Format baru otonomi daerah

26
Menuju Daerah Membangun?

Transcript of Format baru otonomi daerah

Page 1: Format baru otonomi daerah

Menuju Daerah Membangun?

Page 2: Format baru otonomi daerah

Sejak tahun 2001 Indonesia secara formal telah menjalankan

desentralisasi pemerintahan (ekonomi) dengan semangat tunggal

memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk

mengurus dirinya sendiri, termasuk urusan ekonomi.

Dasar diberlakukannya otonomi daerah secara menyeluruh adalah

dengan diciptakannya UU No.22/1999 dengan diikuti dengan UU

No.25/1999

Kedua UU tersebut mengatur tentang pemerintahan daerah dan

perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah

Page 3: Format baru otonomi daerah

Sejarah mencatat bahwa upaya desentralisasi di Indonesia bakayunan pendulum: pola zig-zag terjadi antara desentralisasidan sentralisasi

Karena pendekatan pemerintah pusat yang sentralistik makaterjadilah ketidakpuasan pada banyak daerah-daerah yang kayadan memberikan sumbangan berarti bagi pendapatan nasional.

Klimaks dari ketidakpuasan tersebut muncul ketika rezim OrdeBaru digantikan dengan rezim Reformasi di bawahpemerintahan Presiden Habibie.

Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezimSoeharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankanintegritas nasional dan dihadapkan pada pilihan untukmelakukan pembagian kekuasaan dari pemerintah pusat kepadapemerintah daerah.

Page 4: Format baru otonomi daerah
Page 5: Format baru otonomi daerah

Pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukumdesentralisasi, yaitu UU No.22/1999 mengenai PemerintahanDaerah, dan UU No.25/1999 mengenai Perimbangan Keuanganantara Pusat dan Daerah.

UU No.22/1999 mendelegasikan kekuasaan tertentu kepadapemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah.

UU No.25/1999 mendorong desentralisasi dengan memberikanpembagian sumber daya fiskal kepada pemerintah daerah.

Setelah menerapkan sistem yang amat sentralistik, kedua UU diatas menegaskan adanya fungsi dan kewenangan pemerintahdaerah yang lebih besar dibandingkan UU No.5/1975.

Oleh karena itu, beberapa pengamat menyebut diterapkannyapendekatan big bang, radikal, dalam struktur pemerintahan dandesentralisasi fiskal karena mengubah drastis pola hubunganpusat dan daerah (Ma & Hofman,2002; Alm, Aten, & Bahl, 2001).

Page 6: Format baru otonomi daerah

Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 menawarkan berbagai macam paradigma dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada

filosofi Keanekaragaman Dalam Kesatuan. Paradigma yang

ditawarkan antara lain:

Kedaulatan Rakyat,

Demokratisasi,

Pemberdayaan Masyarakat,

Pemerataan dan Keadilan.

Page 7: Format baru otonomi daerah

Undang-Undang No.22/1999 menyerahkan fungsi, perosnil, dan

asset pemerintah pusat kepada pemerintah

propinsi, kabupaten, dan kota.

Hal ini berarti tambahan kekuasaan dan tanggung jawab

diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, serta

membentuk sistem yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkan

dengan sistem dekonsentrasi dan koadministratif di masa lalu

(Kuncoro, 2004).

UU No.22/1999 memperpendek jangkauan atas dekonsentrasi

yang dibatasi hanya sampai pemerintahan Propinsi

Page 8: Format baru otonomi daerah

Perubahan yang dilakukan UU ini terhadap UU No.5/1974 ditandai

dengan (Pratikno, 1999, 2000):

Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan

Istilah pemerintah daerah dalam UU No. 22/1999 digunakan untuk

merujuk pada Badan Eksekutif Daerah yang terdiri dari Kepala

Daerah dan perangkat Daerah Otonom.

Pemerintahan di tingkat propinsi hampir tidak berubah. Gubernur

tetap menjadi wakil pusat dan sekaligus Kepala Daerah, dan

Kanwil (instrument Menteri) tetap ada.

Jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten dan kota sudah tidak

dikenal lagi.

Page 9: Format baru otonomi daerah

Reformasi penting yang perlu dicatat adalah sebagai

berikut:

Pertama, ada banyak tingkatan dalam pemerintahan daerah dan

level yang mana seharusnya menerima pelimpahan kekuasaan

merupakan pertanyaan mendasar yang muncul.

Menurut UU No.22/1999, pemerintah kabupaten dan kota telah

menjadi level yang tepat untuk pelimpahan kekuasaan dan

pengelolaan sumber daya

Page 10: Format baru otonomi daerah

Kedua, Reformasi struktur pemerintahan seperti yang telah

tercermin dalam UU No.22/1999 adalah memperlakukan semua

pemerintah daerah di Indonesia secara adil, dengan pengecualian

Jakarta

Hal ini mencerminkan penolakan pemerintah pusat akan konsep

federalisme dan memilih konsep negara kesatuan.

Konsekuensinya, pembangunan politik memerlukan pemberlakuan

dua undang-undang khusus untuk Aceh dan Papua, yaitu derajat

otonomi daerah yang lebih besar diberikan kepada pemerintah

propinsi daripada kepada pemerintah kabupaten dan kota.

Page 11: Format baru otonomi daerah

Ketiga, hal penting lain dalam UU No.22/1999 adalah cakupan yang

lebih luas untuk fungsi dan aktivitas pemerintah yang diserahkan

kepada pemerintah daerah

Pemerintah pusat hanya memiliki kewenangan dan tanggung jawab

terhadap pertahanan dan keamanan nasional, urusan agama dan

fungsi khusus lain seperti perencanaan ekonomi makro, sistem

transfer fiskal, administrasi pemerintah, pengembangan sumber

daya manusia, pengembangan teknologi dan standar nasional.

Fungsi lain yang tidak disebutkan secara khusus harus dilimpahkan

kepada pemerintah daerah, dan lebih khusus lagi, UU ini

menyebutkan tanggung jawab pemerintah daerah dalam pekerjaan

umum, manajemen kesehatan, urusan pendidikan dan kebudayaan,

pembangunan pertanian, transportasi, peraturan kegiatan

manufaktur dan pembangunan sumber daya manusia

Page 12: Format baru otonomi daerah

Pada bulan September 2004 telah terjadi perubahan besar

menyangkut perubahan paradigma dan substansi materi

mengenai otonomi daerah dengan diundangkannya Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pengesahan Undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini, oleh

sebagian kalangan dianggap sebagai kemunduran konseptual dan

kontekstual bagi pelaksanaan otonomi daerah yang

sesungguhnya.

Pergeseran demi pergeseran pemaknaan tentang konsep otonomi

daerah yang fundamental dapat ditemukan dari pergantian

Undang-undang tersebut

Makna desentralisasi misalnya, dari penyerahan wewenang

pemerintahan oleh pemerintahan kepala daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem

Pemerintahan Republik Indonesia.

Page 13: Format baru otonomi daerah

Perbedaan yang mendasar dari kedua makna otonomi daerah

berdasarkan kedua Undang-Undang adalah dihapuskannya kalimat

“Kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat” dari pemaknaan Otonomi

Daerah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999.

Penghapusan kalimat tersebut akan memberikan implikasi atas

kewenangan yang diserahkan kepala daerah otonom.

Daerah otonom akan sangat dibatasi hanya dengan Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku dan bukan pada adanya kehendak

dan aspirasi dari masyarakat setempat

Page 14: Format baru otonomi daerah

Perubahan mendasar juga terjadi pada konsep otonomi desa yang

diatur oleh kedua Undang-Undang ini.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 secara definitif

menyebutkan:

“Desa ataupun kampung nagari, betook, dll merupakan kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-

istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan

berada di daerah kabupaten”. Desa adalah “ sekumpulan manusia yang

hidup bersama atau suatu wilayah, yang memiliki suatu organisasi

pemerintahan dengan serangkaian peraturan-peraturan yang

sitetapkan sendiri, serta berada dibawah pimpinanpimpinan desa yang

mereka pilih dan tetapkan sendiri”

( Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Pasal 1(o) ).

Page 15: Format baru otonomi daerah

Definisi desa ini ternyata juga mengalami perbedaan sejak

disahkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini.

Definisi desa sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 (12) Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum

yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang

diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Perbedaan mendasar terjadi dengan dihapuskannya kalimat “berada di

daerah Kabupaten”. Penghapusan kalimat ini mengisyaratkan bahwa

kewenangan yang diberikan, adalah kewenangan yang diberikan oleh

pemerintahan pusat dan bukan yang diberikan oleh daerah karena

kedudukannya di daerah Kabupaten.

Perubahan ini juga akan memberikan arti bahwa semua wilayah terkecil

dari daerah adalah desa baik yang berada di Kotamadya maupun

Kabupaten. Hal ini berbeda dengan konsep Undang-undang sebelumnya

yang menempatkan desa hanya pada daerah Kabupaten.

Page 16: Format baru otonomi daerah

Sejak tahun anggaran 2001 Indonesia memasuki era baru yaitu

era desentralisasi fiskal.

Tujuan umum dari perubahan tersebut adalah untuk membentuk

dan membangun sistem publik yang dapat menyediakan barang

dan jasa publik lokal yang semakin efektif dan efisien, dengan

tetap menjaga stabilitas makroekonomi.

Hal ini akan berwujud dalam bentuk pelimpahan kewenangan

kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan,

kewenangan untuk memungut pajak, dan adanya bantuan dalam

bentuk transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Page 17: Format baru otonomi daerah

Menurut Sidik (2002:41), tujuan umum pelaksanaan desentralisasifiskal harus dapat menjamin:

Kesinambungan kebijakan fiskal (fiskal sustainability) dalam kontekskebijakan ekonomi makro.

Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah (horizontalimbalance) dan ketimpangan antara pusat dengan daerah (verticalimbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber dayanasional maupun kegiatan pemerintah daerah

Dapat memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki strukturfiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional maupun nasional

Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakatdalam pengambilan keputusan di tingkat daerah

Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikanadanya pelayanan yang berkualitas di setiap daerah

Menciptakan kesejahteraan sosial (social welfare) bagi masyarakat.

Page 18: Format baru otonomi daerah

Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan bahwa

setiap kewenangan yang diberikan kepada daerah aharus disertai

dengan pembiayaan yang besarnya sesuai degan besarnya

kewenangan tersebut.

Artinya, pertama-tama beberapa tugas dan kewenangan yang

dipandang efisien ditangani oleh daerah atau dengan kata lain

didelegasikan dari pusat kepada daerah.

Kewajiban pemerintah pusat adalah menjamin sumber keuangan

untuk pendelegasian wewenang tersebut.

Hal ini berarti bahwa hubngan keuangan antara pusat dengan

daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga

kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab

daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.

Page 19: Format baru otonomi daerah

Seiring dengan proses pembaruan terhadap isu otonomi dan

desentralisasi, pemerintah telah melakukan revisi atas UU

No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah

Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi UU No.33/2004.

Menurut UU No.25/1999 tersebut, sumber-sumber pendanaan

pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas Pendapatan Asli

Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang

sah. PAD terdiri dari komponen Pajak Daerah, Retribusi

Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan

lain-lain PAD yang sah. Dana Perimbangan merupakan pendanaan

daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri dari Dana Bagi

Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus

(DAK). Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya

alam yang dibagikan kepada daerah berdasarkan presentase

tertentu.

Page 20: Format baru otonomi daerah

Dalam UU No.33/2004, terjadi revisi mengenai dana reboisasi

yang semula termasuk bagian dari DAK, kini menjadi bagian dari

DBH.

DAK merupakan dana yang berasal dari APBN dan dialokasikan

kepada daerah yang dimaksudkan untuk membantu membiayai

kegiatan khusus daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

UU No.33/2004 mengubah pola bantuan dan sumbangan dari

pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan berlaku hingga saat

ini.

Subsidi Daerah Otonom dan Dana Inpres dihapuskan dan diganti dengan

DAU,

Page 21: Format baru otonomi daerah

Menurut UU No.33/2004, DAU bertujuan untuk mengurangi

ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah (horizontal

imbalance). Jumlah DAU yang dibagikan minimal 26% dari

penerimaan dalam negeri dan akan dibagikan kepada seluruh

propinsi dan kabupaten/kota.

Dalam UU tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa kriteria

DAU didasarkan pada dua faktor penting, yakni kebutuhan daerah

(fiscal needs) dan potensi perekonomian daerah (fiscal capacity).

Celah fiskal (fiscal gap), yang merupakan dasar penentuan DAU,

adalah selisih antara fiscal capacity dengan fiscal needs.

Dengan kata lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang

terjadi karena kebutuhan daerah lebih besar dari potensi

penerimaan daerah yang ada.

Page 22: Format baru otonomi daerah

Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penurunan

kemampuan daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang

sudah menjadi tanggung jawabnya, selain menggunakan formula

fiscal gap perhitungan DAU juga menggunakan faktor

penyeimbang yang terdiri dari:

Lumpsum yang bgerasal dari sejumlah proporsi DAU yang akan

dibagikan secara merata kepada seluruh daerah yang besarnya

tergantung pada kemampuan keuangan negara;

Transfer dari pemerintah pusat yang dialokasikan secara proporsional

dari kebutuhan gaji pegawai masing-masing daerah. Dengan adanya

faktor penyeimbang, alokasi DAU kepada daerah ditentukan dengan

perhitungan formula fiscal gap dan faktor penyeimbang.

Page 23: Format baru otonomi daerah

Dengan begitu, kemampuan fiskal merupakan isu penting dan

strategis, karena di masa mendatang pemerintah daerah

diharapkan dapat mengurangi bahkan melepaskan

ketergantungannya secara finansial kepada pemerintah pusat.

Karena tingkat ketergantungan financial tersebut mempunyai

hubungan terbalik dengan tingkat perolehan Pendapatan Asli

Daerah (PAD), maka untuk mengurangi ketergantungan finansial

tersebut pemerintah daerah harus merancang dan menetapkan

berbagai skim peningkatan PAD.

Secara umum skim peningkatan PAD meliputi:

Intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan daerah dalam bentuk pajak

atau retribusi

Eksplorasi sumber daya alam

Skema pembentukan capital (capital formation) atau investasi daerah

melalui penggalangan dana atau menbarik investor.

Page 24: Format baru otonomi daerah

Isu sentral utama dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah:

Misalokasi anggaran.

Kultur birokrasi yang masih koruptif,

Orientasi pemerintah daerah untuk memperbesar pendapatan asli

daerah (PAD) dengan segala cara.

Page 25: Format baru otonomi daerah

Keterangan Propinsi Kabupaten Kota Total

Pajak 20 109 55 184

Retribusi 98 712 206 1.016

Non-pungutan 62 68 26 156

Sumbangan Pihak Ketiga 4 16 3 23

Total 184 905 290 1.379

% terhadap total

peraturan

13,34 65,63 21,03 100,00

Peraturan Bermasalah Berdasarkan Jenis

Pungutan

Sumber: Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), 2005

Page 26: Format baru otonomi daerah

Instansi/Departemen Indeks/Nilai*

Partai Politik 4,2

Parlemen/Legislatif 4,0

Polisi 4,0

Bea Cukai 4,0

Peradilan 3,8

Pajak 3,8

Registrasi dan Perizinan 3,5

Sektor Bisnis 3,5

Lembaga Pendidikan 3,0

Peralatan 3,0

Militer 2,9

Pelayanan Kesehatan 2,7

Media 2,4

LSM 2,4

Lembaga Keagamaan 2,1

Global Corruption Barrometer Indonesia

2005

Sumber: Tranparency Interntional Indonesia, 2005

Keterangan: *) Kisaran 1-5 (semakin tinggi nilai semakin korup)