Gastroesophageal Refluks (GERD)

22
David Wyanto 10 2007 159 Blok 16 Gastrointestinal II Gastroesophageal Refluks (GERD) Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang paling umum adalah rasa panas atau nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada gejala-gejala. Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami kerusakan yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut mengalir kembali menuju esophagus , hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi segera setelah makan,

Transcript of Gastroesophageal Refluks (GERD)

Page 1: Gastroesophageal Refluks (GERD)

David Wyanto

10 2007 159

Blok 16

Gastrointestinal II

Gastroesophageal Refluks (GERD)

Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalah kondisi di mana esophagus

mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi

ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir

kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak

berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang paling umum adalah rasa panas atau

nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada gejala-gejala.

Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan

enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin

menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami kerusakan

yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika esophageal

sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang

berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut mengalir kembali

menuju esophagus , hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika

seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi segera setelah makan, ketika jumlah

dan keasaman isi di dalam lambung lebih tinggi dan otot sphincter tidak mungkin

untuk bekerja sebagaimana mestinya.

Faktor yang menyebabkan terjadinya refluks termasuk pertambahan berat

badan, makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,

merokok tembakau, dan obat-obatan tertentu. Jenis obat-obatan yang bertentangan

dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek

antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin). Penghambat

saluran kalsium, progesteron, dan nitrat. Alkohol dan kopi juga berperan dengan

merangsang produksi asam. Penundaan pengosongan lambung (disebabkan diabetes

atau penggunaan opioid) bisa juga memperburuk refluks.

Page 2: Gastroesophageal Refluks (GERD)

Etiologi

Penyakit gastroesofageal

refluks bersifat multifaktorial. Hal

ini dapat terjadi oleh karena

perubahan yang sifatnya

sementara ataupun permanen pada

barrier diantara esophagus dan

lambung. Selain itu juga, dapat

disebabkan oleh karena sfingter

esophagus bagian bawah yang

inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,

terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.

Patogenesis

Esofagus dan gaster

dipisahkan oleh suatu zona

tekanan tinggi yang dihasilkan

oleh kontraksi lower esophageal

sphincter (LES). Pada individu

normal, pemisah ini akan

dipertahankan kecuali pada saat

terjadinya aliran antegrad yang

terjadi pada saat menelan, atau

aliran retrograd yang terjadi pada

saat sendawa atau muntah. Aliran

balik dari gaster ke esophagus

melalui LES hanya terjadi apabila

tonus LES tidak ada atau sangat

rendah.

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :

Page 3: Gastroesophageal Refluks (GERD)

a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat

b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD

menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif

dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah

antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan

ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif

adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

Pemisah antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya

tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat

terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD

ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat

menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin

pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta

adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan,

peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.

Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak

bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan

dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR),

yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5

detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya

TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan

pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi

lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih

kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi

ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala

GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang

dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.

Bersihan asam dari lumen esophagus

Page 4: Gastroesophageal Refluks (GERD)

Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus

adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke

lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.

Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva

dan kelenjar esophagus.

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak

antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin

besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD

ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan

yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi

menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar

mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.

Ketahanan epithelial esophagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki

lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.

Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

- membran sel

- batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke

jaringan esophagus

- aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat,

serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-

intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,

sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion

H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.

Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari

HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya.

Page 5: Gastroesophageal Refluks (GERD)

Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya

pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya

rusak paling tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah

kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain

dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan

kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara

infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian

esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi

H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta

pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori

sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak

mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis,

pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu

pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan

corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan

sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan

gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.

pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.

Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan

corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD

serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada

pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi.

Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD

sebelum pengobatan PPI jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid

reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud

dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau

refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena

hipersensitivitas visceral.

Page 6: Gastroesophageal Refluks (GERD)

Anamnesis

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan

sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia

(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau

demikian, derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan

temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip

dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan

makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari

Barrett’s esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika

sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.

Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan

yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau

keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran

berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.

Penyempitan (stricture) pada kerongkongan dari reflux membuat menelan

makanan keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux

termasuk nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash),

rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).

Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,

lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang

disebut Barrett’s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang

tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker

pada beberapa orang.

GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang

atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest

pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya

bronkiektasis atau asma.

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk

timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal

high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES

(misalnya teofilin).

Page 7: Gastroesophageal Refluks (GERD)

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode

akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien

dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.

Pemeriksaan fisik

Pada kasus GERD pemeriksaan fisik tidak terlalu banyak membantu.

Pemeriksaan Penunjang

Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa

pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar

baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di

esophagus (esofagitis refluks).

Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan

makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan

patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan

mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada

pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux

disease (NERD).

Ditemukannya kelainan esofagitis pada

pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan

pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat

mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau

regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.

Pemeriksaan histopatologi juga dapat

memastikan adanya Barrett’s esophagus,

displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang

mendukung perlunya pemeriksaan

histopatologi/biopsy pada NERD.

Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan

endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan

Barret’s Esophagus

Page 8: Gastroesophageal Refluks (GERD)

klasifikasi Savarry-Miller.

Klasifikasi Los Angeles

Derajat

kerusakan

Gambaran endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa

saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi

seluruh lumen esophagus)

Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan

seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan.

Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan

dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun

pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada

keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu

pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala

disfagia, dan pada hiatus hernia.

Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal

esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan

mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada

esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks

gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap

diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

Tes Bernstein

Page 9: Gastroesophageal Refluks (GERD)

Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang

transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M

dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap

monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila

larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,

sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap

positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang

berasal dari esophagus.

Pemeriksaan Darah Samar

Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik oleh

iritasi ringan maupun kanker yang serius. Bila perdarahannya banyak, bisa

terjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar atau mengeluarkan tinja

berwarna kehitaman (melena). Jumlah darah yang terlalu sedikit sehingga

tidak tampak atau tidak merubah penampilan tinja, bisa diketahui secara

kimia; dan hal ini bisa merupakan petunjuk awal dari adanya ulkus, kanker

dan kelainan lainnya. Pada pemeriksaan colok dubur, dokter mengambil

sejumlah kecil tinja . Contoh ini diletakkan pada secarik kertas saring yang

mengandung zat kimia. Setelah ditambahkan bahan kimia lainnya, warna tinja

akan berubah bila terdapat darah.

Diagnosis kerja

Berdasarkan gejala yang ada, seperti jika makan sedikit saja perut terasa

penuh, dadanya terasa panas, dan terasa asam di mulut. Batuk dan sesak serta

mempunyai riwayat astma. Pada penderita astma sekitar 40-70% mengalami

gastroesophageal refluks. Maka diagnosis kerjanya adalah GERD.

Diagnosis Banding

Achalasia

Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis, Megaesofagus)

adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui

Page 10: Gastroesophageal Refluks (GERD)

penyebabnya.

Gastritis (radang lapisan lambung)

Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung.

Kanker esophagus

Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma dan

adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada

kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam kerongkongan dan

bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan (penyempitan), sebuah

pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plaque), atau jaringan yang

tidak normal (fistula).

Ulkus Peptikum

Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi

karena lapisan lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan

oleh asam lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi.

Esophagitis

Esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula

disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan

trauma.

Pengobatan

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup,

terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi

endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,

menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup,

dan mencegah timbulnya komplikasi.

% Non Medikamentosa

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan

GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang

dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan

Page 11: Gastroesophageal Refluks (GERD)

untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu :

Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta

menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan

untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur

serta mencegah refluks asam dari lambung ke

esophagus. Makan makanan terakhir 3-4 jam

sebelum tidur

Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena

keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara

langsung mempengaruhi sel-sel epitel

Mengurangi konsumsi lemak serta

Mengurangi jumlah makanan yang

dimakan karena keduanya dapat

menimbulkan distensi lambung

Menurunkan berat badan pada pasien

kegemukan

Menghindari pakaian ketat sehingga dapat

mengurangi tekanan intraabdomen

Menghindari makanan/minuman seperti

coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman

bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam

Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus

LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium,

agonis beta adrenergic, progesterone.

Medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini

GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna

bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi

supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk

Page 12: Gastroesophageal Refluks (GERD)

memperbaiki gangguan motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step

down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong

kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan

prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat

dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada

pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat

dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah

atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang

penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk

GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa

GERD :

Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD

tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl,

obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan

obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan

diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid

yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan

gangguan fungsi ginjal.

Antagonis reseptor H2

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,

famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif

dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali

lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada

pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena

penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,

Page 13: Gastroesophageal Refluks (GERD)

pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.

Metoklopramid

Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah

dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di

esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau

penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul

efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan

diskinesia.

Domperidon

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping

yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah

otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi

esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat

meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.

Cisapride

Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat

pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya

dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik

dibandingkan dengan domperidon.

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki

efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara

meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di

eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini

cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).

Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)

Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.

Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan

mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses

pembentukan asam lambung.

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat

Page 14: Gastroesophageal Refluks (GERD)

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-

demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

Pencegahan

Beberapa peralatan kemungkinan digunakan untuk meringankan

gastroesophageal reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci

mencegah asam mengalir dari kerongkongan sebagaimana seseorang tidur. Makanan

dan obat-obatan yang menjadi penyebab harus dihindari, sama seperti merokok.

Pemberian obat bethanechol atau metoclopramide juga biasa digunakan untuk

membuat sphincter bagian bawah lebih ketat. Makanan dan minuman yang secara

kuat merangsang perut untuk menghasilkan asam atau yang menghambat

pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.

Prognosis

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan

diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan

terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-

demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua

minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan

adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini

tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada

tatalaksana GERD.