high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia
Transcript of high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehamilan merupakan bagian dari proses fisiologi reproduksi manusia,
yang dalam perjalanannya dapat menjadi patologis. Salah satu keadaan patologis
dalam kehamilan adalah preeklamsi. Preeklamsi ini memiliki pengaruh atau akibat
yang serius, hingga dapat menimbulkan kematian bagi ibu maupun janinnya.
Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuri
ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal maupun
neonatal. Di seluruh dunia, preeklamsi diperkirakan mengenai sekitar 5 - 10% dari
seluruh kehamilan (WHO, 2002; Habli dan Sibai, 2008; Gupta dkk, 2009) dan
dilaporkan terdapat sekitar 50.000 sampai 76.000 kematian setiap tahun akibat
preeklamsi (WHO, 2002). Juga merupakan penyumbang sekitar 16% dari seluruh
kematian ibu di negara maju (Habli dan Sibai, 2008). Di Indonesia, angka
kejadian preeklamsi berkisar antara 2,1-8,5% dan kelainan ini masih merupakan
penyebab kematian ibu nomor dua tertinggi (24%), setelah pendarahan (Depkes
RI, 2001). Untuk angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar, periode 2002-2003
dilaporkan kejadian preeklamsi sebesar 5,83% (Oka dan Surya, 2004), pada
periode 2004-2005 sebesar 6,06% (Sudarmayasa dan Surya, 2006), sementara
pada periode 2009-2010, dilaporkan sebesar 7,31% (Lidapraja dan Surya, 2011).
Pada bidang perinatologi, sekitar 15% kelahiran preterm merupakan
prematuritas iatrogenik akibat sekunder dari kelahiran pada penderita preeklamsi.
2
Diperkirakan 1/3 bayi yang lahir dari penderita preeklamsi mengalami PJT (Auer
dkk, 2010). Preeklamsi juga meningkatkan kematian perinatal di negara-negara
maju hingga 5 kali lipat (Roberts, 2003).
Telah banyak penelitian mengenai faktor risiko, etiologi maupun
intervensi pada preeklamsi yang dilakukan, tetapi konsensus yang ada masih
dianggap kurang (Gupta dkk, 2009). Hingga saat ini teori etiologi dan patogenesis
preeklamsi masih belum ada yang dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga
preeklamsi masih digambarkan sebagai sebuah “disease of theories” (Reynolds,
2003; Habli dan Sibai, 2008). Teori-teori tersebut di antaranya adalah: (1) teori
iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel; (2) teori intoleransi
imunologik antara ibu dan janin; (3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta; (4)
teori adaptasi kardiovaskular; (5) teori inflamasi; (6) teori defisiensi gizi; dan (7)
teori genetik (Angsar, 2008).
Salah satu teori etiologi preeklamsi yang dianut saat ini mengatakan
adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan
antioksidan yang menyebabkan timbulnya stress oksidatif (Toescu dkk, 2002;
Roberts dan Hubel, 2004). Telah diketahui bahwa pada saat kehamilan normal
terdapat peningkatan produksi radikal bebas dibandingkan dengan saat tidak
hamil, dan pada preeklamsi diduga produksinya lebih banyak lagi. Stress oksidatif
yang terjadi pada preeklamsi akan meningkatkan produk hasil lipid peroksidasi.
Lipid peroksidasi tersebut diduga kuat berperan penting menyebabkan gangguan
fungsi endotel dan timbulnya gejala klinis preeklamsi (Hung dan Bruton, 2006;
Borekci dkk, 2009; Gupta dkk, 2009). Peningkatan lipid peroksidasi tersebut
3
dapat diukur dengan pelbagai metode pengukuran lipid peroksidasi dalam darah,
salah satunya menggunakan marker F2-Isoprostan (F2- IsoPs) (Patrignani dan
Tacconelli, 2005; Dalle-Donne dkk, 2006).
Saat ini F2-IsoPs merupakan marker stress oksidatif atau lipid peroksidasi
in vivo yang tergolong baru, paling baik, sangat stabil, dan secara signifikan lebih
akurat daripada marker lainnya (Patrignani dan Tacconelli, 2005; Dalle-Donne
dkk, 2006). F2-IsoPs telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, namun
darah (plasma ataupun serum) dan urin merupakan sampel penelitian yang paling
umum digunakan karena paling mudah didapatkan, paling tidak invasif, dan
memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stress oksidatif.
Isomer 8-isoprostan dari F2-IsoPs merupakan isomer F2-IsoPs yang paling
banyak dihasilkan dan paling sering diteliti (Dalle-Donne, 2006; Janicka dkk,
2010). Dan penelitian menunjukkan bahwa kadar total F2-IsoPs (bebas dan yang
terikat dengan fosfolipid) dapat menggambarkan keadaan stress oksidatif yang
sebenarnya (Barden dkk, 2001; Hung dan Bruton, 2006).
Walaupun pelbagai penelitian terhadap hubungan lipid peroksidasi dengan
preeklamsi menggunakan pelbagai marker telah banyak dilakukan, namun masih
terdapat pertentangan mengenai hasilnya. Sementara itu penelitian yang
menggunakan marker F2-IsoPs sebagai marker lipid peroksidasi terpilih saat ini
pada preeklamsi masih kurang (Henriksen, 2000; Gupta dkk, 2005; Kaur dkk,
2008). Sebagian besar penelitian lipid peroksidasi pada preeklamsi, seperti yang
juga dilakukan oleh Barden dkk (2001), Harsem dkk (2007), dan Tanto (2008),
mendapatkan kadar plasma maupun serum F2-IsoPs lebih tinggi secara signifikan
4
pada penderita preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Tetapi hasil
penelitian tersebut tidak sepenuhnya didukung secara universal (Henriksen, 2000;
Gupta dkk, 2009). Misalnya pada penelitian Ishihara dkk (2004), mereka
menyimpulkan tidak terbukti adanya stress oksidatif dengan tidak didapatkannya
perbedaan kadar plasma dan urin F2-IsoPs pada penderita preeklamsi
dibandingkan dengan kehamilan normal.
Pengukuran marker dari stress oksidatif yang dapat menyebabkan
disfungsi vaskular ini masih merupakan penelitian yang menarik karena
berhubungan dengan prediksi, risiko, etiologi, dan intervensi dari preeklamsi.
Walaupun F2-IsoPs saat ini telah diakui sebagai marker lipid peroksidasi yang
paling baik (Janicka dkk, 2010), namun peran F2-IsoPs dalam kehamilan belum
banyak diketahui. Penelitian pada preeklamsi yang mengunakan kadar total serum
F2-IsoPs sebagai marker lipid peroksidasi pun masih terbilang baru dan sedikit
dibandingkan marker lainnya. Padahal pada beberapa bidang kedokteran lain, F2-
IsoPs telah mulai digunakan sebagai marker klinis dan alat ukur keberhasilan
intervensi. Penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat menjawab hasil
penelitian yang selama ini masih kontradiktif.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian
sebagai berikut : Apakah risiko terjadinya preeklamsi pada kadar serum F2-
IsoPs yang tinggi lebih besar dibandingkan kadar serum F2-IsoPs yang
rendah?
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum :
Mengetahui peranan lipid peroksidasi melalui deteksi kadar serum F2-IsoPs pada
preeklamsi.
1.3.2 Tujuan khusus :
Mengetahui risiko terjadinya preeklamsi pada kadar serum F2-IsoPs yang tinggi.
1.4 Manfaat Penelitian :
1.4.1 Manfaat akademik
Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan stress
oksidatif terutama lipid peroksidasi pada preeklamsi, dan dapat digunakan sebagai
data dasar penelitian lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat mendukung upaya-upaya yang
sedang dilakukan untuk pencegahan preeklamsi.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Preeklamsi
2.1.1 Definisi Preeklamsi
Preeklamsi adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan kehamilan
berupa penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.
(Cunningham et al, 2001). Penyakit ini ditandai dengan peningkatan tekanan
darah dan protein urin. Preeklamsi sendiri masih merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas maternal maupun neonatal di seluruh dunia (Roberts,
2003; Gupta dkk, 2009). Sementara di Indonesia kelainan ini masih merupakan
penyebab kematian ibu nomor dua tertinggi (24%), setelah pendarahan (Depkes
RI, 2001).
Pengaruh preeklamsi pada ibu hamil bervariasi dari hipertensi ringan,
hipertensi berat, krisis hipertensi, eklamsi hingga sindrom HELLP, sedangkan
dampak kelainan ini pada janin juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT
(pertumbuhan janin terhambat) hingga kematian janin (Jaya Kusuma, 2006).
Diseluruh dunia sekitar 15% kelahiran preterm merupakan prematuritas iatrogenik
akibat sekunder dari kelahiran pada penderita preeklamsi. Dan di negara-negara
barat diperkirakan 1/3 bayi yang lahir dari penderita preeklamsi mengalami PJT
(Auer dkk, 2010). Preeklamsi juga meningkatkan kematian perinatal di negara-
negara maju hingga 5 kali lipat (Roberts, 2003).
6
7
2.1.2 Insidensi dan Prevalensi Preeklamsi
Preeklamsi merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering
dalam kehamilan, diperkirakan mengenai sekitar 5 - 10% dari seluruh kehamilan
di dunia (WHO, 2002; Habli dan Sibai, 2008) dan dilaporkan terdapat sekitar
50.000 sampai 76.000 kematian setiap tahun akibat preeklamsi (WHO, 2002).
Kelainan ini merupakan penyebab dari sekitar 16% kematian ibu di negara maju
(Habli dan Sibai, 2008). Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian
preeklamsi sekitar 5% hingga 8% dari seluruh kehamilan (Hauth, 2000).
Angka kejadian preeklamsi di Indonesia bervariasi antara 2,1-8,5%. Untuk
angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar, periode 2002-2003 dilaporkan
kejadian preeklamsi sebesar 5,83% (Oka dan Surya, 2004), pada periode 2004-
2005 sebesar 6,06% (Sudarmayasa dan Surya, 2006), sementara pada periode
2009-2010, dilaporkan sebesar 7,31% (Lidapraja dan Surya, 2011).
2.1.3 Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklamsi, yang dapat
dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut: (1) Primigravida,
primipaternitas, (2) Hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multipel,
diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar, (3) Umur kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun, (4) Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi, (5) Penyakit
ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan, dan (6) Obesitas
(Angsar, 2008).
Angka kejadian preeklamsi pada nulipara lebih tinggi daripada multipara
(Cunningham, 2010). Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa wanita
8
nullipada berisiko lima hingga sepuluh kali lipat lebih tinggi untuk menderita
preeklamsi dibandingkan dengan wanita multipara (Lockwood dkk, 2000).
Pada kehamilan multi fetus juga didapatkan peningkatan risiko preeklamsi
sebesar empat hingga lima kali lipat lebih tinggi dari pada kehamilan normal.
Pada kehamilan kembar dibandingkan dengan kehamilan tunggal, insidensi
hipertensi gestasional adalah 13% berbanding 6%, dan insidensi preeklamsi
adalah 13% berbanding 5%. Juga dikatakan bahwa risiko preeklamsi meningkat
lebih tinggi pada wanita dengan kehamilan triplet, walaupun tidak berhubungan
dengan zigositasnya (Cunningham, 2010).
Faktor lainnya yang juga mungkin berpengaruh yaitu usia ibu yang ekstrim,
yaitu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat keluarga
dengan preeklamsi, dan ras kulit hitam. Ibu yang mengalami preeklamsi pada
kehamilan pertama memiliki risiko sebesar 12 kali lebih tinggi daripada ibu
dengan kehamilan pertama yang normal (Cunningham, 2010).
Dalam hubungannya dengan stress oksidatif, banyak penulis menyatakan
bahwa penyakit atau keadaan apapun yang melibatkan peranan stress oksidatif
atau pembentukan lipid peroksida meningkatkan risiko terjadinya preeklamsi
(Henriksen, 2000; Gupta dkk, 2009).
2.1.4 Diagnosis Preeklamsi
Kriteria diagnosis preeklamsi yang digunakan adalah menurut National
High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Pregnancy (2000), yaitu :
9
2.1.4.1 Preeklamsi ringan
a. Tekanan darah 140/90 mm Hg setelah umur kehamilan 20 minggu
b. Proteinuri 300 mg/24 jam atau +1 dipstick
2.1.4.2 Preeklamsi berat
a. Tekanan darah 160/110 mm Hg
b. Proteinuri 2,0 gram/24 jam atau + 2 dipstick
c. Kreatinin serum 1,2 mg/dl, kecuali sebelumnya diketahui telah terjadi
peningkatan
d. Trombosit 100.000 / mm3
e. Hemolisis mikroangiopati
f. Peningkatan SGOT atau SGPT
g. Nyeri kepala yang menetap atau gangguan penglihatan
h. Nyeri epigastrium yang menetap
2.1.5 Patogenesis Preeklamsi
Pelbagai penelitian pada preeklamsi telah dilakukan untuk mencari faktor
risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklamsi, tetapi
konsensus yang ada untuk preeklamsi masih kurang (Gupta, 2005). Sejumlah teori
mengenai mekanisme etiopatofisiologi preeklapmsia telah banyak didiskusikan,
tetapi teori-teori etiologi dan patogenesis tersebut masih belum dapat dibuktikan
secara pasti (Habli dan Sibai, 2008; Borekci dkk, 2009). Karena itulah preeklamsi
masih digambarkan sebagai sebuah “disease of theories” (Reynolds, 2003). Dari
banyak teori yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori tersebut yang
dianggap mutlak benar. Teori-teori tersebut di antaranya adalah (1) teori iskemia
10
plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologik
antara ibu dan janin, (3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta, (4) teori
adaptasi kardiovaskular, (5) teori inflamasi, (6) teori defisiensi gizi, dan (7) teori
genetik (Angsar, 2008).
Salah satu teori etiologi preeklamsi yang saat ini cukup banyak dianut
adalah yaitu teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini
mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem
pertahanan antioksidan akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress oksidatif
dan peningkatan lipid peroksidasi berperan peranan penting didalamnya.
Pada kehamilan normal, setelah terjadi implantasi maka diikuti oleh proses
invasi tropoblas pada awal perkembangan plasenta. Invasi tropoblas terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu invasi sitotropoblas ke dalam endometrium sampai
sepertiga miometrium, dan invasi endovaskular ke dalam arteri spiralis. Sel-sel
ekstravilous tropoblas yang infiltrasi dinding pembuluh darah akan menggantikan
sel-sel endotel dan otot polos dinding arteri, sehingga arteri spiralis akan
kehilangan tonusnya, dilatasi dan lumennya menjadi lebih lebar sehingga aliran
darah ke plasenta dan janin meningkat. Proses invasi gelombang pertama
berlangsung hingga umur kehamilan 10-12 minggu, kemudian disusul dengan
invasi tropoblas gelombang kedua pada umur kehamilan 14-16 minggu hingga
maksimal umur kehamilan 20 minggu. Proses invasi yang baik akan menjamin
aliran darah yang baik menuju plasenta (Toescu dkk, 2002; Roberts dan Hubel,
2004; Gupta dkk, 2005).
11
Pada preeklamsi terjadi kegagalan invasi tropoblas ekstravilus ke dalam
lumen arteri spiralis, sehingga aliran darah ke plasenta terganggu dan
menyebabkan terjadinya kondisi hipoksia-reoksigenasi tropoblas yang
mengakibatkan produksi radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar
antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stress oksidatif (Toescu dkk,
2002; Roberts dan Hubel, 2004; Gupta dkk, 2005). Stress oksidatif dianggap
merupakan elemen penting dalam patogenesis preeklamsi yang berujung pada
gangguan fungsi endotel dan pada akhirnya menimbulkan sindroma preeklamsi,
walaupun peranannya belum sepenuhnya dapat diuraikan (Cindrova-Davies,
2009).
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel di atas telah
didukung oleh banyak peneliti yang menganggap preeklamsi sebagai salah satu
penyakit dengan ketidak seimbangan antioksidan/oksidan. Bukti-bukti telah
bertambah terus menerus selama lebih dari 20 tahun terakhir. Banyak peneliti
yang menemukan bahwa preeklamsi merupakan keadaan dengan disfungsi endotel
menyeluruh, termasuk perubahan respon vaskular yang kehilangan resistensinya
terhadap agen-agen vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II,
berkurangnya produksi prostasiklin endothelial, dan peningkatan produksi
fibronektin selular. Semua gambaran preeklamsi di atas dimiliki juga oleh
sejumlah kelainan medis (atherosclerosis, diabetes, sepsis, dan cedera iskemik-
reperfusi) yang bersama-sama diduga penyebab utamanya adalah adanya stress
oksidatif (Gupta dkk, 2009).
12
Namun teori patogenesis yang menekankan terjadinya stress oksidatif di
atas tidak dengan mudah dibuktikan dan dilakukan intervensi. Beberapa penelitian
klinis telah dilakukan dengan memberikan vitamin C dan E sebagai antioksidan
pada wanita berisiko menderita preeklamsi, gagal mengurangi insidensi
preeklamsi. Bahkan pemberian vitamin C dan E dikatakan dapat memiliki efek
kurang baik pada kehamilan. Beberapa penjelasan untuk hasil penelitian yang
mengecewakan tersebut di antaranya karena pemberiannya terlambat pada usia
kehamilan yang sudah lanjut, dosis yang tidak tepat, dan pemberian antioksidan
ini tidak dapat membalikkan perjalanan patogenesis penyakit yang sudah terjadi
(Cindrova-Davies, 2009).
2.2 Stress Oksidatif
2.2.1 Radikal Bebas dan Stress Oksidatif
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang dapat bertahan secara
independen dan memiliki elektron tidak berpasangan, sifatnya sangat reaktif dan
dapat mengakibatkan terjadinya reaksi berantai dalam upaya untuk mencari
pasangan elektronnya. Radikal bebas merupakan produk yang senantiasa selalu
diproduksi dalam tubuh manusia. Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil,
pada saat kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada
preeklamsi dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Ketika produksi radikal
bebas meningkat dan melebihi kemampuan sistim pertahanan antioksidan dalam
tubuh, maka terjadilah suatu keadaan yang disebut stress oksidatif (Hung dan
Bruton, 2006; Cindrova-Davies, 2009). Sumber radikal bebas dan stress oksidatif
yang terbesar pada kehamilan dipercaya berasal dari stress oksidatif yang terjadi
13
di plasenta, terutama mitokondria plasenta (Hung dan Bruton, 2006; Gupta dkk,
2009).
Secara umum radikal bebas dapat berasal dari dua sumber, yaitu sumber
endogen dan eksogen. Radikal bebas yang bersifat eksogen antara lain radikal
bebas yang berasal dari asap rokok, polusi, radiasi, obat, pestisida, limbah
industri, dan ozon. Sebagai sumber endogen yang berasal dari dalam tubuh kita
sendiri antara lain radikal bebas yang berasal dari mitokondria (proses fosforilasi
oksidatif rantai pernapasan), proses fagositosis, inflamasi, iskemia, jalur
arakhidonat, peroksisom, dan xantin oksidase. Radikal bebas endogen terpenting
adalah radikal derivat oksigen atau oksi-radikal, dan sering disebut dengan istilah
reactive oxygen species (ROS). Radikal-radikal tersebut terdapat dalam bentuk
triplet (3O2) atau singlet (1O2), superoksida (O2.-), radikal hidroksil (OH.), nitrik
oksida (NO.), peroksinitrit (ONOO-), asam hidrokloro (HOCl), hidrogen
peroksida (H2O2), radikal alkoksil (LO.) dan radikal peroksil (LOO.). Sebenarnya
hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen singlet (1O2) bukan termasuk radikal
bebas, namun karena sifatnya yang sangat reaktif maka keduanya tetap
dimasukkan dalam kelompok radikal (Cindrova-Davies, 2009).
Pada sel eukaryot seperti halnya manusia, menggunakan oksigen untuk
memproduksi ATP (Adenosin triphosphate) sebagai sumber energi. Pernafasan
aerobik ini berhubungan dengan produksi Radikal bebas. Radikal bebas dibentuk
dari proses sitosolik dan secara prinsip merupakan derivat dari mitokondria,
dimana anion superoksida terbentuk oleh kebocoran elektron dari komplek I dan
III dari rantai transpor elektron (Cindrova-Davies, 2009).
14
Anion superoksida dibentuk dari reduksi univalen triplet-state molecular
oxygen (3O2). Proses ini kemungkinan diregulasi oleh enzim nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate (NAD(P)H) oksidase dan xantin oksidase atau secara non-
enzimatik melalui komponen reaktif redoks (seperti senyawa semi-ubiquinon).
ROS dalam jumlah yang tepat adalah peran sebagai tranduser signal
fisiologis dan dikenal juga sebagai secondary messengers dalam proses signaling
intraselular. ROS secara fisiologis dapat mempengaruhi fungsi selular,
menghentikan pertumbuhan, bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis)
dari sel yang memang dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang
mengandung mikroorganisme asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan proteksi antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya
jumlah ATP, menyebabkan kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion,
perubahan pada reaksi oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis
sel-sel saraf, dan menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel
yang seharusnya tidak terjadi (Hung dan Bruton, 2006; Farooqui dan Horrocks,
2007).
ROS yang dihasilkan dapat segera menginisiasi timbulnya respon
inflamasi pada sel endothelial dengan menyebabkan produksi dari leukotrien dan
platelet activating factor (PAF). ROS juga mempertahankan perlekatan antara
neutrofil dengan sel endothelial yang terjadi beberapa jam kemudian setelah ROS
dibentuk dengan mengaktifkan gen yang mengkode molekul-molekul adhesi
seperti E-selectin (mempertahankan leukosit tetap rolling pada endothelial) dan
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1; untuk mempertahankan adhesi yang
15
lebih kuat dan emigrasi leukosit). Setelah itu, infiltrasi neutrofil yang terjadi
dalam mikrovaskuler dapat mengarah cedera jaringan lokal yang lebih lanjut
(Hung dan Bruton, 2006).
ROS telah diusulkan oleh banyak peneliti sebagai promotor terbentuknya
lipid peroksida dan disfungsi sel endotel yang secara umum berhubungan dengan
preeklamsi. Aktivasi leukosit sendiri merupakan sebuah gambaran yang didapat
dari penderita preeklamsi. Leukosit pada preeklamsi mengandung lebih banyak
ROS dibandingkan dengan kehamilan normal, yang menunjukkan bahwa tanda-
tanda stress oksidatif juga terdapat pada kompartemen intraselular penderita
preeklamsi (Henriksen, 2000; Gupta dkk, 2005).
Superoksida akan didetoksifikasi oleh mangan (dalam mitokondria) atau
oleh cooper/zinc (dalam sitosol) enzim superoxide dismutase (MnSOD atau
Cu/ZnSOD). SOD mengubah superoksida menjadi hidrogen peroksida (H202),
yang kemudian dikonversi menjadi air oleh enzim katalase atau glutation
peroksidase. H202 dapat juga dikonversi menjadi bentuk radikal hidroksil yang
sangat reaktif dan bersifat lebih toksik melalui reaksi Fenton dan Haber-Weiss
yang melibatkan ion Fe2+ (Cindrova-Davies, 2009).
16
Gambar 2.1 Gambaran Umum Reaksi Oksidasi dan Pembersihannya
(Sumber : Cindrova-Davies, 2009)
2.2.2 Stress Oksidatif pada Preeklamsi
Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal dan perubahan
hanya terjadi pada bagian desidual arteri spiralis dan sebagian besar pembuluh
lainnya tetap dalam keadaan vasoreaktif. Bersamaan dengan berkurangnya invasi
tropoblas ke dalam uterus dan arteri spiralis menyebabkan suplai darah ke
plasenta menjadi sangat berkurang. Gangguan plasentasi ini menyebabkan
terjadinya hipoksia plasenta. Darah ibu yang memasuki ruang intervilus memiliki
tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat sangat pulsatil, menyebabkan vili
plasenta terpapar pada konsentrasi oksigen yang berfluktuasi. Keadaan ini
diperkirakan dapat menyebabkan cedera tipe Hypoxia-Reoxigenation (H/R),
17
sehingga dihasilkan lebih banyak radikal bebas dan timbulah suatu keadaan stress
oksidatif (Hung dan Bruton, 2006; Cindrova-Davies, 2009). Teori mengenai
cedera H/R ini dibahas lebih lanjut pada subbab “mekanisme terjadinya stress
oksidatif”.
Pada keadaan stress oksidatif, terdapat radikal bebas berlebihan, terutama
ROS, dan penurunan kapasitas anti oksidan. Radikal bebas berlebihan ini
kemudian bereaksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel
dan lipoprotein pada plasma yang membentuk lipid peroksida, melalui proses
lipid peroksidasi. Lipid peroksida merupakan komponen yang sangat reaktif dan
dapat menyebabkan aktivasi leukosit, adhesi platelet, vasokonstriksi, kerusakan
pada membran sel endotel, dan dapat merusak seluruh struktur sel endotel.
Kerusakan atau gangguan karena lipid peroksidasi pada keadaan stress oksidatif
ini berperan penting menyebabkan gangguan fungsi endotel (Roberts, 2003;
Borekci dkk, 2009; Gupta dkk, 2009).
Disfungsi endotel yang terjadi pada preeklamsi akibat terpaparnya
membran sel endotel pada lipid peroksida dalam keadaan stress oksidatif akan
mengakibatkan banyak gangguan, seperti : (1) menurunnya produksi prostasiklin
synthase yang menyebabkan penurunan produksi prostasiklin; (2) aktivasi enzyme
cyclooxygenase untuk sintesis tromboksan A2; (2) penurunan dan inaktivasi NO;
(3) peningkatan endothelin; (4) agregasi trombosit pada daerah endotel yang rusak
yang juga menghasilkan tromboksan A2; (5) perubahan khas pada kapilar
glomerulus berupa glomerular endotheliosis; (6) peningkatan permeabilitas
kapiler; (7) peningkatan faktor koagulasi; (8) meningkatkan mitogenisitas dan
18
apoptosis dari sel vaskular; (9) meningkatkan mitogenisitas dan apoptosis dari sel
vaskular; (10) modifikasi oksidatif pada DNA dan protein; dan (11) meningkatkan
ekspresi dan aktivasi gen yang sensitive terhadap reaksi oksidasi, seperti reseptor
untuk LDL teroksidasi, molekul adhesi, faktor kemotaksis, sitokin peradangan,
regulator siklus sel dan matrix metalloproteinase (Griendling dan FitzGerald
2003, Touyz dan Schiffrin 2004, Angsar, 2008). Keseluruhan dari gangguan
disfungsi endotel di atas secara bersama-sama dianggap bertanggung jawab
menyebabkan timbulnya gejala klinis preeklamsi (Hung dan Bruton, 2006;
Borekci dkk, 2009).
Gambar 2.2 Gangguan Keseimbangan Tromboksan dan
Prostasiklin karena Stress Oksidatif.
(Sumber : Walsh, 2004)
Stress oksidatif yang terjadi pada plasenta preeklamsi diyakini
menyebabkan terjadinya apoptosis sinsitiotropoblas, yang meningkatkan lepasnya
fragmen-fragmen mikrovillus ke dalam sirkulasi maternal dan memicu timbulnya
reaksi inflamasi (Redman dkk, 2000). Stress oksidatif juga diperkirakan dapat
mengaktivasi leukosit pada saat leukosit tersebut berada di plasenta. Lipid
19
peroksida mengaktivasi leukosit ketika leukosit tersebut bersirkulasi melalui
ruangan intervillous. Kemudian leukosit aktif ini akan menginduksi stress
oksidatif pada sirkulasi maternal pada tempat yang jauh dari plasenta dengan
menempel pada sel endotel dan menyebabkan disfungsi endotel (Walsh, 2004).
Beberapa faktor yang dianggap masuk akal memiliki kontribusi lebih
lanjut pada stress oksidatif adalah adanya debris atau sel apoptotik yang dapat
menyebabkan stimuli proinflamasi terutama pada keadaan plasenta yang
berukuran besar seperti pada kehamilan kembar, atau plasenta yang kecil sebagai
akibat dari degradasi yang meningkat. Leukosit dan makrofag yang diaktivasi
oleh infeksi atau oleh respons imun ibu yang berlebihan juga mungkin
menambahkan stimuli proinflamasi yang pada akhirnya turut mendukung
bertambahnya stress oksidasi (Mohaupt, 2007).
2.2.3 Mekanisme Terjadinya Stress Oksidatif
Penyebab pasti stress oksidatif pada preeklamsi belum diketahui, tetapi
diduga kuat berasal dari tidak sempurnanya perubahan arteri spiralis uterus.
Kegagalan remodeling pembuluh darah ini mengakibatkan terganggunya perfusi
plasenta dan adanya konsentrasi oksigen yang berfluktuasi, sehingga
memungkinkan timbulnya cedera sesuai teori cedera Hypoxia-Reoxigenation
(H/R), yang dikenal juga sebagai cedera iskemik-reperfusi (ischemic-reperfusion
injury). Efek yang menganggu dari proses H/R adalah dihasilkannya radikal
bebas, terutama ROS, dalam jumlah besar. ROS dapat dihasilkan melalui beberapa
tempat, tetapi dua prinsip yang sejauh ini menjadi perhatian H/R adalah kebocoran
elektron dari rantai respirasi pada mitokondria dan sistim xanthine
20
dehydrogenase/xanthine oxidase (XDH/XO) (Hung dan Bruton, 2006; Cindrova-
Davies, 2009).
Dalam keadaan aerobik normal, elektron ditransportasikan oleh enzim
rantai respirasi pada membran dalam mitokondria sampai elektron tersebut
diteruskan pada molekul oksigen, sehingga membuat gradient proton pada ruang
intermembran, yang menyebabkan pembentukan ATP. Apabila enzim
mitokondria tidak berfungsi dengan baik, maka dapat terjadi kebocoran sejumlah
kecil elektron kepada oksigen sehingga terbentuk radikal superoksida. Selama
periode hipoksia, hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang
tersedia sebagai reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi.
Akumulasi elektron ini berpotensi menyebabkan peningkatan produksi
superoksida dengan meningkatnya potensi kebocoran elektron dari membran
mitokondria. Jika kemudian kadar oksigen kembali pada keadaan normal sebelum
fungsi sel menurun terlalu jauh, maka akan terbentuk superoksida secara tiba-tiba
dalam jumlah besar. Dengan kata lain, superoksida terbentuk karena terdapat
oksigen yang banyak untuk menerima elektron yang bocor dari hasil akumulasi
pada rantai pernapasan (Hung dan Bruton, 2006).
Sumber lain, mungkin lebih utama, dari radikal superoksida menurut teori
H/R adalah melalui perubahan XDH menjadi XO. Biasanya enzim ini dibentuk
sebagai holoenzim XDH/XO. XDH merubah purin menjadi asam urat melalui
reduksi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), sementara XO memetabolisme
xantin dan hipoxantin menjadi asam urat, menggunakan oksigen sebagai reseptor
elektron, yang kemudian menghasilkan radikal superoksida. Dalam keadaan
21
hipoksia dan respon terhadap beberapa sitokin, produksi enzim XDH/XO
meningkat dan konversi enzim menjadi XO juga meningkat. Sementara itu,
selama periode hipoksia, substrat hipoxantin dibentuk sebagai hasil dari
pemecahan ATP. Dengan demikian, akibat dari hipoksia, semakin banyak
hipoxantin yang terbentuk dan diubah menjadi asam urat yang menggunakan
oksigen sebagai reseptor elektron. Sehingga ketika oksigen sebagai reseptor
elektron hadir kembali dalam jumlah yang cukup, maka terjadilah produksi
superoksida secara cepat dan banyak (Hung dan Bruton, 2006).
2.3 Lipid Peroksidasi
Lipid peroksidasi merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas
berinteraksi dengan PUFA pada membran sel dan lipoprotein pada plasma.
Peningkatan produksi ROS menyebabkan peningkatan lipid peroksidasi. Proses ini
dapat berlangsung secara terus-menerus, menyebabkan terbentuknya serangkaian
oksidasi lipid yang merupakan faktor utama perantara terjadinya disfungsi endotel
pada preeklamsi (Hung dan Bruton, 2006; Kaur dkk, 2008; Gupta, 2009).
Lipid peroksidasi menghasilkan produk lipid peroksidasi primer seperti
lipid hidroperoksida, dan produk sekunder seperti Malondialdehyde (MDA) dan
lipid peroksida. Produk lipid peroksidsi ini dibentuk terutama di plasenta lalu
terikat pada lipoprotein untuk kemudian disebarkan melalui aliran darah ke
seluruh tubuh, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tempat yang jauh
(Gupta dkk, 2005).
Peningkatan produksi lipid peroksida yang tipikal di inisiasi oleh spesies
radikal bebas yang sangat reaktif, dapat dinilai dengan banyak metoda termasuk
22
pengukuran baik produk primer maupun sekunder dari hasil peroksidasi tersebut.
Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan lipid
hidroperoksida, sementara produk sekundernya ialah MDA, thiobarbituric acid
reactive substances (TBARS), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-
like product yang disebut F2-Isoprostan (Montuschi dkk, 2004; Janicka dkk,
2010).
Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata didapatkan bahwa beberapa
biomarker yang pada umumnya telah banyak digunakan untuk menilai kadar
radikal bebas dan tingkat stress oksidatif, seperti MDA dan TBARS, terbukti tidak
dapat dipercaya dan memiliki banyak kekurangan. MDA memiliki sensitivitas
yang rendah sebagai marker stress oksidatif dan kadarnya dapat dipengaruhi oleh
jumlah lemak dalam diet. MDA bukan merupakan produk khusus lipid
peroksidasi, tetapi juga merupakan produk sampingan dari aktivitas
cyclooxygenase pada platelet, yang menghasikan tromboksan. Seperti telah
diketahui, tromboksan ini meningkat pada preeklamsi, sehingga akan
menghasilkan MDA lebih banyak juga. Dengan kata lain, peningkatan MDA pada
preeklamsi dapat saja disebabkan oleh peningkatan produksi tromboksan dan
bukan karena lipid peroksidasi. Selain itu, analisis komparatif yang dilakukan
pada pemeriksaan mass spectrometry untuk mengukur kadar MDA ternyata
terbukti tidak akurat (Block, 2002; Montuschi dkk, 2004). Sementara marker lain
yang juga sering digunakan, yaitu TBARS, juga memiliki sensitivitas dan
spesifitas yang rendah untuk memonitor stress oksidatif. TBARS memiliki kualitas
23
yang jauh dibawah F2-IsoPs untuk pengukuran indeks lipid peroksidasi (Milne
dkk, 2005; Patrignani dan Tacconelli, 2005).
2.4 F2 Isoprostan
Produk isoprostan dalam tubuh manusia pertama kali ditemukan dalam
bentuk senyawa menyerupai prostaglandin, yang pada akhirnya dinamakan F2-
isoprostanes. F2-IsoPs merupakan suatu metabolit hasil peroksidasi asam
arakhidonat oleh radikal bebas, melalui mekanisme yang di katalisir langsung
oleh radikal bebas (free radical-calatyzed mechanism), tidak bergantung pada
peranan enzim cyclooxygenase. F2-IsoPs memiliki struktur kimia yang stabil,
dibentuk in situ pada tempat serangan dari radikal bebas, kemudian segera
meninggalkan membran plasma, bersirkulasi dalam darah dan diekskresikan
melalui urin (Montuschi dkk, 2004; Cracowski, 2004; Janicka dkk, 2010).
Gambar 2.2 Produk akibat dari aktivitas Reactive Oxygen Species.
Terlihat isoprostan (8-iso-prostaglandin F22α) dibentuk dari hasil
oksidasi asam arahidonat. (Sumber : Janicka dkk, 2010)
24
Gambar 2.3 Struktur kimia F2-IsoPs
(Sumber : Dalle-Donne dkk, 2006)
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat 3 bentuk alternatif struktur
cincin isoprostan, yaitu bentuk D2, E2, dan F2-isoprostan. Bentuk F2-isoprostan
merupakan yang paling banyak terdapat dalam plasma daripada bentuk lainnya
(Ginger dkk, 2005; Farooqui dan Horrocks, 2007). Kemudian untuk F2-IsoPs
sendiri terdapat empat isomer, yaitu seri 5, 8, 12, dan 15. Seri 8 atau yang sering
disebut 8-isoprostan ini merupakan isomer F2-IsoPs yang paling banyak
dihasilkan dibandingkan isomer lainnya, dan merupakan F2-IsoPs yang paling
banyak diteliti. Karena belum terdapatnya kesepakatan sistim penamaan universal
untuk isoprostan, maka 8-isoprostan dikenal juga dengan nama 8-iso-
Prostaglandin F2α (8-iso-PGF2α), atau iPF2α-III, dan juga 15F2α-IsoP. Perbedaan
penggunaan sistim penamaan dari kelompok isoprostan terutama klasifikasi dari
nama famili prostanoid telah sering menyebabkan kebingungan. Sehingga masih
diperlukan suatu sistim penamaan yang lebih baik untuk isoprostan dan berbeda
dengan yang pada umumnya digunakan saat ini, misalnya dengan menggunakan
sistim penamaan IUPAC (Dalle-Donne, 2006; Mueller, 2010; Janicka dkk, 2010).
Hingga saat ini, IsoPs telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis,
termasuk pada plasma atau serum, urin, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,
25
cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis dari pelbagai organ,
cairan amnion, cairan pericardial, cairan seminal, mekonium, dan kondensasi
udara pernapasan (exhaled breath condensate). Dari sekian banyak pilihan
material sampel, plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum
digunakan dalam penelitian karena paling mudah didapatkan dan tidak invasif.
Data yang tersedia hingga saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar F2-IsoPs
baik dari plasma, serum, maupun urin memberikan hasil yang akurat dan presisi
untuk indeks stress oksidatif (Montuschi dkk, 2004; Dalle-Donne dkk, 2006;
Janicka dkk, 2010).
Gambar 2.4 Kadar Isoprostan pada berbagai sediaan.
(Sumber : Janicka dkk, 2010)
26
Di dalam darah, F2-IsoPs terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bebas dan terikat
pada fosfolipid atau lipoprotein. F2-IsoPs yang terikat pada fosfolipid ini dapat
dilepaskan oleh aktivitas enzim fosfolipase menjadi bentuk bebas dalam plasma.
Dan bentuk F2-IsoPs bebas ini akan diekskresikan melalui urin. Perubahan kadar
F2-IsoPs bebas dalam darah dapat disebabkan oleh peningkatan lipid peroksidasi,
peningkatan aktivitas fosfolipase, atau penurunan renal clearance (Dalle-Donne
dkk, 2006). Ada peneliti yang mengatakan bahwa pengukuran kadar total F2-
IsoPs (bebas dan yang terikat dengan fosfolipid) mungkin lebih menggambarkan
keadaan stress oksidatif yang sebenarnya, daripada hanya menggunakan F2-IsoPs
bebas (Barden dkk, 2001; Hung dan Bruton, 2006).
2.4.1 F2 Isoprostan sebagai Biomarker Lipid Peroksidasi
Sejumlah penelitian dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini telah
menunjukkan bahwa F2-IsoPs merupakan marker untuk pengukuran lipid
peroksidasi yang bersifat stabil, sangat akurat, dan telah membantu menjelaskan
peranan stress oksidatif pada sejumlah penyakit. Pengukuran F2-IsoPs telah
membantu menjelaskan peranan stress oksidatif pada tubuh manusia seperti pada
keadaan penyakit kardiovaskular, faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular,
penyakit neurologi, penyakit paru, penyakit ginjal, penyakit hati, dan banyak lagi
kelainan lainnya (Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005; Farooqui dan Horrocks,
2007; Janicka 2010). Bahkan pada bidang kardiovaskular dan bagian paru, kadar
F2-IsoPs telah mulai digunakan sebagai alat ukur intervensi medis, terutama
dalam hal penentuan dosis dan keberhasilan pemberian terapi antioksidan atau
lipid peroksidasi inhibitor (Patrignani dan Tacconelli, 2005). Hingga saat ini F2-
27
IsoPs merupakan marker yang paling banyak diteliti dalam kelasnya, dianggap
sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang paling baik, baik pada manusia
maupun pada binatang, yang secara signifikan lebih akurat dan stabil daripada
senyawa lainnya (Fam dan Morrow 2003; Montuschi dkk, 2004; Dalle-Donne
dkk, 2006). F2-IsoPs juga telah digunakan secara luas sebagai marker klinis lipid
peroksidasi (Cracowski, 2004; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005).
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar F2-IsoPs
seperti dengan metode Gas Chromatographic/negative ion chemical ionization
mass spectrometric (GC/NICI-MS), dimana metode ini memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi, dan dipertimbangkan sebagai “gold standard” untuk
pengukuran F2-IsoPs. Metode yang juga dikembangkan adalah liquid
chromatographic, tetapi sensitivitas dan reliabilitasnya masih belum diketahui.
Metode alternative untuk pengukuran IsoPs menggunakan pendekatan
immunologis (seperti radio immunoassay dan enzym immunoassay (EIA)) juga
telah banyak dikembangkan. Hasil pengukuran secara immunoassay pada plasma
ternyata memiliki korelasi keakuratan yang sangat baik dengan mass
spectrometric. Sehingga walaupun gold standard-nya adalah menggunakan
metode mass spectrometric, namun immunoassay lebih banyak digunakan dalam
pelbagai penelitian karena keakuratan hasil korelasinya yang sangat baik, relative
mudah digunakan dan biayanya yang lebih rendah (Milne dkk, 2005; Dalle-Donne
dkk, 2006).
F2-IsoPs sangat cocok sebagai biomarker untuk lipid peroksidasi karena
beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan isoproston meningkat sesuai dengan
28
stress oksidatif, (2) kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode
yang telah tersedia, (3) bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi,
(4) pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi
oleh kandungan lemak dalam diet, (5) merupakan produk spesifik dari lipid
peroksidasi, (6) terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan
tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi
interval, dan (7) merupakan senyawa biokimia yang sensitive dan dianggap
bermanfaat untuk menentukan dosis antioksidan (Montuschi dkk, 2004; Dalle-
Donne dkk, 2006).
Pada penelitian multivarian yang dilakukan oleh Block dkk, mereka
melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan
stress oksidatif terhadap kadar marker stress oksidatif, yang salah satunya adalah
F2-IsoPs. Variabel-variabel yang diperiksa dalam penelitian tersebut meliputi
jenis kelamin, usia, ras, berat badan, status merokok, kadar nikotin plasma; kadar
antioksidan plasma seperti carotenoids, α- dan γ-tocopherol, dan asam askorbat;
kadar lemak plasma, meliputi kolestrol serum dan trigliserida; intake nutrisi
makanan dan berbagai jenis makanan; C-reaktif protein dan kadar saturasi
transferring. Dari berbagai variable di atas, didapatkan hanya kadar plasma asam
askorbat yang memiliki hubungan secara konsisten dengan kadar F2-IsoPs, dalam
hal ini hubungan terbalik yang signifikan (Block dkk, 2002).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa F2-IsoPs tidak menemukan
hubungan antara lipid peroksidasi dan usia seseorang. Hasil temuan ini
menyangkal hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan usia
29
dengan stress oksidatif. Penelitian-penelitian terdahulu yang mendapatkan bahwa
stress oksidatif semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya usia seseorang, yang
ditunjukkan dengan meningkatnya kadar MDA secara signifikan, menjadi
diragukan setelah mulai digunakannya F2-IsoPs sebagai marker lipid peroksidasi
yang lebih spesifik. Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan MDA
tersebut tidak mengontrol pengaruh kadar kolesterol, indeks massa tubuh, dan
faktor-faktor lainnya seperti inflamasi. Seperti diketahui bahwa MDA tidak
spesifik dihasilkan dari lipid peroksidasi saja, namun banyak faktor yang
mempengaruhinya. Tidak berpengaruhnya faktor usia tampaknya konsisten
dengan hipotesis bahwa kerusakan oksidatif pada DNA terakumulasi seiring
pertambahan usia, kerusakan oksidatif terhadap lemak tidak berhubungan dengan
usia, tetapi terhadap tingkah laku kebiasaan dan keadaan fisik yang sejalan dengan
bertambahnya usia – seperti meningkatnya kadar lemak tubuh dan kolestrol,
merokok dan alkohol (bila ada), dan inflamasi (terlihat dengan peningkatan C-
reactive protein) yang meningkat karena adanya arthritis dan kondisi penuaan
lainnya, dan semua faktor yang telah disebutkan di atas mempengaruhi kadar
MDA (Block dkk, 2002).
Banyak penelitian besar menggunakan antioksidan telah dilakukan untuk
interfensi suatu penyakit, namun sayangnya marker yang digunakan sering tidak
sesuai untuk penyakitnya ataupun dosis antioksidan tidak sesuai dan tidak terukur.
Dengan pengertian yang telah cukup mendalam mengenai farmakologi
antioksidan, maka untuk penelitian intervensi lipid peroksidasi harus
menggunakan pengukuran F2-IsoPs sebagai marker stress oksidatif yang paling
30
baik saat ini. Penemuan F2-IsoPs sangat meningkatkan kemampuan untuk
eksplorasi peranan stress oksidatif pada patogenesis suatu penyakit, dan tentu
akan berdampak pada kedokteran klinis (Montuschi dkk, 2004; Janicka dkk,
2010).
Beberapa penelitian akhir-akhir ini mendapatkan bahwa selain merupakan
marker paling baik untuk mengetahui stress oksidatif in vivo¸ F2-IsoPs juga
diketahui memiliki efek biologis yang cukup kuat dan mungkin berperan sebagai
mediator dalam patofisiologi suatu penyakit. F2-IsoPs diketahui memiliki
pengaruh yang cukup besar terhadap fungsi pembuluh darah. F2-IsoPs diduga
merupakan agen vasokonstriktor yang dapat memberikan stimulant kuat terhadap
sel otot polos pembuluh darah, dan merupakan antagonis terhadap peranan nitrit
oksida, baik in vivo maupun in vitro. F2-IsoPs juga memiliki efek lain terhadap
fungsi sel endotel, yaitu menstimulasi proliferasi sel dan meningkatkan ekspresi
dan pelepasan endothelin-1. F2-IsoPs telah diyakini berperan dalam aktivasi
trombosit, yang tingkatannya dipengaruhi oleh dosis. Saat ini, penelitian untuk
mengembangkan preparat inhibitor terhadap F2-IsoPs pun sedang dilakukan
(Sampson dkk, 2002; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005; Janicka dkk, 2010).
31
2.4.2 F2 Isoprostan dalam Kehamilan dan Preeklamsi
Walaupun F2-IsoPs ini telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi
yang paling baik, namun peranan komponen isoprostan sendiri dalam kehamilan
masih sangat sedikit yang diketahui. Saat ini penelitian F2-IsoPs pada preeklamsi
juga masih kurang. Pelbagai penelitian masih perlu dikembangkan untuk
mengetahui lebih dalam mengenai peran F2-IsoPs dalam kehamilan, termasuk
untuk mengetahui apakah ia juga merupakan suatu faktor yang terlibat dalam
patogenesis terjadinya suatu penyakit dalam kehamilan, misalnya preeklamsi
(Hermenegildo dkk, 2002; Sampson dkk, 2002; Gupta dkk, 2005; Milne dkk,
2005).
Beberapa penelitian menggunakan F2-IsoPs telah dilakukan untuk
meneliti hubungan antara peningkatan peroksidasi lipid dengan preeklamsi, tetapi
hasil penelitian-penelitian tersebut tidak sepenuhnya mendapatkan hasil yang
sepakat secara universal. Dari penelitian lipid peroksidasi pada preeklamsi yang
menggunakan F2-IsoPs, mayoritas didapatkan kadar F2-IsoPs lebih tinggi secara
signifikan pada penderita preeklamsi. Seperti penelitian Barden dkk (2001)
terhadap 21 penderita preeklamsi dan 19 kehamilan normal, mereka mendapatkan
secara signifikan kadar bebas plasma F2-IsoPs lebih tinggi pada penderita
preeklamsi. Harsem dkk (2007) juga mendapatkan kadar plasma 8-isoprostan
lebih tinggi pada kelompok preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal
(354 + 232 vs. 218 + 149 pg/mL, p=0.02). Kemudian Tanto (2008) memperkuat
temuan peneliti lain dengan mendapatkan kadar serum F2-IsoPs bebas lebih tinggi
32
pada penderita preeklamsi (0,803 + 0,521 ng/mL) dibandingkan dengan wanita
hamil normal (0,557 + 0,458 ng/mL).
Sementara beberapa hasil penelitian tidak mendapatkan peningkatan
marker stress oksidatif pada pasien preeklamsi (Henriksen, 2000; Gupta, 2009).
Ishihara dkk (2004) melaporkan tidak mendapatkan perbedaan signifikan untuk
kadar plasma dan urin F2-IsoPs dan mereka menyimpulkan tidak terbukti adanya
stress oksidatif pada preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Ishihara
dkk juga tidak menemukan perbedaan kadar plasma F2-IsoPs antara kehamilan 20
dan 40 minggu.
F2-IsoPs juga telah diketahui memiliki efek sebagai mediator
vasokonstriktor yang kuat, dan diduga secara umum berperan dalam patogenesis
terjadinya penyakit yang berhubungan dengan disfungsi endotel. Namun
peranannya atau hubungannya dengan preeklamsi masih belum banyak diketahui
(Sampson dkk, 2002; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005; Janicka dkk, 2010).
33
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal pada saat
tahapan invasi tropoblas. Kegagalan invasi tropoblas ini menyebabkan perubahan
hanya terjadi pada bagian desidual arteri spiralis dan sebagian besar pembuluh
lainnya tetap dalam keadaan vasoreaktif. Kegagalan invasi tropoblas ini
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke plasenta sehingga terdapat keadaan
hipoksia yang menyebabkan iskemik plasenta. Keadaan iskemik ini menyebabkan
enzim mitokondria tidak berfungsi dengan baik. Selama periode hipoksia juga
hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang tersedia sebagai
reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi. Akumulasi
elektron ini berpotensi menyebabkan kebocoran elektron dari membran
mitokondria. Sementara darah maternal memasuki ruang intervilus plasenta
dengan tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat pulsatil, menyebabkan vili
plasenta yang telah iskemik sebelumnya terpapar pada konsentrasi oksigen yang
berfluktuasi. Sehingga terbentuklah radikal bebas, terutama ROS, secara tiba-tiba
dalam jumlah besar.
Radikal bebas berlebihan yang dihasilkan ini melebihi kemampuan
antioksidan yang ada, sehingga menimbulkan suatu keadaan stress oksidatif. Pada
keadaan stress oksidatif ini terjadi proses lipid peroksidasi, dimana terjadi
33
34
peroksidasi asam arakhidonat langsung oleh radikal bebas yang menghasilkan
produk berupa F2-IsoPs, yang kemudian dapat diukur kadarnya. Lipid peroksidasi
tadi berperan dalam proses aktivasi endotel, sehingga terjadilah disfungsi endotel.
Adanya disfungsi endotel tersebut mengakibatkan timbulnya gelaja-gejala klinis
preeklamsi.
Selain merupakan marker spesifik untuk lipid peroksidasi, ternyata
senyawa F2-IsoPs juga diketahui memiliki efek vasokonstriktor yang kuat, dapat
menstimulasi proliferasi sel endotel, meningkatkan ekspresi endothelin-1, dan
berperan dalam aktivasi trombosit. Efek-efek dari F2-IsoPs tersebut secara umum
dapat berperan langsung dalam patogenesis terjadinya disfungsi endotel. Sehingga
F2-IsoPs diduga bukan hanya produk dari hasil lipid peroksidasi, tetapi dapat pula
berperan memperberat keadaan disfungsi endotel yang telah terjadi sebelumnya.
35
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Risiko terjadinya preeklamsi pada kadar serum F2-IsoPs tinggi lebih besar
dibandingkan kadar serum F2-IsoPs rendah.
Faktor yang berpengaruh : Usia ibu Usia kehamilan Paritas Kehamilan Kembar Diabetes Melitus
F2-isoprostan
Stress Oksidatif
Iskemik Plasenta
Preeklamsi
Lipid peroksidasi
Disfungsi sel endotel
36
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah kasus-kontrol.
Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Bersalin IRD Kebidanan dan Poli
Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Untuk
pemeriksaan kadar serum F2 IsoPs dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Pusat
Jakarta melalui perantara Laboratorium Klinik Prodia Denpasar.
4.2.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai 1 Juli 2011 sampai dengan 31 Maret
2012.
36
Kasus
preeklamsi (+)
Kontrol
preeklamsi (-)
Kadar serum F2-IsoPs tinggi
Kadar serum F2-IsoPs rendah
Kadar serum F2-IsoPs tinggi
Kadar serum F2-IsoPs rendah
37
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi target
Ibu hamil penderita preeklamsi dan ibu hamil tanpa preeklamsi dengan
usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
4.3.2 Populasi terjangkau
Ibu hamil penderita preeklamsi dan ibu hamil tanpa preeklamsi dengan
usia kehamilan lebih dari 20 minggu, yang memeriksakan diri di Poli Klinik 108
bagian Kebidanan dan Kandungan atau melahirkan di kamar bersalin IRD
Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2011
sampai dengan jumlah sampel tercapai.
4.3.3 Sampel eligibel
Diambil dari populasi terjangkau di atas yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi.
4.3.4 Kriteria eligibilitas
Untuk kriteria eligibilitas, terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3.4.1 Kriteria inklusi
a. Ibu hamil preeklamsi dan ibu hamil tanpa preeklamsi yang memeriksakan
diri di Poli Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan atau melahirkan
di kamar bersalin IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah
Denpasar, dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
b. Ibu hamil dengan preeklamsi sebagai kasus
c. Ibu hamil tanpa preeklamsi sebagai kontrol
d. Bersedia ikut penelitian
38
4.3.4.2 Kriteria eksklusi
a. Ibu hamil dengan kehamilan kembar
b. Ibu hamil dengan diabetes melitus
4.3.5 Penghitungan besar sampel
Untuk menentukan besar sampel minimal pada studi kasus kontrol tidak
berpasangan (Campbell et al, 1997) :
n1 = n2 = [ Zα 2PQ + Zβ√��.�� + ����]2
(P1-P2)2
Keterangan:
1. Zα : 1,64
2. Zβ : 0,84
3. P1 : Proporsi Angka kejadian preeklamsi di Indonesia 9,17%
(Girsang,2004), OR = 4. P1= 0,0917
4. Q1 : 1-0,0917 = 0,91
5. P2 : Perbedaan proporsi dianggap bermakna 30% = 0,3.
P2 = 0,3 + 0,0917 = 0,39
6. Q2 : 1-0,39 = 0,61
7. P : (P1 + P2 ) /2 = (0,0917 + 0,39)/2 = 0,24
8. Q : 1-P = 0,76
Didapatkan : n = 24,25 ~ 25
Berdasarkan pertimbangan untuk antisipasi gangguan teknis sampel dan data,
kami melakukan penambahan dari jumlah minimal sampel. Diputuskan jumlah
39
masing-masing sampel tiap kelompok adalah 27 sampel, sehingga total sampel
adalah 54 sampel.
4.3.6 Teknik pengambilan sampel
Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive
sampling, sehingga diperoleh sampel terpilih.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi variabel
Variabel bebas : Kadar F2 Isoprostan
Variabel tergantung : Preeklamsi
Variabel terkontrol : Umur kehamilan, umur ibu, paritas, kehamilan kembar,
diabetes mellitus.
4.4.2 Definisi operasional variabel
1. Kehamilan normal adalah kehamilan dengan tekanan darah kurang dari
140/90 mmHg, tidak ada albuminuria, dan tidak ada penyakit sistemik
lainnya yang menyertai.
2. Preeklamsi adalah kehamilan dengan tekanan darah ≥ 140 / 90 mmHg
disertai proteinuria (pemeriksaan kualitaif ≥ + 1) setelah umur kehamilan
20 minggu (NHBPEP Working Group, 2000).
3. Umur Ibu adalah umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir yang
tercantum dalam KTP hingga saat pengambilan sampel dilakukan,
dinyatakan dalam satuan tahun.
4. Umur Kehamilan adalah lamanya kehamilan yang dihitung berdasarkan
hasil pemeriksaan USG yang dilakukan sebelum umur kehamilan 20
40
minggu atau dapat juga dari HPHT (Hari Pertama Hadi Terakhir),
dinyatakan dalam satuan minggu.
5. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan pada usia kehamilan di atas 20
minggu oleh ibu hamil sebelum kehamilan sekarang.
6. Kehamilan Kembar adalah kehamilan dengan jumlah janin lebih dari satu
yang ditentukan secara klinis melalui pemeriksaan fisik, dan dibuktikan
dari gambaran USG atau setelah persalinan.
7. Diabetes melitus adalah ibu hamil dengan meningkatnya kadar gula darah
acak > 200mg/dl pada saat kehamilan ini (PERKENI, 2005)
8. F2-IsoPs adalah metabolit hasil peroksidasi asam arakhidonat oleh radikal
bebas, melalui mekanisme yang di katalisir secara langsung oleh radikal
bebas (free radical-calatyzed mechanism), dan pengukuran kadarnya
dilakukan dengan metode EIA (Dalle-Donne dkk, 2006). Karena tidak
didapatkan nilai referensi cut of point dari literatur, untuk nilai cut of point
dengan menggunakan kurva ROC.
4.5 Bahan Penelitian
a. Larutan BHT (5mg/100mL)
b. Larutan Indometacin
4.6 Instrumen Penelitian
a. Tensimeter air raksa
b. Stetoskop
c. Spuit 10 cc
d. Kapas alkohol 70%
41
e. Kuisioner penelitian
f. Label nama dan alat tulis
g. Tabung dan alat sentrifugasi
h. Cup fiser
i. Lemari es (Freezer)
j. Pipet yang disertai skala pengukuran (adjustable) 5 L - 1000 L
k. Pemanas (Baker) dan tabung reaksi
l. Kit enzym immunoassay for isoprostane (8-isoprostane) dari Oxford
Biomedical Research
m. Plate reader untuk pengukuran panjang gelombang 450 nm
4.7 Prosedur Penelitian
Pemilihan sampel penelitian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pasien
sesuai dengan Pedoman Terapi Lab / SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD /
RSUP Sanglah Denpasar. Pasien hamil yang kemudian memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi, serta bersedia mengikuti penelitian ini setelah mendapatkan inform
consent, diminta untuk menandatangani formulir pernyataan bersedia mengikuti
penelitian yang telah disediakan. Ibu hamil dengan preeklamsi dijadikan kasus,
dan ibu hamil tanpa preeklamsi dijadikan kontrol. Langkah–langkah yang
dilakukan pada penelitian ini adalah:
1. Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, HPHT, berat badan sebelum
hamil, penambahan berat badan selama kehamilan, dan riwayat sebelumnya.
2. Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan,
tekanan darah dan pemeriksaan darah lengkap, AST, ALT, serum kreatinin,
42
gula darah acak, LDH dan urine rutin. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan
dengan cara : penderita dalam keadaan santai minimal 5 menit sebelum
pengukuran dimulai dan dalam posisi duduk santai atau berbaring miring
kearah kiri. Tekanan darah diukur pada bagian tengah lengan kiri setinggi
jantung dengan menggunakan tensimeter air raksa. Tekanan darah sistolik
ditentukan dengan terdengarnya suara pertama (Korotkoff I) dan tekanan
diastolik pada saat hilangnya denyut nadi arteri brachialis (Korotkoff fase
V).
3. Pasien yang didiagnosis sebagai preeklamsi dilakukan penatalaksanaan
sesuai Pedoman Terapi yang berlaku di Lab / SMF Obstetri dan Ginekologi
FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar.
4. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah vena kubiti yang telah di
antisepsis sebelumnya dengan alkohol 70% menggunakan plain tube
sebanyak 10 cc. Plain tube diberi label identitas pasien dan nomor urut, dan
darah dibiarkan membeku selama 30 menit. Kemudian dilakukan
sentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit. Serum yang telah terbentuk
dipisahkan masing-masing 1,2 cc ke dalam 3 sampel cup fiser yang telah
diisi campuran BHT dan indometacin. Dilakukan penyimpanan sementara
pada suhu -20 oC, kemudian dilanjutkan dengan -70 oC hingga serum di
analisis. Serum yang terkumpul selanjutnya ditentukan kadar total 8-
isoprostan (baik yang terikat maupun bebas dalam serum) dengan
menggunakan metode EIA, kemudian hasilnya dinilai dengan menggunakan
microplate reader. Penyimpanan dan analisis sampel dilakukan di
43
Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta dengan bantuan dari Laboratorium
Klinik Prodia Denpasar.
5. Hasil pemeriksaan kadar total serum F2-IsoPs yang didapat kemudian
dilakukan analisis statistik.
44
Gambar 4.2 Alur penelitian.
Ibu hamil umur kehamilan > 20
minggu yang datang ke
poliklinik atau IRD RS Sanglah
Denpasar
Anamnesis Pemeriksaan fisik umum Pemeriksaan obstetri Pemeriksaan laboratorium
Kriteria
inklusi
Kriteria
eksklusi
Kadar serum F2-IsoPs
A N A L I S I S D A T A
Preeklamsi (+) KASUS
Preeklamsi (-)
KONTROL
Kadar serum F2-IsoPs
Tinggi Rendah Rendah Tinggi
45
4.8 Analisis Data
Komparasi karakteristik sampel diuji dengan Chi-square Test
Dilakukan uji normalitas data.
Dilakukan uji homogenitas data.
Dilakukan uji komparasi.
Dilakukan penghitungan rasio odd menggunakan tabel 2x2, dengan cut of
point yang ditentukan dengan menggunakan kurva ROC.
Tabel 4.1 Tabel 2x2 Perhitungan Rasio Odds
Kadar serum
F2-IsoPs
PREEKLAMSI
Ya(Kasus) Tidak(Kontrol) Jumlah
Tinggi A B A+B
Rendah C D C+D
A+C B+D A+B+C+D
Keterangan : Rumus RO yang digunakan adalah AD / BC
- A = Kasus dengan kadar serum F2-IsoPs tinggi
- B = Kontrol dengan kadar serum F2-IsoPs tinggi
- C = Kasus dengan kadar serum F2-IsoPs rendah
- D = Kontrol dengan kadar serum F2-IsoPs rendah
46
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Pada penelitian ini terdapat dua kelompok sampel, yaitu kelompok kasus
kehamilan dengan preklamsi dan kelompok kontrol kehamilan tanpa preeklamsi
yang masing-masing terdiri dari 27 sampel. Karakteristik sampel penelitian dapat
dilihat pada tabel 5.1 di bawah.
Tabel 5.1
Distribusi Umur Ibu, Umur Kehamilan, Paritas dan Kadar Serum F2-IsoPs
pada Kelompok Kasus dan Kontrol
Parameter
Kelompok
p Kasus
(n=27)
Rerata + SD
Kontrol
(n=27)
Rerata + SD
Umur Ibu (tahun) 27,22 + 7,54 28,51 + 5,54 0,30
Umur Kehamilan (minggu) 37,22 + 3,49 38,37 + 1,64 0,37
Paritas 0,81 + 1,30 0,59 + 0,88 0,77
kadar F2-IsoPs (pg/mL) 71,0 + 36,20 42,6 + 17,07 0,01
Table 5.1 di atas menunjukkan bahwa rerata umur ibu pada kelompok
kasus adalah 27,2 + 7,54 tahun, dan pada kelompok kontrol adalah 28,5 + 5,54
tahun. Pada distribusi umur kehamilan, diperoleh rerata kelompok kasus adalah
37,22 + 3,49 minggu, dan pada kelompok kontrol adalah 38,37 + 1,64 minggu.
46
47
Pada distribusi paritas, diperoleh rerata kelompok kasus adalah 0.81 + 1,30 dan
kelompok kontrol adalah 0.59 + 0,88. Untuk rerata kadar serum F2-IsoPs,
diperoleh pada kelompok kasus adalah 71,0 + 36,2 pg/mL dan pada kelompok
kontrol adalah 42,6 + 17,07 pg/mL.
Sebelumnya telah dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji
Shapiro-wilk untuk masing-masing variabel umur ibu, umur kehamilan dan
paritas, dimana terdapat nilai p kurang dari 0,05 untuk setiap variabel, kecuali
pada variabel umur ibu kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa data
pada variabel karakteristik subyek adalah tidak normal sehingga dilakukan
analisis statistik dengan uji non-parametrik.
Analisis kemaknaan dengan Mann Whitney Test untuk variabel umur ibu
diperoleh nilai p = 0,30, umur kehamilan diperoleh nilai p = 0,37, dan paritas
diperoleh nilai p = 0,77. Sedangkan pada kadar serum F2-IsoPs menunjukkan
nilai p = 0,01
5.2 Risiko Preeklamsi Berdasarkan Kadar Serum F2-IsoPs
Untuk menentukan risiko terjadinya preeklamsi berdasarkan kadar serum
F2-IsoPs, ditentukan cut-off point terlebih dahulu dari hasil sampel penelitian.
Berdasarkan hasil pada kurva Receiving Operator Curve (ROC) diperoleh nilai
cut-off point pada 46,15 dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing
sebesar 80,5% dan 77,8%.
Untuk mengetahui hubungan F2-IsoPs terhadap kejadian preeklamsi
dipakai uji Chi-Square, sedangkan nilai rasio odds digunakan nilai perbandingan
ad/bc, yang dapat dilihat pada Tabel 5.2. Hasil penelitian dikelompokkan dengan
48
acuan untuk nilai kadar serum F2-IsoPs >46,15 pg/mL dikategorikan tinggi,
sedangkan untuk kadar serum F2-IsoPs <46,15 pg/mL dikategorikan rendah.
Berdasarkan nilai cut-off point sebesar 46,15 pg/mL diperoleh rasio odds sebesar
10,0 (IK 95% = 2,86 - 34,92 ; p = 0,01).
Tabel 5.2
Risiko Preeklamsi pada Kadar Serum F2-IsoPs Tinggi
Parameter
Preeklamsi Tanpa
Preeklamsi
RO IK 95% p
F2-IsoPs
Tinggi 21 7
10,0
2,86-34,92
0,01
Rendah 6 20
49
BAB VI
PEMBAHASAN
Penyebab awal preeklamsi masih belum diketahui dengan pasti. Stress
oksidatif telah lama dipercaya sebagai mekanisme yang mendasari dan berperan
terhadap terjadinya kerusakan endotel dalam patogenesis preeklamsi, tetapi
hingga saat ini belum ada konsensus secara universal mengenai hal tersebut.
Padahal tingkat stress oksidatif dapat diukur dengan pemeriksaan berbagai marker
oksidatif, misalnya dengan mengukur kadar F2-IsoPs sebagai produk dari hasil
peroksidasi lipid.
Atas dasar pertimbangan dan kontroversi di atas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai peranan stress oksidatif pada preeklamsi. Untuk
membuktikan teori stress oksidatif yang dianut saat ini, maka perlu diketahui
kadar rerata kadar total serum F2-IsoPs dari penderita preeklamsi dan hamil
normal, dan perbedaannya. Kemudian perlu diketahui juga risiko terjadinya
preeklamsi pada kadar serum F2-IsoPs yang tinggi. F2-IsoPs dipilih karena
merupakan marker stress oksidatif terbaik saat ini. Penelitian ini belum pernah
dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah/FK UNUD Denpasar
maupun Program Pascasarjana Biologi Medik FK UNUD Denpasar.
6.1 Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian kasus-kontrol ini melibatkan 54 sampel penelitian yang
dikelompokkan menjadi 27 sampel kelompok kasus kehamilan dengan preklamsi
dan 27 sampel kelompok kontrol kehamilan tanpa preeklamsi. Variabel yang
49
50
dinilai dari karakteristik sampel penelitian ini adalah umur ibu, umur kehamilan,
dan paritas.
Pada penelitian ini tidak disertakan wanita yang menderita diabetes
mellitus dan kehamilan kembar karena dikhawatirkan meningkatkan bias yang
mempengaruhi hasil penelitian. Pada kehamilan kembar dan diabetes mellitus
terdapat keadaan hiperplasentosis (Angsar, 2008). Pada kehamilan kembar
didapatkan peningkatan risiko preeklamsi sebesar empat hingga lima kali lipat
lebih tinggi dari pada kehamilan normal, dan meningkat lebih tinggi lagi pada
wanita dengan kehamilan triplet (Cunningham, 2010). Keadaan hiperglikemia
pada diabetes mellitus menyebabkan gangguan mikrovaskuler yang signifikan dan
meningkatkan keadaan stress oksidatif sehingga kadar F2-IsoPs akan tinggi pada
keadaan ini.
6.1.1 Distribusi Umur Ibu
Faktor usia yang merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
preeklamsi yaitu usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Wanita di
atas usia 35 tahun memiliki risiko tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi untuk
menderita preeklamsi. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh adanya faktor
penyakit degenerasi seperti hipertensi kronis akibat dari proses penuaan pada
pembuluh darah. Sementara sebab terjadinya preeklamsi pada wanita hamil
berusia muda masih kontoversial, apakah preeklamsi ini memang murni terjadi
pada wanita berusia muda atau akibat faktor sosial seperti asuhan antenatal yang
kurang baik, nutrisi yang kurang baik, atau akibat adanya kehamilan yang tidak
diinginkan (Cunningham, 2010).
51
Pada penelitian ini, distribusi umur ibu dari kelompok kasus kehamilan
dengan preklamsi diperoleh rerata umur ibu adalah 27,22 tahun. Sedangkan pada
kelompok kontrol kehamilan tanpa preklamsi didapatkan rerata umur ibu adalah
28,51 tahun. Analisis kemaknaan pada variabel umur ibu, diperoleh nilai p = 0,30.
Dengan nilai p > 0,05 berarti bahwa variabel tersebut tidak berbeda bermakna
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Tidak adanya perbedaan distribusi
umur ibu antara kedua kelompok diharapkan dapat mengurangi faktor perancu
yang mempengaruhi tingkat stress oksidatif yang diteliti.
Pada saat ini setelah ditemukannya F2-IsoPs, pengaruh faktor usia ibu
terhadap proses lipid peroksidasi mulai diragukan. Beberapa penelitian
menggunakan F2-IsoPs telah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lipid
peroksidasi dan usia seseorang. Hasil temuan ini menyangkal hasil penelitian-
penelitian sebelumnya mengenai hubungan usia dengan stress oksidatif, yang
masih menggunakan MDA sebagai marker. Penelitian-penelitian terdahulu juga
tidak mengontrol pengaruh kadar kolesterol, indeks massa tubuh, dan faktor-
faktor lainnya seperti inflamasi. Seperti diketahui bahwa MDA tidak spesifik
dihasilkan dari lipid peroksidasi saja, namun banyak faktor yang
mempengaruhinya. Faktor tersebut biasanya lebih sering muncul seiring
pertambahan usia, seperti kerusakan oksidatif pada DNA yang terakumulasi
seiring pertambahan usia, kerusakan oksidatif terhadap lemak sesuai tingkah laku
kebiasaan dan keadaan fisik yang sejalan dengan bertambahnya usia – seperti
meningkatnya kadar lemak tubuh dan kolestrol, merokok dan alkohol, dan
inflamasi karena adanya arthritis dan kondisi penuaan lainnya (Block dkk, 2002).
52
6.1.2 Distribusi Umur Kehamilan
Penelitian pada preeklamsi sesuai kesepakatan sesuai definisi digunakan
batas umur kehamilan 20 minggu. Penentuan umur kehamilan di atas 20 minggu
ini sesuai dengan proses plasentasi atau patogenesis invasi tropoblas yang terdiri
dari dua gelombang. Gelombang pertama yang berlangsung sampai umur
kehamilan 10-12 minggu, kemudian disusul dengan invasi tropoblas gelombang
kedua pada umur kehamilan 14-16 minggu sampai maksimal pada umur
kehamilan 20 minggu (Roberts dan Hubel, 2004; Gupta dkk, 2005). Sehingga
pada usia kehamilan di atas 20 minggu, pembentukan plasenta dianggap telah
selesai dan apabila terdapat kegagalan dalam proses tersebut akan menyebabkan
keadaan hipoksia dan stress oksidatif pada perkembangan kehamilan selanjutnya.
Tingkat stress oksidatif dalam kehamilan diyakini terus meningkat seiring
dengan semakin tuanya umur kehamilan. Dalam keadaan normal pun, semakin tua
suatu kehamilan, maka semakin besar pula anatomis plasenta dan kebutuhan
aliran darah menuju dan dari plasenta, semakin tinggi kemungkinan terjadi
gangguan suplai darah dan iskemik plasenta yang menghasilkan radikal bebas.
Produk radikal bebas berlebihan ini terus meningkat, maka terjadi keadaan stress
oksidatif yang sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan. Sehingga risiko
terjadinya preeklamsi semakin besar pada umur kehamilan yang lebih tua.
Pada penelitian ini didapatkan distribusi umur kehamilan dari kelompok
kasus kehamilan dengan preklamsi diperoleh rerata umur kehamilan adalah 37,22
minggu. Sedangkan pada kelompok kontrol kehamilan tanpa preklamsi
didapatkan rerata umur adalah 38,37 minggu. Analisis kemaknaan pada variabel
53
umur kehamilan diperoleh nilai p = 0,37 yang berarti variabel tersebut tidak
berbeda bermakna antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Sehingga tidak
adanya perbedaan distribusi umur kehamilan antara kedua kelompok pada
penelitian ini, dapat mengurangi bias pada hasil penelitian.
Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan mengenai stress
oksidatif dan ditemukannya F2-IsoPs, pernyataan di atas mengenai peningkatan
stress oksidatif sesuai umur kehamilan menjadi kontroversial. Tidak semua
penelitian mendukung peningkatan stress oksidatif sesuai umur kehamilan
tersebut. Seperti penelitian Ishihara dkk (2004), walaupun mereka mendapatkan
kadar F2-IsoPs meningkat pada kehamilan dibandingkan dengan wanita tidak
hamil, tetapi tidak didapatkan perbedaan kadar plasma F2-IsoPs pada kehamilan
antara usia kehamilan 20 dan 40 minggu. Tidak adanya perbedaan kadar F2-IsoPs
ini diduga karena plasenta pada kehamilan normal memiliki regulasi aliran darah
yang baik dan mekanisme untuk menghasilkan antioksidan endogen sehingga
dapat menjaga tingkat stress oksidatif dalam tingkat yang dapat ditolerir untuk
kelangsungan kehamilan yang normal (Ishihara, 2004; Hung dan Bruton, 2006).
6.1.3 Distribusi Jumlah Paritas
Angka kejadian preeklamsi pada nulipara lebih tinggi daripada multipara
(Cunningham, 2010). Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa wanita
nullipara berisiko lima hingga sepuluh kali lipat lebih tinggi untuk menderita
preeklamsi dibandingkan dengan wanita multipara. Wanita yang pernah hamil dan
berakhir sebelum usia kehamilan 20 minggu pun memiliki risiko lebih rendah
untuk terjadinya preeklamsi pada kehamilan berikutnya. Hal ini diduga
54
berhubungan dengan sistim pengenalan imun, dimana diduga semakin sering
paparan maka semakin kecil risiko preeklamsi (Lockwood dkk, 2000).
Pada penelitian ini didapatkan rerata jumlah paritas kelompok kasus
kehamilan dengan preklamsi adalah 0.81 dan rerata kelompok kontrol kehamilan
tanpa preklamsi adalah 0.59. Analisis kemaknaan pada variabel paritas diperoleh
nilai p = 0,77 yang berarti variabel tersebut tidak berbeda bermakna antara
kelompok kasus dan kelompok kontrol. Tidak terdapatnya adanya perbedaan
distribusi jumlah paritas antara kedua kelompok, dapat mengurangi bias pada
hasil penelitian.
6.2 Kadar Serum F2-IsoPs pada Sampel Penelitian
Untuk kelompok kasus didapatkan kadar rerata serum F2-IsoPs adalah
71,0 pg/mL, dengan kadar paling tinggi adalah 178,2 pg/mL dan kadar paling
rendah adalah 29,7 pg/mL. Melihat pada hasil penelitian pada Bab V di atas,
dengan cut-off point 46,15 pg/mL didapatkan 6 sampel penderita preeklamsi yang
memiliki kadar serum F2-IsoPs yang rendah atau di bawah nilai cut-off point.
Sedangkan untuk kelompok kontrol, kadar rerata serum F2-IsoPs adalah
42,6 pg/mL, dengan kadar paling tinggi adalah 93,9 pg/mL dan paling rendah
adalah 21,9 pg/mL, yang dengan cut-off point 46,15 pg/mL didapatkan 7 sampel
kontrol hamil normal memiliki kadar serum F2-IsoPs di atas nilai cut-off point.
Perbedaan kadar F2-IsoPs untuk masing-masing sampel penelitian ini cukup
lebar, yang menunjukkan adanya faktor yang berpengaruh terhadap variasi
individu tersebut.
55
Kadar F2-IsoPs pada sampel penelitian yang kami dapatkan cukup
berfluktuasi. Beberapa faktor penyebab berfluktuasinya kadar F2-IsoPs dapat
diduga dengan melihat hasil penelitian-penelitian lain sebelumnya. Seperti pada
penelitian dari Block dkk (2002), mereka melakukan penelitian multivarian
termasuk didalamnya faktor usia seseorang, terhadap status stress oksidatif
dengan menggunakan marker F2-IsoPs. Variabel-variabel yang diperiksa dalam
penelitian Block tersebut meliputi jenis kelamin, usia, ras, berat badan, status
merokok, kadar nikotin plasma; kadar antioksidan plasma seperti carotenoids, α-
dan γ-tocopherol, dan asam askorbat; kadar lemak plasma, meliputi kolestrol
serum dan trigliserida; intake nutrisi makanan dan berbagai jenis makanan; C-
reaktif protein dan kadar saturasi transferrin. Dan ternyata dari hasil penelitian
didapatkan kadar plasma asam askorbat yang memiliki hubungan terbalik secara
konsisten dengan kadar F2-IsoPs (Block dkk, 2002). Semakin tinggi kadar asam
askorbat, maka akan semakin rendah kadar F2-IsoPs. Kadar plasma asam askorbat
dapat mempengaruhi status stress oksidatif yang tentu saja mempengaruhi kadar
F2-IsoPs pada saat pengambilan sampel.
Pada penelitian yang serupa dari Ishihara dkk (2004), walaupun mereka
tidak menemukan perbadaan kadar F2-IsoPs pada penderita preeklamsi
dibandingkan kehamilan normal, namun mereka mendapatkan kadar γ-tocopherol
lebih rendah secara signifikan pada penderita preeklamsi. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan penurunan kadar γ-tocopherol mungkin mendahului dan
menentukan terjadinya stress oksidatif pada preeklamsi.
56
Faktor lainnya adalah menurunnya fungsi ginjal pada preeklamsi. Seperti
diketahui bahwa F2-IsoPs akan diekskresikan melalui urin, maka apabila ada
perubahan renal clearance, akan mempengaruhi kadar F2-IsoPs. Fungsi ginjal
dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan, salah satunya preeklamsi itu sendiri.
Turunnya renal clearance dapat meningkatkan akumulasi senyawa tersebut dalam
sirkulasi darah sampel (Cracowski, 2004; Dalle-Donne dkk, 2006).
Jadi kadar plasma γ-tocopherol dan asam askorbat sebagai antioksidan,
serta fungsi ginjal melalui renal clearance merupakan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kadar F2-IsoPs dalam darah. Pada penelitian kami ini tidak
dilakukan kontrol terhadap kadar plasma asam askorbat, γ-tocopherol, dan renal
clerance pada saat dilakukan pengambilan sampel F2-IsoPs. Sehingga penelitian
rasional berikutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian dengan
melakukan pengukuran kadar plasma γ-tocopherol, asam askorbat, dan renal
clearance pada saat pengambilan sampel F2-IsoPs.
6.3 Analisis Kemaknaan Kadar Serum F2-IsoPs
Berdasarkan analisis kemaknaan kadar serum F2-IsoPs dari kedua
kelompok tersebut digunakan Mann Whitney Test, didapatkan nilai p = 0,01. Hal
ini berarti bahwa rerata kadar F2-IsoPs pada kedua kelompok kasus dan kontrol
berbeda secara bermakna (p < 0,05).
Hasil penelitian kami ini sejalan dengan mayoritas penelitian sebelumnya,
dimana didapatkan kadar F2-IsoPs lebih tinggi secara signifikan pada penderita
preeklamsi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Barden dkk (2001) terhadap 21
penderita preeklamsi dan 19 kehamilan normal, mereka mendapatkan secara
57
signifikan kadar plasma F2-IsoPs lebih tinggi pada penderita preeklamsi. Harsem
dkk (2007) juga mendapatkan kadar plasma F2-IsoPs lebih tinggi pada kelompok
preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal (354 + 232 vs 218 + 149
pg/mL, p = 0.02). Kemudian Tanto (2008) juga memperkuat temuan peneliti lain
dengan mendapatkan peningkatan kadar serum bebas F2-IsoPs pada penderita
preeklamsi (0,803 + 0,521 ng/mL) dibandingkan dengan wanita hamil normal
(0,557 + 0,458 ng/mL).
Lebih tingginya kadar serum F2-IsoPs secara bermakna pada kelompok
kasus preeklamsi dibandingkan kelompok kontrol pada penelitian kami sesuai
dengan teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Sesuai dengan
teori tersebut, peningkatan kadar serum F2-IsoPs pada preeklamsi diakibatkan
karena adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan antioksidan
akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress oksidatif dan peningkatan lipid
peroksidasi (Roberts dan Hubel, 2004; Gupta dkk, 2005).
Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal pada saat
tahapan invasi tropoblas dan perubahan hanya terjadi pada bagian desidual arteri
spiralis dan sebagian besar pembuluh lainnya tetap dalam keadaan vasoreaktif.
Bersamaan dengan berkurangnya invasi tropoblas kedalam uterus dan arteri
spiralis menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi sangat berkurang.
Gangguan plasentasi ini menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta. Darah ibu
memasuki ruang intervilus dengan tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat
sangat pulsatil, menyebabkan vili plasenta yang telah iskemik sebelumnya
terpapar pada konsentrasi oksigen yang berfluktuasi. Apabila enzim mitokondria
58
tidak berfungsi dengan baik, maka terjadi kebocoran sejumlah kecil elektron
kepada oksigen, sehingga terbentuklah radikal superoksida. Selama periode
hipoksia, hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang tersedia
sebagai reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi.
Akumulasi elektron ini berpotensi menyebabkan meningkatnya potensi kebocoran
elektron dari membran mitokondria. Jika kemudian kadar oksigen kembali pada
keadaan normal, maka terbentuklah ROS secara tiba-tiba dalam jumlah besar.
Keadaan ini menyebabkan cedera tipe iskemik-reperfusi (ischemic-reperfusion
injury) (Hung dan Bruton, 2006; Cindrova-Davies, 2009).
Sumber lain, dari radikal superoksida menurut teori H/R adalah melalui
perubahan XDH menjadi XO atau sistim xanthine dehydrogenase/xanthine
oxidase (XDH/XO). XDH merubah purin menjadi asam urat melalui reduksi
nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), sementara XO memetabolisme xantin
dan hipoxantin menjadi asam urat, menggunakan oksigen sebagai reseptor
elektron, yang kemudian menghasilkan ROS. Dalam keadaan hipoksia dan respon
terhadap beberapa sitokin, produksi enzim XDH/XO meningkat dan konversi
enzim menjadi XO juga meningkat. Sementara itu, selama periode hipoksia,
substrat hipoxantin dibentuk sebagai hasil dari pemecahan ATP. Dengan
demikian, akibat dari hipoksia, semakin banyak hipoxantin terbentuk dan diubah
menjadi asam urat yang menggunakan oksigen sebagai reseptor elektron. maka
produksi ROS pun akan semakin secara cepat dan banyak (Hung dan Bruton,
2006).
59
Tingginya kadar ROS akibat proses yang terjadi di atas, menyebabkan
suatu keadaan stress oksidatif. Lipid peroksidasi merupakan proses yang terjadi
ketika radikal bebas berlebihan berinteraksi dengan PUFA pada membran sel dan
lipoprotein pada plasma. Hasil dari peroksidasi asam arakhidonat langsung oleh
radikal bebas (free radical-calatyzed mechanism) akan menghasilkan suatu
metabolit F2-IsoPs. F2-IsoPs tersebut dibentuk in situ pada tempat serangan dari
radikal bebas, kemudian segera bersirkulasi dalam aliran darah secara bebas atau
terikat dengan fosfolipid (Montuschi dkk, 2004; Cracowski, 2004). Kadarnya
dalam darah tersebut yang kami periksakan melalui pemeriksaan kadar total
serum F2-IsoPs.
Hasil penelitian yang kami dapatkan tidak selalu sesuai dengan hasil
peneliti sebelumnya. Penelitian dari Ishihara dkk (2004) tidak mendapatkan
perbedaan signifikan kadar bebas plasma dan urin F2-IsoPs pada penderita
preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Di dalam darah, F2-IsoPs
terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bebas dan terikat pada fosfolipid atau lipoprotein.
Hanya bentuk bebas F2-IsoPs yang diekskresikan melalui urin. Perubahan kadar
F2-IsoPs bebas dalam darah dapat disebabkan oleh peningkatan lipid peroksidasi,
peningkatan aktivitas fosfolipase, atau penurunan renal clearance (Dalle-Donne
dkk, 2006). Dalam hal ini, penurunan renal clearance yang dapat terjadi pada
preeklamsi tentu dapat mengurangi ekskresi F2-IsoPs dalam urin, sehingga kadar
F2-IsoPs dalam urin menjadi lebih rendah daripada yang seharusnya dan mungkin
memberikan hasil menyerupai kehamilan normal. Sedangkan untuk kadar bebas
plasma F2-IsoPs sangat dipengaruhi kadarnya oleh jumlah lipoprotein dan kadar
60
antioksidan dalam darah seperti yang telah dibahas sebelumnya di atas, di mana
Ishihara dkk mendapatkan kadar γ-tocopherol lebih rendah secara signifikan pada
penderita preeklamsi. Pada penelitian yang kami lakukan digunakan kadar total
serum F2-IsoPs, karena pengukuran kadar total F2-IsoPs (bebas dan yang terikat
dengan fosfolipid) dianggap lebih menggambarkan keadaan stress oksidatif yang
sebenarnya, daripada hanya menggunakan F2-IsoPs bebas saja (Barden dkk,
2001; Hung dan Bruton, 2006).
6.3 Analisis Risiko pada Sampel Penelitian
Berdasarkan cut off dari kurva ROC didapatkan nilai batas kadar serum
F2-IsoPs antara kasus (preeklamsi) dan kontrol (hamil normal) adalah 46,15
pg/mL, dengan nilai sentivitas 80,5% dan nilai spesifitas 77,8%. Dari hasil
analisis menggunakan cut of point tersebut, didapatkan rasio odds kadar F2-IsoPs
yang tinggi (> 46,15 pg/mL) adalah 10,0 (RO = 10,0 ; IK 95% = 2,86-34,92 ; p =
0,01). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya kadar serum F2-IsoPs
tinggi pada kehamilan memiliki risiko terjadinya preeklamsi 10 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan kehamilan yang memiliki kadar F2-IsoPs rendah.
Seperti diketahui sebelumnya, peningkatan lipid peroksidasi saja pada
kehamilan tidak selalu mengakibatkan preeklamsi. Mungkin saja kadar F2-IsoPs
yang tinggi sebagai produk lipid peroksidasi turut berperan mencetuskan
terjadinya disfungsi endotel, sehingga bersama-sama dengan faktor pencetus
lainnya mempermudah timbulnya sindroma preeklamsi. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa F2-IsoPs memiliki pengaruh yang besar terhadap fungsi
pembuluh darah. F2-IsoPs diduga merupakan vasokonstriktor kuat, memiliki efek
61
stimulasi proliferasi sel endotel dan meningkatkan ekspresi dan pelepasan
endothelin-1. F2-IsoPs juga diyakini berperan dalam aktivasi trombosit, yang
tingkatannya dipengaruhi oleh dosis (Hermenegildo dkk, 2002; Sampson dkk,
2002; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005). Dengan demikian dapat diduga
bahwa tingginya kadar F2-IsoPs pada preeklamsi dapat merupakan faktor
penyebab dan bukan hanya efek dari perjalanan penyakitnya. Permasalahan ini
sepertinya masih merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
6.4 Kelemahan Penelitian
Keterbatasan dalam jumlah sampel penelitian dimana hanya melibatkan 54
sampel penelitian, yang terbagi sebesar 27 sampel untuk masing-masing
kelompok, tentunya memiliki keterbatasan di dalam melakukan generalisasi
sampel ke populasi secara umum.
Pada penelitian ini kami tidak melakukan kontrol terhadap kadar
antioksidan eksogen, terutama kadar plasma γ-tocopherol dan asam askorbat, dan
juga pengukuran fungsi ginjal pada saat dilakukan pengambilan sampel F2-IsoPs.
Padahal ketiga faktor tersebut diduga dapat mempengaruhi kadar F2-IsoPs pada
sampel penelitian.
62
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, diperoleh rerata kadar serum F2-IsoPs
kelompok preeklamsi adalah 71,0 + 36,2 pg/mL dan pada kelompok hamil normal
adalah 42,6 + 17,07 pg/mL. Perbedaan rerata kadar serum F2-IsoPs kedua
kelompok tersebut secara statistik berbeda bermakna (p = 0,01).
Dari hasil peneltian didapatkan risiko terjadinya preeklamsi pada kadar
serum F2-IsoPs tinggi adalah 10 kali (IK 95% = 2,86-34,92 ; p = 0,01) lebih besar
dibandingkan kehamilan dengan kadar serum F2-IsoPs rendah.
7.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa rekomendasi yang
diajukan oleh penulis, yakni:
1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan melakukan pengukuran status
antioksidan, terutama γ-tocopherol dan asam askorbat, dalam darah serta
fungsi ginjal pada saat dilakukan pengambilan sampel F2-IsoPs, sehingga
diharapkan pengukuran proses lipid peroksidasi dapat dilakukan dengan
lebih baik lagi.
2. Dengan memanfaatkan hasil penelitian ini, diperlukan penelitian dengan
jumlah sampel lebih besar untuk mendapatkan gambaran pada populasi
secara lebih baik, ataupun dengan metode penelitian yang lain, misalnya
kohort prospektif. Sehingga peran F2-IsoPs dalam kehamilan dan
62
63
preeklamsi, proses patofisiologi maupun upaya pencegahan preeklamsi
dapat dipahami lebih baik lagi.
64
DAFTAR PUSTAKA
Angsar, M.D. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam : Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535. Auer, J., Camoin, L., Guillonneau, F., Rigourd, V., Chelbi, S.T., Leduc, M., et al. 2010. Serum Profile in Preeclampsia and Intra-uterine Growth Restriction Revealed by iTRAQ Technology. Journal of Proteomics, 73:1004-1017. Barden, A., Ritchie, J., Walters, B., Michael, C., Rivera, J., Mori, T., et al. 2001. Study of Plasma Factors Associated With Neutrophil Activation and Lipid Peroxidation in Preeclampsia. Journal of Hypertension, 38:803-808. Block, G., Dietrich, M., Norkus, E.P., Morrow, J.D., Hudes, M., Bette, C., et al. 2002. Factors Associated with Oxidative Stress in Human Population. American Journal of Epidemiology, 156: 274-85. Borekci, B., Aksoy, H., Ozturk, N., Kadanali, S. 2009. Correlation between Calprotectin and Oxidized LDL in Preeclampsia. Turkey Journal of Medical Sciences, 39(2):191-195 Campbell, M.J., Machine, D., Fayers, P.M., Pinol, A.P.Y. 1997. Sample Size Tabels for Clinical Studies. Ed 2. Blackwell Science. Cindrova-Davies, T. 2009. Gabor Than Award Lecture 2008: Pre-eclampsia – from Placental Oxidative Stress to Maternal Endothelial Dysfunction. Placenta, 23: S55-65. Cracowski, J. 2004. Isoprostanes: An Emerging Role in Vascular Physiology and Disease?. Chemistry and Physics of Lipids, 128:75-83. Cracowski, J.L., Baguet, J.P., Ormezzano, O.,Bessard, J., Stanke-Labesque, F., Bessard, G., dkk. 2003. Lipid Peroxidation is Not Increased in Patients with Untreated Mildto-moderate Hypertension. Journal of Hypertension, 41:286 –288. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse D.J., Spong, C.Y. 2010. Pregnancy hypertention. In : Williams Obstetrics 23rd Edition. New York : Mc Graw Hill. p. 709-710. Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., Giustarini, D., Milzani, A. 2006. Biomarkers of Oxidative Damage in Human Disease. Clinical Chemistry, 52(4):601-623.
65
Depkes RI. 2001. Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001. Jakarta: Departement Kesehatan RI. Fam, S.S., Morrow, J.D. 2003. The Isoprostanes: Unique Products of Arachidonic Acid Oxidation : A Review. Current Medicinal Chemistry, 10:1723-1740. Farooqui, A.A., Horrocks, L.A. 2007. Nonenzymic Metabolites of Arachidonate and Docosahexarnoate in Brain. In : Glycerophospholipids in Brain : Phospholipases A2 in Neurological Disorders. Springer science + Bussiness media LCC : New York. Hal 178-182. Griendling, K.K., FitzGerald, G.A. 2003. Oxidative Stress and Cardiovascular Injury: Part II: Animal and Human Studies. Circulation, 108:2034-2040. Grossman, E. 2008. Does Increased Oxidative Stress Cause Hypertension? Diabetes care, 31(Suppl. 2):S185-S189. Gupta, S., Agarwal, A., Sharma, R.K. 2005. The Role of Placenta Oxidative Stress and Lipid Peroxidation in Preecampsia. Obstetrical and Gynecological Survey, 60(12):807-816. Gupta, S., Aziz, N., Sekhon, L., Agarwal, R., Mansour, G., Li, J., Agarwal, A. 2009. Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Preeclampsia, A Systematic Review. Obstetrical and Gynecological Survey, 64(11):750-759. Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforth’s obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 258-266. Harsem, N.K., Roald, B., Braekke, K., Staff, A.C. 2007. Acute Atherosis in Decidual Tissue: Not Associated with Systemic Oxidative Stress in Preeclampsia. Placenta, 28 : 958-964. Hauth, J.C., Ewell, M.G., Levine, R.J., et al. 2000. Pregnancy Outcomes in Healthy Nulliparas Who Developed Hypertension. Calcium for Preeclampsia Prevention Study Group. Obstetrics and Gynecology, 95:24–28. Henriksen, T. 2000. The Role of Lipid Oxidation and Oxidative Lipid Derivatives in the Development of Preeclampsia. Seminars in Perinatology, 24(1):29-32. Hermenegildo, C., Garcia-Martinez, M.C., Tarin, J.J., Cano, A. 2002. Estradiol Reduces F2α-Isoprostane Production in Cultured Human Endothelial Cells. American Journal Physiological - Heart and Circulation Physiology, 283:H2644-H2649.
66
Hung, T.H., Bruton, G.J. 2006. Hypoxia and Reoxygenation : A Possible Mechanism for Placental Oxidative Stress in Preeclampsia. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology, 43(3):189-200. Ishihara, O., Hayashi, M., Osawa, H., Kobayashi, K., Takeda, S., Vessby, B., et al. 2004. Isoprostanes, Prostaglandins and Tocopherols in Pre-eclampsia, Normal Pregnancy and Non-pregnancy. Free Radical Research, 38(9):913–918. Janicka, M., Kot-Wasik, A., Kot, J., Namieśnik, J. 2010. Isoprostanes-Biomarkers of Lipid Peroxidation: Their Utility in Evaluating Oxidative Stress and Analysis. International Journal of Molecular Sciences, 11: 4631-4659. Jaya-Kusuma, A.A.N. 2006. Manajemem Kegawatan Hipertensi Bidang Obstetri. Dalam : Jurnal Penyakit Dalam Udayana, 7 (1):70-81. Kaur, G., Mishra, S., Sehgai, A., Prasad, R. 2008. Alterations in Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Pregnancy With Preeclampsia. Molecular and Cellular Biochemistry, 313:37-44. Lockwood, C.J., Paidas, M.J. 2000. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In: Complication of Pregnancy fifth ed. Baltimore : Lippincott Wiliams and Wilkins. P. 214-215 Llurba, E., Gratacos, E., Martin-Gallan, P., et al. 2004. A Comprehensive Study of Oxidative Stress and Antioxidant Status in Preeclampsia and Normal Pregnancy. Free Radic Biol Med, 37:557–570. Milne, G.L., Musiek, E.S., Morrow, J.D. 2005. F2-Isoprostanes as markers of oxidative stress in vivo: An overview. Biomarkers, 10 (Suppl. 1):S10-S23. Mohaupt, M. 2007. Molecular Aspects of Preeclampsia. Molecular Aspects of Medicine, 28:169-191. Montuschi, P., Barnes, P.J., Roberts, L.J. 2004. Isoprostanes: markers and mediators of oxidative stress. The FASEB Journal, 18:1792-1800. Mueller, M.J., 2010. Isoprostane Nomenclature : Inherent Problems May Cause Setbacks for The Development of The Isoprostanoid Field. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 82(2):71-81. National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP). 2000. Symposium for preeclampsia and gestational hypertention. Australian and New Zealand Journal of Obstetrics and Gynaecology, 40:133–8. Oka, A.J., Surya, I.G.P. 2004. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003. (Penelitian
67
Deskriptif) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana. Patrignani, P., Tacconelli, S. 2005. Isoprostanes and Other Markers of Peroxidation in Atherosclerosis. Biomarkers, 10 (Suppl 1):S24-S29. Redman, C.W., Sacks, G.P., Sargent, I.L. 2000. Preeclampsia: an Excessive Maternal Inflammatory Response to Pregnancy. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 180:499–506. Regan, C.L., Levine, R.J., Baird, D.D., Ewell, M.G., Martz, K.L., Sibai, B.M., et al. 2001. No Evidence for Lipid Peroxidation in Severe Preeclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 185(3):572-578. Reynolds, C., Mabie, W.C., Sibai, B.M. 2003. Hipertensive States of Pregnancy. In : Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9th Ed. New Delhi : Mc Graw Hill. p. 338-9. Roberts, J.M., Hubel, C.A. 2004. Oxidative Stress in Preeclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 190:1177– 8. Roberts, J.M., Pearson, G., Cutler, J., Lindheimer, M. 2003. Summary of NHLBI Working Group on Research on Hypertension During Pregnancy. Journal of Hypertension, 41:437-445. Roberts, L.J., Morrow, J.D. 2000. Measurement of F2 Isoprostanes as an Index of Oxidative Stress in Vivo. Free Radical Biology and Medicine, 28: 505-13. Sampson, M.J., Gopaul, N., Davies, I.R., Hughes, D.A., Carrier, M.J. 2002. Plasma F2 Isoprostanes : Direct Evidence of Increased Free Radical Damage During Acute Hyperglycemia in Type 2 Diabetes. Diabetes care, 25(3):537-541. Scholl, T.O., Leskiw, M., Chen, X., Sims, M., Stein, T.P. 2005. Oxidative Stress, Diet, and The Etiology of Preeclampsia. American Journal of Clinical Nutrition, 81:1390-1396. Sudarmayasa, I.M., Surya, I.G.P. 2006. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di RSUP Snaglah Denpasar Periode 1 Januari 2004-31 Desember 2005. (tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana. Tanto, S.S. 2008. Pengaruh Konsumsi Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia Fructus) pada Penanganan Preeklamsi Ringan secara Konvensional Melalui Penilaian Status Nitrik Oksida, F2-Isoprostan, Tekanan Darah, dan Daya Pencegahan Kejadian Preeklamsi Berat dan Eklamsi. (disertasi). Bandung : Universitas Padjadjaran.
68
Toescu, V., Nuttall, S.L., Martin, U., Kendall, M.J., Dunne, F. 2002. Oxidative Stress and Normal Pregnancy. Clinical Endocrinology, 57:609 –13. Touyz, R.M., Schiffrin, E.L. 2004. Reactive Oxygen Species in Vascular Biology: Implications in Hypertension. Histochemistry and Cell Biology, 122:339-352. Walsh S.W. 2004. Eicosanoids in Preeclampsia. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 70:223-232. World Health Organization. 2002. Global Program to Conquer Preeclampsia/Eclampsia. [Citied 2010 Aug. 2] Available from : http://www.preeclampsia.org/statistics.asp