Hipertensi berdasarkan etiologi

43
Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 : A. Hipertensi Primer atau Esensial Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui etiologinya/penyebabnya (Shankie, 2001). Paling sedikit 90% dari semua penyakit hipertensi dinamakan hipertensi primer (Saseen dan Carter, 2005). Patofisiologi hipertensi primer Beberapa teori patogénesis hipertensi primer meliputi : - Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik - Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA - Retensi Na dan air oleh ginjal - Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada ginjal dan pembuluh darah - Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel (Huether dan McCance, 2004). Sebab-sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum diketahui. Namun sebagian besar disebabkan oleh ketidaknormalan tertentu pada arteri. Yakni mereka memiliki resistensi yang semakin tinggi (kekakuan atau kekurangan elastisitas) pada arteri- arteri yang kecil yang paling jauh dari jantung (arteri periferal atau arterioles), hal ini seringkali berkaitan dengan faktor- faktor genetik, obesitas, kurang olahraga, asupan garam berlebih, bertambahnya usia, dll (Gardner, 2007). Secara umum faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Factor Genetika (Riwayat keluarga) Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam suatu keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua yang tekanan darahnya normal (Kumar dan Clark, 2004). 2) Ras Orang-orang afro yang hidup di masyarakat barat mengalami hipertensi secara merata yang lebih tinggi daripada orang berkulit putih. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka mengolah garam secara berbeda 3) Usia

Transcript of Hipertensi berdasarkan etiologi

Page 1: Hipertensi berdasarkan etiologi

Hipertensi berdasarkan etiologi / penyebabnya dibagi menjadi 2 : A. Hipertensi Primer atau Esensial

Hipertensi primer atau yang disebut juga hipertensi esensial atau idiopatik adalah hipertensi yang tidak diketahui etiologinya/penyebabnya (Shankie, 2001). Paling sedikit 90% dari semua penyakit hipertensi dinamakan hipertensi primer (Saseen dan Carter, 2005).

Patofisiologi hipertensi primer Beberapa teori patogénesis hipertensi primer meliputi :

- Aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf simpatik - Aktivitas yang berlebihan dari sistem RAA - Retensi Na dan air oleh ginjal - Inhibisi hormonal pada transport Na dan K melewati dinding sel pada ginjal dan pembuluh

darah - Interaksi kompleks yang melibatkan resistensi insulin dan fungsi endotel

(Huether dan McCance, 2004). Sebab-sebab yang mendasari hipertensi esensial masih belum diketahui. Namun sebagian

besar disebabkan oleh ketidaknormalan tertentu pada arteri. Yakni mereka memiliki resistensi yang semakin tinggi (kekakuan atau kekurangan elastisitas) pada arteri-arteri yang kecil yang paling jauh dari jantung (arteri periferal atau arterioles), hal ini seringkali berkaitan dengan faktor-faktor genetik, obesitas, kurang olahraga, asupan garam berlebih, bertambahnya usia, dll (Gardner, 2007). Secara umum faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Factor Genetika (Riwayat keluarga)

Hipertensi merupakan suatu kondisi yang bersifat menurun dalam suatu keluarga. Anak dengan orang tua hipertensi memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada anak dengan orang tua yang tekanan darahnya normal (Kumar dan Clark, 2004).

2) Ras Orang-orang afro yang hidup di masyarakat barat mengalami hipertensi secara merata yang

lebih tinggi daripada orang berkulit putih. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tubuh mereka mengolah garam secara berbeda

3) Usia

Hipertensi lebih umum terjadi berkaitan dengan usia, Khususnya pada masyarakat yang banyak mengkonsumsi garam. Wanita premenopause cenderung

Page 2: Hipertensi berdasarkan etiologi

memiliki tekanan darah yang lebih tinggi daripada pria pada usia yang sama, meskipun perbedaan diantara jenis kelamin kurang tampak setelah usia 50 tahun. Penyebabnya, sebelum menopause, wanita relatif terlindungi dari penyakit jantung oleh hormon estrogen. Kadar estrogen menurun setelah menopause dan wanita mulai menyamai pria dalam hal penyakit jantung (Beevers, 2002). 4) Jenis kelamin

Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi oleh faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat (merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan Sedangkan pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang mempengaruhi faktor psikis kuat (Hariwijaya dan Sutanto, 2007). 5) Stress psikis

Stress meningkatkan aktivitas saraf simpatis, peningkatan ini mempengaruhi meningkatnya tekanan darah secara bertahap. Apabila stress berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Secara fisiologis apabila seseorang stress maka kelenjer pituitary otak akan menstimulus kelenjer endokrin untuk mengahasilkan hormon adrenalin dan hidrokortison ke dalam darah sebagai bagian homeostasis tubuh. Penelitian di AS menemukan enam penyebab utama kematian karena stress adalah PJK, kanker, paru-paru, kecelakan, pengerasan hati dan bunuh diri (Hariwijaya dan Sutanto, 2007).

6) Obesitas Pada orang yang obesitas terjadi peningkatan kerja pada jantung untuk memompa darah

agar dapat menggerakan beban berlebih dari tubuh tersebut. Berat badan yang berlebihan menyebabkan bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi. Bila bobot ekstra dihilangkan, TD dapat turun lebih kurang 0,7/1,5 mmHg setiap kg penurunan berat badan (Tan dan Kirana, 2003).

Mereduksi berat badan hingga 5-10% dari bobot total tubuh dapat menurunkan resiko kardiovaskular secara signifikan (Saseen dan Carter, 2005). 7) Asupan garam Na

Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara statistika, ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang mengkonsumsi terlalu banyak garam terdapat lebih banyak hipertensi daripada orang-orang yang memakan hanya sedikit garam (Tan dan Kirana, 2003). 8) Rokok

Nikotin dalam tembakau adalah penyebab tekanan darah meningkat. Hal ini karena nikotin terserap oleh pembuluh darah yang kecil dalam paru-paru dan disebarkan keseluruh aliran darah. Hanya dibutuhkan waktu 10 detik bagi nikotin untuk sampai ke otak. Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberikan sinyal kepada kelenjer adrenal untuk melepaskan efinephrine (adrenalin). Hormon yang sangat kuat ini menyempitkan pembuluh darah, sehingga memaksa jantung untuk memompa lebih keras dibawah tekanan yang lebih tinggi (Gardner, 2007).

9) Konsumsi alkohol

Alkohol memiliki pengaruh terhadap tekanan darah, dan secara keseluruhan semakin banyak alkohol yang di minum semakin tinggi tekanan darah. Tapi pada orang yang tidak meminum minuman keras memiliki tekanan darah yang agak lebih tinggi daripada yang meminum dengan jumlah yang sedikit (Beevers, 2002). B. Hipertensi Sekunder

Page 3: Hipertensi berdasarkan etiologi

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi sebagai akibat suatu penyakit, kondisi dan kebiasaan. Karena itu umumnya hipertensi ini sudah diketahui penyebabnya (Shankie, 2001). Terdapat 10% orang menderita apa yang dinamakan hipertensi sekunder (Saseen dan Carter, 2005). Umumnya penyebab Hipertensi sekunder dapat disembuhkan dengan pengobatan kuratif, sehingga penderita dapat terhindar dari pengobatan seumur hidup yang seringkali tidak nyaman dan membutuhkan biaya yang mahal (Kumar dan Clark, 2004).

Patofisiologi hipertensi sekunder Hipertensi sekunder disebabkan oleh suatu proses penyakit sistemik yang meningkatkan

tahanan pembuluh darah perifer atau cardiac output, contohnya adalah renal vaskular atau parenchymal disease, adrenocortical tumor, feokromositoma dan obat-obatan. Bila penyebabnya diketahui dan dapat disembuhkan sebelum terjadi perubahan struktural yang menetap, tekanan darah dapat kembali normal (Huether dan McCance, 2004).

Tabel 2.2 Obat-obat yang Dilaporkan dapat Menimbulkan Hipertensi Nama Obat Pil KB Steroid Likoris, Karbenoksalon Logam berat Tembakau (terutama dalam jumlah besar atau dengan kafein) Penghambat MAO ditambah tiramin,

guanadrel, buspiron, atau amantadin Simpatomimetik Antidepressant trisiklik NSAID Alkohol Estrogen terkonjugasi atau dietylbestrol Steroid topikal atau inhaler

terfluorinasi Siklosporin Klorpromazin Eritropoetin Depo-medroksiprogesteron

Prosedur-prosedur diagnosa tambahan mungkin diperlukan untuk mengidentifikasi penyebab hipertensi, khususnya pada penderita yang: (1) Usia, riwayat, ciri fisik, keparahan, atau hasil tes laboratorium memberikan petunjuk tentang penyebab hipertensi. (2) Respon tekanan darah tidak menunjukkan hasil memuaskan pada terapi obat. (3) Tekanan darah meningkat tanpa diketahui penyebabnya meski kontrol darah dilakukan dengan baik, dan (4) Kemunculan hipertensi secara tiba-tiba.

Tabel 2.3 Macam Tes Skrining untuk Identifikasi Penyebab Hipertensi Diagnosa Penyebab Hipertensi

Tes Diagnostik

Penyakit ginjal kronis Estimasi GFR (Glomerular Filtration Rate

Coarctation aorta CT (Computed Tomography) angiography

Cushing ’s Syndrome dan peningkatan glukokortikoid (misalnya pada terapi steroid kronis)

Riwayat penyakit; Dexamethasone supression test

Induksi/terkait obat Riwayat pengobatan; skrining obat Phaeochromocytoma Kandungan metanephrine dan

normetanephrine urin dalam 24 jam Aldosteronisme primer dan peningkatan mineralkortikoid lainnya

Tingkat aldosteron urin dalam 24 jam atau pengukuran spesifik mineralkortikoid lainnya

Hipertensi renovaskular Doppler floe study; magnetic resonance angiography

Page 4: Hipertensi berdasarkan etiologi

Gangguan tidur Sleep study dengan O2 jenuh

Penyakit Tiroid/paratiroid TSH (Thyroid Stimulating Hormone); serum PTH (parathyroid hormone)

2.1.4.3 Krisis Hipertensi Krisis hipertensi didefinisikan sebagai kondisi peningkatan tekanan darah yang disertai kerusakan atau yang mengancam kerusakan terget organ dan memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerusakan atau keparahan target organ (Soemantri dan Nugroho, 2006).

The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7, 2004) membagi krisis hipertensi ini menjadi 2 golongan yaitu : Hipertensi emergensi (darurat) dan Hipertensi urgensi (mendesak). Kedua hipertensi ini ditandai nilai tekanan darah yang tinggi, yaitu ≥180 mmHg/120 mmHg dan ada atau tidaknya kerusakan target organ pada hipertensi (Saseen dan Carter, 2005).

Membedakan kedua golongan krisis hipertensi bukanlah dari tingginya TD, tapi dari kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dianggap sebagai suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. Hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi perlu dibedakan karena cara penanggulangan keduanya berbeda (Majid, 2004). 1. Hipertensi emergensi (darurat)

Ditandai dengan TD Diastolik >120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU) (Majid, 2004). Penanggulangan hipertensi emergensi :

Pada umumnya kondisi ini memerlukan terapi obat antihipertensi parenteral. Tujuan terapi hipertensi darurat bukanlah menurunkan tekanan darah ≤ 140/90 mmHg, tetapi menurunkan tekanan arteri rerata (MAP) sebanyak 25 % dalam kurun waktu kurang dari 1 jam. Apabila tekanan darah sudah stabil, tekanan darah dapat diturunkan sampai 160 mmHg/100-110 mmHg dalam waktu 2-6 jam kemudian. Selanjutnya tekanan darah dapat diturunkan sampai tekanan

Page 5: Hipertensi berdasarkan etiologi

darah sasaran (<140 mmHg atau < 130 mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik) setelah 24-48 jam (Saseen dan Carter, 2005). 2. Hipertensi urgensi (mendesak) Hipertensi mendesak ditandai dengan TD diastolik

>120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan secara bertahap dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi oral hipertensi.

Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30 menit. Bila tekanan darah tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan (Majid, 2004).

Penanggulangan hipertensi urgensi : Pada umumnya, penatalaksanaan hipertensi mendesak dilakukan dengan menggunakan atau

menambahkan antihipertensi lain atau meningkatkan dosis antihipertensi yang digunakan, dimana hal ini akan menyebabkan penurunan tekanan darah secara bertahap. Penurunan tekanan darah yang sangat cepat menuju tekanan darah sasaran (140/90 mmHg atau 130/80 mmHg pada penderita diabetes dan gagal ginjal kronik) harus dihindari. Hal ini disebabkan autoregulasi aliran darah pada penderita hipertensi kronik terjadi pada tekanan yang lebih tinggi pada orang dengan tekanan darah normal, sehingga penurunan tekanan darah yang sangat cepat dapat menyebabkan terjadinya cerebrovaskular accident, infark miokard dan gagal ginjal akut (Saseen dan Carter, 2005). 2.1.5 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme patogenesis hipertensi yaitu Peningkatan tekanan darah yang dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer (Dipiro, 2005).

Mekanisme hipertensi tidak dapat dijelaskan dengan satu penyebab khusus, melainkan sebagai akibat interaksi dinamis antara faktor genetik, lingkungan dan faktor lainnya. Tekanan darah dirumuskan sebagai perkalian antara curah jantung dan atau tekanan perifer yang akan meningkatkan tekanan darah. Retensi sodium, turunnya filtrasi ginjal, meningkatnya rangsangan saraf simpatis, meningkatnya aktifitas renin angiotensin alosteron, perubahan membran sel, hiperinsulinemia, disfungsi endotel merupakan beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme hipertensi (Soemantri dan Nugroho, 2006).

Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh sistem renin angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja dengan mempengaruhi sistem tersebut. Renin angiotensin aldosteron adalah sistem endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasi sistem renin angiotensin aldosteron diatur terutama oleh ginjal. Sistem renin angiotensi aldosteron mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium. Sistem ini secara signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem saraf simpatik serta homeostatik regulasi tekanan darah.

2.1.6 Diagnosa Hipertensi Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi mempunyai beberapa tujuan :

a) Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi b) Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular c) Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang menyertainya d) Mencari kemungkinan penyebabnya.

Diagnosis hipertensi menggunakan tiga metode klasik yaitu a) pencatatan riwayat penyakit (anamnesis) b) pemeriksaan fisik (sphygomanometer)

Page 6: Hipertensi berdasarkan etiologi

c) pemeriksaan laboraturium (data darah,urun,kreatinin serum,kolesterol).

Kesulitan utama selama proses diagnosis ialah menentukan sejauh mana pemeriksaan harus dilakukan. Dimana pemeriksaan secara dangkal saja tidak cukup dapat diterima karena hipertensi merupakan penyakit seumur hidup dan terapi yang dipilih dapat memberikan implikasi yang serius untuk pasien (Padmawinata, 2001). 2.1.6.1 Prosedur dan Kriteria Diagnosis

Cara pemeriksaan tekanan darah, yaitu : Anamnesis

- Sering sakit kepala (meskipun tidak selalu), terutama bagian belakang, sewaktu bangun tidur pagi atau kapan saja terutama sewaktu mengalami ketegangan.

Keluhan sistem kardiovaskular (berdebar, dada terasa berat atau sesak terutama sewaktu melakukan aktivitas isomerik)

- Keluhan sistem serebrovaskular (susah berkonsentrasi, susah tidur, migrain, mudah tersinggung, dll)

- Tidak jarang tanpa keluhan, diketahuinya secara kebetulan. - Lamanya mengidap hipertensi. Obat-obat antihipertensi yang telah dipakai, hasil kerjanya

dan apakah ada efek samping yang ditimbulkan. - Pemakaian obat-obat lain yang diperkirakan dapat mempermudah terjadinya atau

mempengaruhi pengobatan hipertensi (kortikosteroid, analgesik, anti inflamasi, obat flu yang mengandung pseudoefedrin atau kafein, dll), Pemakaian obat kontrasepsi, analeptik,dll.

- Riwayat hipertensi pada kehamilan, operasi pengangkatan kedua ovarium atau monopause.

- Riwayat keluarga untuk hipertensi. - Faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular atau kebiasaan buruk (merokok, diabetes

melitus, berat badan, makanan, stress, psikososial, makanan asin dan berlemak). Pemeriksaan Fisik

- Pengukuran tekanan darah pada 2-3 kali kunjungan berhubung variabilitas tekanan darah. Posisi terlentang, duduk atau berdiri dilengan kanan dan kiri.

- Perabaan denyut nadi diarteri karotis dan femoralis. - Adanya pembesaran jantung, irama gallop.

- Pulsasi aorta abdominalis, tumor ginjal, bising abdominal - Denyut nadi diekstremitas, adanya paresis atau paralisis.

Penilaian organ target dan faktor-faktor resiko. - Funduskopi, untuk mencari adanya retinopati keith wagner i-v. - Elektrokardiografi, untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri, abnormalitas atrium

kiri, iskemia atau infark miokard. - Foto thoraks, untuk melihat adanya pembesaran jantung dengan konfigurasi hipertensi

bendungan atau edema paru.

- Laboratorium : DL, UL, BUN, kreatin serum, asam urat, gula darah, profil lipid K+ dan

Na+ serum.

Page 7: Hipertensi berdasarkan etiologi

(Soemantri dan Nugroho, 2006). 2.1.6.2 Metode Pengukuran Tekanan Darah

Tekanan darah biasanya diukur oleh dokter atau perawat diklinik dengan Sfigomanometer raksa memakai metode auskultasi, caranya : - Pasien sebaiknya duduk beberapa menit dalam ruangan sepi pada kursi yang sandarannya nyaman

Penderita duduk dengan lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi jantung. Otot lengan harus dilemaskan dan lengan bawah ditopang dengan lekukan sikut pada aras jantung. Tekanan darah juga dapat diukur pada saat pasien berdiri atau telentang, asal lengan ditopang pada aras jantung.

- Tekanan darah diukur dengan meletakkan manset (yang terhubung dengan manometer air raksa) pada lengan atas dan dengan menggunakan stetoskop

untuk mendengarkan arteri brakhial yang terletak pada sebelah dalam siku pada lengan atas yang bersangkutan.

- Manset akan dipompa penuh sampai pembacaan manometer sekitar 30 mmHg yaitu sampai aliran darah akan berhenti singkat. Kemudian manset akan dikempiskan perlahan sehingga aliran darah kembali semula dengan laju kira-kira 2 mmHg. Pada saat udara dalam manset dikeluarkan, pemeriksa akan mengamati ketinggian air raksa yang turun perlahan pada manometer air raksa dan menunggu sampai terdengar bunyi korotkoff memakai steteskop yang ditempatkan diatas arteri lengan. Angka yang tepat pada saat denyutan pertama yaitu saat bunyi terdengar pertama kali adalah menunjukkan tekanan sistolik. Ketika manset makin mengempis, ketinggian air raksa akan makin menurun dan saat bunyi denyut jantung terdengar terakhir kali, angka pada manometer air raksa tersebut adalah tekanan diastolik. Tekanan darah diastolik dan sistolik harus diukur sekurang-kurangnya 2 kali selama periode tidak kurang dari 3 menit. Tekanan darah harus diukur pada keadaan pasien berdiri jika diduga terdapat hipotensi postural, dan pada pasien lansia yang mengalami kondisi seperti ini (Padmawinata, 2001).

2.1.7 Manifestasi Klinis Hipertensi Sebagian besar manifestasi klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun, dan berupa :

- Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium

- Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi - Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat - Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus - Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler

(Crowin, 2001) 2.1.8 Dampak Hipertensi

Hipertensi yang diabaikan atau tidak diobati dapat menyebabkan berbagai macam gangguan kardiovaskular, serebrovaskular dan renal. Hipertensi dapat merupakan penyebab tunggal atau hanya merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan tersebut. Tingkat kerusakan organ umumnya berhubungan dengan nilai tekanan darah, meskipun tidak selalu demikian. Ada kalanya nilai tekanan darah yang tinggi tidak disertai dengan kerusakan organ sasaran, dan begitupula sebaliknya. Terdapat kerusakan organ pada kenaikan nilai tekanan darah yang sedang. Hipertensi dianggap faktor resiko yang paling penting karena

Page 8: Hipertensi berdasarkan etiologi

hipertensi adalah faktor yang menyebabkan serangan jantung, gagal jantung, stroke dan kerusakan ginjal (Shankie, 2001). 2.1.8.1 Kerusakan Pada Target Organ

Selanjutnya, bila hipertensi tidak ditangani dengan tepat dan sesegera mungkin, hipertensi akan mengakibatkan kerusakan organ dalam tubuh terjadi. Diantaranya adalah:

1. Jantung Hipertensi dapat berimplikasi kepada jantung. Baik secara tak langsung melalui

peningkatan perubahan atherosklerotis, maupun secara langsung melalui efek yang berkaitan dengan tekanan darah. Hipertensi dapat mengakibatkan CVD (Cardio Vascular Disease) dan meningkatan resiko kejadian iskemik, semisal angina dan MI.

Selain itu, sebagai mekanisme kompensasi dari jantung dalam merespon naiknya tahanan pembuluh darah karena meningkatnya tekanan darah, hipertensi dapat memperparah LVH (Left Ventricular Hypertrophy). LVH sendiri merupakan perubahan miokardial (selular), bukan perubahan arterial. Ini patut diwaspadai karena LVH tergolong faktor resiko berbahaya akan terjadinya CAD (Coronary Acute Disease), HF (Heart Failure), dan arrhythmias. Sebagaimana diketahui, HF merupakan dampak negatif hipertensi terbesar untuk jantung. Lebih jauh, HF dapat menurunkan kemampuan kontraksi (disfungsi sistolik) atau ketidakmampuan untuk mengisi darah (disfungsi diastolik). Hipertensi yang tidak terkontrol merupakan salah satu pemicu HF (Saseen dan Carter, 2005).

Page 9: Hipertensi berdasarkan etiologi

2. Otak Gejala kerusakan pada organ ini yaitu terjadinya transcient ischamic attacks, stroke iskemik,

infark serebral, dan perdarahan otak. Peningkatan tekanan darah sistolik yang berkepanjangan dapat menyebabkan hypertensive enchephalopathy (Saseen dan Carter, 2005).

Uji klinis membuktikan, terapi hipertensi dapat menurunkan resiko stroke kambuhan maupun stroke yang baru dialami pertama kali (Chobanian et.al, 2004). 3. Ginjal

GFR (Glomerulus Filtration Rate/Laju Filtrasi Glomerulus) digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal. GFR menurun seiring bertambahnya usia, namun penurunan itu dapat dipercepat oleh hipertensi. Hipertensi berhubungan dengan nephrosclerosis, yang mana menyebabkan peningkatan tekanan intraglomerular (Saseen dan Carter, 2005). 4. Mata

Hipertensi dapat menyebabkan retinopati yang berimplikasi pada kebutaan. Keparahannya diklasifikasikan menjadi empat, yakni: Tingkat 1 yang ditandai dengan menebalnya diameter arteri, yang menyebabkan vasokonstriksi; tingkat 2 yang ditandai dengan nicking pada arteriovenous (AV), yang menyebabkan atherosklerosis; tingkat 3 yang terjadi jika hipertensi tidak kunjung diobati yang dapat menyebabkan cotton wool exudates dan flame hemorrhage; terakhir tingkat 4 muncul sebagai akibat dari kasus yang semakin parah, yang ditandai dengan papilledema (Saseen dan Carter, 2005). 2.1.8.2 Risiko Penyakit

Salah satu alasan mengapa kita perlu mengobati tekanan darah tinggi adalah untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi yang dapat timbul jika penyakit ini tidak disembuhkan (Gardner, 2007). Beberapa komplikasi hipertensi yang umum terjadi sebagai berikut : 1. Stroke

Hipertensi adalah faktor resiko yang penting dari stroke dan serangan transient iskemik. Pada penderita hipertensi 80% stroke yang terjadi merupakan stroke iskemik,yang disebabkan karena trombosis intra-arterial atau embolisasi dari jantung dan arteri besar. Sisanya 20% disebabkan oleh pendarahan (haemorrhage), yang juga berhubungan dengan nilai tekanan darah yang sangat tinggi. Penderita hipertensi yang berusia lanjut cenderung menderita stroke dan pada beberapa episode menderita iskemia serebral yang mengakibatkan hilangnya fungsi intelektual secara progresif dan dementia. Studi populasi menunjukan bahwa penurunan tekanan darah sebesar 5 mmHg menurunkan resiko terjadinya stroke (Shankie, 2001). 2. Penyakit jantung koroner

Nilai tekanan darah menunjukan hubungan yang positif dengan resiko terjadinya penyakit jantung koroner (angina, infark miokard atau kematian mendadak), meskipun kekuatan hubungan ini lebih rendah daripada hubungan antara nilai tekanan darah dan stroke. Kekuatan yang lebih rendah ini menunjukan adanya faktor-faktor resiko lain yang dapat menyebabkan penyakit jantung koroner. Meskipun demikian, suatu percobaan klinis yang melibatkan sejumlah besar subyek penelitian (menggunakan β-Blocer dan tiazid) menyatakan bahwa terapi hipertensi yang adequate dapat menurunkan resiko terjadinya infark miokard sebesar 20% (Shankie, 2001). 3. Gagal jantung

Bukti dari suatu studi epidemiologik yang bersifat retrospektif menyatakan bahwa penderita dengan riwayat hipertensi memiliki resiko enam kali lebih besar untuk menderita gagal jantung daripada penderita tanpa riwayat hipertensi. Data yang ada menunjukan bahwa pengobatan hipertensi, meskipun tidak dapat secara pasti mencegah terjadinya gagal jantung, namun dapat menunda terjadinya gagal jantung selama beberapa dekade (Shankie, 2001). 4. Hipertrofi ventrikel kiri

Hipertrofi ventrikel kiri terjadi sebagai respon kompensasi terhadap peningkatan afterload terhadap jantung yang disebabkan oleh tekanan darah yang tinggi. Pada akhirnya peningkatan massa otot melebihi suplai oksigen, dan hal ini bersamaan dengan penurunan cadangan pembuluh

Page 10: Hipertensi berdasarkan etiologi

darah koroner yang sering dijumpai pada penderita hipertensi, dapat menyebabkan terjadinya iskemik miokard. Penderita hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri memiliki peningkatan resiko terjadinya cardiac aritmia (fibrilasi atrial dan aritmia ventrikular) dan penyakit atherosklerosis vaskular (penyakit koroner dan penyakit arteri perifer) (Shankie, 2001). 5. Penyakit vaskular

Penyakit vaskular meliputi abdominal aortic aneurysm dan penyakit vaskular perifer. Kedua penyakit ini menunjukan adanya atherosklerosis yang diperbesar oleh hipertensi. Hipertensi juga meningkatkan terjadinya lesi atherosklerosis pada arteri carotid, dimana lesi atherosklerosis yang berat seringkali merupakan penyebab terjadinya stroke (Shankie, 2001). 6. Retinopati

Hipertensi dapat menimbulkan perubahan vaskular pada mata, yang disebut retinopati hipersensitif. Perubahan tersebut meliputi bilateral retinal falmshaped haemorrhages, cotton woll spots, hard exudates dan papiloedema (Shankie, 2001).

Pada tekanan yang sangat tinggi (diastolic >120 mmHg, kadang-kadang setinggi 180 mmHg atau bahkan lebih) cairan mulai bocor dari arteriol-arteriol kedalam retina, sehingga menyebabkan padangan kabur, dan bukti nyata pendarahan otak yang sangat serius, gagal ginjal atau kebutaan permanent karena rusaknya retina (Gardner, 2007). 7. Kerusakan ginjal

Ginjal merupakan organ penting yang sering rusak akibat hipertensi. Dalam waktu beberapa tahun hipertensi parah dapat menyebabkan insufiensi ginjal, kebanyakan sebagai akibat nekrosis febrinoid insufisiensi arteri-ginjal kecil. Pada hipertensi yang tidak parah, kerusakan ginjal akibat arteriosklerosis yang biasanya agak ringan dan berkembang lebih lambat. Perkembangan kerusakan ginjal akibat hipertensi biasanya ditandai oleh proteinuria. Proteinuria merupakan faktor resiko bebas untuk kematian akibat semua penyebab, dan kematian akibat penyakit kardiovaskular. Proteinuria dapat dikurangi dengan menurunkan tekanan darah secara efektif (Padmawinata, 2001).

2.2 TINJAUAN TENTANG PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

2.2.1 Pedoman Umum Pengobatan Hipertensi Penatalaksanaan pengobatan hipertensi harus secara holistik dengan tujuan menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi dengan menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin sambil mengontrol faktor-faktor resiko kardiovaskular lainnya, memilih obat yang rasional sesuai dengan indikasi dan mempunyai efek samping yang kecil, untuk ini dianjurkan pemberian obat kombinasi, dan harus disesuaikan dengan kemampuan penderita (Soemantri dan Nugroho, 2006).

Berdasarkan pertimbangan manfaat dan kerugian ini maka JNC VII-2004 menggunakan rekomendasi berikut untuk memulai pengobatan hipertensi pada orang dewasa.

2.2.2 Pengobatan Hipertensi 2.2.2.1 Tujuan Pengobatan Hipertensi Tujuan terapi obat anti hipertensi adalah

1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular dan renal akibat komplikasi 2. Tekanan darah yang diharapkan setelah terapi adalah <140/90 mmHg tanpa adanya

komplikasi, hal ini berhubungan dengan penurunan risiko komplikasi CVD (Coronary Vascular Disease)

3. Pasien hipertensi dengan komplikasi diabetes mellitus dan penyakit renal, tekanan darah yang diharapkan dapat dicapai setelah terapi yaitu <130/80 mmHg

(Chobanian et.al, 2004).

Page 11: Hipertensi berdasarkan etiologi

2.2.2.2 Prinsip penggunaan obat antihipertensi Menurut Shankie (2001) tanpa mempertimbangkan jenis obat antihipertensi yang

digunakan, ada beberapa prinsip yang mendasari penggunaan obat antihipertensi, yaitu : - Mulailah dengan dosis terkecil untuk menghindari reaksi yang tidak dikehendaki. Bila

terdapat respon tekanan darah yang baik dan obat ditoleransi dengan baik, dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai tekanan darah sasaran tercapai (<140 mmHg atau <130 mmHg pada penderita diabetes atau penyakit ginjal kronik).

- Gunakan kombinasi obat untuk memaksimalkan respon tekanan darah dan meminimalkan reaksi yang tidak dikehendaki.

- Gantilah dengan kelas obat yang berbeda bila dosis awal dari obat tidak memberikan efek yang berarti atau ada masalah efek samping obat.

- Gunakan formulasi yang minimal memberikan kontrol tekanan darah selama 24 jam. Hal ini penting untuk menjaga kepatuhan pasien dan untuk memastikan tekanan darah terkontrol pada pagi hari ketika terjadi peningkatan tekanan darah. Menghindari variasi tekanan darah sepanjang hari yang membantu menghindari kerusakan organ sasaran

Menurut Gardner (2007) obat-obat yang dapat menurunkan tekanan darah tinggi dapat dianjurkan :

- Bila perubahan gaya hidup saja tidak mengendalikan tekanan darah. - Bila penurunan tekanan darah tinggi secara cepat dan drastis diperlukan. - Bila penderita tekanan darah tinggi juga mengalami kondisi medis yang menyertainya.

Metode yang paling baik dan aman untuk mengendalikan tekanan darah adalah dengan melakukan perubahan-perubahan gaya hidup. Jika perubahan-perubahan ini tidak membawa nilai tekanan darah yang diinginkan, maka obat antihipertensi dapat diberikan

Tabel 2.5 Modifikasi Gaya Hidup untuk Pencegahan dan Penatalaksanaan Hipertensi Modifikasi Rekomendasi Penurunan SBP Rata-

rata Penurunan berat badan Menjaga berat badan

normal (BMI 18,5-24,9

kg/m2)

5-20 mmHg

Penerapan DASH Mengkonsumsi makanan kaya buah, sayur, dan rendah lemak dengan mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total

8-14 mmHg

Mengurangi asupan sodium Mengurangi asupan sodium, tidak boleh lebih dari 100 mmol per hari (2,4 g sodium atau 6 g garam dapur)

2-8 mmHg

Aktivitas fisik Melakukan aktivitas seperti jalan-jalan 30 menit per hari selama seminggu

4-9 mmHg

Mengurangi konsumsi alkohol Tidak boleh lebih dari 2 kali (misal 24 oz bir, 10

2-4 mmHg

Page 12: Hipertensi berdasarkan etiologi

oz anggur, atau 3 oz wiski) untuk pria, dan 1 kali untuk wanita dan orang dengan berat badan ringan

Jenis Terapi Obat Anti Hipertensi 2.2.2.3.1 Terapi Tunggal

Penggunaan satu macam obat anti hipertensi untuk pengobatan hipertensi dapat direkomendasikan bila nilai tekanan darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran. Menurut JNC-7 nilai tekanan darah awal mendekati nilai tekanan darah sasaran apabila selisihnya kurang dari 20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan kurang darah sistolik dan kurang dari 10 mmHg untuk tekanan darah diastolik. Hal ini meliputi penderita hipertensi tahap 1 dan tekanan darah sasaran <140/90 mmHg (Saseen and Carter, 2005).

Page 13: Hipertensi berdasarkan etiologi

Menurut Gardner (2007) setengah penderita tekanan darah tinggi tahap I dan II dapat mengendalikan tekanan darah mereka dengan satu obat saja. Jika satu obat tidak efektif, maka dapat ditingkatkan dosisnya jika tidak ada efek sampingnya. Alternatif-alternatif lainnya adalah mencoba obat yang berbeda dan menambahkan satu obat lagi pada obat yang telah diminum (kombinasi). 2.2.2.3.2 Terapi Kombinasi

Bila menggunakan terapi obat kombinasi, biasanya dipilih obat-obat yang dapat meningkatkan efektivitas masing-masing obat atau mengurangi efek samping masing-masing obat (Gardner, 2007).

Memulai terapi dengan kombinasi dua obat direkomendasikan untuk penderita hipertensi tahap 2 atau penderita hipertensi yang nilai tekanan darah sasarannya jauh dari nilai tekanan darah awal (≥20 mmHg untuk tekanan darah sistolik dan ≥10 mmHg untuk tekanan darah diastolik). Terapi kombinasi juga merupakan pilihan bagi pasien yang nilai tekanan darah sasarannya sulit dicapai (penderita diabetes dan penyakit ginjal kronik) atau pada pasien dengan banyak indikasi pemaksaan yang membutuhkan beberapa antihipertensi yang berbeda. Dalam ALLHAT (Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment in Prevent Heart Attack Trial) disebutkan 60% penderita hipertensi mencapai tekanan darah terkontrol pada TD <140/90 mmHg dengan penggunaan dua atau lebih anti hipertensi, dan hanya 30% yang tekanan darahnya terkontrol dengan satu obat anti hipertensi. JNC-7 merekomendasikan penggunaan tiga atau lebih obat anti hipertensi untuk mencapai target terapi tekanan darah yang diinginkan (Saseen dan Carter, 2005).

Tabel 2.6 Kombinasi Obat Anti hipertensi yang Sering Digunakan Kombinasi obat anti hipertensi

KEUNTUNGAN

ACE inhibitor − Kalsium antagonis - Menurunkan tekanan intra glomeruler - Memperbaiki permeabilitas glomeruler - Menghambat terjadinya hipertrofi glomeruler - Mencegah terjadinya glomeruler - Mengurangi proteinuria - Mengurangi hipermetabolisme ginjal - Meningkatkan natriuresis - Mengurangi hipermetabolisme ginjal

- Mengurangi akumulasi Ca2+

intraselular - Diajurkan pada nefropati hipertensif dan hipertensi dengan nefropati diabetik

ACEI/ARB− Diuretik - Meningkatkan natriuresis - Memperbaiki toleransi glukosa dan kadar asam

urat

- Mempertahankan kadar K+

Page 14: Hipertensi berdasarkan etiologi

plasma - Mempercepat regresi LVH - Meningkatkan kepekaan ACEI/ARB.

ACEI/ARB−Beta bloker - Baik untuk hipertensi usia muda dengan

peningkatan sistem RAA dan simpatis - Baik pula untuk hipertensi dan pasca infark akut

dengan tujuan : o Menurunkan risiko takhiaritmia o Mengurangi progresivitas dilatasi ventrikel o Memperbaiki toleransi latihan

Beta bloker − Diuretik - Menurunkan peningkatan sistem RAA karena diuretik - Beta bloker mempunyai efek antialdosteron ringan - Baik untuk isolated systolic hypertension, stroke dan infark miokard

Beta bloker − Kalsium antagonis - Menurunkan curah jantung dan tahanan - perifer - Memperbaiki integritas endotel - Normalisasi peningkatan sistem RAA - karena kalsium antagonis - Sangat baik meregresi LVH - Normalisasi resistensi insulin dan

gangguan profil lipid karena beta bloker - Baik untuk hipertensi dengan angina pektoris - Baik untuk hipertensi dan takhiaritmia

Page 15: Hipertensi berdasarkan etiologi

2.3 TINJAUAN TENTANG OBAT ANTI HIPERTENSI Pada prinsipnya, pengobatan hipertensi dilakukan secara bertahap. Kelompok obat antihipertensi yang saat ini digunakan sebagai pilihan terapi hipertensi, yaitu : 1.3.1 Diuretik

Semua kelas diuretik menyebabkan peningkatan eksresi natrium oleh ginjal (natriuresis) dimana efek ini bertanggung jawab terhadap aktivitas antihipetensi dari diuretik. Diuretik tiazid memiliki efek natriuresis sedang dan merupakan diuretik yang paling banyak digunakan dalam pengobatan hipertensi. Loop diuretic memiliki efek natriuresis besar dan hanya digunakan bila diuretik thiazid tidak efektif atau dikontraindikasikan untuk penderita. Potassium sparing diuretic memiliki efek natriuresis yang rendah, dan umumnya digunakan dalam bentuk kombinasi dengan diuretik thiazid atau loop diuretik mengurangi ekskresi kalium atau untuk mencegah hipokalemia (Banner dan Stevens, 2006).

Suatu meta-analysis dari 42 percobaan klinis pada tahun 2003 membuktikan bahwa diuretik dosis rendah merupakan antihipertensi pilihan pertama yang paling efektif untuk mencegah mortalitas kardiovaskular (Saseen dan Carter, 2005). 2.3.1.1 Diuretik thiazid

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: hidrochlortiazid, bendroflumethiazide,

chlortalidone, metolazone, indapamide, dan xipamide (Mehta, 2007). Indikasi Diuretik thiazid merupakan pilihan pertama untuk terapi hipertensi. Thiazid dapat digunakan dalam bentuk tunggal maupun kombinasi dengan antihipertensi lain. Kombinasi dengan ACEI atau β-bloker merupakan kombinasi yang umum digunakan (Shankie, 2001). Mekanisme kerja

Pada penggunaan jangka pendek, diuretik thiazid menurunkan volume darah yang berdampak pada penurunan cardiac output. Pada penggunaan jangka panjang, diuretik thiazid juga menurunkan tahanan perifer, yang tampaknya berperan dalam efek antihipertensi jangka panjang dari obat ini (Brenner dan Stevens, 2006).

Page 16: Hipertensi berdasarkan etiologi

Perhatian Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan diuretik tiazid. Hipokalemia berbahaya

pada pasien PJK dan yang sedang menerima obat cardiac glycosides. Seringkali untuk mengatasi efek hipokalemia penggunaannya dikombinasi dengan potasium sparing diuretik atau suplement potasium (Mehta, 2007). 2.3.1.2 Loop diuretik Contoh obat

Yang tergolong di dalamnya ialah: Furosemide, Torasemide, dan Bumetanide (Mehta, 2007). Indikasi

Loop diuretik digunakan pada pasien pulmonary oedema akibat gangguan pada ventrikel kiri, pada pasien CHF (Chronic Heart Failure), dan juga pasien diuretic-resistant oedema (Mehta, 2007). Mekanisme kerja

Loop diuretik terutama bekerja pada bagian menaik dari loop of Henle dengan menghambat reabsorbsi elektrolit sehingga meningkatkan ekskresi natrium (Shankie, 2001). Perhatian

Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan furosemid. Hipokalemia berbahaya pada pasien PJK berat dan yang sedang menerima obat cardiac glycosides. Resiko hipokalemia dapat meningkat pada penggunaan furosemid dosis tinggi apalagi bila diberikan dalam bentuk sediaan injeksi. Seringkali untuk

Page 17: Hipertensi berdasarkan etiologi

mengatasi efek hipokalemia penggunaannya dikombinasi dengan potasium sparing diuretik atau suplement potasium (Mehta, 2007; Opie et.al, 2005). 2.3.1.3 Potassium Sparing Diuretik Contoh obat

Yang tergolong di dalamnya ialah: Amiloride HCl, dan Triamterene (Mehta, 2007). Indikasi

Potassium sparing diuretik digunakan sebagai tambahan pada terapi dengan diuretik thiazid dan loop diuretik untuk mencegah terjadinya hipokalemia (Shankie, 2001). Mekanisme kerja

Potassium sparing diuretik terutama bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium dan menurunkan ekskresi kalium (Shankie, 2001). Perhatian

Potasium sparing diuretik dapat meyebabkan terjadinya hiperkalemia terutama pada pasien yang dengan riwayat gangguan ginjal kronis atau diabetes dan pasien yang sedang menggunakan ACE inhibitor, ARB, NSAID atau potassium suplement (Dipiro, 2005). 2.3.1.4 Aldosterone Antagonist

Contoh obat Termasuk golongan Potassium sparing diuretik. Yang tergolong di dalamnya ialah:

Eplerenone, dan Spironolactone, (Mehta, 2007).

Page 18: Hipertensi berdasarkan etiologi

Indikasi Aldosteron antagonis diindikasikan untuk oedema, pada dosis rendah memiliki efek

kerja pada penderita gagal jantung dan juga digunakan pada penderita primary hyperaldosteronism (Mehta, 2007).

Pemberian jangka lama aldosteron antagonis umumnya direkomendasikan pada penderita post STEMI tanpa gangguan fungsi ginjal yang berat atau hiperkalemia LEVF (Left Ventricle Ejection Fraction) pada penderita gagal jantung dan diabetes (Dipiro, 2005).

Spironolacton adalah antagonis aldosteron yang paling banyak digunakan. Suatu penelitian Radomized Aldactone Evaluation Study (RALES) menunjukkan, terjadi 30% penurunan angka kematian dengan menggunakan spironolacton pada penderita gagal jantung sedang sampai berat (Kumar and Clark, 2002). Mekanisme kerja

Aldosterone antagonist bekerja pada bagian distal tubulus renal sebagai antagonis kompetitif dari aldosteron (Shankie, 2001). Perhatian

Untuk jenis obat spironolacton harus dihindari pada gangguan fungsi ginjal dan hati-hati bila dikombinasikan dengan ACE inhibitor/ARB, akan menyebabkan hiperkalemia (Soemantri dan Nugroho, 2006). 2.3.2 α-Bloker

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Doxazosin, Prazosin, Terazosin, dan Indoramin

(Mehta, 2007).

Page 19: Hipertensi berdasarkan etiologi

Indikasi α-bloker merupakan antihipertensi alternatif pilihan pertama apabila diuretik atau β-

bloker dikonraindikasikan atau tidak ditoleransi dengan baik. α-bloker terutama diindikasikan untuk penderita benign prostatic hyperplasia. α-bloker tidak berpengaruh terhadap profil lipid dan glukosa sehingga berguna pada penderita dengan dislipidemia atau intoleransi glukosa (Shankie, 2001). Mekanisme kerja

α-bloker menyebabkan vasodilatasi dan menghambat aksi noradrenalin pada post sinaptic adrenoseptor α1 baik pada arteriol maupun vena, dimana hal ini mengakibatkan penurunan tahanan perifer dan tekanan darah (Shankie, 2001). Perhatian

Jarang digunakan sebagai pilihan utama karena mempunyai efek samping yang sering menganggu yaitu hipotensi postural, palpitasi dan sakit kepala (Soemantri dan Nugroho, 2006). 2.3.3 β-blocker

Contoh obat Terbagi menjadi 2 sub class yaitu β-bloker cardioselektif (selektif reseptor β-1) yaitu

atenolol, acebutolol, metoprolol, bisoprolol, betaxolol, celiprolol dan β-bloker non-cardioselektif (reseptor β-1 dan β-2) yaitu carvedilol, propanolol dan pindolol (Opie dan

Wilson, 2005). Indikasi

Beta bloker pertama kali direkomendasikan oleh JNC-7 sebagai terapi ’first line’ alternatif dari diuretik. Pilihan terapi pada semua bentuk iskemik heart

Page 20: Hipertensi berdasarkan etiologi

disease kecuali pada angina varian vasospastic prinzmetal. Beta bloker merupakan pilihan terapi pada angina, baik angina stabil maupun angina tidak stabil, dapat menurunkan resiko mortalitas pada fase akut infark miokard dan setelah periode infark dan juga pilihan terapi untuk kondisi lainnya seperti hipertensi, arrhythmia’s serius dan cardiomyopathy. Pada peningkatan titrasi dosis secara hati-hati diketahui memiliki efek mengurangi resiko mortalitas pada pasien gagal jantung.

Pada dosis kecil β-bloker cardioselektif dapat digunakan pada pasien bronkospasme atau chronic lung disease. Pada angina dan hipertensi penggunaan β-bloker cardioselektif lebih efektif dibandingkan dengan noncardioselektif, sedangkan β-bloker noncardioselektif memiliki efek antiarrhytmics yang lebih baik dibandingkan dengan cardioselektif. Bisoprolol merupakan agent β1 yang selektif, tidak memiliki ISA (Intrinsik Sympathomimetic Activity) dan bekerja lama, dipakai secara luas dan berhasil dalam studi besar pada populasi gagal jantung dimana terjadi penurunan yang besar yang tidak hanya pada mortalitas namun juga sudden cardiac death. (Opie dan Wilson, 2005).

β-bloker direkomendasikan untuk penderita hipertensi dengan infark miokard karena obat ini mempunyai keuntungan sebagai anti hipertensi, anti iskemia, anti aritmia dan mampu mengurangi remodelling ventrikel.

Dosis awal dari beta bloker umumnya kecil dan pelan-pelan dinaikkan sampai dosis target (berdasarkan trial klinis yang besar), peningkatan ini tergantung pada individual. Kontraindikasi harus diawasi, seperti asma bronkial, severe bronkial disease, bradikardia simptomatik dan hipotensi (Hadi, 2007).

Page 21: Hipertensi berdasarkan etiologi

Mekanisme kerja Secara umum β-bloker menghambat aksi noradrenalin pada reseptor adrenergik β-1 di

jantung dan jaringan lain sehingga menyebabkan penurunan cardiac output melalui penurunan denyut jantung dan kontraktilitas. β-bloker juga menghambat sekresi renin dari sel-sel juxtaglomerular ginjal yang mengakibatkan penurunan pembentukan angiotensin II dan rilis aldosteron (Shankie, 2001). Perhatian Penghentian mendadak terapi beta blocker menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk PJK. Dapat dilakukan tindakan preventif dengan pengurangan bertahap dosis beta blocker sebelum terapi dihentikan. Penggunaan beta blocker bersamaan dengan verapamil menyebabkan risiko hipotensi dan asystole yang dapat meningkatkan risiko gagal jantung pada penderita penyakit jantung koroner (Mehta, 2007). 2.3.4 ACE inhibitor ( ACEI )

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Captopril, Cilazapril, Enalapril maleat Lisinopril,

Perindopril erbumine, dan Ramipril (Mehta, 2007). Indikasi ACE inhibitor merupakan antihipertensi alternatif pilihan pertama apabila diuretik atau β-bloker dikontraindikasi atau tidak ditoleransi dengan baik. ACEI terutama direkomendasikan pada penderita gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri dan EF <40%, hipertensi disertai dengan diabetes tipe 2 (Dipiro, 2005).

Page 22: Hipertensi berdasarkan etiologi

ACE inhibitor juga sangat bermanfaat bila diberikan terutama pada infark luas, infark dengan penurunan fungsi ventrikel kiri, infark dengan edema paru akut dan infark miokard dengan hipertensi. Umumnya dipilih jenis obat dengan lama kerja pendek dan mempunyai gugus sulfhidril (Adipranoto, 2006).

Dalam meminimalisir risiko hipotensi dan kerusakan pada ginjal, terapi ACE inhibitor hendaknya dimulai dari dosis kecil dan kemudian dilanjutkan dengan titrasi dosis sampai dosis target. Fungsi renal dan konsentrasi potasium harus dievaluasi dalam 1-2 minggu setelah dimulai pemberian secara perodik, terutama setelah dosis ditingkatkan (Dipiro, 2005). Mekanisme kerja

ACE inhibitor menghambat Angiotensin Converting Enzym sehingga menyebabkan vasodilatasi, penurunan resistensi perifer dan penurunan kadar hormon aldosteron (Shankie, 2001). Perhatian

Pada penggunaan ACE inhibitor yang harus diperhatikan yaitu meningkatnya kadar

K+ dalam tubuh (hiperkalemia) bila digunakan bersamaan dengan potasium sparing diuretik,

oleh karena itu selama penggunaan perlu dilakukan monitoring kadar K+ dalam tubuh. Pada penggunaan kombinasi pertamakali dengan diuretik efek hipotensi dapat muncul

dengan tiba-tiba sehingga diuretik perlu dihentikan satu hari saat menggunakan ACE inhibitor.

Page 23: Hipertensi berdasarkan etiologi

ACE inhibitor juga dapat meningkatkan serum kreatinin, sehingga pada pasien dengan risiko renal impairment selama penggunaan harus hati-hati dan dilakukan monitoring serum kreatinin (Mehta, 2007; Gardner, 2007). 2.3.5 Angiotensin Receptor Bloker (ARB)

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: candesartan cilexetil, losartan potassium,

irbesartan, olmesartan medoxomil, valsartan, dan telmisartan (Mehta, 2007). Indikasi

Angiotensin II Receptor Antagonist merupakan alternatif pilihan antihipertensi untuk penderita yang tidak mentoleransi ACEI karena efek samping yang berupa batuk kering dan angioedema (Opie et.al, 2005).

ARB dapat diberikan pada penderita STEMI yang intoleren terhadap ACEI, dimana penderita tersebut secara klinis dan radiologis menunjukkan kondisi gagal jantung atau fraksi ejeksi <0.40 untuk itu biasanya direkomendasikan penggunaan valsartan dan candesartan (Dipiro, 2005). Mekanisme kerja

ARB merupakan antagonis kompetitif dari angiotensin II pada reseptor AT1, yang menyebabkan penurunan resistensi perifer tanpa adanya reflek peningkatan denyut jantung dan menurunkan kadar aldosteron. ARB tidak menimbulkan efek bradikinin yang menyebabkan munculnya efek samping batuk seperti pada penggunaan ACEI (Dipiro, 2005).

Page 24: Hipertensi berdasarkan etiologi

Perhatian Monitoring konsentrasi plasma potasium terutama pada pasien lansia dan pasien dengan renal impairment, karena efek hiperkalemianya (Mehta, 2007). 2.3.6 Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium dibagi menjadi dua subclass yaitu dihydropyridine dan non dihydropyridine. Dihydropyridine mempengaruhi baroreseptor dengan refleks takikardia karena efeknya yang kuat dalam mengakibatkan vasodilatasi perifer. Dihydropyridine tidak mempengaruhi konduksi nodal atrioventrikular dan tidak efektif pada supraventrikular tachyarrhytmias, Sedangkan non dihydropyridine menyebabkan penurunan heart rate dan memperlambat konduksi nodal atrioventrikular, sama dengan golongan beta bloker obat ini dapat digunakan pada supraventrikular tachyarrhytmias (Dipiro, 2005). a. Dihydropyridine

Contoh obat Yang tergolong di dalamnya ialah: Amlodipine, Nifedipine dan Felodipine (Mehta,

2007). Indikasi

Jika angina stabil dan tekanan darah tidak dapat dikontol dengan beta bloker atau jika terjadi kontraindikasi dengan beta bloker maka dapat menggunakan golongan calcium channel bloker. Calcium channel bloker dapat mengurangi total resisten perifer dan resistensi koroner sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Seringkali beta bloker dan calcium channel bloker dikombinasikan (Chobanian, et.al, 2004).

Page 25: Hipertensi berdasarkan etiologi

Mekanisme aksi CCB bekerja dengan mengintervensi pemindahan ion kalsium melalui kanal kalsium

di membran sel, dimana bertanggung jawab menjaga plaeau phase potensi aksi. Depolarisasi jaringan lebih bergantung kepada influks kalsium ketimbang natrium, terutama pada otot polos vaskular, sel-sel myokardial, dan sel-sel yang terdapat dalam nodus-nodus sinoatrial dan atrioventrikular. Blokade pada kanal kalsium mengakibatkan vasodilatasi koroner dan perifer, aksi inotropik negatif, mereduksi denyut jantung, dan memperlambat konduksi ventrikular (Shankie, 2001). Perhatian

Nifedipine short acting tidak direkomendasikan pada penderita angina atau untuk terapi jangka panjang pada penderita hipertensi, karena efeknya yang dapat menyebabkan hipotensi dan reflek takikardia.

Nifedipine memiliki efek inotropik negatif sehingga tidak disarankan pada pasien gagal jantung dengan efek mereduksi kerja dari ventrikel kiri.

Penghentian mendadak terapi calcium channel blocker menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk angina (Mehta, 2007). b. non Dihydropyridine Contoh obat (Mehta, 2007)

Yang tergolong di dalamnya ialah: diltiazem HCl, dan verapamil HCl Indikasi

Sama dengan antagonis kalsium dihydropyridine.

Page 26: Hipertensi berdasarkan etiologi

Mekanisme aksi Sama dengan antagonis kalsium dihydropyridine.

Perhatian Verapamil tidak boleh diberikan bersamaan dengan beta bloker karena efek kronotropik

dan inotropik negatif nya yang kuat, sehingga harus diberikan dengan hati-hati pada penderita gagal jantung atau yang sedang diterapi dengan beta bloker.

Penghentian mendadak terapi calcium channel blocker menyebabkan gejala putus obat (withdrawl) yang dapat memperburuk angina (Mehta, 2007). 2.4 TINJAUAN TENTANG PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK)

2.4.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner Menurut WHO (1957) penyakit jantung koroner (PJK) yang disebut juga ischemic

heart disease adalah gangguan jantung baik akut maupun kronik yang disebabkan oleh penurunan atau pemutusan aliran darah ke miokardium yang berkaitan dengan gangguan pada arteri koroner. Lebih dari 90% kasus iskemia miokardium disebabkan oleh reduksi aliran darah koroner akibat dari obstruksi aterosklerotik pada arteri koroner (Kumar dan Clark, 2004). 2.4.2 Epidemiologi Penyakit Jantung Koroner

Berdasarkan data epidemiologi yang diperoleh ditemukan suatu hubungan yang kuat antara tekanan darah dengan risiko morbiditas dan mortalitas pada kardiovaskular. Diawali dengan tekanan darah 115/75 mmHg, risiko

kardiovaskular meningkat setiap kenaikan tekanan darah 20/10 mmHg (Saseen dan Carter, 2005).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit kardiovaskular. Sementara, sepertiga dari seluruh populasi dunia saat ini berisiko tinggi untuk mengalami major cardiovascular events. Pada tahun yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini dan melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke setiap tahunnya. Dilaporkan juga, pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit kardiovaskular lebih banyak menyerang para pria. Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskular telah menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis (Muchid dkk, 2006).

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Nasional (SKRTN), dalam 10 tahun terakhir angka tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 1991, angka kematian akibat PJK adalah 16%. Kemudian di tahun 2001 angka tersebut melonjak menjadi 26,4%. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk di negara indonesia. Tingginya angka tersebut, mengakibatkan PJK sebagai penyebab kematian nomor satu. 2.4.3 Faktor risiko Penyakit Jantung Koroner

Menurut Bustan (2000) ada beberapa macam faktor resiko PJK namun secara garis besar dapat dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah faktor resiko

yang bisa diubah (modifiable) dan yang kedua faktor risiko tidak bisa diubah (non-midifiable). Dari kesemua faktor risiko ini ada yang membaginya atas risiko mayor (hipertensi, hiperlipidemia, merokok, obesitas) dan minor (DM, stres, kurang olahraga, riwayat olahraga, usia, dan jenis kelamin). Faktor-faktor tersebut antara lain : 1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.

Page 27: Hipertensi berdasarkan etiologi

a. Genetik (riwayat keluarga) Laki-laki yang berusia kurang dari 60 tahun dengan riwayat serangan jantung dalam

keluarga, risiko terkena penyakit jantung koroner meningkat hingga 5 kali. Dimana insiden infark miokard pada kakak beradik berhubungan secara bermakna walaupun faktor lain, seperti hipertensi, hiperlipidema dan merokok telah disingkirkan (Sitorus, 2006). b. Usia

Resiko terserang penyakit jantung koroner akan meningkat dengan bertambahnya usia. Aterosklerosis jarang terjadi pada masa kanak-kanak, kecuali bila mereka mempunyai sejarah keluarga hiperlipidemia. Namun aterosklerosis sering dijumpai pada usia sekitar 20-30 tahun dan terjadi hampir pada semua orang lanjut usia (Kumar, 2004).

Sebelum usia 65 tahun risiko serangan jantung dua kali lipat lebih besar pada laki-laki daripada perempuan, setelah usia 65 tahun risikonya menjadi seimbang. Hal ini disebabkan karena pada perempuan umumnya risiko serangan jantung meningkat tajam setelah monopouse (Lovastatin, 2006).

c. Jenis kelamin Laki-laki mempunyai kemungkinan terserang penyakit jantung koroner lebih besar

dibandingkan perempuan yang premenopause. Namun, setelah perempuan mengalami menopause, angka kejadian aterosklerosis sama dengan laki-laki. Pada perempuan terdapat hormon estrogen yang diyakini dapat memberikan perlindungan vaskular dari proses aterosklerosis karena estrogen dapat menurunkan konsentrasi LDL-kolesterol dengan meningkatkan katabolisme LDL, serta dapat meningkatkan konsentrasi HDL-kolesterol (McEvoy, 2001). 2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi. a. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol, terutama berhubungan dengan peningkatan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein), dan hal ini berkaitan dengan risiko coronary atheroma. Terdapat bukti bahwa peningkatan kadar trigliserida juga berhubungan erat dengan risiko coronary atheroma. Suatu penelitian angiograpik menunjukkan bahwa penurunan kadar kolesterol dapat memperlambat risiko prognosis pada penyakit jantung koroner, dan risiko penyakit lainnya yang mungkin menyertai. (Kumar dan Clark, 2004).

Penelitian epidemiologik, laboratorium, dan klinik yang dilakukan oleh Framingham Heart Study (FHS) dan Multiple Risk Factor Intervention Trial (MRFIT) telah membuktikan bahwa gangguan metabolisme lipid merupakan faktor sentral untuk terjadinya aterosklerosis.

b. Merokok Studi Framingham dalam penelitiannya selama 26 tahun menyatakan bahwa laki-laki

setengah umur yang perokok, risiko terkena penyakit jantung koroner meningkat 4 kali lipat dan risiko mati mendadak bahkan mencapai 10 kali lipat pada pria dan 5 kali pada wanita. Pengaruh rokok antara lain mempercepat terjadinya aterosklerosis dan trombosis, penurunan kolesterol HDL, peningkatan kadar fibrinogen dan jumlah sel darah putih, dan juga mengurangi kontraktilitas otot jantung (Sitorus, 2006). c. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko mayor untuk aterosklerosis pada semua umur. Laki-laki dengan usia 45 dan 62 tahun dengan tekanan darah >169/95 mmHg mempunyai resiko lebih besar menderita PJK dibandingkan yang memiliki tekanan darah 140/90 mmHg atau kurang (Kumar, 2004). d. Diabetes mellitus

Page 28: Hipertensi berdasarkan etiologi

Penderita DM memiliki risiko menderita infark miokard akut 2 kali lebih besar daripada mereka yang non-diabetik. Dimana DM dapat menyebabkan hiperlipidemia sekunder (Sitorus, 2006).

Individu dengan diabetes mellitus memiliki kolesterol dan trigliserida plasma yang tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar organ menyebabkan hipoaksi dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang berperan menimbulkan aterosklerosis. (Corwin, 2001).

e. Obesitas Obesitas merupakan faktor risiko untuk hipertensi, diabetes, penyakit jantung koroner

dan stroke. Faktor yang dianggap bertanggungjawab terjadinya hipertensi pada obesitas antara lain adalah ekspansi volume ekstra seluler yang mengakibatkan hipervolume dan peningkatan isi semenit, aktivasi simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron (Waring, 2007). f. Stres

Stres dapat menyebabkan lepasnya katekolamin. Namun masih dipertanyakan apakah stres bersifat aterogenik atau hanya mempercepat serangan. Faktor-faktor ini, semakin memperbesar risikonya untuk menderita penyakit aterosklerosis (Kumar, 2004). g. Alkohol

Alkohol mempunyai efek merugikan yang dapat memicu proses biokimiawi terjadinya penyakit jantung koroner. Minum alkohol berlebihan jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan liver, ganguan profil lipid, peningkatan tekanan darah yang mempunyai efek merugikan pada tekanan darah sistolik dan meningkatkan risiko trombosis (SIGN, 2007)

2.4.4 Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner Penyakit jantung koroner (coronary artery disease) disebut juga ischemic heart disease

yaitu terjadinya penyumbatan sebagian atau total dari satu atau lebih pembuluh darah koroner yang diawali dengan penimbunan lemak pada lapisan pembuluh darah tersebut. Penyumbatan pembuluh darah koroner terjadi akibat adanya proses aterosklerosis (Walker, 2003).

Page 29: Hipertensi berdasarkan etiologi

Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil (Muchid dkk, 2006).

Pembentukan aterosklerosis dapat dipengaruhi oleh tekanan darah tinggi, dimana tekanan darah yang tinggi secara kronis dapat menimbulkan gaya rengang yang dapat merobek lapisan endotel arteri atau arteriol. Dengan robeknya lapisan endotel, maka timbul kerusakan yang berulang-ulang sehingga terjadi peradangan, penimbunan sel darah putih dan trombosit, serta pembentukan bekuan. Setiap trombus yang terbentuk dapat terlepas dari arteri sehingga terjadi embolus di bagian hilir (Corwin, 2001).

Page 30: Hipertensi berdasarkan etiologi

Peningkatan tekanan darah sistemik juga akan meningkatkan resistensi terhadap pemompaan ventrikel kiri sehingga beban kerja jantung bertambah. Akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel sehingga kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung terlampaui. Jantung semakin terancam bila terjadi aterosklerosis koroner karena suplai oksigen miokardium akan berkurang sedangkan kebutuhan oksigen miokardium akibat hipertrofi ventrikel meningkat. Pada akhirnya akan menimbulkan angina atau infark miokard (Kumar, 2004).

Infeksi diketahui juga mempengaruhi pembentukan aterosklerosis, dimana melibatkan kelompok bakteri dan virus khususnya Clamydia pneumoniae dan cytomegalovirus. Mengenai mekanisme kerjanya pada aterosklerosis sukar untuk dipahami, namun diperkirakan ada hubungannya dengan proses peradangan atau akibat respon perubahan pada dinding sel pembuluh darah karena terjadinya injury. Penggunaan terapi antibiotik harus diberikan pada pasien Penyakit Jantung Koroner (Kumar, 2004).

Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadi penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan pembuluh koroner. Pada saat ini muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark

Page 31: Hipertensi berdasarkan etiologi

miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif (Muchid dkk, 2006).

Gambar 2.9 Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan Complication) Pada Plak Aterosklerosis 2.4.5 Manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner

Iskemia miokard terjadi akibat ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Kumar dan Clark, 2004).

Iskemia miokard terjadi akibat plak ateroma pada arteria koronaria. Ateroma tersebut menyebabkan stenosis, yang makin lama makin memberat. Manifestasi klinis iskemia miokard akan muncul bila stenosis sudah mencapai 60% atau lebih. Iskemia miokard biasanya dirasakan sebagai nyeri yang khas yang disebut angina pektoris. Berbagai manifestasi klinis dapat terjadi bermacam-macam, yaitu : 1. Asimptomatik 2. Angina Pektoris Stabil 3. Sindroma Koroner Akut

a. Angina Pektoris tidak stabil b. Infark Miokard tanpa elevasi gelombang ST

c. Infark Miokard Akut dengan elevasi gelombang ST 4. Angina Variant (Prinzmetal) 5. Aritmia, dapat bermacam-macam bentuknya sampai terjadinya kematian mendadak. 6. Gagal Jantung, baik sistolik maupun diastolik.

Adapun manifestasi klinik yang utama dari penyakit jantung koroner meliputi : a) Angina pektoris stabil b) Sindrom Koroner Akut, yaitu angina pektoris tidak stabil, infark miokard akut (infark

miokard akut tanpa ST elevasi dan infark miokard akut dengan ST elevasi).

(Adipranoto, 2006; Muchid dkk, 2006). 2.4.5. Diagnosis Penyakit Jantung Koroner

Diagnosis penyakit jantung koroner meliputi : 1. Anamnesa :

Nyeri angina yang khas dengan pola yang menetap dalam hal pencetus, lamanya dan intensitasnya. Didapatkan faktor-faktor resiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner.

2. Pemeriksaan fisik : Tidak ada yang spesifik pada pemeriksaan fisik.

3. Pemeriksaan penunjang : • EKG istirahat : dapat menunjukkan adanya depresi segmen ST dan inversi gelombang T

yang spesifik ataupun EKG dapat juga normal.

• Laboratorium : darah rutin, gula darah, kreatinin serum, profil lipid. • Foto thorax. • Ekokardiografi. • Uji latih beban. • Pencitraan nuklir.

Diagnosa Banding : 1. Kelainan pada esophagus : esofagitis oleh karena refluks.

Page 32: Hipertensi berdasarkan etiologi

2. Kolik bilier. 3. Sindroma kostosternal : oleh karena inflamasi pada tulang rawan kosta. 4. Radikulitis servikal. 5. Kelainan pada paru : pneumonia, emboli paru. 6. Nyeri psikogenik.

(Adipranoto, 2006) 2.4.6 Penatalaksanaan Pengobatan Pada PJK 2.4.6.1 Nitrat

Nitrat bekerja dengan mengurangi kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai oksigen. Nitrat I.V harus diberikan pada pasien yang masih mengalami nyeri dada setelah pemberian 3 tablet nitrat sublingual (bila tidak ada kontraindikasi seperti penggunaan sildenafil dalam 24 jam terakhir) EKG menunjukan iskemia miokard (menderita gagal jantung). Pemberian intravena dilaksanakan dengan titrasi ke atas (dosis lebih besar) sampai keluhan terkendali atau sampai timbul efek samping (terutama nyeri kepala atau hipotensi). Kemudian Nitrat oral dapat diberikan setelah 12-24 jam periode bebas nyeri.

Page 33: Hipertensi berdasarkan etiologi

Rebound angina dapat terjadi bila nitrat dihentikan secara mendadak Nitrat mempunyai efek anti-iskemik melalui berbagai mekanisme : 1. Menurut kebutuhan oksigen miokard karena penurunan preload dan afterload, 2. Efek vasodilatasi sedang, 3. Meningkatkan aliran darah kolateral, 4. Menurunkan kecendrungan vasospasme, serta 5. Potensial dapat menghambat agregasi trombosit. (Muchid dkk, 2006). 2.4.6.2 Anti Hipertensi

Menurut InaSH (Indonesian Society of Hypertension) penyakit jantung iskemik merupakan kerusakan organ target yang paling sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Pada pasien hipertensi dengan angina pektoris stabil, obat pilihan pertama β-blocker (BB) dan sebagai alternatif calcium channel blocker (CCB). Pada pasien dengan sindroma koroner akut (angina pektoris tidak stabil atau infark miokard), pengobatan hipertensi dimulai dengan beta bloker dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) dan kemudian dapat ditambahkan anti hipertensi lain bila diperlukan. Pada pasien pasca infark miokard, ACEI, beta bloker dan antagonis aldosteron terbukti sangat menguntungkan tanpa melupakan penatalaksanaan lipid profil yang intensif dan penggunaan aspirin (www.inashonline.org). 2.4.6.3 Anti Platelet

Page 34: Hipertensi berdasarkan etiologi

Aspirin dosis rendah termasuk golongan anti platelet yang bisa mengurangi kemungkinan serangan jantung berulang dengan cara mencegah melekatnya sel-sel darah (platelet-platelet) bersama-sama. Aspirin paling baik digunakan bersama makanan untuk mencegah iritasi lambung. Kontraindikasi aspirin sangat sedikit, termasuk alergi (biasanya timbul gejala asma), ulkus peptikum aktif, dan diatesis perdarahan. Aspirin disarankan untuk semua pasien PJK, bila tidak ditemui kontraindikasi. Pada penderita yang kontra indikasi dengan aspirin dapat diganti dengan ticlopidin atau clopidogrel yang merupakan golongan ADP (Antagonis Reseptor Adenosin Diphospat) (Muchid dkk, 2006). 2.4.6.4 Anti Koagulan

Heparin diberikan pada penderita dengan risiko sedang dan tinggi. Berbeda dengan UFH (Unftactionated Heparin), LMWH (Low Molecular Weight Heparin). LMWH mempunyai efek antifaktor Xa yang lebih tinggi dibandingkan efek antifaktor IIa (antitrombin). Rasio antifaktor Xa dan antifaktor IIa yang lebih tinggi menunjukan efek inhibisi pembentukan trombin dan efek hambatan terhadap aktivitas trombin yang lebih besar. LMWH mempunyai efek farmakokinetik yang lebih dapat diramalkan, bioavaliabilitasnya lebih baik, mengurangi ikatan pada protein pengikat heparin, waktu paruhnya lebih lama, tidak membutuhkan pengukuran APTT, risiko perdarahan kecil, serta pemberian lebih mudah, Secara ekonomis lebih hemat (Muchid dkk, 2006). 2.4.6.5 Terapi Inhibitor Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa

ACC/AHA dalam pedomannya merekomendasikan penggunaan antagonis reseptor GP IIb/IIIa dengan berbagai alasan dan pertimbangan antara lain; Berdasarkan data klinis terkini, tirofiban dan eptifibatide harus dipertimbangkan sebagai tambahan dari aspirin, klopidogrel dan UFH / LMWH, untuk penggunaan upstream pada pasien APTS (Angina Pektoris Tidak Stabil) atau NSTEMI dengan iskemi yang berkepanjangan atau kondisi risiko tinggi lainnya. Abciximab dan eptifibatide tetap merupakan pilihan pertama dan kedua pada pasien APTS/NSTEMI. Yang menjalani angioplasti atau stenting, yang sebelumnya tidak mendapat antagonis reseptor GP IIb /IIIa (Muchid dkk, 2006). 2.4.6.6 Terapi Fibrinolitik

Terapi fibrinolitik (dulu dinamakan trombolitik) bermanfaat pada STEMI, akan tetapi secara umum terapi ini tidak disarankan pada Angina unstabil dan NSTEMI. Contohnya adalah streptokinase, alteplase, reteplase dan tenecteplase (Muchid dkk, 2006).

Direkomendasikan pada pasien berusia <75 tahun yang datang kerumah sakit setelah 12 jam onset nyeri atau pasien berusia 75 tahun atau lebih yang datang kerumah sakit antara 12 jam dan 24 jam onset nyeri dengan tanda-tanda iskemia berlanjut (Dipiro, 2005). 2.4.6.7 Statin

Obat golongan ini dikenal sebagai penghambat HMGCoA reduktase. HMGCoA reduktase adalah suatu enzym yang dapat mengontrol biosintesis kolesterol. Dengan dihambatnya sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menurunkan kadar LDL dan kolesterol total serta meningkatkan HDL plasma. Suatu penelitian membuktikan penurunan kadar lemak atau kolesterol secara agresif oleh obat golongan statin sangat bermanfaat dalam menekan atau mengurangi kejadian-kejadian koroner akut. Dilaporkan juga, pemberian statin sesudah serangan SKA ternyata dapat mengurangi lesi aterosklerosis telah diteliti secara quantitative coronary angiography, disamping perbaikan gejala klinisnya. Diperkirakan pemberian statin secara dini sesudah serangan jantung dapat mengurangi kemungkinan pembentukan lesi baru, mengurangi kemungkinan progresi menjadi oklusi. Statin juga ternyata dapat memperbaiki

Page 35: Hipertensi berdasarkan etiologi

fungsi endotel (RICIFE trial), menstabilkan plak, mengurangi pembentukan trombus, bersifat anti-inflamasi, dan mengurangi oksidasi lipid (pleotrophic effect) (Muchid dkk, 2006).