gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah...
Transcript of gan dengan peraturan gupermen?” ”Tidak, itu bukan sekolah...
1
Refleksi Neokolonialisme Berwajah Pendidikan di Indonesia dalam Novel Para
Priyayi Karya Umar Kayam: Kajian Orientalisme
Else Liliani
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY
[email protected] / [email protected]
School Opziener ini lebih muda dari yang dulu menggeser Mas
Martoatmodjo, tetapi lebih congkak dan karena merasa seorang raden selalu
minta dipanggil Ndoro.
”Sampeyan tahu kalau itu bertentangan dengan peraturan gupermen?”
”Tidak, Ndoro. Tiyang itu bukan sekolah betulan. Itu cuma kelas kecil
untuk menolong orang-orang desa dan anak-anak mereka membaca dan
menulis. Dan itu saya kerjakan di luar jam sekolah di sini, Ndoro.”
”Tidak peduli itu. Pokoknya itu sekolah liar. Tidak boleh!”
(Umar Kayam dalam Para Priyayi, 1992)
Pengantar
Indonesia, negara muda di Asia yang belum lama terlepas dari penjajahan di
tahun 1945. Namun, apakah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno benar-benar
menandai kemerdekaan Indonesia? Sangat sulit untuk menjawab ‘ya’ karena bukti-
bukti untuk menunjang pernyataan itu tidak mudah untuk ditemukan.
Selepas kemerdekaan sampai saat ini, keadaan tak banyak berubah.
Permasalahan yang dihadapi bangsa ini pun semakin beragam, salah satunya adalah
persoalan pendidikan. Persoalan pendidikan di Indonesia tak pernah ada habisnya,
sejak penjajah masih bercokol di bumi nusantara hingga di milenium ke dua. Tulisan
ini akan mencoba membahas persoalan penjajahan berwajah pendidikan yang banyak
2
dialami oleh warga negara Indonesia dan yang terefleksi dalam novel Para Priyayi
karya Umar Kayam.
Praktik Politik Pendidikan dan Bahasa oleh Kolonial Belanda di Indonesia
Pendidikan bukanlah hak setiap anak manusia. Mungkin kalimat inilah yang
tepat untuk menggambarkan sulitnya akses pendidikan bagi setiap penduduk pribumi
di Indonesia ketika Belanda masih memegang kekuasaan tertinggi di tanah
jajahannya. Orang yang mendapatkan hak pendidikan adalah segolongan orang yang
istimewa pada zaman ini. Mengapa? Karena penjajah Belanda menerapkan sejumlah
peraturan-peraturan istimewa mengenai siapa yang boleh dan tidak mendapatkan
pendidikan.
Jika ada yang beruntung mendapatkan pendidikan, maka tentulah orang itu
berasal dari sekelompok priyayi. Semenjak tahun 1816, pemerintah kolonial di Jawa
memiliki pemikiran untuk mendirikan sekolah bagi pribumi dalam rangka
menyiapkan tenaga yang akan mengisi jabatan pemerintahan, terutama jabatan di
kantor residen1. Murid-murid yang dipersiapkan tentu saja berasal dari golongan
bangsawan, dengan guru dari Eropa, dan dilaksanakan di tempat sang residen sendiri
setelah kantor tutup.
Priyayi inilah yang nantinya akan menduduki jabatan-jabatan administrasi
pemerintahan. Namun biasanya, pengangkatan pegawai ini sangat memperhatikan
1 Sartono Kartodirjo dkk dalam Perkembangan Peradaban Priyayi, Gadjah Mada University Press (1993)
3
aspek keturunan. Jadi, sangat tak mungkin seorang pribumi rendahan yang tak
memiliki hubungan kekerabatan dengan priyayi dapat meraih jabatan ini.
Dengan sistem rekruitmen yang selektif, tidak semua penduduk pribumi
rendahan bisa mendapatkan akses pendidikan. Mereka umumnya hanya dibekali
dengan belajar membaca dan menulis saja di sekolah Ongko Loro. Prestis dari
sekolah jenis ini pun hampir dibilang tak ada. Bahasa Belanda yang menjadi
kebanggaan karena hanya diajarkan di sekolah-sekolah bergengsi yang diikuti oleh
para priyayi tak mungkin diajarkan di sekolah Ongko Loro ini. Bahkan pada beberapa
kasus, sekolah Ongko Loro ini pun dinilai sebagai ”sekolah liar” karena biasanya
sekolah-sekolah ini tidak mengantongi izin dari pemerintah kolonial Belanda dan
dapat menjadi bumerang bagi pemerintahan kolonial.
Praktis, bahasa Belanda tampil sebagai bahasa tertinggi yang berkelas dan
bergengsi di seluruh wilayah koloni Belanda. Bahasa-bahasa asli daerah, seperti
bahasa Melayu dan bahasa daerah lainnya menduduki tingkat di bawahnya. Karena
praktik politik-diskriminasi Belanda pula, bahasa Melayu yang dikenal dan
dipergunakan oleh masyarakat terpilah menjadi dua: bahasa Melayu Tinggi dan
Bahasa Melayu Rendah.
Bahasa Melayu Rendah adalah bahasa digunakan oleh sebagian besar
penduduk Hindia Belanda karena mudah dimengerti2. Bahasa Melayu Rendah inilah
yang kemudian banyak digunakan dalam surat kabar orang-orang Cina. Berlawanan
2 Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu oleh Claudine Salmode (Diterjemahkan Dede Oetomo, PN Balai Pustaka, 1985)
4
dengan bahasa Melayu Rendah, Bahasa Melayu Tinggi atau yang biasa disebut
bahasa ”Melayu Riau” atau ”Melayu Ophuijsen” adalah bahasa Melayu yang telah
mengalami pembakuan oleh pemerintahan Belanda dan lebih diakui eksistensinya
sebagai bahasa yang lebih bermartabat, lebih tinggi dan unggul.
Bahasa Melayu Tinggi ini sebagian besar dipergunakan oleh kelompok elit
pribumi yang sudah mengenal pendidikan Eropa. Jumlah pengguna bahasa Melayu
Tinggi ini juga tidak begitu banyak. Praktis, bahasa Melayu Rendah lah yang lebih
banyak mengalami kemajuan karena lebih sering dipergunakan oleh banyak orang di
lintas tempat, situasi, dan etnis.
Akibat kebijakan politik Belanda pula, hasil kesusasteraan yang menggunakan
bahasa Melayu pun cukup beragam. Dalam khasanah sastra Indonesia, supremasi
pemerintahan kolonial Belanda terwujud dalam suatu badan bernama Commissie voor
de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Sekolah Bumi Putera dan
Bacaan Rakyat) atau yang biasa disebut dengan Balai Pustaka, didirikan tahun 1908.
Balai Pustaka didirikan sebagai upaya untuk ”mendidik” masyarakat
Indonesia. Alih-alih sebagai bentuk balas budi yang dicanangkan oleh pemerintahan
kolonial dalam etische-politieknya, Balai Pustaka sebenarnya tak lain adalah alat
kontrol penguasa sekaligus upaya mencari tenaga murah dari Bumi Putera. Pendirian
Balai Pustaka sebagai ”kedok pendidikan” ini bukan berarti tak lepas dari
kekhawatiran pemerintahan kolonial Belanda. Kepala Balai Pustaka saat itu, Dr. A.
5
Rinkes3, secara terang-terangan menjelaskan bentuk kekhawatirannya sebagai
berikut:
Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya, kalau orang yang telah
tahu membaca itu mendapat kitab-kitab bacaan yang berbahaya dari saudagar
kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak
mengacau. Oleh sebab itu, bersamasama dengan pengajaran itu, maka
haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang
kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut
tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan segala yang dapat
merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.
Bentuk kontrol pemerintahan kolonial dalam upaya penerbitan buku-buku itu
ditunjukkan dengan berbagai prasyarat, antara lain: (1) tidak boleh menyinggung
agama atau adat, (2) tidak boleh membicarakan politik yang bertentangan dengan
politik pemerintah (penjajah), dan (3) tidak boleh melanggar batas susila. Legalitas
Balai Pustaka sebagai satu-satunya badan resmi penerbit pemerintahan kolonial
dengan demikian menciptakan kanonisitas yang menentukan ”tinggi-rendahnya”
mutu sastra di tanah air pada saat itu.
Selain sastra Balai Pustaka, saat itu sebenarnya juga ada sastra di luar tradisi
Balai Pustaka. Umumnya sastra di luar tradisi Balai Pustaka itu dicetak di penerbitan
swasta dan menggunakan bahasa Melayu Pasar atau Melayu Rendah. Karena
beberapa sifat dan isi karangannya yang banyak dinilai menghasut rakyat untuk
berontak, maka karya-karya itu disebut “bacaan liar”, dan penulisnya dinamakan
“pengarang liar”4. Sastrawan peranakan Tionghoa adalah mereka yang tergolong aktif
3 Dalam Sejarah Sastra Indonesia karya B.P. Situmorang Situmorang (Nusa Indah, 1980) 4 Ajip Rosidi dalam Kapankah Kesusasteraan Indonesia Lahir? (Gunung Agung, 1988)
6
menulis karya dalam bahasa melayu rendah ini. Jumlah karya yang dihasilkan oleh
mereka pun lebih banyak dan menjangkau di berbagai banyak wilayah.5
Pendidikan yang bertipe elitis dan memiliki orientasi menciptakan tenaga-
tenaga birokrasi-administrasi inilah sebenarnya yang sengaja diciptakan oleh
pemerintahan Belanda. Jadi sebenarnya, politik Balas Budi yang dikemukakan oleh
Van Deventer hanya kamuflase belaka. Karena, tujuan dari politik balas budi yang
terkait dengan pendidikan ini tetap berorientasi pada kepentingan penjajah.
Meskipun, akibat positif dari politik ini tentu ada juga. Misalnya, semakin meleknya
pribumi-pribumi terhadap berbagai persoalan-persoalan yang pada akhirnya
memunculkan kaum intelek pribumi, dan mengantarkan mereka pada paham
kebangsaan dan adanya kesadaran akan keterjajahan mereka.
Para Priyayi karya Umar Kayam: Refleksi Neokolonialisme Pendidikan dalam
Jagat Sastra Indonesia
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam merupakan salah satu contoh yang
paling tepat untuk merefleksikan dunia pendidikan Indonesia yang terjajah, terutama
di masa kolonialisme Belanda hingga masa pasca-kemerdekaan. Para Priyayi secara
garis besar menceritakan lahirnya priyayi-priyayi baru dari lumpur sawah (pedesaan)
karena akses pendidikan. Namun, jangan dikira setiap orang –baik di kota maupun di
desa, yang bisa mendapatkan hak istimewa ini.
5 Sebagai ilustrasi: Yap Guan Ho, seorang pedagang, pedagang buku dan penterjemah, pada tahun 1890 mencetak ulang buku Yuli baochaoquanshi wen yang ke-5 sebanyak 8.652; 5.898 eksemplar terdistribusi di Jakarta, 1.481 eksemplar di Pantai Barat Sumatera, 585 di Kalimantan, 390 di Ambon, dan 294 di Manado (Salmone, 1985:184-185)
7
Sastrosoedarno adalah salah satu contoh konkrit dari priyayi yang lahir karena
pendidikan. Setelah dipelihara dan diizinkan untuk ngenger6 kepada Ndoro Seten,
Sastrodarsono berhaisl menjadi mantri guru di puncak karirnya. Dari Sastrodarsono
ini pula, kelak akan terlahir priyayi-priyayi baru dalam keluarganya.
Seperti dalam pengantar tulisan ini, tidak semua masyarakat bisa
mendapatkan hak yang istimewa, pendidikan. Hanya mereka yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan priyayi lah yang bisa mendapatkan akses ini. Praktik
selektif merupakan hal yang umumnya banyak ditemui.
Penguasaan bahasa Belanda merupakan indikasi terpelajarnya seseorang.
Tidak semua sekolah mengajarkan bahasa Belanda. Sekolah-sekolah liar seperti yang
diajarkan oleh Sastrodarsono hanya mengajarkan membaca dan menulis, sekedar
bekal supaya pribumi dapat membaca dan menulis saja, berbeda dengan sekolah-
sekolah elit yang lebih banyak diisi para priyayi dan mendapatkan pelajaran bahasa
Belanda. Sekolah yang berada di desa-desa ini nilainya rendah dibandingkan dengan
sekolah-sekolah yang ditujukan bagi para priyayi yang umumnya sudah mengantongi
6 Ngenger atau nyantrik atau belajar sambil mengabdi biasa dilakukan oleh pribumi yang berkelas sosial rendah kepada anggota kelompok masyarakat yang berkelas sosial tinggi. Ngengernya Sastrodarsono adalah suatu prestasi karena dari usaha ngenger untuk mendapatkan budaya baca tulis ini dia berhasil menjadi seorang priyayi (guru bantu). Ketika sudah berhasil menjadi priyayi karena akses pendidikannya, Sastrodarsono mampu melahirkan priyayi-priyayi baru dalam kehidupan keluarganya. Anak-anaknya otomatis menjadi seorang priyayi. Saudara-saudaranya pun menikmati imbas keberhasilannya setelah menjadi seorang priyayi, yang akhirnya akan membuat mereka ngenger kepada Sastrodarsono untuk meningkatkan status sosial mereka sebagai priyayi karena akses pendidikan: sebuah ritual menuju jenjang kepriyayian yang dulu pernah dilakoni oleh Sastrodarsono.
8
izin dari penguasa Belanda. Simaklah bagaimana refleksi penilaian sebuah sekolah
desa dan sekolah anak-anak priyayi berikut ini:
Anak-anak kami tentu saja tidak kami kirim ke sekolah desa. Sekolah
desa diadakan untuk memenuhi keperluan yang sangat terbatas, yaitu untuk
mendidik dan mengajar anak-anak desa bisa menjadi pemuka masyarakat
desa, bisa menjadi buruh yang bisa membaca dan menulis (cat: garis bawah
dari penulis), bisa menjadi juru tulis kelurahan. Dan kalau anak-anak desa itu
beruntung, seperti saya misalnya, bisa mendapat kesempatan lebih baik.
Anak-anak kami masukkan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak
priyayi itu, karena sekolah ini diadakan untuk menyiapkan priyayi-priyayi
gupermen. Anak-anak yang sekolah di situ akan diajar bahasa Belanda,
bahasa yang sangat penting buat mendapat keududukan di kantor gupermen
dan dapat meneruskan pelajaran ke sekolah menengah dan sekolah menengah
atas priyayi, seperti MULO, AMS, atau sekolah-sekolah guru menengah,
seperti sekolah Normaal, Kweeksekul, dan sebagainya. (Para Priyayi, Umar
Kayam: 1992:52)
Pendidikan yang diperoleh para priyayi itu pun sebenarnya juga pendidikan
yang taktis saja karena hanya dimaksudkan untuk menyiapkan pegawai-pegawai
birokrat penguasa Belanda. Demikian pula dengan sekolah-sekolah di desa. Namun,
tetap saja penguasaan bahasa Belanda merupakan salah satu akses bagi para priyayi
ini untuk memasuki karirnya dalam birokrasi.
Karena kebijakan pendidikan yang selektif dan elitis yang diterapkan oleh
pemerintahan Belanda, maka sekolah-sekolah bagi pribumi rendahan yang berdiri di
luar izin gupernemen ini dinilai sebagai sekolah liar. Sekolah liar inilah yang
didirikan oleh Sastrodarsono, terinspirasi oleh sepak terjang Raden Mas Tirto
Adisoerjo dalam Medan Prijajinya, surat kabar yang sangat dibenci dan ditakuti oleh
Belanda karena dinilai bisa mengakibatkan perlawanan dari kaum intelektual
pribumi.
9
Pengaruh pendidikan Eropa ini juga terlihat dalam sikap Soemini, anak
perempuan Sastrosoedarno. Soemini adalah gambaran perempuan Jawa yang modern.
Soemini menolak untuk dinikahkan dengan lelaki priyayi pilihan bapaknya dengan
alasan dia ingin belajar terlebh dahulu. Rupanya, Soemini ini diberikan pasangan
yang dinilai cocok oleh ayahnya: dari golongan pribumi yang sama-sama terpelajar
dan sudah mendapatkan kedudukan di pemerintahan. Suami Soemini pun ternyata
juga seorang pribumi yang modern dan moderat. Dengan kebesaran hatinya, dia
menerima syarat Soemini yang mau dinikahinya jika dia memberikan kesempatan
kepada Soemini untuk bersekolah terlebih dahuilu. Sastrodarsono, ayah Soemini pun
tak bisa memaksakan kehendaknya karena menurutnya situasi zaman sudah berubah.
Dan secara getir, Sastrodarsono diam-diam mengakui imbas dari pendidikan modern
yang dibawa Belanda terhadap kebiasaan dan nilai-nilai budayana.
Peralihan penguasa dari Belanda ke Jepang juga membawa imbas bagi dunia
pendidikan di Indonesia. Bahasa Belanda tak lagi diajarkan. Sebaliknya, bahasa
Indonsia cukup tumbuh dengan subur masa penjajahan Jepang. Hanya saja, dalam
masa penjajahan ini, karakter pendidikan di Indonesia menjadi sangat berkiblat ke
Jepang. Dalam novel Para Priyayi ini akan terlihat beberapa nilai kebudayaan yang
terlalu dipaksakan oleh Jepang pada penduduk Indonesia:
Sesudah saya kembali dari Wanagalih untuk menghibur Bapak yang
merasa sangat terpukul oleh tempelengan tuan Nippon, saya kembali bekerja
seperti biasa di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis. Tentulah nama sekolah
tersebut nama baru sesudah Jepang masuk. Sebelumnya, pada zaman
Nederlandsche Indie, sekolah tempat saya mengahar itu adalah gouvernment’s
HIS Jetis. Saya ternyata tidak seberani Bapak yang menolah untuk menjalani
upacara saikere kita ni muke, membungkuk dalam-dalam kearah utara. Saya
10
bersama rekan guru-guru patuh belaka mengikuti perintah itu. Juga perintah
agar setiap pagi kami bersama semua murid harus melaksanakan taiso, gerak
badan, dalam hitungan delapan dan itingan piano dari radio. (Para Priyayi,
Umar Kayam, 1992:177)
Setelah kemerdekaan, situasi bangsa Indonesia yang digambarkan oleh Umar
Kayam tidak secara detail menggambarkan adanya perubahan dalam dunia
pendidikan. Pasca perang kemerdekaan, sepak terjang keluarga Noegroho lah yang
paling banyak disorot. Keluarga Noegroho adalah representasi dari hiruk pikuk
kemerdekaan yang banyak memberikan keuntungan bagi para pejuang-pejuangnya.
Noegroho adalah tokoh yang diuntungkan dari akses pendidikan yang
diperoleh karena status keistimewaannya sebagai priyayi. Dalam korpsnya, dia
mendapatkan jabatan sebagai pemimpin. Kedudukannya semakin mapan sesuai
dengan kelihaiannya dalam mencari aman dan celah untuk menumpuk kekayaannya
sendiri. Hasilnya sangat menggembirakan: lahirlah Noegroho –seorang anak priyayi
yang berhasil menjadi priyayi tulen dengan menduduki jabatan tertinggi dalam dunia
ketentaraan. Berkat Noegroho yang berhasil mendapatkan hak-hak istimewa di
ketentaraan karena jasa-jasa yang pernah dilakukannya, dia berhasil membuat
Harimurti –keponakannya yang tertangkap oleh pemerintahan RI karena telribat
dengan gerakan PKI, bebas!
Pendidikan Belanda yang elitis, selektif, dan diskriminatif ini jelas membawa
keuntungan bagi mereka yang pernah mendapatkannya. Pendidikan itu melahirkan
pejabat-pejabat pemerintah yang sampai Indonesia merdeka pun tetap mendapatkan
manfaat dari pendidikan elitis tersebut. Tengoklah bagaimana Noegroho yang
11
seorang priyayi, mendapatkan pendidikan Belanda, berhasil menjadi tentara dan
memiliki jabatan yang cukup tinggi dalam karir kemiliterannya.
Penguasa selaku penentu kebijakan dalam novel ini ternyata juga
menunjukkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan. Lihatlah bagaimana pergeseran
penentu kebijakan beralih dari Belanda ke Jepang. Penguasaan bahasa Belanda tidak
lagi menjadi kemutlakan untuk diajarkan di sekoalah-sekolah dalam pemerintahan
Jepang. Bahkan, penggunaan bahasa Belanda pun mulai dibatasi. Bahasa Indonesia
justru tampil dan diperbolehkan untuk digunakan. Atas kebijakan yang cukup longgar
ini lah, maka gerak pribumi yang mendapatkan pendidikan tinggi sebelumnya
menjadi lebih leluasa karena mereka toh sebelumnya sudah memperoleh keuntungan
dari pendidikan yang pernah diperoleh sebelumnya.
Persoalan Pendidikan Indonesia Kini: Menuai Gejala yang Sama?
Merdeka dari penjajahan bukan berarti merdeka dari keterbatasan akses
pendidikan. Situasi bangsa yang serba tak menentu ditambah dengan krisis yang
hampir ditemui di semua lini kehidupan semakin mengakibatkan pendidikan di
Indonesia menjadi tak karuan. Di Juli 2007 ini, beberapa siswa terancam tercabut
statusnya sebagai siswa di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA) di kota
Semarang karena tak dapat memenuhi kewajibannya membayar daftar ulang.
Kebijakan kuota siswa berasal dari luar daerah Yogyakarta sebanyak 20% di Kota
Yogyakarta dinilai membatasi akses anak-anak di luar kota Yogyakarta untuk
mendaftar di SMA yang diinginkan. Tak terhitung banyaknya anak-anak jalanan atau
12
mereka yang berasal dari keluarga tak mampu berada di ambang kecemasan karena
bisa jadi mereka termasuk yang tak beruntung mengenyam pendidikan, meski konon
katanya untuk siswa SD bebas dari biaya pendidikan dan adanya sumbangan dana
BOS dari negara. Janji APBN 20% yang akan dianggarkan untuk biaya pendidikan
pun hanya menjadi janji manis karena tak kunjung terbukti kebenarannya.
Sulitnya akses pendidikan bagi semua warga negara hanya satu dari untaian
benang kusut pendidikan yang membelit negeri ini. Di tingkat Pendidikan Tinggi,
beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai mengubah statusnya menjadi BHP.
Subsidi pendidikan dari pemerintah mulai dikurangi, akibatnya perguruan tinggi yang
telah berubah statusnya menjadi BHP kemudian menerapkan biaya anggaran yang
terhitung cukup tinggi sebagai cadangan dana operasional yang jumlahnya tak sedikit
itu!
Belum lagi ketentuan dan kebijakan yang beragam dari masing-masing
universitas. Kualitas dalam hal ini mungkin dipertanyakan. Karena, sudah menjadi
rahasia umum jika besarnya uang sumbangan yang mampu diberikan oleh calon
mahasiswa terhadap jurusan yang menjadi tujuannya akan berpengaruh terhadap
keterterimaannya di perguruan tinggi yang dituju. Ini umumnya dijumpai pada
penerimaan mahasiswa dengan jalur di luar SPMB, atau jalur nonreguler atau melalui
ujian tulis dari universitas yang bersangkutan.
Mahasiswa yang lahir dari situasi The Have-lah yang akan diuntungkan dalam
hal ini karena mereka masih relatif lebih mudah mendapatkan akses pendidikan. Tak
lolos dari SPMB bukanlah penghalang bagi mereka untuk mengenyam pendidikan
13
tinggi. Asal bisa membayar biaya pendidikan jalur nonreguler, mereka akan memiliki
akses yang sama untuk menempuh jalur pendidikan tinggi. Sedangkan bagi mereka
yang berasal dari The Have Not, tentu memiliki keterbatasan-keterbatasan dan
kesempatan yang sangat kecil. Kecerdasan, keberuntungan, dan kejelian dalam
menentukan jurusan yang dituju adalah faktor-faktor yang lebih banyak berpengaruh
bagi mereka. Jika tak lolos dari SPMB, atau tak memiliki cukup biaya untuk
membayar biaya pendidikan di luar jalur penerimaan reguler atau perguruan tinggi
swasta, mereka hanya bisa bersabar dan menahan diri untuk tidak tergoda
melanjutkan pendidikan tinggi.
Sebenarnya, pendidikan tinggi di Indonesia pun belum banyak memberikan
jaminan skill atau keterampilan bagi alumninya. Terbukti dengan masih banyaknya
jumlah pengangguran di Indonesia yang berkualifikasi sarjana. Beberapa sekolah
menengah kejuruan yang ada belum mampu mengubah paradigma masyarakat karena
minimnya publikasi kinerjanya. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih
beranggapan bahwa bersekolah di SMA lebih menguntungkan karena bisa
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi berikutnya, sedangkan bersekolah di SMK
tidak. Namun, satu hal yang kurang jeli dilihat oleh masyarakat kita adalah SMK
menyediakan serangkaian keterampilan yang dibekalkan bagi siswa lulusannya.
Inilah yang tak banyak didapatkan di bangku-bangku SMA. Karenanya, tak
mengherankan pihak instansi pemerintah seperti Dirjen Dikdasmen merasa perlu
melakukan kampanye dan sosialisasi akan manfaat dan keuntungan bersekolah di
SMK.
14
Kejadian serupa pernah dialami oleh Indonesia masa penjajahan Belanda.
Pada saat itu, pendidikan bagi pribumi hanya berorientasi sebagai penyedia tenaga
birokrasi yang akan mengisi pos-pos administrasi pemerintahan kolonial. Tenaga
birokrasi ini umumnya tak memiliki skill atau keterampilan khusus. Ini juga yang saat
ini tengah terjadi di Indonesia. Pendidikan kita sangat lemah dalam membekali
siswanya dengan lifeskill. Akibatnya, mereka menjadi ”mandul” atau tak bisa
berkarya ketika keluar dari sekolah. Tentu saja kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan
berlarut-larut. Pemerintah selaku pemegang kebijakan harus menghasilkan kebijakan-
kebijakan baru yang dapat mendongkrak kualitas lulusan, terutama membekali
mereka dengan serangkaian skill yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Peran pemerintah selaku pemegang kebijakan juga belum menunjukkan hasil
yang memuaskan, terutama berkaitan dengan kurikulum. Di Indonesia, pembaharuan
kurikulum umumnya dilakukan sepuluh tahun sekali. Namun, sejak era reformasi di
tahun 1998, dunia pendidikan di Indonesia ikut-ikutan latah mengalami reformasi.
KBK atau Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah salah satu contoh hasil kelatahan
pemerintah Indonesia. Ketika salah satu menteri pendidikan waktu itu berkunjung ke
luar negeri dan melihat kurikulum berbasis kompetensi diterapkan di negara asing
dan menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, kurikulum ini diadopsi mentah-
mentah, tidak diolah dengan penyesuaian situasi dan kebutuhan dalam negeri sesuai
dengan kekayaan lokal yang dimiliki di setiap daerah Indonesia.
15
Belum lagi dipahami oleh semua elemen pendidikan, KBK ternyata hanya
menjadi sekedar wacana. Padahal, untuk menyosialisasikan KBK ke sekolah-sekolah
saja pemerintah sudah mengeluarkan banyak dana. Bayangkan berapa kerugian yang
dialami oleh pemerintah karena kecerobohan dalam menentukan kebijakan yang
‘kurang diperhitungkan secara masak-masak ini.
Pengganti KBK berikutnya adalah KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan. Konon, kurikulum ini hampir mirip dengan KBK. Namun, sampai saat
ini, pemahaman yang satu mengenai KTSP pun belum sepenuhnya ada. Ini mungkin
tak akan menjadi soal di pulau Jawa yang sangat dekat dengan pemerintahan pusat
(Jakarta) yang selama ini cenderung menjadi penentu kebijakan dan memudahkan
akses informasi terhadapnya. Bagaimana dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa, di
mana tidak semua kebutuhan pendidikan tercukupi di sana? Film Denias garapan Ari
Sihasale dan Nia Zulkarnaen dapat menjadi gambaran betapa pendidikan di
Indonesia, terutama yang berada di luar Jawa, sangat jauh dari kesempurnaan dan
ideal. Tidak setiap sekolah mempunyai fasilitas yang layak, bahkan beberapa sekolah
pun mengalami kelangkaan tenaga pengajar.
Kecenderungan mutakhir, kota-kota besar di indonesia –terutama yang
berada di Pulau Jawa, mulai banyak melakukan labelisasi sekolah, antara lain sekolah
berstandar nasional, internasional, atau sekolah terpadu. Standarisasi sekolahan ini
antara lain didasarkan atas sarana-prasarana yang dimiliki sekolah, kualifikasi tenaga
pengajar, desain kurikulum yang diterapkan, bahasa atau medium pengajaran yang
16
digunakan, standar mutu lulusan, sustainability yang telah ditunjukkan oleh sekolah,
dsb.
Beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Jawa bahkan telah
menyelenggarakan kelas-kelas bertaraf internasional, yang cirinya antara lain adalah
diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris. Beberapa sekolah menjalin
kerja sama dengan universitas atau sekolah di Luar Negeri yang bersedia memberikan
beasiswa bagi pelajar atau mahasiswa Indonesia untuk belajar ke luar negeri.
Tidak hanya pelajar yang dikirim ke luar negeri untuk belajar ilmu
pengetahuan yang selama ini menjadi sumbernya. Pengajar pun mengalami nasib
yang sama. Pihak perguruan tinggi terutama yang paling sering mengirimkan tenaga
pengajarnya untuk belajar di negara asing (Barat). Barat menjadi kiblat modernitas,
standar kemajuan berpikir, dan pengetahuan.
Berkaca pada pengalaman di UNY, di mana standar internasional tengah
berusaha didapat melalui serangkaian bantuan-hibah (lebih tepatnya adalah dana
pinjaman) dari World Bank, kelas-kelas berstandar internasional tengah diupayakan
untuk dirintis di beberapa jurusan. Beberapa dosen juga dipersiapkan untuk
menempuh studi banding di beberapa negara terdekat yang dirasa lebh maju daripada
Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan mutu keinternasionalannya pula, tes bahasa
Inggris (TOEFL) wajib dipenuhi oleh mahasiswa yang ingin lulus. Mahasiswa harus
mampu mencapai skor minimum 400. Para dosen juga dipersiapkan untuk studi ke
luar negeri. Pihak UNY juga menyiapkan pelatihan bahasa Inggris bagi dosen,
17
memberi mereka tes ITP gratis seharga $ 30 US, bagi yang telah mendapatkan skor
minimum 500 pada tes TOEFL Like sebelumnya. Bahkan bagi dosen yang bisa
mendapatkan skor ITP minimum 525, akan diberikan reward oleh pihak rektorat
UNY sebesar @ Rp 2.000.000!!
Dalam beberapa kasus, orientasi ke Barat ini sangat berpengaruh terhadap
pola pikir dan perilaku dosen-dosen yang pernah mengecap pendidian di Barat. Sikap
negtif yang muncul antara lain adalah memandang keunggulan Barat sebagai sebuah
keniscayaan yang harus dikejar dan dipelajari oleh manusia-manusia Indonesia. Dan
kadang kala (atau lebih tepatnya sering), kepercayaan-kepercayaan asing itu ditelan
mentah-mentah dan tidak disesuaikan nilai-nilai budayaan lokal.
Status bahasa Inggris sebagai bahasa percaturan dunia seakan-akan telah
membius sekolah-sekolah di Indonesia untuk mengajarkan bahasa asing ini sejak
anak-anak Indonesia masih TK hingga perguruan tinggi. Kosa kata baru dan
sederhana bahasa Inggris mulai dikenalkan sejak taman kanak-kanak. Sementara itu,
bahasa Indonesia menjadi bahasa ke dua yang paling sering dipergunakan oleh anak-
anak. Ini bisa dilihat dengan mulok (muatan lokal) sekolah TK di Yogyakarta yang
baru-baru ini saja memasukkan bahasa Jawa sebagai mulok yang harus diajarkan
pada anak didiknya.
Masuknya bahasa Jawa menjadi mulok tentu didasarkan atas sejumlah
pemikiran akan posisi bahasa daerah yang semakin terpinggirkan di tengah arus
globalisasi yang mulai menyentuh sudut-sudut wilayah Indonesia. Bahkan di tahun
18
2010, konon bahasa-bahasa daerah di Indonesia akan semakin menyusut jumlahnya
karena penggunanya yang semakin sedikit.
Sebaliknya, bahasa Inggris tampil menjadi bahasa yang sangat prestisius.
Kondisi ini agak berbeda dengan Indonesia tahun 1990an. Di milenium ke dua, di
mana globalisasi adalah isu yang mustahil tak dibicarakan, bahasa Inggris menjadi
‘pemenang’ dan menjangkau semua elemen masyarakat.
Di lingkup pendidikan, bahasa Inggris tidak hanya menjadi pelajaran wajib
yang diberikan kepada para murid. Akibatnya, pesan-pesan berupa ajakan bagi
masyarakat untuk menggunakan dan mencintai bahasa Indonesia perlu
dikampanyekan karena kuatnya indikasi masyarakat kita mulai meninggalkan bahasa
Indonesia. Tengoklah beberapa wawancara yang ditayangkan televisi, kita akan
mendapati beberapa kata yangs sebenarnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia
namun lebih suka diucapkan dalam bahasa asing. Maksudnya tentu saja untuk
menunjukkan kelas penggunanya.
Dengan demikian, penggunaan bahasa sudah merupakan penunjuk prestis
penggunanya. Semakin canggih seseorang berbahasa asing, maka masyarakat akan
menilainya sebagai seseorang yang lebih beradab dan maju daripada yang lainnya.
Tentu saja ini hanya salah satu ukuran dari banyaknya ukuran yang diterapkan
masyarakat.
Penggunaan bahasa Inggris dalam situs-situs pendidikan merupakan salah satu
indikasi akan keterjajahan dunia pendidikan Indonesia. Kolonialisme yang melanda
Indonesia memang bukan lagi milik Belanda. Negara-negara adikuasa seperti Inggris
19
dan Amerika sebagai negara industri maju lah yang memegang kekuasannya. Salah
satunya dimanifestasikan dalam pengakuan bahasa Inggris sebagai media yang
digunakan untuk prasyarat akan berkualitasnya murid dari segi penguasaan
bahasanya.
Di dunia kerja Indonesia, penguasaan bahasa Inggris secara aktif dan pasif
menjadi prasyarat yang semakin banyak dijumpai. Setiap lowongan yang termuat di
koran hampir selalu menyaratkan penguasaan bahasa Inggris, baik dengan unjuk skor
TOEFL, IELTS, atau kemampuan lisan dan tulisnya.
Kolonialisme di Indonesia telah mencapai bentuknya yang baru, yakni melalui
topeng pendidikan. Memang benar bahwa kolonialisme dalam beberapa hal mungkin
membawa kebaikan dalam bidang pendidikan. Namun, seiring perkembangan zaman,
Indonesia membuktikan bahwa keterjajahan Indonesia masih terjadi hingga saat ini.
Pendidikan di Indonesia rata-rata masih didikte dengan kepercayaan-
kepercayaan asing. Selain itu, fasilitas-fasilitas sangat tidak merata penyebarannya.
Dunia pendidikan di luar Jawa umumnya yang mengalami kesulitan dalam
mendapatkan fasilitas-fasilitas seperti ini. Kurikulum yang tidak disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan analisis kebutuhan untuk memajukan bangsa menjadi
kendala dalam dunia pendidikan di Indonesia. Akibatnya, sekolah-sekolah di
Indonesia masih berorientasi pada pengkaderan tenaga administrasi dibandingkan
dengan tenaga-tenaga terlatih yang memiliki kesadaran sosial untuk memperbaiki
kehidupan sosial-ekonomi negara Indonesia.
20
Pembangunan sarana-dan prasarana, kualitas dan kuantitas mutu pendidikan
di Indonesia juga masih berorientasi di daerah pusat. Daerah-daerah tertinggal sangat
jauh dari citra sekolah yang ideal. Kondisi ini masih diperburuk dengan penetapan
standar yang diterapkan di beberapa daerah perkotaan, seperti sekolah berstandar
internasional, berstandar nasional, berbadan hukum pendidikan (BHP), sekolah
terpadu, dst. Dengan model-model seperti ini, pendidikan di daerah menjadi semakin
tertinggal dengan pendidikan yang berada di kota-kota besar.
Orientasi ke Barat tanpa melihat struktur keunikan masyarakat Indonesia
menjadi salah satu sebab yang semakin mempertajam persoalan-persoalan pendidikan
di Indonesia. Penggunaan dan pengajaran bahasa asing yang porsinya lebih banyak
daripada bahasa lokal (daerah) tentu saja akhirnya membuat bahasa daerah lama-
kelamaan menjadi mati.
Sayangnya, peningkatan penggunaan bahasa asing tidak didukung dengan
upaya untuk mencintai bahasa daerah. Masuknya bahasa daerah ke dalam muatan
lokal, misalnya, bukan satu-satunya solusi yang tepat. Ini dikarenakan tidak
diimbanginya dengan penanaman budaya atau kesenian lainnya di sekolah-sekolah.
Porsi yang tak seimbang antara budaya lokal yang diajarkan bukan tak mustahil akan
membuat hal-hal yang berbau kedaerahan menjadi semakin terasing dan tak dikenali
oleh masyarakat Indonesia.
Penutup
21
Meski dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap
warga negara, namun tampaknya Indonesia belum dapat mewujudkannya. Situasi dan
kondisi kehidupan bangsa yang tak stabil semakin membuat dunia pendidikan di
Indonesia sarat dengan persoalan-persoalan yang sangat erat dengan persoalan
politik.
Persoalan-persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan di Indonesia
sebenarnya adalah persoalan-persoalan yang lahir dan diperuncing oleh kolonialisme.
Dalam bentuk pendidikan inilah, pendidikan bermetamorfosa sebagai sebuah
neokolonialisme7.
Praktik neokolonialisme dalam dunia pendidikan Indonesia terekam dalam
Para Priyayi karya Umar Kayam yang banyak bercerita tentang pola-pola pendidikan
zaman kolonialisme Belanda yang tak pernah bebas dari diskriminasi, elitisasi, dan
seleksi. Penguasaan bahasa Belanda merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
bagi kedudukan dan karir seorang priyayi yang telah mendapatkan pendidikan a la
Eropa.
Kondisi yang sama hampir ditemui di dunia pendidikan Indonesia saat ini.
Pembelajaran bahasa asing yang banyak digunakan di berbagai sekolah merupakan
indikasi adanya bentuk neokolonialisme karena bahasa-bahasa lokal mulai terabaikan.
7 Philip G Altbach dalam “Education and Postcolonialisme” (dalam The Postcolonial Studies Reader, 1995) mengatakan bahwa neokolonialisme adalah situasi yang tengah terjadi pada Negara yang sedang membangun, ini terutama terkait dengan sistem pendidikan dan kehidupan intelektualnya. Neokolonialisme memiliki pengaruh positif dan negatif. Dampak neokolonialisme yang negatif lah yang disoroti Philip dalam tulisannya tersebut, terutama yang berwujud pendidikan. Menurutnya, negara-negara berkembang banyak menggunakan pola administrasi sekolah kolonial.
22
Masyarakat juga memandang bahwa penguasaan bahasa asing akan membuat
seseorang menjadi terdongkrak prestisnya. Ini antara lain ditunjukkan dnegan
semakin banyaknya anggota masyarakat, terutama kaum elit yang pernah mencecap
pendidikan di luar negeri, untuk lebih sering menggunakan kosa kata asing dalam
percakapan -meski sebenarnya kata tersebut ada pula padanannya dalam bahasa
Indonesia, dan mulai sedikitnya pengguna bahasa daerah.
Akses pendidikan yang terbatas terutama bagi mereka yang tak mampu adalah
salah satu bukti lain betapa pendidikan di Indonesia saat ini tak mudah diperoleh.
Gonta-gantinya kurikulum oleh pejabat yang berbeda merupakan bukti lain betapa
pondasi pendidikan kita mudah goyah dan tak memiliki struktur yang kuat, terutama
yang memperhatikan nilai-nilai lokal dan kebutuhan yang beragam dari masing-
masing daerah dengan karakteristiknya.
Jika pendidikan indonesia tidak mengalami perubahan, masih bergerak dalam
usaha menciptakan calon-calon tenaga birokrat pemerintah yang sangat minim
kualitas skill yang dimilikinya, tentu ini tak akan memperbaiki kondisi pendidikan
kita. Pendidikan yang berkarakter, berorientasi pada kebutuhan untuk memajukan
masyarakat dan bangsa Indonesia, menciptakan keadilan bagi seluruh warga negara
untuk mendapatkan hak pendidikan, dan keberanian untuk menentukan nasib
pendidikan dengan tak berkiblat kepada dunia Barat perlu diwujudkan supaya
pendidikan kita lebih bermartabat dan merdeka.
Jogjakarta, Juli 2007