Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

20
Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan Trait Agresi Verbal pada Antifans Iqbal Maesa Febriawan, Bagus Takwin, Roby Muhamad Fakultas Psikologi Universitas Indonesia E-mail: [email protected]; [email protected] Abstrak Studi ini mencari tahu hubungan antara tingkah laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans. Flaming sebagai bentuk tingkah laku komunikasi agresif yang dilakukan antifans terhadap publik figur diduga berkaitan dengan trait agresi verbal. Tiga puluh enam pemilik akun antifans di Twitter ditarik tweetnya sebanyak seratus tweet per akun dan mengisi kuesioner Verbal Aggressiveness Scale yang terdiri dari 10 item yang bernuansa agresi. Uji psikometrik terhadap Verbal Aggressiveness Scale menunjukkan bahwa alat ukur ini valid dan reliabel (α = 0,8). Tiga ribu enam ratus tweet dari 36 akun antifans dianalisis kontennya oleh dua koder yang tidak mengetahui hipotesis penelitian untuk menentukan setiap tweet yang disampaikan tergolong flaming atau tidak. Seratus tweet dari seluruh akun diambil secara acak untuk mendapatkan data reliabilitas antarkoder. Reliabilitas antarkoder menunjukkan nilai κ = 0,565, yang mana bermakna bahwa persetujuan antarkoder dapat diterima. Frekuensi tweet flaming dan hasil kuesioner Verbal Aggressiveness Scale dikorelasikan untuk mendapatkan hasil penelitian. Hipotesis penelitian ini diterima, bahwa terdapat hubungan antara tingkah laku flaming di Twitter dan trait agresi verbal pada antifans. Analisis tambahan dilakukan untuk melihat perbedaan tingkah laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans laki-laki dan perempuan. Tingkah laku flaming tidak berbeda secara signifikan untuk antifans laki-laki dan perempuan sedangkan trait agresi verbal ditemukan lebih kuat pada antifans laki-laki dibandingkan perempuan. Implikasi penelitian dibahas lebih lanjut dalam makalah. Kata Kunci: Flaming, Trait Agresi Verbal, Antifans Haters (not just) Gonna Hate: A Correlation Study between Online Flaming and Verbal Aggressiveness among Antifans Abstract This research tries to prove that online flaming relates to verbal aggressiveness among antifans. Thirty six antifans Twitter account owner fully participated in this research. Each Twitter account took 100 recent tweets per April 25th, 2014. The owner account filled in Verbal Aggressiveness Scale, consisted ten aggressively-worded items. Validation study for this measurement resulted that the scale was valid and reliable (α = 0,8). Three thousands and six hundred tweets were analyzed by two coders, not knowing research hypothesis. Intercoder reliability showed that agreement between coders was fairly accepted. This study result showed that online flaming in Twitter relates to verbal aggressiveness among antifans. Additional result found in this study were that there was no significant difference in flaming between male and female antifans but there was significant difference in verbal aggressiveness between male and female antifans. Further implication of this study explained in the end of this paper. Keywords: Online Flaming, Verbal Aggressiveness, Antifans Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Transcript of Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Page 1: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan Trait Agresi Verbal pada Antifans

Iqbal Maesa Febriawan, Bagus Takwin, Roby Muhamad

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

E-mail: [email protected]; [email protected]

Abstrak

Studi ini mencari tahu hubungan antara tingkah laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans.

Flaming sebagai bentuk tingkah laku komunikasi agresif yang dilakukan antifans terhadap publik figur diduga berkaitan dengan trait agresi verbal. Tiga puluh enam pemilik akun antifans di Twitter ditarik tweetnya sebanyak seratus tweet per akun dan mengisi kuesioner Verbal Aggressiveness Scale yang terdiri dari 10 item yang bernuansa agresi. Uji psikometrik terhadap Verbal Aggressiveness Scale menunjukkan bahwa alat ukur ini valid dan reliabel (α = 0,8). Tiga ribu enam ratus tweet dari 36 akun antifans dianalisis kontennya oleh dua koder yang tidak mengetahui hipotesis penelitian untuk menentukan setiap tweet yang disampaikan tergolong flaming atau tidak. Seratus tweet dari seluruh akun diambil secara acak untuk mendapatkan data reliabilitas antarkoder. Reliabilitas antarkoder menunjukkan nilai κ = 0,565, yang mana bermakna bahwa persetujuan antarkoder dapat diterima. Frekuensi tweet flaming dan hasil kuesioner Verbal Aggressiveness Scale dikorelasikan untuk mendapatkan hasil penelitian. Hipotesis penelitian ini diterima, bahwa terdapat hubungan antara tingkah laku flaming di Twitter dan trait agresi verbal pada antifans. Analisis tambahan dilakukan untuk melihat perbedaan tingkah laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans laki-laki dan perempuan. Tingkah laku flaming tidak berbeda secara signifikan untuk antifans laki-laki dan perempuan sedangkan trait agresi verbal ditemukan lebih kuat pada antifans laki-laki dibandingkan perempuan. Implikasi penelitian dibahas lebih lanjut dalam makalah. Kata Kunci: Flaming, Trait Agresi Verbal, Antifans

Haters (not just) Gonna Hate: A Correlation Study between Online Flaming and Verbal

Aggressiveness among Antifans

Abstract

This research tries to prove that online flaming relates to verbal aggressiveness among antifans. Thirty six antifans Twitter account owner fully participated in this research. Each Twitter account took 100 recent tweets per April 25th, 2014. The owner account filled in Verbal Aggressiveness Scale, consisted ten aggressively-worded items. Validation study for this measurement resulted that the scale was valid and reliable (α = 0,8). Three thousands and six hundred tweets were analyzed by two coders, not knowing research hypothesis. Intercoder reliability showed that agreement between coders was fairly accepted. This study result showed that online flaming in Twitter relates to verbal aggressiveness among antifans. Additional result found in this study were that there was no significant difference in flaming between male and female antifans but there was significant difference in verbal aggressiveness between male and female antifans. Further implication of this study explained in the end of this paper. Keywords: Online Flaming, Verbal Aggressiveness, Antifans

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 2: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Pendahuluan

Perkembangan teknologi membuat komunikasi dapat berjalan tanpa temu muka

secara langsung. Salah satu fungsi yang paling banyak digunakan melalui internet adalah

akun sosial media. Media sosial daring (online) adalah moda yang digunakan individu untuk

berinteraksi tanpa harus bertemu langsung. Selain untuk berinteraksi dengan orang lain, akun

sosial media menjadi cara untuk mengekspresikan diri terkait suatu subjek, media, atau isu.

Ekspresi tersebut dapat tampil melalui komentar, pesan, update status, bahkan tweet yang

diungkapkan seseorang. Komentar tersebut dapat muncul dalam bentuk kritik yang

konstruktif atau kalimat yang emosional dan bertujuan menjatuhkan seseorang atau ide yang

disampaikannya. Keberadaan komentar yang bersifat menjatuhkan ini tidak hanya dapat

menganggu pihak yang diserang tetapi juga pengguna internet secara umum. Situs-situs yang

tadinya memasang kolom komentar pun sudah menjadi privat, memasang fitur untuk

menyaring komentar yang menyerang, bahkan menutup kolom komentar agar tidak tampil

komentar yang bersifat menyerang orang lain.

Beberapa kasus mengenai komentar yang menjatuhkan dalam situasi daring antara

lain adalah yang menimpa Tom Daley, atlet Olimpiade cabang loncat indah. Daley menerima

dan menyampaikan kembali (retweet) pesan yang mengolok-olok dirinya setelah gagal

memenangkan medali dalam Olimpiade (Retweeting flames - Do celebrities make trollers

‘chewtoys'?, 2012). Respon Daley tersebut memancing tweet yang lebih kasar dan sarkas dari

pengguna Twitter lain. Komentar yang ofensif dalam situasi daring pun dapat berlanjut ke

konflik fisik di kehidupan sehari-hari. Sebuah berita dari BBC menyatakan bahwa telah

terjadi pembunuhan yang berawal dari adu komentar di salah satu forum daring (Internet user

admits web rage, 2006). Dua kasus di atas menjadi contoh bahwa tingkah laku

menyampaikan pesan yang mengandung konten sarkasme terjadi dalam situasi daring dan

mengganggu bagi orang lain. Melalui Survei Menyebalkan Nasional yang dilakukan secara

daring kepada pengguna Twitter, Manampiring (2014) menyatakan bahwa berkomunikasi

menggunakan kata-kata yang kasar melalui akun media sosial termasuk aktivitas yang tidak

disukai dalam komunikasi melalui internet.

Pesan melalui media daring yang bertujuan untuk merendahkan orang lain dikenal

dengan istilah flame. Sesuai dengan metaforanya, flaming memancing situasi yang memanas

(sarat konflik) dalam interaksi daring. Tingkah laku menyampaikan flame disebut dengan

flaming. Flaming didefinisikan sebagai penyampaian pesan yang bertujuan untuk menyerang

orang lain atau ide/karya yang dimiliki orang lain (Grote, 2012). Flaming sendiri merupakan

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 3: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

fenomena yang lebih sering terjadi di situasi daring. Klaim tersebut didukung temuan Oegema,

Kleinnijenhuis, Anderson, dan van Hoof (2008) bahwa flaming lebih sering terjadi di forum

diskusi internet dibandingkan kolom komentar pembaca di surat kabar. Meskipun diutarakan

dalam bentuk teks, flaming dapat terjadi di berbagai jenis posting di internet. Studi yang

dilakukan Grote (2012) menemukan bahwa perilaku flaming di situs jejaring sosial Facebook

lebih banyak ditemukan dalam grup, disusul dengan wall, kemudian komentar foto atau video.

Flaming merupakan tingkah laku yang berbeda dengan kritik atau cyberbullying.

Meskipun mengandung konten yang menghina dan menjatuhkan, gejala flaming tidak selalu

menggambarkan terjadinya cyberbullying. Vandebosch dan Cleemput (2009) mengemukakan

bahwa terjadi power imbalance, yang mana pihak yang berkuasa (bully) merupakan pihak

yang superior sedangkan pihak yang dikuasai (bullied) menjadi pihak yang inferior. Pihak

yang melakukan flaming dapat hanya menunjukkan ketidaksukaannya dengan cara yang kasar

namun tidak menimbulkan hubungan yang mendominasi antara pelaku dan korban flaming.

Lange (dalam Moor, 2008) serta Pazienza, Stellato dan Tudaroche (2008) menyatakan bahwa

flaming berbeda dengan kritik, yang mana kritik dapat mengandung konten yang bersifat

konstruktif sedangkan flaming berisi konten ofensif dan destruktif.

Akun media sosial merupakan unit yang banyak dijadikan sebagai perbandingan

dengan kondisi seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Selain untuk mengamati kondisi

agregat seperti penelitian di atas, aktivitas di akun media sosial pun cenderung mencerminkan

atribut personal dalam kehidupan sehari-hari. Yarkoni (2010) pun mengungkapkan adanya

hubungan antara penggunaan kata pada blog dan trait kepribadian penulisnya berdasarkan Big

Five Inventory. Studi yang mengaitkan tweet dan kepribadian dilakukan oleh Qiu, Lin,

Ramsay, dan Yang (2012) menemukan bahwa trait neuroticism dan aggreableness yang dapat

tercermin melalui tweet yang disampaikan seseorang. Penelitian yang mengaitkan perilaku

daring dengan kondisi di kehidupan sehari-hari cukup beragam domainnya, bahkan hingga

video blog dan game online. Perilaku nonverbal (baik audio maupun visual) dan jumlah orang

yang menonton sebuah video blog ditemukan berkorelasi signifikan dengan trait extrovertness,

openness to experience, dan conscientiousness pembuat video blog tersebut (Biel, Aran, &

Gatica-Perez, 2011). Yee, Duchenaut, Nelson, dan Likarish (2011) menemukan bahwa

pemilihan karakter dan aktivitas dalam permainan daring dapat memprediksi trait kepribadian

pemain. Seluruh penelitian ini bermuara pada kesimpulan bahwa aktivitas seseorang melalui

internet dapat mencerminkan kepribadian.

Selain dapat bersifat mencerminkan, perilaku daring juga dapat berkebalikan dari

perilaku sehari-hari. Suler (2004) mengemukakan istilah online disinhibition effect untuk

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 4: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

menjelaskan fenomena pengungkapan diri (self-disclosure) atau perilaku yang lebih bebas

atau terbuka ketika daring daripada aktivitas sehari-hari. Penekanan yang dikemukakan bahwa

faktor situasi daring merupakan faktor utama penyebab tingkah laku yang lebih bebas. Situasi

daring memungkinkan seseorang untuk menjadi anonim, tidak diketahui lokasinya, dan

memberi jeda dalam interaksi dalam situasi daring. Hal tersebut dapat memicu tindakan yang

lebih bebas dibandingkan dengan situasi di kehidupan sehari-hari. Online disinhibition ini

dibagi menjadi dua tipe: benign disinhibition; menunjukkan sisi ramah dan altruistik yang

dimiliki individu, dan toxic disinhibition, yang bermakna menampilkan sisi negatif dan kasar

(Suler, 2004). Kedua jenis disinhibisi ini ditampilkan melalui media daring namun tidak

dalam perilaku sehari-hari. Perilaku flaming dapat diduga sebagai dampak dari toxic

disinhibition. Perilaku daring yang berbeda dari perilaku sehari-hari tersebut menunjukkan

bahwa faktor daring dapat menciptakan tingkah laku yang berbeda dari kecenderungan

perilaku yang tampil di kehidupan sehari-hari.

Dua sisi dari perilaku daring ini menarik peneliti untuk mengetahui kaitan antara

flaming dan kecenderungan tingkah laku, atau yang lebih dikenal dengan istilah trait. Studi

yang telah dilakukan sebelumnya telah membuktikan bahwa flaming terkait dengan trait yang

tergolong negatif, seperti impulsif, sadisme, psikopati, narsisisme, serta mementingkan diri

sendiri dan memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi (Suh & Wagner, 2013;

Buckels, Trapnell, & Paulhus, 2014). Flaming sebagai tingkah laku komunikasi yang agresif

membutuhkan pemahaman akan kaitannya dengan trait yang berhubungan dengan perilaku

komunikasi. Infante, Rancer, dan Womack (dalam Martin & Anderson, 1997) mengemukakan

empat jenis kecenderungan (trait) komunikasi agresif yang merupakan turunan dari trait

kepribadian. Empat trait tersebut dibagi menjadi dua jenis berdasarkan dampaknya:

konstruktif dan destruktif. Trait komunikasi yang tergolong konstruktif adalah asertif dan

argumentatif sedangkan trait komunikasi yang tergolong destruktif adalah hostility dan agresi

verbal (Infante & Wigley, 1986).

Rancer dan Avtgis (2006) mengungkapkan bahwa hostility merupakan trait yang

dapat memunculkan tingkah laku agresif dalam berbagai bentuk. Flaming sebagai bentuk

tingkah laku verbal semestinya dipahami dari trait yang spesifik membahas tentang tingkah

laku verbal. Trait agresi verbal merupakan bagian dari hostility yang secara spesifik

membahas kecenderungan perilaku dalam konteks verbal. Trait agresi verbal sendiri

merupakan sebuah konstruk yang didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menyerang

konsep diri orang lain daripada menyerang keberpihakan lawan bicara dalam sebuah topik

(Infante & Wigley, 1986). Individu dengan trait agresi verbal akan menyerang lawan

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 5: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

bicaranya secara personal daripada membantah posisi pro atau kontra mengenai topik

pembicaraan. Trait agresi verbal sering dikaitkan dengan argumentatif karena kesamaannya

dalam mengonfrontasi lawan bicara. Meskipun saling terkait, agresi verbal dan argumentatif

merupakan dua konstruk yang berbeda, yang mana argumentatif merupakan kecenderungan

untuk mempertahankan keberpihakan dengan cara melawan keberpihakan lain dan tidak

selalu mencerminkan permusuhan (Infante & Rancer, dalam Croucher, DeMaris, Turner, &

Spencer, 2006). Dampak kepemilikan trait agresi verbal ini dinilai negatif dalam berbagai

situasi, antara lain dalam hubungan interpersonal, komunikasi instruksional, dan komunikasi

antar budaya (Hample, 2008).

Figur publik dan pemirsa merupakan dua istilah yang familiar dan sulit dipisahkan

dari jagad media. Figur publik sering diasosiasikan dengan idola karena memiliki popularitas

dan status yang lebih tinggi daripada pemirsa. Pemirsa figur publik yang menyukai dan

mengidentifikasi diri terhadap para idola lebih dikenal dengan istilah fans. Jika fans berada di

sisi positif hubungan pemirsa dengan figur publik, maka terdapat haters sebagai pihak yang

berada di sisi negatif hubungan tersebut. Penggunaan istilah haters sebenarnya dapat merujuk

pada semua orang yang membenci objek atau individu lain namun maknanya beralih menjadi

lebih spesifik ke arah hubungan antara pemirsa dengan figur publik. Istilah ilmiah untuk

pembenci tokoh publik adalah antifans. Antifans dianggap sebagai kontra dari popularitas

figur publik. Studi mengenai fans sudah cukup ekstensif sedangkan penelitian mengenai

antifans masih sedikit. Antifans sendiri tidak bisa dianggap remeh karena dari segi kuantitas

dapat menyamai jumlah fans. Walaupun antifans berada di sisi negatif hubungan idola dengan

penggemar, mereka memiliki kesamaan dengan fans berupa perhatian yang ditujukan kepada

idola (Claessens & Van den Bulck, 2013). Perhatian ini digunakan antifans untuk

melancarkan serangan atau kontra terhadap tingkah laku idola.

Antifans dianggap sering melakukan hujatan terhadap idola tanpa alasan yang jelas

dan kerap membuat ulah yang mengganggu performa idola. Hujatan yang dilakukan antifans

dilakukan karena ketidaksukaan terhadap atribut idola dan sebagai salah satu cara yang

digunakan untuk menolak popularitas idola (Springer, 2013). Sebelum era akun sosial media,

antifans menyampaikan hujatan melalui forum daring. Seiring fungsi sosial media yang

mendekatkan pemirsa dengan publik figur, hal ini pula yang dilakukan antifans untuk

menyerang publik figur secara langsung dibandingkan mengutarakan ketidaksukaannya

terhadap publik figur melalui forum daring. Twitter adalah salah satu media berkomunikasi

antara idola dan pemirsanya. Twitter menjadi fenomena unik untuk diteliti dalam konteks

hubungan pemirsa dan publik figur karena pemirsa dapat mengikuti Twitter figur publik

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 6: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

namun publik figur belum tentu mengikuti Twitter pemirsanya, yang mana dapat menjadi

analogi hubungan antara pemirsa dan figur publik yang berlangsung satu arah. Ketertarikan

terhadap selebritis dan berita terkait mereka ditemukan menjadi prediktor seseorang membuat

akun Twitter (Hargittai & Litt, 2011). Pengunaan Twitter pun menjadi penting karena

persepsi kehadiran idola yang dihasilkan tweet dapat memprediksi persepsi kedekatan dengan

figur publik dalam hubungan parasosial, keinginan untuk menyaksikan acara yang memuat

idola, dan intensi memilih untuk figur publik politisi (Lee & Jang, 2013). Dengan

bermodalkan akun Twitter dan melakukan mention, pemirsa dapat menjangkau figur publik

secara personal. Untuk antifans, karakteristik Twitter tersebut dimanfaatkan untuk melakukan

serangan verbal langsung pada figur publik.

Twitter juga dapat menjadi penyampai pesan dari pemirsa kepada figur publik tanpa

persetujuan dari figur publik. Tidak seperti Facebook atau YouTube yang mana komentar

atau pesan yang masuk dapat disaring melalui persetujuan pemilik akun, tweet dapat

disampaikan seseorang tanpa harus menunggu persetujuan dari penerima pesan. Untuk para

antifans, Twitter dapat menjadi media untuk mengungkapkan ketidaksukaannya pada figur

publik. Karakteristik Twitter yang dapat mengirimkan tweet tanpa harus mem-follow

penerima pesan dimanfaatkan oleh antifans untuk mengirim tweet yang mengolok-olok publik

figur. Springer (2013) mengungkapkan bahwa perilaku tidak etis di internet dapat

menjelaskan aktivitas antifans dengan figur publik. Claessens dan Van den Bulck (2013)

menyatakan bahwa antifans telah merambah ke dunia internet sehingga ungkapan

ketidaksukaan terhadap idola menjadi lebih masif dan diarahkan langsung pada figur publik.

Tingkah laku antifans di Twitter ini dapat digolongkan sebagai flaming karena pesan yang

disampaikan antifans pada publik figur cenderung sarkastik dan menjatuhkan reputasi publik

figur. Dampak dari flaming yang dilakukan antifans cukup besar. Stephen Fray dan Miranda

Hart, keduanya merupakan selebritis, terpaksa menutup akun Twitter-nya setelah diserang

antifans melalui tweet yang memojokkan keduanya (Castella & Brown, 2011).

Pemahaman akan kecenderungan berkomunikasi dari antifans sebagai pelaku flaming

perlu diketahui untuk menjelaskan apakah fenomena flaming terkait dengan karakteristik

berkomunikasi di kehidupan sehari-hari atau semata-mata hanya fenomena yang terjadi hanya

karena faktor daring. Bukan hal yang mustahil, perilaku agresif yang dilakukan antifans dapat

meningkat menjadi agresi fisik. Penelitian ini mencoba mengetahui kaitan antara trait agresi

verbal dan tingkah laku flaming. Dengan mengetahui hubungan antara perilaku flaming dan

trait agresi verbal, kita dapat mengetahui apakah perilaku daring merupakan representasi atau

berkebalikan dari perilaku sehari-hari. Penelitian ini juga berkontribusi terhadap pemahaman

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 7: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

akan perilaku antifans dalam situasi daring. Claessens dan Van den Bulck (2013)

mengemukakan bahwa studi menggunakan media daring menjadi metode ideal dalam

mengenali antifans. Antifans lebih terbuka dalam mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap

figur publik melalui daring, terlebih karena faktor anonimitas yang terjadi dalam situasi

daring.

Peneliti menduga bahwa aktivitas flaming yang dilakukan antifans di Twitter

berhubungan dengan trait agresi verbal yang dimiliki oleh antifans. Argumen tersebut

didukung oleh studi mengenai faktor trait yang berkaitan dengan flaming baru dilakukan

terhadap predisposisi negatif seperti kecenderungan impulsif serta Dark Triad Personality

yang meliputi sadisme, psikopati, dan Machiavellinisme (lebih mementingkan diri sendiri dan

memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan pribadi) (Suh & Wagner, 2013; Buckels,

Trapnell, & Paulhus, 2014).

Prosedur Penelitian

Partisipan penelitian merupakan pemilik akun Twitter yang mencantumkan kata anti,

hate atau hater dalam akun Twitternya dan minimal sudah memasang tweet minimal 100

tweet. Self-report terhadap akun Twitter digunakan karena merupakan cara paling jelas untuk

menemukan individu yang tergolong antifans. Empat puluh satu akun Twitter yang memenuhi

kriteria dikontak melalui Twitter via mention untuk mengisi kuesioner daring. Satu akun

menolak untuk mengisi kuesioner, satu akun lain dibuang dari analisis lanjutan karena

dicurigai menggunakan autobot, dan tiga akun lain tidak mengisi kuesioner. Total partisipan

yang mengikuti penelitian ini hingga selesai adalah 36 pemilik akun Twitter.

Teknik pengambilan sampel untuk partisipan adalah convenient sampling.

Convenient sampling juga dikenal dengan istilah accidental sampling, dimana partisipan

penelitian direkrut karena ketersediaannya dan akses yang mudah (Gravetter & Forzano,

2012). Peneliti melacak akun Twitter sesuai dengan karakteristik di atas dan meminta pemilik

akun tersebut untuk menjadi partisipan penelitian. Convenient sampling termasuk non-

probability sampling. Non-probability sampling dilakukan ketika populasi tidak diketahui

jumlahnya dan berpengaruh terhadap penarikan kesimpulan terhadap populasi karena

minimnya representasi terhadap populasi (Gravetter & Forzano, 2012).

Peneliti menggunakan protokol analisis konten yang dibuat oleh Dwiyanti (2010).

Flaming dioperasionalisasikan sebagai tweet yang mengandung indikasi amarah, kekesalan

dan sindiran; kata atau kalimat yang seluruhnya menggunakan huruf kapital; serta kata

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 8: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

umpatan seperti 'bangsat, goblok, bodoh, sialan, jelek, tak tahu diri, nyebelin, sok tahu,

kurang ajar, dsb.' Protokol diberikan dalam bentuk ceklis. Satu tweet dapat masuk dalam lebih

dari satu kategori namun jika suatu tweet masuk dalam minimal satu kategori, tweet tersebut

dihitung sebagai satu kali frekuensi flaming. Seratus tweet dari kumpulan 4100 tweet yang

sudah terkumpul diambil kembali secara acak untuk dikategorikan kembali oleh kedua koder.

Analisis seratus tweet ini bertujuan untuk melihat reliabilitas antarkoder.

Pengukuran trait agresi verbal dalam penelitian ini menggunakan Verbal

Aggressiveness Scale yang dikembangkan oleh Infante dan Wigley. Beberapa penelitian

membuktikan secara empiris bahwa penggunaan pernyataan positif dan negatif memisahkan

dimensi dalam Verbal Aggresiveness Scale. Studi yang dilakukan Levine, Beatty, Limon,

Hamilton, Buck, dan Chory-Assad (2004) serta Croucher, DeMaris, Turner, dan Spencer

(2006) menemukan bahwa Verbal Aggresiveness Scale merupakan pengukuran yang bersifat

bidimensional. Dua dimensi yang dimaksud adalah dimensi agresi verbal dan prososial. Hal

ini sebenarnya sudah sejalan dengan teknik skoring yang diberikan oleh Infante dan Wigley

(1986), yang mana item-item yang dengan pernyataan positif diskoring terbalik namun

Infante dan Wigley memberikan klaim bahwa Verbal Aggressiveness Scale merupakan

pengukuran yang bersifat unidimensional.

Atas perdebatan dimensionalitas tersebut, Levine, Beatty, Limon, Hamilton, Buck,

dan Chory-Assad (2004) serta Merkin (2010) menyarankan untuk menggunakan 10 item yang

bernuansa agresi. Alasan penggunaan 10 item bernuansa agresi adalah karena item tersebut

lebih akurat dalam mengukur agresi serta 10 item lainnya tidak berkorelasi negatif dengan

kriteria perilaku agresif verbal. Beatty, Rudd, dan Valencic (1999) bahkan menyatakan bahwa

item social coherence merupakan item distraktor dalam alat ukur ini. Item yang bernuansa

agresi adalah item nomor 2, 4, 6, 7, 9, 11, 13, 16, 18, dan 19 dari alat ukur Verbal

Aggressiveness yang terdiri dari 20 item. Alat ukur ini memiliki skala 1-5 sehingga skor

minimal yang dapat dimiliki adalah 10 dan skor maksimal adalah 50. Merkin (2010) telah

menguji reliabilitas dan validitas Verbal Aggressiveness Scale secara lintas budaya. Verbal

Aggressiveness Scale ditemukan valid dan reliabel pada populasi Amerika Serikat dan Korea.

Survei preliminari mengenai figur publik yang memiliki antifans aktif di Twitter

disebarkan melalui Google Drive. Survei tersebut berbentuk pertanyaan terbuka yang

menanyakan siapa publik figur yang memiliki antifans aktif di Twitter dan akun antifans,

terutama yang memiliki kata anti, hate, atau hater dalam akun Twitternya. Survei disebarkan

secara daring mulai tanggal 26 Maret hingga 10 April 2014. Nama publik figur yang muncul

sebagai publik figur yang memiliki antifans aktif di Twitter adalah JKT48, Cherrybelle,

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 9: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

SM*SH, Farhat Abbas, Coboy Junior, Dewi Persik, Julia Perez, Nikita Mirzani, Agnes

Monica, dan Indah Dewi Pertiwi. Setelah hasil didapatkan, peneliti mencari akun yang

mengandung kata anti, hate, atau hater serta mengandung nama dari sepuluh figur publik

tersebut dalam daftar pencarian Twitter. Untuk menghindari akun yang dimiliki oleh lebih

dari satu orang, akun yang menggunakan #min (inisial tertentu) tidak diikutsertakan dalam

penelitian ini. Akun tersebut kemudian dilihat jumlah tweet-nya. Akun yang telah

menyampaikan tweet lebih dari 100 dan mencantumkan kata anti, hate, atau hater dijadikan

partisipan dalam penelitian kali ini.

Peneliti menggunakan saran dari Johnson (2010) untuk melakukan perekrutan aktif

terhadap partisipan. Perekrutan aktif dilakukan dengan cara mengikuti (following) akun

Twitter yang memenuhi persyaratan di atas dan mengirimkan pesan melalui mention berisi

tautan kuesioner Verbal Aggressiveness Scale (α = 0,8) yang telah diadaptasi. Mention akun

secara personal dilakukan untuk meyakinkan pemilik akun bahwa penelitian ini adalah

penelitian serius dan diharapkan pemilik akun yang mengisi kuesioner yang diberikan.

Partisipan diajak untuk mengisi kuesioner sebagai bagian dari undian yang berhadiah pulsa

telepon genggam sebesar Rp 200.000,00. Kuesioner daring disebarkan mulai tanggal 27 April

hingga 6 Mei 2014. Sembari menunggu kuesioner terisi oleh akun, pengambilan tweet

dilakukan. Tweet dari akun antifans diambil dengan menggunakan fasilitas Twitter API.

Pengambilan tweet dilakukan dengan bantuan seorang programmer. Pengambilan tweet

menghasilkan file dalam format .csv yang berisi 3200 tweet per akun dan dapat dibaca oleh

Microsoft Excel. File tersebut berisi nama akun Twitter, tanggal tweet dipost, dan konten

tweet dari akun yang bersangkutan. Untuk analisis penelitian ini, 100 tweet terbaru per akun

per tanggal 25 April 2014 diambil dari list dalam file tersebut. Seratus tweet terbaru diambil

dengan asumsi bahwa dalam seratus tweet dapat ditemukan pola perilaku flaming.

Pengambilan sampel tweet menggunakan pendekatan event sampling. Event sampling lebih

menekankan pada perilaku yang muncul daripada waktu terjadinya perilaku (time-based

sampling). Urutan waktu tidak menjadi permasalahan dalam pengambilan sampel tweet

dengan asumsi bahwa antifans terus menyampaikan tweet namun hanya berbeda intensitasnya

ketika ada kejadian terkait figur publik. Pengumpulan tweet menghasilkan data 4100 tweet

dari 41 akun antifans.

Tweet tersebut kemudian diberikan pada koder dalam bentuk file Excel yang berisi

tweet. Kolom berisi detil mengenai nama akun antifans, waktu penyampaian tweet, dan

jumlah retweet atas tweet disembunyikan. Dua koder diminta untuk mengisi ceklis untuk

menentukan satu tweet tergolong flaming atau tidak berdasarkan protokol yang tersedia. Dari

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 10: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

4100 tweet yang terkumpul di awal penarikan, seratus tweet diambil secara acak untuk diniai

oleh kedua koder. Klasifikasi dari seratus tweet tersebut digunakan untuk analisis reliabilitas

antarkoder. Untuk membiasakan diri terhadap protokol, 25 tweet diambil secara acak untuk

melatih kedua koder menggunakan protokol analisis konten. Koder pertama memberikan

penilaian pada 20 akun atau 2000 tweet dan koder yang lain memberikan penilaian pada 21

akun atau 2100 tweet yang berbeda dengan koder pertama. Hipotesis dan tujuan penelitian

tidak diberitahukan pada kedua koder untuk meminimalisasi bias saat melakukan koding.

Untuk analisis hasil penelitian, 500 tweet dari lima akun dibuang dari analisis karena pemilik

akun tidak mengisi kuesioner. Total tweet yang masuk dalam analisis hasil adalah 3600 tweet

dari 36 pemilik akun.  

Hasil Penelitian

Tiga puluh enam antifans mengikuti penelitian ini secara lengkap. Antifans yang

mengidentifikasi diri sebagai laki-laki sama banyak dengan perempuan, yaitu 18 orang. Umur

antifans berkisar antara 14-22 tahun dengan rata-rata 17,53 tahun (SD = 1,82). Frekuensi

flaming yang dilakukan antifans berkisar antara 10-97 tweet dari 100 tweet yang disampel dari

masing-masing akun dengan rata-rata 59,86 tweet (SD = 24,32). Skor alat ukur Verbal

Aggressiveness Scale terentang antara 26-37 dengan rata-rata 32,28 (SD = 2,67). Skor

Cohen's Kappa yang didapatkan melalui program SPSS adalah sebesar 0,565 (p<0,001), 95%

CI (0,365-0,764). Angka tersebut melewati batas penerimaan untuk reliabilitas antarkoder

sebesar 0,4. Landis dan Koch (1977) menyatakan bahwa koefisien Kappa 0,41-0,6 tergolong

sebagai moderate agreement. Hal ini bermakna bahwa persetujuan antarkoder dalam

penelitian ini tergolong menengah.

Frekuensi flaming dan skor Verbal Aggressiveness Scale dikorelasikan dan skor

Pearson product moment correlation yang didapatkan adalah 0,402. Hasil tersebut

menunjukkan korelasi yang signifikan antara kedua variabel, r(36) = 0,402, p(two-tailed) <

0,05, 95% CI (0,085-0,645). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis nol penelitian ini

ditolak. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis penelitian bahwa terdapat hubungan antara

perilaku flaming dan trait agresi verbal pada antifans. Koefisien determinasi (r2) menunjukkan

angka 0,161. Hal tersebut bermakna bahwa 16,1% varians dari tingkah laku flaming dapat

dijelaskan dengan trait agresi verbal.

Analisis tambahan dilakukan untuk melihat perbedaan rata-rata jumlah flaming dan

skor Verbal Aggressiveness Scale pada laki-laki dan perempuan. Rata-rata jumlah flaming

antara antifans laki-laki dan perempuan tidak berbeda secara signifikan, t(34) = 0,331, p(two-

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 11: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

tailed)>0,05, namun rata-rata skor Verbal Aggressiveness Scale antifans laki-laki dan

perempuan berbeda secara signifikan, t(34) = 2,093, p(two-tailed)<0,05. Rata-rata skor Verbal

Aggressiveness Scale pada partisipan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Mlaki-laki =

33,17; Mperempuan = 31,39).

Diskusi

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Suh dan Wagner (2013) serta

Buckels, Trapnell, dan Paulhus (2014) bahwa tingkah laku flaming berkaitan dengan

karakteristik negatif di kehidupan sehari-hari. Secara umum, hasil penelitian ini mendukung

temuan bahwa perilaku daring dapat merepresentasikan kondisi di kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini juga melanjutkan temuan bahwa flaming terjadi di akun media sosial setelah

penelitian Kerssies (2013) mengenai dampak flaming di Twitter terhadap persepsi mengenai

produk, Grote (2012) mengenai flaming di Facebook dan Moor (2008) mengenai flaming di

YouTube. Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa flaming tidak semata-mata

fenomena yang terjadi dalam situasi daring. Flaming dapat mencerminkan karakteristik

pelakunya di kehidupan sehari-hari, yang mana dalam penelitian ini adalah trait agresi verbal.

Berdasarkan umur, antifans yang menjadi partisipan dalam penelitian ini berada di

kisaran umur remaja. Secara umum, belum ada teori yang menjelaskan kaitan antara

kecenderungan umur dan identitas fans atau antifans. Dua kemungkinan dapat menjelaskan

hal ini, antifans yang cenderung berada di usia remaja atau antifans remaja yang mengikuti

penelitian ini. Peneliti menduga bahwa kemungkinan kedua yang lebih dapat menjelaskan

temuan ini. Salah satu hasil survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika

mengemukakan bahwa sekitar 6% dari remaja usia 14-19 tahun di Indonesia pernah

melakukan flaming dengan cara mengirimkan pesan melalui akun media sosial untuk

memancing kemarahan atau mempermalukan penerima pesan (Gayatri, 2014). Salah satu

hasil penelitian Ybarra dan Mitchell (2004) menemukan bahwa sekitar 12% (180 orang)

remaja dari sampel penelitian yang dilakukan terlibat perilaku agresif dalam situasi daring.

Studi yang sama juga menunjukkan bahwa remaja yang melakukan tindakan agresif dalam

situasi daring juga memiliki masalah perilaku di kehidupan sehari-hari. Bukti tersebut

menguatkan bukti bahwa perilaku daring dapat menjadi representasi bagi karakteristik di

kehidupan sehari-hari.

Penelitian ini menambah pengetahuan mengenai kecenderungan agresi verbal di

kehidupan sehari-hari yang dimiliki antifans. Studi ini menambah penjelasan atas pertanyaan

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 12: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

yang diutarakan Springer (2013) mengenai sebab antifans menghina figur publik. Selain

karena ketidaksukaan terhadap figur publik, antifans melontarkan tweet yang mengandung

ejekan terkait dengan trait agresi verbal yang dimiliki. Trait agresi verbal yang dimiliki oleh

antifans diduga kuat disebabkan karena faktor menganggap orang lain lebih hina daripada

dirinya. Antifans adalah individu yang membenci eksistensi dan karya dari figur publik.

Claessens dan Van den Bulk (2013) secara jelas menyatakan bahwa salah satu karakteristik

antifans adalah menanggap figur publik lebih hina daripada dirinya. Meskipun penelitian ini

menggunakan partisipan pemilik akun antifans dari selebritis, hasil penelitian ini dapat

dijadikan acuan untuk penelitian mengenai antifans dari figur publik lain, semisal politisi.

Tingkah laku flaming yang dilakukan oleh antifans dapat disebabkan setidaknya oleh

tiga hal, anonimitas, kemarahan dan tidak adanya peran moderator dalam berkomunikasi di

Twitter. Seluruh akun Twitter yang pemiliknya menjadi partisipan dalam penelitian ini

tergolong akun pseudonim, yang mana berarti bahwa tidak ada rujukan terhadap identitas

sehari-hari dan nama samaran digunakan untuk menutupi identitas asli. Tsikerdekis (2012)

memisahkan kategori pseudonim (menggunakan alias) dan anonim (tidak menampilkan

identitas yang merujuk pada identitas di kehidupan sehari-hari) dalam pembahasan faktor

anonimitas dalam tingkah laku flaming. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa

individu yang menggunakan fitur pseudonim cenderung mengemukakan flame yang tergolong

sangat intens. Kemarahan juga diduga berperan atas tingkah laku flaming yang dilakukan

antifans. Dugaan ini diperkuat dengan temuan Arda (2006) bahwa kemarahan terhadap figur

publik menjadi indikator seseorang sebagai antifans. Berbeda dengan forum internet yang

memiliki pihak yang berperan sebagai moderator diskusi atau pembicaraan serta nettiquette

yang jelas, Twitter hanya memiliki terms and conditions sebagai pedoman berkomunikasi.

Tidak ada kontrol yang mengikat pengguna Twitter ditambah dengan pengawasan minim

membuat Twitter dapat digunakan sebagai media flaming oleh antifans. Analisis tambahan

dalam penelitian ini menemukan bahwa frekuensi tingkah laku flaming tidak berbeda secara

signifikan antara antifans laki-laki dan perempuan. Hasil tersebut sesuai dengan hasil

penelitian Turnage (2008) sekaligus membantah temuan Aiken dan Waller (2000). Hal ini

dapat dijelaskan dengan temuan Bayard dan Khrisnayya (2001) bahwa frekuensi mengumpat

pada laki-laki tidak berbeda secara signifikan dibandingkan perempuan.

Sebagai tambahan, hasil studi ini menunjukkan perbedaan yang signifikan antara trait

agresi verbal antara antifans laki-laki dan perempuan. Antifans laki-laki ditemukan lebih

tinggi rata-rata skor trait agresi verbalnya dibandingkan antifans perempuan. Hal yang serupa

ditemukan pada studi terkait trait agresi verbal, dimana laki-laki memiliki skor rata-rata trait

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 13: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

agresi verbal yang lebih tinggi dibandingkan perempuan (Infante & Wigley, 1986; Myers &

Knox, 1999; Rodgers, 2003; Rogan & LaFrance, 2003; Shaw, Kotowski, Boster, & Levine,

2012). Perbedaan ini dapat dijelaskan antara lain dengan pendekatan communibiology. Laki-

laki cenderung lebih agresif dalam berkomunikasi diduga sebagai dampak dari hormon

testosteron yang dimiliki. Tinjauan yang dilakukan Archer (1991) menemukan bahwa hormon

testosteron berkaitan dengan perilaku agresif, baik yang dilaporkan melalui self-report atau

peer-report. Temuan lain menjelaskan bahwa laki-laki memiliki trait agresi verbal yang lebih

kuat daripada perempuan disebabkan oleh faktor hostility dan usaha untuk mendapatkan

kekuasaan dan dominasi. (Hamilton & Mineo, 2002; Selnow, dalam Myers & Knox, 1999).

Keunggulan studi ini antara lain merupakan studi pertama yang mengaitkan perilaku

daring dengan trait agresi verbal. Studi yang pernah dilakukan terkait trait agresi verbal

berfokus pada perilaku di kehidupan sehari-hari, baik yang diukur melalui self-report atau

observasi. Penelitian ini sekaligus membuka jalan bagi penelitian lain mengenai perilaku

daring. Penelitian yang dilakukan kali ini memperkecil kemungkinan eror flaming yang

sebetulnya dimaksudkan untuk bercanda seperti yang diungkapkan O'Sullivan dan Flanagin

(2003) karena antifans dan publik figur tidak memiliki hubungan personal yang intim

sehingga ujaran yang dipersepsi pengamat sebagai flaming dapat dipastikan merupakan

bentuk agresi yang ditujukan pada publik figur.

Limitasi dari penelitian ini antara lain penarikan sampel dan reliabilitas antarkoder.

Bias dalam penarikan sampel, baik dalam partisipan atau tweet yang dikoding, mungkin

terjadi. Partisipan penelitian dipilih hanya pemilik akun Twitter sehingga terbatas pada

antifans yang aktif menggunakan internet dan berada dalam usia produktif dan tweet yang

dianalisis kontennya diambil dari seratus tweet terbaru. Reliabilitas antarkoder dalam

penelitian ini hanya masuk dalam kategori dapat diterima. Banerjee, Cappozolli, McSweeney,

dan Sinha (1999) menyatakan bahwa standar reliabilitas antarkoder untuk dianggap sebagai

baik adalah 0,75. Nilai reliabilitas antarkoder yang rendah dapat disebabkan karena definisi

operasional yang belum baik mendiskriminasi konten atau karena bias yang dimiliki oleh

koder. Diskusi dengan kedua koder setelah pengerjaan koding menyatakan bahwa definisi

operasional sudah baik untuk mendiferensiasi tweet flaming dan non-flaming. Perbedaan yang

cukup besar antara kedua koder disebutkan lebih karena tweet dikoding di luar konteksnya.

Penelitian ini dilakukan dengan asumsi bahwa trait dan situasi daring merupakan

faktor yang terpisah untuk membentuk tingkah laku flaming. Penelitian lanjutan dapat

mencari tahu apakah situasi daring berhubungan dengan trait agresi verbal dalam

memunculkan tingkah laku flaming. Ohbuchi dan Fukushima (1997) menemukan bahwa trait

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 14: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

agresi verbal dapat memunculkan reaksi verbal yang agresif pada situasi yang impolite.

Reaksi verbal yang agresif tidak muncul pada situasi yang polite meskipun trait agresi verbal

tetap sama. Dengan asumsi bahwa ekspresi trait akan muncul jika berada dalam situasi yang

tepat, penelitian selanjutnya dapat mencari tahu apakah situasi daring memungkinkan trait

agresi verbal untuk memunculkan tingkah laku flaming.

Pertanyaan lain yang belum terjawab atas kaitan antara trait agresi verbal dan tingkah

laku flaming adalah apakah tingkah laku flaming merupakan fungsi instrumental atau reaktif

dari individu yang memiliki trait agresi verbal. Dalam pembahasan mengenai ciri kepribadian

agresif, Berkowitz (1993) menyebutkan dua tipe individu dengan ciri kepribadian agresif,

yaitu instrumental dan reaktif-emosional. Individu dengan ciri kepribadian agresif

instrumental cenderung bertingkah laku agresif untuk mendapatkan tujuan tertentu sedangkan

individu dengan ciri kepribadian agresif reaktif-emosional bertingkah laku agresif sebagai

dampak dari temperamen yang meledak-ledak dan mudah dipancing kemarahannya. Dengan

ditemukannya kaitan antara flaming sebagai tingkah laku agresif dengan trait agresi verbal,

penelitian lanjutan dapat melihat apakah flaming dimanfaatkan untuk mendapatkan tujuan

tertentu atau sebagai media katarsis emosi yang meledak-ledak.

Nitin, dkk. (2011) mengemukakan empat kategori flaming berdasarkan dua dimensi,

yaitu pesan ditujukan langsung pada objek flaming atau tidak (direct or indirect) dan

penggunaan bahasa denotatif atau konotatif dalam flame (straightforward or satirical).

Penelitian ini dan rujukan yang disitir berfokus pada flaming yang bersifat direct-

straightforward, yang berarti bahwa flame disampaikan langsung dengan cara me-mention

objek flaming dan bahasa yang digunakan cenderung denotatif (sarkastik dan menyerang

objek flaming). Penelitian selanjutnya dapat mencari tahu perbedaan frekuensi penyampaian

tiga kategori flaming yang lain atau melalui medium daring apa tiga kategori flaming selain

direct-straightforward lebih sering dilakukan.

Seluruh akun yang menyatakan diri sebagai antifans dalam penelitian ini bersifat

pseudonim. Mungeam (2011) mengungkapkan bahwa anonimitas menjadi faktor penting

dalam terjadinya tingkah laku flaming namun pengungkapan identitas pelaku flaming tidak

menurunkan kuantitas berkomentar lewat media internet secara signifikan. Hasil penelitian

Tsikerdekis (2012) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi flaming yang

signifikan yang dilakukan oleh pemilik akun pseudonim daripada akun anonim. Penelitian

lanjutan dapat melihat perbedaan antifans yang menggunakan pseudonim dan anonim dalam

ekspresi tingkah laku flaming. Studi ini dapat menyimpulkan dampak format identitas di akun

media sosial terhadap tingkah laku flaming.

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 15: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Tweet yang diambil untuk analisis konten didapatkan melalui convinience sampling,

dimana hanya seratus tweet terbaru per akun yang diambil. Penelitian lanjutan dapat

menggunakan random sampling dari jumlah maksimal tweet yang diambil untuk

meningkatkan representasi populasi dari tweet. Penelitian ini juga mengategorisasi tweet

sebagai flaming dan non-flaming. Studi lanjutan yang dapat dilakukan dari penelitian ini

adalah mengukur intensitas perilaku flaming yang dilakukan antifans.

Antifans dalam penelitian ini didefinisikan menggunakan lapor diri. Penelitian

lanjutan terhadap antifans dapat memberikan klasifikasi yang lebih detail untuk antifans

berdasarkan kategori yang dikemukakan Claessens dan Van Bulk (2013). Apabila ditemukan

cara untuk mengategorikan kelompok antifans tersebut, penelitian lanjutan dapat membahas

tentang perbedaan tingkah laku flaming dan trait agresi verbal yang dimiliki oleh ketiga

kelompok antifans tersebut. Seperti yang dikemukakan Arda (2006), antifans menjalani

hubungan parasosial negatif. Untuk penelitian selanjutnya, tingkat hubungan parasosial

negatif dapat diteliti sebagai variabel mediator. Peneliti menduga bahwa tingkat hubungan

parasosial negatif yang lebih ekstrem akan berdampak pada kecenderungan flaming yang

lebih sering atau lebih intens serta memperkuat hubungan antara trait agresi verbal dan

tingkah laku flaming.

Membuat akun pseudonim, berkomunikasi menggunakan kata-kata yang kasar, dan

membahas keburukan orang lain merupakan aktivitas yang dilakukan antifans di Twitter yang

berpotensi mengganggu figur publik bahkan pengguna Twitter secara umum. Untuk figur

publik, jargon don't feed the troll masih tepat digunakan untuk menghadapi antifans yang

melakukan flaming. Apabila dapat menemukan cara yang baik dan elegan untuk membalas

tingkah laku flaming, hal tersebut dapat berdampak baik pada citra diri figur publik tersebut.

Figur publik cukup diuntungkan dengan adanya antifans yang melakukan flaming apabila

dapat menjawab dengan baik atas ejekan yang dilontarkan. Komunikasi dengan individu yang

memiliki trait agresi verbal dapat menguntungkan bagi lawan bicara. Studi yang dilakukan

Infante, Hartley, Martin, Higgins, Bruning, dan Hur (1992) menemukan bahwa kredibilitas

argumen dan individu yang memiliki trait agresi verbal dipersepsikan lebih rendah daripada

lawan bicaranya. Hal ini menguntungkan bagi lawan bicara untuk meningkatkan kredibilitas

dirinya.

Hipotesis penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan antara flaming dan trait

agresi verbal pada antifans. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat korelasi yang

signifikan antara frekuensi flaming dengan skor Verbal Aggressiveness Scale pada antifans.

Dengan demikian, hipotesis penelitian ini diterima, bahwa terdapat hubungan antara tingkah

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 16: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

laku flaming dan trait agresi verbal pada antifans.

Daftar Pustaka

Aiken, M., & Waller, B. (2000). Flaming among first-time group support system users.

Information & Management, 37 , 95-100.

Archer, J. (1991). The influence of testosterone on human aggression. British Journal of

Psychology, 82 , 1-28.

Arda, S. (2006). Predictors of parasocial interaction with the favorite and the least desirable

characters portrayed in tv serials. Ankara: Graduate School of Social Sciences, Middle

East Technical University.

Banerjee, M., Capozzoli, M., McSweeney, L., & Sinha, D. (1999). Beyond kappa: A review

of interrater argument measures. The Canadian Journal of Statistics, 27(1) , 3-23.

Bayard, D., & Khrisnayya, S. (2001). Gender, expletive use, and contexr: Male and female

expletive use in structured and unstructured conversation among new zealand university

student. Woman and Language, 24(1), 1-14

Beatty, M. J., Rudd, J. E., & Valencic, K. M. (1999). A re-examination of the verbal

aggressiveness scale: One factor or two? Communication Research Reports, 16(1) , 10-

17, doi: 10.1080/0882409990938696.

Berkowitz, L. (1993). Aggression: Its causes, consequences, and control. New York:

McGraw-Hill. Inc.

Biel, J.-I., Aran, O., & Gatica-Perez, D. (2011). You are known by how you vlog: Personality

impressions and nonverbal behavior on youtube. International Conference of Weblogs

and Social Media. Barcelona: Association for the Advancement of Artificial

Intelligence.

Buckels, E. E., Trapnell, P. D., & Paulhus, D. R. (2014). Trolls just want to have fun.

Personality and Individual Differences , 1-6, doi: 10.1016/j.paid.2014.01.016.

Castella, T. d., & Brown, V. (2011, September 14). Trolling: Who does it and why? Retrieved

from BBC News: http://www.bbc.com/news/magazine-14898564

Claessens, N., & Van den Bulck, H. D. (2013). With fans like these, who needs enemies? An

analysis of celebrities online antifans. Annual Meeting of the International

Communication Association. London.

Coolican, H. (2009). Research methods and statistics in psychology. New York, NY:

Routledge.

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 17: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Croucher, S. M., DeMaris, A., Turner, J. S., & Spencer, A. T. (2006). Assessing the factorial

complexity of the verbal aggressiveness scale. Human Communication, 15(4) , 261-277.

Dwiyanti, I. (2010). Pengaruh jender dan netiquette terhadap prilaku flaming dalam diskusi

online pada mahasiswa universitas indonesia. Depok: Fakultas Psikologi Universitas

Indonesia.

Gayatri, G. (2014, Februari 18). Digital citizenship safety among children and adolescents in

indonesia. Retrieved from Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik

Indonesia: http://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/12/Kominfo-

Presentasi%20Laporan%20Hasil%20Penelitian%20-%20Gati%20Gayatri.pdf

Gravetter, F. J., & Forzano, L.-A. B. (2012). Research methods for behavioral sciences

(fourth edition). Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning.

Grote, A. S. (2012). Flaming on facebook. Enschede: Master Program, Faculty of Behavioural

Science University of Twente.

Hamilton, M. A., & Mineo, P. J. (2002). Argumentativeness and its effect on verbal

aggressiveness: A meta-analytic review. In M. Allen, R. W. Preiss, B. M. Gyle, & N.

Burrell, Interpersonal Communication Research: Advances through meta-analysis (pp.

281-314). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers.

Hample, D. (2008). Verbal aggressiveness. In W. Donsbach, The International Encyclopedia

of Communication (pp. 5253-5257). Malden, MA: Blackwell Publishing

Hargittai, E., & Litt, E. (2011). The tweet smell of celebrity success: Explaining variation in

twitter adoption among a diverse of young adults. New Media and Society, 13 , 824-

842, doi: 10.1177/1461444811405805.

Infante, D. A., & Wigley III, C. J. (1986). Verbal aggressiveness: An interpersonal model and

measure. Communication Monographs, 53(1) , 61-69, doi:

10.1080/03637758609376126.

Infante, D. A., Hartley, K. C., Martin, M. M., Higgins, M. A., Bruning, S. D., & Hur, G.

(1992). Initiating and reciprocating verbal aggression: Effects on credibility and

credited valid arguments. Communication Studies, 43 , 182-190.

Internet user admits 'web-rage'. (2006, October 17). Retrieved from BBC News:

http://news.bbc.co.uk/2/hi/6059726.stm

Johnson, J. A. (2010). Web-based self-report personality scales. In S. D. Gosling, & J. A.

Jonathan, Advanced Methods for Conducting Online Behavioral Research (pp. 149-

166). American Psychological Association.

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 18: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Kerssies, J. J. (2013). Flaming and word of mouth. Enshede: Master Program, Faculty of

Behavioral Sciences University of Twente.

Landis, J. R, & Koch, G. G. (1977). The measurement of observer agreement for categorical

data. Biometrics, 33, 159-174

Lee, E.-J., & Jang, J.-w. (2013). Not so imaginary interpersonal contact with public figures on

social network sites: How affiliative tendency moderates its effects. Communication

Research, 40(1) , 27-51, doi: 10.1177/0093650211431579.

Levine, T. R., Beatty, M. J., Limon, S., Hamilton, M. A., Buck, R., & Chory-Assad, R. M.

(2004). The dimensionality of verbal aggressiveness scale. Communication

Monographs, 71(3) , 245-268, doi: 10.1080/0363452042000299911.

Manampiring, H. (2014). 7 kebiasaan orang yang nyebelin banget (7 habits of highly

annoying people). Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Martin, M. M., & Anderson, C. M. (1997). Aggressive communication traits: How similar are

young adults and their parents in argumentativeness, assertiveness, and verbal

aggressiveness. Western Journal of Communication, 61(3) , 299-314.

Merkin, R. S. (2010). Cross-cultural reliability and validity of the aggressively worded verbal

aggressiveness scale. Communication Research Reports, 27(1) , 90-95.

Moor, P. J. (2008). Flaming on youtube. Enschede: Master Program, Faculty of Behavioral

Sciences University of Twente.

Mungeam, F. (2011). Commenting on the news: How the degree of anonymity affects flaming

online (Master Thesis). Washington: Department of Communication and Leadership

Studies, Gonzaga University.

Myers, S. A., & Knox, R. L. (1999). Verbal aggression in the college classroom: Perceived

instructor use and student affective learning. Communication Quarterly, 47(1) , 33-45,

doi: 10.1080/01463379909370122.

Nitin, Bansal, A., Sharma, S. M., Kumar, K., Aggarwal, A., Goyal, S., et al. (2011).

Classification of the flames in computer mediated communication. USA International

Journal of Computer Application, 14 , 21-26.

Oegema, D., Kleinnijenhuis, J., Anderson, K., & Hoof, A. v. (2008). Flaming and blaming:

The influence of mass media content on interactions in online discussion. In E. A.

Konijn, S. Utz, M. Tanis, & S. B. Tarnes, Mediated Interpersonal Communication (pp.

331-338). New York, NY: Routledge.

Ohbuchi, K.-i., & Fukushima, O. (1997). Personality and interpersonal conflict:

Aggressiveness, self-monitoring, and situational variables. The International Journal of

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 19: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Conflict Management, 8(2) , 99-113.

O'Sullivan, P. B., & Flanagin, A. J. (2003). Reconceptualizing 'flaming' and other problematic

messages. New Media and Society, 5(1) , 69-94.

Pazienza, M. T., Stellato, A., & Tudaroche, A. (2008). Flames, risky discussions, no flames

recognition in forums. Retrieved from ResearchGate:

http://www.researchgate.net/publication/228876732_Flames_Risky_Discussions_No_Fl

ames_Recognition_in_Forums/file/9fcfd50d82f56c8a3c.pdf

Qiu, L., Lin, H., Ramsay, J., & Yang, F. (2012). You are what you tweet: Personality

expression and perception in Twitter. Journal of Research in Personality, 46 , 710-718,

doi: 10.1016/j.jrp.2012.08.008.

Rancer, A. S., & Avtgis, T. A. (2006). Argumentative and aggressive communication: Theory,

research, and application. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.

Retweeting flames - do celebrities make trollers 'chewtoys'? (2012, Oktober 7). Retrieved

from The Crocels Trolling Academy: http://www.trollingacademy.org/online-safety-

sociability/1060/retweeting-chewtoy-defences-for-trolling

Rodgers, M. F. (2003). The influence of birth order on verbal aggressiveness and

argumentativeness. West Virginia: Department of Communication Studies, West

Virginia University.

Rogan, R. G., & LaFrance, B. H. (2003). An examination of the relationship between verbal

aggressiveness, conflict management strategies, and conflict management goals.

Communication Quarterly, 51(4) , 458-469.

Shaw, A. Z., Kotowski, M. R., Boster, F. J., & Levine, T. R. (2012). The effect of prenatal sex

hormones on the development of verbal aggression. Journal of Communication , 1-15,

doi: 10.1111/j.1460-2466.2012.01665,x.

Springer, K. (2013). Beyond the h8r: Theorizing the anti-fan. The Phoenix Paper, 1(2) , 55-77.

Suh, A., & Wagner, C. (2013). Factors affecting individual flaming in virtual communities.

46th Hawaii International Conference on System Sciences, (pp. 3282-3291, doi:

10.1109/HICSS.2013.230). Hawaii.

Suler, J. (2004). The online disinhibition effect. Cyberpsychology and Behavior, 7(3) , 321-

326.

Tsikerdekis, M. (2012). The choice of complete anonymity versus pseudonymity for

aggression online. eMinds: International Journal on Human Computer Interaction,

2(8) , 35-57.

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014

Page 20: Haters (not just) Gonna Hate: Hubungan antara Flaming dan ...

Turnage, A. K. (2008). Email flaming behaviors and organizational conflict. Journal of

Computer-Mediated Communication, 13 , 43-59.

Vandebosch, H., & Cleemput, K. V. (2009). Cyberbullying among youngsters: Profiles of

bullies and victims. New Media and Society, 11(8) , 1-23, doi:

10.1177/1461444809341263.

Yarkoni, T. (2010). Personality in 100,000 words: A large scale analysis of personality and

word use among bloggers. Journal of Research in Personality, 44(3) , 363-373, doi:

10.1016/j.jrp.2010.04.001.

Ybarra, M. L., & Mitchell, K. J. (2004). Online aggressor/targets, aggressors, and targets: A

comparison of associated youth characteristics. Journal of Child Psychology and

Psychiatry, 45(7) , 1308-1316, doi: 10.1111/j.1469-7610.2004.00328.x.

Yee, N., Duchenaut, N., Nelson, L., & Likarish, P. (2011). Introverted elves and

conscientious gnomes: The expression of personality in world of warcraft. SIGCHI

Conference on Human Factors in Computing Systems. Vancouver, BC: ACM.

Haters (not just)..., Iqbal Maesa Febriawan, FPSI UI, 2014