HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER
-
Upload
maulanaikhsan1 -
Category
Documents
-
view
616 -
download
10
Transcript of HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER
HANDBOOK OF MORAL AND CHARACTER
Larry P. NucciUniversity of Illinois at Chicago
Darcia NarvaezUniversity of Notre Dame
Banyak pihak sepakat kalau sekolah harus berperan penting bagi pengembangan
dan pembentukan karakter siswa. Di antara karakter tersebut adalah kejujuran, hormat
kepada orang lain, demokrasi, hormat kepada orang yang berbeda latarbelakang dan ras,
serta toleransi.
Namun, dukungan untuk pendidikan moral ini menimbulkan kontroversi seputar
makna dan bentuk praktik pendidikan moral itu sendiri. Ini berkaitan dengan budaya
generasi muda Amerika dan orang Amerika pada umumnya. Para penganut social
konservatif menganggap kondisi sekarang sebagai periode kehancuran social (Bennett,
1998; Putnam, 2003) dan krisis yang melanda generasi muda (Bennett, 1992;
Himmelfarb, 1994; Wayne, 1987). Hal ini menuntut perlunya pendidikan karakter yang
kembali kepada nilai – nilai moral tradisional (Bennett, 1992; Wynne & Ryan, 1993).
Kalangan politik sayap kiri Amerika memandang kalau masyarakat Amerika
sekarang ini sedang mengalami perubahan social yang cepat di mana banyak sekali
terjadi ketidakadilan social; seperti diskriminasi rasisme dan gender (Turiel, 2002).
Tujuan handbook ini adalah untuk membahas hal – hal yang tidak sekedar wacana
seperti di atas. Buku ini adalah kumpulan penjelasan tentang pendidikan moral &
karakter dari para peneliti yang ahli di bidang tersebut. Berikut penjelasannya.
1
BAGIAN I
DEFINISI PENDIDIKAN MORAL
SEJARAH, FILOSOFI, TEORI DAN METODOLOGI
Perdebatan seputar pendidikan moral dibagi ke dalam 3 dimensi.
Pertama, anggapan yang mengatakan bahwa moralitas dan pengembangan
karakter berpusat pada cultivation of virtues (pemeliharaan nilai – nilai kebaikan).
Anggapan ini mengacu pada Aristoteles yang menekankan pentingnya pembentukan
sikap awal dan pengaruh kelompok social.
Kedua, asumsi yang mengatakan bahwa moralitas adalah fungsi penilaian dalam
suatu konteks. Asumsi ini mengacu pada argument filosofis dari etika kaum rasionalis
yang menekankan pada justifikasi tindakan moral berdasarkan prinsip keadilan (Rawls,
2001). Fokusnya adalah pemikiran kritis yang berasal dari konsep Piaget (1932) dan
pendekatan Socrates terhadap pendidikan.
Ketiga, asumsi yang menekankan pentingnya peran emosi. Ini didasarkan pada
konsep tentang care ethic (etika kepedulian), attachment theory dan pendidikan spiritual
yang akan dijelaskan di bagian 2 & 3.
Bagian I terdiri atas 8 bab.
Di bab 1, penulis membahas dasar filosofis, historis, dan metodologi seputar
pendidikan moral dan karakter.
Bab 2, yaitu Philosophical Moorings oleh Thomas Wren akan membawa kita
pada aliran pemikiran filosofis tentang pendekatan tradisional dan pengembangan
terhadap pendidikan moral.
2
Di bab 3, Daniel Lapsley membahas wacana tentang kebaikan (virtues) dan alasan
(reason) yang menyinggung dasar filosofis dan psikologis tentang hubungan antara
moralitas dan diri sendiri.
Bab 4 membahas konsep Kohlberg tentang pendekatan terhadap pendidikan
moral.
Di bab 5 & 6, James Arthur dan David Carr membahas pendekatan tradisional dan
kebaikan terhadap pendidikan moral. Mereka menjelaskan tentang analisa Kohlberg
mengenai batasan teori moral berbasis kebaikan.
Di bab 7, Kenneth Strike membahas peran masyarakat dalam membentuk
kehidupan moral siswa.
Bab 8 membahas riset oleh James Leming tentang kurangnya dampak praktik
pengajaran karakter dan moralitas yang dilakukan di kelas.
BAGIAN II
HUBUNGAN DI SEKOLAH DAN KELAS
Bagian ini membahas lingkungan social dan afektif kelas; serta bahwa hubungan
social di sekolah dapat mempengaruhi pembentukan moralitas dan karakter. Bagian ini
terdiri atas bab 9, 10, 11, 12, 13 dan 14.
Di bab 9, Nel Noddings membahas teori kepedulian/pengaturan (care theory)
sebagai hal penting dalam perkembangan moral dan tindakan etis. Teori ini berasal dari
konsep Caroll Gilligan dan gerakan feminisme; namun oleh Noddings, teori tersebut
dimodifikasi menjadi kerangka filosofis yang komprehensif. Noddings menjelaskan
3
tentang hakikat pengaturan kelas dan sekolah serta membahas hal – hal yang diperlukan
oleh guru dan semua pihak yang terlibat dalam bidang kepedulian.
Di bab 10, Marilyn Watson memperluas konsep kepedulian sebagai apa yang
disebut dengan classroom relationship based on trust (hubungan kelas yang berdasarkan
kepercayaan). Yang ditekankan adalah kebutuhan siswa tingkat dasar untuk membangun
hubungan yang manis dengan pihak bersangkutan. Di bab ini, Watson menjelaskan
pendekatan terhadap struktur kelas dan manajemen sikap yang disebut developmental
discipline (disiplin pengembangan) yang menyangkut motivasi intrinsic anak untuk
mandiri, rasa memiliki dan kompetensi.
Di bab 11, David & Roger Johnson membahas secara terperinci bagaimana
menggunakan struktur kooperatif kelas dengan benar dan riset tentang dampak struktur
tersebut terhadap perkembangan moral dan social siswa.
Di bab 12, Clark Power dan Ann Higgins-D’Allesandro melakukan review
tentang implementasi komunitas sekolah dan riset tentang efektifitas pendekatan ini
terhadap pendidikan moral.
Di bab 13, Maurice Elias, Sarah Parker, Megan Kash, Roger Weissberg dan Mary
Utne O’Brien menjelaskan hubungan antara program SEL (social and emotional learning
= pembelajaran emosi dan social) dengan pendidikan moral dan karakter.
Di bab 14, Stacey Horn, Christopher Daddis dan Melanie Killen membahas
bagaimana hubungan dengan teman di sekolah berimplikasi terhadap perkembangan
moral dan social.
4
BAGIAN III
PENDEKATAN KONTEMPORER
Bab – bab di bagian ini focus pada pendekatan kontemporer tentang pendidikan
karakter dan moral. Bagian ini terdiri atas bab 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22.
Di bab 15, Larry Nucci membeberkan garis besar sebuah program riset selama 3
tahun yang menunjukkan bahwa konsep moralitas (keadilan, kesejahteraan manusia)
bersifat universal dan membentuk suatu system konseptual yang berbeda dengan isu
personal, preskripsi religi dan konvensi.
Di bab 16, Darcia Narvaez garis besar riset secara kognitif dan neurobiologis
untuk membuat rekomendasi terhadap perkembangan karakter moral.
Di bab 17, Victor Battistich mengemukakan penjelasan komprehensif mengenai
program CDP (child development project = proyek perkembangan anak) dan hasil
evaluasi program tersebut yang memperlihatkan bahwa membangun komunitas
kepedulian di sekolah adalah penting agar perkembangan emosi siswa menjadi lebih baik.
Di bab 18, Carolyn Hildebrant dan Betty Zan membahas asumsi teoritis dan
praktik kelas mengenai pendekatan berbasis perkembangan terhadap perkembangan
moral anak.
Di bab 19, Matthew Davidson, Thomas Lickona, dan Vladimir Khmelkov
menjelaskan bahwa kebaikan moral seperti kejujuran dan keadilan harus didukung oleh
tindakan kebaikan seperti perseverance (terus berusaha walaupun banyak kesulitan) dan
hard work (kerja keras).
Di bab 20, Anne Colby me-review riset yang menjelaskan dampak pengalaman
kampus terhadap perkembangan moral dan keterlibatan sipil dari generasi muda.
5
Di bab 21, Marvin Berkowitz, Victor Battistich dan Melinda Bier menjelaskan
hasil analisa komprehensif mengenai praktik dan kebijakan pendidikan moral dan
karakter.
Di bab 22, ada penjelasan tentang pendekatan terhadap pengajaran moral dan
karakter yang dikembangkan oleh Rachel Kessler dan kawan – kawan di Passage Ways
Institute yang focus pada hubungan antara spiritualitas dan religiusitas.
BAGIAN IV
PENDIDIKAN MORAL & CHARACTER DI LUAR KELAS
Perkembangan moral dan pembentukan karakter anak serta orang dewasa bukan
murni berasal dari sekolah. Bagian 4 ini menjelaskan bagaimana program formal untuk
layanan masyarakat, pembelajaran informal melalui media dan media pembelajaran lain
di luar kelas bisa mempengaruhi perkembangan moral dan karakter.
Bagian ini terdiri atas bab 23, 24, 25, 26 dan 27.
Di bab 23, Richard Catalano, David Hawkins, dan John Toumbourou menjelaskan
tentang positive youth development (perkembangan karakter positif generasi muda).
Di bab 24, Daniel Hart, Kyle Matsuba, dan Robert Atkins menjelaskan tentang
arti service learning (pembelajaran bagi masyarakat) dan service learning (layanan
pembelajaran) dan civic engagement (keterlibatan masyarakat sipil), menjelaskan elemen
dalam program yang efektif, dan bukti yang menjelaskan kalau pengalaman di luar kelas
dapat membentuk perkembangan moral dan karakter generasi muda; termasuk mereka
yang suka terlibat dengan anggota gang, penyalahgunaan obat terlarang, dan kejahatan di
jalanan.
6
Banyak yang mengatakan kalau olah raga dapat membentuk karakter. Hal ini
dibahas oleh David Shields dan Brenda Bredemeier di bab 25. Mereka menjelaskan
perkembangan karakter dan moral dalam kaitannya dengan konteks olah raga.
Di bab 26, Jim Lies, Kendall Cotton Bronk dan Jennifer Menon Mariano
menjelaskan peran positif masyarakat dalam membentuk karakter generasi muda.
Di bab 27, Marjorie Hogan dan Victor Strasburger menjelaskan tentang tantangan
yang bisa menimpa pendidikan karakter generasi muda, yaitu media. Generasi muda di
Negara – Negara berkembang sering menghabiskan waktu dengan menonton TV,
computer, HP, dan alat elektronik lainnya ketimbang melakukan sesuatu di kelas. Mereka
berkomunikasi melalui media elektronik dan mengumpulkan informasi dari internet dan
outlet media lain. Semua media ini bisa mempengaruhi sosialisasi anak. Hogan dan
Strasburger menjelaskan tentang tantangan tersebut, temuan riset, dan memberikan
panduan bagaimana memperlakukan media agar bisa berkontribusi terhadap
perkembangan moral dan pembentukan karakter generasi muda.
BAGIAN V
ISU PROFESSIONAL
Di bagian ini ada penjelasan tentang praktik dan pengalaman pendidikan yang
dirancang untuk memberikan dampak terhadap perkembangan moral dan karakter
generasi muda serta anak – anak.
Bagian ini terdiri atas bab 28, 29 dan 30.
Di bab 28, Muriel Bebeau dan Verna Monson membahas riset mengenai dampak
pendidikan professional terhadap perkembangan moral professional kesehatan.
7
Merle Schwartz di bab 29, menjelaskan analisa tentang kondisi sekarang dalam
upaya mempersiapkan guru pre-service untuk terlibat dalam pendidikan moral dan
karakter. Merle mengatakan bahwa program pendidikan guru sekarang tidak memiliki
komponen formal dalam upaya membekali mereka dengan dasar pengetahuan dan alat
untuk meng-integrasikan pendidikan moral & karakter ke dalam praktik pengajaran dan
rencana pembelajaran (RPP) sehari – hari.
Di bab 30, Elizabeth Campbell membuat analisa tentang dimensi etikal
pengajaran dan bagaimana rasanya menjadi seorang guru. Yang ditekankannya adalah
otonomi dan tanggungjawab moral dalam profesi guru.
8
I
DEFINISI BIDANG PENDIDIKAN KARAKTER & MORAL:
LANDASAN SEJARAH, FILOSOFIS DAN METODOLOGIS
2
PHILOSOPHICAL MOORINGS (Mata Rantai Filosofis)
Thomas WrenLoyola University Chicago
Pendidikan moral dan moralitas bisa dilihat dari segi internal dan eksternal.
Dilihat dari luar, moralitas adalah cara bergaul dengan orang lain. Dari dalam, moralitas
adalah bergaul dengan diri sendiri. Secara eksplisit, pendidikan moral merupakan hal
penting bagi control social dan alat realisasi diri. Semua pihak; baik filsuf maupun
kalangan pendidik serta orang tua, beranggapan bahwa 2 fungsi moralitas tersebut
(control social & alat realisasi diri) saling menopang satu sama lain; apa yang baik bagi
masyarakat maka baik juga untuk anak – anak kita; begitu juga sebaliknya.
BUDDHA DAN YUNANI
Di Barat, tradisi filosofis berasal dari Yunani. Sementara di Asia, tradisi filosofis
berasal dari Buddhisme. Mari kita bahas Buddha dulu.
Ketika Buddha duduk di bawah pohon Bodhi beberapa tahun sebelum Socrates
lahir di Yunani, dia tiba – tiba mengalami sesuatu luar biasa yang menandakan bahwa dia
akan menjadi Buddhist dalam sejarah perkembangan manusia. Dengan sesuatu luar biasa
tersebut maka datanglah pencerahan (enlightenment) bagi kondisi manusia yang sedang
9
menderita. Sepanjang hidupnya, Buddha terus mengajarkan nilai – nilai kebaikan yang
pada akhirnya membentuk budaya Hindu. Setelah kematian Buddha, lahirlah 2 sekte
keagamaan; Hinayana & Mahayana. Hinayana menekankan pada asal muasal doktrin
pencerahan sebagai agenda perkembangan manusia; sementara Mahayana menekankan
bahwa setiap individu harus bekerja sebagai sebuah kelompok dalam rangka memperoleh
pencerahan.
Ada perbedaan antara ajaran Buddha dengan Yunani. Contohnya, jalan Buddha
sangat berbatu (ex: lebih ascetic = tidak menghendaki kesenangan fisik); sementara
ajaran Yunani bersifat sistematik. Ajaran Yunani memandang pencerahan sebagai
wisdom (kebijaksanaan), Sophia; sementara Buddha menganggapnya sebagai
pengosongan diri atau nirvana.
Motto Yunani, yaitu know thyself (kenali dirimu) atau gnothi seaution, ditempel
di pintu masuk kuil Appollo, dewa kebijaksanaan; dan diserap oleh filsuf pra-Socrates
yaitu Thales dan Phytagoras dan Socrates sendiri. Sebaliknya, motto Lose thyself
(kosongkan dirimu) adalah pesan dari the Noble Eightfold Path (8 jalan kebaikan) yang
merupakan bagian tradisi Buddha.
8 Jalan Kebaikan di-interpretasikan dalam berbagai cara; sebagai rangkaian
tahapan progresif yang dilalui oleh tindakan seseorang, rangkaian 8 dimensi yang
membutuhkan perkembangan simultan; perampingan dari 3 kategori dasar, yaitu wisdom
(kebijakan), virtuous action (tindakan kebaikan) dan concentration (konsentrasi). Namun,
dalam semua interpretasi, pencerahan dipandang sebagai pencapaian progresif. 8 Jalan
Kebaikan itu adalah:
10
Right Viewpoint (sudut pandang yang benar) – memahami 4 kebaikan (bahwa
semua pengalaman itu menyangkut penderitaan, penderitaan disebabkan oleh
hasrat, hasrat harus bisa dikendalikan bukan dipuaskan dan ini bisa dilakukan
dengan mengikuti 8 Jalan Kebaikan.
Right values (nilai kebenaran) – komitmen untuk tumbuh dalam kesederhanaan
Right speech – berbicara kebenaran
Right action – bertindak dengan benar tidak menyakiti orang lain
Right livelihood – melakukan pekerjaan yang tidak membahayakan diri sendiri
atau orang lain
Right effort – selalu berupaya meningkatkan diri
Right mindfulness – melihat sesuatu dengan benar dan penuh kesadaran
Right meditation – meraih pencerahan, di mana ego harus dihilangkan
Kita harus ingat bahwa pesan Buddha adalah kita harus menghilangkan ide
tentang diri (self) karena entitas itu tidak pernah ada. Walaupun Yunani tidak memiliki
kata khusus untuk self (diri), namun mereka menganggap manusia sebagai sebuah self
yang mengandung thing (sesuatu).
SOCRATES & PLATO
Bagi Socrates (469 – 339 SM) & Plato (428 – 347 SM), jalan menuju pencerahan
itu tidak melibatkan pengetahuan khusus tentang self (diri), baik positif atau negative,
namun melibatkan pengetahuan tentang Ideal of Forms (bentuk ideal) dan tahapan
perkembangan tertinggi manusia, yaitu knowledge of the good (pengetahuan tentang
sesuatu yang baik).
11
Doktrin tentang Ideal of Forms ini dikembangkan oleh Plato melalui berbagai
dialognya yang dikenal dengan the Divided Line (garis yang dibagi – bagi). Berikut
tabelnya:
Ways of knowing (cara mengetahui) Objects of knowledge (objek pengetahuan)
Pemikiran intelektual (pengetahuan
langsung = episteme; & pemikiran rasional
= dianoia)
Bentuk (Kebaikan, bentuk tertinggi
Konsep matematika, bentuk terendah)
Persepsi (persepsi langsung = pistis; &
melihat gambar = eikasia)
objek yang dapat diraba (Objek fisik,
Gambar objek fisik)
ARISTOTELES
Aristoteles (384 – 322 SM) adalah muridnya Plato. Menurut Aristoteles,
perkembangan manusia bergerak ke depan. Perkembangan ini bersifat goal-seeking
(mencapai tujuan). Melalui hal ini, ada 2 bagian penting dalam konsep perkembangan
manusia menurut Aristoteles.
Pertama, hidup manusia disesuaikan dengan alasan (conformity with reason). Jadi,
jika karakter yang baik tidak diiringi dengan alasan, maka itu salah. Kedua, hidup
manusia dipenuhi oleh pemerolehan karakter (habituation).
Ada ambiguitas dalam istilah reason (alasan) yang digunakan oleh Aristoteles
dalam konteks kebaikan dan karakter moral. Kadang, Aristoteles mengartikan reason
sebagai sifat bawaan kognitif seseorang; sementara di lain waktu, dia mengutip konsep
reason menurut Plato; yaitu bahwa reason adalah realita transcendent (berada di luar
jangkauan nalar biasa) yang selalu berada di bawah kebenaran.
12
3
MORAL SELF-IDENTITY AS THE AIM OF EDUCATION
(identitas diri moral sebagai tujuan pendidikan)
Daniel K. LapsleyUniversity of Notre Dame
Banyak orang tua yang menginginkan agar anaknya menjadi orang baik, orang
yang memiliki sifat terpuji, yang kepribadiannya sesuai dengan etika. Kita berharap
bahwa anak – anak melakukan hal yang benar demi alasan yang benar pula.
Bab ini akan menjelaskan tentang kerangka kualitas moral seseorang dalam
terminology literature psikologis mengenai identitas dan diri.
Identitas diri moral dalam psikologi perkembangan (Blasi, 1993; Lapsley &
Narvaez, 2004) tercermin dalam tren etika kontemporer yang menghasilkan hubungan
erat antara pertimbangan moral dan personal (Flanagan & Rorty, 1990; Taylor, 1989).
Taylor (1989: 12) mengatakan,”menjadi seorang diri berkaitan dengan keberadaan dalam
ruang isu moral.”
TEORI SELF-IDENTITY
Terdapat hubungan tematik antara teori identitas diri moral dalam psikologi
dengan komponen etika kontemporer. Konsep penghubungnya adalah Harry Frankfurt
(1971) tentang bagaimana kemauan (will) dibangun oleh second-order desires (hasrat
kedua).
Kita memiliki motif dan hasrat yang membangun kemauan dan tindakan. First-
order desire (hasrat pertama) adalah kemauan terhadap segala hal. Second-order desire
(kemauan kedua) adalah kemauan untuk hal – hal tertentu atau yang oleh Frankfurt
(1971) disebut dengan second-order volitions. Contoh, kita ingin memiliki hasrat tertentu
13
(ex: ingin mengadakan amal, menolak rokok, mengurangi emisi karbon), namun hasrat
tersebut tidak efektif, artinya, hanya bagian dari kemauan kita.
Namun, ketika kita menginginkan hasrat itu bisa menuntun kita pada all the way
to action (semua tindakan) (Frankfurt, 1971: 8), yang artinya, to be willed (dikehendaki),
maka di saat inilah kita memiliki second-order volition. Menurut Frankfurt (1971), yang
memiliki second-order volitions disebut person (orang); sementara yang tidak punya
disebut wantons. Seorang person memperhatikan jenis hasrat, karakteristik, dan motif;
dan ingin agar hal tersebut diimplementasikan dalam kehidupan. Seorang wanton tidak
peduli dengan keinginan hasratnya; tidak peduli dengan kemauannya.
Frankfurt (1971) membedakan antara first- dengan second-order desires yang
dipengaruhi oleh teori identitas diri moral baik dalam filosofi (Taylor, 1989) maupun
psikologi (ex: Blasi, 2004, 2005). Contohnya, menurut Taylor (1989), seorang individu
itu adalah orang yang terlibat dalam strong evaluation (evaluasi yang sangat teliti). Orang
yang evaluasinya tinggi (strong evaluator) adalah mereka yang selalu membuat penilaian
etis tentang first-order desires. Strong evaluator selalu memilah – milah antara sesuatu
yang berharga dengan yang tidak berharga, mana yang tinggi dan mana yang rendah,
mana yang buruk dan mana yang baik. Identitas kita ditentukan oleh strong evaluation;
ditentukan oleh pemikiran tentang sesuatu yang signifikan bagi kita. Menurut Taylor
(1989: 27), to know who I am (untuk tahu siapa diri saya) adalah bagian dari to know
where I stand (tahu di mana saya berada).
14
KARAKTER MORAL
Karakter moral seseorang terdiri atas virtues (kebaikan). Namun, menurut Blasi
(2005) penting untuk membedakan higher- dengan lower-order virtues (kebaikan tingkat
tinggi dan rendah). Lower-order virtues contohnya adalah empati, keinginan, keadilan,
kejujuran, keramahan, kebaikan, giat dsb. Semua sifat tersebut biasanya untuk merespon
situasi tertentu. Sementara higher-order virtues memiliki generalitas yang lebih luas dan
bisa diaplikasikan ke dalam berbagai situasi.
Higher-order vitues memiliki 2 bagian. Blasi (2005) menyebut bagian pertama
sebagai will power (control diri). Sebagai control diri, willpower adalah jenis
keterampilan yang memudahkan pengaturan diri dalam proses problem-solving. Mampu
memecahkan masalah, menentukan tujuan, menghindari kerusakan, menolak rayuan,
tetap melakukan tugas, ulet dan disiplin merupakan skill dari willpower.
Bagian kedua dari higher-order virtues adalah integrity (integritas/kejujuran),
yang mengacu pada konsistensi diri. Menjadi orang yang selalu memegang janji, jujur
kepada orang lain, bertanggungjawab, dapat diandalkan, tulus dan selalu menghindari
kebohongan merupakan bagian dari integritas. Integritas bisa dianggap sebagai
tanggungjawab (responsibility) ketika kita melakukan tindakan pengontrolan diri dalam
meraih tujuan moral. Integritas dirasakan sebagai identitas (identity) ketika kita
membangun konstruksi pemaknaan diri (self-meaning) disertai keinginan.
15
4
PENDIDIKAN MORAL DALAM TRADISI PERKEMBANGAN KOGNITIF:
IDE REVOLUSIONER LAWRENCE KOHLBERG
John SnareyEmory University
Peter SamuelsonGeorgia State University
Untuk mengapresiasi ide Lawrence Kohlberg mengenai pendidikan,
perkembangan dan kognisi moral, mari kita mulai dengan sejarah hidup Kohlberg.
Sebagai anak paling kecil dari 4 bersaudara yang lahir dari ibu Kristen dan ayah
Yahudi, Laurie kecil, begitu dia dipanggil, suka bergaul dengan kalangan atas (high
class) yang mengutamakan kebebasan individu, hak istimewa, dan ekonomi kapitalis. Dia
masuk ke sekolah elit di Massachussetts, di mana dia berada dalam kungkungan ketika
melawan apa yang dinamakan konvensi social arbitrer. Sebagai siswa SMA selama
Perang Dunia II, dia mengikuti European Jewry (kelompok Yahudi Eropa) dan mulai
mempelajari warisan keyahudiannya. Pada usia 18, bukannya mengikuti teman
sekolahnya yang bergabung dengan Ivy League College, Kohlberg malah bergabung
dengan Marinir Amerika dan dan berkeliling Eropa, di mana dia bisa menyaksikan
berakhirnya perang dan bertemu dengan para korban yang selamat dari holocaust
(pembunuhan besar – besaran terhadap kaum Yahudi yang dilakukan oleh Hitler).
Pengalaman perang Kohlberg semakin menguatkan simpati Zionisnya dan memberinya
pandangan tentang moral untuk mengatur identitasnya (Snarey & Hooker, 2006).
Setelah menjalankan tugasnya, Kohlberg kembali ke Eropa sebagai anggota awak
kapal Paducah. Kapal tersebut diubah namanya menjadi S.S Redemption oleh Haganah
16
(angkatan militer Yahudi) dan berupaya untuk menyelamatkan pengungsi Yahudi Eropa
melalui blockade Inggris dan mendaratkan mereka di Palestina dan wilayah control
Inggris. Apakah menyelamatkan kaum Yahudi merupakan bagian dari upaya moral
dibandingkan patuh pada hukum? Kohlberg mengiyakannya dan berpartisipasi dalam
civil disobedience (perlawanan dari warga sipil terhadap hukum) – yaitu melanggar
hukum Inggris (menyelamatkan pengungsi Yahudi berarti melawan hukum) secara
sengaja demi melakukan apa yang disebut tujuan moral yang lebih tinggi (a higher moral
purpose). Kapal S.S Redemption kemudian dicegat sekitar 10 mil dari pesisir pantai
Palestina. Para awak, karena tidak mau dihadapkan pada konsekuensi dari civil
disobedience, bersembunyi dengan cara berbaur dengan para pengungsi yang berjumlah
sekitar 1500 orang. Mereka semua diberangkatkan ke Cyprus. 3 bulan kemudian, dengan
bantuan Haganah, Kohlberg berhasil melarikan diri dan menuju Palestina; berada di sana
selama PD II pada 1948, dan ikut mendirikan Negara Israel (Brabeck, 2000; Kohlberg,
1948; Snarey, 1982; Power, 1991a).
Kohlberg muda ikut berperan dalam menyelamatkan para korban yang selamat
dari Holocaust dan mendirikan Negara Israel. Meskipun demikian, muncul suatu
dilemma moral; apakah menyelamatkan korban yang selamat dari Holocaust di Eropa
dengan mengusir penduduk asli Arab Palestina dari tanah leluhurnya merupakan sebuah
resolusi? Apakah cara ini merupakan metode dari Haganah? Kohlberg kemudian
menjawabnya dengan moral reasoning (alasan moral) tahap 4.
Semasa kuliah, Kohlberg bercita – cita menjadi pengacara atau ahli psikologi
klinik sebagai cara untuk mengabdikan diri dalam bidang keadilan social. Kemudian dia
masuk pada program doctoral psikologi, di mana dia tertarik pada bidang psikologi dan
17
filosofi. Kohlberg menyelesaikan disertasi doctoral-nya di usia 31, yang berdasarkan
pada interview terhadap 84 anak muda di Chicago tentang beberapa dilemma moral.
Anak – anak itu ditanya,”Haruskah seorang suami mencuri obat untuk menyelamatkan
istrinya atau haruskah dia mematuhi hukum dan membiarkan istrinya mati karena tidak
ada obat? Mengapa dan mengapa tidak?” Sambil mengkaji jawaban dari anak – anak
tersebut, Kohlberg meng-identifikasi perbedaan usia dalam kompleksitas alasan moral
untuk menjustifikasi jawaban pertanyaan tersebut. Disertasi Kohlberg waktu itu
mengemukakan 6 tahap perkembangan kognitif tentang moral judgement (penilaian
moral), di mana seseorang meng-konstruksi pemahaman kompleksnya mengenai
moralitas (Arnold, 2000: 336).
Dilemma yang dihadapi seorang suami tadi merupakan gambaran dilemma
pribadi yang dihadapi oleh Kohlber ketika dia hendak menyelamatkan para korban
selamat Holocaust dan membangun sebuah Negara baru (Israel) meskipun hal tersebut
bertentangan dengan hukum Inggris. Dilemma ini bisa disebut indoctrination atau
enculturation, yaitu dilemma yang menjadi bagian dari proses alami seseorang. Nilai,
norma dan pelajaran moral yang diperoleh dari proses enculturation bisa dibenarkan jika
kondisinya seperti pengalaman yang dihadapi oleh Kohlberg. Haruskah kita
meninggalkan nilai – nilai yang sudah ada (misalnya, melanggar hukum Inggris) tapi
tidak sesuai dengan nilai – nilai baru (ex: demi menyelamatkan pengungsi Yahudi yang
selamat dari Holocaust)? Menurut perspektif kita, itulah dilemma yang tergambar dalam
pengalaman Kohlberg. Pengalamannya semasa perang meruntuhkan nilai – nilai yang
sudah ada yang pada gilirannya, Kohlberg berkomitmen untuk melakukan persamaan hak
asasi dan kehormatan manusia.
18
TEORI KOHLBERG TENTANG 3 MODEL PERKEMBANGAN
DAN KOGNISI MORAL
Model Kohlberg mengenai perkembangan moral merupakan kontribusi
terbesarnya terhadap psikologi moral. 3 model tersebut adalah: (1) moral stages (tahapan
moral), (2) moral types (tipe moral) dan (3) moral atmosphere (atmosfir moral).
Moral stages
Kohlberg berpendapat kalau perkembangan penilaian moral berlangsung dalam 6
tahap. Yang mengendalikan perkembangan moral adalah struktur pemikiran moral dalam
membuat pengalaman menjadi lebih bisa diterima. 6 tahap tersebut adalah:
Obedience & punishment orientation
Di sini, yang disebut moral itu adalah berupaya tidak melanggar hukum atau
menghindari kontak fisik dengan orang lain. Di tahap ini, seseorang mungkin tidak
menyadari kalau kepentingannya itu bisa bertolak belakang dengan orang lain.
Instrumental purpose & exchange
Di sini, yang disebut moral itu adalah mengikuti aturan hukum. Seseorang sudah
menyadari kalau kepentingannya itu bisa bertentangan dengan orang lain. Di sini,
terjadi pertukaran instrumental: jika kau melukaiku maka aku pun akan melukaimu.
Mutual interpersonal expectation, good relations
Di sini, yang disebut moral adalah menyesuaikan kehendak dengan keinginan orang
lain. Apapun yang kita lakukan harus disesuaikan agar tidak bertentangan dengan
orang lain.
Social system & conscience maintenance
19
Di sini, yang disebut moral adalah melaksanakan kewajiban masing – masing. Untuk
menjadi warganegara yang baik, maka kita harus melakukan hal – hal yang benar.
Prior right & social contract
Di sini, yang disebut moral adalah kesadaran bahwa nilai dan aturan bersifat relative
bagi sebuah kelompok dan nilai relative ini berada dalam hak asasi manusia, seperti
hak hidup dan kebebasan.
Universal ethical principles
Yang disebut moral di sini dipandu oleh prinsip etika universal yang menghasilkan
keputusan untuk memastikan kehormatan manusia dan memperlakukan mereka
sebagaimana mestinya.
Moral types
Kohlberg menjelaskan tentang dua tipe moral, yaitu tipe A & tipe B. Berikut
adalah tabelnya:
Criteria Tipe A (heteronomous) Tipe B (autonomous)
Hirarki Tidak ada hirarki moral yang
jelas
Hirarki nilai moral yang jelas;
kewajiban preskriptif adalah yang
utama
Intrinsicality Pandangan instrument tentang
seseorang
Seseorang dipandang
sebagaimana adanya; menghargai
autonomi dan kehormatan
Preskriptivity Kewajiban moral sebagai
instrumental atau hipotetikal
Tugas moral sebagai kewajiban
moral
Universality Setiap orang memiliki penilian Generalisasi pandangan
20
berdasarkan kepentingan
pribadi
Freedom Dasar eksternal yang
memvalidasi penilaian
Tidak bersandar pada otoritas atau
tradisi eksternal
Mutual respect Kepatuhan unilateral Kerjasama di antara pihak yang
sama
Reversibility Memandang suatu dilemma
hanya dari satu sudut pandang
Memahami perspektif orang lain
Constructivism Pandangan kaku mengenai
aturan
Pandangan yang fleksibel
mengenai aturan
Choice Tidak memilih dalam hal
keadilan
Memilih solusi sebagai keadilan
Moral atmosphere
Menurut Kohlberg (1980, 1985) dkk (Power, Higgins & Kohlberg, 1989), moral
atmosphere adalah iklim moral atau budaya moral suatu komunitas di mana mereka
saling berbagi nilai normative dan harapan. Kohlberg tahu bahwa konteks utama
perkembangan moral adalah kelompok masyarakat.
KONSEP KOHLBERG TENTANG 3 METODE PENDIDIKAN MORAL
3 metoede pendidikan menurut Kohlberg adalah Moral Exemplars, Dilemma
Discussion dan Just Community.
21
Moral exemplars
Menurut Kohlberg, moral exemplars merupakan alat pedagogis dalam
mendukung sosialisasi dan meningkatkan perkembangan moral. Ini adalah metode
pendidikan moral secara langsung, yaitu dengan melakukan observasi/mencontoh
terhadap individu yang mem-praktikkan prinsip moral (Bigelow, 2001).
Dalam salah satu bab penutup Essays on Moral Development: the Psychology of
Moral Development (1984: 486 – 490), Kohlberg dan co-author Ann Higgins
mengemukakan contoh dari seorang wanita berusia 32 tahun bernama Joan. Joan, yang
bekerja di pengadilan setempat, pernah membiarkan seorang ward (anak yang berada di
bawah perlindungan hukum pengadilan) untuk pergi dari perlindungan hukum menuju
tempat lain demi meraih kehidupan yang lebih baik bahkan Joan memberinya uang
tambahan. Ini jelas melanggar hukum, dan Joan akhirnya dipecat dari pekerjaannya.
Tindakan Joan ini karena didasarkan atas penghormatan terhadap hak asasi dan
kehormatan seseorang; meskipun dianggap melanggar hukum.
Kohlberg (1981: 132) juga menjelaskan tentang tindakan Martin Luther King, Jr.
Pelajaran yang didapat dari orang ini adalah prinsip universal keadilan yang merupakan
kulminasi perkembangan moral. Dr. King adalah contoh utama dari tahap tertinggi alasan
bermoral karena kemauannya untuk memperjuangkan hak asasi manusia bagi kaum kulit
hitam yang tertindas atau kalangan bawah.
Dilemma discussions (pembahasan tentang dilemma moral)
Sekitar 10 tahun setelah Kohlberg (1985) menjelaskan konsep model tahapan
moral, pendidikan moral yang pertama dilakukan adalah melalui eksperimen oleh Moshe
Blatt, salah satu mahasiswa Kohlberg di program doctoral, yang berupaya memfasilitasi
22
perkembangan tahapan moral di antara siswa kelas 6 melalui diskusi mingguan tentang
dilemma moral hipotetis (Blatt & Kohlberg, 1975). Blatt menemukan bahwa 1/3 siswa di
grup eksperimen mengalami kemajuan perkembangan tahapan moral; sementara siswa
grup control mengalami beberapa perubahan.
Kohlberg dkk mengimplementasikan metode ini melalui integrasi dilemma
discussion ke dalam kurikulum sekolah pada bidang studi humaniora (ex: kesusasteraan)
dan ilmu social (ex: sejarah). Dalam mempersiapkan dilemma discussion, Kohlberg dkk
mengajari para guru bagaimana cara menyelenggarakan moral dilemma discussion
(diskusi dilemma moral) (ex: Fenton & Kohlberg, 1976; Kohlberg & Lickona, 1987).
Pertanyaan yang diajukan kepada siswa yaitu alasan why (mengapa) mereka memilih
suatu posisi. Pertanyaan lainnya adalah meminta siswa untuk memperjelas makna (ex:
Elizabeth, maksudmu apa ketika menggunakan kata “keadilan”?), berbagi pemahaman
(ex: Ashley, maukah kau menjelaskan kepada kelompok apa yang sudah dikatakan oleh
Benjamin?), atau interaksi antar siswa, khususnya tentang perspektif masing – masing
(ex: Ashley, apa pendapatmu mengenai penjelasan Benjamin tadi?). Pertanyaan lainnya
adalah menyangkut pembahasan Socratic (ex: apakah melanggar hukum itu bisa
dibenarkan? Apa yang terjadi bila seseorang melanggar hukum dan hal itu membuat dia
senang?). Georg Lind (2007) juga menjelaskan tentang pentingnya mengatur struktur dan
organisasi diskusi dilemma moral.
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa (1) dilemma discussion adalah
metode yang berguna bagi pendidikan pengembangan moral, (2) dibandingkan dilemma
hipotetis, dilemma kehidupan nyata lebih efektif untuk pengembangan moral, (3) terdapat
zone of proximal development (konsep vygotsky tentang perkembangan kognitif) di mana
23
dilemma discussion bisa meningkatkan perkembangan moral secara maksimal, (4) teman
siswa merupakan guru terbaik atau rekan untuk berkomunikasi. Diskusi tentang dilemma
atau masalah kehidupan nyata merupakan metode pendidikan moral yang masih
digunakan sampai sekarang.
Just community schools
Kohlberg menciptakan metode ini pada musim semi 1974. Dia mendapatkan dana
untuk melatih para guru SMA dalam pendidikan moral. Siswa, guru dan orang tua serta
Kohlberg melakukan rapat untuk merancang sekolah baru. Hasilnya adalah Cluster
School, yang diatur oleh prinsip berikut (Power, Higgins, & Kohlberg, 1989: 64):
Sekolah tersebut diatur oleh demokrasi langsung. Semua isu utama akan dibahas
dan diputuskan pada rapat mingguan komunitas di mana setiap anggota (guru dan
siswa) akan melakukan voting
Ada sejumlah komite yang akan diisi oleh siswa, guru dan orang tua
Ada kontrak social yang dilakukan oleh para anggota; membahas tentang hak
tanggungjawab setiap anggota
Guru dan siswa memiliki hak sama; termasuk kebebasan berbicara, hormat
kepada orang lain, dan kebebasan dari gangguan fisik atau verbal
Kunci utama dari Just Community Schools adalah rapat mingguan komunitas,
yaitu rapat siswa dengan staf sekolah untuk memutuskan kebijakan dan praktik sekolah
yang berkaitan dengan isu keadilan dan komunitas. Fungsi rapat ini adalah konteks untuk
membahas masalah moral. Tujuan umumnya adalah menciptakan solidaritas komunitas di
antara siswa – untuk menciptakan suatu atmosfir moral – melalui praktik demokrasi
(membahas segala keputusan yang berkaitan dengan moral; dilakukan secara demokrasi).
24
5
PENDEKATAN TRADISIONAL TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER
DI INGGRIS RAYA DAN AMERIKA
James ArthurCanterbury Christ Church University
Pendidikan karakter berakar pada system persekolahan negeri Amerika. Di abad
18 & 19, setiap sekolah memiliki tujuan untuk mengembangkan karakter. Selama masa
colonial, pendidikan karakter didasarkan atas teologi, suatu ajaran Protestan yang
mendominasi pada waktu itu, dan Founding Fathers memandang kalau pendidikan moral
merupakan cara untuk membentuk generasi muda menjadi warga Negara yang baik.
Namun, menjelang akhir abad 19, pendidikan karakter tidak lagi didasarkan pada ajaran
Kristen. Pendekatan tradisional terhadap pendidikan karakter terus berlanjut pada abad 20
tanpa mengacu pada ajaran Kristen.
Salah satu investigasi riset tentang pendidikan karakter adalah The Character
Education Enquiry yang dilakukan di Amerika oleh Hugh Hartshorne dan Mark May
(1928 – 1939). Inkuiri ini tampaknya membantah kalau tidak semua hal bisa disebut
karakter. Hasil riset tersebut menunjukkan kalau perilaku moral itu hadir dalam situasi
tertentu. Secara signifikan, riset ini mempengaruhi konsep Lawrence Kohlberg dan ahli
riset perkembangan moral lainnya. Namun, metodologi riset inkuiri tersebut sangat
terbatas. Hartshorne dan May menggunakan profil orang yang dewasa secara moral
sebagai model dan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada generasi muda seputar
masalah pencurian, nyontek dan berbohong. Kesimpulannya; pertama, tidak ada
hubungan antara pelatihan karakter dengan perilaku actual. Kedua, perilaku moral
seseorang tidak sama dari satu situasi ke situasi lain. Ketiga, tidak ada hubungan antara
25
perkataan seseorang tentang moralitas dengan cara mereka bertindak; dan terakhir bahwa
semua orang pasti pernah berbuat cheating (nyontek) walaupun sedikit. Hasil riset
tersebut merupakan tantangan bagi pihak yang berupaya mengajarkan karakter kepada
anak – anak.
Pada 1950an, psikologi kognitif menjadi suatu disiplin yang popular di bidang
pendidikan. Keberhasilan Jean Piaget, Lawrence Kohlberg, dan Erik Erikson disebabkan
oleh tema mereka mengenai perkembangan. Tema ini sesuai dengan tuntutan budaya
pada waktu itu. Budaya dan social menjadi lebih pluralistic sehingga sekolah menjadi
lebih sensitive terhadap heterogenitas siswa. Pendekatan kognitif terhadap pendidikan
moral – pendidikan karakter – lebih sesuai dengan tradisi liberal pemikiran kritis
ketimbang pendekatan berbasis kebaikan. Kohlberg (1984) mungkin merupakan ahli teori
perkembangan yang paling berpengaruh dan dia percaya bahwa pengetahuan tentang
kebaikan dibangun dalam kemajuan kognitif logis melalui 6 tahap perkembangan.
Sampai saat ini para ahli psikologi kognitif banyak menekankan pada
perkembangan struktur berpikir moral yang melandasi pengambilan keputusan. Bahkan
beberapa ahli meng-klaim keabsahan aplikasi metode ini. Namun, David Carr (2002)
justru berpendapat kalau teori tersebut digunakan untuk mendukung pendekatan progresif
terhadap pendidikan di mana yang ditekankan adalah pilihan gaya hidup. Hal ini tidak
mengindahkan perspektif para ahli tradisional yang berupaya mengajarkan siswa tentang
pengetahuan, nilai dan kebaikan masyarakat sipil. Menurut Carr, pendekatan progresif
menolak perspektif tradisional karena tidak bisa memprediksi tujuan pengembangan
manusia dank arena pendekatan tersebut meragukan nilai dan pengetahuan yang diterima.
26
Pandangan kaum sekuler
James Barclay, seorang Skotlandia, mengatakan bahwa seseorang bisa menjadi
asalkan dia memiliki karakter yang kuat karena segala tindak – tanduk guru merupakan
teladan bagi siapa saja. Orang Skotlandia lainnya, David Fordyce berbicara tentang
perkembangan imajinasi anak dalam hal moral sehingga beranggapan kalau pengajaran
moral secara formal tidak berpengaruh terhadap pembentukan karakter yang baik. Francis
Hutcheson, seorang professor filsafat moral di University of Glasgow pada 1747,
menganjurkan agar studi tentang karakter dilakukan secara lebih mendalam. Dia ingin
mendalami tentang hakikat diri kita sebagai manusia. Yang diperlukan adalah studi
objektif tentang hakikat manusia, terutama tentang motif dan perilaku. John Locke juga
percaya kalau pembentukan karakter lebih penting ketimbang kemampuan intelektual.
Ada juga kritikan terhadap hubungan antara ajaran agama dengan karakter. David Hume
dan Jeremy Bentham mengatakan bahwa moralitas tidak memerlukan konsep keagamaan.
Pendidikan adalah mengenai pengetahuan dan bebas dari nilai sementara agama berkaitan
dengan dogma dan tergantung pada nilai.
Pendekatan kontemporer terhadap pendidikan karakter
Pendekatan kontemporer terhadap pendidikan karakter di sekolah – sekolah
dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif. Semenjak 1960an, metode pengajaran
progresif menekankan pada child-centered learning (pembelajaran yang berpusat pada
siswa), pembelajaran melalui pengalaman, netralitas, dan cooperative learning
(pembelajaran kooperatif). Gagasan ini menganggap guru sebagai pendidik professional
yang harus menanamkan nilai – nilai karakter kepada siswa. Berkowitz dan Bier (2005)
menganalisa sejumlah riset empiric untuk meneliti apakah pendidikan karakter itu
27
berhasil atau tidak. Kesimpulannya, mereka mengatakan kalau pendidikan karakter itu
bisa berhasil bila di-implementasikan secara efektif. Mereka juga menjelaskan 12
rekomendasi dan 18 praktik dalam pendidikan karakter, di antaranya: problem-solving,
empati, keterampilan social, resolusi konflik, menciptakan kedamaian, dan keterampilan
hidup.
Banyak guru berpendapat kalau kurikulum pengajaran karakter moral di sekolah
sangat terbatas. Banyak yang berpendapat kalau pengajaran moral merupakan
tanggungjawab orang tua bersama masyarakat dan dalam masyarakat yang multi-kultural,
tidak ada kesepakatan untuk menentukan mana karakter yang baik dan karakter yang
buruk. Terdapat juga perkembangan pola pikir pendidikan mengenai perbaikan moral,
karena guru tidak men-cap sesuatu sebagai immoral (tidak bermoral); mereka takut
dikatakan diskriminatif. Nyatanya, guru tidak memberi penilaian terhadap bahasa resmi
yang digunakan siswa. Carr dan Steutel (1999) mengatakan kalau pendidikan karakter
seharusnya didasarkan atas komitmen terhadap etika kebaikan. Meskipun pendekatan
etika kebaikan digunakan dalam pendidikan sekarang, namun belum banyak guru yang
memahami kompleksitasnya. Kebanyakan guru belum mau mengadopsi pendekatan etika
kebaikan dalam pendidikan karakter karena belum memahami wacana etika kebaikan
sepenuhnya. Suzanne Rice (1996) mengatakan bahwa sekolah bertanggungjawab
pengembangan karakter siswa, namun jika John Dewey benar, tanggungjawab ini
merupakan milik semua lembaga pendidikan. Menurutnya, kebaikan itu dikembangkan
dan dipertahankan dalam interaksi dengan semua lingkungan social dan fisik seseorang.
Sekolah hanyalah bagian dari lingkungan siswa, dan lingkungan lainnya di mana siswa
terlibat di dalamnya, juga berperan terhadap perkembangan karakter.
28
Narvaez (2005: 154 – 155) mengatakan bahwa pendidikan karakter harus
didasarkan atas riset yang sah secara psikologi. Dia menjelaskan model pendidikan dan
pengembangan karakter yang dia sebut sebagai IEE (integrative ethical education =
pendidikan etika yang bersifat integratif) yang menganggap karakter sebagai sejumlah
komponen skill yang bisa dipelihara sampai tingkatan tertinggi. Dia mengatakan kalau
perkembangan karakter anak berlangsung mulai dari tingkat pemula sampai tingkat ahli.
Pendekatan ini memerlukan lingkungan sekolah yang terstruktur dengan baik di mana
siswa bisa memahami dan mengembangkan skill serta memperoleh kesempatan untuk
mem-praktikan moral yang baik. Siswa belajar dari berbagai pengalaman dan
membangun dasar pengetahuan yang bisa digunakan dalam pengalaman belajar praktis
yang otentik. Narvaez menjelaskan kalau pendekatannya tidak hanya tentang kemampuan
intelektual atau kompetensi teknis semata; namun juga berupaya mengintegrasikan
pendidikan karakter dengan sains kognitif.
Thomas Rusnak (1998: 3 – 4) mengemukakan sebuah pendekatan pendidikan
karakter yang mengatakan bahwa thinking (pemikiran) – apa yang harus dilakukan atau
dipelajari, feeling (perasaan) – mengapresiasi apa yan dipelajari, dan action (tindakan)
harus diaplikasikan ke dalam tindakan; tidak hanya sebatas wacana. Dari teori ini, ada 6
prinsip yang diperoleh. Pertama, pendidikan karakter seharusnya tidak boleh dianggap
sebagai suatu bidang studi. Kedua, pendidikan karakter seharusnya dianggap sebagai
pendidikan tindakan. Ketiga, pendidikan karakter dibentuk dan dibangun oleh lingkungan
sekolah. Keempat, pendidikan karakter harus menjadi bagian dari kebijakan sekolah.
Kelima, pendidikan karakter harus dilakukan oleh guru tanpa harus terpaku pada
kurikulum yang ada. Keenam, pendidikan karakter harus melibatkan semua komunitas
29
local dan sekolah. Semua pendekatan ini telah diaplikasikan di sekolah – sekolah
Amerika dan keberhasilannya beragam.
Bill Puka (2000: 131) menjelaskan tentang 6 metode pendidikan karakter; yaitu
(1) pengajaran tentang dasar kebaikan dan nilai, (2) pengajaran kode perilaku, (3)
bercerita tentang pelajaran moral, (4) memberikan contoh teladan tentang nilai dan sifat
yang baik, (5) mencontoh sifat teladan dalam sejarah, kesusasteraan dan agama, (6)
sekolah menyediakan kesempatan bagi siswa untuk mempraktikan sifat dan nilai
kebaikan.
Kevin Ryan & Thomas Lickona (1987: 20ff) mengemukakan model
pengembangan karakter yang melibatkan 3 elemen dasar – pengetahuan, perasaan dan
tindakan. Lickona selanjutnya mengembangkan model ini. Pertama, siswa mempelajari
warisan konten moral. Siswa mempelajari kebaikan melalui proses pengambilan
keputusan yang rasional. Elemen penting di fase ini adalah alasan moral, pengambilan
keputusan, dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan diri melalui evaluasi dan
mengkaji. Kedua, domain afektif, yang melibatkan perasaan simpati, peduli dan
menyayangi orang lain merupakan hal penting dalam tindakan moral. Ketiga, tindakan
tergantung pada kemauan, kompetensi dan kebiasaan seseorang. Kemauan artinya bahwa
siswa harus bisa mengendalikan keinginan dan ketakutan diri agar tahu bagaimana
bertindak dengan benar. Siswa juga harus mengembangkan kompetensi untuk melakukan
kebaikan, yang melibatkan skill tertentu, dan mereka harus terus melakukan tindakan
kebaikan ini agar menjadi bagian dari kebiasaan diri.
30
6
PENDIDIKAN KARAKTER SEBAGAI UPAYA
UNTUK MENGABADIKAN KEBAIKAN
Pendidikan Moral: Prinsip dan Praktik
Karl Marx berpendapat kalau filsafat bukan untuk menafsirkan dunia; namun
justru untuk merubah dunia (Marx, 1968: 30). Dari perspektif politik, banyak pihak
menginginkan kalau pendekatan pendidikan karakter dapat menjanjikan perubahan
perilaku manusia ke arah yang lebih baik. Di sebuah dunia yang dipenuhi oleh masalah
social dan politik (perang, kriminal, sikap anti-sosial, disfungsi individu, alienasi dan
keputusasaan), manusia lebih menginginkan solusi yang cepat & tepat dalam mengatasi
perilaku yang buruk daripada terlibat dalam pencarian teori. Tidaklah mengherankan
kalau pendidikan karakter banyak mendapatkan dukungan politik.
Kebaikan dan karakter
Mungkin sebaiknya kita harus mengkaji dulu masalah teoritis. Pertama, kita harus
membedakan antara etika kebaikan dengan teori kebaikan. Etika dan teori kebaikan
berhubungan dengan fungsi dan relevansi sifat bawaan karakter terhadap asosiasi dan
kehidupan moral, hubungan pemahaman moral terhadap sifat bawaan karakter seperti
kejujuran, integritas, keadilan, keberanian dan sebagainya. Ada yang mengatakan kalau
“tata bahasa” moral diatur oleh teori kebaikan; sementara penjelasan tentang bagaimana
manusia meng-internalisasikan prinsip moral merupakan bagian dari inkuiri empiric
(psikologi). Teori etika klasik – deontologi ajaran Kant dan Utilitarianisme – dianggap
sebagai salah satu upaya untuk mengabadikan sifat bawaan karakter. Dari perspektif ini,
31
teori Kant dan Utilitarianisme mengenai karakter moral telah banyak dikembangkan (ex:
Kant, 1964; Munzel, 1999).
Teori Kant dan Utilitarianisme bukanlah bentuk etika kebaikan. Secara sederhana,
etika kebaikan merupakan jenis teori kebaikan yang menjadikan studi karakter moral
menjadi lebih logis. Secara umum, teori deontologist dan utilitarian dimulai dengan
menanyakan jenis pemikiran apa yang dibutuhkan oleh seseorang agar tindakannya
menjadi lebih bermoral. Contoh, orang jujur adalah orang yang terbiasa berpikir secara
benar dalam situasi yang membutuhkan kejujuran.
Teori Aristoteles tentang karakter moral
Pada dasarnya, teori etika Aristoteles merupakan ragam etika naturalistic.
Aristoteles menganggap kualitas moral merupakan fitur hakikat manusia yang tidak jauh
beda dengan makan dan bernafas; pendekatan Aristoteles terhadap studi kebaikan
manusia lebih bersifat quasi-biologis. Pendekatan umum Aristoteles terhadap biologi
adalah teleologis. Pendeknya, untuk memahami fungsi makhluk hidup, entitas atau
properti, Aristoteles memulainya dengan pertanyaan,”Tujuan fundamental mereka apa?”
“Apa yang mereka perlukan untuk mencapai tujuan tersebut?” Menurut sudut teleologis,
pertanyaan ini saling berkaitan. Contoh, untuk memahami hakikat ikan beserta fiturnya,
kita mungkin pertama meng-observasi bahwa ikan adalah sesuatu yang perlu hidup dan
bergerak di lingkungan perairan. Kita lalu meneliti bahwa untuk melakukan hal tersebut
secara efektif, seekor ikan pasti perlu sirip dan insang agar bisa berenang di perairan yang
luas. Kita lalu menjelaskan bahwa fungsi sirip dan insang tersebut adalah untuk
membantu ikan mengarungi perairan; begitu juga bagi makhluk hidup lainnya.
32
Bagi Aristoteles, properti yang berfungsi untuk membantu ikan mengarungi
perairan, seperti insang dan sirip, disebut sebagai arête (bahasa yunani). Arête adalah
sesuatu yang menciptakan keberhasilan atau kebaikan; dalam bahasa Inggris, arête
diartikan sebagai virtue (kebaikan). Arête memiliki konotasi yang lebih luas yaitu
excellence (kemuliaan); jadi yang termasuk arête pada ikan adalah sirip, insang dan hal
penting lainnya yang menciptakan keberhasilan bagi suatu spesies dan spesies lain.
Maka, untuk memahami kebaikan moral manusia, menurut Aristoteles kita harus
menanyakan tujuan umum dan tujuan akhir perilaku manusia. Aristoteles juga
menjelaskan dua fitur keberhasilan manusia; pertama, manusia adalah hewan yang
berpikir – sebutannya adalah Nicomachean Ethics – tujuan akhir manusia mengarungi
kehidupan bisa ditemukan melalui kontemplasi (penghayatan); kedua, manusia adalah
hewan social (zoon politikon) sehingga kebahagiaan atau kehidupannya tidak terlepas
dari orang lain. Namun konsekuensinya, karena keberhasilan manusia dalam mengarungi
kehidupan bisa terjadi bila mereka mempraktikan kebaikan moral, seperti kejujuran,
keadilan, kerendahan hati dan keberanian; maka, kebaikan moral dan intelektual tersebut
bisa dianggap sebagai arête hakikat manusia.
Singkatnya, analisa Aristoteles tentang hakikat manusia dalam kebaikan moral
tergantung pada ide tentang tujuan manusia itu sendiri; dalam pandangan ini, manusia
harus mempraktikan kebaikan moral agar bisa berhasil mengarungi kehidupan, sama
seperti fitur – fitur yang dibutuhkan oleh ikan dalam mengarungi perairan.
33
Kebaikan, karakter dan pendidikan
Menurut Aristoteles, upaya untuk mengabadikan kebaikan moral adalah kita harus
melatih dan membiasakan diri melakukan kebaikan – sama seperti jika seseorang ingin
menjadi musisi yang baik, maka dia harus terus berlatih bermain musik. Upaya pertama
dalam mengabadikan kebaikan itu adalah bersikap rendah hati atau melakukan
pengendalian diri (self-control). Dari sinilah, kita akan bisa melakukan kebaikan moral
lainnya, seperti keadilan, kebijaksanaan atau bahkan keberanian. Dengan rendah hati dan
control diri, semua kejelekan moral; seperti hamil di luar nikah, pelecehan seksual, dan
penyalahgunaan obat terlarang yang suka terjadi di masyarakat kontemporer, akan bisa
diatasi. Hal tersebut merupakan bukti dari kegagalan dalam menerapkan disiplin diri baik
di keluarga, sekolah atau konteks lainnya.
Upaya lain untuk mengabadikan kebaikan moral adalah pendidikan orang tua
yang mengajarkan nilai – nilai keberanian, kasih sayang dan dukungan yang
mengindikasikan bahwa mekanisme utama pedagogis dan psikologis adalah modeling
atau exemplification (memberikan contoh teladan). Dalam mengajarkan kebaikan moral
kepada generasi muda, baik guru maupun orang tua harus memberikan contoh teladan
karakter yang baik.
34
7
SEKOLAH, KOMUNITAS DAN PENDIDIKAN KARAKTER
Kenneth A. StrikeSyracuse University
Bab ini membahas peran komunitas dalam pendidikan karakter, di mana yang
ditekankan adalah kurikulum akademik sekolah. Pendidikan adalah inisiasi ke dalam
praktik dan komunitas yang mendukung praktik tersebut. Inisiasi ke dalam komunitas
melibatkan pembelajaran norma dan nilai kebaikan yang berkontribusi terhadap
perkembangan rasa keadilan. Proses inisiasi ini disebut normation (Green, 1999).
Normation memerlukan dukungan norma yang kuat dari komunitas. Namun, sekolah
bukanlah komunitas yang kuat dan terkadang memberikan norma yang salah.
KRITIK KAUM KOMUNITARIAN (COMMUNITARIAN) TENTANG SEKOLAH:
MENGAPA SEKOLAH KESULITAN DALAM MEMBERIKAN NORMA
Kaum komunitarian mengklaim bahwa nilai kebaikan dan keadilan terletak pada
tujuan, tradisi dan atribut komunitas. Tidak ada prinsip universal yang terus ada di
sepanjang waktu dan semua tempat (Nagel, 1986). Pandangan tentang pendidikan moral
yang menekankan otonomi dan kritik terhadap tradisi membuat anggota komunitas
menjadi individu yang abstrak, di mana cirinya adalah kebebasan dan persamaan (Sandel,
1982). Individu, yang tidak lagi memiliki akar nilai tradisi, akan berubah menjadi egois
dan berkembang menjadi individu yang posesif.
Dalam sebuah paper berjudul The Communitarian Critique of Liberalism,
Michael Walzer (1995: 54) mengatakan bahwa kritik kaum komunitarian terhadap
35
liberalisme itu ada 2 versi. Versi pertama meng-kritik praktik liberal dan beranggapan
bahwa praktik ini mencerminkan teori liberal. Kaum komunitarian menganggap kalau
masyarakat Barat adalah “rumah” bagi individu yang terisolasi, kaum egois rasional, dan
agen eksistensial yang dilindungi oleh hak paten (inalienable rights).
Versi kedua mengklaim bahwa teori liberal salah meng-interpretasi kehidupan
nyata sehingga tidak mungkin seseorang memiliki visi liberalisme. Semua manusia, baik
laki – laki maupun perempuan dipisahkan dari ikatan social. Walzer mengatakan kalau 2
versi ini tidaklah konsisten namun masing – masing versi tersebut sebagian ada yang
benar.
Mungkin perselisihan antara kaum komunitarian dengan liberalisme modern
berhubungan dengan universalisme moral. Liberalisme dihubungkan dengan view from
nowhere (pandangan yang tidak jelas asal usulnya). Liberalisme membuat manusia tidak
lagi memiliki akar nilai tradisi dan membuat mereka menjadi makhluk yang abstrak.
Namun, karakterisasi seperti ini dibantah oleh kalangan liberal. Mereka
mengatakan bahwa kalangan liberal menginginkan kalau norma keadilan harus menjadi
norma bagi setiap orang dalam masyarakat pluralis.
Kaum liberal memandang budaya sebagai kata pertama yang berkaitan dengan
keadilan namun mereka tidak bisa menjamin validitas kata ini. Jadi, kaum liberal
mendukung praktik dan bentuk budaya yang bisa menjamin terciptanya warganegara
liberal yang baik; namun, kaum liberal takut kalau budaya, komunitas dan tradisi menjadi
liberal.
Kaum liberal memiliki kepentingan lain dalam bentuk dan praktik budaya. Rawls
(1971), contohnya, mengklaim kalau semua orang memiliki 2 kemampuan yang
36
menjelasakan mereka sebagai manusia: kemampuan untuk mengetahui konsep tentang
kebaikan; dan kemampuan untuk memiliki rasa keadilan. 2 kemampuan ini harus
dikembangkan. Perkembangan ini tergantung pada hakikat dan kualitas budaya, tradisi
dan komunitas yang ada bagi manusia. Lebih jauh, ada keterkaitan antara perkembangan
manusia menjadi warganegara yang baik dengan kemampuan mereka dalam mengarungi
kehidupan. Warganegara yang baik diciptakan oleh budaya liberal dan kemampuan
mengarungi kehidupan dibentuk oleh budaya yang baik.
Mungkin kritik dari kaum komunitarian yang bisa ditujukan kepada kaum liberal
adalah seperti ini: mengembangkan rasa keadilan dan konsep kebaikan akan sangat
bergantung pada internalisasi sumber intelektual dan cultural yang terdapat di berbagai
budaya, tradisi dan komunitas. Budaya, tradisi dan komunitas ini bisa dianggap berharga,
diterima atau bahkan autoritatif. Liberalisme bisa menciptakan institusi dan praktik yang
membuat kekayaan budaya, tradisi dan komunitas menjadi lebih bisa diterima tapi tidak
autoritatif.
Sumber budaya yang melanda masyarakat liberal senantiasa hadir tanpa ada
quality control (kendali mutu). Masyarakat harus mampu memilah kekayaan budaya
tersebut dengan cara memilih mana yang bernilai dan mana yang tidak. Tuhan, Bach (ahli
composer musik klasik), Heavy Metal (jenis musik rock), Shakespeare, Marlboro, SUV,
Hip Hop (jenis musik yang disukai anak gaul), Playboy (majalah porno), dan Budweiser
senantiasa hadir di tengah – tengah masyarakat, terutama kalangan anak, secara konstan.
Semua produk budaya modern tersebut tidak memakai cap value (nilai/harga) di “kerah
bajunya.” Maka di sini, kita harus bisa memilah dan memilih produk tersebut secara
bijaksana.
37
Untuk bisa memilah dan memilih secara bijaksana maka kita membutuhkan
norma dan kritera pengakuan. Anak tidak terlahir secara rasional. Memahami
rasionalitas, norma dan criteria pengakuan merupakan artifak cultural yang ditemukan
oleh manusia dan kita mempelajarinya dari orang lain.
Anak – anak mempelajari norma dan criteria dengan cara mencontoh nilai norma
yang dipraktikan oleh kerabat terdekat. Tindakan yang dilakukan anak sebetulnya tidak
berdasarkan pada norma. Mereka memahami nilai – nilai norma melalui keluarga,
masyarakat dan budaya sekitar tempat mereka hidup. Kelompok inilah yang memberi
pemahaman tentang nilai kepada anak. Inilah kebenaran inti dari komunitarianisme.
Jika ini benar, maka kaum liberal harus bisa memastikan kalau anak – anak hidup
di tengah komunitas yang menawarkan nilai – nilai kebaikan dan juga harus menjamin
kalau komunitas tersebut bisa menanamkan nilai norma kepada anak – anak. Tentu saja,
masyarakat liberal pluralisme memiliki criteria tersendiri mengenai nilai kebaikan dan
keadilan. Oleh karena itu, kita harus mengkaji hal tersebut secara lebih mendalam dan
bijaksana.
Kita mungkin berharap kalau sekolah bisa mengadopsi konsep budaya yang
mengajarkan nilai kebaikan; meskipun demikian, harapan terbesar terhadap sekolah
adalah siswa bisa memiliki etos kerja. Maksudnya, sekolah bisa mengajarkan
keterampilan pada siswa sehingga mereka bisa memasuki dunia kerja dengan mudah.
Secara kompetitif, nilai keterampilan ini sangat berharga. Siswa diajarkan kalau mereka
berada dalam persaingan dengan orang lain demi meraih kesempatan dan melakukan
kebaikan.
38
Bryk, Lee dan Holland (1993: 318 – 319) menjelaskan beberapa poin berikut
terkait budaya di sekolah negeri. Pertama, mereka mengklaim bahwa sekolah negeri
memiliki visi tentang masyarakat di mana setiap individu berusaha meraih keberhasilan
sambil mengejar kepentingan diri mereka sendiri. Norma institusional bersifat kompetitif,
individualistis dan materialistis. Kedua, melalui beberapa praktik seperti kurikulum,
tracking dan tugas yang diberikan guru, sekolah berupaya untuk mendistribusikan
keberhasilan social. Ketiga, sekolah menerapkan aturan yang tidak dipandang sebagai
konsep keadilan atau moral, di mana otoritas moral diganti dengan otoritas birokratik,
dan di mana siswa mempelajari keterampilan memanipulasi system demi kepentingan
mereka sendiri.
Ironisnya, substansi kurikulum sekolah ini didominasi oleh kurikulum akademik;
terdiri atas pelajaran yang dianggap sebagai bagian dari pendidikan seni liberal: sains,
matematik, kesusasteraan dan sejarah. Namun, pelajaran tersebut tidak berhubungan
dengan tujuan pendidikan liberal seperti kewiraan dan kewarganegaraan; justru dianggap
sebagai inti kapitalisme manusia dan dasar keamanan serta kesejahteraan (National
Commission, 1983).
Jika seorang anak harus menjadi warganegara yang baik dan memiliki
pemahaman tentang kebaikan, maka mereka harus berada di lingkungan masyarakat yang
berfungsi sebagai “alat transmisi norma” yang menanamkan nilai – nilai keadilan dan
kebaikan. Jika masyarakat berhasil menanamkan nilai kebaikan tersebut, mereka harus
bisa memberikan dukungan otoritatif terhadap norma tersebut. Namun, liberalisme bisa
saja melemahkan masyarakat dalam memberikan dukungan otoritatif tersebut. Jika
demikian, maka siswa akan didominasi oleh etos kerja pasar sehingga membuat mereka
39
menjadi individu yang lebih egois dan posesif ketimbang individu yang memiliki nilai –
nilai kebaikan. Karena merupakan gambaran masyarakat, maka sekolah tampaknya
mencerminkan nilai – nilai ini.
Argument di atas bukan klaim kaum komunitarian bahwa individu yang egois dan
posesif merupakan nilai inti liberlisme atau inti konsep liberal mengenai individu. Ini
tidak benar. Yang benar adalah bahwa di komunitas liberal kapitalis dan komunitas yang
mendukung nilai kebaikan di mana anak – anak dibesarkan, nilai pasar bisa dikatakan
sebagai nilai paten. Liberalisme tidak mendukung hal ini. Bahkan mungkin menolaknya.
40