Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang ...
Transcript of Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang ...
Hak Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Bagi ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS) Ditinjau Berdasarkan Hukum Kesehatan
Sarah Mega Ridho Sianturi dan Wahyu Andriyanto
Program Sarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Email: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai penolakan pasien ODHA dalam mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Penolakan pasien ODHA ini disebabkan karena keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS yang menyebabkan timbulnya rasa takut tertular virus HIV sehingga timbul sikap diskriminasi dan tidak rasional terhadap ODHA. Dalam penulisan skripsi ini, bentuk penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. Permasalahan yang dibahas dalam skipsi ini adalah terkait perlindungan hukum bagi ODHA sebagai konsumen jasa pelayaan kesehatan, pengaturan standar pelayanan rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA, dan pertanggungjawaban rumah sakit atas penolakan terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan. Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah adanya peraturan-peraturan yang menjamin hak-hak pasien ODHA untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, adanya peraturan mengenai standar pelayanan kesehatan rumah sakit bagi ODHA dan juga pertanggungjawaban hukum dapat dikenakan kepada rumah sakit apabila menolak pasien ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan dengan alasan yang tidak rasional. Pertanggungjawaban rumah sakit meliputi pertanggungjawaban hukum perdata, pertanggungjawaban hukum pidana, dan pertanggungjawaban hukum administrasi.
Kata kunci: Pasien, ODHA, Pelayanan Kesehatan, Pertanggungjawaban, Rumah Sakit.
Abstract
This thesis discusses the rejection of patients living with HIV-AIDS (PLWHA) in getting health services in the hospital. The rejection of PLWHA is due to the limited information and knowledge about HIV-AIDS that causes fear of contracting HIV virus so that there is discrimination and irrational attitude toward PLWHA. In writing this thesis, the form of research used is juridical-normative study by using secondary data as the main data source. The problems discussed in this thesis are related to legal protection for PLWHA as consumers of health services, standard setting of hospital services in meeting the needs of health services for PLWHA, and the hospital's responsibility for the rejection of PLWHA in providing health services. The conclusion of this research is the existence of regulation which guarantee the rights of PLWHA to get health services, the regulation about hospital standard for PLWHA and also legal liability can be applied to hospital if reject PLWHA in giving health service with irrational reasons. Hospital liability includes civil liability, criminal liability, and administrative law liability.
Keywords: Patient, PLWHA, Health Service, Legal Liability, Hospital.
Pendahuluan
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan permasalahan kesehatan
global yang pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat. Penyakit AIDS
merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
merusak sistem kekebalan dan pertahanan tubuh manusia. Infeksi virus ini mengakibatkan
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
terjadinya penurunan sistem kekebalan tubuh secara terus-menerus dimana mengakibatkan
kekebalan tubuh seseorang menurun atau hilang sehingga tidak dapat lagi menjalankan
fungsinya dalam memerangi infeksi dan penyakit-penyakit yang berakibat kematian. Penyakit
HIV-AIDS merupakan suatu masalah besar bagi kesehatan dan sangat berpengaruh pada
pertumbuhan sosio-ekonomi di negara-negara seluruh dunia, termasuk Indonesia.1 Kasus
HIV-AIDS di Indonesia pertama kali terjadi pada tahun 1987 di Bali, dimana ada seorang
wisatawan Belanda meninggal di RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat) Sanglah Denpasar akibat
penyakit ini. Sejak saat itu, kasus HIV-AIDS di Indonesia terus bertambah. Berdasarkan data
statistik Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia jumlah
kumulatif penderita HIV sampai Juni 2016 sebanyak 208.920 orang, sedangkan total
kumulatif kasus AIDS sebanyak 82.556 orang.2
Seseorang yang terinfeksi virus HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan
ODHA (Orang Dengan HIV-AIDS). Adapun beberapa masalah yang dialami ODHA baik
fisik maupun psikologis, antara lain depresi, penurunan berat badan, gangguan kulit,
kecemasan, kehilangan ingatan, perasaan takut, penurunan gairah kerja, penolakan bahkan
kecenderungan untuk bunuh diri. Selain itu, rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap
penyakit HIV-AIDS menambah buruk situasi yang dialami oleh ODHA, dimana
menyebabkan tekanan psikologis kepada ODHA akibat stigmatisasi yang diberikan oleh
masyarakat. Hal ini dikarenakan akan pengetahuan masyarakat bahwa penularan penyakit ini
sering diasosiasikan dengan seks dan penggunaan narkoba sehingga banyak orang yang
menjadi tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini. Adanya stigmatisasi
juga menyebabkan diskriminasi terhadap ODHA. Diskriminasi terjadi ketika pandangan-
pandangan negatif mendorong orang atau lembaga untuk memperlakukan ODHA secara tidak
adil, sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh akses sosial, seperti pendidikan,
fasilitas umum, pelayanan kesehatan dan sebagainya.
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang dapat
memuaskan setiap pemakai jasa layanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata
penduduk serta penyelenggaraan sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah
1 Direktorat Bina Gizi Masyarakat Dijen Bina Kesehatan Masyarakat, “Pedoman Pelayanan Gizi Bagi ODHA” http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/01/buku-odha-rev5.pdf, diakses 30 Desember 2016.
2 Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia” http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Situasi-Penyakit-HIV-AIDS-di-Indonesia.pdf, diakses 14 Februari 2017.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
ditetapkan.3 Namun yang terjadi pada praktiknya ialah rumah sakit kadangkala menolak calon
pasien ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan. Penolakan ini disebabkan karena
keterbatasan informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS yang menyebabkan timbulnya
rasa takut tertular virus HIV sehingga timbul sikap diskriminasi dan tidak rasional terhadap
ODHA. Sehubungan dengan itu, stigma dan diskriminasi dapat dikatakan sebagai hambatan
yang paling besar dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.
Sebagai contoh terdapat kasus yang terjadi pada Desember tahun 2015 yaitu RSUD (Rumah
Sakit Umum Daerah) Ciamis menolak calon pasien ODHA yang hendak melahirkan dengan
alasan rumah sakit tidak siap menangani persalinan calon pasien ODHA. Padahal sebelumnya
pada tahun 2013, pernah ada kasus serupa akan tetapi hal itu tidak menjadikan pelajaran bagi
RSUD Ciamis.4
Dalam mengupayakan perawatan kesehatan, Pemerintah mempunyai tugas dan
tanggung jawab agar tujuan pembangunan di bidang kesehatan mencapai hasil yang optimal
melalui pemanfaatan tenaga, sarana, dan prasarana baik dari segi jumlah (kuantitas) maupun
mutu (kualitas). Rumah sakit sebagai sarana dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan
sudah seharusnya dapat berfungsi dengan baik, adil, aman dan dapat menjangkau masyarakat
luas untuk lebih siap menghadapi ODHA. Dengan melihat persoalan di atas, maka penolakan
ODHA yang dilakukan oleh rumah sakit telah bertentangan dengan hak atas kesehatan bagi
setiap orang.
Berdasarkan uraian latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi ODHA sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan?
2. Bagaimana pengaturan mengenai standar pelayanan rumah sakit dalam memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA?
3. Bagaimana pertanggungjawaban rumah sakit atas penolakan terhadap ODHA
dalam memberikan pelayanan kesehatan?
Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah:
3 Ridwan Azwar, Kiat Sukses di Bidang Jasa, (Jakarta: Andi Offset, 1996), hlm. 12.
4 Pikiran Rakyat, “RSUD Ciamis Tolak Persalinan Pasien ODHA”, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2015/12/04/352456/rsud-ciamis-tolak-persalinan-pasien-odha, diakses pada 23 Januari 2017.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
1. Tujuan Umum
Dengan menelaah latar belakang dan pokok permasalahan di atas, dapat
dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk memahami dan
memberikan gambaran mengenai hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
dari rumah sakit bagi ODHA di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui perlindungan hukum bagi ODHA sebagai penerima jasa pelayanan
kesehatan.
2) Mengetahui pengaturan mengenai standar pelayanan rumah sakit dalam
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi ODHA.
3) Mengetahui pertanggungjawaban hukum dari rumah sakit terkait penolakan
terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Tinjauan Teoritis
1. Pelayanan Kesehatan di Indonesia
Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-
Undang Dasar 1945 untuk melakukan upaya peningkatan derajat kesehatan baik
perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.5 Pelayanan kesehatan
adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, serta memiliki tujuan
untuk meningkatkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Adapun aspek
pelayanan kesehatan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, yaitu pelayanan
kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.6 Rumah
sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dimana tempat penyelanggaraan
upaya pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran
gigi.7 Rumah sakit merupakan institusi yang mempunyai kemandirian untuk melakukan
hubungan hukum yang penuh dengan tanggung jawab. Rumah sakit bukan (persoon) yang
5 Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 77.
6 Indonesia, Undang-Undang Rumah Sakit, UU No. 44 Tahun 2009, LN No. 153 Tahun 2009, TLN No. 5072, Ps. 1 angka 1.
7 Indonesia, Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kedokteran, Permenkes No 1438 Tahun 2010, Ps. 1 angka 6.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
terdiri dari manusia sebagai (natuurlijk persoon) melainkan rumah sakit diberikan kedudukan
hukum sebagai (persoon) yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) sehingga rumah
sakit diberikan hak dan kewajiban menurut hukum.8 Menurut Soerjono Soekanto, fungsi
rumah sakit ialah menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medis serta penunjang
medis, pelayanan perawatan, rehabilitasi dan pencegahan maupun peningkatan kesehatan,
sebagai tempat pendidikan atau latihan tenaga medis maupun paramedis, dan sebagai tempat
penelitian dan pengembangan serta teknologi bidang kesehatan.9
2. Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan suatu sarana upaya kesehatan, yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit harus memiliki standar
pelayanan rumah sakit yaitu semua standar pelayanan yang berlaku di rumah sakit antara lain
standar operasional prosedur, standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan.10
Berkaitan dengan pertanggungjawaban perdata, dibedakan antara kerugian yang dapat
dituntut berdasarkan wanprestasi dengan kerugian yang dapat dituntut berdasarkan perbuatan
melawan hukum. Kerugian dengan berdasarkan wanprestasi hanyalah kerugian yang bersifat
materiil. Sedangkan kerugian dengan berdasarkan perbuatan melawan hukum, selain
kerugian yang bersifat materiil juga kerugian yang bersifat immateriil yang bersifat
kebendaan, namun dapat diperkirakan nilai kebendaannya.11 Apabila rumah sakit melakukan
pelanggaran atas kewajibannya maka rumah sakit harus bertanggung jawab secara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit.
Pertanggungjawaban hukum hendaknya memiliki dasar, yaitu bahwa hal yang
menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus
berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi
8 Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hlm. 91. 9 Soerjono Sokeanto, Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), (Jakarta:IND-HILL-CO, 1989),
hlm. 91.
10 Ns. Ta’adi, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional, (Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2002), hlm. 11.
11 Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, (Malang: Bayumedia, 2007), hlm. 69.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
pertanggungjawaban.12 Di dalam literatur luar negeri secara umum rumah sakit mempunyai 4
(empat) bidang tanggung jawab yaitu:13
1) Tanggung Jawab Terhadap Personalia yaitu berdasarkan hubungan “Majikan-
Karyawan” (Vicarious Liability, Respondeat Superior, atau Let The Master
Answer). Teori ini masih berlaku berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Pasal 1366 jo 1365 jo 1367.
2) Tanggung Jawab Terhadap Mutu Pengobatan Perawatan (Duty of Due Care) yaitu
bahwa tingkat pemberian pelayanan kesehatan, baik oleh dokter maupun oleh
perawat dan tenaga kesehatan lainnya harus berdasarkan ukuran standar profesi.
Dengan demikian, secara yuridis rumah sakit bertanggung jawab apabila ada
pemberian pelayanan yang tidak lazim atau dibawah standar.
3) Tanggung Jawab Terhadap Sarana dan Peralatan yaitu termasuk peralatan dasar
perhotelan, perumahsakitan, peralatan medis, gas medik, dan lain-lain.
4) Tanggung Jawab Terhadap Keamanan Bangunan dan Perawatannya yaitu
dilakukan apabila terjadi bangunan roboh, genteng jatuh dan segala peristiwa yang
berhubungan dengan bangunan hingga mencederai orang.
Pertanggungjawaban hukum rumah sakit dapat dibebankan kepada pihak yang
memiliki jabatan atau petinggi di suatu rumah sakit. Hal ini dikarenakan rumah sakit sebagai
subjek hukum yang termasuk dalam bentuk badan hukum (dalam hal ini korporasi). Namun,
pada praktiknya pertanggungjawaban hukum rumah sakit dapat dibebankan kepada pihak
rumah sakit itu sendiri sebagai suatu subjek hukum. Hak dan Kewajiban ODHA
Hak asasi manusia memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesehatan. Pada
dasarnya dalam hak asasi manusia tidak boleh ada pembedaan perlakuan dan diskriminasi
terhadap siapapun. Pelanggaran dan kurangnya perhatian pada hak asasi manusia dapat
menimbulkan dampak yang buruk, salah satunya pada kesehatan seseorang. Kebijakan dan
program kesehatan dapat meningkatkan atau pun melanggar hak asasi manusia pada tingkat
perencanaan atau penerapannya. Oleh karena itu, risiko dan dampak tersebut dapat dikurangi
dengan cara mempertimbangkan, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.
12 Titik Triwulan Tutik, Perlindungan Hukum bagi Pasien, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2010), hlm. 35.
13 J. Guwandi, Hospital Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence), (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), hlm. 13.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
ODHA memilik hak dan kewajiban layaknya seperti pasien penyakit lainnya. Adapun
hak-hak ODHA sebagai berikut:14
1) Mendapat perawatan yang manusiawi dan tidak dibeda-bedakan;
2) Mendapat keterangan yang jelas mengenai keadaan kesehatan ODHA dan
perawatan yang dijalaninya;
3) Didengar dan diberikan perhatian terhadap segala keluhan dan pertanyaan ODHA;
4) Tidak adanya penghakiman bagi ODHA;
5) Adanya penjaminan kerahasiaannya;
6) Meminta pendapat dokter lain apabila merasa tidak puas;
7) Mengetahui pilihan alternatif pengobatan, perawatan dan diberikan kesempatan
untuk memilih.
Menurut Undang-Undang Kesehatan, setiap orang berkewajiban untuk mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya yang
meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan
berwawasan kesehatan. Oleh karena itu, ODHA memiliki kewajiban-kewajiban sebagai
berikut:15
1) Menjelaskan masalah kesehatan dengan jelas dan terbuka, agar dokter dapat
memberikan pengobatan yang tepat bagi ODHA;
2) Mengatakan kepada dokter apabila tidak memahami kondisi dan cara perawatan
diri;
3) Mengatakan kepada dokter apabila anjuran tidak dapat dilaksanakan;
4) Apabila ada obat-obatan lain baik obat tradisional maupun narkoba wajib
memberitahukan kepada dokter.
Metode Penelitian
Bentuk penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu suatu
penelitian terhadap data sekunder atau lebih dikenal dengan penelitian studi kepustakaan.16
14 Budi Hadisetyono, “Hak Kesehatan Penderita HIV-AIDS: Kendala-Kendala Yang Dihadapi Penderita HIV-AIDS Dalam Memperoleh Obat-obat Anti Retroviral Sebagai Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah,” Tesis Magister Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
15 Ibid.
16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis mengenai masalah analisis
yuridis perlindungan hukum bagi ODHA atas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam
penelitian yuridis normatif yang dipergunakan adalah merujuk pada sumber bahan hukum,
yakni penelitian terhadap norma-norma hukum yang ada dalam berbagai perangkat hukum.
Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu yaitu
penelitian yang bertujuan menggambarkan secara sifat suatu individu, keadaan, gejala atau
kelompok tertentu, atau menentukan frekuensi suatu gejala.17 Jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan
kepustakaan. Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, dan hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan.18 Adapun data sekunder mencakup bahan hukum
primer yakni peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yakni buku-buku
mengenai hukum kesehatan, hukum perlindungan konsumen, dll; jurnal hukum; artikel;
internet; penelitian, skripsi dan tesis serta bahan hukum tersier yakni kamus.
Untuk mendukung penelitian ini, dilakukan pula wawancara kepada narasumber
berkompeten, yakni Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., SpF. selaku Guru Besar Tetap
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal; dr. Irawati, M.Kes. selaku Kepala Seksi HIV-AIDS Direktorat Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; dan Hartini selaku staf advokasi IPPI (Ikatan
Perempuan Positif Indonesia).
Hasil Penelitian
Setiap orang memiliki hak atas pelayanan kesehatan untuk melakukan upaya
peningkatan derajat kesehatan yang dijamin oleh hukum yang berlaku di Indonesia. Fasilitas
kesehatan merupakan salah satu akses menuju pelayanan kesehatan bagi seluruh pasien.
Pasien sebagai konsumen merupakan individu yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan
yang disediakan bagi masyarakat dalam bidang kesehatan. Pasien sebagai konsumen jasa
pelayanan kesehatan memiliki hubungan dengan tenaga kesehatan yang disediakan oleh
penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, pihak rumah sakit sebagai
penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan.
17 Sri Mamudji, et. al., Metode Peneltian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hlm. 12.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
Adanya perlindungan hukum memiliki kaitan yang sangat erat dengan hak. Hak
adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.19 Setiap pasien termasuk
pasien ODHA sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan diberikan hak oleh undang-undang
sebagaimana diatur dalam Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Rumah Sakit) bahwa setiap pasien
memiliki hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa
diskriminasi. Selain itu, dalam Pasal 32 huruf e Undang-Undang Rumah Sakit juga mengatur
bahwa pasien juga memiliki hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang efektif dan
efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi. Rumah sakit wajib
menghormati dan melindungi hak-hak pasien sebagaimana diatur dalam Kode Etik Rumah
Sakit dan Pasal 29 huruf m Undang-Undang Rumah Sakit. Kemudian, pasien ODHA juga
memiliki hak untuk menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana serta memiliki
hak untuk mengeluhkan pelayanan rumah sakit apabila tidak sesuai dengan standar pelayanan
kesehatan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 32 huruf q dan r Undang-Undang Rumah
Sakit. Disamping itu, Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) sama halnya
dengan Undang-Undang Rumah Sakit mengatur hak pasien bahwa dapat mengajukan gugatan
kepada pelaku usaha, melalui lembaga yang secara khusus bertugas menyelesaikan sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan.
Standar pelayanan minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh bagi setiap warga secara
minimal. Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan (yang selanjutnya disebut SPM)
Bidang Kesehatan merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
penyediaan pelayanan kesehatan yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.20 SPM
Bidang Kesehatan berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk ODHA dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Standar pelayanan kesehatan rumah sakit
bagi ODHA diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia. Pasal 2 ayat (2) huruf
l Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal
19 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hlm. 24.
20 Indonesia, Menteri Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan, Nomor PM 43 Tahun 2016, Ps. 1.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
Bidang Kesehatan (yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan dasar
kesehatan meliputi setiap orang yang berisiko terinfeksi HIV/AIDS baik Ibu hamil, pasien
TB, pasien IMS, waria/transgender, pengguna NAPZA, dan warga binaan lembaga
pemasyarakatan mendapatkan pemeriksaan HIV/AIDS sesuai dengan standar yang telah
ditentukan. Dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 37 Tahun
2017 tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B Dari Ibu Ke
Anak Di Indonesia mengatur kewajiban rumah sakit untuk melakukan pelayanan kesehatan
Ibu dan anak terkait eliminasi penularan HIV, Sifilis, dan Hepatitis B sejak ante natal care
(ANC) pelayanan selama kehamilan sejak trimester pertama/K1, persalinan dan nifas bayi
baru lahir secara inklusif dan mendapatkan penanganan dini yang komprehensif
berkesinambungan.
Selain itu, Pasal 35 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS (yang selanjutnya disebut Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS) mengatur bahwa setiap Ibu hamil yang
terinfeksi HIV/AIDS memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan persalinan di semua
fasilitas kesehatan. Adapun pelayanan persalinan ini dilakukan dengan memperhatikan
prosedur kewaspadaan standar dan tidak memerlukan alat pelindung diri khusus bagi tenaga
kesehatan. Selanjutnya Pasal 36 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS juga mengatur tindakan yang harus dilakukan oleh rumah sakit pada pasca
melahirkan. Setiap bayi baru lahir dari Ibu yang terinfeksi HIV/AIDS harus segera
mendapatkan profilaksis ARV dan kotrimoksazol dimana dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengaturan mengenai fasilitas pelayanan kesehatan
bagi ODHA juga diatur dalam Pasal 41 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS yaitu bahwa setiap ODHA berhak memperoleh akses pelayanan kesehatan,
setiap fasilitas kesehatan wajib memberikan pelayanan kesehatan pada ODHA, setiap rumah
sakit sekurang-kurangnya kelas C wajib mampu mendiagnosis, melakukan pengobatan dan
perawatan ODHA sesuai dengan ketentuan dalam sistem rujukan.
Fasilitas kesehatan memiliki peranan penting dalam rangka pengendalian HIV-AIDS
di Indonesia, dengan tujuan untuk mengendalikan penyebaran, menurunkan jumlah kasus
baru HIV-AIDS, dan mewujudkan akses pengobatan bagi semua ODHA yang diatur dalam
Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual. Adapun Surat Edaran
tersebut menjelaskan bahwa fasilitas kesehatan baik rumah sakit maupun puskesmas wajib
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
memasukkan layanan HIV-AIDS ke dalam salah satu layanan pokoknya sebagai bagian dari
standar pelayanan di rumah sakit. Hal ini dilakukan karena pada dasarnya layanan HIV-AIDS
sudah menjadi salah satu penilaian dalam akreditasi suatu rumah sakit. Selanjutnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS, rumah sakit sebagai penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan wajib
melaksanakan tindakan preventif untuk mencegah penularan infeksi HIV-AIDS. Tindakan
preventif ini meliputi kewaspadaan umum (universal precaution), kepatuhan kepada program
pencegahan infeksi sesuai standar, penggunaan darah yang aman dari HIV, dan adanya
komunikasi, informasi serta edukasi kepada pasien.
Pembahasan
1. Perlindungan Hukum Bagi ODHA Sebagai penerima Jasa Pelayanan Kesehatan
Berdasarkan beberapa perlindungan hukum terhadap pasien ODHA sebagai konsumen
jasa pelayanan kesehatan yang telah diuraikan di atas, maka timbul permasalahan apabila
dikaitkan dengan kasus-kasus yang terjadi di Indonesia yaitu penolakan pasien ODHA dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam penelitian ini, penulis telah
menguraikan kasus penolakan persalinan Ibu hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS oleh RSUD
Ciamis dan Hartini yang mengalami hal serupa dimana ia ditolak oleh rumah sakit dan
puskesmas untuk melakukan persalinan dengan jelas telah melanggar hukum. Pasien ODHA
tidak seharusnya mengalami penolakan perawatan oleh rumah sakit, karena Undang-Undang
tentang Rumah Sakit telah mengatur hak-hak pasien. Pasal 32 huruf c Undang-Undang
Rumah Sakit mengatur bahwa pasien ODHA memiliki hak untuk memperoleh pelayanan
kesehatan secara manusiawi dan tanpa adanya sikap diskriminasi baik yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan rumah sakit. Di samping itu, memperoleh pelayanan kesehatan yang
efektif dan efisien juga merupakan hak pasien ODHA sebagaimana diatur dalam Pasal 32
huruf e Undang-Undang Rumah Sakit. Hal ini bertujuan agar pasien ODHA terhindar dari
kerugian fisik dan materi. Berdasarkan kasus yang telah penulis uraikan di atas, kerugian
secara fisik dapat terjadi secara besar karena kondisi pasien ODHA yang ingin melakukan
persalinan. Adanya penolakan Ibu hamil yang terinfeksi HIV/AIDS dapat menimbulkan
resiko buruk terhadap kandungan sang Ibu, seperti pendarahan, keguguran, bahkan kematian
terhadap Ibu dan bayi yang dikandung. Hak-hak pasien tersebut wajib untuk dihormati dan
dilindungi oleh rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 29 huruf m Undang-Undang
Rumah sakit dan Kode Etik Rumah Sakit Rumah.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
Selain itu, pasien ODHA sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan memiliki
perlindungan diri apabila mendapatkan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan standar.
Perlindungan diri ini ialah hak untuk menggugat dan/atau menuntut rumah sakit baik secara
perdata maupun pidana dan hak untuk mengeluhkan pelayanan rumah sakit melalui media
cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Hal ini diatur dalam Pasal
32 huruf q dan r Undang-Undang Rumah Sakit serta Pasal 45 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Dengan demikian, seyogyanya rumah sakit sebagai salah satu institusi pelayanan
kesehatan tidak boleh mendiskriminasi setiap pasien khususnya pasien ODHA dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
2. Standar Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Bagi ODHA
Berdasarkan beberapa peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai standar
pelayanan kesehatan rumah sakit bagi ODHA yang telah diuraikan di atas, maka timbul
permasalahan apabila dikaitkan dengan kasus penolakan pasien ODHA dalam mendapatkan
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Tindakan penolakan persalinan tehadap Ibu hamil L yang
terinfeksi HIV-AIDS oleh RSUD Ciamis dan Hartini oleh rumah sakit dan puskesmas jelas
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Setiap ODHA
termasuk Ibu hamil terinfeksi HIV-AIDS wajib mendapatkan pelayanan dasar kesehatan yang
sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) huruf l
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Selain
itu, kasus ini juga tidak sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan
Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak Di Indonesia. Rumah sakit berkewajiban untuk memberikan
pelayanan kesehatan bagi Ibu dan anak yang terinfeksi HIV-AIDS dalam rangka eliminasi
penularan HIV-AIDS di Indonesia dari Ibu ke anak sehingga dapat dicapai tujuan untuk
menuju titik nol (getting to zero). Adaya sikap penolakan yang dilakukan oleh rumah sakit
tentunya secara langsung tidak mendukung upaya eliminasi penularan HIV-AIDS, mengingat
penularan antara Ibu ODHA kepada bayi yang dikandungnya merupakan proses penularan
HIV-AIDS dalam jumlah yang tinggi di Indonesia. Salah satu upaya pemerintah terkait hal ini
ialah program PMTCT (Prevention Mother to Child Transmission). Adapun konsep dasar
program ini adalah mengurangi dan menurunkan viral load atau hubungan antara satu partikel
RNA dengan virus HIV dalam tubuh serendah-rendahnya dan mengoptimalkan kesehatan
bayi dari Ibu ODHA.
Standar pelayanan kesehatan oleh rumah sakit bagi persalinan ODHA juga dilindungi
oleh Pasal 35 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS yang
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
mengatur bahwa setiap Ibu hamil yang terinfeksi HIV-AIDS memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan persalinan di semua fasilitas kesehatan. Apabila dikaitkan dengan
kasus ini, dengan jelas bahwa seyogyanya rumah sakit menerima proses persalinan yang ingin
dilakukan oleh Ibu hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini. Disamping itu, bayi yang
dilahirkan oleh Ibu hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini harus segera mendapatkan
profilaksis ARV dan kotrimoksazol untuk mencegah terjadinya risiko-risiko buruk. Hal ini
diatur dalam Pasal 36 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS.
Kemudian, berdasarkan Pasal 36 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, seharusnya pelayanan
RSUD Ciamis paling sedikit meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan
keperawatan dan kebidanan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang nonklinik, dan
pelayanan rawat inap. Pasal 41 Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS juga mengatur bahwa setiap rumah sakit sekurang-kurangnya kelas C wajib mampu
mendiagnosis, melakukan pengobatan dan perawatan ODHA sesuai dengan ketentuan dalam
sistem rujukan. Selain itu, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
481/MENKES/SK/XII/2013 tentang Rumah Sakit Rujukan Bagi Orang Dengan HIV dan
AIDS dijelaskan bahwa RSUD Ciamis merupakan rumah sakit rujukan bagi ODHA di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. RSUD Ciamis memiliki tugas untuk menyiapkan sarana,
prasarana, dan fasilitas kesehatan serta membentuk tim kelompok kerja khusus HIV-AIDS
yang terdiri dari tenaga medis dan tenaga kesehatan lainnya yang telah dilatih melalui
pelatihan khusus HIV-AIDS. Melihat adanya ketentuan-ketentuan yang telah diuraikan di
atas, maka seyogyanya RSUD Ciamis telah siap untuk menangani pelayanan kesehatan
termasuk persalinan ODHA. Berdasarkan hasil wawancara dengan dr. Irawati, M. Kes. selaku
Kepala Seksi HIV-AIDS Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, setiap
rumah sakit tipe C pasti sudah mendapatkan pelatihan untuk menangani seseorang yang
terinfeksi HIV-AIDS.21 Oleh karena itu, alasan tidak adanya sarana dan kesiapan tenaga
kesehatan dalam menangani pasien ODHA tidak menjadikan alasan yang kuat untuk menolak
persalinan Ibu hamil yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini. Menurut Pasal 58 Peraturan
Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, fasilitas kesehatan yang masih
memiliki keterbatasan dimana tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 41 yang telah dijelaskan
sebelumnya, harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini paling lambat
dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Menteri ini berlaku. Seyogyanya,
21 Wawancara dengan dr. Irawati, M.Kes pada tanggal 16 Mei 2017 pukul 10.00.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
RSUD Ciamis segera memperbaiki dan mempersiapkan jauh hari baik dari sarana dan
kesiapan tenaga kesehatan, sehingga kasus penolakan yang terjadi pertama kali pada tahun
2013 tidak terjadi lagi seperti yang telah terjadi pada tahun 2015.
Salah satu peranan rumah sakit dan puskesmas dalam bidang pelayanan kesehatan
ialah pengendalian HIV-AIDS dimana pertumbuhan ODHA setiap tahunnya relatif
meningkat. Rumah sakit dan puskesmas wajib memasukkan layanan HIV-AIDS sebagai
layanan pokok sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi
Menular Seksual. Tindakan preventif merupakan salah satu upaya pengendalian penularan
HIV-AIDS yang wajib dilakukan oleh rumah sakit sebagaimana datur dalam Pasal 42
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Dengan demikian
apabila dikaitkan dengan kasus ini, RSUD Ciamis telah melanggar hukum yang berlaku
karena melakukan penolakan persalinan ODHA. Adanya penolakan ini menyatakan bahwa
layanan HIV-AIDS di RSUD Ciamis bukan merupakan layanan pokok sehingga upaya
preventif terhadap penularan HIV-AIDS tidak dilakukan oleh rumah sakit.
3. Pertanggungjawaban Rumah Sakit Atas Penolakan ODHA Dalam Memberikan
Pelayanan Kesehatan.
Berdasarkan kasus yang telah penulis uraikan di atas, RSUD Ciamis dan pihak rumah
sakit yang telah menolak persalinan Hartini sebagai pasien ODHA dapat dibebankan
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Pihak rumah sakit wajib bertanggung jawab terhadap
kerugian yang dialami oleh pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Pihak rumah
sakit melakukan penolakan persalinan bagi pasien ODHA dengan sisi lain bahwa mereka
telah mengetahui adanya peraturan-peraturan yang secara tegas melarang rumah sakit untuk
menolak pasien dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien ODHA. Sehingga atas
perbuatan melawan hukum dengan kesengajaan dimana adanya unsur diskriminasi yang
dilakukan oleh rumah sakit dapat dikenakan Pasal 1365 KUHPerdata.
Kemudian dalam hal pertanggungjawaban hukum pidana, faktor utama adanya beban
pertanggungjawaban pidana ialah bahwa dalam suatu perbuatan ada kesalahan yang terdiri
dari kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Dalam doktrin hukum pidana dikenal 3 (tiga)
bentuk kesengajaan yaitu kesengajaan sebagai maksud atau tujuan (opzet als oogmerk),
kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn), dan kesengajaan sebagai
kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzjin). RSUD Ciamis dan rumah sakit yang
melakukan penolakan terhadap persalinan Ibu Hamil L yang terinfeksi HIV-AIDS dan Hartini
dengan bentuk kesengajaan kepastian. Pihak rumah sakit dengan sengaja melakukan
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
penolakan persalinan, karena sudah mengetahui bahwa calon pasien yang ingin melakukan
persalinan adalah ODHA. Pihak rumah sakit mengetahui benar bahwa perbuatannya di
samping akibat yang dimaksudnya, akan terjadi suatu akibat lain. Hal ini dikarenakan, rumah
sakit secara pasti sudah memiliki pengetahuan bagaimana cara penanganan pelayanan
kesehatan bagi ODHA terutama dalam kondisi darurat dan mengetahui bahwa akan ada
risiko-risiko buruk atau kerugian yang akan dialami oleh pasien ODHA. Sehingga atas
perbuatan melawan hukum dengan sengaja yang dilakukan oleh rumah sakit dapat dikenakan
Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya
disebut Undang-Undang Kesehatan). Dalam Pasal 190 Undang-Undang Kesehatan diatur
bahwa pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Apabila perbuatan rumah sakit tersebut
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Korporasi sebagai subjek hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan. Apabila
dikaitkan dengan kasus yang telah diuraikan sebelumnya, rumah sakit merupakan korporasi
yang memiliki hak dan kewajiban dan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Adapun
hukuman yang dikenakan dalam sudut pandang pertanggungjawaban pidana kororasi, apabila
rumah sakit melakukan tindak pidana ialah berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga)
kali pidana denda terhadap pasal yang dilanggar. Disamping pidana denda, korporasi dapat
dijatuhi pidana tambahan berbentuk pidana administratif berupa pencabutan izin usaha
dan/atau pencabutan status badan hukum.
Selain itu, dalam pertanggungjawaban hukum administrasi apabila rumah sakit tidak
memenuhi pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat,
peningkatan mutu pelayanan kesehatan, mengutamakan keselamatan pasien, pengembangan
jangkauan pelayanan, dan peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit, maka
Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki tugas untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap rumah sakit sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 Undang-Undang
Rumah Sakit memiliki wewenang untuk memberikan sanksi administratif yaitu berupa
teguran, teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
izin. Apabila dikaitkan dengan kasus, rumah sakit tidak memenuhi pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan yang terjangkau bagi pasien ODHA, tidak mengutamakan keselamatan
pasien, dan tidak melakukan pengembangan jangkauan dan peningkatan kemampuan rumah
sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien ODHA. Hal ini dapat dilihat bahwa
RSUD Ciamis telah melakukan penolakan persalinan pasien ODHA dalam kasus yang serupa
dengan jangka waktu yang cukup lama antara kasus pertama dengan kasus yang kedua.
Dengan demikian, atas perbuatan yang dilakukan oleh RSUD Ciamis dapat dikenakan Pasal
54 ayat (5) Undang-Undang Rumah Sakit.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut,
yaitu:
1. Pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan memiliki hak-hak yang dilindungi
oleh hukum. Adapun perlindungan hukum tersebut berupa peraturan-peraturan yang
berlaku di Indonesia terkait dengan hak pasien dan kewajiban rumah sakit. Peraturan
tersebut meliputi Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Kode
Etik Rumah Sakit, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Namun, pada praktiknya masih terdapat rumah sakit yang tidak
mengindahkan peraturan-peraturan tersebut khususnya terhadap pasien ODHA. Hal
ini disebabkan oleh stigma dan diskriminasi yang menempel pada ODHA.
2. Rumah sakit sebagai penyedia atau pemberi jasa pelayanan kesehatan memiliki
kewajiban untuk memenuhi standar pelayanan kesehatan rumah sakit dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien sebagai konsumen jasa pelayanan
kesehatan. Pemerintah telah menentukan standar pelayanan kesehatan rumah sakit
bagi ODHA diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia diantaranya
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan, Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Eliminasi Penularan HIV, Sifilis, dan
Hepatitis B Dari Ibu Ke Anak Di Indonesia, 35 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, dan Surat
Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Pengendalian HIV-AIDS dan Infeksi Menular Seksual.
3. Rumah sakit sebagai subjek hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum
terhadap penolakan yang dilakukan rumah sakit terhadap pasien ODHA yang ingin
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
mendapatkan pelayanan kesehatan. Pertanggungjawaban itu meliputi
pertanggungjawaban hukum perdata, pertanggungjawaban hukum pidana, dan
pertanggungjawaban hukum administrasi negara. Pertanggungjawaban hukum perdata
dapat mencakup pemberian ganti rugi kepada pihak yang dirugikan yaitu pasien
ODHA yang mendapat penolakan persalinan. Dalam hal pertanggungjawaban hukum
pidana dapat diberikan pada rumah sakit sebagai korporasi sebagaimana diatur dalam
Pasal 190 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 201
ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan berupa pidana
penjara dan denda. Selain itu, pertanggungjawaban hukum administrasi dapat
dikenakan terhadap rumah sakit berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dengan sanksi administratif yaitu berupa teguran,
teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan
izin.
Saran
Saran yang dapat penulis kemukakan adalah:
1. Diperlukan peningkatan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah baik melalui
badan atau instansi yang berwenang dalam mengawasi pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang dilakukan oleh rumah sakit, khususnya terhadap pasien ODHA. Sikap
diskriminasi dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien ODHA harus
dihindari terutama bagi tenaga kesehatan yang merupakan pihak pelaku diskriminasi
tertinggi bagi pasien ODHA. Hal ini dikarenakan, seharusnya tenaga kesehatan sudah
memiliki pengetahuan mengenai ruang lingkup HIV-AIDS dan cara melayani pasien
ODHA.
2. Mendorong pemerintah untuk melakukan peningkatan sosialisasi mengenai
pengetahuan tentang ruang lingkup HIV-AIDS baik cara penularan, pengobatan,
pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS kepada masyarakat umum. Hal ini dapat
meliputi kegiatan seminar, talkshow, maupun pembinaan-pembinaan mengenai HIV-
AIDS.
3. Dilakukan pembenahan mengenai panduan atau pedoman pelayanan kesehatan bagi
ODHA, sehingga mereka merasa nyaman, puas dengan proses pengobatan yang
dijalankan dan mengetahui bahwa setiap pasien ODHA memiliki hak akses untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan di seluruh fasilitas kesehatan.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
Daftar Referensi Books: Azwar, Ridwan. (1996). Kiat Sukses di Bidang Jasa. Jakarta: Andi Offset. Bastable, Susan B. (2002). Perawat Sebagai Pendidik: Prinsip Pengajaran. Jakarta: EGC, 2002. Chazawi, Adami. (2007). Malpraktik Kedokteran. Malang: Bayumedia. Guwandi, J. (2002). Hospital Law (Emerging Doctrines & Jurisprudence). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Koeswadji, Hermien Hadiati. (1998). Hukum Kedokteran. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Komalawati, Veronica. (1989). Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Mamudji, Sri, et. al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mamudji, Sri dan Soerjono Soekanto. (1994). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Mertokusumo, Sudikno. (1999). Mengenai Hukum: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1999. Soekanto, Soerjono. (1989). Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan). Jakarta:IND-HILL-CO. Soekanto, Soerjono. (1986). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.
Ta’adi, Ns. (2002). Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawat Profesional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Tutik, Titik Triwulan. (2010). Perlindungan Hukum bagi Pasien. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. Online Document:
BD Dictionary. (2017, Maret 5). “Corporate Liability”. http://www.businessdictionary.com/definition/corporate-liability.html.
Direktorat Bina Gizi Masyarakat Dijen Bina Kesehatan Masyarakat. (2016, Desember 30 “Pedoman Pelayanan Gizi Bagi ODHA.” http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2011/01/buku-odha-rev5.pdf.
Hukum Kesehatan. (2017, Maret 8). Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit, PPT Mata Kuliah Hukum Kesehatan, bem.law.ui.ac.id/fhuiguide/uploads/materi/hukes-tanggung-jawab-rumah-sakit.ppt teori central responsibility. Pikiran Rakyat. (2017, Januari 23) “RSUD Ciamis Tolak Persalinan Pasien ODHA.” http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2015/12/04/352456/rsud-ciamis-tolak-persalinan-pasien-odha.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017, Februari 14) “Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia.” http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-Situasi-Penyakit-HIV-AIDS-di-Indonesia.pdf. Theses, Dissertation: Hadisetyono, Budi. (2007). Hak Kesehatan Penderita HIV-AIDS: Kendala-Kendala Yang Dihadapi Penderita HIV-AIDS Dalam Memperoleh Obat-obat Anti Retroviral Sebagai Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah. Tesis Magister Universitas Indonesia. Jakarta.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017
Regulation: Indonesia. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kedokteran. Nomor PM 1438/MENKES/PER/IX/2010.
Indonesia. Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Nomor PM 43 Tahun 2016.
Interview: Wawancara dengan Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., SpF., Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, pada hari Sabtu, 1 April 2017 pukul 12.30 WIB, di Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat. Wawancara dengan dr. Irawati, M.Kes., Kepala Seksi HIV-AIDS Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, pada hari Selasa, 16 Mei 2017 pukul 10.00 WIB, di Wisma PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia). Wawancara dengan Hartini, staf advokasi IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia), pada hari Jumat 21 April 2017 pukul 10.00 WIB, di Jalan tebet Timu Dalam X D Nomor 3 Tebet, Jakarta Selatan.
Hak untuk ..., Sianturi, Sarah Mega Ridho, FH UI, 2017