Hasil dan Pembahasan - Website Staff UI |staff.ui.ac.id/system/files/users/yurnadi.kes/... · Web...

32
Penentuan Dosis Minimal Depot Medroksi Progesteron Asetat serta Pengaruhnya Terhadap Konsentrasi, Viabilitas Spermatozoa dan Kadar Hormon Testosteron Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley *Yurnadi, **Asmida Y, *Suryandari DA, ***Wahjoedi B, *Moeloek N * Departemen Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,**Mahasiswa Program Magister Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. ***BPOM Depkes-RI, Jakarta. Abstrak: Pria merupakan fokus baru untuk program keluarga berencana (KB). Sampai sekarang KB pria yang mantap adalah vasektomi. Namun, penggunaannya sebagai alat kontrasepsi menimbulkan keluhan psikologik dan bersifat permanen. Salah satu alternatif pengembangan metode kontrasepsi pria yang aman, efektif dan reversibel adalah kombinasi depot medroksi progesteron asetat (DMPA) dan androgen, dengan sasaran utama pengendalian proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. Sampai saat ini belum diketahui dosis minimal DMPA terhadap penekanan spermatogenesis. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mencari dosis minimal DMPA dan pengaruhnya terhadap konsentrasi, viabilitas spermatozoa, dan kadar hormon testosteron menggunakan tikus jantan (Rattus norvegicus L.) galur Sprague-Dawley sebagai model. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), uni-equal size sample, perlakuan kastrasi dan pemberian berbagai dosis DMPA (1,25 mg; 0,625 mg; dan 0,313 mg). Penyuntikan DMPA dilakukan secara intramuskuler pada minggu ke-0 dan ke-12. Dari penelitian ini 1

Transcript of Hasil dan Pembahasan - Website Staff UI |staff.ui.ac.id/system/files/users/yurnadi.kes/... · Web...

Penentuan Dosis Minimal Depot Medroksi Progesteron Asetat serta Pengaruhnya

Terhadap Konsentrasi, Viabilitas Spermatozoa dan Kadar Hormon Testosteron

Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

*Yurnadi, **Asmida Y, *Suryandari DA, ***Wahjoedi B, *Moeloek N

* Departemen Biologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,**Mahasiswa Program Magister Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta. ***BPOM Depkes-RI, Jakarta. Abstrak: Pria merupakan fokus baru untuk program keluarga berencana (KB). Sampai

sekarang KB pria yang mantap adalah vasektomi. Namun, penggunaannya sebagai alat

kontrasepsi menimbulkan keluhan psikologik dan bersifat permanen. Salah satu alternatif

pengembangan metode kontrasepsi pria yang aman, efektif dan reversibel adalah kombinasi

depot medroksi progesteron asetat (DMPA) dan androgen, dengan sasaran utama

pengendalian proses spermatogenesis melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. Sampai

saat ini belum diketahui dosis minimal DMPA terhadap penekanan spermatogenesis. Oleh

karena itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mencari dosis minimal DMPA

dan pengaruhnya terhadap konsentrasi, viabilitas spermatozoa, dan kadar hormon

testosteron menggunakan tikus jantan (Rattus norvegicus L.) galur Sprague-Dawley sebagai

model. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), uni-equal size sample,

perlakuan kastrasi dan pemberian berbagai dosis DMPA (1,25 mg; 0,625 mg; dan 0,313

mg). Penyuntikan DMPA dilakukan secara intramuskuler pada minggu ke-0 dan ke-12.

Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa nilai konsentrasi dan viabilitas spermatozoa serta

kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberikan DMPA secara bermakna (p<0,05)

masih lebih tinggi dibandingkan kelompok yang dikastrasi. Kelompok yang diberikan

DMPA dosis 1,25 mg menunjukkan konsentrasi dan viabilitas spermatozoa serta kadar

hormon testosteron yang terendah dibandingkan kelompok yang diberi dosis 0,625 mg atau

0,313 mg, akan tetapi perbedaan ini secara statistik tidak berbeda bermakna.

Kata kunci : DMPA, konsentrasi spermatozoa, viabilitas spermatozoa, testosteron

1

Determination of Minimal Doses of Depot Medroxy Progesterone Acetate and Its Effect on Sperms Concentration, Viability and Testosterone Level

in Male Rat Strain Sprague-Dawley.

*Yurnadi, **Asmida Y, *Suryandari DA, ***Wahjoedi B, *Moeloek N,

*Department of Medical Biology, Faculty of Medicine University of Indonesia, Jakarta; **Postgraduate student of Magister Program in Medical Biology, Faculty of Medicine

University of Indonesia, Jakarta; ***NIHRD Depkes-RI, Jakarta.

Abstract: Man will be the new focus for family planning program. Up to now, vasectomy

has been the established methods for male contraception. However, this method creates

some inconvenience such as irreversibility and phsycological problems.  One of the

alternatives is to develop a new contraception that is safe, effective and accepted by the

society, which is the hormonal treatment using combination of depot medroxy progesterone

acetate (DMPA) and androgen. The DMPA treatment is targeted to control spermatogenesis

through hypothalamus-hypophysis-testes axis.  However, the minimum dose of DMPA

capable of suppressing testosterone level that lead to a reduced spermatogenesis and sperm

viability remains unknown.  Therefore, a research was aimed at determination of the

minimal doses of DMPA for suppressing testosterone level that leads to a reduced fertility

using male rats (Rattus norvegicus L.) strain Sprague-Dawley. A complete-randomized

design with unequal sampling size was used in the experiment. Several doses of DMPA

(1.25; 0.625; 0.313 mg) were injected intramuscularly at week 0 and week 12. Castrated

rats were used as control group. The results show that sperms concentration, sperm viability

in the vas deferens and testosterone level in groups treated with DMPA were still

significantly (p<0,05) higher than in the castrated group. Furthermore, it is concluded that

group with dose treatment of 1.25 mg showed lower sperms concentration, viability and

testosterone level than groups given 0.625 mg or 0.313 mg dose, but the difference were not

statistically significant.

Key words : DMPA, sperms concentration, sperms viability, testosterone.

2

Pendahuluan

Laju pertambahan penduduk di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia

masih cukup tinggi. Diperkirakan penduduk Indonesia pada tahun 2020-2025 mencapai 285

juta jiwa.1 Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia mencanangkan program

keluarga berencana (KB) bagi pasangan suami isteri (pasutri) usia subur. Agar program KB

berhasil, maka diperlukan peran serta yang aktif dari pasutri tersebut.2

Keikutsertaan suami (pria) dalam program KB masih rendah, yaitu sekitar 3%.

Sampai pertengahan abad 20, metode kontrasepsi pria digunakan oleh 30% pasangan di

dunia. Diperkirakan 45 juta pria telah melakukan vasektomi dan menggunakan kondom.

Hal ini menunjukkan bahwa pria bersedia ikut terlibat dalam program kontrasepsi apabila

sudah terdapat metode kontrasepsi yang efektif. 3

Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak

diperhatikan. Kontrasepsi pria mempunyai harapan perkembangan yang cukup luas di

masa datang dengan ditemukannya berbagai hasil penelitian terbaru.4 World Health

Organization (WHO) sebagai Badan Kesehatan Dunia telah membentuk Task Force untuk

mencari dan mengembangkan pengaturan kesuburan pria.5

Oleh karena itu, perlu dikembangkan kontrasepsi laki-laki yang aman, efektif,

reversibel, dan dapat diterima masyarakat. Tiga metode kontrasepsi laki-laki yang telah

disosialisasikan adalah kondom, vasektomi, dan sanggama terputus, namun ketiganya

mempunyai keterbatasan dalam efektivitas, reversibilitas, dan penerimaan masyarakat. Oleh

sebab itu, perlu dilakukan suatu pengembangan metode kontrasepsi baru sebagai alternatif.

Secara garis besar cara kontrasepsi laki-laki dapat dibagi menjadi cara mekanis dan

medikamentosa.4

Kontrasepsi pria dengan cara pemberian hormon merupakan salah satu alternatif

yang banyak diteliti dengan sasaran utama adalah pengendalian proses spermatogenesis

3

melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis.6 Tujuan kontrasepsi hormonal adalah mengubah

lingkungan endokrin di dalam tubuh manusia sehingga kontrol hormonal untuk

spermatogenesis dapat dihambat. Spermatogenesis membutuhkan kerja stimulasi kedua

hormon gonadotropin yaitu luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone

(FSH). LH berperan menstimulasi sel Leydig memproduksi testosteron dan

mempertahankan konsentrasi testosteron agar tetap tinggi dalam testis. Selanjutnya fungsi

FSH masih kurang jelas, namun tampak menjadi penting untuk mempertahankan

spermatogenesis secara kualitatif.7 Oleh karena itu metode kontrasepsi hormonal pria dapat

berperan menurunkan jumlah sperma melalui penekanan sekresi gonadotropin yang

berakibat menurunkan testosteron testis dan menghambat spermatogenesis.8-9

Beberapa hormon yang dapat menekan produksi spermatozoa, antara lain analog

gonadotopine releasing hormone (GnRH), hormon-hormon steroid seperti androgen,

progestin, dan estrogen. Beberapa jenis androgen yang telah terbukti mampu menekan

spematogenesis adalah testosteron enantat (TE), 19-nortestosteron (nandrolon) dan

testosteron undekanoat (TU). Hormon testosteron dapat dikombinasikan dengan

progestogen agar pengaruhnya lebih efektif seperti depot medroksi progesteron asetat

(DMPA) dan norgestrel.2,10-12

Progestin (DMPA) merupakan esterifikasi progesteron yang dapat menekan sekresi

gonadotropin hipofisis yang menghambat produksi FSH dan LH, sehingga digunakan

sebagai kontrasepsi hormonal pada perempuan. Prinsip kerja DMPA ini juga digunakan

untuk menekan sekresi gonadotropin pada laki-laki sehingga akan menekan

spermatogenesis dan penggunaan progestin telah terbukti dapat menekan sekresi

gonadotropin (FSH dan LH) dan spermatogenesis sehingga dapat digunakan sebagai

kontrasepsi laki-laki.13 Progestin dapat menekan sekresi gonadotropin yang dikeluarkan

4

oleh hipofisis anterior. Pemberian progestin pada laki-laki normal akan menekan fungsi

testis secara efektif, menurunkan jumlah sperma, dan menekan libido serta potensi seks.14

Pengaruh senyawa progestagen pada spermatogenesis masih menjadi pertanyaan

para ahli. Di samping melalui efek hambatan sekresi gonadotropin, diduga derivat

progestagen bekerja antagonis dengan androgen.15 Dari hasil penelitian Ericson dan Dutt16

pada domba yang disuntik derivat progesteron asetat dilaporkan selain menyebabkan

terhentinya spermatogenesis juga menimbulkan atrofi pada sel-sel Leydig dan menurunkan

kadar fruktosa akibat hambatan sekresi gonadotropin.

Penggunaan DMPA sebagai kontrasepsi (terutama pada perempuan) dengan dosis

150 mg tiap 3 bulan (12 minggu) tidak menyebabkan infertilitas berkepanjangan

(reversible). Mekanisme kerja DMPA dalam menghambat ovulasi adalah melalui hambatan

sekresi gonadotropin (FSH dan LH).17 Adapun waktu efektif DMPA di dalam darah sekitar

12 minggu, oleh karena itu penyuntikan DMPA dilakukan setiap 6 minggu agar efektif

dalam menekan sekresi gonadotropin (FSH dan LH). Namun kelemahannya dapat

menurunkan testosteron intra-testikuler sehingga mempengaruhi libido.6

Pemberian DMPA secara tunggal juga efektif dalam menghambat spermatogenesis,

tetapi masalahnya adalah DMPA menghambat pula sekresi testosteron pada testis sehingga

kadarnya di dalam plasma menurun dan akibatnya libido dan potensi seks menjadi

terganggu. Hal inilah yang menyebabkan para ahli tertarik untuk mengkombinasikan

DMPA dengan androgen seperti TE. DMPA berperan dalam menghambat spermatogenesis

melalui penghambatan sekresi gonadotropin hipofisis, sedangkan TE berfungsi untuk

menggantikan testosteron endogen yang hilang akibat pengaruh DMPA dan akan

memperkuat penghambatan terhadap sekresi gonadotropin.18-19

Dari beberapa penelitian di atas diketahui bahwa pemberian DMPA mengakibatkan

penekanan testosteron sehingga menimbulkan gangguan pada spermatogenesis. Namun,

5

belum diketahui seberapa besar dosis minimal DMPA yang dapat menekan

spermatogenesis dan menurunkan konsentrasi, viabilitas spermatozoa dan kadar hormon

testosteron? Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mencari dosis minimal

DMPA yang berpengaruh terhadap konsentrasi dan viabilitas spermatozoa serta kadar

hormon testosteron dengan menggunakan tikus sebagai hewan model.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan dosis minimal DMPA dan pengaruhnya

terhadap konsentrasi, viabilitas spermatozoa dan kadar hormon testosteron tikus jantan

(Ratus norvegicus L.) galur Sprague-Dawley. Hasil penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat untuk menanggulangi masalah kesuburan laki-laki jika dikombinasikan

androgen alami (misalnya cabe jawa) sebagai kontrasepsi alternatif dimasa datang.

Metode

Bahan dan alat penelitian

Tikus jantan dewasa galur Sprague-Dawley yang sehat berumur 2 bulan dengan

berat badan 200-250 gram dan fertil, makanan dan minuman tikus, kandang, serbuk gergaji,

botol minuman, NaCl fisiologis, DMPA (depogeston 50 mg), kit hormon testosteron, kit

kimia darah, larutan George, akuabides, es serut, gelas ukur, therumo syringe 1 dan 5 mL,

improve Neubauer, alat bedah minor surgery 1 set, eppendorf tube 1,5 mL, falcon tube 15

mL, Finn pipet, tip kuning, tip biru, transfer pipet, timbangan badan tikus, refrigerator,

holder tikus, aeter, mikroskop, label, kalkulator, alat tulis, komputer, dan lain sebagainya.

Rancangan percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan unequal size

sample, 4 perlakuan terdiri atas kontrol (K = tikus kastrasi), perlakuan DMPA I (D I = 1,25

mg DMPA), perlakuan DMPA II (D II = 0,625 mg DMPA), dan perlakuan III (P III =

0,313 mg DMPA) dengan jumlah total ulangan 31 ekor tikus.20

Tabel 1. Rancangan Percobaan.

6

Ulangan Tikus

Kastrasi

Tikus Disuntik DMPA

DMPA I

(1,25 mg)

DMPA II

(0,625 mg)

DMPA III

(0,313 mg)

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Perlakuan hewan percobaan

Hewan perlakuan

Sebelum percobaan, tikus diaklimatisasi di dalam kandang hewan selama 15 hari,

diberi makan dan minuman standar. Setelah aklimatisasi, sebagian tikus dikastrasi (dikebiri)

dengan cara dibius terlebih dahulu dengan eter lalu dibedah dan dipotong sedikit bagian

ujung vas deferen untuk membuang testis tikus dan kemudian tikus dipulihkan sampai

sembuh (untuk perlakuan kastrasi), sedangkan untuk tikus yang lain tetap diaklimatisasi

sebelum disuntik dengan DMPA. Sebelum dimulai penyuntikan DMPA, tikus ditimbang

dan dilabel sebagai penanda agar tidak salah dalam memberikan perlakuan DMPA.

Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap minggu sampai minggu ke-18.

Cara dan dosis perlakuan

Tikus disuntik dengan DMPA sesuai dengan dosis perlakuan (D I = 1,25 mg

DMPA), perlakuan DMPA II (D II = 0,625 mg DMPA), dan perlakuan III (P III = 0,313

mg DMPA). Penyuntikan dilakukan pada paha kanan atau kiri tikus secara bergantian.

7

Penyuntikan dilakukan sebanyak 2 kali, penyuntikan pertama dilakukan pada minggu ke-0

dan penyuntikan ke-dua dilakukan pada minggu ke-12. Tujuan dilakukan penyuntikan

sebanyak 2 kali adalah agar DMPA efektif dalam menekan sekresi hormon gonadotropin

(hormon FSH dan LH). Kemudian tikus tetap dipelihara dan dirawat sampai minggu ke-18

untuk dipreparasi.

Pengambilan data

Setelah 6 minggu pasca penyuntikan DMPA ke-2, tikus dibius dengan eter,

dipreparasi, dan dibedah untuk pengambilan data. Sperma di vas deferen kanan dan kiri

tikus dikeluarkan dan ditampung semennya di atas cawan Petri, kemudian dihitung

konsentrasi spermatozoanya. Untuk pengambilan darah dilakukan dengan menggunakan

spuit terumo syringe 5 ml pada vena jugularis. Darah yang didapatkan kemudian dipisah

menjadi 2 bagian. Sebagian disentrifus untuk isolasi serum darah untuk pengukuran kadar

hormon testosteron dan sebagian lagi untuk pemeriksaan kimia darah. Pengukuran kadar

hormon dilakukan dengan teknik radioimmuno assay (RIA).

Adapun parameter yang diamati antara lain konsentrasi spermatozoa vas deferen,

viabilitas spermatozoa vas deferen, dan kadar hormon testosteron.

Analisis data

Data yang diperoleh dari setiap parameter dievaluasi dengan menggunakan analisis

statistik berupa:

1. Uji normalitas Saphiro-Wilk dan uji homogenitas varians Barlett.

2. Data yang berdistribusi normal dan homogen, dilakukan uji Analysis Of Variance

(ANOVA). Jika terdapat perbedaan bermakna dilanjutkan dengan uji beda rata-rata.

Data yang tidak berdistribusi normal dan homogen dilakukan transformasi (x=y),

setelah dianalisis kembali ternyata data tetap tidak normal dan tidak homogen, maka

dilakukan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney.21-23

8

Konsentrasi Spermatozoa Vas Deferen

0

5.65

10.0611.16

02468

10121416

K DMPA I DMPA II DMPA III

Kelompok Perlakuan

Juta

/mL

Hasil

Konsentrasi spermatozoa vas deferen

Dari hasil penghitungan data konsentrasi spermatozoa vas deferen setelah dilakukan

uji normalitas dan homogenitas varians menunjukkan bahwa data konsentrasi spermatozoa

vas deferen (Gambar 1) tidak berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen.

Selanjutnya data konsentrasi spermatozoa vas deferen ditransformasikan dengan X=√y.

Gambar 1: Rata-Rata Konsentrasi Spermatoza Vas Deferen Pada Minggu Ke-18 Setelah

Penyuntikan Berbagai Dosis DMPA. Keterangan : Kastrasi : rerata=0. SD=0.

SE=0; DMPA I: rerata=5,65. SD=7,27. SE=0,81; DMPA II: rerata= 10,06.

SD=10,04. SE=1,67; DMPA III: rerata=11,16. SD=7,48. SE=0,93.

Dari uji normalitas terhadap data konsentrasi spermatozoa vas deferen yang telah

ditransformasi menunjukkan bahwa data konsentrasi spermatozoa vas deferen tetap tidak

berdistribusi normal. Untuk itu dilakukan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney.

Didapatkan bahwa konsentrasi spermatozoa vas deferen kelompok kastrasi berbeda

bermakna dibanding kelompok DMPA I (p=0,001). Untuk kelompok kastrasi dibanding

9

DMPA II dan III, berturut-turut menunjukkan p=0,003 dan p<0,001. Selanjutnya untuk

perbandingan kelompok DMPA I dan DMPA II didapatkan p=0,595. Kelompok DMPA I

dibanding DMPA III menunjukkan p=0,083, sedangkan kelompok DMPA II dibanding

DMPA III menunjukkan p=0,747.

Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa pada perlakuan penyuntikan DMPA,

konsentrasi spermatoza vas deferen kelompok penyuntikan DMPA secara bermakna masih

lebih tinggi dibanding kelompok kastrasi. Namun, tidak ditemukan perbedaan yang

bermakna antara ketiga kelompok dosis perlakuan penyuntikan DMPA.

Viabilitas spermatozoa vas deferen

Dari hasil penghitungan data viabilitas spermatozoa vas deferen setelah dilakukan

uji normalitas dan homogenitas varians menunjukkan bahwa data viabilitas spermatozoa

vas deferen (Gambar 2) tidak berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen.

Selanjutnya data viabilitas spermatozoa vas deferen ditransformasikan dengan X=√y.

Dari uji normalitas terhadap data viabilitas spermatozoa vas deferen yang telah

ditransformasi menunjukkan bahwa data viabilitas spermatozoa vas deferen tetap tidak

berdistribusi normal. Untuk itu perlu dilakukan uji statistik non-parametrik Mann-Whitney.

Didapatkan bahwa viabilitas spermatozoa vas deferen kelompok DMPA I lebih

baikdibandingkan kelompok Kastrasi (p=0,001). Perbandingan kelompok Kastrasi dngan

DMPA II dan III berturut-turut menunjukkan p=0,003 dan p=0,0<0,05. Selanjutnya untuk

perbandingan kelompok DMPA I dengan DMPA II didapatkan p=0,596. Demikian pula

untuk kelompok DMPA I dibanding DMPA III (p=0,083), dan kelompok DMPA II

dibanding DMPA III (p=0,747).

10

Viabilitas Spermatozoa Vas Deferen

0

32.78 30.25

48.00

010203040506070

K DMPA I DMPA II DMPA III

Kelompok Perlakuan

Pers

enta

se (%

)

Gambar 2: Rata-Rata Viabilitas Spermatozoa Vas Deferen Tikus Pada Minggu Ke 18

Setelah Penyuntikan Berbagai Dosis DMPA. Keterangan : Kastrasi : rerata=0.

SD=0. SE=0; DMPA I: rerata=32,78. SD=26,60. SE=2,96; DMPA II: rerata=

30,25. SD=24,66. SE=4,11; DMPA III: rerata=48,00. SD=7,52. SE=0,94.

Dengan demikian viabilitas spermatozoa vas deferen pada kelompok yang disuntik

DMPA masih lebih tinggi dibanding kelompok kastrasi. Namun, tidak didapatkan

perbedaan bermakna rata-rata viabilitas spermatozoa spermatozoa vas deferen pada pada

kelompok perlakuan penyuntikan DMPA I (32,8 %), DMPA II (30,3 %) maupun DMPA

III (48,0 %).

Kadar hormon testosteron

Dari hasil penghitungan data kadar hormon testosteron setelah dilakukan uji

normalitas dan homogenitas varians menunjukkan bahwa data kadar hormon testosteron

(Gambar 3) tidak berdistribusi normal dan tidak bervarians homogen. Selanjutnya data

kadar hormon testosteron ditransformasikan dengan X=√y. Dari uji normalitas terhadap

data kadar hormon testosteron yang telah ditransformasi menunjukkan bahwa data kadar

11

eva, 06/14/08,
Telah diperbaiki dan diganti dengan dengan grafik baru.

Kadar Hormon Testosteron

0.2

1.08

2.52 2.36

00.5

11.5

22.5

33.5

K DMPA I DMPA II DMPA III

Kelompok perlakuan

ng/m

L

Gambar 3: Rata-Rata Kadar Hormon Testosterion Tikus Pada Minggu Ke 18 Setelah

Penyuntikan Berbagai Dosis DMPA. Keterangan : Kastrasi : rerata=0.2

SD=0. SE=0; DMPA I: rerata=1,08. SD=1,77. SE=0,20; DMPA II: rerata=

2,52. SD=2,55. SE=0,43; DMPA III: rerata=2,36. SD=2,52. SE=0,32.

hormon testosteron tetap tidak berdistribusi normal. Dari uji non parametrik Mann-Whitney

didapatkan bahwa DMPA I secara bermakna lebih tinggi dibanding kelompok kastrasi

(p=0,017). Untuk kelompok kastrasi dibanding DMPA II dan III berturut-turut p=0,003

dan p=0,004. Selanjutnya untuk perbandingan antara kelompok DMPA I dengan DMPA II

didapatkan p=0,118; untuk kelompok DMPA I dibanding DMPA III p=0,324; dan

kelompok DMPA II dibanding DMPA III p=0,604.

Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa kadar hormon testosteron setelah disuntik

DMPA masih lebih tinggi dibandingkan kelompok kastrasi dan tidak ditemukan perbedaan

yang bermakna antara ketiga kelompok perlakuan DMPA.

Diskusi

Setelah pemberian DMPA, konsentrasi dan viabilitas spermatozoa vas deferen

masih lebih tinggi secara bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan kelompok tikus kastrasi

12

dengan. Penyuntikan DMPA dosis 1,25 miligram dapat lebih menurunkan konsentrasi

spermatozoa dibanding perlakuan DMPA dosis lebih rendah. Juga didapatkan perbedaan

viabilitas spermatozoa vas deferen yang bermakna (p<0,05) antara kelompok tikus kastrasi

dengan kelompok penyuntikan DMPA. Namun antara perlakuan DMPA I dan DMPA II

memperlihatkan rata-rata yang hampir sama. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa

penyuntikan berbagai dosis DMPA selama 18 minggu belum dapat menekan

spermatogenesis secara bermakna. Dosis 1,25 miligram merupakan dosis yang optimal

dalam penekanan spermatogenesis walaupun secara statistik tidak didapatkan perbedaan

bermakna dengan kelompok dosis yang lebih rendah.

Dari penelitian Yurnadi et al.24 pada tikus strain Sprague-Dawley tanpa perlakuan

didapatkan hasil konsentrasi spermatozoa vas deferen adalah 94,7 juta/mililiter dan

viabilitas spermatozoa vas deferen adalah 53,8%, sedangkan pada tikus yang disuntik

DMPA I didapatkan konsentrasi spermatozoa vas deferen adalah 5,65 juta/mililiter dan

viabilitas spermatozoa vas deferen adalah 32,8%. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil

penelitian ini tetap lebih rendah dibanding tikus tanpa perlakuan.

Terjadinya penurunan konsentrasi spermatozoa vas deferen diduga dipicu oleh

pengaruh DMPA yang dapat menekan gonadotropin seperti FSH dan LH, sehingga

berimplikasi terhadap penekanan spermatogenesis yang bermanifestasi dalam bentuk

penurunan konsentrasi spermatozoa dan viabilitas spermatozoa pada vas deferen. Menurut

Henzl,13 penggunaan progestin (misalnya DMPA) untuk kontrasepsi laki-laki telah terbukti

dapat menekan sekresi gonadotropin (FSH dan LH) dan penekanan spermatogenesis.

Selanjutnya Paulsen 14 menambahkan, progestin dapat menekan sekresi gonadotropin yang

dikeluarkan oleh hipofisis anterior. Jika progestin diberikan pada laki-laki normal, fungsi

testis akan ditekan secara efektif, jumlah sperma menurun, dan akan menekan libido serta

potensi seks. Selanjutnya Alvares-Sanchez et al.18 dan Frick.19 mengemukakan bahwa

13

DMPA berperan dalam menghambat spermatogenesis melalui penghambatan sekresi

gonadotropin hipofisis. Kadar testosteron di bawah normal akibat penekanan sekresi LH

dan FSH dapat menyebabkan defisiensi testosteron intra-tubulus seminiferus, sehingga

terjadi hambatan spermatogenesis dalam bentuk azoospermia atau oligozoospermia.25-26

Berdasarkan penghitungan data kadar hormon testosteron diketahui bahwa

penyuntikan berbagai dosis DMPA selama 18 minggu belum dapat menekan kadar homon

testosteron secara bermakna antara kelompok tikus yang disuntik DMPA dibanding dengan

kelompok kastrasi. Namun demikian, pemberian DMPA dengan dosis 1,25 miligram

menimbulkan penekanan yang lebih optimal dibandingkan dosis yang lebih rendah.

Terjadinya penurunan kadar homon testosteron diduga dipicu oleh pengaruh DMPA

yang dapat menekan hormon FSH dan LH, sehingga berimplikasi terhadap penekanan

fungsi testis dalam memproduksi testosteron. Menurut Paulsen,14 progestin dapat menekan

sekresi gonadotropin yang dikeluarkan oleh hipofisis anterior. Hormon LH bekerja

menginduksi sel Leydig untuk memproduksi testosteron, sedangkan FSH diperlukan untuk

mengontrol fungsi sel Sertoli guna memproduksi zat-zat makanan yang diperlukan untuk

perkembangan normal sel-sel germinal selama proses spermatogenesis. Baik FSH, LH,

maupun testosteron ketiganya diperlukan untuk mempertahankan dan memelihara

spermatogenesis.27 Selama proses spermatogenesis, hormon FSH dan testosteron intra-

testikuler yang secara sinergis diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel-sel germinal

sampai terbentuk spermatozoa yang fungsional. Menurut Reddy 28 bahwa spermatogenesis

merupakan proses pembentukan spermatozoa yang dimulai dari spermatogonia,

spermatosit, spermatid dan spermatozoa. Pada perkembangan sel germinal ini dibutuhkan

beberapa hormon penunjang di antaranya testosteron dan hormon gonadotropin (LH dan

FSH). 

14

Selain itu, terutama testosteron intra-testikuler diperlukan untuk pembelahan reduksi

serta pematangan spermatozoa baik selama berada dalam tubulus seminiferus atau di dalam

epididimis.29 Bila terjadi hambatan biosintesis, sekresi dan transportasi hormon tersebut,

misalnya oleh karena pemberian kombinasi TE + DMPA, maka yang mungkin terjadi

adalah menurunnya jumlah dan kualitas spermatozoa.10 Selanjutnya Sutyarso6

menambahkan bahwa, waktu efektif DMPA dalam menekan sekresi FSH dan LH di dalam

darah adalah sekitar 12 minggu sehingga dengan durasi DMPA selama 12 minggu tersebut

dapat mengakibatkan menurunnya testosteron intra-testikuler dan mempengaruhi libido.

Terjadi penurunan kadar hormon testosteron total setelah minggu ke 18 merupakan

akibat pengaruh dari penyuntikan DMPA yang diduga menganggu sel-sel Leydig sebagai

sel-sel intertisial pada tubulus seminiferus testis yang berfungsi dalam memproduksi

hormon terstosteron. Dari penelitian Yurnadi et al.24 didapatkan bahwa konsentrasi hormon

testosteron pada tikus strain Sprague-Dawley tanpa perlakuan adalah 2,255 ng/mL,

sedangkan pada penelitian ini didapatkan kadar hormon testosteron tikus yang disuntik

DMPA I adalah 1,08 ng/mL. Hasil penelitian ini tetap lebih rendah dibanding tikus tanpa

perlakuan (1,08 ng/mL<2,25 ng/mL). Selanjutnya dari penelitian Abbaticchio et al.30 pada

berbagai kasus infertilitas pada laki-laki, diketahui bahwa meningkatnya kadar 17--OH-

progesteron menyebabkan terjadinya desensitisasi enzim 17-20 desmolase sel Leydig,

sehingga menyebabkan produksi atau sekresi testosteron endogen atau testosteron intra-

testikuler menurun.

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan tentang penentuan dosis minimal depot medroksi

progesteron asetat dan pengaruhnya terhadap konsentrasi, viabilitas spermatozoa dan kadar

hormon testosteron tikus jantan galur Sprague-Dawley dapat disimpulkan bahwa :

Kelompok yang diberikan DMPA dosis 1,25 mg menunjukkan konsentrasi dan viabilitas

15

eva, 06/11/08,
Penulis harus menjelaskan mengapa dalam penelitian ini penekanan spermatogenesis tidak sempurna?

spermatozoa serta kadar hormon testosteron yang terendah dibandingkan kelompok yang

diberi dosis 0,625 mg atau 0,313 mg, akan tetapi perbedaan ini secara statistik tidak

berbeda bermakna.

Saran

Dari penelitian ini diketahui bahwa penyuntikan pada berbagai dosis DMPA dapat

menurunkan fertilitas dan berpengaruh positif terhadap penurunan konsentrasi spermatozoa,

viabilitas spermatozoa, kadar hormon testosteron. Namun perlu diteliti lebih lanjut untuk

mendapatkan berapa dosis yang paling tepat di antara pemberian DMPA dosis 1,25

miligram dan 0,625 miligram yang dapat menekan spermatogenesis dengan menggunakan

tikus disuntik DMPA yang dibandingkan dengan tikus tanpa kastrasi (kontrol tanpa

perlakuan).

Ucapan Terimakasih

Pada kesempatan ini para peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P2M) Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi (Dirjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasioanal (Depdiknas) sebagai penyandang

dana penelitian yang bekerjasama dengan Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat

Universitas Indonesia (DRPM-UI) melalui nomor kontrak 276T/DRPM-UI/N1.4/2007 yang

telah memfasilitasi sehingga penelitian ini dapat berjalan dan berlangsung dengan lancar.

Daftar Pustaka

1. Pusat Informasi Keluarga Sejahtear (PIKAS) – Badan Koordinasi Keluarga Berencana

Nasional (BKKBN). Komitmen Program KB Jangka Panjang. Jakarta 2003.

2. Asmarinah & Moeloek N. Testosteron sebagai alternatif pengembangan metode

kontrasepsi laki-laki. Maj Kedok Indon 1997; 47 (3): 119-24.

16

3. Hair WM & Wu FCW. Male contraception: Prospect for the new millennium. As. J.

Androl 2000; 2: 3-12.

4. Moeloek N. Kontrasepsi laki-laki: Masa kini dan masa akan datang. Medika 1990; 16

(2): 294-9.

5. Vidyawati V & Moeloek N. Keampuhan kontrasepsi testosteron menyebabkan

azoospermia dan oligozoospermia pada pria subur. Maj. Kedok. Indon 2000; 385-388.

6. Sutyarso. Pengaruh pemberian pakan berkadar protein, lemak, dan karbohidrat berbeda

terhadap timbulnya azoospermia pada monyet jantan (Macaca fascicularis L.) yang

disuntik kombinasi testosteron enantat (TE) dan depot medroksi progesteron asetat

(DMPA). Disertasi Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta. 1997: 1-3.

7. Pasqualotto FF, Lucon Am, Pasqualotto EB, Arap S. Trends in mlae contraception. Rev.

Hosp. Clin. Fac. Med. Sau Paulo 2003; 58 (5): 275-283.

8. Bebb RA. Combined administration of levonogestrel and testosteron induces more rapid

and efective suppression of spermatogenesis than testosteron alone: A promising male

contraception approach. Clin Endocrin 1996; 81: 757-62.

9. Handelsman DJ, Conway AJ, Howe CJ, Turner L, Mackey MA. Establishing the

minimum effective dose and additive effects of depot progestin in suppression of human

spermatogenesis by a testosterone depot. J. Clin. Endocrinol. Metab 1996; 81 (11):

4113-412.

10. Moeloek N. Beberapa Perkembangan Mutakhir Di Bidang Andrologi. Maj Kedok Indon

1990; 445-53.

11. Sutyarso & Moeloek N. Kombinasi progestogen dengan androgen untuk kontrasepsi

hormonal laki-laki. Maj Kes Masy Indon 1995; 11: 737-40.

12. McLachlan RI, O’Donnell L, Stanton PG, Balourdos G, Frydenberg M et al. Effects of

testosterone plus medroxyprogesterone acetate on semen quality, reproductive

17

hormones, and germ cell populations in normal young men. J. Clin. Endocrinol. Metab

2002; 87 (20); 546-556.

13. Henzl MR. Contraceptive hormones and their clinical use. Dalam: Reproductive

endocrinology, (Yen SSC dan Jaffe RB, 1986. WB. Saunders Company Philadelphia,

hal. 177-236).

14. Paulsen CA. Dalam Moeloek. Kontrasepsi laki-laki : Masa kini dan masa akan datang.

Medika 1990 ; 16 (2) : 294-9.

15. Steinberger E. Hormonal control of mammalian spermatogenesis. Physiol Rev 1971:

51: 1-22.

16. Ericson RJ & Dutt RH. Progesterone 6-alpha-methyl-17-OH-progesterone acetate as

inhibitors of spermatogenesis and accessory gland function in the ram. Endocrinology

1965; 77:203-8.

17. Kipersztok S. The new progestins. Infer Reprod Med Clin Nort Am 1995; 6:61-75.

18. Alvarez-Sanchez F, Faudes A, Brache V, and Leon P. Attainment and maintenance of

azoospermia with combined monthly of depotmedroxyprogesterone acetate and T-

enanthate. Contraception 1977 ; 15 : 635-48.

19. Frick J, Danner CH, Kunit G, Joos H, Kohle H. Spermatogenesis in men treated

combined with testosterone enanthate. Int. J. Androl 1982, 5:246-52.

20. Federer WY. Experimental Design. Theory and application, Mac Millan New York.

1963.

21. Meddish R. Statistic Handbook For Non-Statistician. Mc Graw-Hill Book Company

(UK) Limited, London, 1975.

22. Nazir M. Metode Penelitian. Edisi ke-3. Ghalia Indonesia Jakarta. 1988.

23. Stell RGD & Torrie JH. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Edisi 3. PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta 1993.

18

24. Yurnadi, Pujianto DA, Sari P, Eldafira, Idris R, Tjokronegoro A. Pengaruh pemberian

kombinasi muira puama (Ptychopetalum uncinatum L.), damiana (Turnera

aphrodisiaca L.), dan siberian ginseng (Eleuntherococcus senticosus L.) (Tripote)

terhadap kualitas, kuantitas spermatozoa vas deferen, kadar hormon testosteron, dan

populasi sel-sel spermatogenik testis tikus (Rattus norvegicus L.) strain Sprague-

Dawley. Majalah Andrologi Indonesia 2002(1): 17-34.

25. Knuth UA, Yeung CH, Nieschlag E. Combination of 19NTHPP and DMPA for male

contraception. Fertil steril 1989;51:1011-18.

26. Winter SJ & Marshal GR. Editorial. Hormonaly-based male contraceptives: will they

ever be reality? J. Clin. Ebdocrin. Metab. 1991;73:464A-464B.

27. Wu FCW. Male contraception:Current status and future prospect. Clin. Endocrin. 1988;

29:11:1111-7.

28. Reddy PRK. Hormonal contraception for human males: prospects. As. J. Androl 2000

Mar; 2: 46-50.

29. Weinbauer WF. & E. Nieschlag. The role of testosterone in spermatogenesis. In:

Nieschlag E and Behre HM (Ed.) Testosterone: ASction deficiency substitution. Spring-

Verlag. Berlin 1990:23-50.

30. Abbaticchio G, Nacucchi O, Giagulli VA, Brescia F, and Giorgino R. Exploration of

testes in infertil men. Relationship among serum levels of FSH, LH,17-OH- testosterone

and progesterone. Andrologia 1990; 22: 231-237.

19