Hematoma Subdural&Epidural
-
Upload
karina-diana -
Category
Documents
-
view
186 -
download
0
description
Transcript of Hematoma Subdural&Epidural
ILMU KEPERAWATAN KLINIK IVB (IKK IVB)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT
HEMATOMA EPIDURAL DAN SPIDURAL
MAKALAH
Oleh :
Jamilatul Komari NIM 132310101004
Moh.Fachrillah Iskandar A. NIM 132310101015
Rizky Bella Mulyaningsasih NIM 132310101043
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT, atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini, dengan judul Asuhan
Keperawatan Pada Penyakit Hematoma Epidural dan Spidural. Dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Ns. Ratna Sari H. M.Kep., selaku Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Ilmu
Keperawatan Klinik IVB
3. Ns. Lantin Setyorini S.Kep.,M.Kes.,selaku Dosen Pengajar Mata Kuliah Ilmu
Keperawatan Klinik IVB Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas
Jember
4. Informan yang telah sangat membantu penulis dengan memberikan informasi
yang sangat dibutuhkan
5. Teman-teman Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember
Penulis menyadari bahwa dalam melakukan penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat
diharapkan. Semoga semua bermanfaat bagi kita, Amin.
Jember, 23 Maret 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Implikasi Keperawatan 2
BAB 2. TINJAUAN TEORI....................................................................................3
2.1 Pengertian 3
2.2 Epidemiologi 4
2.3 Etiologi 5
2.4 Tanda dan Gejala 6
2.5 Patofisiologi 9
2.6 Komplikasi & Prognosis 12
2.7 Pengobatan 13
2.8 Pencegahan 16
BAB 3. PATHWAYS............................................................................................20
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN..................................................................22
4.1 Hematoma Subdural.........................................................................................22
4.1.1Pengkajian 22
4.1.2Diagnosa 28
4.1.3Perencanaan 28
iii
4.1.4Implementasi 36
4.1.5Evaluasi 39
4.2 Hematoma Epidural.........................................................................................41
4.2.1Pengkajian 41
4.2.2Diagnosa 47
4.2.3Perencanaan 48
4.2.4Implementasi 53
4.2.5Evaluasi 55
BAB 5. PENUTUP................................................................................................56
5.1 Kesimpulan 56
5.2 Saran 56
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................57
iv
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hematoma adalah koleksi (kumpulan) dari darah diluar pembuluh darah
yang terjadi karena dinding pembuluh darah, arteri, vena atau kapiler, telah
dirusak dan darah telah bocor kedalam jaringan-jaringan dimana ia tidak pada
tempatnya. Hematoma terjadi karena kompresi yang kuat disepanjang traktus
genitalia, dan tampak sebagai warna ungu pada mukosa vagina atau perineum
yang ekimotik. Istilah hematoma menggambarkan darah yang telah menggumpal.
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematom.
Subdural hematoma merupakan perdarahan antara dura mater dan lapisan
arachnoid pada lapisan meningen yang membungkus otak. Subdural hematoma
biasanya sebagai akibat adanya injury pada otak dan pada pembuluh darah. Vena
yang mengalir pada permukaan otak masuk kedalam sinus sagital merupakan
sumber terjadinya subdural hematoma. Oleh karena subdural hematoma
berhubungan dengan kerusakan vena, sehingga hematoma terjadi secara perlahan-
lahan. Tetapi bila disebabkan oleh kerusakan arteri maka kejadiannya secara
cepat. Subdural hematoma dapat terjadi secara akut, subakut, atau kronik. Setelah
terjadi perdarahan vena, subdural hematoma nampak membesar. Hematoma
menunjukkan tanda-tanda dalam waktu 48 jam setelah injury. Tanda lain yaitu
bila terjadi konpressi jaringan otak maka akan terjadi peningkatan ICP
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran dan nyeri kepala. Pupil dilatasi.
Subakut biasanya terjadi dalam waktu 2 – 14 hari setelah injury.
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui pengertian Hematoma Epidural dan Subdural;
1.2.2 Untuk mengetahui epidemiologi Hematoma Epidural dan Subdural;
1.2.3 Untuk mengetahui penyebab Hematoma Epidural dan Subdural;
1.2.4 Untuk mengetahui tanda dan gejala Hematoma Epidural dan
Subdural;
1.2.5 Untuk mengetahui patofisiologi Hematoma Epidural dan Subdural;
1.2.6 Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis Hematoma Epidural
dan Subdural;
1.2.7 Untuk mengetahui pengobatan Hematoma Epidural dan Subdural;
1.2.8 Untuk mengetahui pencegahan Hematoma Epidural dan Subdural;
1.2.9 Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien Hematoma
Epidural dan Subdural.
1.3 Implikasi Keperawatan
Secara epidemiologi dengan semakin meningkatnya usia harapan hidup
pada berbagai populasi, maka jumlah orang berusia lanjut akan semakin
meningkat. Dilain pihak akan menimbulkan masalah serius dalam bidang sosial
ekonomi dan kesehatan, sehingga akan semakin banyak yang berkonsultasi
dengan seorang neurolog karena orang tua tersebut yang tadinya sehat, akan mulai
kehilangan kemampuannya secara efektif sebagai pekerja atau sebagai anggota
keluarga. Oleh karena itu, dunia kesehatan khususnya bidang keperawatan perlu
meningkatkan kinerjanya dalam pemberian asuhan keperawatn kepada pasien
utamanya pasien anak. Dalam hal ini para perawat haruslah bertambah cekatan
dan tanggap terhadap lingkungan mereka, dan tidak lupa untuk instansi
keperawatan juga harus melahirkan generasi penerus yang berkualitas dan
mempunyai body of knowledge yang tinggi.
2
33
BAB 2. TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
2.1.1 Hematoma Subdural (SDH)
Hematoma subdural/ subdural hematoma (SDH) merupakan kelainan bedah
saraf umum yang sering memerlukan intervensi bedah. SDH adalah jenis
perdarahan intrakranial yang terjadi di bawah duramater dan mungkin terkait
dengan cedera otak lainnya. Pada dasarnya, masalah ini terjadi akibat
terbendungnya darah di atas permukaan otak. SDH biasanya disebabkan oleh
trauma tetapi dapat spontan atau disebabkan oleh suatu prosedur, seperti pungsi
lumbal. Antikoagulasi, misalnya heparin atau warfarin (Coumadin), mungkin
menjadi faktor penyebabnya.
Perdarahan subdural sering disebabkan oleh perdarahan vena, maka darah
yang terkumpul berjumlah hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena biasanya
berhenti karena tamponade hematoma sendiri. Setelah 5 sampai 7 hari hematoma
mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10 sampai 20 hari.
Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah. Di
situ bisa timbul lagi perdarahan-perdarahan kecil, yang menimbulkan
hiperosmolaritas hematoma subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi
timbulnya perdarahan kecil-kecil dan pembentukan suatu kantong subdural yang
penuh dengan cairan dan sisa darah.
2.1.2 Hematoma Epidural (EDH)
Hematoma epidural adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang disebut duramater. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan duramater, ketika
pembuluh darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang
antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang dikenal dengan
sebutan hematoma epidural (EDH).
EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya
berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar,
sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan
dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial
hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang
temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan
arteri maka hematoma akan cepat terjadi.
2.2 Epidemiologi
Kasus epidural hematoma di Amerika Serikat ditemukan 1-2% dari semua
kasus trauma kepala yang ada dan ditemukan pula sebanyak 10% pada pasien
dengan koma akibat trauma. Dilaporkan angka kematian berada pada presentasi
5% hingga 43%. Secara internasional, frekuensi kejadian hematoma epidural
hampir sama dengan angka kejadian di amerika serikat. Orang yang beresiko
terkena EDH adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh.
Namun epidural hematoma tidak lazim pada pasien usia lanjut dikarenakan
lapisan dura telah melekat dengan kuat pada dinding bagian dalam tengkorak.
60% penderita hematoma epidural adalah berusia di bawah 20 tahun dan jarang
terjadi pada umur kurang dari 2 tahun dan diatas 60 tahun. Angka kematian
meningkat pada pasien berusia kurang dari 5 tahundan lebih dari 55 tahun. Lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.
Di Indonesia belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan
mortalitas perdarahan subdural. Di Amerika Serikat frekwensinya berbanding
lurus terhadap kejadian cedera kepala (blunt head injuries). Perdarahanterjadi dari
lesi intracranial, kira-kira sepertiga dari kejadian cedera kepala berat. Pada suatu
penelitian mengenai perdarahan subdural kronis ditemukan 1 kasus setiap 10.000
penduduk.
4
Pada penderita – penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit
(diameter < 1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78%
dari penderita–penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole
evacuation) mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan
sempurna. Perdarahan subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai
angka mortalitas kurang lebih 20%. Perdarahan subdural akut yang kompleks
(complicated SDH) biasanya mengenai parenkim otak, misalnya kontusio atau
laserasi dari serebral hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak.
Pada penderita–penderita ini mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan
dengan volume subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal
yang paling penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio
parenkim otak.
Angka mortalitas pada penderita – penderita dengan perdarahan subdural
yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak,
menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian.
Walaupun demikian bila lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu berakhir
dengan kematian.
2.3 Etiologi
2.3.1 Hematoma Subdural (SDH)
a. Hematoma Subdural (SDH) Akut
1) Head trauma Trauma kepala
2) Koagulopati atau antikoagulasi medis (misalnya, warfarin
[Coumadin], heparin, hemofilia, penyakit hati, trombositopenia)
3) Perdarahan intrakranial non traumatic karena aneurisma serebral,
kelainan arteriovenosa, atau tumor (meningioma atau metastasis
dural)
4) Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)
5) Hipotensi intrakranial (misalnya, setelah pungsi lumbal, lumbal CSF
bocor, tabrakan lumboperitoneal, anestesi epidural spinal
6) Spontan atau tidak diketahui penyebabnya (jarang)
5
b. Hematoma Subdural (SDH) Kronis
1) Trauma kepala (mungkin relatif ringan, misalnya pada individu-
individu yang lebih tua dengan atrofi otak)
2) SDH akut, dengan atau tanpa intervensi bedah
3) Spontan atau idiopatik
Faktor risiko untuk SDH kronis termasuk kronis alkoholisme ,
epilepsi, koagulopati, kista arakhnoid , terapi antikoagulan (termasuk
aspirin), penyakit kardiovaskuler (hipertensi, arteriosklerosis),
trombositopenia, dan diabetes. Pada pasien yang lebih muda,
alkoholisme, trombositopenia, gangguan koagulasi, dan terapi
antikoagulan oral telah ditemukan untuk menjadi lebih lazim. Kista
pada Arachnoid lebih umumnya terkait dengan pasien yang lebih muda
dari 40 tahun dengan SDH kronis. Pada pasien yang lebih tua, penyakit
jantung dan hipertensi arteri yang ditemukanlebih umum. Dalam sebuah
penelitian, 16% dari pasien dengan SDH kronis pada terapi aspirin.
Dehidrasi Mayor adalah suatu kondisi yang kurang umumnya terkait
dan ditemukan bersamaan hanya 2% pasien.
2.3.2 Hematoma Epidural (EDH)
Hematoma epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja,
beberapa keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada
kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala,
yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
pembuluh darah.
2.4 Tanda dan Gejala
2.4.1 Hematoma Subdural
Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma subdural (Sylvia A :
2005, Diane C : 2002) adalah :
1. Hematoma Subdural Akut
6
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak
berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan
cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih
dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada
hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan
vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita
hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang
perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan
tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran
isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh
akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan
dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama
merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi
perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari
7
setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan
adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas
secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya
rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya
ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala
bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk
dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
a. Sakit kepala yang menetap
b. Rasa mengantuk yang hilang-timbul
c. Linglung
d. Perubahan ingatan
e. Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
2.4.2 Hematoma Epidural
Pasien dengan EDH seringkali tampak memar di sekitar mata dan
di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran
hidung atau telinga. Tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan
EDH antara lain:
a. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
b. Bingung Penglihatan kabur Susah bicara
c. Nyeri kepala yang hebat
8
d. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
e. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
f. Mual
g. Pusing
h. Berkeringat
i. Pucat
j. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
2.5 Patofisiologi
2.5.1 Hematoma Epidural
Hematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam
waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu
berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada hematom epidural, perdarahan
terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering
terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital Arteri
meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan
yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan
melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom
bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
9
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase
sadar.
2.5.2 Hematoma Subdural
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
10
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu
besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang
membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Perdarahan subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase
ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik
tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial
mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial
yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi
serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi
tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong
ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial.
Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus
dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
11
lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik. (Price and Wilson, 1995).
2.6 Komplikasi & Prognosis
2.6.1 Hematoma Epidural
Komplikasi:
a. Kelainan neurologik (deficit neurologis), berupa sindrom gegar
otak dapat terjadi dalam beberapa jam sampai bebrapa bulan.
b. Kondisi yang kacau, baik fisik maupun mental
c. Kematian
Prognosis
Prognosis biasanya baik, kematian tidak akan terjadi untuk
pasien –pasien yang belum koma sebelum operasi. Kematian
terjadi sekitar 9% pada pasien epidural hematom dengan kesadaran
12
yang menurun. 20% terjadi kematian terhadap pasien – pasien yang
mengalami koma yang dalam sebelum dilakukan pembedahan.
2.6.2 Hematoma Subdural
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien subdural hematoma
adalah sebagai berikut (Anonim ; 2007) :
a. Hemiparese/hemiplegia
b. Disfasia / afasia
c. Epilepsi
d. Hidrosepalus
e. Subdural empiema
f. Stroke
g. Encephalitis Abses otak
h. Adverse drugs reactions
i. Tumor otak
j. Perdarahan subarachnoid
2.5 Pengobatan
2.5.2 Hematoma Epidural
a. Terapi Obat-obatan
Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai
faktor. Efek yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek
massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang
mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial.
Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah intervensi
bedah segera dan pengamatan klinis ketat, di awal dan secara
konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan. Catatan
bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih
cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien
13
membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute
konservatif.
Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan
evakuasi bedah segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada
kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan
neurologis berkala cukup masuk akal.
Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan
dibandingkan dengan penilaian klinis, publikasi terbaru
“Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury”
merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan
epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa
defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-
operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai
meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan.
Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika
meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien
memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan
harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan
pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan
ekstravasasi angiografis telah diamati.
Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan,
proses penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai
tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas.
b. Terapi Bedah
Berdasarkan pada “Guidelines for the Management of
Traumatic Brain Injury“, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml,
harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS.
Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural
memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis
tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural
14
seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau
memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi.
Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan
pembedahan. Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat
mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan
epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan
gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang
tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang
supratentorial.
Sebelum adanya CT-scan, pengeboran
eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa, khususnya ketika
pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang
cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang
dibutuhkan.
Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien
berikut ini :
1) Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis
hipertensi intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan
karena instabilitas hemodinamik yang berat.
2) Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera
sistemiknya.
2.5.3 Hematoma Subdural
Pengobatan
a. Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10¬-15% per infus
untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang
intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
15
c. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah
otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
d. Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan
oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak
relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan akibat hipoksi,
walaupun suplai oksigen berkurang.
e. Pemberian obat-obat neurotropik untuk membantu mengatasi
kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan
koma.
1) Piritinol, merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin
B6) yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan
memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada
fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat
infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena
sifatnya asam sehingga mengiritasi vena.
2) Piracetam, merupakan senyawa mirip GABA - suatu
neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis
4-12 gram/ hari intravena.
3) Citicholine, disebut sebagai koenzim pembentukan
lecithin di otak. Lecithin sendiri diperlukan untuk
sintesis membran sel dan neurotransmitter di dalam
otak. Diberikan dalam dosis 100-500 mg/hari intravena.
2.8 Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan
pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya
yang dilakukan ( Mansjoer, dkk ; 2000) yaitu :
16
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa
terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang
menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk
pengaman, dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi
yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang
terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan
pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan
tersebut penanganan masalahairway menjadi prioritas utama dari masalah
yang lainnya. Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh
karena kegagalan mengenali masalahairway yang tersumbat baik oleh
karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan
nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan
kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas,
selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi
oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi
bahaya yang mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada
hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian.
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat
yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut
17
dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian
cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.
Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi
yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan
hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup
penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi
penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.
a. Rehabilitasi Fisik
1) Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif
pada lengan atas dan bawah tubuh.
2) Perlengkapan splint dan caliper
3) Transplantasi tendon
b. Rehabilitasi Psikologis
Pertama-tama dimulai agar pasien segera menerima
ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa
depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang
dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan
semangat hidup.
c. Rehabilitasi Sosial
1) Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda,
perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur
sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang
lain.
18
20
3. PATHWAY
3.1 Hematoma subdural
Tekanan intrakranial Meningkat
Gerak peristaltik usus berputar
Herniasi batang otak
Tekanan pada jaringan otakKurangnya pengetahuan
Kurangnya informasi
Hematoma Subdural
Robekan pada vena arachnoide
Fraktur Tulang tengkorak
Cedera Tertutup, trauma deselerasi
Gagal nafasGagal jantung
Tekanan pada batang otak
Defisit perawatan diri
Penurunan kesadaran
Suplai O2 ke otak berkurang
Ketidakefektifan perfusi jaringan
serebal
Pola nafas tidak efektif
Pusat Muntah terangsang
Gangguan pada hipotalamus
MuntahBersihan jalan
nafas tidak efektif
Resiko kekurangan volume cairan
Resiko tinggi cedera
Penurunan intake nutrisi
Nyeri
3.2 Hematoma Epidural
21
Tekanan Intrakranial Meningkat
Palpebrasi ptosis
Dilatasi
Okulomotorius
Cedera
(Trauma tumpul, deselarisasi)
Fraktur tulang tengkorak
Robekan pada arteri meningea media
Hematoma Epidural
Kurangnya Informasi
Kurangnya pengetahuan b.d kurangnya informasi tentang penyakit yang dialami
Menekan Lobus Temporalis
Kompresi
Nyeri Kepala
Nyeri Akut
Ansietas
Kompensasi Tubuh Vasokontriksi
Gangguan autoregulasi
Hipoksia
Ketidakseimbangan perfusi jaringan serebal
Korteks serebri
Suplai O2 ke otak menurun
Penurunan kesadaran
Resiko Tinggi Cidera
Resiko Tinggi Perubahan Nutrisi
Defisit Perawatan Diri
22
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Hematoma Subdural
4.1.1 Pengkajian
a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status
perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien
dengan penanggung jawab. Subdural hematoma banyak terjadi pada
orang tua yang mengalami masalah imobilisasi dan sering jatuh. Namun
tidak jarang pula terjadi pada bayi dan anak-anak pada usia dibawah dua
tahun dimana ruang subdural lebih luas sehingga pendarahan subdural
sering terjadi dan banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.
b. Keluhan utama
Anak dengan subdural hematoma mengalami keluhan seperti nyeri
kepala, penurunan kesadaran, komplikasi pernapasan, hingga kejang.
c. Riwayat penyakit sekarang
Anak dengan subdural hematoma mengalami rasa mengantuk, berpikir
lambat, udem dan dilatasi pupil serta perubahan tanda-tanda vital.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau
keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
e. Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya, meliputi:
1) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi ), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
2) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis,
maka dapat terjadi:
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
23
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi
dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-
otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan
antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat
pula terjadi penurunan tonus otot.
f. Pemeriksaan fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS <
15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang
positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji
nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
g. Pemeriksaan penunjang
1) CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2) MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
24
3) Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan
trauma.
4) Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
5) X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang, perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6) BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
7) PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
8) CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9) ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
10) Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial.
11) Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
h. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana kesehatan: pola hidup sehat anak yang
menderita subdural hematoma harus ditingkatkan dalam
meningkatkan status kesehatannya, perawatan, dan tatalaksana hidup
sehat. Keluarga juga perlu untuk terus melakukan perawatan selain
tim kesehatan guna meningkatkan kesehatannya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme: anak dengan subdural hematoma
mengalami penurunan kesadaran sehingga pola nutrisinya mengalami
resiko perubahan nutrisi.
3) Pola eliminasi: pola eliminasi pada anak dengan subdural hematoma
akan mengalami gangguan karena mengalami resiko perubahan nutrisi
akibat penurunan kesadaran.
4) Pola aktivitas/bermain: anak dengan subdural hematoma akan men-
galami gangguan pada pola aktivitas atau bermainnya karena men-
galami keluhan seperti nyeri kepala atau bahkan penurunan kesadaran.
25
5) Pola istirahat dan tidur: pola istirahat atau tidur anak akan terganggu
karena keluhan nyeri dikepalanya. Atau mungkin pola istirahat
tidurnya akan berlebihan dikarenakan penurunan kesadaran.
6) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai
pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien
7) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak
terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
8) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan
dalam merawat dan memberikan dukungan atau pendampingan anak
dengan subdural hematoma
9) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau
tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang
menderita subdural hematoma biasanya tidak ada gangguan dalam
reproduksi.
10) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
11) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar
penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.
No. Problem Etiology Symptom
1. Tidak efektifnya pola
napas
depresi pada pusat
napas di otak.
DO: Pernapasan cu-
ping hidung, pasien
terlihat kesulitan
dalam bernapas.
DS: Pasien men-
gatan sesak napas.
2. Tidak efektifnya
kebersihan jalan napas
depresi pada pusat
napas di otak.
DO: Penumpukan
sputum di jalan na-
pas pasien.
DS: Pasien men-
gatakan kesulitan
26
mengeluarkan da-
hak.
3. Gangguan perfusi
jaringan otak
udem otak DO: Pasien men-
galami penurunan
kesadaran.
DS: Keluarga pasien
mengatakan pasien
sudah tidak
sadarkan diri sejak
beberapa hari yang
lalu.
4. Keterbatasan aktifitas penurunan kesadaran DO: Pasien terlihat
hanya dapat tertidur
di tempat tidur
karena tidak
sadarkan diri.
DS: Keluarga pasien
mengatakan pasien
tidak dapat
melakukan aktifitas
sejak tidak sadarkan
diri.
5. Potensial gangguan
integritas kulit
immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi
perifer.
DO: Adanya luka
pada daerah yang
mengalami tekanan.
DS: Keluarga pasien
mengatakan terdapat
luka di area yang
mendapatkan
tekanan.
6. Kecemasan keluarga keadaan yang kritis DO: Keluarga
27
pada pasien. pasien terlihat ce-
mas dan selalu berda
untuk kesembuhan
pasien.
DS: Keluarga pasien
mengatakan merasa
khawatir dan cemas
terhadap kondisi ke-
sehatan pasien.
4.1.2 Diagnosa Keperawatan
a. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat
napas di otak.
b. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
c. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak
d. Keterbatasan aktifitas berhubunga dengan penurunan kesadaran.
e. Potensial gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
f. Kecemasan keluarga berhubungan dengan keadaan yang kritis pada
pasien.
4.1.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi Rasional
Tidak
efektifnya
pola napas
berhubungan
dengan
Tujuan:
Mempertahanka
n pola napas
yang efektif
melalui
1. Hitung
pernapasan pasien
dalam satu menit.
2. Cek pemasangan
1. pernapasan yang
cepat dari pasien
dapat menimbulkan
alkalosis respiratori
dan pernapasan
28
depresi pada
pusat napas di
otak.
ventilator.
Kriteria Hasil:
Penggunaan otot
bantu napas
tidak ada,
sianosis tidak
ada atau tanda-
tanda hipoksia
tidak ada dan
gas darah dalam
batas-batas
normal.
tube.
3. Observasi ratio
inspirasi dan
ekspirasi.
4. Perhatikan
kelembaban dan
suhu pasien.
5. Cek selang
ventilator setiap
waktu (15 menit ).
6. Siapkan ambu bag
tetap berada di
dekat pasien.
lambat
meningkatkan
tekanan Pa Co2 dan
menyebabkan
asidosis respiratorik.
2. untuk memberikan
ventilasi yang
adekuat dalam
pemberian tidal
volume.
3. pada fase ekspirasi
biasanya 2 x lebih
panjang dari
inspirasi, tapi dapat
lebih panjang
sebagai kompensasi
terperangkapnya
udara terhadap
gangguan
pertukaran gas.
4. keadaan dehidrasi
dapat mengeringkan
sekresi / cairan paru
sehingga menjadi
kental dan
meningkatkan resiko
infeksi.
5. adanya obstruksi
dapat menimbulkan
tidak adekuatnya
pengaliran volume
29
dan menimbulkan
penyebaran udara
yang tidak adekuat.
6. membantu
membarikan
ventilasi yang
adekuat bila ada
gangguan pada
ventilator.
Tidak
efektifnya
kebersihan
jalan napas
berhubungan
dengan
penumpukan
sputum.
Tujuan:
Mempertahank
an jalan napas
dan mencegah
aspirasi.
Kriteria Hasil:
Suara napas
bersih, tidak
terdapat suara
sekret pada
selang dan
bunyi alarm
karena
peninggian
suara mesin,
sianosis tidak
ada.
1. Kaji dengan ketat
(tiap 15 menit)
kelancaran jalan
napas.
2. Evaluasi
pergerakan dada
dan auskultasi
dada (tiap 1 jam ).
3. Lakukan
pengisapan lendir
dengan waktu
kurang dari 15
detik bila sputum
banyak.
4. Lakukan fisioterapi
dada setiap 2 jam.
1. Obstruksi dapat
disebabkan
pengumpulan
sputum, perdarahan,
bronchospasme atau
masalah terhadap
tube.
2. Pergerakan yang
simetris dan suara
napas yang bersih
indikasi pemasangan
tube yang tepat dan
tidak adanya
penumpukan sputum.
3. Pengisapan lendir
tidak selalu rutin dan
waktu harus dibatasi
untuk mencegah
hipoksia.
4. Meningkatkan
ventilasi untuk
semua bagian paru
30
dan memberikan
kelancaran aliran
serta pelepasan
sputum.
Gangguan
perfusi
jaringan otak
berhubungan
dengan udem
otak
Tujuan:
Mempertahanka
n dan
memperbaiki
tingkat
kesadaran
fungsi motoric.
Kriteria Hasil:
Tanda-tanda
vital stabil, tidak
ada peningkatan
intrakranial.
1. Monitor dan catat
status neurologis
dengan
menggunakan
metode GCS.
2. Monitor tanda-
tanda vital tiap 30
menit.
3. Pertahankan
posisi kepala
yang sejajar dan
tidak menekan.
4. Hindari batuk
yang berlebihan,
muntah,
mengedan,
pertahankan
pengukuran urin
dan hindari
konstipasi yang
berkepanjangan.
5. Observasi kejang
dan lindungi
pasien dari cedera
akibat kejang.
6. Berikan oksigen
sesuai dengan
1. Refleks membuka
mata menentukan
pemulihan tingkat
kesadaran.
Respon motorik
menentukan
kemampuan
berespon terhadap
stimulus eksternal
dan indikasi keadaan
kesadaran yang
baik.
2. Untuk mengetahui
tanda-tanda keadaan
syok akibat
perdarahan.
3. Perubahan kepala
pada satu sisi dapat
menimbulkan
penekanan pada
vena jugularis dan
menghambat aliran
darah otak, untuk itu
dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
4. Dapat mencetuskan
respon otomatik
31
kondisi pasien.
7. Berikan obat-
obatan yang
diindikasikan
dengan tepat dan
benar
(kolaborasi).
penngkatan
intrakranial.
5. Kejang terjadi akibat
iritasi otak, hipoksia,
dan kejang dapat
meningkatkan
tekanan intrakrania.
6. Dapat menurunkan
hipoksia otak.
7. Membantu
menurunkan tekanan
intrakranial secara
biologi / kimia
seperti osmotik
diuritik untuk
menarik air dari sel-
sel otak sehingga
dapat menurunkan
udem otak, steroid
(dexametason)
untuk menurunkan
inflamasi,
menurunkan edema
jaringan.
Keterbatasan
aktifitas
berhubunga
dengan
penurunan
kesadaran.
Tujuan:
Kebutuhan
dasar pasien
dapat terpenuhi
secara adekuat.
Kriteria Hasil:
Kebersihan
1. Berikan
penjelasan tiap
kali melakukan
tindakan pada
pasien.
2. Beri bantuan
untuk memenuhi
1. Penjelasan dapat
mengurangi
kecemasan dan
meningkatkan
kerja sama yang
dilakukan pada
pasien dengan
32
terjaga,
kebersihan
lingkungan
terjaga, nutrisi
terpenuhi sesuai
dengan
kebutuhan,
oksigen
adekuat.
kebersihan diri.
3. Berikan bantuan
untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi
dan cairan.
4. Jelaskan pada
keluarga tindakan
yang dapat
dilakukan untuk
menjaga
lingkungan yang
aman dan bersih.
5. Berikan bantuan
untuk memenuhi
kebersihan dan
keamanan
lingkungan.
kesadaran penuh
atau menurun.
2. Kebersihan
perorangan,
eliminasi,
berpakaian, mandi,
membersihkan
mata dan kuku,
mulut, telinga,
merupakan
kebutuhan dasar
akan kenyamanan
yang harus dijaga
oleh perawat untuk
meningkatkan rasa
nyaman, mencegah
infeksi dan
keindahan.
3. Makanan dan
minuman
merupakan
kebutuhan sehari-
hari yang harus
dipenuhi untuk
menjaga
kelangsungan
perolehan energi.
Diberikan sesuai
dengan kebutuhan
pasien baik jumlah,
kalori, dan waktu.
33
4. Keikutsertaan
keluarga
diperlukan untuk
menjaga hubungan
klien - keluarga.
Penjelasan perlu
agar keluarga
dapat memahami
peraturan yang ada
di ruangan.
5. Lingkungan yang
bersih dapat
mencegah infeksi
dan kecelakaan.
Potensial
gangguan
integritas kulit
berhubungan
dengan
immobilisasi,
tidak
adekuatnya
sirkulasi
perifer.
Tujuan:
Gangguan
integritas kulit
tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
Tidak
terjadinnya
lecet, eritema
atau kerusakan
kulit.
1. Kaji fungsi
motorik dan
sensorik pasien
dan sirkulasi
perifer untuk
menetapkan
kemungkinan
terjadinya lecet
pada kulit.
2. Kaji kulit pasien
setiap 8 jam :
palpasi pada
daerah yang
tertekan.
3. Berikan posisi
dalam sikap
anatomi dan
1. Untuk mengetahui
kemungkinan
terjadinya lecet
pada kulit.
2. Untuk mengetahui
kondisi kulit
pasien yang
mengalami tekanan
dengan area yang
bersentuhan
dengan kulit
pasien.
3. Untuk menghindari
terjadinya kelainan
anatomis tubuh
akibat bedrest.
4. Untuk menghindari
34
gunakan tempat
kaki untuk daerah
yang menonjol.
4. Ganti posisi
pasien setiap 2
jam
5. Pertahankan
kebersihan dan
kekeringan
pasien.
6. Kaji daerah kulit
yang lecet untuk
adanya eritema.
lecet pada tubuh
pasien akibat
terlalu lama
mendapat tekanan.
5. Keadaan lembab
akan memudahkan
terjadinya
kerusakan kulit.
6. Menghindari
adanya eritema
akibat lecet yang
disebabkan kulit
terlalu lama
mendapat tekanan.
Kecemasan
keluarga
berhubungan
dengan
keadaan yang
kritis pada
pasien.
Tujuan:
Kecemasan
keluarga dapat
berkurang.
Kriteria Hasil:
Ekspresi wajah
tidak
menunjang
adanya
kecemasan,
keluarga
mengerti cara
berhubungan
dengan pasien,
pengetahuan
keluarga
mengenai
1. Bina hubungan
saling percaya.
2. Beri penjelasan
tentang semua
prosedur dan
tindakan yang
akan dilakukan
pada pasien.
3. Berikan
kesempatan pada
keluarga untuk
bertemu dengan
klien.
4. Berikan dorongan
spiritual untuk
keluarga.
1. Untuk membina
hubungan terpiutik
perawat - keluarga.
Dengarkan dengan
aktif dan empati,
keluarga akan
merasa
diperhatikan.
2. Penjelasan akan
mengurangi
kecemasan akibat
ketidak tahuan.
3. Mempertahankan
hubungan pasien
dan keluarga.
4. Semangat
keagamaan dapat
35
keadaan,
pengobatan dan
tindakan
meningkat.
mengurangi rasa
cemas dan
meningkatkan
keimanan dan
ketabahan dalam
menghadapi krisis.
4.1.4 Implementasi Keperawatan
Diagnosa Implementasi
Tidak efektifnya pola napas
berhubungan dengan depresi pada
pusat napas di otak.
1. Telah dihitung pernapasan pasien
dalam satu menit.
2. Telah dilakukan pengecekan
pemasangan tube.
3. Elah diobservasi ratio inspirasi dan
ekspirasi.
4. Telah diperhatikan kelembaban dan
suhu pasien.
5. Telah dilakukan pengecekan selang
ventilator setiap waktu (15 menit ).
6. Telah disiapkan ambu bag tetap
berada di dekat pasien.
36
Tidak efektifnya kebersihan jalan
napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
1. Telah dikaji dengan ketat (tiap 15
menit) kelancaran jalan napas.
2. Telah dievaluasi pergerakan dada
dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
3. Telah dilakukan pengisapan lendir
dengan waktu kurang dari 15 detik
bila sputum banyak.
4. Telah dilakukan fisioterapi dada
setiap 2 jam.
Gangguan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan udem otak
1. Telah dimonitor dan dicatat status
neurologis dengan menggunakan
metode GCS.
2. Telah dilakukan monitoring tanda-
tanda vital tiap 30 menit.
3. Telah dipertahankan posisi kepala
yang sejajar dan tidak menekan.
4. Telah dianjurkan untuk tidak batuk
secara berlebihan, muntah,
mengedan dan telah dilakukan
pengukuran urin.
5. Telah diobservasi terjadinya kejang
dan diberikan perlindungan apabila
pasien mengalami kejang.
6. Telah diberikan oksigen sesuai
dengan kondisi pasien.
7. Telah dilakukan kolaborasi untuk
pemberian obat-obatan yang
diindikasikan dengan tepat dan
benar.
Keterbatasan aktifitas berhubungan
dengan penurunan kesadaran
1. Telah diberikan penjelasan tiap kali
melakukan tindakan pada pasien.
37
2. Telah diberikan bantuan untuk
memenuhi kebersihan diri.
3. Telah diberikan bantuan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi dan
cairan.
4. Telah dijelaskan pada keluarga
tindakan yang dapat dilakukan
untuk menjaga lingkungan yang
aman dan bersih.
5. Telah diberikan bantuan untuk
memenuhi kebersihan dan
keamanan lingkungan.
Potensial gangguan integritas kulit
berhubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
1. Telah dikaji fungsi motorik dan
sensorik pasien dan sirkulasi perifer
untuk menetapkan kemungkinan
terjadinya lecet pada kulit.
2. Telah dikaji kulit pasien setiap 8
jam : palpasi pada daerah yang
tertekan.
3. Telah diberikan posisi dalam sikap
anatomi dan gunakan tempat kaki
untuk daerah yang menonjol.
4. Telah diberi pergantian posisi
pasien setiap 2 jam
5. Telah dipertahankan kebersihan dan
kekeringan pasien.
6. Telah dikaji daerah kulit yang lecet
untuk adanya eritema.
Kecemasan keluarga berhubungan
dengan keadaan yang kritis pada
pasien
1. Telah dilakukan bina hubungan
saling percaya.
2. Telah diberikan penjelasan tentang
38
semua prosedur dan tindakan yang
akan dilakukan pada pasien.
3. Telah diberikan kesempatan pada
keluarga untuk bertemu dengan
klien.
4. Telah diberikan dorongan spiritual
untuk keluarga.
4.1.5 Evaluasi Keperawatan
Diagnosa Evaluasi
Tidak efektifnya pola napas
berhubungan dengan depresi pada
pusat napas di otak.
S: Keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien tidak lagi kesulitan dalam
bernapas.
O: Pola napas pasien sudah kembali
normal.
A: Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
Tidak efektifnya kebersihan jalan
napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
S: Pasien mengatakan jalan napasnya
sudah kembali lancar
O: Sudh tidak terdapat sputum di jalan
napas pasien
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Gangguan perfusi jaringan otak
berhubungan dengan udem otak
S: Kelurga pasien mengatakan bahwa
kesadaran pasien mengalami
peningkatan.
O: Respon motorik terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan
kesadaran yang semakin baik.
39
A: Maslah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
Keterbatasan aktifitas berhubungan
dengan penurunan kesadaran
S: Keluarga mengatakan bahwa
keluarga dapat memberikan bantuan
kebersihan diri pada pasien.
O: Kebersihan diri pasien terjaga.
A: Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
Potensial gangguan integritas kulit
berhubungan dengan immobilisasi,
tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
S: Keluarga mengatakan tidak terjadi
luka atau lecet pada tubuh pasien.
O: Tidak terjadi eritema pada tubuh
pasien.
A:Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
Kecemasan keluarga berhubungan
dengan keadaan yang kritis pada
pasien
S: Keluarga mengatakan sudah tidak
merasa cemas lagi karena kondisi
pasien sudah membaik.
O: Kelaurga pasien sudah tidak
menunjukkan tanda-tanda kecemasan.
A: Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
4.2 Hematoma Epidural
4.2.1 Pengkajian
a. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status
perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien
dengan penanggung jawab. Epidural hematoma banyak terjadi pada
orang tua yang mengalami masalah imobilisasi dan sering jatuh. Namun
tidak jarang pula terjadi pada bayi dan anak-anak pada usia dibawah lima
tahun dan banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan.
40
b. Keluhan utama
Anak dengan epidural hematoma mengalami nyeri kepala yang hebat dan
penurunan kesadaran hingga koma.
c. Riwayat penyakit sekarang
Anak dengan epidural hematoma mengalami penglihatan yang kabur,
susah bicara keluar cairan dari hidung atau telinga, mual, pusing dan
pucat.
d. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan
dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya.
demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai
penyakit menular. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau
keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat
mempengaruhi prognosa klien.
e. Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya, meliputi:
1) Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
2) Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
41
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3) Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan
pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan
mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis,
maka dapat terjadi :
a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus
f) Menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
g) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
4) Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5) Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses
eliminasi alvi.
6) Bone
42
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi
dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-
otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan
antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat
pula terjadi penurunan tonus otot.
f. Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan
status kesadaran pasien.
1) Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang
dinilai ialah:
a) Airway dan breathing, usahakan agar jalan nafas selalu bebas,
bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara
pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan
pemberian oksigen.
b) Nadi dan tekanan darah (circulation), infus dipasang terutama
untuk membuka jalur intravena: gunakan cairan NaC1 0,9% atau
Dextrose in saline.
2) Status kesadaran
Status kesadaran anak dengan epidural hematoma mengalami
penurunan yang diikuti dengan masalah kesehatan lainnya.
3) Status Neurologik Lain
Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada kasus
trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-
tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal
ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah anisokori.
presis/parahisis, refleks patologik sesisi.
4) Hal-hal Lain
43
Selain cedera kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera
di tempat lain; trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang
anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.
g. Pemeriksaan penunjang
1) CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2) Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
4) Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5) Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
h. Pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana kesehatan: pola hidup sehat anak yang
menderita epidural hematoma harus ditingkatkan dalam meningkatkan
status kesehatannya, perawatan, dan tatalaksana hidup sehat. Keluarga
juga perlu untuk terus melakukan perawatan selain tim kesehatan guna
meningkatkan kesehatannya.
2) Pola nutrisi dan metabolisme: anak dengan epidural hematoma
mengalami penurunan kesadaran sehingga pola nutrisinya mengalami
resiko perubahan nutrisi.
3) Pola eliminasi: pola eliminasi pada anak dengan epidural hematoma
akan mengalami gangguan karena mengalami resiko perubahan nutrisi
akibat penurunan kesadaran.
4) Pola aktivitas/bermain: anak dengan epidural hematoma akan men-
galami gangguan pada pola aktivitas atau bermainnya karena men-
galami keluhan seperti nyeri kepala atau bahkan penurunan kesadaran.
44
5) Pola istirahat dan tidur: pola istirahat atau tidur anak akan terganggu
karena keluhan nyeri dikepalanya. Atau mungkin pola istirahat
tidurnya akan berlebihan dikarenakan penurunan kesadaran.
6) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai
pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang diderita klien
7) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak
terhadap pengobatan dan perawatan yang akan dilakukan.
8) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan
dalam merawat dan memberikan dukungan atau pendampingan anak
dengan subdural hematoma
9) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau
tidak yang berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang
menderita subdural hematoma biasanya tidak ada gangguan dalam
reproduksi.
10) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
11) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar
penyakit pada anaknya dapat sembuh dengan cepat.
No. Problem Etiology Symptom
1. Resiko pola napas
tidak efektif
kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat
pernapasan otak).
DO: Pernapasan cuping
hidung, pasien terlihat
kesulitan dalam berna-
pas.
DS: Pasien mengatan
sesak napas.
2. Tidak efektifnya
kebersihan jalan
napas
penumpukan sputum. DO: Penumpukan spu-
tum di jalan napas
pasien.
DS: Pasien mengatakan
45
kesulitan mengelu-
arkan dahak.
3. Perubahan perfusi
jaringan serebral
penumpukan sputum. DO: Pasien mengalami
penurunan kesadaran.
DS: Keluarga pasien
mengatakan pasien su-
dah tidak sadarkan diri
sejak beberapa hari
yang lalu.
4 Resiko infeksi jaringan trauma, kulit
rusak, prosedur invasif,
penurunan kerja silia,
stasis cairan tubuh,
respon inflamasi
tertekan.
DO: Adanya luka ke-
merahan dan teraba
panas pada bagian
tubuh pasien yang
tertekan.
DS: Kelurga pasien
mengatakan bagian
tubuh pasien yang
mendapat tekanan
mengalami kemerahan.
4.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Resiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak).
b. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
c. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma), edema cerebral.
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, biologis: trauma,
peningkatan asam laktat di otak.
e. Resiko injuri berhubungan dengan peningkatan TIK.
46
f. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak,
prosedur invasif, penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh, respon
inflamasi tertekan.
g. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan
tingkat kesadaran), kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah,
menelan.
h. Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran),
kelemahan otot yang diperlukan untuk menelan.
i. Gangguan pola eliminasi berhubungan dengan perubahan intake nutrisi
akibat penurunan kesadaran.
j. Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tingkat
kesadaran.
k. Kecemasan keluarga berhubungan dengan transisi dan krisis situasional,
ketidakpastian tentang hasil/harapan.
l. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurang pemajanan, tidak mengenal informasi,
kurang mengingat/ keterbatasan kognitif.
4.2.3 Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan
Kriteria Hasil
Intervensi Rasional
Resiko pola
napas tidak
efektif
berhubungan
dengan
kerusakan
neurovaskuler
(cedera pada
Tujuan:
Mempertahankan
pola napas yang
efektif melalui
ventilator.
Kriteria Hasil:
Penggunaan otot
bantu napas tidak
7. Hitung
pernapasan pasien
dalam satu menit.
8. Cek pemasangan
tube.
9. Observasi ratio
inspirasi dan
ekspirasi.
7. pernapasan yang
cepat dari pasien
dapat
menimbulkan
alkalosis
respiratori dan
pernapasan lambat
meningkatkan
47
pusat
pernapasan
otak).
ada, sianosis tidak
ada atau tanda-
tanda hipoksia
tidak ada dan gas
darah dalam batas-
batas normal.
10. Perhatikan
kelembaban dan
suhu pasien.
11. Cek selang
ventilator setiap
waktu (15 menit ).
12. Siapkan
ambu bag tetap
berada di dekat
pasien.
tekanan Pa Co2
dan menyebabkan
asidosis
respiratorik.
8. untuk memberikan
ventilasi yang
adekuat dalam
pemberian tidal
volume.
9. pada fase ekspirasi
biasanya 2 x lebih
panjang dari
inspirasi, tapi
dapat lebih
panjang sebagai
kompensasi
terperangkapnya
udara terhadap
gangguan
pertukaran gas.
10. keadaan
dehidrasi dapat
mengeringkan
sekresi / cairan
paru sehingga
menjadi kental dan
meningkatkan
resiko infeksi.
11. adanya
obstruksi dapat
menimbulkan
48
tidak adekuatnya
pengaliran volume
dan menimbulkan
penyebaran udara
yang tidak
adekuat.
12. membantu
membarikan
ventilasi yang
adekuat bila ada
gangguan pada
ventilator.
Tidak
efektifnya
kebersihan
jalan napas
berhubungan
dengan
penumpukan
sputum.
Tujuan:
Mempertahankan
jalan napas dan
mencegah
aspirasi.
Kriteria Hasil:
Suara napas
bersih, tidak
terdapat suara
sekret pada
selang dan bunyi
alarm karena
peninggian suara
mesin, sianosis
tidak ada.
5. Kaji dengan ketat
(tiap 15 menit)
kelancaran jalan
napas.
6. Evaluasi
pergerakan dada
dan auskultasi dada
(tiap 1 jam ).
7. Lakukan
pengisapan lendir
dengan waktu
kurang dari 15
detik bila sputum
banyak.
8. Lakukan fisioterapi
dada setiap 2 jam.
5. Obstruksi dapat
disebabkan
pengumpulan
sputum,
perdarahan,
bronchospasme
atau masalah
terhadap tube.
6. Pergerakan yang
simetris dan suara
napas yang bersih
indikasi
pemasangan tube
yang tepat dan
tidak adanya
penumpukan
sputum.
7. Pengisapan lendir
tidak selalu rutin
49
dan waktu harus
dibatasi untuk
mencegah
hipoksia.
8. Meningkatkan
ventilasi untuk
semua bagian paru
dan memberikan
kelancaran aliran
serta pelepasan
sputum.
Perubahan
perfusi
jaringan
serebral
berhubungan
dengan
penghentian
aliran darah
(hemoragi,
hematoma),
edema
cerebral
Tujuan:
Ketidakefektifan
perfusi jaringan
serebral dapat
teratasi
Kriteria hasil:
Tingkat
kesadaran
kompos mentis:
orientasi orang,
tempat dan
memori baik,
tekanan perfusi
serebral >60
mmHg, tekanan
intrakranial < 15
mmHg., fungsi
senssori utuh /
normal.
1.Kaji tingkat
kesadaran dengan
GCS
2.Kaji pupil,
ukuran, respon
terhadap cahaya,
gerakan mata
3.Evaluasi keadaan
motorik dan
sensori pasien
4.Monitor tanda
vital setiap 1 jam
5.Observasi adanya
edema periorbita
ekimosis diatas
osmatoid,rhinorrh
ea, otorrhea.
6.Monitor kejang
dan berikan obat
antikejang
1. Tingkat
kesadaran
merupakan
indikator terbaik
adanya perubahan
neurologi
2. Mengetahui
fungsi N I,II dan
III
3. Gangguan
motorik dan
sensori dapat
terjadi akibat
edema otak.
4. Adanya
perubahan tanda
vital seperi
respirasi
menunjukkan
kerusakan pada
50
7.Pertahankan
kepatenan jalan
napas, suction jika
perlu, berikan
oksigen 100 %
sebelum suction
dan suction tidak
lebih dari 15
detik.
batang otak
5. Indikasi adanya
fraktur basilar
6. Kejang dapat
terjadi akibat
iritasi serebral
dan keadaan
kejang
memerlukan
banyak oksigen
7. Mempertahankan
adekuatnya
oksigen, suction
dapat
meningkatkan
TIK
Resiko infeksi
berhubungan
dengan
jaringan
trauma, kulit
rusak,
prosedur
invasif,
penurunan
kerja silia,
stasis cairan
tubuh, respon
inflamasi
tertekan.
Tujuan:
mempertahankan
normotermia,
bebas tanda-tanda
infeksi.
Kriteria hasil:
mencapai
penyembuhan
luka tepat waktu.
1. Berikan
perawatan aseptik
dan antiseptik,
pertahankan
tehnik cuci tangan
yang baik.
2. Observasi
daerah kulit yang
mengalami
kerusakan, daerah
yang terpasang
alat invasi, catat
karakteristik dari
drainase dan
adanya inflamasi.
1. Cara pertama
untuk
menghindari
terjadinya infeksi
nosokomial.
2. Deteksi dini
perkembangan
infeksi
memungkinkan
untuk melakukan
tindakan dengan
segera dan
pencegahan
terhadap
komplikasi
51
3. Pantau suhu
tubuh secara
teratur, catat
adanya demam,
menggigil,
diaforesis dan
perubahan fungsi
mental
(penurunan
kesadaran).
4. Anjurkan untuk
melakukan napas
dalam, latihan
pengeluaran
sekret paru secara
terus menerus.
5. Observasi
karakteristik
sputum. Berikan
antibiotik sesuai
indikasi
selanjutnya.
3. Dapat
mengindikasikan
perkembangan
sepsis yang
selanjutnya
memerlukan
evaluasi atau
tindakan dengan
segera.
4. Peningkatan
mobilisasi dan
pembersihan
sekresi paru
untuk
menurunkan
resiko terjadinya
pneumonia,
atelektasis.
5. Terapi profilatik
dapat digunakan
pada pasien yang
mengalami
trauma,
kebocoran CSS
atau setelah
dilakukan
pembedahan
untuk
menurunkan
resiko terjadinya
52
infeksi
nosokomial.
4.2.4 Implementasi Keperawatan
Diagnosa Implementasi
Resiko pola napas tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
1. Telah dihitung pernapasan pasien
dalam satu menit.
2. Telah dicek pemasangan tube.
3. Telah diobservasi ratio inspirasi dan
ekspirasi.
4. Telah diperhatikan kelembaban dan
suhu pasien.
5. Telah dicek selang ventilator setiap
waktu (15 menit ).
6. Telah disiapkan ambu bag tetap
berada di dekat pasien.
Tidak efektifnya kebersihan jalan
napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
5. Telah dikaji dengan ketat (tiap 15
menit) kelancaran jalan napas.
6. Telah dievaluasi pergerakan dada
dan auskultasi dada (tiap 1 jam ).
7. Telah dilakukan pengisapan lendir
dengan waktu kurang dari 15 detik
bila sputum banyak.
8. Telah dilakukan fisioterapi dada
setiap 2 jam.
Perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma),
1. Telah dikaji tingkat kesadaran
dengan GCS
2. Telah dikaji pupil, ukuran, respon
53
edema cerebral terhadap cahaya, gerakan mata
3. Telah dievaluasi keadaan motorik
dan sensori pasien
4. Telah dimonitor tanda vital setiap 1
jam
5. Telah diobservasi adanya edema
periorbita ekimosis diatas
osmatoid,rhinorrhea, otorrhea.
6. Telah dimonitor kejang dan berikan
obat antikejang
7. Telah dipertahankan kepatenan
jalan napas, suction jika perlu,
berikan oksigen 100 % sebelum
suction dan suction tidak lebih dari
15 detik.
Resiko infeksi berhubungan dengan
jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
invasif, penurunan kerja silia, stasis
cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan.
1. Telah diberikan perawatan aseptik
dan antiseptik, pertahankan tehnik
cuci tangan yang baik.
2. Telah diobservasi daerah kulit yang
mengalami kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase dan
adanya inflamasi.
3. Telah dipantau suhu tubuh secara
teratur, catat adanya demam,
menggigil, diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan
kesadaran).
4. Pasien telah dianjurkan untuk
melakukan napas dalam, latihan
pengeluaran sekret paru secara terus
54
menerus.
5. Telah diobservasi karakteristik
sputum. Telah diberikan antibiotik
sesuai indikasi
4.2.5 Evaluasi Keperawatan
Diagnosa Evaluasi
Resiko pola napas tidak efektif
berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak).
S: Keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien tidak lagi kesulitan dalam
bernapas.
O: Pola napas pasien sudah kembali
normal.
A: Masalah teratasi.
P: Intervensi dihentikan.
Tidak efektifnya kebersihan jalan
napas berhubungan dengan
penumpukan sputum.
S: Pasien mengatakan jalan napasnya
sudah kembali lancar
O: Sudh tidak terdapat sputum di jalan
napas pasien
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Perubahan perfusi jaringan serebral
berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma),
edema cerebral
S: Keluarga mengatakan bahwa kini
pasien telah sadar sepenuhnya
O: Tingkat kesadaran pasien compos
metis
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
Resiko infeksi berhubungan dengan
jaringan trauma, kulit rusak, prosedur
S: Keluarga mengatakan bahwa luka di
55
invasif, penurunan kerja silia, stasis
cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan.
kulit pasien telah membaik
O: Kerusakan yang terjadi pada kulit
telah membaik
A: Masalah teratasi
P: Intervensi dihentikan
56
56
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hematoma subdural/ subdural hematoma (SDH) merupakan kelainan
bedah saraf umum yang sering memerlukan intervensi bedah. SDH adalah jenis
perdarahan intrakranial yang terjadi di bawah duramater dan mungkin terkait
dengan cedera otak lainnya. Hematoma epidural adalah salah satu jenis
perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.
Otak di tutupi oleh tulang tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi
oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang disebut duramater.
Hematoma Subdural diklasifikasikan menjadi hematoma subdural akut
(hiperdens) bila kurang dari beberapa hari atau dalam 24 sampai 48 jam setelah
trauma. Hematoma subdural subakut (isodens) antara 2 -3 minggu, dan hematoma
subdural kronik bila lebih dari 3 minggu setelah trauma.Gejala yang sangat
menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti
ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini
harus diobservasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang
bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
5.2 Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan perawat dapat menangani dan dapat
mengatasi apabila pasien kita mendapat cidera kepala terutama
hematoma.Dengan adanya makalah ini perawat dapat mencegah dalam
menangani hematoma dan harus bisa mengatasinya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala.
Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.
Doenges M.E. (2000) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2
nd ed). Philadelpia, F.A. Davis Company.
Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A
Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.
Mardjono M., Sidarta P., dalam Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan,
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 2000. hal 255-256.
R.Sjamsuhidayat,Wim de Jong. 2010. “ Trauma dan Bencana” Dalam:
R.Sjamsuhidayat, Warko Karnadiharja, Thaddeneus O.H.Prasetyono,
Reno Rudiman,editor: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC:
Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian
Rakyat
Snell R.S. Neurologi Klinik. Editor, Sjamsir, edisi ke dua, cetakan pertama,
penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta 1996. hal 521-532.
Internet
http://www.emedicine-epidural hematoma: articly by Daniel D Price, MD. (diak-
ses pada tanggal 21 Maret 2015)
http://www.enotes.com/neurological-disorder-encyclopedia:epidural-hematom
MD. (diakses pada tanggal 21 Maret 2015)
http://www.medicastore.com. MD. (diakses pada tanggal 21 Maret 2015)
http://www.emedicine-case-based-pediatrics.htm. MD. (diakses pada tanggal 21
Maret 2015)
58
30