HAK ADAT vs REFORMASI AGRARIA
description
Transcript of HAK ADAT vs REFORMASI AGRARIA
HAK ADAT vs REFORMASI AGRARIA
IPAC, 8 Mei 2014IPB Bogor
Beberapa catatan awal….Pada prinsipnya, perlindungan hak masyarakat adat dan reformasi agraria keduaduanya adalah tujuan penting di Indonesia dan perlu diperjuangkan
Jelas mereka korban
Baik masyarakat adat, maupun banyak kelompok petani miskin, sudah menjadi korban dari beberapa kebijakan Orde Baru dan era reformasi yg berakibat perampasan tanah ulayat dan/atau penggusuran dan/atau penipuan dan janji-janji yg tidak dipenuhi
Bener juga bahwa ada banyak overlap dari dua kelompok ini. Hanya, untuk mencapai keadilan sosial untuk mereka, gerakan reformasi agraria dan gerakan hak adat kadang2 bisa bertentangan….
Tujuannya tidak sama
Yang satu ingin redistribusi tanah supaya sebanyak mungkin bisa bermanfaat.
Faktor terpenting adalah “class” atau status socioekonomik, tanpa melihat soal etnis.
Yang lain ingin mengendalikan, mengelola dan memanfaatkan tanah dan kekayaannya untuk klmpk “yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun diatas suatu wilayah adat” (AMAN)
Masalahnya – dan potensi konflik – muncul dimana pengembalian tanah adat diperjuangkan oleh aktivis reformasi agraria dgn tujuan menyebarkannya bukan saja kepada yg punya hak adat tetapi juga kepada orang luar.
Apa artinya “kelompok yang berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun” kalau siapa saja bisa menklaim tanah tersebut?
Contohnya: Jambi, Mesuji, Sumut
Daerah perkebunan
Daerah trans sejak jaman Belanda
Mobilitas penduduk sangat tinggi
Areal tanah untuk petani makin sedikit
Apa artinya “hak masyarakat adat” kalau…
Siapa saja bisa menjadi masyarakat adat dengan membeli kartu keanggotaan, walaupun dari suku Jawa atau Bali
Ada strategi mendatangkan orang luar untuk memperkuatkan massa
Ada fenomena “lembaga adat palsu”
Kalau nanti berhasil tanah adat dikembalikan, ada dua kemungkinan:
pendatang rugi, karena tanah adat akan dikembalikan hanya kepada mereka yg bisa membuktikan bahwa mereka betul2 orang asli (misanya, Suku Anak Dalam)
masyarakat adat rugi, karena tanah yg diperkirakan punya leluhur harus dibagi dgn ratusan KK diluar kelompok.
Apakah ada win-win solution?
SAD113: siapa mereka?
Petani, bukan nomad yg tinggal di hutan
Kasus SAD 113
Suku Anak Dalam Jumlah penuntut
pada awalnya 113 KK
Tanahnya (3,550 ha) diambil thn 1986 dgn HGU diberi kepada PT yg sekarang namanya PT Asiatic Persada
Secara resmi, baru 1992 tanah dibebaskan dari Kehutanan
Ada yg digusur, ada yg coba bertahan Ada sebagian yg dikasi gantirugi,tapi sekarang tidak jelas siapa Proses penuntutan mulai setelah Reformasi. Sejak awalnya, SAD113 tidak menolaksawit – yg mrk menolak ada perampasantanah.
3 fase nego dgn PT Asiatic: Fase 1
Tahun 2000-01, CDC menawarkan 1000 ha dgn “kemitraan” kpd SAD, 400 ha di bagian utara (SAD113) dan 600 ha di bagian selatan.
Awalnya diterima, tapi info yg lengkap tidak ada, tapi dengan keterlambatan implementasi dan penghancuran tempat makam dll, mrk mulai menolak.
Fase ke2: Nego dgn Wilmar 2006: Wilmar menawar
1,000 ha kepada semua penuntut (30 klmpk yg berkonflik dgn PT Asiatic), bukan SAD113 saja, diluar HGU utama. SAD113 menolak.
Beberapa peristiwa kekerasan dan penggusuran
Tahun 2007, STN masuk untuk membantu melalui pendekatan kpd BPN
2008, secara terpisah, beberapa LSM lokal dan internasional minta tolong dari“Compliance Advisory Ombudsman” (CAO),bagian dari IFC yg menolong investasiWilmar. Negosiasi dgn sbg besar klmpk SAD113 kolaps pada 4/11, walaupun ada brp yg masihberlanjut
Spots KonflictHingga sekarang
Tanah Menang
SADMat
Ukup
SAD Tanjung Lebar,
Penyerokan menduduki kemitraan
600 Ha
SAD, dan masyarakat
Bungku menduduki lahan yg
ditanam PT AP secara illegal
Tani Persada/Kopkan
Hipsi SAD
Beruang
SAD Simp. Macan
Kel. Terawang
P.Tinggi
Padang salak
Dua jalur advokasi
SERIKAT TANI NASIONAL
Tujuan: Reformasi agraria, membangun basis politik untuk PRD (melihat ke 2019)
Taktik: Aksi massa (long march, occupy tanah, occupy kantor pemerintah/DPR), cari media coverage
Klien: campuran SAD dan pendatang
Insentif untuk memasukkan KK sebanyak mungkin untuk memperkuatkan gerakan
Hasil: Pengakuan BPN Pusat bahwa 3,550 harus dikembalikan
LSM YG LEBIH TERARAH KEPADA HAK MASYARAKAT ADAT
Tujuan: Pengembalian tanah ulayat kpd pemiliknya
Taktik: Negosiasi dgn perusahaan
Klien: masyarakat adat Insentif untuk
mempertahankan klmpk pada masy.adat saja spy nanti kalau dikembalikan tanahnya, yg bermanfaat adalah korban perampasannya.
Hasil: Pengakuan dari perusahaan bahwa satu2nya cara untkmenyelesaikan konflik adalah untuk menyerahkan tanah – walupun bukan tanah yg dituntut.
Fase 3: setelah Wilmar menjual PT Asiatic
Pada saat yg sama, UU7/2012 ttg Konflik Sosial keluar, dgn konsep tim terpadu
Pemprov, yg dulu agak bersimpati dgn SAD113, menyerahkan wewenang ke kabupaten
Pemilik baru dari PT Asiatic menyediakan 2,000 ha untuk pola “kemitraan”, hanya kepada yg bisa diverifikasi sbg SAD.
Sekda menganjurkan SAD113 untuk menerima tawaran sambil menunggu implementasi ttg tanah seluruhnya.
SAD113 makin terpecahbelah
Banyak KK mulai merasa bahwa 2ha per KK lebih baik dari nol: BPN pusat jelas tidak punya wewenang untuk menegakkan keputusannya
Konflik Sudah Tuntas? Tidak….
“TOTAL 61 ORANG NILAI TRANSAKSIRp.421,700,000.”
Apa salahnya dgn taktik STN? Jumlah KK penuntut naik
dari sekitar 500KK menjadi 1,400 KK dalam dua tahun terakhir, banyak diantaranya bukan SAD
Banyak datang atas harapan – dan kadang2 dgn pembayaran uang – bahwa mereka bisa dapat tanah.
Penjualan/spekulasi tanah bertanggungjawaban siapa?
Kalau misalnya saja 3,550 dikembalikan, apakah potensi konflik tidak lebih besar dgn begitu banyak pendatang yg masuk dan akhirnya akan ditolak menikmati hasilnya?
Apakah kepentingan parpol tertentu (PRD) bisa selalu dicocokan dgn kepentingan petani?
Jelas STN tidak sama dgn gerakan reformasi agraria seluruhnya…
Tetapi apakah bisa, dalam suatu daerah konflik dimana tanah ulayat adalah tanah yg dirampas, sekaligus memperjuangan baik hak adat maupun reformasi agraria?
Kalau ya, cara terbaik bagaimana?
Kalau tidak, solusi lainnya apa?
Solusinya apa?
Keep the two movements separate?
Memperkuatkan BPN?
Memperkuatkan UKP4 dan proyek “satu peta”?
Mendirikan komisi land restitution seperti di African Selatan?
Yang penting untuk mengerti betapa rumitnya masalahnya – tidak bisa disimplifikasi menjadi hany adua pihak, petani yg baik dan perusahaan yg buruk.