Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN...
-
Upload
hasani-ahmad-said -
Category
Education
-
view
97 -
download
22
Transcript of Hasani Ahmad S, Corak pemikiran kalam tafsir fath al-qadir al-syaukani, TESIS SPs UIN JAKARTA TAHUN...
CORAK PEMIKIR AN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN
AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM
Tesis Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.
Oleh Hasani
NIM: O5.2.00.1.05.01.0011
KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H./2007 M.
Abstraksi Tesis
CORAK PEMIKIRAN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR: TELAAH PEMIKIRAN AL-
SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM
Tesis Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.
Oleh Hasani
NIM: O5.2.00.1.05.01.0011
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. H. Salman Harun
KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H./2007 M.
CORAK PEMIKIRAN KALÂM TAFSÎR FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN
AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM
Tesis Diajukan kepada Sekolah Pasca Sarjana
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperolah Gelar M.A.
Oleh Hasani
NIM: O5.2.00.1.05.01.0011
Pembimbing,
Prof. Dr. H. Salman Harun
KONSENTRASI TAFSIR HADITS SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1428 H./2007 M.
1
CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR:
TELAAH PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM
A. Latar Belakang Masalah
Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1. Al-
Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1: 2), penyembuh
penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela terhadap kitab dan
syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang kekal, sebagai pelita
yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang yang berkata
berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang mengamalkannya akan
mendapat pahala; orang yang menghakimi dengannya adalah adil; dan siapa
yang mengajak orang lain untuk mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan
yang lurus.2
Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena
itu, al-Qur’an dan Hadis perlu ditafsirkan.
Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an, Muhammad Husain al-
Dzahabi membagi sejarah tafsir kedalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:
1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua
perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442
2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h.1-2
2
Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat,
kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase
perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi),
yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa
hidup al-Dzahabi).3
Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa
menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang samar-
samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,
sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.4 Sikap
Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan
kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).
Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama
dan utama.
Menurut Mustafa al-Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-
Qur’an meggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah
(perbuatan).5 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah
menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak
3 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000), cet. Ke 7, h. 13-14. 4 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:
Rajawali Press, 1994), h. 2. 5 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,
t.th.), juz 1, h. 5.
3
sampai kepada kita. 6 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir
sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.
Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:
1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;7
2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;8
3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan
pengetahuan yang mereka miliki;9
4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahl al-kitab yang telah masuk
Islam tentang masalah tertentu;10 dan
5. Bertumpu pada syair-syair.11
Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka adalah
murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan Irak.12
Dan ketiga adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan
dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir
pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwînan
(kodifikasi) hadis Rasulullah Saw.
6 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-
Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35. 7 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 37-44 8 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 35-46 9 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 57-58 10 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 61-62. 11 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 74-76. 12 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 92.
4
Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah
berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam
Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya.13
Di sini, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an benar-benar sudah
tidak dapat dielakkan lagi. Sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam
penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, berkembanglah manhâj
(pendekatan) tafsir dari manhaj atsari ke manhaj ra’yi, dan berkembang pula
tarîqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra
kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak tasawuf, corak
sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).14
Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa al-
Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang,
secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-
‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak
madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi
atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak
ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan
menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun
13 M. H. Tabâtabâ‘î, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan
Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 63. 14 Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf,
Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. xxxiii-xxxiv
5
al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan
berpijak pada realitas sosial.15
Untuk mengetahui lebih jauh tentang tafsir Fath al-Qadîr karya Imam
al-Syaukânî, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dengan fokus kajian
masalah pemikiran kalam. Ilmu kalam, sebagaimana didefinisikan oleh al-Ijli,
adalah ilmu yang memberi kemampuan untuk membuktikan kebenaran
akidah (Islam) dengan mengajukan hujjah guna melenyapkan keragu-
raguan.16 Dalam kaitan ini, ilmu kalam disamping membahas soal-soal
kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu soal mukmin dan muslim,
soal orang yang tidak percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan
musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan
penciptanya, soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka. 17
Ibnu Khaldun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebagai ilmu
yang mengandung argumentasi rasional yang membela akidah-akidah
imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam
akidah-akidahnya menyimpang dari madzhab Salaf dan ahl al-Sunnah.18
Lain lagi dengan al-Ghazâlî yang dikutip oleh Mustafa ‘Abd al-Razik,
menurut al-Ghazali ilmu kalam bertujuan menjaga akidah ahl al-Sunnah dari
bisikan ahl al-bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan akidah
15 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 15 16 Lihat Mustafa Ábd al-Raziq, tamhîd li Tarîkh al-Falsafah al-islâmiyyah, (Kairo:
1959), h. 261 17 Lihat Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1983), h. 30 18 Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981),
jilid 1, h. 580
6
yang benar kepada hamba-Nya melalui risalah Rasul-Nya yang mengandung
kebaikan bagi agama dan dunia mereka. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa
ilmu kalam membahas ma’rifat al-Qur’an beserta kabar berita lainnya.19
Muhammad ‘Abduh yang lebih suka menyebutnya ilmu tauhid
memberi batasan bahwa ilmu kalam/tauhid adalah sebagai ilmu yang
membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib ditiadakan dari-Nya. Menurut
‘Abduh, ilmu tauhid juga membahas tentang Rasul-Rasul untuk membuktikan
kebenaran kerasulan mereka, apa yang wajib bagi mereka, apa yang boleh
dan tidak boleh dinisbahkan kepada mereka.20
‘Abd al-Mun‘im mengatakan, bahwa ilmu kalam mencakup akidah
imaniah dengan mengunakan argumentasi rasional. Ilmu itu muncul untuk
membela agama Islam dan menolak akidah-akidah yang masuk dari agama
lain. Ilmu itu disebut ilmu kalam karena masalah penting yang dibicarakan di
dalamnya adalah mengenai kalam Allah, yaitu al-Qur’an. Ilmu kalam
menyangkut persoalan akidah yang mendalam, seperti tauhid, hari akhirat,
hakikat sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar, hakikat kenabian dan penciptaan
al-Qur’an.21
Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah
min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-
19 Mustafa ‘Abd al-Razik, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah
Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959), h. 261. 20 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H), h. 7. 21 ‘Abd al-Mun‘im, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, (Mesir:
Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1978), h. 180.
7
Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab
dalam hal ini adalah madzhab syiah zaidiyah.22
Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih
13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah,23 dan 1 kitab tafsir tentang
Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr.24 Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6
kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih.25 Salah satu dari sekian
banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî26 dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.
Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling
pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah
orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah
disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari
keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan
tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah
yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam
dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari
sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan
22 Tafsir Fath al-Qadîr digolongkan oleh al-Dzahabî masuk dalam kategori tafsir yang
bercorak madzhab Syiah Zaidiyah. Lebih lanjut bisa dilihat dalam al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 240-260.
23 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 34-35 24 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 249. 25 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 385, 389, 393, 401, 407, dan
411. 26 Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad bin Abdullah
al-Syaukânî al-San’anî. Beliau lahir di desa Hijrah Syaukân, Yaman, pada hari Senin tanggal 28 Dzul Qa‘dah tahun 1172 H. dan meninggal dunia pada hari selasa tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1259 H. dalam usia sekitar 78 tahun. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8
8
Utsman bin ‘Affan27, yang paling dekat dengan jamaah Islam (Suni-
Asy’ariyah) yang paling moderat, karena tidak mengangkat para imam ke
derajat kenabian.
Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling
utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para
sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan
mengakui kepemimpinan meraka.28 Di antara ajaran sekte ini juga adalah
Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin Abi Talib lebih afdal dari pada
Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah
tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan
Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib,
sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm
Mafdûl.29
Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang
lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam
tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal
27 Lihat, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-
Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155
28 Tokoh aliran Syiah Zaidiyah adalah Zaid ibn ‘Ali ibn Husain. Ia menyatakan perang terhadap khalifah Hisyam ibn ‘Abdul Mâlik, dan akhirnya ia disalib di Kuffah. Penganut aliran Zaidiyah percaya bahwa orang melakukan dosa akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertobat dengan sebenarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazilah. Ini disebabkan salah seorang tokoh Mu‘tazilah, Washil bin ’Atha’ mempunyai hubungan dengan Zaid. Oleh karena itu, secara umum paham Syiah dalam akidah sesuai dengan paham Mu’tazilah, tidak sesuai denagan paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 65 dan 68
29 Lihat, Ahmad Syarasytânî, al-Milâl wa al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Juz I, h. 154
9
abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al-
Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr
adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al-
Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang
ulama yang terkenal di Yaman.30
Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah
mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih
relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota
San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan,
sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup.31 Lalu, pada usia
kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri
dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya.32
Pada tesis ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir al-Syaukânî
yakni tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min
‘Ilm al-Tafsîr kajian terhadap corak kalamnya. Kitab tafsir yang
diperbincangkan disini terdiri dari lima jilid, terbitan Dâr al-Hadis, Kairo-
Mesir, tahun 2007.
Ada beberapa alasan yang bisa dimunculkan mengapa tafsir Fath al-
Qadîr dan kenapa pula penulis mengangkat corak kalam? Pertama, al-
Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara
30 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-
Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215 31 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub al-
Haditsah, t.th.), h. 30-33. 32 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub al-
Haditsah, t.th.), h. 30-33.
10
metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang
menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-
Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode
dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam
menganalisa ayat-ayat al-Qur’an.33
Alasan kedua ialah, al-Imâm al-Syaukânî adalah seorang ulama Syi’ah
Zaidiyah. Sekte ini disebut dengan Syi’ah Zaidiyah karena pengikut sekte ini
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang ditimbulkan oleh al-Imâm Zaid
ibn ‘Ali ibn al-Husain RA.34 Madzhab Zaidiyah berasal dari Zaid ibn ‘Ali
Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali Alaih al-Salam ibn Abi Talib (80-122 H.).
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik dan memandang perlu
melakukan penelitian tentang Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath Al-Qadîr:
Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî Dalam Teologi Islam.
B. Permasalahan
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal
adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak
rasional35 serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional36.
33 Lihat, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir:
Maktabah Wahbah, 1985), Juz I, h. 152. 34 Mustafa al-Ghurâbi, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda al-
Muslimin, (Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt.), h. 289, lihat pula, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M./1421 H.), Juz 3, h. 6.
35 Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-
11
Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada
corak pemikiran kalam apa sebenarnya yang dipakai al-Syaukânî dalam tafsir
Fath al-Qadîr itu? Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam tafsir
Fath al-Qadîr bercorak rasional atau tradisional? Atau bahkan bukan kedua-
duanya, akan tetapi merupakan campuran dari keduanya?
Dengan demikian, masalah yang akan diteliti terfokus kepada
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-
masalah kalam dalam tafsir Fath al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang
dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu pada buku yang ditulis oleh
Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
Analisi Perbandingan. Sistematika ini dipakai karena dipandang mampu
menampung masalah-masalah yang terdapat dalam problem kalam itu
sendiri.
Di samping itu, sistematika tersebut bertitik tolak dari sudut pandang
yang tidak terikat pada salah satu aliran kalam tertentu sehingga
memungkinkan adanya kelonggaran dalam menerapkan sistematika tersebut
dalam tafsir Tafh al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang penulis ambil
Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Lihat, Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.
36 Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara. Lihat, Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.
12
adalah a.) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b.) Keadilan Tuhan, c.)
Perbuatan-perbuatan Tuhan, d.) dan Sifat Tuhan.
1. Identifikasi Masalah
Penelitian yang diberi judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-
Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî dalam Teologi Islam” bermula dari
keinginan untuk memperoleh jawaban secara konseptual mengenai
pemikiran-pemikiran al-Syaukânî terutama berkaitan dengan ilmu-ilmu
kalam. Dalam tesis ini sebagai sampel, penulis akan membahas tentang tafsr
Fath Al-Qadîr mengenai ayat-ayat kalam sebagai topik sentral dan masalah-
masalah penting lainnya sebagai pelengkap pembahasan ini.
Dari asumsi-asumsi yang muncul di atas, maka muncul pula sederetan
masalah dalam identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut?
1. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran al-Syaukânî
terhadap ayat-ayat kalam?
2. Bagaiman corak kalam pemikiran al-Syaukânî dalam Tafsir Fath
al-Qadîr?
3. Apakah penafsiran-penafsiran dalam tafsir Fath al-Qadîr bercorak
rasioanal seperti corak pemikiran kalam Mu’tazilah dan
Maturidiyah Samarkand, ataukah bercorak tradisioanl seperti corak
pemikiran kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukahra, atau
merupakan campuran keduanya?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya ayat-ayat kalam dan luasnya ruang lingkup
pembahasannya, maka dalam tesis ini akan dibatasi pada masalah-masalah
13
kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-
perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan.
3. Perumusan Masalah
al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada
Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah,
Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.37 Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan pokok, yakni:
corak pemikiran kalam apa yang digunakan al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-
Qadîr?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Dimensi kalam dalam pemikiran al-Syaukânî ini dipilih, karena
sepengetahuan penulis belum ada yang mengangkat tema al-Syaukâni dalam
bidang kalam, padahal beliau dikenal sebagai tokoh Syi’ah Zaidiyah yang
lebih cenderung kepada Salaf (Asy’ariyah) dan al-Syaukânî memiliki karya
tafsir sebagai representasi dari pemikirannya.
Kajian tentang pemikiran al-Syaukânî secara utuh masih tergolong
sedikit dilakukan oleh para cendekiawan Muslim ataupun non Muslim.
Sepanjang pengetahuan penulis dengan merujuk kepada informasi penelitian
yang dilakuakan oleh Dr. Nasrun Rusli, kajian secara utuh dan serius tentang
pemikiran al-Syaukânî hanya baru dilakukan oleh sarjana Mesir. Yakni
Ibrâhîm Ibrâhîm Hilâl melalui tesis Magisternya di fakultas Dâr al-‘Ulûm
37 Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000 M./1421 H.), Juz 3, h. 6, lihat pula, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1959, h. 96.
14
Universitas Kairo, yang berjudul Walâyah Allah wa al-Tharîq Ilaihâ. Tesis
tersebut khusus membahas tentang pandangan kesufian al-Syaukânî,
terutama yang menyangkut wali Allah. Kajian kesufian yang dibimbing oleh
Mahmûd Qâsim, pakar falsafah Islam tersebut memusatkan kajian pada karya
al-Syaukânî yakni al-Qatr al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî. Di dalam karya al-Qatr
al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî tersebut dilampirkan pula karya al-Syaukânî yang
menjadi sumber kajian tersebut setebal 315 halaman, melebihi tebal
pembahasan Hilâl, yang hanya setebal 200 halaman.
Setelah itu, Hilâl juga melihat bagaimana pandangan al-Syaukânî
tentang ijtihad dan taqlid, yang dituangkan dalam satu karya ringkas berjudul:
al-Imâm al-Syaukânî wa al-Ijtihâd wa al-Taqlîd. Seperti karya terdahulu, Hilâl
juga melampirkan karya al-Syaukânî yang menjadi sumber kajian itu.38
Dalam karya orang Indonesia, Penulis menemukan beberapa kajian
tentang al-Syaukânî pertama, pada aspek fiqih yang ditulis oleh Dr. Nasrun
Rusli, M.A., yang berjudul ”Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya
dengan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” karya ini merupakan
Disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998 yang kemudian
menjadi sebuah buku dengan judul yang sama seperti Disertasinya, terbitan
Logos tahun 1999 . Karya ini memfokuskan pada kajian ushul fiqih yang
dilakukan al-Syaukânî secara kritis yang kemudian Nasrun Rusli mencoba
kaitkan dengan pembaharuan hukum di Indonesia, dan dari karya ini bisa
dilihat bahwa al-Syaukânî membangun sebuah metodologi ijtihad yang
memperlihatkan kemandiriannya dalam berfikir.
38 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakartah, 1998), h. 21-22.
15
Kedua, pada aspek pemikiran politik yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad
Fahmy Arief, dengan judul Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath al-Qadîr,
karya ini merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997. penelitian ini
menghasilkan beberapa kesimpulan yang sangat mendasar tentang
kepemimpinan, musyawarah, keadilan, hidup berserikat dan berkumpul yang
dipahami dari kitab tafsir Fath al-Qadîr karya al-Syaukânî.39
Dan yang ketiga, kajian tentang illat dalam konteks Usul Fiqh yang
ditulis oleh M. Syafi’i dengan judul Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî
Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Karya ini
merupakan Tesis pada IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun
1993. Tesis ini merupakan kajian ilmiah terhadap sebuah kitab Usul Fiqih
karya al-Syaukânî. Secara khusus Tesis ini mengangkat syarat-syarat illat
yang terdapat dalam kitab tersebut.40
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan pendekatan (manhâj) dan metode (tarîqah) tafsir al-
Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qâdir;
2. Menjelaskan dan memahami paradigma pemikiran kalam al-
Syaukânî;
3. Menjelaskan corak kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr;
39 Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi IAIN
Jakarta, 1997. 40 M. Syafi’I, Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab Irsyâd
al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Tesis IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun 1993.
16
4. Mengungkapkan kemungkinan adanya dua paham yang berbeda
yang terdapat pada pemikiran kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath a-
Qadîr.
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak:
pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang kalam secara
konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi
ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah
disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan
tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman
manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian
pemikiran kalam al-Syaukânî kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori
terhadap tafsir Fath al-Qadîr; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah
bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari.
Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain
dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa
menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru
sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library
research), yaitu dengan membaca karya-karya al-Syaukânî sebagai data
primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang
17
al-Syaukânî sebagai data sekunder.41 Dan kajiannya secara deskriptif dan
analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.42
Deskriptif43 analitis44 yakni analitis dalam pengertian historis dan
filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup
pada suatu zaman yang lalu,45 maka secara metodologis menggunakan
pendekatan sejarah (historical approach),46 yang mengungkap hubungan
seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang
tokoh.47
Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary
resources). Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir
41 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, lihat pula, Noeng
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49. 42 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003), h. 63. 43 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat, Departemen
Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 258.
44 Analitis adalah penguraian Sesutu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 43.
45 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 61.
46 Syahrin Harahap, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang Pemikiran Islam, (Medan: IAIN Press, 1995), h. 18.
47 M. Nizar, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 62.
18
Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-
Tafsîr.48
Sedangkan data sekundernya penulis mengunakan buku-buku yang
terkait dengan cakrawala pemikiran al-Syaukânî dan ilmu-ilmu yang terkait
dalam berbagai bidang ilmu, khusunya tentang kalam dari sisi rasional atau
tradisional. Selanjutnya, karena penelitian ini, ingin mengungkap apakah
corak kalam al-Syaukânî rasioanla atau tradisional, maka penulis merujuk
kepada dari aliran muktazilah misalnya Syarh al-Ushûl al-Khamsah karya
Qâdi al-Qudât Abu Hasan ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad bin al-Khalîl bin
‘Abdullah al-Hamdân al-Asad Abadî (w. 459 H.). Dan dari aliran Asy’ariyah
adalah al-Ibânât al-Ushûl al-Diyâna dan al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig
wa al-Bida‘ masing-masing karya al-Syaikh al-Imam Abî al-Hasan ‘Alî bin
‘Ismâ‘îl al-Asy’ari (w. 324 H.). Sedangkan dari aliran Maturidiyah Bukhara
adalah Kitab Ushûl al-Din, karya Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi. Selain
itu juga penulis menghadirkan karya lain yang masih ada keterkaitan dengan
pembahasan tesis ini diantaranya Konsep Ijtihâd al-Syaukânî karangan Dr.
Nasrun Rusli, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, karya ini
merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997 karya Dr. H. Ahmad
Fahmy Arief, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan
karya Prof. Dr. Harun Nasution, dan lain-lain.
48 Tafsir ini merupakan karya monumental al-Syaukânî yang menjadi objek
penelitian pada tesis ini. Pada tafsir ini mengurai secara terperinci tentang aspek bahasa al-Qur’an. Sebelum mengurai kandungan satu ayat, ia menjelaskan terlebih dahulu kata-kata yang dipergunkan al-Qur’an, kemudian menguraikan kandungan ayat itu lengkap dengan sebab turunnya dan perbedaan pendapat ulama tentang hukum yang dikandung ayat itu.
19
Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada
buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang
diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun
2007.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini
ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang
terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar
belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan
penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua membahas biografi al-Syaukânî, meliputi biografi singkat
dan potret kehidupan awal, karya-karya, guru dan murid-muridnya, serta
hubungan al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah.
Bab ketiga membahas tentang pendekatan (manhâj) dan metode
(tarîqah) tafsir Fath al-Qâdîr karya al-Syaukânî, yang meliputi mengenal tafsir
Fath al-Qadîr, pendekatan (manhâj) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-
Qadîr, dan metode (tarîqah) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr.
Bab keempat membahas Analisis corak kalam tafsir Fath Al-Qadîr
telaah atas pemikiran al-Syaukânî dalam teologi Islam. Bab ini menjadi inti
pembahasan dalam kajian ini, meliputi: kekuasaan Tuhan dan kehendak
mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat
20
Tuhan. Masing-masing butir, dibagi lagi menjadi dua sub tema: pertama,
ayat-ayat kalam dan pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,
Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Dan kedua adalah pandangan al-
Syaukani berkenaan dengan masalah-masalah kalam yang dibahas.
Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik
dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah
pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat
saran-saran konstruktif.
21
H. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dari bab terdahulu terutama dalam bab IV,
dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran kalam yang terdapat dalam tafsir
Fath al-Qadîr adalah “bercorak tradisioanal, atau yang lebih tepat dikatakan
semi rasional (campuran antara rasional dan tradisional)”. Karena sejauh
penelitian dalam tesis ini, penafsiran al-Syaukani juga ditemukan penafsiran
tradisional, kadang pula terdapat penafsiran yang bercorak rasional.
Tergantung kepada ayat yang diteliti, seperti yang diungkapkan dimuka.
Campuran antara corak kalam rasional dan tradisioanalnya al-
Syaukani barangkali lebih kepada keterpengaruhan pemikiran Mu’tazilah
terhadap Syiah Zaidiyah yang ia anut.
Namun, perlu ditambahkan bahwa corak tradisional pemikiran kalam
yang terdapat dalam tafsir Fath al-Qadîr tersebut, tidaklah seluruhnya sejalan
dengan pemikiran kalam yang dibawa oleh Asy’ariyah dan Maturidiyah
Bukhara. Begitu juga dengan corak rasionalnya al-Syaukani tidak selalu
sejalan dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Secara umum, dari empat persoalan kalam yang dianalisis, yakni a)
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b) keadilan Tuhan, c) perbuatan-
perbuatan Tuhan yang dibagi menjadi tiga yakni antropomorfisme,
ru’yatullah dan penciptaan al-Qur’an, dan d) sifat-sifat Tuhan, yang dibagi
lagi menjadi tiga yaitu: memberi beban di luar kemampuan manusia,
pengiriman Rasul dan janji dan ancaman. Masalah pada poin a,
pemahaman al-Syaukani sejalan dengan Asy’ariyah. Sedangkan pada
masalah keadilan Tuhan pemahaman al-Syaukani sejalan dengan campuran
22
atas keduanya rasional dan tradisional. Kemudian masalah perbuatan Tuhan,
pemahaman al-Syaukani sejalan dengan corak rasional dan tradisional. Hal
itu terlihat, ketika al-Syaukani membahas tantang permasalahan memberi
beban di luar kemampuan manusia, Al-syaukani lebih kepada pemikiran
Mu’tazilah. Sedang pengiriman Rasul, al-Syaukani lebih dekat memakai
pendekatan yang digunakan oleh Asyariyah dan ketika al-Syaukani
membahas tentang ayat janji dan ancaman pemahamannya sejalan dengan
corak rasional. Dan yang terakhir tentang masalah sifat-sifat Tuhan, al-
Syaukani menggunakan pemahaman tradisional. Pemahaman al-Syaukani
ketika membahas antropomorfisme menggunakan pemahaman campuran
antara rasional dan tradisional, tentang ru’yatullah lebih menggunakan
pemahaman rasional, dan tentang penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani lebih
memilih tidak bersikap (tawaqquf).
Kemudian berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, al-Syaukani berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya. Artinya di tangan Allahlah semua
keputusan baik maupun buruknya. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan itu tidaklah berlaku sewenang-wenang. Semua takdir Allah
mempunyai jalannya sendiri, yakni sunnatullah.
Pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan mutlak dan kehendak
mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan dengan paham
yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Mu’tazilah dan
Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan terbatas.
23
Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan
kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al-
Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh
aliran Asy’ariyah.
Aliran al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan tetap mempunyai
kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun
kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu
berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia dalam hal ini dianggap
lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya
pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.
Kemudian, keadilan Tuhan. al-Syaukani nampaknya termasuk dalam
dua aliran corak kalam yakni corak tradisioanl dan rasional. Keadilan Tuhan
dalam fersi aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna keadilan Tuhan
yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang dimiliki-Nya.
Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal adalah yang
memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.
Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional
tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani
terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum
bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada
aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih
bisa dikatakan juga masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl). Artinya
24
al-Syaukani dalam menggunakan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang
keadilan Tuhan sesuai dengan rasional dan tradisional.
Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf
ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan
Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat
memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam
kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan
perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”.
Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan
pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani
menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman
Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara
gamblang. Kalau memang benar al-Syaukani menganut aliran salaf,
seharusnya pemikiran al-Syaukani berpandangan bahwa pengiriman Rasul
itu wajib. Namun, sayang penulis belum menemukan dari pemikiran al-
Syaukani tersebut.
Berkenaan dengan janji Tuhan, tergambar dalam penafsiran al-
Syaukani, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji. Maka kalau demikian,
maka al-Syaukani menganut pemikiran kalam Mu’tzilah.
Tentang sifat-sifat Tuhan al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung
kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-
tradisioanl. Dikatakan rasional yakni al-Syaukani dalam memahami nash-
nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam
makna metaforisnya.
25
Pada penelitian ayat-ayat pada bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi
istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak
dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.
Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung
ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf yang dibahas pada bab IV
yang lalu. Jadi lebih tepat al-Syaukani di katakatan memiliki corak rasional-
tradisional.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya al-
Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,
cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
Ru’yatullah dalam pandangan al-Syaukani adalah, Tuhan dapat
dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala. Penafsiran al-Syaukani ini
jelas terlihat bahwa al-Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan
dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi
bukan dengan mata kepala.
Dalam masalah penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani tidak sependapat
dengan Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan
bersifat baharu dan al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai
Qadim. Menurut al-Syaukani, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan
umumnya para ulama salaf tidak pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan
yang diambil al-Syaukani adalah tawaqquf (tidak bersikap).
Dari tinjuan ulang yang tersaji di atas jelas terlihat bahwa al-Syaukani
dapat dimasukkan antara keduanya yakni corak rasional dan tradisional.
namun menurut penulis paham al-Syaukani terhadap kalam, nampak dari
26
uraian di atas, lebih kuat kecenderungannya kepada madzhab salafiyah,
walaupun pada awalnya al-Syaukani penganut paham Zaidiyyah, di mana
paham tersebut pemikirannya cenderung dipengaruhi oleh paham Mu’tazilah,
sehingga dalam proses mencari dan menemukan kebenaran berfikir dari al-
Syaukani tidak mutlak pada pendirian sendiri.
Corak kalam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr menurut hemat
penulis kurang rasional, karena dari beberapa ayat tantang kekuasaan mutlak
Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan,
dalam paparan tafsirnya cenderung kepada ketentuan Allah Swt, di mana
manusia tidak memiliki kemutlakan dan kekuasaan. Bahkan semua
perbuatan dan gerak langkah yang dilakukan manusia dan lain sebagainya
dikendalikan dan ditakdirkan oleh Allah.
27
Riwayat Hidup Penulis
Hasani Ahmad Syamsuri, lahir 21 Februari 1982 di Pabean, Pulomerak, Cilegon, Banten. Anak kesebelas dari 12 bersaudara dari pasangan ayah Ahmad Syamsuri dan Ibu Sunariyah. Setelah menyelesaikan Sekolah Dasar Negeri Pecinan (pagi) dan memperoleh Ijazah tamat belajar pada tahun 1995 serta Madrasah Ibtidaiyah (sore) pada tahun 1995, ia meneruskan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah (MTs) al-Khairiyah Karang Tengah hingga tamat pada tahun1998. Selanjutnya melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) al-Khairiyah, dan diselesaikan pada tahun 2001. dan pada waktu yang bersamaan antara MTs dan Aliyah belajar di Pondok Pesantren Ma’had Nurul Qamar yang sekarang berubah nama menjadi Banu al-Qamar di bawah asuhan K.H. Hasbullah Qamar dari tahun 1996-2001, semuanya dilewatkan di Cilegon, Banten. Pada tahun 2001 hijrah ke Jakarta, untuk melanjutkan studi ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis, yang dapat diselesaikan dalam waktu 3,5 lulus tahun 2005 dengan judul Skripsi ”Hadîs Tentang Adzan Ditinju Dari Segi Sejarah; Kajian Masalah Adzan Subuh dan Jum’at ” di bawah bimbingan Dr. H. Ahmad Luthfi Fathullah, M.A. dan Drs. Bustamin, MBA. Pada tahun 2001 - sekarang mengikuti Program S-2 perguruan tinggi yang sama, di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Pendidikan ini sedang proses penyelesaian. Menulis Tesis dengan judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadîr: Telaah Atas Pemikiran al-Syaukani dalam Teologi Islam” di bawah bimbingan Prof. Dr. H. Salman Harun. Di tahun yang sama (2001) ia mengikuti program Pendidikan Kader Ulama (PKU) angkatan ke VIII MUI DKI Jakarta setara dengan S-2 non Tesis dan diwisuda (lulus) pada tahun 2007 oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Dr. H. Fauzi Bowo. Dalam dunia organisasi sosial kemasyarakatn dan keagamaan, aktif menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Banten (HMB), Keluarga Mahasiswa Serang-Cilegon, pengurus Himpunan Qari’ dan Qari’ah Mahasiswa (HIQMA) UIN Syahid Jakarta, dan sekarang menjadi pengajar tilawah dan anggota Dewan Penasihat Organisasi HIQMA, dari tahun 2001-sekarang, pengurus Lembaga Tahfidz dan Ta’lim al-Qur’an (LTTQ) Masjid Fathullah dari tahun 2002-sekarang, dan sekarang menduduki Direktur Public Relation. Selain itu juga, aktif di berbagai Musabaqah Tilawatil Qur’an
28
dari tingkat Kabupaten sampai ke Nasional, dan tahun 2004 meraih juara I, MTQ tingkat Nasional Oxford dan Depag RI, hingga mengantarkan menuju tanah suci Baitullah (rumah Allah). Di dunia kerja kini menjadi staff Haji dan Umrah al-Tur Travel, lt. 2 Wisma Usaha UIN Jakarta. Pada tahun 2007 ini, sedang merintis dan mendirikan Travel dan Tour bergerak di bidang Umrah dan Haji, Ticketing, dan Touring. Di sela-sela rutinitas aktifitas tersebut, juga mengabdi sebagai pengajar di berbagai tempat, antara lain di SMP 87 Pondok Pinang Jakarta, Yayasan al-Khairiyah Kebon Jeruk Jakarta, dan Pondok Pesantren Nurul Iman, Tangerang, Banten, semuanya mengajar Tilawah al-Qur’an. Selain mengajar pengajar privat al-Quran di berbagai tempat. Selain itu, mengabdi sebagai Muadzin tetap Masjid Fathullah UIN Jakarta. Juga terlibat aktif dengan dunia dakwah melalui berbagai mimbar, imam, dan sebagai Qari’ (pembaca al-Qur’an) dari tingkat kampung, masjid, instansi pemerintah, hotel, Kampus (Wisuda, Seminar Nasional-Internasional, Pengukuhan Guru Besar dan Dr. H.C.) hingga menuju ke Istana Presiden dan Wakil Presiden.
Asrama Masjid Fathullah UIN Ciputat, 01 Oktober 2007
KATA PENGANTAR
تتاااااااااااانننMengawali kata pengantar tesis ini, tidak ada kalimat yang paling tepat
untuk menunaikan puji dan syukur, selain kepada Dzat yang maha terpuji yaitu
Allah Swt. Salawat dan salam, kita mohonkan kehadirat-Nya, semoga selalu
dipersembahkan kepada Nabi dan Rasul penutup, yaitu Muhammad Saw.
beserta segenap keluarga dan sahabtnya; bahkan umatnya hingga akhir zaman.
Atas karunia-Nya pula, penulisan tesis ini yang berjudul “Corak pemikiran
kalam tafsir Fath al-Qadîr: telaah atas pemikiran al-Syaukani dalam teologi
Islam” ini dapat diselesaikan. Sehubungan dengan terselesaikannya tesis ini,
sungguh pada tempatnyalah apabila penulis menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua banyak pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung ikut berpartisipasi membangun teori dan data. Sehingga, tesis ini
dapat selesaikan sebagaimana mestinya. Maka, penulis selayaknya mengabdikan
budi baik kepada para pihak yang telah membantu dengan ungkapan syukur al-
hamdulillah yang tidak terhingga.
Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dosen Pembimbing penulis, Bapak Prof. Dr. H. Salman Harun, atas
segala bimbingan, dorongan, bantuan serta nasehatnya selama proses penulisan
tesis.
Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada kedua orang tua yang
paling penulis hormati dan banggakan, yakni Ahmad Syamsuri dan Sunariyah
yang tidak henti-hentinya memberikan dorongan motivasi serta doa yang tulus
bagi keberhasilan penulis dalam mengukir kehidupan yang berguna bagi nusa,
bangsa, dan agama. Serta kakak-kakak penulis diantaranya kang Tafriji,
S.E.,M.M., kang Fuad, S. Pd., yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan
baik moril maupun materil.
Penulis juga secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr.
K.H. Moh. Ardani, Prof. Dr. H. Abdul Azis Dahlan dan Dr. Yusuf Rahman, yang
telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dan konsultasi bahkan ngaji
kitab tafsîr Fath al-Qadîr. Beliau-beliau menjadi pembimbing lepas penulis,
sehingga penulis mendapat beberapa rujukan penting dalam rangka
merampungkan tesis ini.
Dan kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di
sini, penulis ucapkan banyak terima kasih, karena tanpa bantuan mereka, tesis ini
tidak mungkin dapat terselesaikan.
Kiranya tesis ini tidak dapat dikatakan sempurna, karena tesis ini hanya
satu usaha dan upaya kecil dalam rangka menambah khazanah keilmuan Islam
khususnya kajian tafsir dengan corak kalam. Namun demikian, harapan penulis,
tesis ini dapat bermanfaat dan kontribusi yang baik bagi umat dan
perkembangan keilmuan. Amin.
Masjid Fathullah UIN Jakarta
Ciputat, Tangerang, Banten, 01 September 2007
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………… i KATA PENGANTAR …………………………………………………. iii DAFTAR ISI …………………………………………………………… vi PEDOMAN TRANSLITERASI ……………………………………… viii LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………... xii LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………… xiii LEMBAR PERSEMBAHAN ………………………………………… xiv BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………...………………….. 1 B. Permasalah …………………………………………………… 14 C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan …………………...…... 17 D. Tujuan penelitian ……………….....………………………… 19 E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ………………….…………. 20 F. Metodologi Penelitian ……………………………..……….. 21 G. Sistematika Penulisan ………………………………………. 23
BAB II BIOGRAFI AL-SYAUKÂNÎ
A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal ..................... 25 B. Karya-Karyanya ................................................................. 33 C. Guru dan Murid-Muridnya ................................................. 37 D. Al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah ........................................ 44
BAB III MANHAJ DAN METODE TAFSIR FATH AL-QADÎR A. Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunanya
.......................................................................................... 55 B. Pendekatan (manhâj) Tafsir al-Syaukâni dalam Tafsir Fath
al-Qâdîr ........................................................................... 62 C. Metode (tarîqah) Tafsir al-Syaukâni dalam Tafsir Fath al-
Qâdîr ................................................................................ 65
BAB IV ANALISIS CORAK KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM A. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ....................... 76
1. Ayat-ayat Kalam tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara ....... 77
2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ........ 84
B. Keadilan Tuhan ............................................................... 94 1. Ayat-ayat kalam tentang Keadilan Tuhan dan
Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara .......................... 96
2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Keadilan Tuhan .............................................. 106
C. Perbuatan-perbuatan Tuhan ........................................... 116 1. Ayat-ayat kalam tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan
dan Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara .......................... 118
2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan ........................... 127
D. Sifat-sifat Tuhan …………………………………………… 133 1. Ayat-ayat kalam tentang Sifat-sifat Tuhan dan
Pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand, Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara .......................... 133
2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang Sifat-sifat Tuhan ............................................. 154
BAB V Kesimpulan …………………………………………………. 175 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………….......... 177
PEDOMAN TRANSLITRASI
1. Padanan Aksara
Berikut ini daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D de د
Dz de dan zet ذ
R er ر
Z zet ز
S es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F ef ف
Q ki ق
K ka ك
L el ل
M em م
N en ن
W we و
H ha ه
apostrof ‘ ء
Y ya ي
2. Vokal
Vocal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
fokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau divtong.
a. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fathah ــــــَــــــ
i Kasrah ــــــِــــــ
ـــــــــــُ u Dammah
b. Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ــــــَــــــ ي
au a dan u ـــــــَـــــ و
c. Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ـــَــأ
î i dengan topi di atas ـــِـــي
û u dengan topi di atas ـــُـــو
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab di lambangkan dengan
huruf, yaitu (ال), dialihaksarakan menjali /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun qamariyyah. Contoh al-rijâl, al-diwân, bukan ad-diwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam bahasa Arab dilambangkan tanda ( ّ ),
dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan
huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi hal itu tidak berlaku jika huruf
yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata samdang yang diikuti oleh
huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-
darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Penulisan ta marbûtah jika berdiri sendiri atau ta marbûtah diikuti oleh
kata sifat (na‘t) maka dialihaksarakan menjadi huruf h. contoh: طریقة ditulis
tarîqah, الجامعة االسالمیة dialihaksarakan menjadi al-jâmi‘ah al-Islâmiyyah. Namun
jika ta marbûtah diikuti kata benda maka huruf tersebut diaksarakan menjadi t.
contoh وحدةالوجود menjadi wahdat al-wujûd.
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis yang berjudul CORAK PEMIKIRAN KALAM TAFSIR
FATH AL-QADÎR: TELAAH ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKANI
DALAM TEOLOGI ISLAM telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 2007. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar M.A. pada konsentrasi Tafsir Hadits.
Jakarta, 23 Oktober 2007
Sidang Munaqasyah,
Ketua, Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, M.A. Prof. Dr. H. Salman Harun Hari/tgl.: Hari/tgl.:
Penguji:
Prof. Dr. H. Abdul Azis Dahlan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Hari/tgl.: Hari/tgl.:
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sumber ajaran dasarnya adalah al-Qur’an dan Hadits1. Allah
berfirman bahwa al-Qur’an adalah cahaya (Q.S. 6: 174), petunjuk (Q.S. 1:
2), penyembuh penyakit yang ada dalam dada (Q.S. 10: 57), pembela
terhadap kitab dan syari’at terdahulu (Q.S. 5: 48), yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw. sebagai undang-undang yang adil dan syariat yang
kekal, sebagai pelita yang bersinar terang dan petunjuk yang nyata. Orang
yang berkata berdasarkan al-Qur’an adalah benar; orang yang
mengamalkannya akan mendapat pahala; orang yang menghakimi
dengannya adalah adil; dan siapa yang mengajak orang lain untuk
mengimaninya akan diberi petunjuk kejalan yang lurus.2
Setiap muslim, wajib memahami ajaran-ajaran dasar itu. Oleh karena
itu, al-Qur’an dan Hadits perlu ditafsirkan. Kata tafsîr3 (exegesis) berasal dari
1 Penjelasan hal itu termaktub pada hadits Nabi yang artinya: “Aku tinggalkan dua
perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kamu tidak akan sesat, hal tersebut adalah Kitabullah (al-Qur’ân) dan Sunnah Rasul (Hadîts). Lihat Imâm Mâlik, al-Muwatta’, (Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th.), h. 560, lihat pula Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, (Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.), jilid III, h. 26, dalam persepsi hadits lain ada juga yang menjelaskan bahwa ajaran pokok Islam hanya al-Qur’ân saja. Hal tersebut bisa di lihat antara lain pada Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, (Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952), jilid I, h. 442
2 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h.1-2
3 Uraian secara mendalam berkenaan dengan asal usul kata tafsir, dapat dibaca antara lain: Khalid Utsmân al-Tsabt, Qawâ’id al-Tafsîr Jam‘an wa Dirâsatan, (al-Mamlakah al-‘Arâbiyyah al-Su‘ûdiyyah: Dâr ibn ‘Affan, 1999), j. 1, h. 25-29, lihat pula, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), j. 1, cet. Ke
2
bahasa Arab, fassara-yufassiru-tafsîran. Derifasi ini mengandung pengertian
menyingkap (al-Kasyfu), memperjelas (izhâr) atau menjelaskan.4 Ibnu Manzûr
dalam kamus besar Lisân al-‘Arâb, beliau berkata: kata al-fasru berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan al-tafsîr menyingkap sesuatu
lafaz yang susah dan pelik. 5 A. Warson memberikan pengertian kata tafsîr
merupakan bentuk masdar yang berarti menjelaskan, memberi komentar,
menterjemahkan atau mentakwilkan.6 Ibn Faris ibn Zakariya menjelaskan
bahwa secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan
merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan
ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan penjelasan.7
Secara terminologis, tafsîr adalah ilmu yang membahas tentang apa
yang dimaksud oleh Allah dalam al-Qur’an sepanjang kemampuan manusia.8
Pengertian senada diberikan Muhammad Badruddîn al-Zarkâsyi (745-749
H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu tafsir adalah ilmu untuk
memahami kitabullah (al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi-Nya
7, h. 12-13, lihat pula, Muhammad bin Abdullah al-Zarkâsyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Bairut-Libanon: ‘Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 2, h. 147-149
4 Lihat ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali al-Jurjani, al-Ta’rifât, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabi, 1405 H.), h. 87
5 Lihat pula Ibnu Manzûr al-Afrîqi, Lisân al-‘Arâb, (Beirut: Dâr al-Sadîr, tth.), j.5, h.55.
6 Lihat A.Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP al-Munawwir, 1984), h.1134.
7 Abi al-Husein ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Maqâyis al-Lughah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970), juz IV, h. 504
8 Lihat al-Zarqânî, Manâhil al-Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Jilid II, h.3, bandingkan pula dengan Muhamad Husain al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), jilid II, h. 15.
3
Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan hikmah (yang
terkandung di dalamnya).9
Kata tafsîr dalam al-Qur’an disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-
Furqân (25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan
dengan tafsîr ialah ta’wîl disebut dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali.10 Dan di
antara para ahli ada yang menyamakan pengertian antara keduanya, namun
ada juga yang membedakannya. Kontroversi ini disampaikan antara lain oleh
al-Zarqânî.11
Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an, Muhammad Husain al-
Dzahabi membagi sejarah tafsir ke dalam tiga fase/periode (marhalah), yaitu:
Pertama adalah fase perkembangan tafsir pada masa Nabi dan para sahabat,
kedua yaitu fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in, dan ketiga yaitu fase
perkembangan tafsir pada masa penyususnan dan pembukuan (kodifikasi),
yang dimulai dari zaman ‘Abbasiyah sampai zaman kontemporer (masa
hidup al-Dzahabi).12
Penafsir pertama adalah Rasulullah Saw. Nabi Muhammad senantiasa
menerangkan ayat-ayat yang bersifat global, menjelaskan arti yang samar-
samar, dan menafsirkan segala masalah yang dirasa sangat sulit dipahami,
9 Badruddîn Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân,
(Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th.), j. 1, h. 13. 10 Lihat Muhammad Fu’ad ‘Abdul Bâqî, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1987), h. 97. 11 Al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-
Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Jilid II, h. 4-6, lihat pula Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz II, h173-174 .
12 Muhammad Husain al-Dzahabi, Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. Ke 7, h. 13-14.
4
sehingga tidak ada lagi kerancuan dan keraguan di benak sahabat.13 Sikap
Nabi tersebut adalah sesuai dengan firman Allah ”Dan Kami turunkan
kepadamu (Muhammad) al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. al-Nahl (16): 44).
Dengan tindakan dan kedudukan ini, maka Nabi adalah mufassir pertama
dan utama.
Menurut Mustafa al-Maraghi, Nabi Muhammad dalam menafsirkan al-
Qur’an menggunakan sunnah qauliyah (perkataan), atau sunnah fi‘liyyah
(perbuatan).14 Menurut Ibn Taimiyah, Nabi Muhammad Saw telah
menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an. Sekalipun seluruh penafsiran itu tidak
sampai kepada kita. 15 Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa tafsir
sudah muncul pada masa Rasulullah Saw.
Rasulullah berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap
maksud ayat-ayat al-Qur’an. Sepeninggal beliau (11 H.), kepeloporannya di
bidang tafsir dilanjutkan oleh para sahabat. Di antara sahabat-sahabat yang
ahli di bidang tafsir misalnya: Khulafâ’ al-Râsyidîn; Abu Bakar (w. 13 H.),
‘Umar bin Khattâb (w. 23 H.), Utsmân bin ‘Affân (w. 35 H.), dan ‘Ali bin Abî
Tâlib (w. 40 H.), Ibn ‘Abbâs (w. 68 H.), ‘Abdullah dan Zubair, Ubay bin Ka’b
(w. 20 H.), Zaid bin Tsâbit, dan Abû Mûsâ al-Asy’ârî (w. 44 H.).16 Di
13 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdu’I, terj. Suryan A. Jamrah, (Jakarta:
Rajawali Press, 1994), h. 2. 14 Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî, (Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-‘Arabi,
t.th.), juz 1, h. 5. 15 Lihat Taqiyuddîn Ibn Taimiyah, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, (Kuwait: Dâr al-
Qur’ân al-Karîm, 1971), h. 35. 16 lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûtî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, (Beirut: Dâr al-Fikr: tt.), juz
II, h 27-28
5
samping sepuluh sahabat yang tergolong sebagai ahli tafsir dan pelanjut para
penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, yaitu Abû Hurairah (w.58 H.), Anas bin
Mâlik, ‘Abdullah bin ‘Umar (w.73 H.), Jâbir bin Abdullah, A‘isyah (w.57 H.),
dan Amr bin As. Mereka dipandang sebagai generasi pertama mufasir.17
Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, para sahabat dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an menempuh beberapa langkah yaitu:
1. Meneliti kandungan ayat-ayat al-Qur’an sendiri;18
2. Merujuk kepada penafsiran Nabi Saw;19
3. Menggunakan ra’yu atau melakukan ijtihad berdasarkan
pengetahuan yang mereka miliki;20
4. Menanyakan kepada tokoh-tokoh ahlul kitab yang telah masuk
Islam tentang masalah tertentu;21 dan
5. Bertumpu pada syair-syair.22
Kedua adalah fase perkembangan tafsir pada masa tabi’in. Mereka
adalah murid-murid para sahabat yang tersebar di Makkah, Madinah dan
Irak.23 Di Makkah yang merupakan murid dari ‘Abdullah bin ‘Abbâs yaitu
Sa‘îd bin Jubaîr (w. 94 H.), Mujâhid (w. 100 H.), Ikrimah (w. 105 H.), Tâwus
bin Kaisân al-Yamânî (w. 105 H.), dan ‘Ata’ bin Abî Rabâh (w. 114).24
17 Lihat lebih lanjut, Mannâ‘ Khalîl al-Qattân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut:
Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîts, 1393 H.), h. 343, lihat pula Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirûn, (Mesir: Maktabah Wahbah, 2000), juz I, h. 49.
18 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 37-44 19 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 35-46 20 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 57-58 21 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 61-62. 22 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 74-76. 23 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 92. 24 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 93.
6
Sedangkan murid-murid sahabat yang terdapat di Madinah yang berguru
kepada Ubaî bin Ka‘b yaitu Zaid bin Aslam (w. 182 H.), Abu al-Aliyah (w. 90
H.), dan Muhammad bin Ka’b al-Qurdî.25 Dan murid-murid sahabat di Irak
yang berguru kepada Abdullah bin Mas‘ûd yaitu ‘Alqamah bin Qais, Masrûq,
Marah al-Hamdânî, ‘Âmir al-Syu‘bî, dan al-Hasan al-Basrî.26
Penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari salah satu di
antara ketiga sumber yang dikemukakan di atas, Rasulullah, Sahabat, dan
Tabi’in yang dikenal dengan tafsir bi al-Ma’tsur. Ali al-Sâbûni dan al-Zarqâni
mendefinisikan tafsîr bi al-Ma’tsur adalah sesuatu yang datang di dalam al-
Qur’an, sunnah, ataupun perkataan sahabat, yang menjadi penerang bagi
murâd (maksud) Allah terhadap kitab-Nya.27 Corak tafsir ini merupakan
periode pertama dari perkembangan tafsir dan berakhir dengan berakhirnya
masa tabi’in sekitar tahun 150 H.28
Dan ketiga adalah fase perkembangan tafsir pada masa penyususnan
dan pembukuan (kodifikasi). Fase ini merupakan fase perkembangan tafsir
pasca sahabat dan tabi’in, yang ketika itu juga telah mulai pentadwînan
(kodifikasi) hadis Rasulullah Saw. Mufasir-mufssir yang berkembang ketika itu
adalah Yazîd bin Hârûn al-Sulamî (w.117 H.), Syu‘bah al-Hajjâj (w. 160 H.),
Wakî‘ bin Jarâh (w. 197 H.), Sufyân bin ‘Uyaynah (w. 198 H.), Ruh bin
25 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 104. 26 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 106-107. 27 Lihat Muhammad Ali al-Sâbûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: ‘Âlim al-
Kutub, 1985), h. 67, lihat pula, Muhammad Abdul Azim al-Zarqâni, Manâhil al-‘Irfân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), j. II, h. 12
28 Lihat Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafîr wa al-Mufassirûn, (Mesir: Dâr al-Maktabah al-Hadîtsah, 1976), juz I, h. 141, lihat pula, Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Mawdu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Zamrah, (Jakarta: Rajawali Press, 1994), h. 13.
7
‘Ibâdah al-Basrî (w. 205 H.), ‘Abdurrazzâq ibn Himâm (w. 211 H.), Âdam bin
Abî Iyâs (w. 220 H.), ‘Abd bin Hamîd (W. 249 H.), dan lain-lain.29
Generasi selanjutnya adalah mufassir yang muncul sesudah
berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan kematangan mereka dalam
Islam, sesuai dengan spesialisasi dan ilmu yang dikuasainya.30 Di antara
mereka adalah al-Zamakhsyârî (w. 528 H.), al-Wahîdî (w. 468 H.), al-Tsa‘labî
(w. 427 H.), al-Qurtûbî (w. 671 H.), al-Râzî (w. 610 H.), dan al-Khâzin (w.
741 H.).31 di tangan merekalah muncul beberapa metode dan corak tafsir.
Maraknya hal ini sangat dipengaruhi latar belakang dan kecenderungan
keilmuan mereka dalam penulisan tafsir. 32 Pada fase ketiga, hadis-hadis dan
riwayat-riwayat menyangkut berbagai hal, termasuk tafsir telah beredar
sedemikian pesat. Di samping itu, kemajuan sudah semakin pesat, sekian
persoalan baru timbul di tengah-tengan masyarakat yang belum pernah
29 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 127-128. 30 M. H. Tabâtabâ‘î, Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan
Hamim Ilyas, (Bandung: Mizan, 1993), h. 63. 31 Lihat, al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, h. 32-183, lihat pula al-Marâghi,
Tafsîr al-Marâghî, h. 10-13. 32 Adalah suatu kenyataan sejarah, bahwa pemahaman dan penafsiran terhadap al-
Qur’an memiliki kecenderungan dan corak yang berbeda-beda antara satu generasi kegenerasi berikutnya, antara satu kelompok satu dengan kelompok yang lainnya. Perbedaan corak penafsiran ini tidak bisa dilepaskan dari perbedaan madzhab, setting sosial, kemampuan intelektual dan juga niat atau tujuan mufasir dalam menulis kitab tafsirnya tersebut. Satu hal yang perlu diingat bahwa al-Qur’an tidak akan pernah habis di tafsirkan. Di sisi lain, keragaman penafsiran yang dihasilkan tiap generasi juga merupakan gambaran konsekwensi logis dari keyakinan bahwa al-Qur’an, sebagai kitab suci yang diturunkan terahkir, mampu berdialog dengan setiap generasi yang datang kemudian. Ajaran dan semangat yang dibawanya bersifat universal, rasional, dan necessary (suatu keniscayaan dan keharusan yang fitri). Lihat, Fazlur Rahmân, Islam and Modernity, (Chicago: Universitas of Chicago Press, 1982), h.11
8
terjadi atau dipersoalkan di masa Nabi Muhammad Saw., sahabat, maupun
tabi’in.
Di sini, ijtihad menyangkut ayat-ayat al-Qur’an benar-benar sudah
tidak dapat dielakkan lagi. Sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang pesat pula porsi peranan akal (ijtihad) dalam
penafisran ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, berkembanglah manhâj
(pendekatan) tafsir dari manhâj atsari ke manhâj ra’yi, dan berkembang pula
tarîqah (metode) tafsir. Itu semua kemudian melahirkan corak-corak tafsir.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini yaitu: corak sastra
kebahasaan, corak penafsiran ilmiah, corak fiqih/hukum, corak tasawuf, corak
sastra budaya kemasyarakatan, dan corak filsafat dan teologi (kalam).33
Muhammad Husein al-Dzahabî dalam pendahuluan al-Tafsîr wa al-
Mufassirûn menyebutkan bahwa ada empat corak tafsîr yang berkembang,
secara ringkas diklasifikasikan menjadi: pertama, ”tafsir corak ilmi (al-laun al-
‘ilmî)” yaitu tafsir berdasarkan pada pendekatan ilmiah; kedua, ”tafsir corak
madzhab (al-laun al-‘madzhabî)”, yaitu tafsir berdasarkan madzhab teologi
atau fikih yang dianut oleh para mufassir; ketiga, adalah ”tafsir bercorak
ilhâdî (al-laun al-‘ilhâdî)”, yaitu tafsir yang mengunakan pendekatan
menyimpang dari kelaziman; dan keempat, ”tafsir corak sastra-sosial (al-laun
al-adabî al-ijtimâ‘î)”, yaitu tafsir yang menggunakan pendekatan sastra dan
berpijak pada realitas sosial.34
33 Lihat lebih lanjut, M. Quraish Shihab dalam pengantar bukunya M. Yunan Yusuf,
Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), h. xxxiii-xxxiv
34 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 15
9
Untuk mengetahui lebih jauh tentang tafsir Fath al-Qadîr karya Imam
al-Syaukânî, diperlukan suatu penelitian yang mendalam dengan fokus kajian
masalah pemikiran kalam. Ilmu kalam, sebagaimana didefinisikan oleh al-Ijli,
adalah ilmu yang memberi kemampuan untuk membuktikan kebenaran
akidah (Islam) dengan mengajukan hujjah guna melenyapkan keragu-
raguan.35 Dalam kaitan ini, ilmu kalam di samping membahas soal-soal
kerasulan, wahyu, kitab suci al-Qur’an, soal orang yang percaya kepada
ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad, yaitu soal mukmin dan muslim,
soal orang yang tidak percaya kepada ajaran itu, yakni orang kafir dan
musyrik, soal hubungan makhluk dan khalik, terutama manusia dan
penciptanya, soal akhir hidup manusia, yaitu soal surga dan neraka. 36
Ibnu Khaldun mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebagai ilmu
yang mengandung argumentasi rasional yang membela akidah-akidah
imaniah dan mengandung penolakan terhadap golongan bid’ah yang dalam
akidah-akidahnya menyimpang dari madzhab Salaf dan ahl al-Sunnah.37
Lain lagi dengan al-Ghazâlî yang dikutip oleh Mustafa ‘Abd al-Razik,
menurut al-Ghazali ilmu kalam bertujuan menjaga akidah ahl al-Sunnah dari
bisikan ahl al-bid’ah yang menyesatkan. Allah telah menyampaikan akidah
yang benar kepada hamba-Nya melalui risalah Rasul-Nya yang mengandung
35 Lihat Mustafa ‘Abdurraziq, Tamhîd li Tarîkh al-Falsafah al-islâmiyyah, (Kairo:
1959), h. 261 36 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1983), h. 30 37 Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981),
jilid 1, h. 580
10
kebaikan bagi agama dan dunia mereka. Selanjutnya ia mengatakan, bahwa
ilmu kalam membahas ma’rifat al-Qur’an beserta kabar berita lainnya.38
Muhammad ‘Abduh yang lebih suka menyebutnya ilmu tauhid
memberi batasan bahwa ilmu kalam/tauhid adalah sebagai ilmu yang
membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat wajib ditiadakan dari-Nya. Menurut
‘Abduh, ilmu tauhid juga membahas tentang Rasul-Rasul untuk membuktikan
kebenaran kerasulan mereka, apa yang wajib bagi mereka, apa yang boleh
dan tidak boleh dinisbahkan kepada mereka.39
‘Abd al-Mun‘im mengatakan, bahwa ilmu kalam mencakup akidah
imaniah dengan mengunakan argumentasi rasional. Ilmu itu muncul untuk
membela agama Islam dan menolak akidah-akidah yang masuk dari agama
lain. Ilmu itu disebut ilmu kalam karena masalah penting yang dibicarakan di
dalamnya adalah mengenai kalam Allah, yaitu al-Qur’an. Ilmu kalam
menyangkut persoalan akidah yang mendalam, seperti tauhid, hari akhirat,
hakikat sifat-sifat Tuhan, qada dan qadar, hakikat kenabian dan penciptaan
al-Qur’an.40
Tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannaî al-Riwâyah wa al-Dirâyah
min ‘Ilm al-Tafsîr, karya al-Imâm Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad al-
38 Mustafa ‘Abd al-Razik, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Matba’ah
Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959), h. 261. 39 Muhammad ‘Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H), h. 7. 40 ‘Abd al-Mun‘im, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, (Mesir:
Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1978), h. 180.
11
Syaukânî, merupakan salah satu tafsir yang mengambil corak madzhab
dalam hal ini adalah madzhab Syiah Zaidiyah.41
Al-Dzahabi dalam al-Tafsîr wa al-Mufassirûn menyebut kurang lebih
13 kitab yang membahas tentang syiah imamiah,42 dan 1 kitab tafsir tentang
Syiah Zaidiyah yakni Fath al-Qadîr.43 Selain itu, al-Dzahabi juga menyebut 6
kitab yang bercorak madzhab dalam hal ini fikih.44 Salah satu dari sekian
banyak itu adalah karya Imam al-Syaukânî45 dari madzhab Syi’ah Zaidiyah.
Madzhab Zaidiyah memandang bahwa Ali adalah seorang yang paling
pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena beliaulah
orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah
disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. dan imam sesudah Ali seharusnya dari
keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan
tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah
yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam
dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari
sinilah, Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan
41 Tafsir Fath al-Qadîr digolongkan oleh al-Dzahabî masuk dalam kategori tafsir yang
bercorak madzhab Syiah Zaidiyah. Lebih lanjut bisa dilihat dalam al-Dzahabî, Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz 2, h. 240-260.
42 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 1, h. 34-35 43 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 249. 44 Al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, juz. 2, h. 385, 389, 393, 401, 407, dan
411. 45 Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad ibn ‘Ali Muhammad bin Abdullah
al-Syaukânî al-San’anî. Beliau lahir di desa Hijrah Syaukân, Yaman, pada hari Senin tanggal 28 Dzul Qa‘dah tahun 1172 H. dan meninggal dunia pada hari selasa tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1259 H. dalam usia sekitar 78 tahun. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8
12
Utsman bin ‘Affan46, yang paling dekat dengan jamaah Islam (Suni-
Asy’ariyah) yang paling moderat, karena tidak mengangkat para imam ke
derajat kenabian.
Namun, Syiah Zaidiyah memandang imam sebagai manusia paling
utama setelah Nabi Muhammad Saw. Merekapun tidak mengkafirkan para
sahabat, khusunya mereka yang dibai’at oleh Sayyina ‘Ali bin Abî Tâlib, dan
mengakui kepemimpinan meraka.47 Di atara ajaran sekte ini juga adalah
Imâm afdal. Menurut pengikut sekte ini ‘Ali bin Abi Talib lebih afdal dari pada
Abû Bakar al-Siddîq. Namun demikian, dalam teologi Islam sekte Zaidiyah
tetap mengakui khalifah Abû Bakar al-Siddîq, ‘Umar bin Khattâb, dan
Utsmân bin ‘Affan. Akan tetapi yang afdal adalah ‘Ali ibn ’Abî Talib,
sedangkan tiga khalifah pendahulunya disebut oleh mereka sebagai imâm
Mafdûl.48
Al-Syaukânî (1172 H.-1250 H./1834 M.) dikenal sebagai ulama yang
lahir dari latar belakang lingkungan pembaharu dan berfikir maju dalam
tradisi keagamaan pada akhir abad ke-12 H.(18 M.) dan memasuki awal
46 Lihat, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, ta’liq al-
Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155
47 Tokoh aliran Syiah Zaidiyah adalah Zaid ibn ‘Ali ibn Husain. Ia menyatakan perang terhadap khalifah Hisyam ibn ‘Abdul Mâlik, dan akhirnya ia disalib di Kuffah. Penganut aliran Zaidiyah percaya bahwa orang melakukan dosa akan kekal dalam neraka, selama mereka belum bertobat dengan sebenarnya. Dalam hal ini mereka mengikuti paham Mu’tazilah. Ini disebabkan salah seorang tokoh Mu‘tazilah, Washil bin ’Atha’ mempunyai hubungan dengan Zaid. Oleh karena itu, secara umum paham Syiah dalam akidah sesuai dengan paham Mu’tazilah, tidak sesuai denagan paham Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan ‘Aqidah Dalam Islam, (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 65 dan 68
48 Lihat, Ahmad Syahrastânî, al-Milâl wa al-Nihl, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth.), Juz I, h. 154
13
abad ke 13 H. (19 M.). Dalam jarak waktu kurang lebih 78 tahun, al-
Syaukânî telah melahirkan banyak karya-karya brilian. Tafsir Fath al-Qadîr
adalah salah satu dari karya al-Syaukânî yang cukup monumental. Al-
Syaukânî adalah putra dari ‘Ali al-Syaukani (1130 – 1211 H.), salah seorang
ulama yang terkenal di Yaman.49
Ketekunan al-Syaukani dalam belajar dan membaca telah
mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usia yang masih
relatif muda, kurang dari 20 tahun, ia telah diminta oleh masyarakat kota
San’a untuk memberikan fatwa dalam berbagai masalah keagamaan,
sementara pada waktu itu, guru-gurunya masih hidup.50 Lalu, pada usia
kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu berupaya melakukan ijtihad sendiri
dalam mengungkapkan permasalahan-permasalahan pada masanya.51
Dalam hal ini, al-Syaukani banyak menulis beberapa karya baik dalam
volume besar maupun kecil. al-Syaukani menulis beberapa kitab atau karya,
antara lain: al-Durr al-Nadid Fî Ikhlas Kalimat al-Tauhîd; al-Tuhaf fî Madzâhib
al-Salâf, Syarh al-Sudûr fî Tahrîm Raf‘ al-Qubûr, dan lain-lain.52 Adapun
karya-karyanya secara lengkap bisa dilihat pada pendahuluan kitab tafsirnya.
Pada tesis ini, penulis mencoba mengangkat karya tafsir al-Syaukânî
yakni tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah
min ‘Ilm al-Tafsîr kajian terhadap corak kalamnya. Kitab tafsir yang
49 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215
50 Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub al-Haditsah, t.th.), h. 30-33.
51 Hilal, Walâyatullah, h. 30-33. 52 lihat Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan
Pembaharuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), h. 9
14
diperbincangkan disini terdiri dari lima jilid, terbitan Dâr al-Hadits, Kairo-
Mesir, tahun 2007.
Ada beberapa alasan yang bisa dimunculkan mengapa tafsir Fath al-
Qadîr dan kenapa pula penulis mengangkat corak kalam? Pertama, al-
Syaukâni di dalam tafsir Fath al-Qadîr uraiannya menggabungkan antara
metode riwâyah dan dirâyah. Metode riwâyah adalah metode yang
menjelaskan maksud-maksud dari al-Qur’an menggunakan ayat-ayat al-
Qur’an, hadis-hadis Rasulullah, dan pendapat para sahabat. Dan metode
dirâyah adalah metode yang menggunkan kaidah-kaidah kebahasaan dalam
menganalisa ayat-ayat al-Qur’an.53
Alasan kedua ialah, al-Imâm al-Syaukânî adalah seorang ulama Syi’ah
Zaidiyah. Sekte ini disebut dengan Syi’ah Zaidiyah karena pengikut sekte ini
berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang ditimbulkan oleh al-Imâm Zaid
ibn ‘Ali Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali Alaih al-Salam ibn Abi Talib (80-
122 H.).54
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik dan memandang
perlu melakukan penelitian tentang Corak Pemikiran Kalâm Tafsîr Fath al-
Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî Dalam Teologi Islam.
B. Permasalahan
53 Lihat, Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Mesir:
Maktabah Wahbah, 1985), Juz I, h. 152. 54 Mustafa al-Ghurâbi, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda al-
Muslimin, (Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt.), h. 289, lihat pula, Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000M./1421 H.), Juz 3, h. 6.
15
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal
adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam yang bercorak
rasional55 serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional56.
Berkaitan dengan itu, penelitian ini akan memusatkan perhatian pada
corak pemikiran kalam apa sebenarnya yang dipakai al-Syaukânî dalam tafsir
Fath al-Qadîr itu? Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam tafsir
Fath al-Qadîr bercorak rasional atau tradisional? Atau bahkan bukan kedua-
duanya, akan tetapi merupakan campuran dari keduanya?
Dengan demikian, masalah yang akan diteliti terfokus kepada
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah-
masalah kalam dalam tafsir Fath al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang
dipakai dalam penelitian ini adalah mengacu pada buku yang ditulis oleh
Prof. Dr. Harun Nasution yang berjudul Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah
55 Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan
kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna harfiyah, dan banyak memakai arti majâzi dalam memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.
56 Pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna harfiyah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup Fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyah Bukhara. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 120.
16
Analisa Perbandingan. Sistematika ini dipakai karena dipandang mampu
menampung masalah-masalah yang terdapat dalam problem kalam itu
sendiri.
Di samping itu, sistematika tersebut bertitik tolak dari sudut pandang
yang tidak terikat pada salah satu aliran kalam tertentu sehingga
memungkinkan adanya kelonggaran dalam menerapkan sistematika tersebut
dalam tafsir Fafh al-Qadîr. Sistematika masalah kalam yang penulis ambil
adalah a.) kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b.) Keadilan Tuhan, c.)
Perbuatan-perbuatan Tuhan, d.) dan Sifat Tuhan.
1. Identifikasi Masalah
Penelitian yang diberi judul ”Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-
Qadîr: Telaah Atas Pemikiran Al-Syaukânî dalam Teologi Islam” bermula dari
keinginan untuk memperoleh jawaban secara konseptual mengenai
pemikiran-pemikiran al-Syaukânî terutama berkaitan dengan ilmu-ilmu
kalam. Dalam tesis ini sebagai sampel, penulis akan membahas tentang
tafsir Fath Al-Qadîr mengenai ayat-ayat kalam sebagai topik sentral dan
masalah-masalah penting lainnya sebagai pelengkap pembahasan ini.
Dari asumsi-asumsi yang muncul di atas, maka muncul pula sederetan
masalah dalam identifikasi masalah, antara lain sebagai berikut?
1. Bagaimana pendekatan dan metode penafsiran al-Syaukânî
terhadap ayat-ayat kalam?
17
2. Bagaiman corak kalam pemikiran al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-
Qadîr?
3. Apakah penafsiran-penafsiran dalam tafsir Fath al-Qadîr bercorak
rasional seperti corak pemikiran kalam Mu’tazilah dan Maturidiyah
Samarkand, ataukah bercorak tradisioanl seperti corak pemikiran
kalam Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukahra, atau merupakan
campuran keduanya?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya ayat-ayat kalam dan luasnya ruang lingkup
pembahasannya, maka dalam tesis ini akan dibatasi pada masalah-masalah
kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-
perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan.
3. Perumusan Masalah
al-Dzahabi menyebut bahwa Syi’ah Zaidiyah lebih dekat kepada
Jama’ah Islamiyah (Suni-Asy’ariyah), namun dalam masalah aqidah,
Zaidiyah sesuai dengan Mu’tazilah.57 Berdasarkan latar belakang masalah
yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan pokok, yakni:
corak pemikiran kalam apa yang digunakan al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-
Qadîr?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
57 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000 M./1421 H.), Juz 3, h. 6, lihat pula, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1959, h. 96.
18
Dimensi kalam dalam pemikiran al-Syaukânî ini dipilih, karena
sepengetahuan penulis belum ada yang mengangkat tema al-Syaukâni dalam
bidang kalam, padahal beliau dikenal sebagai tokoh Syi’ah Zaidiyah yang
lebih cenderung kepada Salaf (Asy’ariyah) dan al-Syaukânî memiliki karya
tafsir sebagai representasi dari pemikirannya.
Kajian tentang pemikiran al-Syaukânî secara utuh masih tergolong
sedikit dilakukan oleh para cendekiawan Muslim ataupun non Muslim.
Sepanjang pengetahuan penulis dengan merujuk kepada informasi penelitian
yang dilakuakan oleh Dr. Nasrun Rusli, kajian secara utuh dan serius tentang
pemikiran al-Syaukânî hanya baru dilakukan oleh sarjana Mesir. Yakni
Ibrâhîm Ibrâhîm Hilâl melalui tesis Magisternya di fakultas Dâr al-‘Ulûm
Universitas Kairo, yang berjudul Walâyah Allah wa al-Tharîq Ilaihâ. Tesis
tersebut khusus membahas tentang pandangan kesufian al-Syaukânî,
terutama yang menyangkut wali Allah. Kajian kesufian yang dibimbing oleh
Mahmûd Qâsim, pakar falsafah Islam tersebut memusatkan kajian pada karya
al-Syaukânî yakni al-Qatr al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî. Di dalam karya al-Qatr
al-Walî ’Ala Hadits al-Qalî tersebut dilampirkan pula karya al-Syaukânî yang
menjadi sumber kajian tersebut setebal 315 halaman, melebihi tebal
pembahasan Hilâl, yang hanya setebal 200 halaman.
Setelah itu, Hilâl juga melihat bagaimana pandangan al-Syaukânî
tentang ijtihad dan taqlid, yang dituangkan dalam satu karya ringkas berjudul:
19
al-Imâm al-Syaukânî wa al-Ijtihâd wa al-Taqlîd. Seperti karya terdahulu, Hilâl
juga melampirkan karya al-Syaukânî yang menjadi sumber kajian itu.58
Dalam karya orang Indonesia, Penulis menemukan beberapa kajian
tentang al-Syaukânî pertama, pada aspek fiqih yang ditulis oleh Dr. Nasrun
Rusli, M.A., yang berjudul ”Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya
dengan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia” karya ini merupakan
Disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1998 yang kemudian
menjadi sebuah buku dengan judul yang sama seperti Disertasinya, terbitan
Logos tahun 1999 . Karya ini memfokuskan pada kajian ushul fiqih yang
dilakukan al-Syaukânî secara kritis yang kemudian Nasrun Rusli mencoba
kaitkan dengan pembaharuan hukum di Indonesia, dan dari karya ini bisa
dilihat bahwa al-Syaukânî membangun sebuah metodologi ijtihad yang
memperlihatkan kemandiriannya dalam berfikir.
Kedua, pada aspek pemikiran politik yang ditulis oleh Dr. H. Ahmad
Fahmy Arief, dengan judul Pemikiran Politik Dalam Tafsir Fath al-Qadîr,
karya ini merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997. penelitian ini
menghasilkan beberapa kesimpulan yang sangat mendasar tentang
kepemimpinan, musyawarah, keadilan, hidup berserikat dan berkumpul yang
dipahami dari kitab tafsir Fath al-Qadîr karya al-Syaukânî.59
Dan yang ketiga, kajian tentang illat dalam konteks Usul Fiqh yang
ditulis oleh M. Syafi’i dengan judul Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî
58 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan
Hukum di Indonesia, (Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakartah, 1998), h. 21-22. 59 Ahmad Fahmy Arief, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi IAIN
Jakarta, 1997.
20
Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Karya ini
merupakan Tesis pada IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun
1993. Tesis ini merupakan kajian ilmiah terhadap sebuah kitab usul fiqih
karya al-Syaukânî. Secara khusus Tesis ini mengangkat syarat-syarat illat
yang terdapat dalam kitab tersebut.60
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menjelaskan pendekatan (manhâj) dan metode (tarîqah) tafsir al-
Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qâdir;
2. Menjelaskan dan memahami paradigma pemikiran kalam al-
Syaukânî;
3. Menjelaskan corak kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath al-Qadîr;
4. Mengungkapkan kemungkinan adanya dua paham yang berbeda yang
terdapat pada pemikiran kalam al-Syaukânî dalam tafsir Fath a-Qadîr.
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Realisasi penelitian ini akan bermanfaat dan sinifikan paling tidak:
pertama, memperluas kajian penafsiran al-Qur’an tentang kalam secara
konseptual. Kedua, dengan adanya kajian ini, dapat menjadi kontribusi
ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an. Karena ilmu al-Qur’an bukanlah
disiplin ilmu yang mati dan terbatas untuk jangkauan masa lampau saja, akan
tetapi juga mengakomodir perkembangan baru sesuai dengan pemahaman
60 M. Syafi’I, Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Tesis IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, tahun 1993.
21
manusia dalam setiap zamannya. ketiga Memberikan sumbangan kajian
pemikiran kalam al-Syaukânî kepada para pembaca agar tidak terlalu apriori
terhadap tafsir Fath al-Qadîr; Dan terakhir, kajian ini dapat memberikan arah
bagi penelitian-penelitian serupa yang lebih intensif di belakang hari.
Kesinambungan antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, selain
dapat mengurangi tumpang tindihnya (overlapping) informasi, ia juga bisa
menjadi koreksi bagi penelitian terdahulu yang menawarkan pandangan baru
sebagai antisipasi atas persoalan-persoalan yang dihadapi zamannya.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian tesis ini dilakuakn melalui riset kepustakaan (library
research), yaitu dengan membaca karya-karya al-Syaukânî sebagai data
primer dan meneliti karangan-karangan yang ditulis oleh orang lain tentang
al-Syaukânî sebagai data sekunder.61 Dan kajiannya secara deskriptif dan
analitis, yakni penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahaman
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek
penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain), pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.62
61 Komaruddin, Kamus Riset, (Bandung: Angkasa, 1984), h. 145, lihat pula, Noeng
Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Yake Sarasin, 1996), h. 49. 62 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003), h. 63.
22
Deskriptif63 analitis64 yakni analitis dalam pengertian historis dan
filosofis. Sebagai suatu analisa filosofis terhadap seorang tokoh yang hidup
pada suatu zaman yang lalu,65 maka secara metodologis menggunakan
pendekatan sejarah (historical approach),66 yang mengungkap hubungan
seorang tokoh dengan masyarakat, sifat, watak pemikiran dan ide seorang
tokoh.67
Sedangkan sumber yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
berasal dari data primer (primary resources) dan skekunder (secondary
resources). Sumber primernya adalah karya al-Syaukâni sendiri yakni tafsir
Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-Dirâyat min ‘Ilm al-
Tafsîr.68
Sedangkan data sekundernya penulis mengunakan buku-buku yang
terkait dengan cakrawala pemikiran al-Syaukânî dan ilmu-ilmu yang terkait
dalam berbagai bidang ilmu, khusunya tentang kalam dari sisi rasional atau
63 Deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya, lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 258.
64 Analitis adalah penguraian Sesutu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan, atau juga mengandung pengertian penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya. Lihat, Departemen Pendidikan Nasioanal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. Ke 3, h. 43.
65 Anton Bakker dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 61.
66 Syahrin Harahap, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam Bidang Pemikiran Islam, (Medan: IAIN Press, 1995), h. 18.
67 M. Nizar, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 62. 68 Tafsir ini merupakan karya monumental al-Syaukânî yang menjadi objek
penelitian pada tesis ini. Pada tafsir ini mengurai secara terperinci tentang aspek bahasa al-Qur’an. Sebelum mengurai kandungan satu ayat, ia menjelaskan terlebih dahulu kata-kata yang dipergunkan al-Qur’an, kemudian menguraikan kandungan ayat itu lengkap dengan sebab turunnya dan perbedaan pendapat ulama tentang hukum yang dikandung ayat itu.
23
tradisional. Selanjutnya, karena penelitian ini, ingin mengungkap apakah
corak kalam al-Syaukânî rasional atau tradisional, maka penulis merujuk
kepada dari aliran Mu’tazilah misalnya Syarh al-Ushûl al-Khamsah karya
Qâdi al-Qudât Abu Hasan ‘Abd al-Jabbâr bin Ahmad bin al-Khalîl bin
‘Abdullah al-Hamdân al-Asad Abadî (w. 459 H.). Dan dari aliran Asy’ariyah
adalah al-Ibânât al-Ushûl al-Diyâna dan al-Luma‘ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig
wa al-Bida‘ masing-masing karya al-Syaikh al-Imam Abî al-Hasan ‘Alî bin
‘Ismâ‘îl al-Asy’ari (w. 324 H.). Sedangkan dari aliran Maturidiyah Bukhara
adalah Kitab Ushûl al-Din, karya Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi. Selain
itu juga penulis menghadirkan karya lain yang masih ada keterkaitan dengan
pembahasan tesis ini diantaranya Konsep Ijtihâd al-Syaukânî karangan Dr.
Nasrun Rusli, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, karya ini
merupakan Disertasi pada IAIN Jakarta, tahun 1997 karya Dr. H. Ahmad
Fahmy Arief, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan
karya Prof. Dr. Harun Nasution, dan lain-lain.
Adapun teknis penulisan dalam tesis ini, penulis berpedoman pada
buku ”Pedoman Penulisan Karya Ilmiah; (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang
diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, cetakan II, tahun
2007.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam membahas tesis ini, maka karya ilmiah ini
ditulis dalam lima bab yang masing-masing bab terdiri dari pasal-pasal yang
terkait antara satu dengan yang lainnya, dengan sistematika sebagai berikut:
24
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang latar
belakang masalah, permasalahan, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan
penelitian, manfaat/signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua membahas biografi al-Syaukânî, meliputi biografi singkat
dan potret kehidupan awal, karya-karya, guru dan murid-muridnya, serta
hubungan al-Syaukânî dan Syiah Zaidiyah.
Bab ketiga membahas tentang pendekatan (manhâj) dan metode
(tarîqah) tafsir Fath al-Qâdîr karya al-Syaukânî, yang meliputi mengenal tafsir
Fath al-Qadîr, pendekatan (manhâj) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-
Qadîr, dan metode (tarîqah) tafsîr al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr.
Bab keempat membahas Analisis corak kalam tafsir Fath al-Qadîr
telaah atas pemikiran al-Syaukânî dalam teologi Islam. Bab ini menjadi inti
pembahasan dalam kajian ini, meliputi: kekuasaan Tuhan dan kehendak
mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat
Tuhan. Masing-masing butir, dibagi lagi menjadi dua sub tema: pertama,
ayat-ayat kalam dan pandangan Mu’tazilah, Maturidiyah Samarkand,
Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara. Dan kedua adalah pandangan al-
Syaukani berkenaan dengan masalah-masalah kalam yang dibahas.
Bab kelima adalah bab penutup, yang berisi kesimpulan yang di tarik
dari pembahasan dari sub-sub sebelumnya, dalam rangka menjawab masalah
pokok yang telah dirumuskan di bagian pendahuluan dan juga memuat
saran-saran konstruktif.
25
BAB II
AL-SYAUKÂNÎ (1172 - 1250 H.) DAN TAFSIR FATH AL-QÂDÎR
A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal
Prof. Dr. Harun Nasution dalam buku Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan membagi sejarah Islam dalam tiga periode
besar, yaitu: pertama klasik69, kedua pertengahan70, dan ketiga moderen71.
69 Periode klasik (650 – 1250 M.) merupakan zaman kemajuan dan dibagi menjadi
dua fase. Pertama, fase ekspansi, intergrasi dan puncak kemajuan (650 – 1000 M.) pada zaman ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke India Timur. Dan pada zaman ini pula pula menghasilkan ulama-ulama kenamaan. Misalnya, Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanifah, Imâm Syâfi‘i, dan Imâm Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum, Imam Asy‘arî, Imâm al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’taziah seperti Wasil bin Ata’ dalam bidang teologi, Zunûn al-Misri, al-Hallaj dalam mistisisme dan tasawuf, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dalam bidang falsafah, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, dan al-Râzî dalam bidang ilmu pengetahuan. Dan pada tahun 1000 – 1250 M. disebut fase disintegrasi. Masa ini umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, dan imbasnya Baghdad sebagai pusat peradaban dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1258. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13.
70 Periode pertengahan (1250 – 1800 M.) juga dibagi menjadi dua fase. Pertama fase kemunduran (1250 – 1500 M.). di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan Sunni dan Syi’ah dan demikian juga dengan Arab dan Persia. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian pula dengan tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan melemah. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu. Kedua fase tiga kerajaan besar (1500 – 1800 M.) yang dimulai zaman kemajuan (1500 – 1700 M.) dan zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah Kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13-14.
71 Periode Moderen (1800 M. – dan seteterusnya) merupakan masa kebangkitan Islam. Jatuhnya Mesir menyadarkan dan menginsafkan akan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi umat Islam. Di periode moderen inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 14.
26
Melihat pembagian yang diuraikan oleh Prof. Dr. Harun Nasution di
atas, Imâm al-Syaukânî (1173 H. / 1760 M. – 1250 H. / 1837 M. ) termasuk
dalam periode pertengahan dalam zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) dan
masa modern (1800 M. - dan seterusnya).
Sejak permulaan abad ke-12 H. (18 M.) dunia Islam telah memasuki
fase kemunduran, pada waktu itu, tiga kerajaan besar: Turki Usmani, Safawi,
dan Mughal telah mulai mengalami masa surutnya masa kejayaannya.
Sehabis masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1566 M.), kerajaan Turki
Usmani telah memasuki masa kemundurannya, sultan-sultan yang
memerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kerajaan yang
luas itu, bahkan mereka banyak dipengaruhi oleh para putri di istana,
sementara di berbagai wilayah dalam kerajaan muncul berbagai
pemberontakan, seperti di Suriyah timbul pemberontakan Kurdi Jumbulat, di
Mesir terjadi pemberontakan ‘Ali Bek al-Kabir yang diteruskan oleh
Muhammad ‘Ali, di Libanon terjadi pemberontakan di bawah pimpinan
Druze Amir Fakhruddin dan kemudian muncul pula gerakan al-Syihabiyah,
di Palestina gerakan pemberontakan dipimpin oleh Damir al-Amr. Janissary,
tentara Usman sendiri, juga berontak terhadap kerajaan. 72
Pada masa itu pula, beberapa peperangan dengan negara-negara
tetanggapun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Turki Usmani semakin
terpojok. Yunani memperoleh kemerdekaannya kembali pada tahun 1829
M., Rumania lepas pada tahun 1856, begitu pula dengan Bulgaria pada
72 Lihat, A. Syalabi, Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al-
Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), j. V, h. 675-677.
27
tahun 1878 M., Albania, dan Macedonia.73 Dalam pada itu, kerajaan Syafawi
di Persia yang menganut paham Syi’ah, mulai mengalami kemunduran.
Penyebabnya adalah penyerangan yang dilakukan oleh Afghan yang
menganut paham Sunni, di bawah pimpinan Mir Ways pada tahun 1709 M.
setelah itu, terjadilah pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh
Afghan. Dengan demikian, tamatlah kerajaan Syafawi di Persia.74
Sementara itu, di India, kerajaan Mughal yang berada di bawah
kekuasaan Aurangzeb sedang mengalami tantangan dari golongan Hindu
yang merupakan mayoritas penduduk India. Dalam kondisi demikian, Inggris
turut campur dalam konflik politik di India, dan akhirnya India dapat dikuasai
pada tahun 1857 M.75
Hal di atas, gambaran kondisi dunia Islam ketika al-Syaukani hidup.
Melihat kondisi dunia Islam yang semakin tidak menentu, Yaman adalah
salah satu bagian dari kerajaan Turki Usmani, di bawah kepemimpinan al-
Qasim ibn Muhammad, memberontak melawan Turki Utsmani, pada tahun
1598 M. dan mendirikan dinasti Qasimiyah. Setelah al-Qasim meninggal
(1009 H.), ia diganti oleh putranya, al-Mu’ayyad Muhammad ibn al-Qasim
(1009-1054 H.), yang telah sanggup mempertahankan Yaman dari serangan
bangsa Turki.76
73 Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1979), h. 87 74 Lihat, C. Brockelmen, History of The Islamic Peoples, (London: Routledge dan
Kegan Paul, h. 337-378. 75 Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,
1979), h. 87-88. 76 Lihat, A. Syalabi, Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al-
Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), j. VII, h. 484.
28
Setelah itu, berkali-kali serangan bangsa Turki di arahkan ke Yaman,
namun tidak menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan para imam Zaidiyah
di Yaman. Al-Syaukani sendiri merekam cerita tentang kepahlawanan
kakeknya, yaitu Abdullah al-Syaukani, yang ketika usianya telah mencapai
110 tahun masih mampu dengan gagah perkasa berjuang bersama para
putra Yaman melawan bangsa Turki dan mengusir mereka dari tanah
Yaman.77
Sekalipun demikian, para sultan Turki Utsmani tetap memandang
Yaman sebagai bagian dari wilayah mereka , yang membangkang terhadap
pemerintah pusat. Oleh sebab itu, selama pemerintahan Dinasti Qasimiyah
senantiasa terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Utsmani.78
Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, perkembangan ilmu
pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di wilyah lain, tidak dapat
dikatakan telah mencapai kemajuan yang berarti.79 Diakui oleh al-Syaukani
bahwa kebekuan dan taklid yang melanda kaum muslim sejak abad ke-4
yang mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bid’ah
dan khurafat, sehingga terjauh dari tuntunan Islam yang sebenarnya.80
Dalam situasi dan kondisi seperti itulah al-Syaukani di lahirkan.
Kondisi demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa sering seorang tokoh muncul
77 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-
Ma‘rifah, t. th.), j. I, h. 482. 78 A. Syalabi, Mausu’ah al-tarikh wa al-Hadarah al-Islamiyah, h. 485. 79 Lihat, al-‘Amiri, Mi‘ah ‘Am min Tarikh al-Yaman al-Hadits, (Damaskus, Dâr al-
Fikr, t.th.), h. 12. 80 Al-Syaukânî, al-Rasâ’il al-Dawa’ al-‘ajil fî Daf al-‘Aduw al-Sail dalam al-Rasa’il al-
Rasa’il al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khair al-Bariyyah Sallallah ‘Aliah wa Sallam, (Beirut: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1347 H.), h. 40-42.
29
ketika keadaan suatu umat sedang dilanda krisis. Nabi Muhammad saw.
Sendiri muncul di tengah-tengah masa jahiliyah, Ibnu Taimiyah (w. 728
H./1327 M.) muncul ketika dunia Islam sedang dalam kebekuan berfikir, yang
kemudian disusul oleh muridnya, Ibn al-Qayyim (w. 751 H./1356 M.).81
demikianlah pula, agaknya al-Syaukani.
Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Abdullah al-Syaukânî al-San’anî82 al-Yamanî. Beliau lahir83
di Syaukan,84 Yaman Utara, pada hari Senin tanggal 28 Dzu al-Qa’dah tahun
1172 H. dan meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Jumâd al-Akhîr
tahun 1250 H. dalam usia sekitar 78 tahun.85 Al-Syaukânî dimakamkan di
pemakaman Khuzaimah San‘a. sebelum kelahirannya, orang tuanya tinggal
81 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 52. 82 Lihat lebih lanjut, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-
Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 214. 83 Berkenaan dengan tahun kelahiran al-Syaukânî tidak ada kesepakatan pendapat
para ahli sejarah, ada yang mengatakan dia lahir pada tahun 1173 H./1760 M. lihat lebih lanjut, Luis Ma‘luf, al-Munjid, (Beirut: Dâr al-Masyrîq, tt), h. 395-396. lebih lanjut mengenai tahun kelahiran al-Syaukâni, bisa dirujuk pada beberap kitab berikut ini: al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 3, h. 211., lihat pula Salâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.), h. 337, lihat pula, Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani, Kitâb al-Sail al-Jarâr al-Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, (Kairo: tp. 1982), cet. Ke-2, h. 16.
84 Syaukân adalah sebuah desa yang jaraknya dengan kota San’a sejauh perjalanan satu hari, dengan berjalan kaki. Desa tersebut dihuni oleh suku Suhamiyyah, termasuk rumpun kabilah Khaulan. Lihat, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. I, h. 480. desa tersebut biasa disebut Hijrah Syaukan. Lihat pula, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 251. bahkan, ada juga yang menyebutnya dengan nama desa ‘Adna Syaukan. al-Syaukânî, al-Badr al-Tali, j. I, h. 481.
85 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8, lihat pula, al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 3, h. 211., lihat pula Salâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.), h. 337.
30
di San’a86. ketika musim gugur, mereka pulang ke Syaukan, kampung
asalnya dan pada waktu itulah al-Syaukani lahir. Tidak berapa lama setelah
itu, ia dibawa oleh orang tuanya kembali ke San’a.87
Ayahnya, Ali al-Syaukânî (1130-1211 H.), adalah seorang ulama yang
terkenal di Yaman, yang bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imam-
imam Qasimiyah, sebuah dinasti Zaidiyah di Yaman, untuk memegang
jabatan Qâdi (hakim). Ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut dua tahun
menjelang ajalnya. Dalam lingkungan keluarga inilah al-Syaukani dibesarkan.
Pada masa kecilnya, ia belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang
diselesaikannya pada al-Faqih Hasan ibn Abdullah al-Habi. Kemudian, ia
meneruskan pelajarannya dengan mempelajari ilmu tajwid pada beberapa
guru (masyayikh) di San’a. Sehingga ia menguasai bacaan al-Qur’an dengan
baik.88
86 Kota San’a dianggap sebagai kota yang tertua di dunia yang dibangun oleh putra
Nabi Nuh AS., yang bernama Syam. Di kota tua ini terdapat istana Gamadan yang didirikan oleh raja bernama al-Jasrah Jahsab. Pada masa khalifah Utsman berkuasa (6 H.), istana tersebut rusak kemudian dibangun kembali oleh Abraham al-Habsyi, demikian pula dengan gereja Qalis., sebagai salah satu rumah ibadah untuk menandingi umat Islam yang pergi melakukan ibadah haji ke Makkah. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1961), juz I, cet. 3, h. 3. Istana Gamadan secara turun temurun ditempati oleh raja-raja dari keturunan Bani Ziyad, Bani Ja’far di abad ke- 3 H., dan oleh Bani Raus di tahun 322 H. / 933 M., Selanjutnya kota San’a dijadikan sebagai ibu kota Yaman oleh kaum Syi’ah Zaidiyah sejak tahun 1000 H. / 1592 M.. Kemudia pada tahun revolusi Zaidiyah tahun 1948 M., kota tersebut direbut kembali oleh Ahmad bin Yahya, dan ibu kota dipindahkan ke Taiz. Setelah pembentukan Republic Yaman tahun 1962, barulah ibu kota Yaman dipindahkan dari Taiz ke San’a. lihat, Ahmad Atiyatullah, al-Qâmus al-Islâmî, (Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976), jilid 4, h. 342-344.
87 Lihat, Umar Muhammad Rida Kahhalah, Mu‘jam al-Mu’allifîn, (Beirut: Maktabah al-Musanna, t.th.), j. XI, h. 53.
88 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215.
31
Dalam Majalah Al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus
2006, yang merupakan Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain
bin Muhsin al-Ansari al-Yamani. Dikatakan bahwa Beliau tumbuh di bawah
asuhan ayahandanya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi
dan kesucian jiwa. Beliau belajar al-Qur'an di bawah asuhan beberapa guru
dan dikhatamkan di hadapan al-Faqih Hasan bin Abdullah al-Habi dan
beliau perdalam kepada para masyâyikh al-Qur'an di San'a. Kemudian beliau
menghafal berbagai matan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti: al-Azhar
oleh al Imâm al-Mahdi, Mukhtasar Faraidh oleh al-Usaifiri, Malhah al-Harm,
al-Kafiyah al-Syafiyah oleh Ibn al-Hajib, at-Tahdzîb oleh at-Tifazani, al-
Talkhis fi ‘Ulum al-Balâghah oleh al Qazwaini, al-Ghayah oleh Ibn al-Imam,
Mamhumah al-Jazâri fi al-Qira'ah, Mamhumah al-Jazzar fi al-'Arud, Adâb al-
Bahs wa al-Munazarah oleh al-Imâm al-' Adud. 89
Pada awal belajarnya beliau banyak menelaah kitab-kitab tarikh dan
adab. Kemudian beliau menempuh perjalanan mencari riwayat hadits
dengan sama’ (mendengar) dan talaqqi (bertemu langsung) kepada para
masyâyikh hadis hingga beliau mencapai derajat imamah dalam ilmu hadits.
Beliau senantiasa menggeluti ilmu hingga berpisah dari dunia dan bertemu
Rabbnya.90
89 Lihat, Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006, yang
merupakan Tarjamah al-Imâm al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Anshari al-Yamani.
90 Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Ansari al-Yamani, disadur dalam Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006.
32
Pada tahun 1209 H. meninggallah Qadi Yaman, Syaikh Yahya bin
Salih al-Syajari al-Sahuli. Maka Khalifah al-Mansur meminta kepada al-Imâm
al-Syaukani agar menggantikan Syaikh Yahya sebagai qadi negeri Yaman.
Pada awalnya beliau menolak jabatan tersebut karena takut akan disibukkan
dengan jabatan tersebut dari ilmu. Maka datanglah para ulama San'a kepada
beliau meminta agar beliau menerima jabatan tersebut, karena jabatan,
tersebut adalah rujukan syar'i bagi para penduduk negeri Yaman yang
dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang yang tidak amanah dalam
agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima jabatan tersebut. Beliau
menjabat sebagai Qadi Yaman hingga beliau wafat pada masa pemerintahan
tiga khalifah: al-Mansur, al-Mutawakkil, dan al-Mahdi. Ketika beliau menjabat
sebagai qadi maka keadilan ditegakkan, kezaliman diberi pelajaran,
penyuapan dijauhkan, fanatik buta dihilangkan, dan beliau selalu mengajak
umat kepada ittiba' terhadap Kitabullah dan Sunnah.91
Berkenaan jabatan al-Syaukani sebagai hakim, Ahmad Atiyatullah
dalam kitab al-Qâmus al-Islâmî menegaskan bahwa al-Syaukânî menjabat
sebagai hakim, ketika berusia kira-kira 45 tahun. Tugas sebagai hakim
dijabatnya pada tahun 1299 H. di San’a. rupanya jabatan sebagai hakim ini,
dipegangnya sampai akhir hayatnya. Kemudian, jabatan sebagai hakim
dilimpahkan kepada anaknya yakni Ahmad Muhammad ‘Ali (1229 H. / 1813
91http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4
33
M.), yang ketika ayahnya wafat, Ahmad Ali berusia 21 tahun dan meninggal
dunia tahun tahun 1281 H. / 1864 M.92
Kiprah intelektual al-Syaukânî dalam pengembangan ilmu keagamaan
dimulai sejak ia masih dalam bimbingan guru-gurunya. Disebutkan bahwa
setiap hari ia dapat menekuni tiga belas mata pelajaran, yang kemudian di
ajarkannya lagi pada hari yang sama kepada murid-muridnya.
Disebutkannya bahwa setiap hari ia dapat mengajarkannya sepuluh mata
pelajaran kepada murid-muridnya, dalam berbagai cabang ilmu, antara lain
adalah tafsir, hadits, usul fikih, nahwu, sorof, ma’ani, bayan, mantiq, fikih,
jidal (metode berdiskusi), arud (seni mengarang puisi), dan lain-lain.93
Di samping al-Syaukânî mendampingi guru-gurunya, ia juga tekun
belajar sendiri, membaca buku-buku sejarah, sastra dan sebagainya. Dia
seringkali mengikuti ceramah-ceramah tokoh-tokoh ilmuan, yang pada
gilirannya dapat membentuk watak serta kepribadiannya sehingga beliau
memperoleh predikat ulama.
B. Karya-karya al-Syaukânî
Dalam muqaddimah tafsir Fath al-Qâdîr, bahwa tercatat sebanyak 36
karya yang diterbitkan dalam bentuk buku dan 14 buah karya tulisnya dalam
92 Ahmad Atiyatullah, al-Qâmus al-Islâmî, (Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976), jilid 4, h. 186-187.
93 Dari aktifitas sehari-hari al-Syaukânî ini, dikemudian hari, banyak dari murid-muridnya yang berhasil dan memainkan peranan penting di tengah-tengah masyarakat secara luas. Sebagian kecil tercatat kurang lebih 11 orang dari murid-murid al-Syaukânî yang mewarisi ilmunya dan mengembangkan ilmu yang di ajarkan al-Syaukânî tersebar di berbagai daerah di Yaman dan sekitarnya. Lebih lanjut lihat, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 58.
34
bentuk manuskrip. Semua karya tulisnya itu, diselesaikan oleh al-Syaukânî
dalam usia 36 tahun. Kemudian, produktifitasnya mulai menurun ketika pada
usia 36 tahun pasca diangkatnya al-Syaukani menjadi hakim di San’a pada
masa pemerintahan al-Imâm al-Mansûr Ali ibn Abbâs (1775-1809 M.) dan
pada masa pemerintahan al-Mahdi Abdullah (1815-1835 M.).94
Imam al-Syaukânî dikenal sebagai ulama yang menguasai beberapa
cabang ilmu pengetahuan agama, seperti tafsîr, hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah,
ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya. al-Syaukânî tidak
saja mengaplikasikan ilmu-ilmunya dalam bentuk mengajar, akan tetapi ia
juga menuangkannya ke dalam bentuk tulisan.
Dari keluasan ilmu pengetahuan dan kedalaman wawasannya, Imâm
al-syaukânî dijuluki orang pada zamannya sebagai lautan ilmu yang tak
bertepi, matahari pengetahuan, Syaikh Islam, Qâdi al-Qudat dan lain
sebagainya. Karangan-karangan Imam Syaukânî melingkupi berbagai ilmu
pengetahuan agama, seperti yang tertulis dalam pendahulaun kitabnya ”Fath
al-Qadîr” sebagai berikut:95
94 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 22-26. 95 Lebih lanjut, lihat Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr,
Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), juz I, h. 23-26. bisa dilihat pula pada pendahuluan Fath al-Qadir cetakan Mesir, Dâr al-Fikr, tahun 1973 bahwa karangan-karangan Imam Syaukânî melingkupi berbagai ilmu pengetahuan agama, seperti kitab tafsir Fath Al-Qadîr, kitab Nail al-autar, kitab Tuhfat Al-Dzakirin, kitab Irsyâd Al-Siqat ’Ilâ Ittifâq Al-Syara’i, ‘Ala Al-Tauhîd Wa Al-Ma’ad Wa Al-Nubuwwah, kitab Al-Tawd Al-Munîf Fî Al-Intisâf, Li Al-Sa’d Min Al-Syarîf, kitab Tayyib Al-Nasyr Fî Al-Masâ’il Al-Asyr, kitab Fî Ikhtilâf Al-‘Ulama’ Fî Taqdîr Muttat Al-Nifâs, kitab Fî Hadd Al-Safar, Alladzi Yajibu Ma’ahu Qasr Al-Salat, kitab Mukammilah Fî Al-Basmalah, kitab Fî Anna Al-Talaq La Yatba’u Al-Talaq, kitab Fî Ibtal Da’wa Al-Ijma’ ‘Ala Tahrîm Al-Sima’, kitab Al-Bughyah Fî Mas’alah al-Ru’yah, kitab Irsyâd Al-Ghabi ’Ila Madzhâb Ahli Bait Fî Sahbi Al-Nabi, kitab Irsyâd al-Mustafid ’ilâ Daf’i Kalâm Ibn Daqîq al-‘Id fî al-Ittilaq wa al-taqyîd, kitab Al-Dawa’ Al-’Ajil Lî
35
- Hadis dan ulum al-hadis (al-Hadis wa ‘ulûmuh)
1. Ithâf al-akâbir bi isnâd al-Dafâir;
2. al-Fawâid al-Majmû‘ah fi al-ahâdits al-maudû‘ah, wa ghairuhâ
- Karangan yang berbentuk manuskrip (mu’allafâtuh al-makhtûtah)
1. Ithâf al-mahrah ‘alâ hadîts ”lâ ‘aduw walâ tairah”
2. al-Qaul al-maqbûl fî radd khabar al-majhûl min ghair sahâbah al-
Rasûl
3. Bulûgh al-Sâ’il amâniah bi al-takallum ‘alâ atrâf al-samâniyah
4. Bahts fî al-hadîts ”Fadainullâh ahaqqu ’an yuqdâ”
- ‘Aqîdah (‘Aqîdah)
1. Irsyâd al-siqât ilâ ittifâq al-syarâ’i‘ ‘alâ tauhîd wa al-ma‘âd wa al-
nubuwwât;
2. Qatr al-walî ‘alâ hadîts al-walî;
3. Bahs anna ijâbah al-du‘â’ lâ yunâfî sabaq al-qadâ’;
- Karangan yang berbentuk manuskrip (mu’allafâtuh al-makhtûtah)
1. al-Taudîh fî tawâtir mâ jâ’a fî al-muntaûzir al-masîh;
2. Irsyâd al-ghabî ilâ madzhab ahl al-bait fî sahab al-nabî;
3. al-Mukhtasar al-badî‘ fî al-khalq al-wasî‘;
- Fikih (Fiqh)
Daf’i al-‘Aduw al-Sâ’il, kitab al-‘Ajiban fî Raf’i al-Mazâlim wa al-Ma’âsim, kitab al-Dur al-Nadlîd fî Ikhlâs Kalimat Tauhîd, kitab fî Wujûb Tauhid Allah ‘Azza Wajalla, kitab al-Maqâlah al-Fâkhirah, kitab Nuzhah al-Ahdâq fi ‘Ilm al-Isytiqâq, kitab Raf’u al-Raiba Fîma Yajûzu wama La yajûzu min al-Ghîbah, kitab Kasyfu al-Atsar ‘an Hukm al-Syaf’ah bi al-Jiwâr, kitab al-Wasyisyu al-Marqûm fî Tahrîm al-Tahalli bi al-Zanab li al-Rijâl ‘alâ al-Umûm, kitan Fî Hukmi al-Tas’îr, kitab Nasru al-Jauhâr fî Syarh Hadîts Abî Dzâr, kitab Tanbîh al-Amtsâl ‘alâ Jawâz min Khâlis al-Mâl, dan lain sebagainya. Lihat lebih lanjut, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Fikr, 1973), juz I, h. 4-8
36
1. al-Dur al-nadîd fî ikhlâs kalimat al-tauhîd;
2. al-Dur al-bahiyyah fî al-masâ’il al-fiqhiyyah;
3. al-Dur al-‘âjil fî daf‘ al-‘adad al-sâ’il;
4. al-Sail al-jarâj al-mutadaffiq ‘alâ hadâ’iq al-azhâr;
5. Irsyâd al-sâ’il ilâ dalâ’il al-masâil;
6. al-Misk al-fâtih fî hat al-jawâ’ih;
7. Ibtâl da‘wâ al-ijmâ‘ ‘alâ mutlâq al-sumâ‘, dan lain-lain.
- Karangan yang berbentuk manuskrip (mu’allafâtuh al-makhtûtah)
1. al-Sawârim al-hindiyah al-maslûlah ‘alâ al-riyâd al-nadiyah;
2. al-‘Adzb al-munîr fî jawâb masâ’il bilâd ‘asîr;
3. al-Mabâhits al-duriyah fî al-mas’alah al-himâriyyah (mawâris);
- Usul Fikih (Usûl al-Fiqh)
1. Irsyâd al-fuhûl ’ilâ tahqîq al-haqq fî ‘ulûm al-usûl
2. Tanbîh al-a‘lâ ‘alâ tafsîr al-musytabihât bain al-halâl wa al-harâm;
3. al-Qaul al-mufîd fî adillah al-ijtihâd wa al-taqlîd;
4. Adâb al-talab wa muntahî al-’arib;
- Tafsir (Tafsîr)
1. Isykâl al-sâ’il ’ilâ tafsîr ”wa al-qamara qaddarnâhu manâzil”;
2. Fath al-qadîr, al-jâmi‘ bain fannai al-dirâyah wa al-riwâyah min
‘ilm al-tafsîr;
- Kitab kecil/tipis (Riqâq)
1. Tuhfah al-Dzâkirîn bu‘dah al-hisn al-hasîn min kalâm sayid al-
mursalîn;
2. al-’Îdâh li ma‘nâ al-taubah wa al-îdâh;
37
3. Jawâb su’âl ‘an al-sabr wa al-hil, hal humâ mutalâzimân am lâ?;
4. Bahts fî syarh qaulih Sallâhu ‘aliah wasallam ” wa al-dunyâ
ma’lûnah mal‘ûnah ma fîhâ”.
- Sastra (Adâb)
1. Bahts fî al-nahî ‘an mudah ikhwân al-sû’;
2. Bahts fî mâ isytahara ‘alâ al-sunnah al-nâs biannahu lâ ‘ahd
lidâlim;
3. Bahts fî al-salâh ‘alâ al-nabî Muhammad Saw.;
- Ilmu Bahasa dan Balaghah (‘ulûm lughawiyah wa balâghah)
1. al-Raud al-wasî‘ fî al-dalîl ‘alâ ‘adam inhisâr ‘ilm al-badî‘;
2. Bahs fî al-rad ‘alâ al-Zamakhsyârî fî istihsân bait al-Rabbah;
3. Nuzhah al-ihdâq fî ‘ilm al-isytiqâq
- Ilmu Pengetahuan (Ma‘ârif)
1. Bahts fî ‘ilm bi al Khat bi majmû‘;
2. Bahts fî wujûd al-Jinn;
3. Risâlah fî al-kusûf hal yakûn fî waqt mu‘ayyun ilâ al-qata‘ am dzâlik
yakhtalif;
- Sejarah (Târîkh)
1. al-Qaul al-hasan fî fadâ’il ahl al-yumn;
2. al-Qaul al-maqbûl fî faidân al-guyûl wa al-suyûl.
- Mantik (al-Mantiq)
1. Bahts fî al-had al-tâm wa al-had al-nâqis
2. Fath al-Khilâf fî jawâb masâ’il ‘Âbdurrazzâq al-Hind fî ‘ilm al-
mantiq
38
- Terjemah (Tarâjum)
1. al-Badr al-tâli‘ bi mahâsin min ba’d al-Qur’ân al-sâbi‘.
C. Guru-Guru dan Murid al-Syaukânî
1. Guru-gurunya96
Al-Syaukânî menimba ilmu pengetahuan agama pertama-tama
dengan ayahnya sendiri, yakni Ali al-Syaukânî.97 Kemudian ia juga berguru
96 Lihat, Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), juz I,, h. 22-23, lihat pula Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 54
97 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), juz I, h. 4. Selain itu bisa dilihat pula pada Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al Ansari al-Yamani, disadur dalam Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V/ Rajab 1427/Agustus 2006, atau di http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4. Di antara guru-gurunya adalah : Ayahanda beliau yang kepadanya beliau belajar Syarah al-Azhar dan Syarah Mukhtashar al-Hariri. Al-Sayyid al-Allamah Abdurrahman bin Qasim al Madaini, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar. Al-Allamah Ahmad bin Amir al-Hadai, beliau belajar kepadanya Syarah al-Azhar. Al-Allamah Ahmad bin Muhammad al-Harazi, beliau berguru kepadanya selama 13 tahun, mengambil ilmu fiqih, mengulang-ulang Syarah al-Azhar dan hasyiyahnya, serta belajar bayan Ibnu Muzaffar dan Syarah an-Nazhiri dan hasyiyahnya. As Sayyid al-Allamah Isma'il bin Hasan, beliau belajar kepadanya al-Malhah dan Syarahnya. Al-‘Allamah Abdullah bin Isma'il as-Sahmi, beliau belajar kepadanya Qawaid al-I'rab dan Syarahnya serta Syarah al-Khubaishi 'alâ al-Kâfiyah dan Syarahnya. Al-‘Allamah al-Qasim bin Yahya al-Khaulani, beliau belajar kepadanya Syarh as Sayyid al-Mufti 'alal Kafiyah, Syarah asy-Syafiyah li Luthfillah al Dhiyats, dan Syarah ar-Ridha 'alal Kafiyah. Al-Sayyid al Allamah Abdullah bin Husain, beliau belajar kepadanya Syarah al fami 'alal Kafiyah. Al-‘Allamah Hasan bin Isma'il al-Maghribi, beliau belajar kepadanya Syarah asy- Syamsiyyah oleh al-Qutb dan Syarah al-'Adhud 'alâ al-Mukhtasar serta mendengarkan darinya Sunan Abu Dawud dan Ma'alimus Sunan. Al-Sayyid al-Imam ‘Abd al-Qadir bin Ahmad, beliau belajar kepadanya Syarah Jam' al-Jawami' li al-Muhalli dan Bahruz Zakhkhar serta mendengarkan darinya Sahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa'i, Sunan Ibnu Majah, Muwatta’ Malik, dan Syifa' Qadi 'lyadh. Al-‘Allamah Hadi bin Husain al-Qarani, beliau belajar kepadanya Syarah al-Jazariyyah. Al-‘Allamah Abdurrahman bin Hasan al-
39
kepada ulama-ulama kenamaan di San’a dan sekitar pada masanya. Di
antara ulama-ulama yang menjadi gurunya adalah:
1. al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdurrahmân ibn Qâsim al-Madani (1121-
1211 H.) yang membimbing mempelajari fiqih;
2. al-Allâmah Ahmad ibn Amîr al-Hadâ’I (1127-1197 H.);
3. al-‘Allâmah Ahmad ibn Muhammad al-Harâzî yang mengajarkan
fiqih dan usul fiqih hampir selama 13 tahun;
4. al-Sayyid al-‘Allâmah Isma‘il ibn Hasan ibn al-Imâm al-Qâsim ibn
Muhammad (1120-1206 H.) yang mengajarkan ilmu nahwu;
5. ‘Ali ibn Hadi Urbah, yang mengajarkan usûl fiqih;
6. Abdullah ibn Ismaîl al-Nahwi (w. 1228 H.) yang mengajarkan
berbagai bidang ilmu seperti nahwu, mantiq, fiqih, usul fiqih,
hadits, mustalah al-hadits, dan tafsîr;
7. al-Qâsim ibn Yahya al-Khaulânî (1162-1209 H.), yang
mengajarkan berbagai bidang ilmu seperti fiqih, usul fiqih, hadits,
mustalah al-hadits, tafsîr, mantiq, adâb al-bahts wa al-munazarah
(metodologi penalaran dan diskusi);
8. al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Abdullah bin al-Husain ibn Ali bin al-Imâm
al-Mutawakkil alallâh
9. al-‘Allâmah al-Hasan ibn Ismâ‘il al-Maghribî (1140-1207 H.), yang
menjadi guru dibidang ilmu mantiq, usul fiqh, hadîts, mustalah al-
hadîts, dan tafsîr;
Akwa, beliau belajar kepadanya Syifa al-Amir Husain. Al-‘Allamah ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin Amir, beliau mendengarkan darinya Shahih Bukhâri dari awal hingga akhir.
40
10. al-Sayyid al-Imâm Abdul Qâdir ibn Ahmad al-Kaukabânî (1135-
1207 H.) yang mengajari al-Syaukânî dibidang ilmu kalam, fiqih,
ussul fiqih, hadits, bahasa dan sastra Arab, dan lain
sebagainyanya;
11. al-‘Allâmah Hadî ibn Husein al-Qârinî yang membimbngnya
membaca Syarâh al-Jazariyyah (kitab tentang macam-macam
bacaan al-Quran);
12. al-‘Allâmah Abdurrahmân ibn Hasan al-Akwa (1135-1206 H.), ia
mengajarkan membaca bagian awal dari kitab al-Syifa karya al-
Amir al-Husain;
13. al-Sayyid al-‘Allâmah ‘Ali ibn Ibrâhîm ibn Ahmad ibn Amir (1143-
1207 H.), yang membimbingnya membaca beberapa kitab hadits
seperti Sahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, al-Muwatta’, dan lain-lain;
14. al-Sayyid al-Arif Yahya ibn Muhammad al-Hautsi (1116-1247 H.),
yang mengajarkan fara’id, ilmu hitung dan ilmu ukur; dan lain-
lain.
Selain dari yang disebutkan di atas, secara khusus banyak orang-orang
yang mempunyai otoritas serta kapasitas dalam berbagai bidang yang
mempunyai andil besar terhadap al-Syaukânî. Misalnya, dalam bidang ilmu
al-Qur’an, antara lain Hasan bin Abdullah al-Hilb, ilmu fikih di pelajarinya
dari Imam Mahdi, ilmu fara’id dari al-Husaifurî, al-malhamah (sastra) dari
Imam al-Harîrî, al-Kâfiyah dan al-Safiah “Qawâ’id arabiyah” dari Ibnu Hajib,
dari al-Tafzani ia mempelajari al-Tahdzib, sedangkan ilmu balaghah dari al-
Qazwinî, rangkuman al-Muntaha yang berisikan seluk beluk usûl fiqh dari Ibn
41
al-Hajib. Ilmu qiraat ia pelajari al-Jâzirî, sedangkan ilmu ‘arud pada al-Jazzar.
Teknik diskusi dan logika diperolehnya melalui bimbingan Imam al-Udad.
Kitab Syarh al-Azhar dipelajarinya langsung pada al-‘Allâmah Abdurrahman
bin Qâsim al-Madâ’in dan Syarh Jami al-Jawâmi karanga al-Mahalli serta
hasyiah oleh Ibn Abi Syarîf dipelajarinya pada Syaikh al-Sayyid al-Imâm
Abdul Qâdir bin Ahmad.98
Sedangkan dalam mempelajari hadits-hadits Nabi, al-Syaukânî belajar
dari ulama-ulama hadits terkenal pada masa itu. Seperti hadits Sahîh al-
Bukhârî dipelajarinya pada Sayyid al-Allâmah Ali bin Ibrâhim ibn Ahmad bin
Amir, demikian juga Sahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Ibn Majah,
Sunan Abu Dâwud serta al-Muwatta’ Imâm Malik. Sedangkan Sunan al-
Nasâ’I diperolehnya dari al-Allâmah Hasan bin Ismaîl al-Maghribî. Al-
Muntaqa dan Syarh Bulûgh al-Marâm ia pelajari juga pada al-Maghribî.99
Dari sekian dan pengetahuan yang diterima oleh al-Syaukani yang
telah disebutkan di atas, dapat dipahami bahwa al-Syaukânî adalah seorang
yang tekun dan memiliki minat besar terhadap ilmu. Apa yang dilakukan al-
Syaukani ini merupakan hal yang wajar bagi seorang pelajar yang tekun
untuk mendapatkan ilmu yang sebanyak-banyaknya.
98 Lihat lebih lanjut, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-
Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), juz I,, h. 22-23, lihat pula Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 55.
99 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983), juz I, h. 4.
42
Menurut Nasrun Rusli, bahwa al-Syaukânî tidak pernah belajar di luar
kota San’â.100 Alasannya ialah bahwa orang tuanya tidak mengizinkan belajar
di luar kota San’a. kendati demikian, tentu ada alasan lain kenapa al-
Syaukânî tidak boleh belajar di luar kota San’a. kota San’a sudah dipandang
memadai karena kondisi perkembangan pendidikan di sana ketika itu tidak
lebih tertingal dari kota-kota lain di dunia Islam. Selain itu, Ali al-Syaukani
(ayah al-Syaukânî) adalah seorang ulam Syiah Zaidiyah yang mempunyai
reputasi yang besar dan popular dalam kerajaan, yang ketika itu menjabat
sebagai Qadi. Oleh karena itu, ia ingin agar putranya dapat menempati
kedudukan sebagai ulama Zaidiyah yang besar. untuk itu, al-Syaukânî
dikerahkan untuk mempelajari madzhab Syiah Zaidiyah kepada ulama
Zaidiyah yang ketika itu bermukim di San’a.
Demikianlah sebagian dari guru-guru yang pernah mendidik serta
mengajarkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan kepada al-Syaukânî, dan
masih banyak lagi guru-gurunya.
2. Murid-Murid al-Syaukânî
Di antara sekian banyak muridnya tercatat nama anaknya sendiri yang
bernama al-Allâmah Ali ibn Muhammad al-Syaukânî. Anaknya yang masih
muda ini dikenal sebagai anak yang salih dan banyak menguasai berbagai
macam cabang ilmu pengetahuan. Muridnya yang lain adalah al-Allâmah
Husein ibn Muhsin al-SabI Ansârî al-Yamînî, Muhammad ibn Hasan al-
100 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 56
43
Syajanî, al-Allâmah al-Syaikh Abdul Haqq ibn Fadal al-Hindî, al-Syarîf al-
Imâm Muhammad ibn Nâsir al-Hâzimî, dan lain sebagainya.101
Di antara murid-murid al-Syaukani adalah:
1. al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Zabarah al-Hasani al-Yamanai
al-San’ani (w. 1381 H./1962 M.), yang menulis biografi para tokoh
Yaman abad ke 13 H., yang berjudul Nail al-Watar min Tarâjim Rijal
al-Yaman fi al-Qarn al-Tsalis ‘Asyr. Murid al-Syaukani yang satu ini
adalah termasuk generasi kedua, dan turut berperan menyebarkan
karya-karya al-Syaukani di Mesir.
2. Muhammad ibn Ahmad al-Saudi (1178 – 1226 H.), yang mendapat
pujian dari al-Syaukani sebagai salah seorang muridnya yang
cemerlang.
3. Muhammad ibn Ahmad Musyim al-Sa‘di al-San‘ani (1186 – 1223 H.),
adalah murid al-Syaukani yang pernah memegang jabatan Qadi di
San’a dan sering dipuji oleh gurunya.
4. al-Sayyid Ahmad ibn Ali Muhsin ibn al-Imam al-Mutawakkil ‘ala Allah
Ismail ibn al-Qasim (1150 – 1223 H.), yang belajar pada al-Syaukani
ketika usianya hampir mencapai lima puluh tahun dan menyertai
gurunya selama hampir sepuluh tahun.
5. al-Sayyid Muhammad ibn Muhammad Hasyim ibn Yahya al-Syami
(1178 – 1251 H.).
101 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), juz I, h. 23
44
6. Abdurrahman ibn Ahmad al-Bahkali al-Damdi (1180 – 1227 H.),
adalah termasuk murid al-Syaukani yang lama belajar dengannya,
sampai ia diangkat sebagai Qadi.
7. Ahmad ibn Abdullah al-Damdi (1174 – 1222 H.), yang kemudian hari
menjadi marja’ (tempat meminta fatwa) bagi penduduk Damd dan
sekitarnya.
8. Ali Ahmad Hajir al-San’abi (1180 – 1335 H.), yang mendalami mantiq
pada al-Syaukani, sehingga benar-benar mahir dalam ilmu tersebut,
yang diakui oleh al-Syaukani tidak ada murid lain yang
menandinginya.
9. Abdullah ibn Muhsin al-Haimi (1170 – 1240 H.), ia adalah salah
seorang murid yang dicintai oleh al-Syaukani, karena sangat banyak
menimba ilmu dari guru itu.
10. al-Qadi Muhammad ibn Hasan al-Syajni al-Zammari (1200 – 1286
H.), yang mendapat ijazah dari al-Syaukani pada tahun 1239 H.)
dialah orang yang pertama menulis biografi gurunya, yang berjudul al-
Tiqsar fî Jayyid Zaman ‘Alamah al-Aqalim wa al-Amsar.
11. al-Qadi Ahmad ibn Muhammad al-Syaukani (1229 – 1281 H.), ia
adalah putra al-Syaukani sendiri dan dipandang sebagai ulama
Yaman terbesar sesudah ayahnya. Seperti ayahnya, ia juga perna
memegang jabatan qadi di San’a.102
102 Lihat, Ibrahim Ibrahim Hilal, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, (Kairo: Dâr al-Kutub
al-Haditsah, t.th.), h. 30-33, lihat pula, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 23, Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 57-58.
45
Itulah sebagian kecil murid-murid al-Syaukani yang mewarisi ilmunya
dan mengembangkan ilmu tersebut ke berbagai daerah Yaman dan
sekitarnya. Dengan demikian, apa yang dihimbau oleh al-Syaukani di dalam
karya-karyanya, disebarkan oleh para murid tersebut.
`
D. Al-Syaukânî dan Syi’ah Zaidiyah
1. Syiah Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai imam
kelima, putra imam keempat, ‘Ali Zainal ‘Abidin. Kelompok ini berbeda
dengan sekte Syiah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal
‘Abidin yang lainnya, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah,
nama Zaidiyah diambil.103 Zaidiyah berasal dari Zaid ibn ‘Ali Zainal Abidin
ibn al-Husain ibn ‘Ali ‘Alaih al-Salam ibn ‘Abi Talib (80-122 H.) dan
kemudian dikembangkan oleh beberapa mujtahid dari kalangan anak
cucunya sendiri, atau keturunan ‘Ali dan Fatimah pada umumnya, dan yang
paling populer adalah: al-Qasim ibn Ibrâhim al-Rass (w. 170-242 H.), yang
kemudian terkenal dengan pendiri kelompok al-Qasimiyyah, yang
merupakan salah satu dari cabang madzhab Zaidi; al-Nasir al-Utrusyi (w. 230-
304 H.), ia adalah pengembang Syiah Zaidiyah di wilayah Dailam, Jabal, dan
Khurasan; al-Hadi ila al-Haqq Yahya ibn al-Husain ibn al-Qasim al-Rass
(245-298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri dari cabang Zaidiah
103 Ignaz Golziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Heri Setiawan,
(Jakarta: INIS, 1991), h. 121.
46
yakni al-Hadawiyyah. Selain itu, masih ada beberapa mujtahid yang tumbuh
dalam kalangan Zaidiyah.104
Syiah Zaidiyah merupakan sekte Syiah yang moderat, Abu Zahrah
menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan
Sunni. Lengkapnya Abu Zuhrah memberikan keterangan:
وهي لم , هذه الفرقه هي أقرب فرق الشیعة إلى الجماعة اإلسالمیة وأكثر إعتداال
. بل إعبتروهم كسا ئر الناس, بقاربهابل لم ترفعهم إلى مرتبة , ترفع األئمة إلى مرتبة النبوة
ولم یكفر أحدا من أصحاب رسو ل . زلكنهم أفضل الناس بعد رسول ااهللا صلى اهللا علیه وسلم
.وخصوصا من بیعهم على رضي اهللا عنه و عرف بإمامهم, اهللا صلى اهللا علیه وسلم
Artinya: Syiah Zaidiyah ini adalah firqah Syiah yang paling
dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Ahlussunnah dan yang paling lurus. Ia tidak mengangkat imam-imamnya sampai kepada martabat kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya kepada martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam mereka seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-utama orang sesudah Rasulullah Saw. Mereka tidak mengkafirkan seorangpun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Ustman) yang dibai’at oleh ‘Ali dan mengakui keimanannya.105
104 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155
105 Muhammad Abu Zahrah, al-Madzâhib al-Islamiyyah, (Mesir: Maktabah al-Adab, tt.), juz 1, h. 42. bisa dilihat pula dalam terj Abdurrahman Dahlan dan Ahamd Qarib, h. 45
47
2. Pandangan Kalam Syiah Zaidiyah
a. Pandangan Zaidiyah tentang Imamah
Imamah106 merupakan doktrin fundamental dalam Syiah secara
umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syiah lainnya,
Syiah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Syiah Zaidiyah
menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi
kepemimpinan Nabi Saw. telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi,
akan tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan
Syiah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk ‘Ali sebagai
orang yang pantas menjabat menjadi imam setelah wafatnya. Karena ‘Ali
memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti keturunan Bani
Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan
106 Secara etimologi imamah berarti tampil kemuka, seperti kamu berkata: “kamu
mengimami suatu kaum”, artinya kamu maju ke depan atau berada di depan mereka. Kata imamah tidak terdapat dalam al-Qur’an al-Karim, tetapi kata yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah kata “imam” dan “a’immah” pada Q.S. al-Baqarah / 2 : 124, al-Anbiyâ’ / 21 : 73, al-Taubah / 9 : 12, dan al-Qasas / 28 : 41. Imam adalah suatu yang diikuti oleh manusia seperti seorang pemimpin atau kepala, atau lainnya, baik yang benar ataupun yang sesat. Kata imam kadangkala disinonimkan dengan kata khilafah yang berarti penguasa/pemimpin tertinggi dan pemimpin rakyat. Saya menjadi imam bagi suatu kaum di dalam salat, yang berarti diikuti. Kata imam dipakai juga untuk sebutan al-Qur’an al-Karim, sebab al-Qur’an merupakan imam bagi kaum muslimin. Begitu juga kata imam juga dipakai untuk predikat Rasulullah Saw. Karena ia adalah imam bagi seluruh umat. Dalam kapasitas keimamahannya, manusia wajib mengikuti Rasulullah Saw. Yang telah ditegaskan di dalam hadits. Kata imam kadangkala dipakai untuk mengindikasikan norma-norma perintah yang transformative, juga kata imam dapat disematkan bagi seorang panglima tentara, serta kata imam digunakan untuk arti selain yang disebutkan di atas. lihat, Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah – Syiah Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ (Mausû‘ahnSyâmâh) Dirâsah Muqâranah fî al-Hadîts wa ‘Ulûmih wa Kutubih, terj. Bisri Abdussomad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), cet. 1, h. 9.
48
membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya
sebagai imam.107
Selanjutnya, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan bahwa
seorang imam paling tidak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, ia
merupakan keturunan ahl al-bait, baik melalui garis keturunan Hasan
maupun Husein. Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai
upaya mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka
menolak mahdiisme yang merupakan salah satu ciri syiah lainnya. Ketiga,
memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide
dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman imam,
bahkan mengembangkan doktrin imamah al-mafdûlah. Artinya, seseorang
dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan
pada saat yang sama ada yang afdal.108
Zaidiyah memandang bahwa ‘Ali adalah seorang yang paling pantas
menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena dialah orang
yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah disebut-sebut
oleh Rasulullah Saw. Dan imam sesudah ‘Ali seharusnya dari keturunan
Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan tetapi,
sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah yang
lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam dalam
bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari sinilah,
107 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj.
Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 47. 108 Harun Nasution, (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1992), h. 998.
49
Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan ‘Utsman
bin Affan.109
Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdulah. Syi’ah Zaidiyah
berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah
sah dari sudut pandang Islam. Mereka tidak merampas kekuasaan dari
tangan ‘Ali bin Abi Talib. Dalam pandangan mereka, jika ahl al-hall wa al-aqd
telah memilih seorang imam dari kalangan umat muslim, meskipun ia tidak
memenuhi sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiyah dan telah di baiat
oleh mereka, keimanan menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya.110
Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan seorangpun dari sahabat.
Menurut Abu Zahrah salah satu implikasi yang menyebabkan banyak
orang keluar dari Syi’ah Zaidiyah adalah berkurangnya dukungan terhadap
Zaid ketika ia berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini
wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah
menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar serta menuduh mereka sebagai
perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali.111
Salah satu prinsip, keyakinan dan ajaran pokok Zaidiyah yang
diungkapkan dalam beberapa pendekatan atau cara adalah : sekalipun fakta
menunjukkan bahwa ahl al-bait memilki keunggulan dibanding yang lainnya,
dan Imam Ali, Imam Hasan dan Husein telah ditunjuk Allah untuk menjadi
109 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz
Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j. 1, h. 155.
110 Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 47.
111 Muhammad Abu Zahrah, h. 48.
50
Imam, tetap saja kaum Zaidiyah berpendapat bahwa siapa saja dari kalangan
ahl al-bait, bila dia bangkit melawan kekejaman, maka dia memiliki kualitas
untuk menjadi imam. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa pandanagn
Zaidiyah tentang imamah beda dengan pandangan kaum muslim Syi’ah
imamiah. Zaidiyah melihat imamiyah bukan menjadi masalah yang penting.
Zaidiyah bahkan bisa menerima sikap Abu Bakar dan Umar tidak
menghendaki ‘Ali untuk menjadi Khalifah.
b. Pandangan Zaidiyah tentang Pelaku Dosa Besar
Di samping hal di atas, penganut Syiah Zaidiyah percaya bahwa orang
yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat
dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini Zaidiyah lebih dekat
dengan Mu’tazilah. Hal ini bisa dipahami karena Zaid adalah salah seorang
murid Wasil ibn ‘Ata’ (80-131 H.), pendiri aliran Mu’tazilah. Abu Zahrah
mengatakan bahwa dalam teologi Syi’ah Zaidiyah hampir sepenuhnya
mengikuti Mu’tazilah. Selain itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti
Murji’ah, dan berpendirian puritan dalam menyikapi tarekat.112
c. Pandangan Zaidiyah tentang Nikah Mut’ah dan Taqiyah
Ajaran Syi’ah Zaidiyah yang lain adalah Zaidiyah menolak taqiyah
dan nikah mut’ah. Sebagaimana disampaikan oleh Wj. Hamblin dan Daniel
C. Pettersen mengatakan:
112 Harun Nasution, (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Djambatan, 1992), h. 999.
51
“…They reject practices of taqiyah (prudential concealment), and temporary marriage.”113
“…Mereka menolak praktik-praktik taqiyah dalam Syiah serta perkawinan mut’ah”.
Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas
kekhalifahan ‘Umar bin Khattab. Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan
salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan pada masa Nabi Saw. Pada
perkembangannya, jenis pernikahan di hapus oleh khalifah Umar bin
Khattab.114 Penghapusan ini jelas ditolak oleh Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh
karena itu, hingga sekarang kecuali kalangan Zaidiyah, ajaran Syi’ah tetap
mempraktekkan nikah mut’ah.115 Selanjutnya, Syi’ah Zaidiyah juga menolak
doktrin taqiyah116. Padahal menurut Taba’taba’I taqiyyah merupakan salah
satu ajaran penting dalam syi’ah. 117
d. Pandangan Zaidiyah Tentang Ibadah
Dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung menunjukkan simbol
dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam adzan misalnya, mereka memberi
selingan ungkapan hayya ‘ala khair al-‘amal, takbir sebanyak lima kali dalam
113 Wj. Hamblin, dan Daniel C. Petterson, “Zaidiyah” dalam John L. Esposito (ed.),
The Oxford Enscylopedia of The Muslim Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University Press, 1995), jilid IV, h. 374.
114 Thaba’thaba’I, Muhammad Husain, Shi’a, terj. Husein Nasr dan Ansariyah, (Iran: Qum, 1981), h. 263-265.
115 Sahla Heri, Perkawinan Mut’ah dan Improvisasi Budaya, dalam jurnal Ulumul Qur’an, (Jakarta: LSAF, 1995), Vol. IV, h. 46-85.
116 Taqiyah dari segi bahasa berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini, terkadang sikap menyembunyikan identitas dan ketidakterusterangan. Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet IV, h. 12-13.
117 Thaba’thaba’I, Muhammad Husain, Shi’a, h. 263-265.
52
salat janazah, menolak sahnya mengusap kaki (maskh al-khuffain), menolak
imam salat yang tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan
muslim.118
3. Hubungan al-Syaukani dengan Syiah Zaidiyah
Membincangkan al-Syaukânî erat kaitannya dengan Syi’ah Zaidiyah.
Al-Syaukani tumbuh dan terdidik dalam tradisi Syi’ah Zaidiyah. Ayahnya
sendiri merupakan pembesar dan tokoh yang di segani di kalangan Syi’ah
Zaidiyah. Bahkan disebutkannya sendiri dalam kitab al-Badr al-Tali bi
Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sabi‘, sebagaimana di kutip oleh Nasrun Rusli
bahwa ia telah hafal kitab al-Azhar, kitab fikih yang popular dalam madzhab
Zaidiyah.119
Meski demikian, al-Syaukani juga mempelajari beberapa buku di luar
tradisi Zaidiyah. Misalnya, ia mempelajari kitab usul fikih Syafi’I, Syarh Jam‘
al-Jawâmi‘ karya Jalâluddîn al-Mahalli (w. 864 H.) di bawah bimbingan al-
Hasan ibn Ismail al-Maghribi, juga mempelajari kitab hadits hukum, Bulûgh
al-Marâm karya al-Imâm Ibn Hajar al-Asqâlânî (w. 852 H.) pada al-Maghribi,
kitab komentar al-Asqâlânî atas Sahîh al-Bukhârî, yang berjudul Fath al-Bârî,
yang banyak menyinggung fikih secara luas, dipelajarinya dari al-
Kaukabani.120 Oleh karena itu, tidak heran kalau pendapat al-Syaukani
terlihat lebih luas. Meskipun ia dibesarkan dalam kultur Zaidiyah, ia tidak
118 Harun Nasution, (ed.), h. 999. 119 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 56 120 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘…, h. 215-217.
53
merasa terikat dengan madzhab tersebut, terutama setelah ia telah mampu
melakukan ijtihad secara mandiri.
Dalam bidang fikih, madzhab Zaidiyah lebih dekat kepada madzhab-
madzhab Ahl al-sunnah121 dari pada madzhab fikih Syi’ah. Tegasnya bahwa
diakui bahwa fikih Zaidi sebagai bentuk fikih yang memiliki corak tersendiri,
namun tidak jauh berbeda dengan fikih madzhab yang empat.
Dalam usul fikih, Syi’ah Zaidiyah juga tidak banyak berbeda dengan
madzhab-madzhab Sunni. Dalil hukum yang menjadi dasar Zaidiyah ada
empat, yakni: al-Qur’an, sunnah, maslahah al-mursalah, dan istihsan. Namun
ketika tidak ada dalil syara’ sebagai landasan dalam menetapkan suatu
hukum, maka mereka menggunakan dalil akal, dengan mengerahkan
penalaran kepada illah hukum dan maqâsid al-‘ammah li al-Syara‘ (tujuan
umum syariat).122
Dari keterangan tentang hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah
Zaidiyah di atas, bisa diketahui dan dipahami bahwa al-Syaukani menganut
121 Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak sebelum al-Asy’ari, yaitu terhadap
mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi al-Qur’an dan hadits, dan apabila tidak diketemukan, maka dia dia saja, karena tidak dapat melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan dengan sebutan Ahlul Hadis yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan samapai masa tabiin. Sedangkan kebalikan dari mereka adalah “ahl al-ra’yi”, yang ketika tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadits, kelompok ini tidaklah berhenti samapai disitu, akan tetapi ia lebih berusaha dengan akal pikirannyauntuk menemukan hukum peristiwa yang didapati dengan jalan qiyas atau istihsan dan sebagainya. Dan dari penggabungan kedua metode aliran tersebut, maka timbullah aliran tengah-tengah yang dicetuskan oleh Imâm Syafi’i. meskipun sudah ada orang yang merasa selalu terikat dengan hadis dalam lapangan fikih, namun mereka tidak dikenal dengan sebutan “ahlussunnah”. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995), cet. Ke-6, h. 125
122 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid Hayâtuhu wa Ara’uh wa Fiqhuh, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1974), h. 447
54
paham Zaidiyah. Dengan demikian, hubungan al-Syaukani dengan ajaran-
ajaran dalam Syi’ah Zaidiyah sangat erat. Sebagaimana dipaparkan di atas,
ajaran-ajaran Syi’ah Zaidiyah sangat dekat dengan ajaran yang dianut oleh
Ahl al-Sunnah. Maka ajaran yang dianut oleh al-Syaukani juga tidak jauh
dengan apa yang diajarkan Ahl al-Sunnah. Selanjutnya, hubungan al-
Syaukani dengan Syi’ah Zaidiyah yang lain adalah bahwa ketika al-Syaukani
terlahir di Yaman, paham yang berkembang ketika itu adalah paham
Zaidiyah. Bahkan, ayahnya sendiri merupakan tokoh besar penganut paham
Zaidiyah. Hal ini artinya bahwa al-Syaukani semenjak kecil sudah
bersentuhan dengan paham dan ajaran Syi’ah Zadiyah. Sehingga tidak
diragukan lagi ketokohan dan hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah
Zaidiyah.
Dari uraian di atas tentang hubungan al-Syaukani dengan Syiah
Zaidiyah, bisa di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. al-Syaukani adalah dilahirkan dan di besarkan dalam tradisi Zaidiyah;
2. Bapak dari al-Syaukani adalah tokoh besar Zaidiyah;
3. Sejak kecil al-Syaukani sudah mempelajari dengan kitab-kitab yang
menjadi pegangan madzhab Zaidiyah;
4. dan al-Syaukani banyak belajar kepada ulama-ulama Syiah Zaidiyah,
terutama kepada bapaknya sendiri yang selaku tokoh Syi’ah Zaidiyah.
Dari poin di atas, kiranya sudah menjadi titik terang bahwa al-
Syaukani sangat erat hubungannya dengan madzhab Syiah Zaidiyah.
55
BAB III
MANHAJ DAN METODE TAFSIR FATH AL-QADÎR
A. Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunannya
Tafsir Fath al-Qadîr merupakan sumber utama dalam bidang tafsir dan
referensi penting. Karena tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan
riwâyah, membahas secara komprehensip masalah-masalah dirâyah dan
riwâyah. Sebagaimana diterangkan pada pendahuluan tafsir ini, bahwa tafsir
Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223 H.. Dalam
penyusunannya beliau merujuk kepada Abu Ja’far al-Nuhas, Atiyyah al-
Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalusi, Qurtubi, Jamakhsyari dan ulama-ulama
lainnya.123
Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari perhatian kita
terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al-
Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Kitab
tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm
al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama besar bernama al-Imâm
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W. 1250 H.).
Al-Syaukânî termasuk salah seorang ulama Yaman yang banyak
menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti seperti tafsîr,
hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah, ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain
sebagainya.
123 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 31
56
Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan
sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani
sendiri tentang kitabnya.
Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath al-Qâdîr ini
dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan al-Qur’an
sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan
menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang
diungkapkan al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr
sebagai berikut:
شامال لما شرعه لعباده من , الحمد هللا الذي جعل كتابه المبین كافال ببیان اآلحكامقاطعا , تفاوت اآلفهام وتباین اآلقدام وتخالف الكالمعند مرجعا لآلعالم , الحالل والحرام
فهو العروةالوثقى التي من تمسك بها فازبدرك , للخضام شافیا للسقام مرهما لآلوهام 124 ...ادةالواضحه التي من سلكها فقد هدى الى الصراط المستقیموالج, الحق القویم
”Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”
Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup bersemangat
dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat
124 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,
2007), juz 1, h. 29
57
kemuliaan dan keagungan akan al-Qur’an sebagai firman Allah. Al-Syaukani
mengandalkan kitabnya sebagai muara kebenaran, sehingga wajar jika beliau
senantiasa memberi himbauan kepada para pemikir dan peneliti untuk
mempergunakan kitab tersebut sebagai acuan dalam rangka mencari
kebenaran dan kepastian hukum.
Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al-
Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan
ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat.
Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang
yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang
dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan
kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi
dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab
ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiaban dan rujukan
para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr
al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr.125
Nama tafsir al-Syaukanî adalah tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain
Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari nama
tafsir karya al-Syaukânî ini, bisa diketahui bahwa pendekatan (manhaj) yang
dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya adalah menggunakan pendekatan bi
al-riwayah126 dan bi al-dirayah127.
125 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 31
126 Tafsîr al-riwâyah atau dalam sebutan lain bi al-Ma’tsur, atau al-manqûl ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt. Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-
58
Tafsir Fath Al-Qadîr merupakan salah satu tafsir yang cukup penting
dan tafsir ini juga salah satu kitab yang mu’tabar di abad moderen, bukan
hanya dikalangan Syi’ah Zaidiyah, namun juga dikalangan Ahlussunnah wa
al-jama’ah. Meskipun al-Syaukânî menganut Zaidiyah, namun buku-bukunya
dijadikan rujukan oleh para penulis modern Suni, khususnya dibidang tafsir,
hadits, dan usul fikih.128
Kandungannya mencakup banyak hal yang berusaha menjawab
problem-problem kontemporer dengan sebuah kesinambungan pemikiran
yang cemerlang dari penulisnya. Penerapan tafsir berusaha diletakkan sesuai
dengan kaidah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an yakni sebuah metode tafsir
moderen, dimana pencarian maknanya dilakukan lewat bantuan ayat lain
Sunnah nabawiyyah. Dengan demikian tafsir bi al-ma’tsur adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat. Lihat, Muhammad Ali al-Sabûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyîk: Maktabah al-Ghazali, 1981), h. 63
127 Sedangkan tafsîr bi al-dirâyah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi al-ra’yi, dan bii al-ijtihad ialah penafsirn yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan syai’r-sya’ir jahili serta mempertimbangkan sebab nuzul dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat, Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 1, h. 295
128 Di antara sekian karya-karya al-Syaukânî, yaitu Fath al-Qadîr (tafsir), Nail al-Autâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr (hadis), dan Irsyâd al-Fuhûl (usul fikih). Hal yang menarik dari uraian ketiga bukunya ini adalah bahwa ia menguraikan suatu persoalan secara objektif tanpa dibarengi subjektifitas madzhabnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika para penulis kumpulan biografi tokoh, seperti al-Marâghi (188-1945), ahli usul fikih dari Mesir dan penulis buku al-Fath al-Mubîn fi Tabaqât al-Usûliyyîn (kumpulan biografi tokoh usul fikih), mengemukakan bahwa unsur Zaidiyah dalam kitab-kitab al-Syaukânî tidak terlihat sama sekali. Lihat lebih lanjut, Hasan Mu’arif Ambary… (et al.), pembaca ahli, Taufik Abdullah (ed.), Abdul Aziz Dahlan..(et al.), Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. 1, h. 189-190.
59
yang dinilai relevan, karena berpedoman kepada kaidah bahwa
“sesungguhnya al-Qur’an itu saling menafsirkan terhadap sebagiannya”.129
Kitab tafsir Fath Al-Qadîr yang diteliti penulis berjumlah 5 jilid besar,
yang dicetak oleh penerbit Dâr al-Hadîs, Kairo, tahun 2007. Kitab ini disusun
berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Pada jilid 1, dimulai dengan muqaddimah, kemudian dilanjutkan
dengan penjelaskan surat al-Fâtihah, kemudian dimulai dengan tafsir al-
Basmalah dan dilanjutkan dengan tafsir ayat 2-7. Selanjutnya dilanjutkan
dengan tafsir surat al-Baqarah yang dimulai dengan tafsir ayat pertama,
selanjutnya ayat 2, 3 sampai akhir ayat 286. Setelah itu, Penafsirkan surat Âli
‘Imran yang dimulai dengan penafsirkan ayat ayat 1-6, kemudian dilanjutkan
penafsirannya dari ayat 7-9, dan seterusnya, dan dilanjutkan surat al-Nisâ.
Pada jilid 2, penafsiran al-Syaukani dimulai dari surat al-Mâ’idah, al-
An‘âm, al-A’râf, al-Anfâl, al-Taubah, Yûnus dan surat Hûd.
Jilid 3, penafsiran al-Syaukani dimulai dengan tafsir surat Yûsuf, al-
Ra‘d, Ibrâhîm, al-Hijr, al-Nahl, al-Isrâ’, al-Kahf, Maryam, Tâhâ, al-Anbiyâ’, al-
Hajj,dan surat al-Mu’minûn.
Jilid 4, penulisan al-Syaukani dimulai dari tafsir surat al-Nûr, al-
Furqân, al-Syu‘arâ’, al-Naml, al-Qasas, al-Ank‘abût, al-Rûm, Luqmân, al-
Sajdah, al-Ahzâb, Saba’, Fâtir, Yâsîn, al-Sâfât, Sâd, al-Zumar, Ghâfir, Fusilat,
al-Syûrâ, al-Zukhruf, dan surat al-Dukhân.
129 al-Sayyid Muhammad ali Iyazi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum,
(Teheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr Wazarah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt.), cet. 1, h. 705
60
Dan pada bagian terakhir Jilid 5, penulisan al-Syaukani dimulai dari
surat al-Jâtsiah, al-Ahqâf, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, Qâf, al-Dzuriyât,
al-Tur, al-Najm, al-Qamar, al-Rahmân, al-Wâqi’ah, al-Hadid, al-Mujâdalah,
al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Saf, al-Jumu’ah, al-Munâfiqun, al-Taghâbun, al-
Talaq, al-Tahrîm, al-Mulk, al-Qalam, al-Hâqah, al-Ma’arij, Nuh, al-Jin, al-
Muzammil, al-Mudatsir, al-Qiyâmah, al-Insân, al-Mursalât, al-Naba’, al-
Nâzi’ât, ‘Abasa, al-Takwîr, al-Infitar, al-Mutaffifîn, al-Insyiqâq, al-Burûj, al-
Tariq, al-A’lâ, al-Fajr, al-Balad, al-Syams, al-Laîl, al-Duha, al-Insyirah, al-Tîn,
al-‘Alaq, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-‘Âdiyât, al-Qâri‘ah, al-Takâtsur,
al-‘Asr, al-Humazah, al-Fîl, Quraisy, al-Mâ‘ûn, al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Nasr,
al-Masad, al-Ikhlâs, al-Falaq, dan surat al-Nâs. Dan pada jilid ini, al-Syaukani
memberikan kata penutup menandakan selesainya penulisannya dari surat
al-Fâtihah sampai surat al-Nâs.
Memperhatikan sitematika yang digunakan oleh al-Syaukani dalam
kitab tafsir Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min
‘Ilm al-Tafsîr tampaknya tidak jauh berbeda dengan sistematika ulama-ulama
tafsir pada umumnya. Al-Syaukani sebelum masuk ke ayat, ia menyebutkan
jumlah ayat dan tempat turunnya ayat, atau kategori Madaniah atau
Makiyah. Setelah itu, al-Syaukani menjelaskan nama surat disertai dengan
pendapat mufassir, yang kemudian diikuti dengan dalil baik dari hadis
maupun al-Qur’an. Setelah itu, kemudian masuk pada penafsiran ayat 1.
al-Syaukani dalam menafsirkan dari susunan surat, ia mengawali
dengan pengelompokkan ayat, baru kemudian masuk pada penafsiran. Pada
penafsiran yang dilakuakn al-Syaukani, ditemukan penafsiran ayat dengan
61
ayat, ayat dengan hadis, kemudian sebagain besar juga dilengkapi dengan
analisis bahasa, pendapat mufassir, ilmu qiraat dan syair.
Dalam tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-
Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr akan dipaparkan berbagai macam penafsiran yang
bertentangan, pendapat yang paling kuat maknanya tanpa begitu jelas, akan
dijelaskan maknanya secara panjang lebar dalam tinjauan bahasa, gramatika
dan sastra, memperhatikan secara seksama pendapat-pendapat tentang tafsir
tang dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, dan para
imam yang terkenal.
Kadang al-Syaukani meyebutkan sebuah hadis daif, hal itu dilakukan
baik dalam rangka memperkuat pendapat saja atau karena keserasiannya
dengan makna secara bahasa. Kadang-kadang disebutkan sebuah hadis
tanpa menyertakan sanadnya, hal ini dilakukan karena demikian yang
ditemukan dalam sumber aslinya, kasus seperti ini juga dalam Tafsîr Jarîr, al-
Qurtûby, Ibnu Katsîr, al-Suyûty dan yang lainnya. Hal ini seperti diungkap al-
Syaukani sebagai berikut:
, او لموافقته للمعنى العربي, اما لكون في المقام ما یقوي, وقد أذكر مافي اسناده ضعیف...كما یقع في تفسیر ابن ... غیر بیان حال االسنادوقد أذكر الحدیث معزوا الى روایه من
١٣٠...الجریر والقرطوبي وابن كثیر وغیرهم
Yang jelas mereka tidak memasukkan hadis daif kecuali menjelaskan
dan menerangkan kedudukannya, sekalipun demikian tidak berarti ketika
mereka meyebutkan hadis sahih lantas tidak meyebutkan sanadnya, bahkan
130 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,
2007), j. I, h. 31
62
kadang-kadang hadis sahih itu mereka perkuat lagi dengan hadits sahih yang
lain atau dengan hadits hasan.131
Dalam kitab tafsir ini, al-Syaukânî banyak menulis hadits-hadits yang
menerangkan keutamaan al-Qur’an, dan ahli-ahli al-Qur’an tidak akan
mendapatkan sesuatu yang dicari dari hadits-hadits sahih sebelum
memahami makananya, karena sebuah pemahaman merupakan buah dari
bacaan.132
Demikian selintas tentang tafsir Fath al-Qadîr, karya Imam al-
Syaukani.
B. Pendekatan (manhâj) Tafsir Imam al-Syaukâni dalam Tafsir Fath
Al-Qâdîr
Dilihat dari sumber pengambilan atau orientasi penafsirannya, tafsir
dapat dibedakan ke dalam tiga aliran besar yakni tafsîr bi al-riwâyah, tafsîr al-
dirâyah, dan tafsîr bi al-isyârah. Ketiga pendekatan tafsir ini timbul dan
berkembang seiring dengan kebutuhan umat dan tuntunan zaman.
Pada mulanya lahir tafsîr al-riwâyah, kemudian diikuti dengan tafsîr al-
dirâyah dan akhirnya tafsîr bi al-isyârah. Kelahiran tafsîr al-dirâyah selain
karena kebutuhan mendesak pada zamannya, juga sebagai kritik terhadap
aliran tafsîr al- al-riwâyah yang dianggap terlalu sedidkit. Demikian pula
dengan tafsîr bi al-isyârah, lahir sebagai reaksi atas aliran tafsir bi al-dirâyah
131 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,
2007), j. I, h. 31 132 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits,
2007), j. I, h. 32
63
yang dianggap terlalu mendewakan akal dengan mengabaikan peranan
intuisi.
Nama tafsir al-Syaukanî adalah tafsir Fath Al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain
Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari nama
tafsir karya al-Syaukânî ini, bisa diketahui bahwa pendekatan (manhaj) yang
dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya al-Syaukani menggunakan dua
pendekatan yaitu bi al-riwayah dan bi al-dirayah.
Tafsîr al-riwâyah atau dalam sebutan lain bi al-ma’tsur, atau al-manqul
ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat
sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt.
Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-Sunnah Nabawiyyah. Dengan
demikian tafsir bi al-ma’tsur adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-
Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah, atau
menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat.133
Sedangkan tafsir bi al-dirayah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi
al-ra’yi, dan bi al-ijtihad ialah penafsiran yang dilakukan berdasarkan ijtihad
mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi
argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan syai’r-sya’ir jahili serta
mempertimbangkan sabab al-nuzûl dan lain-lain yang dibutuhkan oleh
mufassir.134
133 Muhammad ‘Ali al-Sabûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyik: Maktabah al-
Ghazali, 1981), h. 63 134 Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000), juz 1, h. 295
64
Secara selintas tafsir dengan menggunakan pendekatan al-dirâyah
lebih berorientasi kepada penalaran yang bersifat aqli (rasional) dengan
menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya.
Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai
tafsir bi alra’yi. Begitu juga halnya dengan ijtihad dan tafsir bi al-ra’yi yang
memungkinkan hasilnya akan benar atau salah.
Dalam kaitan pembahasa ini, al-Syaukani menggunakan dua
pendekatan ini, sehingga bertambah mapan akan kajian yang dilakukan al-
Syaukânî.
Untuk mengenal manhâj yang dipakai al-Syaukani dalam tafsirnya kita
dapat mengetahuinya dari pendahuluan kitab tersebut sebagai berikut:
الفریق اآلول اقتصروا في : وسلكوا طریقین, ان غالب المفسرین تفرقوا فریقینوالفریق اآلخر جردوا أنظارهم الى , وقنعوا برفع هذه الرایة, تفاسیرهم على مجرد الروایة
وان جاءوا بها , ولم یرفعوا الى الروایة رأسا, وما تفیدهم العلوم اآللیة, تقتدیه اللغة العربیةما وان رفع عماد بیت , وأطال وأطاب, وكال الفریقین قد اأصاب, لم یصححوا لها أسا سا
١٣٥...وترك منها ما ال یتم بدونه كمال ااالنتصاب, تصنیفه على تعض اآلطناب
“Pada dasarnya para mufassir berbeda pendapat pada dua masalah, mereka mengambil jalan atas dua cara: golongan yang pertama adalah para mufasir yang memakai pendekatan riwayah, kedua adalah ulama yang memakai pendekatan dirayah yang membahas hanya sebatas telaah bahasa dan kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya dan kalaupun mereka mencamtukan hanya sebatas pelengkap, masing-masing kelompok, yang menganggap pendekatan yang mereka gunakan adalah benar, padahal menurut hemat saya (al-Syaukani) kedua metode di atas bisa saling melengkapi satu sama lain…”
135 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 30.
65
Oleh karena itu, lanjut al-Syaukani hendaklah ada usaha untuk
menyatukan dua pendekatan (manhaj) di atas tanpa membeda-bedakan
antara keduanya. Bahkan harus menjadikan keduanya saling melengkapi
satu sama lain, harapan itulah yang al-Syaukani pakai selama ini yakni
dengan cara meneliti buku-buku tafsir yang bertentangan satu sama lain
mulai dari segi makna, i’rab dan balaghahnya. Selain itu berusaha untuk
menunjukkan penafsiran-penafsiran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah,
sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in dan imam-imam yang dapat dipercaya.
Dalam menyusun tafsir ini, di satu sisi terkadang al-Syaukani
menyebutkan kedaifan sanadnya karena ada sanad yang lebih kuat dari
padanya atau bertentangan dengan kaidah bahasa arab dan di sisi lain al-
Syaukani hanya menyebutkan perawi tanpa menerangkan lebih jauh kualitas
sanadnya sesuai dengan sumber yang al-Syaukani kutip seperti dalam tafsir
Ibnu Jarir, Qurtubi, Ibnu Kasir, Suyuti dan yang lainnya karena mustahil bagi
mereka untuk menukil hadis daif tanpa menjelaskan kedaifannya.
Tafsir al-Syaukani tebal dan banyak ilmu yang kita dapat dari
padanya, aktual, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, memenuhi
standar penafsiran, mempunyai keunggulan dan sistematika yang memadai.
Setelah melakukan penafsiran secara riwayah, al-Syaukani melakukannya
dengan metode dirayah dengan rujukan tafsir-tafsir ulama-ulama terpercaya
sehingga kitab ini menjadi lengkap, sempurna dan mengagumkan, serta
menjadi referensi bagi orang-orang cerdas. Sehingga al-Syaukani kemudian
66
menamakan tafsirnya dengan “Fath al-Qadîr” yaitu tafsir yang memadukan
dua metode dirayah dan riwayah.136
C. Metode (Tarîqah) Syaukani dalam Tafsirnya
Seiring perjalan waktu, ilmu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab
tafsir terus bertambah dalam beraneka corak. Para ulama tafsir belakangan
memilih kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya ke dalam empat
bentuk tafsir, yaitu metode tahlili, ijmâli, muqarin, dan maudû’î.137
Sebagaimana disebutkan di atas, al-Farmawi, membagi metode
(tarîqah) tafsir yang selama ini dipakai ulama menjadi empat, yakni: tahlili,
ijmali, muqaran, dan maudu'i. Kemudian dari empat metode tersebut,
metode tahlili diperinci kembali menjadi tujuh corak, yakni: al-tafsir as-Sufi,
fiqhi, falsafi, ‘ilmi dan tafsir al-adab al-Ijtima’i.138
Dalam menafsirkan al-Qur'an, al-Syaukânî menggunakan metode
tahlili139 sebuah metode yang mendominasi tafsir-tafsir klasik baik yang
dengan penekatan bi al-ma’tsur seperti al-Durr al-Mansur fi al-Tafsîr bi al-
Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuti (849-911 H), Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil
ayat al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Tabari (224 H-310
H), dan Tafsîr al-Qur’an al-Azîm karya Imaduddîn Abu al-Fida’ al-Quraisy al-
136 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 31. 137 Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, (Dirâsah
Manhajiyyah Mauduiyyah, 1977), h. 23. 138 Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, h. 25.. 139 Tafsir Tahlili biasa juga tafsir analitis, menafsirkan al-Qur’an secara tahlili berarti
menafsirkan al-Qur’an sesuai urutan mushaf dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya seperti makna lafaz, sabab al-nuzul, munasabat, riwayat-riwayat yang terkait dan lain-lain, lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 2.
67
Dimasyqy Ibnu Katsir (700-774 H), ataupun yang bercorak bi al-ma’qul
seperti Tafsir Jalalain karya Jalal al-din al-Mahalli dan Jalal al-din al-Suyuti.
Dibanding dengan metode yang lainnya, metode tahlili atau tajzi’I140
adalah paling tua. Untuk mengatakan Al-Syaukani memakai metode tahlili
paling tidak ada beberapa kriteria penilaian bahwa dalam melakukan
penafsirannya, al-Syaukani memberikan perhatian penuh kepada semua
aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, dengan tujuan
menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Dalam menafsirkan
al-Qur’an, ada empat metode penafsiran yang dapat dipilih oleh calon
mufassir untuk menyusun tafsir. Berikut ini perincian tentang langkah-langkah
yang dilakukan mufassir. Metode tahlili biasa melakukannya sebagai
berikut:141
1. Menerangkan hubungan (munasabah) baik anatara satu ayat dengan
ayat yang lainnya, maupun satu surat dengan surat yang lainnya;
2. Menjelaskan sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl);
3. Menganalisis mufradat dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab;
4. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya;
5. Menjelaskan hukum yang ditarik dari ayat yang dibahas.
Selain dari kriteria di atas, yang menjadi ciri khusus dari metode tahlili
adalah menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai surat
140 Tajzi’I adalah istilah lain tahlili, yang dipopulerkan oleh Muhammad Baqir Sadr,
lihat tulisannya dalam al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsîr al-Maudu’I wa al-Tafsîr al-Tajzi’I fî al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Matbu’ah, t.t.), h. 7-10
141 Quraish Shihab, et. All, dalam Azyumardi Azra, Sejarah Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 173-174.
68
al-Nâs. Dan hal itu telah dilakukan oleh al-Syaukani melalui tafsirnya yang
berjumlah 5 jilid, atau dalam cetakan lain 6 dan 8 jilid.
Dalam rangka mencari kebenaran, metode (tarîqah) dan pendekatan
(manhâj) apa yang sebenarnya di pakai oleh al-Syaukani? Baiklah akan
penulis kemukakan contoh-contoh yang penulis ambil dari penafsiran al-
Syaukani tentang keadilan Tuhan sebagai berikut:
al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-Anbiyâ‛ (21) ayat 47 sebagai
berikut:
الموازين جمع ميزان، وهو يدل على أن هناك " ونضع الموازين القسط ليوم القيامة"موازين، ويمكن أن يراد ميزان واحد، عبر عنه بلفظ الجمع، وقد ورد في السنة في صفة
اإلعادة، الميزان ما فيه كفاية، وقد مضى في األعراف، وفي الكهف في هذا ما يغني عن أي كفى بنا محصين، والحسب في األصل " وكفى بنا حاسبين."والقسط صفة للموازين
معناه العد، وقيل كفى بنا عالمين، ألن من حسب شيئاً علمه وحفظه، وقيل كفى بنا ١٤٢.مجازين على ما قدموه من خير وشر
Bila dilihat lebih jauh penafsiran al-Syaukani di atas, ketika
menafsirkan surat al-Anbiya‛ (21) ayat 47, al-Syaukani menggunakan corak
bahasa yaitu al-Syaukani berusaha mengurai lafaz al-mawâzîn, beliau
mengatakan bahwa kata al-mawâzîn adalah bentuk jama’ dari mîzân, juga
kata al-qistu diartikan hâsibîn, dan muhsîn. Hal ini menandakan al-Syaukani
menggunakan pendekatan dirayah, karena menggunakan bahasa. kemudian
memasukkan pula munâsabah dengan mengkaitkan surat al-Anbiyâ’ ayat 47
142 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 513.
69
dengan surat al-A’raf dan al-Kahfi. Hal ini mengindikasikan bahwa al-
Syaukani dalam hal metode (tarîqah), beliau menggunakan tahlili. Karena di
antara metode tahlili, yaitu dengan menggunakan munasabah ayat maupun
surat.
Kemudian, al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-Yâsîn (36) ayat 54
sebagai berikut:
أي ال ينقص من ثواب عملها شيئاً : مما تستحقه" شيئاً"من النفوس " فاليوم ال تظلم نفس"أي إال " وال تجزون إال ما كنتم تعملون"من النقص، وال تظلم فيه بنوع من أنواع الظلم
١٤٣.أي بسببه، أو في مقابلته: جزاء ما كنتم تعملونه في الدنيا، أو إال بما كنتم تعملونه
Tafsiran surat Yasin ayat 54 di atas, al-Syaukani dalam menafsirakan
ayat tersebut menggunakan penguraian bahasa yakni menjelaskan kata
nafsun adalah bentuk jama’ dari nufûs, selain itu al-Syaukani menggunakan
penafsiran secara global. Dengan demikian al-Syaukani mengunakan
pendekatan dirayah.
al-Syaukani dalam menafsirkan surat Fusilat (41) ayat 46 sebagai
berikut:
أي من أطاع اهللا وآمن برسوله ولم يكذبهم فثواب ذلك راجع إليه " من عمل صالحاً فلنفسه"وما ربك بظالم "أي عقاب إساءته عليه ال على غيره " ومن أساء فعليها"ونفعه خاص به
143 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 447.
70
إن اهللا ال : "فال يعذب أحداً إال بذنبه، وال يقع منه الظلم ألحد كما في قوله سبحانه" للعبيد ١٤٤".ناس شيئاًيظلم ال
Pada penafsiran surat Fusilat ayat 46 di atas, al-Syaukani tidak
melakukan tinjauan bahasa, juga tidak melakukan munasabah dan asbâb al-
nuzûl, al-Syaukani dalam ayat ini hanya memaparkan penafsiran dari ayat 46
surat Fusilat secara global.
Selanjutnya al-Syaukani ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 40:
أي ال : والمراد من الكالم أن اهللا ال يظلم كثيراً وال قليالً" إن اهللا ال يظلم مثقال ذرة": قوله. يبخسهم من ثواب أعمالهم وال يزيد في عقاب ذنوبهم وزن ذرة فضالً عما فوقها
وقد تقدم الكالم في " ويؤت من لدنه أجراً عظيماً" لقوله "وإن تك حسنة يضاعفها" ١٤٥.المضاعفة والمراد مضاعفة ثواب الحسنة
Lain halnya dengan penafsiran al-Syaukani terhadap surat al-Nisa
ayat 40, terlihat al-Syaukani menggunakan munasah ayat. Dengan
menampilakn ayat bandingan yang tanpa menyebutkan nama suratnya. Hal
ini dalam rangka menafsrkan ayat 40 surat al-Nisa. Berarti di sini al-Syaukani
menggunakan pendekatan riwayat. Dikatakan menggunakan pendekata
riwayat, karena al-Syaukani menafsirkan ayat dengan ayat yang lain.
Kemudian dalam surat al-Kahfi (18) : 49 al-Syaukani menafsirkan
sebagai berikut:
144 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 619. 145 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 623-624.
71
السعيد في : والوضع إما حسي بأن يوضع صحيفة كل واحد في يده" ووضع الكتاب"أي أظهر عمل كل واحد من خير : وإما عقلي. يمينه، والشقي في شماله، أو في الميزان
أي خائفين وجلين " فترى المجرمين مشفقين مما فيه"وشر بالحساب الكائن في ذلك اليوم ب ذلك من االفتضاح في ذلك الجمع، والمجازاة بالعذاب مما في الكتاب الموضوع لما يتعق
يدعون على أنفسهم بالويل لوقوعهم في الهالك، ومعنى هذا " ويقولون يا ويلتنا"األليم " مال هذا الكتاب ال يغادر صغيرة وال كبيرة إال أحصاها"النداء قد تقدم تحقيقه في المائدة
ية كبيرة إال حواها وضبطها وأثبتها أي أي شيء له ال يترك معصية صغيرة وال معصفي الدنيا من المعاصي الموجبة للعقوبة، أو وجدوا جزاء ما عملوا " ووجدوا ما عملوا"أي ال يعاقب أحداً من عباده بغير ذنب، وال " وال يظلم ربك أحداً"مكتوباً مثبتاً " حاضراً"
١٤٦.ينقص فاعل الطاعة من أجره الذي يستحقه
Pada surat al-Kahfi ayat 49, al-Syaukani menggunakan pendekatan
bahasa dengan mencoba mengartikan al-wad‘, dimaknai secara eksplisitnya
yaitu “Seseorang meletakkan kertas di atas tangannya”. Selain itu, al-
Syaukani juga menafsirkan dengan surat lain yakni surat al-Mâidah. Maka
jelas di sini, al-Syaukani menggunakan dua pendekatan riwayat dan dirayat.
Dikatakan riwayat karena al-Syaukani mencoba menafsirkan ayat dengan
ayat yang lain, dan dikatakan dirayah karena al-Syaukani menggunakan
pendekatan bahasa.
al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-An‛âm (6) ayat 160 sebagai
berikut:
لما توعد سبحانه المخالفين له بما توعد بين عقب ذلك " من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها"
مقدار جزاء العاملين بما أمرهم به الممتثلين لما شرعه لهم بأن من جاء بحسنة واحدة من فال يجزى "من األعمال السيئة " من جاء بالسيئةو" الحسنات فله من الجزاء عشر حسنات
146 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h. 366-369.
72
من دون زيادة عليها على قدرها في الخفة والعظم، فالمشرك يجازى على سيئة " إال مثلهاالشرك بخلوده في النار، وفاعل المعصية من المسلمين يجازى عليها بمثلها مما ورد
بأن من عمل كذا فعليه تقديره من العقوبات كما ورد بذلك كثير من األحاديث المصرحةيجازيه اهللا بمثله وإن لم نقف : كذا، وما لم يرد لعقوبته تقدير من الذنوب فعلينا أن نقول
على حقيقة ما يجازى به، وهذا إن لم يتب، أما إذا تاب أو غلبت حسناته سيئاته أو تغمده ة بهذا تصريحاً اهللا برحمته وتفضل عليه بمغفرته فال مجازاة، وأدلة الكتاب والسنة مصرح
" ال يظلمون"أي من جاء بالحسنة ومن جاء بالسيئة " وهم"ال يبقى بعده ريب لمرتاب، ١٤٧.بنقص ثواب حسنات المحسنين وال بزيادة عقوبات المسيئين
Selanjutnya surat al-An‛âm (6) ayat 160 al-Syaukani juga melakukan
penafsiran ayat dengan hadits, yang hadis tersebut tidak di di takhrij
sedikitpun atau dalam bahasa lain, hadis tersebut dibiarkan saja tanpa
dilakukan takhrij al-hadîts. Walupun tidak ditakhrij, penafsiran demikian bisa
dikatakan penafsiran dengan menggunakan pendekatan riwayat.
Dan contoh penafsiran terakhir pada ayat-ayat tentang keadilan
Tuhan adalah ‘Âli Imrân (3) ayat 9 sebagai berikut:
أي أن الوفاء بالوعد شأن اإلله سبحانه : للتعليل لمضمون ما قبلها" إن اهللا ال يخلف الميعاد" ١٤٨.وخلفه يخالف األلوهية كما أنها تنافيه وتباينه
al-Syaukani pada ayat ini tidak menafsirkan dengan ayat lain, atau
bahkan al-Syaukani hanya menafsirkan begitu saja secara global. Pada ayat
147 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo - Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 233-234. 148 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 332.
73
ini tidak ditemukan pendekatan bahasa, sabab al-nuzul, juga munasabah
ayat.
Dari beberapa ayat yang dijadikan sampel, maka sesuailah kiranya
membuktikan dua pendekatan yang dipakai oleh al-Syaukani yakni dirayah
dan riwayah. Jadi, bisa dikatakan bahwa ternyata al-Syaukani menggunakan
dua pendekatan (manhaj), yakni riwayah dan dirayah seperti yang tertulis
dalam nama tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari
penafsiran al-Syaukani di atas, adalah lebih kepada metode tahlîlî. Dikatakan
tahlili karena al-Syaukani melakukan penafsiran dari awal surat, sampai surat
terakhir, indikasi lain adalah karena al-Syaukani menggunakan penelaahan
secara bahasa, munasabah ayat atau surat, dan asbâb al-nuzul. Seperti pada
kriteria pembahasan tahlili di atas.
Selain hal di atas, bisa dikatakan pula al-Syaukani adalah seorang
mufassir yang tidak murni menggunakan pendekatan riwâyat atau dirâyah
semata atau murni riwâyat atau dirâyah. Akan tetapi al-Syaukani
menggunakan pendekatan atas keduanya. Hal ini sesuai dengan nama kitab
tafsirnya yakni “Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah
min ‘Ilm al-Tafsîr”.
Maka jelaslah pendekatan yang dipakai dalam tafsir ini, yakni
penggabungan antara keduanya riwâyat dan dirâyah.
74
BAB IV
ANALISIS CORAK KALAM TAFSIR FATH AL-QADÎR: TELAAH
ATAS PEMIKIRAN AL-SYAUKÂNÎ DALAM TEOLOGI ISLAM
Sebagaimana diketahui, munculnya pemikiran kalam dalam Islam,
pada hakekatnya merupakan upaya sungguh-sungguh para pakar
memikirkan dan memahami dengan tepat dan benar kandungan al-Qur’an.
Hal ini berarti, pemikiran dalam Islam selalu bertitik tolak atau mendapat
topangan dari al-Qur’an. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam
al-Qur’an terdapat ayat-ayat kalam, yakni ayat-ayat yang dipergunakan oleh
para mutakallimîn sebagai dalil bagi pendapat-pendapat yang mereka ajukan
dalam bidang kalam.
75
Untuk penelitian lebih lanjut tentang corak pemikiran kalam tafsîr Fath
al-Qadîr, maka upaya yang penulis lakukan adalah: pertama,
pengelompokan ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh mutakallimîn
dalam membicarakan masalah kalam. Arti penting pengelompokan ayat-ayat
tersebut untuk memberikan kemudahan bagi penulis untuk meneliti masalah-
masalah kalam dalam tafsîr Fath al-Qadîr. Kedua, penulis kemukakan
pendangan-pandangan aliran kalam dalam hal ini corak rasional yang
diwakili oleh Mu’tazilah149 dan Maturidiyah Samarkand150, dan corak
tradisioanal diwakili oleh Asy’ariyah151 dan Maturidiyah Bukhara, dan ketiga,
penulis kemukakan penafsiran al-Syaukani berkenaan dengan pandangannya
mengenai ayat-ayat kalam, yang kemudian penulis lakukan analisa dari segi
corak kalam al-Syaukani.
Uraian berikut akan mencoba menyajikan suatu studi jelajahan
terhadap ayat-ayat mana saja yang dijadikan dalil oleh para mutakallimîn.
149 Aliran Mu’tazilah merupakan aliran tertua dan terbesar. Aliran Mu’tazilah lahir
kurang lebih pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irak). Dan dinamakan Mu’tazilah karena Wasil bin Ata’ dan Amr bin Ubaid menjauhkan diri (I’tizal dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995) cet ke-6, h. 64-65.
150 Nama aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid, kota kecil di daerah Samarkand (termasuk daerah Uzbekistan, Sovyet sekarang) kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan ia meninggal di kota Samarkand pada tahun 333 H. lihat pula, H. A.R. Gibb, et.all. The Enciclopedy of Islam, Leiden: Ej. Brill, 1960), vol. V, h. 414, lihat pula, A. Hanafi, Pengantar Theologi Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995) cet ke-6, h. 133.
151 Nama lengkap Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Ismail bin ‘Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari. Menurut beberapa riwayat al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H./875 M. ketika usia 40 tahun, ia hijrah ke Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H./935 M. lihat, Muhammad Imarah, Tayarrat al-Fikr al-Islâmî, (Beirut: Dâr al-Syuruq, 1911), h. 163, lihat pula, Abdurrahman Bawadi, Mazhab al-Islâmiyyin, ((Dâr al-‘Ilm al-Malayyin, 1984), 497.
76
Kemudian ayat-ayat tersebut dikelompokan ke dalam masalah-masalah
kalam yang telah disistematiskan sebelumnya, yakni kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan
sifat-sifat Tuhan.
Karena belum tersedianya literatur yang secara khusus dalam
menyajikan dan mengeompokkan ayat-ayat kalam, maka dalam penulisan
ini, akan mencoba menjaring semua ayat-ayat al-Qur’an yang berkenaan
dengan ayat-ayat kalam yang digunakan oleh para mutakallimîn sesuai
dengan sistematika yang di paparkan di awal.
A. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Tuhan sebagai pencipta alam semesta harus mengatasi segala yang
ada, bahkan harus melampaui segala aspek yang ada itu. Ia adalah eksistensi
yang mempunyai kehendak dan kekuasaan yang tidak terbatas, sebab tidak
ada eksistensi lain yang mengatasi dan melampaui eksistensi-Nya. Dengan
demikian, Tuhan haruslah dipahami sebagai eksistensi yang Esa dan unik.
Inilah makna umum yang dianut dalam memahami apa yang dimaksud
dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.152
Harun Nasution memberikan keterangan berkenaan dengan
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sebagai berikut:
“…Keyakinan pada kesanggupan akal dan pada kebebasan manusia mempunyai pengaruh terhadap konsep kehendak mutlak
152 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, (Jakarta: Perkasa, 1990),
h. 79
77
Tuhan. Jika keyakinan pada kebebasan dan kesanggupan manusia membawa kepada ketidakabsolutan kehendak Tuhan, keyakinan pada ketergantungan manusia sepenuhnya pada Tuhan membawa kepada keyakinan akan kemutlakan kehendak Tuhan”.153
Namun dalam sejarah perkembangan ilmu kalam, menurut Yunan
Yusuf, bahwa terdapat perbedaan konsep tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan ini. Didasari oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan
akal, fungsi wahyu, kebebasan serta kekuasaan manusia dalam mewujudkan
kehendak dan perbuatannya, konsep tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan pun turut berbeda pula.154
Secara lebih jelas, akan dipaparkan di bawah ini ayat-ayat tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, pandangan masing-masing aliran-
aliran kalam dan pandangan al-Syaukani.
1. Ayat-ayat tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
dan Pandangan Aliran Kalam
Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan adanya kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan. Di antaranya:
Mu’tazilah menggunakan atat 62 surat al-Ahzâb155 sebagai berikut:
Artinya: “…Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan
pada shunnah Allah”. (Q.S. surat al-Ahzâb (33): 62).
153 Lihat, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), cet. I, h. 75.
154 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet. 2, h. 89.
155 Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 120
78
Pada surat al-Ahzab di atas, secara gamblang memberikan
penjelaskan bahwa tidak akan dijumpai perubahan dalam hukum alam
tersebut. Aliran Mu’tazilah sangat menekankan adanya hukum alam ciptaan
Tuhan. Al-Jahiz, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa tiap-tiap
benda mempunyai hukum alam sendiri yang menimbulkan efek tertentu
menurut naturnya masing-masing. Benda dengan naturnya tersebut tidak
dapat menghasilkan kecuali efek yang ditimbulkan oleh naturenya itu, dan es
tidak menghasilkan apa-apa kecuali dingin.156 Sunnatullah tersebut tidak
mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri, dan dengan demikian
merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.157
Menurut aliran Mu’tazilah, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan
terbatas. Keterbatasan itu oleh karena adanya pembatasan yang diciptakan-
Nya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan berbuat bagi manusia,
menciptakan hukum alam atau sunnatullah, menciptakan norma-norma
keadilan dan kewajiban-Nya sendiri terhadap manusia.158
Paham tentang kebebasan berkemauan dan berbuat dalam
pandangan Mu’tazilah bertitik tolak dari pemahaman bahwa perbuatan
manusia tidaklah diciptakan oleh Tuhan, sebab manusia sendiri yang
menciptakannya.159 Pemberian kebebasan kepada manusia membatasi
kehendak dan kemutlakan Tuhan sendiri. Apabila dilanggar-Nya akan
bertentangan dengan keadilan-Nya.
156 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 120 157 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 121 158 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 119 159 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1960), h. 323.
79
Berdasarkan kebebasannya, maka manusia merdeka di dalam
menentukan nasibnya sendiri. Kewajibannya itu membawa kepada tanggung
jawab pribadi. Dengan kata lain, segala perbuatan manusia baik yang
mendatangkan dosa maupun yang mendatangkan pahala secara penuh
merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri.
Di samping itu, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dibatasi-Nya
sendiri melalui sunnatullah atau hukum alam buatan-Nya yang tidak
mengalami perubahan, sebagaimana dinyatakan Allah bahwa “kamu sekali-
kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah (Q.S. 33 : 62).
Sesuai dengan ayat ini, tampaknya aliran Mu’tazilah berpendirian
Tuhan tidak menghendaki untuk berbuat di luar ketetapan sesuai di ciptakan-
Nya sendiri. Di samping itu, kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi karena
menghadapi dzat yang terbatas, yaitu makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Ia sendiri
membatasi kekuasaan-Nya terhadap dzat yang terbatas itu. Sekiranya Ia tidak
membatasi kehendak dan kekuasaan-Nya, dzat yang terbatas itu tidak
mampu untuk menerimanya. Jika yang mutlak dihadapkan kepada yang
terbatas, yang terbatas akan hancur karena tidak mampu menerima
kemutlakan itu. Paling tidak itulah yang bisa ditangkap dari pemahaman
Mu’tazilah sebagaimana di uraikan di atas.
Sementara Maturidiyah Samarkand karena memberikan penghargaan
tinggi kepada akal, maka pendapatnya lebih dekat kepada Mu’tazilah.
Menurut mereka yang membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan
adalah kebebasan yang diberikannya kepada manusia. Selanjutnya ia tidak
80
sewenang-wenang dalam menjatuhkan hukuman.160 Untuk memperkuat
pandangannya di atas, Maturidiyah Samarkand mengemukakan dalil ayat-
ayat al-Qur’an161 berikut ini: Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48, al-‘An‛âm (6) : 149,
Yûnus (10) : 99 sebagai berikut:
Artinya: …sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…( Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48)
Artinya: Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;
Maka jika dia menghendaki, pasti dia memberi petunjuk kepada kamu
semuanya". (Q.S. al-‘An‛âm (6) : 149)
Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ? (Q.S. Yûnus (10) : 99)
160 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112 161 Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy, Fathullah
Khalifah (ed.), Kitâb al-Tauhîd, (Istambul, Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979), h. 287-289.
81
Ayat-ayat yang dikemukakan al-Maturidi di atas, dipahami oleh al-
Maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa membuat manusia yang ada di
bumi menjadi berimam, namun Ia tidak melakukannya karena kemerdekaan
berkehendak dan berbuat yang ada dalam diri manusia.
Berbeda dengan paham Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, al-
Asy’ari (w. 324 H.) berpendapat, bahwa Tuhan tetap mempunyai kehendak
dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun kebaikan di muka
bumi terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu berbuat
kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia lemah dan tidak bisa keluar dari
ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya pencipta. Perbuatan manusia adalah
ciptaan-Nya. Argumen yang dikemukakan berkaitan dengan itu adalah
“Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (Q.S. 37
: 96). Lengkapnya al-Asy’ari menuturkan sebagai berikut:
وإن ألشیاء تكون , وإنه الیكون فى األرض شیئ من خیر وشر إال ماشاء اهللاوال , وال یستغنى عن اهللا, وإن أحدا الیستطیع أن یفعل شیئا قبل أن یفعله, یمشیئةاهللا عزوجل
وإن أعمال العبد مخلوقة هللا , وإنه الخالق إال اهللا. یقدر على الخروج عن علم اهللا عزوجل ).162 ٩٦: الصافات: خلقكم وما تعلمون (: مقدرة كما قال
Al-Ghazâlî di dalam membicarakan masalah di atas, mengatakan
bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu. Karena itu tidak ada sesuatupun yang
merupakan kewajiban bagi-Nya. Penciptaan alam adalah yang jâ’iz bagi
Allah, bukan wajib. Begitupun dengan perbuatan-perbuatan Tuhan yang
berkenaan dengan yang ada di alam, adalah jâiz bagi-Nya. Dengan kata lain,
162 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-‘Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, ta‘lîq
‘Abdullah Mahmûd dan Muhammad ‘Umar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 16.
82
Tuhan tidak memberi upah atau pahala kepada orang taat, atau menghukum
orang yang durhaka. Pahala dan siksa bukan hak yang mesti diterima
manusia. Pahala adalah karunia-Nya, sedangkan siksa adalah keadilan-
Nya.163
Berkaitan dengan ini, aliran asy’ariyah memandang bahwa kehendak
Allah meliputi semua yang terjadi, dan kekuasaan-Nya meliputi segala yang
diciptakan-Nya, baik atau buruk.164
Untuk memperkuat pendapat di atas, Asy’ariyah mengemukakan
beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan kehendak dan kekuasaan
mutlak Tuhan, yaitu: Q.S. al-Insân (76) : 30, al-Kahfi (18) : 23-24, Hûd (11) :
107.165
Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila
dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S. al-Insân (76) : 30)
…
Artinya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"...(Q.S. al-Kahfi (18) : 23-24)
163 al-Ghazâlî, al-Iqtisâd fî al-I‘qtiqâl, (Kairo: Maktabah al-Husain al-Tijariyah, t.th.),
h. 81. 164 Muhammad Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.),
h. iii. 165 Abdurrahman al-Bawadi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ilmi lî al-
Malayyyîn, 1983), h. 556.
83
Artinya: … Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. (Q.S. Hûd (11) : 107)
Ayat-ayat tersebut di atas, dipahami oleh Asy’ari sebagai pernyataan
tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti
berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan
lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu. Sedangkan sifat lalai, lupa,
apalagi lemah, adalah sifat-sifat mustahil bagi Allah.166
Aliran Asy’ariyah mencontohkan kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan dengan mengatakan, bahwa kekafiran itu jahat, rusak dan batil. Begitu
juga dengan iman itu baik. Bagaimanapun orang berusaha agar iman di
pandang buruk atau batil, tidak bisa sebab Allah telah menetapkan sebagai
sesuatu yang baik. Kalau manusia sendiri yang menentukan sendiri
perbuatannya sudah tentu menjadikan kekafiran itu bisa terlaksana. Tetapi
kenyataannya tidak demikian. Oleh karena itu, terdapat penentu yang
sesungguhnya terhadap sesuatunya, yaitu Allah Swt.167
إنا وجدنا الكفر قبیحا فا سدا : تدالال عقلیا أوال فیقولویستدل األشعاري على ذالك إس
ووجدنا الكافر یقصد ویجهد . ووجدنا اإلیمان حسنا متعبا مؤلما, باطال متناقظا خالفا لما خلقووجدنا اإلیمان لوشاء المؤمن ان , فیكون بخالف قصده, نفسه إلى ان یكون الكفر حسنا حقا
. یكن ذالك كائنا على حسب مشیئته وإرادتهالیكون متعبا مؤ لما وال مرمضا لم
Berbeda dengan Maturidi Bukhara yang mengemukakan konsep
masyi’at dan rida, yaitu bahwa manusia melakukan perbuatan adalah benar
atas kehendak Allah. Namun, tidak semua perbuatan baik adalah kehendak
166 Al-Asy’ary, Al-Luma’, h. 47. 167 Abdurrahman al-Bazdawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ilmi lî al-
Malayyîn, 1983), h. 555.
84
dan rida Allah, tetapi manusia melakukan perbuatan yang jahat meskipun
atas kehendak-Nya perbuatan itu terjadi, namun bukan atas rida-Nya.168
Di samping itu, al-Bazdawi memandang paham taklîf mâlâ yûtak
dapat diterima. Sebab tidak mustahil bagi Tuhan meletakkan kewajiban
kewajiban yang tidak dapat dipikul oleh manusia.169
Adapun dalil yang digunakan oleh aliran Maturidiyah Bukhara, sama
dengan yang digunakan oleh aliran As’ariyah.
Sejalan dengan pandangan al-Asy’ari di atas, aliran Maturidiyah
Bukhara juga menekankan berlakunya kehendak dan kekuasaan Tuhan
semutlak-mutlaknya. Tuhan berbuat sekehendak dan tidak ada suatu
larangan pun bagi Tuhan. Ia membuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak
ada yang dapat menentang dan memaksa Tuhan.170
Dengan demikian, Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak dalam menentukan sesuatu, dan tidak ada
satupun yang menghalangi-Nya. Tuhan menciptakan kosmos ini bukan
karena ada tujuan tertentu. Ia berbuat sekehendak-Nya.171 Berdasarkan
pandangan demikian, dapat dikatakan bahwa Maturidiyah Bukhara sepaham
dengan Asy’ariyah.
168 al-Dawwani, Syarh al-Aqâid al-Adudiyyah, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1958), h.
42. 169 Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi, Usûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Ihya’ al-Kutub al-
‘Arabiyyah, 1963), h. 130. 170 Abu al-yusuf Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi, Kitâb
Usûl al-Dîn¸(Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 130. 171 Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Ihya’ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 130.
85
2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Bagi aliran kalam yang berpandangan bahwa manusia mempunyai
kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, seperti yang dianut oleh
Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan tidak lagi mutlak sepenuhnya. Sebaliknya, bagi aliran kalam yang
berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berkehendak dan berbuat, seperti yang dianut oleh Asy’ariyah dan
Maturidiyah Bukhara, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan memang
mutlak sepenuh-peniuhnya.
Baagaiman pandangan al-Syaukani tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan ini? Apakah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan mesti
berlaku sepenuh-penuhnya, sehingga boleh timbul kesan bahwa Tuhan dapat
berbuat apa saja berdasarkan kehendak-Nya. Ataukah kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan tersebut tidak layak berlaku sepenuh-penuhnya,
Karena Tuhan mempunyai janji-janji yang harus di tepati.
Dalam pandangan al-Syaukani, kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan berlaku dalam koridor sesuai dengan sunnatullah. Itulah sebabnya,
dalam pandangan al-Syaukani, kemutlakan Tuhan menjadi terbatas. Hal ini
sesuai dengan pendapat al-Syaukani dalam menafsirkan ayat 62 surat al-
Ahzâb sebagai berikut:
86
أي تحويالً وتغييراً، بل هي ثابتة دائمة في أمثال هؤالء في " ولن تجد لسنة اهللا تبديالً" ١٧٢.الخلف والسلف
“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah” yaitu pemindahan dan perubahan, bahkan sunnah Allah akan tetap selamanya pada koridornya apakah itu menurut ulama khalaf ataupun salaf.
`Secara jelas al-Syaukani dalam ayat di atas, menjelaskan bahwa
sunnatulah akan selamanya pada koridornya, ia tidak akan dapat dijumpai
perubahan, baik dalam pandangan ulama khalaf maupun salaf. Penafsiran
ini, nampaknya lebih mendekati pandangan rasional.
Kemudian, ketika al-Syaukani menafsirkan Q.S. al-Insân (76) : 30, al-
Syaukani mengatakan bahwa segala keputusan, kehendak itu akan
disandarkan pada Allah. Begitu juga dengan kebaikan dan kejelekan itu ada
di tangan Allah sebagaimana penafsiran al-Syaukani berikut ini:
أي وما تشاءون أن تتخذوا إلى اهللا سبيالً إال أن يشاء اهللا، " وما تشاؤون إال أن يشاء اهللا " فاألمر إليه سبحانه ليس إليهم، والخير والشر بيده، ال مانع لما أعطى، وال معطي لما
١٧٣.منع Artinya: “Dan tiadalah apa yang kamu kehendaki kecuali atas
kehendak Allah” Dan tiadalah kamu menghendaki untuk menuju jalan kepada Allah kecuali sesuai dengan kehendak Allah. Maka keputusan itu disandarkan kepada Allah Swt, bukan disandarkan kepada mereka (manusia), adapun kebaikan dan kejelekan itu di tangan Allah, tidak ada
172 Lebih lanjut, lihat Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr,
Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 366. 173 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 419.
87
yang mampu mencegah terhadap apa yang Allah beri, dan tiada yang bisa memberi terhadap apa yang Allah cegah.
Dari penafsiran al-Syaukani di atas, dapat dipahami bahwa ada dua
kehendak. pertama adalah kehendak manusia dan kedua kehendak Allah.
Sehingga kuranglah tepat paham kaum Mu’tazilah yang menjadikan manusia
memiliki kebebasan memiliki apa yang dinamai al-Qur’an kasb (usaha), tetapi
usaha itu sama sekali tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Sesuatu
baru dapat terjadi bila Allah menghendaki. Semua orang mempunyai
kehendia, anda berkehendak, aku pun berkehendak dan dia serta mereka
pun berkehendak, tetapi hanya Allah yang terlaksana kehendak-Nya. Namun
demikian harus diingat bahwa kehendak Allah itu bukan tanpa dasar atau
terjadi semena-mena. Demikian pemahaman dari penafsiran al-Syaukani di
atas.
Dalam memperkuat pendapat kehendak manusia dan kehendak
Tuhan, al-Syaukani mengutip hadis sebagai berikut:
١٧٤".كل امرئ ما نوىإنما األعمال بالنيات، وإنما ل"
174 Lebih lengkapnya lihat, Muhammad bin Ismail Abû Abdullah al-Bukhari (194-
256), Sahîh al-Jami’, (Beirut: Dâr Ibn Katsir, 1987), tahqîq Dr. Mustafa al-Bagha, juz, 1, h. 3, Muslim al-Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi (206-261) Sahih Muslim, (Beirut: Dâr al-Turas al-‘Araby, tt.), juz. 3, h. 1515, Abu Dawud al-Asy’ats al-Sijastani al-Azdy (202-275), Sunan Abî Dâwûd, (Dâr al-Fikr, tt.), tahqiq Muhyiddin ‘Abdul Hamid, juz. 2. h. 262. Muhammad bin ‘Isa bin Abu ‘Isa al-Turmudzi al-Sulami (209-279), Sunân al-Turmudzi, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâs al-‘Araby, tt.), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir wa Arkanuh, juz. 4, h. 179., lihat pula CD Mausu’ah Program Hadis, tahun 2003. 1. Shahih Bukhari juz 1 hal 3
كتاب بدء الوحي قال الشیخ اإلمام الحافظ أبو عبد اهللا محمد بن إسماعیل بن إبراهیم بن المغیرة باب كیف كان بدء الوحي إلى رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم وقول ١البخاري رحمه اهللا تعالى آمین
حدثنا الحمیدي عبد اهللا بن الزبیر ١ اهللا جل ذكره إنا أوحینا إلیك كما أوحینا إلى نوح والنبیین من بعده
88
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan tiap-
tiap perbuatan seseorang itu, tergantung pada apa yang ia niatkan”.
Bagi kaum ahl al-sunnah wa al-jama’ah, menurut salah seorang tokoh
aliran Maturidiyah,175 menunjukkan bahwa segala yang dikehendaki hamba
قال حدثنا سفیان قال حدثنا یحیى بن سعید األنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهیم التیمي أنه سمع علقمة بن وقاص اللیثي یقول سمعت عمر بن الخطاب رضي اهللا عنه على المنبر قال سمعت رسول اهللا صلى اهللا
بالنیات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنیا یصیبها أو علیه وسلم یقول ثم إنما األعمال إلى امرأة ینكحها فهجرته إلى ما هاجر إلیه
2. Shahih Ibn Hibban juz 2 hal 113 باب اإلخالص وأعمال السر
أخبرنا علي بن محمد القباني حدثنا عبد اهللا بن هاشم الطوسي حدثنا یحیى بن سعید القطان عن ٣٨٨یى بن سعید األنصاري عن محمد بن إبراهیم التیمي عن علقمة بن وقاص عن عمر بن الخطاب رضي یح
اهللا عنه قال قال رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم ثم األعمال بالنیات ولكل امرئ ما نوى فمن كانت و امرأة یتزوجها هجرته إلى اهللا ورسوله فهجرته إلى اهللا ورسوله ومن كانت هجرته إلى دنیا یصیبها أ
فهجرته إلى ما هاجر إلیه3. Sunan Ibn Majah Juz 2 hal 1413
باب النیة حدثنا أبو بكر بن أبي شیبة ثنا یزید بن هارون ح وحدثنا محمد بن رمح أنبأنا اللیث بن سعد قاال ٤٢٢٧
مع عمر بن أنبأنا یحیى بن سعید أن محمد بن إبراهیم التیمي أخبره أنه سمع علقمة بن وقاص أنه سالخطاب وهو یخطب الناس فقال سمعت رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم یقول ثم إنما األعمال بالنیات ولكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى اهللا وإلى رسوله فهجرته إلى اهللا وإلى رسوله ومن كانت هجرته
لدنیا یصیبها أو امرأة یتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إلیه4. Sunan Abi Daud juz 2 hal 262
باب فیما عني به الطالق والنیات حدثنا محمد بن كثیر أخبرنا سفیان حدثني یحیى بن سعید عن محمد بن إبراهیم التیمي عن علقمة ٢٢٠١
بن وقاص اللیثي قال سمعت عمر بن الخطاب یقول قال رسول اهللا صلى اهللا علیه وسلم ثم إنما األعمال نما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى اهللا ورسوله فهجرته إلى اهللا ورسوله ومن كانت بالنیات وإ
هجرته لدنیا یصیبها أو امرأة یتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إلیه5. sunan al-baihaqi kubra juz 1 hal 41
باب النیة في الطهارة الحكمیة أنا أبو طاهر محمد بن الحسین المجد آبادي أنا أخبرنا أبو طاهر محمد بن محمد بن محمش الفقیه١٨١
عثمان بن سعید أنا محمد بن كثیر ثنا سفیان هو الثوري ثنا یحیى بن سعید بن محمد بن إبراهیم التیمي عن علقمة بن وقاس اللیثي قال سمعت عمر بن الخطاب رضي اهللا عنه یقول سمعت رسول اهللا صلى اهللا
ألعمال بالنیات وإنما المرىء ما نوى فمن كانت هجرته إلى اهللا ورسوله علیه وسلم یقول ثم إنما ا فهجرته إلى اهللا ورسوله ومن كانت هجرته لدنیا یصیبها أو المرأة یتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إلیه
175 Yakni Abu Mansur Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi (421-493 H.). ia merupakan tokoh cabang Bukhara dari aliran Maturidiyah yang mempunyai paham-paham tertentu yang berbeda dengan pendapat al-Maturidi sendiri. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 77-78.
89
pasti dikehendaki Allah, baik itu berupa kebaikan maupun keburukan.176
Kalau sesuatu perbuatan manusia sudah dikehendaki Allah, sementara
kehendak Allah qadim, maka hal itu berarti bahwa tidak ada lagi
kemungkinan pilihan pada perbuaatan itu.
Ayat yang serupa banyak dibahas. Misalnya surat al-Kahfi (18) : 23-24
yang melarang memastikan diri untuk melakukan pekerjaan tertentu pada
hari yang akan datang, melainkan menyandarkannya kepada kehendak
Allah. Al-Syaukani menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
أي ألجل شيء تعزم عليه فيما يستقبل من الزمان، " وال تقولن لشيء إني فاعل ذلك غداً"وما يكون لنا أن نعود ." فعبر عنه بالغد، ولم يرد الغد بعينه، فيدخل فيه الغد دخوالً أولياً
" واذكر ربك إذا نسيت" ألن عودهم في ملتهم مما ال يشاءه اهللا" فيها إال أن يشاء اهللا ١٧٧.أي فقل إن شاء اهللا، سواء كانت المدة قليلة أو كثيرة: االستثناء بمشيئة اهللا
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu”
“sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi” yaitu waktu yang ditentukan pada masa akan datang, disebut besok tetapi belum tentu pada hakikatnya besok, yang termasuk besok adalah masuknya terlebih dahulu, “dan tidak ada bagi kami yang bisa mendahuluinya kecuali dengan menyebut Insya Allah” karena kembalinya mereka ke tempat mereka itu, sesuatu yang tidak dikehendaki Allah., “dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa” pengecualian dengan kalimat “insya Allah” (baik perbuatan itu dilakukan) dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.
176 Al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn, ed. Hans Peter Linss, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî
wa al-Syurakh, 1963), h. 45. 177 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 351.
90
Ayat di atas mendukung bahwa segala perbuatan hamba tidak terjadi
melainkan dengan kehendak Allah. Ayat tersebut jelas-jelas merupakan
tuntutan Allah kepada Nabi-Nya untuk tidak memastikan sesuatu yang akan
dilakukannya. Apa yang akan dilakukannya itu bisa jadi nanti tidak dapat
benar-benar dilakukannya sehingga dengan itu, kalau ia memastikan
sebelumnya, maka ia telah berdusta atau dituduh dengan tuduhan-tuduhan
yang serupa dengan itu. Betapapun kuatnya tekad dan besarnya
kemampuanmu bahwa: “sesungguhnya aku akan mengerjakan besok pagi”
pekerjaan yang remah atau penting itu, besok, yakni waktu mendatang,
kecuali dengan mengaitkan kehendak dan tekadmu itu dengan kehendak dan
izin Allah atau kecuali dengan mengucapkan insyâ Allâh/jika Allah
menghendaki.
Dapat pula diambil contoh ayat-ayat yang digunakan oleh
Maturidiyah Samarkand misalnya Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48. ayat ini kata al-
Syaukani, dipahami sebagai menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki
seluruh mukallaf untuk beriman. Ada yang dikehendaki-Nya untuk beriman
dan ada yang dikehendaki-Nya untuk menjadi kafir. Kalau sekiranya Ia
menghendaki mereka semua untuk menjadi beriman, maka pastilah Ia telah
berkemauan membuat mereka satu umat saja. Namun semua itu,
sesungguhnya Allah hanya hendak menguji manusia. Sebagaimana
penafsiran al-Syaukani:
" ولكن ليبلوكم"بشريعة واحدة وكتاب واحد ورسول واحد " مة واحدةولو شاء اهللا لجعلكم أ"" ليبلوكم " أي ولكن لم يشأ ذلك االتحاد ، بل شاء اإلبتالء لكم باختالف الشرائع ، فيكون
91
فيما أنزله " في ما آتاكم " متعلقاً بمحفوظ دل عليه سياق الكالم وهو ما ذكرنا، ومعنى أي " فاستبقوا الخيرات: "قوله. تالف األوقات واألشخاصعليكم من الشرائع المختلفة باخ
إذا كان المشيئة قد قضت باختالف الشرائع فاستبقوا إلى فعل ما أمرتم بفعله وترك ما ١٧٨.أمرتم بتركه
Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja)” dengan satu syariat, satu kitab dan satu Rasul, “tetapi Allah hendak menguji kamu” yakni Allah belum menghendaki satu umat itu, tetapi Dia menghendaki untuk mengujimu dalam hal bermacam-macam syariat, maka kata “untuk mengujimu” dikaitkan dengan indikasi konteks kalimat yang telah kita sebutkan sebelumnya, adapun makna “terhadap pemberiannya kepadamu” yaitu terhadap sesuatu yang diturunkan kepadamu dari beberapa syariat yang berbeda dengan waktu dan orang-orang yang berbeda pula. Firman Allah “maka berlomba-lombalah dalam kebaikan” yakni jika kehendak itu telah ditetapkan dengan berbeda-bedanya syariat maka berlomba-lombalah untuk mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepadamu untuk mengerjakannya dan meninggalkan apa yang diperintahkan kepadamu untuk meninggalkannya.
Potongan ayat di atas, konteksnya berbicara tentang kitab Taurat yang
diturunkan kepada Nabi Musa, dan kitab Injjil yang ditunkan kepada Nabi
‘Isa, dan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Kemudian, dalam tafsiran al-Syaukani “sekiranya Allah menghendaki,
niscaya Dia menjadikan kamu, wahai Musa, ‘Isa, umat Muhammad dan
umat-umat lain sebelum itu, satu umat. Al-Syaukani menambah satu kitab,
dan satu Rasul. Yaitu dengan jalan dengan meyatukan secara naluriah
pendapat kamu serta tidak menganugrahkan kamu kemampuan memilih,
178 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 65.
92
akan tetapi Allah tidak menghendaki itu. Alasannya karena, Allah hendak
menguji kamu.
Maka karena itu, melalui satu syariat, satu kitab, dan satu Rasul itu,
hendaknya kamu berlomba-lomba berbuat kebajikan dengan menjalankan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka sekiranya Allah mau, pasti
Ia telah memaksa mereka menjadi satu syariat, satu kitab, dan datu Rasul.
Akan tetapi, Allah tidak menghendaki hal itu. Demikian al-Syaukani.
Pernyataan seperti ini memang hanya untuk menunjukkan bahwa
Allah mampu melakukan pemaksaan kepada hamba dalam masalah
keimanan. Namun dalam kenyataannya, tidak Allah lakukan kekuasaan-Nya
itu. Penunjukkan kemampuan atau kekuasaan itu dimaksudkan agar Rasul-
Nya, Muhammad Saw, tidak terlalu susah dengan adanya orang-orang yang
tidak mau menerima kebenaran risalah yang dibawa-Nya. Karena
sesungguhnya petunjuk itu datangnya dari Allah.
Kemudian, dalam surat al-‘An‛âm (6) : 149, dipahami bahwa beriman
atau tidaknya seseorang itu bergantung pada hidayah akan kehendak mutlak
Tuhan. Sebagaimana al-Syaukani menafsirakn:
ولو شاء : "ولكنه لم يشأ ذلك، ومثله قوله تعالى" لهداكم أجمعين"هدايتكم جميعاً " فلو شاء" ١٧٩.وما كانوا ليؤمنوا إال أن يشاء اهللا" اهللا ما أشركوا
Artinya: “Maka jika Dia menghendaki” petunjukmu semuanya
“pasti dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya” dan tetapi jika dia belum menghendakinya, dan firman Allah “dan jika Allah
179 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 225.
93
menghendaki terhadap apa yang mereka sekutukan” dan mereka beriman kecuali dengan kehendak Allah.
Jadi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan di jelaskan oleh al-
Syaukani mempunyai peranan yang sangat dominant, yang menentukan
seseorang beriman atau tidak.
Ayat yang senada dengan penjelasan ini, yakni surat Yûnus (10) : 99
sebagaimana al-Syaukani menafsirkan:
مجتمعين " جميعاً"بحيث ال يخرج عنهم أحد " ولو شاء ربك آلمن من في األرض كلهم"على اإليمان ال يتفرقون فيه ويختلفون، ولكنه لم يشأ ذلك لكونه مخالفاً للمصلحة التي
أفأنت تكره الناس حتى " أرادها اهللا سبحانه، وانتصاب جميعاً على الحال كما قال سيبويه ذلك ليس في وسعك يا محمد وال داخل تحت قدرتك، وفي هذا تسلية فإن" يكونوا مؤمنين
له صلى اهللا عليه وسلم ودفع لما يضيق به صدره من طلب صالح الكل، الذي لو كان لم ١٨٠.يكن صالحاً محققاً بل يكون إلى الفساد أقرب، وهللا الحكمة البالغة
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya” sehingga tidak satupun mereka yang keluar, semuanya pasti beriman tidak ada yang berpisah dan berbeda-beda, tetapi Allah tidak menghendaki hal itu, karena itu berbeda dengan kemaslahatan yang Allah Swt. kehendaki. Kata “jamî‘an” dinasabkan sebagai hal. Sebagaimana Imam Sibawaih berkomentar “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Itu semua bukan berarti keleluasaanmu wahai Muhammad dan tidak pula termasuk kategori kekuasaanmu, tetapi ini merupakan hiburan Nabi Saw. dan penolakan terhadap apa yang menyempitkan dada beliau dalam mencari kebaikan untuk semuanya, yang jika belum tewujud
180 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 597-599.
94
kebaikan yang diupayakan tapi justru yang terjadi lebih dekat kepada kerusakan maka itulah hikmah yang jelas dari Allah.
Menurut al-Syaukani bahwa jika Allah berkehendak Dia pasti
menjadikan semua manusia beriman atau kufur atau sesat. Penafsiran al-
Syaukani ini jelas, bahwa Allahlah yang mempunyai kekuasaan penuh akan
beriman atau tidaknya seseorang. Maka di sini, bukanlah hak Nabi
menjadikan manusia beriman atau tidak. Semua yang terjadi di alam ini
adalah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Orang mukmin tidak akan
beriman kecuali atas kehendak-Nya. Pada dasarnya al-Syaukani telah
mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk percaya atau tidak.
Akan tetapi jangan duga bahwa kebebasan itu bersumber dari kekuatan
manusia. Tidak! Itu adalah kehendak dan anugrah Allah. Dengan demikian,
ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang memandang Allah hanya
menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi
bukan atas kehendak-Nya.181
Dari apa yang dipaparkan di atas, baiklah disimpulkan sementara
bahwa dalam pemikiran al-Syaukani, Tuhan memang berkuasa dan
berkehendak mutlak. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu
semuanya adalah atas izin-Nya, bukan kehendak manusia.
Bila diperbandingkan pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan
mutlak dan kehendak mutlak Tuhan di atas dengan pemikiran yang terdapat
di kalangan pemikir kalam yang ada, maka jelas terlihat bahwa kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan
181 Abdul Jabbar, Syarh, h. 10
95
dengan paham yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan terbatas. Keterbatasan itu oleh karena adanya
pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan
berbuat bagi manusia, menciptakan hukum alam atau sunnatullah,
menciptakan norma-norma keadilan dan kewajiban-Nya sendiri terhadap
manusia.182
Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan
kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al-
Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh
aliran Asy’ariyah.
Sebagaimana diketahui, al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan
tetap mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan
maupun kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang
mampu berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia lemah dan
tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya pencipta.
Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.183
B. Keadilan Tuhan
182 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 119 183 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107-111.
96
Kata keadilan berasal dari bahasa ‘Arab yakni al-‘adl. kata al-‘adl
adalah masdar dari ‘adala, ya‘dilu, ‘adlan. Sebagaimana Abdul Jabbar
mengungkapkan:
"ان العدل مصدر عدل یعدل عدال“
Sementara bila ditinjau dari segi bahasa secara murni, kata al-‘adl
(keadilan) relative dengan pandangan Mu’tazilah dari pada Asy’ariyah.
Dalam Lisân al-‘Arâb disebutkan sebagai berikut:
العدل هوالذي الیمیل : هللا سبحانه اوفي أسماء, میما قام في النفوس أنه مستق: العدل
١٨٤...به الهوى فیجوزالحكم
“keadilan adalah sesuatu yang terpatri di dalam jiwa yang
lurus. Adil juga merupakan sifat Allah yang berarti Allah tidak
cenderung kepada hawa nafsu yang berakibat keputusan-keputusan-
Nya berkesan curang…
Persoalan keadilan Tuhan muncul ke permukaan karena aliran
Mu’tazilah menjadikannya sebagai salah satu ajarannya.185 Mereka menyebut
golongan mereka sebagai ahl al-‘adl, yaitu golongan yang mempertahankan
keadilan Tuhan, dan ahl al-tawhîd wa al-‘Adl, yaitu golongan yang
mempertahankan ke-Esaan murni dan keadilan Tuhan. Sebagaimana Harun
Nasution berpendapat sebagai berikut:
184 Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arâb, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, tt.), tahqîq ‘Abdullah ‘Ali al-
Kabîr, Muhammad Ahmad Hasbullah, dan Hasyim Muhammad al-Syâdzilî, juz, 4, h. 2838. 185 Al-Qâdi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1960), h. 301.
97
...dengan demikian, mereka tidak memandang nama Mu’tazilah itu sebagai ejekan. Selain dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-‘adl, dan ahl al-Taqwa wa al-‘Adl. 186
Masalah keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak bergantung kepada
pandangan apakah manusia itu mempunyai kebebasan dan berkehendak
dalam perbuatannya, ataukah manusia itu hanya dalam keadaan terpaksa
saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya menusia ini,
menyebabkan penerapan makna keadilan Tuhan menjadi berbeda.
Di bawah ini, akan penulis paparkan pertama-tama dimulai dari ayat-
ayat tentang keadilan Tuhan, selanjutnya penulis akan coba paparkan
pendapat atau pandangan aliran kalam dan kemudian diurai juga penafsiran
al-Syaukani dalam menjawab permasalahan tentang keadilan Tuhan
berdasarkan ayat-ayat yang akan dikemukakan.
1. Ayat-ayat tentang Keadilan Tuhan dan Pandangan Aliran
Kalam
Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan tentang keadilan
Tuhan di antaranya:
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat
pendapat Mu’tazilah adalah adalah Q.S. al-Anbiyâ’ (21) : 47187, Yâsîn (36) :
54188, Fusilat (41) : 46, al-Nisâ’ (4) : 40, al-Kahfi (18) : 49189.
186 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 42. 187 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan
Muhammad Zarzawar (ed.) (Kairo: Dâr al-Turâs, 1969), h. 500 188 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, h. 576
98
Artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari
kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (Q.S. al-Anbiyâ’ (21) : 47).
Pandangan Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Jabbar,
mengandung makna keadilan Tuhan. Demikianlah, ayat 47 surat al-Anbiyâ’
ditafsirkan oleh Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak akan menganiaya seseorang
sedikitpun, dan Ia mempergunakan timbangan dengan adil untuk melakukan
perhitungan dengan cermat.190
Artinya: Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan
sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang Telah
kamu kerjakan. (Q.S. Yâsîn (36) : 54).
Tuhan bersifat adil, dengan demikian kata Abdul Jabbar dalam
manafsirkan ayat 54 surat Yâsîn, sebab di akhirat seseorang tidak diminta
189 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1960), h. 315. 190 Al-Qâdi Abdul Jabbar, al-Mutasyâbih, h. 500-501.
99
pertanggungjawaban atas dosa orang lain, akan tetapi ia hanya bertanggunga
jawab atas dosanya sendiri.191
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (Q.S. Fusilat (41) : 46)
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar. (Q.S. al-Nisâ’ (4) : 40).
Artinya: Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat
orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang Telah
191 Al-Qâdi Abdul Jabbar, al-Mutasyâbih, h. 576.
100
mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". (Q.S. al-Kahfi (18) : 49)
Abdul Jabbar dalam memberikan komentar terhadap tiga ayat di atas,
Tuhan di puji dengan penafian sifat zalim dari diri-Nya. Sebagaimana
uraiannya: ..."أن یتمدح بنفى ألظالم على نفسه"...
Dalam teologi Islam, persoalan keadilan Tuhan berkaitan dengan
perbuatan-Nya. Aliran Mu’tazilah berpendapat, bahwa Tuhan dikatan adil
karena semua perbuatan-Nya baik. Ia wajib berbuat baik. Ia wajib berbuat
yang baik, tidak berbuat yang buruk. Sebagaimana Abdul Jabbar
memberikan keterangan sebagai berikut:
وانه الیفعل القبیح وال یخل بما هو , فالمراد أن افعاله كلها حسنة, قاذا قیل لهم أنه تعالى عدل
192 .واجب علیه
Abdul Jabbar menegaskan sebagaimana dikutip Harun Nasution
sebagai berikut:
Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya bersifat baik. bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.193
Berkaitan dengan pendapat di atas, aliran Mu’tazilah berpandangan
bahwa semua perbuatan yang timbul dari Allah dan berhubungan dengan
insan mukallaf ditentukan berdasarkan kemaslahatan manusia. Sementara
192 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 132, 301.
193 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 132.
101
Asy’ariyah cenderung memahami keadilan Tuhan dari segi Tuhan sebagai
pemilik dan penguasa alam semesta, mengatur kerajaan yang dimiliki-Nya
menurut kehendak-Nya.194 Dengan demikian, Tuhan yang adil menurut
mereka adalah Ia berkuasa mutlak di dalam menghisab hamba-hamba-Nya.
Dalam membicarakan masalah keadilan Tuhan, aliran Mu’tazilah
mengatakan bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan atas hikmah dan
tujuan. Sesuatu perbuatan tanpa tujuan adalah bodoh dan main-main.
Semua perbuatan Tuhan mengandung manfaat bagi makhluk-Nya. Ia tidak
berbuat untuk kepentingan diri-Nya.195 Oleh karena itulah manusia dapat
mengambil manfaat dari perbuatan-Nya.
Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam
kehendak dan perbuatan yang dipahami oleh Mu’azilah, aliran Maturidiyah
Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari
perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas
kejahatan, kecuali seimbang dengan kejahatan yang ia buat. Tuhan tidak
akan menganiaya hamba-hambanya, dan juga tidak akan mengingkari janji-
janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Sebagaimana Abu Zuhra
menuturkan sebagai berikut:
194 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. 1, diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, (Kairo: t.p., t.th.), h. 47.
195 Al-Syahrastânî, Kitâb Nihâyah al-Iqdâm fî ‘ilm al-Kalâm, Alfred Guillaume (ed.), (London: Oxford University Press, 1934), h. 397.
102
واهللا الیظلم العباد ...انله تعالىقد بین في القران الكریم انه الیجزي على السیئة اال بمثلها...
196.والیخلق الوعد
Abu Mansur al-Maturidi, sebagai tokoh aliran Maturidiyah
mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan keadilan Tuhan yaitu
surat al-An‛âm (6) : 160, ‘Âli Imrân (3) : 9 sebagai berikut197:
Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. al-An‛âm (6) : 160).
Artinya: …Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. ‘Âli Imrân
(3) : 9).
Ayat pertama tersebut di atas, dipahami oleh al-Maturidi bahwa Allah
tidak membalas perbuatan jahat seorang hamba kecuali dengan balasan yang
196 Muhammad Abû Zuhrah, al-Madzâhib al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah al-Adab,
t.th.), h. 308. 197 Muhammad Abu Zahrah, al-Madzâhib al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-Adab,
tt.), h. 300.
103
setimpal dengan apa yang ia perbuat.198 Dan yang selanjutnya dipahami
bahwa Allah tidak akan menyalahi janji-Nya serta menganiaya hamba-Nya.199
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanl mengemukakan beberapa
ayat berkenaan dengan keadilan Tuhan yaitu: ayat 107 surat Hûd (11)200,
ayat 56 surat al-Dzâriyât (51), dan Q.S. Hûd (11) : 20.
Artinya: Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,
kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. (Q.S.
Hûd (11) : 107)201
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. al-Dzâriyât
(51) : 56)202
198 Muhammad Abu Zuhra, al-Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Maktabah al-Adab, t.th., h.
308. 199 Muhammad Abu Zuhra, al-Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Maktabah al-Adab, t.th., h.
308. 200 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107. 201 Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya, h. 314. 202 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 756.
104
Artinya: Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran) dan
mereka selalu tidak dapat melihat(nya). (Q.S. Hûd (11) : 20).203
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanl, karena berpegang pada
konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, yang berpandangan, bahwa
Allah yang menjadikan orang-orang yang berbuat baik maupun jahat,
beriman atau kafir. Dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya. Paling tidak itulah yang terkandung dalam pengertian adil
menurut al-Asy’ari. Dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya sesuai dengan ayat di atas Q.S. Hûd (11): 107,
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki.”204
Sejalan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari selanjutnya mengatakan
sebagaimana yang dikutip oleh Ilhamuddin dalam “Pemikiran Kalam al-
Baqillani Studi Persamaan dan Perbedaannya dengan al-Asy’ari”, sebagai
berikut:
bahwa Allah menetapkan kesenangan dan rahmat-Nya khusus bagi orang mukmin, tidak bagi orang kafir. Ia juga mengatakan bahwa orang kafir tidak mempunyai qudrat beriman. Allah menetapkan qudrat beriman khusus untuk orang mukmin. Ia berpandangan bahwa satu qudrat tidak bisa untuk dua perbuatan atau lebih. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan. Oleh karena itu, kudrat kufur tidak untuk
203 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 300. 204 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut:
Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107.
105
kudrat beriman sekaligus. Menurut qudrat tidak tetap karena kadang-kadang manusia mampu kadang-kadang lemah. Manusia adakalanya bergerak adakalanya tidak. Istitâ’at kemampuan manusia bukanlah diri manusia itu sendiri tetapi lain dari itu yakni Allah.205
Bagi Asy’ari lanjut Ilhamuddin, kudrat beriman itu merupakan
pemberian Allah. orang yang diperintahkan untuk beriman, akan tetapi tidak
diberi-Nya kudrat untuk beriman berarti orang tersebut tidak mendapat
pertolongan-Nya.206
Di samping itu, Allah hanya memelihata orang-orang mukmin, bukan
orang kafir sesuai dengan ayat di atas Q.S. al-Dzâriyât (51): 56, “ Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku”. Karena Allah menjadikan kebanyakaan dari ciptaan-Nya sebagai pengisi
neraka. Dalam masalah taklîf ia berpendapat bahwa Allah membebani orang-
orang kafir untuk mendengarkan dan menerima al-Qur’an serta beriman
kepada Allah meskipun Allah juga mengatakan "mereka tidak sanggup
beriman kepada Allah". Sebagaimana al-Asy’âri dalam keterangannya
sebagai berikut:
...هأنه ذرأ لجهنم كثیرا من خلق... ینأن اهللا عز وجل انما عني المئمنین دون الكا فر
الیس قد كلف ااهللا عز وجل الكافرین ان یستمعون الحق ویقبلوه ویومنون باهللا؟ فقد قال
207"ما كا نو یستمعون السمع"عزوجل
205 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani Studi Persamaan dan Perbedaannya
dengan al-Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. 1, h. 61. 206 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani, h. 61. 207 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, h. 80.
106
Al-Asy’ari mengatakan, semua perbuatan Tuhan adalah adil. Ia adil
dalam menjadikan orang beriman dan tetap adil walaupun ia juga
menjadikan orang kafir. Ia juga adil jika menyiksa mereka di akhirat.208
Menurutnya, Allah juga adil jika menyiksa orang mukmin dan memasukkan
orang kafir dalam surga. Namun, menurutnya Allah tidak berbuat demikian
karena ia akan menyiksa orang kafir. Allah tidak berbohong terhadap apa
yang disampaikan-Nya.209
Menurutnya Allah tidak bersifat lalim meskipun ia menciptakan
kelaliman karena ia menciptakannya bukan untuk diri-Nya. Ia mengatakan
bahwa perbuatan jahat terjadi berdasarkan qada dari Allah karena Allahlah
yang menciptakannya. Tetapi Allah tidaklag bersifat jahat karena ia
menciptakan bukan untuk diri-Nya.210
Pandangan yang demikian tampaknya merupakan konsekuensi dari
ketidakmampuannya lari dari konsep kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Itulah tampaknya yang membuat Asy’ari memahami keadilan Tuhan
sebagai Allah pemilik yang berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimiliki-
Nya dan menggunakannya sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya.
Sementara aliran kalam Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa
keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi, demikian Yunan Yusuf menyebut
bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur
208 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, h. 80-81. 209 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig wa al-
Bida’, h. 116-117. 210 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig
wa al-Bida’, h. 79-81.
107
pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya
sendiri.211 Ini berarti demikian Harun Nasution, al-Bazdawi berpendapat
bahwa alam tidak diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia.212 Atau
dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan
manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Akan tetapi, Maturidiyah Samarkand yang memandang manusia
mempunyai kebebasan di dalam berkehendak dan berbuat, pendapat mereka
tentang keadilan Tuhan lebih dekat kepada Mu’tazilah. Tetapi kecenderungan
mereka untuk meninjau permasalahan dari sudut kepentingan manusia lebih
kecil dari Mu’tazilah. Kecenderungan itu erat kaitannya dengan pandangan
masing-masing terhadap masalah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.
Mu’tazilah tidak tidak terikat pada paham kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan. Maturidiyah Samarkand masih terikat pada paham tersebut.213
2. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang
keadilan Tuhan
Faham keadilan Tuhan banyak tergantung pada faham kebebasan
manusia dan faham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.214
Sebagaimana pandangan al-Syaukani tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, telah disinggung secara sepintas bahwa Tuhan berkuasa dan
211 Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, h. 96. 212 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 124. 213 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 124. 214 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 123.
108
berkehendak secara mutlak. Maka manusia dalam hal ini, seumpama wayang
yang dimainkan dalangnya.
Konsep keadilan Tuhan yang dianut al-Syaukani nampaknya masuk
dalam pengertian yang dibawa oleh kedua corak aliran kalam yakni
tradisioanl dan rasional. Aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna
keadilan Tuhan yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang
dimiliki-Nya. Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal
adalah yang memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.
Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional
tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani
terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum
bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada
aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih
bisa dikatakan masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl).
Katika al-Syaukani menafsirkan ayat 47 surat al-Anbiya’. Menurut al-
Syaukani dalam penafsirannya:
الموازين جمع ميزان، وهو يدل على أن هناك " ونضع الموازين القسط ليوم القيامة"موازين، ويمكن أن يراد ميزان واحد، عبر عنه بلفظ الجمع، وقد ورد في السنة في صفة الميزان ما فيه كفاية، وقد مضى في األعراف، وفي الكهف في هذا ما يغني عن اإلعادة،
أي كفى بنا محصين، والحسب في األصل " ى بنا حاسبينوكف."والقسط صفة للموازينمعناه العد، وقيل كفى بنا عالمين، ألن من حسب شيئاً علمه وحفظه، وقيل كفى بنا
٢١٥.مجازين على ما قدموه من خير وشر
215 Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 513.
109
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari
kiamat” kata “al-mawazin” itu adalah bentuk jama dari kata “mîzan” itu mengindikasikan bahwa di hari kiamat itu ada beberapa timbangan, dan mungkin juga yang dimaksud adalah satu timbangan, diungkapkan dengan bentuk jama', sedikit banyaknya telah dielaborasi dalam Sunnah dalam pembahasan karakteristik pertimbangan dan juga telah banyak dikenal dan dalam surat Al-Kahfi kata-kata ini banyak diulang-ulang, dan sifat keadilan itu adalah sifat utama dalam pertimbangan. “dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan” yakni dan cukuplah kami yang menguasai”, dan kata “al-hasbu/hitungan” itu makna leterleknya adalah “al-‘udd/ menghitung” dan ada juga yang mengatakan “dan cukuplah kami yang mengetahui” karena orang yang menghitung sesuatu itu adalah orang yang telah mengetahui dan menguasainya, dan juga ada yang mengatakan “dan cukuplah kami yang membalas terhadap apa yang mereka lakukan baik dan buruknya.
Penafsiran al-Syaukani di atas, mengungkap kata wawâzîn adalah
bentuk jamak dari kata mîzân. Hal ini agaknya mengisyaratkan, bahwa setiap
amal yang lahir maupun batin, kelak akan ditimbang atau mempunyai tolok
ukur masing-masing, sehingga semua amal benar-benar menghasilkan
ketepatan timbangan.
Jangan duga bahwa siksa yang mereka peroleh itu sewenang-wenang,
atau tanpa tolok ukur yang adil. Sehingga mereka teraniaya. Tidak! Kami
akan memasang timbangan yang adil pada hari kiamat, untuk menjadi tolok
ukur kebaikan dan keburukan amal serta kualitasnya, maka di sana tiadalah
dirugikan seseorang walu sedikitpun dengan penambahan keburukannya
atau pengurangan kebaikannya. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat
perhitungan.
110
Sementara itu, ayat 54 surat Yâsîn (36) dalam tafsiran al-Syaukani
mengandung arti bahwa Allah akan menghukum sesuai dengan perbuatanya,
dan membalas sesuai dengan apa yang dikerjakannya tanpa dirugikan
sedikitpun. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani sebagai berikut:
أي ال ينقص من ثواب عملها شيئاً : مما تستحقه" شيئاً"من النفوس " فاليوم ال تظلم نفس"أي إال " وال تجزون إال ما كنتم تعملون"من النقص، وال تظلم فيه بنوع من أنواع الظلم
٢١٦.أي بسببه، أو في مقابلته: جزاء ما كنتم تعملونه في الدنيا، أو إال بما كنتم تعملونه
“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun” kata “nafsun” itu adalah bentuk jama dari kata “nufuus”, kata “sedikitpun” yakni terhadap haknya, tidak seorangpun bisa mengurangi perbuatan/amalnya sedikitpun, dan “dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang Telah kamu kerjakan” yakni balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan di dunia, atau tidak akan dibalas kecuali karena kamu telah melakukannya” yakni karena telah berbuat. Ayat di atas, mengandung makna baik orang taat maupun seseorang
yang durhaka, maka ia tidak akan dirugikan sedikitpun akan ganjarannya
sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Jika yang dilakukan keburukan,
maka balasannya adil dan setimpal, dan jika kebajikan maka ganjaran yang
akan diperoleh merupakan anugerah Allah yang berlipat ganda dari nilai
amal kita.
Adapun ayat 46 surat Fusilat (41) ditafsirkan al-Syaukani dengan
menonjolkan kebebasan manusia dalam memilih perbuatan baik ataupun
216 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 447.
111
buruk. Kondisi memilih mana yang baik dan yang buruk bagi manusia,
kemudian diganjar dengan pahala dan siksa menurut pilihannya tersebut. Hal
ini menunjukkan paham keadilan al-Syaukani adalah faham keadilan bagi
kepentingan manusia. Kepentingan manusia dalam hal memilih berbuat baik
ataupun buruk. Secara lebih jelas al-Syaukani menafsirkannya sebagai
berikut:
أي من أطاع اهللا وآمن برسوله ولم يكذبهم فثواب ذلك راجع إليه " من عمل صالحاً فلنفسه"وما ربك بظالم "أي عقاب إساءته عليه ال على غيره " ومن أساء فعليها"ونفعه خاص به
إن اهللا ال : "فال يعذب أحداً إال بذنبه، وال يقع منه الظلم ألحد كما في قوله سبحانه" للعبيد ٢١٧".ناس شيئاًيظلم ال
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka
(pahalanya) untuk dirinya sendiri “ yakni barangsiapa yang taat kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya serta tidak berbuat bohong maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan akan merasakan manfaatnya “dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri” yakni pembalasannya akan dirasakan olehnya juga bukan oleh orang lain, “dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” Maka Dia tidak akan menganiaya seseorang kecuali karena dosanya, dan tidak pula menganiaya seseorang sebagaimana yang dimaksud dalam firmannya “Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya seseorang sedikitpun”.
Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa Allah tidak akan
menyia-nyiakan amal baik tanpa ganjaran dan juga tidak membiarkan satu
dosa tanpa tanpa perhitungan. Dan barang siapa yang berbuat jahat dalam
217 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 619.
112
amalnya maka keburukan dan dosa amalnya atas dirinya sendiri. Dia yang
akan memikulnya, bukan orang lain. Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Maha
penganiaya hamba-hamba-Nya yang berdosa.
Keadaan Tuhan tidak melakukan aniaya terhadap hamba-Nya
walaupun sebesar zarrah sekalipun, menurut al-Syaukani, memberikan
jaminan bahwa Tuhan selamanya akan berlaku adil kepada hamba-bamba-
Nya. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir, bahwa kebaikan yang diperbuat
selama hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Tuhan, bahkan
seberat zarrahpun tidaklah manusia akan dirugikan. Secara lebih jelas al-
Syaukani mengatakan hal itu ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 40,
surat al-Kahfi (18) ayat 49 dan al-An‛âm (6) ayat 160, sebagai berikut:
أي ال : والمراد من الكالم أن اهللا ال يظلم كثيراً وال قليالً" إن اهللا ال يظلم مثقال ذرة": قوله. يبخسهم من ثواب أعمالهم وال يزيد في عقاب ذنوبهم وزن ذرة فضالً عما فوقها
وقد تقدم الكالم في "ويؤت من لدنه أجراً عظيماً"لقوله " وإن تك حسنة يضاعفها" ٢١٨المضاعفة والمراد مضاعفة ثواب الحسنة
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar zarrah” maksud ayat ini adalah bahwa Allah tidak menganiaya seseorang, besar ataupun kecil, yakni Allah tidak akan mengurangi pahala kebaikan seseorang dan tidak pula menambahkan siksa kejahatan seseorang walaupun sebesar zarrah. Firman Allah “dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya” dan firman Allah juga “dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” dan telah dijelaskan terlebih dahulu
218 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 623-624.
113
tentang melipatgandakan, yang dimaksud ayat ini adalah melipatgandakan pahala kebaikan seseorang.
Penafsiran al-Syaukani memberikan isyarat bahwa Allah tidak
menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, yakni sekecil apapun.
Betapa Dia menganiaya, padahal Dia Maha Kuasa, dan yang ada di alam
raya ini adalah ciptaan dan milik-Nya. Bahkan Allah memberikan ganjaran,
jika ada kebajikan sebesar dzarrahpun, Allah pasti melipatgandakan yang
tidak tergambar sebelumnya dalam benak siapapun.
Kemudian dalam surat al-Kahfi (18) : 49 al-Syaukani menafsirkan
sebagai berikut:
السعيد في : والوضع إما حسي بأن يوضع صحيفة كل واحد في يده" ووضع الكتاب"أي أظهر عمل كل واحد من خير : وإما عقلي. يمينه، والشقي في شماله، أو في الميزان
أي خائفين وجلين " فترى المجرمين مشفقين مما فيه"وشر بالحساب الكائن في ذلك اليوم ب ذلك من االفتضاح في ذلك الجمع، والمجازاة بالعذاب مما في الكتاب الموضوع لما يتعق
يدعون على أنفسهم بالويل لوقوعهم في الهالك، ومعنى هذا " ويقولون يا ويلتنا"األليم " مال هذا الكتاب ال يغادر صغيرة وال كبيرة إال أحصاها"النداء قد تقدم تحقيقه في المائدة
ية كبيرة إال حواها وضبطها وأثبتها أي أي شيء له ال يترك معصية صغيرة وال معصفي الدنيا من المعاصي الموجبة للعقوبة، أو وجدوا جزاء ما عملوا " ووجدوا ما عملوا"أي ال يعاقب أحداً من عباده بغير ذنب، وال " وال يظلم ربك أحداً"مكتوباً مثبتاً " حاضراً"
٢١٩.ينقص فاعل الطاعة من أجره الذي يستحقه “Dan diletakkanlah kitab” kata “meletakan” makna implisitnya
adalah seseorang meletakan kertas diatas tangannya. Kebahagiaan itu berada pada tangan kanannya dan kecelakaan berada pada tangan
219 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 1, h. 366-369.
114
kirinya, atau dalam timbangannya. Sementara makna ekplisitnya adalah memperlihatkan perbuatan seseorang, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan jahat dengan penuh perhitungan pada hari kebangkitan, “lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya” yakni mereka ketakutan terhadap apa yang tertulis karena kesalahannya yang telah dilakukan pada masa itu, dan akan memberikan pembalasan dengan siksa yang pedih, “dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami” mereka mengajak-ngajak terhadap yang lainnya kepada neraka wail untuk menempati tempat yang tragis, tempat orang-orang celaka, adapun makna panggilan ini adalah telah dijelaskan pada surat Al-Maidah “Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya” kitab apakah ini yang tidak meninggalkan pebuatan dosa yang kecil tidak pula yang besar melainkan dia menjaganya, menghapalkannya, menetapkannya “dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis)” di dunia karena berbuat maksiat yang pasti akan mendapatkan siksaanya atau mereka menemukan pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan secara terang-terangan tertulis, dan ditetapkan “dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun” yakni Allah tidak akan menganiaya hambanya yang tidak berdosa dan tidak pula mengurangi pahala kebaikan seseorang yang sudah menjadi haknya.
Tafsiran al-Syaukani dapat dipahami bahwa setelah semua berkumpul
di padang mahsyâr tempat melakukan perhitungan bagi semua manusia
diletakkan, yakni diberikan kitab yang merinci amal-amal masing-masing.
Ada dua tipe orang yang dikemukan dalam ayat tersebut, pertama orang
yang beriman dan beramal saleh yang merasa gembira ketika melihat catatan
amal-amalnya, sedangkan tipe yang kedua adalah para pendurhaka baik
musyrik maupun muslim tetapi bergelimang dosa, tipe orang yang kedua ini
merasa ketakutan seraya mereka berulang-ulang berkata: “Hai kecelakaan
kami hadirlah”. Dan di akhir ayat ditutup dengan “Dan Tuhanmu tidak
115
menganiaya seorang juapun”, hal ini menandakan amalan yang kecil
maupun besar tidak lupu sedikitpun dari buku catatan tersebut.
Selanjutnya al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-An‛âm (6) ayat
160 sebagai berikut:
لما توعد سبحانه المخالفين له بما توعد بين عقب ذلك " من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها"
مقدار جزاء العاملين بما أمرهم به الممتثلين لما شرعه لهم بأن من جاء بحسنة واحدة من فال يجزى "عمال السيئة من األ" ومن جاء بالسيئة" الحسنات فله من الجزاء عشر حسنات
من دون زيادة عليها على قدرها في الخفة والعظم، فالمشرك يجازى على سيئة " إال مثلهاالشرك بخلوده في النار، وفاعل المعصية من المسلمين يجازى عليها بمثلها مما ورد تقديره من العقوبات كما ورد بذلك كثير من األحاديث المصرحة بأن من عمل كذا فعليه
يجازيه اهللا بمثله وإن لم نقف : كذا، وما لم يرد لعقوبته تقدير من الذنوب فعلينا أن نقولعلى حقيقة ما يجازى به، وهذا إن لم يتب، أما إذا تاب أو غلبت حسناته سيئاته أو تغمده اهللا برحمته وتفضل عليه بمغفرته فال مجازاة، وأدلة الكتاب والسنة مصرحة بهذا تصريحاً
" ال يظلمون"أي من جاء بالحسنة ومن جاء بالسيئة " وهم" بعده ريب لمرتاب، ال يبقى ٢٢٠.بنقص ثواب حسنات المحسنين وال بزيادة عقوبات المسيئين
“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya” sebagaimana Allah telah janjikan kepada orang-orang yang telah berbuat baik sesuai ukuran orang yang melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka dan melakukan apa yang disyariatkan kepada mereka karena orang yang melakukan kebaikan satu kali saja maka pahalanya sepuluh kali lipat “dan barangsiapa yang melakukan kejahatan” yakni perbuatan-perbuatan yang jahat “Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang” tanpa ada tambahan sesuai dengan apa yang dia lakukan, baik itu dosa ringan ataupun dosa besar. Adapun orang musyrik akan dibalas perbuatan syiriknya kekal di dalam neraka. Sementara orang yang
220 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 233-234.
116
maksiat dari kalangan orang-orang muslim maka akan di balas seimbang dengan perbuatan kejahatannya sebagaimana telah banyak disinggung dalam hadits-hadits yang shohih “bahwa orang yang melakukakan kejahatan maka sisksaannya akan seimbang, dan apabila tidak diketahui ukuran siksaannya maka kita seharusnya mengatakan”semoga Allah membalas seimbang dengan dosanya, dan apabila tidak diketahui juga hakikat balasan dari Allah berarti dia belum bertaubat, dan jika sudah bertaubat atau perbuatan baiknya lebih banyak dari pada perbuatannya jahatnya atau Allah memberikan rahmat-Nya dan mengaruniai ampunannya maka tidak ada siksaan dari Allah, dalil Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sudah jelas tidak bisa diragukan lagi “dan mereka” yakni orang yang melakukan kebaikan dan orang yang melakukan kejahatan. “Tidak akan dianiaya” dengan mengurangi pahala orang-orang yang melakukan kebaikan dan tidak pula menambah siksaan orang-orang yang melakukan kejahatan.
Ayat di atas, menunjukkan pembalasan Allah sungguh adil. Menarik
dari paparan penafsiran ayat dia atas, jika diperhatikan dengan seksama,
ketika Allah berfirman “Barang siapa yang membawa amal yang baik, maka
baginya sepuluh kali lipat”, sedangkan sebaliknya “barang siapa membawa
perbuatan yang buruk, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengannya”. Hal ini menunjukkan ketika seseorang melakukan
satu amal kebajikan saja, maka Allah membalasnya dengan sepuluh kali lipat,
dan itulah karunia Allah, tapi tidak dengan kejahatan, Allah tidak
mengganjarnya sepuluh kali, namun disini Allah menjatuhkan sangsi atasnya,
selain itu, tidak sedikit keburukan hamba dimaafkan-Nya.
Dalam pandangan aliran kalam rasional, keadaan Tuhan berkaitan
erat dengan janji-janji Tuhan yang mestinya ditepati oleh Tuhan sendiri.
Sedangkan janji-janji Tuhan itu sendiri erat kaitannya dengan kebaikan
manusia. Oleh sebab itu, bila Tuhan tidak menepati janji-Nya, itu berarti
117
terjadi tindakan sewenang-wenang dari Tuhan. Namun, perlu ditegaskan di
sini, kewajiban Tuhan bukan dalam arti kewajiban yang datang dari luar diri
Tuhan. Tetapi kewajiban yang Dia letakkan sendiri pada diri-Nya dengan
kemauan dan pilihan-Nya sendiri.
Yang ditekankan di sini adalah sisi keadilan Tuhan. Berbeda dengan
penggalan yang lalu, di sana yang ingin ditekankan adalah sisi kemurahan-
Nya. Perlu dicatat bahwa kemurahan Allah akan diperoleh juga jika
kejahatan yang telah direncanakan dibatalkan oleh kesadaran perencanaan,
karena kesadaran dan pembatalan itu dinilai sebagai satu kebajikan.
Sejalan dengan itu, al-Syaukani berpendapat bahwa Tuhan tidak akan
menyalahi janji-Nya yang telah dibuat sendiri. Demikian penjelasan al-
Syaukani ketika menafsirkan surat ‘Âli Imrân (3) ayat 9 sebagai berikut:
أي أن الوفاء بالوعد شأن اإلله سبحانه : للتعليل لمضمون ما قبلها" إن اهللا ال يخلف الميعاد" ٢٢١.وخلفه يخالف األلوهية كما أنها تنافيه وتباينه
“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” sebagai alasan adanya jaminan terhadap orang yang memegang janji pada sebelumnya, yaitu bahwa memegang janji adalah memberikan keputusan dihadapan Allah dan janjinya yang menyalahi Allah seolah-olah dia meniadakan Allah. Sejalan dengan pemikiran kalam rasional, pemikiran al-Syauakani di
atas, juga mengandung konsep adanya kewajiban Tuhan sendiri yang dibuat-
Nya. Jadi, masalah keadilan Tuhan dalam pandangan al-Syaukani sejalan
dengan paham keadilan Tuhan menurut pemikiran kalam rasional.
221 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 332.
118
Pemahaman keadilan Tuhan menurut al-Syaukani mengandung makna
keadilan yang diletakkan pada kepentingan dan kemaslahatan manusia.
Tuhan dikatakan adil, apabila Dia tidak berbuat berdasarkan kehendak dan
kekuasaan mutlak-Nya. Bahkan, al-Syaukani tegas di akhir penafsiran ayat di
atas, bahwa memegang janji adalah memberikan keputusan dihadapan Allah
dan janjinya yang menyalahi Allah seolah-olah dia meniadakan Allah. Maka
janganlah bermain-main dengan janji, karena menyalahi janji, berarti
meniadakan Allah. Demikian penafsiran al-Syaukani.
C. Perbuatan-perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran sepakat bahwa Allah juga melakukan
aktifitas atau perbuatan. Aktifitas atau perbuatan itu dipandang sebagai
konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Namun demikian, yang menjadi inti polemik di kalangan mutakallimin dari
permaslahan ini adalah apakah aktifitas atau perbuatan Allah itu mempunyai
tujuan ataukah hanya sekedar beraktifitas atau berbuat sekehendak hati-Nya
tanpa adanya maksud dan tujuan yang jelas?
Persoalan kalam lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-
aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan. Masalah ini muncul sebagai
buntut dari perdebatan ulama kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti
siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir diantara pelaku
tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawaban atas pertanyaan siapa
sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakah Allah sendiri?
Atau manusia sendiri? Atau kerjasama antara keduanya? Masalah ini
119
kemudian memunculkan aliran kalam fatalis (predestination) yang diwakili
oleh Qadariyah dan free will dan Maturidiyah mengambil sikap pertengahan.
Persoalan ini kemudian meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah
Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu atau tidak? Apakah perbuatan
Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup
kepada hal-hal yang buruk?
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan
melakukan perbuatan.222 Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi
logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Baiklah
penulis akan coba paparkan ayat-ayat tentang perbuatan-perbuatan Tuhan,
pandangan kalam dan mengurai penafsirkan al-Syaukani.
1. Ayat-ayat tentang Perbuatan-perbuatan Tuhan dan
Pandangan Aliran Kalam
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran yang bercorak rasioanal, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.
Namun, ini berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk,
karena Ia mengetahui keburukan dari perbutan buruk itu. Di dalam al-
Qur’anpun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidak berbuat zalim.223
222 Mu’tazilah mengaku Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan
sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentunya. Lihat, Muhammad Imarah, al-Mu’tazilah wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, (Kairo: Dâr al-Syura, 1998), h. 80-81, meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Lihat, ‘Irfan Abdul Hamid, Dirasat fi al-Firaq wa al-Aqâ’id al-Islamiyyah, (Baghdad: Matba’ah As’ad, t.th.), h. 278
223 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 89.
120
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah adalah surat
al-Anbiya’ (21) : 23 dan surat al-Rûm (30) : 8 sebagai berikut:224
Artinya: Dan (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan
tetapi merekalah yang akan ditanya. (Q.S. al-Anbiya’ (21) : 23)225
Qadi Abdul Jabbâr mengatakan sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr.
Yunan Yusuf mengatakan bahwa firman Allah pada surat al-Anbiya’ (21)
ayat 23 yang dipahami oleh Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak ditanya tentang
apa yang Dia perbuat, karena seluruh perbuatan Tuhan adalah baik, tidak
pernah ada yang jahat.226
Selanjutnya dalam manafsirkan ayat 8 surat al-Rûm (30) yang
dipahami oleh Mu’tazilah adalah bahwa semua ciptaan Tuhan adalah haq,
yang mengandung arti bahwa semua perbuatan Tuhan adalah baik dan
Tuhan tidak mempunyai sifat jahat.
224 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan
Muhammad Zarzawar (ed.) (Kairo: Dâr al-Turâs, 1969), h. 552. 225 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 450. 226 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, h. 98.
121
Atinya: Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang
ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar (Q.S.
al-Rûm (30) : 8)227
Qadi Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan
sebagaiman dikutip oleh M. Yunan Yusuf bahwa ayat-ayat tersebut di atas,
menyatakan bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan mahasuci dari
perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia
menambahkan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata
berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik
itu?228 Adapun ayat yang kedua, menurut al-Jabbar, mengandung petunjuk
bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan
buruk. Andaikata melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa Ia
menciptakan langit dan bumi serta isinya yang hak, tentunya tidak benar atau
merupakan berita bohong.229
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang
berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi dan kehendak
mutlak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa
Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiabn itu
dapat disimpulkan dalam satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik bagi
manusia.230 Faham kewajban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (al-
227 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 571. 228 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia, h. 90. 229 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia, h. 90. 230 Dalam istilah Arab, berbuat baik dan terbaik bagi manusia disebut al-salah wa al-
aslah. Term ini dalam golongan teologi Islam dikenal dengan term Mu’tazilah, dan yang
122
salah wa al-islah) mengkonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan
paham kewajiban Allah berikut ini:
a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia.
Memberi beban di luar kemampuan manusia (taklîf wa lâ yûtaq)
adalah pertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini
bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan
bersifat tidak adil kalau ia memberi beban yang terlalu berat kepada
manusia.231
b. Kewajiaban mengirim Rasul
Bagi aliran Mu’tazilah, dengan kepercayaan bahwa akal dapat
mengetahui hal-hal gaib,232 pengiriman Rasul kepada umat manusia menjadi
salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang
tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang
Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiabn untuk berbuat
yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim Rasul. Tanpa
Rasul, manusia tidak akan memperoleh kehidupan yang baik dan terbaik di
dunia dan di akhirat nanti.233
c. Kewajiban menepati janji (al-wa‛d) dan ancaman (al-wa‛id) dimaksud adalah kewajiabn Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik bagi manusia. Hal ini memang merupakan salah satu keyakinan yang penting bagi alairan Mu’tazilah. Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 129.
231 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 129.
232 Sebagaimana telah dilihat dalam pembahasan wahyu, fungsi wahyu bagi aliran Mu’tazilah lebih banyak bersifat memperkuat dan menyempurnakan apa yang telah diketahui manusia melaui akal.
233 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 131
123
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan
aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yakni
keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil apabila tidak menepati janji untuk
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman
bagi orang-orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati
janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan
kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan
ancaman adalah wajib bagi Tuhan.234
Faham kewajiaban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (al-
salah wa al-islah) menurut Asy’ariyah, sebagaimana dikatakan aliran
Mu’tazilah, tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan oleh al-Ghazâlî
sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution sebagai berikut:
“…ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban, Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadapt makhluk. Sebagaimana dikatakan al-Ghazâlî, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (jâiz) dan tidak satupun darinya yang mempunyai sifat wajib.”235
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran asy’ariyah
menerima faham pemberian beban di luar kemampuan manusia. Al-Asy’ari
234 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 132-133. 235 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 129-130.
124
sendiri, dengan tegas mengatakan dalam al-Luma’ yang dikutip oleh Harun
Nasution, sebagai berikut bahwa Tuhan dapat meletakkan beban pada
manusia yang tidak dapat dipikul. Al-Ghâzâlîpun mengatakan hal ini dalam
al-Iqtisâd.236
Walaupun pengiriman Rasul mempunyai arti penting dalam teologi,237
aliran Asy’ariyah menolak sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan
dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-
apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik.
Sekiranya Allah tidak mengutus Rasul kepada umat manusia, maka hidup
manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu, manusia tidak mampu
membedakan perbuatan baik dari perbuatan buruk. Ia akan berbuat apa saja
yang ia kehendaki. Namun, sesuai dengan faham Asy’ariyah tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan
bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Kalau
Tuhan menghendaki hidup dalam masyarakat kacau, Tuhan dalam faham
aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
Karena tidak mengetahui kewajiban Tuhan, aliran Asy’ariyah
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan
236 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 129. menurut faham asy’ariyah, perbuatan
manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan dan bukan dengan daya manusia. Ditinjau dari sudut pandang faham ini, pemberian beban yang tak dapat dipikul tidaklah menimbulkan persoalan bagi aliran asy’ariyah. Manusia dapat melaksanakan beban yang tidak dapat terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang terbatas
237 Pengiriman Rasul-rasul mempunyai yang besar bagi aliran asy’ariyah karena mereka banyak bergantung pada wahyu untuk mengetahui Tuhan dan alam gaib, bahkan juga untuk mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan hidup keduniawian. Untuk mereka, seharusnya pengiriman Rasul-rasul mempunyai sifat wajib
125
menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-Qur’an dan hadits. Di sini
timbul persoalan bagi Asy’ariyah karena dikatakan dalam al-Qur’an secara
tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi
ini, kata-kata arab man, alladzîna dan sebagainya yang menggambarkan arti
siapa, diberi interpretasi oleh Asy’ari sebagaimana dikutip Harun Nasution,
bukan setiap orang, akan tetapi hanya sebagian.238
Dengan demikian lanjut Harun Nasution, kata siapa dalam ayat
“Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka
ia sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya.239 Ayat ini
mengandung arti bahwa bukan seluruhnya, tetapi sebagian orang yang
berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam hukuman bukanlah
semua orang, tetapi sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu.
Adapun yang sebagian lagi, akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan. Dengan interpretasi demikianlah, al-Asy’ari
mengatasi persoalan kewajiban Tuhan menepati janji dan menjalankan
ancaman.240
238 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133. 239 Ayat ini bisa dilihat pada surat al-Nisâ’ (4) : 10 yang berbunyi
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). Lihat terjemah Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 101. 240 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133
126
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pendapat antara
Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.241 Aliran Maturidiyah
Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang
baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang
baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul di pandang Maturidiyah
Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.242
Sedangkan aliran kalam lainnya, seperti Maturidiyah Samarkand,
Asy’ariyah, dan Maturidiyah Bukhara, tidak diperoleh informasi ayat-ayat al-
Qur’an secara khusus yang di jadikan dalil dalam menopang pendapat
mereka. Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang
sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi
kelak. Demikian ungkapan Harun Nasution.243
Masih mengutip Harun Nasution, bahwa aliran Maturidiyah Bukhara
memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa
Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh
Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada
241 Dalam sejarah pertumbuhan aliran-aliran kalam, dikenal dua sub sekte aliran maturidiyah, yaitu maturidiyah samarkand dan maturidiyah bukhara. Sub sekte pertama tumbuh di Samarkand dengan pendirinya Abu Mansûr Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy. Adapun sub sekte yang ke dua, lahir di Bukhara dengan pendirinya adalah Abu Yasir Muhammad al-Bazdawi yang lahir pada tahun 421 H. dan meninggal pada tahun 493 H. lebih lanjut bisa dilihat, Abu al-Yusuf Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn¸(Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 11.
242 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 91.
243 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 134
127
orang yang berbuat baik., walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan
ancaman bagi orang-orang yang berdosa besar. Adapun pandangan
Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman Rasul, sesuai dengan pandangan
mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat
wajib dan hanya bersifat mungkin saja.244
Mengenai memberi beban kepada manusia di luar batas kemampuan
(taklîf ma lâ yûtaq), aliran Maturidiyah Buhkara menerimanya. Tuhan, kata
al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak
dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya, aliran Maturidiyah
Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh
al-Fiqh al-Akhbar yang dikutip oleh Harun Nasution, al-Maturidi tidak setuju
dengan pendapat aliran Asy’ariyah, dalam hal ini karena al-Qur’an
mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-
kewajiban yang terpikul. Pemberian yang terpikul memang dapat sejalan
dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang
mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.245
Adapun mengenai pengiriman Rasul, aliran Maturidiyah golongan
Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariyah.
Pengiriman Rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat
mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang
persoalan ini dapat diketahui dari keterangan al-Bayadi. Dalam Isyarat al-
Maram, al-Bayadi yang di rujuk oleh Harun Nasution menjelaskan bahwa
244 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 128, 132, 133 245 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 130
128
keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya
pengiriman Rasul.246
Sedangkan mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan
ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara, tidak sefaham dengan aliran
Asy’ariyah. Sebagaimana Harun Nasution mengutipnya sebagai berikut:
“…Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkenan memberikan maaf padanya, Tuhan akan memasukkan ia dalam surga-Nya, dan jika ia ingin memberikan hukuman kepadanya, Tuhan memasukkan untuk sementara atau selama-lamanya. Bahkan tidak mungkin bila Tuhan memberi ampunan kepada seseorang. Akan tetapi memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya sama”.247
Uraian al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati
janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian,
Tuhan mempunyai kewajiabn terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan
dengan pendapat yang dijelaskan sebelumnya bahwa sekali-kali Tuhan tidak
mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran
Asy’ariyah, sebagaiman diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-Nya.
sebaliknya menurut maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin
melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. 248
246 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 132. 247 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 133-134. 248 Kontradiksi yang terdapat dalam pandangan al-Bazdawi ini mungkin timbul dari
keinginannya untuk mempertahankan kekuasaannya dan kehendak mutlah Tuhan, tetapi
129
3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang
Perbuatan Tuhan
Aliran Mu’tazilah, sebagai aliran yang bercorak rasioanal, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik.
Namun, ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan
buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena ia mengetahui
keburukan dari perbutan buruk itu.249
Demikian pula dengan aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga
memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. 250
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan
Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban.
Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-
Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik., walaupun
Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang-orang yang berdosa
besar.251
Apa yang dijelaskan dalam membicarakan perbuatan Tuhan di atas,
seolah-olah menggambarkan bahwa perbuatan Tuhan bukanlah terbatas
pada hal-hal yang baik saja, seperti yang dianut oleh aliran kalam rasional, daripada itu ingin pula untuk mempertahan keadilan Tuhan. Mengatakan bahwa Allah memasukkan orang yang yang berbuat baik ke dalam neraka, adalah bertentangan sekali dengan rasa keadilan, tetapi mengatakan bahwa Tuhan dapat memasukkan orang yang jahat dalam surga, tidaklah bertentangan dengan rahmat Tuhan.
249 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 89.
250 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 91
251 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 128, 132, 133
130
tetapi juga mencakup pada hal-hal yang buruk, seperti yang dianut oleh
pemikiran kalam tradisional. Benarkah kesan itu? Baiklah ditelusuri
penafsiran al-Syaukani terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dalil
aliran kalam dalam menopang pendapat mereka tentang perbuatan-
perbuatan Tuhan.
Firman Allah surat al-Anbiya’ (21) ayat 23, di tafsirkan oleh al-
Syaukani dengan penjelasan Allah akan hebatnya kekuasaan serta
keperkasaan-Nya, sehingga tidak ada seorangpun dari hamba-Nya yang
bertanya tentang qada dan qadar-Nya. Sebagaimana dalam penafsirannya
sebagai berikut:
هذه الجملة مستأنفة مبينة أنه سبحانه لقوة سلطانه وعظيم " ال يسأل عما يفعل"عما " يسألون"أي العباد " وهم"جالله ال يسأله أحد من خلقه عن شيء من قضائه وقدره
٢٥٢.يفعلون أي يسألهم اهللا عن ذلك ألنهم عبيده
“Dan (Allah) tidak ditanya tentang apa yang dikerjakan” kalimat ini dimulai dengan penjelasan Allah akan hebatnya kekuasaan-Nya serta keperkasaan-Nya tidak ada seorangpun dari hamba-Nya yang bertanya tentang qada dan qadar-Nya “dan mereka” yakni para hamba-Nya “bertanya-tanya” tentang apa yang mereka kerjakan” yakni Allah bertanya kepada hamba-Nya tentang qada dan qadar karena mereka adalah hamba Allah.
Ayat di atas, berbicara tentang bukti-bukti keesaan Allah dan kuasa-
Nya, yang mengisyaratkan Kepemilikan, Kuasa, serta Ilmu Allah yang Maha
Mutlak, sekaligus mengisyaratkan kedudukan manusia sebagai makhluk
252 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 503.
131
bertanggung jawab. Allah Maha Pemilik mutlak lagi maha Kuasa, serta segala
perbuatan-Nya sesuai hikmah dan kemaslahatan, karena itu apapun yang
dilakukan-Nya tidak perlu Dia pertanggungjawabkan, tidak wajar pula di
kecam atau dikritik. Berbeda dengan manusia, yang memang diciptakan
Allah sebagai hamba yang sudah seharusnya taat pada Tuhannya.
Selanjutnya dalam manafsirkan ayat 8 surat al-Rûm (30) al-Syaukani
mengatakan bahwa langit dan bumi diciptakan Tuhan dengan kebenaran,
yakni kenyataan yang teratur. Sebagaimana penafsirannya sebagai berikut:
أن أسباب : والمعنى" أولم يتفكروا في أنفسهم ما خلق اهللا السماوات واألرض وما بينهما " هم لو تفكروا فيها كما ينبغي لعلموا وحدانية اهللا وصدق التفكر حاصلة لهم، وهي أنفس
أي ملتبسة : إما للسببية، أو هي ومجرورها في محل نصب على الحال" إال بالحق"أنبيائه ٢٥٣.بالحق
“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka, Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya.” (Potongan ayat ini) memiliki makna bahwa diri mereka kalaupun saja mereka berpikir tentang dirinya sendiri tentu mereka akan mengetahuinya akan keesaan Allah serta kebenaran nabi-Nya. “kecuali dengan tujuan yang benar” dengan adanya beberapa penjelasan. Kedudukan “al-haq” dimajrurkan menempati pada posisi yang nasab karena sebagai hal. Memiliki makna yakni dengan cara yang benar.
Penafsiran al-Syaukani di atas, menunjukkan kecenderungan
pemahaman bahwa Tuhan menciptakan yang buruk dan yang baik, tetapi
Tuhan tidak ada berbuat yang buruk. Dalam pandangan al-Syaukani, kendati
253 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 257.
132
tidak ada kekuatan yang meminta pertanggung jawaban perbuatan-
perbuatan Tuhan, namun tidaklah berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang
atas ciptaan dan milik-Nya.
Walaupun ungkapan-ungkapan al-Syaukani di atas, secara eksplisit
menyatakan Tuhan juga mempunyai kewajiban melakukan yang baik,
namun dengan menyebut penekanan pada Tuhan tidak akan melakukukan
yang batil, dapatlah dipahami bahwa keengganan al-Syaukani dalam
memakai kata “kewajiban Tuhan”. Karena kewajiban mengandung konotasi
bahwa ada sesuatu yang memberikan kewajiban itu. Oleh sebab itu, kata
kewajiban tidak layak diberikan kepada Tuhan. Akan tetapi bila hal itu
dikaitkan dengan pemahaman al-Syaukani tentang adanya janji-jani Tuhan
kepada manusia yang tidak akan dilanggar serta adanya sunnatullah yang
berjalan dengan teratur tanpa adanya perubahan, mengandung arti bahwa
Tuhan mempunyai kewajiban. Namun, perlu ditekankan bahwa kewajiban
Tuhan di sini, bukanlah kewajiban yang di letakkan Tuhan sendiri buat diri-
Nya.
Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf
ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan
Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat
memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam
kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan
133
perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”, penjelasan ini,
merupakan tafsiran al-Syaukani terhadap ayat 286 surat al-Baqarah.254
Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan
pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani
menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman
Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara
jelas.
Untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya pemahaman al-Syaukani
tentang hal ini, perlu dilihat kembali pandangannya tentang fungsi wahyu.
Wahyu menurut al-Syaukani memang penting sekali bagi kehidupan
manusia. Pentingnya wahyu tersebut ditunjukkan oleh al-Syaukani pada
tuntutan dan peringatan yang dibawa oleh wahyu itu sendiri. Tanpa tuntunan
wahyu, manusia tidak tahu secara benar, Tuhan mana yang patut di sembah
oleh manusia. Tanpa peringatan wahyu, manusia tidak tahu secara pasti,
mana perbuatan yang mendapat ganjaran pahala dan mana yang mendapat
siksa. Lewat pengiriman Rasul yang dilengkapi wahyu itulah, Tuhan tidak lagi
dikatakan berbuat zalim. Pengiriman Rasul juga sebagai pertanda bahwa
Tuhan tidak sewenang-wenang terhadap hamba-Nya.
Akhirnya, tentang janji dan ancaman Tuhan kepada manusia.
Bagaimana sebenarnya pandangan al-Syaukani tentang hal ini? Telah
disinggung di awal dalam pembicaraan tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan itu berlaku dalam hikmat dan kebijaksanaan yang Mahatinggi.
254 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h. 418.
134
Dengan demikian, menurut al-Syaukani akal sehat manusia tidak akan
menerima Tuhan melakukan kezaliman dengan menyiksa orang yang taat
dan memberi pahala kepada orang yang durhaka.
Janji Tuhan tehadap orang yang disediakan masuk surga, demikian al-
Syaukani dalam penafsiran ayat 20 surat al-Zumar, tidak akan dipungkiri oleh
Tuhan.
Dari apa yang dipaparkan di atas, tidaklah terlalu sulit untuk menarik
kesimpulan bahwa al-Syaukani berpendapat bahwa Tuhan juga berkewajiban
pula untuk memenuhi janji dan melaksanakan ancaman-Nya, sebagaimana
yang Dia janjikan dalam al-Qur’an. Sebab, bila Tuhan tidak mempunyai
kewajiban menepati janji dan ancaman tersebut, berarti Tuhan melakukan
kesewenang-wenangan. Dan hal ini jelas bertentangan dengan dengan sifat
keadilan Tuhan serta hikmah kebijaksanaan yang Mahatinggi.
D. Sifat-sifat Tuhan
Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan di antara aliran-aliran
kalam adalah masalah sifat-sifat Tuhan. Tarik menarik diantara aliran-aliran
kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya lebih dipicu oleh truth
claim yang dibangun atas kerangka berfikir masing-masing dan klaim
mentauhidkan Allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat
menyucikan dan memelihara keesaan Allah.
Perdebatan antara kalam tentang sifat-sifat Allah terbatas pada
persoalan apakah Allah memiliki sifat atau tidak, tetapi pada persoalan-
135
persoalan cabang sifat-sifat Allah, seperti antropomorphisme, melihat Tuhan
(ru’yat Allâh), dan esensi al-Quran.
1. Ayat-ayat tentang Sifat-sifat Tuhan dan Pandangan Aliran
Kalam
a. Anthropomorphisme.
Masalah Anthropomorphisme dalam ilmu kalam adalah masalah
pendiskusian tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.
Pertentangan antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah
berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak? Jika
Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dengan dzat
Tuhan. Sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi
banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa pada faham banyak yang
kekal (ta’ddud al-Qudama’ atau multiplicity of eternals). Suatu hal yang dapat
diterima dalam teologi.255
Aliran Mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang
Tuhan, sebagaiman yang telah dijelaskan oleh Asy’ari, bersifat negative.
Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya.256
255 Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 135 256 Abu Musa al-As’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon
Anwar dan Taufiq Rahman, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 200
136
Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa,
tidak hidup, dan sebagainya. Tuhan bagi mereka tetap mengetahui, berkuasa
dan sebagainya. Akan tetapi bukan dengan sifat, dalam arti kata yang
sebenarnya. Artinya, Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri.257 Dengan demikian, pengetahuan
Tuhan, sebagaimana dijelaskan Abu al-Hudzail yang dikemukakan al-
Syahrastani,258 adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat esensi Tuhan.259
ه ذاتهان الباري تعالى عالم بعلم وعلمه ذاته قادر بقدرة وقدرته ذاته حي بحیاة وحیات Artinya: Sesungguhnya Allah Maha mengetahui dengan
pengetahuan-Nya; Maha kuasa dengan kekuasaan-Nya; Maha hidup dengan kehidupan-Nya, dan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan-Nya itu adalah dzat-Nya sendiri.260
Arti “Tuhan mengetahui esensi-Nya” kata al-Juba’I sebagaimana
dikutip oleh Harun Nasution Sebagai berikut:261
257 Abu Musa al-Asy’ari, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon
Anwar dan Taufiq Rahman, h. 200 258 Ia adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka. Nama lengkapnya adalah
Muhammad al-Hudzail bin Abdullah al-Basri al-Allaf, Hudzail merupakan salah seorang murid Abû Utsmân al-Ja‘farâni (salah seorang murid Wasil bin ‘Ata’). Sebutan al-Allâf diperolehnya karena tempat tinggalnya di Basrah dan wafat pada tahun 235 H. di Samarra. Lihat, Abdullatif Muhammad al-Abr, al-Usûl al-Fikriyyah lî al-Madzhab ahl al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Nahdah, t.th.), h. 102.
259 Abdullatif Muhammad al-Abr, al-Usûl al-Fikriyyah lî al-Madzhab ahl al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Nahdah, t.th.), h. 102.
260 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 49-50.
261 Ia adalah salah seorang tokoh Mu’tazilah terkemuka. Nama lengkapnya adalah Abû Muhammad bin Abdul Wahab bin Salam bin Khalid bin Imran al-Juba’i. ia lahir di Jubba’I (suatu daerah di Kazakhtan) pada tahun 235 H. dan wafat tahun 303 H. Ia
137
Ialah untuk mengetaui sesuatu, Tuhan tidak berhajat kepada sesuatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Abu Hasyim lanjut Harun Nasution, sebaliknya berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensi-Nya” adalah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.262
Aliran Mu’tazilah yang memberikan daya yang besar kepada akal
berpendapat bahwa Tuhan tidak dapat dikatakan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Bila Tuhan dikatakan mempunyai jasmani, tentulah Tuhan
mempunyai ukuran panjang, lebar dan dalam, atau Tuhan diciptakan sebagai
kemestian dari sesuatu yang bersifat jasmani. Oleh sebab itu, Mu’tazilah
menafsirkan ayat-ayat yang memberikan kesan bahwa Tuhan bersifat jasmani
secara metaforis.
Ayat-ayat tersebut antara lain ayat 5 dan 39 surat Tâhâ, ayat 88 surat
al-Qasas, ayat 75 surat Sâd, ayat 67 surat al-Zumar, dan ayat 22 surat al-
Fajr.263
Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam
di atas 'Arsy (Q.S. Tâhâ (20): 5)
merupakan pemuka Mu’tazilah di wilayah Basrah bersama anaknya yang bernama Abu Hasyim yang juga merupakan pemuka Mu’tazilah yang cukup terkenal. Lihat, Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad al-Baghdâdî, al-Farâq bain al-Firâq, ((Kairo: Maktabah Muhammad ‘Ali Subaih wa Autâtuh, t.th.), h. 138.
262 Harun Nasuition, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 135
263 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 226-228.
138
Artinya: Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Q.S. Tâhâ (20): 39)
Artinya: Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. (Q.S. surat al-Qasas (28): 88)
Artinya: Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. (Q.S. surat Sâd (38): 75)
Artinya: Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. (Q.S. al-Zumar (39): 67)
Artinya: Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. (Q.S. al-Fajr (89): 22)
Ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan bersifat
jasmani di atas, diberi ta’wîl oleh Mu’tazilah dengan pengertian yang layak
bagi kebesaran dan keagungan Allah. Misalkan kata istawa dalam surat Tâhâ
ayat 5 ditakwilkan dengan al-istila wa al-ghalabah (menguasai dan
mengalahkan) "االستوى ههنا بمعنى االستیالء والغلبه" 264; kata ‛ainî dalam surat Tâhâ
ayat 39 ditakwilkan dengan ‛ilmî265 (pengetahuan-Ku) "والعین تورد بمعني العلم " ;
kata wajhah dalam surat Qasas ayat 88 ditakwilkan dengan dzâtuhu ay
264 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah,
1960), h. 226. Lihat pula, M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka, 1990), h. 92-93.
265 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh, h. 227.
139
nafsuhu266 (dzat-Nya yakni diri-Nya) kata yad ; "ئ اال ذاته أي نفسهأن المراد به كل شی "
dalam surat Sad ayat 75 ditakwilkan dengan al-Quwwah267 (kekuatan) أن الید "
"بمعنى االقوه , kata yamîn dalam surat al-Zumar ayat 67 ditafsirkan dengan al-
Quwwah268 (kekuatan) "أن الیمین بمعنى االقوه " , dan kata jâ’a Rabbuka269 dalam
surat al-Fajr ayat 22 diartikan dengan jâ’a amru Rabbika270 (telah datang
urusan Tuhanmu).
Sementara itu, menurut al-Baghdadi seperti dikutip Harun Nasution
sebagai berikut:
“Melihat konsensus di kalangan Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali, tidaklah sama dengan esensi Tuhan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi tersebut. Uraian-uraian ini juga membawa faham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada faham banyak kekal”.271
Kelihatannya faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang
mendorong Asy’ariyah memilih perselisihan di atas, sifat mengandung arti
tetap dan kekal. Sedangkan keadaan mengandung arti berubah. Sifat
mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh
Karen itu, perkataan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi hanya
266 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 227. 267 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 228. 268 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh, h. 228. 269 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 229ز 270 Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh , h. 229. 271 lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 136.
140
mempunyai keadaan, tidaklah segaris dengan kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Untuk mempertahankan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, Tuhan mestilah mempunyai sifat-sifat yang kekal. demikian Harun
Nasution dalam mengomentari pendapat di atas.272
Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanal memberikan daya yang
kecil kepada akal. Juga menolak faham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani.
Bila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Namun, ayat al-
Qur’an kendatipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani,
tidak boleh di takwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfiyahnya.
Oleh sebab itu, Asy’ariyah berpendapat yang dikutip oleh Yunan Yusuf
mengatakan bahwa Tuhan mempunyai mata, wajah, tangan, serta
bersemayam di singgasana. Namun, semua itu dikatakan tanpa diketahui
bagaimana cara dan batasnya.273
Bertentangan dengan pendapat Mu’tazilah di atas, aliran Asy’ariah
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak dengan mata kepala.
Asy’ari menjelaskan bahwa sesuatu yang dapat dilihat adalah sesuatu yang
mempunyai wujud. Karena Tuhan mempunyai wujud, maka Tuhan dapat
dilihat. Lebih jauh dikatakan bahwa Tuhan melihat apa yang ada. Dengan
demikian, Dia juga melihat diri-Nya. Bila Tuhan melihat diri-Nya, tentulah Ia
sendiri membuat manusia mempunyai kemampuan melihat diri-Nya
sendiri.274
272 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 136. 273 lihat, M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta:
Pustaka, 1990), h. 93-94. 274 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,
1990), h. 96-67.
141
Berkaitan dengan sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran
antara Maturidiyah dan Asy’ariyah, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basar, dan sebagainya.275 Walaupun
begitu pengertian Maturidiyah tentang sifat Tuhan berbeda dengan
Asy’ariyah, Asy’ariyah mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan
dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan menurut Maturidi
sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-
sifat Tuhan itu ada bersama (muladamah) dzat tanpa terpisah. Menetapkan
sifat bagi Allah tidak harus membawa kepada pengertian antropomorphisme,
Karena sifat tidaklah berwujud yang tersendiri dari dzat, sehingga berbilang
sifat tidak akan membawa pada berbilangnya qadim (ta’addud al-qudama).
Tampaknya faham Maturidiyah tentang makna sifat Tuhan cenderung
mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya, Maturidiyah mengakui adanya
sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Sementara itu, Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Mereka
mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat
dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifa-sifat itu sendiri, juga
dengan mengatakan bahwa bersama-sama sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-
sifat itu sendiri tidaklah kekal.276
275 Muhammad Abû Zahrah, Tarikh al-Madzhab al-Islâmiyyah, (kairo: Dâr al-Fikr,
t.th.), h. 181-182, lihat pula, Mahmûd Qasim, Dirâsat al-Falsafah al-Islâmiyyah, (Mesir: Dâr al-Ma‘ârif, 1973), h. 171.
276 lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 137.
142
Dalam pembahasan hal sifat-sifat Tuhan, aliran Maturidiyah Bukhara
berbeda dengan Asy’ariyah. Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa
Tuhan tidaklah memiliki sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat al-Qur’an yang
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil.
Menurut al-Bazdawi sebagaimana dikutip oleh Yunan Yusuf bahwa kata
istawa haruslah dipahami dengan arti istila ala al-syai’I wa al-qahr alihi
(menguasai sesuatu dan memaksakannya). Demikian juga, ayat yang
menggambarkan Tuhan mempunyai dua mata dan dua tangan, bukanlah
Tuhan mempunyai anggota badan.277
Aliran Maturidiyah Samarkand dalam hal ini kelihatannya tidak
sefaham dengan Mu’tazilah karena maturidiyah mengatakan bahwa sifat
bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan.278 Maturidiyah Samarkand
sependapat dengan Mu’tazilah dalam hal menghadapi ayat-ayat yang
memberikan gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini.
Maturidiyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata,
dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.279 Maturidiyah Samarkand sejalan dengan
Asy’ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan
Maturidiyah bahwa melihat Tuhan itu sesuatu yang pasti dan benar, akan
tetapi tidak bisa dijelaskan bagaimana cara melihatnya.
277 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,
1990), h. 94. 278 Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 137. 279 M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, (Jakarta: Pustaka,
1990), h. 93.
143
Ayat 103 surat al-An‛âm (6) yang dijadikan dalil oleh Maturidi dalam
mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala,
diberi tafsiran dengan mengatakan, bahwa Tuhan dapat dilihat maka
penafsiran al-idrak (pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada
artinya. Hal ini karena bila selain Tuhan dapat penafian tersebut menjadi
tidak bermakna. Oleh seba itu, Tuhan dapat dilihat oleh mata.280
Demikian pula dengan Maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan
Asy’ariyah dan Maturidiyah Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala. Sebagaimana kata Al-Bazdawi bahwa kelak Tuhan akan
memperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepada, menurut apa
yang kehendaki.
b. Ru’yatullah.
Masalah melihat Tuhan (Ru’yatullah) diperbincangkan dalam kaitan
apakah Tuhan itu dapat dilihat dengan mata kepala atau tidak di akhirat.
Dengan kata lain, apakah melihat Tuhan di akhirat kelak dengan mata
jasmani atau mata rohani?
Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran oleh Mu’tazilah adalah
ayat 103 surat al-An‛âm (6), sebagai berikut:
280 Lihat lebih lanjut, M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam,
(Jakarta: Pustaka, 1990), h. 93.
144
Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang
dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha halus
lagi Maha Mengetahui. (Q.S. surat al-An‛âm (6) : 103).281
Surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 sebagai berikut:
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (Q.S. al-Qiyâmah
(75) : 22- 23).282
Surat al-A‛râf (7) ayat 143 sebagai berikut:
Artinya: …Berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan…(Q.S. al-A‛râf (7) : 143).283 Surat al-Kahfi (18) ayat 110 sebagai berikut:
281 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 190. 282 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 854. 283 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 224.
145
Artinya: …Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh… (Q.S.
al-Kahfi (18) : 110).284
Dan ayat 51 surat al-Syûra (42) sebagiberikut:
Artinya: Dan tidak patut bagi seorang manusia bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat)…
(Q.S. surat al-Syûra (42) : 51).285
Pada surat al-An‘âm ayat 103 di atas, Mu’tazilah memahami sebagai
penjelasan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Lafadz al-
absâr yang terdapat pada ayat tersebut, berlaku umum, tidak terkait pada
waktu dan tempat tertentu, baik di dunia maupun akhirat. demikian kata
abdul Jabbar. ٢٨٦"عام في دار الدنیا ودار اآلخرة". Kemudian Abdul Jabbar
dalam menjelaskan Surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 ayat ini dipahami
284 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 418. 285 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 701. 286 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 242.
146
oleh Mu’tazilah, bukan berarti memandang Tuhan, tetapi menunggu-nunggu
balasan pahala yang akan diberikan oleh Tuhan.287
Selanjutnya, ada beberapa pendapat Mu’tazilah kenapa Tuhan tidak
dapat dilihat. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan, karena bersifat
immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama, Tuhan
tidak mengambil tempat, sehingga Tuhan tidak dapat dilihat dan kedua, bila
Tuhan dapat dilihat oleh mata kepala, itu berarti Tuhan dapat dilihat
sekarang di dunia ini, sedangkan pada kenyataannya tidak seorangpun yang
melihat Tuhan di alam ini. Berkenaan dengan penafsiran ayat-ayat tentang
ru’yatullah di atas, Surat al-A‘râf (7) ayat 143, ayat ini ditafsirkan oleh
Mu’tazilah bahwa permintaan untuk melihat Tuhan itu bukan datang dari
Musa sendiri tapi dari pengikutnya. Permintaan tersebut kemudian diajukan
oleh Musa untuk mematahkan kebangkangan dan kedurhakaan mereka.288
Sekali lagi dikatakan bahwa jawaban Tuhan adalah lan tarânî, menurut
Abdul Jabbâr, mengandung pengetian Aku sekali-kali tidak dapat dilihat.289
Lalu ayat istaqarra makânahû (tempat tinggal ditempatnya), dipahami oleh
Mu’tazilah sebagai penegasan Tuhan bahwa ia tidak dapat dilihat, sebab
gunung itu sendiri tidak tetap di tempatnya dan Musa sendiri sendiri tidak
dapat melihat Tuhan.290
287 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 264. 288 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 265. 289 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 265. 290 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 16.
147
Asya’ari menggunakan sandaran ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Q.S. al-Qiyâmah (75) : 22- 23, Q.S. al-A‛râf (7) : 143, surat Yûnus ayat 26
dan ayat 103 surat al-An‛âm (6).
Surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 sebagai berikut:
Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (Q.S. al-Qiyâmah
(75) : 22- 23).291
Surat al-A‛râf (7) ayat 143 sebagai berikut:
Artinya: …Berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan…(Q.S. al-A‛râf (7) : 143).292 Surat Yûnus ayat 26
…
291 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 854 292 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 224
148
Artinya: Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya… (Q.S. Yûnus (10) : 26)
ayat 103 surat al-An‛âm (6), sebagai berikut:
Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang
dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus
lagi Maha Mengetahui. (Q.S. surat al-An‛âm (6) : 103).293
Ayat 22-23 surat al-Qiyamah di pahami oleh Asy’ari melihat dengan
mata kepala. Kata nadirah, demikian Asy’ari, tidak bermakna I’tibar
(memperhatikan) atau intidar (menunggu), sebab kata tersebut bila dituturkan
dengan kata wajh, maka mengandung arti melihat dengan mata yang
terdapat di wajah.294 Selanjutnya ayat 143 surat al-A’râf ditafsirkan oleh
Asy’ari dengan menjelaskan bahwa permintaan Musa itu bukan sesuatu yang
mustahil, tapi bisa mengandung kemungkinan.295
Adapun ayat 26 surat Yunus, menurut Asy’ari pemahaman bahwa
orang-orang mukmin mendapat tambahan (ziyadah) dari Tuhan, yakni
melihat Tuhan dengan mata kepala, di samping mendapat ganjaran surga.296
Sementara ayat 103 surat al-An‘âm dipahami oleh Asy’ari, yakni Tuhan tidak
293 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 190 294 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 13-14. 295 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 14. 296 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 15.
149
dapat dilihat dengan mata kepala di dunia, namun bisa dilihat di akhirat oleh
mukmin, tapi tidak oleh orang kafir.
c. Khalq al-Qur’ân.
Ayat-ayat lain yang digunakan oleh Mu’tazilah sebagai dalil adalah
surat al-Anbiya’ (21) : 2, al-Hijr (15) : 9, Hûd (11) : 1, dan al-Zumar (39) : 23
sebagai berikut:
Artinya: Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun
yang baru dari Tuhan mereka… (Q.S. al-Anbiya’ (21) : 2).297
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran,
dan pasti kami (pula) yang memeliharanya (Q.S. al-Hijr (15) : 9).298
Artinya: Alif lâm râ, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya
disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, (yang
297 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 448 298Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 355
150
diturunkan) dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana, meneliti. (Q.S. Hûd
(11) : 1).299
Artinya: Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik
(yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-
ulang… (Q.S. al-Zumar (39) : 23).300
Mengenai hakikat al-Qur’an, aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa al-
Qur’an adalah makhluk sehingga tidak kekal. Mereka berargumen bahwa al-
Qur’an itu sendiri tersusun dari kata-kata dan kata-kata itu sendiri tersusun
dari huruf-huruf.
Aliran Mu’tazilah mengemukakan ayat-ayat tentang khalq al-Qur’an di
atas sebagai berikut: surat al-Anbiya’ (21) ayat 2, Qadi Abdul Jabbar
mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa al-Qur’an (al-Dzikr) disifati
dengan baru. Sebagaimana ungkapannya301 Al-Hijr (15) " فقد وصفه بأنه محدت"...
: 9 ayat ini mensifati dengan sesuatu yang diturunkan, menurut Abdul Jabbar
mestilah baharu. Apalagi hal ini dihubungkan dengan pernyataan Allah wa
innahû lahâfidûn (dan kamilah yang memeliharanya) berarti al-Quran itu
baru. Sebab, bila al-Qur’an itu sesuatu yang qadim tentulah tidak
memerlukan pemeliharan.302
299 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 297 300 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 662 301 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 531-532. 302 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 532.
151
Hûd (11) : 1, ayat ini menurut Abdul Jabbar, memperlihatkan dengan
jelas bahwa al-Qur’an itu baru. Keadaan al-Qur’an tersusun dari huruf-huruf
serta terkumpul dalam bentuk tulisan tidak dapat dikatakan qadim, sebab
yang qadim tidak tersusun dan terkumpul menjadi satu.303
al-Zumar (39) : 23, Ayat ini menyebutkan bahwa al-Qur’an itu turun
secara berulang-ulang, merupakan berita sebaik-baiknya, dan juga dikatakan
sebagai kitab yang tertulis. Semua sifat-sifat tersebut demikian kata Abdul
Jabbar menunjukkan sifat baru bukan menunjukkan sifat qadim.304
Sedangkan pendapat aliran Asy’ariyah berbeda pendapat dengan
faham Mu’tazilah di atas, mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari, tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan
mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatannya. Ia juga juga mengatakan
bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya. Di
samping mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya. Ia lebih jauh
berpendapat bahwa Allah memang memiliki sifat-sifat dan bahwa sifat-sifat
itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh diartikan secara harfiyah
melainkan secara simbolis. Selanjutnya, Asy’ariyah berpendapat bahwa sifat-
sifat Allah itu unik. Karenanya, tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat
manusia. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah sendiri, tetapi menyangkut
realitasnya (hakikatnya) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian
tidak berbeda dengan-Nya.305
303 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 532. 304 Abdul Jabbâr, Syarh al-Usûl al-Khamsah, h. 532. 305 Lihat, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor,
1991), h. 67-68.
152
Ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Asy’ariyah adalah : surat al-Rûm
(30) : 25, al-A’raf (7) : 54, Yâsîn (36) : 82, al-Kahfi (18) : 109, dan al-Mu’min
(40) : 16.
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya… (Q.S. al-Rûm (30) :
25).306
Kata biamrihi di atas, ditafsirkan Asy’ari dengan kalâmullâh, dan
kalamullah itu bukan makhluk.. ٣٠٧"أن أن امراهللا غیرمخلوق... الدلیل على ذالك هو كالمه "
Artinya: … Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah
hak Allah… (Q.S. al-A’raf (7) : 54).308
Selanjutnya ayat 54 surat al-A‘râf di pahami oleh Asy’ari, bahwa al-
Qur’an bukan makhluk. Sebab, demikian Ast’ari, ayat tersebut memisahkan
antara perintah dan dan ciptaan. Perintah tidaklah mencakup apa yang
dicipta. Dengan demikian, perintah Tuhan bukanlah ciptaan Tuhan, ketika
bukan ciptaan berarti al-Qur’an itu qadim.309
306 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 573 307 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 31. 308 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 211 309 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 31.
153
Artinya: Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia.
(Q.S. Yâsîn (36) : 82).310
Ayat 82 surat Yâsîn di atas, ditafsirkan oleh Asy’ari dengan
mengatakan sebagagai berikut:
ولوكان اهللا عز وجل قائال , فیكون" كن: "لو كان القران مخلوقا لوجب ان یكون مقوال لهف" قول اهللا"اما ان یئول اآلمر الى أن : وهذا یوجب أحد أمرین, كان القول قوال" كن"للقول واذا استحال ذالك , وذالك محال, الالى غایة" بقول"واقعا " قول"أو یكون كل , مخلوقغیر
٣١١. غیر مخلوق" قوال"اهللا عز وجل صح وثبت أن
“Seandainya al-Qur’an itu makhluk, tentu ia memiliki kata-kata yang dipergunakan untuk menciprakannya, yaitu kun. Dan seandainya Allah bermaksud mencipta kata kun tersebut, maka setiap kali Allah hendak berfirman haruslah didahului firman yang pertama, dan begitu seterusnya tanpa akhir. Hal ini jelas mustahil. Oleh sebab itu, al-Qur’an pasti bukan makhluk.”
Artinya: Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk
(menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu
sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku… (Q.S. al-Kahfi (18) :
109).312
310 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 633 311 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 32. 312 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 417
154
Sekalipun semua lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-
kalimat Allah, demikian Asy’ari ketika menafsirkan ayat 109 surat al-Kahfi,
niscaya kalimat itu tidak akan habis tertulis. Oleh sebab itu, bila kalimat-
kalimat Allah itu habis berarti kalamullah akan habis. Maka, Allah akan mati,
tidak berfirman lagi, dan ini adalah mustahil.313
Artinya: … "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?"
kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (Q.S. al-
Mu’min (40) : 16).314
Akhirnya ayat 16 surat al-Mu’minun, al-Asy’ari mengatakan bahwa
firman Allah tersebut, karena tidak dijawab oleh siapapun, lalu dijawab oleh
Allah sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Allah berfirman itu belum
ada ciptaan. Oleh sebab itu, kalamullah tidak termasuk dalam kategori
makhluk.
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa al-Qur’an itu kekal tidak
diciptakan. Asy’ariyah berpegang teguh pada pernyataan bahwa al-Qur’an itu
bukanlah makhluk sebab segala sesuatu itu tercipta, setelah Allah berfirman
kun (jadilah), maka segala sesuatupun terjadi. Penjelasan ini mengisyaratkan
bahwa al-Qur’an dalam faham mereka bukanlah yang tersusun dari huruf
dan suara, tetapi yang terdapat di balik yang tersusun dari suara itu.
313 Al-Asy’ari, al-Ibânah, h. 32. 314 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-
Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 673
155
Selanjutnya tentang penciptaan al-Qur’an, bagi aliran Maturidiyah
Bukhara dan Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa al-Qur’an itu kekal
dan tidak diciptakan. Maturidiyah Bukhara berpendapat sebagaimana
dijelaskan al-Bazdawi bahwa kalâmullâh (al-Qur’an) adalah sesuatu yang
berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang
mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara
hakikat, akan tetapi disebut al-Qur’an dalam pengertian kiasan (majaz).
Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa al-Qur’an adalah
kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan
dzat Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat
sebab huruf dan kalimat itu diciptakan.
3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang
Sifat-sifat Tuhan
Al-Syaukani dalam tafsirnya membicarakan masalah-masalah yang
diperdebatkan dalam sifat-sifat Tuhan, yakni: tasybih (antrpomorfisme),
ru’yatullah (melihat Tuhan), dan khalq al-Qur’ân (al-Qur’ân qadîm atau
baharu).
1. Anthropomorphisme.
Sebagaimana diketahui, masalah Anthropomorphisme dalam ilmu
kalam diperdebatkan dalam kaitan apakah nash-nash agama yang
menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, cukup
dipahami dalam makna harfiahnya, ataukah harus dipahami dalam makna
156
metaforanya? Kemudian, bagaimana pandangan al-Syaukani mengenai hal
ini?
Dalam bidang teologi Islam, al-Syaukani nampaknya tidak sepaham
dengan Mu’tazilah yang dipegang oleh madzhab Zaidiyah, tetapi ia lebih
dekat aliran salaf. Hal ini terlihat pada beberapa pandangannya lebih dekat
kepada paham salaf. Misalnya, ketika manafsirkan ayat-ayat mutasyabihat,
dalam hal ini al-Syaukani cenderung memegang makna lahir dari ayat, tanpa
menakwilkannya. Ini terlihat ketika al-Syaukani menafsirkan Q.S. al-A’Raf (7)
ayat 54:
Al-Syaukani menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قوالً، وأحقها ": ثم استوى على العرش: "ى الوجه وأوالها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه استوى سبحانه عليه بال كيف بل عل
. الذي يليق به مع تنزهه عما ال يجوز عليه Artinya: Sesungguhnya para ulama telah berbeda pendapat
tentang makna ini “Tuhan bersemayam di atas ‘arasy” atas empat belas pendapat, yang paling benar dan paling dekat dengan yang seharusnya adalah paham salaf yang saleh, yaitu Allah Swt. bersemayam, tanpa (diketahui) caranya, tetapi dalam proporsi yang layak dengan-Nya serta (dalam) ketransendenan-Nya dari segala yang tidak boleh atas (diri)-Nya.315 Ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah pembimbing dan
pemelihara, dan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, setelah
itu, Tuhan bersemayam di atas Arsy. Dia berkuasa dan mengatur segala yang
315 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 269.
157
diciptakan-Nya, sehingga berfungsi sebagaimana yang Dia kehendaki. Al-
Syaukani dalam menafsirkan bersemayamnya Allah di atas Arsy, dengan
tanpa diketahui caranya (bila kaifa).
Kemudian, dalam menafsirkan penggalan ayat “‘alâ al-‘arsyi istawâ”
yang terdapat dalam surat Tâhâ ayat 5, al-Syaukani yang menjelaskan
tentang sifat-sifat Tuhan dengan tahrif dan ta’wil, dengan mengatakan:
االستواء اإلقبال على : قال ثعلب: قال أحمد بن يحيى". على العرش استوى" "الرحمن"والذي ذهب إليه وقيل هو كناية عن الملك والسلطان، . الشيء، وكذا قال الزجاج والفراء
أبو الحسن األشعري أنه سبحانه مستو على عرشه بغير حد وال كيف، وإلى هذا القول الصالح الذي يروون الصفات كما وردت من دون تحريف وال سبقه الجماهير من السلف
٣١٦.تأويل
Artinya: “Arrahmân ‘alâ al-arsy istawâ” Ahmad bin Yahya berkata: Sa’lab berkata: bersemayam atas sesuatu sebagaiaman al-Zujaz dan al-Farra berkata. Dan menurut satu pendapat, istawa adalah kinayah atas raja dan penguasa. Yang sependapat dengannya adalah Abu Hasan Al-Asy’ari karena Allah SWT menduduki arsy’-Nya tanpa batas dan sekendak-Nya, sesuai dengan pendapat ini adalah imam Al-Jamahir dari kalangan ulama salaf yang menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan dengan tanpa tahrif dan ta’wil.
Ayat di atas, membicarakan sifat Allah yaitu al-Rahmân Tuhan Yang
Maha Pemurah, yang Bersemayam, yakni berkuasa penuh di atas arasy,
yakni pada seluruh kerajaan-Nya. Selanjutnya, al-Syaukani berpendapat,
bahwa kata istawa dikinayahkan dengan raja. Jadi bisa dipahami bahwa
316 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 448
158
istawa ‘ala al-‘arsy yakni Allah mempunyai singgasana. Yang jelas, hakikat
makna tersebut pada ayat ini tidak diketahui manusia.
Lalu bagaimana kecenderungan al-Syaukani sebenarnya? Di ayat lain,
yakni Ayat 39 surat Tâhâ, al-Syaukani mengurai kata ‘ainî dinisbahkan
kepada Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an, dipahami oleh al-Syaukani sebagai
di bawah pangkuanku, sebagaimana penafsiran al-Syaukani sebagai berikut:
إذا : أي ولتربى وتغذى بمرأى مني، يقال صنع الرجل جاريته" ولتصنع على عيني"إذا داوم على علفه والقيام عليه، وتفسير على عيني بمرأى مني : رباها، وصنع فرسه
٣١٧.صحيح
“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” yakni agar kamu dididik dibawah pangkuanku, dikatakan seseorang mengasuh tetangganya, ketika mendidik dan menggembala kudanya, serta memberi makan kudanya, penafsiran kata “aini” dengan dibawah pangkuanku itu adalah riwayat yang shohih.
Ayat di atas, secara umum memberikan gambaran akan sambutan
Allah atas permohonan Nabi Musa As yang tulus itu. Yakni diilhamkan
sehingga Musa selamat dari rencana Fir’aun. Ilham itu adalah perintah
meletakkan dan menghanyutkan Musa ke sungai Nil, dan atas kasih sayang
Allah, sehingga siapapun yang memandangnya akan merasa tertarik dan
menaruh kasih dan cinta kepada Musa. “dan supaya engkau diasuh” secara
terhormat “di bawah pengawasan-Ku.
317 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 458.
159
Al-Syaukani menafsirkan ‘aini dengan di bawah pangkuan-Ku. Artinya
Nabi Musa diasuh oleh Istri Firaun laksana mengasuh anaknya sendiri.
Di samping pendapat di atas, al-Syaukani juga mengartikan wajah
wajh (wajah) dengan Allah. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani dalam ayat
88 surat al-Qasas (28):
هلك أهل : قالت المالئكة" كل من عليها فان"وأخرج ابن مردويه عنه قالك لما نزلت كل "هلك كل نفس، فلما نزلت : قالت المالئكة" كل نفس ذائقة الموت"األرض، فلما نزلت وأخرج عبد بن حميد . هلك أهل السماء واألرض: قالت المالئكة" شيء هالك إال وجهه
٣١٨.إال ما أريد به وجهه: قال" ال وجههكل شيء هالك إ"عن ابن عباس Imam Mardaweh ikut mentakhrij ketika turun ayat “semua yang
ada di muka bumi ini akan binasa”. Malaikat berkata: celakalah penduduk bumi, maka ketika turun ayat “setiap orang akan merasakan kematian” malaikatpun berkata celakalah setiap orang, dan ketika turun ayat “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” Malaikat berkata lagi celakalah penduduk langit dan penghuni bumi. Dan Imam Abd bin Hamid dari Ibnu Abbas mentakhrij “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” dia mentafsirkan dengan “kecuali sesuatu apa yang Allah kehendaki”. Dari penafsiran al-Syaukani di atas, memberikan titik terang bahwa
ayat ini melukiskan bahwa segala sesuatu akan binasa, harta, kedudukan,
kekuasaan, dunia, dan bahkan segala penghuninya bahkan alam raya dan
segala isinya, penduduk langit dan bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak.
Dan yang tinggal hanya Allah. Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali dan
tiada tempat berlindung kecuali Allah semata. Dan al-Syaukani mengakhiri
318 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 228.
160
penafsirannya, “tiap-tiap sesuatu pasti binasa” dengan kecuali sesuatu yang
Allah kehendaki.
Sedang dalam menafsirkan ayat 75 surat Sâd (38) yang di dalamnya
terdapat kata bi yaday, al-Syaukani mengatakan dalam penafsirannya yaitu:
أي ما صرفك وصدك عن السجود لما " قال يا إبليس ما منعك أن تسجد لما خلقت بيدي"توليت خلقه من غير واسطة، وأضاف خلقه إلى نفسه تكريماً له وتشريفاً، مع أنه سبحانه
319 .خالق كل شيء أضاف إلى نفسه الروح، والبيت، والناقة، والمساجد
“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkan untuk berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta masjid-masjid.” Setelah ayat yang sebelumnya yang mengurai keengganan Iblis untuk
sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas mengurai kecaman Allah kepada
Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman : "Hai iblis, apakah
yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua
tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua tangan) menurut Quraish Shihab,
sebagai berikut:
“Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada
319 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 528.
161
juga yang memahami kata tangan dengan arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekedar untuk menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau menjadi isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu, tanah, dan juga ruh Ilahi.320”
Al-Syaukani dalam keterangannya di atas, memahami kata yadayya
nampaknya lebih kepada isyarat tentang betapa manusia memperoleh
pengangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari sini pula sehingga
ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan tetapi
bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.
Kemudian dalam menafsirkan ayat 67 surat al-Zumar (39) yang
didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani mengatakan bahwa Allah
bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan pahamnya kepada
kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu bersangkut
paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk dan
tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:
فإن ذكر اليمين للمبالغة في كمال القدرة كما يطوي الواحد منا " والسموات مطويات بيمينه" ٣٢١.الشيء المقدور له طيه بيمينه، واليمين في كالم العرب قد تكون بمعنى القدرة والملك
“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan
tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam
320 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. V, vol. 12, h. 170.
321 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 546.
162
kekuasaanya, sebagaimana seseorang menggulungkan sesuatu dengan tangan kanannya. Dan tangan kirinya dalam bahasa Arab bermakna kekuasaan dan kerajaan.
Ayat di atas, mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan
sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan yang besar yakni
mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isisnya adalah dalam
genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya secara
metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di sini
adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di
antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak,
yang tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau
dibatasi oleh batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani
Dan akhirnya kata jâ’a Rabbuka (telah datang Tuhanmu) dalam ayat
22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh al-Syaukani dengan ketentuan
Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:
أنها زالت الشبه في ذلك : أي جاء أمره وقضاؤه وظهرت آياته، وقيل المعنى" وجاء ربك"اليوم وظهرت المعارف وصارت ضرورية كما يزول الشك عند مجيء الشيء الذي كان
جعل إلى أحد يشك فيه، وقيل جاء قهر بك وسلطانه وانفراده باألمر والتدبير من دون أن يأي مصطفين، : انتصاب صفاً صفاً على الحال" والملك صفاً صفاً"من عباده شيئاً من ذلك
٣٢٢أو ذي صفوف
“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang
322 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid V, h. 522.
163
mengartikan “bahwasannya hilanglah keragu-raguan pada hari itu dan jelaslah keterangan-keterangan itu sebagaimana hilangngnya keragu-raguan itu ketika datang sesuatu yang membuat dia ragu, dan ada juga yang menafsirkan datanglah yang memaksamu atas perintahnya “dan sedang malaikat berbaris-baris” kata “ saf safa” dinasabkan karena sebagai hal posisinya. Memiliki makna yaitu berbaris-baris.
Ayat di atas merupakan kecamana terhadap ayat sebelumnya yang
mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan anak yatim, al-
Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni
datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau
hadirlah ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan-
Nya.
Uraian di atas, menunjukkan bahwa secara kuantitatif al-Syaukani
sebenarnya lebih cenderung kepada pandangan yang di anut di kalangan
pemikir kalam rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni memahami nash-
nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam
makna metaforisnya. Dari lima kasus yang disebut di atas, yakni: ‘alâ al-‘arsyi
istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak
dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.
Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung
ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf di atas.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakekatnya al-
Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,
cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
2.Ru’yatullah.
164
Dalam menghadapi masalah ru’yatullah (melihat Tuhan), al-Syaukani
adalah penganut faham akidah Salafiyah, oleh karena itu setiap kali al-
Syaukani menemukan ayat-ayat mutasyâbih selalu membawanya kepada
makna dzahir.323
Sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang
dipergunakan sebagai dalil dalam membicarakan masalah melihat Tuhan ini,
dalam ilmu kalam adalah ayat 103 surat al-An‘Âm, ayat 143 surat al-A‘râf,
ayat 26 surat Yûnus, dan ayat 23-24 surat al-Qiyâmah.
Ayat 103 surat al-An‛âm (6), ditafsirkan oleh al-Syaukani dengan
penjelasan sebagai berikut:
جمع بصر، وهو الحاسة، وإدراك الشيء عبارة عن : األبصار" ال تدركه األبصار"أي يحيط بها ويبلغ كنهها ال تخفى عليه منها خافية، " وهو يدرك األبصار."اإلحاطة به
: يقال لطف فالن بفالن: أي الرفيق بعباده" اللطيفوهو."وخص األبصار ليجانس ما قبلهأي رفق به، واللطف في العمل الرفق فيه، واللطف من اهللا التوفيق والعصمة، وألطفه
المختبر " الخبير"المبارة، هكذا قال الجوهري وابن فارس، و : والمالطفة: إذا أبره: بكذا ٣٢٤.بكل شيء بحيث ال يخفى عليه شيء
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” kata “al-
abshar” adalah bentuk jama dari kata ”bashar” artinya penglihatan, yakni mengetahui sesuatu yang diperlihatkan. “sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” yakni mengetahuinya segala sesuatu dan tidak bisa disembunyi-bunyikan, mengkhususkan dengan menggunakan kata “al-Abshar” untuk kesesuaian dengan kalimat sebelumnya. “dan Dialah yang Maha halus” yakni maha lembut
323 Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 371. 324 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 190.
165
terhadap hamba-hambanya, dikatakan seseorang berbuat lembut terhadap sesamanya, yakni berbuat halus, kata “halus” dalam amal adalah berbuat lembut, sementara halus dalam dalam pandangan Allah adalah taufiq dan perlindungan, dia berbuat halus jika berbuat baik kepadanya, Sementara kata “Saling berbuat halus” artinya adalah “saling berbuat baik”, ini pendapat Imam Jauhari dan Ibnu Faris. “lagi Maha Mengetahui” maha mengetahui terhadap segala sesuatu yang tidak bisa seseorangpun menyembunyikannya.
Kata al-absâr dalam penafsiran al-Syaukani di atas, adalah bentuk
jama’ dari kata basar yang menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat
dijangkau dalam bentuk apapun oleh penglihatan mata makhluk, sedang Dia
dapat dapat menjangkau, yakni melihat dan menguasai segala apa yang
dapat terlihat. Jika demikian, ketidakmampuan makhluk melihat Allah
dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi penglihatan
makhluk itu sendiri. Kemudian lanjut al-Syaukani, kata al-latîf yang
mengandung arti lembut, halus, mengindikasikan tentang penyucian Allah
dari persamaannya dengan mahluk serta uraian tentang ketidakmampuan
indera dan akal manusia untuk menjangkau Dzat dan sifat-Nya. Atas dasar
itulah kata al-Latîf di sini lebih baik dipahami dalam arti Maha Tersembunyi.
Lebih jauh al-Syaukani mengatakan, bahwa jangankan melihat Tuhan
yang Mahagaib, alam raya sekalipun banyak yang tidak mampu di capai oleh
mata, baik itu yang berada di luar diri manusia, ataupun yang berada di
dalam diri manusia. Namun lebih dari itu, bahwa sesungguhnya Allah
mampu mengetahui segala sesuatu dan tidak seorangpun mampu
menyembunyikan dari rekaman Allah.
166
Tafsir yang diberikan oleh al-Syaukani terhadap Surat al-A‛râf (7) ayat
143 adalah sebagai berikut:
أي أرني نفسك " أرني أنظر إليك: "قوله. أي اسمعه كالمه من غير واسطة" وكلمه ربه" وسؤال موسى للرؤية .أي سأله النظر إليه اشتياقاً إلى رؤيته لما أسمعه كالمه: أنظر إليك
: يدل على أنها جائزة عنده في الجملة، ولو كانت مستحيلة عنده لما سألها، والجواب بقولهيفيد أنه ال يراه هذا الوقت الذي طلب رؤيته فيه، أو أنه ال يرى ما دام الرائي " لن تراني"
ة تواتراً ال يخفى وأما رؤيته في اآلخرة فقد ثبتت باألحاديث المتواتر. حياً في دار الدنياعلى من يعرف السنة المطهرة، والجدال في مثل هذا والمراوغة ال تأتي بفائدة، ومنهج الحق واضح، ولكن االعتقاد لمذهب نشأ اإلنسان عليه وأدرك عليه آباءه وأهل بلده مع . عدم التنبه لما هو المطلوب من العباد من هذه الشريعة المطهرة يوقع في التعصب
وأذنه عن سماع الحق صماء، يدفع . ب وإن كان بصره صحيحاً فبصيرته عمياءوالمتعصالحق وهو يظن أنه ما دفع غير الباطل ويحسب أن ما نشأ عليه هو الحق غفلة منه وجهالً . بما أوجبه اهللا عليه من النظر الصحيح وتلقي ما جاء به الكتاب والسنة باإلذعان والتسليم
ره هذه المذاهب في األصول والفروع فإنه صار بها باب وما أقل المنصفين بعد ظهويأبى الفتى : الحق مرتجاً، وطريق اإلنصاف مستوعرة، واألمر هللا سبحانه، والهداية منه
مستأنفة لكونها جواباً لسؤال " قال لن تراني"إال اتباع الهوى ومنهج الحق له واضح وجملة ولكن انظر إلى الجبل فإن استقر مكانه : " بقولهفما قال اهللا له؟ واالستدراك: مقدر كأنه قيلمعناه أنك ال تثبت لرؤيتي وال يثبت لها ما هو أعظم منك جرماً وصالبة " فسوف تراني
" فسوف تراني"ولم يتزلزل عند رؤيتي له " فإن استقر مكانه"وقوة، وهو الجبل فانظر إليه ب المثل لموسى عليه وإن ضعف عن ذلك فأنت منه أضعف، فهذا الكالم بمنزلة ضر
هو من باب التعليق بالمحال، وعلى تسليم هذا فهو في الرؤية في : السالم الجبل، وقيلفالمعتزلة استدلوا : وقد تمسك بهذه اآلية كال طائفتي المعتزلة واألشعرية. الدنيا لما قدمنا
الرؤية إن تعليق: ، وبأمره بأن ينظر إلى الجبل، واألشعرية قالوا"لن تراني: "بقولهباستقرار الجبل يدل على أنها جائزة غير ممتنعة، وال يخفاك أن الرؤية األخروية هي بمعزل عن هذا كله، والخالف بينهم هو فيها ال في الرؤية في الدنيا فقد كان الخالف فيها
تجلى " فلما تجلى ربه للجبل جعله دكاً: "قوله. في زمن الصحابة وكالمهم فيها معروف
167
أخلصته من الصدأ، : أي أبرزتها، وجلوت السيف: ر، من قولك جلوت العروسظه: معناهفلما ظهر ربه للجبل جعله دكاً، وقيل المتجلي هو أمره : والمعنى. انكشف: وتجلى الشيء
أي جعله مدكوكاً مدقوقاً فصار : وقدرته، قاله قطرب وغيره والدك مصدر بمعنى المفعولاً بالمصدر، وهم أهل المدينة وأهل البصرة، وأما على تراباً، هذا على قراءة من قرأ دك
على التأنيث، والجمع دكاوات كحمراء وحمراوات، وهي " جعله دكاء"قراءة أهل الكوفة أن الجبل صار صغيراً : اسم للرابية الناشزة من األرض أو لألرض المستوية، فالمعنى
العراض واحدها أدك، والدكاوات الجبال : الدك: قال الكسائي. كالرابية أو أرضاً مستويةما التبد من األرض فلم : جمع دكاء، وهي رواب من طين ليست بالغالظ، والدكادك
: أي مغشياً عليه مأخوذاً من الصاعقة"وخر موسى صعقاً"ال سنام لها : يرتفع، وناقة دكاء ٣٢٥.هأنه صار حاله لما غشي عليه كحال من يغشى عليه عند إصابة الصاعقة ل: والمعنى
“Dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya” yakni
Allah mendengarkan pembicaraan Musa tanpa ada hijab dan fiman-Nya “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) agar aku dapat melihat kepada Engkau” yakni nampakkanlah bentuk diri Engkau agar aku dapat melihat langsung kepada Engkau, yakni memohon kepada Tuhan untuk memperlihatkan diri-Nya karena Musa rindu ingin melihat apa yang didengar dalam isi pembicaraanya. Dan permohonan Musa untuk melihat ini, mengindikasikan adanya kebolehan baginya untuk melihat diri Tuhan, walaupun, itu adalah hal yang mustahil baginya untuk melihat sesuai apa yang dia minta. Sementara jawaban atas pertanyaan itu adalah firman-Nya “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” ini menunjukan bahwa Musa tidak bisa melihat apa yang di mohon pada saat itu, ataupun dia tidak bisa melihat selagi yang melihat itu hidup di muka bumi. Adapun penglihatannya kepada Tuhannya nanti pada hari kiamat sudah ditetapkan pada hadits mutawatir yang tidak bisa diragukan lagi bagi orang yang mengetahui hadits yang agung, dan bagi orang mempermasalahkanya atau orang yang menghindarinya yang sudah tahu kebenarannya, tetapi keyakinan itu berlaku bagi madzhab yang
325 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 308-309.
168
diikuti oleh orang banyak, serta sudah dikenal oleh nenek moyangnya, serta penduduk kampungnya tanpa adanya perhatian khusus terhadap apa yang diharapkan dari hambanya atas syariah yang agung yang akan mengakibatkan fanatisme. Dan orang yang fanatic walaupun penglihatannya itu sehat padahal penglihatannya itu adalah tuli, dan telinganya untuk mendengarkan kebaikan adalah gagap, menolak kebenaran dia mengira bahwa apa yang dia tolak itu adalah tidak salah, juga memperkirakan yang terjadi selama ini adalah benar, padahal dia itu adalah bodoh dan tidak mengetahui akan apa yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk melihat yang benar serta menerima apa yang telah dijelaskan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Adapun untuk meminimalisir perbedaan setelah lahirnya beberapa madzhab ini baik dalam masalah ushuliyyah maupun furu’iyyah, maka sudah dikategorikan dalam pembahasan tentang kebenaran secara absolut, dan cara pemisahannya dengan cara akurat. Perintah Allah SWT serta petunjuk-Nya: ditelantarkan oleh sebuah kaum. Karena mereka mengikuti hawa nafsu walaupun sudah tau bahwa itu adalah benar “Tuhan berfirman: Kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihatku” diawali dengan adanya jawaban atas pertanyaan kurang lebih seperti ini: Maka apa yang Allah katakan kepadanya? Sesuai dengan firman-Nya ”tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatku” maknanya adalah bahwa kamu tetap tidak bisa melihatku, maka lihatlah!”maka jika ia tetap di tempatnya (Sebagai sediakala)” tidak berpindah-pindah “maka niscaya kamu akan melihatku” jika susah juga, maka kamu tidak akan bisa, inilah perumpamaan dialog Musa AS di atas bukit.
Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal di antara mereka.
169
“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh”, kata “tajalla” artinya menampakkan/memperlihatkan, seperti kutampakkan pedang, dan kata “menampakkan sesuatu” berarti membukanya, jadi maknanya sama dengan “takala Tuhanmu memperlihatkan diri kepada gunung itu” sementara kata “al-dakk” adalah bentuk masdar tetapi memiliki makna maf’ul, yakni “dijadikannnya hancur luluh” dan akhirnya menjadi “tanah” pendapat ini bagi mereka yang membaca kata “ad-dakk” sebagai bentuk “mashdar”, diantaranya orang-orang Madinah dan Bashrah. Permintaan Musa untuk melihat wajah Tuhan itu disambut oleh Allah
dengan cinta kasih. Pada ayat di atas, Allah menyatakan bahwa sekali-kali
(Dia) Allah tidak dapat dilihat. Hal ini tidak dapat diterangkan. Lihat saja ke
bukit Tursina. Jika nanti bukit itu tetap tempatnya, maka Musa nanti akan
melihat wajah Allah di sana. Namun, apa yang terjadi, tatkala Tuhan
menampakkan diri pada gunung itu, maka hancurlah ia, dan tersungkurlah
Musa. Dialog di atas antara Musa dan Allah mengindikasikan bahwa Tuhan
memang tidak bisa dilihat dengan mata kepala.
Ayat di atas, menjadi bahasan panjang lebar, khususny di kalangan
para teolog tentang bisa tidaknya Tuhan dilihat manusia di dunia atau di
ahirat nanti. Dalam penafsiran al-Syaukani juga dikatakan, bahwa ayat di
atas menjadi pegangan dan perdebatan antara As’ariyah dan Mu’tazilah
dengan alasan masing-masing. Sebagaimana al-Syaukani memaparkan:
Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak
170
pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal diantara mereka.326
Sementara itu, kata ziyadah dalam Surat Yûnus (10) ayat 26 di
tafsirkan oleh al-Syaukani dengan Allah akan memberi tambahan pahala
dengan keutamaan atau bertemu langsung dengan hadirat Allah. Untuk lebih
jelasnya penafsiran tersebut sebagai berikut:
أي الذين أحسنوا بالقيام بما أوجبه اهللا عليهم من األعمال " للذين أحسنوا الحسنى وزيادة"المراد : وقيل. والكف عما نهاهم عنه من المعاصي، والمراد بالحسنى المثوبة الحسنى
: بالحسنى الجنة، وأما الزيادة فقيل المراد بها ما يزيد على المثوبة من التفضل كقوله ٣٢٧الزيادة النظر إلى وجهه الكريم: وقيل" هم ويزيدهم من فضلهليوفيهم أجور"
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik
(surga) dan tambahannya” yaitu orang-orang yang berbuat baik dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka serta menjauhi segala seuatu yang berbau maksiat, yang dimaksud dengan kata “al-husna” adalah pahala yang terbaik, atau ada yang mengatakan adalah “surga” sementara yang dimaksud dengan “ziyadah” adalah Allah akan memberi tambahan pahala dengan keutamaan seperti dalam firman-Nya “Allah akan mencukupi pahala mereka dan menambahkannya dengan keutamaan” dan ada juga yang mengatakan bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.
326 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 309. 327 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 554.
171
Penafsiran di atas, di akhiri oleh al-Syaukani dengan mengatakan
“bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.”.328
Agaknya tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa, walaupun al-
Syaukani secara tidak tegas menyebut melihat dengan mata kepala,
memberikan pemahaman bahwa dalam penafsiran al-Syaukani yakni, Tuhan
dapat dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala.
Selanjutnya surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 di tafsirkan oleh al-
Syaukani sebagai berikut:
أي حسن : شجر ناضر وروض ناضر: أي ناعمة غضة حسنة، يقال" وجوه يومئذ ناضرة" .ناعم، ونضارة العيش حسنه وبهجته
أي تنظر إليه، هكذا : أي إلى خالقها ومالك أمرها ناظرة: هذا من النظر" إلى ربها ناظرة"عباد قال جمهور أهل العلم، والمراد به ما تواترت به األحاديث الصحيحة من أن ال
٣٢٩.ينظرون ربهم يوم القيامة كما ينظرون إلى القمر ليلة البدر
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri” yakni mendapatkan kenikmatan yang indah, dikatakan pepohonan terlihat indah laksana rumput terlihat indah, yakni begitu indah dan penglihatan terhadap alam kehidupan begitu indah dan menyenangkan.
“Kepada Tuhannyalah mereka Melihat” ini termasuk pandangan mata, yaitu merasa melihat terhadap sang pencipta dan terhadap sang pemilik penglihatan, inilah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat ini sesuai dengan masksud hadits sahih bahwa hamba-hamba Allah yang akan melihat Rabbnya di hari kiamat nanti laksana mereka melihat bulan di malam bulan purnama.
328 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 554. 329 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 401.
172
Ayat di atas, menjelaskan bahwa ada wajah-wajah pada hari akhirat
itu berseri-seri, yakni wajah orang-orang yang tidak lengah akan kehidupan
akhirat dan mempersiapkan diri menghadapnya. Kemudian ilâ
Rabbihâ/kepada Tuhan-Nya bertujuan membatasi penglihatan itu hanya
kepada Allah. Seakan-akan mereka tidak melihat kepada selain-Nya.
Nampaknya al-Syaukani ketika menafsirkan kata nâdirah dalam arti melihat
dengan mata kepala, walau dalam konteks ayat ini banyak di antara mereka
yang menggarisbawahi bahwa melihat yang dimaksud itu adalah dengan
pandangan khusus.
Selanjutnya dalam menafsirkan surat al-Kahfi (18) ayat 110, al-
Syaukani menafsirkan ayat ini dengan memberikan hukum sebab akibat,
dengan mengatakan barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan
Allah maka hendaknya ia beriman dan beramal salih, maka buah dari iman
dan amal salih akan memberikan pahala bagi yang mengerjakannya.
Jelasnya sebagai berikut:
من كان له : الرجاء توقع وصول الخير في المستقبل، والمعنى" فمن كان يرجو لقاء ربه"وهو ما دل الشرع على أنه " فليعمل عمالً صالحاً"هذا الرجاء الذي هو شأن المؤمنين
٣٣٠عمل خير يثاب عليه فاعله
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” harapan itu akan menghasilkan kebaikan pada masa akan datang, maknanya adalah barang siapa yang mengharap apa yang dikehendaki orang-orang beriman “maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” kalimat ini mengindikasikan segala sesuatu yang
330 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 400.
173
menurut syariat itu adalah perbuatan baik maka akan mendapatkan pahala bagi orang yang mengerjakannya
Penafsiran dari ayat di atas, menggambarkan bahwa siapa yang
hendak bertemu dengan Allah, maka hendaknya beramal yang baik. Hal ini
menjadikan amal yang dimaksud sebagai natîjah (hasil) dari keimanan
kepada Allah. Dan ayat di atas, menyatakan harapan akan pertemuan
dengan Allah, yakni walaupun belum sampai kepada tingkat keyakinan,
sudah cukup dengan melakukan kebajikan. Memang dengan harapanpun
seseorang sudah terdorong untuk beramal saleh, apalagi kalau dia
sepenuhnya yakin.
Dari beberapa penafsiran al-Syaukani di atas, jelas terlihat bahwa al-
Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan dengan kalam rasional,
yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi bukan dengan mata kepala.
3. Khalq al-Qur’ân.
Masalah yang mengemuka adalah, apakah al-Qur’an itu makhluq
(diciptakan), ataukah qadîm (abadi), al-Syaukani mencoba menghindarkan
diri dari perdebatan yang hebat dan sangat tajam berkenaan dengan masalah
ini. Hal ini bisa di pahami dari pendapatnya yang menyatakana bahwa:
Al-Syaukani tidak menyenangi sikap ahli sunnah, dan juga sikap Mu’tazilah tentang masalah penciptaan al-Qur’an, dia bersikap koperatif terhadap ulama yang memilih diam (tawaqquf) dalam masalah ini. Dia mengecam orang yang memutuskan bahwa al-Quran itu qodim dan Makhluk331
331 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 497.
174
Dalam rangka memperoleh pemahaman terhadap pemikiran al-
Syaukani, untuk lebih jelasnya baiklah akan di kemukakan penafsiran al-
Syaukani berkenaan dengan penciptaan al-Qur’an.
Sikap tawaqqufnya al-Syaukani bisa dilihat melalui penafsiran Surat
al-Anbiya’ (21) : 2 sebagai berikut:
من البتداء الغاية، وقد استدل بوصف الذكر لكونه " ما يأتيهم من ذكر من ربهم محدث"وأجيب بأنه ال نزاع في حدوث . محدثاً على أن القرآن محدث، ألن الذكر هنا هو القرآن
فالمعنى محدث تنزيله، وإنما . المركب من األصوات والحروف، ألنه متجدد في النزولأعني قدم القرآن وحدوثه قد ابتلي بها كثير من : ، وهذه المسألةالنزاع في الكالم النفسي
أهل العلم والفضل في الدولة المأمونية والمعتصمية والواثقية، وجرى لإلمام أحمد بن حنبل ما جرى من الضرب الشديد والحبس الطويل، وضرب بسببها عنق محمد بن نصر
ه، والقصة أشهر من أن تذكر، الخزاعي، وصارت فتنة عظيمة في ذلك الوقت وما بعدومن أحب الوقوف على حقيقتها طالع ترجمة اإلمام أحمد بن حنبل في كتاب النبالء
ولقد أصاب أئمة السنة بامتناعهم من اإلجابة إلى القول بخلق . لمؤرخ اإلسالم الذهبيلك إلى القرآن وحدوثه وحفظ اهللا بهم أمة نبيه عن االبتداع، ولكنهم رحمهم اهللا جاوزوا ذ
تكفير من قال لفظي بالقرآن مخلوق، بل جاوزوا ذلك إلى تكفير من وقف، وليتهم لم يجاوزوا حد الوقف وإرجاع العلم إلى عالم الغيوب، فإنه لم يسمع من السلف الصالح من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إلى وقت قيام المحنة وظهور القول في هذه المسألة شيء
قل عنهم كلمة في ذلك، فكان االمتناع من اإلجابة إلى ما دعوا إليه، من الكالم، وال نوالتمسك بأذيال الوقف، وإرجاع علم ذلك إلى عالمه هو الطريقة المثلى، وفيه السالمة
332 .والخلوص من تكفير طوائف من عباد اهللا، واألمر هللا سبحانه
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru dari Tuhan mereka” ini mengindikasikan sifat Al-Qur’an adalah baru, dan yang dimaksud “al Dzikr” di sini adalah Al-Qur’an.
332 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 497.
175
Terjawab bahwa tidak ada yang membantah bahwa susunan al-Qur’an adalah baru baik suara maupun huruf-hurufnya, karena turunnya al-Qur’an juga adalah baru. Dan yang menjadi perdebatan adalah mengenai firman-Nya itu sendiri, permasalahan ini mengemuka: bahwa lama barunya Al-Qur’an itu telah menjadi perhatian para ulama pada masa daulah Ma’muniyah, Muktasimiyyah serta pada masa Watsiqiyyah. Dan ini terjadi pada imam Ahmad Bin Hanbal yang mendapatkan hukuman berat serta lama dipenjara, juga mengakibatkan di hukum gantungnya imam Muhammad bin Nashr al-Khoza’I sehingga pada masa itu dan masa setelah itu menjadi fitnah yang dahsyat, dan sejarah yang monumental adalah dengan munculnya terjemahan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “An-Nubla” karangan sejarawan muslim Imam Al-Dzahaby. Dan telah terdengar oleh Imam-imam Ahli Sunnah dengan melarangnya mereka dengan menjawab perkataan orang yang menganggap bahwa al-Qur’an itu adalah makhluq serta al-Qur’an itu adalah baru. Mereka juga membolehkan kepada orang yang mengatakan bahwa lafadz al-Qur’an itu adalah makhluq, bahkan mereka juga sangat menghargai kepada orang yang tidak mengeluarkan pendapat (tawaquf). Tetapi mereka juga melarang untuk membatasi lamanya berdiam/tawaquf, karena tidak ditemukan pendapat dari ulama shalih, baik kalangan sahabat, tabiin maupun orang-orang setelah mereka sampai waktu terjadinya fitnah yang dahsyat serta mencuatnya masalah ini ke permukaan, maka larangan itu muncul lagi sebagai jawaban terhadap apa yang mereka hadapi, dan tetap berpegang untuk tidak mengeluarkan pendapat/diam dan kembalinya ilmu itu kepada orangnya adalah cara yang ideal, dan itu adalah cara yang damai serta pamrih sesuai dengan perintah Allah.
Dari penjelasan di atas, nampaknya al-Syaukani juga tidak sependapat
dengan paham Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai
makhluk dan bersifat baharu. Sementara pendapat al-Asy’ariyah yang
memandang al-Qur’an sebagai Qadim juga ditolaknya. Menurut al-Syauknai,
Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan umumnya para ulama salaf tidak
176
pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan yang paling selamat di sini ialah
bersifat tawaqquf (berdiam diri).
Menurut al-Syaukani, jika masalah kebaharuan atau keqadiman al-
Qur’an dibicarakan, ada dua bahaya yang muncul. Pertama, karena masalah
ini tidak pernah dibicarakan oleh Nabi Saw, dan para ulam salaf, maka
membicarakannya adalah bid’ah. Melakukan bid’ah adalah perbuatan
terkutuk dan pelakunya masuk neraka. Kedua, jika masalah ini dibicarakan,
maka tidak terelakkan akan muncul pertentangan, yang berjuang pada saling
mengkafirkan. Kalau sudah saling mengkafirkan, maka akan terjadi keretakan
dalam tubuh umat Islam.333
Dari penafsiran al-Syaukani di atas, menggambarkan betapa
permaslahan al-Qur’an qadim atau makhluq, mengakibatkan ulam besar
Imam Ahmad bin Hanbal di penjara, dan Imam Muhammad bin Nasr al-
Khaza’I harus di hukum gantung karena memperdebatkan al-Qur’an qadim
atau makhluq.
Inilah pembahasan penting yang terdapat di dalam tafsir Fath al-Qadîr
yang telah memberikan kepada diri al-Syaukani kebebasan yang luas dalam
mengkritisi pendapat-pendapat umum, ajaran-ajaran Mu’tazilah dan sikap
diamnya Ahlussunnah. penulis kira setiap orang mempunyai potensi untuk
mencela menghakimi suatu golongan, tinggal bagaimana menyikapi dengan
arif tentunya dengan dalil-dalil yang kuat.
333 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, tahqîq dan takhrîj
Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 384.
177
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan dari bab terdahulu terutama dalam bab IV,
dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran kalam yang terdapat dalam tafsir
Fath al-Qadîr adalah “bercorak tradisioanal, atau yang lebih tepat dikatakan
semi rasional (campuran antara rasional dan tradisional)”. Karena sejauh
penelitian dalam tesis ini, penafsiran al-Syaukani juga ditemukan penafsiran
tradisional, kadang pula terdapat penafsiran yang bercorak rasional.
Tergantung kepada ayat yang diteliti, seperti yang diungkapkan dimuka.
Campuran antara corak kalam dan tradisioanalnya al-Syaukani
barangkali lebih kepada keterpengaruhan pemikiran Mu’tazilah terhadap
Syiah Zaidiyah yang ia anut.
Namun, perlu ditambahkan bahwa corak tradisional pemikiran kalam
yang terdapat dalam tafsir Fath al-Qadîr tersebut, tidaklah seluruhnya sejalan
dengan dengan pemikiran kalam yang dibawa oleh Asy’ariyah dan
Maturidiyah Bukhara. Begitu juga dengan corak rasionalnya al-Syaukani
tidak selalu sejalan dengan Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand.
Secara umum, dari empat persoalan kalam yang dianalisis, yakni a)
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, b) keadilan Tuhan, c) perbuatan-
178
perbuatan Tuhan yang dibagi menjadi tiga yakni antropomorfisme,
ru’yatullah dan penciptaan al-Qur’an, dan d) sifat-sifat Tuhan, yang dibagi
lagi menjadi tiga yaitu: memberi beban di luar kemampuan manusia,
pengiriman Rasul dan janji dan ancaman. Masalah pada poin a,
pemahaman al-Syaukani sejalan dengan Asy’ariyah. Sedangkan pada
masalah keadilan Tuhan pemahaman al-Syaukani sejalan dengan campuran
atas keduanya rasional dan tradisional. Kemudian masalah perbuatan Tuhan,
pemahaman al-Syaukani sejalan dengan corak rasional dan tradisional. Hal
itu terlihat, ketika al-Syaukani membahas tantang permasalahan memberi
beban di luar kemampuan manusia, Al-syaukani lebih kepada pemikiran
Mu’tazilah. Sedang pengiriman Rasul, al-Syaukani lebih dekat memakai
pendekatan yang digunakan oleh Asyariyah dan ketika al-Syaukani
membahas tentang ayat janji dan ancaman pemahamannya sejalan dengan
corak rasional. Dan yang terakhir tentang masalah sifat-sifat Tuhan, al-
Syaukani menggunakan pemahaman tradisional. Pemahaman al-Syaukani
ketika membahas antropomorfisme menggunakan pemahaman campuran
antara rasional dan tradisional, tentang ru’yatullah lebih menggunakan
pemahaman rasional, dan tentang penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani lebih
memilih tidak bersikap (tawaqquf).
Uraian berikut ini akan mengedepankan suatu tinjauan ulang atas
pandangan-pandangan al-Syaukani yang disimpulkan di atas, sebagai
pengukuhan.
Kesan secara umum, al-Syaukani dalam tafsirnya menggunakan dua
pendekatan yang kemudian menjadi judul besar dari tafsirnya yakni “Fath al-
179
Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr”.
Menurut hemat penulis, ketika mufassir melakukan pendekatan dengan
menggunakan bi al-ma‘sur atau dikenal pula dengan istilah bi al-riwâyah,
maka bisa diterka pisau analisis yang mufassir gunakan adalah penafsiran
ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, penafsiran ayat al-Qur’an dengan
hadis Nabi Saw., penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para sahabat,
dan penafsiran al-Qur’an dengan pendapat tabi’in. Maka pada sisi ini, bisa
dikatakan bahwa penafsiran yang dilakukan oleh al-Syaukani tidak lepas dari
koridor yang di garis besarkan oleh al-Qur’an dan Hadits. Maka porsi wahyu
pada penafsiran al-Syaukani lebih dominant dibanding akal. Kemudian,
perkemangan pendekatan tafsir bi al-riwayah, ini muncul pada generasi awal-
awal yang diwakili oleh Ibnu Jarir al-Tobari (w. 310 H/923 M.), al-Baghawai
(w.516 H.), Ibnu Kasir (w.774 H.), dan al-Suyuti (w. 911 H.). Sehingga
nampaknya, pemikirannya masih dalam rangka mencari format penafsiran
yang tepat dan baik.
Bukan hanya itu, selanjutnya, al-Syaukani juga menggunakan
pendekatan bi al-dirayah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi al-ra’yi, dan
bi al-ijtihad. Secara selintas, tafsir dengan menggunakan pendekatan al-
dirayah lebih berorientasi kepada penalaran yang bersifat aqli (rasional),
namun perlu juga dijelaskan, meskipun mufassir dalam corak ini melakukan
penafsiran berdasarkan akal, namun ia tidak bebas mutlak. Karena mufassir
harus bertolak dari pemahaman yang dikandung al-Qur’an dan Hadits.
Karena diperlukan alat bantu dan kaidah-kaidah yang lain untuk
menjalankan penafsiran bi al-ra’yi. Yang perlu dicermati di sini adalah bahwa
180
al-Syaukani sudah melakukan fondasi membangun jaringan lewat
penggabungan antara riwayat dan dirayat.
Kemudian berkenaan dengan masalah kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, al-Syaukani berpendapat bahwa kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan berlaku semutlak-mutlaknya. Artinya di tangan Allahlah semua
keputusan baik maupun buruknya. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan itu tidaklah berlaku sewenang-wenang. Semua takdir Allah
mempunyai jalannya sendiri, yakni sunnatullah.
Pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan mutlak dan kehendak
mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan dengan paham
yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand. Mu’tazilah dan
Maturidiyah Samarkand pemikiran bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan terbatas.
Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan
kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al-
Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh
aliran Asy’ariyah.
Aliran al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan tetap mempunyai
kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun
kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu
berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia dalam hal ini dianggap
lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya
pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya.
181
Kemudian, keadilan Tuhan. al-Syaukani nampaknya termasuk dalam
dua aliran corak kalam yakni corak tradisioanl dan rasional. Keadilan Tuhan
dalam fersi aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna keadilan Tuhan
yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang dimiliki-Nya.
Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal adalah yang
memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.
Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional
tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani
terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum
bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada
aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih
bisa dikatakan juga masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl). Artinya
al-Syaukani dalam menggunakan penafsiran terhadap ayat-ayat tentang
keadilan Tuhan sesuai dengan rasional dan tradisional.
Keadaan Tuhan tidak melakukan aniaya terhadap hamba-Nya
walaupun sebesar zarrah sekalipun, menurut al-Syaukani, memberikan
jaminan bahwa Tuhan selamanya akan berlaku adil kepada hamba-bamba-
Nya. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir, bahwa kebaikan yang diperbuat
selama hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Tuhan, bahkan
seberat zarrahpun tidaklah manusia akan dirugikan. Sejalan dengan itu, al-
Syaukani berpendapat bahwa Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya yang
telah dibuat sendiri.
Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (taklîf
ma lâ yutaq), al-Syaukani kelihatannya sepaham dengan Mu’tazilah dan
182
Maturidiyah Samarkand yang menolak pandangan bahwa Tuhan tidak dapat
memberikan beban di luar kemampuan manusia untuk memikulnya. Dalam
kaitan ini, al-Syaukani mengatakan bahwa “Tuhan tidak mendatangkan
perintah kalau manusia itu tidak mampu melaksanakannya”.
Kemudian masalah pengiriman Rasul, penulis berhadapan dengan
pandangan yang kurang jelas dari al-Syaukani. Apakah al-Syaukani
menganut pandangan bahwa pengiriman Rasul itu wajib, ataukah pengiriman
Rasul itu tidak wajib, al-Syaukani nampaknya tidak mengungkapkan secara
gamblang. Kalau memang benar al-Syaukani menganut aliran salaf,
seharusnya pemikiran al-Syaukani berpandangan bahwa pengiriman Rasul
itu wajib. Namun, sayang penulis belum menemukan dari pemikiran al-
Syaukani tersebut.
Berkenaan dengan janji Tuhan, tergambar dalam penafsiran al-
Syaukani, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji. Maka kalau demikian,
maka al-Syaukani menganut pemikiran kalam Mu’tzilah.
Tentang sifat-sifat Tuhan al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung
kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-
tradisioanl. Dikatakan rasional yakni al-Syaukani dalam memahami nash-
nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam
makna metaforisnya.
Pada penelitian ayat-ayat pada bab IV, disebut yakni: ‘alâ al-‘arsyi
istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak
dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis.
Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung
183
ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf yang dibahas pada bab IV
yang lalu. Jadi lebih tepat al-Syaukani di katakatan memiliki corak rasional-
tradisional.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pada hakekatnya al-
Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut,
cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.
Ru’yatullah dalam pandangan al-Syaukani adalah, Tuhan dapat
dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala. Penafsiran al-Syaukani ini
jelas terlihat bahwa al-Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan
dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi
bukan dengan mata kepala.
Dalam masalah penciptaan al-Qur’an, al-Syaukani tidak sependapat
dengan Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan
bersifat baharu dan al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai
Qadim. Menurut al-Syaukani, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan
umumnya para ulama salaf tidak pernah membicarakan hal ini. Maka, jalan
yang diambil al-Syaukani adalah tawaqquf (tidak bersikap).
Dari tinjuan ulang yang tersaji di atas jelas terlihat bahwa al-Syaukani
dapat dimasukkan antara keduanya yakni corak rasional dan tradisional.
namun menurut penulis paham al-Syaukani terhadap kalam, nampak dari
uraian di atas, lebih kuat kecenderungannya kepada madzhab salafiyah,
walaupun pada awalnya al-Syaukani penganut paham Zaidiyyah, di mana
paham tersebut pemikirannya cenderung dipengaruhi oleh paham Mu’tazilah,
184
sehingga dalam proses mencari dan menemukan kebenaran berfikir dari al-
Syaukani tidak mutlak pada pendirian sendiri.
al-Syaukani dikenal mampu membangun dan membentuk metode
sendiri yang dikenal dengan ijtihad dalam melakukan penafsiran atas
masalah-masalah yang berhubungan dengan kalam. Di sisi lain, al-Syaukani
merupakan sosok ulama kalam modern yang dapat menerima perbedaan
dan senantiasa dapat bergandengan tangan dengan lintas madzhab. Hal ini
untuk membuktikan bahwa al-Syaukani benar-benar penganut paham
salafiyah. Yang dicermati dari pola berfikirnya yaitu ketika menafsirkan suatu
persoalan yang muncul pada tataran kalam, al-Syaukani tidak mutlak berfikir
dengan menggunakan akal fikiran saja, melainkan cara berfikir yang
dilakukan oleh al-Syaukani adalah dengan menggunakan dalil aqli dan naqli,
artinya semua permasalahan diputuskan melalui pendekatan akal, al-Qur’an
dan hadits.
Corak kalam al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadîr menurut hemat
penulis kurang rasional, karena dari beberapa ayat tantang kekuasaan mutlak
Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan,
dalam paparan tafsirnya cenderung kepada ketentuan Allah Swt, di mana
manusia tidak memiliki kemutlakan dan kekuasaan. Bahkan semua
perbuatan dan gerak langkah yang dilakukan manusia dan lain sebagainya
dikendalikan dan ditakdirkan oleh Allah.
Pada prinsipnya al-Syaukani dalam menafirkan ayat yang
berhubungan dengan kalam, memahami pendekatan metode ijtihad yang
tidak terlepas dari penggunaan dalil aqli dan naqli. Sehingga tergambar
185
bahwa di dalam kalam al-Syaukani lebih menitik beratkan kepada bagaimana
Allah mengatur dan menentukan terhadap apa yang ada pada kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrazik, Mustafa, Tamhîd li Tarikh al-Falsafat al-Islamiyyat, Kairo:
Matba’ah Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamat wa al-Nasyr, 1959 Abduh, Muhammad, Risâlah al-Tauhîd, Kaior: Dâr al-Manâ, 1366 H. Abdul Bâqî, Muhammad Fu’ad, al-Mu’jâm al-Mufharas li al-Fâz al-Qur’ân,
Beirut: Dâr al-Fikr, 1987. Abdullah, Taufik, (ed.), Abdul Aziz Dahlan..(et al.), Suplemen Ensiklopedi
Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Abdul Hamid, Irfan, Dirasat fi al-Firaq wa al-Aqâ’id al-Islamiyyah, Baghdad:
Matba’ah As’ad, t.th. ‘Abdul Jabbar, Al-Qadi, Syarh al-Usûl al-Khamsah, Kairo: Maktabah
Wahbah, 1960. _______, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan Muhammad Zarzawar (ed.), Kairo:
Dâr al-Turâs, 1969. al-Abr, Abdullatif Muhammad, al-Usûl al-Fikriyyah lî al-Madzhâb ahl al-
Sunnah, Kairo: Dâr al-Nahdah, t.th. Abû Dâwûd, Sunan Abî Dâwûd, Mesir, Mustafa al-Bâbî al-Halabî, 1952. Abu Zahrah, Muhammad, al-Imâm Zaid Hayâtuhu wa Ara’uh wa Fiqhuh, Dâr
al-Fikr al-‘Arabi, 1974.
186
_______, Tarikh al-Madzhab al-Islâmiyyah, kairo: Dâr al-Fikr, t.th. _______, al-Madzâhib al-Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Adab, t.th. _______, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan
dan Ahmad Qarib, Jakarta: Logos, 1996. al-Afriqi, Ibnu Manzûr, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dâr al-Sadîr, tth. al-‘Amiri, Mi‘ah ‘Am min Tarikh al-Yaman al-Hadîts, Damaskus, Dâr al-Fikr,
t.th. Amîn, Ahmad, Duha al-Islâm, Kairo: Nahdah al-Misriyah, t.th. Arief, Ahmad Fahmy, Pemikiran Politik Dalam Tafsîr Fath al-Qadîr, Disertasi
IAIN Jakarta, 1997. al-Asy’ary, Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-
Zaig wa al-Bida’, Mesir: Matba’ah Munîr, 1955. _______ , al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985. _______ , Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam, terj. Rosihon Anwar dan
Taufiq Rahman, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Atiyatullah, Ahmad, al-Qâmus al-Islâmî, Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976. al-Baghdâdî, Abdul Qahir bin Tahir bin Muhammad, al-Farq bain al-Firâq,
Kairo: Maktabah Muhammad ‘Ali Subaih wa Autâtuh, t.th. Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 1990. Baidan, Nasruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000.
187
Baqir, Muhammad, Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsîr al-Maudu’i wa al-
Tafsîr al-Tajzi’I fî al-Qur’ân al-Karîm, Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Matbu’ah, t.t.
al-Bazdawi, Abu al-Yusuf Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdul Karim,
Kitâb Usûl al-Dîn¸Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963. Brockelmen, C., History of The Islamic Peoples, London: Routledge dan
Kegan Paul, t.th. al-Dawwani, Syarh al-Aqâid al-Adudiyyah, Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1958. Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an,
al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: CV. Katoda, 2005. al-Dzahabî, Muhammad Husein, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2005. al-Farmawi, Abd. Al-Hayy, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, (Dirâsah
Manhajiyyah Mauduiyyah, 1977. _______, Metode Tafsir Mawdu’i: Suatu Pengantar, Terj. Suryan A. Zamrah,
(Jakarta: Rajawali Press, 1994. al-Ghazâlî, al-Iqtisâd fî al-I‘tiqâd, Kairo: Maktabah al-Husain al-Tijariyah, t.th. al-Ghurâbi, Mustafa, al-Firâq al-Islamiyyah wa Nasy’ah ‘Ilm al -Kalâm ‘Inda
al-Muslimin, Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib, tt. Goldziher, Ignaz, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Heri Setiawan,
Jakarta: INIS, 1991. Gibb, H. A.R., et.all. The Enciclopedy of Islam, Leiden: Ej. Brill, 1960.
188
Hamblin, Wj., dan Petterson, Daniel C., John L. Esposito (ed.), The Oxford Enscylopedia of The Muslim Modern Islamic World, Oxford: Oxford University Press, 1995
Hanafi, A., Pengantar Theologi Islam, Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995. Harahap, Syahrin, Penuntun Penulisan Karya Ilmiah Studi Tokoh Dalam
Bidang Pemikiran Islam, Medan: IAIN Press, 1995. Hilal, Ibrahim Ibrahim, Walâyatullah wa al-Tarîq Ilaihâ, Kairo: Dâr al-Kutub
al-Haditsah, t.th.
http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid=4.
Ibn Hanbal, Imâm Ahmad, Musnâd Ahmad ibn Hanbal, Beirût: Dâr al-Sadîr, t.th.
Ibn Khaldun, Muqaddimah al-‘Allâmah Ibn Khaldun, Beirut: Dâr al-Fikr,
1981. Ibn Taimiyah, Taqiyuddîn, Muqaddimah fî Usûl al-Tafsîr, Kuwait: Dâr al-
Qur’ân al-Karîm, 1971. Ibn Zakariya, Abî al-Husein Ahmad ibn Faris, Maqâyis al-Lughah, Mesir:
Mustafa al-Babi al-Halabi, 1970. Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani Studi Persamaan dan
Perbedaannya dengan al-Asy’ari, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997
Iyazi, al-Sayyid Muhammad ‘Ali, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manâhijuhum,
Teheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr Wazarah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt.
189
Imarah, Muhammad, al-Mu’tazilah wa Musykilah al-Hurriyyah al-Insâniyyah, Kairo: Dâr al-Syura, 1998.
al-Jurjani, ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali, al-Ta’rifât, Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Arabi, 1405 H. al-Maturidy, Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud,
Fathullah Khalifah (ed.), Kitâb al-Tauhîd, Istambul, Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979
Kahhalah, Umar Muhammad Rida, Mu’jam al-Mu’allifîn, Beirut: Maktabah al-
Musanna, t.th. al-Khatib, Muhammad Âjaj, Usûl al-Hadîts, Beirut, Libanon: Dâr al-Hadîts,
t.th. al-Khâlidî, Salâh ‘Abdul Fattâh, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn,
Damsyik, Dâr al-Qalam, tt. Komaruddin, Kamus Riset, Bandung: Angkasa, 1984. al-Marâghi, Ahmad Mustofa, Tafsîr al-Marâghî, Bairut: Dâr Ihya’ al-Turâs al-
‘Arabi, t.th. Mâlik, Imâm, al-Muwatta’, Mesir: Kitâb al-Sya’bab, t.th. Ma‘luf, Luis, al-Munjid, Beirut: Dâr al-Masyrîq, tt. Muhajir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Yake Sarasin,
1996. Mûsa, Muhammad Yûsuf, al-Qur’an wa al-Falsafah, Kairo: Dâr al-Ma‘ârif,
t.th. Munawwir, A. Warson, Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Unit Pengadaan
Buku PP al-Munawwir, 1984.
190
Mun‘im, Abdul, Tarikh al-Hadarat al-Islâmiyyah fî al ‘Usr al-Wusta, Mesir:
Maktabah al-Anjlu al-Misriyyah, 1978. Majalah Al Furqon Edisi 12 tahun V/ Rajab 1427/Agustus 2006 Nader, Albert N., Falsafah al-Mu‘tazilah, Alexandria: Matba‘ah Nasyr al-
Tsaqafah, 1950. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
Jakarta: UI Press, 1983 _______, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1979. _______, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI
Press, 1987. Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2003. Nizar, M., Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Qasim, Mahmûd, Dirâsat al-Falsafah al-Islâmiyyah, Mesir: Dâr al-Ma‘ârif,
1973. al-Qattân, Mannâ‘ Khalîl, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Mansyûrât al-
‘Asr al-Hadîts, 1393 H. Rahmân, Fazlur, Islam and Modernity, Chicago: Universitas of Chicago Press,
1982. Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islâm di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999
191
_______, Konsep Ijtihad al-Syaukânî dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum di Indonesia, Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah Jakartah, 1998.
al-Sâbûnî, Muhammad ‘Ali, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Âlim al-
Kutub, 1985. al-Salus, Ali Ahmad, Ensiklopedi Sunnah – Syiah Studi Perbandingan Aqidah
dan Tafsir, Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ (Mausû‘ah Syâmâh) Dirâsah Muqâranah fî al-Hadîts wa ‘Ulûmih wa Kutubih, terj. Bisri Abdussomad, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001.
Salih, Subhi, Ulûm al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayîn,
1977. Shihab, M. Quraish, pengantar bukunya M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran
Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003.
_______, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta:
Lentera Hati, 2002 Subhi, Ahmad Mahmud, al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, Kairo:
t.p., t.th. al-Suyûtî, Jalâl al-Dîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut: Dâr al-Fikr: tt. Syafi’I, M., Syarat-Syarat Illat menurut al-Syaukânî Kajian Terhadap Kitab
Irsyâd al-Fuhûl Pemikiran dan Praktek. Tesis IAIN Ar-Raniri Darussalam – Banda Aceh, 1993.
al-Syahrastanî, Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm, ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
_______ , Kitâb Nihâyah al-Iqdâm fî ‘ilm al-Kalâm, Alfred Guillaume (ed.),
London: Oxford University Press, 1934.
192
Syalabi, A., Mausu’ah al-tarîkh wa al-Hadarah al-Islâmiyyah, al-Maktabah al-
Nahdah al-Misriyyah, 1979 al-Syaukânî, Muhammad ibn Ali Muhammad, Fath al-Qadîr, tahqîq dan
takhrîj Sayyid Ibrâhîm, Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007. _______ , al-Rasâ’il al-Dawa’ al-‘ajil fî Daf al-‘Aduw al-Sail dalam al-Rasa’il al-
Rasa’il al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khair al-Bariyyah Sallallah ‘Aliah wa Sallam, Beirut: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1347 H.
_______ , Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Ali, Kitâb al-Sail al-Jarâr al-
Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, Kairo: tp. 1982.
_______ , al-Badr al-Tali bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.
_______ , Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1983 Taba’taba’I, Muhammad Husain, Shi’a, terj. Husein Nasr dan Ansariyah,
Iran: Qum, 1981. _______ , Mengungkap Rahasia al-Qur’an, terj. A. Malik Madany dan Hamim
Ilyas, Bandung: Mizan, 1993. al-Tsabt, Khalid Utsmân, Qawâ’id al-Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, al-
Mamlakah al-‘Arâbiyyah al-Su‘ûdiyyah: Dâr ibn Affan, 1999. Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Manusia: Pemikiran Kalam, Jakarta: Pustaka,
1990. _______, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar Sebuah Telaah Atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, Jakarta: Penamadani, 2003 al-Zarkasyi, Badruddîn Muhammad bin Abdullah, al-Burhân fî ‘Ulûm al-
Qur’ân, Bairut-Libanon: Isa al-Bab al-Halabi, t.th. .
193
al-Zarqânî, al-Syaikh Muhammad ‘Abdul ‘Adim, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-
Qur’ân, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.