Hariyanti Novitarepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Segala puji bagi Allah SWT...
Transcript of Hariyanti Novitarepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...Segala puji bagi Allah SWT...
HAK-HAK PEREMPUAN PASCA
PERCERAIAN Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan
Agama Padangsidimpuan
Hariyanti Novita
Penerbit YPM
2020
Judul buku : HAK-HAK PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama
Padangsidimpuan
Penulis Hariyanti Novita
Layout
Juna Excel
ISBN 978-602-5576-57-7
xii+ 205 hlm .; ukuran buku 14,5 cm x 21,0 cm © Hak Cipta Hariyanti Novita, Maret 2020 Hak penerbitan dimiliki Young Progressive Muslim. Dilarang mengkopi sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit. Young Progressive Muslim Jl. Talas II Pondok Cabe Ilir Pamulang Rt.05 Rw.01 Tangerang Selatan 15418
i
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang
telah melimpahkan nikmat dan karunianya, sehingga tulisan
ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Buku ini
merupakan hasil penelitian penulis sebagai tugas akhir dalam
menyelesaikan program Magister di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat beserta salam semoga tercurahkan kepada junjungan
mulia, panutan, kekasih kita serta teladan untuk ummatnya,
baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa
ummatnya dari zaman jahiliyyah hingga zaman yang penuh
dengan cahaya serta keberkahan atas segala yang beliau
perjuangkan untuk berdakwah demi agama Islam.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak akan selesai
tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu dengan kerendahan hati dan kesadaran diri, penulis ingin
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus bagi
semua pihak yang berperan di dalamnya dalam memberikan
bimbingan, dukungan, motivasi dan arahan selama masa
perkualiahan hingga akhir penulisan penelitian ini.
Pertama, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar
Lubis, Lc., MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Direktur
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terimakasih juga kepada Prof. Dr. Didin Saepuddin,
MA selaku Ketua program studi Doktor pengkajian Islam
beserta Dr. Asmawi, M. Ag selaku Sekretaris program studi
Doktor. Ucapan terimakasih juga kepada Arif Zamhari, M.
Ag., Ph. D selaku Ketua program studi Magister beserta Dr.
Imam Sujoko, MA selaku Sekretaris program studi Magister,
juga kepada seluruh civitas akademik dan perpustakaan
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
Kedua, Prof. Dr. Abdul Gani Abdullah, SH selaku
Dosen pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan
saran dan kritikan untuk memperbaiki penelitian ini dalam
menyelesaikan dan menyempurnakannya beserta ilmu yang
beliau berikan.
Ketiga, Dr. Khamami Zada, MA, Dr. Yuli Yasin, MA
dan Prof. Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Tim
Penguji yang telah meluangkan waktu untuk membimbing
dalam menyelesaikan dan menyempurnakan Penelitian ini.
Keempat, Guru besar dan dosen Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajar dan
memberikan ilmunya. Saya ucapkan terimakasih sebesar-
besarnya kepada, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA; Prof. Dr.
Suwito , MA; Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, M.S.D.P; Prof.
Dr. H. Said Agil Husin Al-Munawar, MA; Prof. Dr. Hj.
Huzaemah Tahido Yanggo, MA; Prof. Dr. Zainun Kamaluddin
Fakih, MA; Prof. Dr. Abuddin Nata, MA; Prof. Dr. Ahmad
Rodoni, M.M; Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA; Prof. Dr.
Ahmad Thib Raya, MA; Prof. Dr. Hasanuddin, MA; Dr. Yusuf
Rahman, MA; Dr. Gazi Saloom, M.Si; Dr. Syahabuddin, MA;
Dr. Zuhdi, M.Ed; Dr. JM. Muslimin, MA; dan Dosen-dosen
yang lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Kelima, rasa terimakasih yang sangat mendalam
kepada orang tua tercinta ayahanda Harun dan ibunda
Rusmiati yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan
dan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi
Magister. Begitu juga ucapan terimakasih kepada ibu mertua
Darmawati yang telah memberikan dukungan berserta doa,
ucapan terimakasih yang sangat berharga kepada suami saya
Imran Sah Ritonga, Eng, SH.I yang telah mengizinkan untuk
melanjutkan studi Magister sampai selesai.
Keenam, segenap keluarga besar Pengadilan Agama
Padangsidimpuan (Sumatera Utara) khususnya kepada
Buniyamin Hasibuan, S. Ag sebagai Ketua Pengadilan Agama
Padangsidimpuan sekaligus merangkap sebagai Ketua Sidang
iii
beserta Eldi Harponi, S. Ag, M.H sebagai Wakil Ketua. Begitu
juga kepada Hakim anggota Febrizal Lubis, S. Ag, SH dan
Hasanuddin, S. Ag yang telah bersedia membantu dan
meluangkan waktunya untuk penulis wawancarai dan diskusi
dalam menyempurnakan penelitian ini. Terimakasih juga,
penulis ucapkan kepada Panitera Dra.Hj. Nurliani yang telah
membantu memberikan informasi terkait penelitian ini dan
ucapan terimakasih kepada Tenaga Honorer Mala Ropika,
SH.I yang telah membantu untuk mendapatkan putusan-
putusan terkait dengan penelitian ini.
Ketujuh, ucapan terimakasih banyak kepada teman-
teman seperjuangan, Rozalinda, Halida Afwani Harahap,
Widia Hidayati, Yeni Oktaviani, Ahmad Hafizh, Iwan
Setiawan, Mohammad Fahmi Firmansyah, Fahmi Majid, Aqib
Malik dan kepada seluruh teman-teman Sekolah Pascasarjana
(SPs) yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Tak lupa pula
kepada senior Program Doktor (S3), Ibu Ramlah, Kak Yosi
Stefhani, Bang Zulkifli dan Pak Kombes Yahya Agil yang
telah banyak berbagi ilmu pengetahuan, pengalaman dan
informasi seputar pendidikan.
Semoga Allah SWT memberikan imbalan pahala
terbaik bagi mereka yang telah berkontribusi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa penelitin ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan
penelitian ini.
Ciputat, Maret 2020
Penulis
Hariyanti Novita
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan
dalam penelitian ini adalah ALA-LC ROMANIZATION
tables yaitu sebagai berikut:
A. Konsonan
Initial
Romanization
Initial
Romanization
}D ض A ا
}T ط B ب
}Z ظ T ت
‘ ع Th ث
Gh غ J ج
F ف }H ح
Q ق Kh خ
K ك D د
L ل Dh ذ
M م R ر
N ن Z ز
H ة ، ه S س
W و Sh ش
Y ي }S ص
B. Vokal
1. Vokal Tunggal
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fath}ah A A
Kasrah I I
D{amah U U
v
2. Vokal Rangkap
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
.....ي Fath{ah dan
ya
Ai A dan I
......و Fath{ah dan
wau
Au A dan U
Contoh: حسين : H{usain حول : H{aul
C. Vokal Panjang
Tanda Nama Gabungan
Huruf
Nama
Fath}ah dan
alif
a> a dan garis
diatas
Kasrah dan
ya
i> i dan garis
diatas
Fath}ah dan
wau
u> u dan garis
diatas
D. Ta’ Marbu>t}ah
Transliterasi t. marbu>t}ah (ة) di akhir kata, bila
dimatikan ditulis h. Contoh: مرأة : Mar’ah مدرسة : Madrasah
Ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang
sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat
dan sebagainya, kecuali dikehendaki lafadz aslinya.
E. Shiddah
Shiddah/Tashdi>d di transliterasi ini dilambangkan
dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf bershaddah
itu.Contoh: ربنا: Rabbana> شوال : Shawwa>l
F. Kata Sandang Alif + La>m
Apabila diikuti dengan huruf qamariyah, ditulis al.
Contoh: القلم : al-Qalam
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Bagan Struktur Pengadilan Agama
Padangsidimpuan – 62
Gambar 1.2 Gambar Bangunan Metodologi Pembaruan
KHI – 75
Gambar 1.3 Tentang Hak-hak yang Bersangkuta Berkara –
81
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Grafik Perkara Tahun 2014-2016 – 83
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkara yang Diterima Tahun 2014-2016 – 84
Tabel 1.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Cerai Talak
Tahun 2014-2016 – 84
Tabel 1.3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Cerai Gugat
Tahun 2014-2016 – 86
DAFTAR SINGKATAN
ISWI : Ikatan Sarjana Wanita Indonesia
KDRT : Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KHI : Kompilasi Hukum Islam
MA-RI :Mahkamah Agung Republik Indonesia
PA : Pengadilan Agama
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PP : Peraturan Pemerintah
PUSLITBANG : Pusat Penelitian dan Pengembangan
RUU : Rancangan Undang-undang
UUP : Undang-undang Perkawinan
vii
ABSTRAK
Tesis ini mengkaji tentang hak-hak perempuan pasca
perceraian dalam putusan Pengadilan Agama
Padangsidimpuan. Rumusan masalah yang diajukan adalah
bagaimana pertimbangan Hakim dalam melindungi hak-hak
perempuan pasca perceraian. Untuk mendapatkan jawaban
dari rumusan masalah, penelitian ini menggunakan metode
hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kasus (case approach) yang
dapat memberikan sudut pandang analisa penyelesaian
permasalahan dalam penelitian hukum. Pendekatan ini
dipakai untuk mengkaji kasus-kasus yang ditetapkan oleh
Hakim Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap.
Sumber primer dalam penelitian ini adalah Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Nomor 3 Tahun 2006 jo
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 10 Tahun 1983 jo Nomor 45 Tahun 1990, Putusan-
putusan Pengadilan Agama dalam perkara perceraian dan
wawancara dengan Hakim untuk mencapai validitas data.
Sedangkan untuk sekunder adalah buku, jurnal dan penelitian-
penelitian terdahulu yang relevan untuk mendukung
penelitian ini.
Penelitian ini menemukan jawaban berdasarkan
rumusan bahwa, pertimbangan Hakim dalam putusan-putusan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan mampu memberikan
perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan pasca
perceraian berdasarkan tuntutan rekonvensi yang diajukan
oleh pihak perempuan sebagai Termohon dalam perkara cerai
talak dan tuntutan komulatif dari pihak Penggugat dalam
perkara cerai gugat. Pertimbangan Hakim dalam putusan-
viii
putusan tersebut mengandung aspek yuridis, filosofis dan
sosiologis.
Kajian penelitian ini sependapat dengan Ridwanul
Hoque dan MD. Morshed Mahmud Khan (2007) bahwa,
kewenangan Hakim dalam aktivitas Peradilan telah berupaya
memberikan efek positif terhadap hak-hak perempuan dalam
perkara perceraian dan penelitian ini tidak sependapat dengan
Fatima (2013) yang menilai bahwa Pengadilan Agama belum
mampu secara maksimal memberikan perlindungan hukum
terhadap hak-hak perempuan sebagai istri.
Kata kunci: Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian, Peradilan
Agama, Pertimbangan Hakim.
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................ iv
DAFTAR GAMBAR ....................................................... vi
ABSTRAK ....................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................... ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................ 1
B. Permasalahan .......................................................... 13
1. Identifikasi Masalah ........................................ 13
2. Pembatasan Masalah ....................................... 13
3. Perumusan Masalah ......................................... 13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................. 14
D. PenelitianTerdahulu yang Relevan ........................ 14
E. Metode Penelitian .................................................. 21
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian ...................... 21
2. Bahan Hukum .................................................. 21
3. Subyek dan Obyek Penelitian .......................... 22
4. Metode Pengumpulan Data ............................. 22
5. Metode Analisa Data ....................................... 24
F. Sistematika Penulisan ............................................ 24
BAB II: DISKURSUS HAK-HAK PEREMPUAN PASCA
PERCERAIAN DALAM HUKUM
A. Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian Dalam
Perspektif Fiqih ...................................................... 27
B. Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian Dalam
PeraturanPerundang-undangan di Indonesia .......... 39
C. Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian di Negara-
negara Muslim ........................................................ 53
x
BAB III: PENETAPAN HUKUM PERCERAIAN DI
PENGADILAN AGAMA PADANGSIDIMPUAN
A. Deskripsi Pengadilan Agama Padangsidimpuan .... 59
B. Peran dan Fungsi Peradilan Agama
Padangsidimpuan ................................................... 63
C. Mekanisme Pengajuan Perkara Perceraian dan
Penetapan Hukumnya di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan ................................................... 68
BAB IV:IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN
PASCA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
PADANGSIDIMPUAN
A. Data Statistik Putusan Perceraian dan alasan-alasan
perceraiantahun 2014-2016 .................................... 83
B. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Hak-hak
Perempuan Pasca Perceraian Dalam Perkara Cerai
Talak ....................................................................... 90
1. Hak Nafkah ‘Iddah dan Mut’ah ....................... 93
2. Hak Mahar yang Masih Terhutang .................. 108
3. Hak dan Nafkah H}ad}a>nah Sampai ia Dewasa . 117
4. Hak Terhadap Gaji Suami Sebagai Pegawai
Negeri Sipil ...................................................... 132
C. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Hak-hak
Perempuan Pasca Perceraian Dalam Perkara Cerai
Gugat ...................................................................... 141
1. Hak Mahar yang Masih Terhutang ................... 147
2. Hak dan Nafkah H}ad}a>nah Sampai ia Dewasa . 158
xi
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................ 177
B. Saran ....................................................................... 181
DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 183
GLOSARIUM .................................................................. 199
INDEKS ........................................................................... 201
TENTANG PENULIS ...................................................... 205
xii
Hak-Hak Perempuan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perceraian di Indonesia dalam lima tahun terakhir
semakin meningkat.1 Berdasarkan hasil penelitian Puslitbang
Kementerian Agama, data perceraian pada tahun 2010
mencapai 251.208 kasus, 81.535 diantaranya merupakan cerai
talak dan 169.673 cerai gugat. Tahun 2011 angka perceraian
mencapai 276.792 kasus, 85.779 cerai talak dan 191.013 cerai
gugat.Tahun 2012 mencapai 304.395 kasus, 91.800 cerai talak
dan 212.595 cerai gugat.Tahun 2013 mencapai 361.816 kasus,
111.456 cerai talak dan 250.360 cerai gugat. Data perceraian
semakin meningkat pada tahun 2014 hingga mencapai
382.231, 113.850 cerai talak dan 268.381 cerai gugat.
Penyebab utama perceraian tersebut adalah karena adanya
hubungan tidak harmonis yang disebabkan oleh beberapa
faktor seperti moral, gangguan pihak ketiga dan faktor
ekonomi. Faktor ekonomi kerap menjadi sumber persoalan
karena suami yang diposisikan sebagai kepala keluarga tidak
lagi memenuhi kewajibannya dan istri merasa suami tidak
lagi mampu bertanggung jawab.2
Penelitian Puslitbang Kemenag juga menunjukkan
bahwa pasangan suami istri di zaman sekarang tidak lagi
melihat perkawinan sebagai sesuatu yang sakral yang
disebabkan oleh kurangnya pemahaman agama, akibatnya
mereka dengan gampang menjadikan perceraian sebagai jalan
keluar atas masalah yang dihadapi tanpa mempertimbangkan
dampak yang terjadi setelah perceraian.
1Sudibyo, “Kasus Perceraian Meningkat, 70% Diajukan
Istri,” dalam Kompas, 30 Juni 2015, h. 1. 2Iklilah Muzayyanah, dkk.,Ketika Perempuan Bersikap:
Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim, (Jakarta: Puslitbang
Kehidupan Keagamaan, 2016), h. 3.
Hak-Hak Perempuan
2
Fenomena peningkatan angka perceraian baik dalam
bentuk cerai talak maupun cerai gugat tampaknya juga terjadi
karena makna dan nilai perkawinan yang semakin merosot
dalam pandangan suami istri yang disebabkan oleh
terbatasnya sosialisasi tentang keluarga sakinah.3
Kasus perceraian yang meningkat dari tahun ke tahun
tidak sesuai dengan tujuan perkawinan dalam hukum Islam
dan prinsip-prinsip perkawinan dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974. Ikatan suci yang disebut mi>tsa>qan ghali>zan
terkait dengan keimanan kepada Allah SWT. Perkawinan
dengan demikian mesti dijaga sehingga terwujud perkawinan
yang sakinah mawaddah dan rahmah.4
3Dalam penelitian ini, Puslitbang kehidupan keagamaan
memilih tujuh daerah untuk diteliti yaitu:Aceh, Padang, Indramayu,
Brebes, Pekalongan, Tulung Agung dan Ambon. Ketujuh daerah
tersebut menunjukkan fenomena tingginya angka perceraian yang
didominasi oleh cerai gugat, dari sisi lain masing-masing daerah
penelitian memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dan tentu
sangat berpengaruh pada institusi perkawinan dan keluarga. Di
Aceh, jumlah perceraian termasuk dalam kategori yang cukup tinggi
jika dibandingkan dengan data perkawinan, pada tahun 2014 perkara
perceraian yang diterima oleh Mahkamah Syariah Banda Aceh
berada dalam jumlah 16 % sampai 23 %. Kemudian Padang, pada
tahun 2014 Pengadilan Agama mencatat data perceraian yang
banyak terjadi pada buruh dan swasta 633 kasus, yang tidak ada
pekerjaaan 355 kasus dan PNS/POLRI/TNI/Pensiunan 131 kasus.
Indramayu, pada tahun 2014 berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Kenkemenag dan Pengadilan Agama angka perkawinan
mencapai 22. 624 kasus, sedangkan perceraian 8.067 kasus atau
26%. Pekalongan, pada tahun 2014 data perceraian mencapai
475.Banyuwangi, angka perceraian 7. 411. Ambon, angka perceraian
mencapai 23. 38%. Muzayyanah, Ketika Perempuan Bersikap..., h.
127-128. 4Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, dkk., Hukum
Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum
Hak-Hak Perempuan
3
Dalam rumusan Undang-undang perkawinan di
Indonesia dijelaskan bahwa perkawinan merupakan ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
pasangan suami istri dengan tujuan membentuk rumah
tanggayang bahagia berdasarkan ketuhanan yang Maha
Esa.5Begitu juga prinsip perkawinan yang ditegaskan dalam
Undang-undang harus meliputi asas sukarela, partisipasi
keluarga, perceraian dipersulit, poligami dibatasi secara ketat,
kematangan calon mempelai, dan memperbaiki derajat kaum
perempuan.6
Perceraian merupakan fakta sosial yang terjadi akibat
masalah-masalah dalam hubungan perkawinan tidak dapat
diselesaikan dengan baik, dalam istilah fikih perceraian
dikenal dengan talak. Menurut Ima>m Sha>fi’i>, t}ala>q adalah hak
suami untuk melepaskan kehalalan hubungan suami
istri.7Aturan hukum Islam istri juga diberikan hak untuk
mengakhiri perkawinan, sebagaimana dijelaskan dalam surah
al-Baqarah ayat 229.8 Dalam perundang-undangan Indonesia
Islam dari Fikih UU No1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h. 206. 5Mohammad R. Hasan, ‚Kajian Prinsip Perkawinan
Menurut UU No 1 Tahun 1974 Dalam Perspektif Hukum Islam,‛
dalam Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Maret/2016, h. 163. 6Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi,dkk.,Hukum
Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 35. 7Angga Maarzuki, ‚Fenomena Perceraian dan
Penyebabnya: Studi Kasus Kota Cilegon,‛dalamJurnal Bimas IslamV9, no.IV, 2016, h. 646.
8 Dalam QS al-Baqarah: 229 Allah berfirman:
فإن خفتم ألا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما اف تدت بو‚jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.‛ (Q. S. A;Baqarah [2]: 229)
Hak-Hak Perempuan
4
seperti Undang-undang perkawinan (UUP), Kompilasi Hukum
Islam (KHI) dan Peraturan Pemerintah (PP) disebutkan bahwa
perkawinan dapat putus karena perceraian, kematian dan
putusan Pengadilan. Menurut Abdul Kadir Muhammad,
putusnya perkawinan karena kematian adalah jika salah satu
pihak antara suami istri meninggal dunia (cerai mati).
Sedangkan putusnya perkawinan karena perceraian bisa
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.9
Perkawinan putus melalui Pengadilan yaitu perceraian yang
diajukan atas inisiatif suami dalam bentuk cerai talak dan
inisiatif istri dalam bentuk cerai gugat atau khulu’.10 Hukum
Islam dan perundang-undangan Indonesia mengatur hak yang
sama setiap pasangan dalam perceraian.
Terlihat jelas bahwa, Islam mengangkat harkat derajat kaum
Perempuan, memiliki posisi yang sama dengan laki-laki, dengan
membingkai keduanya dalam prinsip kesetaraan dan
kesejahteraan.Yousuf Ali, ‚A Contextual Approach to The Views of
Muslim Feminist Interpretation of The Qur’an Regarding Women
and Their Right,‛ dalam International Journal of Arts and Science 3 2010, h. 321-321. Lihat juga Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), 185.
9Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,
(Bandung:Citra Aditya Bakti, 2010), h. 108. 10
M. Syaifuddin dan Sri Turatmiyah, ‚Perlindungan
Hukum Terhadap Perempuan dalam Proses Gugat Cerai (Khulu’) di
Pengadilan Agama Palembang,‛dalam Jurnal Dinamika HukumV12,
no. 2, Mei 2012, h. 4. Dalam KHI Pasal 117 suami mengucapkan
ikrar talak di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131. Sedangkan Cerai gugat
atau khulu’ adalah perceraian atas inisiatif istri dan suami bersedia
mengucapkan ikrar talak dengan syarat istri memberinya tebusan
(iwad) Rp 10.000. Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang –undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: INIS,
2002), h. 203-205.
Hak-Hak Perempuan
5
Dalam peraturan Undang-undang No 7 Tahun 1989,
perbedaan antara cerai talak dan cerai gugat hanya terletak
pada mekanisme yurisprudensi. Cerai talak yang diajukan
oleh pihak laki-laki, maka ikrar talak diucapkan langsung
didepan sidang Pengadilan karena secara fisik hak talak ada
pada suami. Sedangkan dalam cerai gugat, perempuan harus
memohon kepada lembaga Pengadilan yang menjadi pihak
menjatuhkan talak.11
Selain itu, terdapat khulu’ yang
merupakan perceraian atas permintaan istri, namun dalam
kasus ini istri harus memberikan tebusan (‘iwad) kepada
suami agar bersedia menjatuhkan talak. Dengan demikian
khulu’ merupakan pemutusan tali perkawinan yang dilakukan
oleh istri dengan imbalan sesuatu untuk menebus dirinya.12
Perceraian sebagai jalan alternatif terakhir dari
penyelesaian problematika keluarga, sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 14 dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 77 ayat 5 adalah jika pasangan
suami istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.13
Implikasi
dari adanya perceraian menimbulkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang harus di penuhi oleh suami istri. Apabila
perceraian terjadi karena talak, maka mantan suami wajib
memberikan hak mut’ah yang layak kepada mantan istri, hak
nafkah selama dalam ‘iddah, melunasi mahar yang masih
terhutang, dan memberikan biaya h{ad}a>nah untuk anak-
11
Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), h. 133.
12Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam
Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2013), h. 139 13
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Bandung: Fokusmedia,
2005), h. 38.
Hak-Hak Perempuan
6
anaknya yang belum mencapai umur 21 Tahun.14Dalam fikih
Tradisional juga disepakati bahwa secara keseluruhan hak-hak
perempuan yang timbul akibat perceraian harus dipenuhi.15
Bagi perempuan yang memiliki suami sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS), apabila perceraian terjadi atas kehendak
suami, maka ia wajib memberikan sebagian gajinya untuk
kehidupan mantan istri dan anak-anaknya. Sebagaimana
tercantum dalam PP N0. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun
1990 pasal 8 ayat 1-4 bahwa pembagian gaji sepertiga untuk
yang bersangkutan, sepertiga untuk mantan istri dan sepertiga
untuk anak-anaknya. Apabila dalam perkawinan belum
dikarunia anak, maka gaji yang wajib diserahkan oleh suami
14
Kompilasi Hukum Islam pasal 149, sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.(Q. S. A; T{ala>q [65]: 6). 15
al-H{afiz al-Na>qid Abi> al-Wali>d Muh}ammad Ibn Ah}mad
Ibn Muh}ammad Ibn Ah}mad Ibn Ah}mad Ibn Rushd al-Qurt}ubi>,
Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-Muqtas}id, (al-Qa>hirah:
Maktabah al-Kuliya>t al-Azhariyah, 1969), h. 102.
Hak-Hak Perempuan
7
kepada mantan istri adalah setengah dari gaji.16
Hak-hak
tersebut, merupakan hak istri dan anak yang harus dipenuhi
oleh suaminya jika istri terbukti tidak melakukan nushu>z.17
Menurut Omid Safi, hak istri bukan hanya sebagai
hadiah atau belas kasihan, melainkan karena mereka bagian
dari umat manusia yang memang memiliki hak yang melekat
dan sudah semestinya mereka dapatkan.18
Islam yang
berpedoman pada al-Quran dan al-Sunnah memberikan
perhatian yang besar dan kedudukan yang terhormat terhadap
wanita, baik itu sebagai anak, istri, ibu, anggota keluarga dan
anggota masyarakat, secara bertahap Islam mengembalikan
hak-hak mereka sebagai manusia merdeka.19
Namun, aturan
hukum cerai dalam undang-undang perkawinan tidak
16
Lihat PP N0. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990
pasal 8 ayat 1-4. 17
Kata Nushu>z adalah turunan dari akar kata na-sha-za
yang memiliki arti irtikab, dari s}u>rah an-Nisa>’ ayat 34 fuqaha
menemukan istilah nushu>z al-mar’ah yang diartikan sebagai
pembangkangan istri dan keburukan kelakuannya kepada suami dan
istri meninggalkan rumah tanpa alasan yang dapat dibenarkan
menurut syara’, akibat dari perbuatan ini seorang istri tidak berhak
mendapatkan nafkah pasca perceraian. Dalam al-Quran kata na-sha-za terdapat pada empat tempat, al-Baqarah ayat 259, al-muja>dalah
ayat 11, an-Nisa>’ 4 dan 128. Lihat Nurasiah, ‚Hak Nafkah, Mut’ah
dan Nushuz Istri:Studi Komparatif Undang-undang Hukum
Keluarga di Berbagai Negara Muslim,‛dalam Al-Ah}wa>l: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 4, no. 1, 2011, h. 85.
18Muhammad Thoha, ‚Paradigma Baru Fiqih Perempuan
(Studi Analisis atas Gender Mainstreaming Omid Safi Dalam
Agenda Muslim Progresif)‛ , dalam Jurnal Al-Ihkam V8, no. 2,
Desember 2013, h. 235. 19
Huzaimah Tahido Yanggo, Konsep Wanita Menurut al-Qura>n, Sunnah dan Fikih‛dalam Wanita Islam Indonesia dalam
Kajian Tektual dan Kontektual, (Jakarta: INIS, 1993), h. 19.Lihat
juga Rachel M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the Quran‛,
Hak-Hak Perempuan
8
mengatur hak-hak istri pasca perceraian, seperti yang diatur
dalam KHI pasal 149 dan PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45
Tahun 1990 pasal 8 ayat 1-4. Berdasarkan pemahaman dari
pasal-pasal tersebut, perceraian yang terjadi atas iniasitif istri
dinilai sebagai nushu>z, sehingga mantan istri tidak berhak
mendapatkan hak nafkah dari suaminya.20
Hal seperti ini
sering terjadi, karena keputusan perceraian cerai gugat bukan
berada pada inisiatornya tetapi dalam pertimbangan Hakim.
Indonesia memiliki Peradilan Agama sebagai lembaga
penegak hukum yang berfungsi sebagai penyelesaian
keretakan hubungan antara suami dengan istri maupun antara
orang tua dan anak. Peradilan Agama merupakan Peradilan
keluarga (family court) yang mempertimbangkan aspek-aspek
sosial dan psikologis dalam penyelesaian perselisihan dan
persengketaan dalam lingkungan keluarga.21
Sebagai court of law Peradilan Agama harus berada di garis depan dalam
memberikan layanan hukum yang bertanggung jawab kepada
para pihak yang berperkara khususnya dalam bidang hukum
perdata.22
Institusi Peradilan Agama memiliki kontribusi
penting dalam mempengaruhi dan membentuk praktik dan
kebiasaan yang terjadi dalam hubungan hukum suami dan
istri. Dalam konteks ini, Hakim memegang peran yang sangat
penting, tidak hanya sekadar bertindak sebagai aparatur
penegak hukum dan keadilan, akan tetapi juga dapat menjadi
agen perubahan hukum mengatasi masalah-masalah
20
Lihat KHI pasal 80 ayat 7: kewajiban suami memberikan
nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri gugur apabila isteri
nushu>z. 21
Bisri, Peradilan Islam dalam Tatananan, h. 134. 22
Idri, ‚Religious Court in Indonesia: History and
Prospect,‛dalam Journal Of Indonesia Islam V 03, no. 02, December
2009.
Hak-Hak Perempuan
9
diskriminasi gender dalam keluarga.23
Oleh karena itu
Independensi Peradilan merupakan aspek integritas yudisial
dalam menjatuhkan putusan.24
Hakim harus memperhatikan
tingkat kepentingan para pihak yang berperkara dan tidak
harus terpaku pada sistem hukum continental (Civil Law)
yang mengacu pada tekstual peraturan perundang-undangan.
Hakim juga tidak boleh ragu menerapkan dan menggunakan
berbagai sumber hukum seperti yurisprudensi Mahkamah
Agung yang mengakomodir rasa keadilan bagi perempuan,25
termasuk hak-hak istri pasca perceraian.26
Menurut Mahfud
Md, pola pikir Hakim yang masih terbelenggu dengan
legalitas formal, cenderung menghasilkan hukum yang tidak
memberikan rasa keadilan.27
Agar bisa keluar dari legalitas formal, Hakim harus
memiliki kemampuan menafsirkan Undang-undang secara
aktual. Hal ini perlu agar undang-undang dapat diterapkan
sesuai perkembangan kondisi, waktu, dan tempat. Namun,
tidak boleh lepas dari prinsip dasar syariat Islam, filsafat
bangsa (pancasila), dan tujuan dari peraturan perundang-
undangan. Menurut Nurbaiti Baharuddin (2017) dalam
23
Arskal Salim, dkk., Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama Di Indonesia, (Jakarta: Puskumham UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2009), h. 5. 24
Rt. Hon. The Lord Judge, ‚Lord Chief Justice of England
and Wales‚ dalam Judiciary of England and Wales: Guide to Judicial conduct 2013.
25Salim, Demi Keadilan dan Kesetaraan..., h. 32.
26 Hakim secara ex officio dapat menetapkan nafkah ‘iddah
jika istri terbukti tidak berbuat nushu>z. Lihat Pedoman Pelaksanaan
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II (Mahkamah
Agung RI:Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010), h.
153. 27
Mahfud Md, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2018), h. 15.
Hak-Hak Perempuan
10
menghubungkan antara teks Undang-undang dengan suatu
peristiwa konkrit yang diadilinya, Hakim wajib menggunakan
pikiran dan nalar untuk menghasilkan putusan yang memiliki
nilai keadilan dan kemanfaatan bagi pencari
keadilan.28
Senada dengan Rahmah Ningsih (2015)
menyatakan pertimbangan Hakim dalam putusan Pengadilan
yang berorientasi pada kontekstual lebih berkeadilan dan
bermanfaat.29
Merujuk pada penjelasan Abdul Gani Abdullah,
Hakim mesti mempunyai landasan konsep teoritis dan
metodologis, bukan saja dalam penemuan hukum dan
penciptaan hukum, tetapi juga menyentuh aspek
pembentukan dan penegakan hukum guna mencapai rasa
keadilan.30
Lebih lanjut Abdul Gani menyatakan bahwa,
penyelesaian perkara yang diwarnai oleh rasa keadilan
terletak pada tajamnya pertimbangan Hakim dalam meraih
nilai-nilai keadilan bagi yang berkerkara maupun bagi
masyarakat hukum lainnya.31
Charles B. Davidson (2006)
menyatakan, sulit mewujudkan keadilan dengan cara
28
Nurbaiti Baharuddin, ‚‘Urf dalam Putusan Pengadilan
Agama: Analisis Pertimbangan Hakim dalam Putusan Harta
Bersama: Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia,‛ (Tesis S2 Fakultas Shari’ah,Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2017), h. 15. 29
Rahmah Ningsih, ‚Yurisprudensi Mahkamah Agung:
Analisis Pertimbangan Hakim dalam Penerapan Wasiat
Wajibah,‛(Tesis S2 Fakultas Shari’ah, Universitas Islam Negeri
Jakarta 2015), h. vi. 30
Abdul Gani Abdullah,‚Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (Rechtsschepping) Bagi
Para Hakim,‛dalam Ahkam: Jurnal Ilmu-ilmu Syariah dan Hukum V
8, no. 2, 2006. 31
Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Kesultanan Bima 1974-1957, (Jakarta: Genta
Publising, 2015), h. 251.
Hak-Hak Perempuan
11
menafsirkan Undang-undang. Proses prosedural akan lebih
tepat dalam mewujudkan keadialan dan menghindari bias
hukum, sehingga menghasilkan kepastian hukum bagi pihak
yang berperkara.32
Proses prosedural ini juga tidak hanya
berkaitan dengan hukum materiil, tetapi juga berkaitan
dengan hukum formil. Tugas Hakim dalam hukum perdata
adalah mempertahankan tata hukum perdata dan menetapkan
apa yang telah ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara
perdata.33
Hakim dituntut mengedepankan prinsip Equality before the law (kedudukan yang sama di hadapan hukum) dan
menegakkan rasa keadilan dalam masyarakat. R. W. M. Dias
menjelaskan dalam bukunya yang berjudul ‚Jurisprudensi‛
makna keadilan, baik itu keadilan distributif maupun keadilan
komutatif harus berdasarkan pada pengertian Egualitiy
(persamaan). Dengan demikian perlakuan terhadap hukum
harus diberikan sama bagi setiap orang dalam persidangan dan
tidak dibenarkan diskriminasi berdasarkan gender, status
sosial, dan keyakinan agama.34
Menurut Euis Nurlaelawati, Hakim memiliki misi
untuk menghasilkan putusan berdasarkan hukum dan keadilan
yang dapat diandalkan untuk kehidupan yang damai dan
harmonis dalam masyarakat Muslim Indonesia.35
Negara
menempatkan Hakim di Pengadilan Agama untuk
32
Charles B. Davidson, ‚ Procedural Justice Preserves Fundamental Fairness‛ Law Now, Article, Legal Studies Program,
Faculty of Extention University of Alberta 2006, h. 1. 33
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, ‚Konsep Keadilan dalam
Sistem Peradilan Perdata,‛dalam Mimbar Hukum V21, no. 2, Juni
2009, h. 356. 34
Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 102.
35Euis Nurlaelawati, Islamic Justice in Indonesia:Family
Law Reform and Legal Practicein the Religious Courts, (Amsterdam: University Press, 2010), h. 38.
Hak-Hak Perempuan
12
mendengarkan dan menyelesaikan kasus hukumyang terjadi di
kalangan umat Islam Indonesia.36
Sebagai ujung tombak penegak hukum (law enforcement), posisi seorang Hakim jelas menjadi sangat
penting sekaligus prestisius. Berdasarkan pertimbangan dan
putusannya, hukum ditegakkan dan keadilan diberikan kepada
yang berhak. Dalam kewenangannya, para pencari keadilan
memercayakan nasib mereka. Maka karena itu kualitas Hakim
sama krusialnya dengan keberadaan mereka dalam
membentuk dan menegakkan kewibawaan hukum.37
Peradilan merupakan sarana efektif untuk
mewujudkan akses dan kontrol atas hak-hak materi maupun
non-materi.38
Oleh karena itu, penelitian terhadap putusan
Pengadilan Agama menjadi penting guna melihat sejauh mana
Hakim berempati terhadap hak-hak perempuan pasca
perceraian. Untuk mengetahui hak-hak perempuan pasca
perceraian, baik itu perceraian yang terjadi karena talak
maupun gugatan percerain atau khulu’ dalam putusan
Pengadilan Agama berdasarkan pertimbangan Hakim. Maka
peneliti tertarik untuk memahami lebih dalam tentang
bagaimana Hakim melindungi hak-hak perempuan pasca
perceraian, judul penelitian ini adalah HAK-HAK
PEREMPUAN PASCA PERCERAIAN (Analisis
Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama
Padangsidimpuan)
36
Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice the Indonesian Religious Courts(Amsterdam: Amsterdam University
Press, 2010), h. 181. 37
Syarif Mappiasee, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).
38Salim, Demi Keadilan dan Kesetaraan..., h.5.
Hak-Hak Perempuan
13
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Bertolak dari uraian masalah di atas, maka dapat
diidentifikasi beberapa point sebagai masalah:
a. Apakah UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI telah
memberikan peluang kepada perempuan untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik?
b. Apakah Impilikasi-implikasi yang timbul akibat
perceraian dapat memenuhi dan menjamin hak-hak
istri dan anak?
c. Apakah Peradilan Agama sebagai lembaga penegak
hukum telah memberikan perlindungan terkait dengan
implikasi dari adanya perceraian yang menimbulkan
hak-hak perempuan?
d. Apakah hakim dapat menentukan keputusan
berdasarkan pertimbangan yang bersifat empati
kepada hak-hak perempuan pasca perceraian?
e. Bagaimana perempuan pasca perceraian dapat
mempertahankan hak-haknya dalam persidangan?
2. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah tertentu
yaitu, hanya dalam hukum perkawinan tentang hak-hak
perempuan pasca perceraian dalam putusan-putusan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan tahun 2014-2016
dan pertimbangan Hakim terkait dengan hak-hak
perempuan bilamana perkawinan putus karena talak atau
gugatan perceraian.
3. Perumusan Masalah
Sejalan dengan identifikasi dan pembatasan masalah
di atas, maka yang menjadi rumusan masalah utama
penelitian ini adalah bagaimana pertimbangan Hakim
dalam melindungi hak-hak perempuan pasca perceraian?
Hak-Hak Perempuan
14
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis pertimbangan Hakim dalam
melindungi hak-hak perempuan pasca perceraian.
Dalam penelitian tesis ini, diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara keilmuan, penelitian ini dapat dapat
memberikan pemahaman yang mendalam untuk
penulis dan dapat berguna bagi penegak hukum dalam
menyelesaikan perkara-perkara perceraian di
Pengadilan Agama terkait dengan hak-hak perempuan
pasca perceraian
2. Secara aplikatif, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan masukan dalam merumuskan
kebijakan hukum yang lebih baik.
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Ada beberapa penelitian atau karya ilmiah yang
relevan terkait dengan tulisan ini, diantaranya adalah:
Penelitian yang dilakukan oleh M. Syaifuddin dan Sri
Turatmiyah dengan Judul ‚Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan dalam Proses Gugat Cerai (Khulu’) di Pengadilan Agama Palembang‛. Penelitian Syafruddin dan Sri ini
menjelaskan meningkatnya pengetahuan hukum wanita
merupakan potensi besar yang memotivasi istri berani
mengajukan cerai gugat. Fenomena ini menimbulkan
penafsiran bahwa perempuan telah memiliki kesadaran yang
cukup tinggi tentang hak-hak perempuan dalam hukum
keluarga Islam di Indonesia.39
Penelitian ini hanya fokus pada
perlindungan hukum terhadap hak istri dalam perceraian,
bahwa UU No. 1/1974 pasal 38 dan kompilasi hukum Islam
(KHI) pasal 114 telah memberikan hak yang sama kepada
39
Turatmiyah, ‚Perlindungan Hukum Terhadap
Perempuan...,‛h. 252.
Hak-Hak Perempuan
15
suami istri dalam mengajukan perceraian di Pengadilan
Agama.
Penelitian Fatima ‚Wanita Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri dan anak‛ menjelaskan kedudukan wanita dalam
hukum keluarga Islam sebagai istri menyimpulkan bahwa,
kedudukan suami istri dalam memutuskan hubungan
perkawinan sudah seimbang. Masing-masing mempunyai hak
untuk mengajukan permohonan talak atau gugatan cerai ke
Pengadilan Agama, kenyataan ini bisa dijadikan sebagai salah
satu tolak ukur bahwa hukum keluarga Islam di Indonesia
yang ada sekarang telah menempatkan hak-hak kaum wanita
setara atau sebanding dengan hak-hak kaum pria. Kiranya
dengan adanya hak cerai ditangan istri, bisa menghindarkan
mereka dari kehidupan yang tidak harmonis dan sekaligus
bangkit kembali untuk membangun kebahagiaan yang baru.
Dalam penelitian ini juga dijelaskan mengenai kedudukan
wanita sebagai istri dalam perkara poligami dan pembagian
harta bersama dalam masalah pencari nafkah.40
Stijn Cornelis Van Huis,‚Islamic Courts and Women’s Divorce Rights in Indonesia: The Cases of Cianjur and Bulukumba‛. Penelitian ini bersifat empiris, penelitian
lapangan dari dua survey perceraian di kabupaten Cianjur
(Jawa Barat) dan Bulukumba (Sulawesi Selatan), yang obyek
penelitiannya adalah Pengadilan Islam. Pengadilan Islam di
Cianjur dan Bulukumba lebih responsif terhadap perempuan
dalam perceraian dan pasca perceraian, hal ini tergambar dari
sebagian besar perceraian dimohonkan oleh perempuan (cerai
gugat) dan alasan perceraian dikarenakan kurangnya
keselarasan antara pasangan. Survei perceraian di kedua
40
Fatima,‚Wanita Dalam Hukum Keluarga Islam di
Indonesia: Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri dan
anak,‛ (Tesis S2 Fakultas Shari’ah, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2013), h. 158.
Hak-Hak Perempuan
16
kabupaten menunjukkan, bahwa perempuan lebih tahu
tentang hak-hak pasca-perceraian mereka dan mengklaim dari
bagian harta bersama perkawinan mereka.41
Penelitian ini
membahas peran Peradilan Agama di Cianjur dan Bulukumba
dalam mewujudkan hak perceraian perempuan.
Mohammad Abdun Nasir, ‚Islamic Law and Social change: The Religious Court and The Dissolution of Marriage Among Muslim in Lombok, Indonesia‛. Penelitian ini fokus
pada studi kasus gugatan perceraian di Pengadilan Agama
Lombok Tengah, ada tiga kesimpulan utama yang
diperdebatkan dalam penelitian ini. Pertama, penggabungan
hukum perceraian syariah ke dalam hukum Negara. Kedua, hukum gugat menegaskan kembali hubungan gender dan
kekuasaan yang tidak seimbang antara pasangan muslim dan
memungkinkan perempuan mendapatkan akses dan kekuatan
yang lebih besar dalam pembubaran perkawinan. Ketiga,
meskipun hukum syariah secara teoritis menjadi lebih kaku
saat ditransformasikan menjadi hukum Negara, namun dalam
praktiknya tetap lancar. Sementara fiqh dan norma adat tetap
menjadi sumber legitimasi yang penting untuk orang-orang
muslim di Lombok, reinterpretasi hukum Islam oleh Negara
melalui Pengadilan menawarkan lebih banyak ruang untuk
menegosiasikan perselisihan di antara para
penggugat.42
Penelitian ini menjelaskan perselisihan
perkawinan, wacana ruang sidang hukum Islam dan strategi
Pengadilan dalam menegosiasikan perceraian.
41
Stijn Cornelis Van Huis,‚Islamic Courts and Women’s
Divorce Rights in Indonesia: The Cases of Cianjur and
Bulukumba,‛(Disertasi S3 Universitas Leiden, 2015), h. 264. 42
Mohammad Abdun Nasir, ‚Islamic Law and Social
change: The Religious Court and The Dissolution of Marriage
Among Muslim in Lombok, Indonesia,‛ (Graduate Division of
Religion West and South Asian Religions, 2013), h. 301.
Hak-Hak Perempuan
17
Penelitian Muchammad Hammad ‚Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian: Nafkah iddah Talak dalam Hukum Keluarga Muslim Indonesia, Malaysia dan Yordania‛menjelaskan bahwa nafkah iddah talak dalam
hukum keluargamuslim Indonesia, Malaysia, dan Yordania
secara umum tidak ada perbedaan dengan yang terdapat
dalam fikih konvensional. Sedangkan peraturan mengenai
nafkah iddah talak yang terdapat dalam Undang-undang
hukum keluarga terdapat perbedaan. Pertama, dalam
peraturan undang-undang Indonesia UU. No 1/1974 pasal 34
ayat 1, jika nafkah tidak diberikan, maka istri dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama mengenai
kelalaian suami dalam memenuhi nafkah iddah. Kedua, dalam
peraturan undang-undang Malaysia pasal 69 ayat (1), apabila
nafkah tidak dibayar, maka menjadi hutang bagi suami
terhitung sejak kewajiban membayarnya. Ketiga, dalam UU.
Yordania No. 61/1976 jika suami tidak mampu membayar
nafkah, maka menjadi hutang dan juga memberi solusi,
jaminan kepada istri untuk mendapatkan haknya melalui harta
kekayaan suami ataupun dibayar oleh orang lain dengan
sewajarnya dan orang tersebut berhak menuntut bayar kepada
suaminya. Disini terlihat bahwa, hukum keluarga muslim
Malaysia dan Yordania lebih menjamin hak-hak perempuan
pasca perceraian dibandingkan dengan peraturan yang ada di
Indonesia.43
Penelitian ini hanya membahas masalah hak
nafkah ‘iddah talak sebagai salah satu hak-hak perempuan
pasca perceraian dalam perspektif fikih konvensional dan
perbandingan dengan hukum keluarga di Negara muslim.
Penelitian Azni ‚Analisis Gender Terhadap Hukum Keluarga Islam Indonesia (Studi Terhadap Hak-hak Wanita
43
Muchammad Hammad,‚Hak-hak Perempuan Pasca
Perceraian: Nafkah iddah Talak dalam Hukum Keluarga Muslim
Indonesia, Malaysia dan Yordania,‛dalam Al-Ah}wa>l : Jurnal Hukum Keluarga Islam V 7 no. 1, 2014, h. 17-23.
Hak-Hak Perempuan
18
Pasca Perceraian)‛, melihat hak-hak wanita pasca cerai
dalam hukum keluarga Islam Indonesia dan berdasarkan
Feminist Legal Theory (FLT) serta hukum berkeadilan
gender. Pertama, hak-hak yang diperoleh wanita pasca cerai
telah dirumuskan dalam hukum keluarga Islam Indonesia
sebagai bentuk transformasi fiqih kedalam Undang-undang
mendapat legitimasi yang cukup kuat. Kedua, berdasarkan
Feminist Legal Theori (FLT) dan hukum berkeadilan gender
hak-hak yang diperoleh oleh wanita setelah perceraian seperti,
hak mut’ah, hak nafkah, hak menolak rujuk, hak hadhanah dan harta bersama tidak bias gender. Hal ini, tidak ditemukan
adanya unsur marjinalisasi (pemiskinan ekonomi), subordinasi
(anggapan tidak penting), beban kerja ganda (double burden),
pelabelan negatif (stereotype) dan kekerasan (violence)
terhadap wanita dalam hukum keluarga islam di
Indonesia.44
Penelitian ini melihat perlindungan wanita
terhadap hak-hak pasca perceraian lebih dominan ke analisis
Gender.
Dalam penelitian Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak Wanita dalam Hukum Kekeluargaan Islam di Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI Jakarta 1990-1995‛disimpulkan bahwa putusan-putusan
yang dihasilkan oleh hakim Pengadilan Agama telah
memberikan putusan yang memenuhi hak-hak wanita sesuai
dengan tujuan hukum keluarga Islam Indonesia yaitu menjaga
martabat wanita. Putusan Hakim dapat dikelompokkan
kedalam tiga kelompok. Pertama, putusan Hakim merujuk
kepada ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang
ada, memainkan perannya sebagai cerobong undang-undang
(la bouche de la loi). Dalam kondisi seperti ini, Hakim
44
Azni,‚Analisis Gender Terhadap Hukum Keluarga Islam
Indonesia (Studi Terhadap Hak-hak Wanita Pasca
Perceraian),‛dalam Asy-Shir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum V
49 no. 1, Juni 2015, h. 47.
Hak-Hak Perempuan
19
hanyalah berperan sebagai makhluk tak bernyawa (Antre-Anenimes) dalam artian Hakim tidak boleh bergeser dari
bunyi undang-undang. Kedua, putusan hakim tidak mengikuti
ketentuan yang ada, dalam putusannya tidak mengikuti bunyi
pasal Undang-undang dan yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang berkaitan dengan perkara yang
sedang ditangani oleh Hakim yang ada,adapula putusan yang
berbeda antara satu Pengadilan Agama denga Pengadilan
Agama lainnya, padahal kasusnya sama. Ketiga, putusan
Hakim Pengadilan Agama telah mampu memberikan
terobosan dan penafsiran baru, dalam kategori ini Hakim
adalah orang yang aktif dan mampu mencari hukum yang
belum tersedia di depan matanya.45
Penelitian ini menjelaskan
putusan-putusan Peradilan Agama yang berkaitan dengan
perceraian dan akibatnya adalah Putusan Pengadilan Agama
tentang cerai talak, cerai gugat dan harta bersama.
Mesraini, ‚Hak-hak Perempuan Pascacerai di Asia Tenggara (Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan Malaysia)‛penelitian ini menghasilkan temuan bahwa
hak-hak perempuan pasca cerai mendapatkan legitimasi yang
cukup kuat, baik dalam hukum keluarga di Indonesia maupun
di Malaysia. Hak-hak tersebut meliputi, hak mut’ah, hak
nafkah ‘iddah, penolakan rujuk, hadhanah dan harta bersama.
Pertama, hukum keluarga di Indonesia dan Malaysia
menentukan bahwa istri yang ditalak berhak mendapatkan
hak mut’ah, dalam hukum Nasional Indonesia hak mut’ah
terbagi manjadi wajib dan sunnah dan bentuknya boleh
berupa benda berharga atau uang sedangkan hukum nasional
Malaysia mut’ah tidak didasarkan atas kategorisasi wajib
45
Iskandar Ritonga, ‚Hak-hak wanita dalam Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia: Implementasinya dalam Putusan-
putusan Peradilan Agama DKI Jakarta 1990-1995,‛ (Disertasi
S3Fakultas Shari’ah, Universitas Islam Negeri Jakarta 2002), h.
437.
Hak-Hak Perempuan
20
ataupun sunnah dan harus berbentuk uang. Kedua, hukum
keluarga Malaysia tidak membedakan istri yang ditalak itu
sedang hamil atau tidak, t}ala>q raj’i> atau ba’in, kedua-duanya
diberi nafkah secara penuh. Sementara hukum perkawinan di
Indonesia menegaskan bahwa, perempuan yang sedang hamil
baik t}ala>q raj’i> maupun ba’in harus diberikan nafkah penuh
sedangkan yang tidak hamil hanya diberikan nafkah tempa
tinggal saja. Ketiga, hukum keluarga Indonesia dan Malaysia,
keduanya memberikan hak kepada isteri untuk menerima atau
menolak ajakan rujuk sang suami berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan yang dibenarkan. Keempat, Indonesia dan
Malaysia memberikan hak untuk istri untuk mengasuh anak
(hadhanah). Kelima, terkait dengan harta bersama dalam
hukum keluarga Indonesia dibagi dua dengan sama banyak
terlepas dari siapa yang bekerja. Sedangkan di Malayasia,
pembagiannya pada siapa yang lebih banyak menghasilkan
harta tersebut.46
Penelitian ini lebih menjelaskan komparasi
perundang-undangan perkawinan Indonesia dan Malaysia
tentang hak-hak perempuan pasca cerai.
Penelitian-penelitian diatas berbeda dengan apa yang
akan diteliti dalam tulisan ini, penelitian ini lebih mengarah
kepada hak-hak perempuan pasca perceraian sebagaimana
tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149
yaitu: hak mut’ah, ‘iddah, melunasi mahar yang masih
terhutang dan memberikan biaya h}ad}a>nah untuk anak-
anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun dan Peraturan
Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
(PP) No.45 Tahun 1990 pasal 8 ayat 1-4 tentang hak
perempuan yang memiliki suami sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Hak-hak perempuan pasca perceraian dalam
46
Mesraini, ‚Hak-hak Perempuan Pascacerai di Asia
Tenggara: Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia dan
Malaysia,‛ (Disertasi S3 Fakultas Shari’ah, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2008), h 259-260.
Hak-Hak Perempuan
21
KHI dan PP, akan dianalisis berdasarkan putusan-putusan
Pengadilan Agama baik dalam perkara cerai talak maupun
gugatan perceraian.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian dalam tesis ini termasuk dalam ketegori
penelitian hukum normatif.47
Jenis penelitian ini adalah
kualitatif, karakteristiknya dilakukan langsung kepada sumber
data dalam bentuk kata-kata tertulis yang bersifat
deskriptif.48
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kasus (case approach) yang dapat memberikan sudut pandang
analisa penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum.
Pendekatan ini dipakai untuk mengkaji kasus-kasus yang
ditetapkan oleh Hakim Pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap.49
2. Bahan Hukum
Sumber hukum yang akan digunakan dalam penelitian
ini yaitu, terdiri dari sumber primer dan sekunder yang
memiliki hubungan dengan permasalahan penelitian, data-
datanya adalah sebagai berikut:
a. Sumber primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitin
ini adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Nomor 3
47
I Made Pasek Diantra, Metodologi Penelitian Hukum
Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2017), h. 12 48
Menurut Lexi J. Meleong, penelitian kualitatif merupakan
wahana untuk menemukan kebenaran-kebenaran atau lebih kepada
membenarkan suatu kebenaran. Lexi J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2014), h. 4. 49
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2010), 35.
Hak-Hak Perempuan
22
Tahun 2006 jo Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang
perkawinan (UUP), Kompilasi Hukum Islam (KHI), Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1983 jo No. 45 tahun 1990 pasal 8
(PP) dan putusan-putusan perceraian baik cerai talak maupun
cerai gugat, dalam dua kategori perceraian tersebut peneliti
ingin menganalisis tentang hak-hak perempuan pasca
perceraian. Putusan yang diambil untuk dianalis sebanyak 17
putusan dalam kurun waktu 2014- 2016.
b. Sumber sekunder
Adapun bahan hukum sekunder adalah data
pendukung untuk melengkapi data-data primer yang berupa
buku-buku, kitab-kitab fiqih, hasil penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini, jurnal-jurnal baik Nasional
maupun Internasional dan sumber data dari website yang
terkait dengan penelitian ini.
3.Subyek dan Obyek Penelitian
Hakim sebagai penentu untuk menghasilkan putusan
perkara berdasarkan hukum dan keadilan merupakan subyek
dalam penelitian ini, karena sangat penting untuk melihat
alasan atau pertimbangan Hakim yang digunakan dalam
memutuskan perkara. Sedangkan obyek dalam penelitian ini
adalah Pengadilan Agama Padangsidimpuan Provinsi
Sumatera Utara.50
4.Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan dua
cara, yaitu: Pertama, dengan penulusuran kepustakaan
50
Pengadilan Agama Padangsidimpuan terletak di Komplek
Perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, Desa
Tolang-Sipirok. Wilayah hukum (Yurisdiksi) meliputi tiga
Kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang
Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.
Hak-Hak Perempuan
23
(Library Research) yang dilakukan dengan cara mengoleksi
buku-buku, kitab-kitab fiqih, hasil penelitian terdahulu yang
relevan dengan penelitian ini, jurnal-jurnal baik Nasional
maupun Internasional, sumber data dari website yang terkait
dengan penelitian ini, peraturan perundang-undanga di
Indonesia Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Nomor 3
Tahun 2006 jo Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah
No. 10 tahun 1983 jo No. 45 tahun 1990 pasal 8 dan putusan-
putusan perceraian baik cerai talak maupun cerai gugat.
Kedua, penulusuran lapangan (Field Reasearch) yang
dilakukan dengan cara observasi di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan Sumatera Utara.
Untuk memperoleh informasi-infromasi yang
memadai, penelitian ini mengkombinasikan dengan dua cara
yaitu wawancara (In-depth Interview) 51
dan studi
dokumentasi.52
(1) wawancara yang peneliti arahkan kepada
tiga Hakim yang memutuskan perkara di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan yaitu Bapak Bunyamin yang merangkap
sebagai ketua Pengadilan, Bapak Febrizal Lubis dan Bapak
Hasanuddin, cara ini akan digunakan untuk mengumpulkan
data yang bersifat khusus guna untuk menunjang validitas
data. (2) studi dokumentasi yang dimaksud adalah putusan
perceraian di Pengadilan Agama Padangsidimpuan tahun
2014-2016 tentang hak-hak perempuan pasca perceraian.
51
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak
terstuktur, wawancarasemacam ini digunakan untuk menemukan
informasi yang bukan baku atau informasi tunggal.Meleong,
Metodologi Penelitian, h. 191. 52
Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak
langsung ditujukan kepada subyek penelitian.Irwan Soehartono,
Metode Penelitian Sosial, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1999), h.
70.
Hak-Hak Perempuan
24
5. Metode Analisa Data
Dalam analisa data ini peneliti menggunakan metode
deskriptis-analisis,53
denga cara sebagai brikut:
a. Membaca data, kemudian memeriksanya untuk
dipetakan secara rapi
b. Dalam menganalisa data, peneliti menggunakan
metode analisis isi (content analysis) untuk
menganalisis isi putusan hakim Pengadilan Agama
Padangsidimpuan
c. Hasil wawancara akan dirangkum secara mendalam
untuk menunjang validitas data
d. Memahami serta menyesuaikan data yang didapat
dengan permasalahan yang akan diteliti
e. Bagian terakhir adalah mengambil kesimpulan setelah
melewati langkah-langkah di atas.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika laporan penelitian tesis ini dirancang
terdiri lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang
membahas aspek epistimologi meliputi sub bahasan latar
belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah
dan perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan
(literature review), tujuan dan manfaat penelitian. Selain itu,
dalam bab ini juga dipaparkan tentang metodologi yang
digunakan terdiri dari; jenis penelitian, pendekatan penelitian,
sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data dan
diakhiri dengan sistematika penulisan sebagai gambaran
umum penelitian ini.
53
Deskriptif-analitis adalah metode pengumpulan data
melalui interpretasi yang tepat atau makna aturan hukum yang
dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasalahan
hukum. Dapat disimpulkan bahwa, penelitian ini lebih kepada
pemecahan masalah. Zinuddin Ali, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta: Sinat Grafika, 2010), h. 107
Hak-Hak Perempuan
25
Bab kedua, membahas landasan teoritis tentang
diskursus hak-hak perempuan pasca perceraian dalam dimensi
hukum. Dimulai dengan sub bab pertama tentang hak-hak
perempuan pasca perceraian dalam perspektif fiqih. Sub bab
kedua tentang hak-hak perempuan pasca perceraian dalam
konteks peraturan peraturan perundang-undangan, (1) dalam
Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 41 dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 149, (2) dalam Peraturan
Pemerintah No. 45 tahun 1990 pasal 8 ayat 1-4 . Sub bab
ketiga tentang hak-hak perempuan pasca perceraian dalam
peraturan perundang-undangan di Negara muslim.
Bab ketiga, membahas tentang penetapan hukum
perceraian di Pengadilan Agama Padangsidimpuan. Dimulai
dengan sub bab pertama tentang diskripsi Pengadilan Agama
Padangsidimpuan, Sub bab kedua tentang peran dan fungsi
Peradilan Agama Padangsidimpuan, sub bab ketiga tentang
mekanisme pengajuan perkara perceraian dan penetapan
hukumnya di Pengadilan Agama Padangsidimpuan.
Bab keempat, membahas tentang implementasi hak-
hak perempuan pasca perceraian di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan. Dimulai dengan sub bab pertama tentang
data statistik putusan perceraian dan alasan-alasan perceraian
tahun 2014-2016, sub bab kedua tentang analisis
pertimbangan Hakim terhadap hak-hak perempuan pasca
perceraian dalam perkara cerai talak, sub bab ketiga tentang
analisis pertimbangan Hakim terhadap hak-hak perempuan
pasca perceraian dalam perkara cerai gugat.
Bab kelima, merupakan bab terakhir dari penelitian
ini di dalamnya berisi kesimpulan dan saran.
Hak-Hak Perempuan
26
Hak-Hak Perempuan
27
BAB II
DISKURSUS HAK-HAK PEREMPUAN PASCA
PERCERAIAN DALAM HUKUM
Perceraian merupakan sebuah fakta sosial yang terjadi
akibat masalah-masalah dalam hubungan perkawinan tidak
dapat diselesaikan dengan baik, implikasi dari perceraian
menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
suami. Bab ini akan menguraikan kedudukan hak-hak
perempuan pasca perceraian dalam tiga hukum yaitu dalam
perspektif fiqih, konteks Peraturan Perundang-undangan
Indonesia dan konteks Peraturan Perundang-undangan di
Negara muslim.
A. Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian dalam Perspektif
Fiqih
Islam merupakan agama yang mengatur semua bidang
kehidupan manusia, termasuk kedudukan perempuan sebagai
istri dalam keluarga.1 Menurut Huzaimah Tahido Yanggo,
salah satu tanggung jawab sosial dalam Islam adalah
membentuk keluarga yang abadi, bahagia, sejahtera dan
1Allah menjadikan mereka sebagai kekuasaannya. Warsito,
‚Perempuan dalam Keluarga Menurut Konsep Islam dan Barat,‛
dalam Jurnal Studi Islam Vo 14, no. 2, Desember 2013, h. 148-163.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q. S. A; Ru>m
[30]: 21).
Hak-Hak Perempuan
28
melahirkan keturunan-keturunan yang berkualitas baik secara
agama maupun keahlian duniawi.2Namun terkadang
hubungan keluarga tidak selalu sesuai dengan keinginan,
sehingga mengambil jalan untuk bercerai. Dalam Islam,
perceraian merupakan gejala sosial yang tidak diinginkan.
Sebagaimana yang jelaskan dalam Hadis Nabi berikut:
أب غض اللال إل الله الطلاق ‚Perkara h{ala>l yang sangat dibenci Allah adalah
t}ala>q‛.3
Sabda Nabi tersebut mengindikasikan perceraian merupakan
perbuatan yang tidak baik dan tidak dikehendaki karena tidak
disukai oleh Allah Swt, kata abghad}u al-h}alal dalam hadist
tersebut bermakna talak bisa mengakibatkan seseorang
terperosok pada perbuatan maksiat.4
Islam sangat menganjurkan suami istri untuk
mempertahankan rumah tangga walaupun rasa cinta dan kasih
sayang diantara keduanya sudah memudar, hal ini karena
boleh jadi terdapat hikmah tersembunyi bagi suami istri
dalam menjalani kehidupam rumah tangga. Islam
membolehkan perceraian jika ada sebab atau alasan tertentu
dimana ikatan pernikahan tidak mungkin untuk dipertahankan
lagi, Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa perceraian dapat
menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban yang
semestinya diberikan kepada mantan istri selama menjalani
masa ‘iddah.5
2Huzaimah T. Yanggo, Hukum Keluarga Dalam Islam,
(Jakarta: Anggota Ikatan Penerbit Indonesia,(IKAPI), 2013), h. 127. 3Abu> Da>wud al-Sajista>ni>, Suna>n Abi> Da>wud, (Qa>hirah:
Mat}ba’ah Mus}t}afa> al-H{alibi>, t. th), juz 4, Nomor Hadis 1863, h. 622. 4Abi> al-T{ayyib Muhammad Shamsi al-H{aq al-‘Az{i>m
Aba>di>, ‘Awnu al-Ma’bu>di Sharah Sunan Abi> Da>wud (Beirut-
libana>n: Da>r al-Kitab), Juz 3,h. 968. 5Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2013), h. 141.
Hak-Hak Perempuan
29
a. Hak Nafkah ‘Iddah Menurut ahli fikih nafkah adalah biaya yang wajib
dikeluarkan oleh seorang suami terhadap sesuatu yang
menjadi tanggungannya baik itu biaya untuk kebutuhan
pangan, papan, dan sandang.6Sementara ‘iddah adalah masa
menunggu bagi seorang perempuan setelah terjadinya
perceraian, baik itu cerai talak maupun cerai mati dengan
tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya istri ba’da al-dukhul. Sedangkan bagi istri qabla al-dukhul dan putusnya
perkawinan tersebut bukan karena kematian suami, maka
tidak berlaku ‘iddah atasnya.7
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa,
nafkah ‘iddah adalah segala sesuatu yang diberikan oleh suami
kepada istri yang telah diceraikannya baik berupa pakain,
makanan maupun tempat tinggal. Pemberian nafkah ‘iddah
yang diterima istri berdasarkan bentuk perceraian yang terjadi
seperti, t}ala>q raj’i> ataupun t}ala>q ba>’in.
Perceraian yang terjadi dalam bentuk t}ala>q raj’i>,
suami wajib memberikan nafkah ‘iddah dengan berbagai
jenisnya yang terdiri dari makanan, pakaian dan tempat
tinggal karena perempuan yang menjalani masa ‘iddah t}ala>q raj’i> masih dianggap sebagai istri. Sedangkan perceraian
dalam bentuk t}ala>q ba>’in, jika perempuan yang menjalani
masa ‘iddah ini dalam keadaan hamil, maka suami juga wajib
memberikan nafkah secara utuh seperti hak ‘iddah t}ala>q raj’i>. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq)
itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka
6Abdurrahman al-Jaziriy, Al-Fiqh ‘ala Maz}a>hib al-Arba’ah,
jilid IV (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003), h. 260. 7Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia…, h. 241.
Hak-Hak Perempuan
30
nafkahnya hingga mereka bersalin‛. (Q. S. A; T{ala>q
[65]: 6).
Nafkah masa ‘iddah dalam kondisi hamil dalam
kasus perceraian t}ala>q ba>’in tersebut berbeda dengan nafkah
dalam kondisi tidak hamil. Dalam hal terakhir ini, dikalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat menurut Wahbah
Zuh}aili>.8Pertama, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa
perempuan tersebut berhak mendapatkan nafkah secara utuh
seperti hak ‘iddah t}ala>q raj’i> dengan sebab tertahannya pada
masa ‘iddah demi hak suami. Kedua, Mazhab Maliki dan
Shafi’i berpendapat bahwa perempuan tersebut berhak
mendapatkan tempat tingal saja. Sebagaimana dijelaskan
dalam al-Qur’an berikut:
‚Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu‛. (Q. S.
A; Tala>q [65]: 6).
Ketiga, Mazhab Hambali berpendapat bahwa perempuan
tersebut tidak berhak mendapatkan nafkah untuknya, karena
Fa>timah binti Qais yang dijatuhkan talak tiga oleh suaminya,
Rasulullah Saw tidak menetapkan nafkah dan tempat tinggal
untuknya. Hanya saja Rasulullah bersabda: كن للمراة إذا كان لزوجها عل ا الن فقة والس ها الرجعةإن ي
‚Sesungguhnya nafkah dan tempat tinggal bagi istri
jika suaminya masih memiliki hak rujuk
kepadanya‛.9
8Wahbah Zuh}aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu
(Damaskus: Da>r al-fikr), juz 9, h. 7203-7204 9Abi> Zakariya> an-Nawawiy, S{ah{i>h{ Muslim Bi sharh{i an-
Nawawiy (Beiru>t: Da>r al-Fikri, 1983), h. 95-94.
Hak-Hak Perempuan
31
b. Hak Mut’ah Pemberian mut’ah dapat dipahami sebagai pemberian
suami kepada istrinya yang ditalak (mut’ah at}-t>alaq) berupa
harta atau pakaian untuk menyenangkan hati sebagai imbalan
atas kesedihan akibat perceraian yang terjadi.10
Dasar hukum
pemberian mut’ah, di kalangan ulama terjadi perbedaan
pendapat menurut Wahbah Zuh{aili>.11Pertama, Ima>m Sha>fi’i
berpendapat bahwa pemberian mut’ah adalah wajib bagi
setiap perempuan yang dijatuhkan t{ala>q ba’da al-dukhul maupun qabla al-dukhul. Sebagaiman penjelasan dalam al-
Qur’an berikut:
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa‛. (Q. S. A; Baqarah {[2]: 241).
Kedua, Ima>m Hanafi berpendapat bahwa pemberian
mut’ah dibagi menjadi dua yaitu, mut’ah wajib dan sunnah.
Kewajiban memberikan mut’ah setiap perceraian yang terjadi
qabla al-dukhul dan belum ditetapkan mahar dalam akad
nikah. sebagaimana penjelasan dalam al-Qur’an berikut:
‚Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu,
jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
10
Muhammad Rawa>sh Qal’aji> dan H{amid S{a>diq Qunaybi,
Mu’jam lughah al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-nafa>is, 2012), h. 401. 11
Wahbah Zuh{aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, h.
6830-6833.
Hak-Hak Perempuan
32
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka‛. (Q. S. A;
Baqarah {[2]: 236).
Sunnah memberikan mut’ah, jika perceraian yang terjadi
dalam kondisi ba’da al-dukhul dan qabla al-dukhul telah
ditetapkan mahar dalam akad nikah. Ketiga, ima>m Ma>liki dan
Hambali berpendapat bahwa pemberian mut’ah sunnah bagi
setiap perempuan yang dicerai. Sebagaimana penjelasan al-
Qur’an di penghujung ayat diatas:
‛Merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan‛. (Q. S. A; Baqarah {[2]: 236).
c. Mahar Menurut Wahbah Zuhaili perempuan memiliki
berbagai hak yang harus dipenuhi oleh seorang laki-laki, dasar
hak dan kewajiban merupakan tradisi yang bersandarkan
kepada kemampuan masing-masing. Dalam akad nikah hak
mutlak seorang perempuan yang harus diberikan oleh seorang
laki-laki adalah mahar,12
dari segi kedududukan mahar dapat
diartikan sebagai lambang kesediaan suami untuk memberikan
12
Wahbah Zuh }aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, h. 6758. Dalam al-Qur’an, kata mahar terdapat istilah lain yang memiliki
konotasi yang sama seperti: shaduqa >t (صدقات) bentuk jama’ dari
yang memiliki arti ‚kebenaran‛, pemberian mahar merupakan (صدقة)
bukti dari kebenaran janji. Kemudian diperkuat dengan nama nih}lat
yang memiliki arti ‚pemberian yang tulus tanpa (نحلة)
mengharapkan imbalan (QS an-Nisa>’(4): 4). M. Quraish Shihab,
Tafsir al-mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2000) Volume 2, h. 329, ajr (أجر) yang artinya ‚upah‛
bahwa mahar haruslah sesuatu yang bersifat material (QS an-Nisa>’
(4): 24). Lihat Shihab, Tafsir al-mishba>h, h. 385. Dan fari>d}ah
yang artinya ‚kewajiban‛ mahar merupakan kewajiban yang (فريضة)
hendak diberikan dengan tulus oleh suami (QS al-Baqarah (2): 236).
Lihat Shihab, Tafsir al-mishba>h, volume 2 h. 480.
Hak-Hak Perempuan
33
sesuatu yang bernilai materi dan sebagai lambang kesetiaan,
boleh memberikan berupa pengajaran ayat-ayat al-Qur’an
sesuai dengan kemampuan seorang suami.13
Zaitunah Subhan
juga memiliki redaksi yang sama, mahar dalam hukum
perkawinan Islam merupakan pemberian wajib dari mempelai
laki-laki kepada mempelai perempuan, berupa uang atau
barang seperti emas, perhiasan dan lain-lain yang diucapkan
ketika akad nikah berlangsung.14
Perintah untuk memberikan mahar adalah hak
istimewa yang diberikan Tuhan kepada perempuan yang tidak
boleh diganggu gugat oleh orang lain, ini merupakan prinsip
bahwa perempuan mampu bertanggung jawab atas apa yang
menjadi haknya.15
Hakikat mahar menjadi hak mutlak
perempuan, baik dalam ikatan perkawinan maupun
perceraian.
Mahar yang diterima istri pasca perceraian terbagi
dengan dua macam yaitu, mahar musamma dan mahar mitsil. Pertama, mahar musamma adalah mahar yang sudah
disebutkan ketika akad nikah berlangsung. Sayyid Sabiq
menegaskan bahwa istri berhak menerima mahar secara penuh
karena telah bercampur dan setengah saja jika belum
bercampur,16
pemberian mahar musamma bagi istri telah
bercampur, wajib mendapatkan secara keseluruhan.
Sebagaimana penjelasan dalam al-Qur’an berikut:
13
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam
Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004), h. 437. 14
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan
Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi, 2008), 223. 15
Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI, 2010), h. 78-79. 16
Sayyid Sa>biq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Da>r Ibn Kathir)
juz, 2, h. 161.
Hak-Hak Perempuan
34
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedangkan kamu telah memberikan
kepada seseorang di antara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali
sedikit pun darinya. Apakah kamu akan
mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata.
(Q. S. A; Nisa>’ [4]: 20)
As-shayra>ziy juga berpendapat dalam kitab Al-
muhazab fi> Al-fiqh Al-sha>fi’i bahwa, suami memiliki
kewajiban untuk memberikan kadar mahar yang dijanjikan
secara penuh jika status istri ba’da al-dukhul dan telah pula
menetapkan kadar maharnya.17
Sedangkan bagi status istri
qabla al-dukhul, wajib mendapatkan setengah dari mahar
yang telah ditentukan. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam al-Qur’an sebagai berikut:
Dan jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum
kamu sentuk, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
istri-istrimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh
17
Abi > Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Ali> As-shayra>ziy Al-fayru>z
Aba>diy, ‚Al-muhazab fi> Al-fiqh Al-sha>fi’i> (Al-qa>hirah: Al-qudus,
2012), juz 3.
Hak-Hak Perempuan
35
orang yang memegang ikatan nikah. (Q. S. A;
Baqarah [2]: 237).
Redaksi ayat diatas menyimpulkan bahwa pemberian
mahar kepada istri dalam keadaan qabla al-dukhul merupakan
kewajiban seorang suami, kecuali seorang istri
membebaskannya secara tulus karena mereka telah dewasa
atau dibebaskan oleh walinya karena mereka belum memiliki
kemampuan untuk mengambil keputusan.18
Kedua, mahar
mitsil adalah mahar yang belum disebutkan ketika akad nikah
berlangsung.
Menurut Taqyuddi>n apabila seorang laki-laki menikah
dengan seorang perempuan tidak menentukan maharnya
ketika akad nikah berlangsung, maka wajib atas suami
memberikan mahar mitsil.19
Untuk mengukur mahar mitsil, dikalangan ulama
terjadi perbedaan pendapat menurut Wahbah
Zuh}aili>.20
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa, mahar mitsil seorang perempuan sebanding dengan mahar saudara
perempuan dari pihak bapak seperti, bibi dan sepupu. Jika
tidak ada yang dijadikan patokan, maka mahar harus
sebanding dengan keluarga bapaknya dalam kedudukan sosial.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa, mahar mitsil seorang perempuan sebanding dengan mahar saudara
perempuan dari pihak bapak dan ibunya seperti bibi dan
sepupu. Mazhab Maliki dan Shafi’i berpendapat bahwa,
mahar mitsil seorang perempuan sebanding dengan mahar
kerabat perempuan yang paling dekat dengannya. Jika tidak
18
Shihab, Tafsir al-mishba>h, Volume 1, h.482. 19
Taqyuddi<n Abi Bakar ibn Muhammad ibn Mu’min al-
H{us}ni>, kifa>yah al-Akhya>r fi H{alli Ghayati al-Ikhtis}a>ri fi Fiqh
Sha>fi’i<, (Bairu>t: Da>r kitab ‘Ilmiyah, 2001) juz 2, h. 63. 20
Wahbah Zuh{aili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu, h.
6775-6779 .
Hak-Hak Perempuan
36
ada yang dijadikan patokan, maka mahar tersebut dilihar dari
perempuan yang sederajat dengannya.
Pemberian mahar mitsil yang telah disebutkan diatas,
berhak diberikan kepada istri yang statusnya ba’da al-dukhul dan kadar maharnya belum ditentukan dalam akad nikah.
Berbeda dengan status istri qabla al-dukhul dan maharnya
juga belum ditentukan dalam akad nikah, maka seorang suami
wajib memberikan mut’ah yang layak kepada mantan istrinya.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut ini:
‚Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu,
jika kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum
kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu
menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan
suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka‛.(Q. S. A;
Baqarah [2]: 236).
d. Hak H}ad}a>nah
Konsep pemeliharaan anak dalam Islam dikenal
dengan istilah h}ad}a>nah,21
salah satu hak anak yang wajib
dipenuhi untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan
sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang. Pemeliharaan
terhadap anak kecil (laki-laki atau perempuan), karena belum
mampu membedakan antara baik dan buruk, belum mampu
dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu
mengerjakan sesuatu untuk kebaikan.
21
Kata H{ad}a>nah diambil dari kata حضنا-يضن -حضن yang
memiliki arti mengasuh anak ataupun memeluk anak. Lihat
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud
Yunus Wadzurya, 1989), h. 104.
Hak-Hak Perempuan
37
Mendidik dan mengasuhnya baik fisik, mental dan
akal agar ia bisa berdiri sendiri. Hak mengasuh anak yang
belum dewasa di prioritaskan kepada ibunya setelah
perceraian, karena ibu lebih memiliki kasih sayang dan
kesabaran yang lebih dalam terhadap anak. Sebagaimana
redaksi hadist berikut:
سول الله إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء عن عبد الله بن عمر أن امرأة قالت يا ر وثدي لو سقاء وحجرى لو حواء وإن أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو من ف قال لا
أنت أحق بو ما ل ت نكحى –رسول الله صلى الله عليو وسلم Dari Abdullah bin ‘Umar r.a. Bahwa seorang
perempuan bertanya, ‚Wahai Rasulullah, sesungguhnya
anakku ini adalah perutku yang mengandungnya dan
susuku yang menjadi minumannya dan pangkuanku
yang menjadi pembaringannya. Sedangkan Bapaknya
telah menceraikan aku dan ia mengambilnya dariku‛.
Lalu Rasulullah Saw., bersabda kepadanya, ‚Engkau
yang lebih berhak dengan anak itu selama engkau
belum menikah.‛22
Menurut Huzaimah Tahido Yanggo hak nafkah anak
wajib diberikan untuk memenuhi kelangsungan hidupnya,
kewajiban ini dibebankan kepada ayah kandungnya sebagai
kepala keluarga. Namun tidak menutup kemungkinan seorang
ibu juga memikul tanggungjawab dalam hal pemenuhan
kebutuhan anak, orang tua dituntut untuk berbuat adil
diantara anak-anaknya dalam segala hal baik nafkah maupun
pemberian lainnya. Memperhatikan anak dengan penuh kasih
22
Ketentuan dalam redaksi hadist diatas menunjukkan
bahwa, sosok seorang ibu memiliki kedudukan yang tinggi karena
perannya dalam mengasuh dan memelihara anak dari sejak dalam
kandungan, melahirkan hingga pada saatnya ia dewasa. Lihat Al-
h}a>fiz} Abi> da>wuda Sulayma>n ibn Al-ash’at Al-sah}sata>ni>, Sunan Abi>
Da>wuda (Bayru>t-Libana>n: da>ru Al-kitab Al-‘alamiyah, 1996) no,
105, h. 230.
Hak-Hak Perempuan
38
sayang hanya dapat dilakukan oleh kedua orang tuanya, peran
seorang ayah dan status kewaliannya tidak terputus meski
berlaku pengasuhan yang dilakukan ibu atau neneknya, sebab
ayah yang berhak dan wajib menafkahi anak.23
Sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:
‚Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya‛.
(Q. S. A; Baqarah [2]: 233).
Kewajiban memberi makan dan pakain adalah atas
dasar hubungan suami istri, sehingga bila istri menuntut
imbalan penyusuan anak, maka suami wajib memenuhinya
selama dalam tuntutan imbalan yang wajar. Menurut
Muhammad Quraish Shihab kewajiban ayah dalam
menanggung kebutuhan anak, karena nama ayah akan
disandang oleh anak (dinisbahkan kepada ayahnya) dan
kewajiban ini dilaksanakan dengan cara yang ma’ru>f .24
Walaupun tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami
sebagai kepala rumah tangga, tetapi tidak menutup
kemungkinan tanggung jawab tersebut bisa beralih ke pihak
istri apabila suami tidak mampu melaksanakan
kewajibannya.25
Menurut ketentuan hukum perkawinan
meskipun telah terjadi perceraian antara suami istri, mereka
masih tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anak mereka semata-mata ditujukan bagi kepentingan anak.
23
Huzaimah Tahido Yanggo, Fiqih Anak: Metode Islam
dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta: P.T al-Mawardi Prima,
2004), h. 108-109. 24
Shihab, Tafsir al-mishba>h, Volume 1, h. 471. 25
Vivi Kurniawati, Pengasuhan Anak, (Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing, 2018), h. 9.
Hak-Hak Perempuan
39
Dalam pemeliharaan tersebut walaupun pada praktiknya
dijalankan oleh salah seorang dari mereka, tidak berarti
bahwa pihak lainnya terlepas dari tanggung jawab terhadap
pemeliharaan anak.26
Islam mengajarkan untuk memandang
anak sebagai perhiasan dunia dan aset generasi di masa depan,
Allah memerintahkan kepada hambanya untuk tidak
meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan lemah, karena
pada dasarnya mereka itu mempunyai hak-hak yang wajib
dipenuhi oleh orang tuanya.27
B. Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian Dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia
1. Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 Pasal 41 dan KHI Pasal 149
Pembentukan undang-undang perkawinan sangat
diharapkan oleh kaum perempuan. Kongres perempuan
Indonesia pada tahun 1928 di Yogyakarta mengusulkan
supaya tiap-tiap perkawinan diadakan bentuk perjanjian
perkawinan. Kemudian, dalam kongres perempuan II di
Jakarta tahun 1935 dianjurkan kepada anggota-anggotanya
untuk menyelidiki kedudukan perempuan dalam hukum Islam.
Selain itu, mewajibkan semua anggota kongres untuk
memberikan bantuan yang semestinya kepada perempuan
yang mengalami ketidakadilan dalam perkawinan dan
membentuk biro konsultasi yang juga harus mempelajari
hukum perkawinan Islam. Pada Kongres perempuan Indonesia
III di Bandung tahun 1938, Komite Perlindungan Kaum
Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang
dibentuk tahun 1937 dijadikan sebagai badan pelaksana
26
Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia…, h. 296. 27
Mohammad Hifni, ‚Hak Asuh Anak Pasca Perceraian
Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam,‛dalam Jurnal Hukum Keluarga, Volume 1 No 2, Desember 2016, h. 59.
Hak-Hak Perempuan
40
kongres perempuan yang bertugas membantu dan melindungi
kaum perempuan dalam masalah keluarga (perkawinan).28
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dijelaskan
bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Penjelasan ini senada dengan pendapat Sayuthi Thalib yang
dikutip oleh Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan
bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan
kokok untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang
kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan
bahagia.29
Namun, tidak semua bisa bertahan sesuai dengan
ketentuan yang diharapkan walaupun betapa kuatnya dan
istimewanya hubungan pernikahan masih tetap terbuka
kemungkinan untuk memutuskannya.30
Putusnya perkawinan adalah sebuah krisis hubungan
internal, problem ikatan utama yang tidak terpecahkan dalam
keluarga adalah problem identitas keluarga yang mulai
hancur. Bagi kebanyakan orang, perceraian atau berakhirnya
sebuah ikatan perkawinan merupakan keputusan yang paling
menggoncangkan jiwa dalam hidup. Seseorang dalam proses
perceraian sering bertindak atau menempuh cara yang tidak
28
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Prenada Media Group Anggota Ikapi DKI,
2015), h. 4-5. 29
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, dkk.,
Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 40.
30Ulin Na’mah, Talak Divorce: Its Meaning According to
The Actor of Matrilocal Residence in Muslim Society, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), h. 36.
Hak-Hak Perempuan
41
bisa dirasakan atau dipikirkan oleh orang di sekitarnya.
Menurut Abigail Trafford, perceraian adalah fase atau masa
membingungkan.31
Menurut Amir Syarifuddin, keretakan dan kemelut
rumah tangga itu bermula dari tidak berjalannya aturan yang
ditetapkan Allah bagi kehidupan suami istri dalam bentuk hak
dan kewajiban yang semestinya harus dipenuhi kedua belah
pihak, untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya
perceraian serta menempatkan perceraian itu sebagai
alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.32
Dalam substansi Undang-undang perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal 41 huruf (c) ditegaskan bahwa akibat
putusnya perkawinan karena perceraian, menimbulkan hukum
tentang kedudukan hak istri. Karena itu, Pengadilan dapat
memerintahkan kepada mantan suami untuk memberikan
biaya penghidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi
mantan istri. Ketentuan normatif dalam UUP No. 1 Tahun
1974 pasal 4 huruf (c) mempunyai kaitan dengan pasal 11 UU
No. 1 Tahun 1974, dimana seorang perempuan yang putus
perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Jangka waktu
tunggu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah dan
Kompilasi Hukum Islam. 33
Kompilasi Hukum Islam merupakan penjabaran dan
penegasan dari ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam
31
Constance R. Ahrons, Divorce an Unscheduled Family Transition‛ dalam Betty Carter and Monica McGoldrick (Ed), The Expanded Family Life Cycle: Individual, Family, and Social Perspectives, (Boston: Allyn & Bacon A Pearson Education
Company, 2005), h. 385. 32
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2007), h.190.
33Muhammad Syaifuddin, dkk.,Hukum Perceraian,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 400.
Hak-Hak Perempuan
42
Undang-undang perkawinan No 1 Tahun 1974.34
Dalam pasal
149 dijelaskan bahwa bilamana perkawinan putus karena
talak maka mantan suami bertanggung jawab atas kebutuhan
mantan istri dan anak. Pertama, memberikan mut’ah yang
layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul. Kedua,
memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri
selama dalam ‘iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nushu>z dan dalam keadaan tidak hamil. Ketiga,
melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh
apabila qabla al-dukhul. Keempat, memberikan biaya h}ad}a>nah kepada anak-anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
35
a. Hak Nafkah ‘Iddah
Dalam ikatan perkawinan, nafkah adalah belanja atau
pendapatan suami yang diberikan kepada istri untuk
memenuhi kebutuhan hidup baik berupa makanan, minuman,
pakaian, dan segala kebutuhan rumah tangga. Sedangkan
‘iddah adalah masa menunggu bagi istri untuk melakukan
perkawinan setelah terjadinya perceraian, baik cerai hidup
maupun cera mati dengan tujuan untuk mengetahui keadaan
rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.36
Bagi perkawinan
yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap dan waktu tunggu bagi yang masih
datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-
kurangnya sembilan puluh hari (90 hari). Sedangkan bagi
yang tidak datang bulan ditetapkan Sembilan puluh hari (90
34
Abdul Wahab dan Abd. Muhaimin, dkk.,Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gaung Persada,
2010). 35
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 36
Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia..., h. 240.
Hak-Hak Perempuan
43
hari). Jika perkawinan putus karena kematian, maka tenggang
waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Sedangkan
waktu tunggu ditetapkan seratus tiga puluh hari (130 hari).37
Hak normatif istri yang diberikan oleh suami selama
masa ‘iddah berupa maskan (tempat tinggal) dan kiswah
(pakaian), tetapi hak tersebut tidak sempurna sebagaimana
yang berlaku semasa dalam hubungan perkawinan. Bentuk
hak yang diterima tidak tergantung pada lama masa ‘iddah
yang dijalaninya, tetapi tergantung pada bentuk perceraian
yang dialaminya.38
Dalam hukum positif Indonesia, perceraian dapat
terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.39
Hak istri yang dicerai dalam bentuk t}ala>q raj’i> berlaku penuh,
baik dalam keadaan hamil atau tidak hamil. Menurut Amir
Syarifuddin istri yang dicerai dalam bentuk t}ala>q ba>’in, baik ba>’in s}ughra> ataupun ba>’in kubra dalam keadaan tidak hamil,
berhak atas tempat tinggal. Jika istri dalam keadaan hamil,
selain mendapatkan tempat tinggal juga mendapatkan nafkah
37
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2016), h. 174.
ketentuan masa tunggu bagi istri yang putus perkawinannya, baik
karena perceraian maupun karena kematian suaminya tidak ada
perbedaan dalam Undang-undang pasal 11, peraturan pemerintah
pasal 39 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 153, 154. 38
Syarifuddin, Garis-garis Besar, h. 144. 39
Dalam KHI Pasal 118: talak raj’i adalah talak satu atau
dua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa ‘iddah.
Pasal 119: t}ala>q ba>’in s}ughra> adalah t}ala>q yang tidak boleh dirujuk
tapi boleh dinikah baru dengan suaminya meskipun dalam ‘iddah.
Pasal 120: t}ala>q ba>’in kubra adalah t}ala>q yang terjadi untuk ketiga
kalinya, talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri
menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al-dukhul dan habis masa ‘iddahnya.
Hak-Hak Perempuan
44
selama masa kehamilan.40
Hak tersebut gugur, jika istri
melakukan pelanggaran seperti murtad dan menodai
kehormatan suami maupun anggota keluarganya.41
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149
huruf b menentukan bahwa istri yang dijatuhkan t}ala>q ba>’in s}ughra> tidak berhak mendapatkan hak nafkah, maskan, dan
kiswah. Namun dalam pasal 152 menentukan bahwa istri yang
dijatuhkan t}ala>q ba>’in s}ughra> berhak atas nafkah saja dengan
syarat tidak nushu>z. Dalam hasil penelitian Zakiyyah,
menyatakan bahwa istri yang dijatuhkan t}ala>q ba>’in s}ughra> berhak mendapatkan nafkah, maskan, dan kiswah selama
masa iddah sesuai dengan kemampuan ekonomi suami dengan
syarat tidak nushu>z.42
Indonesia secara tegas mencantumkan
dan mengkaitkan nushu>z sebagai kondisi yang menghalangi
perolehan nafkah ‘iddah.43
b. Hak Mut’ah
Mut’ah merupakan suatu pemberian wajib yang harus
diberikan oleh suami kepada istri sebagai akibat dari diajukan
perkara cerai. Setiap adanya perceraian terdapat pembebanan
mut’ah atas suami terhadap istri yang disesuaikan dengan
kemampuan dan penghasilan suami.44
Dalam kamus besar
40
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h. 322. 41
Titin Titawati, ‚Pemberian Nafkah Iddah Ditinjau dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam:
Studi Kasus di Pengadilan Agama Kelas IA Kota Mataram,‛dalam
Ganec Swara V11, No. 1, Maret 2017, h. 156. 42
Zakiyyah, ‚Status Nafkah, Maskan, dan Kiswah bagi Istri
yang Ditalak Ba’in Sugra,‛ (Tesis S2Fakultas Syari’ah, Univerisitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2017), h. 76. 43
Nurasiah, ‚Hak Nafkah, Mut’ah dan Nushu>z Istri (Studi
Kmparatif Undang-undang Hukum Keluarga di Berbagai Negara
Muslim,‛dalam Jurnal Al-Ah}wa>l: Jurnal Hukum Keluarga IslamVol
4, no. 1, 2011, h. 108. 44
Fatimah,‚Pemenuhan Hak Istri dan Anak Akibat
Putusnya Perkawinan Karena Perceraian: Studi Kasus di Pengadilan
Hak-Hak Perempuan
45
bahasa Indonesia disebutkan bahwa mut’ah adalah sesuatu
barang atau uang yang diberikan suami kepada istri yang
diceraikannya sebagai bekal hidup .45
Aturan mut’ah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
telah dijelaskan dalam Pasal 1, 149, 158, 159, 160. Pasal 1
dijelaskan bahwa mut’ah adalah pemberian bekas suami
kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda, uang atau
lainnya dan pasal 149 menyebutkan bahwa mut’ah merupakan
salah satu hak yang diterima oleh istri setelah terjadinya
perceraian. Dalam peraturan hukum Indonesia mut’ah dibagi
kedalam 2 bentuk yaitu mut’ah wajib dan mut’ah sunnah,
seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
158 Suami wajib memberikan mut’ah kepada istri yang
dicerai dengan syarat: (a) mahar belum ditetapkan, (b) istri
yang dijatuhkan t}ala>q ba’da al-dukhul, (c) perceraian terjadi
atas inisiatif suami dan pasal 159 suami disunnahkan
memberikan mut’ah kepada istri yang ditalak apabila tiga
syarat dalam pasal 158 tidak terpenuhi.46
Suami yang telah menceraikan istrinya sebelum
bersetubuh, tidak berkewajiban membayar sesuatu, namun
demikian sungguh bijaksana jika para suami memberikan
sesuatu kepadanya. Karena perceraian tersebut telah
menimbulkan sesuatu yang dapat mengeruhkan hati istri dan
keluarganya, pemberian tersebut sebagaimana ganti rugi atau
lambang hubungan persahabatan dengan mantan istri dan
Agama Banjarmasin,‛dalam Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan V4, no. 7, Mei 2014, h. 558.
45Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 768. 46
Soesilo dan Pramudji, dkk.,Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, (Rhedbook
Publisher, 2008), h. 536.
Hak-Hak Perempuan
46
keluarganya walaupun tanpa ikatan perkawinan.47
Jenis dan
kadar mut’ah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
ditentukan baerdasarkan kepatutan dan kemampuan suami.
c. Mahar
Perintah pemberian mahar kepada istri pada saat
akad nikah merupakan hak eksklusif perempuan yang
diberikan Tuhan. Menurut Khairuddin Nasution, status dari
pemberian dalam perkawinan adalah suatu pemberian
sukarela tanpa pamrih sebagai simbol cinta dan kasih sayang
dari calon suami kepada calon istrinya, bukan sebagai uang
pengganti untuk memiliki perempuan dan bukan untuk
mendapatkan layanan. Pada prinsipnya pasangan suami istri
adalah pasangan yang saling melayani dan dilayani, sehingga
dengan adanya status mahar dapat menjadi tujuan utama
sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.48
Pemberian mahar bernilai tinggi yang dapat memberikan
perlindungan sosio-ekonomi dan kemulian kepada calon istri.
Demi meningkatkan derajat kaum perempuan dan
melindungi mereka dari diskriminasi serta dinafikan haknya,
Islam mengatur sistem hukum yang berasaskan prinsip
keadilan dan kemaslahatan.49
Mahar yang telah diberikan
kepada istri pada saat akad nikah berlangsung menjadi hak
milik istri sepenuhnya, ketentuan tersebut terdapat dalam
pasal 32 Kompilasi Hukum Islam yang bunyinya: ‚mahar yan
47
Halimah B, ‚Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir
Kontemporer,‛dalam Jurnal Al-Risalah V15,no. 2, November 2015,
h. 10. 48
Khairuddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri: Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia &Tazzata,
2004), h 168. 49
Hasbi Muhammad Ali dan Raihanah,‚The Sharia
Objective of Giving Mahr,‛dalam Journal Fiqih no. 10, 2013, h. 74.
Hak-Hak Perempuan
47
diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan saat
itu menjadi hak pribadinya‛.
Kompilasi Hukum Islam secara jelas mengatur
mengenai ketentuan mahar untuk melindungi hak-hak istri,
meskipun terjadi perceraian istri masih memiliki hak atas
mahar yang telah diterimanya. Hal tersebut sesuai dengan
pasal 35 ayat (1) ‚suami yang mentalak istrinya qabla al-dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah
ditentukan dalam akad nikah‛.
Menurut Quraish Shihab, apabila perceraian
dijatuhkan sebelum terjadinya hubungan seks tetapi telah
disepakati kadar mahar sebelum perceraian, maka yang wajib
diserahkan oleh suami adalah seperdua (1/2) jumlah yang
ditetapkan. Jika telah bercampur sebagai layaknya suami istri,
tetapi belum ditentukan kadar mahar sebelum
menceraikannya, maka wajib dibayarkan oleh suami sejumlah
yang pantas bagi mantan istri yang status sosialnya sama
dengan status sosial istri yang diceraikan. Kewajiban itu tetap
berlaku kecuali jika mantan istri memaafkan secara tulus
untuk tidak menerimanya atau dimaafkan oleh orang yang
memegang hak nikah.50
d. Hak H{ad}a>nah
Dalam hukum Indonesia, pemeliharaan anak
diserahkan kepada ibu yang melahirkannya jika terjadi
perceraian.51
Menurut Baqir al-Habsi, ibu lebih memiliki
kemampuan untuk mendidik dan memperhatikan keperluan
anak yang masih dibawah umur. Jika pihak ibu tidak sanggup,
maka hak h}ad}a>nah beralih kepada kerabat yang lebih dekat
dengan ibu, apabila kerabat dari pihak ibu tidak ada atau
50
Halimah, ‚Konsep Mahar (mas kawin) Dalam Tafsir...,
h.170. lihat juga M. Quraish Shihab,Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Volume 2.
51Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 105.
Hak-Hak Perempuan
48
tidak memenuhi syarat sebagai pengasuh, maka kesempatan
jatuh kepada pihak ayah dengan skala prioritas.52
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai
salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan
penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak memiliki peranan
strategis dan mempunyai ciri dan sifat yang khusus, juga
memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan
sosial, serasi, selaras dan seimbang.53
Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak R.I No. 15 Tahun 2010, menjadi penting
untuk diprioritaskan.54
Berdasarkan hukum yang berlaku di
Indonesia, usia kedewasaan seorang anak berbeda-beda antara
dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Dalam UUP No. 1 Tahun 1974 pasal 47
ayat (1) dijelaskan bahwa anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada
dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut
dari kekuasaannya. Sedangkan dalam KHI mengatur secara
rinci mengenai h}ad}a>nah sebagaimana telah dijelaskan dalam
pasal 98 dan 105. Redaksi pasal 98 ayat (1) adalah batas usia
anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.55
52
Nuryanto, ‚Hadhanah Dalam Perspektif Hukum Keluarga
Islam,‛dalam jurnal Tapis V14, no. 02,2014, h. 225. 53
Mohammad Taufik Makarao, Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta:
Reneka cipta, 2013), h. 1. 54
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I
Nomor 15 Tahun 2010. 55
Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam..., h. 306.
Hak-Hak Perempuan
49
Redaksi pasal 105 menjelaskan bahwa ibu mendapat
prioritas utama dalam pengasuhan anak selama anak tersebut
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun. Setelah
mumayyiz anak diberikan kebebasan memilih ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Dalam pasal
34 ayat (1) UUP No 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa suami
mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberikan
segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan
rumah tangga. Apabila mantan suami ingkar terhadap
tanggungjawab, maka Pengadilan Agama setempat
menghukum bekas suami untuk membayar biaya h}ad}a>nah
sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan.
Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum
berdasarkan putusan Pengadilan.56
Moh Idris Ramulyo
menegaskan bahwa biaya pemeliharaan dan pendidikan
menjadi tanggungjawab ayah sepenuhnya dan jumlah nominal
biaya disesuaikan dengan kemampuan finansial atau besarnya
penghasilan sehari-hari. Apabila ayah tidak dapat mencukupi
sepenuhnya semua biaya tersebut, maka Pengadilan dapat
menetapkan ibu ikut memikulnya.57
Dalam substansi Undan-undang perkawinan Nomor. 1
Tahun 1974 pasal 41 ditegaskan bahwa kewajiban suami dan
istri kepada anak tidak pernah putus dengan adanya
perceraian. Pada dasarnya kewajiban orang tua terbagi kepada
dua bagian, pemeliharaan dan pendidikan. Hak untuk
dipelihara lebih mengacu kepada pemenuhan kebutuhan
secara lahiriah berupa, pemenuhan kebutuhan sandang,
pangan dan papan. Sedangkan hak untuk mendapatkan
pendidikan lebih mengacu kepada pembinaan kejiwaan atau
56
Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional: Pembebasan Berdasatkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1975, (Medan: Zahir
Trading, 1975), h. 214. 57
Syaifuddin, Hukum Perceraian..., h. 378.
Hak-Hak Perempuan
50
rohaniah anak berupa, memberikan pendidikan atau
pengajaran ilmu pengetahuan yang terdapat di jenjang
Sekolah.58
2. Dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990
pasal 8
Ketentuan-ketentuan dalam UUP dan KHI, terdapat
satu perangkat hukum dalam hukum positif Indonesia tentang
perkawinan bersifat khusus. Permasalahan kewajiban Pegawai
Negeri Sipil untuk memberikan sebagian gajinya kepada
mantan istrinya setelah perceraian.
Dalam PP No. 10 Tahun 1983 yang telah diubah
dengan PP No. 45 Tahun 1990 pasal 8 menyebutkan: (1)
apabila perceraian terjadi atas kehendak Pegawai Negeri Sipil
saja, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk
kehidupan mantan istri dan anak-anaknya, (2) pembagian gaji
yang dimaksud dalam ayat 1 ialah 1/3 untuk Pegawai Negeri
Sipil 1/3 untuk mantan istri dan 1/3 untuk anak, (3) apabila
dari perkawinan tersebut tidak ada anak, maka sebagian gaji
yang wajib diserahkan oleh Pegawai Negeri Sipil pria kepada
mantan istri 1/2 dari gajinya, (4) Pembagian gaji kepada bekas
istri tidak diberikan apabila alasan perceraian disebabkan
karena istri berzina, atau istri melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat lahir maupun bathin terhadap suami, atau
istri menjadi pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar
disembuhkan atau istri telah meninggalkan suami selama dua
tahun berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, (5) apabila
perceraian terjadi atas kehendak sendiri, maka ia tidak berhak
atas bagian penghasilan dari bekas suaminya, (6) ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (5), tidak berlaku
apabila istri meminta cerai karena dimadu atau suami berzina
atau suami melakukukan kekejaman atau penganiayaan berat
58
Syaifuddin, Hukum Perceraian..., h. 373-374.
Hak-Hak Perempuan
51
baik lahir maupun bathin terhadap istri atau suami menjadi
pemabuk, pemadat dan penjudi yang sukar disembuhkan atau
suami telah meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin istri dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
di luar kemampuannya. Dalam PP No. 10 Tahun 1983 ayat
(5) dan (6) diatas dicantumkan dalam ayat (4) dan (5) tetapi
penjelasanya belum terlalu sempurna, isi dari ayatnya sebagai
berikut: (4) pabila perceraian terjadi atas inisiatif istri, maka ia
tidak berhak atas bagian penghasilan dari bekas suaminya dan
(5) ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (4)
tidak berlaku, apabila istri meminta cerai karena dimadu.59
Pertimbangan hukum khusus bagi Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dalam peraturan pemerintah adalah penjabaran
dari UU No. 1 tahun 1974 dan sinkronisasi hukum terhadap
PP No. 9 tahun 1975 yang didasarkan atas asas-asas hukum
perceraian, yaitu asas mempersukar proses hukum perceraian
dan asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan
setelah proses hukum perceraaian.60
Proses perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil lebih
dipersulit, karena salah satu akibat yang ditimbulkan dari
perceraian tersebut adalah pengalihan sebagian gaji Pegawai
Negeri Sipil ke pihak istri sebagai kewajiban pemberian
nafkah pasca perceraian. Pembagian gaji tersebut sebagai
bentuk perlindungan terhadap hak-hak istri dan anak
diharapkan dapat lebih menjamin keadilan bagi kedua belah
pihak. Pihak suami akibatnya tidak semena-mena untuk
melakukan talak dan memikirkan secara matang mengenai
keputusannya untuk mengakhiri perkawinan.61
Menurut PP
59
Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam...,h. 256-
257. 60
Syaifuddin, Hukum Perceraian..., h.. 434. 61
Tri Wahyuni Herawati, ‚Perlindungan Hak Atas
Pembagian Gaji Akibat Perceraian yang Dilakukan Oleh Pegawai
Negeri Sipil,‛dalam LawJournal V6, no. 2,2017, h. 6.
Hak-Hak Perempuan
52
No. 30 Tahun 1980 jo PP No. 53 Tahun 2010, apabila
menolak melaksanakan pembagian gaji atau tidak mau
menandatangi daftar gajinya sebagai akibat dari perceraian
maka akan dijatuhi hukuman disiplin.62
Menurut Rachmadi
Usman, setelah terjadi perceraian bendahara gaji wajib
menyerahkan secara langsung bagian gaji yang menjadi hak
mantan istri dan anak-anaknya tanpa lebih dahulu menunggu
pengambilan gaji dari Pegawai Negeri Sipil mantan suami
yang telah menceraikannya. Bahkan mantan istri dapat
mengambil bagian gaji yang menjadi haknya secara langsung
dari bendaharawan gaji, melalui surat kuasa, dan dapat
meminta untuk dikirimkan kepadanya. Ketetapan dalam PP
No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990 pasal 8 untuk
melindungi istri dari kesewenangan kekerasan yang dilakukan
oleh suami dan untuk meminimalisir angka perceraian yang
terjadi dalam ruang lingkup Pegawai Negeri Sipil.
Terdapat perbedaan dalam penelitian Atho’
Urrohman bahwa Peraturan Pemerintah (PP) tidak diterapkan
dilingkungan Peradilan karena dua hal, Pertama, Peraturan
tersebut tidak termasuk hukum acara Peradilan yang harus
62
Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan
terhadap seorang Pegawai Negeri Sipil karena melanggar peratutan
disiplin Pegawai Negeri Sipil, PP No. 30 Tahun 1980 kini telah
diperbaharui dengan PP No. 53 Tahun 2010, tingkat dan jenis
hukuman disiplin adalah:(1)Jenis hukuman disiplin ringan adalah
teguran lisan, teguran tertulis dan pernyataan tidak puas secara
tertulis. (2)Jenis hukuman disiplin sedang adalah penundaan
kenaikan gaji berskala selama satu tahun, penundaan kenaikan
pangkat selama satu tahun, dan penurunan pangkat setingkat lebih
rendah selama satu tahun.(3)Jenis hukuman disiplin berat adalah
penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama tiga tahun,
pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih
rendah, pembebasan dari jabatan, pemberhentiaan dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri sebagai pegawai negeri sipil, dan
pemberhentian tidak dengan hormat sebagai pegawai negeri sipil.
Hak-Hak Perempuan
53
dipatuhi oleh Hakim. Kedua, bertentangan dengan hukum
Islam karena akan memberatkan suami dalam hal pembagian
gaji kepada mantan istri yang tidak ada lagi hubungan
perkawinan.63
Penulis setuju dengan hal pertama bahwa
Peraturan tersebut tidak terikat dengan hukum acara
Peradilan, melainkan tugas kewenangan admistrasi
kepegawaian. Sedangkan hal kedua, tidak bertentangan
karena peraturan Pemerintah termasuk aturan hukum dan
dapat melindungi istri dan anak.
C. Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian di Negara-Negara
Muslim
Di Yordania, ketentuan hak nafkah ‘iddah istri wajib
dibayar senilai dengan nafkah selama dalam ikatan
perkawinan, adapun besar kecilnya nafkah disesuaikan dengan
kondisi suami. Apabila suami menolak atau tidak mampu
membayar nafkah istri, dalam hal ini terdapat beberapa
penjelasan, (a) apabila suami tidak mau membayar nafkah dan
istri menuntut bayar, maka Hakim menetapkan hutang bagi
suami terhadap istri sejak adanya penolakan pembayaran (b)
apabila suami tidak mau membayar nafkah dan istri
menuntutnya, maka Hakim harus memberi izin kepada istri
untuk menagih kepada suami dengan kemampuanya (c)
apabila suami tidak ada ditempat sejak adanya tuntutan, maka
Hakim harus menuntut bayar nafkah yang diambil dari harta
kekayaan suami baik lewat piutang yang ada pada orang lain
atau semacamnya (d) nafkah istri dibayar oleh orang lain
63
Atho’ Urrohman, ‚Problematika Nafkah Istri Pasca Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil: Studi di Badan Kepegawaian Daerah
Kabupaten Malang, Pengadilan Agama Kota Malang dan
Pengadilan Agama Kabupaten Malang, ‛(Tesis S2 Fakultas al-
Ahwal al-Syakhshiyyah, Univeristas Islam Negeri Malang, 2017), h.
xv.
Hak-Hak Perempuan
54
menurut kemampuannya dan orang tersebut berhak menuntut
bayar kepada suami.64
Ketentuan hak ‘iddah istri dalam Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Malaysia terdapat beberapa
penjelasan, (a) Peradilan dapat memerintahkan suami untuk
membayar hak ‘iddah kecuali istri nushuz (b) istri berhak
tinggal dirumah mantan suami sebelum suami menyediakan
rumah tempat tinggal dengan ketentuan hak akomodasi
tersebut akan hilang jika ‘iddah habis atau mantan istri nikah
dengan orang lain (c) jumlah besarnya nafkah adalah
ketetapan Pengadilan berdasarkan kemampuan suami dan
kebutuhan para pihak, menariknya dalam undang-undang
Malaysia istri diberi nafkah sementara sebelum ada ketetapan
tetap (d) Nafkah juga menjadi hutang bagi suami jika tidak
dibayar terhitung sejak kewajiban membayarnya.65
Hak ‘iddah istri dalam peraturan Perundang-undangan
di dua Negara diatas dapat disimpulkan bahwa, di Yordania
disamping menjadikan hutang juga memberikan solusi dan
jaminan kepada istri untuk mendapatkan haknya. Sedangkan
di Malaysia, disamping menjadikan hutang juga diberikan
nafkah sementara sebelum ada ketetapan tetap. Hal ini lebih
menjamin hak nafkah istri pasca cerai.
Dalam Undang-undang hukum keluarga di Turki
menerapkan metode kebijakan Peradilan, melalui hukum
acara Peradilan suami istri dapat mengajukan permasalahan
yang timbul dalam keluarga untuk diselesaikan di depan
64
Muchammad Hammad, ‚Hak-hak Perempuan Pasca
Perceraian: Nafkah Iddah Talak Dalam Hukum Keluarga Muslim
Indonesia, Malaysia dan Yordania,‛dalam Al-Ah}wa>l: Jurnal hukum keluarga Islam V7, no. 1,2014/ 1435 H, h. 23.
65Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam
Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode, Materi, dan Status Perempuan Dalam Perundang-undangan Muslim‛, (Yogyakarta: Academia+Tazzafa,
2009), h. 99.
Hak-Hak Perempuan
55
persidangan. Dalam pasal 38 ayat (1) tahun 1951 telah
dijelaskan bahwa, bila reputasi salah satu pasangan terancam
rusak karena hidup bersama, maka suami istri dapat tinggal
terpisah dengan pasangannya. Sedangkan ayat (2) apabila
ancaman cukup bukti yang melegitimasi satu pasangan untuk
hidup terpisah, maka Peradilan dapat menetapkan pihak
suami untuk membayar nafkah dan mut’ah kepada pihak istri
yang dirugikan.
Dalam Pasal 32 huruf (b) belanja yang wajib
diberikan harus dibayar dalam jangka waktu tidak lebih dari
satu tahun sejak terjadinya perceraian. Namun, kewajiban
belanja tersebut dapat dihentikan bila istri kawin lagi atau
bila suami dapat menunjukkan bukti kepada Peradilan bahwa
istri yang dicerai tidak melarat lagi. Dalam pasal 40
menjelaskan bahwa suami yang tidak mau memenuhi
kewajiban nafkah kepada istri dan anak baik disengaja atapun
tidak, padahal ia sanggup untuk memenuhinya, maka
Pengadilan dapat menetapkan nafkah terebut sebagai hutang
yang harus dibayar oleh suami.66
Aturan hukum pemberian
mut’ah dalam peraturan Perundang-undangan di Negara ini
dapat menjamin hak istri dalam mendapatkannya, karena
Peradilan menyatakan hutang yang harus dibayar.
Dalam Peraturan Perundang-undangan Tunisia,
membuka kesempatan bagi istri yang mengajukan tuntutan
cerai dengan alasan bahwa kesalahan datang dari pihak suami.
Dalam hal ini suami harus membayar hak mut’ah istri sebagai
hak ganti rugi atas perbuatan suami, hak ganti rugi tersebut
diberikan selama istri belum menikah lagi atau selama
keadaan ekonomi istri tersebut belum pulih. Peraturan ini
dijelaskan dalam Undang-undang Hukum keluarga Tunisia
amandemen 1981 pasal 31 ayat (1) bahwa pihak yang
dirugikan secara materil dan moril akibat perceraian atas
66
Tahir Mahmood, Family Law Reform in The Muslim World,
(New Delhi: The Indian Law Institute, 1972), h. 18
Hak-Hak Perempuan
56
tuntutan suami atau istri dengan alasan penderitaan yang
diterimanya maupun akibat perceraian atas kehendak sepihak
suami atau istri dengan tanpa alasan, maka pihak tersebut
akan mendapatkan ganti atas kerugian dan penderitaannya.67
Dalam peraturan Perundang-undangan keluarga Islam
Kelantan No. 6 Tahun 2002 tentang mahar telah dijelaskan
bahwa seorang istri mempunyai hak penuh terhadap mahar
yang diberikan oleh suaminya dan hak ini tidak gugur
walaupun dengan berlakunya perceraian. peraturan dalam
Undang-undang ini menyatakan bahwa mahar yang tidak
dibayar menjadi hutang yang harus dibayar oleh suami secara
penuh, kecuali perceraian terjadi qabla al-dukhul maka istri
berhak mendapatkan setengah dari jumlah mahar yang
ditentukan dalam akad nikah.
Penjelasan diatas berdasarkan pasal 21 ayat (1) bahwa
mas kawin hendaklah biasanya dibayar oleh pihak lelaki atau
wakilnya kepada pihak perempuan atau wakilnya di hadapan
orang yang mengakadnikahkan perkawinan tersebut dan
sekurang-kurangnya dua orang saksi dan dalam pasal 59
berkaitan tentang hak istri terhadap mas kawin menjelaskan
bahwa tiada apa-apa jua yang terkandung dalam enakmen ini
boleh menyentuh apa-apa hak yang mungkin ada pada
seorang istri dibawah hukum syari’at terhadap mas kawinnya
dan pemberian kepadanya atau apa-apa bahagian daripada
apabila perkawinannya dibubarkan.68
67
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries, History,
Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of Law and
Religion, 1987), h. 157. 68
Mohd Khairul Anuar bin Ismail, ‚Kefahaman Wanita
Terhadap Peruntukan Hak Selepas Bercerai Menurut Enakmen
Undang-undang Keluarga Islam Negeri Kelantan No. 6 Tahun 2002:
Kajian di Kota Baru,‛ (Disertasi S3 Fakultas Syari’ah, Universitas
Malaya Kuala Lumpur, 2014), h. 85.
Hak-Hak Perempuan
57
Dalam hukum kelurga Kelantan juga mengatur hak
asuh anak yang belum mumayyiz akibat perceraian yang
terjadi diantara kedua orang tuanya, dalam pasal 82 ayat (1)
dijelaskan bahwa ibu adalah orang yang paling berhak untuk
menjaga anak kecilnya, selagi ibu tersebut masih dalam
perkawinan dan juga selepas perkawinan dibubarkan.69
Sama
halnya dalam hukum keluarga di Mesir bahwa istri memiliki
hak untuk mengasuh anak, jika anak laki-laki sampai umur 10
tahun dan anak perempuan sampai 12 tahun. Setelah habis
masa pengasuhan, Hakim dapat memerintahkan bahwa anak
yang dalam pengasuhan tetap pada ibu tanpa adanya upah
hingga berusia 15 tahun bagi anak laki-laki dan setelah
menikah bagi anak perempuan.70
Dalam hukum keluarga Tunisia juga menyebutkan
bahwa selama perkawinan anak dirawat kedua orang tuanya,
jika terjadi perceraian atau meninggal dunia, maka hak
pemeliharaan anak diberikan kepada istri sebagai ibu
kandungnya.71
Berdasarkan penjelasan dalam tiga Negara
diatas, jelas mengatakan bahwa ibu adalah orang yang paling
berhak untuk mengasuh anaknya.
69
Anuar, ‚Kefahaman Wanita Terhadap Peruntukan Hak…,‛ h.
96. 70
Pasal 20 Undang-undang Nomor 100 Tahun 1885 71
Tunisian Code of Personal Status Tahun 1958 pasal 57.
Hak-Hak Perempuan
58
Hak-Hak Perempuan
59
BAB III
PENETAPAN HUKUM PERCERAIAN DI PENGADILAN
AGAMA PADANGSIDIMPUAN
Bab tiga ini mendeskripsikan kelembagaan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan. Selain itu, dibahas pula
bagaimana sistim penetapan hukum perceraian di Pengadilan
Agama Padangsidimpuan. Gagasan utama bab tiga ini adalah
bahwa penetapan hukum di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan mengacu pada norma yang telah diatur
dalam Undang-Undang. Guna memperjelas tesis utama ini,
ada beberapa topik yang akan dibahas sebagai sub bab yaitu
mengungkap deskripsi Pengadilan Agama Padangsidimpuan,
peran PengadilanAgama Padangsidimpuan, dan norma-norma
penetapan hukum perceraian.
A. Deskripsi Pengadilan Agama Padangsidimpuan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan (selanjutnya
disingkat Pengadilan Agama PSP),1 merupakan salah satu
pilar lembaga peradilan di Indonesia.2Secara spesifik
Pengadilan Agama PSP termasuk lembaga peradilan khusus
seperti halnya Pengadilan Agama daerah lain, karena
ditujukan untuk umat Islam dengan lingkup kewenangan yang
khusus.3 Kewenangan khusus yang dimaksud adalah
1Nama Padangsidimpuan diambil dari kata ‚Padang na
dimpu‛ Padang artinya hamparan luas, na artinya di, dan dimpu
artinya tinggi, jika digabungkan maka akan memiliki arti ‚hamparan rumput yang luas yang berada di tempat yang tinggi‛.
http://penataanruangsumut.net/sites/default/files/Microsoft%20Wor
d%20%20KOTA%20PADANG%20SIDIMPUAN.pdf 2Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-
pokok kekuasan kehakiman dan yang terakhir telah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
kehakiman 3http://pa-padangsidempuan.net/v3/index.php/informasi-
umum/profil/sejarah
Hak-Hak Perempuan
60
menerima, memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, shodaqah dan menyelesaikan sengketa ekonomi
shari’ah. 4
Pengadilan Agama PSP memiliki visi mewujudkan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan yang Agung. Sementara
misinya adalah menjaga kemandirian, memberi pelayanan
hukum yang berkeadilan, meningkatkan kwalitas sumber daya
aparatur Pengadilan, dan meningkatkan kredibilitas serta
transparansi Pengadilan Agama Padangsidimpuan.5Secara
geografis, Pengadilan Agama PSP termasuk dalam wilayah
administratif Kota Padangsidimpuan, Provinsi Sumatera
Utara. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Padangsidimpuan
sendiri meliputi tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli
Selatan, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang
Lawas Utara. Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 14
(empat belas) kecamatan yaitu Kecamatan Arse, Aek Bilah,
Angkola Tano Tombangan, Angkola Barat, Angkola Selatan,
Angkola Timur, Angkola Sangkunur, Muara Batang Toru,
Batang Angkola, Batangtoru, Marancar, Saipar Dolok Hole,
Sayur Matinggi, dan Kecamatan Sipirok. Sementara
Kabupaten Padang Lawas terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan
yaitu Kecamatan Barumun, Barumun Tengah, Batang Lubu
Sutam, Huristak, Huta Rasa Tinggi, Lubuk Barumun, Sosa,
Sosopan dan kecamatan Ulu Barumun. Dan Kabupaten
Padang Lawas Utara terdiri dari 12 (dua belas) Kecamatan
yaitu Kecamatan Batang Onang, Dolok, Dolok Sigompulon,
Halongonan, Padang Bolak, Padang Bolak Julu, Portibi,
4Lihat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. 5http://pa-padangsidempuan.net/v3/index.php/informasi-
umum/profil/sejarah
Hak-Hak Perempuan
61
Simangambat, Hulu sihapas, Ujung Batu, Padang Bolak
Tenggara, dan kecamatan Halongonan Timur.
Pengadilan Agama PSP yang awalnya disebut
Mahkamah Syari’ah berdiri sejak tanggal 1 Juli 1958
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
Namun, setelah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974,
Mahkamah Syariah Padangsidimpuan dirubah menjadi
Pengadilan Agama Padangsidimpuan dengan wilayah hukum
Kabupaten Tapanuli Selatan. Dalam sejarahnya, Mahkamah
Syariah Padangsidimpuan terbentuk setelah Mahkamah
Syariah Sibolga dibentuk. Dalam hal ini, Keresidenan
Tapanuli setelah tahun 1950 dibagi menjadi tiga daerah
wilayah yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan tapanuli
Selatan. Masing-masing daerah wilayah ini kemudian
dibentuk Mahkamah Syariah Sibolga untuk Kabupaten
Tapanuli Tengah, Mahkamah Syariah Padangsidimpuan untuk
Tapanuli Selatan, dan Mahkamah Syariah Balige untuk
Tapanuli Utara.
Dahulu Pengadilan Agama Padangsidimpuan
beralamat di Jalan Williem Iskandar IV Kelurahan Sadabuan
Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kota Padangsidimpuan.
Pengadilan Agama Padangsidimpuan telah memiliki gedung
baru yang terletak di Jalan H. T. Rizal Nurdin KM. 07
Salambue, Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, Kota
Padangsidimpuan. Pengadilan Agama Padangsidimpuan
dibangun diatas tanah seluas + 5600 M2 dan luas Bangunan
943 M2 dengan dua lantai, dan dibangun pada tahun 2008 dari
DIPA Pengadilan Agama Padangsidimpuan Tahun 2008 dan
diresmikan pada hari hari kamis tanggal 25 Maret 2010 oleh
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) Dr H.
Harifin Tumpa, SH.
Pada tahun 2018 Pengadilan Agama
Padangsidimpuan pindah ke Jalan Lingkar luar, Komplek
Perkantoran Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan,
Desa Tolang-Sipirok. Berdasarkan surat edaran Mahkamah
Hak-Hak Perempuan
62
Agung Nomor 9 tahun 2018 tentang publikasi peresmian
Pengadilan Agama Padangsidimpuan menyaksikan secara
bersama-sama peresmian gedung baru Pengadilan Agama
melalui layanan youtube live streaming yang diresmikan oleh
Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Hatta Ali, SH. M.
Peresmian gedung baru Pengadilan Agama Padangsidimpuan
dapat menjadi penyemangat untuk memberikan pelayanan
yang terbaik, bentuk perhatian pemerintah (eksekutif) dan
Mahkamah Agung (yudikatif) ini untuk memaksimalkan
pelayanan masyarakat.6
Secara struktural, pada saat penelitian tesis ini
dilakukan yakni hingga tahun 2019, Pengadilan Agama PSP
dipimpin oleh Buniyamin sebagai ketua dan Eldi Harponi
sebagai wakil ketua. Berikut di bawah ini adalah bagan
struktur organisasi Pengadilan Agama Padangsidimpuan
1. 1 Gambar: Bagan Struktur Pengadilan Agama PSP
Sumber: Website Resmi Pengadilan Agama Padangsidimpuan
6http://www.pa-padangsidimpuan.net
Hak-Hak Perempuan
63
B. Peran dan Fungsi Peradilan Agama Padangsidimpuan
Peradilan Agama secara umum memiliki landasan
kedudukan yang sangat kuat. Pertama, Pengadilan Agama
dibangun untuk melengkapi tuntutan hukum yang hidup di
masyarakat. Kedua, Pengadilan Agama mengacu pada
peranan susunan Perundang-undangan. Ketiga, Pengadilan
Agama merupakan salah satu mata rantai Peradilan Islam
yang berkesinambungan sejak masa Rasulullah. Keempat, Pengadilan Agama dijunjung dan diminati oleh masyarakat
Islam Indonesia.7Karena itu, Pengadilan Agama
Padangsidimpuan memiliki kedudukan dan peran yang sangat
besar dalam tatanan sistem penegakan hukum di Indonesia.
Mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, disebutkan bahwa Pengadilan
Agama adalah salah satu lembaga kekuasaan kehakiman
sebagai subsistem dari sistem Peradilan Nasional yang
berpuncak pada Mahkamah Agung. Atas dasar Undang-
undang ini, Pengadilan Agama diakui sederajat dengan badan-
badan peradilan lainnya. Undang-undang tersebut menurut
Ahmad R akan membentuk disiplin, kepastian hukum, dan
meningkatkan kesejahteraan terhadap masyarakat.8Sejalan
dengan penyataan ini, keberadaan lembaga peradilan menurut
Jaenal Aripin merupakan sesuatu yang mutlak bagi umat
Islam (conditio sine quanon). Posisinya berbanding lurus
dengan adanya Islam dan muslim. Dengan demikian, fungsi
Pengadilan Agama Padangsidimpuan adalah sebagai lembaga
yang menyelesaikan sengketa di antara pemeluk Islam.
Peran dan fungsi Pengadilan Agama Padangsidimpuan
antara lain dapat dilihat dari tugas pokoknya. Tugas pokok
7Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam Dalam Tatanan
Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2000), h.
143. 8Ahmad R, ‚Peradilan Agama di Indonesia‛, dalam Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam YUDISIA V6, no. 2,2015.
Hak-Hak Perempuan
64
Pengadilan Agama Padangsidimpuan seperti yang telah
disebutkan di awal adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama Islam.9 Lebih lanjut peran dan fungsi Pengadilan
Agama Padangsidimpuan adalah mengadili (judicial power),10
pembinaan, pengawasan11
, nasehat12
, administratif13
,
koordinasi14
, dan pelayanan penyuluhan hukum. Fungsi
pembinaan misalnya, Pengadilan Agama Padangsidimpuan
berperan memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk
kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya,
baik menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan,
maupun administrasi umum/perlengkapan, keuangan,
9Pasal 2 jo. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agamahttp://pa-
padangsidempuan.net/v3/index.php/informasi-umum/profil/sejarah 10
Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima,
memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat pertama (
vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006). 11
Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan
melekat atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera,
Sekretaris, Panitera Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di
bawah jajarannya agar peradilan diselenggarakan dengan seksama
dan sewajarnya. 12
Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan
nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah
hukumnya, apabila diminta. 13
Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi
peradilan (teknis dan persidangan), dan administrasi umum
(kepegawaian, keuangan, dan umum/perlengakapan) 14
Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan
lain-lain
Hak-Hak Perempuan
65
kepegawaian, dan pembangunan.15
Begitu juga fungsi
pelayanan penyuluhan hukum, dimana Pengadilan Agama
Padangsidimpuan memberi pelayanan riset/penelitian dan
sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam era keterbukaan dan transparansi informasi
peradilan.16
Melihat pada tugas pokok dan fungsi normatif tersebut,
terlihat bahwa Pengadilan Agama Padangsidimpuan memiliki
peran dan fungsi yang sangat penting sebagai bagian dari
tatanan Hukum dan Peradilan Indonesia. Dalam konteks
kehidupan beragama dan bernegara, kedudukan kelembagaan
Peradilan Agama mengalami perkembangan yang signifikan
dalam memenuhi harapan masyarakat.17
Sebagaimana
dijelaskan oleh Hasanuddin ‚Kasus-kasus yang meningkat
dari tahun ke tahun mulai dari bidang perkawinan seperti
15
Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006
jo. KMA Nomor KMA/080/VIII/2006). 16
Lihat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/144/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di
Pengadilan. 17
A. Mukti Arto, ‚Peradilan Agama Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Historis, Filosofis, Ideologis,
Yuridis, Futuristis, Pragmatis,‛(Disertasi S3 Fakultas Hukum,
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2011), h. 5. Peradilan
Agama memiliki beberapa komponen untuk mencapai sebuah tujuan
demi tegaknya hukum dan keadilan dalam masyarakat. Pertama,
aturan hukum (formal dan materiil) sebagai petunjuk bagi aparat
peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kedua Hakim
yang bertugas untuk mengadili, memeriksa dan memutuskan
perkara yang diajukan kepadanya. Ketiga, panitera bertugas untuk
mencatat jalannya persidangan dan menjalankan putusan
pengadilan/eksekusi. Keempat, juru sita bertugas untuk
menjalankan perintah ketua sidang dan manjalankan sita atas
perintah ketua pengadilan. Lihat Domiri, ‚Analisis Tentang Sistem
Peradilan Agama di Indonesia,‛ dalamJurnal Hukum dan Pembangunan V47, no. 3, Juli-September 2016, h. 149-195.
Hak-Hak Perempuan
66
perkawinan tidak tercatat (isbath nikah), izin poligami,
bidang perceraian seperti cerai talak, cerai gugat (khulu’) dan
hak-hak yang timbul pasca perceraian, bidang warisan seperti
gugatan hak waris.18
Masyarakat memilih Pengadilan Agama sebagai
institusi hukum dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan diatas, hal ini membuktikan bahwa kepercayaan
masyarakat terhadap Pengadilan Agama mendapatkan
kepuasan (consumersatisfaction) dalam penyelesaian perkara
perdata.19
Sejalan dengan Hasil informasi dari peninjauan yang
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung, menemukan bukti
tingginya taraf kepuasan dengan pernyataan responden 63,3%
mengakui bahwa prosedur persidangan tidak menyebabkan
kekhawatiran, 64, 4% tidak ada pengunduran tempo, 81,1%
bersifat secara terang-terangan, 79,1% menangani perkara
dengan adil dan 75% pokok perkara persidangan dapat
dipahami.
Data-data di atas menunjukkan bahwa masyarakat
memandang Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksanaan
fungsi kehakiman di Indonesia yang dapat diandalkan. Proses
administrasi dan persidangan yang diputuskan dapat
memberikan rasa keadilan. Lahirnya putusan yang akurat
memperlihatkan, bahwa nilai-nilai hukum yang digunakan
adalah hukum pembuktian selama proses pemeriksaan perkara
berlangsung. Menurut Lawrence Meir Friedman dalam teori
Three Element Law System, Peradilan Agama merupakan
bagian dari struktur hukum (Legal Structure) harus benar-
benar unggul, independen, dan teruji.20
M. Scheltema
18
Wawancara pribadi dengan Hasanuddin, Padangsidimpuan
24 Juli 2018. 19
Wawancara pribadi dengan Hasanuddin, Padangsidimpuan
24 Juli 2018. 20
Jaenal Aripin, Reformasi Hukum di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peradilan Agama(Analisis Terhadap
Hak-Hak Perempuan
67
menyebutkan bahwa asas pemerintah dibentuk untuk
melakukan pelayanan terhadap masyarakat (The Beginsel van de diende overhead, government for the people). Setiap orang
akan mendapatkan jaminan hukum, karena proses
penyelesaian perkara bertindak sesuai dengan hukum yang
berlaku di Indonesia.21
Abdul Gani Abdullah (2015), dalam
penelitiannya tentang Peradilan Agama Dalam Pemerintahan
Islam di Kesultanan Bima (1947-1957) menunjukkan
keberadaan Agama/ Mahkamah Syariah di Bima sangat
ditentukan oleh kesadaran masyarakat muslim setempat akan
kebutuhan penegak hukum. Abdul gani menyimpulkan,
kualitas sebuah Pengadilan tidaklah terletak pada derajat
peraturan perundang-undangan yang membutuhkan, akan
tetapi terletak pada kemampuan menyelenggarakan tugas
peradilan dengan prosedur dan tatacara yang sejalan dengan
ketentuan yang dipandang berlaku atau yang dapat
diberlakukan.22
Dalam penelitian Stijn Cornelis Van Huis di
Pengadilan Agama Cinjur dan Bulukumba telah
membuktikan bahwa fungsi Pengadilan Agama mampu
memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang
berperkara.23
Mahkamah syari’ah aceh membenarkan hasil
Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi Tahun 1998-2008),h.
11-12. 21
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi
Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), h. 107. 22
Abdul Gani Abdullah, Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Kesultana Bima 1974-1957, (Jakarta: GENTA
Publising, 2015), h. 251. 23
Stijn Cornelis Van Huis ‚Islamic Courts and Women’s
Divorce Rights in Indonesia: The Cases of Cianjur and Bulukumba,‛
(Disertasi S3 Universitas Leiden, 2015). Lihat juga Stijn Cornelis
Van Huis, ‚Rethinking TheImplementation of Child Support
Dicisions Post-Divorce Rights and Acces to The Islamic Court in
Hak-Hak Perempuan
68
temuan Van Huis, dalam memberikan perlindungan hukum
dilakukan berbagai cara termasuk mamanfaatkan
kewenangan melakukan ex aequo etbono, yaitu
mengembangkan putusan demi mengejawantahkan rasa
keadilan.24
Menurut John R bowen (2003), Pengadilan Agama
telah berupaya memberikan efek positif berdasarkan keadilan
substantif terhadap putusan-putusan dalam perkara
perkawinan, perceraian dan waris. Dari hasil penelitiannya di
Pengadilan Agama (Mahkamah Syari’ah) Aceh Tengah,
Takengon yang terletak di dataran tinggi sumatera.
Berdasarkan pendekatan antropologi, pengadilan agama aceh
tengah telah berupaya memberikan pelayanan hukum
terhadap masyarakat.25
C. Mekanisme Pengajuan Perkara Perceraian dan Penetapan
Hukumnya di Pengadilan Agama Padangsidimpuan
1. Mekanisme Pengajuan Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama Padangsidimpuan
Tata cara dan prosedur perceraian dapat dibedakan ke
dalam dua macam sebagai berikut:
Cianjur, Indonesia‛, dalam Law, Sosial Justice & Global Development: An Electronic Law Journal(2011), h. 1
24Lies Marcoes Fadillan Dwianti Putri, Memastikan
Terpenuhinya Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian: Studi Kasus Gugat Cerai di Wilayah PA-PTA Sulawesi selatan,(Penelitian
Kebijakan: Rumah Kita Bersama, 2015), h.13. 25
John R Bowen,‚Fairness and Law in an Indonesia Court‛Pengadilan Islam di Aceh Tengah (Takengon) berkembang
dari institusi Hukum Islam yang sudah tua. Pada tahun 1945-1965)
Pengadilan Agama Takengon hanya dikelola oleh laki-laki pribumi
yang beberapa diantaranya tidak mengikuti pelatihan hukum formal
yang diajak untuk sering bertukar pikiran dalam meningkatkan
perkembangan hukum dalam ruang lingkup Pengadilan Agama.
Hak-Hak Perempuan
69
a. Perceraian atas inisiatif suami (cerai talak)
Dalam pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa, seorang suami
yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.26
Menurut analisa penulis, dalam putusan perkara cerai
talak suami telah mengajukan format permohonan yang
mengandung tiga hal penting. Pertama, identitas yang
memuat nama, umur, pekerjaan, agama, status, tempat tinggal
dan alamat. Kedua, posita yang merupakan alasan yang
konkret tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam rumah
tangga sehingga suami mengajukan permohonan cerai kepada
Pengadilan Agama. Alasan tersebut berupa, (1) istri
meninggalkan tempat kediaman bersama selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin suami dan tanpa ada alasan yang
jelas. (2) antara keduanya telah terjadi perselisihan dan
pertengkaran dalam rumah tangga. Ketiga, petitum yang
merupakan tuntutan cerai yang diajukan suami dapat
dikabulkan oleh Hakim dengan melihat alasan perceraian
dalam posita dan berdasarkan alat-alat bukti yang diajukan.
Dalam perkara cerai talak, suami disebut sebagai pemohon
dan istri sebagai termohon.27
Peraturan dalam hukum acara perdata, termohon
memiliki hak untuk mengajukan gugatan balik atau disebut
dengan rekonvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hal-hal
26
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013), h. 233. 27
Isi dari tiga format diatas terdapat dalam putusan cerai
talak pada
putusan97/Pdt.G/2014/PA.Psp,154/Pdt.G/2015/PA.Psp,341/Pdt.G/2
016/PA.Psp,155/Pdt.G/2014/PA.Psp,131/Pdt.G/2016/PA.Psp,66/Pdt.
G/2016/PA.Psp,181/Pdt.G/2014/PA.Psp,164/Pdt.G/2015/PA.Psp,16
4/Pdt.G/2016/PA.Psp,168/Pdt.G/2016/PA.Psp dan Nomor
144/Pdt.G/2016/PA.Psp
Hak-Hak Perempuan
70
yang berhubungan dengan hukum kebendaan, seperti hak-hak
istri yang timbul pasca perceraian. Dalam hal ini, ada gugatan
yang saling berlawanan yaitu gugatan konvensi (suami
sebagai pemohon) dan rekonvensi ( istri sebagai termohon).
Pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dalam satu
putusan untuk mempermudah prosedur pemeriksaan,
memudahkan acara pembuktian dan menghemat biaya.
b. Perceraian atas inisiatif istri( cerai gugat)
Dalam pasal 73 Undang-undang Nomor 73 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa, gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin
tergugat.28
Formulasi surat gugatan sama dengan dengan format
surat permohonan dalam cerai talak, sama-sama
mencantumkan identitas, posita dan petitum. Namun isi
posita dan petitum dalam cerai gugat ada perbedaan dengan
isi posita dan petitum dalam cerai talak, dalam posita cerai
gugat alasan yang diajukan istri berupa (1) suami
meninggalkan tempat kediaman bersama selama dua tahun
berturut-turut tanpa ada alasan yang jelas. (2) antara
keduanya telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam
rumah tangga. (3) suami melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan istri atau disebut
dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan (4)
karena suami telang melanggar sighat taklik talak. Sedangkan
dalam petitum istri mengajukan lebih dari satu gugatan
(bersifat komulatif), seperti gugatan cerai yang diajukan istri
28
M. Fauzan, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan
Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), h. 20.
Hak-Hak Perempuan
71
dapat dikabulkan oleh Hakim dengan melihat alasan
perceraian dalam posita dan berdasarkan alat-alat bukti yang
diajukan. Gugatan berikutnya seperti, mengajukan gugatan
pelunasan mahar dan hak asuh anak beserta nafkah sampai ia
dewasa. Dalam perkara cerai gugat, istri disebut sebagai
penggugat dan suami sebagai tergugat.29
Dalam menetapkan perkara perceraian, baik dalam
putusan cerai talak maupun dalam putusan cerai gugat.
Majelis hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan
menggunakan noma hukum yang ada dalam Undang-undang
berikut ini:
2. Penetapan Hukum Perceraian di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan
a. Undang-undang No. 1Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam Sebagai Hukum Materiil
Perbincangan seputar Undang-undang perkawinan
cenderung dianggap sebagai wilayah privat, tidak lepas dari
hukum keluarga dan memiliki peran penting dalam
melakukan sosialisasi nilai-nilai agama. Ikatan Sarjana
Wanita Indonesia (ISWI) dalam simposiumnya pada tanggal
29 Januari 1972, badan musyawarah organisasi-organisasi
islam wanita Indonesia dalam keputusaannya pada tanggal 22
Februari 1972 mendesak pemerintah untuk mengajukan
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perkawinan. Pada
tanggal 31 Juli 1973, pemerintah dapat menyiapkan sebuah
RUU perkawinan dengan tujuan: Pertama, memberikan
kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab
sebelum adanya Undang-undang perkawinan hanya bersifat
29
Isi dari tiga format diatas terdapat dalam putusan cerai
gugat pada
putusan152/Pdt.G/2015/PA.Psp,264/Pdt.G/2015/PA.Psp,54/Pdt.G/2
016/PA.Psp,33/ Pdt.G/2014/PA.Psp,197/ Pdt.G/2014/PA.Psp,13/
Pdt.G/2015/PA.Psp,07/ Pdt.G/2015/PA.Psp,128/ Pdt.G/2016/PA.Psp
Hak-Hak Perempuan
72
judge made law. Kedua, melindungi hak-hak kaum wanita,
memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga,
menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan
zaman.
Pada tanggal 2 Januari 1974 RUU disahkan sebagai
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, langkah-
langkah dan serangkaian pelaksanaan Undang-undang ini
dapat berjalan dengan lancar. Lahirnya undang-undang No 1
Tahun 1974 untuk mengadakan unifikasi dalam bidang
hukum perkawinan tanpa menghilangkan kebhinekaan yang
masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya
ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam
masyarakat Indonesia dan penerapan Undang-undang tersebut
dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam melalui Intruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan SK
Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.30
Perumusan Kompilasi Hukum Islam berawal dari
adanya surat keputusan bersama ketua Mahkmah Agung dan
Menteri Agama RI tentang pelaksanaan proyek
pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi No.
7/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985. Kemudian
melakukan penelitian dan pengkajian terhadap kitab-kitab
fikih dan yurisprudensi Pengadilan Agama, melakukan
wawancara dan juga studi banding ke beberapa Negara
muslim.31
30
Nafi’ Mubarok, “Sejarah Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia,”dalam AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic
Family Law V02, no. 02, Desember 2012, h. 140. 31
Moh . Asya’ri ‚Kompilasi Hukum Islam Sebagi Fiqih
Lintas Mazhab di Indonesia,‛dalam al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial V7 no. 2, Desember 2012, h. 239. Lihat juga Marzuki
Wahid dan Rumadi, Fiqih Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 158.
Hak-Hak Perempuan
73
Kompilasi Hukum Islam merupakan kumpulan
peraturan yang bersumber dari 13 kitab fikih yang bermazhab
syafi’i,32
Menurut Sudirman Tebba penggunaan kitab-kitab
fiqih tersebut dalam memutuskan perkara di Pengadilan
Agama dianggap terlalu banyak dan penggunaannya terasa
tidak praktis, dari argumentasi ini merupakan motivasi untuk
merancang Kompilasi Hukum Islam semakin dibutuhkan
untuk menghasilkan buku rujukan Hakim dalam memutuskan
perkara dan keseragaman putusan hukum di Pengadilan
Agama.33
Legislasi hukum Islam ke dalam hukum Nasional
merupakan bagian dari Taqnin al-Ahkam,34yang memiliki
kekuatan hukum bersifat mengikat dan berlaku secara umum,
formalisasi hukum Islam menjadi penting sebagai panduan
32
Yulkarnaini Harahap dan omara, ‚Kompilasi Hukum Islam
Dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan,‛dalam Mimbar Hukum V22, no. 3, Oktober 2010, h. 627.
33Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum islam Dalam
Sistem Hukum Nasional: Studi Tentang UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Bukum 1 Tentang Perkawinan,
(Jakarta:Gaung Persada, 2010). 34
Ujang Ruhyat Syamsoni, ‚Taqnin al-Ahkam: Legislasi
Hukum Islam ke Dalam Hukum Nasional,‛dalam Journal of Indonesian Islam Nur El-IslamV2,no. 2, Oktober 2015, h.169.
Tujuan taqnin atau legislasi hukum Islam oleh penguasa Negara
adalah untuk mengatur hubungan sesama manusia dalam suatu
masyarakat, agar menjadi lebih baik, aman, tertib dan penuh
keharmonisan. Jiwa, harta, kehormatan dan hak-hak asasi setiap
warga masyarakat dapat dilindungi oleh peraturan atau Undang-
undang yang berlaku. Lihat Mujar Ibnu Syarif, ‚ide taqnin ibn al-
Muqaffa dan Relevansinya dengan Penerapan Syariat Islam di
Indonesia,‛ dalam bukunya Masykuri Abdillah, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas,
(Jakarta: RENAISAN, 2005), h. 82.
Hak-Hak Perempuan
74
bagi para Hakim dalam menghasilkan kepastian
hukum.35
Menurut Febrizal Lubis:
Kompilasi Hukum Islam bukan sekedar sebagai buku
biasa, tetapi sudah termasuk dalam kategori fiqih
Indonesia yang sudah diformilkan oleh Negara.
Sebagaimana diketahui bahwa referensi yang diambil
dari berbagai sumber keislaman dan sudut pandang
keilmuan, sehingga layak dijadikan sebagai buku
pedoman Hakim.36
Dikuatkan oleh pendapat Qadri Azizi bahwa, ada beberapa
efek positif yang dapat diperoleh dari menjadikan nilai-nilai
fikih dalam peraturan Undang-undang: Pertama, substansi
hukum gampang dipahami karena susunannya lebih
sistematis. Kedua, penggabungan kedua sisi hukum dibuat
umtuk umum tanpa dibatasi oleh kalangan atau kelompok
tertentu. Ketiga, efek negatif bagi praktisi hukum lebih
rendah daripada harus mencari hukum yang tidak tercatat.37
Pendapat Febrizal Lubis, telah terbukti dalam putusan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan terkait tentang hukum
keluarga. Salah satunya tentang putusan perceraian dan hak-
hak istri yang timbul pasca perceraian bahwa, majelis hakim
mampu memberikan kepastian hukum (aspek yuridis) bagi
para pihak yang berperkara.
Berbeda dengan hasil penelitian Wardah Noroniyah
(2016) bahwa, Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan yang sudah bertahan selama 42 Tahun dan
35
Sumarni, ‚Kedudukan Hukum Islam Dalam Negara
Republik Indonesia,‛dalam Jurnal Al-‘adalah VX, no. 4, Juli 2012,
h. 452. 36
Wawancara pribadi dengan Febrizal Lubis,
Padangsidimpuan, 24 Juli 2018. 37
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari Aspek Metodologi, Legalisasi dan Yurisprudensi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007), h. 296-297.
Hak-Hak Perempuan
75
kompilasi hukum Islam (KHI) 25 Tahun, tampaknya rumit
mengatasi kasus hukum yang muncul sekarang ini. Menurut
Wardah, perlu dilakukan revisi supaya lebih sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Secara
metodologis, perlu bersifat moderat dengan menempatkan
antara nas}s}, maq>as}id (mas}lah}ah) dan ‘urf dalam posisi yang
sejajar dan dialektis.
1. 2 Gambar Bangunan Metodologi Pembaruan KHI
Nas}s}
Maqa>s}id ‘Urf
Sumber: Wardah Nuroniyah,‚Konstruksi ushul Fikih
Kompilasi Hukum Islam: Menelusuri Basis Pembaruan
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia‛(Disertasi S3 Fakultas
Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016), h. 222.
Dari gambar di atas, tiga hal saling terkait satu sama
lain dan berdialektika secara simultan dalam proses penetapan
hukum. Pemikiran hukum yang lebih mendahulukan nas}s}, maka pemikiran hukumnya akan cenderung tekstual.
Sementara yang lebih mendahulukan maslahah, maka akan
cenderung rasional dan yang lebih mendahulukan ‘Urf akan
lebih cenderung empiris-sosiologis. Pembaruan dengan
kerangka metodologi dialektis tersebut perlu dilakukan secara
kolektif, sehingga tidak saja melibatkan ulama, pemerintah
dan DPR, tetapi juga melibatkan para peneliti dan ahli dalam
bidang terkait, misalnya antropologi, sosiologi dan psikologi
Hukum
Islam
Hak-Hak Perempuan
76
keluarga serta ahli hukum adat.38
Namun dalam penelitian
Muhammad Silahuddin, Kompilasi Hukum Islam (KHI) masih
menghasilkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan
dalam putusan-putusan Pengadilan Agama.39
Menurut laporan
penelitian Jainal Aripin jika dilihat dari perspektif khazanah,
susunan, dan budaya hukum. Pengadilan Agama lebih
dipengaruhi oleh budaya, karena memperbaharui suatu tradisi
yang telah melekat bukan hal yang gampang.40
Usaha untuk merevisi Undang-undangPerkawinan
(UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menemukan jalan
buntu dan selalu saja menuai kontroversi yang luas, jika
terjadi kekosongan hukum di peradilan agama, disinilah posisi
signifikansi hakim dalam memperaharui hukum keluarga di
Indonesia melalui metode penemuan hukum, inovasi hukum
dan penafsiran hukum.41
Sama halnya dalam pandangan
Febrizal Lubis mengatakan
‚Bahwa ketika terjadi benturan hukum, Hakim sangat
berpengaruh dalam memecahkan suatu kasus demi
kebaikan para pihak yang berperkara. Salah satu
38
Wardah Nuroniyah, ‚Kontruksi Ushul Fikih Kompilasi
Hukum Islam: Menelusuri Basis Pembaruan Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia,‛ (Disertasi S3 Fakultas Hukum, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2016), h. 266. 39
Muhammad Silahuddin, ‚Efektifitas Kompilasi Hukum
Islam Sebagai Sumber Hukum: Studi Atas Hasil Putusan Perkara
Perceraian dan Poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Gresik
Tahun 2007-2008,‛ (Tesis S2 Fakultas Shari’ah, Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2008), h. 176. 40
Jainal Aripin, ‚Reformasi Hukum di Indonesia dan
Implikasinya Terhadap Peradilan Agama: Analisa Terhadap
Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi 1998-2008,‛(Disertasi
S3 Fakultas Shari’ah, Universitas IslamNegeri Jakarta, 2008), h
405. 41
Majalah Peradilan Agama, Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia, Edisi ke-7, Oktober 2015, h. 3.
Hak-Hak Perempuan
77
rujukan yang sangat relevan adalah kaidah
yurisprudensi yang telah memiliki kekuatan
hukum‛.42
b. Hak Ex Officio Hakim
Ex officio adalah kewenangan dan tanggung jawab
yang diberikan oleh Undang-undang kepada Hakim pemeriksa
perkara karena jabatannya untuk melakukan tindakan hukum
secara konkret di persidangan guna memberikan perlindungan
hukum dan keadilan kepada pencari keadilan maupun pihak
ketiga dalam perkara yang menurut hukum harus dilindungi
demi terwujudnya keadilan berdasakan ketuhanan yang Maha
Esa secara nyata.43
Dengan hak Ex Officioini, Hakim memiliki
wewenang untuk memutus perkara yang tidak ada dalam
tuntutan atau dapat memutus suatu perkara lebih dari yang
dituntut sekalipun tidak ada dalam tuntutan. Atas dasar hak
yang dimiliki tersebut, Hakim sepenuhnya memiliki
wewenang memutus perkara dengan tujuan agar kepastian
hukum, keadilandan dan kemanfaatan hukum dapat
diwujudkan dan dirasakan oleh pihak yang terlibat dalam
perkara perdata.44
Menurut analisa penulis, majelis hakim di Pengadilan
Agama Padangsidimpuan menggunakan hak ex officio dalam
perkara cerai talak dalam empat hal. Pertama, dalam
penetapan nominal biaya yang harus ditanggung suami
42
Wawancara pribadi dengan Febrizal Lubis,
Padangsidimpuan, 24 Juli 2018. 43
Mukti Arto, Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan
Keadilan: Penerapan Penemuan Hukum, Ultra Petita dan Ex Officio Hakim Secara Proporsional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018), h.
216. 44
J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, ( Jakarta: Sinar Grafika,
2007), hlm. 46. Lihat juga Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Cet. Ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011),hlm. 357.
Hak-Hak Perempuan
78
sebagai Pemohon kepada istri sebagai Termohon, karena
tidak ada kesepakatan bersama antara keduanya. Seperti
dalam putusan Nomor 97/Pdt.G/2014/PA.Psp, istri menuntut
hak nafkah ‘iddah sebesar Rp 4. 500.000. Sedangkan suami
menyanggupi sebesar Rp 500.000, maka majelis Hakim
menetapkan sesuai dengan keputusannya sebesar Rp
3.000.000 setiap bulannya. Begitu juga dalam putusan Nomor
154/Pdt.G/2015/PA.Psp, istri menuntut nafkah ‘iddah sebesar
Rp 3.000.000 dan mut’ah berupa cincin emas seberat 2 ame.
Sedangkan suami menyanggupi nafkah ‘iddah sebesar Rp
900.000 dan mut’ah seberat 1ame, maka Hakim menetapkan
sebesar Rp 2.000.000 dan cincin emas seberat 1ame sudah
mencukupi untuk mut’ah istri.
Kedua, dalam gugatan rekonvensi istri menuntut hak
pasca cerai yang harus dibayar oleh suami, namun suami tidak
bersedia untuk memenuhi tuntutan istri. Seperti dalam
putusan 97/Pdt.G/2014/PA.Psp, istri menuntut hak maskan
sebesar Rp 3.000.000, kiswah sebesar Rp 3.000.000 dan
mut’ah sebesar Rp 10.000.000. Sedangkan suami tidak
bersedia untuk memenuhi hak-hak tersebut tanpa ada alasan
yang pasti, maka majelis Hakim memberikan hak-hak istri
dalam gugatan rekonvensi yang disesuaikan dengan
kemampuan suami hak maskan Rp 1.500.00, kiswah Rp
1.500.000 dan mut’ah Rp 5.000.000.45
45
Norma atau argument hukum yang membenarkan hakim
menggunakan hak ex officio adalah pasal 41 huruf c Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 yang bunyinya ‚Pengadilan dapat mewajibkan
kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan atau
menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri‛ dan Kompilasi
Hukum Islam pasal 229 yang bunyinya ‚Hakim dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya, wajib
memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyaraka, sehingga putusan sesuai dengan keadilan.
Dua pasal ini memberikan kewenangan kepada hakim dalam
mengadili perkara perceraian. Lihat dalam Mukti Arto, Penemuan
Hak-Hak Perempuan
79
Ketiga, istri terbukti tidak berbuat nushu>z. Seperti
dalam putusan Nomor 341/Pdt.G/2016/PA.Psp, istri
mengajukan gugatan rekonvensi dengan tuntutan nafkah
‘iddah sebesar Rp 3.000.000 dan mut’ah Rp 1.000.000.
Sedangkan suami tidak bersedia untuk memenuhinya karena
dianggap istri telah berbuat nushu>z, namun mejelias Hakim
tetap memberikan hak ‘iddah dan mut’ah istri karena
berdasarkan alat bukti istri tidak terbukti berbuat nushu>z,
majelis Hakim menetapkan hak ‘iddah sesuai dengan tuntutan
istri Rp 3.000.000 dan mut’ah dalam bentuk emas seberat 5
gram. Begitu juga dalam putusan Nomor
169/Pdt.G/2016/PA.Psp dan Nomor 144/Pdt.G/2016/PA.Psp,
istri mengajukan rekonvensi dengan tuntutan pembagian gaji
suami sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sedangkan suami
tidak bersedia memenuhinya karena dianggap istri telah
berbuat nushu>z, namun majelis Hakim tetap mengabulkan
tuntutan rekonvensi karena setelah Hakim menelusuri
berdasarkan alat bukti istri tidak terbukti berbuat nushu>z,
tetapi dalam hal ini majelis Hakim menyerahkan kepada
institusi tempat suami bekerja karena pembagian gaji
merupakan hak Kewenangan Administrasi Kepegawaian.46
Keempat, dalam penetapan hak hadhanah dan nafkah
sampai ia dewasa. Seperti dalam putusan Nomor
Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan: Penerapan Penemuan Hukum, Ultra & Ex Officio Hakim Secara Proporsional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2018), h. 229-231.
46Norma atau argument hukum yang membenarkan hakim
menggunakan hak ex officio adalah Keputusan Mahkamah Agung
RI No.KMA/032/SK/IV/2006, ‚Pengadilan agama/Mahkamah
syari’ah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah
‘iddah atas suami kepada istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti
berbuat nushu>z. Lihat dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Buku II (Edisi Revisi 2010),
Mahkamah Agung RI: Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama,
2010, h. 153.
Hak-Hak Perempuan
80
164/Pdt.G/2015/PA.Psp, istri mengajukan tuntutan
rekonvensi tentang nafkah anak sebesar Rp 2.000.000. Dalam
hal ini majelis Hakim menambahkan jumlah nominal nafkah
anak dari Rp 2.000.000 yang tertera dalam gugatan
rekonvensi menjadi Rp 2.200.000 dengan alasan mengingat
ada perubahan nilai yang akan datang. Begitu juga dalam
putusan Nomor 164/Pdt.G/2016/PA.Psp, istri mengajukan
tuntutan rekonvensi tentang hak asuh anak dan nafkah
sebesar Rp 6.000.000 untuk tiga orang anak.Sedangkan suami
juga menuntut hak asuh anak berada dibawah kekuasaannya,
namun majelis hakim memberikan hak asuh anak tetap berada
dibawah asuhan ibu kandungnya karena menurut alat bukti
suami bukanlah ayah yang baik bagi anak-anaknya dan
menetapkan hak nafkah yang harus ditanggung oleh ayah
kandungnya sebesar Rp 1.500.000 untuk tiga orang anak.47
Dalam perkara cerai gugat, majelis Hakim di
Pengadilan Agama Padangsidimpuan menggunakan hak ex officio hanya dalam menentukan nominal hak nafkah anak
yang harus ditanggung oleh ayah kandungnya. Seperti dalam
putusan Nomor 128/Pdt.G/2016/PA.Psp, istri menuntut hak
nafkah anak sebesar Rp 2.000.000 setiap bulannya sampai
anak umur 21 tahun. Sedangkan Hakim memutuskan hak
nafkah anak yang harus ditanggung ayahnya sebesar Rp
1.000.000, bertimbangan Hakim berdasarkan bahwa ibu juga
mampu memenuhi kebutuhan anak karena juga memiliki
47
Norma atau argument hukum yang membenarkan Hakim
menggunakan hak ex officio adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 156 huruf (f) ‚Pengadilan dapat pula dengan mengingatkan
kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan
dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya‛. Hal ini demi
member perlindungan kepada anak. Lihat dalam Mukti Arto,
Penemuan Hukum Islam Demi Mewujudkan Keadilan: Penerapan Penemuan Hukum, Ultra & Ex Officio Hakim Secara Proporsional, (Yogyakarta: Pustaka Pelajara, 2018), h. 231.
Hak-Hak Perempuan
81
penghasilan dari hasil pekerjaannya sebagai perawat di
Rumah Sakit Umum Daerah Sipirok.48
Meskipun Hakim secara normatif dapat menggunakan
hak ex officio, namun dalam konteks Pengadilan Agama
Padangsidimpuan hanya 8 putusan dari 17 sampel putusan
yang dikaji menggunakan hak ex officio.
Menurut Buniyamin Hasibuan ‚Hakim tidak bisa
memberikan lebih dari apa yang dituntut, melainkan
memfasilitasi mediator untuk mediasi tentang hak-hak yang
timbul akibat perceraian seperti: hak ‘iddah, mut’ah, hak
h}ad}a>nah dan biayanya sampai ia dewasa.‛49
Sebagaimana
tertulis dalam gambar dibawah ini:
1. 3 Gambar Tentang Hak-hak yang Bersangkutan Berperkara
Sumber: Dokumentasi Pengadilan Agama Padangsidimpuan
48
Argument Hakim berdasarkan pasal 45 ayat (1) ‚kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya‛ dan ayat (2) ‚kewajiban orang tua yang dimaksud
dalam (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua putus‛ . Lihat Undang-undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974pasal 45 ayat (1) dan (2) 49
Wawancara pribadi dengan Buniyamin Hasibuan,
Padangsidimpuan, 24 Juli 2018
Hak-Hak Perempuan
82
Pendapat Buniyamin Hasibuan sesuai dengan apa
yang dikemukan oleh Yahya Harahap bahwa dalam proses
pemeriksaan perkara, Hakim tidak boleh mengabulkan
melebihi dari tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.
Argumen hukum berdasarkan pasal 178 ayat (3) HIR ‚Hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang dituntut atau memberikan lebih dari yang dituntut‛ dan pasal 189 ayat
(3) Rbg ‚Hakim dilarang memberikan putusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon‛.
50
Menurut hemat penulis, Hakim harus lebih mendalam
melihat isi petitum dalam duduk perkara dengan
memperhatikan faktor penyebab perceraian. Dalam putusan-
putusan perceraian, banyak hak-hak perempuan pasca
perceraian terabaikan karena tidak mengajukan tuntutan
rekonvensi. Dalam hal ini, Hakim dapat menerapkan hak ex officio sebagai kekuatannya untuk menetapkan hak-hak yang
timbul pasca perceraian selama mantan istri tidak terbukti
berbuat nushu>z. Sebagaimana penjelasan dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 152 ‚mantan istri berhak mendapatkan
hak nafkah ‘iddah dari mantan suaminya, kecuali ia nushu>z
dan keputusan Mahkamah Agung RI No.
KMA/032/SK/IV/2006 ‚Pengadilan Agama/Mahkamah
Shari’ah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban
nafkah ‘iddah atas suami kepada istrinya, sepanjang istrinya
tidak terbukti berbuat nushu>z‛
Pengadilan menjadi pegangan bagi ummat Islam
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam
ruang lingkup hukum keluarga, sedangkan Hakim sebagai
aktor utama dalam Institusi Peradilan menjadi penentu untuk
menghasilkan putusan berdasarkan hukum dan keadilan.
50
Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Hak-Hak Perempuan
83
BAB IV
IMPLEMENTASI HAK-HAK PEREMPUAN PASCA
PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
PADANGSIDIMPUAN
Implikasi dari adanya perceraian menimbulkan hak
dan kewajiban yang semestinya ditanggung oleh suami
terhadap mantan istri. Bab ini akan menganalisa
pertimbangan Hakim tentang hak-hak perempuan pasca
perceraian dalam perkara cerai talak maupun dalam perkara
cerai gugat.
A. Data Statistik Perceraian di Pengadilan Agama
Padangsidimpuan Tahun 2014-2016
Putusan tahun 2014-2016 menjadi putusan yang
peneliti analisis, sebagaimana dalam grafik berikut ini:
1.1 Grafik Perkara Tahun 2014-20161
1Data Perceraian di Pengadilan Agama Padangsidimpuan
tahun 2014-2016, kemudian diolah secara rinci. Dari hasil
Wawancara Pribadi dengan Buniyamin Hasibuan, Padangsidimpuan,
24 Juli 2018. Mengungkapkan bahwa, penyebab terjadinya
perceraian dengan berbagai faktor seperti faktor ekonomi, tidak ada
tanggung jawab, tidak ada keharmonisan, dan lain-lain.
0
100
200
300
400
500
2014 2015 2016
Series 1
Series 2
Series 3
Hak-Hak Perempuan
84
Tabel 1. 1 Perkara yang Diterima Tahun 2014-2016
No Perkara yang
Diterima
2014 2015 2016 Total
Perkara
yang
Diterima
1 Isbath Nikah 2 4 3 9
2 Gugatan Waris 1 1 6 8
3 Gugatan Harta
Bersama
2 5 1 8
4 Izin Poligami 1 1 - 2
5 Cerai Talak 66 68 104 238
6 Cerai Gugat 168 175 180 523
7 Pembatalan
Pernikahan
2 2
8 Gugatan Mahar 1 1
Putusan yang diterima dan diputusakan pada tahun
2014-2016 dengan bermacam-macam perkara yaitu isbath
nikah sebanyak 9 perkara, gugatan waris sebanyak 8, gugatan
harta bersama (gono-gini) sebanyak 8, izin poligami sebanyak
2, pembatalan pernikahan sebanyak 2, gugatan mahar hanya
1, perkara perceraian lebih dominan dengan angka 238 cerai
talak dan cerai gugat mencapai angka lebih tingggi sebanyak
532 putusan.
Tabel 1. 2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Cerai Talak
Tahun 2014-2016
No Faktor-faktor
Penyebab cerai
talak
2014 2015 2016 Total
1 Tidak Harmonis 44 56 72 172
2 Gangguan Pihak
Ketiga
9 13 17 39
3 Ekonomi 4 5 10 19
4 Tidak Ada 3 2 - 5
Hak-Hak Perempuan
85
Keturunan
6 Kekerasan fisik 1 - - 1
7 Cemburu 1 3 7 11
8 Salah Paham - 2 1 3
Setelah melakukan analisa, faktor penyebab
terjadinya cerai talak di Pengadilan Agama Padangsidimpuan
tahun 2014-2016 adalah adanya ketidak harmonisan,
gangguan pihak ketiga, ekonomi, tidak ada keturunan,
kekerasan fisik, cemburu dan kesalah pahaman antara suami
istri. Dari data tabel di atas faktor penyebab terjadinya
perceraian atas inisiatif suami/cerai talak di dominasi dengan
ketidak harmonisan dalam keluarga, penyebab
ketidakharmonisan dalam hubungan rumah tangga tentunya
dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Keterikatan yang kompleks antar anggota keluarga
yang relatif banyak dan terdiri dari beberapa unsur juga
memungkinkan dapat memperbesar peluang terjadinya
konflik, karena setiap individu tidak selalu mempunyai cara
pandang yang sama. Di sisi yang lain rasa saling perngertian
terkadang tidak selalu diciptakan, sehingga membuka peluang
terjadinya gesekan antara satu dengan yang lainnya dan
masalah sederhana dapat berkembang menjadi masalah yang
serius. Perceraian pada dasarnya sangat erat kaitannya dengan
tanggung jawab dan menegeman rumah tangga yang antara
lain berfungsi agar potensi permasalahan yang rumit tidak
terwujud menjadi bentuk yang aktual.2Dalam kondisi riilnya
masih banyak pasangan suami istri tidak mengindahkan
prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang diajarkan agama dalam
menjalankan hubungan keluarga.3
2M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misba>h: Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur’an, Vol. 2 (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 404. 3M. Syaifuddin dan Tri Turatmiyah, ‚Perlindungan Hukum
Terhadap Poses Gugat Cerai (khulu’) di Pengadilan Agama
Hak-Hak Perempuan
86
Tabel 1. 3 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Cerai Gugat
Tahun 2014-2016
No Faktor-faktor
Penyebab cerai
gugat
2014 2015 2016 Total
1 Tidak ada tanggung
jawab (ekonomi)
90
92 118 300
2 Kekerasan fisik 17 18 20 55
3 Cemburu 12 11 10 33
4 Gangguan pihak
ketiga
18 18 26 62
5 Tidak ada keturunan 2 5 6 13
6 Nikah dibawah
tangan
1 2 - 3
7 Poligami tanpa izin
istri
1 4 1 6
8 Penyakit impotensi 1 - - 1
9 Marah tanpa alasan 12 10 18 40
10 Gangguan jiwa - - 2 -
Faktor penyebab terjadinya cerai gugat di Pengadilan
Agama Padangsidimpuan tahun 2014-2016 adalah adanya
tidak ada tanggung jawab, kekerasa fisik, cemburu, gangguan
pihak ketiga, tidak ada keturunan, nikah dibawah tangan,
poligami tanpa izin istri, penyakit impotensi, marah-marah
tanpa alasan dan gangguan kejiwaan. Dari data tabel diatas
faktor penyebab terjadinya perceraian atas inisiatif istri/cerai
gugat didominasi dengan tidak ada tanggung jawab, meskipun
dalam Undang-undang perkawinan telah diatur hak dan
kewajiban suami istri. Sebagai kepala rumah tangga, seorang
suami dibebankan tanggung jawab untuk menjamin
Palembang‛, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 2, Mei
2000, h. 249.
Hak-Hak Perempuan
87
kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya, sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an:
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-
laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena
mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shaleh
adalah mereka yang ta’at kepada Allah dan manjaga
dari ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah
manjaga mereka (perempuan-perempuan) yang kamu
khawatirkan akan nushu>z, hendaklah kamu beri nasehat
kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur
(pisah ranjang) dan kalau perlu pukul mereka. Tetapi
jika mereka mena’atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh,
Allah maha tinggi, maha besar. (Q. S. A; Nisa>’ [4]: 34).
Ketika suami sering lalai dan tidak bertanggung jawab akibat
minimnya ekonomi yang dia miliki serta suami tidak segenap
jiwa memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap
istri, bahkan tidak sedikit yang memperlakukan istrinya
dengan kasar. Maka tidak jarang istri akhirnya memilih untuk
memutuskan dengan memilih sebagai janda dari pada
berstatus sebagai istri dari suami yang tidak bertanggung
jawab sepenuhnya. Menurut Buniyamin, faktor ekonomi yang
tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari akan menjadi
sebab hilangnya kebahagian dalam keluarga, karena
kekurangan dalam masalah ekonomi seringkali istri
mengambil keputusan sendiri untuk keluar rumah serta
mencari nafkah tanpa ada bantuan dari pihak lain.4
Dalam hasil penelitian Kementrian Agama RI Badan
Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan di
beberapa kota di Indonesia seperti Banda Aceh, Padang,
4Wawancara Pribadi dengan Bunyamin Hasibuan,
Padangsidimpuan, 24 Juli 2018.
Hak-Hak Perempuan
88
Cilegon, Indramayu, Pekalongan, Banyuwangi dan Ambon.
Angka perceraian setiap tahunnya didominasi oleh cerai gugat
dan mayoritas yang menjadi penyebab perceraian adalah
faktor ekonomi, menurut sejumlah tokoh masyarakat di
masing-masing tempat bahwa perkara cerai gugat terkait erat
dengan kesadaran masyarakat dalam memahami nilai
perkawinan yang masih rendah. Pada dasarnya merefleksikan
adanya realitas kehidupan rumah tangga yang tidak sejalan
dengan harapan yang diimajinasikan oleh perempuan sebagai
istri, terkadang istri masih mengedepankan pola relasi yang
ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dimana laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan
perempuan sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian,
peran kepala rumah tangga menjadi suatu tuntutan yang harus
dipenuhi laki-laki sebagai suami.5Sama halnya dengan
persepsi Hasanuddin ‚rendahnya kepedulian terhadap
keluarga‛.6
Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di
tengah masyarakat Indonesia pada umumnya dan di
Padangsidimpuan (Sumatera Utara) khususnya
mengakibatkan perubahan drastis terhadap kondisi perempuan
baik dibidang ekonomi yang semakin meningkat, maupun
pendidikan yang tinggi di kalangan kaum perempuan pun ikut
mempengaruhi tingginya gugat cerai yang diajukan istri
terhadap suami.7Pernyataan ini juga dibenarkan oleh seorang
5Iklilah Muzayyanah, dkk., Ketika Perempuan Bersikap:
Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim, (Jakarta: Kementrian Agama
RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan,
2016), h. 64. 6Wawancara Pribadi dengan Hasanuddin,
Padangsidimpuan, 24 Juli 2018. 7M. Syaifuddin dan Tri Turatmiyah, ‚Perlindungan Hukum
Terhadap Poses Gugat Cerai (khulu’) di Pengadilan Agama
Palembang‛, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12, No. 2, Mei
2000, h. 252.
Hak-Hak Perempuan
89
praktisi hukum (advokat) di Palembang (Sumatera Selatan)
bahwa, tingginya gugat cerai yang dilakukan oleh para istri di
antaranya karena pola pikir perempuan mengalami perubahan
akibat adanya peningkatan pendidikan, terbukanya
komunikasi dan informasi melalui media massa sehingga
mereka tahu akan hak dan kewajibannya sebagai seorang istri.
Pada saat merasa sudah tidak nyaman dengan kehidupan
dalam rumah tangganya karena tidak mendapatkan
perlindungan dan kebutuhan ekonomi dari suami, maka ia
mengambil keputusan untuk mengakhiri perkawinannya.8
Dalam hasil penelitian Ummu Shofiyah dijelaskan
bahwa, tingkat pendidikan perempuan berpengaruh terhadap
gugat cerai. Perempuan yang memiliki tingkat pendidikan
setingkat SLTA/sederarajat keatas memiliki peluang lebih
besar untuk bercerai dibandingkan dengan perempuan yang
mempunyai tingkat pendidikan lebih rendah yaitu setingkat
SLTP ke bawah, hal ini ditunjukkan berdasarkan hasil analisis
frekuensi item yang menunjukkan bahwa responden yang
mengajukan gugat cerai sebanyak 78% berpendidikan
setingkat SMA ke atas. Sedangkan perempuan yang bekerja
dan mempunyai pendapatan memiliki peluang tinggi untuk
gugat cerai dibandingkan dengan perempuan yang tidak
bekerja, hal ini dibuktikan dengan hasil frekuensi item yang
menunjukkan sebanyak 80% responden yang mengajukan
gugat cerai memiliki pendapatan tetap sendiri.9
8Hasil wawancara Wahyu Ernaningsih dkk dengan Titis
Rahmawaty dalam ‚Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang‛ Laporan Penelitian Hibah Kompetitif Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya dan Dipa UNSRI Nomor: 0200.0/23-042/VI
2009 Tanggal 9 November 2009. 9Ummu Shofiyah, ‚Pengaruh Pendidikan dan Kemandirian
Ekonomi Perempuan TerhadapGugat Cerai: Studi Kasus Gugat
Cerai di Pengadilan Agama Jakarta Selatan‛, (Tesis S2 Fakultas
Shari’ah,Universitas Islam Negeri Jakarta, 2016), h. 111.
Hak-Hak Perempuan
90
B. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Hak-hak
Perempuan Pasca Perceraian Dalam Perkara Cerai Talak
Berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat 1 huruf (a) jo
ayat (2) nomor (8) penjelasan dari Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dan juga berdasarkan
ketentuan pasal 66 dari Undang-Undang tersebut, maka
perkara cerai talak dalam bidang perkawinan menjadi
kewenangan absolut dan relatif dari Pengadilan Agama untuk
mengadilinya dan mempertimbangkan lebih lanjut. Hakim
hanya mengizinkan kepada pihak suami untuk menjatuhkan
t}ala>q raj’i> terhadap istri di depan sidang Pengadilan, dalam
hukum keluarga Islam talak merupakan kesempatan kedua
yang diberikan kepada suami untuk kembali membina
keluarga selama istri masih dalam keadaan masa ‘iddah.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚T{ala>q (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik‛. (Q. S. A; Baqarah [2]: 229).
Tujuan Hakim mengabulkan permohonan cerai talak adalah
untuk menutupi peluang-peluang atau kesempatan-
kesempatan melakukan tindakan kejahatan dari efek negatif
akibat pertengkaran dan perselisihan yang terjadi, unsur
bathin/rohani dalam hubungan suami istri yang terkandung
dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 tidak bisa lagi
dibendung dan harapan membentuk keluarga sakinah,
sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Dan jika kamu sudah sudah berketetapan hati untuk
bercerai, maka sesungguhnya Allah maha mendengar
lagi maha me‛getahui” (Q. S. A; Ru>m [30]: 227).
Mempertahan rumah tangga dalam kondisi tidak sehat,
dikhawatirkan bisa menjadikan kerusakan yang lebih rumit
daripada mengharapkan kebaikan. Sebagaimana yang
terkandung dalam kaidah fikih:
Hak-Hak Perempuan
91
المصالح ول من جلب درئ المفاسد أ ‚Menolak kerusakan lebih utama daripada mengambil
kebaikan‛10
Majelis Hakim memutuskan jalan terbaik bagi
Pemohon dan Termohon adalah bercerai supaya terlepas dari
ketegangan dan penderitaan batin yang berlarut-larut.
Tindakan Hakim dalam pengambilan keputusan sesuai dengan
dengan pasal 19 huruf (f) peraturan pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan yang bunyinya: ‚antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga”.11Prinsip ini pertama kali diterapkan
dalam yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 38
K/AG/1990, bahwa perkara perceraian dengan alasan
perselisihan dan pertengkaran suami istri yang terus menerus
dan tidak ada harapan untuk hidup rukun dalam keluarga
tidak perlu lagi dicari siapa yang menimbulkan penyebab
perselisihan.12
Selanjutnya muncul dalam yurisprudensi
Nomor 226/K/AG/1993, yurisprudensi Nomor 90/K/AG/1993,
yurisprudensi Nomor 534/K/AG/1996, yurisprudensi Nomor
10
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Shuyu>t}i, al-
Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi Qawa>’id wa Furu>’ Fiqh al-Shafi’i (Beirut:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015), h. 235. 11
Pasal ini bertujuan untuk menolak sesuatu bahaya yang
lebih besar daripada mewujudkan kemaslahatan yang diperolehnya
untuk menggapai beberapa kemanfaatan bagi pencari keadilan.
Ahmad Syahrur Sikti, ‚Daf’u al-Darar Dalam Putusan Hakim
Pengadilan Agama: Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama
se-Wilayah DKI Jakarta Tahun 2010-2014‛, (Disertasi S3 Fakultas
Sahari’ah Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015), h. 82. 12
Edi Riadi, ‚Dinamika Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Dalam Bidang Perdata Islam‛(Jakarta: Gramata
Publising Anggota IKAPI, 2011), h. 168.
Hak-Hak Perempuan
92
273/K/AG/1 dan yurisprudensi Nomor 44/K/AG/1998. Kaidah
Yurisprudensi adalah putusan-putusan yang memiliki
kekuatan hukum tetap yang sama dengan Undang-undang
serta dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan
tingkat kasasi.13
Sebagai alternatif referensi Hakim di
bawahnya dalam memutuskan perkara perdata, yurisprudensi
dapat dijadikan sebagai ijtihad untuk menjawab kekosongan
hukum yang tidak sepenuhnya dijelaskan dalam hukum
materiil Pengadilan.14
Dalam hasil penelitian Nurul Hikmah di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan yurisprudensi juga menjadi
bahan rujukan hakim dalam memutuskan perkara perceraian.15
Implikasi dari adanya perceraian menimbulkan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang harus di penuhi oleh suami.
Apabila perceraian terjadi karena talak, maka mantan suami
wajib memberikan hak nafkah selama dalam ‘iddah, hak
mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, melunasi mahar
yang masih terhutang dan memberikan biaya h}ad}a>nah untuk
anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 Tahun.16
Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan Pemohon dan Termohon, Pengadilan dapat
menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami dan
13
Rahmah Ningsih, ‚Yurisprudensi Sebagai Alternatif
Refrensial Hakim Dalam Memahami Konstitusi‛Staatsrecht :Indonesian Constitutional Law Journal V1, no 1, January 2017.
Lihat Nora Eka Putri ‚Hak Hadanah pada Ayah: Analisis
Yurisprudensi Mahkamah Agung,‛ (Tesis S2 Fakultas Shari’ah
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017). 14
Wawancara Pribadi dengan Febrizal Lubis,
Padangsidimpuan, 24 Juli 2018. 15
Nurul Hikmah ‚Penerapan Nushu>z di Pengadilan Agama
Jakarta Selatan: Analisis Putusan Perceraian Tahun 2014-2015,‛
(Tesis S2 Fakultas Shari’ah, Universitas Islam NegeriJakarta,
2017), h. 117 16
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (a), (b), (c)
dan (d)
Hak-Hak Perempuan
93
menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan
dan pendidikan anak.17
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Uundang-undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
terdapat satu perangkat hukum tentang perkawinan bersifat
khusus mengenai permasalahan kewajiban Pegawai Negeri
Sipil (PNS) untuk memberikan sebagian gajinya kepada
mantan istri dan anak-anaknya setelah perceraian.18
Untuk melihat pertimbangan Hakim dalam
memutuskan perkara hak-hak istri pasca cerai talak, peneliti
menganalisis sebagai berikut:
1. Hak Nafkah ‘Iddah dan Mut’ah a. Putusan Nomor 97/Pdt.G/2014/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Subriadi Hasibuan bin Mahad
Hasibuan, umur 33 tahun, pekerjaan sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS), tempat tinggal Gang Salman Hasibuan kelurahan
Bonan Dolok, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kota
Padangsidimpuan. Termohon bernama Sari Hafni S. Ag binti
Muhammad Amin Harahap, umur 35 tahun, pekerjaan sebagai
guru honor. Pemohon dengan suratnya pada tanggal 10 April
2014 mengajukan permohonan dengan dalil bahwa Pemohon
telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon pada
tanggal 13 Agustus 2006 di Kecamatan Siais. Pada awal
pernikahan Pemohon dan Termohon rukun dan harmonis
dalam membina rumah tangga, namun pertengahan tahun
2013 terjadi pertengkaran dan perselisihan karena Termohon
tidak bisa memberikan keturunan dan sejak saat itu keduanya
telah pisah tempat tinggal. Berdasarkan dalil diatas, Pemohon
17
Lihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 24 ayat 2 huruf (a) dan (b). 18
Lihat Peratutan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 yang
telah diubah dengan PP No. 45 Tahun 1990 pasal 8 huruf (a) sampai
dengan (f)
Hak-Hak Perempuan
94
bermohon kepada Ketua Pengadilan Agama Padangsidimpuan
agar memberikan keputusan menerima dan mengabulkan
permohonan Pemohon seluruhnya serta mengizinkan kepada
Pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap
Termohon.
Berdasarkan permohonan Pemohon diatas, Termohon
menyangkal keras alasan Pemohon kecuali yang diakuinya
adalah bahwa benar Termohon adalah istri dari Pemohon.
Tidak benar adanya bahwa Pemohon dan Termohon
bertengkar karena belum memiliki keturunan, puncak
pertengkaran yang sebenarnya adalah Pemohon pergi
meninggalkan Termohon, kemudian abang kandung dari
Pemohon datang kerumah orang tua Termohon dengan
memberikan penjelasan bahwa Pemohon dan Termohon harus
bercerai. Pada intinya Termohon tidak menginginkan
perceraian dengan Pemohon, karena Termohon masih
berkeinginan untuk menjalankan bahtera rumah tangga
dengan baik dan usaha untuk mendapatkan keturunan telah
Termohon jalankan baik secara medis maupaun tradisional.
Apabila Pemohon tetap menginginkan perceraian, maka
Termohon menuntut agar Majelis Hakim berkenan
menetapkan Pemohon untuk memberikan hak pasca cerai
sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu, hak nafkah ‘iddah
sebesar Rp 4. 500.000, maskan sebesar Rp 3.000.000, kiswah
sebesar Rp 3.000.000 dan mut’ah sebesar Rp 10.000.000.
Dalam deskripsi kasus diatas dapat ditarik dua
permasalahan. Pertama, tentang permohonan Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak kepada Termohon dapat dikabulkan
dengan mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak satu raj’i
kepada Termohon.
Majelis Hakim mengabulkan karena menemukan
fakta dari tiga orang saksi yang diajukan Pemohon
mengatakan bahwa penyebab pertengkaran dan perselisihan
yang terjadi karena belum dikarunia keturunan sehingga
mengambil jalan untuk pisah tempat tinggal. Tindakan
Hak-Hak Perempuan
95
Pemohon dan Termohon dianggap telah keluar dari rumusan
Kompilasi Hukum Islam ayat 3, sehingga dapat dipastikan
tidak mampu lagi berbagi rasa dalam melestarikan rumah
tangga yang sakinah mawaddah warahmah sebagai tujuan dari
perkawinan. Kedua, tentang hak Termohon sebagai istri pasca
cerai menjadi fokus dalam pembahasan ini. Majelis Hakim
mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Termohon berupa
hak nafkah ‘iddah, maskan, kiswah dan mut’ah.
Hak-hak sebagaimana yang disebutkan diatas adalah,
(1) Termohon menuntut hak nafkah ‘iddah sebesar Rp
4.500.000, namun Pemohon hanya menyanggupi sebesar Rp
500.000. Karena tidak ada kesepakatan bersama, maka
Majelis Hakim menetapkan kepada Pemohon untuk
membayar nafkah ‘iddah sebesar Rp 3.000.000. (2) Maskan
sebesar Rp 3.000.000 dan kiswah Rp 3.000.000, namun
Pemohon tidak menyanggupi untuk membayar dan tidak
menyebutkan alasanya. Majelis Hakim menetapkan untuk
membayar maskan sebesar Rp 1.500.000 dan kiswah Rp
1.500.000. sesuai dengan penjelasan pasal 149 huruf (b)
‚mantan suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah
kepada istri selama dalam ‘iddah, kecuali mantan istri telah
diajatuhi t}ala>q ba’in atau nusyu>z dan dalam keadaan
hamil‛.Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka (para ibu) dengan cara yang patut. Seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya‛. (Q. S. A; Baqarah [2]: 233). Dalam kitab Iqna>’ karya Shamsuddi>n Muh}ammad ibn
al-Sharbi>niy juga dijelaskan sebagai berikut:
كن والن فقة و ة الرجعية الس الكسوة وللمعتد
Hak-Hak Perempuan
96
‚Bagi perempuan yang menjalani masa ‘iddah raj’i
mempunyai hak tempat tinggal, nafkah dan
pakaian‛.19
(3) Mut’ah sebesar Rp 10.000.000, namun Pemohon tidak
menyanggupi untuk membayar dan tidak menyebutkan
alasannnya. Majelis Hakim menetapkan besarnya mut’ah
sebesar Rp 5.000.000, sesuai dengan penjelasan pasal 149
huruf (a) ‚mantan suami wajib memberikan mut’ah yang
layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali mantan istri tersebut qabla al-dukhul‛, pasal 158
‚mut’ah wajb diberikan oleh mantan suami dengan syarat: (a)
belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul, (b)
perceraian itu atas kehendak suami dan 159 ‚mut’ah sunnat
diberikan oleh mantan suami tanpa syarat tersebut pada pasal
158‛. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa‛.( Q. S. A;Baqarah [2] 241).
Menurut Ibn Umar dan Ibn Syihab dalam kitabnya al-Hawalik
Syarh ‘Ala Muwaththo Malik bab mut’ah talak halaman 94
sebagai berikut
عة كل مطلقة م ت ‚Setiap istri yang ditalak ada mut’ahnya‛
Majelis hakim menetapkan nafkah maskan dan
kiswah, berdasarkan hak ex officio karena Pemohon tidak
bersedia membayarnya, dengan pertimbangan bahwa
Pemohon telah menjatuhkan talak satu raj’i dan Hakim tidak
19
Shamsuddi>n Muh}ammad ibn Ah}mad al-Sharbi>niy, al-
Iqna>’ fi H{alli al-Fa>z{I Abi> Shuja>’ (Beirut-Libana>n: Da>r al-Kutub al-
Ilmiyyah, 2004), juz 4.
Hak-Hak Perempuan
97
melihat adanya nusyu>z istri dalam perkara ini, karena
pertengkaran yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahan dari
Termohon.20
Selain nafkah ‘iddah, perempuan yang dicerai
juga mendapatkan mut’ah. Dalam perkara ini Pemohon tidak
bersedia memberikan hak mu’ah kepada Termohon tanpa ada
alasan yang jelas, secara ex officio Hakim menetapkan hak
mut’ah dengan pertimbangan bahwa keduanya telah membina
rumah tangga selama 7 tahun dan sudah berhubungan
layaknya suami istri (ba’da al-dukhul) dan perceraian terjadi
atas inisiatif Termohon.
Menurut penulis, dengan Hakim mempergunakan hak
ex officio dalam memeriksa perkara ini sangat membantu
pihak Termohon dalam mendapatkan hak pasca cerai,
sebagaimana telah dijelaskan dalam Undang-undang
Perkawinan No1 Tahun 1974 huruf (c) ‚bahwa Pengadilan
dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan
biaya atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan
istrinya.
Pertimbangan Hakim dalam putusan ini mampu
memberikan maslahah bagi istri, suami yang tidak mau
memberikan hak nafkah ‘iddah (maskan dan kiswah) dan
mut’ah setelah ikrar talak dapat menimbulkan mudarat bagi
istri, keaadan sulit ini dikhawatirkan dapat membuka ruang
kesensaraan bagi istri. Hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqh
berikut ini:
رر يدفع بقدر المكان الض ‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
21
20
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Istri dapat
dianggap nushu>z jika tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 83 ayat 1. 21
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h{iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r
(Maktabah al-Ubaika>n, 1997), vol. 4, h. 443
Hak-Hak Perempuan
98
Kaidah ini berlaku dalam setiap persoalan dimana sisi
d{ararnya akan terjadi, titik terangnnya berdasarkan konsep
maslahah mursalah, yaitu upaya pencegahan yang dinilai lebih
baik dalam pandangan syari’at.22
Secara substansial kaidah ini
menandakan bahwa, segala macam bahaya jika
memungkinkan harus segera dihilangkan secara keseluruhan.
Hal inilah yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam
menyelesaikan masalah penetapan hak nafkah ‘iddah dan
mut’ah. Hakim berusaha menghilangkan mudarat bagi istri
karena akibat dari perceraian, putusan Hakim dalam
menetapkan hak nafkah ‘iddah dan mut’ah jika ditinjau dalam
hukum Islam sudah sesuai dengan tujuan hukum syara’ yaitu
menarik manfaat dan menolak mudarat.
b. Putusan Nomor 154/Pdt.G/2015/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Sunarto bin Suparlan, umur 28
tahun, pekerjaan petani, pendidikan SD, tempat tinggal di
Desa Marisi, Kecamatan Angkola Timur, Kabupaten Tapanuli
Selatan. Termohon bernama Sri Wahyuni binti Paimin, umur
28 tahun, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, pendidikan
SMA. Pada tanggal 19 Mei 2011, Pemohon telah mengajukan
permohonan dengan dalil bahwa Pemohon telah
melangsungkan pernikahan dengan Termohon di Kecamatan
Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan. Pada awalnya
rumah tangga Pemohon dan Termohon berjalan rukun dan
harmonis, namun setelah enam bulan pernikahan terjadi
pertengkaran dan perselisihan karena Termohon sering
menolak berhubungan layaknya suami istri. Pemohon tidak
memiliki harapan lagi untuk dapat hidup rukun kembali
bersama dengan Termohon, dengan demikian Pemohon
22
Muhammad S{idqi al-Burnu, al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-
Fiqh al-Kulliyah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1983), h. 80
Hak-Hak Perempuan
99
bermohon untuk mengikrarkan talak kepada Termohon
sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang berlaku.
Berdasarkan dalil permohonan Pemohon diatas,
Termohon menyangkal keras terhadap alasan Pemohon
kecuali yang diakuinya adalah bahwa benar Termohon adalah
istri dari Pemohon. Tidak benar bahwa Termohon menolak
untuk berhubungan layaknya suami istri, keaadan yang
sebenarnya adalah Termohon tidak mampu melayani
kebutuhan biologis Pemohon diluar dari batas normal. Intinya
Termohon merasa keberatan atas permohonan cerai yang
diajukan oleh Pemohon, jika Pemohon tetap menginginkan
perceraian, maka Termohon menuntut hak-hak sebagai akibat
dari permohonan cerai Pemohon yaitu hak nafkah ‘iddah
sebesar Rp 3.000.000 dan mut’ah berupa cincin emas seberat
2 ame (5 gram).
Dalam deskripsi kasus diatas dapat ditarik dua
permasalahan. Pertama, tentang permohonan Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak kepada Termohon dapat dikabulkan
dengan mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak satu raj’i
kepada Termohon. Kedua, tentang hak Termohon sebagai
istri pasca cerai menjadi fokus dalam pembahasan ini. Majelis
Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Termohon
berupa hak nafkah ‘iddah dan mut’ah.
Hak-hak sebagaimana yang disebutkan diatas adalah,
(1) hak ‘iddah sebesar Rp 3.000.000, namun Pemohon hanya
menyanggupi sebesar Rp 900.000. Majelis Hakim menetapkan
kepastian hukum dengan memperhatikan kesanggupan
Pemohon untuk membayar nafkah ‘iddah sebesar Rp
2.000.000. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an
bahwa, istri yang ditalak raj’i berhak mendapatkan nafkah
dari suaminya.
Hak-Hak Perempuan
100
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‛Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka‛.(Q.S.A;T{alaq[65]: 6).
(2) Mut’ah berupa cincin emas seberat 2 ame (5 gram), namun
Pemohon menyanggupi dalam bentuk uang sebesar Rp
400.000. Majelis Hakim mempertimbang besarnya mut’ah 1
ame (2,5 gram) dipandang cukup pantas. Sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam pasal 158 huruf (b) ‚mut’ah wajib
diberikan oleh mantan suami bila perceraian itu atas kehendak
suami‛, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an
berikut:
‚Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka
itu dengan cara yang sebaik- baiknya‛. (Q. S. A; Ah}zab
[33]: 49).
Menurut penulis, seharusnya hakim juga menetapkan
hak maskan dan kiswah walaupun Termohon tidak menuntut,
landasan hukam adalah pertama, Hakim memiliki wewenang
untuk menetapkan hukum diluar tuntutan. Sebagaimana
keputusan Mahkamah Agung RI No.KMA/032/SK/IV/2006
bahwa ‚Pengadilan agama/Mahkamah syari’ah secara ex officio dapat menetapkan kewajiban nafkah’iddah atas suami
kepada istrinya, sepanjang istrinya tidak terbukti berbuat
nushuz. Kedua, Termohon tidak terbukti istri yang nushuz,
karena berdasarkan alasan perceraian yang diajukan Pemohon
bahwa istri yang tidak patuh dan sering menolak berhubungan
layaknya suami istri telah dibantah oleh Termohon. Hak
Hak-Hak Perempuan
101
‘iddah, maskan dan kiswah merupakan hak sepaket yang
harus diterima istri, sebagaimana penjelasan dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 149 huruf (b) ‚mantan suami wajib
memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada istri selama
dalam ‘iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak ba’in
atau nusyu>z‛
Hakim telah mewajibkan Pemohon untuk
memberikan mut’ah berupa cincin seberat 1 ame karena
selama masa pernikahan Pemohon dan Termohon telah
melakukan hubungan layaknya suami istri(ba’da al-dukhul), sebagaimana penjelasan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
149 huruf (a) ‚mantan suami wajib memberikan mut’ah yang
layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali mantan istri tersebut qabla al-dukhul‛.
Dalam perkara ini, tidak ada kesepakatan antara
Pemohon dan Termohon terhadap nominal hak ‘iddah dan
mut’ah, karena Termohon menuntut sesuai dengan
kebutuhannya dan Pemohon menyanggupi sesuai dengan
kesanggupannya. Dalam hal ini, Majelis Hakim menetapkan
nominal hak ‘iddah dan mut’ah Termohon lebih dari
kesanggupan Pemohon, karena kebutuhan Termohon lebih di
utamakan. Sebagaimana kaidah fikih berikut ini:
م ها إذا ت زاحت المصالح قد العلى من ‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan,
maka diutamakan yang paling besar maslahahnya‛.23
c. Putusan 341/Pdt.G/2016/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan bahwa,
Pemohon bernama Dogoran Sori Muda Hasibuan bin
Parmohonan, umur 38 tahun, pendidikan SLTA, pekerjaan
berjualan bubuk kopi, tempat tinggal Desa Siundol Dolok,
23
Abdul Muh{sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>id al-Sa’diyah
(Riyadh: Da>r At{las li> al-Nashr wa al-Tauzi’, 2001), h. 204
Hak-Hak Perempuan
102
Kecatamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas. Termohon
bernama Nelly Hayati Siregar binti Kasanuddin Siregar, umur
35 tahun, pendidikan SLTP, pekerjaan ibu rumah tangga.
Pemohon telah mengajukan permohonan dengan dalil bahwa
pada tanggal 15 Mei 1999, Pemohon telah melangsungkan
pernikahan dengan Termohon di rumah orang tau Termohon
Kecamatan Sosopan Kabupaten Padang Lawas. Pada masa
awal pernikahan rumah tangga Pemohon dan Termohon
berjalan harmonis, namun pada bulan Oktober tahun 2016
telah terjadi perselisihan dan pertengkaran karena Termohon
melakukan perselingkuhan (nushu>z).
Termohon memberikan jawaban melalui kuasa
hukumnya bernama Adnan Buyung Lubis berdasarkan surat
kuasa khusus No 5/SKK.KH-ABL/II/2017, Termohon
menyangkal keras alasan yang diajukan Pemohon kecuali
yang diakuinya adalah bahwa benar Termohon adalah istri
Pemohon. Keadaan yang sebenarnya adalah antara Pemohon
dan Termohon sering terjadi pertengkaran sejak awal tahun
2015, kemudian memutuskan untuk berpisah tempat tinggal
semenjak pertengahan tahun 2016 tanpa ada alasan yang jelas
dan Termohon telah melaporkan Rahmat Hasibuan ke Polsek
Sosopan dengan Nomor laporan SLTP/01/V/2016/SPK atas
tuduhan perselingkuhan yang sampai ke telinga Pemohon.
Termohon keberatan atas permohonan cerai, akan tetapi
sebagai akibat hukum dari perceraian Termohon mengajukan
gugatan balik (rekonvensi) dengan memohon kepada Majelis
Hakim agar menghukum Pemohon untuk membayar hak
‘iddah sebesar Rp 3.000.000/bulan selama masa ‘iddah dan
mut’ah sebesar Rp 1.000.000.
Dalam deskripsi kasus diatas dapat ditarik dua
permasalahan. Pertama, tentang permohonan Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak kepada Termohon dapat dikabulkan
dengan mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak satu raj’i
kepada Termohon. Kedua, tentang hak Termohon sebagai
istri pasca cerai menjadi fokus dalam pembahasan ini. Majelis
Hak-Hak Perempuan
103
Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Termohon
berupa hak nafkah ‘iddah dan mut’ah sesuai dengan
kemampuan suami sebagai karyawan tidak tetap di tempat
penjualan bubuk kopi milik orang tuanya, namun tidak
diketahui jumlah nominal penghasilan setiap bulannya.
Hak-hak sebagaimana yang disebutkan diatas adalah,
(1) hak ‘iddah sebesar Rp 3.000.000, namun Pemohon tidak
bersedia untuk membayar karena Termohon melakukan
perselingkuhan (nushu>z). Majelis Hakim tetap
mempertimbangkan karena perselingkuhan hanya tuduhan
semata, berdasarkan kemampuan Pemohon yang bekerja
sebagai karyawan tidak tetap di tempat penjualan bubuk kopi
milik orang tuanya, dengan kepatutan dan keadilan hak ‘iddah dalam rekonvensi sebesar Rp 3.000.000.00 dinilai sangat
wajar. Sebagaimana yang diatur didalam pasal 149 huruf (b)
Kompilasi Hukum Islam yaitu‛ memberikan nafkah, maskan
dan kiswah kepada mantan istri selama dalam ‘iddah, kecuali
bekas istri telah di jatuh talak ba’in atau nusyu>z dan dalam
keadaan tidak hamil‛. Sebagimana yang dijelaskan dalam al-
Qur’an berikut:
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu
Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari
rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar
Hak-Hak Perempuan
104
kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
Sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah
Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Q. S.
A; T{alaq [65]: 1).
(2) Mut’ah sebesar Rp 1.000.000, namun Pemohon tidak
bersedia untuk membayar dengan alasan yang sama seperti
diatas. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang suami
yang menceraikan istrinya, hal tersebut diatur dalam pasal
149 huruf (a) yaitu ‚Bilamana perkawinan putus karena
talak, maka mantan suami wajib: a, memberikan mut’ah yang
layak kepada mantan istrinya, baik berupa uang atau benda,
kecuali mantan istri tersebut qabla al-dukhul dan pasal 158
huruf (b) Kompilasi Hukum Islam yaitu ‚mut’ah wajib
diberikan oleh mantan suami dengan syarat : a, belum
ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul dan (b) perceraian
itu atas kehendak suami. Menimbang bahwa sesuai dengan
kemampuan Pemohon dan kepatutan hidup masyarakat di
desa siundol julu, kecamatan sosopan, Kabupaten Padang
Lawas, maka majelis hakim menetapkan mut’ah dalam
bentuk emas murni seberat 5 gram. sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah
diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf,
sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa‛ (Q. S. A; Baqarah [2]: 241)
Menurut penulis, Hakim telah berhasil membuktikan
bahwa Termohon bukan termasuk istri yang nushu>z, karena
perselisihan yang terjadi bukan karena Termohon tidak
Hak-Hak Perempuan
105
patuh.24
Secara ex officio Hakim dapat menetapkan hak
nafkah ‘iddah istri berupa uang sebesar Rp 3.000.000 sesuai
dengan tuntutan Termohon, karena tidak ada perdebatan
tentang perselisihan jumlah dan juga Pemohon tidak
menyebutkan jumlah penghasilannya dalam sebulan. Dalam
perkara ini, Hakim seharusnya juga menetapkan hak maskan
dan kiswah walaupun Termohon tidak mencantumkan dalam
gugatan, sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam
putusan Nomor 154/Pdt.G/2015/PA.Psp diatas. Sedangkan
mut’ah dalam bentuk emas murni, hakikatnya tujuan
pemberian mut’ah adalah untuk menghibur hati sang istri
yang sedang dalam kesedihan dan kegelisahan akibat
perceraian.
Dapat disimpulkan bahwa, nushu>z merupakan
pertimbangan Hakim dalam memutuskan hak perempuan
pasca perceraian, karena jika dilihat dalam aturan Kompilasi
Hukum Islam telah diatur secara bijak agar dapat menjamin
hak-hak istri pasca cerai. Dalam pasal 84 ayat (1) istri dapat
dianggap nushu>z jika tidak mau melaksanakan kewajiban-
24
Istri dapat dianggap nushu>z, jika ia tidak mau
melaksanakan kewajiban utama yaitu berbakti lahir dan bathin
kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum
Islam. Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 83 ayat (1) dan pasal 84
ayat (1). Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’
ayat 34 yang artinya ‚Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur dan pukulkanlah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah adalah Maha tinggi lagi Maha besar‛. Ayat ini menjelaskan tiga tahapam yang harus
dilakukan suami ketika menghadapi istri yang sedang nushuz, (1)
memberikan peringatan dan pengajaran kepada istri, (2) pisah
ranjang dalam artian tidak melakukan hubungan seksual, (3) melalui
pukulan yang tidak membahayakan.
Hak-Hak Perempuan
106
kewajiban sebagaiman yang dimaksud dalam pasal 83 ayat (1)
kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan
oleh hukum Islam, ayat (2) selama istri dalam keadaan nushu>z
kewajiban suami pada istrinya tersebut pada 80 ayat 4 huruf
(a) nafkah, kiswah dan tempat tinggal kediaman bagi istri dan
(b) biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak, ayat (3) kewajiban suami
tersebut kembali berlaku sesudah istri tidak nushu>z dan ayat
(4) ketentuan tentang ada atau tidaknya nushu>z dari istri
harus didasarkan atas bukti yang sah.
Pertimbangan Hakim dalam putusan ini mampu
memberikan maslahah bagi istri, suami yang tidak mau
memberikan hak nafkah ‘iddah dan mut’ah karena istri
nushu>z dapat menimbulkan mudarat bagi istri, karena sifat
istri yang selingkuh hanyalah tuduhan semata. Kehilangan
akan haknya dikhawatirkan dapat membuka ruang
kesensaraan bagi istri. hal tersebut sesuai dengan kaidah fiqh
berikut ini:
مكان رر يدفع بقدر ال الض‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
25
Dalam tiga putusan tentang hak nafkah ‘iddah dan
mut’ah dalam perkara cerai talak yang telah penulis uraikan
diatas, pertimbangan Hakim Pengadilan Agama
Padangsidimpuan memilki tiga nilai utama yaitu dari segi
aspek yuridis, filosofis dan sosiologis.
Pertama, dari segi aspek yuridis Majelis Hakim telah
menggunakan penjelasan dalam al-Qur’an dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku untuk menjaga konsistensi
suatu hukum. (a) Kewajiban suami memberikan hak nafkah
25
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h{iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443
Hak-Hak Perempuan
107
i’ddah dan mut’ah telah dijelaskan dalam al-Qur’an s}u>rah al-
Baqarah ayat 233 dan ayat 241, s}u>rah at-T{alaq ayat 1 dan
ayat 6, s}u>rah al-Ah{zab ayat 49. (b) Perceraian yang terjadi
atas inisiatif Pemohon sebagai suami, maka Hakim
menetapkan hak-hak istri pasca perceraian berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 huruf (j), 149,
158,159, 160.
Kedua, dari segi aspek filosofis Majelis Hakim
mampu menetapkan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah
fiqih. (a) Pemohon yang tidak bersedia memberikan hak
‘iddah dan mut’ah kepada Termohon tanpa ada alasan yang
jelas, hal ini dapat menimbulkan mudarat bagi Termohon.
Sesuai dengn kaidah fiqih
مكان yang mengandung arti ‚Kerusakan harus ,الضرر يدفع بقدر ال
ditolak sebisa mungkin‛. (b) Termohon menuntut hak ‘iddah
dan mut’ah sesuai dengan kebutuhan, sedangkan Pemohon
menyanggupi sesuai dengan kesanggupannya. Dalam hal ini
tidak ada kesepakatan bersama antara keduanya, namun
kebutuhan Termohon lebih diutamakan. Sesuai dengan
kaidah fiqih م ها إذا ت زاحت المصالح قد العلى من , yang mengandung
arti ‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan, maka
diutamakan yang paling besar maslahahnya‛. (c) Gugurnya
hak ‘iddah dan mut’ah Termohon karena tuduhan
perselingkuhan, dikhawatirkan dapat membuka kesensaraan
bagi Termohon. Sesuai dengan kaidah fiqih
مكان yang mengandung arti ‚Kerusakan harus ,الضرر يدفع بقدر ال
ditolak sebisa mungkin‛.
Ketiga, dari segi aspek sosiologis Majelis Hakim
telah berusaha mewujudkan hak nafkah ‘iddah dan mut’ah
istri untuk kebutuhan hidupnya, karena perceraian yang
terjadi dapat menyebabkan istri tidak memiliki penghasilan.
Hak-Hak Perempuan
108
2. Mahar yang Masih Terhutang
a. Putusan Nomor 155/Pdt.G/2014/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Indra Saputra bin Miswar Piliang,
umur 30 tahun, pekerjaan sebagai karyawan PT. Ulam,
pendidikan SMA, tempat tinggal Lingkungan IV, Kelurahan
Timbangan, Kecamatan Padangsidimpuan Utara. Termohon
bernama Risky Murlan Harahap binti Baginda Partaonan
Harahap, umur 24 tahun, pekerjaan jualan, pendidikan SMA.
Pada tanggal 20 Agustus 2013, Pemohon mengajukan
permohonan dengan dalil bahwa Pemohon dan Termohon
adalah suami istri sah yang menikah di Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Angkola Barat. Rumah tangga Pemohon
dan Termohon awalnya berjalan rukun dan harmonis, namun
pada tahun 2011 telah terjadi pertengkaran dan perselisihan
karena Termohon menjalin hubungan asmara dengan laki-laki
lain.
Termohon memberikan jawaban terhadap
permohonan Pemohon secara tertulis bahwa, tidak benar
Termohon menjalin hubungan dengan laki-laki lain melainkan
Pemohon sendiri yang menjalin hubungan dengan perempuan
lain bahkan telah menikah dan pada tahun yang sama.
Keretakan rumah tangga sebenarnya timbul dari tingkah laku
Pemohon karena melakukan penganiayaan dan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT). Berdasarkan jawaban
bantahan tersebut, Termohon merasa keberatan atas
permohonan cerai yang diajukan Pemohon, sehingga
mengajukan gugatan balik (rekonvensi) tentang tuntutan
pengembalian mahar berupa cincin emas seberat 1 ame (2,5
gram) yang pernah dipinjam oleh Pemohon.
Dalam deskripsi kasus diatas dapat ditarik dua
permasalahan. Pertama, tentang permohonan Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak kepada Termohon dapat dikabulkan
dengan mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak satu raj’i
kepada Termohon. Kedua, tentang pengambalian mahar yang
Hak-Hak Perempuan
109
dipinjam oleh Pemohon menjadi fokus dalam pembahasan ini.
Majelis Hakim mengabulkan gugatan yang diajukan oleh
Termohon tentang pengembalian mahar yang pernah dipinjam
oleh Pemohon berupa cincin emas seberat 1 ame, namun
Pemohon hanya bersedia membayar ½ ame dalam bentuk
uang sebesar Rp 525.000 dengan alasan bahwa uang hasil jual
cincin 1 ame dipergunakan untuk makan sehari-hari.
Dalam perkara ini, telah terjadi perselisihan antara
keduanya terkait jumlah yang harus dikembalikan oleh
Pemohon. Sebagaima dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 32 ‚Mahar diberikan langsung kepada calon
mempelai wanita, sejak saat itu menjadi hak pribadinya‛ dan
pasal 37 ‚apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan
nilai mahar yang ditetapkan penyelesaiannya diajukan ke
Pengadilan Agama‛. Pertimbangan Hakim menetapkan
jumlah mahar sesuai dengan tuntutan Termohon sebesar 1
ame (2,5 gram), karena setelah menikah Pemohon dan
Termohon telah melakukan hubungan suami istri (ba’da al-dukhul).26
Hal ini telah sesuai dengan penjelasan dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (c) ‚melunasi mahar
yang masih terhutang seluruhnya dan setengah apabila qabla al-dukhul‛.
Menurut penulis, Hakim juga harus
mempertimbangkan alasan Pemohon menggunakan uang hasil
jual cincin untuk makan bersama. Sebagai kepala rumah
tangga, seharusnya suami berkewajiban mencari nafkah bagi
anak-anak dan istrinya serta memberikan segala keperluan
hidup rumah tangga lahir bathin sesuai dengan
kamampuannya.
26
Abi> Ish{a>q Ibra>him ibn ‘Ali> as-Shayra>ziy al-Fayru>z
Aba>diy, al-Mahazab fi al-Fiqh al-Sha>fi’i> (al-Qa>hirah: al-Qudus,
2012), juz 3.
Hak-Hak Perempuan
110
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya‛. (Q. S. A; T{alaq [65]: 7).
Dalam hadist Nabi barikut:
وعن جابر بن عبدالله رضى الله عنو عن النب صلى الله عليو وسلم ف ذكر النساء: ولن عليكم رزق هن وكسوت هن بالمعروف
‚Dari Jabir r.a dari Nabi Saw, beliau bersabda dengan
menyebutkan wanita: ‚kalian wajib memberikan
nafkah kepada mereka dan memberi pakaian dengan
cara yang baik‛27
Dalam putusan ini, Majelis Hakim menegaskan
kapada Pemohon untuk membayar secara keseluruhan atas
mahar yang pernah dipinjam ketika masih dalam ikatan
perkawinan, karena mahar merupakan sebuah penghargaan
bagi istri. Hal ini mampu memberikan maslahah bagi istri
sebagaimana tujuan dalam maqa>s}id al-shari>’ah yaitu
mengembalikan hak mutlak istri yang merupakan harta benda
dan kehormatannya (hifz al-ma>l). Sebagaimana kaidah fiqh
berikut:
رر ي زال الض‚Kerusakan harus dihilangkan‛.
28
b. Putusan Nomor 131/Pdt. G/2016/PA.Psp
Deskripsi kasus: Pemohon bernama dr. Martua Raja
bin Ahmad, umur 31 tahun, pekerjaan sebagai dr. Umum di
27
al-H {a>fiz{ Ah{mad ibn ‘Ali> ibn H{ajar al-‘Asqala>ni>, Bulu>ghul
Mara>m, (Maktabah: at-Tijarah al-Kubra), h. 250. 28
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Shuyu>t}i, al-
Ashba>h wa al-Naz}air fi Qawa>id wa Furu>’ Fiqh al-Shafi’i> (Beirut:
Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015), h. 135
Hak-Hak Perempuan
111
Rumah sakit Umum Lubuk Sikaping, pendidikan S1
Kesehatan, tempat tinggal di Desa Muaratais I, kecamatan
Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Termohon
bernama Surya Nengsi Ritonga binti Mianto Ritonga, umur
26 tahun, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, pendidikan D.
III Kebidanan. Pada tanggal 19 April 2016, Pemohon
mengajukan permohonan cerai secara tertulis dengan dalil
bahwa Pemohon dan Termohon telah melangsungkan
pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Sayurmatinggi. Pada awal pernikahan keduanya rukun dan
harmonis dalam membina rumah tangga, namun pada bulan
April 2016 terjadi pertengkaran dan peselisihan karena
Termohon menjalin komunikasi via telpon dengan mantan
pacarnya.
Termohon memberikan jawaban secara tertulis
terhadap Permohonan cerai yang diajukan Pemohon bahwa,
alasan tersebut benar Termohon berkomunikasi via telpon
tapi itu terjadi sebulan setelah pernikahan dan tidak ada
maksud untuk berselingkuh. Termohon pada pada dasarnya
tidak menginginkan perceraian, karena sudah memiliki satu
orang anak yang masih membutuhkan kasih sayang dari kedua
orang tuanya, Termohon menambahkan dalam gugatan
(rekonvensi) untuk menghukum Pemohon membayar mahar
yang pernah dipinjam berupa emas seberat 16 gram (6,5 ame).
Dalam deskripsi kasus diatas dapat ditarik dua
permasalahan. Pertama, tentang permohonan Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak kepada Termohon dapat dikabulkan
dengan mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak satu raj’i
kepada Termohon. Kedua, tentang pengambalian mahar yang
dipinjam oleh Pemohon menjadi fokus dalam pembahasan ini.
Majelis Hakim mengabulkan gugatan rekonvensi yang
diajukan oleh Termohon tentang pengembalian mahar yang
pernah dipinjam Pemohon sebesar 16 gram (6,5 ame) untuk
membayar hutang belanja obat di Apotik, namun Pemohon
hanya bersedia membayar 12, 5 gram (5 ame) dengan syarat
Hak-Hak Perempuan
112
mengembalikan gelang emas milik putri mereka secara utuh.
Pemohon merincikannya, (a) Termohon yang pernah
diucapkan pada saat akad nikah sebesar 75 gram (30 ame),
namun mahar tersebut dipinjam oleh Pemohon sebesar Rp 16
gram (6,5 ame) untuk membayar hutang belanja obat di
Apotik. (b) Termohon telah membawa dua buah cincin,
ukuran sebesar 3,75 gram (1,5 ame) dan 2,5 gram (1 ame). (c)
Termohon telah membawa dua buah gelang, ukuran sebesar
25 gram (10 ame) dan 12,5 gram (5 ame). (d) Termohon telah
membawa dua buah gelang putri mereka, ukuran masing-
masing seberat 5 gram (2 ame). (e) Termohon telah
membayar hutang 3,75 gram (1,5 ame). (f) Termohon telah
memberikan kepada ibunya sebesar 3,75 gram (1,5 ame).
Total semua yang ada pada poin b s/d f, Termohon memiliki
mahar sebesar 61,5 gram (24,5 ame) dan Pemohon akan
menggantikan kekurangan sebesar 12,5 gram (5 ame).
Dalam perkara ini, Hakim menetapkan mahar yang
harus dikembalikan oleh Pemohon sebesar 12,5 gram (5 ame)
sesuai dengan jumlah yang ditetapkan Pemohon. Menurut
penulis terdapat kerancuan dalam rincian yang disebutkan
oleh Pemohon diatas, Pemohon menggabungkan seluruh
mahar Termohon dengan gelang emas milik putri mereka
sebesar 10 gram (4 ame). Jika emas anak tidak digabungkan,
maka total yang sebenarnya adalah sebesar 50,5 gram (20,5
ame). Apabila dirincikan ulang maka, (a) Total jumlah mahar
dari rincian diatas adalah 50,5 gram (20,5 ame). (b) Pemohon
meminjam sebesar 16 gram (6,5 ame). (c) jika digabungkan
jumlah mahar dalam poin (a) dan (b) adalah sebesar 67,5 gram
(27 ame). (d) jumlah mahar Termohon saat akad nikah
berlangsung sebesar 75 gram (30 ame). (e) kekurangan 7,5
gram (3 ame) tidak diketahui. (f) Pemohon bersedia
membayar kekurangan sebesar 12,5 gram (5 ame). Apabila
digabungkan jumlah mahar pada poin (a) dan (f), maka total
jumlahnya sebesar 63 gram (25,5 ame). Kekurangan Pemohon
dalam hal ini sebesar 1,5 ame.
Hak-Hak Perempuan
113
Kekurangan seharusnya, Hakim mempertimbangkan
jumlah yang harus dibayar oleh Pemohon adalah sesuai
dengan jumlah yang dituntut oleh Termohon yaitu, sebesar 16
gram (6,5 ame). Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 32 ‚Mahar yang diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita, dan sejak saat itu menjadi hak
pribadinya‛. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an
berikut:
‚Bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah
mengambil dari kamu perjanjian yang kuat‛. (Q. S. A;
Nisa>’ [4]: 21).
Dalam putusan ini, jumlah mahar yang dikembalikan
oleh Pemohon masih kurang (tidak sesuai dengan tuntutan
Termohon), namun kekurangan tersebut lebih kecil jumlahnya
daripada yang dikembalikan. Dapat ditarik kesimpulan
bahwa, mudarat yang didapatkan istri ketika ada kekurangan
dalam jumlah mahar masih lebih ringan daripada istri tidak
mendapatkannya. Hal ini telah sesuai dengan kaidah fiqih
berikut:
رر الخف رر الشد ي زال بالض الض‚Kerusakan yang lebih berat dihilangkan dengan
kerusakan yang lebih ringan‛.29
29
Muhammad Mustafa al-Zuhaili>, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah
wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba’ah (Damaskus: Da>r al-Fikr,
2006), h. 219
Hak-Hak Perempuan
114
c. Putusan Nomor 66/Pdt.G/2016/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Muhammad Imran Lubis bin
Malaon Lubis, umur 40 tahun, pekerjaan sebagai Kepala Desa
Perkebunan Hapesong, pendidikan SMA, tempat tinggal Desa
Perkebunan Hapesong, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten
Tapanuli Selatan. Termohon bernama Syarifah Batubara binti
Abdus Salam bin Batubara, umur 47 tahun, pekerjaan jualan,
pendidikan SMP. Pada tanggal 11 Februari 2016 Pemohon
mengajukan permohonan cerai dengan dalil bahwa, Pemohon
telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon di Medan
Tembung Sumatera Utara tahun 2002. Pernikahan telah
berlangsung selama 14 tahun, keduanya telah bergaul secara
baik sebagaimana layaknya suami istri (ba’da al-dukhul) dan
sudah dikarunia seorang anak laki-laki. Pada awal pernikahan
Pemohon dan Termohon rukun dan harmonis dalam membina
rumah tangga, namun pada awal tahun 2016 terjadi
pertengkaran dan perselisihan karena Termohon pergi dari
tempat kediaman bersama tanpa izin dari Pemohon dan
merasa kurang nafkah yang diberikan oleh Pemohon.
Termohon memberikan jawaban secara tertulis
bahwa, alasan pertama dibantah oleh Termohon dengan
mengatakan bahwa pergi dari tempat kediaman justru atas
persetujuan Pemohon untuk mengurus anak yang sedang
melanjutkan sekolah di Padangsidimpuan dan alasan kedua
Termohon mengatakan merasa kurang terhadap nafkah yang
diberikan. Apabila Termohon tetap menginginkan perceraian,
Termohon mengajukan gugatan rekonvensi kepada Pemohon
untuk mengembalikan mahar yang pernah dipinjam dalam
bentuk cincin emas seberat 5 gram (2 ame).
Dalam deskripsi kasus diatas dapat ditarik dua
permasalahan. Pertama, tentang permohonan Pemohon untuk
mengucapkan ikrar talak kepada Termohon dapat dikabulkan
dengan mengizinkan Pemohon menjatuhkan talak satu raj’i
kepada Termohon. Kedua, tentang pengambalian mahar yang
Hak-Hak Perempuan
115
dipinjam oleh Pemohon menjadi fokus dalam pembahasan ini.
Majelis Hakim mengabulkan gugatan rekonvensi yang
diajukan oleh Termohon berupa pengembalian mahar yang
pernah dipinjam oleh Pemohon dalam bentuk cincin emas
seberat 5 gram (2 ame).
Dalam perkara ini, tidak ada terjadi perselihan antara
Pemohon dan Termohon tentang jumlah mahar yang harus
dikembalikan. Hakim mempertimbangkan dari masa
perkawinan keduanya telah melakukan hubungan suami istri
(ba’da al-dukhul), perempuan yang dijatuhkan talak satu raj’i
oleh suamianya dalam keadaan ba’da al-dukhul berhak
mendapatkan maharnya kembali karena sudah menjadi hak
pribadinya. Sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 32 ‚mahar diberikan langsung kepada calon
mempelai wanita, sejak saat itu menjadi hak pribadinya‛ dan
pasal 149 huruf (c) ‚melunasi mahar yang masih terhutang
seluruhnya dan setengah apabila qabla al-dukhul‛. Dalam
kitab Tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa, perempuan yang
dicerai ba’da al-dukhul tetap mendapatkan mahar yang sudah
ditentukan.30
Perempuan inilah yang dimaksud dalam al-
Qur’an:
‚Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu
boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi
kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah
kamu berikan kepada mereka‛. (Q. S. A; Baqarah
[2]: 229).
30
Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV.
Toha Putra, 1984) juz II, h. 380.
Hak-Hak Perempuan
116
Dalam putusan ini, Majelis Hakim menegaskan
kapada Pemohon untuk membayar secara keseluruhan atas
mahar yang pernah dipinjam ketika masih dalam ikatan
perkawinan, karena mahar merupakan sebuah penghargaan
bagi istri. Hal ini mampu memberikan maslahah bagi istri
sebagaimana tujuan dalam maqa>s}id al-shari>’ah yaitu
mengembalikan hak mutlak istri yang merupakan harta benda
dan kehormatannya (hifz al-ma>l). Sebagaimana kaidah fiqh
berikut:
رر ي زال الض‚Kerusakan harus dihilangkan‛.
31
Dalam tiga putusan tentang mahar yang masih
terhutang dalam perkara cerai talak yang telah penulis uraikan
diatas, pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Padangsidimpuan memilki tiga nilai utama yaitu dari segi
aspek yuridis, filosofis dan sosiologis.
Pertama, dari segi aspek yuridis Majelis Hakim telah
menggunakan penjelasan dalam al-Qur’an dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku untuk menjaga konsistensi
suatu hukum. (a) Kewajiban suami mengembalikan mahar
yang pernah dipinjam telah dijelaskan dalam al-Qur’an s{u>rah
al-Baqarah ayat 229. (b) Majelis Hakim menggunakan
Kompilasi Hukum Islam pasal 37 “apabila terjadi selisih
pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,
penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama” dan pasal 32
“mahar yang diberikan langsung kepada calon wanita dan
sejak saat itu menjadi hak pribadinya”.
Kedua, dari segi aspek filosofis Majelis Hakim
mampu menetapkan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah fiqih.
(a) Termohon menuntut hak mahar yang dipinjam oleh
31
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Shuyu>t}i, al-
Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> Qawa>id wa Furu>’ Fiqh al-Shafi’i>, h. 135.
Hak-Hak Perempuan
117
Pemohon secara keseluruhan, namun Pemohon tidak bersedia
membayar semuanya. Dalam hal ini, dapat menimbulkan
mudarat bagi Termohon karena mahar merupakan harta benda
dan kehormatannya. Sebagaimana kaidah fiqih الضرر ي زال, yang
mengandung arti ‚Kerusakan harus dihilangkan‛. (b) Jumlah
mahar yang dikembalikan oleh Pemohon masih kurang,
namun kekurangan tersebut lebih kecil jumlahnya daripada
yang dikembalikan. Dalam hal ini, mudarat yang didapatkan
Termohon ketika ada kekurangan dalam jumlah mahar masih
lebih ringan daripada Termohon tidak
mendapatkannya.Sebagaimana kaidah fiqih الضرر الشد ي زال بالضرر yang mengandung arti ‚Kerusakan yang lebih berat ,الخف
dihilangkan dengan kerusakan yang lebih ringan‛.
(c) Pemohon diwajibkan untuk membayar mahar secara
keseluruhan atas mahar yang pernah dipinjam ketika masih
dalam ikatan perkawinan, karena mahar merupakan sebuah
penghargaan bagi Termohon. Dalam hal ini, mampu
memberikan maslahah bagi Termohon sebagaimana tujuan
maqa>sid al-shari>’ah yaitu mengembalikan hak mutlak
Termohon yang merupakan harta benda dan kehormatannya
(hifz al-ma>l). Sebagaimana kaidah fiqih ي زال الضرر , yang
mengandung arti ‚Kerusakan harus dihilangkan‛. Ketiga, dari segi aspek sosiologis Majelis Hakim
mampu menetapkan Pemohon sebagai suami untuk
mengembalikan mahar yang pernah dipinjam katika masih
dalam ikatan perkawinan, karena pinjaman mahar tersebut
termasuk hutang yang harus dibayar.
3. Hak dan Nafkah H}ad}a>nah Sampai Ia Dewasa
a. Putusan Nomor 181/Pdt. G/2014/PA. Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Muhammad Yusuf Siregar bin
Jumin Siregar, umur 34 tahun, pendidikan SMA, Pekerjaan
Hak-Hak Perempuan
118
Supir Truk, tempat tinggal Desa Panguraban, Kecamatan
Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Termohon bernama
Vita Afrina Piliang binti Reno Sutan Piliang, umur 28 tahun,
pendidikan SMA, pekerjaan tidak ada. Pada tanggal 9
September 2013 Pemohon mengajukan Permohonan cerai
dengan mendalihkan bahwa telah melangsungkan pernikahan
yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan
Agama (KUA) Kecamatan Sipirok, sebagaimana buku
Kutipan Akta Nikah Nomor 057/05/II/2008. Selama
menjalankan bahtera rumah tangga, keduanya telah
melakukan hubungan suami istri (ba’da al-dukhul) dan telah
memilki tiga orang anak perempuan yang bernama Laura
Syhasanah Siregar umur 5 tahun, Wenni Paramita Siregar
umur 3 tahun dan Aina Siregar umur 3 bulan. Pada awal
pernikahan keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon
berjalan rukun dan baik, namun pertengahan tahun 2013
sudah pisah tempat tinggal karena Termohon pulang ke
rumah orang tuanya tanpa ada izin dari Pemohon dan sejak
saat itu tidak lagi menjalankan kewajiban masing-masing
sebagai suami istri.
Berdasarkan permohon Pemohon diatas, Termohon
memberikan jawaban secara lisan di depan persidangan
bahwa Termohon menyangkal dalil-dalil yang dikemukan
oleh Pemohon kecuali tentang benar adanya bahwa Termohon
telah menikah dengan Pemohon. Penyebab yang sebenarnya
adalah Pemohon selingkuh dan hal ini diakui benar adanya
oleh Pemohon sendiri dalam repliknya di depan sidang
Pengadilan Agama Padangsidimpuan. Berkaitan dengan
pengasuhan anak, ketiga anak Termohon dan Pemohon belum
mencapai umur 12 tahun, maka Termohon memohon kepada
Majelis Hakim supaya ditetapkan sebagai pemegang hak
h}ad}a>nah atas ketiga anak tersebut dan nafkah tiga orang anak
diberikan tanggung jawab kepada Pemohon sebagai ayah
kandungnya sebesar Rp 4.000.000
Hak-Hak Perempuan
119
Perkara ini berkaitan dengan hak pengasuhan anak
dan nafkahnya, Hakim telah memutuskan perkara ini
berdasarkan penjelasan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
pasal 156 huruf (a) apabila perkawinan putus karena
perceraian, maka anak yang belum mumayyiz berhak
mendapatkan pengasuhan dari ibunya, kecuali bila ibunya
telah meninggal dunia, (d) nafkah anak menjadi tanggungan
ayah sesuai dengan kemampuannya, sekurang-kurangnya
sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri
(21 Tahun).
Dalam hal biaya pengasuhan dan pendidikan yang
diperlukan anak, Pemohon dalam hal ini menyanggupi secara
keseluruhan sebagaimana tercantung dalam tuntutan
rekonvensi. Pemohon sebagai seorang ayah yang memiliki
pekerjaan dan penghasilan tetap, menurut majelis Hakim
cukup memenuhi kewajiban tersebut tanpa melibatkan
Termohon untuk ikut memikulnya. Penulis setuju dengan
pertimbangan Hakim, sungguh sangat memberatkan jika
Termohon juga dilibatkan dalam pemenuhan biaya
pemeliharan dan pendidikan anak. Pertama, karena Termohon
tidak memiliki penghasilan tetap. Kedua, perceraian terjadi
karena Pemohon selingkuh membuat Termohon menjalani
masa –masa sedih. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-
Qur’an sebagai berikut:
‚Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya‛. (Q. S. A; Baqarah [2]: 233).
Dalam putusan ini, Majelis Hakim memberikan hak
pengasuhan anak seutuhnya kepada Termohon sebagai ibu.
Dalam Undang-undang Perkawinan pasal 41 ayat (1) dilaskan
bahwa seorang ayah juga memiliki peran penting dalam
memelihara dan mendidik anak-anaknya, namun Hakim tidak
Hak-Hak Perempuan
120
menegaskan hal tersebut kepada Pemohon karena melihat
sifat buruk Pemohon yang melakukan perselingkuhan, hal ini
sudah cukup memberi gambaran kepribadian seorang ayah
yang dapat mempengaruhi kepribadian dan masa depan anak.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa maslahah anak akan
lebih baik jika berada dibawah asuhan ibunya secara utuh,
sebagaimana kaidah fiqih berikut ini:
ها م العلى من إذا ت زاحت المصالح قد‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan,
maka diutamakan yang paling besar maslahahnya‛.32
Dalam hal nafkah anak, Hakim memberikan hak
nafkah secara utuh ditanggung oleh Pemohon sebagai ayah,
karena jika dilihat dalam surat permohonan tertulis bahwa
Pemohon sebagai supir truk yang sudah jelas memiliki
penghasilan tetap daripada Termohon yang hanya sebagai ibu
Rumah Tangga yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Pertimbangan Hakim menetapkan hak nafkah anak seutuhnya
kepada Pemohon adalah untuk menghindari terjadinya
kekurangan keuangan anak dalam hal makanan, pakaian dan
pendidikan. Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa keuangan
anak tertata dengan baik. Sebagaimana kaidah fiqih berikut
ini:
مكان رر يدفع بقدر ال الض ‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
33
b. Putusan Nomor 164/Pdt.G/2015/PA.Psps
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Muhammad Juangga Dalimunthe
bin H. Mara Naek Dalimunthe, umur 38 tahun, pendidikan
32
Abdul Muh{sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>’id al-
Sa’diyah, h. 204 33
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h{iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443.
Hak-Hak Perempuan
121
STM, pekerjaan Petani, tempat tinggal Pasar Gunung Tua,
Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Termohon bernama Adap Riana Harahap binti Mara Saksi
Harahap, umur 32 tahun, pendidikan Strata 1 (S1) Ekonomi,
pekerjaan sebagai karyawan Honorer di Kantor Dinas
Pendapatan Padang Lawas. Pada tanggal 30 Juni 2015
Pemohon mengajukan permohonan cerai melalui kuasa
hukumnya bernama Romi Iskandar Rambe yang telah
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama
Padangsidimpuan dengan Nomor
W2.A9/18HK.05/VII/2015/PA.Psp berdalih bahwa Pemohon
telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Padang Bolak, selama hidup
bersama telah dikarunia 5 orang anak, empat diantaranya
berada dalam asuhan Pemohon yaitu Nur Azizah Dalimunthe
(12 tahun), Yusna Dewi Dalimunthe (9 tahun), Roito
Dalimunthe (7 tahun), Ahmad Fauzan Dalimunthe (6 tahun)
dan anak terakhir bernama Jepri Dalimunthe (2 tahun) berada
dibawah asuhan Termohon. Rumah tangga Pemohon dan
Termohon awalnya berjalan rukun dan harmonis, namun pada
akhir tahun 2014 telah terjadi perselisihan dan pertengkaran
dalam rumah tangga karena Termohon pergi meninggalkan
tempat kediaman bersama, Termohon termasuk dalam
kategori istri yang nushu>z.
Berdasarkan dalil diatas, Termohon menyangkal
secara tegas melalui kuasa hukumnya bernama Tris Widodo
dan Bendaharo Saifuddin yang telah terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Padangsidimpuan dibawah Nomor
W2.A9/14HK.05/VII/2015/PA.Psp. Kebenaran tentang
pernikahan benar adanya bahwa Termohon telah menikah
pada tanggal 31 Oktober 2002 dengan Kutipan Akta Nikah
Nomor 250/22/8/2003 dan telah memiliki 5 orang anak.
Alasan yang dibantah oleh Termohon bahwa kronologi yang
sebenarnya adalah Termohon pulang ke rumah orang tua
karena sakit dan butuh perawatan,Termohon mengajukan
Hak-Hak Perempuan
122
tuntutan rekonvensi supaya ditetapkan sebagai pemegang
h}ad}a>nah terhadap satu orang anak yang bernama Jepri
Dalimunthe (2 tahun), menetapkan Pemohon untuk
memenuhi hak anak dan biaya pendidikan anak mulai dari
SD-tamat sebesar Rp 2.000.000, SMP-tamat sebesar Rp
3.000.000, SMA-tamat sebesar Rp 4.000.000, jenjang
Sarjana-tamat sebesar Rp 6.000.000.
Berdasarkan deskripsi diatas, Pemohon
mengungkapkan bahwa Termohon istri yang nushu>z, namun
hal ini dapat dibantah oleh Termohon dengan menghadirkan
tiga orang saksi.34Saksi pertama, mengatakan bahwa
Termohon pernah berobat ditempat praktek saksi dengan
keluhan sering buang air kecil, namun saksi menyarankan
untuk berobat langsung ke dokter. Saksi kedua, mengatakan
bahwa Termohon pernah dibawa ke rumah sakit Inanta
Padangsidimpuan untuk dirawat selama tiga malam dan
menurut Dokter Termohon terkena penyakit lambung, pada
saat itu Pemohon tidak pernah datang menjenguk Termohon.
Saksi ketiga, mengatakan bahwa saksi pernah mengantar
Termohon ke rumah orang tua Termohon karena di rumah
tempat kediaman Termohon dan Pemohon tidak ada yang
merawat. Berdasarkan pengakuan tiga orang saksi, dapat
disimpulkan bahwa Termohon bukan termasuk istri yang
nushu>z. Hal ini dapat tergambar bahwa karakter Termohon
34
Dasar hukum pembuktian dan bukti saksi dalam hukum
perdata Islam, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an
berikut:
‚Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah‛ (Q.
S. A; T{ala>q [65]: 2).
Hak-Hak Perempuan
123
termasuk ibu yang baik, mampu untuk memelihara dan
mendidik anak-anaknya. Majelis Hakim menetapkan
Termohon sebagai pemegang hak h}ad}a>nah satu orang anak
bernama Jepri Dalimunthe umur 2 tahun, telah sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf (a) apabila
perkawinan putus karena perceraian, maka anak yang belum
mumayyiz berhak mendapatkan pengasuhan dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia.
Dalam perkara ini, Termohon juga mencantumkan
bukti berupa surat Perusahanan Perorangan (PO) Usaha
perdagangan eceran hasil sawit yang telah dinazegelen oleh
Kantor Pos dan diberi Materai secukupnya. Berdasarkan alat
bukti ini, Majelis Hakim mengabulkan tuntutan Termohon
terhadap nafkah satu orang anak yang masih berumur dua
tahun sebesar Rp 2.000.000 (dua juta rupiah) setiap bulan
sampai ia dewasa (21 tahun). Menariknya, Majelis Hakim
memberikan perlindungan lebih terhadap hak anak dengan
menambahkan 10 % setiap tahunnya karena mengingat
perubahan nilai uang yang akan datang. Jika dianalisa lebih
dalam, Pemohon harus menanggung nafkah anak dalam
setahun sebesar Rp 2.200.000 selama 20 tahun, maka total
semuanya sebesar Rp 44.000.000. Penetapan Hakim telah
sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 156 huruf (d)
dan pasal 149 huruf (d)
Majelis Hakim lebih mengutamakan kesejahteraan
ekonomi anak dengan mewajibkan Pemohon untuk
memenuhinya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an
berikut:
‚Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya dan orang yang disempitkan
Hak-Hak Perempuan
124
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang
Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan‛. (Q. S. A; T{alaq [65]:
7).
Dalam perkara ini, terungkap satu permasalahan lagi
bahwa anak kedua Pemohon dan Termohon yang bernama
Yusna Dewi Dalimunthe (9 tahun) memilih untuk tinggal
bersama Termohon. Keputusan anak memilih hak asuhnya
merupakan hak asasi anak sebagai manusia, Majelis Hakim
sebagai penentu dalam perkara ini memberikan jalan terbaik
bagi anak untuk dapat hidup dan berkembang dibawah asuhan
ibunya. Keputusan Hakim telah memenuhi prinsip utama
yang terkandung di dalam Undang-undang Perlindungan anak
No 23 tahun 2002.35
Menurut penulis, selain anak tersebut mendapatkan hak
asuh ibunya, majelis Hakim juga mempertimbangkan hak
nafkah anak berdasarkan hak ex officio. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975 pasal
24 ayat 2 huruf (b) ‚selama berlangsungnya gugatan
perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk
menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak. Majelis Hakim
35
Lihat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak pasal 4 dinyatakan bahwa ‚setiap anak berhak
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai denga harkat dan martabat kemanusiaan serta
mendapar perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi‛, pasal 8
dinyatakan bahwa ‚setiap anak berhak memperoleh pelayanan
kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental,
spiritual dan sosial‛, dan pasal 9 ayat (1) dinyatakan bahwa ‚setiap
anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan
minat dan bakatnya‛.
Hak-Hak Perempuan
125
bisa mengembangkan makna pasal dalam peraturan
pemerintah untuk tujuan penyelesaian kasus yang sedang
dihadapi, namun kewenangan ini harus tetap berada didalam
kerangka hukum serta bertujuan untuk penegakkan keadilan
dan kebenaran secara sempurna.
Anak pertama, ketiga dan keempat masih tinggal
bersama Pemohon sebagai ayahnya. Menurut tiga orang saksi
yang dihadirkan oleh Termohon, mengungkapkan bahwa
Pemohon bukanlah suami yang mau merawat istri yang
sedang sakit dan selama Termohon berbaring di rumah sakit
tiga malam, Pemohon tidak pernah menjenguk dengan alasan
sibuk. Menurut penulis, majelis Hakim dapat memindahkan
hak ketiga anak tersebut kepada kerabat lain yang mempunyai
hak asuh selain Pemohon dan Termohon. Seperti perempuan-
perempuan dalam garis lurus ke atas, jika tidak maka
dilimpahkan kepada kerabat laki-laki dalam garis lurus ke
bawah. Sedangkan nafkah dalam pemeliharaan dan
pendidikan anak tetap dibawah tanggung jawab Pemohon
sepenuhnya.
Dalam putusan ini, Majelis Hakim memberikan hak
pengasuhan anak seutuhnya kepada Termohon sebagai ibu.
Dalam Undang-undang Perkawinan pasal 41 ayat (1) dilaskan
bahwa seorang ayah juga memiliki peran penting dalam
memelihara dan mendidik anak-anaknya, namun Hakim tidak
menegaskan hal tersebut kepada Pemohon karena melihat
sifat buruk pemohon yang tidak mau merawat istrinya ketika
sakit, hal ini sudah cukup memberi gambaran kepribadian
seorang ayah yang dikhawatirkan tidak dapat mengasuh anak-
anaknya dengan baik.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa maslahah anak
akan lebih baik jika berada dibawah asuhan ibunya secara
utuh, sebagaimana kaidah fiqih berikut ini:
ها م العلى من إذا ت زاحت المصالح قد
Hak-Hak Perempuan
126
‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan,
maka diutamakan yang paling besar maslahahnya‛.36
Dalam hal nafkah anak, Hakim memberikan hak
nafkah secara utuh ditanggung oleh Pemohon sebagai ayah,
karena jika dilihat dalam surat permohonan tertulis bahwa
Pemohon sebagai petani yang sudah jelas memiliki
penghasilan tetap daripada Termohon yang hanya sebagai
karyawan yang masih honor. Pertimbangan Hakim
menetapkan hak nafkah anak seutuhnya kepada Pemohon
adalah untuk menghindari terjadinya kekurangan keuangan
anak dalam hal makanan, pakaian dan pendidikan.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa keuangan anak tertata
dengan baik, sebagaimana kaidah fiqih berikut ini: مكان رر يدفع بقدر ال الض
‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.37
c. Putusan Nomor 164/Pdt.G/2016/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Yassir Rambe bin Tamrin, umur 34
tahun, pendidikan SD, pekerjaan Petani, tempat tinggal Pasar
Ujung Batu, Kecamatan Sosa, Kabupaten Padang Lawas.
Termohon bernama Nelli Suriati binti Muhammad Nur, umur
34 tahun, pendidikan SD, pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Pada
tanggal 23 Mei 2016 Pemohon telah mengajukan surat
permohonan cerai melalui kuasa hukumnya bernama Yusuf
Nasution dari Kantor Hukum Yusuf Nasution & Associates
Riau dengan dalil bahwa pada Tahun 2002 Pemohon dan
Termohon telah melangsungkan pernikahan di rumah orang
tua Termohon Desa Pasar Ujung Batu, Kecamatan Sosa,
36
Abdul Muh}sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>’id al-
Sa’diyah, h. 204. 37
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h{iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443.
Hak-Hak Perempuan
127
Kabupaten Padang Lawas. Selama tinggal bersama layaknya
suami istri (ba’da al-dukhul) Pemohon dan Termohon telah
dikarunia tiga orang anak bernama Yasmini Harjani Rambe
(12 tahun), Farhat Azhari Rambe (9 tahun) dan Isma
Marwiyah Rambe (7 tahun), ketiganya dibawah asuhan
Pemohon. Pada awal masa pernikahan Pemohon dan
Termohon dalam keaadaan damai dan harmonis, namun pada
awal tahun 2012 kedamaian dan ketentraman rumah tangga
mulai terganggu karena Termohon selalu curiga dengan
penghasilan Pemohon sebagai petani di kebun sawit dan
Termohon memiliki sifat emosional tinggi. Akibat dari
perselisihan, Pemohon dan Termohon telah pisah tempat
tinggal kurang lebih satu tahun. Berdasarkan dalil-dalil diatas,
Pemohon memohon agar Ketua Pengadilan Agama
Padangsidimpuan memberi izin untuk menjatuhkan talak satu
raj’i terhadap Termohon.
Dua bulan setelah Pemohon mengajukan surat
permohonan cerai talak, pada tanggal 19 Juli 2016 Pemohon
mengajukan permohonan kedua melalui kuasa hukumnya
Yusuf Nasution, SH., MH atas perubahan posita surat
permohonan bahwa Pemohon menambahkan isi posita
dengan menuntut hak h}ad}a>nah ketiga anaknya berada
dibawah asuhan Pemohon sebagai ayah yang memiliki
penghasilan tetap.
Permohonan Pemohon diatas telah dijawab secara
lisan oleh Termohon dalam pokok perkara, mengungkapkan
bahwa Pemohon memiliki penghasilan tetap dari hasil panen
sawit, karet dan padi untuk kebutuhan rumah tangga dan
pendidikan anak. Dengan berjalannya waktu, Pemohon mulai
tidak bertanggung jawab sebagai suami dan ayah bagi anak-
anak karena hasil dari panen tersebut dipergunakan untuk
menjalin hubungan asmara dengan wanita lain. Dalam hal ini
Termohon mengajukan rekonvensi agar pengasuhan terhadap
tiga orang anak ditetapkan di bawah pengasuhan Termohon
Hak-Hak Perempuan
128
sebagai ibu dan menetapkan Pemohon sebagai ayah untuk
memberikan hak nafkah anak melalui Termohon.
Dalam deskripsi diatas, tergambar bahwa Pemohon
dan Termohon saling memperebutkan hak asuh anak.38
Majelis Hakim mempunyai peran penting dalam hal ini,
karena yang akan menilai argumentasi mana yang lebih kokoh
sehingga dapat dinyatakan berhak untuk melakukan hak
h}ad}a>nah dan argumentasi mana yang rapuh singga dianggap
tidak berhak.
Dalam perubahan posita, Pemohon mengungkapkan
bahwa dirinya lebih berhak mengasuh ketiga anaknya.
Apabila dianalisa lebih dalam tentang surat Permohonan yang
diajukan pada tanggal 23 Mei 2016 secara in person hanya
tertulis Surat Permohonan cerai talak, bukan perubahan
posita. Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor 226 K/Sip/1973/tanggal 17 Desember 1975, perubahan
posita surat permohonan Pemohon harus ditolak karena tidak
sesuai dengan ketentuan pasal 127 Rv (rechtsvordering) huruf
(a) tidak merubah alasan permohonan, (b) tidak merubah
tuntutan pokok dan (c) perubahan tidak merugikan termohon.
Permohonan Pemohon dalam perubahan posita harus ditolak
atau dikesampingkan, hal ini jelas merugikan Termohon
sebagai ibu yang memiliki kewajiban mengasuh anak yang
masih dibawah umur (mumayiz). Sebagaimana dijelaskan
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a).
Dalam eksepsi, Termohon mengungkapkan bahwa
Pemohon melalaikan tanggung jawab terhadap keluarga
karena menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain.
Dalam hal ini, Majelis Hakim memutuskan ibu lebih berhak
mengasuh ketiga anak mereka.
38
Dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) pasal 41 ayat
(1)‚Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak
Pengadilan memberikan keputusannya.
Hak-Hak Perempuan
129
Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadist berikut:
عن عبدالله بن عمر وأن امرأة قالت يا رسول الله إن ابن ىذا كان بطن لو وعاء ، ف قال لا وثدي لو سقاء وحجرى لو حواء ان أباه طلقن وأراد أن ي نتزعو من
رسول الله صلى الله عليو وسلم أنت أحق بو مال ت نكحيDari Abdullah Ibn ‘Umar r.a. Bahwa sesungguhnya
seseorang perempuan bertanya, ‚Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang
mengandungnya dan susuku yang menjadi minumannya
dan pangkuanku yang menjadi pembaringannya.
Sedangkan Bapaknya telah menceraikan aku dan ia
mengambilnya dariku.‛ Lalu Rasulullah Saw.,
‚bersabda kepadanya, ‚Engkau yang lebih berhak
dengan anak itu selama engkau belum menikah.‛39
Dalam hal nafkah anak, tidak ada kesepakatan bersama
antara Pemohon dan Termohon mengenai nominal biaya yang
harus ditanggung Pemohon sebagai ayah kandungnya. Majelis
Hakim menetapkan sesuai dengan kemampuan Pemohon
sebesar Rp 1.500.000, menurut penulis penetapan hukum oleh
Hakim dalam menetapkan nominal biaya anak sampai ia
dewasa telah memenuhi kebutuhan anak-anak mereka.
Penetapan Hakim telah sesuai dengan Kompilasi Hukum
Islam pasal 156 huruf (d) ‚semua biaya h}ad}anah dan nafkah
anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat
mengurus sendiri (21 tahun)‛ dan pasal 149 huruf (d).
Dalam putusan ini, Majelis Hakim memberikan hak
pengasuhan anak kepada Termohon sebagai ibu. Sifat buruk
pemohon yang menjalin asmara dengan perempuan lain, sudah
cukup memberi gambaran kepribadian seorang ayah yang
39
Ah{mad Muhammad Ibn H{anbal, al-Musnad Ima>m Ah{mad
ibn H{anbal (Beirut: Liba>non: al-Mu’asasah al-Risa>lah, 1999) Vol.
11, Nomor Hadist. 6707, h. 310.
Hak-Hak Perempuan
130
dapat mempengaruhi kepribadian dan masa depan anak.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa maslahah anak akan
lebih baik jika berada dibawah asuhan ibunya secara utuh,
sebagaimana kaidah fiqih berikut ini:
ها م العلى من إذا ت زاحت المصالح قد‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan,
maka diutamakan yang paling besar maslahahnya‛.40
Dalam hal nafkah anak, Hakim memberikan hak
nafkah anak ditanggung sepenuhnya oleh Pemohon sebagai
ayah, karena jika dilihat dalam surat permohonan tertulis
bahwa Pemohon sebagai petani yang memiliki penghasilan
tetap. Pertimbangan Hakim menetapkan hak nafkah anak
seutuhnya kepada Pemohon adalah untuk menghindari
terjadinya kekurangan keuangan anak dalam hal makanan,
pakaian dan pendidikan. Berdasarkan penjelasn diatas, bahwa
keuangan anak tertata dengan baik, sebagaimana kaidah fiqih
berikut ini: مكان رر يدفع بقدر ال الض
‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.41
Dalam tiga putusan tentang hak dan nafkah h}ad}a>nah
dalam perkara cerai talak yang telah penulis uraikan diatas,
pertimbangan hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan
memilki tiga nilai utama yaitu dari segi aspek yuridis,
filosofis dan sosiologis.
Pertama, dari segi aspek yuridis Majelis Hakim telah
menggunakan penjelasan dalam al-Qur’an, Hadis Nabi Saw
dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk
40
Abdul Muh}sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>’id al-
Sa’diyah, h. 204. 41
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h{iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h.
443.
Hak-Hak Perempuan
131
menjaga konsistensi suatu hukum. (a) Ibu lebih berhak
memelihara dan mengasuh anak yang masih dibawah umur,
sebagaimana penjelasan dalam Hadist Nabi Nomor 6707
dalam kitab Musnad Ima>m Ah{mad ibn H{anbal dan Kompilasi
Hukum Islam Pasal 156 huruf (a). (b) Ayah lebih berhak
bertanggung jawab dalam nafkah anak, sebagaimana
penjelasan dalam al-Qur’an s}u>rah al-Baqarah ayat 233 dan al-
T{alaq ayat 7 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf (d),
pasal 156 huruf (d). (c) Demi kepentingan anak, sebagaimana
penjelasan dalam Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun
1974 pasal 41 ayat (1).
Kedua, dari segi aspek filosofis Majelis Hakim telah
menetapkan hukum sesuai dengan kaidah-kaidah fiqih. (a)
Seorang ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik
anak-anak, tetapi perslingkuhan yang dilakukannya dapat
mempengaruhi kepribadian dan masa depan anak, maka
maslahah anak akan lebih baik jika berada dibawah asuhan
ibunya. Sebagaimana kaidah fiqih م هاإذا ت زاحت المصالح قد العلى من , yang mengandung arti ‚Jika ada beberapa maslahah saling
bertabrakan, maka diutamakan yang paling besar
maslahahnya‛. Sedangkan hak nafkah anak ditetapkan kepada
ayah seutuhnya untuk menghindari terjadinya kekurangan
keuangan anak, مكان yang mengandung arti الضرر يدفع بقدر ال
‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛. (b) Seorang ayah
juga memiliki peran penting dalam mendidik ank-anaknya,
tetapi sifat yang tidak mau merawat istrinya ketika sakit
dikhawatirkan tidak dapat mengasuh anak dengan baik, maka
maslahah anak akan lebih baik jika berada dibawah asuhan
ibunya. Sebagaimana kaidah fiqih ها م العلى من , إذا ت زاحت المصالح قدyang mengandung arti ‚Jika ada beberapa maslahah saling
bertabrakan, maka diutamakan yang paling besar
maslahahnya‛. Sedangkan hak nafkah anak ditetapkan kepada
ayah seutuhnya untuk menghindari terjadinya kekurangan
keuangan anak,
Hak-Hak Perempuan
132
مكان yang mengandung arti ‚Kerusakan harus الضرر يدفع بقدر ال
ditolak sebisa mungkin‛. (c) Seorang ayah juga memiliki
peran penting dalam mendidik anak-anaknya, tetapi menjanin
asmara dengan perempuan lain dapat mempengaruhi
kepribadian dan masa depan anak, maka maslahah anak akan
lebih baik jika berada dibawah asuhan ibunya. Sebagaimana
kaidah fiqih ها م العلى من yang mengandung , إذا ت زاحت المصالح قد
arti ‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan, maka
diutamakan yang paling besar maslahahnya‛. Sedangkan hak
nafkah ank ditetapkan kepada ayah seutuhnya untuk
menghindari terjadinya kekurangan keuangan anak,
مكان yang mengandung arti ‚Kerusakan harus الضرر يدفع بقدر ال
ditolak sebisa mungkin‛.
Ketiga, dari segi aspek sosiologis Majelis Hakim
menetapkan Termohon sebagai ibu yang berhak mendidik dan
memelihara anak-anaknya, karena seorang ibu lebih
mengayomi dan status anak lebih bermanfaat ketika berada
dibawah asuhan ibunya. Sedangkan hak nafkah anak sampai
ia dewasa merupakan tanggung jawab seorang ayah, karena
ayah lebih berhak dalam membiayai anak-anaknya.
4. Hak Terhadap Gaji Suami Sebagai Pegawai Negeri Sipil
a. Putusan Nomor 169/Pdt.G/2016/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Abdul Siregar bin Karim Siregar,
umur 34 tahun, pendidikan SLTA, pekerjaan sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di Rumah Sakit Umum DaerahTapanuli
Selatan, tempat tinggal di Bagas Nagodang kecematan
Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan. Termohon bernama
Ratna Togu Harahap binti Berlin Harahap, umur 34 tahun,
pendidikan Strata satu (S1 Pendidikan), pekerjaan sebagai
guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) SMK No.1 Sipirok. Pada
tanggal 6 Mei 2016 Pemohon mengajukan permohonan cerai,
dalam surat permohonan Pemohon mendalilkan bahwa
Hak-Hak Perempuan
133
Pemohon dan Termohon telah melangsungkan pernikahan di
tempat kediaman orang tua Termohon Desa Muara Siregar
Sipirok tahun 2007. Selama pernikahan, keduanya telah
melakukan hubungan layaknya suami istri (ba’da al-dukhul) dan telah dikarunia dua anak laki-laki yang diberi nama
Wahyu Alfarizki Siregar (umur 7 tahun) dan Azizah Nadia
Rizki (umur 5 tahun). Pada masa awal pernikahan, rumah
tangga Pemohon dan Termohon berjalan baik dan harmonis,
namun Pada tahun 2015 terjadi perselisihan karena
Termohon menjalin hubungan asmara dengan Wildan Halik
Batubara, menurut Pemohon hal ini sudah termasuk istri yang
nushu>z.
Alasan tersebut dibantah oleh Termohon bahwa,
Wildan Halik Batubara adalah teman semasa kuliah dulu dan
memang pernah mengutarakan rasa suka tetapi Termohon
menolaknya. Beberapa minggu kemudian, Pemohon datang
melamar Termohon dan sejak saat itu resmi menjadi suami
sitri. Pada tahun 2015 Termohon bertemu kembali dengan
Wildan dan berbincang-bincang layaknya teman lama yang
baru ketemu lagi, di tengah-tengah perbincangan tiba-tiba
Wildan menyodorkan uang kepada Termohon dan
mengatakan ‚ini saya bayar hutang yang saya pinjam waktu
kuliah dulu‛. Karena hal tersebut, Pemohon menuduh
Termohon menjalin asmara dengan Wildan Halik Batubara.
Pada intinya Termohon tidak menginginkan perceraian
dengan sebab pertama, karena Termohon sangat mencintai
Pemohon. Kedua, telah memiliki dua orang anak yang masih
membutuhkan kasih sayang dari kedua orangtuanya. Pemohon
adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah
memiliki kehidupan yang mapan (gaji tetap), maka wajib
memberikan gaji Pemohon sepertiga untuk Termohon dan
sepertiga untuk kedua anaknya.
Dalam perkara ini, Termohon dianggap istri yang
nushu>z karena perbuatan perselingkuhan yang dilakukan
memberikan ketidaknyamanan terhadap suami. Namun hal ini
Hak-Hak Perempuan
134
dapat dibantah oleh Termohon dengan mengajukan bukti
sebagai berikut:
Keterangan ketiga orang saksi Termohon
mengarahkan sebagai berikut: Saksi pertama, mengatakan
pada awalnya hubungan keluarga Pemohon dan Termohon
rukun dan damai dalam membina rumah tangga, namun
seiring berjalannya waktu telah terjadi pertengkaran dan
perselisihan antara keduanya karena tuduhan perselingkuhan
yang dilontarkan oleh Pemohon. Saksi kedua, keluarga pernah
berusaha mendamaikan Pemohon dan Termohon, bahkan
Pemohon pernah mengajukan permintaan supaya
dipertemukan dengan laki-laki yang dituduh selingkuhan
Termohon, namun setelah saksi menemukan laki-laki
tersebut, Pemohon justru tidak mau bertemu dengannya.
Saksi ketiga, mengatakan bahwa pernah melihat Pemohon
melakukan kekerasan fisik (KDRT) kepada Termohon.
Berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti di persidangan telah
sesuai dengan aturan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 84 ayat (4) bahwa, ketentuan tentang ada atau tidak
adanya nushu>z dari istri harus didasarkan atas bukti yang
sah.42
Azas dalam hukum acara perdata menjelaskan,
barangsiapa yang mendalihkan sesuatu maka ia harus
membuktikan peristiwa-peristiwa itu. Dalam pembuktian
diperlukan alat bukti yang kuat sebagai upaya untuk
meyakinkan Hakim dimuka persidangan, alat-alat bukti yang
digunakan dalam pembuktian adalah sebagaimana yang diatur
42
Nushu>z merupakan pertimbangan Hakim dalam
memutuskan hak istri pasca perceraian, apabila istri terbukti tidak
berbuat nushu>z maka Majelis Hakim dapat menghukum suami
untuk memberikan hak nafkah pasca cerai. Lihat Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 84 ayat (1), (2), (3) dan (4). Lihat juga Peraturan
Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1993 jo Peraturan Pemerintah (PP)
No 45/1990 pasal 8 ayat (1), (2), (3), (4), (5),(6) dan (7).
Hak-Hak Perempuan
135
dalam pasal 1866 kitab Undang-undang hukum perdata (KUH
Perdata) jo pasal 164 HIR/284 Rbg. Dasar Hukum
pembuktian dan bukti saksi dalam hukum perdata Islam,
sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah‛ (Q. S. A; T{ala>q [65]: 2).
Menurut analisa penulis, pasal 8 ayat (4) Peraturan
Pemerintah (PP) N0. 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
(PP) No, 45 tahun 1990 yang isinya ‚Pembagian gaji kepada
mantan istri tidak diberikan apabila alasan perceraian
disebabkan karena istri berzina, melakukan penganiayaan
berat lahir maupun bathin kepada suami, pemabuk, pemadat,
penjudi yang sukar disembuhkan, telah meninggalkan suami
selama dua tahun berturut-turut tanpa ada alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya‛ tidak berlaku bagi
Termohon dalam perkara ini.
Penentuan kewajiban untuk memberikan biaya
penghidupan kepada mantan istri dan anak-anak sebagaimana
yang tertuang dalam aturan Peraturan Pemerintah No 10/1983
jo No 45/1990 pasal 8 patut diberikan, dalam ayat (1)
disebutkan bahwa ‚apabila perceraian terjadi atas kehendak
Pegawai Negeri Sipil saja, maka ia wajib menyerahkan
sebagian gajinya untuk kehidupan mantan istri dan anak-
anaknya‛, dalam ayat (2) ‚pembagian gaji yang dimaksud
dalam ayat (1) ialah 1/3 untuk Pegawai Negeri Spil, 1/3 untuk
mantan istri dna 1/3 untuk anak-anaknya.
Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa tuntutan
Termohon terhadap hak pembagian gaji suami sebagai
Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada atasan Instansi
tempat Pemohon bekerja untuk menyelesaikannya, karena
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 terkait
pembagian gaji merupakan hak Kewenangan Administrasi
Hak-Hak Perempuan
136
Kepegawaian.43
Pertimbangan Hakim menggunakan kaidah
yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 11K/AG/2001
merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara, bahwa
pemotongan gaji diserahkan kepada Instansi tempat Pemohon
bekerja.
Dalam putusan ini terbukti bahwa Termohon
bukanlah istri yang nushu>z, mengeluarkan Termohon dari
tuduhan perselingkuhan merupakan maslahah yang diberikan
hakim untuk mendapatkan haknya kembali. Pertimbangan
Hakim telah sesuai dengan kaidah fikih berikut:
مكان رر يدفع بقدر ال الض‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
44
b. Putusan Nomor 144/Pdt.G/2016/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pemohon bernama Abdullatif bin H. Abdul Karim
Siregar, umur 40 tahun, pendidikan D-III Keperawatan,
pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Puskesmas
Poken Jior Padangsidimpuan Utara. Termohon bernama
Habiba Nasution binti Muslim Nasution, Umur 41 tahun,
pendidikan D-III Kebidanan, pekerjaan Pegawai Negeri Sipil
(PNS) di Puskesmas Hutabalang sibolga Tapanuli Selatan.
Pada tanggal 26 April 2016, Pemohon mengajukan
permohonan perceraian dengan dalil bahwa Pemohon dan
Termohon telah melangsungkan pernikahan pada tahun 2006
dan telah memiliki satu orang anak bernama Azdra Salsabila
(8 tahun) berada bersama Termohon. Pada awal pernikahan
keduanya rukun dan harmonis dalam membina rumah tangga,
akan tetapi akhir tahun 2007 terjadi perselisihan dan
43
Wawancara Pribadi dengan Buniyamin Hasibuan,
Padangsidimpuan 24 Juli 2018. 44
Taqiyuudin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h}iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443
Hak-Hak Perempuan
137
pertengkaran karena Termohon sering pulang kerumah
orangtuanya tanpa sepengetahuan Pemohon dan Termohon
sering meminta cerai, hal ini dianggap nuzhu>z oleh Pemohon
karena melakukan hal-hal yang tidak patuh terhadap suami.
Alasan tersebut dibantah oleh Termohon dengan
mengungkapkan yang sebenarnya, antara Pemohon dan
Termohon sudah memiliki kesepakatan bersama bahwa
pulang ke rumah orang tua karena Termohon memiliki usaha
sampingan dengan berdagang di hari pekan rabu dan sabtu
dan ini terjadi kurang lebih satu tahun disaat Termohon
sedang hamil sampai melahirkan. Pada intinya Termohon
tidak sering meminta cerai, bahkan bersedia bersumpah
dihadapan Pemohon dan Majelis Hakim Pengadilan Agama
Padangsidimpuan. Apabila Pemohon tetap menginginkan
perceraian, maka Termohon mengajukan gugatan
Rekonvensi.Termohon adalah seorang Pegawai Negeri Sipil
(PNS) telah memiliki kehidupan yang mapan (gaji tetap),
maka wajib memberikan gaji Pemohon 1/3 untuk Termohon
dan 1/3 untuk anak kandungnya yang berumur 8 tahun.
Nushu>z istri dapat menggugurkan hak nafkah pasca
perceraian, kecuali hal-hal untuk kepentingan
anaknya.45
Apabila dilihat kembali dalam diskrpsi kasus,
Termohon tidak termasuk istri yang nushu>z karena sudah ada
kesepakatan bersama antara Pemohon dan Termohon dalam
menjalani bisnis sampingan demi bisa membantu kebutuhan
rumah tangga.Istri dapat dikatakan nushu>z, apabila
berperilaku durhaka kepada suami seperti tidak mentaati atau
enggan melayani di tempat tidur dan keluar rumah tanpa izin
45
Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 84 ayat (2)
“selama istri dalam nushu>z, kewajiban suami terhadap istrinya
tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a ‚nafkah, kiswah dan tempat
tinggal ‚ dan b ‚biaya rumah tangga,biaya perawatan dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak‛ tidak berlaku, kecuali hal-hal untuk
kepentingan anaknya.
Hak-Hak Perempuan
138
suaminya.46
Keterangan dua orang saksi Termohon juga
mengarahkan sebagai berikut: Saksi pertama, mengatakan
bahwa keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon pada
awalnya rukun dan damai, namun seiring berjalannya waktu
terjadi tidak harmonis dalam rumah tangga disebabkan
Termohon meminta pindah dari rumah kediaman orangtua
Pemohon untuk bisa manjae (mandiri) tetapi Pemohon tidak
mau dan benar adanya Termohon sering pulang ke rumah
orang tuanya karena ada kerja sampingan. Saksi kedua,
Termohon pernah mengajak Pemohon untuk tinggal di rumah
kontrakan tetapi tidak berhasil juga karena Pemohon lebih
memilih tinggal di rumah orang tuanya.
Pembuktian diatas sangat diperlukan karena karena
barangsiapa yang mengajukan perkara untu menuntut haknya,
maka orang tersebut harus mampu membuktikan dengan
menyertakan alat-alat bukti yang mampu mendukung isi
gugatannya. Sebagaimana isi dari hadist Nabi berikut:
لو ي عطى الناس بدعواىم، لادعى رجال :ال صلى الله عليو وسلم ق الله ل و س ر ن أ عي واليمي على من أنكر أموال ق وم ودماءىم نة على المد ولكن الب ي
‚Nabi Muhammad Saw pernah bersabda ‚Jika semua
orang diberikan (apa yang mereka dakwakan) hanya
dengan dakwaan mereka, maka akan banyak orang
yang mendakwakan harta dan jiwa orang lain. Tapi
yang mendakwa harus mendatangkan bukti dan
terdakwa yang mengingkari harus bersumpah‛.47
Redaksi hadist diatas menjelaskan bahwa, untuk
mendapatkan hukum yang sesuai dengan dengan petitum
perkara, maka Termohon mampu mengemukakan bukti-bukti
46
Sayid Sabiq, “Fiqih Sunnah” juz 2 47
al-Baihaqi>, Sunan al-Baihaqi> al-Kubra> (Maktabah al-
Mukarramah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994), Vol. 10, No. 20990, h.
252.
Hak-Hak Perempuan
139
yang membenarkan dalil gugatannya supaya Hakim bisa
menghukum sesuai dengan dalil yang dikemukakan.48
Menurut analisa penulis, pasal 8 ayat (4) Peraturan
Pemerintah (PP) N0. 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah
(PP) No, 45 tahun 1990 yang isinya ‚Pembagian gaji kepada
mantan istri tidak diberikan apabila alasan perceraian
disebabkan karena istri berzina, melakukan penganiayaan
berat lahir maupun bathin kepada suami, pemabuk,pemadat,
penjudi yang sukar disembuhkan, telah meninggalkan suami
selama dua tahun berturut-turut tanpa ada alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya‛ tidak berlaku bagi
Termohon dalam perkara ini.
Dalam perkara ini, Pemohon dan Termohon telah
memiliki satu orang anak perempuan berumur 8 tahun,
majelis memutuskan sesuai dengan kaidah hukum bahwa anak
yang belum mumayyiz berada dibawah asuhan ibu
kandungnya. Berdasarkan PP pasal 8 ayat (2) pembagian gaji
sebagaimana dalam ayat (1) ‚apabila perceraian putus karena
Pegawai Negeri Sipil, maka ia wajib menyerahkan sebagian
gajinya untuk istri dan anak-anaknya‛ sepertiga untuk
dirinya, sepertiga untuk mantan istrinya dan sepertiga untuk
anaknya.49
Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa tuntutan
Termohon terhadap hak pembagian gaji suami sebagai
Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada atasan Puskesman
tempat penggugat bekerja untuk menyelesaikannya, karena
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 terkait
pembagian gaji merupakan hak kewenangan administrasi
48
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-T{uruq al-H{ukmiyyah fi> al-
Siya>sah al-Shar’iyyah, vol. 1, h. 26. 49
Lihat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983
jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990.
Hak-Hak Perempuan
140
kepegawaian.50
Pertimbangan Hakim menggunakan kaidah
yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 11K/AG/2001
merupakan keputusan pejabat Tata Usaha Negara, bahwa
pemotongan gaji diserahkan kepada Instansi tempat
penggugat bekerja.
Dalam putusan ini terbukti bahwa Termohon
bukanlah istri yang nushu>z, mengeluarkan Termohon dari
tuduhan pembangkangan merupakan maslahah yang diberikan
Hakim untuk mendapatkan haknya kembali. Pertimbangan
Hakim telah sesuai dengan kaidah fikih berikut:
مكان رر يدفع بقدر ال الض‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
51
Dalam dua putusan tentang hak istri terhadap gaji
suami sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam perkara
cerai talak yang telah penulis uraikan diatas, pertimbangan
Hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan memilki tiga
nilai utama yaitu dari segi aspek yuridis, filosofis dan
sosiologis.
Pertama, dari segi aspek yuridis Majelis Hakim telah
menggunakan penjelasan dalam Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku untuk menjaga konsistensi suatu
hukum. (a) Peraturan Pemerintah (PP) No 10 Tahun 1983 jo
Peraturan Pemerintah (PP) No 45 Tahun 1990 pasal 8 ayat (1)
dan (2). (b) Peraturan Pemerintah (PP) No 45 Tahun 1990
terkait pembagian gaji merupakan hak kewenangan
administrasi kepegawaian. (c) Yurisprudensi Mahkamah
Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 11K/AG/2001.
50
Wawancara Pribadi dengan Buniyamin Hasibuan,
Padangsidimpuan 24 Juli 2018. 51
Taqiyuudin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Abdul Azi>z ibn Ali al-Futu>h}iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443
Hak-Hak Perempuan
141
Kedua, dari segi aspek filosofis Majelis Hakim telah
menetapkan hukum sesuai dengan kaidah fiqih. (a)
Mengeluarkan Termohon dari tuduhan perselingkuhan,
merupakan maslahah yang diberikan Hakim untuk
mendapatkan haknya kembali. Sebagaimana kaidah fiqih
مكان الضرر يدف ع بقدر ال , yang mengandung arti ‚Kerusakan harus
ditolak sebisa mungkin‛. (b) Mengeluarkan Termohon dari
tuduhan tidak patuh terhadap suami, merupakan mashlahah
yang diberikan Hakim untuk mendapatkan haknya kembali.
Sebagaimana kaidah fiqih مكان yang ,الضرر يدفع بقدر ال
mengandung arti ‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛. Ketiga, dari segi aspek sosiologis Majelis Hakim
berusaha mewujudkan hak istri terhadap gaji suami sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk kebutuhan dirinya dan
anak, karena perceraian yang terjadi dapat menyebabkan istri
tidak memiliki penghasilan.
C.Analisis Pertimbangan Hakim terhadap Hak-hak
Perempuan Pasca Perceraian dalam Perkara Cerai Gugat
Berdasarkan aturan hukum dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 114 bahwa, putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian. Perempuan diberikan hak
yang sama untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan
mengajukan permohonan kepada lembaga Peradilan yang
menjadi para pihak yang menjatuhkan talak atau dengan
menebus dirinya dengan jalan khulu’, pada prinsipnya cerai
gugat dan khulu’ memiliki persamaan karena perceraian jenis
ini sama-sama diajukan oleh pihak istri.52
52
Dalam Islam, istri juga diberikan hak dalam mengakhiri
perkawinan. sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
Hak-Hak Perempuan
142
Hakim di Pengadilan Agama Pasangsidimpuan
menjatuhkan t}alaq ba>’in s}ughra dan t}alaq khul’i dalam
perkara cerai gugat berdasarkan alasan-asalan sebagaimana
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan pasal 19, bahwa perceraian dapat terjadi
karena: (a) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabuk, pemadat penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan; (b) salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
(c) salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara lima
tahun atau hukuman yang lebih berat lagi setelah perkawinan
berlansung; (d) salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; (e) salah
satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan
‚jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada
dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya‛. Sementara dalam hadist‛.( Q.
S. A; Baqarah [2]: 229).
ب عليو ف خلق ولا دين ولكن أكراه الكفر يا رسول الله ثابتب بن ق يس ما أعت ف السلام, قال رسول الله صلى الله عليو وسلم: أت ردين عليو حدي قتو؟ قالت:
قة. )رواه ن عم, قال رسول الله صلى الله عليو وسلم: اق بل حدي قتو، طلقها تطلي البخاري(
Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit bin Qais dalam
hal akhlak dan agama, namun aku tidak suka durhaka
(kepada suami) setelah masuk Islam. Lalu Rasulullah saw
bersabda, ‚Apakah engkau mau mengembalikan kebun
kepadanya? Ia menjawab ‚iya‛. Maka Rasulullah bersabda
kepada Tsabit bin Qais, ‚terimalah kebun itu dan ceraikanlah
ia‛ (HR. al-Bughari)
Hak-Hak Perempuan
143
akibat tidak dapat menjalanka kewajibannya sebagai suami
atau istri; (f) antara suami dan istri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan lagi akan
hidup rukun dalam rumah tangga. Dalam redaksi yang sama,
alasan-alasan tersebur juga diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 116, namun ada penambahan huruf (g) suami
melanggar takhlik talak.
Taklik talak merupakan perjanjian perkawinan yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan dinilai
sebagai salah satu sarana yang efektif untuk memberikan
perlindungan kepada istri dari tindakan sewenang-wenang
suami.53
Dalam aturan Kompilasi Hukum Islam pasal 51
dijelaskan bahwa, pelanggaran atas perjanjian perkawinan
memberikan hak kepada istri untuk meminta gugatan
perceraian di Pengadilan Agama sebagai ganti atas
ketidakrelaan istri terhadap perbuatan suami.54
53
Lihat pasal 29 UUP/1974 tentang perjanjian perkawinan:
(1) pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah
pihak atas tujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh pegawai pencatat pernikahan, setelah mana
istrinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersebut tersangkut. (2) perjanjian tersebut tidak bisa disahkan
bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dari kesulitan. (3)
perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. (4)
selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
mengubah atau pengubahan tersebut tidaklah merugikan pihak
ketiga. 54
Gugatan cerai yang diajukan oleh istri atas tindakan
suami melanggar takhlik talak, menebus dirinya dengan membayar
‘iwad dan dengan alasan-alasan lain seperti suami tidak
bertanggung jawab dan mengabaikan istri tanpa ada dasar
penyebabnya.Tindakan suami meninggalkan istri sering dianggap
ringan oleh sebagian laki-laki yang tidak mengerti hukum Islam,
dalam aturan hukum Islam melarang keras hal tersebut. Seorang
suami meninggalkan rumah tanpa alasan yang tidak jelas tidak akan
Hak-Hak Perempuan
144
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya‛. (Q. S. A; Isra>’ [17]:
34).
dalam dalil berikut ini juga dijelaskan bahwa:
لا م ا ع ى د و ج و ب ع ق و ة ف ص ا ب ق لا ط ق ل ع ن م ى ل ى ع او ق ر )الش ظ ف الل ى ض ت ق (ير ر ح الت
Barang siapa (suami) yang menggantungkan talaknya
dengan sesuatu sifat, maka talak tersebut akan jatuh
apabila sifat tersebut terwujud sesuai dengan apa yang
diucapkan.55
Tujuan Hakim mengabulkan gugat cerai dari pihak istri
kepada suami untuk membebaskan istri dari perlakuan suami
yang tidak bertanggung jawab sebagai kepala keluarga, dalam
hal ini Hakim tetap menggunakan kaidah fiqih sebagaimana
digunakan dalam putusan cerai talak yaitu:
ح ال ص م ال ب ل ج ن م ل و أ د اس ف م ال ئ ر د
menyelesaikan masalah, justru akan memperlebar masalah dan istri
akan mempunyai kesan suami lari dari tanggung jawab sebagai
kepala rumah tangga. Upaya atau kebijakan untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan kejahatan kekerasan dalam rumah
tangga termasuk dalam bidang kebijakan kriminal. Ahmad Syahrus
Sikti, Daf’u al-Darar Dalam Putusan Hakim Pengadilan Agama:
Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama se-Wilayah DKI
Jakarta Tahun 2010-2014,(Disertasi S3 Fakultas Shari’ah,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015). 55
‘Abdullah ibn H{ija>z ibn Ibra>hi>m al-Sharqa>wiy, Ha>shiyah
al-Sharqa>wiy ‘ala Sharah{ al-Tah{ri>r.
Hak-Hak Perempuan
145
‚Menolak kerusakan lebih utama daripada mengambil
kebaikan ‛56
Dalam aturan Kompilasi Hukum Islam pasal 149
huruf (b) menentukan bahwa istri yang dijatuhkan t}ala>q ba>’in tidak berhak mendapatkan nafkah, maskan dan kiswah dari
mantan suaminya salama masa ‘iddah. Namun ketentuan
dalam pedoman pelaksanaan Tugas dan Administrasi
Peradilan Agama menyebutkan bahwa, Hakim secara ex officio dapat menetapkan hak nafkah ‘iddah istri dalam
perkara cerai gugat dengan adanya alasan dan bukti bahwa
suami melakukan kekejaman atau kekerasan selama
menjalankan hubungan perkawinan.57
Aturan diatas telah di implimentasikan oleh Hakim
Mahkamah Agung dalam yurisprudensi: Pertama,
yurisprudensi Nomor 137K/AG/2007 dengan menetapkan
adanya hak nafkah ‘iddah istri sebagai penggugat dalam
perkara cerai gugat yang dalam proses persidangan tidak ada
keterangan jika ia berbuat nushu>z, hak nafkah ‘iddah istri
yang ditetapkan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam
yurisprudensi tersebut merupakan sesuatu yang ditetapkan
diluar dari apa yang diminta karena Penggugat tidaklah
memuat petitum yang menghukumi suami untuk memberikan
hak nafkah kepada istri. Kedua, yurisprudensi Nomor
276/K/AG/2010 menetapkan bahwa istri berhak mandapatkan
hak nafkah ‘iddah, karena kemelut rumah tangga disebabkan
oleh Tergugat yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istri
pertama.
Menurut majelis Hakim status tergugat menikah lagi
tanpa sepengetahuan istri adalah sikap yang tidak terhormat
56
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakar al-Shuyu>t}i, al-
Ashbah wa al-Naz}a>ir fi Qawa>’id wa Furu>’ Fiqh al-Shafi’i>, h. 235. 57
Pedoman Pelaksana Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama Buku II (Edisi Revisi 2010), Mahkamah Agung RI:
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama, 2010, h. 153.
Hak-Hak Perempuan
146
dan sangat mengguncangkan hati bagi istri yang patuh, dalam
aturan Undang-undang perkawinan telah dijelaskan bahwa
seorang suami yang beristri lebih dari seorang harus ada
persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan terutama
istri.58
Kemudian diikuti oleh Pengadilan Agama Jakarta
selatan dalam Putusan Nomor 1445/Pdt. G/2010/PA.Js dan
Nomor 1394/Pdt. G/2012/PA. Js, dalam putusan tersebut
mencantumkan walaupun istri yang mengajukan gugat cerai
tetap berlaku masa ‘iddah, sebagaimana tercantum dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 155 bahwa wantu ‘iddah bagi
istri yang putus perkawinannya karena khulu’, fasakh dan
li’an tetap berlaku ‘iddah talak. Berdasarkan aturan hukum
dalam pasal 41 huruf (c) UUP jo pasal 149 huruf (b) KHI istri
wajib diberikan nafkah selama masa ‘iddah. Hak nafkah
‘iddah yang ditetapkan oleh Majelis Hakim dalam putusan
cerai gugat merupakan pertimbangan dari tuntutan istri dalam
gugatan rekonvensi.59
Dalam Undang-undang perkawinan pasal 41 huruf (c)
menyebutkan akibat putusnya perkawinan karena perceraian,
Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk
memberikan biaya penghidupan atau menentukan suatu
kewajiban bagi mantan istri. Secara tekstual definisi
perceraian dalam pasal diatas menyimpan nilai perceraian
secara universal (cerai talak dan cerai gugat), hal ini
menandakan bahwa Hakim Pengadilan Agama sebagai
pemegang kendali dapat menentukan anggaran keperluan
58
Yurisprudensi Nomor 137/K/AG/2007 dan Nomor
276/K/AG/2010 59
Putusan Nomor 1445/Pdt.G/2010/PA.Js dan Nomor
1394/Pdt.G/2012/PA.Js. Hakim bisa bersandar pada Yurisprudensi
sebagai pembentukan hukum dalam pengambilan putusan di
Pengadilan Agama untuk menghasilkan kepastian, kemanfaatan dan
keadilan hukum. Hasil wawancara pribadi dengan Bapak Febrizal
Lubis, Padangsidimpuan, 24 Juli 2018.
Hak-Hak Perempuan
147
sehari-hari bagi mantan istri selama masa tunggu.60
Untuk
mengetahui hak-hak perempuan dalam perkara cerai gugat di
Pengadilan Agama Padangsidimpuan, peneliti akan
menganalisis beberapa putusan terkait dengan hak nafkah
pasca cerai gugat.
1. Mahar yang Masih Terhutang
a. Putusan Nomor 152/Pdt.G/2015/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Penggugat bernama Supiayati Harahap binti Rustam
Harahap, umur 34 tahun, pendidikan Sekolah Menengah Atas
(SMA), pekerjaan berdagang, tempat tinggal Desa Gunung
Tua Tonga, Kecamatan Padangbolak, Kabupaten Padang
Lawas Utara. Tergugat bernama H. Damean Parapat bin H.
Apdollah Parapat, umur 41 tahun, pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA), pekerjaan berjualan. Pada tanggal 8
Juni 2015, Penggugat mengajukan gugatan cerai kepada
Tergugat dengan dalil bahwa Keduanya telah melangsungkan
pernikahan pada tanggal 31 Desember 2014 di Kantor Urusan
Agama (KUA) Kota Medan, sebagaimana bukti kutipan akta
nikah Nomor 17/7/I/2015 yang telah dikeluarkan oleh KUA
Kota Medan, Kecamatan Labuhan Medan, Provinsi Sumatera
Utara.
Dalam Perkara ini, Majelis Hakim menyarankan atau
menasehati Penggugat berpikir ulang dan kembali kepada
Tergugat untuk memperbaiki kembali rumah tangga yang
pernah retak. Atas saran tersebut, Penggugat menyatakan
bahwa gugatannya dicabut. Menimbang bahwa pencabutan
perkara ini dilakukan sebelum adanya jawaban dari Tergugat,
maka pencabutan perkara ini dapat dibenarkan berdasarkan
271-272 Rv. 271 Rv‚ pencabutan mutlak hak Penggugat
selama pemeriksaan belum berlangsung, Penggugat dapat
mencabut perkaranya dengan syarat asalkan hal itu dilakukan
60
Nuruddin dan Tarigan, Hukum Perdata Islam…, h. 219.
Hak-Hak Perempuan
148
sebelum Tergugat menyampaikan jawaban. 272 Rv‚
Penggugat berhak melakukan pencabutan sendiri gugatannya
karena secara hukum Penggugat sendiri yang paling
mengetahui hak dan kepentingan dalam kasus perkara yang
bersangkutan. Pasal ini dikuatkan dengan salah satu putusan
Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia yang
menegaskan bahwa selama proses pemeriksaan perkara di
persidangan belum berlangsung, Penggugat berhak mencabut
gugatan tanpa persetujuan Tergugat setelah proses
pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih boleh dilakukan
dengan syarat harus ada persetujuan pihak Tergugat.61
b. Putusan Nomor 264/Pdt. G/2015/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pada tanggal 8 Oktober 2015, Penggugat kembali
mengajukan cerai kepada Tergugat dengan alasan telah
melanggar taklik talak. Keadaan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat pada awalnya rukun dan damai, namun pada
pertengahan Februari 2015 Tergugat pergi meninggalkan
tempat kediaman bersama tanpa sebab dan alasan yang jelas,
sejak saat itu Tergugat tidak pernah lagi kembali dan
memberikan nafkah kepada Penggugat kurang lebih 8 bulan
lamanya. Penggugat belum menyerahkan mahar pernikahan
sebagaimana yang termuat dalam kutipan akta nikah nomor
17/7/1/2015, dengan alasan ini Penggugat tidak ridha
sehingga mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim
untuk mengadili perkara ini secara hukum yang berlaku.
Dalam masalah ini tidak memutuskan masalah mahar, karena
Penggugat telah mencabut gugatan mahar. Sedangkan
gugatan cerai tetap dipertahankan, sehingga Majelis Hakim
menjatuhkan t}ala>q khul’i dengan syarat Penggugat membayar
iwad sebesar Rp 10.000 kepada Tergugat.
61
Zainal Asikin, Hukum Acara Perdata di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), h. 27.
Hak-Hak Perempuan
149
Dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun
1990 taklik talak diatur secara rinci, bunyinya sebagai
berikut: ‚sesudah akad nikah saya...bin...berjanji dengan
sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya
sebagai seorang suami dan akan saya pergauli istri saya
bernama...binti...dengan baik menurut ajaran syari’at Islam.
Selanjutnya saya mengucapkan sighat taklik atas istri saya
sebagai berikut: sewaktu-waktu saya: (1) meninggalkan istri
saya dua tahun berturut-turut, (2) atau saya tidak memberi
nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya, (3) atau saya
menyakiti badan/jasmani istri saya itu, (4) atau saya
membiarkan (tidak memedulikan) istri saya itu enam bulan
lamanya‛. Kemudian istri saya itu tidak rela dan mengadukan
halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang
memberinya hak untuk mengurus pengaduan itu dan
pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau
petugas tersebut, dan istri saya membayar uang sebesar Rp
10.000 sebagai iwad (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah
talak saya satu kepanya. Kepada Pengadilan atau petugas
tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwad itu
dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan
Masjid (BKM) pusat untuk keperluan ibadah sosial.62
Berdasarkan deskripsi diatas, dalam waktu 5 bulan
setelah pencabutan gugatan cerai, Penggugat mengajukan
kembali dengan mengubah dalil dalam petitum memohon
kepada majelis Hakim untuk menjatuhkan t}ala>q khul’i atas
pelanggaran taklik talak yang pernah diucapkan Tergugat
ketika akad nikah berlangsung.63
62
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2016), h, 416-417. 63
Perubahan atau penambahan gugatan tidak diatur secara
rinci dalam HIR/Rbg, namun dalam yurisprudensi Nomor 454
K/Sip/1970, Nomor 1042 K/Sip/1971 dan Nomor 823 K/Sip/1973
Hak-Hak Perempuan
150
c. Putusan Nomor 54/Pdt.G/2016/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Pada tanggal 2 Februari 2016 Penggugat mengajukan
kembali gugatan mahar yang pernah dinyatakan dicabut dalam
putusan Nomor 264/Pdt. G/2015/PA.Psp. Pada saat akad
nikah berlangsung tanggal 31 Desember 2014 di Medan,
Tergugat memberikan mahar berupa rumah permanen seluas
175 M2
diatas tanah seluas 900 M2. Penggugat dan Tergugat
tinggal bersama di rumah yang dijadikan sebagai mahar oleh
Tergugat, pada pertengahan bulan januari 2015 keluarga dari
pihak Penggugat dan Tergugat mengadakan acara adat
(mebat) sebagai kunjungan kedua keluarga, dalam acara adat
tersebut keluarga Tergugat telah membenarkan bahwa rumah
yang Penggugat dan Tergugat tempati adalah hak milik
Penggugat yang diberikan Tergugat sebagai mahar
pernikahan. Selama Penggugat dan Tergugat tinggal bersama,
rumah tersebut sudah pernah direnovasi oleh Penggugat
dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp 130.000.000 (seratus
tiga puluh juta rupiah). Setelah terjadinya perceraian antara
Penggugat dan Tergugat pada bulan November 2015, rumah
yang dijadikan mahar oleh Tergugat diambil kembali dengan
memasang pagar dan menggati kunci pintu rumah.
Berdasarkan uraian diatas, Penggugat memohon kepada
Majelis Hakim agar memeriksa perkara ini dan memutuskan
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pada hari persidangan yang telah ditetapkan,
Penggugat memberikan kuasa hukum kepada H. Erwin
Hamonangan Pane SH. MH., Rafidah SH., dan Ismail
Marzuki Hasibuan SH sebagai advokat (Konsultan Hukum)
dijelaskan bahwa prubahan atau penambahan gugatan
diperkenankan asal tidak mengubah dasar gugatan (posita) dan tidak
merugikan tergugat dalam pembelaan kepentingannya.
ZainalAsikin, Hukum Acara Perdata, h.30.
Hak-Hak Perempuan
151
dikantor Hukum Erpi J. Samudra Dalimunthe SH., MH.
Sedangkan Tergugat juga memberikan kuasa hukum kepada
Romi Iskandar Rambe SH sebagai advokat di kantor Advokat
R.I Rambe SH& Assosiates Padangsidimpuan Jln. Sutan
Soripada Mulia Gang Serasi 9 Link III Kelurahan Tano Bato
Kota Padangsidimpuan.
Berdasarkan deskripsi diatas, Penggugat mengajukan
gugatan pengembalian mahar yang masih terhutang. Untuk
menyelesaikan perkara ini Penggugat dan Tergugat
mengutuskan advokat sebagai kuasa hukum. Berdasarkan
Undang-undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa, Advokat sebagai salah satu unsur sistem
peradilan dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi
manusia. Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat
menjalankan tugas demi kepentingan masyarakat pencari
keadilan dan memberdayakan masyarakat dalam mencari hak-
hak fundamental mereka di depan hukum.64
Melalui kuasa hukum, Tergugat membantah dalil
gugatan Penggugat. kejadian yang sebenarnya adalah benar
adanya bahwa waktu akad nikah ada penyebutan mahar
seperti yang disampaikan oleh Penggugat dan menandatangi
surat persyataan pada saat akad nikah berlangsung, namun hal
tersebut Tergugat lakukan untuk memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Penggugat agar mau dinikahi. Mahar berupa
sebuah rumah permanen seluas 175 M2
diatas tanah seluas 90
M2
bukanlah milik Tergugat, melainkan masih hak milik ibu
kandungnya bernama Malian Siregar.
Berdasarkan bantahan diatas, Penggugat
menyampaikan replik secara tertulis melalui kuasa hukumnya
pada tanggal 10 Mei 2016. Menyampaikan bahwa, mahar
berupa rumah yang sedang Penggugat dan Tergugat tempati
bukanlah milik orang tuanya. Dalam hal ini Penggugat juga
64
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama dalam
Kerangka Fiqih al-Qadha, (Jakarta: Rajawali Pers,2013), h. 113.
Hak-Hak Perempuan
152
mengajukan alat bukti untuk menguatkan dalil gugatan,
seperti alat bukti tulisan yang dikemukakan oleh Penggugat.
Pertama, kutipan akta nikah dengan No 17/17/1/2015 yang
telah di nazagelen dan ditandatangani oleh ketua Majelis
Hakim. Kedua, kutipan akta cerai dengan No
221/AC/2015/PA yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Padangsidimpuan pada tanggal 19 Nopember 2015. Ketiga,
sertifikat penasehat Pembina dan pelestarian perkawinan
dengan No 5K/BP-4/2015 yang dikeluarkan oleh Badan
Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP-4)
Kecamatan Medan Labuhan pada tanggal 31 Desember 2014.
Keempat, Kartu Keluarga (KK) dengan No
1203082607070006, Kelima, Foto Copy tanda terima
(kwitansi) pembayaran rehab rumah dan bangunan lesehan
yang ditandatangani oleh Kombang Pardede pada tanggal 25
januari 2015. Keenam Foto copy surat Keterangan pembagian
Harta Gono Gini antara Damean Parapat dengan Binah
Sitorus pada tanggal 15 juni 2014. Sedangkan alat bukti saksi
Penggugat menghadirkan tiga orang saksi yang masing-
masing masih dalam ikatan keluarga, berdasarkan keterangan
dari tiga orang saksi bahwa Tergugat pernah mengucapkan
mahar berupa tanah dan bangunan rumah senilai Rp
200.000.000 dan Tergugat pernah menyerahkan surat-surat
tanah dan rumah yang telah ditandatangani diatas materai
kepada Penggugat sebagai mahar perkawinan.
Pihak Tergugat juga mengajukan bukti-bukti tertulis
dan alat bukti saksi sebanyak dua orang saksi yang
merupakan abang kandung Tergugat, bukti tertulis yang
diajukan oleh Tergugat berupa sertifikat hak milik dengan No
74 atas nama ibu kandung Tergugat yang dikeluarkan oleh
kepala kantor badan Pertahanan Nasional Kabupaten
Tapanuli Selatan. Sedangkan keterangan dari alat bukti saksi
mengungkapkan bahwa, saksi tidak mengetahui kalau mahar
perkawinan yang diberikan tergugat berupa tanah dan rumah,
karena rumah tersebut masih sebagai warisan ibu kandung
Hak-Hak Perempuan
153
Tergugat dan harga tanah tersebut kalau dijual sebesar Rp
100.000.00. Selama mereka tempati, ada dilakukan perbaikan
seperti pengecetan, menggantikan lantai dengan keramik yang
jumlahnya lebih kurang Rp 10.000.000.
Urgensi pembuktian dalam pemeriksaan perkara
perdata memegang peranan penting, karena Hakim akan
mendapatkan gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang
sedang menjadi sengketa di Pengadilan Agama.65
Berdasarkan
fakta-fakta dan alat-alat bukti di persidangan Tergugat
terbukti bahwa saat akad nikah berlangsung dengan sengaja
mengucapkan sebuah rumah diatas tanah seluas 25x36 M2=
900 M2
sebagai mahar pernikahan Penggugat, namun obyek
yang menjadi mahar tersebut belum sempurna menjadi hak
milik Tergugat seutuhnya karena masih merupakan bundel
warisan keluarga Tergugat yang belum dibagikan ke ahli
waris yang bersangkutan. Majelis Hakim mengambil
kesimpulan bahwa Tergugat belum ada menyerahkan
maharnya berupa rumah dan tanah kepada Penggugat, sesuai
dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islan pasal 33
ayat (2) ‚apabila calon mempelai wanita menyetujui,
penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya
atau sebahagian dan mahar yang belum ditunaikan
penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria‛.
Majelis Hakim sepakat untuk mengabulkan gugatan
Penggugat dengan menetapkan mahar Penggugat berupa
sebuah rumah diatas tanah seluas 25x36 M2= 900 M
2 yang
terletak di daerah domisili Penggugat dan Tergugat atau
menggantikannya ditempat lain yang sebanding dan
kuantitasnya atas kesepakatan oleh kedua belah pihak atau
dalam bentuk uang yang setara dengan itu. Ketentuan ini
berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 36 menjelaskan
65
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2016), h. 242.
Hak-Hak Perempuan
154
bahwa ‚apabila mahar hilang sebelum diserahkan maka itu
dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan
jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau
dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang
hilang‛.
Dalam Islam mahar merupakan pemberian yang
penuh kerelaan, sebagaimana penjelasan dalam al-Qur’an
berikut:
‚Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan‛. (Q. S. A; Nisa>’[4]: 4)
Kata nih{lah pada ayat diatas dapat dipahami bahwa,
status pemberian dalam perkawinan merupakan pemberian
sukarela tanpa pamrih sebagai simbol cinta dan kasih sayang
dari calon suami kepada calon istrinya dan bukan sebagai
uang pengganti untuk mendapatkan kehalalan sebuah
hubungan karena pada prinsipnya suami istri adalah pasangan
yang saling melayani dan dilayani. Dengan adanya status
mahar, diharapkan dapat membentuk tujuan utama dari
pernikahan sakinah mawaddah warahmah.66
Persepsi mahar tidak hanya dapat dipahami dalam
bentuk uang, tetapi dapat dipahami dalam beberapa alternatif. Pertama, benda-benda tertentu seperti cincin, kalung permata,
berlian, mutiara dan jenis pehiasannya lainnya cenderung
dijadikan mahar sebagai simbol penampilan, kesucian,
ketulusan antara laki-laki dan perempuan. Kedua, seperangkat
alat shalat, al-Qur’an, paket umrah/haji dan pengajaran baca
66
Khairuddin Nasution, Islam Tentang Relasi Suami dan Istri: Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: ACADEMIA &
TAZZATA, 2004), h. 168. Lihat juga Halimah B, ‚Konsep Mahar
(Mas Kawin) Dalam Tafsir Kontemporer‛Al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan V6, no 2, Desember 2017, h. 164.
Hak-Hak Perempuan
155
tulis al-Qur’an kepada calon mempelai perempuan. Ketiga,
properti berupa rumah dan tanah. Jenis obyek mahar tersebut
dipahami sebagai simbol religius dengan harapan dapat
melanggengkan pernikahan.67
Dalam ayat yang lain juga
dijelaskan, seperti tidak boleh mengambil kembali apa yang
sudah diberikan. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an
berikut:
‚Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedangkan kamu telah memberikan
kepada seseorang diantara mereka harta yang
banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali
dari padanya barang sedikitpun‛. (Q. S. A; Nisa>’ [4]:
2).
Penggunaan lafaz qinta>r pada ayat diatas dapat
dipahami dengan harta yang banyak,68
bukan hanya
menunjukkan pemberian mahar dalam kadar yang tinggi
melainkan pembuktian bahwa mahar pada dasarnya
merupakan pemberian yang berharga dan bernilai tinggi yang
dapat memberikan manfaat dan kebaikan kepada perempuan.
Tujuan hukum shari’ah adalah memberi manfaat dan menolak
keburukan, diantara hikmah mahar dalam syari’at Islam
adalah memberikan hak kepemilikan harta sebagai tanda
kemuliaan kepada perempuan dan perlindungan sosio-
67
Noryamin Aini, ‚Tradisi mahar di Ranah Lokalitas
Ummat Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat Muslim
Indonesia,”dalam Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah V14, no. 1, Januari
2014, h. 17. 68
Li Abi> Ja’far Muhammad bin Jari>ru al-T{abari>, Jami’ al-
Baya>n ‘an Ta’wi>lu Ayyu al-Qur’an Tafsir At-T{abari> (Bayrut-
Libana>n, Da>r al-Kitab al-‘Alamiyah, 2004), h. 123.
Hak-Hak Perempuan
156
ekonomi.69
Dalam ayat yang lain juga disebutkan,
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka
(isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
Perjanjian yang kuat‛. (Q. S. A; Nisa>’ [4]: 21).
Dalam putusan ini, Majelis Hakim memberikan
kemudahan bagi Penggugat untuk mendapatkan kembali
maharnya senilai dengan bentuk mahar yang pernah
diucapkan oleh Tergugat saat akad nikah berlangsung.
Maslahah dalam pertimbangan Hakim adalah menghindari
kerugian yang dialami Penggugat ketika mengetahui bahwa
mahar berupa rumah yang Penggugat dan Tergugat tempati
masih dalam bentuk bundelan warisan orang tua Tergugat.
Kerugian yang dialami Penggugat merupakan kerusakan yang
harus ditolak, sesuai dengan kaidah fiqih berikut:
ال ز ي ر ر الض ‚Kerusakan harus dihilangkan‛.
70
69
Ghada G. Qaisi, ‛A Student Note: Religious Marriage
Contracts, Judicial Enforcement of Mahr Agreements in Amarican
Court‛ dalam Journal of Law and Religious15 (2000), h. 70. 70
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Shuyu>t}i, al-
Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi> Qawa>id wa Furu>’ Fiqh al-Shafi’i>, h.
135.Kaidah diatas berasal dari Hadist Nabi لاضرر ولاضرار, artinya
‚tidak memudharatkan diri sendiri dan tidak memudharatkan orang
lain‛. Dalam kaidah ini terdapat penjelasan bahwa tidak boleh
seseorang memberikan mudharat kepada orang lain baik terhadap
jiwanya maupun hartanya karena hal tersebut merupakan kezaliman
yang dilarang oleh setiap agama. Lihat dalam ‘Ali> H{aydar, D{urar al-
Hak-Hak Perempuan
157
Dalam putusan tentang mahar yang masih terhutang
dalam perkara cerai gugat yang telah penulis uraikan diatas,
pertimbangan hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan
memilki tiga nilai utama yaitu dari segi aspek yuridis, filosofis
dan sosiologis. Pertama, dari segi aspek yuridis Majelis
Hakim telah menggunakan penjelasan dalam al-Qur’an dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku untuk menjaga
konsistensi suatu hukum. (a) Kewajiban pengembalian mahar
yang masih terhutang dijelaskan dalam al-Qur’an s}u>rah an-
Nisa>’ ayat 4, 20 dan 21. (b) Dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 33, 36 dan 37. (c) Yurisprudensi Nomor 454
K/Sip/1970, Nomor 1042 K/Sip/1971 dan Nomor
823K/Sip/1973 bahwa perubahan atau penambahan gugatan
diperbolehkan selama tidak merugikan pihak Tergugat.
Kedua, dari segi aspek filosofis Majelis Hakim telah
menetapkan hukum sesuai dengan kaidah fiqih. Mahar yang
diucapkan Tergugat saat akad nikah berlangsung masih dalam
bentuk bundelan warisan orang tuanya, dalam hal ini
Tergugat harus mengganti mahar tersebut senilai dengan yang
diucapkan ketika akad nikah. kerugian yang dialami
Penggugat merupakan kerusakan yang harus ditolak.
Sebagaimana dalam kaidah fiqih: ال ز ي ر ر الض , yang mengandung
arti ‚Kerusakan harus dihilangkan‛.
Ketiga, dari aspek Sosiologis Majelis Hakim
menetapkan Tergugat sebagai suami untuk mengembalikan
mahar senilai dengan mahar yang pernah diucapkan ketika
akad nikah, karena jumlah mahar yang belum terbayar
termasuk hutang yang harus dilunasin.
H{ukka>m Sharh{ Majallah al-Ah{ka>m, (Riya>d{: Da>r ‘Ilmu al-Kutub,
2003), jilid 1, h. 36.
Hak-Hak Perempuan
158
2. Hak dan Nafkah H}ad}a>nah sampai Ia Dewasa
a. Putusan Nomor 33/Pdt.G/2014/PA.Psp
Deskripsi kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Penggugat bernama Masniari Sibarani binti Baginda
Hasahatan, umur 23 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan tidak
ada, tempat tinggal di Desa Aek Jakka, Kecamatan Padang
Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara. Tergugat bernama
Rahmat Taufik Harahap bin Bahrin Harahap, umur 22 tahun,
pendidikan SMA, pekerjaan sebagai karyawan PT. Tapian
Nauli. Pada tahun 2012 Penggugat dan Tergugat telah
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh pegawai
pencatat nikah Kantor Urusan Agama (KUA) Padang Lawas
Utara, sebagaimana bukti berupa kutipan Akta Nikah Nomor
39/10/11/2012. Selama dalam ikatan pernikahan, Penggugat
dan Tergugat telah melakukan hubungan layaknya suami istri
(ba’da al-dukhul) dan telah dikarunia satu orang anak
perempuan bernama Ifrah Harahap, umur 1 tahun. Pada awal
pernikahan keadaan rumah tangga Penggugat dan Tergugat
berjalan rukun dan baik, namun awal tahun 2014 telah terjadi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kejadian ini
Penggugat telah melaporkan Tergugat ke POLSEK Gunung
Tua. Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat memohon
kepada majelis Hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan
untuk memeriksa perkara ini dengan menjatuhkan putusan
talak satu ba’in shughra dan menetapkan Penggugat sebagai
pemegang hak h}ad}a>nah serta menghukum Tergugat untuk
memberikan nafkah anak sampai ia dewasa sebesar Rp
500.000 setiap bulan.
Perkara ini termasuk perkara cerai gugat dengan
alasan telah terjadi Kekerasan dalam Rumah Tangga yang
dikomulasikan dengan hak h}ad}a>nah dan nafkah yang harus
ditangung oleh ayahnya. Kekerasan yang dilakukan Tergugat
terhadap Penggugat adalah kekerasan fisik seperti memukul
dan menendang, dalam Islam perlakuan tersebut bukan bagian
Hak-Hak Perempuan
159
dari cara melindungi istri.71
Allah menciptakan laki-laki
(suami) sebagai pemimpin bagi perempuan (istri),
sebagaimana penjelasan dalam al-Qur’an berikut:
‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita‛. (Q. S. A; Nisa>’[4]: 34}).
Kekerasan fisik yang dilakukan Tergugat merupakan
tindakan kriminal karena dapat menimbulkan luka pada tubuh
Penggugat, dalam hukum keluarga Islam menjelaskan bahwa
Kekerasan dalam Rumah Tangga dapat terjadi karena salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.72
.
Perilaku buruk yang dimiliki Tergugat sebagai ayah
dapat berdampak tidak baik bagi anak yang masih berumur 1
tahun, Majelis Hakim menetapkan hak asuh anak kepada
Penggugat sebagai ibu kandungnya sesuai dengan norma
hukum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a)
‚pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 21 tahun adalah hak ibunya‛ dan tetap
71
Essra Osama, Review of Domestic Violence and the
Islamic Tradition, by Ayesha S. Chaudhry, Journal of International Women’s Studies, Vol. 17, No. 1, January 2016, h. 220.
72Lihat KHI Pasal 116 huruf (d). Dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan dalam rumah tangga
menyebutkan bahwa bentuk kekerasan yang dilarang adalah
kekerasan fisik, psikis, seksual dan pelantaran rumah tangga. Lihat
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 pasal 5 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tanggadan pasal 1 ayat (1)
‚Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan pelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga‛
Hak-Hak Perempuan
160
membebankan biaya kebutuhan anak kepada Tergugat sebagai
ayah yang memiliki penghasilan dari pekerjaannya sebagai
Karyawan PT. Tapian Nauli sesuai dengan pasal 105 huruf (c)
‚biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya‛.
Dalam putusan ini, Majelis Hakim memberikan hak
asuh anak seutuhnya kepada ibunya demi kemashlahatan,
karena anak yang baru berumur satu tahun masih sangat
membutuhkan kasih sayang ibunya. Jika dilihat kembali
penjelasan dalam Undang-undang Perkawinan pasal 41 ayat
(1) bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, baik
ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anaknya. Namun dalam hal ini, Hakim tidak menegaskan
bahwa ayah juga berperan penting dalam mengasuh anak,
karena sifat yang tidak baik pada ayah dikhawirkan merusak
tumbuh kembang anak. Putusan Hakim telah sesuai dengan
kaidah Fiqih berikut:
م على د اس ف م ال ئ ر د ح ال ص م ال ب ل ج مقد ‚Menolak kerusakan harus didahulukan daripada
mengambil kebaikan‛.73
Dalam hal nafkah anak, Majelis Hakim membebankan
sepenuhnya kepada ayahnya, karena jika dilihat dari deskripsi
diatas Tergugat memiliki penghasilan tetap dari pekerjaanya
sebagai karyawan PT. Tapian Nauli. Pertimbangan tersebut
dilakukan Hakim demi menghindari kekurangan ekonomi
anak. Putusan Hakim telah telah sesuai dengan kaidah fiqih
berikut:
مكان ر د ق ب ع ف د ي ر ر الض ال ‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
74
73
Muhammad Mustafa al-Zuhaili>, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah
wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba’ah, h. 776. 74
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Azi>z ibn Ali al-Futu>h}iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443.
Hak-Hak Perempuan
161
b. Putusan Nomor 197/Pdt.G/2014/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Penggugat bernama Masdalima Lubis binti Marwan
Lubis, umur 26 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan tidak ada,
tempat tinggal di Desa Padang Kahombu, Kecamatan Batang
Angkola, Kabupaten Selatan. Sedangkan Tergugat bernama
Mara Iddin Pulungan bin Basir Pulungan, umur 38 tahun,
pendidikan SMP, pekerjaan tidak ada. Pada tahun 2009
Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan pernikahan
yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan
Agama (KUA) Batang Angkola, sebagaimana bukti berupa
kutipan akta nikah Nomor 60/20/II/2009. Selama dalam
ikatan pernikahan, Penggugat dan Tergugat telah melakukan
hubungan layaknya suami istri (ba’da al-dukhul) dan telah
dikarunia 2 orang anak bernama Hafizah Pulungan (umur 5
tahun) dan Ikhsan Hanafi Pulungan (umur 2 tahun 1 bulan),
kedua anak tersebut berada dibawah asuhan orang tua
Tergugat. Pada awal pernikahan keadaan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan baik, namun
akhir tahun 2012 Tergugat telah melanggar taklik-talak.
Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat memohon kepada
majelis hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan untuk
memeriksa perkara ini dengan menjatuhkan putusan t}alaq khul’i dan menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak
h}ad}a>nah. Perkara ini termasuk perkara cerai gugat dengan
alasan Tergugat telah melanggar taklik-talak yang
dikomulasikan dengan hak h}ad}a>nah. Dalam perkara ini,
Tergugat sebagai suami telah memeninggalkan rumah
kediaman bersama selama 1 tahun 8 bulan tanpa alasan yang
jelas dan sejak saat itu tidak lagi memberikan nafkah wajib
bagi Penggugat berserta anak. Berdasarkan alasan tersebut,
Tergugat telah melanggar Peraturan Pemerintah No. 2 tahun
1990 tentang rumusan taklik-talak pada point (1)
meninggalkan istri dua tahun berturut-turut, (2) tidak
Hak-Hak Perempuan
162
memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya dan
(4) membiarkan (tidak memedulikan) istri selama enam bulan.
Fakta tersebut telah memenuhi norma hukum Islam,
sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an berikut:
‚Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti
diminta pertanggungan jawabnya‛.(Q.S. A; Isra>’ [17]:
34)
Dua orang anak Penggugat dan Tergugat yang masih
dibawah umur berada dibawah asuhan neneknya (ibu dari
ayah), dalam urutan pemeliharaan anak setelah terjadinya
perceraian adalah kelompok kerabat perempuan garis lurus ke
atas seperti dalam urutan berikut ini: (1) ibu anak tersebut, (2)
nenek dari pihak ibu, (3) nenek dari pihak ayah, (4) saudara
kandung perempuan, (5) saudara perempuan se-ibu, (6)
saudara perempuan se-ayah, (7) anak perempuan dari saudara
perempuan se-kandung, (8) anak perempuan dari saudara
saudara perempuan se-ayah, (9) saudara perempuan ibu yang
se-kandung dengannya, (10) bibi dari ibu, (11) bibi dari ayah,
(12) anak perempuan dari saudara perempuan se-ayah, (13)
anak perempuan dari saudara laki-laki se-kandung, (14) anak
perempuan dari saudara laki-laki se-ibu, (15) anak perempuan
dari saudara laki-laki se-ayah, (16) saudara perempuan ayah
yang se-kandung dengannya, (17) saudara perempuan ayah
yang se-ibu, (18) saudara perempuan ayah yang se-ayah, (19)
bibinya ibu dari pihak ibunya, (20) bibinya ayah dari pihak
ibunya, (21) bibinya ibu dari pihak ayahnya, (22) bibinya ayah
dari pihak ayahnya. Jika anak tersebut tidak memupunyai
kerabat perempuan dari kalangan diatas, maka pengasuhan
anak tersebut beralih kepada kerabat laki-laki seperti dalam
urutan berikut ini: (1) ayah anak tersbut, (2) kakek dari ayah,
(3) saudara laki-laki se-kandung, (4) saudara laki-laki se-ayah,
(5) anak laki-laki dari saudara laki-laki se-kandung, (6) anak
Hak-Hak Perempuan
163
laki-laki dari saudara laki-laki se-ayah, (7) paman yang se-
kandung dengan ayah, (8) pamannya ayah yang se-kandung.75
Dalam perkara ini, ibu dari dua orang anak Penggugat
dan Tergugat masih mampu mengasuh dan mendidiknya
walaupun tanpa kahadiran Tergugat sebagai ayak
kandungnya. Berdasarkan pengakuan dua orang saksi, bahwa
Tergugat bisa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya.
Dalam hal ini, Majelis Hakim memberikan hak asuh kedua
anaknya yang masih berumur 5 tahun dan 2 tahun 1 bulan
berada dibawah asuhan ibunya.
Dalam putusan ini, Majelis Hakim mampu
mengembalikan hak asuh anak yang awalnya berada dibawah
asuhan neneknya (orang tua dari Tergugat) menjadi hak asuh
Penggugat sebagai ibunya. Walaupun kedua anak tersebut
mendapatkan asuhan yang baik dari neneknya, namun asuhan
seorang ibu lebih diutamakan bagi anak yang masih dibawah
umur. Putusan Hakim telah sesuai dengan kaidah fiqih
berikut:
ها م العلى من إذا ت زاحت المصالح قد‚Jika ada beberapa maslahah saling bertabrakan,
maka diutamakan yang paling besar maslahahnya‛.76
c. Putusan Nomor 43/Pdt.G/2015/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Penggugat bernama Endang Hartati binti Ali Mangsur
Harahap, umur 31 tahun, pendidikan D III Perpajakan,
pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Dinas
Pendapatan Padang Lawas Utara, tempat tinggal Jl.
Diponegoro, Lingkungan V, Kelurahan Pasar Gunung Tua,
75
Zainal Arifin dan Muh. Anshori, Fiqih Munakahat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), h. 154-155. 76
Abdul Muh}sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>id al-
Sa’diyah, h. 204.
Hak-Hak Perempuan
164
Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara.
Sedangkan Tergugat bernama Afrizal Syahrin Rambe bin Drs.
Ishak Rambe, umur 29 tahun, pendidikan SMA, pekerjaan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) Lapas Gunung Tua. Pada
tahun 2012 Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan
pernikahan yang dicatat oleh pegawai pencatat nikah Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Padang Bolak,
sebagaimana bukti berupa Kutipan Akta Nikah Nomor:
516/24/VIII/2012. Selama dalam ikatan pernikahan,
Penggugat dan Tergugat telah melakukan hubungan layaknya
suami istri (ba’da al-dukhul) dan telah dikarunia satu orang
anak perempuan bernama Nadira Azzahra Rambe, umur 1
tahun 2 bulan. Pada awal pernikahan keadaan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat berjalan rukun dan baik, namun
pada pertengahan Juni 2014 terjadi pertengkaran dan
perselisihan karena Tergugat kurang bertanggung jawab
dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga dan Tergugat
sering meminta uang kepada Penggugat yang dipergunakan
untuk bermain judi. Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat
memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Agama
Padangsidimpuan untuk memeriksa perkara ini dengan
menjatuhkan putusan talak satu ba’in shughra dan
menetapkan Penggugat sebagai pemegang hak h}ad}a>nah serta
menghukum Tergugat untuk memberikan nafkah anak sebesar
Rp 1.000.000 setiap bulan sampai ia dewasa.
Perkara ini termasuk perkara cerai gugat dengan
alasan Tergugat kurang bertanggungjawab dalam memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarga yang dikomulasikan dengan hak
h}ad}a>nah beserta nafkah anak yang wajib ditanggung oleh
Tergugat sebagai ayah kandungnya, namun pada tahap
pembacaan gugatan, Penggugat mengajukan pencabutan
Hak-Hak Perempuan
165
gugatan secara lisan di muka sidang tentang petitum nafkah
anak yang harus ditanggung oleh ayah kandungnya.77
Berdasarkan deskripsi kasus diatas, Tergugat adalah
seorang penjudi yang sukar disembuhkan.78
Ini merupakan
tabiat buruk yang dapat berdampak kepada dirinya dan
keluarga, Seyogyanya seorang suami sebagai pemimpin
rumah tangga mencontohkan hal-hal positif terhadap istri dan
anaknya, namun dalam kasus ini sebaliknya justru
mencontohkan hal-hak negatif. Sifat dan tabiat buruk ini
merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh agama karena
dapat merusak diri sendiri, merugikan harta benda dan
merusak sistem sosial masyarakat, kondisi Tergugat dapat
dikategorikan kepada d{arar. Menurut Wahbah al-Zuhayli>, d{arar adalah suatu kondisi sangat sulit yang menimpa
seseorang sehingga merusak anggota badan, merusak jiwa,
merusak akal, merusak harta.79
Kesalahan Tergugat yang tidak bertanggung jawab
dan pemabuk menjadi gugur dalam mengasuh anak, Majelis
Hakim menetapkan hak h}ad}a>nah kepada Penggugat sebagai
ibu kandungnya sesuai dengan norma hukum dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (a) ‚pemeliharaan
77
Gugatan dapat dicabut secara pihak jika perkara belum
diperiksa, gugatan tersebut dapat dicabut dengan surat, dapat pula
dilakukan secara lisan di muka sidang dan dicatat di berita acara
persidangan. Lihat Zulkarnaen dan Mayaningsih ,Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017),
h. 265. 78
Alasan ini merupakan bentuk dari alasan penggugat
mengajukan perceraian, sebagaimana dijelaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 116 huruf (a) ‚perceraian dapat terjadi
karena salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dalan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 79
Wahbah al-Zuh{ayli>, Naz{ariyyah al-D}aru>rah al-Shar’iyyah
(Beirut: a-Risa>lah, 1985), h. 67.
Hak-Hak Perempuan
166
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya‚.
Dalam putusan ini, pencabutan hak nafkah anak yang
diajukan oleh Penggugat karena jika dilihat dari segi
perlakuan Tergugat sebagai penjudi yang hanya
menghabiskan uang tidak mampu membiayai nafkah anak.
Majelis Hakim menilai bahwa anak lebih mendapatkan
maslahah dalam pengasuhan ibunya baik secara fisik maupun
materi, secara fisik anak mendapatkan kasih sayang dari
ibunya karena Penggugat termasuk ibu yang baik dan secara
materi anak mendapatkan biaya hidup yang layak karena
Penggugat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang memiliki
penghasilan tetap setiap bulannya. Keputusan Hakim mampu
mengeluarkan istri dari perlakuan suami yang membahayakan
dan hak pengasuhan anak beserta nafkah anak berada dalam
tanggung jawab Penggugat seutuhnya.
Dalam hal ini Hakim mempertimbangkan bukan dari
segi siapa yang paling berhak dalam membiayai nafkah anak,
akan tetapi dari segi fakta siapa yang labih tidak
mendatangkan mudarat bagi anak. Hal ini telah sesuai dengan
kaidah fiqih berikut:
ال ز ي ر ر الض ‚Kerusakan harus dihilangkan‛.
80
Kaidah diatas, berasal dari Hadist Nabi Saw ار ر ض لا و ر ر ض لا yang memiliki arti ‚Tidak merusakkan diri sendiri dan tidak
merusakkan orang lain‛.81
80
Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakr al-Shuyu>t}i, al-
Asba>h wa al-Naz}a>ir fi> Qawa>id wa Furu>’ Fiqh al-Shafi’i, h. 135. 81
Ibnu Nujaim, al-Asba>h wa al-Naz{a>ir (Kairo: Dar al-Fikr,
1983), h. 95.
Hak-Hak Perempuan
167
d. Putusan Nomor 13/Pdt.G/2015/PA.Psp
Deskripsi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Penggugat bernama Dermasani Siregar binti
Zulkarnain Siregar, umur 26 tahun, pendidikan D. III
Kebidanan, pekerjaan Bidan Desa, tempat tinggal Desa Saba
Sitahul-tahul, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten Padang
Lawas Utara. Sedangkan Tergugat bernama Maraudin Daulay
bin Haji Parmato Daulay, umur 29 tahun, pendidikan SMA,
Pekerjaan tidak ada. Pada tahun 2006 Penggugat dan
Tergugat telah melangsungkan pernikahan yang telah dicatat
oleh pegawai pencatat nikah Kantor Urusan Agama dengan
Nomor 291/15/VIII/2006, selama ikatan pernikahan keduanya
telah melakukan hubungan layaknya suami istri (ba’da al-dukhul) dan telah dikarunia satu orang anak laki-laki bernama
Kholil Ansory Daulay, umur 7 tahun. Keaadan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat pada awalnya berjalan baik, namun
akhir tahun 2012 Tergugat telah melanggar taklik-talak,
Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat memohon kepada
Majelis Hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan untuk
memeriksa perkara ini dengan menjatuhkan talak satu khul’i dan menetapkan Penggugat sebagai pemagang hak h}ad}a>nah
terhadap satu orang anak yang masih dibawah umur.
Perkara ini termasuk perkara cerai gugat dengan
alasan tergugat telah melanggar taklik-talak yang
dikomulasikan dengan hak h}ad}a>nah. Dalam perkara ini,
Tergugat sebagai suami telah memeninggalkan rumah tanpa
alasan yang jelas. Keadaan rumah tangga seperti ini tidak
akan menyelesaikan masalah justru akan memperbesar
masalah dan istri akan memiliki kesan suami lari dari
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga. Hal ini
dikuatkan oleh dua orang saksi yang dihadirkan oleh
Penggugat dengan mengungkapkan bahwa Tergugat pergi
meninggalkan Penggugat selama dua tahun lebih tanpa ada
alasan yang jelas dan tidak diketahui keberadaannya,
Penggugat tidak pernah menerima nafkah selama Tergugat
Hak-Hak Perempuan
168
pergi meninggalkan rumah dan Penggugat sebagai ibu yang
baik mampu dalam mendidik dan mengasuh anaknya.82
Fakta dalam perkara ini bahwa, Tergugat bukanlah
suami dan ayah yang bertanggung jawab terhadap istri dan
anaknya. Majelis Hakim memberikan hak asuh anak
seutuhnya kepada ibunya demi kemashlahatan, karena anak
yang masih dibawah umur sangat membutuhkan kasih sayang
ibunya. jika dilihat kembali penjelasan dalam Undang-undang
Perkawinan pasal 41 ayat (1) bahwa apabila perkawinan putus
karena perceraian, baik ibu atau bapak tetap berkewajiban
memelihara dan mendidik anaknya. Namun dalam hal ini,
Hakim tidak menegaskan bahwa ayah juga berperan penting
dalam mengasuh anak, karena sifat seorang ayah yang suka
meninggalkan keluarganya dikhawirkan dapat berdampak
buruk bagi anak. Putusan Hakim telah sesuai dengan kaidah
Fiqih berikut:
م على د اس ف م ال ئ ر د ح ال ص م ال ب ل ج مقد ‛Menolak kerusakan harus didahulukan daripada
mengambil kebaikan‛.83
e. Putusan Nomor 07/Pdt. G/2015/PA.Psp
Deskripasi Kasus dalam putusan ini menyatakan
bahwa, Penggugat bernama Anita Carolina Pardede binti
Saruddin, umur 30 tahun, pendidikan D. III, pekerjaan sebagai
perawat di rumah sakit umum Sipirok, tempat tinggal
Simangambat Lingkungan III Kelurahan pasar Sipirok,
Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel).
82
Dua orang saksi yang dihadirkan oleh Penggugat untuk
menguatkan Permohonannya telah sesuai dengan penjelasan dalam
al-Qur’an s}u>rah at-T{alaq ayat 2 yang mengandung arti “Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah” 83
Muhammad Mustafa al-Zuhaili>, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah
wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba’ah, h. 776.
Hak-Hak Perempuan
169
Tergugat bernama Sahrir Ramadhan Harahap bin Sakirin
Harahap, umur 32 tahun, pendidikan Madrasah Aliyah,
pekerjaan TNI AD. Pada tahun 2008 Penggugat dan Tergugat
telah melangsungkan pernikahan, sebagaimana bukti berupa
akta nikah nomor 142/17/V/2008 yang dikeluarkan oleh KUA
Sipirok. Rumah tangga keduanya pada awalnya berjalan baik
dan rukun, namun pada akhir tahun 2011 telah pisah tempat
tinggal disebabkan oleh Tergugat memukul Penggugat
sehingga Penggugat pulang kerumah orang tuanya.
Berdasarkan alasan tersebut, Penggugat memohon kepada
Majeis Hakim untuk menjatuhkan t}alaq ba’in shugra.
Pada tahun 2016, Penggugat mengajukan kembali
gugatan kepada Pengadilan Agama Padangsidimpuan dengan
Nomor 128/Pdt.G/2016/PA.Psp tentang hak h}ad}a>nah dan
nafkah anak yang harus ditanggung oleh ayah kandungnya.
Dari deskripsi kasus yang telah penulis uraikan, sebab
perceraian yang diajukan oleh istri karena adanya pemukulan.
Dalam Undang-undang No 23 Tahun 2004 tindakan
pemukulan terhadap istri termasuk kekerasan fisik, karena
dapat mengakibatkan rasa sakit,jatuh sakit atau luka berat.84
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga adalah adanya hubungan
kekuasaan yang tidak seimbang antara suami istri, hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya. Penghambat untuk
84
Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan
kekerasan fisik adalah menampar, memukul, meludahi, menarik
rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata dan sebagainya. Biasanya
perlakukan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi
patah atau bekas luka lainnya. Lihat Undang-undang No 23 tahun
2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan terhadap
istri dalam undang-undang ini dibedakan kedalam 4 macam:
kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual
dan kekerasan ekonomi.
Hak-Hak Perempuan
170
menanggulangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga
adalah Pertama, menerapkan sikap saling terbuka terhadap
pasangan dan jangan menyembunyikan apapun karena jika
sikap tersebut buruk maka lambat laun akan terungkap.
Kedua, memahami kedudukan satu sama lain, hal ini perlu
agar ada keharmonisan apalagi jika suami istri sama-sama
memiliki pekerjaan.
Perilaku tidak baik yang dimiliki Tergugat,
dikhawatirkan berdampak buruk terhadap anak yang masih
memerlukan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya.
Walaupun dalam Undang-undang perkawinan No 1 tahun
1974 pasal 45 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya meskipun perkawinan antara keduanya putus.
Namun dalam hal ini Majelis Hakim tetap menentukan hak
hadhanah sepenuhnya diberikan kepada Penggugat sebagai
ibu kandungnya, sesuai dengan pasal 105 huruf (a)
‚pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya‛
Menurut kedua orang saksi yang disampaikan secara
lisan di depan persidangan, Penggugat mampu mengasuh dan
mendidik anak secara baik karena tidak memiliki sifat tercela
yang dapat mempengaruhi anak tersebut.85
Dalam posita dan
petitum Penggugat telah mengajukan bahwa nafkah satu
orang anak ditanggung oleh Tergugat sebagai ayah
kandungnya sebesar Rp 2.000.000 setiap bulan sampai anak
dewasa, berdasarkan alat bukti surat berupa slip gaji atas
85
Keterangan saksi ahli diatur dalam pasal 154 HIR dan
pasal 181 RBg, dalam Undang-undang tersebut dijelaskan bahwa
Pengadilan dapat mengangkat saksi ahli untuk didengar
keterangannya dalam perkara yang sedang diperiksa. Keterangan
tersebut dapat diberikan secara lisan di dalam persidangan atau
secara tertulis. Lihat Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara, h.
284.
Hak-Hak Perempuan
171
nama Tergugat Sahrir Ramadhan Harahap yang dikeluarkan
oleh juru bayar Komando Distrik Militer 0212 Tapanuli
Selatan bahwa Tergugat merupkan anggota Tentara Negara
Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) dengan pangkat Serda
yang memiliki penghasilan setiap bulannya sebesar Rp
3.000.000. Bukti surat ini telah dinazageling sesuai dengan
bea materai yang berlaku dan telah dicocokkan dengan surat
aslinya di persidangan.86
Pendapat Majelis Hakim dalam pertimbangan
hukumnya menggunakan norma hukum dalam Undang-
undang Perkawinan pasal 41 ayat (2) menjelaskan bahwa
‚jika perkawinan putus karena perceraian, Bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bilama bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut‛.
Pada prinsipnya Tergugat yang memiliki tanggung
jawab penuh atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
terhadap anak mereka, namun tanggung jawab tersebut bukan
semata-mata kewajiban Tergugat, Penggugat sebagai ibu
kandung juga berkewajiban memikulnya. Dalam hal ini
Majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan Penggugat
tentang biaya pemeliharaan yang wajib ditanggung Tergugat
setiap bulannya sebesar Rp. 2.000.000, namun hakim
menetapkan sendiri bahwa biaya pemeliharaan anak yang
86
Alat Bukti surat merupakan akta autentik, sebagaimana
yang dijelaskan dalam pasal 165 HIR/285 RBg yaitu suatu surat
yang dibuat menurut ketentuan Undang-undang oleh yang berkuasa
membuat surat tersebut dan memberikan bukti yang cukup bagi
kedua belah pihak, tentang segal hal yang tertulis dalam surat itu
sebagai pemberitahuan saja, tetapi langsung berhubungan dengan
pokok yang disebutkan dalam akta tersebut. Lihat M. Fauzan,
Pokok-pokok Hukum Acara, h. 42.
Hak-Hak Perempuan
172
wajib ditanggung Tergugat sebesar Rp. 1.000.000 setiap
bulan sampai anak dewasa.
Menurut analisa penulis, pertimbangan Hakim diatas
menunjukkan bahwa nafkah anak yang ditanggung oleh
Tergugat adalah 1/3 dari gaji yang ia terima sebagai TNI-AD
(Pegawai Negeri Sipil).87
Hal ini telah Sesuai dengan norma
hukum dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf (c),
149 huruf (d) dan 156 huruf (d) bahwa Terguta sebagai ayah
berhak menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
sepenuhnya sampai anak tersebut dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun).
Dalam putusan ini, Majelis Hakim memberikan hak
asuh anak seutuhnya kepada ibunya demi kemaslahatan,
karena anak yang masih dibawah umur sangat membutuhkan
kasih sayang ibunya. jika dilihat kembali penjelasan dalam
Undang-undang Perkawinan pasal 41 ayat (1) bahwa apabila
perkawinan putus karena perceraian, baik ibu atau bapak
tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya.
Namun dalam hal ini, Hakim tidak menegaskan bahwa ayah
juga berperan penting dalam mengasuh anak, karena sifat
yang tidak baik pada ayah dikhawirkan merusak tumbuh
kembang anak. Putusan Hakim telah sesuai dengan kaidah
Fiqih berikut:
م على د اس ف م ال ئ ر د ح ال ص م ال ب ل ج مقد ‚Menolak kerusakan harus didahulukan daripada
mengambil kebaikan‛.88
Dalam hal nafkah anak, Majelis Hakim membebankan
sepenuhnya kepada ayahnya, karena jika dilihat dari deskripsi
diatas Tergugat memiliki penghasilan tetap dari pekerjaanya
87
Lihat Peraturan Pemerintah No. 10 Tahu 1983 yang telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 pasal 8
ayat (1) – (6). 88
Muhammad Mustafa al-Zuhaili>, al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah
wa Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba’ah, h. 776.
Hak-Hak Perempuan
173
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) TNI-AD. Pertimbangan
tersebut dilakukan Hakim demi menghindari kekurangan
ekonomi anak. Putusan Hakim telah telah sesuai dengan
kaidah fiqih berikut:
مكان ر د ق ب ع ف د ي ر ر الض ال ‚Kerusakan harus ditolak sebisa mungkin‛.
89
Dalam lima putusan tentang hak dan nafkah hadhanah
dalam perkara cerai gugat yang telah penulis uraikan diatas,
pertimbangan hakim Pengadilan Agama Padangsidimpuan
memilki tiga nilai utama yaitu dari segi aspek yuridis, filosofis
dan sosiologis.
Pertama, dari segi aspek yuridis Majelis Hakim telah
menggunakan penjelasan dalam Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku untuk menjaga konsistensi suatu
hukum. (a) Seorang ibu lebih berhak mengasuh anaknya yang
masih dibawah umur dan nafkah wajib ditanggung oleh
ayahnya. Sebagaimana penjelasan dalam kompilasi hukum
Islam pasal 105 huruf (a) dan (c), pasal 156 huruf (a) dan (d),
pasal 149 huruf (d). (b) Peraturan Pemerintah No 10 Tahun
1983 jo Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1990 pasal 8 ayat
1dan 2.
Kedua, dari segi aspek filosofis Majelis Hakim telah
menetapkan hukum sesuai dengan kaidah fiqih. (a) Seorang
ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik anak-
anaknya, namun hal tersebut gugur karena ayah telah
melakukan Kekerasan terhadap istrinya, hal ini dikhawatirkan
dapat mempengaruhi kepribadian dan masa depan anak. Maka
maslahah anak akan lebih baik jika berada dibawah asuhan
ibunya.Sebagaimana kaidah fiqih م درئ المفاسد على جلب المصالح مقد ,
yang mengandung arti ‚Menolak kerusakan harus didahulukan
89
Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad ibn
Azi>z ibn Ali al-Futu>h}iy, Sharh al-Kaukab al-Muni>r, h. 443.
Hak-Hak Perempuan
174
daripada mengambil kebaikan‛. Sedangkan tanggung jawab
dalam memberikan hak nafkah anak tetap diberikan kepada
ayah, hal ini ditetapkan untuk menghindari terjadinya
kekurangan keuangan anak dalam hal makanan, pakaian dan
pendidikan. Sebagaimana kaidah fiqih مكان ر د ق ب ع ف د ي ر ر الض ال
yang mengandung arti ‚Kerusakan harus ditolak sebisa
mugkin‛. (b) Anak yang awalnya berada dalam asuhan
neneknya neneknya (orang tua dari Tergugat), menjadi hak
asuh Penggugat sebagai ibunya. Walaupun anak tersebut
mendapatkan hak asuh yang baik dari neneknya, namun
asuhan seorang ibu lebih diutamakan. Sebagaimana kaidah
fiqih ها م العلى من yang mengandung arti ‚Jika , إذا ت زاحت المصالح قد
ada beberapa maslahah saling bertabrakan, maka diutamakan
yang paling besar maslahahnya‛. (c) Hak asuh anak dan
tanggung jawab untuk nafkah anak diberikan kepada
Penggugat sebagai ibu, pertimbangan ini bukan dilihat dari
siapa yang paling berhak terhadap hak asuh dan nafkah anak,
tetapi lebih melihat fakta siapa yang tidak mendatangkan
mudarat bagi anak. Sebagaimana kaidah fiqih ال ز ي ر ر الض , yang
mengandung arti ‘‘Kerusakan harus dihilangkan‚. (d) Seorang
ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik anak-
anaknya, namun hal tersebut gugur karena ayah yang suka
meninggalkan keluarganya dikhawatirkan dapat berdampak
buruk bagi masa depan anak. Maka maslahah anak akan lebih
baik jika berada dibawah asuhan ibunya,
ح ال ص م ال ب ل ى ج ل ع م د ق م د اس ف م ال ئ ر د yang mengandung arti ‚Menolak
kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kebaikan‚.
(e) Seorang ayah juga memiliki peran penting dalam mendidik
anak-anaknya, namun hal tersebut gugur karena ayah yang
memiliki sifat buruk dikhawatirkan dapat berdampak buruk
bagi masa depan anak, maka maslahht anak akan lebih baik
jika berada dibawah asuhan ibunya. Sebagaimana kaidah fiqih
Hak-Hak Perempuan
175
ح ال ص م ال ب ل ى ج ل ع م د ق م د اس ف م ال ئ ر د , yang mengandung arti
‚Menolak kerusakan harus didahulukan daripada mengambil
kebaikan‛. Sedangkan tanggung jawab ayah dalam
memberikan nafkah anak, hal ini ditetapkan untuk
menghindari terjadinya kekurangan keuangan anak dalam hal
makanan, pakaian dan pendidikan. Sebagaimana kaidah fiqih
مكان yang mengandung arti ‚Kerusakan harus ,الضرر يدفع بقدر ال
ditolak sebisa mungkin‛.
Ketiga, dari aspek sosiologis Majelis Hakim menetapkan Termohon sebagai ibu yang berhak mendidik dan
memelihara anak-anaknya, karena seorang ibu lebih
mengayomi dan status anak lebih bermanfaat.
Hak-Hak Perempuan
176
Hak-Hak Perempuan
177
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam negara hukum Republik Indonesia, Pengadilan
Agama adalah sebagai lembaga pelaku kekuasaan kehakiman
yang mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa,
mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan.
Eksistensi Paradilan dapat menjadi pegangan bagi ummat
Islam dalam menyelesaikan problematika yang muncul dalam
hubungan suami istri. Hakim adalah penentu untuk
menghasilkan putusan berdasarkan hukum dan keadilan.
Peneliti telah berusaha mempelajari dan menganalisis
argumentasi pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam
menetapkan hak-hak perempuan pasca perceraian baik dalam
perkara cerai talak maupun cerai gugat. Hal ini ingin
menjawab dari rumusan permasalahan tentang bagaimana
bentuk pertimbangan Hakim dalam melindungi hak-hak
perempuan pasca perceraian, baik itu dalam cerai talak
maupun cerai gugat. Peneliti menemukan kesimpulan sebagai
berikut:
Implementasi hak-hak perempuan pasca perceraian
dalam 17 putusan Pengadilan Agama Padangsidimpuan yang
dianalisis terbagi dalam dua kategori. Pertama, 11 putusan
dalam perkara cerai talak, majelis Hakim menetapkan hak-hak
perempuan pasca perceraian dengan mewajibkan kepada
mantan suami untuk memberikan hak nafkah ‘iddah, mut’ah,
melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan
sebagian apabila dalam ikatan perkawinan belum terjadi
hubungan suami istri, dan hak h}ad}a>nah beserta biaya sampai
ia dewasa. Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS)
penentuan kewajiban untuk memberikan biaya penghidupan
(pembagian gaji) oleh suami kepada mantan istri sebagaimana
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah sepertiga untuk
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, sepertiga untuk
Hak-Hak Perempuan
178
mantan istri dan sepertiga untuk anak-anaknya, jika dalam
perkawinan tersebut tidak ada keturunan maka bagian yang
wajib diserahkan oleh suami kepada mantan istri setengah
dari gajinya. Kedua, 6 putusan dalam cerai gugat, mejelis
Hakim hanya menetapkan kewajiban suami dalam melunasi
mahar yang masih terhutang dan menetapkan hak h}ad}a>nah
jatuh pada istri, sedangkan biaya tetap ditanggung oleh ayah
kandungnya.
Dalam dua kategori diatas, terlihat bahwa dalam
perkara cerai talak Hakim cenderung menetapkan hak-hak
perempuan pasca perceraian secara keseluruhan, seperti
‘iddah, Mut’ah, mahar, hak h}ad}a>nah beserta nafkahnya dan
pembagian gaji suami sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Sedangkan dalam perkara cerai gugat, Hakim hanya
menetapkan hak h}ad}a>nah beserta nafkahnya dan mahar.
Dalam konteks ini, Hakim memutuskan berdasarkan adanya
tuntutan rekonvensi dari pihak perempuan sebagai Termohon
dalam perkara cerai talak dan tuntutan komulatif dari pihak
perempuan sebagai Penggugat dalam perkara cerai gugat.
Dalam hal ini tergambar bahwa, Hakim hanya memutuskan
apa yang dituntut dalam petitum perkara.
Pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak-hak
perempuan pasca cerai dalam perkara cerai talak, terbagi
menjadi empat kategori. Pertama, pertimbangan Hakim dalam
menetapkan hak nafkah ‘iddah dan mut’ah mengandung tiga
aspek. (1) Aspek yuridis, berdasarkan ayat al-qur’an s}u>rah al-
Baqarah ayat 233 dan 241, s}u>rah at-T{alaq ayat 1 dan 6, s}u>rah
al-Ah{zab ayat 49 dan peraturan perundang-undangan seperti
Kompilasi Hukum Islam pasal 1 huruf (j), 149, 158, 159,160
dan juga Undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974 huruf
(c). (2) Aspek filosofis, berdasarkan kaidah fiqih demi
mewujudkan maslahah kebutuhan Termohon sebagai istri
lebih diutamanakan. (3) Aspek sosiologis, perceraian yang
terjadi dapat menyebabkan istri tidak memiliki penghasilan.
Hak-Hak Perempuan
179
Kedua, pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak
mahar yang masih terhutang mengandung tiga aspek. (1)
Aspek yuridis, berdasarkan ayat al-Qur’an s}u>rah at-T{alaq ayat
, s}u>rah an-Nisa>’ ayat 21 dan s}u>rah al-Baqarah ayat 229 dan
Kompilasi Hukum Islam pasal 32 dan 37. (2) Aspek filosofis,
berdasarkan kaidah fiqih demi mewujudkan maslahah harta
benda dan kehormatan Termohon sebagai istri patut
diutamakan. (3) Aspek sosiologis, mahar yang dipinjam
ketika masih dalam ikatan perkawinan harus dikembalikan
karena pinjaman tersebut termasuk hutang.
Ketiga, pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak
dan nafkah hadhanah mengandung tiga aspek. (1) Aspek
yuridis, berdasarkan ayat al-Qur’an s}u>rah al-Baqarah ayat 233
dan s}u>rah at-T{alaq ayat 7, Hadis Nabi nomor 6707 dalam
kitab Musnad Ima>m Ah{mad ibn H{anbal, Kompilasi Hukum
Islam pasal 149 huruf (d), pasal 156 huruf (a) dan (d),
Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat 1
dan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak pasal 4, 8, 9 ayat 1. (2) Aspek filosofis, berdasarkan
kaidah fiqih demi mewujudkan maslahah anak dan ibu. (3)
Aspek sosiologis, ketika terjadi perceraian, hak pemeliharaan
anak diberikan kepada ibu karena naluri seorang ibu lebih bisa
mengayomi. Sedangkan hak nafkah anak diberikan kepada
ayah karena status ayah lebih berhak memberikan nafkah.
Keempat, pertimbangan Hakim dalam menetapkan
hak istri terhadap gaji suami sebagai Pegawai Negeri Sipil
(PNS) mengandung tiga aspek. (1) Aspek yuridis,
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1983 jo No 45
tahun 1990 pasal 8 ayat 1 dan 2. Peraturan Pemerintah terkait
dengan administrasi kepegawaian, Yurisprudensi Mahkamah
Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 11 K/AG/2001. (2)
Aspek filosofis, berdasarkan kaidah fiqih demi mewujudkan
maslahah kebutuhan Termohon tetap diberikan karena
tuduhan perselingkuhan dan pembangkangan tidak dapat
menghalangi hak Termohon sebagai istri. (3) Aspek
Hak-Hak Perempuan
180
sosiologis, perceraian yang terjadi dapat menyebabkan istri
tidak memiliki penghasilan.
Pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak-hak
perempuan pasca cerai dalam perkara cerai gugat, terbagi
menjadi dua kategori. Pertama, pertimbangan Hakim dalam
menetapkan hak mahar yang masih terhutang mengandung
tiga aspek. (1) Aspek yuridis, berdasarkan ayat al-Qur’an
s}u>rah an-Nisa>’ ayat 4, 20, 21 dan Kompilasi Hukum Islam
pasal 32, 33, 36 dan 37. (2) Aspek filosofis, berdasarkan
kaidah fiqih demi mewujudkan maslahah harta benda dan
kehormatan Termohon sebagai istri patut diutamakan. (3)
Aspek sosilogis, mahar harus dibayar senilai dengan yang
diucapkan ketika akad nikah, karena jumlah mahar yang
belum terbayar termasuk hutang yang harus linunasin.
Kedua, pertimbangan Hakim dalam menetapkan hak
dan nafkah hadhanah mengandung tiga aspek. (1) Aspek
yuridis, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 149 huruf
(d), pasal 156 huruf (a) dan (d), Undang-undang Perkawinan
No 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat 1 dan Undang-undang No 23
Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 4, 8, 9 ayat 1.
(2) Aspek filosofis, berdasarkan kaidah fiqih demi
mewujudkan maslahah anak dan ibu. (3) Aspek sosiologis,
ketika terjadi perceraian, hak pemeliharaan anak diberikan
kepada ibu karena naluri seorang ibu lebih bisa mengayomi.
Sedangkan hak nafkah anak diberikan kepada ayah karena
status ayah lebih berhak memberikan nafkah.
Dalam pertimbangan-pertimbangan diatas tergambar,
bahwa Hakim cenderung memberikan hak-hak perempuan
pasca perceraian demi menciptakan maslahah karena hak
yang timbul pasca perceraian merupakan suatu hal yang harus
diutamakan.
Hak-Hak Perempuan
181
B. Saran
1. Pemerintah dapat mensosialisasikan hak-hak
perempuan pasca perceraian dengan menyiapkan
fasilitas pos bantuan hukum, melalui sarana ini
perempuan dapat berkonsultasi dan mengakses
informasi secara maksimal.
2. Pengadilan Agama dapat mengedepankan spirit
sensivitas gender, sehingga Hakim dapat memahami
kesetaraan dan keadilan gender dalam setiap putusan
perceraian. Upaya tersebut, agar hak-hak yang
didapatkan perempuan pasca cerai tidak terabaikan.
3. Kesadaran dari pihak perempuan sendiri bahwa ada
hak-hak yang timbul pasca perceraian, hal ini dapat
membantu untuk mendapatkan hak-haknya melalui
putusan Pengadilan Agama.
Hak-Hak Perempuan
182
Hak-Hak Perempuan
183
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abdullah,Abdul Gani.Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Kesultanan Bima 1974-1957, (Jakarta: Genta
Publising, 2015).
Abdillah,Masykuri.Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan yang Tak Pernah Tuntas,
(Jakarta: RENAISAN, 2005).
Abdul Muh{sin ibn Abdillah, Sharh al-Qawa>id al-Sa’diyah
(Riyadh: Da>r At{las li> al-Nashr wa al-Tauzi’, 2001).
Abd. Muhaimin, Abdul Wahab.Adopsi Hukum islam Dalam Sistem Hukum Nasional: Studi Tentang UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Bukum 1 Tentang Perkawinan, (Jakarta:Gaung Persada,
2010).
Abi> al-T{ayyib Muhammad Shamsi al-H{aq al-‘Az{i>m Aba>di>,
‘Awnu al-Ma’bu>di Sharah Sunan Abi> Da>wud
(Bayrut-libana>n: Da>r al-Kitab).
‘Ali>H{aydar. D{urar al-H{ukka>m Sharh{ Majallah al-Ah{ka>m,
(Riya>d{: Da>r ‘Ilmu al-Kutub, 2003).
Ali,Zinuddin.Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinat
Grafika, 2010).
Al-‘Asqala>ni>, al-H{a>fidz{Ah{mad ibn ‘Ali>Ibn Hajar.Bulu>ghul Mara>m, (Maktabah: at-Tijarah al-Kubra).
Al-Burnu, Muhammad S{idqi. al-Wajiz fi Idlah Qawaid al-
Fiqh al-Kulliyah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah,
1983).
Al-fayru>z Aba>diy, Abi> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Ali> As-shayra>ziy.
Al-mahazab fi> Al-fiqh Al-sha>fi’i> (Al-qa>hirah: Al-
qudus, 2012).
Al-Futu>h{iy, Taqiyuddin Abu al-Baqa>’ Muhammad ibn Ahmad
ibn Abdul Azi>z ibn Ali. Sharh al-Kaukab al-Muni>r
(Maktabah al-Ubaika>n, 1997).
Hak-Hak Perempuan
184
Al-H{us}ni>,Taqyuddi<n Abi Bakar ibn Muhammad ibn
Mu’min.kifa>yah al-Akhya>r fi H{alli Ghayati al-
Ikhtis}a>ri fi Fiqh Sha>fi’i<, (Bairu>t: Da>r kitab ‘Ilmiyah,
2001).
Al-Jaziriy, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Maz}a>hib al-Arba’ah,
jilid IV (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. al-T{uruq al-H{ukmiyyah fi> al-
Siya>sah al Shar’iyyah.
Al-Qurt}ubi>, Ibn Rushd. Bida>yah al-Mujtahid wa Niha>yah al-
Muqtas}id, (al-Qa>hirah: Maktabah al-Kuliya>t al-
Azhariyah, 1969).
Al-Sajista>ni>, Abu> Da>wud. Suna>n Abi> Da>wud, (Qa>hirah:
Mat}ba’ah Mus}t}afa> al-H{alibi>, t. th).
Al-Sah}sata>ni>, Al-h}a>fiz} Abi> da>wuda Sulayma>n ibn Al-
ash’at.Sunan Abi> Da>wuda (Bayru>t-Libana>n: da>ru
Al-kitab Al-‘alamiyah, 1996).
Al-Sharqa>wiy, Abdullah ibn H{ija>z ibn Ibra>hi>m. Ha>shiyah al-
Sharqa>wiy ‘ala Sharah{ al-Tah{ri>r.
Al-Sharbi>niy, Shamsuddi>n Muh}ammad ibn Ah}mad. al-Iqna>’ fi
H{alli al-Fa>z{i Abi> Shuja>’ (Beirut-Libana>n: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyyah, 2004).
Al-Shuyu>t}i, Jala>luddin Abdurrahman ibn Abu Bakar. al-
Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi Qawa>’id wa Furu>’ Fiqh al-
Shafi’i (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 2015).
Al-T{abari>, Li Abi> Ja’far Muhammad bin Jari>ru. Jami’ al-
Baya>n ‘an Ta’wi>lu Ayyu al-Qur’an Tafsir At-T{abari>
(Bayrut-Libana>n, Da>r al-Kitab al-‘Alamiyah, 2004).
Al-Zuhaili>, Muhammad Mustafa.al-Qawa>’id al-Fiqhiyyah wa
Tat}bi>qa>tuha> fi al-Maza>hib al-Arba’ah (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 2006).
Ah{mad Muhammad Ibn H{anbal, al-Musnad Ima>m Ah{mad ibn
H{anbal (Beirut: Liba>non: al-Mu’asasah al-Risa>lah,
1999).
An-Nawawiy, Abi> Zakariya.>S{ah{i>h{ Muslim Bi sharh{i an-
Nawawiy (Beiru>t: Da>r al-Fikri, 1983).
Hak-Hak Perempuan
185
Aripin,Jaenal.Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2008).
-----------.Reformasi Hukum di Indonesia dan Implikasinya Terhadap Peradilan Agama(Analisis Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi Tahun 1998-2008).
Arifin, Zainal dan Muh.Anshori.Fiqih Munakahat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019).
Asikin,Zainal. Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2016).
Bintania,Aris.Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013).
Bisri,Cik Hasan.Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, (Jakarta: PT Remaja Rosdakarya, 2000).
Dwianti Putri, Lies Marcoes Fadillan.Memastikan Terpenuhinya Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian: Studi Kasus Gugat Cerai di Wilayah PA-PTA Sulawesi selatan, (Penelitian kebijakan: Rumah Kita
Bersama, 2015).
Fauzan, M. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah di Indonesia,( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013).
Harahap, Yahya Muhammad.Hukum Perkawinan Nasional: Pembebasan Berdasatkan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1975, (Medan: Zahir Trading, 1975).
------------.Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).
Ibnu Nujaim, al-Asba>h wa al-Naz{a>ir (Kairo: Dar al-Fikr,
1983).
Kurniawati, Vivi.Pengasuhan Anak, (Jakarta: Rumah Fiqih
Publishing, 2018).
Hak-Hak Perempuan
186
Mahmood, Tahir.Family Law Reform in The Muslim World,
(New Delhi: The Indian Law Institute, 1972).
-------------. Personal Law in Islamic Countries, History, Text and Comparative Analysis, (New Delhi: Academy of
Law and Religion, 1987).
Manan,Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di
Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2016).
----------.Reformasi Hukum Islam di Indonesia: Tinjauan dari Aspek Metodologi, Legalisasi dan Yurisprudensi, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007).
Mappiasee,Syarif.Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015).
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2016.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2010).
Meleong,Lexi J. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014).
Md, Mahfud.Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2018).
Muhammad,Abdul Kadir.Hukum Perdata Indonesia, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2010).
Mustafa,Ahmad.Tafsir al-Maraghi, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1984).
Muzayyanah,Iklilah dkk.Ketika Perempuan Bersikap: Tren Cerai Gugat Masyarakat Muslim, (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2016).
Na’mah, Ulin.Talak Divorce: Its Meaning According to The Actor of Matrilocal Residence in Muslim Society, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
Nasution,Khoiruddin.Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang –undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta:
INIS, 2002).
Hak-Hak Perempuan
187
------------.Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode, Materi, dan Status Perempuan Dalam Perundang-undangan Muslim‛,
(Yogyakarta: Academia+Tazzafa, 2009).
------------.Islam Tentang Relasi Suami dan Istri: Hukum Perkawinan I, (Yogyakarta: Academia&Tazzata,
2004).
Nurlaelawati, Euis.Islamic Justice in Indonesia:Family Law Reform and Legal Practicein the Religious Courts, (Amsterdam: University Press, 2010).
-------------.Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice the Indonesian Religious Courts(Amsterdam:
Amsterdam University Press, 2010).
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, dkk.Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih UU No1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media,
2004).
Pasek Diantra, I Made.Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori Hukum, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2017).
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama Buku II (Mahkamah Agung RI:Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010).
Qal’aji>, Muhammad Rawa>sh dan H{amid S{a>diq Qunaybi.
Mu’jam lughah al-Fuqaha>’ (Beirut: Da>r al-nafa>is,
2012).
Rofiq,Ahmad.Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2013).
R. Ahrons, Constance.Divorce an Unscheduled Family Transition‛ dalam Betty Carter and Monica
McGoldrick (Ed), The Expanded Family Life Cycle: Individual, Family, and Social Perspectives,
Hak-Hak Perempuan
188
(Boston: Allyn & Bacon A Pearson Education
Company, 2005).
Sa>biq, Sayyid. Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Da>r Ibn Kathir).
Salim, Arskal dkk.Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama Di Indonesia, (Jakarta: Puskumham UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009).
Shahrur,Muhammad.Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2004).
Shihab, M. Quraish.Tafsir al-mishba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).
Soehartono,Irwan.Metode Penelitian Sosial, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1999).
Soesilo dan Pramudji, dkk.Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, (Rhedbook Publisher, 2008).
Sosroatmodjo, Arso dan Wasit Aulawi,dkk.Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1978)
Subhan, Zaitunah.Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-Kahfi, 2008).
Suma,Muhammad Amin.Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).
Syahuri,Taufiqurrohman.Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Prenada Media Group
Anggota Ikapi DKI, 2015).
-----------.Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2011).
Syaifuddin, Muhammad dkk.Hukum Perceraian, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014).
Syarifuddin, Amir.Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2013), h. 141.
Hak-Hak Perempuan
189
--------------. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Kencana, 2007).
Tahido Yanggo, Huzaimah.Konsep Wanita Menurut al-Qura>n, Sunnah dan Fikih‛dalam Wanita Islam
Indonesia dalam Kajian Tektual dan Kontektual,
(Jakarta: INIS, 1993).
-----------.Hukum Keluarga Dalam Islam, (Jakarta: Anggota Ikatan Penerbit Indonesia, (IKAPI), 2013).
-----------.Huzaimah.Fiqih Anak: Metode Islam dalam Mengasuh dan Mendidik Anak serta Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Aktivitas Anak, (Jakarta:
P.T al-Mawardi Prima, 2004).
Taufik Makarao, Mohammad.Hukum Perlindungan Anak dan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Reneka cipta, 2013).
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Bandung:
Fokusmedia, 2005).
Umar,Nasaruddin.Fikih Wanita Untuk Semua, (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI, 2010).
Wahab, Abdul dan Abd. Muhaimin, dkk.,Adopsi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gaung Persada, 2010).
Wahid, Marzuki dan Rumadi.Fiqih Mazhab Negara, Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: LKiS, 2011).
Yatha Dimyathi, Abu Bakar bin Sayyid Muhammad. I’a>nah
at}-T}a>libi>n, juz IV (Beirut: Dar al-Fikr 1990).
Zuh{ayli>, Wahbah. Naz{ariyyah al-D}aru>rah al-Shar’iyyah
(Beirut: a-Risa>lah, 1985).
---------.al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-
fikr).
Zulkarnaen dan Mayaningsih.Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017).
Hak-Hak Perempuan
190
ARTIKEL:
Abdullah,Abdul Gani. ‚Penemuan Hukum (Rechtsvinding)
dan penciptaan hukum (Rechtsschepping) Bagi Para
Hakim,‛dalam Ahkam: Jurnal Ilmu-ilmu Syariah dan Hukum V 8, no. 2, 2006.
Aini,Noryamin. ‚Tradisi mahar di Ranah Lokalitas Ummat
Islam: Mahar dan Struktur Sosial di Masyarakat
Muslim Indonesia,‛dalam Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah V14, no. 1, Januari 2014.
Ali. ‚A Contextual Approach to The Views of Muslim
Feminist Interpretation of The Qur’an Regarding
Women and Their Right,‛ dalam International Journal of Arts and Science 3 2010.
Asya’ri, Moh . ‚Kompilasi Hukum Islam Sebagi Fiqih Lintas
Mazhab di Indonesia,‛dalam al-Ihkam: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial V7 no. 2, Desember
2012.
Azni.‚Analisis Gender Terhadap Hukum Keluarga Islam
Indonesia (Studi Terhadap Hak-hak Wanita Pasca
Perceraian),‛dalam Asy-Shir’ah Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum V 49 no. 1, Juni 2015.
B. Davidson, Charles.‚ Procedural Justice Preserves
Fundamental Fairness‛ Law Now, Article, Legal
Studies Program, Faculty of Extention University of
Alberta 2006.
B,Halimah. ‚Konsep Mahar (Mas Kawin) dalam Tafsir
Kontemporer,‛dalam Jurnal Al-Risalah V15,no. 2,
November 2015.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005).
Domiri.‚Analisis Tentang Sistem Peradilan Agama di
Indonesia,‛ dalamJurnal Hukum dan Pembangunan V47, no. 3, Juli-September 2016.
Fatimah.‚Pemenuhan Hak Istri dan Anak Akibat Putusnya
Perkawinan Karena Perceraian: Studi Kasus di
Hak-Hak Perempuan
191
Pengadilan Agama Banjarmasin,‛dalam Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan V4, no. 7, Mei 2014.
G. Qaisi, Ghada. A Student Note: Religious Marriage
Contracts, Judicial Enforcement of Mahr
Agreements in Amarican Court‛ dalam Journal of Law and Religious15 (2000).
Hammad,Muchammad. ‚Hak-hak Perempuan Pasca
Perceraian: Nafkah iddah Talak dalam Hukum
Keluarga Muslim Indonesia, Malaysia dan
Yordania,‛dalam Al-Ah}wa>l : Jurnal Hukum Keluarga Islam V 7 no. 1, 2014.
Harahap, Yulkarnaini dan omara.‚Kompilasi Hukum Islam
Dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan,‛
dalam Mimbar Hukum V22, no. 3, Oktober 2010.
Herawati,Tri Wahyuni. ‚Perlindungan Hak Atas Pembagian
Gaji Akibat Perceraian yang Dilakukan Oleh
Pegawai Negeri Sipil,‛dalam LawJournal V6, no.
2,2017.
Hifni,Mohammad. ‚Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Suami
Istri Dalam Perspektif Hukum Islam,‛dalam Jurnal Hukum Keluarga, Volume 1 No 2, Desember 2016.
Huis, Stijn CornelisVan.‚Rethinking TheImplementation of
Child Support Dicisions Post-Divorce Rights and
Acces to The Islamic Court in Cianjur, Indonesia‛,
dalam Law, Sosial Justice & Global Development: An Electronic Law Journal (2011)
Idri. ‚Religious Court in Indonesia: History and
Prospect,‛dalam Journal Of Indonesia Islam V 03,
no. 02, December 2009.
J.C.T. Simorangkir, Kamus Hukum, ( Jakarta: Sinar Grafika,
2007)
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.
Ke-2, (Jakarta: Balai Pustaka, 2011).
M. Syaifuddin dan Sri Turatmiyah.‚Perlindungan Hukum
Terhadap Perempuan dalam Proses Gugat Cerai
Hak-Hak Perempuan
192
(Khulu’) di Pengadilan Agama Palembang,‛dalam
Jurnal Dinamika HukumV12, no. 2, Mei 2012.
Maarzuki,Angga.‚Fenomena Perceraian dan Penyebabnya:
Studi Kasus Kota Cilegon,‛ dalamJurnal Bimas IslamV. 9, no.IV, 2016.
Majalah Peradilan Agama, Penegakan Hukum Keluarga di Indonesia, Edisi 7/Oktober 2015.
Mubarok, Nafi’.‚Sejarah Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia,‛dalam AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law V02, no. 02,
Desember 2012.
Muhammad Ali, Hasbi dan Raihanah. ‚The Sharia Objective
of Giving Mahr,‛dalam Journal Fiqih no. 10, 2013.
Ningsih,Rahmah. ‚Yurisprudensi Sebagai Alternatif
Refrensial Hakim Dalam Memahami
Konstitusi‛Staatsrecht :Indonesian Constitutional Law Journal V1, no 1, January 2017.
Nurasiah.‚Hak Nafkah, Mut’ah dan Nushuz Istri:Studi
Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga di
Berbagai Negara Muslim,‛dalam Al-Ah}wa>l: Jurnal Hukum Keluarga IslamVol 4, no. 1, 2011.
Nurhaini Butarbutar,Elisabeth. ‚Konsep Keadilan dalam
Sistem Peradilan Perdata,‛dalam Mimbar Hukum
V21, no. 2, Juni 2009.
Nuryanto. ‚Hadhanah Dalam Perspektif Hukum Keluarga
Islam,‛dalam jurnal Tapis V14, no. 02,2014.
Osama,Essra. Review of Domestic Violence and the Islamic
Tradition, by Ayesha S. Chaudhry, Journal of International Women’s Studies, Vol. 17, No. 1,
January 2016.
Rachel M. Scott, ‚A Contextual Approach to Women’s Rights in the Quran‛,
Rahmawaty, Titis.dalam‚Tinjauan Yuridis Penyebab Perceraian di Kota Palembang‛ Laporan Penelitian
Hibah Kompetitif Fakultas Hukum Universitas
Hak-Hak Perempuan
193
Sriwijaya dan Dipa UNSRI Nomor: 0200.0/23-
042/VI 2009 Tanggal 9 November 2009.
R. Hasan, Mohammad.‚Kajian Prinsip Perkawinan Menurut
UU No 1 Tahun 1974 Dalam Perspektif Hukum
Islam,‛ dalam Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Maret/2016.
R, Ahmad. ‚Peradilan Agama di Indonesia‛, dalam Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam YUDISIA V6,
no. 2,2015.
Rt. Hon. The Lord Judge, ‚Lord Chief Justice of England and
Wales‚ dalamJudiciary of England and Wales: Guide to Judicial conduct 2013.
Sudibyo, ‚Kasus Perceraian Meningkat, 70% Diajukan Istri,‛
dalam Kompas, 30 Juni 2015.
Sumarni.‚Kedudukan Hukum Islam Dalam Negara Republik
Indonesia,‛ dalam Jurnal Al-‘adalah VX, no. 4, Juli
2012.
Syamsoni,Ujang Ruhyat.‚Taqnin al-Ahkam: Legislasi Hukum
Islam ke Dalam Hukum Nasional,‛ dalam Journal of Indonesian Islam Nur El-IslamV2,no. 2, Oktober
2015.
Thoha,Muhammad.‚Paradigma Baru Fiqih Perempuan (Studi
Analisis atas Gender Mainstreaming Omid Safi
Dalam Agenda Muslim Progresif)‛ , dalam Jurnal Al-Ihkam V8, no. 2, Desember 2013.
Titawati,Titin.‚Pemberian Nafkah Iddah Ditinjau dari
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam: Studi Kasus di Pengadilan
Agama Kelas IA Kota Mataram,‛dalam Ganec Swara V11, No. 1, Maret 2017.
Warsito. ‚Perempuan dalam Keluarga Menurut Konsep Islam
dan Barat,‛ dalam Jurnal Studi Islam Vo 14, no. 2,
Desember 2013.
Hak-Hak Perempuan
194
TESIS DAN DISERTASI:
Aripin,Jainal. ‚Reformasi Hukum di Indonesia dan
Implikasinya Terhadap Peradilan Agama: Analisa
Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era
Reformasi 1998-2008,‛(Disertasi S3 Fakultas
Shari’ah, Universitas IslamNegeri Jakarta, 2008).
Arto,A. Mukti. ‚Peradilan Agama Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Historis,
Filosofis, Ideologis, Yuridis, Futuristis,
Pragmatis,‛(Disertasi S3Fakultas Hukum,
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2011).
Baharuddin, Nurbaiti. ‚‘Urf dalam Putusan Pengadilan
Agama: Analisis Pertimbangan Hakim dalam
Putusan Harta Bersama: Direktori Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia,‛ (Tesis S2
Fakultas Shari’ah,Universitas Islam Negeri Jakarta,
2017).
Fatima. ‚Wanita Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia:
Studi atas Kedudukan Wanita Sebagai Ibu, Istri dan
anak,‛ (Tesis S2 Fakultas Shari’ah, Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2013).
Hikmah, Nurul. ‚Penerapan Nushu>z di Pengadilan
AgamaJakarta Selatan: Analisis Putusan Perceraian
Tahun 2014-2015,‛ (Tesis S2 Fakultas Shari’ah,
Universitas Islam NegeriJakarta, 2017).
Huis,Stijn CornelisVan.‚Islamic Courts and Women’s
Divorce Rights in Indonesia: The Cases of Cianjur
and Bulukumba,‛(Disertasi S3 Universitas Leiden,
2015).
Khairul, Mohd Anuar bin Ismail.‚Kefahaman Wanita
Terhadap Peruntukan Hak Selepas Bercerai Menurut
Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Negeri
Kelantan No. 6 Tahun 2002: Kajian di Kota Baru,‛
(Disertasi S3 Fakultas Syari’ah, Universitas Malaya
Kuala Lumpur, 2014).
Hak-Hak Perempuan
195
Mesraini.‚Hak-hak Perempuan Pascacerai di Asia Tenggara:
Studi Perundang-undangan Perkawinan Indonesia
dan Malaysia,‛ (Disertasi S3 Fakultas Shari’ah,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008).
Nasir, Mohammad Abdun.‚Islamic Law and Social change:
The Religious Court and The Dissolution of
Marriage Among Muslim in Lombok, Indonesia,‛
(Graduate Division of Religion West and South
Asian Religions, 2013).
Ningsih, Rahmah. ‚Yurisprudensi Mahkamah Agung: Analisis
Pertimbangan Hakim dalam Penerapan Wasiat
Wajibah,‛(Tesis S2 Fakultas Shari’ah, Universitas
Islam Negeri Jakarta 2015).
Nuroniyah,Wardah.‚Kontruksi Ushul Fikih Kompilasi Hukum
Islam: Menelusuri Basis Pembaruan Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia,‛ (Disertasi S3
Fakultas Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2016).
Putri, Nora Eka.‚Hak Hadanah pada Ayah: Analisis
Yurisprudensi Mahkamah Agung,‛ (Tesis S2
Fakultas Shari’ah Universitas Islam Negeri Jakarta,
2017).
Riadi, Edi. ‚Dinamika Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Dalam Bidang Perdata Islam‛(Jakarta:
Gramata Publising Anggota IKAPI, 2011)
Ritonga, Iskandar. ‚Hak-hak wanita dalam Hukum
Kekeluargaan Islam di Indonesia: Implementasinya
dalam Putusan-putusan Peradilan Agama DKI
Jakarta 1990-1995,‛ (Disertasi S3Fakultas Shari’ah,
Universitas Islam Negeri Jakarta 2002).
Shofiyah, Ummu. ‚Pengaruh Pendidikan dan Kemandirian
Ekonomi Perempuan TerhadapGugat Cerai: Studi
Kasus Gugat Cerai di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan‛, (Tesis S2 Fakultas Shari’ah,Universitas
Islam Negeri Jakarta, 2016).
Hak-Hak Perempuan
196
Sikti,Ahmad Syahrur. ‚Daf’u al-Darar Dalam Putusan Hakim
Pengadilan Agama: Studi Kasus Putusan Hakim
Pengadilan Agama se-Wilayah DKI Jakarta Tahun
2010-2014‛, (Disertasi S3 Fakultas Sahari’ah
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015).
Silahuddin,Muhammad.‚Efektifitas Kompilasi Hukum Islam
Sebagai Sumber Hukum: Studi Atas Hasil Putusan
Perkara Perceraian dan Poligami di Pengadilan
Agama Kabupaten Gresik Tahun 2007-2008,‛ (Tesis
S2 Fakultas Shari’ah, Universitas Islam Negeri
Jakarta, 2008).
Urrohman,Atho’.‚Problematika Nafkah Istri Pasca Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil: Studi di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Malang, Pengadilan Agama Kota Malang dan Pengadilan Agama Kabupaten Malang, ‛(Tesis S2 Fakultas al-
Ahwal al-Syakhshiyyah, Univeristas Islam Negeri
Malang, 2017).
Zakiyyah.‚Status Nafkah, Maskan, dan Kiswah bagi Istri
yang Ditalak Ba’in Sugra,‛ (Tesis S2Fakultas
Syari’ah, Univerisitas Islam Negeri Sunan Kalijaga,
2017).
WEBSITE:
http://penataanruangsumut.net/sites/default/files/Microsoft%
20Word%20%20KOTA%20PADANG%20SIDIMPUAN.pdf
http://pa-padangsidempuan.net/v3/index.php/informasi-
umum/profil/sejarah
http://pa-padangsidempuan.net/v3/index.php/informasi-
umum/profil/sejarah
http://www.pa-padangsidimpuan.net
http://pa-padangsidempuan.net/v3/index.php/informasi-
umum/profil/sejarah
Hak-Hak Perempuan
197
PUTUSAN:
1. Putusan Nomor 97/Pdt.G/2014/PA.Psp
2. Putusan Nomor 154/Pdt.G/2015/PA.Psp
3. Putusan Nomor 341/Pdt.G/2016/PA.Psp
4. Putusan Nomor 155/Pdt.G/2014/PA.Psp
5. Putusan Nomor 131/Pdt.G/2016/PA.Psp
6. Putusan Nomor 66/Pdt.G/2016/PA.Psp
7. Putusan Nomor 181/Pdt.G/2014/PA.Psp
8. Putusan Nomor 164/Pdt.G/2015/PA.Psp
9. Putusan Nomor 164/Pdt.G/2016/PA.Psp
10. Putusan Nomor 168/Pdt.G/2016/PA.Psp
11. Putusan Nomor 144/Pdt.G/2016/PA.Psp
12. Putusan Nomor 54/Pdt.G/2016/PA.Psp
13. Putusan Nomor 33/ Pdt.G/2014/PA.Psp
14. Putusan Nomor 197/ Pdt.G/2014/PA.Psp
15. Putusan Nomor 13/ Pdt.G/2015/PA.Psp
16. Putusan Nomor 07/ Pdt.G/2015/PA.Psp
17. Putusan Nomor 128/ Pdt.G/2016/PA.Psp
Hak-Hak Perempuan
198
Hak-Hak Perempuan
199
GLOSSARIUM
Ex officio :Hak yang diberikan Undang-undang kepada
hakim untuk memutuskan sesuatu yang tidak
dituntut oleh penggugat
Gender :Suatu konsep cultural yang merujuk pada
karakteristik yang membedakan anatara laki-
laki dan perempuan baik secara biologis,
perilaku, mentalitas dan sosial budaya.
H{ad}a>nah :Pemeliharaan anak yang dilakukan oleh
suami atau istri setelah mereka bercerai atau
salah satu dari mereka meninggal dunia
‘Iddah :Masa menunggu untuk tidak melakukan
perkawinan lagi yang harus di jalani oleh
seorang perempuan setelah bercerai dari
suaminya atau setelah suaminya meninggal
dunia
Keluarga :Ruang sosial terkecil yang memiliki
beberapa anggota keluarga dan berhubungan
darah diantaranya
Mut’ah :Pemberian suami kepada istri yang dijatuhi
t}ala>q
Nafkah ‘iddah :Segala sesuatu yang diberikan oleh suami
kepada istri yang telah diceraikan baik berupa
pakaian, makanan dantempattinggal
Nushu>z :Pelanggaran yang dilakukan oleh istri atau
suami dalam rumah tangga
Hak-Hak Perempuan
200
Yurisprudensi :Putusan Hakim yang di ikuti oleh Hakim-
hakim di bawahnya dalam memutuskan
perkara
T{ala>q ba>’in
s}ughra> :T{ala>q yang tidak memberikan hak kepada
suami untuk rujuk kembali kepada istrinya,
kecuali dengan akad nikah yang baru
T}ala>q raj’i> :T{ala>q yang dijatuhkan oleh suami disertai
dengan hak untuk ruju’ kembali selama istri
dalam masa ‘iddah
T}ala>q khul’i :T{ala>q yang dijatuhkan suami atas
permintaan istri dengan bayaran sejumlah
uang atau barang berharga tertentu dari pihak
istri
Institusi : Di namakan dengan sebuah lembaga
Yurisdiksi :Wilayah atau daerah tempat berlakunya
Undang-undang yang berdasarkan hukum
Petitum :Sesuatu yang dituntut atau dimohonkan agar
diputuskan oleh Pengadilan dan jawaban
terdapat pada putusan Pengadilan
Verstek :Putusan yang dijatuhkan oleh hakim tanpa
hadirnya salah satu pihak
Hak-Hak Perempuan
201
INDEKS
‘
‘Iddah, 9, 17, 28, 29, 30, 42, 43,
45, 53, 54, 78, 79, 81, 82, 90,
92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 101,
102, 103, 105, 106, 107, 145,
146, 177, 178
‘Iwad, 5, 143
A
Abdul Gani Abdullah, 10, 67
Abdul Kadir Muhammad, 4
Al-Qur’an, 6, 7, 27, 30, 31, 32,
33, 34, 36, 38, 85, 87, 90, 95,
96, 99, 100, 103, 104, 105,
106, 110, 113, 115, 116, 119,
122, 123, 130, 135, 141, 144,
154, 155, 156, 157, 159, 162,
168, 179, 180
Ayat, 3, 5, 6, 7, 8, 17, 20, 25
B
Baqir al-Habsi, 48
Bulukumba, 15, 16, 67
Buniyamin, 62, 81, 82, 83, 87,
136, 140
C
Cerai gugat, 1, 2, 4, 5, 8, 14, 15,
19, 22, 23, 25, 66, 70, 71, 80,
83, 84, 86, 88, 141, 142, 145,
146, 157, 158, 161, 164, 167,
173, 177, 178, 180
Cerai talak, 1, 2, 4, 5, 19, 21, 22,
23, 25, 29, 66, 69, 70, 71, 77,
83, 84, 85, 90, 93, 106, 116,
127, 128, 130, 140, 144, 146,
177, 178
D
Deskripsi, 59, 94, 99, 102, 108,
111, 114, 122, 128, 149, 151,
160, 165, 169, 172
E
Ekonomi, 1, 18, 38, 44, 47, 56,
60, 83, 85, 86, 87, 88, 123,
156, 160, 164, 169, 173
Euis Nurlaelawati, 11, 12
F
Faktor, 1, 82, 83, 84, 85, 86, 87,
88, 169
Febrizal Lubis, 23, 74, 76, 77,
92, 146
Hak-Hak Perempuan
202
Filosofis, 106, 107, 116, 130,
131, 140, 141, 157, 173, 178,
179, 180
G
Gaji, 6, 50, 51, 52, 53, 79, 133,
135, 137, 139, 140, 141, 170,
172, 177, 178, 179
Gambar, 62, 75, 81
Gender, 9, 11, 16, 18, 181
H
H{ad}a>nah, 5, 18, 19, 48, 49, 92,
177
Hak-hak perempuan, 6, 12, 13,
14, 17, 19, 20, 22, 24, 25, 27,
39, 53, 54, 82, 83, 146, 177,
178, 180, 181
Hakim, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
18, 21, 22, 23, 25, 53, 57, 64,
65, 69, 71, 73, 74, 76, 77, 78,
79, 80, 81, 82, 83, 90, 91, 92,
93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 109, 110, 111, 112, 113,
115, 116, 117, 118, 119, 120,
123, 124, 125, 126, 128, 129,
130, 131, 132, 134, 135, 136,
137, 139, 140, 141, 142, 144,
145, 146, 147, 148, 149, 150,
151, 152, 153, 156, 157, 158,
159, 160, 163, 164, 165, 166,
167, 168, 169, 170, 171, 172,
173, 175, 177, 178, 179, 180,
181
Hasanuddin, 23, 65, 66, 88
Hukum, 2, 3, 7, 8, 10, 11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22,
24, 25, 27, 28, 31, 33, 38, 39,
41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49,
50, 51, 53, 54, 55, 56, 57, 59,
60, 61, 63, 64, 65, 66, 67, 68,
69, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 82, 89, 90, 92, 93,
94, 98, 99, 100, 102, 104,
105, 106, 107, 116, 122, 125,
129, 131, 134, 138, 139, 140,
141, 142, 143, 146, 147, 148,
150, 151, 155, 157, 159, 162,
165, 171, 172, 173, 177, 181
Huzaimah Tahido Yanggo, 7, 27,
38
I
Indonesia, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9,
10, 11, 12, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 23, 27, 28, 29, 37, 39,
40, 41, 43, 44, 45, 48, 50, 54,
59, 61, 63, 65, 66, 67, 68, 69,
70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77,
87, 88, 91, 140, 148, 151,
155, 165, 171, 177, 179
Islam, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12,
14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 23,
25, 27, 28, 29, 33, 36, 38, 39,
40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
48, 49, 51, 53, 54, 56, 57, 59,
Hak-Hak Perempuan
203
63, 64, 65, 67, 68, 69, 71, 72,
73, 74, 75, 76, 77, 78, 80, 82,
89, 90, 91, 92, 93, 95, 97, 98,
101, 103, 104, 105, 107, 109,
113, 115, 116, 119, 122, 123,
128, 129, 131, 134, 135, 137,
141, 142, 143, 145, 146, 149,
153, 154, 155, 157, 159, 162,
165, 172, 173, 177, 178, 179,
180
K
Keadilan, 8, 10, 11, 12, 22, 47,
52, 65, 66, 68, 76, 77, 78, 82,
91, 103, 125, 146, 151, 177,
181
Keluarga, 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 14,
15, 17, 18, 19, 27, 36, 38, 40,
41, 43, 45, 46, 48, 54, 55, 56,
57, 71, 74, 76, 82, 85, 87, 88,
90, 91, 128, 134, 144, 150,
152, 153, 159, 164, 165
Khulu’, 4, 5, 12, 43, 66, 85, 88,
141, 146
Kompilasi Hukum Islam, 4, 14,
22, 25, 42, 44, 45, 46, 47, 48,
72, 73, 76, 92, 105, 109, 131,
143
M
Mahar, 5, 20, 32, 33, 34, 35, 36,
42, 45, 46, 47, 56, 71, 84, 92,
96, 104, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117,
148, 150, 151, 152, 153, 154,
155, 156, 157, 177, 178, 179,
180
Mahkamah Agung, 9, 10, 19, 61,
63, 65, 66, 79, 82, 91, 92, 100,
128, 136, 140, 145, 148, 179
Masyarakat, 7, 10, 11, 62, 63,
65, 66, 67, 68, 72, 73, 75, 88,
104, 151, 165
Muslim, 11, 16, 17, 25, 27, 40,
45, 54, 63, 67, 72
Mut’ah, 5, 18, 19, 20, 31, 32, 36,
42, 45, 46, 55, 56, 78, 79, 81,
92, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104, 105, 106,
107, 177, 178
N
Negara, 7, 11, 16, 17, 25, 45, 53,
54, 72, 73, 74, 177
Nushu>z, 7, 8, 9, 42, 44, 79, 82,
87, 97, 102, 103, 104, 105,
106, 121, 122, 133, 134, 136,
137, 140, 145
P
Padangsidimpuan, 12, 13, 22, 23,
24, 25, 59, 60, 61, 62, 63, 65,
66, 68, 71, 74, 77, 80, 81, 83,
85, 86, 87, 88, 92, 93, 106,
108, 114, 116, 118, 121, 122,
127, 130, 136, 137, 140, 146,
Hak-Hak Perempuan
204
150, 152, 157, 158, 161, 164,
167, 169, 173, 177
Pegawai Negeri Sipil, 6, 20, 50,
51, 52, 53, 79, 93, 132, 133,
135, 136, 137, 139, 140, 141,
163, 166, 172, 173, 177, 179
Pengadilan Agama, 2, 4, 5, 10,
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 21, 22, 23, 24, 25, 44, 45,
53, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 71, 72, 73, 74,
76, 77, 80, 81, 82, 83, 85, 86,
88, 89, 90, 91, 92, 94, 106,
109, 116, 118, 121, 127, 130,
137, 140, 142, 143, 144, 146,
149, 151, 153, 157, 158, 161,
164, 167, 169, 173, 177, 181
Peradilan Agama, 5, 8, 9, 10, 13,
16, 18, 19, 22, 23, 25, 60, 63,
64, 65, 66, 67, 69, 70, 76, 79,
90, 145, 149, 151, 153, 165
Perceraian, 1, 3, 5, 17, 18, 27, 29,
39, 42, 45, 49, 50, 51, 52, 53,
54, 68, 69, 70, 71, 76, 83, 85,
86, 89, 90, 92, 107, 141
Perkawinan, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 13,
15, 16, 20, 22, 23, 27, 29, 33,
39, 40, 41, 42, 43, 46, 48, 50,
52, 53, 56, 57, 60, 65, 68, 71,
72, 74, 81, 86, 88, 90, 91, 93,
95, 104, 110, 115, 116, 117,
119, 123, 141, 142, 143, 145,
146, 152, 154, 160, 168, 170,
171, 172, 177, 179
Putusan, 4, 9, 10, 11, 12, 13, 18,
19, 21, 22, 23, 24, 25, 43, 49,
65, 66, 68, 69, 70, 71, 73, 74,
76, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84,
92, 93, 97, 98, 101, 105, 106,
108, 110, 113, 114, 116, 117,
119, 120, 125, 126, 129, 130,
132, 136, 140, 144, 146, 147,
148, 150, 156, 157, 158, 160,
161, 163, 166, 167, 168, 172,
173, 177, 181
S
Sosiologis, 75, 106, 107, 116,
117, 130, 132, 140, 141, 157,
173, 175, 178, 179, 180
U
Undang-undang, 2, 3, 4, 5, 7, 9,
11, 17, 18, 19, 21, 23, 25, 40,
41, 42, 43, 44, 45, 46, 48, 49,
55, 56, 57, 63, 64, 65, 69, 70,
71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 81,
86, 88, 91, 93, 97, 99, 119,
124, 125, 128, 131, 135, 142,
145, 146, 151, 159, 160, 168,
169, 170, 171, 172,뒨178,
179, 180
Y
Yuridis, 74, 106, 116, 130, 140,
157, 173, 178, 179, 180
Yurisprudensi, 5, 9, 19, 72, 77,
92, 136, 140, 145, 149
Hak-Hak Perempuan
205
TENTANG PENULIS
Hariyanti Novita, lahir di Tanjong Beuridi Aceh
Utara, 7 Maret 1987, dari pasangan Harun dan Rusmiati.
Pendidikan penulis mulai dari pendidikan dasar yang
ditempuh di SD No. 01 Tanjong Beuridi, setelah lulus sekolah
dasar penulis melanjutkan pendidikan Tsanawiyah dan
‘Aliyah di YayasanTerpadu Ulumuddin Uteukot Cunda
Lhokseumawe Aceh Utara. Kemudian melanjutkan
pendidikan Strata satu di Sekolah Tinggi Agama Islam
Indonesia Jakarta Fakultas Shari’ah Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyah lulus padaTahun 2013, dan melanjutkan Strata
dua di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tahun 2014.