goal 7 sumatera
-
Upload
yuni-arti-putri -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of goal 7 sumatera
TUJUAN 7:MEMASTIKAN KELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
| 91
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Sumatera Selatan 2013
TUJUAN 7:MEMASTIKAN KELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
TARGET 7A MEMADUKAN PRINSIP-PRINSIP PEMBANGUNAN YANG BERKELANJUTAN DALAM KEBIJAKAN DAN PROGRAM NASIONAL SERTA MENGURANGI KERUSAKAN PADA SUMBER DAYA LINGKUNGAN
Indikator Acuan dasar Saat iniTarget
MDGs 2015 Status Sumber
Target 7A: Memadukan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan dan program nasional serta mengurangi kerusakan pada sumberdaya lingkungan
7.1
Rasio luas kawasan tertutup pepohonan berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara terhadap luas daratan
59,97% (1990)
43,22 (2012) Meningkat ►KementerianKehutanan
7.2
7.2a
7.2b
7.2c
7.2d
Jumlah emisi karbon dioksida (CO2)1.377.983Gg CO2e
(2000)
2,296.443 GtCO2e
Berkurang26% dari
BAU (2020)►
Kementerian Lingkungan Hidup
Jumlah konsumsi energi primer (per kapita)
2,64 BOE (1991)
(2011)Menurun
dari kondisiBAU 6,99
►Kementerian Energi dan SumberDayaMineral
Intensitas energi5,28 SBM/USD 1,000
(1990)Na Menurun ►
Elastisitas energi 0,98 (1991) Na MenurunBauran energi untuk energiterbarukan
3,5% (2000) Na -
7.3 Jumlah konsumsi bahan perusak ozon (BPO) dalam metrik ton
8.332,7 metrik ton BPO (1992)
Na
0 CFCs dengan
mengurangi HCFCs
►Kementerian Lingkungan Hidup
7.4Proporsi tangkapan ikan yangberada dalam batasan biologis yang aman
66,08% (1998)
NaTidak
melebihi batas
►KementerianKelautan & Perikanan
7.5
Rasio luas kawasan lindung untukmenjaga kelestariankeanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan
26,40% (1990)
Na Meningkat ►KementerianKehutanan
7.6Rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial
0,14% (1990)
*14,6% Meningkat ►
*KementerianKehutanan** Kementerian Kelautan & Perikanan
Status : ● Sudah Tercapai ►Akan Tercapai ▼Perlu Perhatian Khusus
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Sumatera Selatan 2013
| 92KEAD A AN DAN KE CE NDERU N G AN
Kelestarian lingkungan hidup merupakan prasyarat utama bagi kesejahteraan dan
keberlangsungan kehidupan manusia. Kesejahteraan manusia dipenuhi melalui
pembangunan, namun pembangunan itu harus dilaksanakan dengan tidak merusak
lingkungan. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan
dapat mengakibatkan penurunan daya dukung lingkungan yang dapat berdampak pada
menurunnya kapasitas pemenuhan kebutuhan manusia untuk kesejahteraan. Untuk
menjaga keberlanjutan kesejahteraan manusia, diperlukan upaya pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development), yaitu pembangunan yang dilaksanakan dengan
memperhatikan keseimbangan tiga pilar pembangunan (sosial, ekonomi, dan lingkungan).
Tabel 7.1.Proporsi Lahan Tertutup Hutanmenurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan, Tahun 2008-2012
Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012
1. OKU 40,29 40,29 40,29 40,29 40,29
2. OKI 57,12 57,12 57,12 57,12 57,12
3. M. Enim 44,59 44,59 44,59 44,59 44,59
4. Lahat 33,31 33,31 33,31 33,31 33,31
5. Mura 52,32 52,32 52,32 52,32 52,32
6. Muba 48,62 48,62 48,62 48,62 48,62
7. Banyuasin 39,36 39,36 39,36 39,36 39,36
8. OKU Selatan 35,19 35,19 35,19 35,19 35,19
9. OKU Timur 4,69 4,69 4,69 4,69 4,69
10. Ogan Ilir 7,04 7,04 7,04 7,04 7,04
11. Empat Lawang 30,16 30,16 30,16 30,16 30,16
12. Palembang 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13
13. Prabumulih 5,25 5,25 5,25 5,25 5,25
14. Pagaralam 39,84 39,84 39,84 39,84 39,84
15. Lubuklinggau 22,91 22,91 22,91 22,91 22,91
Sumatera Selatan 43,22 43,22 43,22 43,22 43,22
Sumber :Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Sumatera Selatan 2013
| 93
Dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan
berbagai kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dengan tujuan untuk mewujudkan
pembangunan yang selaras dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Melalui kebijakan
tersebut diharapkan pembangunan yang dilaksanakan pada saat ini tetap dapat
memberikan manfaat bagi generasi mendatang. Untuk itu, prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan telah diarusutamakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
2005-2025 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan 2010-
2014. Selain itu, upaya pengembangan kapasitas sumber daya manusia untuk pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih baik juga terus diupayakan. Salah satunya melalui pendidikan
lingkungan untuk generasi muda melalui Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan
(Education for Sustainable Development).
Keberhasilan dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam
pembangunan nasional antara lain ditunjukkan oleh indikator-indikator seperti luas
kawasan yang masih tertutup pepohonan, intensitas penangkapan ikan, emisi karbon
dioksida, pemakaian energi dan bahan perusak ozon. Luas kawasan yang masih tertutup
pepohonan diindikasikan oleh rasio luas kawasan tersebut terhadap luas daratan
berdasarkan hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara. Pemakaian energi
diindikasikan oleh jumlah konsumsi energi primer per kapita, intensitas energi, elastisitas
energi, dan bauran energi untuk energi terbarukan.
Secara konsep dan definisi, yang dimaksud PLH adalah perbandingan antara luas lahan yang
tertutup hutan terhadap luas daratan, tidak termasuk perairan umum seperti sungai besar
dan danau di suatu wilayah, yang dinyatakan dalam persentase. Indikator ini menyajikan
informasi tentang ukuran relative pentingnya hutan di suatu wilayah. Perubahan lahan yang
tertutup hutan karena kegiatan legal penebangan hutan dan kegiatan yang tidak legal
seperti penebangan liar, kebakaran, dan lain-lain yang ikut merusak dan mengganggu
kelestarian lingkungan hidup.
Rasio luas kawasan yang masih tertutup pepohonan terhadap luas daratan berdasarkan
hasil pemotretan citra satelit dan survei foto udara telah diupayakan kembali ke acuan dasar
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Sumatera Selatan 2013
| 94tahun 1990 namun masih diperlukan upaya yang keras untuk mencapainya. Penurunan
drastis rasio dari keadaan pada tahun dasar 1990 diupayakan dinaikkan kembali sejak tahun
2002. Upaya pelestarian dan pemulihan hutan telah ditingkatkan sejak tahun 2002, antara
lain melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Rasio tutupan hutan tahun 2012
mencapai 43,22 persen.
Berkaitan dengan proporsi lahan yang tertutup hutan, yang perlu dilakukan adalah
memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa mereka tetap dapat memanfaatkan
hasil hutan sekaligus menjaga fungsi konservasinya. Konflik terjadi akibat ketidakmengertian
dan kesalahpahaman yang tidak diluruskan. Pada kenyataannya, pendidikan kepada
masyarakat secara langsung sesungguhnya sangat sulit. Kendala utama adalah tidak banyak
orang yang mau nongkrong di perdesaan dan membina sebuah kelompok masyarakat
secara tekun. Metode-metode pendidikan masyarakat yang tepat amat dibutuhkan agar
pendekatan semacam ini bisa berhasil. Beberapa program pendidikan ke masyarakat yang
sudah tersedia dananya adalah program untuk mengatasi kebakaran hutan.
Program dengan pendekatan sosial ekologis ini dilakukan dengan merumuskan tiga maksim
yang mesti secara simultan dipenuhi. Maksim pertama adalah pemenuhan keamanan
masyarakat agar tidak terjadi konflik tata guna fungsi lahan yang akan dijadikan ladang
eksplorasi pertambangan. Kedua, mendefinisikan kembali produktivitas sebagai
produktivitas dalam memenuhi syarat kualitas hidup. Ketiga, keberlangsungan layanan alam
yang merupakan dasar ekonomi berbasis lingkungan. Menjadi tidak ada artinya ketika tidak
dapat menggunakan dana adaptasi untuk membenahi tata kelola hutan dan pengelolaan
hutan yang berkelanjutan.
Secara konsep dan definisi, yang dimaksud RKL terhadap luas wilayah adalah perbandingan
antara luas kawasan yang secara nasional dilindungi terhadap luas suatu wilayah yang
dinyatakan dalam persentase. Indikator ini dapat digunakan untuk mengukur upaya
melindungi dan menjaga keanekaragaman hayati serta upaya meningkatkan kehidupan
sosial dan ekonomi penduduk setempat.
Menurut UU No 41 Tahun 1999 hutan yang dilindungi terdiri dari kawasan hutan lindung,
hutan konservasi, dan kawasan konservasi perairan. Hutan lindung adalah kawasan hutan
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Sumatera Selatan 2013
| 95yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan system penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa
serta ekosistemnya.
Tabel 7.2. Rasio luas kawasan lindung (RKL) terhadap luas wilayah menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan, tahun 2008-2012.
Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012
1. OKU 17.36 17.36 17.36 17.36 17.362. OKI 6.5 6.5 6.5 6.5 6.53. M. Enim 10.93 10.93 10.93 10.93 10.934. Lahat 23.59 23.59 23.59 23.59 23.595. Mura 20.07 20.07 20.07 20.07 20.076. Muba 5.48 5.48 5.48 5.48 5.487. Banyuasin 28.1 28.1 28.1 28.1 28.18. OKU Selatan 28.3 28.3 28.3 28.3 28.39. OKU Timur 0 0 0 0 010. Ogan Ilir 0 0 0 0 011. Empat Lawang 26.98 26.98 26.98 26.98 26.9812. Palembang 0.13 0.13 0.13 0.13 0.1313. Prabumulih 0 0 0 0 014. Pagaralam 39.84 39.84 39.84 39.84 39.8415. Lubuklinggau 22.91 22.91 22.91 22.91 22.91
Sumatera Selatan 14.6 14.6 14.6 14.6 14.6Sumber :Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan
Jika kita perhatikan pada Tabel 7.2, ternyata rasio luas kawasan lindung di Sumatera Selatan
juga tidak mengalami perubahan dari tahun 2008 – 2012. Rasio kawasan lindung di
Sumatera Selatan adalah 1,27 juta ha atau sekitar 14,6 persen dari luas wilayah, terdiri atas
hutan lindung 558,6 ribu ha dan hutan wisata suaka alam 711,78 ribu ha. Menurut
kabupaten/kota, rasio kawasan lindung yang terluas adalah di Kota Pagaralam (39,84%) dan
Kabupaten OKU Selatan (28,3%). Kabupaten yang tidak mempunyai kawasan lindung di
Sumatera Selatan adalah Kabupaten OKU Timur, Ogan Ilir, dan Kota Prabumulih.
Perkembangan pencapaian rasio luas kawasan lindung terhadap luas daratan sesungguhnya
hanya memandang aspek luas kawasan dan tidak memberikan gambaran tentang
kelestarian ekosistemnya, artinya meskipun telah terjadi perluasan kawasan lindung, akan
tetapi jika tidak disertai dengan dampak peningkatan daya dukung kawasan tersebut kepada
| 96
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Sumatera Selatan 2013
ekosistem, maka perluasan kawasan lindung tersebut menjadi tidak bermakna.
U PAYA P ENT I NG U N TUK PERCE P ATAN P E NCAPAIAN TUJ U A N
1. Peningkatan luas area hutan yang dilindungi dan kawasan lindung perairan secara
signifikan untuk mengatasi laju deforestrasi;
2. Pemberantasan pembalakan liar di berbagai daerah dilakukan untuk mempertahankan
luas kawasan hutan dan kawasan konservasi;
3. Pembentukan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dan mekanisme pendanaannya dalam
rangka meningkatkan kapasitas dan pemantapan pengelolaan kawasan hutan;
4. Sosialisasi dan pemberian insentif fiskal maupun nonfiskal dalam gerakan penghematan
energi dan pemakaian energi alternatif yang lebih efisien dan ramah lingkungan,
misalnya pemanfaatan energi terbarukan sebagai upaya diversifikasi;
5. Pelaksanaan program perlindungan lapisan ozon dengan menegakkan larangan
penggunaan bahan-bahan perusak ozon yang secara hukum sudah dilarang;
6. Mitigasi pemanasan global serta adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim
melalui pengarusutamaan isu perubahan iklim ke dalam sektor-sektor utama
pembangunan di Sumatera Selatan; dan
7. Perluasan Kawasan Konservasi Laut, dan rehabilitasi mangrovedi sejumlah kawasan
pesisir dan peningkatan penyerapan karbon di sektor kelautan dan perikanan.
| 97
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Sumatera Selatan 2013
| 93
TARGET 7C MENURUNKAN HINGGA SETENGAHNYA PROPORSI RUMAH TANGGA TANPA AKSES BERKELANJUTAN TERHADAP SUMBER AIR MINUM LAYAK DAN FASILITAS SANITASI DASAR LAYAK HINGGA TAHUN 2015
IndikatorAcuan dasar Saat ini
TargetMDGs2015
Status Sumber
Target 7C: Menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas sanitasi dasar layak hingga tahun 2015
7.8
7.8a
7.8b
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan dan perdesaan
37,73% (1993)
45,79% (2013) 68,87% ▼
BPS, Susenas(September)
Perkotaan50,58% (1993)
48,72% (2013) 75,29% ▼
Perdesaan31,61% (1993)
44,27% (2013) 65,81% ▼
7.9
7.9a
7.9b
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan dan perdesaan
24,81% (1993)
54,18 % (2013)
62,41% ►Perkotaan
53,64% (1993)
77,34 % (2013) 76,82% ●
Perdesaan11,10% (1993)
42,14 % (2013) 55,55% ▼
Status : ● Sudah Tercapai►Akan Tercapai▼Perlu Perhatian Khusus
KEAD A AN DAN KE CE NDERU N G AN
Kelestarian lingkungan antara lain dapat diindikasikan oleh adanya akses berkelanjutan
terhadap sumber air minum dan fasilitas sanitasi dasar yang layak di perkotaan dan
perdesaan. Akses rumah tangga terhadap sumber air minum yang layak di perkotaan dan
perdesaan terus meningkat, namun disparitas antar kabupaten/kota cukup nyata.
Kecenderungan penggunaan air kemasan dan air isi ulang sebagai sumber air minum
menyebabkan belum tercapainya target MDGs untuk air minum layak. Sementara itu, air
kemasan dan air isi ulang tidak termasuk sebagai sumber air minum layak. Hal ini
dikarenakan pendataan yang dilakukan saat ini hanya memotret akses terhadap sumber air
yang dipergunakan untuk minum belum memperhatikan kondisi ketika rumah tangga
memiliki lebih dari satu sumber air yang layak untuk diminum. Rumah tangga di Indonesia,
khususnya di perkotaan, menggunakan air kemasan dan air isi ulang sebagai sumber air
minum karena mudah didapatkan, praktis dan tidak perlu dimasak. Sementara itu, untuk
keperluan masak dan mandi, cuci, kakus (MCK), umumnya masyarakat menggunakan air
Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Sumatera Selatan 2013
| 98yang bersumber dari ledeng (perpipaan), sumur bor/pompa, atau sumur dangkal. Hal ini
menyebabkan belum utuhnya potret yang dihasilkan dalam mengukur upaya yang telah
dilakukan dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber air minum layak
terutama melalui penyediaan air ledeng (perpipaan) dan sumber air minum terlindungi
lainnya. Pada tahun 2013 baru sekitar 45,79 persen rumah tangga di Sumatera Selatan yang
telah menggunakan fasilitas air minum layak.
Penyediaan infrastruktur air minum yang belum dapat mengimbangi laju pertumbuhan
penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, baik karena faktor urbanisasi
maupun peningkatan konsumsi juga menjadi penyebab turunnya akses terhadap sumber air
minum layak. Selain itu, permasalahan pada tingkat operator air minum yang berkontribusi
terhadap penurunan akses adalah minimnya biaya operasional dan pemeliharaan,
rendahnya tarif air minum, terbatasnya SDM yang kompeten dan pengelolaan yang kurang
efisien. Di perdesaan, peningkatan akses terhadap sumber air minum layak utamanya
dilakukan melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat
(PAMSIMAS)
| 95
Gambar 7.2. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak, perkotaan, perdesaan, serta perkotaan dan perdesaan, Tahun 2013Sumber: BPS, Susenas, 2013
Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap sumber air minum yang layak
antar kabupaten/kota pada tahun 2013 memiliki disparitas dari 29,2 sampai 63,8 persen
| 99(Gambar 7.2). Sebanyak 6 dari 15 Kabupaten/Kota memiliki proporsi di atas rerata provinsi
dan kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi adalah banyuasin dan OKU Timur, sedangkan
kabupaten/kota dengan proporsi terendah adalah Empat Lawang dan Lahat.
Gambar 7.3. Proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap fasilitas sanitasi dasar layak, perkotaan, perdesaan, serta perkotaan dan perdesaan, Tahun 2013Sumber : BPS, Susenas 2013
Akses rumah tangga terhadap fasilitas sanitasi dasar layak di Provinsi Sumatera Selatan
terus meningkat, tapi secara umum masih terdapat variasi antar Kabupaten/Kota. Proporsi
rumah tangga dengan akses terhadap fasilitas sanitasi dasar layak beragam dari 29,0 persen
hingga 84,4 persen, dengan rerata provinsi 54,2 persen pada tahun 2013 (Gambar 7.3). Pada
Gambar 7.3, terlihat sebanyak 5 dari 15 kabupaten/kota memiliki proporsi rumah tangga
dengan akses terhadap fasilitas sanitasi dasar layak di atas rerata provinsi dan
kabupaten/kota dengan proporsi tertinggi adalah Lubuk Linggau, Palembang, dan
Prabumulih. Sedangkan Kabupaten/Kota dengan proporsi terendah adalah OKU Selatan dan
OKI.
Indikator Acuan dasar
Saat ini TargetMDGs
Status Sumber
Target 7D: Mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020
7.10 Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan
20,75% (1993)
14,11% (2013)
6% (2020) ► BPS, Susenas
| 100U PAYA P ENT I NG U N TUK PERCE P ATAN P E NCAPAIAN TUJ U A N
Upaya yang dilaksanakan sesuai dengan prioritas pembangunan dalam meningkatkan
layanan infrastruktur adalah untuk mencapai Standar Pelayanan Minimal, yang
diprioritaskan bagi penyediaan infrastruktur dasar untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan melalui peningkatan aksesibilitas terhadap infrastruktur, peningkatan
pengelolaan pelayanan infrastrukur serta peningkatan SDM dan Kelembagaan. Upaya
tersebut dilakukan melalui dua program besar, yaitu (i) peningkatkan ketersediaan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap penyediaan layanan air minum dan sanitasi yang layak
melalui (a) penyediaan perangkat peraturan; (b) memastikan ketersediaan air baku air
minum; (c) meningkatkan kinerja manajemen penyelenggara penyedia/operator; (d)
mengembangkan alternatif sumber pendanaan seperti pelaksanaan hibah berbasis kinerja
(output based aid) dan penyediaan pinjaman perbankan bagi lembaga operator air minum;
dan (e) meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta; dan (ii) penyediaan air minum
dan sanitasi layak sesuai target MDGs melalui (a) pemenuhan kebutuhan pokok rumah
tangga terutama di daerah rawan air, tertinggal, dan strategis; (b) peningkatan
pembangunan tampungan dan saluran pembawa air baku; serta (c) penyediaan prasarana,
sarana dasar, dan utilitas umum yang memadai dan terpadu dengan pengembangan
kawasan perumahan dalam rangka mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Target 7D: Mencapai Peningkatan yang Signifikan Dalam Kehidupan Penduduk Miskin diPermukiman Kumuh (Minimal 100 Juta) Pada Tahun 2020
Status : ● Sudah Tercapai►Akan Tercapai▼Perlu Perhatian Khusus
KEAD A AN DAN KE CE NDERU N G AN Proporsi rumah tangga kumuh perkotaan Sumatera Selatan mencapai 14,11 persen tahun
2013 masih belum mencapai target MDGs sebesar enam persen yaitu pada tahun 2020.
| 101
Gambar 7.4. Perbandingan Proporsi Rumah Tangga Kumuh Perkotaan Menurut Kabupaten/Kota, Tahun 2013Sumber : BPS, Susenas 2013
Kesenjangan daerah berdasarkan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan masih cukup
besar. Dalam Gambar 7.6 terlihat bahwa kabupaten dengan proporsi tertinggi untuk rumah
tangga kumuh perkotaan adalah Pagar Alam. Sementara itu, OKU Timur merupakan
provinsi dengan proporsi rumah tangga kumuh perkotaan terendah. Berdasarkan gambar
7.4, jika dibandingkan proporsi Rumah Tangga Kumuh pada masing-masing Kabupaten/Kota
dengan capaian rata-rata Provinsi dan target MDDGs, maka terdapat tiga kategori yakni :
1. Kategori diatas rata-rata capaian Provinsi (14,11%), terdapat 11 (sebelas)
Kabupaten/Kota yakni Kabupaten OKI, Muara Enim, Lahat, Muba, Banyuasin, OKUS, OI,
Empat Lawang, Kota Palembang, Prabumulih dan Pagar Alam.
2. Kategori dibawah rata-rata capaian Provinsi (14,11%) namun belum mencapai target
MDGs, terdapat 3 (tiga) Kabupaten/Kota yakni Kabupaten OKU, Mura dan Kota Lubuk
Linggau
3. Kategori yang telah mencapai target MDGs yaitu kabupaten OKU Timur.
| 102Penurunan proporsi rumah tangga yang menempati hunian dan lingkungan tidak layak di
perkotaan akan sejalan dengan penurunan jumlah rumah tangga miskin. Namun demikian,
dari sisi ekonomi, peningkatan pendapatan rumah tangga miskin tidak akan serta merta
mendorong mereka untuk segera memperbaiki kondisi hunian yang ditempati mengingat
sangat besarnya biaya yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas dan luasan hunian
yang ditempati. Rumah tangga miskin akan lebih memprioritaskan peningkatkan
pendapatan mereka untuk konsumsi lainnya seperti makanan dan pakaian.
Untuk memperbaiki kondisi huniannya, rumah tangga miskin, khususnya di perkotaan,
memerlukan lompatan pendapatan yang besar dalam hidupnya. Pada sisi lainnya,
peningkatan harga bahan bangunan dan keterbatasan lahan di perkotaan turut mempersulit
masyarakat miskin untuk menempati hunian yang layak tanpa intervensi pemerintah.
U PAYA P ENT I NG U N TUK PERCE P ATAN P E NCAPAIAN TUJ U A N
Untuk menangani rumah tangga kumuh perkotaan sebaiknya dilakukan dengan
mempertimbangkan status lahan yang mereka tempati. Secara umum rumah tangga kumuh
perkotaan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, masyarakat
miskin yang menempati hunian di lahan legal baik bangunan milik sendiri maupun sewa.
Kelompok kedua, rumah tangga miskin yang menempati lahan illegal (squatter) yang
umumnya ditandai dengan kondisi bangunan yang tidak permanen.
Untuk masyarakat di kelompok pertama, pemerintah melaksanakan berbagai intervensi
berupa bantuan pembangunan dan perbaikan perumahan serta penyediaan sarana dan
sarana dasar permukiman seperti jalan, air minum dan sanitasi. Beberapa kegiatan yang
telah dan sedang dilakukan pemerintah yang mendukung penanganan rumah tangga kumuh
perkotaan melalui pemberdayaan masyarakat adalah: Neighborhood Upgrading and Shelter
Sector Program (NUSSP), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP),
Community Based Initiatives for Housing and Local Development (Co-Build), Program
Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan serta Penanganan Lingkungan
Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK).
| 103Untuk masyarakat di kelompok kedua, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain
melakukan relokasi mengingat keberadaan mereka di lahan tersebut selain membahayakan
dirinya sendiri juga masyarakat umum. Sebagai contoh, masyarakat yang menempati baik
bantaran maupun badan sungai berpotensi selain menyebabkan banjir karena mengganggu
aliran air juga membahayakan kehidupan mereka sendiri. Selain itu, keberadaan mereka
yang menempati lahan milik publik ataupun swasta juga rawan terhadap konflik social. Salah
satu program pemerintah untuk menangani rumah tangga kumuh perkotaan yang
menempati lahan illegal adalah dengan menyediakan rumah susun sederhana sewa
(Rusunawa).
Untuk mempercepat penanganan rumah tangga kumuh perkotaan, pemerintah telah
menyusun strategi untuk menjamin keterpaduan, effektifitas, dan effisiensi, antara lain
berupa pembentukan Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman serta Slum
Alleviation Policy And Action Plan/SAPOLA. Dengan keduanya, penanganan permukiman
kumuh di perkotaan diharapkan tidak hanya fokus untuk menangani rumah tangga kumuh
perkotaan yang ada juga mencegah tumbuh dan berkembangnya perumahan kumuh dan
permukiman kumuh baru.