GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …
Transcript of GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI” KRATON …
GEREJA GANJURAN SEBAGAI “REINKARNASI”
KRATON YOGYAKARTA Afif Abdul Aziz, Hendrajaya Isnaeni (Pembimbing)
Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16436,
Indonesia
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran adalah Gereja bernuansa Jawa yang
terletak di Bantul, Yogyakarta. Pasca gempa besar yang melanda Yogyakarta sebelas
tahun lalu, Gereja ini mengalami pemugaran yang merubah bentuk gereja yang semula
seperti Gereja pada umumnya menjadi Gereja yang bernuansa Jawa dan berbentuk Tajug.
Aspek fisik dan nonfisik Gereja Ganjuran banyak diambil dari Kraton Yogyakarta,
sehingga Gereja Ganjuran adalah reinkarnasi dari Kraton Yogyakarta. Selain itu,
Orientasi pada kosmos adalah salah satu ciri khas dari Gereja ini. Skripsi ini mencoba
membahas mengenai unsur apa saja yang dibawa dari Kraton Yogyakarta dan kemudian
lahir kembali di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran.
Kata Kunci: Gereja Ganjuran, Reinkarnasi, Kosmos
ABSTRACT
Ganjuran Church is a Javanese-themed church located in Bantul, Yogyakarta.
Subsequent to the heavy earthquake in Yogyakarta eleven years ago, this church
underwent a restoration which transformed the shape of the building. It was transformed
from a regular church into a Javanese-themed and Tajug-shaped church. The physical and
non-physical aspects of Ganjuran Church is mainly adapted from Kraton Yogyakarta, so
that Ganjuran Church can be called as its reincarnation. Furthermore, orientation in
cosmos is one of the identity of this church. This work is an endeavour to discuss about
the elements from Kraton Yogyakarta which is reincarnated in Ganjuran Church.
Keywords: Ganjuran Church, Reincarnation, Cosmos
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
PENDAHULUAN
Pada tahun 1924 dua orang pengusaha gula Gondang Lipuro, Joseph dan Julius
Schmutzer membangun Gereja Ganjuran. Mereka membangunnya untuk memperkenalkan
Katolik di Yogyakarta khususnya Bantul. Gereja ini adalah gereja bernuansa Jawa yang dapat
dilihat dari bentukannya. Pasca gempa besar yang menimpa Yogyakarta pada tahun 2006, pihak
gereja mengadakan pemugaran yang merubah wujud gereja menjadi bangunan yang berbentuk
tajug. Gereja ini kental akan unsur Jawa baik ditinjau secara fisik maupun nonfisik. Secara fisik
yang dapat dilihat adalah bentuk gereja yang mengadopsi bentuk Tajug. Kemudian, ornamen
yang terdapat pada bangunan utama gereja dan prasasti berisi cerita bagaimana Yesus dijatuhi
hukuman dan dieksekusi. Kisah itu digambarkan dalam bentuk prasasti batu dan cerita yang
diangkat adalah cerita asli bagaimana Yesus berjuang dan akhirnya dieksekusi, dimana Yesus
memakai pakaian kebesaran Mataram. Kemudian, aspek nonfisik dapat dilihat pada prosesi-
prosesi yang diadakan rutin didalam Gereja Ganjuran ini, salah satunya gunungan sebagai
perwujudan keselaran unsur alam yang dihadirkan pada acara rutin tersebut.
Dalam mengungkap beberapa hal mengenai kasus diatas, penulis ingin menggali berbagai
aspek yang menjadi faktor mengapa Gereja Ganjuran disebut mengadopsi konsep di Kraton
Yogyakarta. Pertanyaan yang akan diajukan secara garis besar adalah:
• Bagaimana keterkaitan aspek fisik dan spiritual Kraton terhadap Gereja Ganjuran dan
pengaruh kosmologi terhadap keduanya?
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui unsur fisik dan non-fisik pada bangunan
Gereja Ganjuran yang memiliki karakteristik dipengaruhi oleh budaya dan tradisi Jawa. Selain
itu, mengungkap segala elemen dan menemukan aspek-aspek fisik dan spiritual di Gereja
Ganjuran yang merupakan reinkarnasi dari Kraton kemudian dilahirkan kembali pada bangunan
gereja. Pengamatan dan analisis dilakukan terhadap dua bangunan itu, diamati secara berkala
mulai bulan Juli-November 2017. Kemudian akan dilakukan pencarian terhadap perbandingan
Kraton dan Ganjuran secara seksama dan menemukan segala karakteristik yang berbeda didalam
keduanya.
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
TINJAUAN TEORITIS
1.1 Budaya Jawa
1.1.1 Orang Jawa
Menurut A.M.W Pranarka, “Pada dasarnya, orang Jawa memiliki kebudayaan yang kuat
sehingga orang Jawa mampu menjadi akseptor yang kritis dan selektif sehingga dengan
sendirinya mereka tidak merusak identitas kebudayaan tersebut” (Pranarka, 1984). Sehingga,
kebudayaan yang masuk akan bercampur tanpa merusak identitas asli dari orang Jawa karena
telah disebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang selektif.
“Orang Jawa adalah orang yang secara bahasa menggunakan bahasa Jawa sebagai
bahasa induk dan penduduk aslinya menempati wilayah bagian tengah dan timur pulau Jawa”
(Suseno, 1991). Beliau juga mengatakan, mata pencaharian utama dari orang asli Jawa adalah
sebagai petani maupun buruh tani.
1.1.2 Budaya dan Kepercayaan Jawa
Suseno (1991), mengatakan bahwa orang Jawa juga meyakini akan kuasa tuhan dan
berusaha untuk mencapai kesatuan antara dirinya dengan sang pencipta (Pamore Kawula Gusti),
kesatuan itu adalah salah satu cara untuk mencapai Kawruh Sangkan Paraning Dumadi, yaitu
Kawruh (Pengetahuan), Sangkan (Tentang asal), Paran (Tujuan), Dumadi (Apa yang
diciptakan). Dalam konteks agama dan kebudayaan, salah satu kebiasaan yang sampai saat ini
masih dilakukan oleh orang Jawa adalah Slametan, yaitu sebuah ritus religius sentral orang Jawa
yang dilaksanakan ketika seseorang mendapat nikmat dari yang maha kuasa maupun sebagai
ritual memanjatkan doa memohon sesuatu (Suseno, 1991). Menurut beliau, seseorang yang
mengadakan slametan, diharuskan untuk mengundang seluruh tetangga karena orang Jawa
percaya bahwa keselarasan antara para tetangga dengan jagat raya harus selalu stabil.
Upacara keagamaan yang syarat akan kebudayaan ini menurut Ronald (2005) dipicu oleh
beberapa sifat manusia yang kemudian menjadi trigger untuk dilaksanakannnya rangkaian ini.
Menurutnya, homo festivus, dimana sifat tersebut muncul karena adanya hasrat manusia yang
senang mengadakan sebuah perayaan atau pesta yang menjadi pluralitas ekspresi seni budaya
mereka. Kemudian, sifat homo ludens menjadi pemicunya, yaitu sifat manusia yang senang akan
permainan atau hiburan.
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
1.1.3 Tradisi Jawa Gunungan
Dalam rangkaian sekatenan, tindakan simbolis berupa pemandian kereta kencana yang
berumur ratusan tahun dan barangsiapa yang dapat mencuci mukanya dengan sisa air pemandian
tersebut dianggap akan mendapat berkah (Herusatoto, 1984). Beliau mengatakan pula bahwa
puncak dari rangkaian ini adalah ketika dibagikannya Gunungan kepada rakyat di plataran
Masjid Agung Kraton yang dipimpin langsung oleh Raja. Dalam hal ini, gunungan
direpresentasikan sebagai mikrokosmos atau jagat cilik dan makrokosmos atau jagat gedhe.
Menurut terjemahan (Septiyani, 2013) oleh apa yang dikatakan Haryanto, mikrokosmos
digambarkan sebagai segala sesuatu yang ada pada diri manusia, sedangkan makrokosmosnya
digambarkan mengenai perwujudan alam semesta dimana keduanya digambarkan kedalam
sebuah simbol-simbol tertentu.
Gambar Gunungan
(sumber: http://v.ht/Yk8d)
1.2 Arsitektur dan Kosmologi dalam budaya Jawa
1.2.1 Pengertian Kosmologi
Perjalanan waktu membuat berbagai pengaruh dari luar yang kemudian masuk ke Jawa,
Kosmos merupakan keteraturan dan terstrukturnya jagat raya, dimana terdapat keselarasan antara
Alam dan Isinya, dalam hal ini makhluk hidup didalamnya (Suseno, 1991).
Orang Jawa sendiri, memercayai bahwa alam adalah sumber kekuatan yang menggariskan
keselamatan dan keruntuhan seseorang, alam yang pada akhirnya memutuskan segala kehidupan
manusia (Ronald, 2005)
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
1.2.2 Makrokosmos dan Mikrokosmos
Keselarasan dan keseimbangan antara makro dan mikrokosmos harus dijalankan agar
berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran manusia yang menjalankannya, sehingga dalam
hal penataan yang merupakan perwujudan antara mikro dan makrokosmos, manusia menata
ruang sakral dimana secara tingkah laku dan struktur bangunan teratur dan sesuai tindak tanduk
(Handinoto, 2015). Menurutnya, Berbeda dengan ruang profan yang cenderung tidak teratur
secara kosmos dan bukan merupakan kategori ruang yang suci.
Didunia, Raja digambarkan sebagai reinkarnasi Tuhan karena hanya raja yang memiliki
kekuatan dalam mengendalikan alam dan mencegah gonjang ganjing dengan menyelaraskan
kosmos, semua peristiwa alam berasal dari kekuatan kosmis yang sama dan dipusatkan kepada
raja (Prijotomo & Rachmawati, 1995).
Gambar Raja sebagai pusat penguasa Kosmos
(sumber: Sujamto, 1995, hlm.45)
1.2.3 Organisasi Ruang
Ketika mengacu pada Kawruh Sangkan Paraning Dumadi (Suseno, 1991), terdapat
makna yang dapat diambil didalamnya yang berarti dari arah mana ke arah mana (continuity).
Pada pandangan hidup ini, tersirat bahwa orang Jawa menghargai masa lalu dan memiliki
keinginan menggapai masa depan dengan konsep alur yang menerus (Ronald, 2005).
Menurutnya, Apabila dikaitkan dengan organisasi ruang bangunan Jawa, dapat terlihat dalam
beberapa wujud salah satunya adalah alur susunan ruang yang menerus dari muka kebelakang
maupun samping kiri ke samping kanan.
1.2.4 Orientasi Bangunan
Mata angin memiliki arti dan makna tersendiri, bagian utara-selatan adalah termasuk
sumbu spiritual/ kelanggengan, dalam hal ini seringkali makna tersebut dihubungkan dengan
duniawi dan surgawi (Prijotomo, 1984).
NAGARIGUNG (DAERAH SEKITAR IBUKOTA KERAJAAN)
MANCANAGARA (PROFAN) NAGARI (IBUKOTA KERAJAAN/ SAKRAL)
JAGAT RAYA
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
1.3 Aspek fisik dan spiritual bangunan Jawa
1.3.1 Aspek Fisik bangunan Jawa
. Menurut terjemahan Ronald (2005) berdasarkan pernyataan dari Daldjoenir dan Sujitno,
“Dalam hal tipe tempat tinggal, bila ditinjau dari sudut pandang manusia yang akan tinggal
didalamnya, maka manusia menuntut beberapa hal untuk dapat memenuhi kebutuhannya, yaitu
Api, angin, tanah, air, dan udara, seperti juga digambarkan dalam simbol gunungan (wayang
kulit) - Api: Api, sinar matahari, sinar penerangan, panas, suhu
- Angin: Angin, aliran udara, gas, bau-bauan, ventilasi
- Tanah: Tanah, bumi, lahan (pertanian, pemukiman, kerja)
- Air: Air (Sumur), Kelembaban, cairan, uap, awan
- Udara: Udara, cuaca, iklim
Berdasarkan pengelompokan berdasarkan bentuknya, bangunan dalam arsitektur Jawa dibagi
menjadi lima tipe bangunan, yaitu Tajug, Limasan, Joglo, Panggangpe, dan Kampung (Wibowo,
Murniatmo, & Sukirman, 1998).
1.3.2 Aspek Spiritual bangunan Jawa
Dalam kehidupan Jawa, mereka menjunjung tinggi keselarasan antara kehidupan
duniawi dan kehidupan spiritual mereka (Ronald, 2005). Menurut beliau, Berbicara mengenai
keselarasan kehidupan, didalamnya tersirat bagaimana mereka memperhatikan tujuan hidup,
yang mencakup kehidupan sempurna (Sejatining Urip), dan perilaku sempurna (Sejatining
Laku).
Tindakan simbolis dalam seni pahat, seni topeng, seni kacurigan atau keris, dan seni
rupa juga dikenal sebagai perwujudan dalam menyelaraskan kosmos (Herusatoto, 1984). Dalam
hal ini, beliau mengemukakan bahwa bentuk-bentuk simbolisme tersebut memiliki tujuan dan
maksud tertentu yang sifatnya cenderung magis dan mistis. Kemudian, beliau juga mengatakan
Makna atau arti dari setiap simbol yang berada di bangunan Jawa, memiliki maksud dan tujuan
tertentu yang dihayati sebagai tanda atau peringatan, dan sebagai perantara dalam religi.
1.4 Reinkarnasi
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
Didalam Hinduisme, reinkarnasi dianggap sebagai hal yang minus apabila dipandang
secara tradisional, yaitu hidup penuh kemalangan (Duhkha) dan reinkarnasi akan terus
berlangsung hingga seseorang mencapai Moksa atau kebahagiaan yang kekal dan abadi yang
tidak diikuti duka itu (Sastrapratedja, 2009). Kemudian beliau juga mengatakan, Dalam
budhisme, ajaran tentang karma yang merujuk pada reinkarnasi adalah manusia dapat dilahirkan
kembali kedalam bentuk dan wujud kehidupan seperti misalnya dewa/dewi, manusia, asura (roh),
binatang, preta (hantu), hingga penghuni neraka.
STUDI KASUS
1.1 Kraton Yogyakarta
1.1.1 Tipe Bangunan
Bangunan utama adalah berjenis joglo mangkurat seperti yang ada pada bangsal kencono.
kemudian bangunan utama yang kedudukannya dibawah bangsal kencono adalah, jenis tajug
lambang gantung seperti bangsal ponconiti, kemudian tajug mangkurat seperti yang ada pada
bangsal witono.
1.1.2 Tradisi Jawa Gunungan
Gambar Sirkulasi Tradisi Garebeg di Kraton
(Sumber: KHP Widyobudoyo dan Olahan Pribadi)
1.1.3 Arsitektur dan Kosmologi dalam Budaya Jawa
A. Makrokosmos dan Mikrokosmos
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
Karena raja yang digambarkan sebagai penguasa kosmos bersemayam di Kraton, maka
Kraton adalah pusat kekuatan yang sangat dihormati kedudukannya (Suseno, 1991). Dalam
konteks ini, raja dihayati sebagai mikrokosmos yang bernaung di Kraton yang dihayati sebagai
makrokosmos. Kraton sebagai pusat kosmos menjadikannya sebagai salah satu central dalam
segala pelaksanaan kebudayaan.
Dalam membatasi wilayahnya, area kraton yang sifatnya sakral dan area disekitarnya
sebagai wilayah profan, dibatasi oleh benteng atau gerbang yang dinamakan plengkung.
B. Organisasi Ruang
Secara garis besar, bangunan yang notabenenya memiliki fungsi yang penting di Kraton
Yogyakarta, menggunakan bangunan yang bertipe tajug dan joglo. Namun, untuk pusat bangsal
dari Kraton Yogyakarta yang berada di area Kedhaton, yaitu Bangsal Kencono adalah bangunan
yang memiliki jenis bangunan Joglo mangkurat.
Gambar Tata ruang di Kraton Yogyakarta
(sumber: http://peta-yogyakarta.blogspot.co.id/2012/06/)
Bangsal Kencono berada di tengah-tengah Komplek Kraton Yogyakarta. Ketika merujuk
pada salah satu teori yang diungkapkan oleh Arya Ronald, bahwa Ruang pada bangunan jawa
memiliki nilai kekuatan dan makna tersendiri dari setiap ruangnya (Ronald, 2005). Beliau juga
mengatakan, Zona yang notabenenya berada pada sisi luar dan tepi, cenderung memiliki nilai
kekuatan, kekuasaan dan karisma yang terendah. Namun, ketika memasuka Zona yang masuk
dalam kategori pusat, akan memiliki nilai kesakralan yang tinggi serta kedudukannya
diutamakan karena tempat tersebut telah diduduki oleh orang yang suci.
C. Orientasi Bangunan
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
Kesatuan kosmologis menjadi salah satu perwujudan Kraton Yogyakarta, seperti
misalnya agni/ merapi, udara/ laut, dan maruta/ udara segar), terdapat pula disisi sitihinggil yang
cenderung tanahnya ditinggikan sebagai manifestasi kesatuan kosmos yang telah dijelaskan
sebelumnya (Khairuddin, 1995).
Gambar Orientasi bangsal Kencono dan bangunan lain
(Sumber: KHP Widyobudoyo Kraton Yogya dan olahan pribadi)
1.2 Gereja HKTY Ganjuran
U
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
MOLO
BRUNJUNG
LAMBANGSRI
SOKO PENANGGAP
UMPAK
1.2.1 Tipe Bangunan
Sebagai salah satu bangunan yang memiliki fungsi utama sebagai tempat beribadah,
gereja ini mengadopsi bentuk tajug sebagaimana diterapkan pada masjid. Hal ini dilakukan
karena citra Tajug yang cenderung digunakan sebagai bangunan masjid yang merupakan tempat
suci bagi umat beragama Islam.
Gambar 3. 1 Gereja HKTY Ganjuran
(sumber: Paroki gereja HKTY Ganjuran)
1.2.2 Prosesi Gunungan
Berdasarkan tujuannya, umat yang hadir tidak hanya memanjatkan doa saja, namun
banyak dari mereka yang hanya ingin berwisata khususnya umat non-Katolik, sehingga
Biru: Umat
Merah jambu: Imam/ Romo
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
B
Keterangan:
A : Rohangan/Liwan
B: Paimbaran/Mikrab
C : Serambi
menyebabkan sirkulasi yang sifatnya menyebar ke beberapa komponen yang ada di Komplek
Gereja Hati Kudus Ganjuran ini.
1.2.3 Arsitektur dan Kosmologi dalam Budaya Jawa
A. Makrosmos dan Mikrokosmos
Gambar 3. 2 Ilustrasi mikrokosmos dan makrokosmos
(Sumber: digambar dan diolah ulang oleh penulis)
Dalam mengacu pada pembahasan mengenai pembatas, gereja dan kompleknya dianggap umat
sebagai mikrokosmos yang berbatasan langsung dengan makrokosmos yaitu lingkungan sekitarnya.
Pembatas dari gereja ini cenderung terbuat dari batu yang dapat terlihat pada gerbang yang terukir.
Gerbang masuk sebelah barat cenderung berbentuk seperti gerbang candi, yang bertuliskan “Berkah
Dalem”. Menurut mas aris selaku sekretaris Ganjuran, arti dari “berkah dalem” yaitu Semoga Tuhan
Memberkatimu yang diterjemahkan dari bahasa jawa.
B. Organisasi Ruang
Sebagai penghayatan dari Kawruh Sangkan Paraning Dumadi (Suseno, 1991), yang sebelumnya
telah dijelaskan dilandasan teori, yang mana cenderung bersifat continuity yang dapat dilihat dari hierarki
ruang tajug ini. Sehingga, mengacu pada teori tersebut, bahwa ruang pada Gereja Hati Kudus Tuhan
Yesus Ganjuran ini memiliki nilai kekuatan dan makna tersendiri dari setiap ruang yang ada didalamnya.
Merah jambu: Makrokosmos
Biru: Mikrokosmos
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
C. Orientasi Bangunan
Bangunan gereja menghadap kearah selatan diikuti dengan candi yang letaknya disisi barat
gereja. Arah mata angin memiliki hubungan dengan duniawi dan surgawi, yaitu timur diartikan
sebagai kelahiran, barat sebagai kematian, dan utara sebagai surgawi atau kesakralan yang tinggi,
sedangkan selatan sebagai dunia bawah (Prijotomo, 1984).
Gambar 3. 3 Orientasi arah dari Gereja Ganjuran
(sumber: peta ganjuran dan olahan pribadi)
ANALISIS OBSERVASI
A. Elemen Fisik Sebagai Pembatas Ruang Sakral Dan Profan
Dalam hal penataan yang merupakan perwujudan antara mikro dan makrokosmos, manusia menata
ruang sakral dimana secara tingkah laku dan struktur bangunan teratur dan sesuai tindak tanduk
Gambar Batasan ruang profane dan sakral Kraton dan Ganjuran
(Sumb er: Tepas KHP Widyobudoyo, Paroki Ganjuran dan olahan pribadi)
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
(Handinoto, 2015). Beliau juga menyebutkan, bahwa pembatas tersebut tidak hanya digunakan sebagai
sarana mendapat keamanan saja namun lebih kepada membatasi ruang sakral dan profan yang
orientasinya kepada duniawi dan surgawi.
B. Pusat sebagai perwujudan kesakralan
Dalam pandangan hidup jawa, tuhan sering disebut gusti yang dihayati sebagai sosok yang maha
kuasa atas segala apapun. Berbagai macam area dan bangunan khususnya bangsal di Kraton memiliki
orientasi tersendiri dan berbeda satu sama lain tergantung fungsi dan kedudukannya sebagai bangunan
yang sakral. Bangsal yang secara fungsi memiliki arti penting dan merupakan bangsal yang kerap
diduduki dan siniwoko Sultan, mendapat prioritas khusus dalam peletakan dan simbolisasi ornamen yang
mewah.
Gambar 4. 1 Ilustrasi posisi dan makna nilai kekuatan ruang Jawa
(Sumber: olahan pribadi)
C. Keterkaitan antara ruang sakral terhadap simbol dan ornament
Dalam hal ini kewibawaan dan karisma digambarkan melalui bentuk yang secara simbolik akan memunculkan kewibawaan tersebut (Ronald, 2005). Hal ini diungkapkan pula oleh beliau, bahwa kewibawaan dan karisma digambarkan melalui bentuk yang secara simbolik akan memunculkan kewibawaan tersebut. Sehingga, ruang yang notabenenya ditinggikan memiliki sentuhan seni tinggi yang akan mengangkat kharisma dan wibawa seseorang dalam hal ini Raja.
D. Penempatan Ruang berdasarkan kedudukan
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
Gambar potongan Kraton dan Gereja (atas-bawah)
Sumber: Paroki Ganjuran, Tim pelestarian Kraton dan olahan pribadi
Terlihat pada Bangsal yang diduduki oleh Sinuwun Hamengkubuwono yang levelnya lebih tinggi dalam
konteks ketinggian lantai misalnya. Dalam hal kedudukannya, Panti Imam atau Rohangan di ganjuran
ditempatkan lebih tinggi dari posisi umat.
E. Gunungan sebagai elemen ritual bernuansa kosmos
- Gunungan menampilkan hasil bumi yang berdasar filosofi tertentu (Kraton) dan tidak berfilosofi dan
cenderung tidak beraturan (Ganjuran)
- Esensi mendapat berkah bagi yang mencapai puncak
- Sirkulasi berhubungan dengan filosofi ruang dan sejarahnya
- Hasil alam sebagai perwujudan keselarasan alam
KESIMPULAN
Ketika berbicara mengenai Kosmologi, menurut penulis kedua bangunan menghayati dan
mengaplikasikan sesuai faedah. Namun, menurut penulis berbagai ketentuan dalam kosmologi dan
falsafah Jawa lebih condong maksimal dijalankan di Kraton dibanding Gereja Ganjuran.
Sehingga,berdasarkan pada penjelasan diatas terungkap bahwa Gereja HKTY Ganjuran menyerap konsep
yang melahirkan kembali unsur fisik dan nonfisik yang mencakup spiritual.
Aspek fisik seperti organisasi dan hierarki ruang, orientasi bangunan di Kraton Yogyakarta maupun
Gereja Ganjuran selalu bersendikan pada kosmologi. Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya dan
kepercayaan Jawa terhadap keselarasan alam sebagai wujud taat kepada Tuhan. Berbicara tentang Tuhan,
Pandangan Jawa meyakini bahwa Raja adalah perwakilan Tuhan di bumi. Filosofi kedudukan raja sebagai
junjungan ini menjadi acuan dalam menentukan organisasi dan hierarki ruang, ornamen, dan ragam hias
lainnya.
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
DAFTAR PUSTAKA
Hadiwijono, H. (1983). Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Handinoto. (2015). Perkembangan Kota di Jawa Abad XVIII Sampai Pertengahan Abad XX Dipandang dari Sudut Bentuk dan Struktur Kotanya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Herusatoto, B. (1984). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT Hanindita.
Khairuddin. (1995). Filsafat Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Liberty.
Larasati, T. A. (2013). Berbagai Macam Gunungan dalam Upacara Garebeg di Kraton Yogyakarta. Jurnal BPAD Yogyakarta, 1-5.
Pranarka, A. (1984). Imanensi dan Trancedensi Didalam Alam Pikiran Jawa. Yogyakarta: Yayasan Panunggalan Lembaga Javanologi.
Prijotomo, J. (1984). Ideas and Forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prijotomo, J., & Rachmawati, M. (1995). Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Puntohendro, E. (2001). Kraton Yogyakarta Dalam Balutan Hindu. Yogyakarta: Penerbit Bendera.
Ronald, A. (2005). Nilai-Nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sabdacarakatama, K. (2009). Sejarah Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Narasi.
Sastrapratedja. (2009). Manusia: Teka-teki yang mencari solusi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Septiyani, A. (2013). Perbedaan Makna Simbolik Gunungan Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta dan Gagrag Banyumas. Depok: Skripsi FIB Universitas Indonesia.
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017
Sujamto. (1992). Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahara Prize.
Suseno, F. M. (1991). Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo, H., Murniatmo, G., & Sukirman. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Gereja ganjuran ..., Afif Abdul Aziz, FT UI, 2017