengan upaya tersebut, masyarakat tahu dan sadar bahwa pernikahan anak di bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari. Upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam pencegahan pernikahan anak di bawah umur yang ada di sekitar mereka. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan jurus terampuh sementara ini untuk mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur sehingga kedepannya diharapkan tidak akan ada lagi anak yang menjadi korban akibat pernikahan tersebut dan anak-anak Indonesia bisa lebih optimis dalam menatap masa depannya kelak.

Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak. Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Perkawinan pada dasarnya merupakan fitrah yang diberukan oleh Allah SWT, dan juga oada setiap agama dianjurkan untuk meneruskan keturunan dalam kelangsungan hidup manusia. Namun walaupun bagaimana pernikahan yang dilakukan pada usia muda memiliki banyak hal yang dikhawatirkan pada usia muda tersebut yang bisa menimbulkan perceraian dakam pernikahan tersebut, akan bisa terjadi hal buruk pada wanita di bawah umur secara biologis belum dewasa dan juga terputusnya peluang untuk mencapai segala yang dicita-citakan4.2 Saran

Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, mungkin saja kecantikan itu membuatmu hina. Jangan kamu menikahi wanita karena harta/tahtanya mungkin saja harta/tahtanya membuatmu melampaui batas. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaeh, meskipun buruk wajahnya adalah lebih utama (HR. Ibnu Majah)

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm.57 Arif Gosita,Masalah Perlindungan Anak,(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1987), hlm.17. Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1993), Hlm. 355 Mahmuda Junus,Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : SayfiI, Hanafi, Maliki dan Hambali.(Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1989). Hlm.110. Abdurrahman ,Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1995), Hlm. 114. Al Garib al- Asfihani .Tanpa Tahun.Mufradat al Faz al-Quran. TTP : Dar al Katibal-Arabi

Soedharyo Soimin, SH, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, Hlm.220 Drs. M. Thahir Hi. Salim, MH, Bahan Ajar Hukum Perdata, 2009

http://sosiologihuku.blogspot.com http://www.kikil.org Kitab Undang-undang Hukum Perdata Rachmadi Usman, 2006 : 268

Riduan Syahrani, Tahun 2006, hal.61

Titik Triwulan Tutik, Tahun 2006, hal.110

Thoha Nasrudin, 1976 : hlm 10

Rachmadi Usman, Tahun 2006, hlm 168

Rachmadi Usman, Tahun 2006, hlm 269

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1995), hlm.57

Arif Gosita,Masalah Perlindungan Anak,(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1987), hlm.17.

Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam, (Jakarta : Attahiriyah, 1993), Hlm. 355

Mahmuda Junus,Hukum Perkawinan Islam Menurut Mazhad : SayfiI, Hanafi, Maliki dan Hambali.(Jakarta : Pustaka Mahmudiyah, 1989). Hlm.110.

Abdurrahman ,Kompilasi Hukum Di Indonesia, (Jakarta : Akademika Presindo, 1995), Hlm. 114.

Al Garib al- Asfihani .Tanpa Tahun.Mufradat al Faz al-Quran. TTP : Dar al Katibal-Arabi, Hlm.220