geologi regional cekungan jawa barat utara
-
Upload
anastasia-dwiayu -
Category
Documents
-
view
573 -
download
79
description
Transcript of geologi regional cekungan jawa barat utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara telah dikenal sebagai provinsi Hidrokarbon
utama di wilayah Pertamina EP Asset 3, Cirebon. Cekungan ini terletak di antara
Paparan Sunda di Utara, Jalur Perlipatan – Bogor di Selatan, Daerah
Pengangkatan Karimun Jawa di Timur dan Paparan Pulau Seribu di Barat.
Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah
Utara – Selatan. Patahan yang berarah Utara - Selatan membagi cekungan
menjadi graben atau beberapa sub-cekungan, yaitu Jatibarang, Pasir Putih,
Ciputat, Rangkas Bitung dan beberapa tinggian basement, seperti Arjawinangun,
Cimalaya, Pamanukan, Kandanghaur – Waled, Rengasdengklok dan Tangerang
subduksi. Daerah telitian berdasarkan dari keterangan di atas termasuk kedalam
pembagian tinggian Rengasdengklok (Martodjojo, 1989).
Secara regional Cekungan Jawa Barat Utara merupakan sistem busur
belakang (back arc system) yang terletak di antara lempeng mikro Sunda
dan tunjaman lempeng Hindia-Australia. Cekungan ini dipengaruhi oleh
sistem block faulting yang berarah utara-selatan. Sistem patahan yang
berarah utara selatan ini membagi Cekungan Jawa Barat Utara menjadi graben
atau beberapa sub-Cekungan dari barat ke timur yaitu sub-Cekungan Ciputat, sub-
Cekungan Pasir Putih, dan sub-Cekungan Jatibarang. Masing-masing sub-
Cekungan dipisahkan oleh tinggian. Tinggian Rengasdengklok memisahkan
sub-Cekungan Ciputat dengan sub-Cekungan Pasir Putih, Tinggian
Pamanukan dan Tinggian Kadanghaur memisahkan sub-Cekungan Pasir Putih
dengan sub-Cekungan Jatibarang seperti yang ditunjukan oleh gambar II.1.
5
Gambar II. 1 Geologi Regional dan Penampang Cekungan Jawa Barat Utara (Harreira, 1991)
II.1.1 Tektonik dan Struktur Geologi Cekungan Jawa Barat Utara
Cekungan Jawa Barat Utara terdiri dari dua area, yaitu laut (offshore) di
Utara dan darat (onshore) di Selatan (Saidi dkk, 2000). Seluruh area didominasi
oleh patahan ekstensional (extensional faulting) dengan sangat minim struktur
kompresional (Gambar II. 2). Cekungan didominasi oleh rifting yang
berhubungan dengan patahan yang membentuk beberapa struktur deposenter (half
graben), antara lain deposenter utamanya yaitu Sub-Cekungan Arjuna dan Sub-
Cekungan Jatibarang, juga deposenter yang lain seperti : Sub-Cekungan Ciputat,
Sub-Cekungan Pasirputih.
Struktur yang penting pada cekungan tersebut yaitu terdiri dari bermacam-
macam area tinggian yang berhubungan dengan antiklin yang terpatahkan dan
blok tinggian (horst block), lipatan pada bagian yang turun pada patahan utama,
keystone folding dan mengena pada tinggian batuan dasar. Struktur kompresional
6
hanya terjadi pada awal pembentukan rifting pertama yang berarah relative barat
laut-tenggara pada periode Paleogen. Sesar ini akan aktif kembali pada Oligosen.
Tektonik Jawa Barat dibagi menjadi tiga fase tektonik yang dimulai dari Pra
Tersier hingga Plio-Pleistosen.
Gambar II. 2 Penampang Tektonik Cekungan Jawa Barat Utara (Saidi dkk, 2000)
1. Tektonik Pertama
Pada zaman akhir Kapur Awal Tersier, Jawa Barat Utara dapat
diklasifikasikan sebagai ‘Fore Arc Basin’ dengan dijumpainya orientasi
struktural mulai dari Cileutuh, Sub Cekungan Bogor, Jatibarang, Cekungan
Muriah dan Cekungan Florence Barat yang mengindikasikan kontrol ‘Meratus
Trend’.
Periode Paleogen (Eosen-Oligosen) di kenal sebagai Paleogen Extensional
Rifting. Pada periode ini terjadi sesar geser mendatar menganan utama kraton
Sunda akibat dari peristiwa tumbukan Lempeng Hindia dengan Lempeng Eurasia.
Sesar-sesar ini mengawali pembentukan cekungan-cekungan Tersier di Indonesia
Bagian Barat dan membentuk Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart
basin. Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar bongkah (half graben system)
dan merupakan fase pertama rifting (Rifting I : fill phase). Sedimen yang
diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai sedimen synrift I. Cekungan awal
rifting terbentuk selama fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari kraton Sunda.
Dua trend sesar normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill)
berarah N 60o W – N 40o W yang dikenal sebagai pola sesar Sunda. Proses
7
sedimentasi ini terus berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi
Talangakar. Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan
karbonat Formasi Baturaja.
2. Tektonik kedua
Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligosen-Miosen)
dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching. Ditandai dengan
pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dari tumbukan Lempeng
Hindia. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan reaktifasi dari sesar normal
yang terbentuk pada periode Paleogen.
Jalur penunjaman baru terbentuk di selatan Jawa. Jalur volkanik periode
Miosen Awal yang sekarang ini terletak di lepas pantai selatan Jawa. Deretan
gunungapi ini menghasilkan endapan gunungapi bawah laut yang sekarang
dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di sepanjang selatan Pulau Jawa.
Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik Jawa yang merubah pola tektonik tua yang
terjadi sebelumnya menjadi berarah barat-timur dan menghasilkan suatu sistem
sesar naik, dimulai dari selatan (Ciletuh) bergerak ke utara. Pola sesar ini sesuai
dengan sistem sesar naik belakang busur.
3. Tektonik Terakhir
Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen – Pleistosen, dimana
terjadi proses kompresi kembali dan membentuk perangkap-perangkap struktur
berupa sesar-sesar naik di jalur selatan Cekungan Jawa Barat Utara. Sesar-sesar
naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan sesar naik Subang, sedangkan
di jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara terbentuk sesar turun berupa sesar turun
Pamanukan. Akibat adanya perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses
migrasi hidrokarbon.
8
Gambar II. 3 Struktur utama Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi, et all, 1975
cited by Bishop, 2000).
II.1.2 Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara
Menurut Remington C.H dan Nasir.H (1986), stratigrafi Cekungan Jawa
Barat Utara dari tua ke muda meliputi (Gambar II.3):
a. Batuan Dasar
Yang paling tua adalah batuan dasar (basement) yang terdiri dari
batuan beku (granit) dan batuan metamorf (marmer dan batu sabak).
Batuan dasar ini berumur dari Trias Bawah sampai Kapur Atas.
b. Formasi Jatibarang
Formasi Jatibarang di beberapa tempat bertindak sebagai batuan
reservoir yang potensial (struktur Jatibarang, Cemara, Cemara blok
turun). Terdapat dua tipe batuan reservoir dari formasi ini, yaitu : tipe
“massif” yang porositas dan permeabilitasnya dibentuk oleh rekahan-
rekahan (fracture porosity). Tipe pertama ini terdapat di lapangan
minyak Jatibarang. Tipe kedua berupa satuan tuffa yang bersisipan
9
dengan serpih dan konglomerat yang berkembang di lapangan minyak
Cemara, dimana konglomerat bertindak sebagai batuan reservoir yang
potensial. Umur dari formasi ini Eosen Tengah–Oligosen (early
synrift).
c. Formasi Talang Akar
Formasi Ekuivalen Talangakar diendapkan pada fase synrift
secara tidak selaras di atas Formasi Jatibarang. Pada Awalnya berfasies
fluvio-deltaic sampai fasies marine. Litologi formasi ini diawali oleh
perselingan antara batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies
marine. Pada akhir sedimentasi, Formasi Ekuivalen Talangakar ditandai
dengan berakhirnya sedimentasi synrift. Formasi ini diperkirakan
berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Adapun
terendapkannya formasi ini terjadi dari Kala Oligosen sampai dengan
Miosen Awal.
d. Formasi Baturaja
Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi
Ekuivalen Talangakar. Pengendapan formasi ini terdiri dari
batugamping, baik yang berupa paparan maupun ynag berkembang
sebagai reef build up menandai fase post rift yang secara regional
menutupi seluruh sedimen klastik. Formasi Ekuivalen Talangakar di
Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan batugamping terumbu
umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun, sekarang diketahui
sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada Kala Miosen Awal
sampai Miosen Tengah. Lingkungan pembentukan formasi ini adalah
pada kondisi laut dangkal.
e. Formasi Cibulakan Atas
Formasi ini dibagi menjadi dua anggota, yaitu anggota
Cibulakan Atas dan anggota Cibulakan Bawah. Pembagian anggota ini
didasarkan pada perbedaan lingkungan pengendapan, dimana anggota
Cibulakan Bawah merupakan endapan transisi (paralik) sedangkan
anggota Cibulakan Atas merupakan endapan neritik.
10
Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi tiga anggota, yaitu:
Massive
Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Ekuivalen
Formasi Baturaja. Litologi anggota ini adalah perselingan
batulempung dengan batupasir yang mempunyai ukuran butir dari
halus hingga sedang. Pada massive ini dijumpai kandungan
hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu terdapat fosil
foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus, foraminifera
bentonik seperti Amphistegine.
Main
Anggota main terendapkan secara selaras diatas anggota massive.
Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan
batupasir yang mempunyai ukuran butir halus hingga sedang. Pada
awal pembentukannya, berkembang batugamping dan juga
blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini dibedakan dengan
anggota Main itu sendiri yang disebut Mid Main Carbonate.
Pre Parigi
Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas Anggota
Main. Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit,
batupasir dan batulanau. Anggota ini terbentuk pada kala Miosen
Tengah- Miosen Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik
Tengah- Neritik Dalam, dengan dijumpainya fauna-fauna laut
dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonitan.
Anggota Cibulakan Bawah dibedakan menjadi dua bagian yaitu
Formasi Talangakar dan Formasi Baturaja (di ekuivalenkan) hal ini
sesuai dengan korelasi yang dilakukan terhadap Cekungan Sumatra
Selatan. Formasi ini berumur Miosen Awal sampai Miosen Akhir.
11
f. Formasi Parigi
Formasi ini diendapkan di atas Formasi Cibulakan secara selaras
dan terdiri dari batugamping yang merupakan zona penghasil
hidrokarbon, dengan ciri umum berupa batugamping terumbu. Di
beberapa tempat dijumpai batugamping dolomitan. Ketebalan formasi
ini kurang lebih 27–450 meter dengan umur Miosen Tengah–Miosen
Akhir (N9 – N18).
g. Formasi Cisubuh
Di atas Formasi Parigi diendapkan secara selaras Formasi
Cisubuh yang terdiri dari batulempung dengan sisipan batupasir tipis di
bagian bawah dan batulempung massif di bagian atasnya. Batuan
utamanya terdiri dari selang-seling serpih dan lempung dengan sisipan
batupasir dan batubara. Formasi ini berumur Miosen Akhir (N18).
h. Alluvial
Di atas Formasi Cisubuh diendapkan secara tidak selaras
alluvial yang umumnya berasal dari endapan volkanik muda dengan
butiran berukuran pasir, lempung dan gravel. Endapan ini berumur
Pleistosen hingga Resen (N22 – N23).
12
Gambar II. 4 Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Pertamina DOH
JBB, 2000).
II.1.3 Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara
Periode awal sedimentasi di Cekungan Jawa Barat Utara dimulai
pada kala Eosen Tengah – Oligosen Awal (fase Transgresi) yang
menghasilkan sedimentasi vulkanik darat – laut dangkal dari Formasi
Jatibarang. Pada saat itu aktifitas vulkanisme meningkat. Hal ini
berhubungan dengan interaksi antar lempeng di sebelah selatan Pulau Jawa,
akibatnya daerah-daerah yang masih labil sering mengalami aktivitas
tektonik.
Periode selanjutnya merupakan fase transgresi yang berlangsung
pada kala Oligosen Akhir – Miosen Awal yang menghasilkan sedimen
trangresif transisi – deltaik hingga laut dangkal yang setara dengan Formasi
13
Talang Akar pada awal permulaan periode. Daerah cekungan terdiri dari 2
lingkungan yang berbeda yaitu bagian barat paralic sedangkan bagian timur
merupakan laut dangkal. Selanjutnya aktifitas vulkanik semakin berkurang
sehingga daerah-daerah menjadi agak stabil, tetapi anak cekungan Ciputat
masih aktif. Kemudian air laut menggenangi daratan yang berlangsung
pada kala Miosen Awal mulai dari bagian barat laut terus ke arah tenggara
menggenangi beberapa tinggian kecuali tinggian Tangerang. Dari tinggian-
tinggian ini sedimen-sedimen klastik yang dihasilkan setara dengan formasi
Talang Akar.
Pada Akhir Miosen Awal daerah cekungan relatife stabil, dan
daerah Pamanukan sebelah barat merupakan platform yang dangkal,
dimana karbonat berkembang baik sehingga membentuk setara dengan
formasi Baturaja, sedangkan bagian timur merupakan dasar yang lebih
dalam. Pada kala Miosen Tengah yang merupakan fase regresi, Cekungan
Jawa Barat Utara diendapkan sedimen-sedimen laut dangkal dari Formasi
Cibulakan Atas. Sumber sedimen yang utama dari Formasi Cibulakan Atas
diperkirakan berasal dari arah utara – barat laut. Pada akhir Miosen Tengah
kembali menjauhi kawasan yang stabil, batugamping berkembang dengan
baik. Perkembangan yang baik ini dikarenakan aktivitas tektonik yang
sangat lemah dan lingkungan berupa laut dangkal.
Kala Miosen Akhir – Pliosen ( fase regresi ) merupakan fase
pembentukan Formasi Parigi dan Cisubuh. Kondisi daerah cekungan
mengalami sedikit perubahan dimana kondisi laut semakin berkurang
masuk kedalam lingkungan paralik.
Pada Kala Pleistosen – Aluvium ditandai untuk pengangkatan
sumbu utama Jawa. Pengangkatan ini juga diikuti oleh aktivitas vulkanisme
yang meningkat dan juga diikuti pembentukan struktur utama Pulau Jawa.
Pengangkatan sumbu utama Jawa tersebut berakhir secara tiba-tiba
sehingga mempengaruhi kondisi laut. Butiran-butiran kasar diendapkan
secara tidak selaras diatas Formasi Cisubuh.
14
II.1.4 Petroleoum Sistem Cekungan Jawa Barat Utara
Hampir seluruh formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat menghasilkan
hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari lingkungan
pengendapan maupun porositas batuannya.
a. Tipe Cebakan (Trap)
Tipe cebakan di semua sistem petroleum Jawa Barat Utara
hampir sama, hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan
sedimen sepanjang batas selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur
geologi dan mekanisme cebakan yang hampir sama. Bentuk utama
struktur geologi adalah dome anticlinal yang lebar dan cebakan dari
blok sesar yang miring. Pada beberapa daerah reservoar reefal built-up,
perangkap stratigrafi juga berperan. Perangkap stratigrafi yang
berkembang umumnya dikarenakan terbatasnya penyebaran
batugamping dan perbedaan fasies.
b. Batuan Reservoir
Semua formasi dari Formasi Jatibarang sampai Formasi Parigi
merupakan interval dengan sifat fisik reservoir yang baik. Minyak
diproduksi dari rekahan volcanoclastic dari Formasi Jatibarang (Amril,
et all, 1991). Pada daerah dimana batugamping Formasi Baturaja
mempunyai porositas yang baik kemungkinan menghasilkan akumulasi
endapan yang agak besar. Timbunan pasokan sedimen dan laju
sedimentasi yang tinggi pada daerah shelf, diidentifikasikan dari
clinoforms yang menunjukkan adanya progradasi. Pemasukan sedimen
ini disebabkan oleh pembauran ketidakstabilan tektonik yang
merupakan akibat dari subsidence yang terus menerus pada daerah
foreland dari Lempeng Sunda (Hamilton, 1979). Pertambahan yang
cepat dalam sedimen klastik dan laju subsidence pada Miosen Awal
diinterpretasikan sebagai akibat dari perhentian deposisi Batugamping
Baturaja. Ketebalan seluruh sedimen bertambah dari 400 feet pada
daerah yang berdekatan dengan paleoshoreline menjadi lebih dari 5000
feet pada subcekungan Ardjuna (Noble, dkk, 1997).
c. Lapisan Penutup (Seal)
15
Lapisan penutup atau lapisan tudung merupakan lapisan
impermeabel yang dapat menghambat atau menutup jalannya
hidrokarbon. Lapisan ini juga biasa disetarakan dengan lapisan
overburden. Litologi yang sangat baik adalah batulempung dan batuan
evaporit. Pada Cekungan Jawa Barat Utara, hampir setiap formasi
memiliki lapisan penutup yang efektif. Namun formasi yang bertindak
sebagai lapisan pentup utama adalah Formasi Cisubuh, karena formasi
ini memiliki litologi yang baik atau impermeabel.
d. Batuan Induk (Source Rock)
Pada Cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama
batuan induk, yaitu lacustrine shale (oil prone), fluvio deltaic coals,
fluvio deltaic shales (oil dan gas prone) dan marine claystone
(bacterial gas) (Noble, dkk, 1997). Studi geokimia dari minyak mentah
yang ditemukan di Pulau Jawa dan lapangan lepas Pantai Ardjuna
menunjukkan bahwa fluvio deltaic coals dan serpih dari Formasi
Talang Akar bagian atas berperan dalam pembentukan batuan induk
yang utama. Beberapa peran serta dari lacustrine shales juga ada
terutama pada Subcekungan Jatibarang. Kematangan batuan induk di
Cekungan Jawa Barat Utara ditentukan oleh analisa batas kedalaman
minyak dan kematangan batuan induk pada Puncak Gunung Jatibarang
atau dasar / puncak dari Formasi Talang Akar atau bagian bawah
Formasi Baturaja.
.Lacustrin Shale
Lacustrin Shale terbentuk pada suatu periode syn rift dan
berkembang dalam dua macam fasies yang kaya material organik.
Fasies pertama adalah fasies yang berkembang selama initial-rift
fill. Fasies ini berkembang pada Formasi Banuwati dan ekuivalen
Formasi Jatibarang sebagai lacustrine clastic dan vulkanik klastik
(Noble, et all, 1997). Fasies kedua adalah fasies yang terbentuk
selama akhir syn rift dan berkembang pada bagian bawah ekuivalen
Formasi Talang Akar Pada formasi ini batuan induk dicirikan oleh
16
klastika non marin berukuran kasar dan interbedded antara
batupasir dengan lacustrine shale.
Fluvio Deltaic Coal & Shale
Batuan induk ini dihasilkan oleh ekuivalen Formasi Talang
Akar yang diendapkan selama post rift sag. Fasies ini dicirikan
oleh coal bearing sediment yang terbentuk pada sistem fluvial
pada Oligosen Akhir. Batuan induk tipe ini menghasilkan
minyak dan gas (Noble, et all, 1991).
Marine Lacustrine
Batuan induk ini dihasilkan oleh Formasi Parigi dan Cisubuh
pada cekungan laut. Batuan induk ini dicirikan oleh proses
methanogenic bacteria yang menyebabkan degradasi material
organik pada lingkungan laut.
e. Jalur Migrasi
Migrasi hidrokarbon terbagi menjadi tiga, yaitu migrasi primer,
sekunder dan tersier. Migrasi primer adalah perpindahan minyak bumi
dari batuan induk dan masuk ke dalam reservoir melalui lapisan
penyalur (Koesoemadinata, 1978). Migrasi sekunder dapat dianggap
sebagai pergerakan fluida dalam batuan penyalur menuju trap. Migrasi
tersier adalah pergerakan minyak dan gas bumi setelah pembentukan
akumulasi yang nyata.
Jalur untuk perpindahan hidrokarbon mungkin terjadi dari jalur
keluar yang lateral dan atau vertikal dari cekungan awal. Migrasi lateral
mengambil tempat di dalam unit-unit lapisan dengan permeabilitas
horizontal yang baik, sedangkan migrasi vertikal terjadi ketika migrasi
yang utama dan langsung yang tegak menuju lateral. Jalur migrasi
lateral berciri tetap dari unit-unit permeabel. Pada Cekungan Jawa
Barat Utara, saluran utama untuk migrasi lateral lebih banyak berupa
celah batupasir yang mempunyai arah utara-selatan dari Anggota Main
maupun Massive (Formasi Cibulakan Atas). Sesar menjadi saluran
utama untuk migrasi vertikal dengan transportasi yang cepat dari cairan
17
yang bersamaan dengan waktu periode tektonik aktif dan pergerakan
sesar (Noble, dkk, 1997).
Gambar II. 5 Hydrocarbon Play Cekungan Jawa Barat Utara
II.2 Geologi Daerah Telitian
II.2.1 Stratigrafi Daerah Telitian
Stratigrafi daerah penelitian perkembangannya sangat dipengaruhi
oleh tatanan tektonik Cekungan Jawa Barat Utara. Sumur AY-01
menembus Formasi Cisubuh, Formasi Parigi, Formasi Cibulakan dan
Formasi Jatibarang, Stratigrafi daerah telitian dari tua ke muda adalah :
a. Formasi Jatibarang
Formasi ini berumur Eosen-Oligosen, litologi penyusunnya
terdiri dari tuff pasiran, aglomerat, breksi, basalt, dan andesit. Formasi
ini terletak di atas bidang ketidakselarasan batuan dasar yang terdiri dari
batuan beku, batuan metamorf, dan batuan piroklastik.
18
b. Lower Cibulakan
Formasi Talang Akar
Formasi ini berumur Oligosen Akhir–Miosen Awal dengan litologi
terdiri dari perselingan batupasir, shale, batubara, dan sisipan
batugamping.
Formasi Baturaja
Formasi ini berumur Miosen Awal yang tersusun atas litologi yang
didominasi batugamping klastik yang berangsur-angsur menjadi
batugamping terumbu. Formasi ini memiliki ketebalan maksimal
sekitar 640 meter.
c. Upper Cibulakan
Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi tiga Anggota, yaitu:
Massive, Main, dan Pre-Parigi. Formasi ini berumur Miosen Tengah
dengan litologi penyusunnya adalah perselingan shale, batupasir, dan
batugamping.
d. Formasi Parigi
Penyusun utama Formasi ini perselingan antara batugamping
dengan serpih dan batupasir klastik. Litologi penyusun bag atas adalah:
batugamping, wackstone, dengan porositas jelek, putih keabuan.
Litologi bagian bawah disusun oleh : serpih dan batulempung dengan
batugamping klastik.
e. Formasi Cisubuh
Pada formasi ini didominasi oleh gravel dengan perselingan
batupasir pada bagian atas, dan didominasi oleh perselingan
batulempung pada bagian bawah Formasi yang menjadi target utama
dalam penelitian yang berlokasi di lapangan PHI adalah Formasi
Cibulakan Atas, dimana tersusun atas perselingan shale, batupasir, dan
batugamping.
19
II. 3 Penelitian Terdahulu
“Studi Penyebaran Reservoar Gas pada Batuan Karbonat Menggunakan
Analisa Inversi Lamda*Rho dan Mu*Rho di Lapangan Lintang Cekungan Jawa
Barat Utara” dilakukan oleh Rorie Aska (2008). Metode inversi Lamda*Rho dan
Mu*Rho diterapkan untuk mengidentifikasi reservoir gas lapisan F6 formasi
Cibulakan atas dengan litologi batu gamping. Lamda – Mu – Rho
(LMR)merupakan metode yang baik dalam mendiskriminasi litologi dan
kandungan fluida. Parameter Mu*rho (μρ), yang berkaitan dengan rigiditas
batuan, memberikan informasi mengenai litologi, dapat digunakan dalam
membedakan litologi antara batupasir(sand), batulempung(shale), batubara (coal)
dan batugamping (limestone). Dilain sisi, parameter Lamda*rho (λρ), yang
merepresentasikan sifat inkompresibilitas batuan, sensitif terhadap kandungan
fluida, karena itu parameter Lamda*rho (λρ)dapat digunakan untuk membedakan
kandungan fluida, terutama gas.
Inversi AVO dilakukan untuk mendapatkan atribut Sign(NI)*gradient
yang digunakan sebagai indikator hidrokarbon dan reflektivitas Lambda*Rho
serta reflektivitas Mu*Rho yang digunakan untuk proses inversi amplitudo.
Inversi amplitudo untuk mendapatkan parameter Lamda*Rho dan Mu*Rho
dilakukan dengan menggunakan metode inversi Sparse spike.
Hasil analisa map horizon pada F6 atribut inversi AVO mampu
memprediksi penyebaran reservoir gas secara lateral dengan nilai atribut
Sign(NI)*gradient negatif. Sedangkan hasil map horizon F6 Lamda*Rho dapat
memetakan penyebaran fluida dengan nilai 15 – 25 GPa gr/cc. Nilai rigiditas
reservoir berdasarkan penampang map horizon F6 Mu*Rho mempunyai nilai > 6
GPa gr/cc. Untuk mengetahui penyebaran litologi dan fluida secara lateral
dilakukan pemetaan parameter Mu*rho dan Lamda*Rho, dengan cara melakukan
penyayatan pada horizon target (horizon slicing). Diperoleh bahwa penyebaran
batugamping (limestone) berarah dari tenggara ke barat laut.
20