GAMBARAN STRESS PADA INDIVIDU TERHADAP ADAT PERNIKAHAN...
Transcript of GAMBARAN STRESS PADA INDIVIDU TERHADAP ADAT PERNIKAHAN...
GAMBARAN STRESS PADA INDIVIDU TERHADAP
ADAT PERNIKAHAN (RAMBU TUKA’) TORAJA
OLEH:
KEVIANA APSARI MOGA
802013061
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
GAMBARAN STRESS PADA INDIVIDU TERHADAP
ADAT PERNIKAHAN (RAMBU TUKA’) TORAJA
Keviana Apsari Moga
Chr. Hari Soetjiningsih
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
dianggap sebagai prosesi yang sakral dan sebagian orang mempersiapkannya sebaik
mungkin. Dalam pernikahan masyarakat Toraja, calon pengantin akan menerima
pemberian dari seluruh rumpun keluarga maupun kerabat mereka dalam bentuk hewan
maupun materi yang menjadi simbol dari setiap acara yang dilakukan di Toraja baik itu
diberikan kepada pihak laki-laki maupun perempuan namun pada akhirnya pemberian
tersebut bagi sebagian masyarakat Toraja mengartikannya sebagai “indan” atau utang.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan metode pengambilan data
yaitu wawancara dan observasi. Penelitian ini melibatkan lima orang partisipan dengan
rentang usia 25-55 tahun saat wawancara dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa partisipan merasa cemas, menurunnya konsentrasi, pikiran berulang yang
dirasakan dari awal pernikahan hingga saat ini. Hasil penelitian tiga partisipan sering
memikirkan indan yang berdampak pada aspek fisiologis, aspek psikologis, dan sosial
serta merasa perubahan terhadap ukuran, bentuk serta potensi tubuh saat ini yang
membuat individu sering merasa pusing, kelelahan turunnya berat badan, menurunnya
daya konsentrasi, pikiran kacau, serta pikiran yang berulang tentang indan. Mereka
merasa khawatir pada saat akan membayar indan namun tidak memiliki uang, hal ini
membuat ketiga partisipan mengalami kecemasan, dan malongko’ atau malu, Namun
hal tersebut tidak berdampak pada dua partisipan karena mereka tidak memikirkan
indan secara terus menerus.
Kata Kunci: Kecemasan, Stress, Rambu Tuka‟
ii
Abstract
Marriage is an important thing for human life. It is considered as a sacred ceremony
that some people prepare it very well. In the marriage of Torajanese, the bride or
groom-to-be will receive gifts from all families as well as relatives in the form of
animals or materials which become the symbol of each event done in Toraja. Those are
given not only to the family of the bride-to-be but also the groom-to-be, but at the end,
the gifts are meant as “indan” or a debt by some of Torajanese. The method used in this
research is qualitative; and the methods used for collecting the data are interview and
observation. Five people are participated in the interview with age between 22-25 years
old. The interview results show that the participants feel anxious, have decreasing
concentration, and also have repeated thoughts started from the beginning of the
marriage until now. The interview results of the three participants who had been
thinking about “indan” show that it has impacts on the aspects of physiology,
psychology, and social and they also feel the changes of size, shape, and potential of the
body which make them easily get headache, exhausted, as well as decrease their weight
and concentration, have confused mind, and also have repeated thought about “indan”.
They feel anxious when they have to pay “indan” and they have no money. Those made
the three participants experienced anxiety and “malongko” or embarrassed. But those
do not impact for the two other participants because they do not think about “indan”
continuously.
Keywords: Anxiety, Stress, Rambu Tuka’
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang majemuk, terkenal dengan keanekaragaman
dan keunikannya. Terdiri dari berbagai suku bangsa, yang mendiami belasan ribu
pulau, yang memiliki ciri khas dan keunikan budaya tersendiri. Budaya atau
kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang meliputi gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
manusia melalui belajar, oleh karena itu hampir semua tindakan manusia adalah
kebudayaan. Suatu corak kebudayaan terdiri dari kombinasi, unsur-unsur kultur, yaitu
nilai-nilai, norma-norma, tujuan-tujuan dan harapan-harapan yang khusus
diperuntukkan bagi suatu kelompok. Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat
tertentu merupakan pencerminan yang konkrit dari nilai budaya yang diterapkan
dalam dinamika kehidupan (Koentjaraningrat, 1991).
Toraja merupakan salah satu suku di Indonesia yang memiliki keunikan
tersendiri yang tidak akan dijumpai di daerah manapun. Masyarakat Toraja sejak dulu
dikenal sebagai masyarakat religius dan memiliki integritas yang tinggi dalam
menjunjung tinggi budayanya. Masyarakat Toraja telah memiliki aturan tata hidup
yang mengatur sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan.
Salah satu yang menjadi ciri khas di Toraja adalah upacara pernikahan atau biasa
dikenal dengan istilah “Rambu Tuka”.
Setiap orang pasti ingin menikah. Pernikahan merupakan suatu hal yang
sangat penting dalam kehidupan. Pernikahan dianggap sebagai suatu prosesi sakral
2
yang dilakukan seumur hidup, dan sebagian orang mempersiapkannya sebaik
mungkin. Mereka dalam hal ini calon pengantin berharap prosesi pernikahan mereka
selenggarakan nantinya dapat menimbulkan kenangan yang tak terlupakan.
Dalam pernikahan masyarakat Toraja, calon pengantin yang melaksanakan
pernikahan, akan menerima pemberian dari seluruh rumpun keluarga maupun kerabat
mereka dalam bentuk materi maupun hewan yang menjadi simbol dari setiap
rangkaian upacara yang dilakukan di Toraja, baik itu diterima oleh pihak perempuan
maupun laki-laki. Namun pada akhirnya sumbangan tersebut akan menjadi “indan”
atau utang bagi yang melaksanakan pernikahan. Jadi semakin banyak pemberian
yang diterima, maka semakin banyak pula indan yang harus dibayar. Indan tersebut
akan dibayarkan apabila keluarga yang membawa pemberian tersebut ada yang
menikah juga. Namun tidak menutup kemungkinan indan tersebut dapat dibayarkan
pada saat ada keluarga dari yang membawa pemberian tersebut meninggal. Kemudian
yang membuat sebuah pernikahan menjadi berat, jusru karena hampir semua
penduduk di negeri kita masih terikat erat dengan adat dan budaya setempat, yang
menjadi “beban” bagi calon pengantin dan keluarganya.
Stress adalah sebuah reaksi spesifik bagi individu terhadap stressor , atau
ancaman dan tuntutan yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari luar individu.
Stress sebagai gangguan pada tubuh dan fikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
tuntutan kehidupan. Keadaan tersebut dikarenakan adanya berbagai faktor yang
mempengaruhi otak / pikiran atau mental dari seseorang. Akan tetapi apabila keadaan
stress tersebut menjadi berlebihan maka akan mempengaruhi psikis dan juga fisik
(kesehatan) individu itu sendiri.
3
Fenomena yang ditemukan peneliti dalam percakapan yang pernah dilakukan
pada saat masih di Toraja, ada beberapa ciri yang menunjukkan gejala stress pada
calon pengantin yang akan menikah. Salah satu yang diungkapkan keluarga dari
calon pengantin mengatakan “bahwa N sangat cemas, ia tidak berhenti menangis,
merasa takut, dan tidak mampu mengatasi masalah, karena sangat banyak sumbangan
babi yang berdatangan kerumahnya, dan ia mengatakan bahwa ia bingung bagaimana
harus membayar kembali semuanya itu”. Dari hal tersebut menunjukkan bahwa N
mengalami stress karena beban yang harus ia tanggung. Dalam masyarakat Toraja
indan akan diwariskan kepada keturunan berikutnya jika indan tersebut belum
dibayarkan seluruhnya oleh yang menerima pemberian, dan tidak dapat dipungkiri
bahwa kehidupan penerimanya menjadi semakin terbebani secara ekonomi, karena
dikemudian hari bisa menimbulkan indan sampai “tujuh turunan”. Karena tuntutan
untuk membayar indan itu juga menjadi salah satu faktor seseorang mengalami
stress.
Fenomena selanjutnya yang juga peneliti temukan dari percakapan peneliti
dengan informan “bahwa L mengalami stress karena semakin banyaknya sumbangan
babi yang berdatangan ke rumahnya. L juga mengalami kecemasan, gelisah, merasa
takut, dan tidak mampu mengatasi masalah tersebut karena hal tersebut tidak dapat ia
tolak. Pada saat keluarga maupun kerabat yang datang memberi, orang tua L yang
menerima sumbangan tersebut, karena kecemasan yang dialami L sehingga ia tidak
tahu apa yang harus ia lakukan dengan pemberian tersebut”. Di dalam pernikahan
masyarakat Toraja, hal tersebut tidak dapat dihidari maupun ditolak, karena dapat
menimbulkan siri’(malu) bagi keluarga yang melaksanakan.
4
Ritual dan prosesi adat itu juga yang kemudian membedakan adat pernikahan
satu daerah dengan daerah lainnya, apalagi kita tahu bahwa Indonesia memiliki
ratusan suku/etnis yang memiliki keragaman dalam adat pernikahan. Keterikatan
masyarakat terhadap adat daerahnya, terkadang membuat sebuah acara pernikahan
yang mestinya dapat dilaksanakan secara sederhana, kemudian berubah menjadi high
cost dan bagi sebagian masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi akan jadi
beban yang begitu berat.
Membahas tentang pernikahan suku Toraja, ada hal yang juga kontras dengan
kebudayaan lain di Indonesia ini, terutama pakaian adat. Warna pakaian adat untuk
pernikahan di Toraja adalah warna-warna cerah seperti putih, kuning, merah. Di
dalam pernikahan masyarakat Toraja, sangat dilarang untuk menggunakan pakaian
berwarna “hitam”, karena warna hitam di toraja adalah simbol ”kekelaman atau
kedukaan” dan hanya dipakai dalam upacara Kematian atau biasa dikenal dengan
istilah Rambu Solo’. Hal ini justru sangat berbeda dari beberapa daerah di Indonesia,
seperti Jogja, Madura, Sunda, Aceh, dan masih banyak lainnya daerah yang
menggunakan warna hitam dalam pernikahan.
Sepanjang hasil penelusuran dan pengetahuan peneliti, kajian tentang
gambaran stress individu yang tidak melakukan adat pernikahan (rambu tuka’) di
Toraja belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun demikian, hasil penelitian
yang relevan terkait gambaran stress telah ada, namun dalam konteks yang berbeda.
Penelitian ini berfokus pada Kematian atau biasa dikenal dengan istilah Rambu Solo’,
sedangkan yang di teliti oleh peneliti berfokus pada Pernikahan yang dikenal dengan
istilah Rambu Tuka’. Berikut hasil penelitian yang dimaksud. (Arman Marwing,
5
2011), judul penelitian Problem Psikologis Dan Strategi Coping Pelaku Upacara
Kematian Rambu Solo’ Di Toraja (Studi Fenomenologi Pada Tana‟ Bulaan).
Penelitian ini bertujuan untuk memahami dinamika psikologis subjek dengan cara
memahami faktor motivasional individu dari tana‟ bulaan miskin dalam
melaksanakan upacara rambu solo’, beban keuangan sebagai kejadian menekan yang
mereka hadapi, strategi pengatasan masalah dan dampak psikologis pada tana‟ bulaan
miskin.
Rumusan Masalah
Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang, peneliti ingin meneliti
tentang sejauh apakah stress pada individu yang telah melaksanakan pernikahan
dengan adat rambu tuka’ Toraja?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah,
untuk mengetahui tentang sejauh apakah gambaran stress pada individu yang telah
melaksanakan pernikahan dengan adat rambu tuka’ Toraja.
Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Manfaat dari penelitian ini bagi peneliti adalah diharapkan menjadi sarana
belajar untuk dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan terjun langsung,
sehingga dapat melihat bagaimana gambaran stress masyarakat Toraja yang telah
melaksanakan pernikahan dengan adat rambu tuka’. Dan penelitian ini juga dapat
6
menjadi bahan referensi atau sumbangan pemikiran bagi peneliti yang akan datang.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wacana atau pengetahuan baru.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini memberikan informasi kepada berbagai pihak masyarakat
Toraja untuk menambah pengetahuan mengenai kebudayaan yang ada dan bagaimana
dapat membentuk sikap yang tepat terhadap upacara rambu tuka’. Dan untuk
pemerintah sebagai dasar bagi pelestarian budaya yang relevan sesuai era reformasi
yang sedang berjalan.
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Teori
Stress
Stress adalah respon individu terhadap keadaan dan kejadian tertentu, yang dapat
mengancam dan mengganggu kemampuan penguasaan dirinya Menurut (Santrock,
2003). Kejadian menekan merupakan peristiwa yang dipersepsikan individu sebagai
stresor yang mengancam dan membahayakan, membuat perasaan tidak nyaman dan
tertekan (Rahmawati, 2006). Kejadian menekan sebagai stressor adalah suatu bagian
yang alamiah dalam hidup setiap orang sehingga stress diartikan secara berbeda pula
pada setiap orang. Oleh karena itu, pengalaman traumatis dan menekan memiliki
dampak pada kesejahteraan psikologis menekankan kepada peran penegah dari reaksi
coping yang diberikan (Pastò, McCreary, & Thompson, 2000).
Konsep penting yang erat berhubungan dengan ide sistem dalam psikologi klinis
adalah konsep stress. Istilah stress identik dengan suatu keadaan yang tertekan, baik
7
secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 1997). Keadaan tersebut merupakan respon
tubuh yang sifatnya tidak spesifik terhadap setiap tuntutan beban yang dikenakannya.
Mendukung pendapat tersebut, (Crider, Goethal, Kavanough, dan Solomon, 1983)
menyatakan bahwa stres merupakan suatu pola tertentu yang diperoleh dari reaksi
psikologis dan fisiologis yang mengganggu dan timbul dari stimulus-stimulus tertentu di
lingkungan individu sehingga mengancam kebutuhan-kebutuhan utamanya dan
memaksa individu untuk melakukan coping sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Stress sebagai suatu reaksi individu terhadap tuntutan lingkungan dapat bersumber dari
berbagai aspek. Salah satu di antaranya dikemukakan oleh Hardiman (dalam
Rahmawati, 2006), sumber stres yaitu :
a. Fisiologis seperti infeksi, penganiayaan fisik, dan kelelahan fisik.
b. Psikologis seperti kegagalan, rasa tidak puas, frustrasi, merasa bersalah dan konflik.
c. Sosial seperti perubahan sosial, nilai-nilai budaya, kesenjangan keluarga dan
persaingan dalam pekerjaan.
Gejala Stress
(Taylor, 1991) menyatakan bahwa stres dapat menghasilkan berbagai gejala.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gejala-gejala tersebut dapat berguna
sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang
dialami individu. Gejala stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:
a. Gejala fisiologis, ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak
nadi, dan sistem pernafasan.
8
b. Gejala kognitif, terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti pikiran
menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak
wajar.
c. Gejala emosi, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut,
cemas, malu, dan marah.
d. Gejala tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang
menekan, dan flight yaitu menghindari situasi yang menekan.
Pengertian Strategi Coping
Perilaku coping merupakan suatu tingkah laku dimana individu melakukan
interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan tujuan menyelesaikan tugas atau
masalah (Chaplin, 2004). Tingkah laku coping merupakan suatu proses dinamis dari
suatu pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar digunakan untuk
mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan menegangkan.
(Folkman, 1984) mendefinisikan Strategi coping secara terperinci sebagai bentuk
usaha kognitif dan perilaku yang dilakukan seseorang untuk mengatur tuntutan internal
dan eksternal yang timbul dari hubungan individu dengan lingkungan, yang dianggap
menganggu batas-batas yang dimiliki oleh individu tersebut. Coping yang dimaksud
terdiri dari pikiran-pikiran khusus dan perilaku yang digunakan individu untuk mengatur
tuntutan dan tekanan yang timbul dari hubungan individu dengan lingkungan,
khususnya yang berhubungan dengan kesejahteraan. Selain itu (Folkman, 1984) juga
menambahkan tujuan perilaku coping adalah untuk mengurangi kondisi lingkungan
yang menyakitkan, menyesuaikan dengan peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan
9
yang negatif, mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan self image yang
positif, serta untuk meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
Coyne, dkk (1981) menyatakan bahwa coping merupakan usaha-usaha baik
kognitif maupun perilaku yang bertujuan untuk mengelola tuntutan lingkungan dan
internal, serta mengelola konflik-konflik yang mempengaruhi dan melampaui kapasitas
individu.
Berdasarkan sejumlah pendapat dari para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
strategi coping merupakan aktivitas-aktivitas spesifik yang dilakukan oleh individu
dalam bentuk kognitif dan perilaku, baik disadari maupun tidak oleh individu tersebut,
yang bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi ancaman-ancaman yang
ditimbulkan oleh masalah internal maupun eksternal dan menyesuaikan dengan
kenyataan kenyataan negatif, mempertahankan keseimbangan emosi dan self image
positif, serta meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
Bentuk-Bentuk Strategi Coping
(Aldwin & Revenson, 1987) mengklasifikasikan strategi coping yang digunakan
menjadi dua yaitu:
a. Problem Focused Coping (PFC)
Problem focused coping (PFC) merupakan strategi coping untuk menghadapi
masalah secara langsung melalui tindakan yang ditujukan untuk menghilangkan atau
mengubah sumber-sumber stres. Problem focused coping memungkinkan individu
membuat rencana dan tindakan lebih lanjut, berusaha menghadapi segala kemungkinan
yang akan terjadi untuk memperoleh apa yang telah direncanakan dan diinginkan
10
sebelumnya. Pada strategi coping berbentuk PFC dalam mengatasi masalahnya, individu
akan berpikir logis dan berusaha memecahkan permasalahan dengan positif.
b. Emotion Focused Coping (EFC)
Emotion focused coping merupakan strategi untuk meredakan emosi individu
yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk mengubah suatu
situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Emotion focused coping
memungkinkan individu melihat sisi kebaikan (hikmah) dari suatu kejadian, mengharap
simpati dan pengertian orang lain, atau mencoba melupakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal yang telah menekan emosinya, namun hanya bersifat
sementara (Folkman & Lazarus, 1985).
Aspek-Aspek Strategi Coping
(Carver dkk, 1989) menyatakan bahwa aspek-aspek strategi coping yang
berorientasi pada masalah (problem focus coping) antara lain:
a) Perilaku aktif (active coping), merupakan proses pengambilan langkah-langkah aktif
untuk mencoba memindahkan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya.
b) Perencanaan (planning), adalah memikirkan bagaimana mengatasi tekanan,
memikirkan tindakan yang diambil dan menentukan cara penanganan terbaik untuk
memecahkan masalah.
c) Penyempitan dalam wilayah bidang fenomena individu (Suppresion of competing).
Individu dapat menahan diri untuk menahan alur informasi yang bersifat kompetetitif
agar bisa berkonsentrasi penuh pada masalah yang dihadapi.
11
d) Pengekangan diri (restraint coping), merupakan suatu respon yang bersifat menahan
diri yang bermanfaat dan diperlukan untuk mengatasi tekanan.
e) Mencari dukungan sosial (seeking social support for instrumental reasons), adalah
upaya untuk mencari dukungan sosial, seperti mencari nasihat, informasi, dan
bimbingan.
f) Mencari dukungan sosial secara emosional (seeking social support for emotional
reasons), merupakan upaya untuk mencari dukungan sosial ,seperti mendapat dukungan
moral, simpati atau pengertian.
Menurut (Carver dkk, 1989) aspek yang termasuk dalam strategi pengatasan
masalah yang berorientasi pada emosi (emotion focused coping) adalah sebagai berikut:
a) Berpikir positif dan pertumbuhan (positive reinterpretation and growth), adalah
penanggulangan masalah yang ditujukan untuk mengatasi tekanan emosi daripada
dengan tekanan itu sendiri.
b) Penerimaan (acceptance), merupakan sebuah respon SMM secara fungsional, dengan
dugaan bahwa individu yang menerima kenyataan yang penuh tekanan dipandang
sebagai individu yang berupaya untuk menghadapi situasi yang terjadi.
c) Kembali pada agama (turning to religion), merupakan upaya yang dilakukan individu
untuk kembali pada agama, ketika berada pada tekanan.
d) Berfokus pada pengekspresian perasaannya (focus on and venting emotion),
merupakan upaya yang dilakukan individu dengan cara mengekspresikan perasaannya.
e) Penyangkalan (denial), merupakan respon SMM individu dengan menolak atau
menyangkal suatu realita.
12
f) Penyimpangan perilaku (behavioral disengagement), yaitu kecenderungan untuk
menurunkan upaya dalam mengatasi tekanan, bahkan menyerah atau menghentikan
upaya untuk mencapai tujuan.
g) Penyimpangan mental (mental disengagement ), yang terjadi melalui suatu variasi
aktivitas yang luas yang memungkinkan terhalangnya individu untuk berfikir tentang
dimensi perilaku dan tujuan. Menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan
permasalahan, seperti melamun, tidur atau menenggelamkan diri dengan menonton TV.
h) Penyimpangan dalam penggunaan alkohol (alcoholdrug disengagement), merupakan
upaya yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan tekanan melalui pemakaian obat-
obatan atau minum minuman keras.
Rambu Tuka’
Pengertian Rambu Tuka’
Rambu Tuka’ merupakan upacara adat yang lebih menekankan pada ucapan
syukur. Di upacara ini, tidak akan ditemukan kesedihan atau pun ratapan tangis. Hanya
anda kegembiraan dan sukacita. Upacara ini biasanya diadakan di acara-acara seperti
pernikahan, syukur atas hasil panen atau biasa disebut “pengucapan syukur”, atau
peresmian rumah tongkonan atau yang biasa dikenal dengan istilah “mangrara banua”.
Di acara ini, semua rumpun keluarga akan berkumpul dan sekaligus menjadi ajang
mempererat hubungan antar keluarga.
Untuk waktu pelaksanaanya, upacara rambu tuka’ dilakukan di pagi atau
sebelum siang tiba dan bertempat di sebelah timur tongkonan. Hal ini tentu berbeda
13
dengan rambu solo’ yang diadakan di siang hari dan bertempat di sebelah
barat tongkonan.
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung
menyerupai perahu, terdiri atas susunan bambu (saat ini sebagian tongkonan
menggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian
dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur.berasal dari kata tongkon (artinya
duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam
masyarakat (stara sosial masyarakat Toraja). Di depan tongkonan terdapat lumbung
padi, yang disebut „alang„. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon
palem (banga) saat ini sebagian sudah dicor. Di bagian depan lumbung terdapat
berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari (disebut pa'bare' allo), yang
merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara. Rumah tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial masyarakat Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota
keluarga diharuskan ikut serta karena tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan leluhur mereka.
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan antara lain,
Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki
wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa
14
tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin
berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan
di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu
membangun tongkonan yang besar.
Tongkonan menurut (Oktoviandy, 2011) adalah simbol yang berbentuk rumah
(rumah adat orang Toraja) yang dibangun secara gotong royong atau melalui kerjasama
serumpun keluarga suturut dengan falsafah hidup yang bernuansa kolektif (rapu
tallang). Jika diparalelkan dengan makna kata verba “tongkon” artinya “hadir”. Jadi
kata tongkonan mengandung pengertian makna “kehadiran” atau “kebersamaan” sama
seperti yang terkandung dalam pemahaman bahwa rumah sebagai istana (tempat tinggal
untuk berteduh), sebagai tempat berkumpul bersama dan bersatu bagi sebuah komunitas
rumpun keluarga (rapu tallang) sampai generasi tak terhingga.
Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap
desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan
sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan
sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang
memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu
dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah
penyebaran harta. Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian
bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau,
dan saling membayarkan utang.
15
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan
demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang
keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan
nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya
disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja,
masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika
satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa
biasanya membentuk kelompok; kadang-kadang beberapa desa akan bersatu melawan
desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan
berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan
babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan
budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki
sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan
persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami
oleh partisipan penelitian. Penelitian ini melibatkan partisipan yang berasal dan tinggal
di Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi Selatan. Partisipan penelitian dipilih oleh
peneliti secara purposive, yaitu memilih partisipan penelitian yang sesuai dengan
16
karakteristik yang telah ditentukan. Adapun kerakteristik partisipan yaitu sudah
menikah, rentang usia 25 tahun sampai 55 tahun, baik itu laki-laki maupun perempuan
dan yang sudah melakukan pernikahan adat rambu tuka’ Toraja dan tidak mampu secara
ekonomi. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
wawancara dan observasi. Dilakukan wawancara mendalam terhadap semua partisipan.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan menggunakan teknik
analisa kualitatif seperti yang diungkapkan oleh Miles dan Huberman dalam (Emzir,
2010) yang terdiri dari Reduksi data, Display data, dan Kesimpulan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini ialah keturunan Toraja asli yang tinggal di
Kabupaten Toraja Utara. Semua partisipan sudah menikah dengan adat Rambu Tuka’
Toraja. P1 adalah seorang ibu rumah tangga, berumur 45 tahun dan memiliki dua orang
anak. P2 juga seorang ibu rumah tangga berumur 28 tahun dan memiliki seorang anak.
P3 adalah laki-laki berumur 54 tahun, seorang PNS dan memiliki tiga orang anak. P4
adalah seorang guru berusia 51 tahun dan memiliki tiga orang anak. Sedangkan P5
adalah seorang ibu rumah tangga berumur 40 tahun dan memiliki tiga orang anak.
Merasa Cemas Setelah Menikah
Sejak awal pernikahan sampai saat ini partisipan merasa cemas karena semakin
banyak babi yang dibawakan saat menikah, partisipan akan semakin merasa cemas.
Tujuan keluarga itu sendiri maupun kerabat yang datang membawa babi atau biasa juga
17
dalam bentuk materi “uang” kepada yang melaksanakan rambu tuka’ ialah untuk
mempererat hubungan keluarga serta menjalin silahturahmi antar keluarga. Tradisi
membawa babi bagi yang melaksanakan rambu tuka’ itu sendiri sudah menjadi
kebiasaan bagi masyarakat Toraja yang dilakukan secara turun temurun. Jadi yang akan
melaksanakan rambu tuka’, para keluarga akan berdatangan membawa babi dan
biasanya juga dalam bentuk uang. Hal itu merupakan bentuk ungkapan turut bersukacita
dari keluarga yang memberi. Namun hal tersebut tidak berhenti sampai disitu, yang
melaksanakan rambu tuka’ tadi akan mengembalikan kepada keluarga yang memberi
babi tersebut jika keluarga yang membawa babi itu juga melangsungkan acara rambu
tuka’ dan akan dikembalikan sama seperti ukuran babi yang diberikan atau biasanya
juga lebih daripada ukuran babi yang diberikan. Hal inilah yang sering diartikan oleh
sebagian masyarakat Toraja sebagai “indan” atau “utang”.
Menurunnya Daya Konsentrasi
Dalam kesibukan setiap hari partisipan sering kali memikirkan indan yang masih
banyak dan belum dikembalikan, dan hal tersebut menganggu dan menurunkan
konsentrasi bagi P1, P2, dan P5. Walaupun P3 dan P4 sering juga memikirkan soal
indan, namun mereka tetap dapat berkonsentrasi saat bekerja. Pada saat ada indan yang
harus dikembalikan dan mereka tidak memiliki uang, pikiran-pikiran tentang indan
tersebut membuat mereka sering memikirkannnya secara berulang-ulang hingga
membuat mereka “stress”. Dengan beban indan yang dialami oleh P1, P2, dan P5
berpengaruh terhadap aspek fisologis individu terhadap ukuran, bentuk dan fungsi
penampilan serta potensi tubuh saat ini yang membuat mereka sering merasa pusing,
18
kelelahan serta menurunnya berat badan. Sedangkan bagi P3 dan P4 meskipun biasanya
mereka memikirkan soal indan, namun hal tersebut tidak terlalu memengaruhi aspek
fisiologisnya seperti yang dialami oleh P1, P22, dan P5. Di usia yang tidak lagi muda P1
dan P5 memiliki keinginan untuk bekerja namun mereka merasa sudah tidak memiliki
waktu untuk itu, karena banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, belum lagi
nagi P5 harus mengurus dua anak kembarnya yang baru berusia 1 tahun, begitupun
dengan P2 memiliki keinginan untuk bekerja tetapi ia menunggu sampai anaknya bisa
ditinggal bekerja. Demi menambah penghasilan semua partisipan beternak babi atupun
ayam, dan itu juga menjadi tabungan bagi mereka jika sewaktu-waktu ada keperluan
mendadak.
Perubahan Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat Toraja
Yang membedakan menikah di tongkonan dan di hotel menurut semua partisipan
adalah, menikah di hotel lebih praktis dan semua keperluan dalam acara sudah disiapkan
oleh pihak hotel, calon pengantin yang akan menikah hanya perlu membayar dan terima
bersih. Sedangkan menikah di tongkonan keluarga harus mempersiapkan segala
keperluan untuk untuk acara mulai dari bergotong royong mencari “tallang” (bambu)
untuk membuat “lantang” (tempat menerima tamu), membuat pelaminan bagi calon
pengantin, mempersiapkan makanan bagi orang yang datang membantu, serta memasak
berbagai macam hidangan untuk para tamu undangan. Menikah di tongkonan juga harus
ikut berpartisipasi untuk membantu biaya perbaikan tongkonan jika suatu saat terjadi
kerusakan pada tongkonan. Menikah di tongkonan dan di hotel sebenarnya sama-sama
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, hanya saja saat ini banyak masyarakat Toraja
19
yang lebih memilih hotel sebagai tempat resepsi karena tidak ingin repot untuk
mengurus perlengkapan-perlengkapan acara dan juga ingin lebih praktis, walaupun
menikah di hotel juga meggunakan adat Toraja, tetapi suasananya juga berbeda karena
menikah di tongkonan, lebih memperlihatkan tradisi dan suasana dari adat Toraja, lebih
menghargai tradisi yang sudah diturunkan oleh para nenek moyang dan juga lebih
mempererat hubungan antar keluarga, apalagi yang jauh-jauh datang untuk bergotong
royong membantu mempersiapkan segala keperluan untuk keberlangsungan acara
rambu tuka’. Pernikahan dalam budaya Toraja mengenakan pakaian berwarna cerah
seperti warna kuning keemasan, merah dan putih karena melambangkan sukacita dan
kegembiraan. Sedangkan baju berwarna gelap seperti warna hitam sangat dilarang
digunakan dalam acara rambu tuka’ karena warna hitam dalam budaya Toraja
melambangkan kedukaan.
Selama acara rambu tuka’, mulai dari mempersiapkan segala macam keperluan
acara, banyak keluarga yang mulai berdatangan membawa “babi” sebagai bentuk turut
bersukacita atas menikahnya salah satu anggota keluarga. Namun ada juga yang
memberikan tanda sukacitanya berupa “uang” kepada mempelai yang akan
melangsungkan acara rambu tuka’. Setelah acara selesai pengantin yang telah
melangsungkan acara akan menulis siapa saja yang telah memberikan mereka babi dan
uang, karena itu sudah menjadi indan bagi mereka. Dan mereka akan membayar indan
tersebut sesuai dengan harga babi yang diberikan dan bisa saja lebih daripada itu, saat
ada dari keluarga yang membawa babi dan uang saat pernikahan mereka juga
melangsungkan acara rambu tuka’. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa indan
tersebut juga dapat mereka kembalikan pada saat acara rambu solo’. Disaat mereka
20
sudah tidak mampu lagi atau sudah meninggal, anaknya yang akan melanjutkan untuk
mengembalikan indan tersebut, dan akan seperti itu seterusnya, bisa saja cucu hingga
cicitnya yang akan mengembalikan indan tersebut. Hingga dapat dikatakan bahwa indan
tersebut bisa sampai tujuh turunan, karena jika tidak di kembalikan, akan menimbulkan
malongko’ atau malu bagi pengantin yang sudah menerimanya.
Strategi Coping
Semua partisipan memiliki planning yang sama untuk mengambil tindakan dan
menentukan penanganan terbaik untuk mengembalikan indan dengan cara beternak
sbabi maupun ayam sebagai tabungan jika suatu saat nanti tiba-tiba ada indan yang
harus dikembalikan. Mereka sudah mempersiapkan sejak dini untuk mengatasi hal-hal
yang akan datang nantinya. Saat akan membayar indan juga ada keluarga, tetangga,
maupun teman yang akan ikut dengan mereka dan biasanya memberi uang demi tanda
ikut juga merasakan apa yang dirasakan oleh yang akan membayar utang tersebut. Dan
tentunya hal itu juga akan menjadi indan lagi baginya dan menjadi pergumulan
tersendiri lagi bagi individu tersebut. Pada saat akan mengembalikan indan, dan mereka
tidak memiliki uang, mereka akan berusaha mencari dukungan sosial dari keluarga,
sahabat, suami, istri untuk mencari solusi bersama dan menentukan langkah apa yang
harus diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Kadang mereka mencari pinjaman
uang untuk dapat mengembalikan indan, karena merasa “malongko” (merasa tidak enak)
jika tidak mengembalikan indan tersebut.
Ketika berada di dalam permasalahan dan mengalami stress yang dirasa
mengganggu, semua partisipan percaya bahwa dengan beribadah dan menyerahkan
21
semua kepada Tuhan, mereka meyakini bahwa akan dibukakan jalan yang terbaik untuk
pergumulan yang sedang dihadapi. Dan setelah menyerahkan semuanya kepada Tuhan
mereka mengekspresikannya dengan bersemangat lagi dalam menjalankan aktifitas
dengan perasaan lega. Disaat merasa stress partisipan biasanya mencari kesibukan
seperti berkumpul bersama teman untuk bercerita, menonton tv, bermain bersama anak
untuk melupakan sejenak masalah yang sedang dialami.
Pembahasan
Fokus penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan gambaran stress individu
terhadap adat rambu tuka’ Toraja yang menimbulkan banyak “indan” setelah
selesaianya acara tersebut. Selain itu juga menggambarkan aktivitas keseharian mereka,
serta untuk memahami pandangan mereka tentang budaya toraja yang tidak pernah lepas
dari indan dan reaksi mereka menghadapinya. Untuk memahami proses tersebut,
penting untuk mengetahui terlebih dahulu tentang gambaran stress, dalam hal ini
merujuk pada individu yang telah melaksanakan rambu tuka’. Menurut (Crider dkk,
1983) stress merupakan suatu pola tertentu yang diperoleh dari reaksi psikologis dan
fisiologis yang mengganggu dan timbul dari stimulus-stimulus tertentu di lingkungan
individu sehingga mengancam kebutuhan-kebutuhan utamanya dan memaksa individu
untuk melakukan coping sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini tergambarkan
pada individu yang telah melaksanakan rambu tuka’.
Indan Sebagai Bentuk Beban Ekonomi Dalam Rambu Tuka’
22
Membawa babi dalam acara rambu tuka’ dalam budaya Toraja sudah menjadi
tradisi secara turun temurun dilakukan oleh masyarakat Toraja. Bagi mereka membawa
babi bagi yang melaksanakan acara rambu tuka’ ialah bentuk sukacita yang turut mereka
rasakan, dan juga merupakan faktor kebersamaan, kekeluargaan, dan bentuk support
dari keluarga yang turut merasakan kebahagiaan. Dengan adanya rambu tuka’ ini,
biasanya keluarga yang ada di berbagai wilayah akan datang untuk berkumpul bersama
dan turut berbahagia atas berlangsungnya acara rambu tuka’ tersebut, hal ini tentunya
mempererat tali silahturahmi antar keluarga. Namun tradisi membawa babi tersebut
merupakan beban tersendiri bagi yang melaksanakan rambu tuka’ karena semakin
banyak babi yang dibawakan maka semakin banyak juga indan yang harus dibayar
nantinya. Indan tersebut akan diturunkan kepada anak dan cucu pada saat mereka sudah
tidak mampu lagi untuk membayarnya, dan akan seperti itu seterusnya.
Mempertahankan Kewajiban Mengembalikan Indan Dalam Budaya Toraja
Mempertahankan suatu kebudayaan bukanlah perkara mudah dilakukan terutama
pada jaman modern saat ini. Meskipun sulit namun bagi masyarakat Toraja, mereka
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan, meskipun bagi sebagian orang Toraja,
banyak yang menghindar dan tidak ingin melaksanakan pernikahan di Toraja, kerena
adanya tradisi membawa babi yang kemudian menjadi “indan” bagi yang melaksanakan
rambu tuka’. Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi membawa babi dalam budaya Toraja
adalah suatu keunikan tersendiri. Mempertahankan indan dalam budaya toraja adalah
suatu kebanggaan yang dirasakan oleh P1. “Karena itu adalah ajaran dari nenek
23
moyang kita, dan karena budaya kita jugalah yang membuat para wisatawan datang ke
Toraja, jadi itu harus dipertahankan”.
Pada dasarnya tata kehidupan dalam masyarakat tertentu merupakan cerminan
yang konkrit dari nilai budaya yang diterapkan dalam dinamika kehidupan.
(Koentjaraningrat, 1991) menjelaskan bahwa budaya atau kebudayaan merupakan
keseluruhan hasil kreativitas manusia yang meliputi gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui
belajar, oleh karena itu hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Suatu corak
kebudayaan terdiri dari kombinasi, unsur-unsur kultur, yaitu nilai-nilai, norma-norma,
tujuan-tujuan dan harapan-harapan yang khusus diperuntukkan bagi suatu kelompok.
Indan Menjadi Faktor Utama Penyebab Stress
Indan menjadi beban tersendiri bagi pasangan yang telah melaksanakan rambu
tuka’, terutama pada saat akan membayar indan, namun tidak memiliki uang. Hardiman
(dalam Rahmawati, 2006) mengemukakan bahwa stress sebagai suatu reaksi individu
terhadap tuntutan lingkungan dapat bersumber dari berbagai aspek yaitu, aspek
fisiologis, aspek psikologis, dan sosial seperti yang nampak pada P1. Individu merasa
perubahan terhadap ukuran, bentuk serta potensi tubuh yang dirasakan saat ini, yang
membuat individu sering merasa pusing, kelelahan, dan turunnya berat badan. “Ya
berpengaruh.. seperti jika saya memiliki utang, dimana lagi dapatkan uang jika tiba-
tiba datang, jadi bisa juga ketika saya tidak bisa mengendalikan pikiran saya, itu lagi
yang dapat menimbulkan sakit. Karena apa yang akan saya pakai bayar itu”. Sebagai
ibu rumah tangga dan penghasilan suami yang tidak menentu, ditambah lagi kebutuhan
24
anak yang harus dipenuhi, dan biaya hidup yang lumayan mahal, juga membuatnya
frustasi.
Selain itu gejala stress dapat terlihat pada menurunnya daya konsentrasi, pikiran
menjadi kacau, serta pikiran yang berulang tentang indan. Memikirkan indan sudah
menjadi suatu kebiasaan yang dilakukan, seperti yang tampak pada P2 dan P5. “Iya
pastilah u.. terpikir terus, kadang tiba-tiba muncul baru tidak ada uang, mau
bagaimana, pasti stress, pusing memikirkannya”, “Ya dipikirkan tapi, akan seperti itu
terus kita sebagai orang Toraja, tapi jangan terlalu dipikirkan secara mendalam.”
Perasaan khawatir yang dirasakan pada saat akan mengembalikan indan namun
tidak memiliki uang, hal ini membuat individu mengalami kecemasan, perasaan malu,
dan juga marah. Individu merasa malu pada saat tidak dapat membayar indan, dan
biasanya melampiaskan kemarahannya kepada anak, suami, ataupun keluarga yang lain,
namun hanya sebentar saja dan ia kembali sadar untuk tidak melampiaskannya kepada
keluarga, anak, ataupun suaminya. Hal tersebut nampak pada semua partisipan, seperti
yang diungkapkan oleh P1. “Iya pasti, kalau ada utang yang muncul terus tidak ada
uang ditangan, pasti saya katakan bagaimana ini ada lagi utang yang harus dibayar,
apa yang mau dipakai bayar.. pasti ada kekhawatiran, secara kita sebagai manusia.”
Perbedaan Menikah Di Hotel dan Di Tongkonan
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara
25
norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak
ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial,
dengan penggunaan adat atau aturan tertentu yang saling berkaitan. Seperti halnya
rambu tuka’ yang dilaksanakan di tongkonan. (Oktoviandy, 2011) mengungkapkan
bahwa tongkonan merupakan simbol yang berbentuk rumah (rumah adat orang Toraja)
yang dibangun secara gotong royong atau melalui kerjasama serumpun keluarga seturut
dengan falsafah hidup yang bernuansa kolektif (rapu tallang). Jadi kata tongkonan
mengandung pengertian makna “kehadiran” atau “kebersamaan sama seperti yang
terkandung dalam pemahaman bahwa rumah sebgai istana (tempat tinggal untuk
berteduh), sebagai tempat berkumpul bersama dan bersatu bagi sebuah komunitas
rumpun keluarga sampai generasi tak terhingga. Seiring berjalannya waktu banyak
masyarakat Toraja lebih memilih hotel sebagai tempat melaksanakan rambu tuka’,
dengan alasan lebih praktis dan tidak repot lagi mempersiapkan segala keperluan acara.
Individu hanya perlu membayar dan semuanya sudah disiapkan oleh pihak hotel. Namun
ada juga masyarakat yang sangat menghargai tradisi yang diturunkan oleh para leluhur
dan lebih memilih menikah di tongkonan. Suasana adat, kekeluargaan, kebersamaan
sangat terjalin erat disini karena keluarga datang membantu dan bergotong royong untuk
mempersiapkan segala keperluan acara. Menikah di hotel maupun di tongkonan
sebenarnya sama-sama membutuhkan biaya yang tidak sedikit, hanya saja bagi sebagian
orang tidak ingin repot dalam mempersiapkan segala keperluan acara.
Beternak Babi Sebagai Planning Untuk Mengembalikan Indan Dalam Budaya
Toraja
26
Setelah berkeluarga, mereka akan mulai melakukan strategi coping sebagai
planning untuk membayar indan. Mereka beternak babi sebagai tabungan jika suatu saat
ada indan yang harus dibayar dan mereka tidak memiliki uang. Mereka mempersiapkan
sejak dini untuk mengatasi hal-hal yang akan datang nantinya. Beternak babi dalam
budaya Toraja, sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat, babi yang dipelihara oleh
masyarakat Toraja dapat dijumpai dimana saja, sampai ada yang membuat kandang di
pinggir jalan. Membayar indan yang tidak pernah habis memaksa mereka untuk
melakukan penanganan sejak dini seperti yang dikatakan oleh P1. “Ya seperti ini,
pelihara babi untuk persiapan, menjaga-jaga kalau tiba-tiba ada utang yang harus
dibayar, tiba-tiba mungkin saya tidak memiliki uang, ya babi kita lagi yang bisa kita
bawa kalau misalnya kalau belum diperlukan, kemudian ada orang yang datang lihat
babi, terus dijual kemudian uangnya disimpan.”
(Chaplin, 2004) mengungkapkan bahwa perilaku coping merupakan suatu
tingkah laku dimana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya dengan
tujuan menyelesaikan tugas atau masalah. Tingkah laku coping merupakan suatu proses
dinamis dari suatu pola tingkah laku maupun pikiran-pikiran yang secara sadar
digunakan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan dalam situasi yang menekan dan
menegangkan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka diperoleh kesimpulan
sebagai berikut, dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, ketiga partisipan sering
memikirkan indan yang berdampak pada aspek fisiologis, aspek psikologis, dan sosial
27
mereka dan merasa perubahan terhadap ukuran, bentuk serta potensi tubuh yang
dirasakan saat ini, yang membuat individu sering merasa pusing, kelelahan, dan
turunnya berat badan, menurunnya daya konsentrasi, pikiran menjadi kacau, serta
pikiran yang berulang tentang utang. Mereka merasa khawatir pada saat akan
mengembalikan indan namun tidak memiliki uang, hal ini membuat ketiga partisipan
mengalami kecemasan, dan perasaan malu, dan juga marah. Namun kedua partisipan hal
tersebut tidak berdampak pada mereka karena tidak memikirkan utang secara terus
menerus.
Kelima partisipan memandang bahwa menikah di hotel lebih praktis dan tidak
repot, kerena segala keperluan sudah disiapkan. Sedangkan bagi mereka menikah di
tongkonan dirasa lebih ribet karena harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk
keperluan acara. Namun bagi mereka lebih memilih tongkonan karena suasana adat
Toraja lebih terasa dengan duduk bersama di lumbung dan dapat menikmati
pemandangan alam. Menikah di tongkonan juga lebih menjalin kebersamaan dan
kekeluargaan, karena keluarga yang jauh akan datang bersama yang akan melaksanakan
rambu tuka’ untuk bergotong royong membantu mempersiapkan segala keperluan acara,
selain itu menikah di tongkonan juga lebih menghargai tradisi yang diturunkan oleh para
leluhur. Bagi kelima partisipan juga melakukan coping untuk persiapan mengembalikan
indan nantinya, dengan cara memelihara babi sebagai tabungan jika suatu saat ada
keperluan mendadak ataupun untuk mengembalikan indan. Mereka akan menjual babi
tersebut ataupun dibawa untuk dipakai mengembalikan indan jika mereka tidak
memiliki uang.
28
Indan dalam rambu tuka’ dapat mempererat tali silahturahmi antar keluarga,
yang datang dari berbagai wilayah karena adanya faktor kekeluargaan dan kebersamaan
yang turut dirasakan. Keluarga yang datang membawa babi untuk diberikan kepada
yang melaksanakan rambu tuka’ sebagai tanda sukacita yang turut dirasakan, kemudian
pemberian tersebut menjadi indan bagi yang melaksanakan rambu tuka’ dan menjadi
beban ekonomi bagi yang telah melaksanakan rambu tuka’, sehingga wajib
dikembalikan secara turun temurun. Indan dalam budaya Toraja harus dipertahankan
kerana menurut kelima partisipan karena budaya yang membuat banyak wisatawan
datang berkunjung melihat keunikan yang ada di Toraja, selain itu juga untuk
menghargai tradisi yang sudah diturunkan oleh para leluhur.
Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diberikan peneliti dari
penelitian ini yaitu :
1. Bagi partisipan, diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan pemahaman
agar tidak memikirkan indan secara terus menerus karena dapat berdampak pada
aspek fisiologis, psikologis, dan sosial.
2. Bagi keluarga, diharapkan yang memberikan sumbangan dapat melihat juga situasi
keluarga yang akan menikah agar nantinya tidak terlalu menjadi beban bagi yang
melaksanakan rambu tuka’.
3. Bagi peneliti selanjutnya, yaitu melakukan penelitian dengan memfokuskan pada
anak yang melanjutkan membayar indan orang tuanya, lebih tepatnya mendapatkan
turunan indan dari orang tua yang telah melaksanakan rambu tuka’ serta mengkaji
29
lebih dalam gambaran stress pada anak yang mendapat turunan utang dari
orangtuanya.
30
Daftar Pustaka
Aldwin, C.M., & Revenson, T.A. (1987). Does coping help? a reexamination of the
relation between coping and mental healty. Journal of Personality and Social
Psychology, 53, 337-348.
Azizah, Zulfah. (2015). Sejarah dan kebudayaan suku toraja. Diakses September 21,
2016 dari: dunia-kesenian.blogspot.co.id/2015/01/sejarah-dan-kebudayaan-suku-
toraja.html
Carver, C.S., Scheir, M.F., & Wientraub, J.K. (1989). Assessing coping strategies: a
theoritically based approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56,
267-283.
Chaplin, J. P. (2004). Kamus lengkap psikologi. (Terjemahan Kartini dan Kartono).
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chaplin, J. P. (1997). Kamus lengkap psikologi. (Kartono dan Kartini, Terj.). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Coyne, J., Aldwin, C., & Lazarus, R. (1981). Depression and coping in stressfull
episodes. Journal of Abnormal Psychology, 50, 234-254.
Crider, A. B., Goethal, G. R., Kavanough, R. D., & Solomon, P. R. (1983). Psychology.
Illinois: Sott, Foresman & Company.
Emzir. (2010). Metodologi penelitian kualitatif analisis data. Jakarta: Raja Grafindo
Fatah, Rosdiana. (2014). Pergeseran nilai adat perkawinan masyarakat tidore. Other
Thesis, Universitas Negeri Gorontalo
Folkman, S. (1984). Personal control and stress and coping processes: a theoritical
analysis. Journal of Personality and Social Psychology, 46, 839-858.
Hadjam, Noor Rachman. (2011). Perubahan nilai dan kesehatan mental. Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Horton, Paul B., dan Chester L. Hurt. (1987). Sosiologi jilid 1 edisi 6. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Koenjtaraningrat. (1991). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta: PT Refika Cipta
Marwing, Arman. (2011). Problem psikologis dan stratrgi coipng pelaku upacara
kematian rambu solo’ di toraja (studi fenomenologi pada tana’ bulaan).
Yogyakarta: Fakultas Psikologi Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Mezzina, R. (2001). Globalisation and the challenge for mental health service.
Birmingham. (tidak diterbitkan)
Pastò, L., McCreary, D., Thompson, M., (2000). Deployment stressors, coping, and
psychological well-being among peacekeepers. Toronto: Defence Research and
Development.
31
Santrock, J. W. (2003). Psychology (7th
ed.). Boston: McGraw-Hill.
Taylor, S.E. (1991). Health psychology 2nd edition. University of California, Los
Angeles: MGraw-Hill, Inc.
Rahmawati, D. (2006). Kejadian menekan dan strategi pengatasan masalah pada
penderita kanker payudara. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Wikipedia. (2016). Tongkonan. Diakses September 21, 2016 dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Tongkonan