Highlight - dinus.ac.iddinus.ac.id/repository/docs/ajar/Sri_Rejeki_ZINE... · pembimbing untuk...
Transcript of Highlight - dinus.ac.iddinus.ac.id/repository/docs/ajar/Sri_Rejeki_ZINE... · pembimbing untuk...
1
Edisi Juli 2017
Highlight: Classic Time! Berjalan-jalan di tengah kota? Siapa takut! Yang Klasik di Antara Yang Modern: Menikmati bangunan tua di Kota Lama sambil ngopi
Buat para pujangga
Couplet, Puisi, & Haiku
Belajar nyusun skrip radio di
2
Ketika kita memperhatikan kehidupan saat
ini, kita tidak akan lepas dari tehnologi, terutama saat
berkomunikasi, melalui pesan singkat misalnya.
Akan tetapi ketika kita menengok ke belakang,
melihat bagaimana orang-orang berkomunikasi melalui
surat-menyurat, banyak hal yang disampaikan dalam
secarik kertas. Okay, mungkin bagi generasi
millennia, surat-menyurat sudah dianggap “tabu”
karena ketidak-praktisannya dalam menyampaikan
pesan. Tapi di sini saya mencoba melihat sisi
berbeda, yaitu packaging surat itu sendiri.
Surat yang ditujukan untuk keluarga, tentu
berbeda dengan surat yang ditujukan untuk, misal
kekasih hati, sahabat, atau rekan kerja. Amplop,
perangko, kertas, sampai tulisan tangan tegak
bersambung ala film ’50-an, adalah sesuatu yang unik
bagi saya. Klasik, dan tersirat kesan elegan di
dalamnya. Perasaan tulus juga tersirat di setiap
goresan pena.
Agak tidak nyambung dengan zine ini
memang.Namun saya hanya ingin menyampaikan
kesan klasik yang saya balut dengan tema dark untuk
zine kali ini. The rest tergantung kepada pembaca.
Semoga terhibur!
Redaktur
Sri Rejeki
C12.2014.00505
089675211346
Daftar Isi
The Greeting
2
About Me! : Je
3
Novel Review: Sherlock Begins, A Study In Scarlet
5
Tas Lusuh & Fortuner Putih
7
Pojok Sastra:
…Katanya
9
Karma Kurma
10
Fenomena Viral
10
Haiku: Sakura
11
Let’s Travel!: Yang Klasik di Antara yang Modern
12
Instant Radio: Skrip Iklan
16
3
Terlahir dengan nama Sri Rejeki, memiliki panggilan Sri,
Cumik, Jeki, Je, Cilikan, dan Srindut. Untuk sekarang, cukup panggil Je saja. Lahir di
sebuah daerah kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Kabupaten Blora.
Anak terakhir dari lima bersaudara, dan sekarang adalah satu-satunya anak yang belum
berkeluarga. Sejak kecil memiliki ketertarikan dengan bahasa, asing maupun Bahasa
Indonesia, karena sering mendengar lagu-lagu Scorpion dan Guns ‘n Roses dari kakak
laki-laki saya. Maka dari itu, kakak pertama saya mendaftarkan diri saya ke les Bahasa
Inggris saat kelas lima SD. Dan itu, hanya bertahan selama kira-kira satu bulan, karena
libur panjang dan tidak ada kabar selanjutnya dari guru les.
Guru les Bahasa Inggris ini sangat terkesan bagi saya karena tanpa disangka,
beliau adalah guru Bahasa Inggris di SMP saya. Sedikit canggung awalnya, tapi lama-
lama terbiasa juga. Di sini, minat belajar terhadap bahasa asing meningkat, seiring
dengan masuknya budaya Jepang melalui tayangan anime di televisi. Sedikit demi sedikit
saya belajar membaca huruf hiragana secara otodidak. Bukan hanya itu, karena pengaruh
dari sahabat yang bernama Juli, saya juga sering menggambar dan sesekali membuat
cerpen tanpa pernah diterbitkan. Karena dia juga, saya sempat belajar Bahasa Cina, tapi
hanya sekedar ingin tahu saja. Bisa dibilang, masa-masa SMP inilah saya mulai tahu
“jalan” saya ke depan. Bukan hanya itu, di SMPN 1 Banjarejo ini saya juga menemukan
sahabat yang membuat saya selalu ingat akan perjuangan dari nol untuk meraih mimpi.
Berbekal nilai yang lumayan dari hasil UAN di SMP, saya mendaftar ke salah
satu sekolah favorit sekabupaten yaitu ke SMAN 1 Tunjungan Blora. Di sini saya banyak
belajar tentang kompetisi jika dibanding dengan saat SMP dulu. Saya masih sering
menulis cerpen, tapi tidak sesering dahulu. Kelas dua mungkin selalu menjadi tahun
emas saya, karena di tahun kedua SMA ini saya mengikuti kegiatan ekstrakulikuler
majalah sekolah. Di sana, saya bebas berekspresi melalui tulisan.
Jarang suka selfie tapi alay
Enak diajak curhat, tapi tetap alay
4
Meski hanya satu tahun keanggotaan, saya cukup bangga karena dalam dua kali
terbit, saya sudah menyumbang beberapa karya, antara lain cerpen dalam Bahasa
Indonesia, puisi Bahasa Inggris, laporan hasil kegiatan lapangan, dan sempat menjadi
editor tulisan.
Menyelami dunia kepenulisan tak semudah yang saya kira sebelumnya.
Mungkin karena belum pernah mencoba menerbitkan karya, jadi saya menganggap
tulisan saya adalah style saya. Setelah mengikuti ekstrakulikuler inilah saya menjadi
sedikit lebih paham mengenai kompetisi dalam berkarya. Karya saya juga sempat ditolak
oleh guru pembimbing karena kurang sesuai dengan tema terbitnya majalah saat itu. Di
situ saya sempat down, tapi saya tidak putus asa begitu saja. Jika karya tidak bisa terbit,
saya bisa saja menjadi “pemantau” karya orang lain. Benar saja, saya diminta oleh guru
pembimbing untuk membantu proses editing tulisan yang akan terbit. Dalam proses
editing, saya juga belajar tentang layout dan pemilihan kata yang lebih cocok bagi orang
pada umumnya.
Awal Januari 2013 sampai pertengahan tahun 2014 saya bekerja di PT Metec
Semarang, perusahaan Jepang yang berlokasi di daerah industri Tanjung Emas. Satu
tahun setengah bekerja di sana, saya kagum dengan cara perusahaan menjalankan
pabriknya. Keteraturannya, kedisplinan waktunya, kebersihannya, dan yang paling
penting adalah keselamatan bagi pekerjanya. Saya merasa bahwa mereka menganggap
pekerja adalah aset paling berharga bagi pabrik karena jika tanpa para pekerja, pabrik
hanyalah sebatas pabrik, tanpa hasil yang dapat dijual. Karena itu, gaji yang diberikan
perusahaan ini bisa saya tabung untuk membayar uang kuliah saya, meski hanya di awal-
awal kuliah.
Kuliah adalah hal yang saya idamkan sejak SMA. Terutama setelah bekerja,
saya sempat ragu apakah akan masuk ke Sastra Jepang atau Sastra Inggris. Saya sendiri
merasa tersihir dengan lingkungan saya bekerja, dan memutuskan untuk mengambil
Sastra Jepang. Keputusan ini tidak salah karena di sini saya belajar banyak, bukan hanya
bahasa dan budaya Jepang, namun juga keorganisasian. Mengikuti dua organisasi
mahasiswa sekaligus, membuat saya menjadi mengerti dua sisi yang berbeda. Arti
tanggung jawab, kebersamaan, manajemen waktu, dan arti profesionalisme. Di bangku
kuliah ini, saya masih berharap suatu saat ada satu karya saya terbit dan dibaca oleh
banyak orang setelah saya gagal mengikuti kompetisi menulis di semester tiga lalu.
5
Ilmu Deduksi Ala Detektif
Novel Review: Sherlock Begins
A Study In Scarlet
Sherlock Holmes merupakan tokoh fiksi gubahan penulis asal Inggris, Sir
Arthur Conan Doyle. Pada akhir abad ke 19, novel karya Conan Doyle ini laris di
pasaran Inggris berkat sosok detektif jenius nyentrik yang terkenal dengan ilmu
deduksinya. Sherlock Begins: A Study in Scarlet adalah novel pembuka petualangan
panjang Sherlock Holmes yang sudah dialih bahasakan ke banyak bahasa, terutama
Indonesia. Di Indonesia, buku ini bahkan diterbitkan oleh banyak penerbit buku, salah
satunya adalah Penerbit Bukune dan sudah dicetak sebanyak dua kali yaitu pada
tahun 2012 dan 2013. Versi Indonesia dari buku ini diterjemahkan oleh Zia Anshor dan
disunting oleh Resita Wahyu. Sesuai dengan judulnya, sampul buku yang didesain oleh
Gita Mariana ini menonjolkan tuilsan judul dan pengarang berwarna merah “scarlet”,
ditambah siluet sosok Sherlock dari samping berwarna merah pula, dengan
background sampul berwarna putih.
Meski sampulnya terkesan simpel tapi cerita yang disuguhkan sangat tidak
simpel. Pada awal bab diceritakan awal pertemuan Dr. John Watson dengan Sherlock
Holmes. Di dalam novel ini, Conan Doyle menggunakan sudut pandang pertama dari
sisi Dr. Watson. Meski menggunakan sudut pandang orang pertama, alur yang
dituliskan terperinci seperti saat Dr. Watson mengikuti kasus pertamanya bersama
Sherlock Holmes.
Judul Buku: Sherlock Begins; A Study In Scarlet Author: Sir Arthur Conan Doyle Penerbit: Bukune (versi Indonesia) Tahun terbit: 2014 (Indonesia), 1887 (versi asli) Cetakan ke: 2 Halaman: 212 halaman
6
Sama halnya dengan cerita-cerita detektif zaman modern. Polisi, kematian,
saksi mata, barang bukti, semua ada di novel ini. Di novel ini akan diuraikan kasus
kematian pria tua dengan tidak wajar, sehingga Sherlock dipaksa terseret dalam teka-
teki kematian yang tak meninggalkan barang bukti kecuali satu kata dalam Bahasa
Jerman “Rache”.
Dari sinilah petualangan seru Sherlock bersama partner barunya, Dr. Watson
menguak misteri yang hanya bisa ia pecahkan. Bahkan Lestrade, polisi terkenal di
London, akan datang ke “detektif konsulat” –begitu Sherlock menyebut dirinya.
Akankah detektif yang tidak terendus massa ini berhasil menyelesaikan kasusnya?
Keseluruhan isi novel ini cenderung “berat” Karena cakupan pemikiran
Sherlock yang luas, ditambah dengan istilah serta nama-nama kota di Inggris,
terutama kota London. Tapi bagi penyuka cerita detektif, novel ini sangat cocok dan
sangat direkomendasikan. Banyak hal baru yang akan membuat pembaca merasa
masuk ke dalam dunia penyelidikan.
7
Tas Ransel Lusuh & Fortuner Putih
iang itu, seperti biasa aku dan Rani makan siang di warteg sebelah kantor.
Seperti biasa pula kulihat pengamen kecil yang biasa mengamen di
sepanjang jalan kios warung makan itu sedang “memanfaatkan” waktu
istirahat untuk mencari pundi-pundi rupiah. Rani yang berasal dari keluarga
menengah – ke atas, tak jarang mengomentari penampilan lusuh pengemis yang terkadang
lewat meminta-minta.
“Don’t jugde a book by the cover,” ucap Rani siang itu.
“Makanya, Ran, biarpun mereka mengemis, mengamen, minta-minta, siapa tahu
mereka justru menyedekahkan sebagian hasil yang mereka dapat, ke yatim piatu misal, atau
ke panti jompo. Iya, ‘kan?” kataku sambil mencari uang kecil dan memberikannya kepada
pengemis wanita paruh baya yang menenteng tas ransel lusuh.
“Justru sebaliknya, Mik,” Rani hanya memandangi pengemis tersebut. “Bisa aja,”
lanjut Rani setelah pengemis tersebut mengucap terimakasih, lalu pergi. “Mereka justru lebih
kaya daripada kamu.”
“Hah?” tentu saja aku kaget sekaligus heran. “Ada-ada saja kamu ini, Ran. Mana
mungkin,” lanjutku dengan senyum ketir, dan Rani masih bersikukuh dengan teori-teori yang
menyangkut pendapatan para pengemis dan pengamen. Aku mendengarkan saja
celotehannya sampai jam istirahat hampir berakhir.
Pukul lima sore, aku merapikan meja kerjaku. Rani yang sudah siap pulang,
menghampiriku dengan membawa kunci mobilnya. Kami mampir di pom bensin, mengisi
tangki bensin Rani sekaligus solat magrib karena jalanan pasti macet di jam-jam seperti ini.
Antrean di pom bensin pun panjang. Ketika aku mencari tulisan “mushola” melalui kaca
jendela, aku melihat mobil Fortuner berwarna putih sedang parkir di depan mushola.
“Mik, Mika!” seru Rani ketika hendak kulepas seatbelt. “Itu, ‘kan…” Rani menunjuk
arah mushola. “Pengemis yang tadi.” Aku tak begitu memperhatikan “pengemis tadi” yang
dimaksud Rani. Setelah kuingat-ingat, ya, itu pengemis yang tadi kami jumpai saat makan
siang.
“Memangnya kenapa?”
“Nggak sih. Udah, sana solat.” Aku pun segera menuju ke kamar kecil samping
mushola. Pengemis itu ternyata juga ke kamar kecil yang hanya ada satu bilik di sana. Aku
terpaksa menunggu di depan pintu kamar kecil, sambil melepas jam tangan, menggulung
lengan tangan, dan mengikat rambut yang sedari tadi kugerai.
Waktu berlalu. Aku sesekali melihat jam tangan yang kusimpan di kantong rokku.
Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu sejak pengemis itu masuk ke kamar kecil ini. Mungkin
sedang menata jilbabnya, merapikan bajunya, atau, entahlah, aku terus saja berpikiran positif.
Dua puluh menit berlalu, akhirnya pintu kamar kecil terbuka. Aku pun memasang senyum
kecil. Senyum kecil yang sudah kupersiapkan perlahan punah ketika aku melihat wanita
bermake-up tebal dengan baju mewah, sepatu hak tinggi, memakai wig mahal, sambil
menjinjing tas ransel yang pernah kulihat siang tadi, keluar dari bilik kamar kecil itu. Tanpa
ragu, wanita itu berjalan dengan angkuhnya menuju mobil Fortuner putih dan segera melaju
menuju jalan raya.
S
8
“Kok lama sih, Mik?” kulihat Rani tampak sudah bosan menunggu ditemani alunan
musik jazz dari radio mobilnya.
“Iya, lama,” jawabku sambil memasang seatbelt. Di sepanjang jalan, aku melihat
gerombolan pengamen, pengemis, maupun PKL yang terkena razia satpol-pp. Salah satu
yang kulihat adalah pengamen yang biasa mengamen di warteg sebelah kantor. Aku
melayangkan pandangku ke depan. Kulihat Fortuner putih sedang parkir di halaman
Babyface.
“Don’t judge a book by the cover,” lirihku.
“Hah? Apa, Mik?” ucap Rani yang masih menikmati musik jazz favoritnya.
“Eh, enggak.” Di kota ini, di malam yang seharusnya berbintang namun terhalang
oleh gemerlapnya lampu kota dan asap tebal pabrik, membuatku sulit menemukan barang
satu cahaya di langit. Mungkin karena aku yang terbiasa hidup di desa, dengan ditemani
malam bertabur bintang, membuatku merindukan cahaya itu. Namun bagi Rani yang terbiasa
hidup di kota, mungkin akan terasa biasa saja, sekalipun ia bisa dengan mudah
membedakan cahaya bintang dan sorot lampu mercusuar dari kejauhan.
Hai, pembaca Be Creative! zine! Cerpen
berjudul “Tas Ransel Lusuh dan Fortuner
Putih” ini adalah kiriman dari pembaca Be Creative! zine di Surabaya yaitu Elise
Kinanthi. Bagi kalian yang ingin cerpennya
nggak berlumut di folder komputer, kirim karya kalian di rubrik khusus cerpen Be
Creative! zine melalui e-mail
[email protected] dengan melampirkan file berformat .docx & isi
subjek “CERPEN – JUDUL KARYA –
NAMA PENA - KOTA ASAL”. Sertakan
juga identitas diri di badan e-mail, ya! Karya yang terpilih akan kami hubungi & kami
muat di Be Creative! zine setiap edisinya.
Ayo berkarya!
9
…Katanya
Katanya ingin maju
tapi melangkah tak mau
Katanya ingin laku
tapi menjual pun malu
Katanya sih mau eksis
tapi lagu unduhan gratis
Katanya sih cinta alam
tapi sampahnya kok sekolam
10
Karma Kurma
Kuingin kau merasakan karma
Karna karma tak semanis kurma
Fenomena Viral
tukang bakso viral
penjual pecel viral
polisi cantik viral
kasir minimarket viral
mungkin menjelang ajal
juga viral
11
Terjemahan:
Sakura
Mengalir Langit berwarna jingga Di sungai itu
Romaji: Nagareteru Momoiro no sora Soko no kawa
12
Setelah melewati hari Senin sampai Jumat yang melelahkan, saatnya menyegarkan
pikiran di akhir pekan. Berwisata alam adalah salah satu pilihan tepat agar rasa penat dapat
berkurang. Namun bagaimana kalau Anda tinggal di tengah kota yang sulit mendapatkan
suasana alam? Berwisata kota? Tidak masalah.
Bagi Anda yang tinggal di kota Semarang, pasti sudah tidak asing dengan Kota
Lama. Bagi Anda orang perantauan atau luar Semarang yang penasaran dengan Kota Lama,
tidak perlu khawatir karena jika Anda tersesat dan bertanya tentang Kota Lama kepada
siapa pun yang Anda temui di jalan, pasti semua tahu. Untuk menuju ke Kota Lama sendiri
bisa ditempuh dengan mudah, dengan berbagai cara. Jika Anda berkendara sendiri tentu
lebih mudah. Jika tidak memiliki kendaraan sendiri pun Anda tetap dapat berkunjung ke
Kota Lama karena lokasinya yang strategis. Dari Simpang Lima, Anda bisa naik angkot
jurusan Johar dari Jl. Gajah Mada, turun di Kantor Pos Besar, atau kalau tidak tahan dengan
panasnya Kota Semarang, cukup merogoh kocek Rp.3500,- Anda bisa naik Trans Semarang
dari halte Simpang Lima, naik koridor III jurusan Pelabuhan turun di Halte Kota Lama, atau
koridor IV jurusan Stasiun Tawang, turun di Halte Stasiun Tawang.
Di Kota Lama, ada banyak spot yang membawa Anda seolah kembali ke zaman
kolonial Belanda. Dilihat dari struktur jalannya saja, sepanjang Jl. Letjen Suprapto menuju
ke Kantos Pos Besar dan dari kawasan Mberok sampai Stasiun Tawang, bukan aspal yang
menempel tetapi paving dari zaman sebelum Indonesia merdeka. Paving-paving ini tertata
rapi dan tertempel kuat sebagai pengganti aspal. Keberadaan paving inilah yang
menjadikan Kota Lama menjadi “tua” di tengah semakin modernnya pembangunan kota
Semarang. Bukan hanya paving namun juga bangunan di kawasan Little Netherland ini
masih mempertahankan ciri khasnya yaitu pintu dan jendela yang besar dan bercat putih
menyerupai konsep bangunan Eropa tahun 1700an. Hal inilah yang menjadi daya tarik
wisatawan saat berkunjung.
13
“Pusat” dari Kota Lama terletak di sepanjang Jl. Letjen Suprapto yang merupakan jalan
satu arah menuju Kantor Pos Besar. Jadi, mari kita kunjungi spot-spot yang menarik di
sepanjang jalan ini. Begitu memasuki jalan ini kita sudah disuguhi dengan distro dan kafe.
Agar tidak mengantuk selama perjalanan nanti, yuk ngopi dulu! Oiya, saran saya, bawalah
payung karena di Semarang cuacanya akan panas kalau siang dan tak jarang turun hujan
saat musimnya.
Kita menuju ke Tekodeko Koffiehuis, kafe yang
terletak di sebelah kanan jalan ini mengusung konsep
retro-modern dengan menu utama kopi pastinya. Di
sana Anda bisa menikmati makanan dan kopi dari
berbagai rasa di Eropa, Amerika, dan Indonesia. Tidak
hanya kopi, ada juga minuman lain seperti frape, coklat,
dan berbagai jus buah yang bisa Anda pesan. Harga
yang dipatok sesuai dengan rasa yang disuguhkan. Di Tekodeko, Anda tidak hanya bisa
menikmati makanan dan minuman tapi bisa juga mengabadikan momen karena interior
kedua lantai yang instagram-able, dan bisa juga membeli souvenir yang ditawarkan di sana.
Terkadang ada turis yang mampir di sana lho.
Lanjut ke Semarang Contemporary Art Gallery. Tempat ini diperuntukkan bagi
Anda pecinta seni, khususnya seni lukis. Dengan
tiket seharga Rp.10,000,- Anda bisa melihat
mahakarya dari pelukis berdarah dingin
dengan karya yang out of the box. Ada banyak
lukisan dari berbagai aliran dan tehnik melukis.
Bangunan yang terdiri dari dua lantai
yang didominasi warna tembok putih dan
lantai kayu ini bisa dibilang surganya lukisan di
Semarang. Saya yang kurang paham betul tentang lukisan saja langsung kagum begitu
masuk ke dalam “surga” ini. Anda mungkin yang
kuliah di jurusan DKV atau seni lukis, sedang mencari
ide, bisa mengunjungi Semarang Contemporary Art
Gallery untuk mencari “wangsit”. Bukan hanya
penikmat seni, tapi banyak juga anak muda yang
sekedar numpang eksis, memilih tempat ini untuk
dijadikan tempat mengambil gambar.
Interior lantai 1 Tekodeko
Pintu masuk Semarang Contemporary Art Gallery
Salah satu pameran lukisan
14
Puas menikmati lukisan, kita pindah ke Pasar Klitikan. Pasar ini menyediakan
barang-barang antik dan terbagi menjadi dua lokasi,
yang satu di depan Satlantas, yang satu di
sekitaran Taman Srigunting. Tidak ada
perbedaan yang signifikan dari segi barang yang dijual.
Pasar ini ada karena sebagian besar penjual
adalah anggota “Padangrani” yaitu
Paguyuban Pedagang Barang Seni.
Di pasar ini, “Lihat-lihat dulu aja gak apa-apa,” kata penjual tiap kios yang saya
hampiri. Dengan senyum ramah, para penjual ini dengan sabar melayani pengunjung dan
menjawab pertanyaan yang diajukan. Meski cuma sekedar menjawab pertanyaan, para
penjual ini tetap ramah mempersilakan siapa pun mengeksplorasi barang dagagannya yang
cukup unik bagi pecinta barang antik. Barang yang dijual berbagai macam, mulai dari yang
kecil seperti koin jadul dari berbagai belahan dunia dan Indonesia, uang kertas yang sudah
langka, majalah tahun 1950an, lampu petromax, aksesoris jaman dahulu, gelas plus teko
keramik klasik yang mewah, guci, lukisan, asbak, patung dari yang kecil sampai yang
seukuran manusia, radio, jam, kamera polaroid, dan berbagai barang antik lainnya.
Menurut salah seorang penjual, biasanya yang membeli ya kolektor, kalau anak muda
sangat jarang yang berminat membeli. Mungkin Anda tertarik mengoleksi uang koin
bernilai mulai dari 5 sen atau mencari uang kertas Rp.500,-?
Diapit oleh Pasar Klitikan, berdiri kokoh dan mewah bangunan bercat putih bersih
bernama Spiegel. Seperti Tekodeko, tempat ini cocok dijadikan tempat nongkrong bareng
teman atau pacar, namun lebih berkelas. Tentang
harga, jangan ditanya, yang pasti sepadan dengan
menu dan pelayanan yang ditawarkan. Kafe ini
memang diperuntukkan bagi kalangan menengah ke
atas dan cocok untuk candle light dinner. Tapi anak
muda sekarang juga banyak yang berkunjung dan
mencicipi aneka makanan Eropa di sini. Bagi Anda
yang ingin mencicipi kuliner dengan budget pas-pasan,
di depan Spiegel terdapat kucingan yang buka
mulai sore menjelang magrib dan menjajakan makanan sesuai kantong pelajar. Beralaskan
tikar dan lesehan, Anda bisa mengisi perut sambil menikmati pemandangan malam Kota
Lama dan lampu lalu lalang kendaraan. Apalagi lokasinya berdekatan dengan ikon Kota
Lama yaitu Gereja Blenduk, dan berseberangan dengan gedung Marba sehingga Anda bisa
juga mengambil foto di sana.
Salah satu kios Padangrani
15
Tak hanya sampai di situ, di sepanjang Jl. Letjen
Suprapto masih ada spot yang instagram-able. Apalagi
kalau bukan Gereja Blenduk. Bernama asli GPIB Immanuel,
gereja yang memiliki ciri khas dengan kubah perunggunya
ini, dari pagi, siang maupun malam, ramai dijadikan spot
foto wisatawan. Jika Anda kepanasan, bisa beristirahat di
Taman Srigunting yang berada tepat di depan gereja ini.
Tak lupa juga terdapat beberapa penjual minuman yang siap mengobati rasa haus
Anda. Di taman ini adalah tempat berkumpulnya pengunjung berbagai usia. Dari anak kecil
yang menangis minta dibelikan es krim orang tuanya, sekumpulan anak sekolah yang
berfoto, pasangan muda-mudi yang duduk berdampingan, sampai kakek-nenek yang
menunggu cucunya membelikan minum. Duduk di taman ini, berbagai cerita kehidupan
bisa kita lihat dari berbagai sudut pandang.
Seharian berkeliling Kota Lama, kurang afdol kalau
tidak mengambil foto di Old City 3D Art Museum. Seperti
namanya, tempat ini menyediakan 108 gambar 3D untuk
dijadikan spot berfoto. Dengan harga masuk Rp.40,000,-
kita bisa mengambil foto sepuas hati, bahkan bisa minta
bantuan pegawai yang ramah. Berbagai tema foto yang
ditawarkan antara lain dari kartun, film, tokoh dunia,
bahkan wisata Semarangan! Kalau Anda sudah berfoto di semua titik tempat ini, datanglah
dua atau tiga bulan lagi karena gambar-gambar ini akan
diganti dalam kurun waktu tersebut. Jadi Anda tidak akan
bosan berkunjung dan berfoto di tempat ini. Setelah berfoto
ria, capek, dan lapar, Anda bisa mengunjungi Ikan Bakar
Cianjur yang terkenal seantero Semarang, tepat di seberang
gedung 3D Art Museum.
Begitu banyak spot yang bisa dikunjungi di
“Outstadt” Kota Lama, bukan hanya di sepanjang Jl. Letjen
Suprapto saja, namun jika kita masuk ke dalam gang atau menelusuri Kota Lama dari arah
Kantor Pos Besar melewati Stasiun Tawang, akan ada banyak sekali bangunan yang tetap
dipertahankan sedemikian rupa dan dipelihara demi mempertahankan ciri khas kawasan
kota ini. Bahkan, bagi Anda yang suka dengan grafiti, tidak jarang akan Anda temukan
grafiti di sepanjang jalan di Kota Lama ini. Saran saya, berkelilinglah dengan berjalan kaki
agar tidak melewatkan setiap titik yang bisa dijadikan spot untuk mengambil gambar. Bagi
saya, Kota Lama ini bukan “Lama” karena usia tapi elegan karena klasiknya. Kalau menurut
Anda?
Gereja Blenduk tampak dari Taman Srigunting
Tampak dari Luar
Salah satu gambar di 3D Art Museum
16
Instant Radio kembali dengan bahasan yang memang diperuntukkan buat kamu yang sedang belajar atau tertarik di dunia penyiaran radio. Kali ini MD Abigail
bakal ngasih kamu contoh naskah iklan promosi kampus. Simak, yaaa!
guys! Ketemu lagi sama MD Abigail. Jadi, iklan di radio itu singkat-singkat aja, guys. Maksimal satu menit aja lah. Why? Karena kalo lebih dari itu, bakal kena “charge” atau biaya
tambahan produksi dan penyiaran. Untuk format penulisannya sendiri, masing-masing script writer punya gaya tersendiri. Nah, naskah di bawah ini adalah contoh standar dari radio tempat gue kerja.” Bgm: background music Sfx: sound effect (biasanya singkat, durasi kira-kira hanya beberapa detik) Bridging: sfx digunakan biasanya untuk peralihan dari satu suasana ke suasana lain. jarang dipakai, sih. Lebih banyak menggunakan sfx biasa daripada bridging. Fade-in: volume awal pelan, menjadi keras. Biasanya digunakan di awal masuk bgm. Fade-out: Kebalikannya fade-in, guys. :D Bgm gitar akustik(fade-in, durasi kira-kira 5 detik), volume down. Sfx pintu terbuka, pintu tertutup, langkah kaki. Cowok : Ciye, yang udah lulus SMA! Cewek : Ciye yang lagi mikir skripsi. (sfx mengetik) Cowok : Betewe, mau lanjut ke mana, dek? Cewek : Nah, itu, kak. Belum tahu. Cowok : Kok belum tahu? Cewek : Ya mau gimana lagi. Sekarang lulusan S1 aja kalau mau nyari kerja susah. Cowok : Namanya juga persaingan, dek. Eh, kenapa gak daftar ke Sastra Jepang UDINUS aja? Cewek : Sastra Jepang? Cowok : Iya. Gak banyak saingan, lulus udah terjamin mau kerja di mana. Apalagi sekarang baik
Sastra Jepang maupun UDINUS udah dapet akreditasi A. Cewek : Serius? Bgm akustik fade out, sfx bridging, bgm instrumental up-beat Cowok : Iya. Di Sastra Jepang UDINUS, bukan cuma hard skill yang diajari. Tapi soft skill juga diasah
habis-habisan. Kamu bahkan bisa belajar ngurus acara festival gede. Cewek : Jadi kayak EO gitu, kak? Cowok : Yaps, betul banget. Cewek : Waaah, kayaknya menarik tuh. Boleh juga. Siapa tahu bisa bikin acara dangdut pake
Bahasa Jepang gituuu…. Sfx ketawa ringan Cowok : Hahahaha! Ada-ada aja kamu, dek. Sfx bridging Monolog : Karena pemimpin itu gak banyak. Sfx bridging outro. Bgm instrument up-beat volume up, fadeout/end.
“Hai
17
Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk membaca Be Creative! zine ini. Kritik dan saran bisa disampaikan melalui email [email protected] dengan subjek “Kritik & Saran BCZ” Semoga Be Creative! zine bisa terus menemani pembaca agar terus berkreasi. AYO BERKARYA!
Arigatou Gozaimasu
Thank You
Terima Kasih
18