Gastroparesis Final!! (1)

69
REFERAT GASTROPARESIS DIABETIKA Oleh: Rani Tiyas Budiyanti G0006020 Muhammad Rasyid G0006111 Astrid Kusuma W G0007005 Annisa Nur Fadillah G0007187 Fathin Karimah G0007504 Pembimbing : Dr.TY.Pramana, SpPD-KGEH.FINASIM KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

Transcript of Gastroparesis Final!! (1)

Page 1: Gastroparesis Final!! (1)

REFERAT

GASTROPARESIS DIABETIKA

Oleh:

Rani Tiyas Budiyanti G0006020

Muhammad Rasyid G0006111

Astrid Kusuma W G0007005

Annisa Nur Fadillah G0007187

Fathin Karimah G0007504

Pembimbing :

Dr.TY.Pramana, SpPD-KGEH.FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2012

Page 2: Gastroparesis Final!! (1)

HALAMAN PENGESAHAN

Refrat Ilmu Penyakit Dalam

dengan judul :

GASTROPARESIS DIABETIKA

Oleh:

Rani Tiyas Budiyanti G0006020

Muhammad Rasyid G0006111

Astrid Kusuma W G0007005

Annisa Nur Fadillah G0007187

Fathin Karimah G0007504

Tahun 2012

Telah di sahkan pada hari , tanggal Maret 2012

Pembimbing

Dr.TY.Pramana, SpPD-KGEH.FINASIM

2

Page 3: Gastroparesis Final!! (1)

DAFTAR ISI

A. PENDAHULUAN ........................................................................................... 5

B. ANATOMI, HISTOLOGI DAN FISIOLOGI LAMBUNG

1. ANATOMI LAMBUNG

a. Bagian dan batas-batas lambung ........................................................... 6

b. Vaskularisasi Lambung ......................................................................... 9

c. Sistem limfatik lambung ...................................................................... 10

d. Persyarafan Lambung ......................................................................... 11

2. HISTOLOGI LAMBUNG

a. Mukosa .......................................................................................... 13

b. Submukosa .................................................................................... 14

c. Muscularis eksterna ...................................................................... 14

d. Serosa atau Peritoneum ................................................................. 15

3. FISIOLOGI LAMBUNG

a. Peranan Sel Interstisial Cajal (ICCs) ........................................... 16

b. Regulasi Hormonal pada Pergerakan Gastrointestinal ............... 17

c. Fisiologi pengosongan lambung ................................................. 22

C. GASTROPARESIS DIABETIKA

1. DEFINISI ......................................................................................... 26

2. EPIDEMIOLOGI ............................................................................. 27

3. PATOFISIOLOGI ............................................................................. 27

4. PENEGAKKAN DIAGNOSA ......................................................... 29

5. DIAGNOSIS BANDING ................................................................. 33

6. KOMPLIKASI ............................................................................... 34

7. PENATALAKSANAAN .................................................................. 34

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 43

3

Page 4: Gastroparesis Final!! (1)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagian-bagian lambung ....................................................................... 7

Gambar 2. Batas-batas Lambung ........................................................................... 9

Gambar 3. Sistem Saraf Otonom ........................................................................ 12

Gambar 4. Lapisan Mukosa Lambung ................................................................ 13

Gambar 5. Gambar 5. Efek GLP-1 pada Tubuh Manusia ................................... 20

Gambar 6. Proses Pengosongan Lambung .......................................................... 22

Gambar 7. Patogenesis gastroparesis diabetikum ............................................... 29

Gambar 8. Aktivitas Myoelektrik Gaster ........................................................... 31

Gambar 9. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy ................................. 32

Gambar 10. Algoritme Penatalaksanaan Gastroparesis Diabetika ...................... 35

4

Page 5: Gastroparesis Final!! (1)

GASTROPARESIS DIABETIKA

A. PENDAHULUAN

Diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang dapat

mengakibatkan disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran cerna

ternyata merupakan masalah yang sering ditemui pada penderita-penderita

disbetes mellitus lanjut, dimana hal ini sebagian disangkakan berkaitan

dengan terjadinya disfungsi neurogenik dari saluran cerna tersebut.

Sering terjdi penderita diabetes mellitus mengeluhkan gejala

gangguan saluran cerna atas tanpa sebab yang jelas. Penderita seperti ini

bila dilakukan uji tertentu dapat menunjukkan adanya keterlambatan

pengosongan lambung, keadaan seperti ini dinamai gastroparesis diabetika.

Gastroparesis diabetika merupakan komplikasi dari diabetes mellitus yang

kini semakin dikenal.

Gastroparesis diabetika adalah suatu kelainan motilitas lambung yang

terjadi pada penderita diabetes yang dapat dimanisfestasikan oleh berbagai

macam gejala serta dijumpainya kelainan pada uji pengosongan lambung.

Istilah “gastroparesis diabeticorum” pertama sekali digunakan oleh Kassender

terhadap keadaan retensi lambung yang dijumpai pada penderita diabetes

mellitus yang asimptomatik. Gastroparesis diabetika dapat terjadi pada

penderita IDDM maupun NIDDM. Diperkirakan keterlambatan waktu

pengosongan lambung dijumpai pada sekitar 50% penderita IDDM maupun

NIDDM.

Selain dapat menimbulkan keluhan yang terkadang sampai berlarut-

larut dan sulit diatasi, Gastroparesis diabetika juga dapat menyulitkan

pengendalian gula darah. Namun dengan ditemukannya berbagai macam obat

gastrokinetik maka pengelolaan gastroparesis menjadi lebih efektif. Tulisan ini

bertujuan untuk memaparkan lebih lanjut mengenai gastroparesis diabetika dan

penanganannya.

5

Page 6: Gastroparesis Final!! (1)

B. ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI LAMBUNG

1. ANATOMI LAMBUNG

a. Bagian dan batas-batas lambung

Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang melebar dan

mempunyai 3 fungsi utama :

Menyimpan makanan; pada orang dewasa, lambung mempunyai

kapasitas sekitar 1500 ml.

Mencampur makanan dengan getah lambung untuk membentuk

kimus y/ang setengah padat.

Mengatur kecepatan pengiriman kimus ke usus halus sehingga

pencernaan dan absorpsi yang efisien dapat berlangsung.

Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio

hipochondrium kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis.

Sebagian besar lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah. Secara

kasar lambung berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium

cardiacum dan ostium pyloricum, dua curvatura yang dikenal sebagai

curvatura major dan minor, dan dua permukaan anterior dan posterior.

Lambung relatif terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi diantara ujung-

ujung tersebut sangat mobile. Lambung cenderung terletak tinggi dan

transversal pada orang yang pendek dan gemuk (lambung steer-horn)

dan memanjang secara vertikal pada orang yang tinggi dan kurus

(lambung berbentuk huruf J). Bentuk lambung sangat berbeda-beda

pada orang yang sama tergantung pada volume isinya, posisi tubuh dan

fase pernafasan.

Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :

Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di

sebelah kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh

gas.

6

Page 7: Gastroparesis Final!! (1)

Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura

angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah

curvatura minor.

Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk

lambung. Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter

pyloricum. Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.

Gambar 1. Bagian-bagian lambung

Pada lambung, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir

kanan lambung dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus.

Omentum minus terbentang dari curvatura minor sampai hati. Curvatura

major jauh lebih panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri

ostium cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian mengitarinya dan

menuju ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum (omentum)

gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan

omentum majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon

transversum.

7

Page 8: Gastroparesis Final!! (1)

Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian

abdomen masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter,

diduga bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi

lambung ke oesophagus.

Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang panjangnya

sekitar 2,5 cm. Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih tebal di sini

dan secara anatomis dan fisiologi membentuk sphincter pyloricum. Pylorus

terletak pada bagian transpilorica dan posisinya dapat dikenali dengan

adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung. Sphincter pyloricum

mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke duodenum.

Membran mukosa adalah tebal dan banyak pembuluh darah dan terdiri

atas banyak lipatan atau rugae yang terutama longitudinal arahnya. Lipatan

memendek bila lambung teregang.

Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular

dan serabut obliq. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling

banyak sepanjang curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi

fundus lambung dan sangat menebal pada pylorus untuk membentuk

sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang sekali ditemukan pada daerah

fundus. Serabut obliq membentuk lapisan otot yang paling dalam. Serabut

ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan

posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi

lambung secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda

yang dikenal sebagai omentum.

Batas-batas lambung :

Anterior

Dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma

dan lobus kiri hepar.

Posterior

Bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal

kiri, A.lienalis, pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.

8

Page 9: Gastroparesis Final!! (1)

Gambar 2. Batas-batas Lambung

b. Vaskularisasi Lambung

1. Pembuluh Arteri

A.gastrica sinistra, berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas

dan kiri untuk mencapai oesophagus dan kemudian berjalan turun

sepanjang curvatura minor lambung. Ia memperdarahi sepertiga bawah

oesophagus dan bagian kanan atas lambung.

A.gastrica dextra, berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus

dan berjalan ke kiri sepanjang curvatura minor. Ia memperdarahi bagian

kanan bawah lambung.

A.gastrica brevis, berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan

berjalan ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi

fundus.

A.gastroepiploica sinistra, berasal dari A.lienalis pada hillus

limfa dan berjalan ke depan dalam ligamentum gastrolienalis untuk

memperdarahi lambung sepanjang bagian atas curvatura major.

9

Page 10: Gastroparesis Final!! (1)

A.gastroepiploida dextra, berasal dari A.gastroduodenalis yang

merupakan cabang dari A.hepatica. Ia berjalan ke kiri dan

memperdarahi lambung sepanjang bagian bawah curvatura major.

2. Pembuluh Vena

Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica

sinistra dan dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica

brevis dan V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis.

V.gastroepiploica dextra bermuara dalam V.mesenterica superior.

c. Sistem limfatik lambung

Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe

sepenjang A.V.gastrica sinistra. Efferent kelenjar limfe ini berjalan ke

nodulus lymphaticus coelica, yang terletak disekitar pangkal A.coelica.

Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe

sepanjang A.V.gastrica dextra. Efferent dari kelenjar limfe ini berjalan

sepanjang A.hepatica dan kemudian masuk ke nodus lymphaticus

coelica.

Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe

sepanjang A.gastrica brevis dan A.gastroepiploica sinistra dan

kemudian memasukkan cairan limfe ke kelenjar limfe pada hillus limfa.

Dari sini pembuluh limfe ini berjalan ke nodus lymphaticus

pancreticolienalis yang terletak sepanjang A.lienalis, yang selanjutnya

mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphatici coelica.

Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphaticus

gastroepiploica dextra, yang terletak sepanjang bagian bawah curvatura

major lambung. Pembuluh limfe efferent bermuara pada kelenjar limfe

yang terletak sepanjang A.gastroduodenalis, yang selanjutnya

mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphaticus coelica.

10

Page 11: Gastroparesis Final!! (1)

d. Persyarafan pada lambung

Lambung dan usus diinervasi oleh enteric nervus system ( ENS)

yang terdistribusi diantara dinding otot polos seperti nervus otonom, baik

parasimpatis ( terbanyak nervus vagus) maupun simpatis.

Inervasi intrinsik

Traktus gastrointestinal dapat melakukan fungsi motorik tanpa

adanya pengaruh atau input dari sistem saraf pusat, tetapi melalui ENS.

ENS terdistribusi sepanjang usus berupa plexus mienterykus yang terletak

antara lapisan sirkuler dan longitudinal otot, dan plexus submucosa yang

terletak antara lapisan sirkuler otot dengan lapisan muskularis mukosa.

Plexus mienterykus lebih dominan terdapat di lambung dan plexus

submukosa dominan di usus halus dan usus besar ( Scheman er al, 2001),

Neuron yang termasuk dalam ENS diantaranya adalah neuron primer

aferen intrinsik, interneuron, neuron motorik eksitator atau inhibitor,

vasomotor, dan secretomotor ( Di Nardo, et al, 2008). Neuron primer

aferen intrinsik sensitif terhadap stimulus kimiawi dan perubahan mekanik

seperti distensi. Interneuron menghubungkan neuron primer aferen

intrinsik dengan motor neuron eksitator maupun inhibitor. Neuron

eksitattor akan menggunakan asetilkolin, takiin, dan substansi P untuk

neurotransmisi, dimana transmisinya dapat dihambat oleh polipeptida

vasoaktif intestinal dan nitrit oxid.

Inervasi extrinsik

Traktus gastrointestinal diinervasi oleh sistem saraf otonom yaitu

parasimpatis dan simpatis. Inervasi parasimpatis berasal nucleus motoris

dorsalis n.X (DMV) di medulla spinalis (Travagli et al, 2006), sedangkan

simpatis berasal dari ganglia paravertebralis ( Furness, 2006).

Pergerakkan gaster terutama dikontrol oleh nervus vagus, yang merupakan

gabungan dari nervus sensorik dan motorik, Axon sensoris n. Vagus akan

11

Page 12: Gastroparesis Final!! (1)

menerima input aferen dari reseptor gastrointestinal kemudian

memproyeksikannya ke nucleus traktus solitarius ( Chang et al, 2003).

Gambar 3. Sistem Saraf Otonom

Neuron NTS akan mengaktifkan vagal motor neuron pada nucleus

ambiguus (NA) dan nucleus dorsomedial (DMN) untuk mengatur

kontraksi dari otot lambung dan duodenym yang dikenal dengan

vagovagal reflek ( Broussard and Altschuler, 2000)

12

Page 13: Gastroparesis Final!! (1)

2. HISTOLOGI LAMBUNG

Gambar 4. Lapisan Mukosa Lambung

Dinding lambung terdiri atas 4 lapisan, yaitu :

a. Mukosa

Mukosa merupakan lapisan tebal dengan permukaan halus dan

licin yangkebanyakan berwarna coklat kemerahan namun berwarna

pink di daerah pylorik. Pada lambung yang berkontraksi, mukosa

terlipat menjadi beberapa lipatan rugae, kebanyakan berorientasi

longitudinal. Rugae ini kebanyakan ditemukan mulai dari pinggir

daerah pyloric hingga kurvatur mayor. Rugae ini merupakan lipatan-

lipatan besar pada jaringan konektif submukosa dan bukan variasi

ketabalan mukosa yang menutupinya, dan rugae ini akan menghilang

jika lambung mengalami distensi.Seperti pada semua saluran cerna

lainnya, mukosa ini tersusun oleh epitel permukaan, lamina propria, dan

mukosa muskuler. Pemeriksaan mikroskopis dari mukosa

menampakkan lapisan epitel kolumna yang sederhana (sel permukaan

mukosa) mengandung banyak lubang sempit yang memanjang sampai

lamina propria yang disebut gastric pits. Pada bagian bawah lubang

adalah mulut atau lubang dari kelenjar lambung (gastric glands).

13

Page 14: Gastroparesis Final!! (1)

Lamina propria

Lamina propria membentuk kerangka jaringan konektif antara

kelenjar dan mengandung jaringan lymphoid yang terkumpul dalam

massa kecil folikel lymphatic gastrik yang membentuk folikel intestinal

soliter (terutama pada masa awal kehidupan). Lamina propria juga

memiliki suatu pleksus vaskuler periglanduler yang kompleks, yang

diperkirakan berperan penting dalam menjaga lingkungan mukosa,

termasuk membuang bikarbonat yang diproduksi pada jaringan sebagai

pengimbang sekresi asam. Pleksus neural juga ditemukan dan

mengandung ujung saraf motorik dan sensorik.

Mucosa Muskularis

Mukosa muskularis merupakan lapisan tipis dari serat otot halus

yang terdapat pada bagian eksternal dari kelenjar. Serat muskular ini

teratur dalam bentuk sirkuler di dalam, lapisan longitudinal di bagian

luar, terdapat pula lapisan sirkuler diskontinu bagian luar. Lapisan

dalam mengandung jelujur sel otot polos terletak di antara kelenjar dan

kontraksinya kemungkinan membantu dalam mengosongkan foveola

gastrik.

b. Submukosa

Submukosa merupakan lapisan bervariabel dari jaringan konektif

yang terdiri dari bundel kolagen tebal, beberapa serat elastin, pembuluh

darah, dan pleksus saraf, termasuk pleksus submukosa berganglion

(Meissner's) pada lambung.

c. Muscularis eksterna

Muscularis eksterna merupakan selaput otot tebal berada tepat

dibawah serosa, dimana keduanya terhubung melalui jaringan konektif

subserosa longgar. Dari lapisan terdalam keluar, jaringan ini memiliki

lapisan serat otot oblique, sirkuler, dan longitudinal, walaupun celah

antara tiap lapisan tidak berbeda satu sama lain. Lapisan sirkuler kurang

14

Page 15: Gastroparesis Final!! (1)

begiru berkembang pada bagian oesofagus namun semakin menebal

pada distal antrum pyloric untuk kemudian membentuk sphincter

pyloric annular. Lapisan longitudinal luar kebanyakan terdapat pada 2/3

bagian cranial lambung dan lapisan oblique dalam pada setengah bagian

bawah lambung. Kerja dari muskularis eksterna ini adalah

menghasilkan pergerakan adukan yang mencampur makanan dengan

produk sekresi lambung. Ketika otot berkontraksi, volume lambung

akan berkurang dan menggerakkan mukosa menjadi lipatan longitudinal

atau rugae (lihat atas). Rugae ini akan datar kembali dan menghilang

ketika lambung penuh akan makanan dan muskulatur berelaksasi dan

menipis. Aktivitas otot diatur oleh jaringan saraf autonom yang tidak

bermyelin, yang terdapat pada lapisan otot dalam plexus myenterik

(Auerbach's)

d. Serosa atau Peritoneum

Serosa merupakan perpanjangan dari peritoneum visceral

yang menutupi keseluruhan permukaan pada lambung kecuali

sepanjang kurvatura mayor dan minor pada pertautan omentum mayor

dan minor, dimana lapisan peritoneum meninggalkan suatu ruang

untuk saraf dan vaskler. Serosa juga tidak ditemukan pada bagian

kecil di posteroinferior dekat dengan orificium kardiak dimana

lambung berkontak dengan diafragma pada refleksi gastrophrenik dan

lipatan gastropancreatik. Serosa mengandung banyak lemak apabila

umur bertambah. Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai

saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan

dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mempercabangkan

ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka. Persarafan simpatis adalah

melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-serabut

aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh peregangan,

dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut aferen simpatis

menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus saraf mesentrikus

15

Page 16: Gastroparesis Final!! (1)

(auerbach)dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsik

dinding lambung dan mengkordinasi aktivitas motorik dan sekresi

mukosa lambung.Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat

hati, empedu, dan limpa)terutama berasal dari daerah arteri seliaka

atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang

mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang

penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri pankreas

tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus

posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum dapat

mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah vena dari

lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas, limpa, dan

bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena porta.

3. FISIOLOGI LAMBUNG

a. Peranan Sel Interstisial Cajal (ICCs)

Tanpa pengaruh hormonal maupun neural , sebagian besar daerah

pada traktus gastrointestinal akan menimbukan aktivitas dan mekanisme

elektrik. Aktivitas elektrik verasal dari sekumpulan sel yang disebut

dengan sel interstisal Cajal ( ICCs) yang terletak di lapisan submukosa,

intramuskular, dan intermuskular dari traktus gastrointestinal ( Ordog,

2008). Sel-sel ini akan menimbulkan mekanisme elektrik berupa

gelombang lambat atau ” slow waves’ dan kemudian mengkoordinir input

dari sistem saraf otonom untuk memacu sel otot polos ( Ordog, 2008).

ICCs terletak diabtara lapusan otot longitudinal dan sirkular dari plexus

mienterikus ( ICC-MY) ( Ward and Sander, 2006) yang penting untuk

memaksimalkan frekuensi dari fase kontraksi. ICC-IM erletak diantara

sel otot polos sirkular dan longitudinal dari lambung yang bertanggung

jawab untuk melakukan komunikasi langsung dengan akhir nervus enterik

( Ward and Sander, 2006). ICC- SEP terletak antara otot, yang akan

mentransmisikan depolarisasi antar serabut otot. Pada usus manusia, ICCs

16

Page 17: Gastroparesis Final!! (1)

sebagian besar terletak dalam lapisan sirkuler yang membentuk plexus

muskularis profunda ( ICC-DMP). ICC-DMP pada usus mempunyai

peranan yang sama dengan ICC-IM yang terdapat di lambung ( Ward and

Sanders, 2006)

b. Regulasi Hormonal pada Pergerakan Gastrointestinal

Sekresi dari hormon yaitu GLP-1, CCK, dan PYY, sebagai

respon terhadap nutrisi yang diserap usus mempunyai peranan penting

dalam regulasi pengosongan usus, efek inhibitor pada pengosongan

lambung dimainkan oleh ectreotide, sebuah inhibitor dari sekresi hormon

peptida.

Diantara makrinutrien, pengosongan lemak berjalan lebih lambat

pada lambung, hal ini dikaenakan kepadatan energinya timggi. Efek dari

pengeluaran hormon akibat adanya lemak pada usus dipengaruhi oleh

pencernaan lemak ( Feinle et al, 2003). Dibandingkan dengan isokalorik

triasilglisero, efek asam lemak pada pengeluaran CCK dan PYY dan

pengosongan lambung lebih besar ( Little et al, 2007). Ketika inhibitor

lipase, tetrahidrolipstatin ( orlistat) masuk ke dalam duodenum bersama

lemak, maka akan muncul stimulasi gelombang tekanan fasik dan tonus

pilorus, yang akan mensupresi kontaksi antrum dan mengeluarkan hormon

kenyang dan hormon tersebut dieliminasi oleh lemak itu sendiri

( Pilichiewicz, 2003).

Bukanlah hal yang mengejutkan, jika pengeluaran GLP-1, CCK,

dan PYY menjadi berkurang karena orlistat, dan malabsorbsi lemak .

Peranan lipase pada permukaan tets lemak penting untuk memunculkan

penernaan lemak. Emulsi dari dari lemak dan tetesan berukuran kecil akan

memperbesar efek pengeluaran hormon dan nafsu makan daripada tetesan

lemak yang berukuran besar ( Seimon et al, 2009). Stimulasi CCK oleh

asam lemak juga tergantung pada ukuran rantai asam lemak. C10 dan C12

17

Page 18: Gastroparesis Final!! (1)

akan meningkatkan CCK plasma, tetapi c12 memberikan efek lebih besar.

C12 akan menstimulasi sekresi GLP-1, sedangkan c10 tidak. ( Feltrin et al,

2004).

Hal ini serupa untuk karbohidrat, absorbsi monosakarida pada

intestinal diyakini akan memicu pelepasan GLP-1 (Gribble, 2003) dan

menurunkan kecepatan pengosongan lambung.

Pemicu pelepasan hormon yang disebabkan oleh protein masih

belum jelas, tetapi ditunjukkan bahwa pepton dan asam amino tubggal

berpotensi merangsang sekresi CCK dan GLP-1 (Hira et al, 2009).

GLP-1

GLP-1 dilepaskan dari sel L, yang sebagian besar terletak di

ileum dan colon, meskipun juga ditemukan ditemukan di bagian proximal

duodenum dan jejunum ( Theodorakis et al, 2006). Konsentrasi GLP-1

pada plasma saat puasa adalah rendah ( 5-10 pmol/L), ketika berespon

terhadap makanan yang kaya akan lemak dan karbohidrat, jumlah GLP-1

akan meningkat hingga 5 kali . Konsentrasi puncak di sirkulasi ( 20

pmol/L) biasanya terjadi dalam 30-45 menit, dan kemudian kembali ke

konsentrasi basal dalam 2-3 jam. GLP-1 disinitesi sebagai asam amino

peptida 37 inaktif yang merupakan derivat dari prekusor proglukagon.

Waktu paruh dari GLP-1 singkat ( kurang dari 2 menit), karena

didegradasai oleh enzim dipeptidylpeptidase IV( DPP-IV). DPP IV juga

dikenal sebagai CD26 yang akan membelah dari dipeptida N-terminal

menjadi GLP-1 inaktif .DPP-IV terletak di berbagai organ seperti ginjal,

paru, kelenjar adrenal, hati, lien, pankreas, dan usus. Proporsi GLP-1

dalam jumlah banyak akan didegradasi oleh DPP-IV. sebelum memasuki

sirkulasi sistemik ( Deacon, 2005).

GLP-1 merupakan satu dari dua hormon inkretin, bersama dengan

glukosa tergantung polipeptida insulin (GIP). Insulinotropic efek dari

GLP-1 adalah ketergantungan glukas, melalui interaksi dengana reseptor

18

Page 19: Gastroparesis Final!! (1)

yang spesifik yang diekspresikan oleh membran sel B. Reseptor GLB-1

ditemukan di sel B dan D pankreas, sel parietal , pilorus, ajringan lemak,

paru, dan otak. Pada hewan, ketiadaan reseptor GLP-1 akan menghasilkan

intoleransi glukosa dan hiperglikemia saat puasa. GLP-1 akan

menstimulasi proliferasi sel B dan menginduksi neogenesis islet,

menghabat apoptosis, dan berperan dalam diferensiasi sel B baru dari

progenitor di epitel duktus prankreas. GLP-1 juga memacu diferensiasi sel

B, dari sel kelenjar eksokrin atau progenitor islet yang imatur. ( Drucker,

2003)

Pada orang yang sehat, GLP-1 akan mengurangi pelepasan

glukagon dari sel α pankreas ( Schirra et al, 2006) dan GLP-1 intravena

akan menurunkan sekresi glukagon pada pasien DM tipe 2. Seperti efek

insulinotropik dari GLP-1 , penghambatan glukagon dilakukan oleh

glukosa bebas. Hal ini tidak terjadi selama keadaan euglikemia, dan tidak

berefek selama keadaa hipoglikemia ( Nauck et al, 2002).

GLP-1 eksogen menurunkan gula darah puasa bahkan pada pasien

diabetes tipe 1, hal ini mengindikasikan bahwa efek insulinotropik GLP-1

sangat penting dalam glukoganostatik (Baggio and Drucker, 2007).

Diantara beberapa efek fisiologis dari GLP-1, efeknya pada

pengosongan lambung terjadi diluar efek insulinotropik untuk mengontrol

gula darah post prandial. Telah lama diketahui bahwa pelepasan GLP-1

akan menghambat efek sekressi dan motilitas gastrointestinal. Sebagai

sebuah enterogastron, GLP-1 akan menurunkan gastrin yang akan

menginduksi sekresi asam dan pankreatik sebaik kemampuannya dalam

menyebabkan pengosongan lambung. Aktivitas motorik dari GLP-1

diantaranya adalah relaksasi dari fundus, inhibisi dari kontraksi antrum dan

duodenum, serta stimulasi kontraksi fasik dan tonus dari pilorus, sebagai

respon dari masuknya nutrisi ke dalam duodenum ( Schirra et al, 2006).

Mekanisme peranan GLP-1 dalam motilitas lambung sangatlah komplek

19

Page 20: Gastroparesis Final!! (1)

dan sulit dimengerti. Pada hewan, hal tersebut ditunjukkan bahwa hal

tersebut tergantung kepada inervasi n. Vagus di lambung, sedangkan pada

manusia regulasi jalur kolinergik akan berefek pada GLP-1 endogen pada

fundus, tetapi mekanisme alternatif tampak pada efeknya terhadap

pergerakan di antrum dan pilorus ( Schirra et al, 2009). Pada tikus, aksi

GLP-1 eksogen pada pergerakan usus halus saat puasa dimediasi oleh

nitrit oksid.

Penemuan reseptor GLP-1 pada jantung dan pembuluh darah

tikus serta manusia baru0baru ini menyebabkan fokus pada efek GLP-1

pada sistem kardiovaskuler. ( Grieve et al, 2009). GLP-1 akan

meningkatkan tekanan darah sistolik dan diastolik .

Gambar 5. Efek GLP-1 pada Tubuh Manusia

CCK (kolesistokinin)

CCK disekeresikan oleh sel L pada duodenum dan jejunum

bagian atas, serta ditemukan di otak, Terdapat beberapa bentuk CCK

diantaranya adalah CCK-8, CCK-22, CCK-33, dan CCK-58 dimana CCK-

33 merupakan bentuk yang dominan pada pada plasma dan usus. Waktu

20

Page 21: Gastroparesis Final!! (1)

paruh dari CCK selama 1-2 menit. Pada orang yang sehat, konsentrasi

CCK puasa mengalami peningkatan dari 1 pmol/L hingga 5-10pmol/L

ketika seseorang makan, waktu puncaknya kurang lebih 30 menit dan

kembali ke kadar puasa setelah 3-5 jam ( Moran and Kinzig, 2004).

Protein dan lemak merangsang kuat skresi dari CCK, sedangkan

karobohidrat hanya memberikan sedikit rangsangan.

Lemak oada usus halus mempunyai aksi dalam memperlambat

pengosongan lambung pada manusia yang diregulasi secara dominan oleh

CCK melalui reseptor CCK-1 , dan dihambat dengan antagomnis CCK-1,

loxiglumide. CCK memperlambat pengosongan lambung dengan

merelaksasi bagian proksimal lambung, meningkakan tekanan basal dan

fasik pilorus, serta menghambat pergerakan antrum yang dimediasi oleh

jalur reflek vagovagal. Berkebalikan dengan efeknya pada lambung, CCK

eksogen akan meningkatkan aktivitas motorik dari usus halus dan

memperpendek waktu transit pada usus.

PYY

PYY terletak sama dengan GLP-1 yaitu pada sel L di bagian

distal usus dan sering disebut dengan ” ileal brake”. Konsentrasi PYY

dalam plasma pada keadaan puasa rendah, dan meningkat kurang lebih 30

menit setelah nutrisi masuk ke dalam usus halus ( Vincent and le Roux,

2008). PYY disekresi dengan stimulus kuat dari lemak, dan karbohidrat

serta protein. Sekresi PYY merupakan respon dari adanya lemak pada usus

halus yang sebagian telah dimediasi oleh CCK. Karena kemampuannya

dalam memperlambat pengosongan lambung, PYY juga berperan dalam

meningkatkan gula darah post prandial, meskipun belum ada bukti yang

jelas terhadap efek insulinotropik tersebut.

21

Page 22: Gastroparesis Final!! (1)

c. Fisiologi Pengosongan Lambung

Gambar 6. Proses Pengosongan Lambung

Berdasarkan pada fungsinya, lambung di bagi menjadi dua

bagian yaitu bagian proximal dan distal. Bagian proximal

merupakan tempat penyimpanan makanan yang di makan. Bagian

ini terdiri dari fundus dan sepertiga proximal corpus. Pola aktivitas

22

Page 23: Gastroparesis Final!! (1)

motorik dari lambung lambat dan dilanjutkan dengan munculnya

tonus kontraksi, pergerakan ini akan mempengaruhi tekanan dalam

lambung dan menentukan gradien tekanan antara lambung dan

duodenum. Tekanan ini penting untuk mengosongkan cairan dalam

lambung. (Indireshkumar, et al , 2000). Tonus pada bagian

proximal lambung menurun ketika makanan masuk dari oesofagus

ke lambung, hal ini akan menyebabkan peningkatan volume

lambung, yang dikenal dengan relaksasi reseptif (Cullen and

Kelly, 2002). Hal ini diikuti dengan relaksasi yang lebih lama yang

disebut dengan akomodatif relatif yang akan menyebabkan

lambung dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan tanpa ada

zat yang menimbulkan tekanan pada lambung.

Pola pergerakan dari lambung sangatlah spesifik. Awalnya

akan terjadi kontraksi menyeluruh pada fundus dan cardiac, akibvat

munculnya pacemaker oleh sel interstisial cajal (ICCs), sedangkan

bagian bawah lambung dan antrum akan menghambat aktifitas

motorik. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

pengosongan lambung diantaranya adalah usia, jenis kelamin,

densitas dan osmolaritas kalori. 300ml garam yang diberikan

secara bolus akan mengosongkan lambung 2 kali lebih cepat

dibandingkan dengan bolus 150 ml garam. Pada umunya

pengosongan cairan akan berlangsung cepat yang memakan waktu

50% dari waktu pengosongan ( 8-18 menit). Cairan yang kaya

akan kalori akan dikosongkan lebih lambat daripada makanan yang

rendah kalori. Peningkatan osmolaritas akan menurunkan respon

kontraksi pada usus halus. Selain itu karakteristi dari nutrisi itu

sendiri akan mempengaruhi pengosongan isi lambung, Karbohidrat

dan sebagian besar asam amino akan diserap usus melalui

osmoreseptor mukosa usus halus yang berperan aktif dalam inhibisi

feedback jalur neral. L-triptofan, prekusor dari 5-HT yang berasal

23

Page 24: Gastroparesis Final!! (1)

dari asam amino lain efektif dalam menunda pengosongan

lambung. Efek dari trigliserida pada motilitas lambung tergantung

pada panjangnya rantai asam lemak yang berbeda dalam

mensekresi CCK. Namun demikian, pada suatu penelitian,

perubahan makanan yang drastis dan cepat tidak menunjukkan

perubahan pada pergerakan gastrointestinal(Boudry et al. 2001).

Keasaman lambung juga berperan penting. Omeperazol akan

mengurangi hubungan antara PH intragastrik dan jenis MMC yang

akan menginduksi penundaan pengosongan lambung. Selain itu,

suhu makanan yang dicerna juga mempengaruhi pergerakan

lambung, di mana makanan dingin akan mempelambat

pengosongan.

Pada pengosongan lambung, neurohormonal sangatlah

berperan termasuk peranan inervasi n. Vagus. Namun demikian n.

Vagus tidak dibutuhkan untuk menginisiasi pola pergerakan

gastroduodenal ketika puasa atau postprandial, tetapi dibutuhkan

untuk memodulasi pola kontraksi selama fase ke III. Berbagai

neurohormonal akan berperan dalam pengosongan lambung,

Perbedaan tipe neuron dengan perbedaan kombinasi transmisi akan

memberikan kontrol yang berbeda terhadap pergerakan lambung.

Plexus mienterikus yang terletak pada dinding lambung

mengandung berbagai neurotransmitter, diantaranya adalah Ach,

norepinefrin, 5-HT, SP, VIP, peptide histidine isoleucin (PHI) dan

enkefalin. Neuron eksitasi mengandung Ach, SP, atau keduanya

yang berperan langsung dalam mengontrol kontraksi dari lapisan

otot sirkuler. Motorneuron inhibitor terdiri dari VIP dan NO yang

akan mengontrol secara langsung relaksasi (Olsson and Holmgren

2001).

Selama puasa, tonus pada bagian proksimal lambung

dimediasi oleh input kolinergik. Setelah makan, bagian proksimal

24

Page 25: Gastroparesis Final!! (1)

dari lambung akan mengalami relaksasi melalui aktivasi dari

neuron nitregik pada dinding lambung. NO akan menginduksi

relaksasi dengan memproduksi c-GMP.Sildenafil ( inhibitor

selektif 5- fosfodiesterase) akan memperlama kerja cGMP dan

kemudian memodifikasi kontaksi dari esofagus dan menurunkan

tekanan LES, mengahambat aktivitas motorik interdigestif dari

antrum dan duodenum, meningkatkan volume intragastrik setelah

makan dan memperlambat pengosongan isi lambung. Sebalikya,

jalur nitrergik tidak tampak pada tonus gaster ketika puasa dan

sensitif terhadap distensi gaster pada manusia. Opiat dari subklas

reseptor yang berbeda mempunyai efek inhibisi dan eksitator . 5-

HT akan mempercepat pengosongan gaster melalui reseptor 5-HT3,

sedangkan somatostatin, neurotensin, oksitosi, PYY, GRP,

enteroglukagon, oksintomodulin dan PGE1 akan memperlambat

pengosongan isi lambung. Peranan CCK masih belum jelas.

Inervasi dari sistem saraf pusat (CNS) berperan dalam

regulasi aktivitas motorik dan pengosongan lambung. Tekanan

mental akan memperlama periode dari MMC. Kemarahan akan

meningkatkan aktivitas motorik dari lambung sedangkan

kecemasan dan depresi akan menurunkan kontraksi lambung.

Nyeri dan dingin, serta nyeri iskemik akan memperlambat

pengosongan lambung. Beberapa jalur saraf berperan dalam

tekanan tersebut. Mediator untuk otak-usus telah dievaluasi secara

intensif. Infus TRH intraventrikular akan mempercepat

pengosongan lambung, sedangkan CRF, CCK, opiat, bombesin,

takinin, somatostatin, faktor natriuretic atrial, GABA, kalsitonin,

dan CGRP akan memperlambat pengosongan lambung, sebagian

melalui mekanisme vagal. Untuk menurunkan LESP dan

menurunkan relaksasi spincter esofagus, GABA, dan agonis

25

Page 26: Gastroparesis Final!! (1)

reseptor 5HT-1 yang akan menginduksi pemneuhan gaster yag

diikuti oleh aktivasi neuron mienterik (Tack et al. 2001).

C. GASTROPARESIS DIABETIKA

1. Definisi

Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis

diabetika. Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati

diabetik. Bell et al mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan

neuropati traktus gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes.

Talley et al menggunakan istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom

klinis dari gangguan saluran cerna bagian atas akibat gangguan motilitas

pada pasien diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan

pengosogan lambung.

American Gastroenterological Association (AGA) membuat

kesepakatan bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya

tanda dan gejala yang sesuai, keterlambatan pengosongan lambung, serta

tidak adanya lesi obstruktif pada lambung maupun usus halus. Dengan

demikian, gastroparesis diabetik dapat didefinisikan sebagai gastroparesis

yang terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria

gastroparesis sesuai dengan yang dijelaskan AGA.

Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna

bagian atas seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala

dengan gangguan fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi

yang multifaktorial. Keluhan rasa penuh dan kembung sering sebagai

prediksi adanya keterlambatan pengosongan gaster, tetapi banyak pasien

dengan gastroparesis yang relative asimtomatik. Gastroparesis

asimtomatik sering timbul pada pasien dengan diabetes melitus.

.

26

Page 27: Gastroparesis Final!! (1)

2. Epidemiologi

Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan

penyebab kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%),

sedang penyakit tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%).

Laporan mengenai prevalensi gangguan motilitas lambung pada

penderita diabetes memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan

beberapa factor antara lain : tipe penderita diabetes yang diselidik (IDDM

atau NIDDM, diabetes yang lama dan berat, dengan atau tanpa gejala

gastroparesis), kriteria yang digunakan untuk diagnosa gastroparesis

(berdasarkan gejala-gejala saja, berdasarkan adanya kelainan motorik

ataupun elektrik lambung, atau berdasarkan keterlambatan pengosongan

lambung), dan metode yang digunakan untuk menilai, mengosongkan

lambung (pemeriksaan barium, radiopaque marker, USG, ataupun

scintography).

Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60%

penderita diabetes mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung,

dan bahwa prevalensi keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan

sama pada penderita IDDM maupun NIDDM.

Hasil penelitian terhadap penderita IDDM menunjukkan adanya

keterlambatan waktu pengosongan lambung solid non digestible pada 62%

penderita, keterlambatan waktu pengosongan lambung liquid pada 25%

penderita, dan tidak ada yang mengalami keterlambatan pengosongan

lambung solid digistibel. Pada IDDM, uji scintigraphy terhadap 70 penderita

menunjukkan 27,5% mengalami keterlambatan pengosongan liquid dan

58,6% mengalami keterlambatan pengosongan solid. Pada NIDDM yang

baru terdiagnosa, ditemukan adanya keterlambatan pengosongan lambung

semisolid pada 36,6% dari 30 penderita.

3. Patofisiologi Gastroparesis Diabetika

Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum

diketahui. Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik

27

Page 28: Gastroparesis Final!! (1)

dari fundus, antrum, serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan

duodenum. Proses ini merupakan interaksi yang kompleks dari otot polos,

sistem saraf otonom, sel enterik, dan sel-sel pacemaker khusus yang

disebut dengan sel intersetisial Cajal ( ICC). Neurotransmiter dan

neuroendokrin juga berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside ( NO)

merupakan senyawa yang penting dalam menghambat nonadrenergik,

nonkolinergik, dan neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam

mempengaruhi motilitas lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter

osefagus bagian bawah dan pilorus, mengtur reflek fundus, serta mengatur

reflek peristaltik pada usus. Disfungsi neuron NO pada pleksus

mienterikum akan menyebabkan terjadinya penyakit gastrointestinal,

termasuk gastroparesis. CRH ( Corticotropin Releasing Hormon) terbukti

dapat menurunkan motilitas lambung. Aktivitas mioelektrikal pertama kali

dicetuskan oleh ICC yang terdapat pada dinding otot antrum serta corpus

gaster selama kurang lebih 3 kali per menit. Gangguan pada fase ini dapat

menyebabkan terjadinya gastroparesis. Faktor lain yang juga

mempengaruhi pengosongan lambung adalah neuropati otonom, neuropati

enterik, kelainan ICC, fluktuasi gula darah yang terjadi tiba-tiba, dan

faktor psikosomatis. Selain itu pengosongan lanbung biasanya terjadi lebih

lambat pada keadaan hiperglikemia dan menjadi lebih cepat selama

hipoglikemia. Kelailan kadar elektrolit ( hipokalsemia, hipomagnesemia)

dan hormon gastrointestinal ( motilin, gastrin) juga berpengaruh terhadap

terjadinya gastroparesis. (Ajumobi, et al, 2008)

28

Page 29: Gastroparesis Final!! (1)

Gambar 7. Patogenesis gastroparesis diabetikum (Ajumobi, et al, 2008)

4. Penegakan Diagnosis

a. Gejala Klinis

Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan

pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan

melalui pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi. Gejala yang

muncul pada gastroparesis adalah muntah, mual, cepat kenyang,

kembung, tidak nyaman dan nyeri pada perut, serta bersendawa .

Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi pada dispepsia

pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu diperlukan

pengukuran terhadap kecepatan pengosongan lambung untuk

membedakan keduanya. Park, et al, 2006). Muntah yang terjadi pada

gastroparesis harus dibedakan dengan regurgitasi pada GERD . Pada

gastroparesis biasanya vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan

masuk ke dalam lambung ( postprandial regurgitasi).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk,

tetapi tidak spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap

tanda-tanda malnutrisi dan penurunan berat badan.

29

Page 30: Gastroparesis Final!! (1)

c. Pemeriksaan Penunjang

Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang

menunjukkan gejala gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan

untuk menegakkan diagnosa gastroparesis. Hal ini bertujuan untuk

membedakan dengan dengan dispepsia. Pengukuran tekanan dan profil

listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada sebagian besar pasien

yang telah menderita diabetes.

Gastroparesis diabetik didiagnosis melalui adanya gejala saluran

cerna atas yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada

pasien diabetes, tanpa adanya obstruksi mekanik yang dapat

menyebabkan gejala saluran cerna atas, dan terdapat tanda-tanda

perlambatan pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan lambung

disebabkan oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan

radiografi abdomen, computed tomography, dan magnetic resonance

imaging. Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur,

massa, atau ulkus. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan

infeksi, metabolik, dan penyebab imunologis menyebabkan gejala

saluran cerna atas yaitu pemeriksaan darah lengkap, pemantauan

metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes fungsi hati, urinalisis,

tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan imunologis

untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan etiologi lain

yang mungkin dan obstruksi dengan endoskopi dan pencitraan abdomen,

gastroparesis diabetik didiagnosis dengan menunjukkan adanya

perlambatan pengosongan lambung.

30

Page 31: Gastroparesis Final!! (1)

Gambar 8. Aktivitas Myoelektrik Gaster

Elektrogastrografi merupakan metode non invasive untuk

mengukur aktivitas mioelektris gaster dengan menempatkan elktrode

pada permukaan epigastrium. Pada pasien normal, elektrogastrografi

mengidentifikasi ritme elektrivitas fisiologis dari lambung pada 3 siklus

per menit. Pada beberapa pasien, dapat timbul disaritmia, takigastria (3.6

sampai 9.9 siklus per menit) dan bradygastria (1 sampai 2.4 siklus per

menit). Meskipun keluhan dyspepsia berkorelasi lebih baik dengan

elektrogastrografi dibandingkan dengan skintigrafi, tetapi

elektrogastrografi tidak dapat mengukur aktivitas kontraktilitas lambung

(Smith S., et al, 2003).

31

Page 32: Gastroparesis Final!! (1)

Gambar 9. Perbandingan hasil pemeriksaan Scintigraphy

Berbagai jenis penelitian pengosongan lambung

meliputi scintigraphy dengan gambar yang diambil pada jam pertama,

kedua dan keempat; tes napas, dan pemeriksaan ultrasonografi.

Pengosongan lambung dari makanan fase padat oleh scintigraphy

diperkirakan merupakan teknik terbaik yang diterima untuk

mendiagnosis perlambatan pengosongan lambung

karena scintigraphy dapat mengukur jumlah pengosongan makanan

berkalori fisiologis yang dapat menilai fungsi motorik lambung. Teknik

melibatkan pencampuran penanda radioisotop pada makanan standar dan

mengikuti jejaknya di dalam lambung menggunakan kamera gamma.

Untuk sebuah pemeriksaan yang dikatakan standar baku emas, perlu

diperhatikan bahwa tidak terdapat standarisasi teknik scintigraphy,

dibuktikan dengan adanya perbedaan zat yang digunakan antara pusat

yang satu dengan pusat yang lain, dan bahwa korelasi antara gejala

dengan gastroparesis diabetik dan tingkat pengosongan lambung tidak

jelas.

32

Page 33: Gastroparesis Final!! (1)

Pengukuran hidrogen pernapasan 12 jam setelah mengkonsumsi

makanan mengandung potatoes starch dan laktulosa berkaitan dengan

waktu transit disaluran cerna atas dan telah dinyatakan sebagai alat

skrining untuk gastroparesis sebelum menggunakan pemeriksaan yang

lebih mahal dan definitif. Tes pernapasan yaitu mengkonsumsi makanan

standar yang mengandung octanoat yang dilabeli radioisotop karbon,

suatu trogliseridemedium. 13C-octanoat diserap secara cepat di usus

halus dan dimetabolisme menjadi 13CO2 yang dikeluarkan oleh paru-

paru saat respirasi. Tingkat 13CO2terdeteksi di pernapasan sejalan

dengan tingkat pengosongan lambung, dan hasilnya berkaitan erat

dengan hasil scintigraphy. Namun, tes ini mengasumsikan tidak ada

kelainan pada usus besar, pankreas, hati, dan fungsi paru. Penelitian

menggunakan tes pernapasan pada pasien diabetes terbatas dan validasi

tambahan pada pasien dengan gastroparesis dibutuhkan sebelum

penggunaan secara luas dapat disosialisasikan.

Pengukuran ultrasonografi dari perubahan pada regio antral

lambung setelah konsumsi makanan cair sangat berhubungan dengan

tingkat pengosongan lambung. Pencitraan ultrasound dari pengosongan

makanan cair di lambung hanya untuk penelitian dan tidak digunakan di

klinik.

5. Diagnosis banding

Pada kebanyakan kasus, diagnosa gastroparesis dibuat

berdasarkan adanya mual dan muntah yang berlarut-larut pada

penderita diabetes yang lanjut, namun perlu diingat bahwa mual dan

muntah sering dialami penderita diabetes dan bukan seluruhnya

disebabkan oleh gastroparesis. Mual dan muntah lazim terjadi pada

ketoasidosis akut yang umumnya akan mereda setelah koreksi

kelainan metabolic tersebut.

Sebelum menyimpulkan adanya suatu gangguan motilitas harus

disingkirkan kemungkinan obstruksi mekanis, peradangan maupun

33

Page 34: Gastroparesis Final!! (1)

ulkus dengan endoskopi ataupun foto serial saluran cerna atas. Meskipun

agak jarang, obstruksi saluran cerna bagian tengah dan bawah dapat

menyerupai gastroparesis, bila tanda klinis mengarah ke kemungkinan

tersebut perlu dilakukan pemeriksaan seperti foto polos abdomen, barium

follow through ataupun CT scan. Harus pula diingat kemungkinan

adanya perforasi, appendicitis, pankreatitis,penyakit susunan syaraf

pusat, sindroma paraneoplastik, efek samping obat, kehamilan dan

psikogenik.

Banyak keadaan-keadaan lain yang dapat menyebabkan

gastroparesis, keadaan tersebut bisa menyebabkan gastroparesis yang

tak berkaitan dengan diabetiknya pada penderita diabetes, sehingga

sebelum memulai terapi keadaan-keadaan tersebut, terutama yang

reversible haruslah diatasi.

6. Komplikasi Gastroparesis Diabetika

Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga

sedapat mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun

regurgitasi yang berulang-ulang sering terjadi esofagitis yang berat dan

luas yang menyebabkan perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun

kronis, dapat pula terjadi robekan esophagus Mallory weiss, pneumonia

aspirasi, malnutrisi maupun gangguan keseimbangan air dan elektrolit.

Akibat terganggunya pengosongan lambung solid non digestible dapat

terjadi pembentukan bezoar di lambung.

Gastroparesis juga dapat menyebabkan terganggunya absorbsi

obat oral sehingga menyebabkan fluktuasi kadar obat dalam darah, hal ini

menjadi masalah yang penting bagi penderita diabetes dewngan obat

hipoglikemik oral.

7. Penatalaksanaan Gastroparesis

Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas

hidup, mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai

terselenggaranya kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini

tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang

34

Page 35: Gastroparesis Final!! (1)

simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes

yang baik belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan membantu

mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,

pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan. Terhadap

penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan

penyesuaian diit, yang dianjurkan adalah porsi kecil namun sering, dengan

kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan kalori yang

cukup (John. 2001). Bila cara tersebut tidak menolong dapat diberikan

makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi, dan pada kasus yang sangat

berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum untuk nutrisi

enternal.

Gambar 10. Algoritme Penatalaksanaan Gastroparesis Diabetika

a. Manajemen Diet

Secara alami, gejala gastroparesis dapat menyebabkan

berkurangnya intake oral, termasuk berkurangnya intake makronutrien,

penurunan berat badan, dehidrasi, dan defisiensi vitamin dan mineral.

Dengan demikian, tujuan manajemen diet adalah mengembalikan dan

mempertahankan status nutrisi dan secara bersamaan mengurangi

keluhan. Pada pasien diabetes, intervensi diet ditujukan pada untuk

35

Page 36: Gastroparesis Final!! (1)

mengontrol status glikemik pasien. Pada gejala sedang sampai

berat,kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi tambahan.

Komponen utama dalam diet yang perlu dievaluasi adalah ukuran

partikel, ukuran makanan, dan kandungan makanan dan lemak dalam

makanan. Alkohol dan minuman berkarbonasi dilarang. Secara

keseluruhan dapat disimpulkan saran untuk diet gastroparesis adalah

diet yang sering, ukuran kecil, makanan rendah serat dan rendah lemak

dengan peningkatan intake nutrisi dalam bentuk cairan.

Jika pengukuran diet dan terapi farmakologi gagal mengurangi

keluhan dan mempertahankan status nutrisi, beberapa bentuk support

rute pemberian makanan perlu dilakukan. Pemberian makanan dengan

pompa nasogastrik perlahan adalah pilihan terapi yang disarankan.

Walau dalam praktiknya, pasien dengan gastroparesis berat jarang yang

dapat mentoleransi volume yang dibutuhkan untuk menentukan

kebutuhan nutrisi mereka ketika makanan diberikan langsung ke dalam

lambung. Pemberian makanan langsung pada gaster dapat mengurangi

risiko aspirasi pada pasien dengan keterlambatan pengosongan

lambung. Pemberian makanan nasojejunum lebih dapat ditoleransi

karena melewatkan lambung yang malfungsi.

Kadar glukosa harus dipertahankan di bawah 180 mg/dl untuk

mencegah inhibisi dari kontrol mioelektris dan gerakan lambung.

Mempertahankan kontrol status glikemik penting karena hiperglikemia

menginhibisi aksi obat prokinetik seperti eritromisin.Obat oral

antidiabetik dapat digunakan pada pasien diabetes tipe 2 dan

gastroparesis ringan. Insulin dapat digunakan pada pasien diabetes

melitus tipe I dan pasien dengan gastroparesis berat.

b. Terapi prokinetik

Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan

pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam

pengobatan penderita gastroparesis yang simptomatik. Sebelum terapi

36

Page 37: Gastroparesis Final!! (1)

prokinetik dimulai seharusnya waktu pengosongan lambung diukur,

namun karena tidak praktis dapat diberikan terapi pengobatan selama 4

minggu, bila symptom tidak berkurang ataupun muncul kembali

setelah terapi dihentikan maka waktu pengosongan lambung harus

diukur.

Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik

lambung, namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan,

dalam mengobati gastroparesis diabetika adalah metoclopramide,

domperidone, cisapride dan erythromycin. Karena sifat kelainan

motorik yang beraneka ragam ada gastroparesis diabetika maka tidak

mungkin untuk memperoleh perbaikan terhadap seluruh kelainan

motorik / sensorik dengan satu obat. Waktu pemberian obat prokinetik

haruslah sedemikian rupa sehingga kadar plasma obat. Waktu

pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar

plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan waktu

makan yaitu setidaknya 30 menit peprandial, selain itu juga perlu

diberikan dosis malam hari untuk mengurangi pembentukan bezzoar.

i. Metoclopramide

Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide

merupakan antagonis reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3,

pelepas acetylcholine dan inhibitor cholinesterase, memiliki

khasiat prokinetik lambung dan anti emetik dan dapat melewati

sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya diperkirakan berasal dari

antagonisme reseptor dopamine lambung peningkatan pelepasan

acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi prokinetiknya

antara lain meningkatkan tekanan sfingter esophagus bawah,

menghambat relaksasi fundus, meningkatkan kontraktilitas antrum

dan merelaksasi sfingter pylorus. Aksi metoclopramide pada

aktivitas IMMC masih belum jelas. Aktivitas antiemetiknya adalah

berdasarkan antago-nisme reseptor dopamine sentral pada

chemoreceptor trigger zone dan vomiting center. Metoclopramide

37

Page 38: Gastroparesis Final!! (1)

dapat menurangi symptom statis lambung dan memperbaiki

pengosongan lambung solid maupun liquid, namun antara

perbaikan symptom dengan pengosongan lambung tidak

berkorelasi. Pada pemakaian yang berke-panjangan efek

prokinetiknya akan menghilang meskipun perbaikan

simptomatiknya terus berlangsung. Metoclopramide dianggap

merupakan obat yang paling efektif dalam hal memperbaiki

symptom. Metoclopramide diberikan per oral dengan dosis 5 – 20

mg sebelum makan dan pada waktu tidur. Dapat pula diberikan

melalui intravena, intramuskuler, subkutan, intrarektal maupun

intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-tidaknya

mengenai 20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang

tersering adalah gangguan neurologik dan endokrinologik.

Gangguan neurologik berupa mengantuk, gelisah, cemas, depresi,

symptom dystonic (yaitu tardive dyskinesia, oculogyric crisis,

opisthotonus, trismus dan torticollis), dan symptom

parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan akinesia). Gangguan

endokrinologik antara lain hiperprolaktinemia yang menyebabkan

gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan amenorrhea, selain itu

dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan

penurunan kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone

dan growth hormone.

ii. Domperidone

Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu

antagonis reseptor dopamine yang tidak melewati sawar darah

otak. Aksi prokinetik lambungnya adalah melalui penghambatan

reseptor dopamine pada lambung dan duodenum, sedangkan efek

antiemetiknya hanya terjadi pada chemoreceptor trigger zone.

Domperidone efektif dalam mengendalikan symptom dan

memperbaiki pengosongan lambung pada gastoparesis diabetika.

Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan

38

Page 39: Gastroparesis Final!! (1)

meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun liquid,

sesudah pengobatan 4 minggu peningkatan pengosongan liquid

tetap terjadi namun pengosongan solid tidak, sedangkan symptom

klinis membaik pada pengobatan akut maupun kronis.

Domperidone dapat diberikan melalui oral, intravena,

intramuskuler ataupun intrarektal. Dosis awal oral adalah 10 mg

sebelum makan dan malam sebelum tidur, dapat ditingkatkan

menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat

dapat ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari.

Insidens efek samping domperidone bervariasi dari 2-7%,

umumnya adalah mulut kering, sakit kepala, ruam kulit, gatal,

diare, kegelisahan dan gangguan endokrin yang berkaitan dengan

hiperproklaktinemia.

iii. Cisapride

Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak

memiliki sifat antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan

pelepasan acetylcholine pada plexus myentericus intestinalis dan

juga bersifat antagonis terhadap reseptor 4 HT3 dan antagonis

5HT4. Cisapride tidak mempunyai efek antiemetik langsung,

namun dapat meningkatkan amplitudo kontraksi di seluruh bagian

saluran cerna sehingga menguntungkan bagi penderita. Obat ini

meningkatkan kontraksi antrum dan duodenum dan juga

meningkatkan koordinasi antroduodenal. Pada penderita

gastroparesis diabetika cisapride dapat memperbaiki

pengosongan lambung liquid, solid maupun non digestible solid,

dan efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun kronis.

Dibanding dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan

dianggap sebagai obat pilihan utama untuk gastroparesis pada saat

ini. Cisapride diberikan melalui oral dengan dosis 5-20mg,

sebelum makan dan atau pada waktu tidur.

39

Page 40: Gastroparesis Final!! (1)

Efek samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding

metoclopramide, umumnya adalah kram perut, diare dan sakit

kepala, biasanya bersifat sementara dan dapat diatasi dengan

pengurangan dosis.

iv. Erythromycin

Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki

efek menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja

sebagai agonis motilin dengan cara berkaitan dengan reseptor

motilin pada antrum dan duodenum bagaian atas, dan aktivitas

ini tidak berkaitan dengan efek antimikrobialnya. Studi inviro

menunjukkan bahwa selain merangsang kontraksi antrum dan

duodenum, erythromycin juga menginhibisi otot pylorus. Pada

manusia erythromycin dapat meningkatkan kontraksi antrum,

memperbaiki kontraksi antroduodenal, mengurangi waktu aktivitas

IMMC fase 2 dan merangsang serta memperpanjang aktivitas

IMMC fase 3 (5 kutip). Kao dkk menyimpulkan bahwa

erythromycin efektif terhadap gastroparesis diabetika karena

memperbaiki transit esophagus dan pengo-songan lambung.

Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat

prokinetik pada penderita gastroparesis menunjukkan bahwa

erythromycin lebih unggul dibanding cisapride, metoclopramide

maupun domperidone dalam hal mempercepat pengosongan

lambung.

Pemberian erythromycin 200 mg intravena kepada penderita

gastroparesis diabetika akan memperbaiki pengosongan lambung

solid maupun liquid secara dramatis menjadi seperti yang terlihat

pada orang normal, bila diberi secara oral kali 250 mg selama 4

minggu, perbaikan juga terjadi namun hasilnya kurang dibanding

intravena. Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam

bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis erythromycin stearst

adalah 3 kali 250 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum makan.

40

Page 41: Gastroparesis Final!! (1)

Untuk penggunaan intravena dalam bentuk lactobionate diberikan

sebagai infus selama 30 menit dengan dosis 200 mg, diencerkan

dalam larutan garam fisiologis.

Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek

samping mual, muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan

pemberian yang berlama-lama sebagai prokinetik akan

meningkatkan resiko timbulnya strain bakteri resisten. Saat ini

dikembangkan derivat erythromycin, ER 523, suatu agonis reseptor

motilin yang 18 kali lebih kuat dari erythromycin namun

tidak memiliki aksi antibiotik, dan terbukti efektif

memperpendek waktu pengosongan lambung liquid maupun

solid pada penderita IDDM dengan gastroparesis yang berat.

v. Antiemetik

Ondansentron, antagonis reseptor 5-HT3 dapat digunakan

untuk mengontrol keluhan, tetapi tidak menunjukkan perbaikan

dalam pengosongan lambung. Mirtazipine adalah antidepresan

yang aktif pada resep 5-HT3 dan dilaporkan bermanfaat untuk

gastroparesis refrakter dibandingkan terapi lain. Antidepresan

trisiklik juga bermanfaat dalam sindrom muntah kronik. Ada

beberapa gabungan terapi yang sedang dalam evaluasi

penggunaannya untuk gastroparesis. Sebagai contoh, prokinetik

azithromycin dan mitemcinal dapat menstimulasi reseptor motilin.

Ghrelin, suatu hormone peptide yang diproduksi oleh sel entero-

endokrin dalam lambung yang menstimulasi nafsu makan dan

meningkatkan gerak lambung.

c. Terapi Endoskopi dengan injeksi botulinum

Pylorospasme berperan dalam berkembangnya Gastroparesis.

Toksin botulinum merupakan inhibitor yang poten untuk transmisi

neuromuskuler dan terbukti berefek dalam manajemen gastroparesis.

Pada studi yang melibatkan 8 pasien, nilai skoring keluhan menurun dari

27 menjadi 12.1, empat pasien meningkatkan dosis insulin 5 unit/ hari

41

Page 42: Gastroparesis Final!! (1)

dan 6 pasien mengalami peningkatan berat badan. Dalam penelitian yang

berbeda, pengosongan gaster dapat diperbaiki dengan injeksi botulinum,

tetapi keluhan tidak berbeda dengan pada grup yang diberi placebo

dengan botulinum (Ajumobi dan Griffin, 2008).

d. Terapi elektrostimulasi

Elektrostimulasi gaster dapat memperbaiki keluhan mual, muntah,

kualitas hidup, dan status nutrisi pada pasien dengan Gastroparesis

refrakter. Tiga prinsip dari elekstrostimulasi gaster antara lain arus listrik

bolak-balik, frekuensi tinggi, stimulasi berurutan. Elektrostimulasi gaster

dilakukan melalui electrode yang ditanam dalam lapisan serosa melalui

satu atau dua protocol stimulasi. Satu protokol merupakan stimulasi

dengan energi tinggi, durasi lama. Kelihatannya gastric pacing dapat

memperbaiki symptom gastroparesis dan mempercepat pengosongan

lambung pada penderita gastroparesis yang berat, sehingga pada masa

mendatang mungkin dapat merupakan pilihan terapi pada gastroparesis.

Elektrostimulasi gaster dapat diklasifikasikan sebagai single-

channel dan multichannel. Stimulasi dengan energy tinggi, frekuensi

rendah (pulsasi panjang) bertujuan mengembalikan gelombang ritme

perlahan 3 siklus per menit dari aktivitas normal myoelektris gaster dan

telah terbukti memperbaiki keluhan dan waktu pengosongan lambung

(Ajumobi dan Griffin, 2008).

e. Penanganan operatif

Tindakan operatif seperti loop gastroenterostomy, vagotomy dan

pyloroplasty terhadap gastroparesis diabetika umumnya

mengecewakan sehingga hampir tidak digunakan, kalaupun

digunakan hanya pada kasus yang sangat berat yang tidak respons

terhadap terapi medis lainnya.

42

Page 43: Gastroparesis Final!! (1)

DAFTAR PUSTAKA

Ajumobi A.B., Griffin R.A. Clinical Review Article of Diabetic Gastroparesis:

Evaluation and Management. Hospital Physician, 2008; 27-32.

Anne M. R. Agur; Moore, Keith L. 2007. Essential Clinical Anatomy (Point

(Lippincott Williams & Wilkins)). Hagerstown, MD: Lippincott Williams &

Wilkins.; p. 150.

Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical physiology.

23th edition. New York: McGraw Hill; 2010.

Cammillery M.. Diabetic Gastroparesis. N Engl J Med, 2007: 356;8.

Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia:

Elsevier Saunders; 2006.

Herbst RS (2004). "Review of epidermal growth factor receptor biology".

International Journal of Radiation Oncology, Biology, Physics 59 (2 Suppl):

21–6.

John CR.; Jeffrey LB.; 2001. Management of the Patient with Gastroparesis.

http://journals.lww.com/jcge/Fulltext/2001/01000/Efficacy_of_Prolonged_A

dministration_of.5.aspx

Keld R., Kinsey L., Athwal V., Lal S. Review Pathogenesis, Investigation, and

Dietary and Medical Management of Gastroparesis. J Hum Nutr Diet, 2011;

24: 421-430.

Maryani, Sri. 2003. Gastroparesis Diabetika.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalam-

srimaryani8.pdf (15 Maret 2012)

Omar F.,David M. Anatomy at a Glance. 2002 by Blackwell Science Ltd,

Blackwell Publishing company. p31_39

Park I.M., Camilleri M. Gastroparesis Clinical Update. American Journal of

Gastroenterology, 2006; 101: 1129-1139.

43

Page 44: Gastroparesis Final!! (1)

Parkman H.P., Hasler W.L., Barnett J.L.,Eaker E.Y. Electrogastrography: a

Document Prepared by the Gastric Section of The American Motility

Society Clinical GI Testing Task Force. Neurogastroenterol Motil, 2003; 15:

89-102.

Richard M. Gore; Marc S. Levine. 2007. Textbook of Gastrointestinal Radiology.

Philadelphia, PA.: Saunders.

Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7th edition. Toronto:

Brooks/Cole Cengage Learning; 2010.

Smith S., Williams C.S., Ferris C.D. Diagnosis and Treatment of Chronic

Gastroparesis and Chronic Intestinal Pseudo-Obstruction. Gastro Clin N

Am, 2003; 32: 619-658.

Venturi S.; Venturi M. 2009. "Iodine in evolution of salivary glands and in oral

health". Nutrition and Health 20 (2): 119–134.

Varon A.R., Zuleta J. From The Physiology of Gastric Emptying of The

Understanding of Gastroparesis. Rev Col Gastroenterol, 2010; 25: 207-212.

44