FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

50
DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKAT KEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL 02 KAJIAN SEKTOR KESEHATAN FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH FUNCTIONS) DAN HEALTH SECURITY

Transcript of FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Page 1: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL / BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

0 2

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH FUNCTIONS) DAN HEALTH SECURITY

Page 2: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH FUNCTIONS) DAN HEALTH SECURITY© 2019 by Kementerian PPN/Bappenas

PengarahDr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc

PenulisProf. dr. Ascobat Gani, MPH., Dr.PH.Prof. dr. Meiwita Paulina Budiharsana, MPA, Ph.D

Reviewer dan EditorArdhiantie, SKM, MPHPungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD

Foto: UNICEF Indonesia

Diterbitkan dan dicetak oleh Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]

Cetakan pertama: April 2019ISBN: 978-602-50133-9-3

Hak Penerbitan @ Kementerian PPN/Bappenas Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, photoprint, microfilm dan sebagainya.

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH FUNCTIONS)

DAN HEALTH SECURITY

DIREKTORAT KESEHATAN DAN GIZI MASYARAKATKEDEPUTIAN PEMBANGUNAN MANUSIA, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

KAJIAN SEKTOR KESEHATAN

Page 3: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • viv • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

KATA PENGANTAR

Menjelang akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) melakukan Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review/HSR) 2018 yang merupakan suatu proses berbasis bukti yang akan digunakan sebagai masukan dalam penyusunan target, arah kebijakan, strategi, dan prioritas pembangunan kesehatan dalam RPJMN 2020-2024.

Kesehatan masyarakat merupakan elemen inti dari upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Fungsi Kesehatan Masyarakat adalah intervensi kesehatan yang difokuskan pada berbagai determinan (penyebab tidak langsung) masalah kesehatan untuk mengurangi risiko penyakit (risk reduction). Dengan demikian, fokus fungsi kesehatan masyarakat adalah pada upaya pencegahan. Namun, dalam lima tahun terakhir terutama sejak dilaksanakannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kinerja fungsi kesehatan masyarakat mulai menurun. Hal ini ditunjukkan dengan lambatnya laju penurunan kematian ibu, kematian bayi, kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan juga perbaikan gizi. Ada empat area yang perlu dilihat dalam mengevaluasi kinerja pembangunan kesehatan, yaitu (1) kinerja upaya kuratif, (2) kinerja upaya promotif dan preventif, (3) kinerja intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (4) kinerja penguatan sistem kesehatan. Tiga area yang terakhir merupakan fungsi kesehatan masyarakat.

Fungsi kesehatan masyarakat juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (health security) yang diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Untuk Indonesia, risiko epidemi dan pandemi sangat besar karena batas wilayah yang sangat luas dan jumlah pintu masuk yang sangat banyak. Akan tetapi, kapasitas inti International Health Regulation (IHR), terutama surveilans kesehatan dan sistem informasi keamanan kesehatan global di Indonesia masih sangat kurang.

Laporan Kajian Sektor Kesehatan 2018 dengan Topik “Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security” ini disusun untuk menganalisis situasi terkini, mengidentifikasi gap dari kebijakan yang ada saat ini, memetakan tantangan dan isu strategis, serta menyusun rekomendasi kebijakan dan strategi untuk memperkuat fungsi kesehatan masyarakat termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi baru yang muncul (Emerging Infectious Diseases/EIDs) dan ancaman health security lainnya. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun dan narasumber yang telah membantu penyelesaian laporan ini. Kami sangat berharap kajian ini dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan terkait dalam merancang pembangunan kesehatan ke depan.

Jakarta, April 2019

Subandi Sardjoko

Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Page 4: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • viivi • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

DAFTAR ISI

Kata Pengantar iv

Ucapan Terima Kasih dan Penghargaan vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

Daftar Singkatan x

Ringkasan Eksekutif xiv

1. PENDAHUlUAN 1

1.1. Tujuan 6

1.2. Metode 6

2. ANAlISIS SITUASI FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT 7

3. ANAlISIS SITUASI HEALTH SECURITY 17

3.1. Resistensi Antimikroba dan Penggunaan Antimikroba 24

3.2. Penyakit-penyakit Zoonosis di Indonesia 26

3.3. Keamanan Pangan 29

3.4. Keamanan Hayati (Biosafety) dan Biosekuriti 31

3.5. Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi 32

4. TANTANGAN DAN ISU STRATEGIS 35

4.1. Kinerja dan Permasalahan Pembangunan Kesehatan 36

4.2. Pelaksanaan Fungsi Kesehatan Masyarakat 39

4.3. Tantangan Health Security 47

5. ARAH KEBIjAKAN DAN KEGIATAN-KEGIATAN UTAMA 49

Referensi 62

lampiran 67

UCAPAN TERIMA KASIH DAN PENGHARGAAN Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu penulisan dan perbaikan laporan ini. Apresiasi yang tinggi diberikan kepada Dr. Pungkas Bahjuri Ali sebagai Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat – Bappenas, Ardhiantie, SKM, MPH, serta tim Direktorat KGM lainnya yang telah memberikan input untuk perbaikan tulisan;

Kajian ini disusun oleh sebuah tim Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) dibawah bimbingan Dr. Ir. Subandi Sardjoko, MSc (Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan - Bappenas) dengan arahan teknis dari Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS, PhD (Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat - Bappenas). Adapun koordinator teknis pelaksanaan HSR 2018 adalah Renova Glorya Montesori Siahaan, SE, MSc (Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas) didukung oleh Prof. dr. Ascobat Gani sebagai team leader HSR 2018.

Kajian yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas ini mendapatkan dukungan dari kementerian/Lembaga terkait, serta dukungan dari UNICEF and DFAT, beserta beberapa mitra pembangunan lain seperti WHO, ADB, World Bank, USAID, UNFPA, WFP, FAO, JICA, UNDP, GIZ, dan Nutrition International. Proses edit dan cetak laporan kajian ini didukung oleh UNICEF Indonesia.

Kajian sektor kesehatan dilakukan secara paralel untuk 10 topik meliputi:

1 Transisi Demografi dan Epidemiologi: Permintaan Pelayanan Kesehatan di Indonesia

2 Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3 Kesehatan Reproduksi, Ibu, Neonatal, Anak dan Remaja

4 Pembangunan Gizi di Indonesia

5 Sumber Daya Manusia Kesehatan

6 Penyediaan Obat, Vaksin, dan Alat Kesehatan

7 Pengawasan Obat dan Makanan, termasuk Keamanan Pangan

8 Pembiayaan Kesehatan dan JKN

9 Penguatan Sistem Pelayanan Kesehatan

10 Penguatan Tata Kelola Pembangunan Kesehatan

Page 5: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • ixviii • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Regulasi Terkait Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia 10

Tabel 2 Integrasi Pendekatan “Triad Epidemiologi” dan “5 Jenjang Pelayanan” 11

Tabel 3 Tiga Sasaran Utama Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia 12

Tabel 4 Perbedaan Antara UKM dan UKP 13

Tabel 5 Area Dengan Skor 4 pada Kapasitas IHR 21

Tabel 6 Area Dengan Skor 3 pada Kapasitas IHR 22

Tabel 7 Area Dengan Skor 2 pada Kapasitas IHR 23

Tabel 8 Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Streptococcus Pneumoniae 24

Tabel 9 Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Escherichia Coli 25

Tabel 10 Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Staphylococcus Aureus 25

Tabel 11 Kegiatan dan Tujuan Promosi Kesehatan 42

Tabel 12 Rekomendasi Target dan Aksi Prioritas Ketahanan Kesehatan 55

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tujuan Pembangunan Kesehatan terhadap Tujuan Pembangunan

Berkelanjutan (TPB/SDGs) Lainnya 2

Gambar 2 Fungsi Inti Kesehatan Masyarakat dan 10 Layanan Esensial 9

Gambar 3 Pendekatan dan Kebijakan Komprehensif untuk Pembangunan Kesehatan 36

Gambar 4 Fungsi Kesehatan Masyarakat Esensial Komprehensif 51

Page 6: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan 2018 • xix • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

DAFTAR SINGKATAN

AFP Acute Flaccid Paralysis (Lumpuh Layu Akut)

AI Avian Influenza (Flu Burung)

AIP-EID Australia Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases (Kemitraan Australia Indonesia untuk penyakit-penyakit infeksi emerging)

AMR Anti-Microbial Resistance (Resistensi Antimikroba)

AMU Anti-Microbial Use (Penggunaan Antimikroba)

ARCC Anti-Microbial Resistance Control Committee (Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba)

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

ASEAN Association of Southeast Asian Nations (Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara)

BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BCG Bacille Calmette Guerin

BKKBN Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

BlUD Badan Layanan Umum Daerah

BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana

BPjS-K Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan

BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan

CA-MRSA Community Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

CDC Directorate General of Disease Control and Prevention (Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit)

CDI Clostridium Difficile Infection (Infeksi Clostridium Difficile)

CFR Case Fatality Rate (Angka Kefatalan Kasus)

DGlAHS Directorate General of Livestock and Animal Health Services (Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan)

DTaP Diphtheria-Tetanus-Pertussis

EID Emerging Infectious Disease (Penyakit Infeksi Emerging)

EOC Emergency Operations Centers (Pusat-pusat operasional darurat)

EPHF Essential Public Health Function (Fungsi Kesehatan Masyarakat Esensial)

EPI Expanded Program on Immunization (Program Perluasan Imunisasi)

EPT-2 Emerging Pandemic Threats program (USAID)

EWARS National Early Warning Alert and Response System

FAO UN Food and Agriculture Organization

FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pratama (Primary Health Care Facility)

GHSA Global Health Security Agenda

HA-MRSA Hospital Associated Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

HCAI Health Care-Associated Infection

HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome

Hib Haemophilus influenzae type b

HPAI Highly Pathogenic Avian Influenza

HSR Health Sector Review

ICD-XI International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem XI (electronic)

IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia

IHR International Health Regulations

IPC Infection Prevention Control

IR Incidence Rate

iSIKHNAS Animal Health Information System

jEE Joint External Evaluation

jICA Japan International Cooperation Agency

jKN Jaminan Kesehatan Nasional

Kemenhukham Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Kemenko PMK Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan

Kemenkes Kementerian Kesehatan

Kementan Kementerian Pertanian

Kemen lHK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kemenristekdikti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi

KlB Kejadian Luar Biasa

labkesmas Laboratorium Kesehatan Masyarakat

lA-MRSA Livestock Acquired Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus

lPAI Low Pathogenic Avian Influenza

MCV1 Measles-containing-vaccine first-dose

MCV2 Measles-containing-vaccine second-dose

MDGs Millenium Development Goals

MERS Middle East Respiratory Syndrome

MERS-CoV Middle East Respiratory Syndrome Corona-Virus

MoU Memorandum of Understanding

NHSP National Health Sector Planning

SNI Standar Nasional Indonesia

Page 7: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • xiii

OIE Office International des Epizooties (Organization for Animal Health)

ORI Outbreak Response Immunization (Imunisasi Tanggap Wabah)

PHC Primary Health Care (Layanan Kesehatan Primer)

PHEIC Public Health Emergency of International Concern (Darurat Kesehatan Masyarakat Kepedulian Internasional)

PNS Penicillin Non-Susceptible (Penicilin yang rentan)

PNSSP Penicillin Non-Susceptible Streptococcus Pneumoniae (Penicillin Streptococcus Pneumoniae yang rentan)

PoE Point of Entry (Titik Masuk)

Posyandu Pos Pelayanan Terpadu

Pusdatin Pusat Data dan Informasi

Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat

RPjMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

RPjPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

Renstra Rencana Strategis

SARS Severe Acute Respiratory Syndrome (Sistem Pernafasan Akut Parah)

SARS-CoV Severe Acute Respiratory Syndrome Corona-Virus (Sistem Pernafasan Akut Parah Virus Corona)

SDGs Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan)

SIKHNAS Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional

SjSN Sistem Jaminan Sosial Nasional

SKN Sistem Kesehatan Nasional

TB Tuberculosis

TMP-SMX Trimethoprim-sulfamethoxazole

UHC Universal Health Coverage (Cakupan Kesehatan Semesta)

UNICEF United Nations Children’s Fund (Dana Anak-Anak PBB)

USAID United States Agency for International Development (Badan Amerika Serikat untuk Pembangunan Internasional)

WB World Bank (Bank Dunia)

WHA World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia)

WHO SEARO World Health Organization South-East Asia Regional Office (Kantor Regional Organisasi Kesehatan Dunia Asia Tenggara)

WHO World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia)

xii • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Page 8: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

RINGKASAN EKSEKUTIF

Laporan Kajian Sektor Kesehatan 2018 dengan Topik “Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security” ini meliputi analisis situasi terkini, identifikasi gap dari kebijakan yang ada saat ini, tantangan dan isu strategis, serta rekomendasi kebijakan dan strategi untuk memperkuat fungsi kesehatan masyarakat termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi baru yang muncul (Emerging Infectious Diseases/EIDs) dan ancaman health security lainnya.

Fungsi kesehatan masyarakat merupakan intervensi kesehatan yang difokuskan pada berbagai determinan (penyebab tidak langsung) masalah kesehatan untuk mengurangi risiko penyakit (risk reduction). Dengan demikian, fungsi kesehatan masyarakat berfokus pada upaya pencegahan. Hal ini berbeda dari intervensi pengobatan yang fokus utamanya adalah memulihkan orang sakit. Fungsi kesehatan masyarakat menjadi semakin penting dengan berkembangnya pengetahuan tentang determinan kesehatan selain upaya pengobatan (faktor medis-biologis). Horizon determinan atau faktor resiko tersebut sangat luas, berada dalam domain kegiatan berbagai sektor pemerintah, serta kegiatan swasta dan masyarakat.

Fungsi kesehatan masyarakat juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (health security) yang diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Untuk Indonesia, risiko epidemi dan pandemi sangat besar karena batas wilayah yang sangat luas dan jumlah pintu masuk yang sangat banyak. Akan tetapi, kapasitas inti International Health Regulation (IHR), terutama surveilans kesehatan dan sistem informasi health security global di Indonesia masih belum memadai.

Pengertian fungsi kesehatan masyarakat pada saat ini lebih komprehensif dan kompleks. Fungsi Kesehatan Masyarakat diperlukan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDG) tujuan 2 (gizi), 3 (kesehatan), 5 (kesetaraan gender, kesehatan reproduksi) dan 6 (air bersih dan sanitasi). Pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama: (1) intervensi langsung (mengobati tuberkulosis, HIV, malaria, dan gizi buruk; (2) intervensi tidak langsung untuk faktor determinan kesehatan atau intervensi sensitif (merokok, polusi udara, bahan beracun/beracun, dan deteksi dini risiko kesehatan); dan (3) penguatan sistem kesehatan (meningkatkan kapasitas SDM Kesehatan, menyediakan obat-obatan, vaksin, dan peralatan medis, meningkatkan akses ke layanan kesehatan, dan perlindungan risiko keuangan). Intinya, ada empat area yang menjadi fokus fungsi kesehatan masyarakat, yaitu (1) upaya kuratif (UKP), (2) kinerja upaya promotif dan preventif (UKM), (3) kinerja intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (4) kinerja penguatan sistem kesehatan.

Isu-isu strategis utama dalam penguatan fungsi kesehatan masyarakat ke depan adalah sebagai berikut. Pertama, akses dan mutu upaya kesehatan perorangan (UKP) belum optimal. Dalam upaya kuratif, kebijakannya adalah memperkuat sisi suplai dan demand. Dari sisi suplai dihadapi masalah pemerataan pelayanan kesehatan (akses dan mutu) terutama di daerah terpencil, pegunungan dan kepulauan. Masalah lainnya adalah sistem rujukan berjenjang dari pelayanan primer, sekunder dan tertier yang belum berjalan optimal. Dari sisi demand, dikembangkan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan target mencakup semua penduduk. Walaupun kepesertaan JKN berkembang pesat (lebih dari 200 juta penduduk pada tahun 2018), dihadapi masalah suplai (akses dan mutu) dan masalah pembiayaan. BPJS Kesehatan terus mengalami defisit yang makin membesar dari tahun ke tahun. Dalam upaya kuratif dihadapi tantangan meningkatnya penyakit tidak menular yang memerlukan intervensi medis yang lebih canggih, lebih spesialistik dan berbiaya mahal.

Kedua, kinerja upaya kesehatan masyarakat (UKM) cenderung menurun. Dalam upaya kesehatan masyarakat, terjadi penurunan kinerja seperti terilhat pada beberapa indikator: kejadian outbreak difteri, jumlah kasus TB yang sangat tinggi, outbreak penyakit-penyakit lama seperti rabies dan leptospirosis di beberapa tempat. Sementara itu ancaman epidemi dan pandemi penyakit-penyakit yang ditularkan dari binatang (zoonosis) semakin nyata sebagai konsekuensi meningkatnya mobilitas manusia, hewan dan barang antar negara dan antara daerah. Tantangan lain adalah meningkatnya penyakit tidak menular seperti hipertensi, DM, gangguan jiwa dan KLL yang juga menunjukkan lemahnya fungsi upaya kesehatan masyarakat untuk mencegah jenis-jenis gangguan kesehatan tersebut.

Ketiga, upaya lintas sektor belum terlaksana dengan baik. Dalam upaya lintas sektor, konsep “pembangunan berwawasan kesehatan” (health in all policy) belum terlaksana dengan baik walaupun sudah ada kebijakan dan regulasi yang menekankan pentingnya peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan. Kenaikan prevalensi pneumonia karena asap dari pembakaran hutan, outbreak rabies karena cakupan vaksinasi anjing rendah (zoonosis), tingginya beban penyakit karena kecelakaan lalu lintas, adanya bahan beracun berbahaya dalam produk makanan serta pencemaran B3 di badan air, tanah dan udara; adalah beberapa indikator lemahnya peran lintas sektor tersebut.

Keempat, kapasitas sistem kesehatan belum optimal. Dalam penguatan sistem kesehatan, ada beberapa kelemahan. Sistem informasi untuk kebijakan dan perencanaan program, khususnya sistem surveilans – belum menghasilkan informasi tepat waktu dan bersifat regional, terutama untuk kebijakan operasional di tingkat daerah. Kekurangan kronis tenaga spesialis, maldistribusi dokter, bidan dan perawat adalah masalah ketenagaan untuk upaya kuratif. Puskesmas juga mengalami kekurangan tenaga kesehatan masyarakat seperti tenaga kemas, sanitarian, gizi dan tenaga analis untuk konfirmasi hasil skrining. Di bidang obat, terdapat permasalahan “production cost” yang tinggi karena bahan baku obat yang sebagian besar harus diimpor. Di RS terjadi kekurangan obat karena keterlambatan pembayaran kepada rekanan (supplier) akibat cash flow RS terganggu oleh “outstanding payment” klaim ke BPJS Kesehatan. Dibidang pembiayaan kesehatan, masalah yang dihadapi adalah belum adanya regulasi untuk mengoperasionalkan ketetapan UU Nomor 36 Tahun 2009; rendahnya kapasitas fiskal daerah dihadapkan pada keharusan membiayai urusan wajib daerah, alokasi untuk UKM yang sangat kecil dan defisit anggaran BPJS Kesehatan. Selain itu, penyediaan fasilitas kesehatan masih menghadapi masalah pemerataan akses dan mutu pelayanan serta sistem rujukan berjenjang.

Berdasarkan isu-isu strategis tersebut maka diperlukan pengembangan kebijakan dan strategi yang komprehensif dan terintegrasi mencakup penyelenggaraan UKP, UKM, upaya lintas sektor, serta penguatan sistem kesehatan, yang dilakukan di semua tingkatan mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Adapun, rekomendasi kebijakan untuk penguatan fungsi kesehatan masyarakat untuk menerapkan pendekatan komprehensif tersebut yaitu:

(1) Penguatan tata kelola mencakup penguatan koordinasi lintas-sektor, perumusan regulasi maupun NSPK fungsi kesehatan masyarakat, peningkatan kapasitas Dinkes provinsi dan kabupaten/kota, penguatan puskesmas, penyusunan Sistem Kesehatan Provinsi (SKP) dan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) serta dukungan pembiayaan untuk pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota secara efektif dan efisien.

xiv • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security Kajian Sektor Kesehatan • xv

Page 9: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

PENDAHUlUAN

(2) Penguatan SDM untuk fungsi kesehatan masyarakat agar kegiatan surveilans, promosi kesehatan, fungsi kesehatan lingkungan, gizi, pemeriksaan laboratorium, pengelolaan farmasi, serta manajemen data dan pelaporan dilaksanakan sesuai standar.

(3) Penguatan sistem surveilans didukung dengan updating pedoman surveilans, pelatihan, sistem informasi, fungsi Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas), dan kerjasama dengan sektor kesehatan hewan.

(4) Penguatan penelitian dan analisis kebijakan sebagai masukan untuk analisis kebijakan dan upaya memperkuat peran lintas sektor.

(5) Peningkatan kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan terutama di Dinas Kesehatan Provinsi untuk melaksanakan SPM penanganan bencana.

(6) Penguatan perlindungan kesehatan yang mencakup penguatan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), memperluas dukungan Laboratorium kesehatan masyarakat (Labkesmas) dan laboratorium kesehatan hewan untuk pemantauan kualitas lingkungan secara rutin, memastikan konsistensi pelaksanaan Amdal, serta meningkatkan program kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.

(7) Peningkatan kegiatan promosi kesehatan dengan tujuan untuk mengadvokasi kebijakan sektoral berwawasan kesehatan, meningkatkan keterlibatan lintas sektor, dan mendorong perbaikan perilaku hidup sehat.

(8) Komunikasi dan peningkatan peran serta masyarakat termasuk diseminasi paradigma kesehatan, fungsi kesehatan masyarakat, dan determinan kesehatan yang bersifat lintas sektor.

Kajian ini juga merekomendasikan pentingnya peningkatan kapasitas teknis penerapan IHR di Indonesia. Untuk meningkatkan kesiapan menghadapi epidemi dan pandemi penyakit, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

(1) Menetapkan struktur organisasi yang bertanggung jawab menangani isu health security khususnya dalam meningkatkan kewaspadaan, melakukan deteksi dini, melakukan respon cepat, pencegahan serta melakukan koordinasi semua stakeholders lintas sektor;

(2) Menyusun kerangka strategi nasional untuk memperkuat kesiapan menghadapi ancaman penyakit menular yang potensial menjadi epidemi/pandemi, yaitu dengan mereviu semua peraturan perundangan yang berlaku;

(3) Memperkuat sistem surveilans termasuk surveilans penyakit infeksi pada hewan serta SDM kompeten yang melakukannya;

(4) Mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dalam 5-10 tahun mendatang;

(5) Mengembangkan kemampuan melakukan respons secara cepat terhadap ancaman epidemi/pandemi dengan melibatkan semua sektor terkait;

(6) Meningkatkan kerja sama bilateral, regional dan multilateral;(7) Rencana aksi untuk mencegah resistensi mikrobial terhadap antibiotik (AMR);(8) Memperkuat manajemen keamanan makanan;(9) Pemenuhan tim tenaga multidisiplin dalam menangani isu health security (a.l.

peternakan, kesehatan masyarakat, transportasi, keamanan komoditas, pertahanan keamanan dll); dan

(10) Memperkuat kapasitas laboratorium untuk mendeteksi penyakit-penyakit menular tersebut.

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

(Public health functions) dAN health security

1.

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

xvi • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Page 10: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

1. Pendahuluan • 32 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Indonesia merupakan salah satu dari 170 negara yang menandatangani komitmen pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030 yang kemudian diadopsi ke dalam target-target pembangunan nasional Pemerintah Indonesia. Tujuan pembangunan kesehatan menuju universal health coverage berkontribusi pada pencapaian semua tujuan SDGs seperti yang tampak pada Gambar 1.

Gambar 1. Tujuan Pembangunan Kesehatan terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) lainnya

Struktur tersebut termasuk lingkungan sosial, lingkungan fisik, pelayanan kesehatan, dan struktur sosial masyarakat. SDH juga berkaitan dengan distribusi modal, kekuasaan dan sumber daya di suatu masyarakat atau di sebuah negara atau di seluruh dunia. Konferensi Internasional tentang SDH di Rio de Janeiro Brazil pada bulan Oktober 2011 merumuskan pengertian SDH yang lebih komprehensif, yaitu kondisi atau lingkungan kehidupan sehari-hari dimana penduduk lahir, tumbuh, bekerja, hidup, dan menjadi tua. Kondisi tersebut mencakup: (1) lingkungan kehidupan selama usia dini, (2) pendidikan, (3) status ekonomi, (4) pekerjaan, (5) perumahan dan lingkungannya, dan (6) sistem yang efektif untuk mencegah serta memulihkan sakit.

Konferensi tersebut juga menghasilkan 6 (enam) aksi/intervensi terhadap SDH yang sangat esensial untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, merata dan berkeadilan, serta sehat dan produktif secara ekonomi. Aksi tersebut adalah: (1) peningkatan tata kelola kesehatan dan pembangunan, melalui kerjasama lintas sektor secara terintegrasi; (2) peningkatan partisipasi civil society dan masyarakat dalam merumuskan kebijakan, memonitor implementasi, dan mengevaluasi hasilnya; (3) re-orientasi sektor kesehatan untuk lebih menekankan promosi kesehatan dan mengurangi kesenjangan (inequity); (4) meningkatkan kerja sama dan tata kelola global untuk dukungan finansial dan peningkatan kapasitas; dan (5) memantau perkembangan dan meningkatkan akuntabilitas.

Kesehatan masyarakat juga harus tanggap terhadap perkembangan teknologi baru, dampak globalisasi, migrasi penduduk, peran sektor swasta yang semakin luas, serta ancaman penyebaran penyakit. Fungsi kesehatan masyarakat akan semakin penting pada tahun 2020, terutama untuk menghadapi pencemaran, perubahan iklim global, peningkatan urbanisasi dan industrialisasi, desentralisasi sistem kesehatan, peningkatan beban penyakit tidak menular (PTM), dan faktor determinan sosial lainnya yang menyebabkan ketimpangan kesehatan. Hal ini menunjukkan pentingnya kegiatan promosi dan pencegahan kesehatan dan keterlibatan masyarakat dalam semua aspek fungsi kesehatan masyarakat.

Pada tataran kebijakan dan regulasi, konsep teoritis peningkatan kesehatan melalui intervensi pemulihan dan pencegahan serta kondisi lingkungan fisik/sosial/ekonomi yang kondusif sudah dirumuskan secara jelas. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, berbagai peraturan turunan regulasi tersebut; serta dalam kebijakan lima tahunan yaitu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Strategis Kementerian Lembaga (Renstra K/L). Bahkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat, ditekankan pentingnya pola hidup sehat dan lingkungan sehat untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan. Kebijakan dan regulasi tersebut menekankan pentingnya upaya-upaya promotif, preventif dan kuratif sekaligus secara komprehensif; dan sejak tahun 2000-an, ditambahkan satu area penting lainnya, yaitu penguatan sistem kesehatan untuk mendukung upaya promotif-preventif dan kuratif tersebut.

Paradigma komprehensif tersebut bukan hal baru. Deklarasi Alma Ata tentang “Health for All” (WHO, 1978), World Development Report 1993: Investing in Health (1), Mainstreaming Health in Development Policy (2), MDGs (1990-2015), Reducing Risk, Promoting Healthy Life (3), Sosial Determinants of Health (4), Indonesia Sehat 2010, SDGs (2015-2030), Health in all policy atau “Hi-AP” (5); semuanya menekankan pentingnya pendekatan menyeluruh (komprehensif) dalam pembangunan kesehatan.

Kesehatan masyarakat merupakan elemen inti dari upaya pemerintah untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk. Fungsi Kesehatan Masyarakat adalah intervensi kesehatan yang difokuskan pada berbagai determinan (penyebab tidak langsung) masalah kesehatan penduduk. Intervensi terhadap determinan tersebut arahnya adalah mengurangi resiko penyakit (risk reduction). Jadi, berbeda dari intervensi pengobatan yang fokusnya adalah memulihkan orang sakit, fungsi kesehatan masyarakat fokusnya adalah pencegahan. Fungsi kesehatan masyarakat menjadi semakin penting dengan berkembangnya pengetahuan tentang determinan kesehatan selain upaya pengobatan (faktor medis-biologis). Horizon determinan atau faktor resiko tersebut sangat luas, berada dalam domain kegiatan berbagai sektor pemerintah, serta kegiatan swasta dan masyarakat.

Social Determinants of Health (SDH) merupakan struktur sosial dan sistem ekonomi yang kompleks dan terintergasi serta saling berkaitan yang besar pengaruhnya terhadap kesenjangan kesehatan (health inequities) (World Health Organization/WHO, 2008).

Page 11: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

1. Pendahuluan • 54 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Secara konseptual, paradigma komprehensif tersebut berisi empat domain intervensi:(1) Upaya pemulihan yang dikenal sebagai pelayanan kuratif melalui penyediaan fasilitas

kesehatan,(2) Upaya promotif dan pencegahan berupa intervensi terhadap faktor-faktor resiko yang

ada dalam demarkasi kesehatan, (3) Upaya lintas sektor, yaitu intervensi untuk mengurangi/menghilangkan dampak negatif

dari kegiatan sektor lain terhadap kesehatan; atau sebaliknya melibatkan sektor lain untuk memberi kontribusi terhadap kesehatan, dan

(4) Upaya memperkuat kapasitas sistem kesehatan. Yang dimaksud dengan fungsi kesehatan masyarakat adalah domain (2) upaya promotif dan pencegahan, (3) upaya lintas sektor, dan (4) upaya memperkuat kapasitas sistem kesehatan tersebut di atas. Dalam tataran empiris, tidak mudah menerapkan kebijakan dan regulasi intervensi kesehatan secara komprehensif, terintegrasi dan sinkron seperti tersirat dalam kebijakan dan regulasi tersebut. Sistem kesehatan masih tetap didominasi oleh upaya kuratif dan bersifat sangat sektoral (dominasi sektor kesehatan). Berbagai konsep yang menyatakan bahwa membangun kesehatan tidak bisa hanya dengan upaya pengobatan (menyediakan fasilitas kesehatan) ternyata implementasinya tidaklah demikian. Padahal sudah diketahui – seperti dinyatakan oleh Henrik L Blum (1981) – 80% determinan derajat kesehatan ada pada faktor lingkungan dan perilaku, dan hanya 20% oleh faktor pelayanan kesehatan (pengobatan). Cukup banyak indikasi bahwa kinerja dalam empat domain intervensi tersebut di atas belum memuaskan. Beberapa tujuan dalam masing-masing area tersebut tidak tercapai sesuai target. Kemudian, laju perbaikan indikator kesehatan nasional tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti misalnya Vietnam dan Thailand.

Upaya kuratif. Keberhasilan upaya kuratif memerlukan tiga syarat: (i) penduduk mempunyai akses terhadap fasilitas pengobatan yang berkualitas, yaitu fasilitas pelayanan primer, sekunder, tersier dan sistem rujukannya, (ii) tidak ada hambatan finansial untuk menggunakan pelayanan tersebut, dan (iii) kesadaran masyarakat untuk berobat.

Upaya promotif-preventif. Upaya promotif-preventif dengan sasaran penduduk – yang juga disebut Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) - adalah kegiatan untuk meningkatkan perilaku dan higiene lingkungan, melakukan pelayanan pencegahan seperti imunisasi, dan skrining massal untuk deteksi dan pengobatan dini. Berbeda dari upaya promotif-preventif perorangan, UKM dilaksanakan dengan dua pendekatan yaitu: (i) menggerakkan “mesin” birokrasi dan (ii) menggerakkan “mesin sosial”.

Intervensi lintas sektor. Inti dari domain intervensi ini adalah peran dan tanggung jawab sektor terkait untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan penduduk atau yang dikenal dengan pembangunan berwawasan kesehatan. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) adalah salah satu contoh kebijakan untuk menggerakkan peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan.

Kapasitas sistem kesehatan. Fungsi promotif-preventif dan kuratif serta penggerakkan lintas sektor tidak akan berhasil kalau tidak didukung oleh suatu sistem kesehatan yang kuat dan berfungsi dengan baik (WHO, 2000). Oleh karena itu, sistem kesehatan harus diperkuat

(WHO/WHR 2010: Health System Building Block). Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 menetapkan tujuh fungsi sistem kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN), yaitu (1) tata kelola dan regulasi didukung sistem informasi, (2) pengelolaan SDM Kesehatan, (3) pengelolaan obat/vaksin, alat kesehatan dan makanan-minuman, (4) penelitian dan pengembangan kesehatan, (5) pemberdayaan dan peran serta masyarakat, (6) pembiayaan kesehatan, dan (7) upaya kesehatan yang dibagi menjadi Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Terdapat banyak permasalahan yang dihadapi dalam tiap elemen SKN tersebut. Permasalahan mencakup aspek tata kelola yang bergantung pada kejelasan peran dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, kekurangan sumber daya manusia (SDM) kesehatan, ketergantungan bahan baku impor untuk produksi obat yang pada akhirnya mempengaruhi ketersediaan obat di fasilitas pelayanan kesehatan, pemanfaatan data dan informasi untuk perumusan kebijakan yang belum optimal, kecukupan pembiayaan kesehatan di pusat dan daerah, dan masalah pemerataan akses dan kualitas pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan berjenjang.

Dengan demikian, salah satu tantangan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah memperkuat empat domain intervensi tersebut di atas terutama memperkuat pelayanan upaya kesehatan masyarakat, lintas sektor dan penguatan sistem kesehatan, yang ketiga-tiganya termasuk dalam area fungsi kesehatan masyarakat.

Fungsi kesehatan masyarakat juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (health security) yang diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Untuk Indonesia, risiko epidemi dan pandemi sangat besar karena batas wilayah yang sangat luas dan jumlah pintu masuk yang sangat banyak. Indonesia menempati urutan kedua dalam hal angka kematian setelah Mesir akibat penyebaran virus H5N1 flu burung yang sangat patogen antara tahun 2005 dan 2012. Indonesia melaporkan terdapat 184 dari 1.500 kasus manusia dan ribuan kasus unggas antara tahun 1997 dan 2012 (6). Wabah ini tersebar di 50 negara termasuk Hong Kong, Cina, Korea, Thailand, Vietnam, Jepang, Kamboja, Laos, Malaysia, Filipina, Kazakhstan, Mongolia, Rusia, Turki, Rumania, Taiwan, Kroasia, Kuwait, Inggris, Ukraina, Irak, Iran, Bulgaria, Nigeria, Yunani, Italia, Jerman, Mesir, Prancis, India, Austria, Bosnia, Slovakia, Hongaria, Niger, Tepi Barat/Jalur Gaza, Azerbaijan, dan Pakistan (6,7).

Untuk mengatasi permasalahan health security, pada Juni 2017 International Health Regulation (IHR) 2005 diberlakukan untuk semua Negara Anggota World Health Organization (WHO), termasuk Indonesia. Indonesia harus menyiapkan dan melaksanakan rencana implementasi nasional untuk memperkuat, mengembangkan dan mempertahankan kapasitas inti kesehatan masyarakat (8). Tujuan dan ruang lingkup kegiatan tersebut adalah “untuk mencegah, melindungi, mengendalikan dan memberikan respons kesehatan masyarakat terhadap risiko kesehatan masyarakat akut yang berpotensi melintasi batas negara dan mengancam orang di seluruh dunia, dengan cara yang sesuai dengan dan terbatas pada risiko kesehatan masyarakat, dan menghindarkan gangguan yang tidak perlu dengan lalu lintas dan perdagangan internasional”(6). Hasil Joint External Evaluation (JEE) WHO pada tahun 2017 yang dilaksanakan untuk menilai kapasitas inti penerapan IHR di dalam suatu negara, menunjukkan bahwa dua fungsi kesehatan masyarakat yang penting yaitu: surveilans kesehatan dan sistem informasi untuk kegiatan health security global sangat kurang di Indonesia (8).

Page 12: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

6 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

(Public health functions) dAN health security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

ANAlISIS SITUASI FUNGSI KESEHATAN

MASYARAKAT

Dalam empat tahun terakhir, WHO menyatakan tiga keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional (Public Health Emergencies of International Concern/PHEICs), yaitu: Polio dan Ebola (2014) serta Zika di Brazil (2016). Sementara Middle East Respiratory Syndrom (MERS), yang berasal dari Arab Saudi (2012), tidak memicu deklarasi PHEIC, meskipun virus tersebut telah menyebar ke lebih dari 24 negara dengan 584 kematian, termasuk Korea (2015). Epidemi Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan flu burung menunjukkan kerentanan negara-negara di Asia terhadap kejadian pandemi baik dari sisi situasi lingkungan, sosial ekonomi, dan demografis. Penyakit-penyakit infeksi baru yang muncul (Emerging Infectious Diseases/EID) seperti Ebola (2014-2016) dapat memiliki angka kematian kasus (Case Fatality Rate/CFR) antara 25%-90%. Indonesia dan negara-negara lain diwajibkan untuk segera melaporkan kepada WHO apabila terdapat kejadian cacar, poliomielitis liar, influenza baru, SARS, dan penyakit rawan pandemi seperti kolera, wabah pneumonia, demam kuning, dan demam berdarah. Organisasi non-pemerintah, media cetak dan penyiaran, ilmuwan, dan platform media sosial juga didorong untuk melaporkan kejadian tersebut (6).

Masalah health security membutuhkan jenis tenaga kesehatan baru. Tenaga kesehatan di seluruh dunia kini menghadapi tantangan yang tidak pernah mereka temui sebelumnya dan mereka juga tidak terlatih untuk menghadapinya. Dengan demikian, sangat penting untuk memperkirakan kebutuhan dan melatih jenis sumber daya manusia (SDM) kesehatan baru dalam jumlah yang cukup untuk mengembangkan kapasitas untuk mendeteksi, mencegah, dan merespon dengan cepat ancaman kesehatan masyarakat.

1.1. TUjUAN

Menjelang akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (KementerianPPN/Bappenas) melaksanakan Kajian Sektor Kesehatan (Health Sector Review) tahun 2018 sebagai referensi untuk mengembangkan RPJMN bidang kesehatan tahun 2020-2024. Kajian sektor kesehatan merupakan proses berbasis bukti yang didasarkan pada analisis situasi saat ini, pembelajaran dari masa lalu, prediksi tantangan di masa depan, dan rekomendasi kebijakan dan strategi untuk arah pembangunan kesehatan ke depan. Kajian sektor kesehatan dengan tema Fungsi Kesehatan Masyarakat ini disusun untuk memberikan informasi mengenai kebutuhan untuk memperkuat fungsi kesehatan masyarakat termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi baru yang muncul atau Emerging Infectious Diseases (EIDs) dan ancaman health security lainnya.

1.2. METODE

Kajian dilakukan dengan melakukan reviu atas data sekunder yang tersedia dari berbagai sumber (profil kesehatan kabupaten rutin, laporan penelitian terkait, berbagai laporan Bank Dunia, laporan WHO, laporan tahunan Kementerian/Lembaga, dan laporan penelitian akademisi), yang mencakup: (1) analisis fungsi kesehatan masyarakat di Indonesia termasuk tinjauan literatur tentang ancaman health security dan hasil Joint External Evaluation (JEE) tahun 2017; dan (2) kebijakan, masalah dan upaya penguatan fungsi kesehatan masyarakat ke depan.

2.

Page 13: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat • 98 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

(5) Mengembangkan kebijakan dan rencana yang mendukung upaya kesehatan perorangan dan masyarakat

(6) Menegakkan hukum dan peraturan yang melindungi kesehatan dan memastikan keamanan

(7) Memberikan perawatan untuk masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan perorangan

(8) Memastikan kompetensi tenaga kesehatan masyarakat dan perorangan(9) Mengevaluasi efektivitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan kesehatan(10) Penelitian untuk wawasan baru dan solusi-solusi inovatif dalam menghadapi masalah-

masalah kesehatan

Gambar 2. Fungsi Inti Kesehatan Masyarakat dan 10 layanan Esensial

Sumber: IOM. Kesehatan Masyarakat di Masa Depan. 10 Layanan Kesehatan Masyarakat Esensial, Komite Pengarah Fungsi

Kesehatan Masyarakat Inti, 1994 (12)

Dalam “World Development Report 1993: Investing in health”, disebutkan pentingnya melakukan investasi pelayanan kesehatan masyarakat esensial (essential public health services/EPHF) dan pelayanan klinis (clinical services). Berdasarkan situasi masalah kesehatan pada masa itu, ada enam pelayanan kesehatan masyarakat esensial dan empat pelayanan pelayanan klinis esensial yang perlu mendapatkan prioritas.

Pelayanan kesehatan masyarakat esensial tersebut termasuk:(1) Imunisasi(2) Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)(3) Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan pelayanan Keluarga Berencana (KB) dan

gizi(4) Program untuk mengurangi konsumsi tembakau dan alkohol(5) Regulasi, informasi dan investasi terbatas untuk meningkatkan lingkungan perumahan(6) Pencegahan AIDS

Sedangkan untuk pelayanan klinis esensial termasuk :

(1) Pelayanan berkaitan dengan kehamilan (pelayanan antenatal, melahirkan, pasca salin)(2) Pengendailan Tuberkulosis (TB)(3) Pengendalian Penyakit Menular Seksual (PMS)(4) Pelayanan penyakit anak termasuk diare, ISPA, campak, malaria dan kurang gizi akut

Jenis layanan di atas ditentukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dasar penduduk terutama penduduk miskin serta pengalaman empiris yang membuktikan bahwa pelayanan tersebut cost effective. Investasi untuk pelayanan tersebut diharapkan akan mengurangi kesenjangan dan meningkatkan derajat kesehatan khususnya penduduk miskin. Jenis pelayanan tersebut mungkin sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Namun, pemerintah tetap perlu melakukan investasi dan melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat untuk: (i) melindungi kesehatan masyarakat secara keseluruhan, (ii) mengurangi (atau menghilangkan) kesenjangan dan disparitas, dan (iii) menjamin hak setiap orang untuk hidup sehat.

Menurut WHO dan Pan American Health Organization (PAHO), fungsi kesehatan masyarakat esensial merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan, mempromosikan, melindungi, dan memulihkan kesehatan manusia melalui tindakan kolektif. Fungsi kesehatan masyarakat esensial biasanya fokus pada pencegahan dampak dari berbagai faktor determinan sosial (penyebab tidak langsung) yang memperburuk masalah kesehatan. Untuk itu, pengetahuan mengenai faktor determinan masalah kesehatan masyarakat sangat penting untuk mendesain intervensi yang lebih efektif sebelum pengobatan dan perawatan yang berbiaya lebih tinggi.

Sepuluh layanan fungsi kesehatan masyarakat esensial (EPHFs) meliputi (9–11):(1) Memantau status kesehatan untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah

kesehatan masyarakat(2) Mendiagnosis dan menyelidiki masalah kesehatan dan bahaya-bahaya kesehatan di

masyarakat(3) Menginformasikan, mendidik, dan memberdayakan masyarakat tentang masalah-

masalah kesehatan(4) Memobilisasi kemitraan dan partisipasi masyarakat untuk mengidentifikasi dan

memecahkan masalah-masalah kesehatan

Page 14: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat • 1110 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

di Indonesia, hampir semua fungsi kesehatan masyarakat yang disebutkan di atas sudah didukung dengan regulasi khusus. Terdapat delapan fungsi kesehatan masyarakat yaitu: (a) surveilans, (b) kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan, (c) perlindungan kesehatan, (d) promosi kesehatan masyarakat dan perorangan, (e) tata kelola, regulasi pembiayaan, dan kelembagaan, (f) SDM kesehatan masyarakat yang kompeten, (g) komunikasi dan mobilisasi sosial, dan (h) penelitian dan pengembangan kesehatan masyarakat dan analisis kebijakan (Tabel 1).

Tabel 1. Regulasi Terkait Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia

No Fungsi Kesehatan Masyarakat Regulasi Substansi yang Diatur

1 Surveilans PMK-45/2014 Surveilans

2 Kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan

UU-24/2007PP-40/1991PMK-82/2014

Penanggulangan BencanaPenanggulangan WabahPenanggulangan Penyakit Menular

3 Perlindungan kesehatan UU-12/2012 PP-28/2004 UU-32/2009PP-27/2012 PP-74/2001

Keamanan Pangan Keamanan MakananLingkungan HidupIzin Lingkungan Pengamanan Bahan Berbahaya Beracun (B3)

4 Promosi kesehatan masyarakat dan perorangan

UU-36/2009PMK-74/2015

KesehatanPromosi Kesehatan

5 Tatakelola, regulasi pembiayaan, dan kelembagaan

UU-36/2009 Perpres-72/2012UU-40/2004 UU-23/2014 PP-18/2016

Kesehatan Sistem Kesehatan NasionalSistem SJSNPembagian Urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/KotaPerangkat daerah

6 SDM kesehatan masyarakat yang kompeten

UU-36/2014UU-23/2014

Tenaga KesehatanPembagian Urusan Pemerintahan

7 Komunikasi dan mobilisasi sosial

PMK-65/2013 Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

8 Penelitian dan pengembangan kesehatan masyarakat dan analisis kebijakan

PMK-64/2015 Pusat Analisis Determinan Kesehatan

* UU: Undang-Undang; PP: Peraturan Pemerintah; Perpres: Peraturan Presiden;

PMK: Peraturan Menteri Kesehatan

Delapan regulasi tentang fungsi kesehatan masyarakat di atas cukup lengkap dan komprehensif untuk mengantisipasi dan mengatasi berbagai masalah dan resiko/determinan kesehatan masyarakat di Indonesia, yang secara garis besar dapat dibagi 3 (tiga), yaitu:

(1) Menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (public health security)Untuk menghadapi isu public health security, delapan fungsi kesehatan masyarakat tersebut perlu diperkuat. Fungsi ke-1 (surveilans), Fungsi ke-5 (tata kelola dalam konteks desentralisasi) dan Fungsi ke-7 (komunikasi dan mobilisasi sosial) sangat penting bagi Indonesia yang memiliki wilayah luas, ribuan kepulauan dan ribuan pintu masuk manusia, hewan dan barang. Indonesia memerlukan sistem surveilans epidemiologi yang merupakan jejaring, secara vertikal antara puskesmas, Dinkes Kabupaten/Kota, Dinkes Provinsi dan Pusat, sedangkan secara horisontal antara puskesmas, antar-daerah dan antar-provinsi. Seluruhnya dikordinasikan oleh “pusat surveilans nasional”.

(2) Mengatasi determinan kesehatan di luar sektor kesehatan (lintas- sektor)Untuk mengatasi determinan non-kesehatan, seluruh fungsi kesehatan masyarakat diperlukan. Terutama, lima fungsi penting yaitu Fungsi-2 (kesiapan menghadapi bencana), Fungsi-3 (Perlindungan Kesehatan), Fungsi-4 (Promosi Kesehatan), Fungsi-5 (tata kelola/pembagian peran antara jenjang pemerintah) dan Fungsi-7 (Komunikasi dan mobilisasi sosial). Bagi intervensi lintas sektor, fungsi dan regulasi di atas merupakan intervensi sensitif.

(3) Mengatasi determinan kesehatan dalam sektor kesehatanIntervensi terhadap determinan kesehatan dalam domain kesehatan (intervensi spesifik), dalam epidemiologi dikenal sebagai “the epidemiological triad of causal factors” atau “agent – host - environment” factors. Keadaan sehat atau sakit seseorang ditentukan oleh ketiga faktor: (i) agent atau penyebab penyakit bisa berupa kuman atau bahan adiktif dan lain-lain, (ii) kondisi fisik host – genetik, biologis, mental, ketahanan tubuh, status gizi, perilaku seseorang, dan (iii) lingkungan tempat “agent” dan “host” tersebut berada, menyangkut sanitasi, konteks sosial, dan ketersediaan pelayanan kesehatan (13). Dengan demikian, pengendalian penyakit/masalah kesehatan memerlukan intervensi terhadap ke tiga faktor tersebut, baik untuk penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Intervensi dapat bersifat promotif, preventif, skrining, pengobatan dan rehabilitatif (dikutip Gani, A. dari buku Laevel & Clark (1968) ‘The five levels of health services’).

Tabel 2. Integrasi Pendekatan “Triad Epidemiologi” dan “5 jenjang Pelayanan”

Triad Epidemiologi

Fungsi UKMFungsi

UKM dan UKP

Fungsi UKP

Promotif Preventif Skrining Kuratif Rehabilitatif

Host √ √ √ √ √

Agent √ √ √ √ √

Environment √ √ √ √ √

Page 15: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat • 1312 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Paling tidak, penerapan fungsi kesehatan masyarakat dalam domain sektor kesehatan memerlukan kedua fungsi UKM dan UKP, terutama kegiatan: (i) surveilans, (ii) kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan, (iii) perlindungan kesehatan khususnya pangan dan makanan, (iv) promosi kesehatan, (v) tata kelola, regulasi, kelembagaan dan pembiayaan, (vi) SDM kesehatan masyarakat, (vii) komunikasi dan mobilisasi sosial/peran serta masyarakat, dan (viii) penelitian dan analisis kebijakan. Berikut ini adalah pemetaan area dimana fungsi kesehatan masyarakat membutuhkan upaya lintas sektor dalam mengantisipasi dan mengatasi isu-isu public health security (lihat Tabel 3).

Tabel 3. Tiga Sasaran Utama Fungsi Kesehatan Masyarakat di Indonesia

No Fungsi Kesehatan Masyarakat

“Public health security” lintas negara dan

lintas wilayah

Kebutuhan upaya

lintas sektor

UKM sektor kesehatan

1 Surveilans √ √ √

2 Kesiapan hadapi bencana dan kegawatdaruratan √ √ √

3 Perlindungan kesehatan √ √ √

4 Promosi kesehatan √ √ √

5Tatakelola, regulasi, kelembagaan dan pembiayaan

√ √ √

6 SDM kesehatan masyarakat √ √ √

7 Komunikasi dan peran serta √ √ √

8Penelitian dan Pengembangan dan analisis kebijakan kesmas

√ √ √

Dalam ilmu Kesehatan Masyarakat, intervensi kesehatan dibedakan antara intervensi kesehatan masyarakat (UKM) dan intervensi pengobatan (UKP). Pembedaan UKM dan UKP juga ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dalam Perpres tersebut, dijelaskan bahwa UKM adalah upaya yang bersifat

“public goods” dan pembiayaanya menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan UKP bersifat “private goods” dan pembiayaannya melalui mekanisme tarif atau asuransi kesehatan. Istilah UKM dan UKP juga digunakan dalam Undang-Undang No.23/2014 tentang pembagian urusan pemerintah pusat, provinsi dan daerah. Khusus untuk kabupaten/kota telah ditetapkan layanan dasar yang bersifat “public goods” untuk dipenuhi Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang pembiayaannya dibebankan pada anggaran daerah (APBD).

Tabel 4. Perbedaan Antara UKM dan UKP

UKM (Fungsi Kesehatan Masyarakat)

UKP (Fungsi Klinis)

Sasaran intervensi

Kelompok masyarakat Perorangan dan/atau keluarga

Host, agent, environment skala populasi Host, agent, environment

skala individu dan rumah tangga

Fokus intervensi Promotif, preventif, skrining Skrining, kuratif, rehabilitatif

Pendekatan

Menggerakkan: (a) “mesin” birokrasi(b) “mesin” sosial

Menggerakkan:(a) institusi pelayanan kesehatan(b) institusi keluarga

Lintas sektor Sektoral (kesehatan/medis)

Multidisiplin lintas ilmu Multidisiplin lintas ilmu medis

Sifat ekonomi intervensi Public goods dan merit goods Private goods

Pembiayaan Publicly financed (APBN & APBD) Privately financed (tarif)Collective financed (asuransi)

Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.75/2014 tentang Puskesmas mendefinisikan fungsi esensial kesehatan masyarakat menjadi Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan layanan kesehatan individu dasar terbatas atau Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang dilaksanakan oleh puskesmas di tingkat kecamatan.

Kegiatan UKM mencakup (Lampiran Permenkes-75 bagian VIII, halaman 92-100) (14,15):a. Promosi kesehatan, termasuk: i. Penyuluhan – promosi kesehatan di sekolah, pendidikan masyarakat tentang kesehatan

jiwa, perawatan antenatal dan menyusui, penyuluhan kesehatan jiwa dan Napza termasuk pada populasi berisiko (lanjut usia, anak-anak, remaja), perilaku menjaga kebersihan diri, kesehatan gigi dan mulut, imunisasi, konseling kesehatan reproduksi remaja, pencegahan penularan HIV/AIDS dan infeksi menular sosial (IMS), diare, tipus, hepatitis, edukasi dan konseling Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) meliputi ASI eksklusif dan MP-ASI untuk balita sehat, balita kurang gizi, dan balita gizi buruk

Page 16: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

2. Analisis Situasi Fungsi Kesehatan Masyarakat • 1514 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

rawat jalan, edukasi dan konseling pola makan bagi ibu hamil kurang energi kronik (KEK), konseling dietetik, dan edukasi dan konseling tentang pengobatan sendiri dan penggunaan obat

ii. Pemberdayaan masyarakat melalui tokoh agama dan publik, kader atau jejaring perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), posyandu, penggunaan obat secara rasional melalui metode cara belajar insan aktif (CBIA)

iii. Pelatihan kader tentang PHBS, teknik komunikasi, penggunaan obat dan pengobatan sendiri melalui metode CBIA

iv. Advokasi tentang praktik PHBS dan penanggulangan masalah kesehatan tertentu, dan kelompok dukungan perawatan masalah gizi

b. Kesehatan lingkungan, termasuk pemantauan tempat-tempat umum, pengelolaan makanan dan sumber air bersih.

c. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana (KIA dan KB), termasuk pelayanan imunisasi, pemeriksaan kesehatan anak sekolah dasar, pendidikan keluarga berencana untuk wanita usia reproduksi.

d. Pelayanan gizi, termasuk: (i) deteksi dini/penemuan kasus gizi di masyarakat dan surveilans gizi; dan (ii) asuhan keperawatan pada kasus gizi di masyarakat.

e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit, termasuk: i. Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular (posbindu-PTM) ii. Pencegahan dan pengendalian penyakit menular (filariasis, kecacingan, Demam

Berdarah Dengue (DBD), malaria, HIV/AIDS, Infeksi Menular Seksual (IMS), zoonosis dan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin)

Sementara itu, layanan kesehatan perorangan atau Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) didefinisikan sebagai layanan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, serta mencegah dan menanggulangi munculnya masalah-masalah kesehatan perorangan. Puskesmas biasanya memberikan layanan UKP atau perawatan kuratif selama lima hari dalam seminggu, dalam waktu-waktu yang terbatas (14,15).

Permenkes Nomor 75 Tahun 2014 juga memasukkan penyediaan layanan kesehatan masyarakat yang tidak esensial yang disebut Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Pengembangan, yang disesuaikan dengan prioritas masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja, dan potensi sumber daya yang tersedia di masing-masing puskesmas (Lampiran Permenkes-75 bagian VIII, hal. 100-102 ). UKM Pengembangan ini termasuk layanan khusus terkait Napza, pelayanan kesehatan gigi untuk anak-anak, lansia dan wanita hamil, pengobatan tradisional, komplementer dan alternatif, pembinaan kesehatan kerja, dan lain-lain (14,15). UKM Pengembangan dibagi menjadi dua bidang: (1) Pengembangan komponen UKM: (a) layanan kesehatan mental, (b) layanan kesehatan

gigi masyarakat; (c) layanan kesehatan tradisional komplementer, (d) layanan kesehatan olahraga, (e) layanan kesehatan indra, (f) layanan kesehatan lansia, (g) layanan kesehatan kerja, dan (h) layanan kesehatan lainnya

(2) Pengembangan komponen UKP: (a) pemeriksaan medis umum, (b) layanan kesehatan gigi dan mulut, (c) layanan pribadi KIA-KB, (d) layanan darurat, (e) layanan gizi perorangan, (f) pemberian layanan kesehatan, (g) pasien rawat inap untuk puskesmas rawat inap, (h) layanan farmasi, dan (i) layanan laboratorium

Permintaan akan pelayanan kesehatan yang berkualitas terus meningkat seiring dengan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan yang ditujukan untuk mengatasi hambatan finansial dalam pemanfaatan layanan kesehatan. Sebelum pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pembangunan kesehatan Indonesia dilaksanakan berdasarkan konsep pelayanan kesehatan primer (Primary Health Care/PHC) dengan puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar, didukung oleh rumah sakit dan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) lainnya. Di setiap kecamatan, setidaknya ada satu puskesmas yang dipimpin oleh seorang dokter, dan didukung oleh dua atau tiga puskesmas pembantu (pustu) yang mayoritas dipimpin oleh perawat. Pelayanan puskesmas berfokus pada promosi kesehatan, sanitasi, KIA dan KB, gizi masyarakat, pencegahan penyakit, dan kegawatdaruratan ringan.

Dalam pelaksanaan kegiatan promosi kesehatan dan pencegahan, puskesmas bekerja sama dengan relawan kesehatan masyarakat (kader). Di tingkat desa, UKBM seperti pos kesehatan terpadu (posyandu) berfungsi sebagai lini perawatan pertama, diikuti oleh pelayanan dasar oleh tenaga profesional di puskesmas. Pada tahun 1989, program bidan desa (Bidan di Desa) diperkenalkan melalui penempatan satu orang bidan terlatih di setiap desa dilengkapi dengan pos bersalin desa (polindes). Program ini juga mendukung pelaksaaan dari posyandu melalui pemberian pelayanan antenatal (ANC) dan konsultasi kesehatan reproduksi di tingkat desa. Para kader di desa mendorong ibu hamil risiko tinggi untuk mencari pelayanan prenatal tepat waktu dan membantu mereka untuk mengatur transportasi ke fasilitas kesehatan. Secara bertahap, UKBM telah berhasil mengatasi praktik tradisional yang berbahaya oleh dukun setempat.

Dengan demikian, sebagian besar kegiatan puskesmas seharusnya difokuskan pada program promosi dan pencegahan kesehatan seperti KIA dan KB, gizi masyarakat, sanitasi, dan pencegahan penyakit, dengan alokasi waktu yang terbatas untuk pemberian pelayanan kuratif atau layanan darurat kecil. Namun, pada kenyataannya terdapat beberapa temuan yang bertentangan di lapangan seperti:a) Beberapa puskesmas di pedesaan belum berhasil melaksanakan tugas kuratif dan preventif

karena dokter yang bekerja di puskesmas tersebut tidak tinggal di daerah pedesaan;b) Sejumlah besar perawat yang dikirim ke daerah pedesaan juga membuka praktik swasta di

desa atau kotac) Sangat sedikit pusat pelatihan untuk bidan yang berada di desa, dan hanya 70 persen bidan

yang tinggal di desad) Kader boleh mendapatkan tunjangan untuk kegiatan promosi kesehatan tertentu di tingkat

desa, namun, di beberapa tempat posyandu tidak dapat merekrut jumlah kader yang cukup atau layanan posyandu yang disediakan tidak memadai

e) Kader umumnya tidak efektif dalam memenuhi peran mereka di masyarakat karena mereka tidak terlatih dan hanya melayani sebagai sukarelawan dengan sedikit akuntabilitas

f) Investasi pada sumber daya manusia untuk promosi kesehatan belum optimal di semua tingkatan, padahal promosi kesehatan memiliki dampak besar pada kesehatan ibu dan bayi baru lahir (16)

g) Fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit umum daerah menjadi sumber pendapatan bagi pemerintah daerah. Fasilitas ini menerima subsidi dari pemerintah pusat untuk gaji dan biaya operasional, tetapi mereka diharuskan untuk mengadopsi prinsip

Page 17: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

16 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

(Public health functions) dAN health security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

3. ANAlISIS SITUASI HEALTH SECURITY

swadaya (swadana), atau menggunakan biaya pengguna untuk membiayai biaya non-gaji dari layanan medis. Prinsip swadana ini membuat pemerintah daerah terus meningkatkan pendapatan termasuk dengan mengontrakkan jasa ke sektor swasta. Sistem ini telah menyebabkan pertumbuhan jumlah fasilitas kesehatan swasta dan dua pertiga dari pembiayaan dan lebih dari separuh layanan kini dilakukan di fasilitas swasta (17)

h) Pasca-desentralisasi (2001), pemerintah pusat tidak lagi menyediakan tenaga kesehatan untuk masyarakat setempat. Beberapa pemerintah daerah tidak menganggap bidan sebagai prioritas lagi. Banyak bidan desa meninggalkan polindes dan pindah ke daerah sub-urban atau perkotaan, di mana peluang praktik swasta jauh lebih besar (17)

Page 18: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 1918 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Salah satu peran penting fungsi kesehatan masyarakat adalah untuk menghadapi ancaman epidemi dan pandemi penyakit (public health security). Di era globalisasi, keadaan darurat atau peristiwa yang menyangkut kesehatan masyarakat di satu negara dapat menjadi ancaman bagi negara lain. Dalam beberapa dekade terakhir, penyakit infeksi emerging (PIE) atau Emerging Infectious Diseases (EIDs), yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Sebagian besar (sekitar 70%) EID adalah zoonosis (18). Sejak tahun 1980-an, pandemi HIV/AIDS dan penyakit zoonosis asal hewan, telah menyebabkan banyak kematian. Di sisi lain, kegiatan kesehatan masyarakat dasar seperti vaksinasi menjadi lebih sulit untuk dilaksanakan. Padahal, di saat yang sama pertumbuhan pesat perdagangan global dimana perjalanan lintas negara dan benua (3,6 miliar penumpang udara internasional tahun 2016) menjadi sesuatu yang umum, sangat memfasilitasi penyebaran mikroba patogen ke seluruh bagian dunia termasuk ke Indonesia.

Wabah sindrom pernafasan akut yang parah (SARS) pada tahun 2003 merupakan peringatan bagi komunitas kesehatan masyarakat global bahwa tidak ada kendaraan internasional yang dapat secara cepat mendeteksi dan menanggapi wabah multi-negara, terutama jika disebabkan oleh penularan penyakit pernapasan (18). Wabah flu burung tahun 2006 dan pandemik influenza A tahun 2009 (H1N1) menjadi pertanda serius bahwa Indonesia masih belum siap menghadapi keadaan darurat kesehatan masyarakat global (global health security issues). Di samping sudah terlihatnya ancaman resistensi mikroba termasuk sindrom pernapasan akut coronavirus (SARS-CoV) yang pertama kali dilaporkan di Asia pada Februari 2003 dan telah menyebar ke lebih dari dua lusin negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa. Wabah lain seperti kolera di Haiti (2010), sindrom pernapasan akut corona virus (MERS-CoV) di Timur Tengah dan Korea (2012), chikungunya tahun 2013 dan Zika tahun 2015 di Amerika, demam kuning di Afrika 2015–2016 dan di Amerika Selatan 2016–2017, serta kolera di Yaman (2017), dan epidemi Ebola di Afrika Barat tahun 2014–2016 merupakan contoh nyata dari belum memuaskannya pencegahan global dan lemahnya respon (19,20).

Saat ini, selain peningkatan penyakit tidak menular dan masih tingginya penyakit menular, masih ditemukan juga penyakit tropis terabaikan (neglected tropical diseases, NTDs). NTDs juga disebabkan patogen seperti virus, bakteri, protozoa dan cacing/parasit (21). Diamati pula bahwa resistensi antimikroba (AMR) dan penyakit zoonosis juga meningkat kejadiannya, mengancam keamanan pangan, keamanan hayati dan biosekuriti. Kesimpulannya, PIE (EIDs) merupakan ancaman keamanan internasional dan menempatkan potensi dampak negatif yang besar pada infrastruktur kesehatan, keadaan sosial dan ekonomi, dan kesejahteraan (18,19,22).

Di masa lalu, PIE (EID) telah menyebabkan banyak pandemi fatal seperti pandemi Black Death (25-40 juta kematian) pada abad ke-14, pandemi influenza (50 juta kematian) di tahun 1918, dan pandemi HIV/AIDS (35 juta kematian) sejauh ini. Sekitar 60 hingga 80 persen infeksi manusia baru berasal dari hewan, terutama hewan pengerat dan kelelawar, yang kemudian dimanifestasikan sebagai sindrom paru Hantavirus, demam Lassa, dan encephalitis karena virus Nipah (23). The Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), yang muncul dari kelelawar ternyata dapat menyebar ke manusia. Virus influenza pandemi H1N1 2009 muncul dari babi. Influenza H5N1 (avian influenza) muncul dari unggas liar dan menyebabkan epizootik yang memperkuat transmisi virus pada unggas domestik, dan kemudian ke manusia yang terpapar unggas. Baik avian influenza yang sangat patogenik (HPAI) maupun yang patogenisitasnya rendah seperti avian influenza (LPAI), dapat menyebabkan penyakit berat pada manusia, dengan virus H5, H7 dan H9 sebagai patogen utama (23,24).

Agen penyakit infeksi lainnya yang telah bertahan dan beradaptasi dengan perubahan populasi manusia dan lingkungan adalah virus demam berdarah dan virus Nile Barat. Penularan demam berdarah ke manusia melalui nyamuk Aides dipengaruhi oleh tingkat kepadatan, sanitasi yang buruk, dan kemiskinan. Beberapa penyakit infeksi yang muncul kembali adalah: (1) kolera, yang terkait dengan mobilitas internasional, perang, bencana alam, dan sanitasi yang buruk, kemiskinan dan gangguan sosial; (2) HA-MRSA atau infeksi yang didapat di rumah sakit (juga penjara dan panti jompo, orang dengan luka terbuka, kateter, dan sistem kekebalan yang lemah), infeksi yang didapat dari masyarakat (CA-MRSA) serta infeksi yang didapat dari ternak (LA-MRSA); dan (3) Infeksi Clostridium difficile (CDI), penyebab utama diare infeksi pada pasien rawat inap. MRSA dan CDI akhirnya menjadi resisten terhadap pengobatan (23).

Eradikasi EID di masa depan merupakan tantangan yang sangat berat. Mikroorganisme patogenik dapat mengalami perubahan genetik yang cepat, yang mengarah ke sifat fenotip baru akibat pengaruh host dan lingkungan. Virus pandemi influenza 1918 adalah salah satu contohnya. Selama 95 tahun terakhir, virus turunannya telah berevolusi dan menghasilkan pandemik baru pada tahun 1957 dan 1968, dan baru-baru ini influenza H1N1 menjadi pandemi pada tahun 2009. Hal ini hanya dapat di atasi dengan sistem kewaspadaan, penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan, penyediaan alat diagnostik, obat-obatan, dan vaksin baik di sektor hewan serta sektor manusia. Setiap penyakit baru membawa tantangan unik, memaksa kita untuk terus beradaptasi dengan ancaman yang terus berubah (23). Sekitar enam dari setiap 10 penyakit infeksi yang diketahui pada manusia berasal dari hewan, dan tiga dari setiap empat EID tersebar dari hewan (25).

Peraturan Kesehatan Internasional (International Health Regulation/IHR) Tahun 2005 yang ditetapkan pada pada tanggal 15 Juni 2007 mengamanatkan kepada setiap negara anggota untuk secara bertahap memenuhi delapan kapasitas inti untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi potensi biologis dan potensi bahaya lainnya dalam kurun waktu sembilan tahun (2007-2016). Kapasitas inti IHR mencakup: (1) perundang-undangan dan kebijakan, (2) koordinasi, (3) pengawasan, (4) respon, (5) kesiapsiagaan, (6) komunikasi risiko, (7) sumber daya manusia, dan (8) laboratorium. Kapasitas ini perlu disiapkan untuk memastikan Indonesia siap untuk mendeteksi, mencegah, dan menanggapi: (1) penyakit menular yang muncul (EID) dan penyakit zoonosis, (2) penyakit terkait radiologi, (3) penyakit yang berhubungan dengan kimia, dan (4) penyakit terkait makanan (26).

One Health adalah pendekatan yang dipromosikan oleh World Health Organisation (WHO), Food and Agriculture Organisation (FAO), dan World Organisation for Animal Health (OIE) serta banyak negara dan organisasi untuk memperingatkan semua negara bahwa tidak ada satu pun bangsa atau sektor yang dapat menjamin keamanan kesehatan global. Indonesia harus bekerja secara internal dan bekerjasama dengan negara lain untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi ancaman penyakit menular. Keamanan kesehatan publik mencakup semua kegiatan (baik proaktif dan reaktif) yang dapat meminimalkan kerentanan terhadap peristiwa akut dalam kesehatan masyarakat, termasuk peristiwa-peristiwa kimia, biologi, dan radio-nuklir yang berpotensi menciptakan “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Menjadi Perhatian Internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC)” (27). Ancaman penyakit pandemi dan respon yang tidak efektif juga dapat berdampak buruk pada kesehatan masyarakat, negara dan ekonomi global (28).

Page 19: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 2120 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Global Health Security Agenda (GHSA) dengan maksud yang sama seperti IHR 2005, yaitu untuk mencegah, mendeteksi dan merespon cepat berbagai ancaman penyakit infeksi berpotensi menjadi wabah lintas batas negara (mengancam seluruh dunia) bertujuan sebagai berikut (29):

• Tujuan # 1: MENCEGAH bencana yang dapat dihindari, memiliki empat tujuan: (a) mencegah muncul dan menyebarnya organisme resisten obat antimikroba; (b) mempromosikan sistem keamanan hayati dan biosekuriti nasional; (c) mencegah penyebaran penyakit zoonosis ke populasi manusia; dan (d) memastikan lebih dari 90% anak berusia satu tahun mendapatkan imunisasi campak.

• Tujuan # 2: MENDETEKSI ancaman secara dini, memiliki empat tujuan: (a) memperkuat jaringan global untuk bio-surveilans secara real-time; (b) memperkuat norma global untuk pelaporan yang cepat dan transparan serta berbagi sampel dalam keadaan darurat kesehatan; (c) mengembangkan dan menyebarkan alat diagnosis baru dan memperkuat sistem laboratorium; dan (d) melatih dan menempatkan tenaga bio-surveilans yang efektif.

• Tujuan # 3: MERESPON dengan cepat dan efektif, memiliki tiga tujuan: (a) mengembangkan jaringan global Pusat Operasi Kegawatdaruratan dan respon multisektoral terhadap insiden biologis; (b) memiliki kapasitas untuk menghubungkan kesehatan publik dan penegakan hukum dalam hal serangan biologis yang dicurigai atau dikonfirmasi; dan (c) meningkatkan akses global terhadap tindakan medis dan non-medis selama keadaan darurat kesehatan.

Evaluasi Eksternal Bersama (Joint External Evaluation/JEE) yang dilaksanakan pada tahun 2007 merupakan penilaian eksternal sukarela terhadap pemenuhan target GHSA-nya. Hasil dari JEE 2017 berfungsi sebagai ukuran baseline yang memungkinkan Indonesia untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan dalam sistem keamanan kesehatan nasional (30). Berdasarkan hasil JEE, Indonesia telah cukup berhasil, karena tidak ada skor 1 (tidak ada kapasitas) di salah satu dari 19 bidang teknis, dan banyak tingkat kemajuan tingkat menengah 4 dan 3. Namun, evaluasi ini bersifat sentral (secara administratif) dan sangat terfokus pada Kementerian Kesehatan sehingga hasilnya mungkin tidak menangkap atau mencerminkan kapasitas dan/atau kebutuhan yang relevan dari daerah. Tabel 6 menunjukkan delapan dari total 19 bidang teknis IHR 2005 mendapatkan skor 4, yang berarti Indonesia mencapai tingkat ‘menunjukkan kapasitas’ atau ‘kapasitas sudah ada, akan berkelanjutan selama beberapa tahun lagi, dan dapat diukur dengan memasukkan atribut atau kapasitas inti IHR (2005) dalam sektor perencanaan kesehatan nasional (NHSP)’ (31). Tabel 7 menunjukkan 15 dari total 19 bidang teknis IHR 2005 mendapatkan skor 3, yang berarti Indonesia telah mencapai tingkat ‘pengembangan kapasitas’ atau ‘kapasitas tersedia, namun masih ada masalah keberlanjutan, yang diukur dengan kurangnya inklusi dalam rencana operasional dan/atau kurangnya rencana untuk mendapatkan pendanaan’. Tabel 8 menunjukkan tiga area yang terkait dengan surveilans, skornya adalah 2 yang berarti ‘kapasitas terbatas’ (31).

Tabel 5. Area dengan Skor 4 pada Kapasitas IHR

No Technical areas Code Indicators (as of 2017) Score

7 Immunizationp.7.1 Vaccine coverage (measles) as part of national

program 4

p.7.2 National vaccine access and delivery 4

8National laboratory system

d.1.1 Laboratory testing for detection of priority diseases 4

d.1.2 Specimen referral and transport system 4

9 Real-time surveillance d.2.4 Syndromic surveillance systems 4

11 Workforce development d.4.2 FETP1 or other applied epidemiology training

program in place 4

14

Linking public health and security authorities

r.3.1

Public health and security authorities (e.g. law enforcement, border control, customs) are linked during a suspect or confirmed biological event

4

15

Medical countermeasures and personnel deployment

r.4.1System in place for sending and receiving medical countermeasures during a public health emergency

4

r.4.2System in place for sending and receiving health personnel during a public health emergency

4

16 Risk communication

r.5.3 Public communication 4

r.5.4 Communication engagement with affected communities 4

r.5.5 Dynamic listening and rumor management 4

17 Points of entrypoe.1 Routine capacities established at points of

entry 4

poe.2 Effective public health response at points of entry 4

Page 20: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 2322 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Tabel 6. Area dengan Skor 3 pada Kapasitas IHR

No Technical areas Code Indicators (as of 2017) Score

1

National legislation, policy and financing

 

p.1.1

Legislation, laws, regulations, administrative requirements, policies, or other government instruments in place are sufficient for implementation of IHR (2005)

3

p.1.2

The State can demonstrate that it has adjusted and aligned its domestic legislation, policies, and administrative arrangements to enable compliance with IHR (2005)

3

2IHR coordination, communication and advocacy

p.2.1A functional mechanism is established for the coordination and integration of relevant sectors in the implementation of IHR

3

3 Antimicrobial resistance

p.3.3 Health care-associated infection (HCAI) prevention and control programmes 3

p.3.4 Antimicrobial stewardship activities 3

4 Zoonotic diseasesp.4.1 Surveillance systems in place for priority

zoonotic diseases/pathogens 3

p.4.2 Veterinary or animal health workforce 3

5 Food safety p.5.1

Mechanisms for multisectoral collaboration are established to ensure rapid response to food safety emergencies and outbreaks of foodborne diseases

3

6 Biosafety and biosecurity

p.6.1Whole-of-government biosafety and biosecurity system is in place for human, animal and agriculture facilities

3

p.6.2 Biosafety and biosecurity training and practices 3

8 National laboratory system

d.1.3 Effective modern point-of-care and laboratory-based diagnostics 3

d.1.4 Laboratory quality system 3

9 Real-time surveillance

d.2.1 Indicator- and event-based surveillance systems 3

d.2.2 Interoperable, interconnected, electronic real-time reporting system 3

10 Reporting

d.3.1 System for efficient reporting to FAO, OIE and WHO 3

d.3.2 Reporting network and protocols in country 3

11 Workforce development

d.4.1 Human resources available to implement IHR core capacity requirements 3

d.4.3 Workforce strategy 3

No Technical areas Code Indicators (as of 2017) Score

12 Preparedness r.1.1National multi-hazard public health emergency preparedness and response plan is developed and implemented

3

13Emergency response operations

r.2.1 Capacity to activate emergency operations 3

r.2.3 Emergency operations programme 3

r.2.4 Case management procedures implemented for IHR relevant hazards. 3

16 Risk communication

r.5.1 Risk communication systems (plans, mechanisms, etc.) 3

r.5.2 Internal and partner communication and coordination 3

18 Chemical events ce.2 Enabling environment in place for management of chemical events 3

19 Radiation emergencies

re.1 Mechanisms established and functioning for detecting and responding to radiological and nuclear emergencies

3

re.2 Enabling environment in place for management of radiation emergencies 3

Sumber: WHO Joint External Evaluation of IHR Core Capacities, 2017

Tabel 7. Area dengan Skor 2 pada Kapasitas IHR

No Technical areas Code Indicators (as of 2017) Score

3Antimicrobial resistance

P.3.1 Anti-Microbial Resistance detection 2

P.3.2Surveillance of infections caused by antimicrobial-resistant pathogens 2

4 Zoonotic diseases P.4.3Mechanisms for responding to infectious and potential zoonotic diseases are established and functional

2

9Real-time surveillance D.2.3 Integration and analysis of surveillance data 2

12 Preparedness R.1.2Priority public health risks and resources are mapped and utilized 2

13Emergency response operations

R.2.2 EOC operating procedures and plans 2

18 Chemical events CE.1Mechanisms established and functioning for detecting and responding to chemical events or emergencies

2

Sumber: WHO Joint External Evaluation of IHR Core Capacities, 2017

Page 21: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 2524 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

3.1. RESISTENSI ANTIMIKROBA DAN PENGGUNAAN ANTIMIKROBA

Isu terkait resistensi antimikroba (Anti-Microbial Resistance/AMR) dan penggunaan antimikroba yang tidak bertanggung jawab juga menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling substansial saat ini. Hal ini mendorong World Health Assembly (WHA) untuk mendesak negara-negara anggotanya untuk menyelesaikan rencana aksi nasional pada Mei 2017 dan menyelaraskannya dengan tujuan dari Global Action Plan (GAP). Rencana aksi nasional mencakup peningkatan kesadaran, surveilans dan penelitian, kebersihan, pencegahan dan pengendalian infeksi, penggunaan obat antimikroba yang optimal, dan investasi berkelanjutan (32).

Resistensi antimikroba (AMR) adalah kemampuan mikroorganisme (seperti bakteri, virus, dan beberapa parasit) untuk menghambat antimikroba (seperti antibiotik, antiviral dan antimalaria) untuk bekerja melawannya. Akibatnya, perawatan standar menjadi tidak efektif, infeksi terus berlanjut dan dapat menyebar ke orang lain (33). Ancaman yang ditimbulkan oleh “superbug” sangat mengejutkan terhadap kesehatan masyarakat, keselamatan, dan ekonomi global. Indonesia menunjukkan beban AMR yang tinggi (Tabel 9, 10, 11).

Tabel 8. Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Streptococcus Pneumoniae

Antibiotik Angka Resistensi (%) pada Anak-anak dan Dewasa

Cotrimoxazole1 45,0

Penicilin non-susceptible1 24,0

Chloramphenicol2 6,0

Tetracycline1 5,0

Sulfamethoxazole2 3,5

Erythromycin1 1,0

1 Farida et al. Population-based survey in Semarang, Indonesia 2010. Samples from Nasopharyngeal swabs included 243 healthy children aged 6–60 months and 253 healthy adults aged 45–70 years. Findings showed that the prevalence of S pneumoniae carriage was 27% (95% CI: 20–32), among children was 43% (95% CI: 32–50) and among adults was 11% (95% CI: 5–15) (34).

2 Soewignjo et al. Population-based survey in Lombok, Indonesia 1997. Samples from Nasopharyngeal swabs of 484 healthy children (aged 0-25 months) presented that the prevalence of S pneumoniae carriage was 48% (35).

Dibawah ini, Tabel 9 menunjukkan bahwa Cotrimoxazol bukan lagi antibiotik yang efektif karena 45% dari strain Streptococcus Pneumoniae sudah resisten terhadap Cotrimoxazol. Demikian pula, infeksi seperti otitis media akut, sepsis, atau meningitis bakteri tidak akan membaik jika diobati dengan Penicilin Non-Susceptible (PNS). Munculnya Penicilin Non-Streptococcus Pneumoniae yang rentan (PNSSP) juga membawa tantangan klinis baru (36). Tingkat resistensi 6% terhadap kloramfenikol, 5% terhadap tetrasiklin, 3,5% terhadap sulfametoksazol dan 1% terhadap Erythromycin perlu ditindaklanjuti pada tahun 2019-2020, untuk menilai apakah tingkat resistensi telah meningkat jauh lebih tinggi.

Tabel 9. Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Escherichia Coli

Antibiotik1 Angka Resistensi (%)

Ampicillin 73

Trimethoprim-sulfamethoxazole 56

Chloramphenicol 43

Ciprofloxacine 22

Gentamicin 18

Cefotaxime 12

1 Study in Semarang and Surabaya, 2001. Samples from rectal and nasal swabs, with a total of 5,535 E. coli strains from 3,284 individuals.

Tabel 10 menunjukkan berbagai antibiotik yang telah resisten terhadap E. coli di Indonesia. Seorang pasien dengan infeksi bakteri umum seperti bakteremia, infeksi saluran kemih (ISK), kolesistitis, diare, meningitis neonatal, dan infeksi klinis lainnya (termasuk Pneumonia) memiliki 73% kemungkinan tidak menunjukkan perbaikan jika diterapi dengan ampisilin intravena (IV) atau intramuskular (IM atau per suntik) atau per oral (kapsul Amoxicillin).

Tabel 10. Angka Resistensi Antimikroba (AMR) terhadap Staphylococcus Aureus

Staphylococcus Aureus1 Angka Resistensi (%)

Methicillin (MRSA) 28.0

Tetracycline 24.9

Chloramphenicol 9.4

Trimethoprim-sulfamethoxazole 6.6

Erythromycin 3.3

Gentamicin 1.1

Oxacillin 0.6

1 Study in Semarang and Surabaya, Indonesia 2001. Samples from rectal and nasal swabs collected strains S aureus was 362 out of 3,995 individuals.

Strain Staphylococcus aureus menunjukkan tingkat resistensi 28% terhadap Methicillin, dan ini adalah masalah yang menyebabkan kematian yang dapat dicegah di rumah sakit (karena infeksi nosokomial). Strain yang resisten antibiotik membatasi pilihan terapi, membahayakan nyawa, dan menempatkan beban pada sistem perawatan kesehatan. Di rumah sakit AMR dari S. Aureus bervariasi dari yang terendah 6,6% (Trimethoprim-sulfamethoxazole) dan tertinggi 28% (Methicillin) (37). Trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) adalah obat yang sering diresepkan untuk infeksi saluran kemih (ISK). Tetapi 56% E. Coli sekarang resisten terhadap TMP-SMX sehingga obat ini bukan lagi terapi empiris lini pertama. Tingkat resistensi terhadap Chloramphenicol adalah 43%. Ciprofloxacin, pilihan kedua untuk mengobati ISK, menunjukkan

Page 22: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 2726 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

tingkat resistensi 22%. Penggunaan antibiotik dan resistensi yang berlebihan pada bakteri juga menyebabkan resistensi terhadap golongan antibiotik lain, seperti tingkat resistensi 18% terhadap Gentamisin dan 12% terhadap Cefotaxime. Tes resistensi antimikroba ini perlu ditindaklanjuti pada 2019-2020, untuk menilai kemungkinan hasil AMR yang jauh lebih tinggi.

Dalam hal penggunaan antimikroba (Anti-Microbial Usage/AMU), dua pertiga dari pertumbuhan penggunaan antimikroba di masa depan diperkirakan berada pada sektor produksi hewan (dua kali lipat pada produksi babi dan unggas). Dalam beberapa dekade terakhir, intensifikasi produksi hewan telah menyebabkan meningkatnya penggunaan antimikroba secara keseluruhan. Padahal, penggunaan yang berlebihan dapat berkontribusi terhadap resistensi antimikroba sehingga membuat pengobatan menjadi tidak efektif, meningkatkan keparahan penyakit, mengurangi produktivitas dan menyebabkan kerugian ekonomi.

Selain itu, residu antimikroba yang tidak diinginkan pada produk hewan dan kotoran hewan akan mencemari tanah dan air dan lingkungan dan berkontribusi pada munculnya dan penyebaran AMR. AMR merupakan ancaman serius terhadap keamanan dan kualitas pangan hewani untuk konsumsi manusia. Tidak terpenuhinya standar residu antimikroba pada produk makanan hewani juga akan mengurangi potensi sektor peternakan untuk mengakses perdagangan. Upaya mengatasi AMR memerlukan kerjasama antara sektor kesehatan manusia dan kesehatan ternak dalam menerapkan praktik untuk meminimalkan penggunaan antimikroba (38).

Untuk mendukung perjanjian ini, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang program pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 sebagai Amandemen Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 PK.350 Tahun 2017 tentang Klasifikasi Obat-obatan Hewan. Namun, koordinasi dan kolaborasi antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian dalam Rencana Aksi Nasional Pemerintah Indonesia (RAN) terkait dengan AMR dan AMU belum optimal. Untuk meningkatkan kolaborasi tersebut, disarankan agar Komite Pengendalian Perlawanan Antimikroba (ARCC) dibentuk di Kementerian Pertanian untuk mendorong koordinasi dan kerja sama yang lebih erat dengan ARCC Kementerian Kesehatan yang sudah mapan. Idealnya, kedua ARCC akan bergabung menjadi ARCC multi-kementerian, termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Data terkait AMR dan AMU di Indonesia sangat terbatas dan perlu ditingkatkan melalui surveilans kesehatan. Hingga saat ini, hanya beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa laboratorium atau universitas dan tidak ada laboratorium atau sistem pengawasan AMR /AMU yang terhubung secara nasional untuk menyediakan data yang representatif secara nasional (39).

3.2. PENYAKIT-PENYAKIT ZOONOSIS DI INDONESIA

Penyakit-penyakit zoonosis adalah penyakit yang menyebar antara hewan dan manusia, yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur. Dari 1.415 patogen yang diketahui menginfeksi manusia, 61% adalah zoonotik. Selain potensi impor penyakit seperti Ebola dan MERS-CoV, penyakit zoonosis prioritas nasional termasuk Rabies, Anthrax, Flu Burung, Brucellosis, dan Leptospirosis, dengan Flu Burung dianggap endemik di beberapa bagian Indonesia dan mungkin berisiko tertinggi untuk pandemi (Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011).

Berdasarkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007, bencana dapat dikategorikan sebagai bencana alam, bencana non-alam dan sosial. Bencana non-alam disebabkan oleh insiden atau serangkaian insiden seperti wabah epidemi atau penyakit. Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah terkena dampak yang signifikan oleh bencana alam. Secara khusus, penyakit zoonosis seperti Anthrax, SARS, Flu burung, Rabies dan Leptospirosis, telah menyebabkan kematian pada hewan dan manusia, dengan kerugian ekonomi sekitar USD 20 miliar dan kerugian ekonomi tidak langsung sebesar lebih dari USD 200 miliar (40). Bencana penyakit menular berbeda dari jenis bencana lainnya karena mereka meningkatkan risiko penyebaran penyakit menular selama dan setelah kejadian. Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan khusus multisektoral dalam bidang mitigasi, perencanaan, dan intervensi untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit.

Pentingnya koordinasi dan kolaborasi multisektoral dan multi-stakeholder atau pendekatan One Health untuk secara efektif mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman penyakit zoonosis diakui di tingkat regional dan global. Perubahan Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian Penyakit Zoonosis dengan Peraturan Presiden Nomor 116 Tahun 2016 menekankan pentingnya pengembangan strategi yang efektif untuk mencegah, mendeteksi dan merespon zoonosis dan EID. Saat ini, zoonotik dan EID tidak terdaftar sebagai prioritas nasional. Peraturan Presiden saat ini juga belum memberikan pedoman yang jelas untuk koordinasi dan kolaborasi antarkementerian/lembaga untuk mengatasi ancaman health security.

Rabies. Rabies masih menjadi penyakit zoonosis prioritas karena dampaknya terhadap sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat. Pada tahun 2015, dunia menyerukan tindakan dengan menetapkan tujuan nol kematian akibat rabies pada tahun 2030 di seluruh dunia. Pada tahun 2017, 90 kematian dilaporkan di Indonesia karena rabies (Case Fatality Rate rabies adalah 100% pada hewan dan manusia). Saat ini, dari 34 provinsi, hanya sembilan provinsi yang dinyatakan bebas rabies. Rabies masih endemik di 24 provinsi lain dan baru-baru ini terdapat penyebaran ke Kalimantan Barat dan lintas batas ke Malaysia. Provinsi yang dianggap bebas rabies adalah: Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua (41). Pengendalian rabies menghadapi tantangan keterbatasan pendanaan untuk pengendalian dan pemberantasan lokal, serta kampanye vaksinasi hewan.

Flu Burung. Meskipun kasus flu burung pada manusia terus menurun secara signifikan sejak tahun 2003, Indonesia masih memiliki jumlah kasus/kematian flu burung H5N1 tertinggi kedua (200/168) setelah Mesir (359/120) dengan Case Fatality Rate sebesar 84%. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan penurunan jumlah kasus flu burung yang fatal pada manusia dari 55 kasus (2006) menjadi 2 kasus (2015) dan satu kasus fatal pada tahun 2017. Namun, menurut CDC 24/7: Saving Lives, Protecting People, Indonesia, Vietnam dan Mesir telah melaporkan jumlah kasus tertinggi dari kasus yang ditemukan di 15 negara sejak November 2003 (42). Penurunan signifikan kematian dan kasus flu burung pada manusia di Indonesia disebabkan oleh intervensi ekstensif untuk meningkatkan surveilans terhadap H5N1 (High Pathogenic Avian Influenza/HPAI), deteksi penyakit dan diagnosis laboratorium, pencegahan dan pengendalian; yang sekarang diperluas untuk mendeteksi penyakit hewan yang tidak terdiagnosis dan EID. Pendekatan One Health membutuhkan peningkatan layanan kesehatan hewan dan penguatan kolaborasi antara sektor peternakan, kesehatan masyarakat, kesehatan satwa liar, lembaga pendidikan, asosiasi profesi, dan produsen unggas termasuk petani kecil (43).

Page 23: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 2928 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Penelitian berbasis bukti. Sejak tahun 2006, USAID telah mendukung upaya Indonesia untuk mengatasi penyakit zoonosis seperti flu burung dan mencegah, mendeteksi dan merespon ancaman penyakit yang muncul melalui pendekatan One Health. Dukungan yang diberikan ditujukan untuk memperkuat sistem surveilans dan diagnostik serta membangun kapasitas di berbagai bidang teknis dan program. Pendekatan One Health, termasuk “Four Way Linking” (koordinasi antara hewan dan laboratorium manusia ditambah pengawasan hewan dan manusia), telah diujicobakan melalui proyek Flu Burung.

DGLAHS-FAO USAID dan EPT-2, serta Kemitraan Australia Indonesia. Salah satu kegiatannya adalah untuk memperkuat sistem informasi kesehatan hewan dan sistem surveilans kesehatan masyarakat. Peningkatan sistem informasi kesehatan hewan nasional (iSIKHNAS) memiliki potensi untuk memperkuat manajemen kegawatdaruratan dan meningkatkan penggunaan informasi untuk mendukung surveilans kesehatan masyarakat, pengiriman layanan kedokteran hewan, pengembangan kebijakan dan advokasi. Kapasitas inti layanan kesehatan hewan mulai dari sistem informasi, leadership, dan operasional karantina juga diperkuat. Demikian juga dengan dukungan pelatihan di bidang kesehatan hewan dan pelatihan non-teknis tentang perencanaan dan advokasi juga diberikan di tingkat daerah (42).

Anthrax. Anthrax merupakan bahaya/risiko bagi petani, peternak, penjagal dan pekerja yang memproses rambut, wol dan produk tulang. Petani dan peternak dapat terinfeksi oleh Anthrax melalui sistem kulit, saluran cerna dan pernapasan. Data dari Kementerian Kesehatan tahun 2009-2017 menunjukkan terdapat 225 kasus antraks, dengan puncak kasus pada manusia (52 kasus) pada tahun 2016 dan jumlah kematian tertinggi (3 kasus) pada tahun 2014. Anthrax dapat dikendalikan setelah aktivitas surveilans secara intensif dilakukan di daerah-daerah endemik bahkan selama peringatan hari raya keagamaan (Idul Fitri, Idul Adha, Natal) dan hari-hari besar lainnya saat konsumsi daging meningkat. Upaya pengendalian juga disertai dengan layanan program vaksinasi ternak. Provinsi yang dianggap endemik untuk Anthrax adalah: Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat, Jambi, dan Yogyakarta (44–46).

Leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut yang disebabkan oleh bakteri Leptospira yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama di daerah yang rawan banjir. Penyakit ini bisa berakibat fatal. Pada periode 2009 dan 2016, kasus Leptospirosis tertinggi terjadi pada tahun 2011 dan kemudian menurun pada tahun 2015, sebelum meningkat kembali secara dramatis pada tahun 2016 (45). Kejadian Luar Biasa (KLB) Leptospirosis dilaporkan terjadi di Kota Baru, Kalimantan Selatan pada tahun 2014. Peningkatan kasus terjadi di Jawa Tengah dan DKI Jakarta setelah kota-kota ini dilanda banjir. Saat ini, tidak ada kebijakan dari Kementerian Kesehatan untuk pemberian pengobatan massal mengingat Leptospirosis relatif mudah disembuhkan dengan antibiotik apabila didiagnosis secara dini (47).

Brucellosis. Kasus Brucellosis pertama di Indonesia, yang disebabkan oleh Brucella Abortus terdeteksi pada tahun 1915 pada sapi di Jawa. Saat ini, ternak ternak Indonesia masih belum bebas Brucella. Dari 34 provinsi, hanya 8 provinsi yang dianggap bebas dari Brucellosis hewan, yaitu Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan semua pulau Kalimantan (48). Sebuah studi tahun 1995 menemukan bahwa prevalensi Brucellosis di antara pekerja rumah potong sapi di Jakarta

adalah 13%. Penelitian di Kabupaten Garut pada tahun 2016 menunjukkan prevalensi Brucella Sero di antara 57 pekerja peternakan sapi perah sebesar 7,2% (48). Pencegahan Brucellosis dapat dilakukan dengan vaksinasi ternak, namun penelitian yang sama menemukan bahwa hanya 10,5% sapi perah yang telah divaksinasi.

Pengendalian Brucellosis pada ternak sapi sangat sulit. Meskipun petani dapat menerima kompensasi, petani daging sapi di Jawa enggan untuk menyisihkan ternak yang positif Brucellosis dan tetap menjual hewan tersebut di pasar. Padahal ini dapat menyebabkan penularan Brucellosis ke kawanan yang tidak terjangkit dan membuat kontrol penyakit sangat sulit (48). Namun, di Sumatera skema kompensasi Brucellosis memberikan hasil yang lebih baik, di mana semua provinsi sekarang bebas Brucellosis kecuali Aceh. Baru-baru ini, proyek Fase AIP-EID 2 (2015-2018) telah memperkuat manajemen kegawatdaruratan dan penggunaan informasi untuk mendukung pengawasan kesehatan masyarakat. Laporan proyek menunjukkan adanya kekurangan dokter hewan di semua wilayah, kebutuhan untuk memulai Program Pelatihan Epidemiologi Lapangan untuk Dokter Hewan (FETPV), kebutuhan untuk melakukan pelatihan tentang algoritma, SOP pengumpulan spesimen, pengemasan dan transportasi, cara-cara untuk mengelola mutasi sumber daya manusia di tingkat pemerintah daerah; dan sumber untuk mengoperasikan sistem informasi laboratorium terkoneksi dengan basis data primer di iSIKHNAS (49).

3.3. KEAMANAN PANGAN

Keamanan pangan adalah tanggung jawab bersama lainnya yang membutuhkan partisipasi aktif dan kolaborasi sejumlah pemain di sepanjang rantai makanan, dari produsen utama hingga konsumen. Hubungan antara makanan dan kesehatan, dan risiko keamanan pangan, telah menerima banyak perhatian dalam dekade terakhir (50). Pada tahun 2010, WHA ke-63 mengadopsi resolusi untuk memajukan keamanan pangan, yang mengharuskan WHO untuk: (i) memberikan data bukti tentang penurunan risiko kesehatan makanan di sepanjang rantai makanan; (ii) meningkatkan kolaborasi lintas sektor internasional dan nasional dalam komunikasi dan advokasi risiko; dan (iii) memberikan kepemimpinan dan membantu memperkuat sistem nasional yang berbasis risiko dan terintegrasi untuk keamanan pangan (51). Sementara, kebijakan keamanan pangan ASEAN ditujukan untuk semua sektor yang terkait dengan jaminan dan pengendalian keamanan pangan, termasuk pertanian, kesehatan, industri dan perdagangan. ASEAN juga telah mengakui peran AMR/AMU pada kesehatan manusia dan hewan ternak dan mengembangkan pedoman untuk penggunaan antimikroba yang rasional dalam peternakan (52).

Sistem Keamanan Pangan di Indonesia. Indonesia memiliki banyak peraturan terkait dengan keamanan pangan antara lain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang pelabelan makanan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1096 Tahun 2011 tentang kebersihan dan sanitasi makanan, Permenkes Nomor 1098 Tahun 2011 tentang Kebersihan dan Sanitasi untuk Restoran, Permenkes Nomor 942 Tahun 2011 tentang Kebersihan dan Sanitasi untuk Pedagang Kaki Lima, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Permenkes Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan, Permenkes Nomor 43 Tahun 2013 tentang Air Minum Depot Kebersihan dan Sanitasi dan Permenkes Nomor 492 Tahun 2013 tentang Kualitas Air Minum (53). Namun demikian, kejadian penyakit bawaan makanan masih sering terjadi.

Page 24: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 3130 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki insiden wabah tertinggi antara 2014 dan 2016. Makanan yang disiapkan di rumah tangga adalah penyebab utamanya. Mekanisme untuk mendeteksi dan menanggapi penyakit bawaan makanan dan kontaminasi makanan masih belum berfungsi sepenuhnya. Koordinasi di tingkat pusat, antara Kementerian Kesehatan, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nasional (BPOM) dan Kementerian Pertanian masih belum memadai. Di tingkat nasional dan daerah, masing-masing kementerian/lembaga memiliki rencana strategisnya sendiri-sendiri untuk memastikan keamanan pangan.

Kementerian Kesehatan sudah memiliki sistem peringatan dini dan respons peringatan (EWARS) untuk pemantauan dan respon terhadap wabah. Setelah menerima berita tentang wabah penyakit bawaan makanan, tim respon cepat daerah dengan supervisi dari tingkat pusat akan melakukan penyelidikan epidemiologi (melibatkan ahli epidemiologi, entomologi, petugas medis, sanitarian, petugas laboratorium dan pengawas makanan), dan juga menyediakan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian. Direktorat Kesehatan Lingkungan akan mengidentifikasi dan mengkonfirmasi agen etiologi dan sumber-sumber wabah, dan kemudian melaksanakan tindakan korektif, memantau dan mengevaluasi kebersihan dan sanitasi makanan sesuai dengan pendekatan mereka. Namun, koordinasi multisektoral saat ini masih belum efisien. Platform jejaring formal tidak memfasilitasi peningkatan dalam komunikasi dan berbagi informasi. Investigasi lingkungan, makanan dan laboratorium tidak terhubung secara optimal, dan profil risiko masalah keamanan pangan memerlukan perhatian lebih lanjut (31).

Kasus-kasus keamanan pangan. Badan Standarisasi Nasional mengeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang bersifat wajib bagi setiap produsen makanan untuk memenuhi persyaratannya. Secara umum, tingkat penerimaan dan penerapan/penegakan pedoman standar SNI masih rendah. Hal ini menjelaskan mengapa 59% produk makanan Indonesia ditolak untuk masuk ke Amerika Serikat, Australia dan lainnya. Sekitar 27% dari produk makanan ini disinyalir mengandung salmonela (54). Secara total, terdapat 7.487 kasus dengan 20 kematian yang disebabkan oleh makanan antara tahun 2014-2016 dan lebih banyak kejadian lagi dilaporkan pada tahun 2015-2016. Masalah umum keamanan pangan terkait dengan penggunaan aditif dalam makanan, zat tambahan seperti melamin dalam susu formula, susu kental manis yang mengandung susu sangat sedikit, patogen yang muncul seperti Enterobacter Sakazakii, ikan sarden kalengan yang terkontaminasi dengan cacing pita, dan kemasan plastik beracun. Makanan yang diproduksi di rumah adalah penyebab nomor satu wabah penyakit yang ditularkan melalui makanan (46,9%), diikuti oleh makanan katering (18,9%), dengan E. Coli sebagai agen penyebab bakteri patogen yang paling umum (74,9%). Faktor yang berkontribusi adalah waktu memasak yang tidak memadai dan suhu penyimpanan yang tidak sesuai. Pemantauan intensif pengolahan makanan sangat penting untuk menentukan apakah penanganan makanan memenuhi standar keamanan pangan yang ditentukan (53).

WHO mengidentifikasi total 31 agen berbahaya (termasuk virus, bakteri, parasit, racun dan bahan kimia) yang menyebabkan 600 juta kejadian berbahaya dan 420.000 kematian akibat makanan. Penyebab diare termasuk Norovirus, Salmonela Enterica, Campylobacter dan E.coli. Penyebab utama kematian akibat penyakit yang ditularkan melalui makanan adalah Salmonella Typhi, Taenia Solium, virus Hepatitis A dan aflatoksin. Kasus kematian makanan akibat keracunan makanan terus meningkat. Survei Konsumsi Makanan Individu 2014 (SKMI) menemukan sekitar 200 laporan kejadian keracunan makanan yang terjadi di Indonesia setiap tahun. Pada tahun 2010, ada 429 kasus keracunan makanan yang dilaporkan, jumlah yang jauh lebih besar dari apa

yang dilaporkan oleh provinsi (diperkirakan hanya 63%). Data dari Kementerian Kesehatan dan BPOM menunjukkan bahwa penyebab keracunan makanan sulit ditentukan. Sebanyak 53% dari penyebab wabah pada tahun 2009 tidak diketahui dan menurun menjadi 13% pada tahun 2013. Enam puluh persen dari wabah keracunan makanan dianggap disebabkan oleh bakteri, tetapi tidak ada konfirmasi laboratorium bahwa bakteri adalah penyebabnya (53).

3.4. KEAMANAN HAYATI (BIOSAFETY) DAN BIOSEKURITI

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Kementerian Pertanian sebagai komitmen untuk mematuhi keamanan hayati (biosafety) dan praktik biosekuriti laboratorium. Namun, belun ada studi Kementerian Kesehatan mengenai biosafety dan biosekuriti (43). Sebaliknya, sejak tahun 2016 Kementerian Pertanian bekerja sama dengan FAO Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) telah melakukan serangkaian intervensi biosekuriti yang efektif untuk mengurangi risiko virus flu burung dan untuk mengendalikan AMR pada hewan dan manusia. Indonesia memiliki lebih dari 13.000 laboratorium klinis manusia, hewan, dan penelitian termasuk laboratorium Biosafety Level (BSL) -3 (direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia). Sejak tahun 2010, seharusnya Balitbangkes melakukan penelitian termasuk identifikasi dan karakterisasi virus flu burung, serta penyakit menular yang muncul (emerging) dan muncul kembali (re-emerging). Untuk itu, perlu dirumuskan langkah-langkah untuk memitigasi risiko dalam hal biosafety baik bagi staf laboratorium dan untuk masyarakat secara umum (55).

Indonesia harus berhati-hati terhadap beberapa virus paling mematikan seperti Ebola (tingkat kematian rata-rata 50%), Marburg, Hantavirus, Lassa, Rabies, Plak, Cacar, Deman berdarah, Flu Burung, SARS dan MERS (tingkat kematian 36%), dan Virus Nipah (Malaysia tahun 1998), sebagai patogen yang merupakan ancaman permanen bagi kesehatan masyarakat di Indonesia (56). Balitbangkes bertanggung jawab untuk menangani patogen berisiko tinggi tersebut. Kasus manusia yang terinfeksi virus burung (A / H5N1) pernah dilaporkan sebagian besar terjadi di Asia Tenggara sejak 2003, sebelum kasus manusia pertama di Indonesia dilaporkan pada 2005; dan lebih lanjut 191 kasus infeksi (dimana 159 kasus mengakibatkan kematian), dilaporkan pada bulan Agustus 2012. Angka kasus kematiannya (CFR) adalah yang tertinggi dibandingkan dengan negara lain yang melaporkan lebih dari 100 kasus infeksi tersebut. Juga, ada kekhawatiran tentang kemungkinan wabah dan kematian di Indonesia dan di dunia ketika virus berubah menjadi tipe flu baru dengan kemampuan infeksi yang kuat karena virus menyebar luas di antara manusia (31). Pemerintah perlu bersiap apabila terjadi wabah penyakit ini misalnya dengan memiliki rencana untuk akses cepat ke vaksin internasional, obat-obatan dan bahan-bahan lainnya. Dalam kasus pandemi yang secara tidak terduga terjadi, seringkali obat-obatan yang dibutuhkan tidak tersedia di dalam negeri. Hal ini merupakan masalah krusial saat wabah H1N1 terjadi, di mana negara-negara yang terkena tidak memiliki sistem untuk mengizinkan vaksin atau obat-obatan yang belum teruji di negara mereka untuk masuk.

Hasil JEE menegaskan bahwa persyaratan biosafety dan praktik biosekuriti laboratorium yang bertanggung jawab belum terpenuhi. Indonesia memperoleh skor 3 (‘tahap pengembangan kapasitas’) untuk target JEE Tool #6.1 dan juga skor 3 untuk target #6.2 (Tabel 7). Interpretasi skor 3 untuk target #6.1 berarti bahwa sistem biosafety dan biosekuriti pemerintah belum tersedia

Page 25: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

3. Analisis Situasi Health Security • 3332 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

untuk fasilitas manusia, hewan, dan pertanian. Temuan juga menunjukkan bahwa Indonesia telah menyelesaikan regulasi, menggunakan dukungan teknis dari profesional, memiliki prosedur pengendalian yang tepat diawasi oleh National Authority for Containment (NAC), memiliki satu Emergency Operating Center (EOC) di Jakarta, dan telah membuat laboratorium Biosafety Level tiga (BSL3) bersertifikat yang tersedia untuk manusia dan hewan, dengan panduan kelembagaan lokal untuk biosafety (31). Namun, Kementerian Kesehatan perlu menindaklanjutinya dengan:

a. menginstruksikan kewajiban pelaksanaan pedoman nasional untuk biosafety dan biosekuriti;

b. menetapkan rencana risiko bio-strategis nasional;c. menetapkan sistem untuk pemantauan aktif dan pengelolaan inventaris patogen

terbaru dalam fasilitas yang menyimpan/memproses patogen dan racun berbahaya;d. menerapkan undang-undang biosafety dan biosekuriti nasional yang komprehensif;e. mengembangkan dan menerapkan lisensi laboratorium;f. mengembangkan dan mengimplementasikan tindakan pengendalian patogen

(pengendalian fisik, penanganan operasional, dan sistem pelaporan kegagalan pengendalian);

g. memulai konsolidasi patogen dan racun berbahaya di sejumlah fasilitas;h. mulai mendukung diagnostik yang menghalangi kultur patogen berbahaya; dani. mulai menerapkan pengawasan pengawasan dan mekanisme penegakan hukum.

Selain itu, kesadaran dan komitmen para pemangku kepentingan juga masih rendah. Beberapa bahkan menganggap bahwa biosafety dan biosekuriti adalah isu yang tidak prioritas karena kurangnya pengetahuan tentang insiden; pergantian staf yang tinggi; dan kesulitan penilaian aktif seluruh laboratorium karena kondisi geografis (31).

Skor 3 dari target JEE #6.2 berarti bahwa pelatihan dan praktik biosafety dan biosekuriti belum sepenuhnya tersedia untuk fasilitas manusia, hewan, dan pertanian. Meskipun, beberapa produk telah dihasilkan, masih diperlukan penyelesaian dan adaptasi pedoman nasional, rekrutmen lebih banyak pelatih bersertifikat terutama di sektor hewan untuk memenuhi kebutuhan staf terlatih (31). Biosafety yang baik, biosekuriti laboratorium dan praktik-praktik pengendalian biologis sangat penting untuk keamanan publik. Praktik laboratorium yang bertanggung jawab, termasuk perlindungan, kontrol, dan pertanggungjawaban atas bahan biologis yang berharga akan membantu mencegah akses tidak sah, kehilangan, pencurian, penyalahgunaan, atau pelepasan yang disengaja; dan berkontribusi untuk melestarikan ilmu pengetahuan untuk generasi mendatang (31).

3.5. PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI

Pada tahun 1974, program peningkatan imunisasi WHO (EPI) merekomendasikan enam vaksin untuk melindungi terhadap enam penyakit: Tuberkulosis (BCG), Difteri, Tetanus, Pertusis (vaksin DTP), Campak dan Poliomielitis. Saat ini, ada lebih dari sepuluh penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin: 1) virus Hepatitis akut, 2) bakteri Meningitis (termasuk Haemophilus Influenzae tipe b (Hib), Neisseria Meningitidis, dan Streptococcus Pneumoniae), 3) Difteri, 4) Campak, 5) Gondok, 6) Tetanus Neonatus, 7) Pertusis (batuk rejan), 8) Poliomielitis, 9) Rubella dan sindrom rubella kongenital, 10) Demam kuning, dan 11) Japanese Encephalitis (57).

WHO juga merekomendasikan standar pengawasan untuk penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin. Sistem pengawasan yang efektif mencakup fungsi: (a) deteksi dan pemberitahuan peristiwa kesehatan; (b) pengumpulan dan konsolidasi data terkait; (c) investigasi dan konfirmasi (epidemiologi, klinis dan/atau laboratorium) dari kasus atau wabah; (d) analisis rutin dan pembuatan laporan; (e) umpan balik informasi kepada penyedia data; dan (f) umpan maju (penyampaian data ke tingkat pusat). Di sisi lain, banyak Dinas Kesehatan yang tidak memiliki staf terlatih untuk mengumpulkan, mengkonsolidasikan dan menggunakan data untuk perencanaan di wilayah mereka sendiri. Secara keseluruhan, efektivitas sistem pengawasan saat ini tampak di bawah standar dan tidak diketahui apakah pengumpulan untuk spesimennya memenuhi standar, atau alat untuk komunikasi, transportasi dan spesimen kit tersedia (58). Padahal, kebutuhan untuk surveilans penyakit meningkat seiring dengan ancaman EID.

Pada tahun 2016, terdapat 129 wabah campak, dengan total 1.511 kasus, jauh lebih tinggi daripada tahun 2015 (68 wabah campak dengan total 831 kasus). Kasus Chikungunya menurun dari 2.282 kasus (2015) menjadi 1.702 kasus pada tahun 2016. Kasus Difteri meningkat dari 252 kasus pada tahun 2015 menjadi 415 kasus pada tahun 2016. Case Fatality Rate (CFR) adalah nol; catatan menunjukkan bahwa 37% dari 252 kasus pada tahun 2015 dan 51% dari 415 kasus pada tahun 2016 adalah Difteri di antara anak-anak tanpa vaksinasi (44,45). Pengawasan Acute Flaccid Paralysis (AFP) bergantung pada pelaporan dan konfirmasi laboratorium melalui isolasi virus polio dari tinja. Namun, konfirmasi laboratorium masih menjadi masalah di Indonesia karena keterlambatan dalam pengumpulan dan pengujian sampel. Implikasinya adalah akan selalu ada deteksi tertunda wabah Polio. Meskipun tingkat pengumpulan tinja mencapai 80% selama tiga tahun berturut-turut, status bebas membutuhkan tingkat AFP non-polio setidaknya 1 per 100.000 anak di bawah 15 tahun (57).

Sejak tahun 2011, terjadi penurunan tingkat lumpuh layu akut (Acute Flaccid Paralysis/AFP) non-polio- yang disebabkan oleh penyakit selain poliomielitis - dengan tingkat AFP mencapai 2,04 pada tahun 2015. Namun, pada tahun 2005 hanya 33% kasus polio yang dapat dikonfirmasikan meskipun pelaksanaan test tinja kasus AFP mencapai 82%. Angka AFP non-polio yang tinggi, merupakan indikasi kelemahan dalam sistem surveilans. Dan membahayakan kualitas pengendalian dan pemberantasan polio (57)(Tabel 19).

Cakupan imunisasi lengkap adalah indikator kunci pembangunan kesehatan. Permenkes Nomor 42/2013 mendefinisikan imunisasi dasar lengkap apabila seorang anak menerima dosis Hepatitis B (dosis kelahiran), dosis vaksin BCG; tiga dosis vaksin DPT-HB (atau DPT-HB-Hib); empat dosis vaksin polio (polio 1-4); dan satu dosis vaksin campak. Data SDKI 2017 menunjukkan peningkatan imunisasi lengkap dari 52 persen (2002/2003) menjadi 70 persen (2017). Perbedaannya mungkin karena definisi yang berbeda. Imunisasi lengkap dalam SDKI 2017 mengacu pada anak-anak yang menerima BCG, DPT1-3, polio 1-3, dan vaksinasi campak saja. Imunisasi polio pada SDKI 2012 hanya melaporkan tiga vaksinasi, sedangkan pada SDKI 2017 dilaporkan untuk tiga dan empat kali vaksinasi (59). Melihat distribusi per provinsi, cakupan DTP, Hib dan Hep B3 masih rendah (dibawah 70%) di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Utara dan Papua. Daerah-daerah ini perlu dimonitor secara ketat terutama untuk anak-anak yang tidak punya akses ke imunisasi. Hanya sebagian kasus anak tidak vaksinasi yang disebabkan karena keraguan vaksin atau kehabisan stok vaksin. Factsheet EPI WHO-SEARO Indonesia 2016 juga menyoroti bahwa

Page 26: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

34 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

(Public health functions) dAN health security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

4. TANTANGAN

DAN ISU STRATEGIS

90% pengadaan vaksin rutin dibiayai oleh pemerintah; dan 88% pengeluaran untuk program imunisasi rutin dibiayai oleh pemerintah pusat. Dari 514 kabupaten, 375 (73%) kabupaten memiliki cakupan >80% untuk DTP-Hib-HepB-3, dan 263 (51%) kabupaten memiliki cakupan >90% untuk MCV1 (57).

Page 27: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

4. Tantangan dan Isu Strategis • 3736 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

4.1. KINERjA DAN PERMASAlAHAN PEMBANGUNAN KESEHATAN

Selama beberapa dekade terakhir, terjadi perbaikan kesehatan masyarakat secara signifikan di Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa indikator seperti penurunan kematian ibu, penurunan kematian bayi, penurunan kejadian penyakit menular terutama yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan membaiknya status gizi masyarakat secara umum. Namun, ada indikasi bahwa laju perbaikan kesehatan masyarakat tersebut mengalami stagnansi selama satu dekade yang lalu terutama selama 5 tahun terakhir, yaitu sejak dilaksanakannya JKN pada tahun 2014. Ada empat area yang perlu dilihat dalam mengevaluasi kinerja pembangunan kesehatan, yaitu (1) kinerja upaya kuratif, (2) kinerja upaya promotif dan preventif, (3) kinerja intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (4) kinerja penguatan sistem kesehatan.

Gambar 3. Pendekatan dan Kebijakan Komprehensif untuk Pembangunan Kesehatan

Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Dalam upaya kuratif yang juga disebut Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), kebijakan yang diambil adalah mengembangkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan tiga area target: (i) mencapai cakupan kepersertaan semesta atau UHC (Universal Health Coverage), (ii) memberikan pelayanan secara komprehensif, dan (iii) menghilangkan beban finansial rumah tangga untuk berobat – yang sering out-of-pocket payment (OOP). Target pertama cukup berhasil karena kepesertaan JKN saat ini mencakup sekitar 200 juta (dari 256 juta penduduk). Namun, penyediaan pelayanan masih menghadapi

masalah besar karena peningkatan suplai pelayanan (akses dan mutu) tidak sebanding dengan kenaikan jumlah peserta, terutama di daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Tingkat OOP masih sekitar 45%, belum menunjukkan penurunan yang signifikan sejak JKN dimulai pada tahun 2014. Masalah lain yang dihadapi dalam pelaksanaan JKN adalah defisit anggaran BPJS yang terus meningkat. Tantangan yang dihadapi adalah meningkatnya penyakit tidak menular yang memerlukan intervensi medis yang lebih canggih, lebih spesialistik dan berbiaya mahal.

Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Kinerja UKM belum memuaskan dan ada kecenderungan penurunan. Hal ini ditandai dengan beberapa indikator antara lain angka stunting yang tidak turun secara signifikan, kejadian outbreak difteri pada tahun 2017-2018, jumlah kasus Tuberkulosis yang sangat tinggi – terbesar nomor 2 di dunia setelah India, dan outbreak penyakit-penyakit lama seperti rabies di Flores dan leptospirosis di beberapa tempat. Sementara itu, ancaman epidemi dan pandemi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui binatang (zoonosis) semakin nyata sebagai konsekuensi meningkatnya mobilitas manusia, hewan dan barang antar negara dan antara daerah. Tantangan lain adalah meningkatnya penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes melitus, gangguan jiwa dan kecelakaaan lalu lintas yang juga menunjukkan lemahnya fungsi UKM untuk mencegah permasalahan kesehatan tersebut.

Kecenderungan penurunan kinerja UKM merupakan salah satu implikasi dari penerapan JKN pada tahun 2014. Permenkes Nomor 19 Tahun 2014 menyebutkan bahwa “fasilitas pelayanan kesehatan dasar (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama/FKTP) adalah kesehatan fasilitas yang memberikan perawatan kesehatan individu non-spesialis untuk tujuan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau jenis layanan kesehatan lainnya” dan pada pasal 1 ayat (3), FKTP mendapatkan dana kapitasi “jumlah pembayaran bulanan prabayar ke FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar terlepas dari jenis dan jumlah layanan kesehatan yang disediakan”. Dana kapitasi tersebut dapat dimanfaatkan untuk jasa pelayanan tenaga kesehatan (60%) dan biaya operasional layanan kesehatan (40%). Tujuan awal dari dana kapitasi ini adalah untuk menyediakan dana yang fleksibel di puskesmas untuk mendapatkan logistik yang dibutuhkan, untuk menutupi biaya pemeliharaan, merekrut tenaga kontrak yang dibutuhkan, dan untuk melakukan kegiatan inovatif lainnya. Namun, saat ini dana kapitasi JKN dipandang sebagai insentif bagi tenaga kesehatan di puskesmas untuk memberikan layanan kuratif. Akibatnya, saat ini staf puskesmas mengalihkan perhatiannya dari kegiatan penjangkauan preventif promotif dan berkonsentrasi pada pelayanan kuratif dan terjadi penurunan kuantitas dan kualitas kegiatan UKM.

Selain itu, dengan adanya kebijakan otonomi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, puskesmas dapat mengelola dana kapitasinya sendiri. Dalam waktu yang relatif singkat, hampir semua puskesmas menciptakan BLUD. Dana BLUD digunakan untuk berbagai hal termasuk untuk mendirikan bangsal bersalin baru meskipun mereka tidak memiliki bidan terlatih untuk perawatan obstetrik dan bayi baru lahir dasar (BEmONC). Puskesmas saat ini berada di bawah pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 menyatakan bahwa kepala daerah (Bupati atau Walikota) bertanggung jawab atas penggunaan anggaran BLUD ini. Pada akhirnya, penggunaan dana ini berada di bawah kendali Bupati/Walikota bukan pengelola program kesehatan sehingga pemanfaataannya menjadi kurang optimal untuk perbaikan pelayanan kesehatan terutama UKM.

Page 28: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

4. Tantangan dan Isu Strategis • 3938 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Upaya lintas sektor. Konsep “pembangunan berwawasan kesehatan” belum terlaksana dengan baik walaupun sudah ada kebijakan dan regulasi yang menekankan pentingnya peran lintas sektor dalam pembangunan kesehatan. Hal ini ditandai antara lain dengan meningkatnya kasus pneumonia di Sumatera dan Kalimantan akibat asap dari kebakaran yang terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2017) juga mengungkapkan bahwa Kecelakaan Lalu Lintas (KLL) memberi kontribusi beban penyakit (disease burden) pada urutan ke-8. Pada bulan September 2018, terjadi outbreak rabies di pulau Flores yang diduga karena rendahnya cakupan imunisasi rabies pada anjing peliharaan dan anjing liar. Belum lagi kejadian pencemaran bahan berbahaya dan beracun (B3) dari industri yang membahayakan kesehatan penduduk, seperti pencemaran merkuri (Hg) dan bahan B3 lainnya pada badan air. Kejadian tersebut seharusnya dapat dicegah jika Undang-Undang tentang kewajiban melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dilaksanakan dengan baik.

Penguatan kapasitas sistem kesehatan. Dalam hal tata kelola, walaupun rumusan kebijakan kesehatan sudah cukup baik (RPJMN, RPJMD, Renstra) namun keberhasilan tata kelola sangat tergantung pada kejelasan peran, tanggung jawab dan kapasitas 514 kabupaten/kota, khususnya kapasitas 514 Dinas Kesehatan (Dinkes) Kab/Kota dan kapasitas 9.800 puskesmas yang menjadi eksekutor kebijakan-kebijakan tersebut. Dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, terjadi permasalahan kronis kekurangan tenaga dokter spesialis, maldistribusi tenaga dokter, perawat dan bidan, kekurangan dan kekosongan tenaga farmasi, kesehatan masyarakat, gizi, sanitarian dan analis di banyak puskesmas.

Di bidang obat, 96% bahan baku obat berasal dari impor sehingga biaya produksi sangat rentan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar. Penurunan nilai rupiah pada tahun 2018 memukul industri farmasi. Terjadi kenaikan biaya produksi sementara harga jual tidak mudah dinaikkan dan ditentukan oleh Kementerian Kesehatan. Ditambah dengan terlambatnya pembayaran klaim Indonesia Case Based Groups (INACBGs) kepada rumah sakit (RS), maka terjadi kekurangan obat di RS. Solusi di banyak RS adalah membebankan biaya obat kepada pasien (resep). Keadaan ini adalah salah satu sebab masih tingginya OOP untuk obat walaupun JKN sudah dilaksanakan.

Di bidang penelitian dan sistem informasi, survei berkala seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Riset Fasilitas Kesehatan (Risfaskes), Riset Tenaga Kesehatan (Risnakes), Survei Penduduk Antar Sensus (Supas), dan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menyediakan data berbasis populasi yang sangat membantu penyusunan rencana dan evaluasi pembangunan kesehatan. Namun, analisis regional terhadap data tersebut belum banyak dilakukan. Analisis regional diperlukan untuk merumuskan kebijakan yang bersifat spesifik lokal (bukan kebijakan “one size fit all”). Termasuk dalam fungsi penelitian ini adalah sistem surveilans yang belum terlaksana secara rutin oleh unit-unit terkait (puskesmas, RS, Dinkes).

Dalam hal pembiayaan, masih banyak isu kebijakan dan operasional yang belum tertata dengan baik. Operasionalisasi ketetapan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang pembiayaan kesehatan belum diatur lebih lanjut dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP). Masalah lain adalah kecukupan pembiayaan untuk UKM dan UKP melalui JKN yang efisien dan berkelanjutan. Rendahnya kapasitas fiskal kabupaten/kota juga perlu mendapat perhatian. Porsi pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD rata-rata hanya 10,4% sehingga kabupaten/

kota sangat tergantung pada dana transfer dari pusat. Sementara itu, porsi belanja pegawai dalam belanja daerah sangat besar, yaitu rata-rata 46% dari APBD. Sisanya dipergunakan untuk membiayai urusan wajib daerah antara lain untuk enam SPM pelayanan dasar; belanja empat urusan kesehatan yang diserahkan ke daerah, alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%, dan belanja pembangunan infrastruktur. Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mendefinisikan desa sebagai sub-unit dari suatu kabupaten, dan mengalokasikan dana dari anggaran nasional sebagai transfer tunai langsung ke desa (sekitar Rp 5,92 triliun (atau USD 419 juta) pada tahun 2014. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh sektor kesehatan untuk dapat memberikan saran dan mengadvokasi pemanfaatan dana desa untuk pendanaan promosi dan pencegahan kesehatan, pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan, atau pelatihan. Pelayanan UKM memerlukan jumlah SDM yang cukup dan kompeten meliputi tenaga kesehatan masyarakat, promosi kesehatan, sanitarian, gizi dan didukung oleh tenaga analis, dan lembaga sosial masyarakat. Beberapa contoh masalah UKM mencakup cakupan, akses dan mutu, misalnya sistem rantai dingin (cold chain) dalam program imunisasi. Sementara masalah UKP, akses dan mutu pelayanan primer dan pelayanan rujukan masih menjadi tantangan, terutama di daerah terpencil dan kepulauan.

4.2. PElAKSANAAN FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

Walaupun dari perspektif regulasi sudah cukup landasan hukum untuk pelaksanaan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat, pada tataran pelaksanaan dihadapi banyak masalah dan tantangan. Beberapa hambatan tersebut adalah sebagai berikut:

(1) beberapa peraturan perundangan tersebut belum diuraikan lebih operasional ke dalam peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria/NSPK);

(2) belum jelasnya unit organisasi untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam peraturan tersebut, termasuk organisasi dan kordinasi lintas sektor;

(3) belum siapnya sumber daya manusia, khususnya pada tataran pelaksana lapangan; dan(4) belum jelasnya mekanisme pembiayaan untuk pelaksanaan peraturan perundangan

tersebut (sumber, tatacara alokasi, dan indikator kinerja keuangan).

a. Penguatan Sistem Surveilans

jenis surveilans. Penyelenggaraan surveilans telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 (PMK-45/2014). Ada 35 jenis kegiatan surveilans yang dapat dikelompokkan menjadi: (1) surveilans penyakit menular (15 jenis penyakit menular, termasuk penyakit yang menjadi fokus health security); (2) surveilans penyakit tidak menular (6 jenis PTM); (3) surveilans kesehatan lingkungan (7 jenis); (4) surveilans kesehatan matra (kesehatan haji, bencana dan masalah sosial dan matra laut/udara); dan (5) surveilans masalah kesehatan lainnya sesuai kebutuhan (9 jenis, diantaranya adalah surveilans gizi dan kualitas makanan). Keseluruhan (35 jenis) surveilans tersebut sudah mencakup keperluan 3 area fokus fungsi kesehatan masyarakat, yaitu (i) menghadapi masalah public health security, (ii) intervensi yang bersifat lintas sektor, dan (iii) intervensi UKM dalam sektor kesehatan.

Page 29: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

4. Tantangan dan Isu Strategis • 4140 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Kelembagaan/unit pelaksana surveilans. Dalam pasal 14 PMK-45/2014 ditetapkan bahwa Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan fasilitas pelayanan wajib melaksanakan surveilans sesuai dengan kewenangannya dan lingkup wilayahnya. Pada awal tahun 2000-an pernah dikembangkan pedoman sistem surveilans berjenjang mulai dari puskesmas sampai tingkat pusat (Proyek ICDC/ADB, Dirjen P2PL): (1) TEPUS (Tim Surveilans Epidemiologi Puskesmas); (2) TERUS (Tim Surveilans Epidemiologi Rumah Sakit); (3) TEK (Tim Surveilans Epidemiologi Kabupaten); (4) TEP (Tim Surveilans Epidemiologi Provinsi); dan (5)TEN (Tim Surveilans Epidemiologi Nasional). Untuk masing-masing Tim tersebut sudah disusun pedoman kerja/petunjuk teknis didukung dengan sistem informasi yang bisa menghubungkan masing-masing jenjang secara online. Namun, sayangnya tidak ada kelanjutan dari sistem surveilans tersebut.

Surveilans zoonosis. Sebagian besar penyakit yang menjadi masalah public health security adalah penyakit menular yang ditularkan melalui binatang (zoonosis) seperti MERS, SARS, ebola, anthrax, dan virus Nipah. Penyakit-penyakit tersebut menjadi masalah kesehatan manusia dan hewan sekaligus. Artinya, public health security memerlukan keterlibatan aktif sektor peternakan dan pertanian yang juga melakukan surveilans kesehatan hewan. Kerja sama antara sektor kesehatan manusia dan hewan tersebut diselenggarakan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Kerja sama tersebut perlu diatur secara formal antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian dibawah kordinasi Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Kerja sama dan kordinasi tersebut mencakup: (a) sharing hasil surveilans; (b) merumuskan strategi intervensi bersama-sama; (c) implementasi strategi sesuai tugas dan kewenangan masing-masing; dan (d) integrasi laporan kinerja intervensi.

Sumber daya untuk surveilans. Seperti ditetapkan dalam PMK-45/2014, penyelenggaraan surveilans harus didukung dengan ketersediaan (a) SDM yang memiliki kompetensi di bidang epidemiologi; (b) pendanaan yang memadai dan (c) sarana dan prasarana yang diperlukan termasuk teknologi tepat guna. Kebutuhan tenaga surveilans yang kompeten sangat besar karena diperlukan di tingkat pusat, 34 Dinas Provinsi dan 514 Dinas Kabupaten/Kota. Pasal 17 PMK-45/2014 menetapkan kompetensi yang harus dimiliki tenaga surveilans, yaitu sebagai berikut: (a) mampu menggambarkan situasi dan kecenderungan penyakit dan faktor risikonya; (b) mampu menganalisis kondisi luar biasa penyakit menular dan masalah kesehatan lain; (c) mampu menganalisis potensi ancaman penyakit, sumber dan cara penularan serta faktor-faktor yang berpengaruh; dan (d) mampu menyusun rencana tindakan dan respons cepat terhadap faktor resiko, penyakit dan masalah kesehatan lainnya.

Dalam tahun 1990-an pernah dilakukan “Field Epidemiology Training Program” (FETP). Program tersebut perlu direvitalisasi dan dilaksanakan secara intensif agar 514 Dinkes Kabupaten/Kota, dan 34 Dinkes Provinsi mempunyai tenaga surveilans yang kompeten. Dalam kebijakan desentralisasi, kinerja pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat sangat ditentukan oleh kemampuan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi untuk melakukan surveilans dengan baik. Demikian pula, tenaga puskesmas dan RSUD perlu

diberikan pengetahuan dan keterampilan dasar tentang surveilans sesuai pedoman yang telah disusun. Mengingat fungsi kesehatan masyarakat sebagai public goods, pendanaannya menjadi tanggung jawab pemerintah (APBN dan APBD). Salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan adalah memasukkan peruntukkan penyelenggaraan surveilans kedalam menu Dana Alokasi Khusus (DAK) non-fisik bidang kesehatan.

Dukungan laboratorium Kesehatan Masyarakat. Surveilans memerlukan dukungan Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas) untuk konfirmasi diagnosis melalui pemeriksaan mikrobiologi, fisika, kimia dan/atau bidang lain terkait kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 364 Tahun 2003). Labkesmas bisa berupa UPT Dinas Kesehatan di Provinsi dan Kabupaten. Penguatan Labkesmas sangan esensial untuk menjamin mutu surveilans. Langkah yang perlu diambil adalah melakukan asesmen dan pemetaan keberadaan Labkesmas dibandingkan dengan standar untuk menyusun rencana penguatan dan pengembangan Labkesmas di masa datang.

b. Peningkatan Kesiapan Menghadapi Bencana dan Kondisi Darurat

Kewenangan dan kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan berkaitan dengan bencana dan keadaan emergensi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM). Dalam pasal 6 PP tersebut ditetapkan bahwa SPM Kesehatan mencakup SPM Kesehatan Daerah Provinsi dan SPM kesehatan Daerah Kabupaten/Kota. Jenis pelayanan dasar pada SPM Kesehatan Daerah Provinsi tersebut terdiri atas: (a) pelayanan kesehatan bagi penduduk terdampak krisis kesehatan akibat bencana dan/atau berpotensi bencana provinsi; dan (b) pelayanan kesehatan bagi penduduk pada kondisi kejadian luar biasa dalaam wilayah provinsi. Ketentuan tentang SPM Kesehatan Daerah Provinsi tersebut sudah mengakomodir fungsi kesehatan masyarakat yang kedua (kesiapan menghadapi bencana dan keadaan emergensi kesehatan). Tantangannya adalah pada upaya untuk memperkuat 34 Dinkes Provinsi untuk melaksanakan SPM tersebut.

c. Peningkatan Perlindungan Kesehatan Fokus fungsi perlindungan kesehatan ini mencakup: (1) keamanan lingkungan, (2) keamanan makanan, (3) keamanan bahan beracun dan berbahaya (B3), dan (4) keamanan di tempat kerja (occupational safety). Keamanan lingkungan secara umum sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan pembangunan. Amdal merupakan upaya untuk memasukkan dimensi kesehatan dalam menilai dampak suatu kegiatan usaha dan/atau kegiatan pembangunan sektor-sektor lain terhadap kesehatan. Lembaga yang bertanggung jawab untuk Amdal adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup di provinsi dan kabupaten/kota.

Page 30: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

4. Tantangan dan Isu Strategis • 4342 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Keamanan pangan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004, yang menetapkan standar dan ketentuan yang harus dipenuhi untuk mencegah kemungkinan adanya cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia pada pangan. Lembaga yang berwenang melaksanakan peraturan tersebut adalah BPOM. Namun, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ditetapkan bahwa “pengelolaan obat/vaksin, alkes dan makanan” juga menjadi salah satu urusan yang diserahkan kepada daerah (Dinas Kesehatan). Demikian juga untuk pengamanan B3, diatur secara rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001. Dalam pasal 28 PP tersebut disebutkan bahwa wewenang pengawasan kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing dan dalam hal tertentu, wewenang pengawasan tersebut dapat diserahkan menjadi urusan daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.

d. Penguatan Promosi Kesehatan

Promosi kesehatan sering sekali direduksi menjadi pendidikan kesehatan (health education), yang bertujuan untuk membangun perilaku hidup bersih dan sehat. Padahal, promosi kesehatan jauh lebih luas dari pada pendidikan kesehatan dan tujuannya tidak terbatas hanya untuk merubah perilaku kesehatan. Dalam Ottawa Charter (1986) tentang Health Promotion disepakati bahwa promosi kesehatan terdiri atas 3 kegiatan utama dengan 5 tujuan (atau dikenal dengan prinsip 3-5).

Tabel 11. Kegiatan dan Tujuan Promosi Kesehatan

Kegiatan Promosi Kesehatan Tujuan Promosi Kesehatan

1. Memberdayakan (enabling)

2. Melakukan mediasi (mediating)

3. Mempengaruhi kebijakan publik (advocating)

1. Mengembangkan kemampuan personal (health education)

2. Menggerakkan kegiatan masyarakat

3. Mengembangkan lingkungan yang kondusif/mendukung

4. Re-orientasi pelayanan kesehatan kearah promotif dan preventif

5. Mendorong kebijakan pembangunan berwawasan kesehatan

Walaupun hampir dalam setiap kebijakan dan program disebutkan betapa pentingnya promosi kesehatan, dalam praktiknya kegiatan promosi kesehatan terbatas pada health education melalui berbagai media (media sosial, brosur, poster, dan ceramah). Penyebabnya adalah:

(a) Kurangnya SDM profesional yang benar-benar memiliki kompetensi melaksanakan prinsip 3-5 di atas. Sampai tahun 2013, hanya ada 1 (satu) Poltekes yang menyelenggarakan program studi promosi kesehatan, yaitu di Tasikmalaya. Sejak 2014, mulai dibuka pendidikan promosi kesehatan di sebagian besar Poltekes dalam bentuk Program Studi Promosi Kesehatan.

(b) Masih terbatasnya alokasi anggaran untuk promosi kesehatan khususnya di tingkat daerah. Hasil District Health Account (DHA) di puluhan kabupaten/kota tahun 2015 mengungkapkan bahwa alokasi untuk Promkes di tingkat kabupaten/kota hanya sebagian kecil dari total anggaran kesehatan kabupaten/kota.

Peranan promosi kesehatan sangat vital untuk intervensi terhadap determinan lintas sektor dan determinan dalam sektor kesehatan. Untuk meningkatkan peran promosi kesehatan sebagai salah satu fungsi kesehatan masyarakat yang penting diperlukan “critical mass” tenaga profesional yang kompeten yang ditempatkan di Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan juga di puskesmas. Dalam standar ketenagaan puskesmas (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014) memang tidak disebutkan secara spesifik tenaga promosi kesehatan, hanya disebut tenaga kesehatan masyarakat. Padahal, salah satu tugas pokok dan fungsi puskesmas adalah memberdayakan masyarakat (enabling), membantu masyarakat melakukan Survei Mawas Diri (SMD) dan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD) melalui mediasi (mediating) dan mempengaruhi kebijakan publik tingkat kecamatan dan desa (advocating).

e. Penguatan Tata kelola, Regulasi, Kelembagaan dan Pembiayaan Tata kelola dan regulasi. Pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pembagian urusan. Tugas pemerintah pusat adalah merumuskan kebijakan dan regulasi yang mengatur fungsi kesehatan masyarakat. Semua jenis fungsi kesehatan masyarakat sudah ada landasan regulasinya, tugas penting berikutnya adalah penyusunan NSPK untuk masing-masing fungsi kesehatan masyarakat tersebut sebagai pedoman operasional di tingkat daerah.

Untuk lebih memperkuat fungsi kesehatan masyarakat di tingkat kabupaten/kota; fungsi-fungsi kesehatan masyarakat tersebut perlu dimasukkan dalam Sistem Kesehatan Daerah (SKD) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) sehingga dapat menetap dalam program kesehatan di daerah. Tugas provinsi yang utama adalah pembinaan dan pengawasan, kecuali tugas menyelengarakan beberapa fungsi kesehatan masyarakat seperti: (i) surveilans tingkat provinsi, (ii) kesiapan menghadapi bencana dan emergensi tingkat provinsi dan (iii) produksi SDM kesehatan masyarakat, misalnya pengelolaan Poltekkes. Tugas daerah meliputi empat urusan kesehatan yaitu (i) pelayanan kesehatan (UKM dan UKP) dan perizinan RS, (ii) pengelolaan SDM Kesehatan, (iii) pengelolalan obat/vaksin/alkes dan makanan-minuman, dan (iv) pemberdayaan masyarakat. Untuk beberapa UKM dan UKP tertentu yang bersifat pelayanan dasar, ditetapkan dalam SPM Kesehatan; yang secara keseluruhan merupakan UKM (fungsi kesehatan masyarakat sektor kesehatan).

Page 31: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

4. Tantangan dan Isu Strategis • 4544 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Pada tahun 2018, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimum Kesehatan (SPM-K) yang mewajibkan FKTP untuk mempertimbangkan jenis dan jumlah layanan kesehatan yang diberikan ketika layanan didanai oleh APBD. Namun, SPM-K tidak memuat rincian layanan yang akan disediakan atau target yang harus dipenuhi. Rincian teknis ini harus diatur melalui Permenkes, termasuk rincian dan targetnya. Penetapan SPM-K bertujuan untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat untuk mengakses layanan kesehatan dengan standar layanan minimum yang dapat dipenuhi oleh pemerintah. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan juga telah menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) untuk layanan ini. Layanan dasar dalam SPM-K adalah kewajiban pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, layanan kesehatan bagi korban bencana alam dan kejadian luar biasa, termasuk darurat kesehatan masyarakat global merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi (60).

Kelembagaan di tingkat daerah. Lembaga yang bertanggung jawab menyelenggarakan fungsi kesehatan masyarakat di tingkat kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan dan puskesmas. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 sudah ditetapkan organisasi perangkat daerah, termasuk penetapan puskesmas dan RSUD sebagai UPT Dinas Kesehatan. Tindak lanjut dari PP tersebut adalah menetapkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Dinas Kesehatan, puskesmas dan RSUD. Dalam konteks memperkuat fungsi kesehatan masyarakat di daerah, maka dalam perumusan tupoksi Dinas perlu dimasukkan fungsi-fungsi kesehatan masyarakat. Penyusunan tupoksi Dinas Kesehatan perlu melibatkan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Asosiasi Dinas Kesehatan, dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera dan Reformasi Birokrasi.

Puskesmas adalah ujung tombak pelaksana fungsi kesehatan masyarakat di tingkat masyarakat. Selain melaksanakan surveilans dan promosi kesehatan, puskesmas juga menjadi pelaksana UKM dan pelayanan kesehatan dasar yang ada dalam SPM. Kementerian Kesehatan tengah merevisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang standar puskesmas. Proses revisi tersebut juga perlu mempertimbangkan pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat.

Pembiayaan. Semua fungsi kesehatan masyarakat bersifat public goods sehingga menjadi pembiayaannya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kementerian Kesehatan perlu mengalokasikan anggarannya untuk fungsi kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab pusat, misalnya untuk memperkuat dan mengoperasionalkan Pusat Surveilans dan menyusun NSPK fungsi kesehatan masyarakat. Demikian juga, APBD provinsi mengalokasikan anggarannya untuk melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat yang menjadi tanggung jawab provinsi, misalnya untuk kesiapan menghadapi bencana dan emergensi. Di tingkat kabupaten/kota, kemampuan fiskal daerah perlu mendapatkan perhatian. Secara nasional, porsi pendapatan asli daerah (PAD) dalam APBD kabupaten/kota relatif kecil, yaitu rata-rata hanya 10% sehingga pendanaan di daerah lebih banyak bergantung pada transfer pusat dalam bentuk DAU, DAK fisik, DAK non fisik dan dana transfer lain. Ada beberapa peluang untuk mencukupi pembiayaan untuk fungsi kesehatan masyarakat, yaitu (i) memanfaatkan cukai tembakau milik daerah (DBHCHT), (ii) dana desa dan (iii) dana Dinas Peternakan (untuk menunjang pembiayaan surveilans zoonosis dan penanggulangannya seperti misalnya vaksinasi rabies pada anjing).

f. Pemenuhan SDM untuk Melaksanakan Fungsi Kesehatan Masyarakat

Ada beberapa tenaga professional dengan kompetensi khusus yang diperlukan untuk pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat, yaitu:

(a) Tenaga surveilans epidemiologi yang diperlukan di tingkat pusat untuk mengelola Pusat Surveilans Nasional, di tingkat provinsi (34 Dinkes Provinsi) dan di tingkat kabupaten/kota (514 Dinkes Kab/Kota). Di samping itu, perlu tenaga terlatih untuk melakukan surveilans ditingkat puskesmas (ada 9.800 puskesmas) dan RSUD (514 RSUD Kabupaten/Kota dan 34 RSUD Provinsi).

(b) Tenaga promosi kesehatan yang sangat esensial untuk melakukan advokasi ke sektor lain dan pengambil keputusan, baik di tingkat pusat, provinsi (34 Dinkes Provinsi) dan kabupaten/kota (514 Dinkes Kab/kota). Selain untuk advokasi, tenaga promosi kesehatan juga berperan dalam memobilisasi peran serta dan pemberdayaan masyarakat.

(c) Tenaga kesehatan masyarakat lainnya untuk melaksanakan UKM. Salah satu fokus fungsi kesehatan masyarakat adalah melaksanakan pelayanan UKM ditingkat masyarakat. Tenaga yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat di puskesmas termasuk: (a) tenaga kesehatan masyarakat, khususnya tenaga dengan kompetensi melaksanakan promosi kesehatan, (b) tenaga sanitarian, (c) tenaga gizi masyarakat, dan (d) tenaga lab/analis untuk konfirmasi skrining seperti konfirmasi diagnosis Tuberkulosis dan Malaria. Keempat jenis tenaga tersebut sudah dimasukkan dalam standar ketenagaan puskesmas (PMK-75/2014). Namun, di lapangan banyak puskesmas kekurangan atau bahkan tidak memiliki jenis tenaga UKM tersebut. Hal Ini terkait dengan kebijakan moratorium pengangkatan tenaga PNS/kesehatan, kecuali tenaga dokter, bidan dan perawat yang ditetapkan dalam Keputusan Bersama Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Kementerian PAN RB sejak tahun 2011.

Kebijakan penempatan tenaga ke puskesmas terpencil yang dilaksanakan selama empat tahun terakhir telah membantu melengkapi SDM puskesmas yang berlokasi di DTPK. Namun, data menunjukkan bahwa puskesmas yang tidak berada di DTPK juga kekurangan tenaga pelaksana UKM/fungsi kesehatan masyarakat tersebut. Sebagai contoh, dari 101 puskesmas di Kabupaten Bogor, 41 tidak mempunyai tenaga kesehatan masyarakat, 71 tidak mempunyai tenaga sanitarian, 76 tidak mempunyai tenaga gizi dan 73 tidak mempunyai tenaga lab analis. Gambaran kekurangan SDM seperti di kabupaten Bogor juga ditemukan di banyak kabupaten/kota lain seperti Kota Cilegon, Kabupaten Majalengka, dan Kabupaten Jeneponto. Dengan masalah ketenagaan seperti sekarang, puskesmas sulit melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat (termasuk pelayanan UKM) dengan baik.

g. Komunikasi dan Mobilisasi Peran Serta Masyarakat Tujuan komunikasi dalam penyelenggaraan fungsi kesehatan masyarakat adalah:

(a) Mengkomunikasikan konsep, substansi dan kegiatan delapan fungsi kesehatan masyarakat kepada seluruh pemangku kepentingan pembangunan kesehatan,

Page 32: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

4. Tantangan dan Isu Strategis • 4746 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

yaitu pemangku kepentingan di sektor kesehatan dan sektor lainnya serta birokrasi pemerintah mulai dari Pusat (Presiden), provinsi (Gubernur) dan kabupaten/kota (Bupati/Walikota). Sosialisasi tentang fungsi kesehatan masyarakat diharapkan akan mengarahkan program kesehatan menjadi lebih komprehensif, meliputi intervensi kuratif yang bersifat individual (UKP), intervensi pencegahan yang bersifat massal/populasi (UKM), intervensi terhadap determinan kesehatan di sektor lain, dan intervensi untuk memperkuat sistem kesehatan.

(b) Mengkomunikasikan informasi yang berguna untuk memperkaya konsep dan intervensi fungsi kesehatan masyarakat. Sumber informasi tersebut termasuk lintas sektor/kementerian lain, swasta dan perguruan tinggi, dan disampaikan kepada institusi penyelenggara fungsi kesehatan masyarakat (Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan puskesmas). Hal ini termasuk hasil Amdal yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Lingkungan Hidup Daerah, hasil studi perguruan tinggi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Determinan Kesehatan, dan proyek-proyek kesehatan. Sebagai contoh, kegiatan ekstensifikasi kebun salak pondoh di Banjarnegara ternyata diikuti dengan penyebaran malaria karena pohon salak tenyata menjadi resting place nyamuk malaria (Overlay hasil GPS kasus malaria dan perluasan kebun salak: ICDC Proyek, Dirjen PPPL, 1990an). Kasus kedua adalah temuan bahwa kubangan kerbau di Sumba Barat menjadi breeding places nyamuk malaria (ICDC Proyek, Dirjen PPPL, 1990an). Kasus-kasus tersebut menunjukkan bagaimana kegiatan ekonomi penduduk.

(c) mempengaruhi penyebaran malaria dan bagaimana keterlibatan Dinas Pertanian (Banjarnegara) dan Dinas Peternakan (Sumba Barat) menjadi aktor penting dalam menyusun intervensi kesehatan masyarakat untuk malaria.

Dalam hal mobilisasi peran serta masyarakat, Indonesia mempunyai pengalaman cukup lama dan banyak dalam mengembangkan model-model peran serta masyarakat misalnya posyandu, posbindu, poskestren, dan Desa Siaga.

h. Penguatan Peran Penelitian dan Pengembangan serta Analisis Kebijakan

Penelitian tentang determinan kesehatan dapat dilakukan oleh banyak pihak termasuk Badan Penelitian dan Pengembangan berbagai kementerian/lembaga, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), swasta, dan mitra pembangunan internasional. Untuk memanfaatkan hasil-hasil penelitian tersebut secara efektif, perlu dilakukan inventarisasi/pemetaan semua penelitian tentang kesehatan, sistem kesehatan dan fungsi kesehatan masyarakat secara sistematik yang dilakukan oleh suatu clearing house. Di Kementerian Kesehatan, telah dibentuk Pusat Analisis Determinan Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015, Tentang Organisasi Tata Kerja Kemenkes). Pusat Analisis Determinan Kesehatan bertugas untuk melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, pelaksanaan, dan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang analisis determinan kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4.3. TANTANGAN HEALTH SECURITY

WHO mencanangkan “Health Security”, yaitu upaya global untuk menghadapi penyakit menular yang bersifat fatal yang bisa menular dengan cepat menjadi epidemi dan bahkan pandemi. Penyakit yang menjadi “concern” global termasuk Afian Flu, Ebola, Zika, bakteri resisten, MERS-coV, SARS-coV, dan cholera. Sebagian besar penyakit-penyakit menular tersebut bersifat zoonotic. Indonesia tidak bisa bebas dari ancaman penyakit-penyakit tersebut dan turut meratifikasi kesepakatan global tentang “Public Health Security”. Pengalaman empiris di banyak negara termasuk Indonesia yang menunjukkan dampak kematian dan economic loss yang besar bagi sektor kesehatan, transportasi, pariwisata, perhotelan, pertanian, peternakan, perdagangan, pertahanan keamanan dan lain-lain. Melihat besarnya dampak tersebut, maka penanganan masalah ini perlu menjadi prioritas utama bagi seluruh jajaran pemerintah pusat (kementerian/lembaga terkait), provinsi, dan kabupaten/kota.

Penguatan koordinasi multisektor. Temuan penting dari JEE 2017 di Indonesia adalah: koordinasi adalah titik lemah dari semua kerja sama lintas sektoral untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi keadaan darurat kesehatan masyarakat. Tanpa koordinasi yang efektif, pemerintah akan gagal melindungi orang, menyelamatkan penyedia perawatan kesehatan dan fasilitas kesehatan, dan untuk menangani dampak lain dari serangan EID. Mengingat bahwa 70% dari EID terdiri dari penyakit zoonosis dan penyakit ini dapat muncul kapan saja. Lemahnya promosi kesehatan dan pencegahan penyakit juga menyebabkan terjadinya peningkatan yang sering tidak terdeteksi dari kasus Tuberkulosis, HIV, AMR dan resistensi obat, anemia, diabetes, hipertensi, kecelakaan lalu lintas, dan penyakit akibat dampak perubahan iklim (61,62).

Peningkatan koordinasi lintas sektor terutama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian merupakan tantangan utama dalam lima tahun mendatang. Masalah serupa (koordinasi, kemitraan dan pengawasan) juga diidentifikasi dalam pertemuan WHO untuk mengatasi penyakit zoonosis dan ancaman kesehatan masyarakat di Dakar Senegal (2016) (63). Sesuai persyaratan IHR, Indonesia harus mulai menerapkan pendekatan nasional yang terintegrasi dalam pengendalian penyakit. Untuk itu, perlu adanya rencana terpadu untuk menyelaraskan langkah-langkah intervensi kesehatan hewan dan kesehatan manusia mulai dari surveilans penyakit, diagnosis dan pengendalian. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah masalah health security yang mencakup deteksi infeksi patogen AMR, respon terhadap penyakit zoonosis, analisis data secara real-time, dan aspek kesiapan (pemetaan prioritas risiko dan sumber daya kesehatan publik) dapat ditambahkan ke dalam beban kerja fungsi kesehatan masyarakat saat ini. Diperlukan kejelasan pembagian wewenang antar sektor terutama dalam penanganan keadaan darurat EID.

Penguatan sistem pengawasan. Pada tahun 2016, Kementerian Pertanian bekerja sama dengan FAO-ECTAD telah melakukan pengawasan EID di Gorontalo, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Kementerian Pertanian telah melakukan pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran para pemangku kepentingan tentang EID, meningkatkan kapasitas laboratorium untuk mendeteksi potensi EID, dan menerapkan pengawasan longitudinal pada ternak risiko tinggi. Pusat Investigasi Penyakit di Maros ditunjuk sebagai titik fokus untuk kegiatan ini. Kapasitas laboratorium juga telah ditingkatkan dalam mendeteksi dan mencegah EID. Protokol uji dan manajemen pusat telah dipindahkan ke Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Page 33: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

48 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

(Public health functions) dAN health security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

5. ARAH KEBIjAKAN

DAN KEGIATAN-KEGIATAN UTAMA

Hewan Departemen Pertanian. Langkah selanjutnya adalah melatih staf di semua tingkatan untuk menganalisis dan menggunakan data (43). Tantangan bagi Kementerian Kesehatan, terutama unit-unit pengawasan adalah menentukan cara paling efektif untuk berkolaborasi dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Dalam Negeri.

Pada bulan Desember 2017, Kementerian Kesehatan mengumumkan bahwa ada 591 kasus difteri di 95 kabupaten di 20 provinsi. Sebagian besar wabah (80%) berada di tujuh provinsi: Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Bangka dan Belitung, Jambi, dan Lampung. Sebagian besar kasus yang diidentifikasi terlihat di antara anak-anak di bawah 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah anak tidak divaksinasi atau hanya divaksinasi sebagian. Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), menyebarluaskan pedoman tentang Manajemen Kasus Difteri untuk mengingatkan dokter dan petugas kesehatan lainnya tentang cara melakukan deteksi dini dan membuat diagnosis standar. Bersama dengan WHO, imunisasi respon terhadap wabah (ORI) dilaksanakan pada 11 Desember 2017 melalui kampanye imunisasi di daerah-daerah yang dicurigai berisiko tinggi di Provinsi Banten, Jakarta Utara dan Barat, dan lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Tiga jenis vaksin berbeda diberikan secara gratis, yaitu vaksin Pentavalent untuk anak di bawah 5 tahun, vaksin DT untuk anak-anak 5-7 tahun, dan vaksin Td untuk anak-anak 7-19 tahun. Kejadian tersebut menekankan pentingnya fungsi kesehatan masyarakat terutama kegiatan penjangkauan dan pengawasan untuk dilakukan secara rutin. Wabah difteri tahun 2017 menunjukkan pentingnya mempertahankan tingkat cakupan yang tinggi dalam program imunisasi pada anak dan melanjutkan pendidikan publik untuk dosis lanjutan secara tepat waktu (55,56). Masih banyak orang yang tidak tahu bahwa usia penduduk usia 11-64 tahun harus mengambil vaksin Td setiap sepuluh tahun lagi, untuk melindungi terhadap tetanus dan difteri.

Penilaian JEE untuk area yang terkait dengan surveilans menunjukkan skor 2 yang berarti masih dalam ‘kapasitas terbatas’ (Tabel 8). Untuk menuju skor 4 atau 5 ‘menunjukkan kapasitas’ akan memerlukan upaya berkelanjutan untuk merasionalisasi informasi surveilans yang dikumpulkan, peningkatan analisis dan pemanfaatan hasil. Pemerintah Indonesia telah merancang rencana nasional untuk surveilans infeksi yang disebabkan oleh patogen AMR prioritas, penyakit nosokomial, dan tata laksana antimikroba. Akan tetapi, belum disertai dengan penetapan lokasi sentinel, fasilitas, pusat-pusat, dan tenaga profesional terlatih dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (IPC) .

Page 34: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama • 5150 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

Kebijakan dan Strategi Komprehensif dan Terintegrasi

Reformasi paradigma pembangunan kesehatan dari “partial dan fragmented” menjadi “komprehensif dan terintegrasi”, berkaitan dengan pembangunan kesehatan, termasuk usulan dari badan-badan internasional, yang menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dan tidak parsial. Penyelenggaraan UKP, UKM, upaya lintas sektor, dan penguatan sistem kesehatan harus secara terintegrasi guna memelihara dan mengatasi permasalahan kompleks kesehatan.

Prinsip komprehensif dan terintegrasi sistem kesehatan perlu menjadi dasar kebijakan dan dasar strategi perencanaan di semua tingkatan mulai nasional, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah a) memformulasi dan dokumentasi kebijakan pembangunan kesehatan komprehensif dan terintegrasi, sosialisasi pendekatan tersebut kepada: jajaran pimpinan pemerintahan di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota; b) Sektor kesehatan di tingkat pusat, provinsi, kebupaten/kota dan kecamatan (Puskemas); c) Artikulasi pendekatan komprehensif ke dalam dokumen kebijakan (RPJMN, RPJMD dan Renstra); serta c) Pengembangan mekanisme kordinasi seluruh pemangku kepentingan terkait pada tingkat pusat (oleh Kementerian Koordinator/Bappenas), provinsi (Gubernur/Bappeda/Dinkes), dan kabupaten (Bupati/Walikota/Bappeda/Dinkes).

Penguatan Fungsi Kesehatan Masyarakat untuk Menerapkan Pendekatan Komprehensif

Pengertian fungsi kesehatan masyarakat pada saat ini lebih komprehensif dan kompleks, jika ingin mencapai tujuan SDGs 2 (gizi), SDGs 3 (kesehatan), SDGs 5 (kesetaraan gender, kesehatan reproduksi) dan SDGs 6 (air bersih dan sanitasi). Pelaksanaannya dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama: (1) intervensi langsung (mengobati tuberkulosis, HIV, malaria, dan gizi buruk; (2) intervensi tidak langsung untuk faktor-faktor penentu sensitif (merokok, polusi udara, bahan beracun, dan deteksi dini risiko kesehatan); serta (3) penguatan kapasitas SDM Kesehatan, penyediaan obat-obatan, vaksin, peralatan medis, akses ke layanan kesehatan, dan perlindungan risiko keuangan).

Gambar 4. Fungsi Kesehatan Masyarakat Esensial Komprehensif

Sumber: WHO, 2010 - dimodifikasi oleh Ascobat Gani, 2018

Rekomendasi kebijakan dan strategi untuk memperkuat fungsi-fungsi di atas (Gambar 4) didasarkan pada permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pembangunan kesehatan serta pendekatan yang komprehensif dan terpadu adalah sebagai berikut:

(1) Penguatan tata kelola (mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014)• Penguatan kordinasi di semua jenjang administratif, dengan kejelasan wewenang

dan fungsi unit yang melakukan koordinasi di tingkat pusat (Kementerian Koordinator Bidang PMK) dan daerah (Gubernur/Bappeda dan Bupati-Walikota/Bappeda

Page 35: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama • 5352 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

• Perumusan NSPK fungsi kesehatan masyarakat, sebagai pedoman teknis bagi provinsi dan kabupaten/Kota, puskesmas dan RS dalam melaksanakan fungsi kesehatan masyarakat

• Penguatan Dinas Kesehatan provinsi dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota, yang memiliki kewenangan dan fungsi untuk mengelola pembangunan kesehatan menyeluruh dan terpadu serta delapan fungsi kesehatan masyarakat

• Penguatan puskesmas, agar mampu mengoperasionalkan konsep pembinaan kesehatan wilayah secara komprehensif dan terpadu

• Penyusunan Sistem Kesehatan Provinsi (SKP) dan Sistem Kesehatan Daerah (SKD) kabupaten/kota, yang mengartikulasikan pembangunan kesehatan komprehensif didukung dengan fungsi kesehatan masyarakat yang dilaksanakan secara efektif dan efisien

• Peningkatan pembiayaan, untuk pelaksanaan fungsi kesehatan masyarakat di provinsi dan kabupaten/kota secara efektif dan efisien

(2) Penguatan SDM untuk fungsi kesehatan masyarakat• Memenuhi kebutuhan tenaga pelaksana fungsi kesehatan masyarakat yang

kompeten di Dinkes Provinsi, Dinkes Kabupaten/Kota, puskesmas dan RSUD agar kegiatan surveilans, promosi kesehatan, fungsi kesehatan lingkungan, gizi, pemeriksaan laboratorium, pengelolaan farmasi, serta manajemen data dan pelaporan yang didukung sistem informasi dan teknologi (IT) dilaksanakan sesuai standar.

(3) Penguatan sistem surveilans• Mengefektifkan pelaksanaan surveilans di puskesmas, RSUD, Dinkes kabupaten/

kota dan Dinkes provinsi dikoordinasikan oleh unit surveilans di tingkat pusat (Kementerian Kesehatan) didukung dengan updating pedoman surveilans, pelatihan tim surveilans, sistem informasi dan teknologi, fungsi Laboratorium Kesehatan Masyarakat (Labkesmas), dan kerjasama/sharing hasil antara Labkesmas dengan laboratorium kesehatan hewan.

(4) Penguatan penelitian dan analisis kebijakan• Melakukan penelitian untuk mengidentifikasi dan memperluas pemahaman

tentang determinan kesehatan yang strategis sebagai masukan untuk analisis kebijakan dan upaya memperkuat peran lintas sektor.

(5) Peningkatan kesiapan menghadapi bencana dan kegawatdaruratan• Meningkatkan kesiapan Dinkes provinsi melaksanakan SPM penanganan bencana

dan SPM gawat darurat kesehatan masyarakat/wabah.

(6) Penguatan perlindungan kesehatan• Memperkuat fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)• Memperluas dukungan Labkesmas dan laboratorium kesehatan hewan untuk

pemantauan kualitas lingkungan secara rutin• Memastikan konsistensi pelaksanaan Amdal• Meningkatkan program kesehatan dan keselamatan di tempat kerja

(7) Peningkatan kegiatan promosi kesehatan• Intensifikasi kegiatan promosi kesehatan oleh Dinkes provinsi, Dinkes kabupaten/

kota dan puskesmas serta sektor terkait dengan tujuan untuk mengadvokasi kebijakan sektoral berwawasan kesehatan, meningkatkan keterlibatan lintas sektor, dan mendorong perbaikan perilaku hidup sehat.

(8) Komunikasi dan peningkatan peran serta masyarakat• Diseminasi paradigma/konsep pembangunan kesehatan komprehensif yang

dilaksanakan secara terintegrasi• Diseminasi tentang fungsi kesehatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan

sehingga fungsi kesehatan masyarakat menjadi program kesehatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota

• Diseminasi dan pertukaran informasi tentang determinan kesehatan antarsektor agar lintas sektor melakukan intervensi sesuai determinan kesehatan

Selanjutnya, untuk memastikan peningkatan kapasitas teknis penerapan IHR di Indonesia, kegiatan seperti: (1) deteksi AMR, (2) surveilans infeksi yang disebabkan oleh patogen AMR, (3) respon terhadap potensi penyakit zoonosis, (4) integrasi dan analisis data surveilans secara real-time, (5) kesiapsiagaan - prioritas terhadap risiko kesehatan masyarakat dan sumber daya kesehatan, dan (6) operasi tanggap darurat sesuai prosedur dan rencana standar, perlu mendapatkan prioritas pada RPJMN periode berikut. Pelatihan tenaga kesehatan dalam menangani EID mulai dari mencegah, mendeteksi dan merespon sinyal yang tidak biasa dari EID juga harus ditingkatkan. Peningkatan koordinasi antara Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian PANRB mutlak diperlukan (64).

Untuk meningkatkan kesiapan menghadapi epidemi dan pandemi penyakit, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

(1) Menetapkan struktur organisasi yang bertanggung jawab menangani isu health security khususnya dalam meningkatkan kewaspadaan, melakukan deteksi dini, melakukan respon cepat, pencegahan serta melakukan koordinasi semua stakeholders lintas sektor

(2) Menyusun kerangka strategi nasional untuk memperkuat kesiapan menghadapi ancaman penyakit menular yang potensial menjadi epidemi/pandemi, yaitu dengan mereviu semua peraturan perundangan yang berlaku

(3) Memperkuat sistem surveilans termasuk surveilans penyakit infeksi pada hewan serta SDM kompeten yang melakukannya

(4) Mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dalam 5-10 tahun mendatang

(5) Mengembangkan kemampuan melakukan respons secara cepat terhadap ancaman epidemi/pandemi dengan melibatkan semua sektor terkait

Page 36: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama • 5554 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

(6) Meningkatkan kerja sama bilateral, regional dan multilateral

(7) Rencana aksi untuk mencegah resistensi mikrobial terhadap antibiotik (AMR)

(8) Memperkuat manajemen keamanan makanan

(9) Pemenuhan tim tenaga multidisiplin dalam menangani isu health security (a.l. peternakan, kesehatan masyarakat, transportasi, keamanan komoditas, pertahanan keamanan dll)

(10) Memperkuat kapasitas laboratorium untuk mendeteksi penyakit-penyakit menular tersebut

Tabel 12. Rekomendasi Target dan Aksi Prioritas Ketahanan Kesehatan

AreaArea Teknis dan

KoordinatorAksi-aksi Prioritas Indikator

MENCEGAH 1. Peraturan atau Undang-Undang

(Kemenkumham dan K/L terkait).

1. Mengkaji Undang-Undang dan kebijakan yang ada di K/L terkait.

2. Menganalisis kebutuhan akan kebijakan baru dan memastikan adanya koordinasi.

Kebijakan atau peraturan/Undang-Undang baru untuk koordinasi yang efektif antarsektor dan antarnegara yang diterbitkan.

(menjadi dasar untuk Kerangka Strategis Nasional untuk Kesiapsiagaan dan Respon terhadap EID)

2. Mekanisme fungsional untuk berkoordinasi dalam melaksanakan surveilans secara real-time, analisis risiko, dan mitigasi

(Kemenko PMK, Kemenkeu, Kementan, Kemen-LHK, KKP, Kemendagri, K/L terkait)

1. Meningkatkan kapasitas personil untuk memperbaiki kualitas surveilans secara real-time.

2. Meningkatkan kapasitas personil untuk melaksanakan surveilans secara real-time.

3. Meningkatkan supervisi cakupan imunisasi dan ketersediaan vaksin.

4. Surveilans infeksi akibat patogen AMR.

5. Menentukan langkah-langkah pengendalian dan mekanisme jenis kegawatdaruratan.

1. Ketersediaan sistem surveilans yang terintegrasi, efisien dan berkelanjutan

2. Ketersediaan peta potensi kejadian wabah/daerah darurat kesehatan masyarakat.

3. Ketersediaan kompetensi khusus (uraian tugas) yang sesuai dengan standar nasional yang diperlukan untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja penanggung jawab program.

4. Vaksinasi tepat waktu bagi manusia dan binatang menjadi norma dalam masyarakat.

5. Kampanye multisektor yang terus menerus untuk mempromosikan IHR dan mencegah EID

Page 37: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama • 5756 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

AreaArea Teknis dan

KoordinatorAksi-aksi Prioritas Indikator

3. Penelitian dan pengembangan diikuti dengan publikasi dan diseminasi informasi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang AMR, EID serta keamanan publik.

(Kemenristekdikti)

Meningkatkan kegiatan riset, komunikasi, pusat dan jejaring laboratorium rujukan untuk mendukung pencegahan, deteksi dan tanggapan pada wabah wabah AMR, EID, pendemi global, serta kegawatdaruratan nuklir, biologi dan kima.

1. Pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang terintegrasi.

2. Pembentukan kapasitas dan jejaring laboratorium nasional.

3. Peningkatan pengetahuan masyarakat akan AMR, EID dan isu-isu keamanan masyarakat.

4. Partisipasi masyarakat yang berkelanjutan dalam menyebarkan informasi untuk meningkatkan kesadaran.

4. Kesiapsiagaan

(BNPB, Kementan, Kemenkes, Kemendagri, Kemenkumham)

1. Meningkatkan keahlian personil untuk meminimalisir penularan penyakit zoonosis.

2. Mengawasi analisis laporan tentang identifikasi lima penyakit zoonosis terbesar yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat.

1. Ketersediaan panduan tentang sistem surveilans zoonosis.

2. Ketersediaan kompetensi khusus (uraian tugas) sesuai dengan standar nasional yang diperlukan untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja penanggung jawab program pengendalian potensi wabah pada hewan dan manusia dan juga pada keadaan darurat nuklir, biologis, dan kimia.

AreaArea Teknis dan

KoordinatorAksi-aksi Prioritas Indikator

3. Mengkoordinasikan dan mengkomunikasikan hasil analisis data surveilans pada manusia dan hewan, dan melaporkan infeksi zoonosis dan juga kejadian darurat nuklir, biologis, dan kimia (sebagaimana dipersyaratkan oleh IHR (2005)).

3. Ketersediaan kapasitas tenaga kerja di sektor hewan dalam sistem kesehatan masyarakat termasuk di tingkat daerah untuk mencegah dan mendeteksi penyakit/patogen zoonosis.

4. Ketersediaan sistem pelaporan yang aktif dan berkelanjutan.

5. Ketersediaan dan adanya komunikasi tepat waktu atau pertukaran informasi sistematis antara sektor hewan, satwa liar, dan kesehatan manusia dan juga, darurat nuklir, biologis, dan kimia.

5. Peningkatan dan penguatan kerjasama bilateral, regional dan multilateral

(Kemendagri, Kemenlu, K/L terkait, Kemenkumham)

Mengkaji laporan akhir WHO tentang pertimbangan etis dan protokol awal munculnya pandemi untuk kerja sama multilateral epidemi EID yang muncul.

1. Pembentukan kerangka kerja bilateral, regional dan multiregional.

2. Ketersediaan definisi dari norma-norma yang muncul di bidang hukum, etik dan operasional untuk pencegahan dan pengelolaan wabah serta darurat kesehatan masyarakat lainnya.

6. Pencegahan dan pengendalian resistensi AMR (Kemenkes, Kementan, KKP, dan penegakan hukum)

Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional dalam pencegahan AMR (Pendekatan OneHealth).

Rencana Aksi Nasional tentang Resistensi Antimikroba (AMR) secara komprehensif dan terpadu.

7. Meningkatkan Keamanan Pangan

(Kementan, Kemenkes, dan penegakan hukum)

Memperkuat Sistem Keamanan Pangan Nasional.

Pembentukan sistem untuk memastikan kecepatan respon keadaan darurat penyakit bawaan makanan.

Page 38: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

5. Arah Kebijakan dan Kegiatan-Kegiatan Utama • 5958 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

AreaArea Teknis dan

KoordinatorAksi-aksi Prioritas Indikator

MENDETEKSI 1. Sistem Peringatan Dini

(Seluruh K/L terkait)

1. Mengembangkan sistem peringatan dini terpadu yang sesuai dengan keamanan kesehatan masyarakat yang lebih luas.

2. Verifikasi dan analisis data lintas sektor tentang penyakit, darurat nuklir, biologi dan kimia.

3. Mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan analisis risiko yang cepat.

1. Pembentukan sistem peringatan dini yang terintegrasi.

2. Peningkatan partisipasi masyarakat, organisasi non pemerintah dan masyarakat.

3. Melaporkan kepada publik jumlah penyakit yang dideteksi dini dari potensi darurat kesehatan masyarakat di pelabuhan/pintu masuk melalui diagnostik cepat terhadap potensi darurat wabah, nuklir, peristiwa biologi dan kimia.

4. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya pengawasan dan pelaporan wabah EID, epidemi, nuklir, biologi, dan kimia.

2. Investigasi melalui Sistem Laboratorium Nasional

1. Membangun laboratorium uji untuk mendeteksi penyakit-penyakit prioritas.

2. Menetapkan rujukan spesimen dan sistem transportasi.

3. Menetapkan titik perawatan dan diagnosis berbasis lab (untuk penyakit prioritas pada manusia, hewan, lingkungan).

1. Ketersediaan kompetensi khusus (uraian tugas) yang sesuai dengan standar nasional yang diperlukan untuk merekrut dan mengevaluasi kinerja penanggung jawab program.

2. Ketersediaan laporan investigasi terpadu tentang sumber, penyebab, dan cara penularan penyakit.

3. Mewajibkan semua laboratorium kesehatan dan hewan memiliki lisensi dan memenuhi standar nasional.

4. Ketersediaan data dan informasi lintas sektor secara terpadu.

AreaArea Teknis dan

KoordinatorAksi-aksi Prioritas Indikator

3. Surveilans Real Time

1. Menetapkan indikator dan sistem surveilans berbasis kejadian.

2. Menetapkan sistem pelaporan real-time elektronik.

3. Membentuk tenaga ahli dan tim untuk menganalisa dan melaporkan data.

4. Membentuk tim untuk penilaian risiko dan sistem pengawasan sindromik untuk mendeteksi keadaan darurat kesehatan masyarakat.

1. Pelaksanaan surveilans terpadu terhadap rencana kerja One Health untuk mengurangi wabah sesuai dengan standar praktik (WHO).

2. Ketersediaan sistem pelaporan elektronik real-time yang terkoneksi antara surveilans kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan.

3. Ketersediaan data prevalensi dan peta distribusi penyakit.

4. Ketersediaan data surveilans yang mampu mendeteksi kejadian penting untuk kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan keamanan kesehatan.

Page 39: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • 6160 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

AreaArea Teknis dan

KoordinatorAksi-aksi Prioritas Indikator

MERESPON 1. Menghubungkan kesehatan masyarakat, keamanan publik, dan darurat kesehatan masyarakat.

2. (Kemendagri, K/L terkait, Kemenkumham, Penegakan Hukum)

1. Menetapkan MoU atau kerangka kerja lain yang memungkinkan respon cepat, multisektoral, termasuk hubungan antara kesehatan masyarakat dan penegakan hukum.

2. Menetapkan MoU untuk menyediakan dan/atau meminta bantuan internasional yang efektif dan tepat waktu.

3. Membentuk Emergency Operation Center (EOC) dan staf khusus EOC yang dapat diaktifkan dalam waktu 120 menit.

4. Melakukan latihan atau simulasi formal untuk menunjukkan kapasitas kesiapan dan tanggap darurat kesehatan masyarakat nasional yang memenuhi persyaratan kapasitas inti IHR.

1. Ketersediaan perencanaan tanggap darurat kesehatan masyarakat nasional.

2. Ketersediaan kapasitas untuk menanggapi keadaan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian nasional dan internasional.

3. Ketersediaan peta sumber daya nasional (logistik, ahli, pendanaan) dan rencana pengelolaan dan distribusi stok nasional.

4. Ketersediaan prosedur, strategi, dan sumber daya untuk menanggapi prioritas peristiwa biologis, kimia, dan radiologi serta keadaan darurat lainnya.

5. Ketersediaan titik kontak EOC 24/7 dan tim yang terlatih untuk memandu respon.

6. Ketersediaan NSPK untuk manajemen kasus, rujukan pasien, transportasi, dan manajemen dan transportasi pasien yang berpotensi menular.

7. Ketersediaan strategi komunikasi risiko

Sumber: WHO, IHR (2005) Kerangka Kerja Monitor dan Evaluasi. Gabungan Alat Evaluasi Eksternal: Peraturan-peraturan Kesehatan Internasional (2005). Jenewa: WHO; 2016 (80)

Page 40: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • 6362 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

REFERENSI

1. World Bank. World Development Report 1993: Investing in Health. World Bank; 1993.

2. WHO. Saitama Declaration: Mainstreaming Health in Development Policy. Geneva: World Health Organization; 1991.

3. WHO. World Health Report 2002: Reducing Risk, Promoting Healthy Life. Geneva: World Health Organization; 2002.

4. WHO. Social Determinants of Health. Geneva: World Health Organization; 2008.

5. United Nations. Rio de Janeiro Conference on Health in All Policy (Hi-AP). Rio De Janeiro: United Nations; 2011.

6. Gostin LO, Katz R. The International Health Regulations: the governing framework for Global Health Security. Millbank Q. 2016;94(2):264–31.

7. WHO. H5N1 avian influenza: timeline of major events [Internet]. 25 Jan 2012. 2012 [cited 2018 Oct 27]. Available from: http://www.who.int/influenza/human_animal_interface/H5N1_avian_influenza_update.pdf

8. WHO. Strengthening health security by implementing the International Health Regulations (2005) [Internet]. February 14, 2018. 2018 [cited 2018 Jul 6]. Available from: http://www.who.int/ihr/en/

9. Pan American Health Organization, WHO. The Essential Public Health Functions as a strategy for improving overall health systems performance: Trends and challenges since the Pubic Health in the Americas Initiative, 2000-2007. Washington, DC; 2008.

10. WHO Regional Office for the Western Pacific. Essential Public Health Functions: A three-country study in the Western Pacific Region. Manila, Philippines; 2003.

11. WHO Regional Offices for South-East Asia and the Western Pacific. Public health functions. In: Health in Asia and the Pacific. Manila, Philippines; 2008.

12. Institute of Medicine. The Future of Public Health. 10 Essential Public Health Services. Core Public Health Functions Steering Committee; 1994.

13. CDC Atlanta. The Epidemiological triad of causal factors. Atlanta: Center of Diseases and Control; 1978.

14. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.

15. Kementerian Kesehatan RI. Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.

16. Nat. Research Council, Indonesian Academy of Sciences, Policy and Global Affairs, Development S and C, Joint Committee on Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia. Reducing Maternal and Neonatal Mortality in Indonesia: Saving Lives, Saving the Future. Washington, DC: The National Academies Press; 2013.

17. Heywood P, Choi Y. Health system performance at the district level in Indonesia after decentralization. BMC Int Health Hum Rights. 2010;1–12.

18. Longbottom H. Emerging infectious diseases. Commun Dis Intell. 1997;21(7):89–94.

19. Osterholm MT. Global Health Security: An unfinished journey. Emerg Infect Dis. 2017;23.

20. WHO. Cumulative Number of Reported Probable Cases of Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). 2004.

21. Moeloek NF. Indonesia national health policy in the transition of disease burden and health insurance coverage. Med J Indones. 2017;26(1):1–4.

22. Degeling et al. Implementing a One Health approach to emerging infectious disease: reflections on the socio-political, ethical and legal dimensions. BMC Public Health. 2015;13:1307.

23. Morens DM, Fauci AS. Emerging Infectious Diseases: Threats to Human Health and Global Stability. PLoS Pathog. 2013;9(7):e1003-467.

24. Center for Disease Control and Prevention. Avian flu [Internet]. April 19, 2017. 2017 [cited 2018 Jul 7]. Available from: https://www.cdc.gov/flu/avianflu/influenza-a-virus-subtypes.htm

25. Center for Disease Control and Prevention. Zoonosis diseases [Internet]. July 14, 2017. 2017. Available from: https://www.cdc.gov/onehealth/basics/zoonotic-diseases.html

26. Khawaja KN. International Health Regulations and GHSA Guiding Principles for Their Adoption [Internet]. 2018 [cited 2018 Jul 7]. Available from: http://www.hsa.edu.pk/wp-content/uploads/ International-Health-Regulations-and-GHSA-Guiding-Principles-for-Their-Adoption.pdf

27. Plianbangchang S. Working Together for Health Security Agenda for the Next Decade. Chiang Mai: International Conference “Working together for Health Security”; 2012.

28. The World Bank. Pandemic Emergency Financing Facility: Frequently Asked Questions [Internet]. May 09, 2017. 2017 [cited 2018 Jun 21]. Available from: http://www.worldbank.org/en/topic/pandemics/brief/pandemic-emergency-facility-frequently-asked-questions

29. Dahl B. Real time Surveillance. PowerPoint slides presented in the GHSA Action Package Coordination Meeting; 2016.

30. WHO. Joint external evaluation tool: International Health Regulations (2005). Geneva: World Health Organization; 2016.

31. WHO. Joint External Evaluation of IHR Core Capacities of Republic of Indonesia Mission Report: 20-24 November 2017. Geneva: World Health Organization; 2018.

32. Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Pertanian, Kementerian Perikanan, Kementerian Pertahanan RI, Kementerian Keuangan RI. National Action Plan Antimicrobial Resistance Indonesia 2017 - 2019. Jakarta; 2017.

Page 41: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Kajian Sektor Kesehatan • 6564 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

33. WHO. Antimicrobial resistance [Internet]. February 15, 2018. 2018 [cited 2018 Jul 3]. Available from: http://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/antimicrobial-resistance

34. Farida H, Severin JA, Gasem MH, Keuter M, Wahyono H, van den Broek P, et al. Nasopharyngeal Carriage of Streptococcus pneumonia in Pneumonia-Prone Age Groups in Semarang, Java Island, Indonesia. PLoS One. 2014;9(1).

35. Soewignjo S, Gessner B, Sutanto A, Steinhoff M, Prijanto M, et al. Streptococcus pneumoniae Nasopharyngeal Carriage Prevalence, Serotype Distribution, and Resistance Patterns among Children on Lombok Island, Indonesia. Clin Infect Dis. 2001;32(7):1039–43.

36. Greenberg D, Speert DP, Mahentrhiralingam E, Henry DA, et al. Emergence of Penicillin-Nonsusceptible Streptococcus pneumoniae Invasive Clones in Canada. J Clin Microbiol. 2002;40(1):68–74.

37. Espedido B, Gosbell IB. Chromosomal mutations involved in antibiotic resistance in Staphylococcus aureus. Front Biosci. 2012;1(4):900–15.

38. FAO. Antimicrobial Resistance. 2018.

39. Parathon H, Kuntaman K, Widiastoety T, et al. Antimicrobial Resistance in South East Asia: Progress towards antimicrobial resistance containment and control in Indonesia. BMJ. 2017;358.

40. World Bank. People, Pathogens and Our Plant. Washington, DC: World Bank; 2010.

41. Ministry of Health Republic of Indonesia. Situasi Rabies di Indonesia. Jakarta; 2017.

42. Center for Disease Control and Prevention. Highly Pathogenic Asian Avian Influenza A (H5N1) in People [Internet]. March 18, 2015. 2015 [cited 2018 Jul 21]. Available from: https://www.cdc.gov/flu/avianflu/h5n1-people.htm

43. FAO. Emergency Centre for Transboundary Animal Diseases (ECTAD) Indonesia Protecting lives and livelihoods Annual Report 2016 FAO. Jakarta, Indonesia: FAO; 2017.

44. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2015. Jakarta; 2016.

45. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta; 2017.

46. Kementerian Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Jakarta; 2018.

47. Ministry of Health Republic of Indonesia. Meski Belum Ada Laporan, Kemenkes Tetap Waspadai Leptospirosis Pasca Banjir [Internet]. February 13, 2015. 2015 [cited 2018 Jul 8]. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/15022400001/meski-belum-ada-laporan-kemenkes-tetap-waspadai-leptospirosis-pasca-banjir.html

48. Novita R, Hananto M, Sembiring M, Noor S, Kambang S, Lilian, et al. Seroprevalensi dan ancaman Brucella abortus pada pekerja peternakan sapi perah kecamatan Cilawu, Garut. J Kesehat Reproduksi. 2016;7(3):211–6.

49. The Australian Government Department of Agriculture and Water. Australia Indonesia Partnership for Emerging Infectious Diseases: Achievements of the AIP-EID Animal Health Program 2011-2015. Camberra; 2016.

50. WHO. Food Safety [Internet]. October 31, 2017. 2017 [cited 2018 Jul 8]. Available from: http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/food-safety

51. Fukuda K. Food safety in a globalized world. Bull World Health Organ. 2015;93:212.

52. ASEAN secretariat. ASEAN food safety policy. Jakarta; 2016.

53. Arisanti R, Indriani D, Wilopo SA. Kontribusi agen dan faktor penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia: kajian sistematis. BKM J community Med Public Heal. 2018;34(4):99–106.

54. US FDA. Oasis Refusals by Country 2016. New Hampshire Avenue; 2016.

55. Japan International Cooperation Agency. Preparatory Survey Report on the Project for Strengthening the National Laboratory for COntrolling the Highly Pathogenic Avian Influenza and Other Emerging and Re-emerging Infectious Diseases in the Republic of Indonesia. 2013.

56. World Health Organization. WHO Emerging and Dangerous Pathogens Laboratory Network (EDPLN) [Internet]. 2018. 2018 [cited 2018 Jul 16]. Available from: http://www.who.int/csr/bioriskreduction/laboratorynetwork/en/

57. WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017. New Delhi; 2017.

58. WHO. WHO-recommended standards for surveillance of selected vaccine-preventable diseases. Geneva; 2008.

59. BPS, BKKBN, Kementerian Kesehatan, ICF International. Indonesia Demographic and Health Survey 2012. Jakarta, Indonesia: BPS, BKKBN, Kemenkes, and ICF International; 2013.

60. World Bank- DSF. Guideline Status Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria untuk Pelayanan Pemerintah Daerah. Jakarta: World Bank and Center for Economic and Public Policy Study Universitas Gadjah Mada (CEPPS-UGM);

61. WHO. Monitoring the building blocks of health systems: a handbook of indicators and their measurement strategies. Geneva; 2010.

62. CDC. Global Health - Indonesia [Internet]. May 12, 2016. 2016 [cited 2018 Jun 30]. Available from: https://www.cdc.gov/globalhealth/countries/Indonesia/

63. WHO, FAO, OIE, WAHO et al. Report on One Health Technical and Ministerial: Meeting to Address Zoonotic Diseases and related public health threats. Dakar; 2016.

64. Chatham House. Global Health Security Summary Enhancing Global Security: Multi-Sectoral Approaches to Mitigating Infectious Disease Threats. London, UK: Chatham House;

Page 42: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

66 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT

(Public health functions) dAN health security

K A J I A N S E K T O R K E S E H ATA N

lAMPIRAN

65. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia (Health Profile Indonesia) 2016. Jakarta: Ministry of Health Indonesia; 2017.

66. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2018.

67. National Drug and Food Control Agency. Annual Report 2014. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); 2015.

68. National Drug and Food Control Agency. Annual Report 2015. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); 2016.

69. National Drug and Food Control Agency. Annual Report 2016. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM); 2017.

70. Ministry of Health Republic of Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia (Health Profile Indonesia) 2015. Jakarta: Ministry of Health Indonesia; 2016.

71. National Institute of Health Research and Development Ministry of Health RI. National Health Survey 2007. Jakarta: Ministry of Health; 2008.

72. National Institute of Health Research and Development Ministry of Health RI. National Health Survey 2010. Jakarta: Ministry of Health; 2011.

73. BPS. Welfare statistics 2008. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2008.

74. BPS. Welfare statistics 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2013.

75. BPS. Welfare statistics 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2014.

76. BPS. Welfare statistics 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2015.

77. BPS. Welfare statistics 2016. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2016.

78. BPS. Welfare statistics 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik Indonesia; 2017.

79. BPS, BKKBN N-M. Indonesia Demographic and Health Survey 2017: Key Indicator Report. Jakarta: BPS; 2018. 25 p.

Page 43: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

68 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 69

L a m p i r a n 1

Ringkasan Isu Strategis dan Rekomendasi Kebijakan Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIjAKAN INDIKATOR/TARGET

Program kesehatan parsial dan terfragmentasi

• Pembangunan kesehatan memerlukan intervensi komprehensif yang terdiri dari UKM, UKP, DSK dan PSK

• Namun dalam praktik UKP cenderung diutamakan, intervensi lain termarginalisasi khususnya UKM dan DSK

• Pendekatan komprehensif menjadi komitmen semua stakeholder kesehatan, terutama sector pemerintah dari semua jenjang: pusat, provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan.

• Meningkatkan analisis determinan sosial kesehatan untuk kebijakan intervensi terhadap DSK

• Pendekatan komprehensif menjadi kebijakan dalam RPJMN, RJPMD dan Renstra Kesehatan

• Informasi tentang faktor-faktor diluar sektor kesehatan yang perlu di-intervensi

Dampak melemahnya UKM

• Indikator kinerja UKM (AKI, AKB, CPR KB, TFR, anemia bumil, CDR-TB, cakupan imunisasi) tidak membaik secara signifikan, bahkan ada yang menurun (2013-2017)

• Lemahnya UKM bisa menyebabkan deteksi dan pengobatan dini PTM tidak efektif

• Beban sosial dan ekonomi akibat PTM menjadi bertambah besar

• Penguatan UKM: kecukupan SDM dan pembiayan untuk UKM

• Penguatan kompetensi Dinkes merencanakan dan monev program-program UKM (seperti SPM, PISPK dan program prioritas lain: malaria, gizi, DBD, dll)

• Puskesmas memiliki tenaga UKM sesuai standar (tenaga kesmas, sanitarian, gizi, lab-medis)

• Kecukupan angaran BOK sesuai kebutuhan dan tepat waktu

• Dinkes menyusun rencana dan anggaran UKM berbasis kinerja

Fragmentasi penguatan sistem kesehatan

• Penguatan sistem tersebut cenderung terfragmentasi (misal pembangunan fasyankes terpisah dari SDMK, terpisah dari obat/alkes, dll

• Akibatnya terjadi inefisiensi teknis dalam sistem kesehatan

• Integrasi penguatan elemen-elemen sistem kesehatan (dilihat hubungannya satu dengan lain (WHO, Health System Building Blocks)

• Misalnya untuk penguatan puskesmas di DTPK, bantuan SDM harus satu paket dengan bantuan obat/alkes dan pembiayaan

Penguatan elemen-elemen sistem kesehatan dalam satu paket terintegrasi

ISU STRATEGIS REKOMENDASI KEBIjAKAN INDIKATOR/TARGET

Ancaman epidemi dan pandemi Penyakit Infeksi Emerging

• Epidemi/pandemi PIE menyebabkan kerugian kerugian besar di banyak sektor (pertanian/peternakan, transportasi, pariwisata, transportasi, perhotelan, perdagangan, hankam)

• Indonesia rentan terhadap ancaman PIE tersebut

Kesiapan menghadapi ancaman PIE menjadi prioritas nasional, propinsi dan kabupaten

Kesiapaan meghadapi PIE terartikulasi dalam RPJMN, RPJMD dan Renstra Kesehatan nasional, provinsi, daerah

Kesiapan menghadapi Ancaman PIE

• Penanganan PIE memerlukan keterlibatan banyak sektor, namun belum jelas struktur dalam organisasi pemerintah yang tepat untuk melakukan koordinasi penanganan PIE

• Lemahnya kemampuan surveilans dan dukungan laboratorium sangat esensial menghadapi PIE

• Penetapan unit organisi pemerintah yang mengkordiir sektor-sektor terkait menghadapi ancaman PIE

• Penguatan sistem surveilans sesuai peraturan (oleh puskesmas, RSUD, Dinkes Kab/Kota/Propinsi dan pusat)

• Dukungan laboratorim kesehatan, peternakan, hankam, dll

• Penetapanunitorganisasi/Lembaga pemerintah untuk menjadi “focal point” mengkordinir penangan ancaman PIE

• Surveilansdilakukansecara rutin oleh unit terkait

• Kemampuanlaboratorium melakukan konfirmasi PIE

Penguatan PH-functions

• PH-functions yang kuat diperlukan untuk menghadapi berbagai masalah kesehatan: PM, ancaman PIE, PTM, KIA dan gizi

• Delapan “PH-functions” masing-masing sudah didukung dengan regulasi, namun banyak yang belum dijabarkan sampai menjadi NSPK

Penguatan “PH-functions secara lengkap terdiri dari (i) surveilans, (ii) kesiapan hadapi wabah/KLB, (iii) perlindungan kesehatan, (iv) promkes & pencegahan, (v) tata kelola sistem kesehatan, (vi) SDMK, (vii) KIE & mobilisasi sosial dan (viii) penelitan PH

• AdanyaNSPKregulasiyang mengatur 8 fungsi kesehatan masyarakat

• PH-functions berfungsi di tingkat pusat, provinsi, kab/kota

Keterangan:UKM = Upaya Kesehatan Masyarakat; UKP = Upaya Kesehatan Perorangan; DSK = Determinan Sosial Kesehatan; PSK = Pengelolaan/Penguatan Sistem Kesehatan; PIE = Penyakit Infeksi Emerging (a.l Ebola, MERS, Avian flu, Zika, Anthrax, dll)

Page 44: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

70 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 71

L a m p i r a n 2 L a m p i r a n 3

Deskripsi dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Goal 3

Target 3.1 – 3.9, 3.a – 3.c

Target SDGs # 3 pada tahun 2030 terdiri dari:

• Target 3.1 untuk mengurangi rasio kematian ibu secara global hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup;

• Target 3.2 untuk mengakhiri kematian yang dapat dicegah pada bayi baru lahir dan anak-anak di bawah usia 5 tahun, dengan semua negara yang bertujuan untuk mengurangi kematian neonatal hingga setidaknya 12 per 1.000 kelahiran hidup dan kematian di bawah 5 tahun hingga setidaknya 25 per 1.000 hidup kelahiran;

• Target 3.3 untuk mengakhiri epidemi AIDS, tuberkulosis, malaria dan penyakit tropis yang terabaikan dan memerangi hepatitis, penyakit yang terbawa air dan penyakit menular lainnya;

• Target 3.4 untuk mengurangi hingga sepertiga kematian prematur dari penyakit tidak menular melalui pencegahan dan pengobatan dan meningkatkan kesehatan mental dan kesejahteraan;

• Target 3.5 untuk memperkuat pencegahan dan pengobatan penyalahgunaan zat, termasuk penyalahgunaan narkoba narkotika dan penggunaan alkohol yang berbahaya;

• Target 3.6 untuk mengurangi separuhnya jumlah kematian global dan cedera dari kecelakaan lalu lintas jalan;

• Target 3.7 untuk memastikan akses universal ke layanan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk untuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional;

• Target 3.8 untuk mencapai cakupan kesehatan universal, termasuk perlindungan risiko keuangan, akses ke layanan perawatan kesehatan esensial berkualitas dan akses ke obat esensial dan vaksin yang aman, efektif, berkualitas dan terjangkau untuk semua;

• Target 3.9 untuk secara substansial mengurangi jumlah kematian dan penyakit dari bahan kimia berbahaya dan polusi udara, air dan tanah serta kontaminasi; - Target 3.a untuk memperkuat pelaksanaan Konvensi Kerangka WHO tentang

Pengendalian Tembakau di semua negara, sebagaimana mestinya; - Target 3.b untuk mendukung penelitian dan pengembangan vaksin dan obat-obatan

untuk penyakit menular (CD) dan penyakit tidak menular (NCD), menyediakan akses ke obat-obatan esensial yang terjangkau dan vaksin, sesuai dengan Deklarasi Doha tentang Perjanjian TRIPS dan Kesehatan Masyarakat yang menegaskan hak negara berkembang untuk menggunakan secara penuh ketentuan dalam Perjanjian tentang Aspek Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual terkait fleksibilitas untuk melindungi kesehatan masyarakat, dan, khususnya, menyediakan akses ke obat-obatan untuk semua; dan

- Target 3.c untuk secara substansial meningkatkan pembiayaan kesehatan dan perekrutan, pengembangan, pelatihan, dan retensi tenaga kerja kesehatan di negara-negara berkembang, terutama di negara-negara terbelakang dan pulau-pulau kecil di negara berkembang.

Penyakit Zoonosis

Tabel 13. Insiden dan Angka Kematian Kasus (CFR) Penyakit Zoonosis di Indonesia, 2009-2017

Penyakit (ICD XI)Virus/Bakteri

IndikatorTahun

2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Rabies(1C82) rabies virus

Jumlah Kasus

195 206 184 137 119 81 118 86 90

CFR (%) 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Bird Flu (XN4TT) avian influenza virus

Jumlah Kasus

9 12 9 3 3 2 2 - 1

CFR (%) 77,8 83,3 100 100 100 100 100 - 100

Anthrax(1B97) bacillus anthracis

Jumlah Kasus

17 31 41 22 11 48 3 52 -

CFR (%) 11,8 3,2 0 0 9,1 6,3 0 0 -

Leptospirosis (1B91) leptospira spp bacteria

Jumlah Kasus

335 857 239 640 550 366 833 640

CFR (%) 6,8 9,5 12,1 9,3 11,2 17,7 7,4 16,8

Dengue Fever(1D21) dengue virus

Incidence Rate1 - 65,7 27,6 37,2 45,8 39,8 50,7 78,8 22,5

Brucellosis(1B95) bacteria brucella

Prevalence Rate - - - - - - - 7,02 -

1 IR: Incidence Rate per 100,000 populasi adalah ukuran frekuensi terjadinya suatu penyakit dalam suatu populasi selama periode waktu tertentu.Sumber: Kemenkes-Pusdatin. Profil Kesehatan Indonesia 2016 and 2017 (65)(66)

Page 45: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

72 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 73

L a m p i r a n 4 L a m p i r a n 5

Penyakit Tular Makanan

Tabel 14. Profil KlB Penyakit Tular Makanan, 2014-2016

Tahun KlB Terekspos Sakit (n=7.487) Meninggal CFR1 (%) IR2 (%) AR3 (%)

2014 Nd 4.440 1.885 10 0,53 0,8 42,5

2015 66 8.263 2.251 3 0,63 0,95 42,5

2016 98 5.673 3.351 7 0,21 1,41 59,19

1 Case Fatality Rate (CFR): jumlah kematian dibagi dengan total kasus selama periode KLB dikalikan 100%2 Incident Rate (IR): jumlah kasus dibagi dengan total populasi dikalikan 100.0003 Attack Rate (AR): jumlah kasus selama periode KLB dibagi dengan jumlah orang yang mengkonsumsi makanan dikalikan 100%Sumber: BPOM. Laporan Tahunan 2014-2016 (67)(68)(69)

Tabel 15 Penyebab KlB Penyakit Tular Makanan, 2014-2016

Penyebab 2014 (%) 2015 (%) 2016 (%)

Mikroba (terkonfirmasi) 14,89 1,64 3,33

Mikroba (suspek) 51,06 42,62 43,33

Kimia (terkonfirmasi) 0 0 1,67

Kimia (suspek) 17,02 11,48 21,67

Tidak Diketahui 17,02 44,26 30

Sumber: BPOM. Laporan Tahunan 2014-2016 (67)(68)(69)

Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi

Tabel 16. KlB Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi yang Dilaporkan dan CFR, 2015 and 2016

Penyakit (Kode ICD XI)(virus/bakteri)

KlB(frekuensi dan total kasus)

Tahun

2015 2016

Campak (1F03) (morbillivirus)

Frekuensi KLB 68 129

Jumlah total kasus 831 1.511

CFR (%) 0,12 0,06

Chikungunya (1D40) (chikungunya virus)

Frekuensi KLB - -

Jumlah total kasus 2.282 1.702

CFR (%) 0 0

Diphtheria (IC17) (Corynebacterium diphtheriae)

Frekuensi KLB - -

Jumlah total kasus 252 415

CFR (%) 1,98 5,8

Chikungunya: Fase II uji coba vaksin menggunakan virus hidup dan yang dilemahkan, dapat membentuk imunitas virus pada 98% orang yang diuji setelah 28 hari (85% masih menunjukkan imunitas setelah satu tahun) Case Fatality Rates (CFR): proporsi kematian dalam populasi yang terkena penyakit selama perjalanan penyakit.Sumber: Kemenkes – Pusdatin. Profil kesehatan Indonesia, 2015 - 2016 (70)(65)

Tabel 17. Cakupan Imunisasi Dasar (%) di Indonesia, 2008-2017

Vaksin 2007a 2008b 2010a 2013b 2014b 2015b 2016b 2017b

BCG1 86,9 90 77,9 93,1 93,5 92,5 90 89,1

DTaP2 67,7 86,09 61,9 90,3 90,7 85,7 84,8 83,7

Polio 71 87,2 66,7 90,2 90,8 93,9 90,5 88,8

Campak 81,6 75,4 74,4 78,1 78,6 77,4 72,7 70,6

Hepatitis B - 82,1 61,9 86,5 87,6 81,5 84,3 81,5

Imunisasi Dasar Lengkap3 41,6 nd 53,9 71,7 74,3 24,6 59,9 44,1

1 BCG = Bacillus Calmette Guerin2 DTaP = Diphtheria-Tetanus-Pertussis3 lengkap untuk BCG, DTaP 1-3, Polio and MeaslesCatatan: Anak dengan status imunisasi tidak lengkap tidak terlindungi dari infeksi virus dan bakteri Sumber:a Badan Litbangkes Kemenkes. Riskesdas 2007 dan 2010 (anak 12-23 bulan) (71)(72)b Badan Pusat Statistik. Susenas 2008, 2013- 2017 (anak balita) (73)(74)(75)(76)(77)(78)

Page 46: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

74 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 75

L a m p i r a n 5

Tabel 18. Cakupan Imunisasi pada Anak Usia 12-23 Bulan (%) di Indonesia, 2002/3-2017

Vaksin 2002/3 2007 2012 2017

BCG 83 85 89 91

DPT-3 58 67 72 77

Polio-3 66 74 76 83

Campak 72 76 80 87

Hepatitis B - - - -

Imunisasi Dasar Lengkap3 52 59 66 70

Sumber: BPS, BKKBN, Badan Litbangkes Kemenkes. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017: Laporan Indikator Utama. Jakarta: BPS; Feb. 2018. p.25 (79).

Gambar 5. Cakupan Imunisasi Nasional, 1980-2016

1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2014 2015 2016

BCG 61 65 74 77 81 86 88 82 80 81

DPT3 27 60 69 75 72 81 78 78 79

OPV 13 60 71 72 79 82 80 80 80

MNV1 26 58 63 76 77 78 75 75 76

0102030405060708090

100

perc

enta

ge c

over

age

Sumber: WHO and UNICEF estimates of national immunization coverage, July 2017 revision in WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

Gambar 6. Cakupan DTP31, Kasus Difteri dan Pertusis2, 1980–2016

1 WHO and UNICEF estimates of national immunization coverage, July 2017 revision2 WHO vaccine-preventable diseases: monitoring system 2016

Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

Gambar 7. Cakupan DTP-Hib-HepB3 berdasarkan Provinsi, 2016

* DTP = Diphtheria-Tetanus-Pertussis Hib = Haemophilus Influenzae type B HepB3 = Hepatitis-B 3rd

Sumber: SEAR Annual EPI Report, 2016, in WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

Page 47: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

76 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 77

Gambar 8. Cakupan TT2+1 dan Kasus NT2, 1980–2016

1 Country official estimates, 1980-20152 WHO vaccine-preventable diseases: monitoring system 2016

TT2+ = Tetanus toxoid NT = Northern territorySumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2016

Gambar 9. Angka Acute Flaccid Paralysis (AFP) Non-polio per Provinsi, 2016

Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2017

L a m p i r a n 5

Tabel 19. Indikator Kinerja Surveilans AFP, 2011-2016

Indikator 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Kasus AFP 1526 1557 1684 1724 1641 1720 1951 1963 1765 1428

Kasus virus Polio liar terkonfirmasi

2 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Compatible cases 15 4 1 0 0 0 0 0 0 0

Angka AFP 2,48 2,52 2,75 2,83 2,62 2,75 2,76 2,74 2,43 2,04

Angka AFP Non-polio1 2,45 2,52 2,75 2,83 2,62 2,75 2,76 2,74 2,43 2,04

Persentase pengumpulan spesimen feses yang memadai 2

83 85 84 86 85 91 92 88 89 92

Total sampel feses yang dikumpulkan

2978 3020 3328 3343 3184 3386 3828 3826 3424 2801

% isolasi NPEV 12 12 9 8 9 9 9 9 7 7

% ketepatan waktu hasil uji yang dilaporkan 3

100 100 99 99 100 99 99 99 98 99

1 Jumlah kasus AFP per 100.000 anak usia dibawah 15 tahun. 2 Persentase dengan 2 spesimen, jarak 24 jam dan dalam kurun waktu 14 hari dari onset

kelumpuhan. 3 2005-2007 hasil dilaporkan dalam waktu 28 hari dan hasil 2008-ke atas dilaporkan dalam 14 hari

setelah sampel diterima laboratorium.

Sumber: WHO-SEARO. EPI Fact Sheet Indonesia 2016Catatan: Surveilans mengandalkan pelaporan kasus AFP dan konfirmasi laboratorium melalui isolasi virus polio dari feses. Jika konfirmasi laboratorium tertunda karena pengumpulan sampel dan pengujian tertunda, deteksi wabah Polio juga akan tertunda.

Page 48: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

78 • Fungsi Kesehatan Masyarakat (Public Health Functions) dan Health Security lampiran • 79

L a m p i r a n 6

Tata laksana

Tabel 20. Struktur Politik Indonesia dan Sistem Pelayanan Kesehatan brdasarkan Tingkatan

TingkatStruktur Politik Sistem Kesehatan Masyarakat

Eksekutif legislatif Tata Kelola Fasilitas Kesehatan*

Nasional

Presiden (Terpilih) DPR

Kementerian Kesehatan

RS Nasional Tipe A

Menteri berdasarkan sektor (ditunjuk oleh Presiden)

Komisi DPR Bidang Kesehatan (Komisi 9), Komisi Bidang Ekonomi, dst

Provinsi Gubernur (Terpilih) DPRD Tingkat IDinas Kesehatan Provinsi

RS Provinsi Tipe B

Kabupaten/ Kota

Bupati/Walikota (Terpilih) DPRD Tingkat II

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

RS Tipe C dan D, puskesmas (fasiltas pelayanan kesehatan dasar)

Kecamatan

Di bawah yurisdiksi dan struktur pemerintahan kabupaten/kota

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

Puskesmas pembantu (auxiliary primary care facility)

Desa

Kepala Desa (Terpilih); sering juga melalui mekanisme tradisionalAdministrative leader (elected); often also an unelected traditional head

Forum DesaDinas

Kesehatan Kabupaten/Kota

Posyandu dan Polindes

*Dimiliki dan dikelola sesuai dengan tingkatan pemerintahan, berdasarkan UU 23 /2014

Gambar 7. Ringkasan Tanggung jawab yang Terdesentralisasi untuk Pengawasan Sektor Kesehatan

KEMENTERIAN KESEHATAN

• Pemetaanstrategiskebutuhannasional(contoh:lokasipembangunanRS,kebijakan distribusi SDM kesehatan)

• Penetapanstandarnasionaldanprioritasnasionalsektorkesehatan;pengawasan menyeluruh atas kinerja sektor kesehatan

• MemilikidanmengawasiRSTipeA• Menilaikapasitaspemerintahdaerah(Pemda)untukmemenuhiSPM;

memberikan bantuan teknis (kepada Pemda dengan kapasitas rendah)• MembuatrekomendasikepadaKemendagrimengenaisanksibagi

Pemda yang kurang komitmen politiknya untuk memenuhi SPM (seperti menunda persetujuan anggaran TA mendatang)

DINAS KESEHATAN PROVINSI

• DiberdayakanuntukmembantuKementerianKesehatandalammelaksanakan tanggung jawabnya

• MemberikaninformasikepadaKementerianKesehatanmengenaikinerjadan tantangan yang dihadapi kabupaten/kota

• MengumpulkandataSPMdandatakesehatanlaindarikabupaten/kota dan memeriksa kualitas data tersebut sebelum disampaikan ke Kementerian Kesehatan

• MemilikidanmengawasiRSTipeB

DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA

• BertanggungjawabuntukmencapaiSPM• MemilikidanmengawasiRSTipeCdanD,puskesmas,danlayanan

penjangkauan • Mengawasisektorkesehatanswasta• Akreditasifasilitaspelayanankesehatan• PelaporansisteminformasikesehatankeDinasKesehatanProvinsidan

Kementerian Kesehatan

Arahan, bimbingan teknis, pendanaan Informasi dan rekomendasi

Pengawasan dan Dukungan Informasi dan Rekomendasi

Page 49: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …
Page 50: FUNGSI KESEHATAN MASYARAKAT (PUBLIC HEALTH …

Direktorat Kesehatan dan Gizi MasyarakatKedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan KebudayaanKementerian PPN/Bappenas

Jalan Taman Suropati No. 2, Jakarta Pusat, 10310Telp: (021) 31934379, Fax: (021) 3926603Email: [email protected]