Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih
-
Upload
eka-l-koncara -
Category
Documents
-
view
7.218 -
download
40
description
Transcript of Hakim, Mahkum Fih, Dan Mahkum Alaih
MAKALAH
HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih
Dosen: Muhammad Sar’an, M.Ag.
Disusun Oleh:
IIS ISOP SOPIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ. MUTTAQIEN
PURWAKARTA
2008
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
mengutus para RasulNya untuk memberi bimbingan serta petunjuk kepada
manusia ke jalan yang benar, sholawat serta salam semoga terlimpah kepada
pembela kebenaran yakni Rasulullah SAW.
Alhamdulillah, karena berkat rahmatNya penulis bisa menyelesaikan
makalah ini yang diberi judul “HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM
‘ALAIH”, sebagai salah satu tugas mata kuliah Ushulul Fiqhi.
Akhirnya penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada seluruh
pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga amal baik
dan jasa mereka mendapat balasan yang beripat ganda dari Allah SWT. Amin.
Purwakarta, Mei 2008
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1
B. RUMUSAN / TUJUAN ................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 3
A. HAKIM ......................................................................................... 3
B. MAHKUM FIH ............................................................................. 4
a. WAJIB ..................................................................................... 4
b. MANDUB .............................................................................. 5
c. HARAM ................................................................................. 6
d. MAKRUH .............................................................................. 6
e. MUBAH ................................................................................. 7
C. MAHKUM ‘ALAIH ....................................................................... 8
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 10
KESIMPULAN .................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 11
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-HAKIM; Al-Hakim adalah Allah, dan yang memperkenalkan
hukum-hukumNya ialah Rasul-rasulNya, dengan apa yang disampaikan
kepada manusia.
Timbul suatu pertentangan bahwa mereka yang menyampaikan
hukum Allah adalah khusus para Rasul dan tidak ada jalan untuk
memahami hukum Allah dengan akal sebelum mengutus seorang nabi.
Dikatakan pula bahwa akal bisa sendirian memahami hukum Allah
dalam perbuatan berdasarkan pengetahuannya akan hal yang baik dan
buruk.
Pendapat yang pertama berdasarkan bahwa dalam perbuatan-
perbuatan itu tidak terdapat sifat-sifat baik dan buruk menurut dzatnya
dengan sebab perbuatan itu diminta Allah untuk melakukannya atau
meninggalkannya. Akan tetapi ia minta untuk melakukan apa yang
dikehendakinya sehingga buruk. Maka tak ada jalan bagi akal untuk
mengetahui kebaikan sesuatu perbuatan atau keburukannya kecuali
apabila ia mengetahui dengan permintaan untuk meninggalkannya. Atau
berdasarkan bahwa dalam perbuatan-perbuatan itu terdapat sifat baik atau
buruk menurut dzatnya, akan tetapi tidak tidak lazim dengan sifat itu
hukum Allah menjadi sesuai dengan jangkauan akal atas hal itu, maka tak
ada taklif (pembedaan hukum) sebelum datangnya hukum syara’ sehingga
hasilnya satu yaitu tidak adanya taklif sebelum datangnya syariat walaupun
berbeda ‘illat (sebab)nya.
Pendapat kedua berdasarkan persifatan perbuatan-perbuatan
dengan baik dan buruk menurut sifat dzatnya dan bahwa akal bisa
sendirian memahami hal itu sebelum datangnya syariat dan hukum-hukum
Allah harus sesuai dengan akal perbuatan-perbuatan itu, maka
2
dimungkinkan memahami hukum-hukum itu sebelum datangnya syariat
sesuai dengan yang dipahami oleh akal.
Berangkat dari persoalan yang diataslah mendorong penulis
menyusun makalah ini, sebagai salah satu wacana untuk menambah
pengetahuan bagi si pembaca, untuk itu haruslah dapat ditunjukkan yang
benar diantara pendapat itu, maka haruslah kita bicarakan lebih terperinci
lagi pemahaman-pemahaman yang berkaitan dengan tersebut di atas,
melalui judul makalah “HAKIM, MAHKUM FIH, DAN MAHKUM ALAIH”.
B. RUMUSAN / TUJUAN
Karena untuk mengetahui lebih lanjut pemahaman tentang masalah
yang berkaitan dengan perumusan yang dipaparkan di atas, supaya tidak
terjadi kekeliruan atau pemahaman yang menyimpang dikemudian hari.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIM
Tidak ada perbedaan pendapat lagi, bahwa hakim, yaitu yang
menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya perbuatan ialah Allah.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa untuk membawa dan
menyampaikan hukum atau syari’at kepada manusia, maka Hakim (Allah)
membangkitkan utusan-utusan (Rasul-rasulNya). Di sini timbul pertanyaan.
Apakah sebelum dibangkitkan Rasul-rasul itu, dapat juga diketahui hukum
atau syari’at Tuhan itu? Dalam hal ini ada dua pendapat :
a. Golongan Asy’ariyah yang dipelopori oleh Abdul Hasan al Asyari (lahir 874
M) berpendapat bahwa hukum-hukum Tuhan tersebut tidak dapat
diketahui oleh akal semata-mata. Karena itu, perbuatan-perbuatan yang
terjadi sebelum dibangkitkan Rasul-rasul Tuhan, tidak ada hukumnya.
Umpamanya kufur tidak haram dan iman tidak wajib.
b. Golongan Mu’tazilah, yang dipelopori oleh Wasil bin Atha (700 – 749 M)
berpendapat bahwa hukum dan syari’at Tuhan sebelum dibangkitkan
utusan-utusan Tuhan dapat diketahui oleh akal. Akal dapat mengetahui
baik atau buruknya sesuatu perbuatan itu sendiri maupun karena sifat-
sifatnya. Berhubung dengan itu, orang mukallaf harus memperkuat
kebajikan dan menjauhkan keburukan. Allah akan memberi balasan
terhadapnya berdasarkan apa yang diketahui akalnya sebagaimana juga
berdasar syari’at yan dibawa utusan-utusan Tuhan. Kalau tidak demikian,
maka orang-orang baik dan orang-orang jahat sama kedudukannya dan
sama pula balasannya. Sedang pada tiap-tiap masa tentu terdapat orang-
orang baik dan orang jahat.
Ringkasnya, tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa akal semata-mata bisa
mengatahui kebaikan atau keburukan sesuatu perbuatan tentang pahala
terhadap baik dan siksa terhadap perbuatan jahat, tidak diketahui akal. Paling
4
jauh yang dicapai akal, ialah adanya pujian terhadap kebaikan dan celaan
terhadap kejahatan.
5
B. MAHKUM FIH
Yang dimaksud dengan mahkum fih, ialah perbuatan yang dihukumkan
(perbuatan hukum). Perbuatan yang dihukumkan ada lima, sebab akibat dari
bermacam-macam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan
sabda nabi, di mana kedua-duanya telah diterangkan dalam membicarakan
dasar hukum.
A. Wajib
Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila
dikerjakan, dan diberi siksa bila ditinggalkan.
Wajib dibagi seperti berikut:
1. Dilihat dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang diminta, wajib dapat
dibagi dua:
a. Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan
seperti membaca surat fatihah dalam salat.
b. Wajib mukayyar, yaitu yang boleh dipilih salah satu dari beberapa
macam yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam kifarat sumpah
ada 3 macam, yaitu memberi makan 10 orang miskin atau memberi
pakaian kepada 10 orang miskin atau membebaskan seorang budak.
Disini boleh dipilih salah satu diantara ketiga macam hukum
tersebut.
2. Dilihat dari segi waktu mengerjakannya, wajib dibagi dua pula:
a. Wajib mudhayyaq : (yang disempitkan) atau mi’yar. Yakni waktu
untuk melakukan puasa yang harus dikerjakan selama satu bulan
itu.
b. Wajib muwassa’ : (yang diluaskan waktunya) atau dzarf. Waktunya
lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan
kewajiban, seperti waktu salat lima waktu. Dalam kewajiban
muwassa’, pekerjaan tersebut boleh dilakukan disembarang waktu
dalam batas waktu yang telah ditentukan.
3. Dilihat dari segi siapa yang memperbuatnya, wajib dibagi juga:
a. Wajib ‘aini: yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap
orang mukallaf, seperti salat lima waktu.
6
b. Wajib kifayah: yaitu perbuatan yang diwujudkan oleh salah
seorang anggota masyarakat tanpa melihat siapa yang
mengerjakannya. Apabila telah diperbuat, maka hilanglah tuntutan
terhadap lainnya. Tetapi bila tak seorang pun yang melakukannya,
maka semuanya berdosa, seperti mendirikan tempat peribadatan,
rumah sakit, menyembahyangkan dan mengebumikan mayat.
4. Dilihat dari segi qadarnya (kwantitas), wajib dibagi dua:
a. Wajib muhaddad: yaitu kewajiban yang ditentukan syara’ batas
qadarnya (jumlahnya), seperti salat fardhu, zakat, kifarat, harga
pembelian dan nilai-nilai, kewajiban macam ini kalau tidak
dikerjakan pada waktunya, maka menjadi tanggungan kita
selamanya, sehingga kita menunaikannya.
b. Wajib ghairu muhaddad: yaitu kewajiban yang tidak ditentukan
syara’ batas qadarnya, seperti membelanjakan harta di jalan Tuhan,
memberikan makan orang yang sedang kelaparan dan sebagainya.
Adanya kewajiban-kewajiban tersebut adalah karena perintah syara’
tetapi tentang berapa jumlahnya tergantung kepada keadaan.
Kewajiban yang semacam ini kalau tidak kita berikan secukupnya
pada waktunya, maka tidak menjadi tanggungan atau hutang kita
untuk memenuhi kekuranganya pada waktu berikutnya. Dalam
waktu berikutnya ini kita sudah dihadapan dengan kewajiban yang
lain.
B. Mandub
Perbuatan mandub (sunat) yaitu sesuatu perbuatan yang bila diperbuat
mendapat pahala, tetapi bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mandub
juga disebut sunat atau mustahab.
Sunat dapat dibagi dua, yaitu:
a. Sunat ‘ain, ialah perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan oleh
setiap orang, seperti salat sunat ratibah (salat sunat yang dikerjakan
sebelum atau sesudah salat lima waktu).
7
b. Sunat kifayah, ialah perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat,
cukup oleh salah seorang golongan, seperti memberi salam,
mendo’akan orang-orang bersin. Demikian pula korban apabila sudah
dikerjakan oleh salah seorang keluarga suatu rumah, maka sudah
mencukupi bagi anggota keluarga lainnya.
Selain pembagian tersebut di atas, ada pula pembagian lain yaitu:
a. Sunat mu’akkadah, ialah perbuatan yang telah dikerjakan Rasul, atau
lebih banyak dikerjakan dari pada tidak seperti salat hari raya.
b. Sunat ghairu mu’akkadah, ialah segala rupa sunat yang tidak selalu
dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
C. Haram
Perbuatan haram, yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang, bila ditinggalkan
kan diberi pahala dan apabila diperbuat dikenakan siksa; seperti
membunuh, mencuri, tidak memberi makan orang yang menjadi
tanggungannya. Perbuatan ini juga dinamakan ma’siat dan perbuatan jahat
(qabih).
Larangan dibai dua:
a. Larangan karena perbuatan itu sendiri (muharram lizatihi), seperti
dalam contoh-contoh tersebut di atas.
b. Larangan karena bertalian dengan perbuatan lain, seperti larangan jual
beli itu sendiri tidak dilarang, akan tetapi karena dilakukan dalam
waktu tersebut maka dilarang.
Firman Allah, surat Al-Baqarah : 173:
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
8
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.
Al-Baqarah : 173)
D. Makruh
Perbuatan makruh, yaitu suatu perbuatan yang terlarang, bila ditinggalkan
akan diberi pahala dan apabila diperbuat tidak dikenakan siksa.
Makruh dibagi tiga:
a. Makruh tanzih: yaitu sesuatu perbuatan yang dirasakan
meninggalkannya lebih baik daripada memperbuatnya.
b. Tarkul-awla: yaitu meninggalkan yang lebih utama, seperti
meninggalkan salat Dhuha.
c. Makruh tahrim: yaitu sesuatu perbuatan yang dilarang tetapi dalilnya
tidak pasti (qa’ti = yakin)
E. Mubah
Perbuatan mubah, ialah sesuatu perbuatan yang bila diperbuat tidak diberi
pahala dan bila ditinggalkan tidak dikenakan siksa. Mubah dinamakan
halal dan jaiz.
1. Yang dinyatakan syara’ boleh memilih, seperti kalau suka, boleh
memperbuat, kalau tidak suka, boleh meninggalkannya.
2. Yang tidak ada dalilnya dari syara’ yang dinyatakan boleh memilih,
tetapi syara’ menyatakan tidak ada halangan (dosa) untuk
memperbuatnya.
3. Yang tidak ada keterangan sesuatu apa dari syara’. Hukumnya
dikembalikan kepada baraah asliyyah, yakni tidak ada hukumnya.
9
C. MAHKUM ALAIHI
Mahkum Alaihi ialah orang mukallaf, di mana perbuatannya menjadi
tempat berlakunya hukum Allah dan firmanNya. (subjek hukum).
Penjelasan : Allah berfirman : Dirikan salat. Perintah ini ditujukan
kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan salat, bukan ditujukan kepada
kanak-kanak atau orang yang sedang gila.
Sebagai kebijaksanaan Allah, perintah dan larangan (taklif =
pertanggung jawab, selanjutnya takilifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan
(ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Hak-hak Allah
maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan
kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan. Karena itu, kemampuan
ini menjadi dasar adanya taklif.
Pembagian kemampuan
Kemampuan dibagi dua:
1. Kemampuan menerima hak dan kewajiban (ahliyyah wujud selanjutnya
kemampuan menerima). Yang dimaksud dengan kemampuan ini, ialah
kepatuhan seorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
a. Dasar kemampuan menerima
Dasarnya ialah kemanusiaan. Selama kemanusiaan ada, yaitu selama
masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki.
b. Kemampuan menerima dibagi dua:
1) Kemampuan menerima tidak penuh, yaitu bagi bayi yang belum
dilahirkan mengingat ia tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia dapat
menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan (qabul),
seperti menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak
mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau walinya
memberikan sesuatu (bayi), maka yang terakhir ini tidak diwajibkan
membayar dari hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya.
2) Kemampuan menerima penuh, yaitu yang dimiliki seseorang
sesudah dilahirkan. Ia dapat menerima hak-hak dan kewajiban-
kewajiban sepenuhnya. Kemampuan ini dimiliki selama hidupnya.
10
Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila terus menerus. Yang
dimasud dengan kewajiban yang dikenakan terhadap harta
bendanya. Karena belum sempurna akal dan badannya, maka
walinya yang melaksanakan.
2. Kemampuan berbuat (ahliyyah ada’a)
Yang dimaksud dengan kemampuan berbuat, ialah keputusan seseorang
untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut syara’, baik
yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Kalau
ia berpuasa (perbuatan), puasa ini sah, dan ia terkait dengan kewajiba-
kewajiba yang timbul dari perbuatan tersebut.
a. Dasar kemampuan berbuat:
Dasarnya ialah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia
diberi, “kemampuan berbuat”. Tetapi karena “berakal” adalah sesuatu
yang tidak nampak jelas, maka kedewasaan (bulugh) yang dijadikan
ukurannya, yang dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal
atau dari umurnya, kurang lebih 15 tahun.
b. Kemampuan dibagi dua:
1) Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi kanak-kanak yang
sudah tamyiz, yang dapat mengetahui baik atau buruknyasuatu
perbuatan, berguna atau tidaknya, tetapi pengetahuan tersebut
belum kuat.
2) Kemampuan berbuat yang penuh, yaitu bagi orang-orang yang
sudah dewasa.
Adapun kanak-kanak sebelum tamyiz tidak mempunyai
kemampuan berbuat sama sekali. Demikian juga yang masih dalam
kandungan.
11
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hakim, yang menetapkan hukum atau menetapkan baik buruknya
perbuatan (Allah).
Untuk membawa dan menyampaikan hukum atau syari’at kepada
manusia, maka hakim (Allah) membangkitkan utusan-utusan (Rasul-
rasulNya).
Mahkum fih, perbuatan yang dihukumkan (perbuatan hukum).
Perbuatan yang dihukumkan ada lima (5) : Wajib, Mandub (Sunnah), Haram,
Makruh dan Mubah.
Mahkum Alaih, orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat
berlakunya hukum Allah dan firmanNya (subjek hukum).
12
DAFTAR PUSTAKA
Hanafie, M.A, 1963, Usul Fiqih, Jakarta: PT. Bumi Restu.
Al-Khudhori Biek, Syekh Muhammad, 1982, Terjemah Ushul Fiqih,
Pekalongan: Raja Murah.