Foram Spiro
-
Upload
muhammad-rizal-pahlevy -
Category
Documents
-
view
56 -
download
6
description
Transcript of Foram Spiro
PAPER PRAKTIKUM MIKROPALEONTOLOGI
FORAMINIFERA SPIROCLYPEUS
Disusun oleh :
Muhammad Rizal Pahlevy
L2L009069
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
NOVEMBER 2011
FORAM BESAR SPIROCLYPEUS
Paleontologi adalah ilmu yang mempelajari sisa organisme purba, baik sisa
tubuhnya ataupun jejaknya, yang terawetkan secara alamiah dan disepakati umurnya
harus lebih tua dari 10.000 tahun. Terdapat cabang dalam ilmu paleontologi, yaitu
mikropaleontologi, yang mengkhususkan dalam mempelajari fosil-fosil berukuran
mikro yang untuk melihatnya memerlukan alat bantu, semisal mikroskop. Yang
termasuk kedalam mikrofosil adalah :
1. golongan binatang : radiolaria, foraminifera (besar dan kecil), ostracoda,
conodonta, bryozoa, dan lain-lain
2. golongan tumbuhan : diatom, flagellata, polen, dinoflagellata, dan lain-lain
1. Foraminifera
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidup secara akuatik
(hidup di air laut), mempunyai satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain
oleh sekat (septa) yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen).
Foraminifera dibagi dua yaitu foraminifera kecil, yang untuk melihatnya harus
memakai mikroskop setelah terlebih dahulu sampel dipreparasi, dan foraminifera
besar yang dilihat memakai sayatan tipis. Karena jumlahnya yang melimpah dalam
batuan sedimen (sedimen marin) maka foraminifera digunakan untuk penentuan
umur dan juga penentuan lingkungan pengendapan. Foraminifera termasuk
kedalam kerajaan protista, yaitu organisme bersel tunggal yang tidak diketahui
termasuk tumbuhan atau binatang. Foraminifera berkembang biak secara seksual
dan aseksual.
Dinding cangkang foraminifera terdiri dari bermacam-macam komposisi :
1. Khitin atau tektin : merupakan dinding primitif, terbuat dari zat organik yang
menyerupai zat tanduk, fleksibel dan transparan, biasanya bewarna kuning dan
tidak berpori.
2. Aglutin atau arenaceous : terbuat dari material asing yang dilekatkan dengan
semen. arenaceous material asingnya hanya butiran pasir, dan aglutin material
asingnya dapat bermacam-macam
3. Silikaan : material silikaan dihasilkan oleh organisme itu sendiri atau material
sekunder dalam pembentukannnya gampingan : terdiri dari porselen dan
hyalin. Porselen mempunyai kenampakan seperti porselen dan tidak berpori.
Hyalin kenampakannya berpori, transparan, dan bening.
1.1 Spiroclypeus
Genus ini seperti Heterostegina tapi dengan ruang kamar lateral.
Permukaannya berbentuk retikular atau retikular. Evolusi Spiroclypeus yang
mungkin terjadi adalaha dari polyphyletic yang keluar dari Golongan
Heterostegina. Spiroclypeus Eosen spp. berevolusi dari bentuk kelompok lain
Heterostegina dari zaman Oligosen sampai Miosen. Banyak ilmuan yang
tampaknya telah menyebutkan evolusi spiroclypeus ini dari Heterostegina
borneensis.
Spiroclypeus memiliki dua jenis kamar lateral. Dibagi alar
prolongations dan ruang dibentuk oleh rongga di dinding samping (kamar
lateral dari Spiroclypeus).
Mereka populer dengan filogenetik umum. Bintil bintil yang seperti
jerawat berevolusi menjadi bentuk yang lateral yang retikular. Kamar menjadi
banyak, teratur diatur dan lebih pendek.
macam – macam dari spiroclypeus :
1. Vermicularis Spiroclypeus
Memiliki ciri ciri dengan ruang lateral di bagian garis vermicularis
tangensial, berbintil bintil seperti jerawat.
2. Spiroclypeus pleurocentralis
Sangat kecil dan tipis, bentuknya oval. Umbo terletak sangat kuat
exentrically. Dinding lateral yang tebal, sempit dan panjang, ruang lateral
yang tidak teratur, berbintil seperti jerawat. Jenis ini sama juga dengan
Spiroclypeus yabei.
3. Spiroclypeus tidoenganensis
Lebih besar dari Spiroclypeus pleurocentralis, ruang lebih lateral, kurang
rata, berbintil seperti jerawat.
4. Spiroclypeus margaritatus
Putaran bentuk, ruang lateral yang menjadi lebih pendek. Bentuk peralihan
dari bentuk retikulat.
5. Spiroclypeus leupoldi
Retikular, lebih kecil dari 2 cm, bulat. Ruang lateral seragam dalam
bentuk dan ukuran. Sinonim: Spiroclypeus walfgangi dan Spiroclypeus
higginsi.
6. Spiroclypeus orbitoideus
Retikular, terbesar Spiroclypeus, sampai 4 cm. Bentuk-bentuk menyerupai
beruang yang cukup besar untuk Lepidocyclina.
1.1.1 Taksonomi Dari Spiroclypeus :
Domain: Eukaryota
Kingdom: Protozoa
Phylum: Sarcomastigophora
Class: Granuloreticulosea
Order: Foraminiferida
Family: Operculinidae
Genus: Spiroclypeus
2. Paleocen – Eocen Thermal Maksimum
2.1 Artikel
Letupan pemanasan global kuat yang berlangsung puluhan ribu tahun
terjadi lebih sering sepanjang sejarah Bumi daripada diduga sebelumnya,
menurut bukti yang dikumpulkan sebuah tim yang dipimpin para peneliti
Lembaga Oseanografi Scripps, UC San Diego.
Richard Norris, profesor geologi Scripps yang juga menulis
laporannya, mengatakan kalau pelepasan karbon dioksida yang terekam di
samudera dalam paling mungkin memicu peristiwa hipertermal purba ini.
Sebagian besar peristiwa meningkatkan suhu global antara 2 derajat hingga 3
derajat Celsius, jumlah yang sebanding dengan perkiraan konservatif masa
kini mengenai seberapa banyak suhu diduga akan naik dalam dekade-dekade
mendatang sebagai akibat pemanasan global antropogenik. Sebagian besar
hipertermal berlangsung selama 40 ribu tahun sebelum suhu kembali normal.
Studi ini dilaporkan pada jurnal Nature edisi 17 maret.
“Hipertermal ini tampaknya bukan peristiwa langka,” kata Norris,
“karenanya ada banyak contoh purba mengenai pemanasan global pada skala
luas seperti pemanasan masa depan yang diduga. Kita dapat menggunakan
peristiwa ini untuk memeriksa pengaruh perubahan global pada ekosistem
laut, sirkulasi iklim dan samudera.”
Hipertermal terjadi sekitar tiap 400 ribu tahun selama periode hangat
dalam sejarah bumi yang terjadi 50 juta tahun lalu. Yang terkuat bertepatan
dengan peristiwa yang disebut Maksimum Termal Paleosen-Eosen, transisi
antara dua epoch geologis dimana suhu global naik antara 4 derajat hingga 7
derajat Celsius dan memerlukan waktu 200 ribu tahun untuk kembali normal.
Peristiwa ini berhenti terjadi sekitar 40 juta tahun lalu, saat planet Bumi
memasuki fase pendinginan. Tidak ada peristiwa pemanasan sebesar
hipertermal ini terdeteksi dalam catatan geologis sejak itu.
Phil Sexton, mantan mahasiswa Norris yang sekarang di Universitas
Terbuka di Inggris, memimpin analisa inti endapan yang dikumpulkan di
pesisir Amerika Selatan. Dalam inti ini, bukti periode hangat terujud dalam
pita endapan abu-abu yang berlapis dalam lumpur hijau pucat. Endapan abu-
abu ini mengandung jumlah tanah liat yang menumpuk setelah cangkang
kapur organisme mikroskopis melarut ke lantai lautan. Interval kaya tanah liat
ini konsisten dengan episode pengasaman samudera yang dipicu oleh
pelepasan karbon dioksida berskala besar. Influks karbon dioksida besar
merubah kimia air laut dengan memproduksi asam karbonik dalam jumlah
besar di samudera.
Para peneliti menyimpulkan kalau pelepasan karbon dioksida dari
samudera dalam lebih mungkin menyebabkan hipertermal daripada peristiwa
pemicu lainnya yang dihipotesiskan. Keberaturan hipertermal dan suhu
samudera yang relatif hangat dari periodenya membuatnya kemungkinan kecil
disebabkan oleh peristiwa seperti pencairan metana hidrat besar-besaran,
pembakaran gambut daratan atau bahkan tumbukan komet. Hipertermal dapat
tergerak dengan penumpukan karbon dioksida di samudera dalam yang
disebabkan oleh perlambatan atau penghentian sirkulasi di lembah samudera
yang mencegah lepasnya karbon dioksida.
Noris mencatat kalau hipertermal ini memberikan perspektif historis
pada apa yang akan dialami Bumi bila pemanasan global terus terjadi akibat
penggunaan bahan bakar fosil, yang telah meningkatkan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer hampir 50 persen sejak awal Revolusi Industri.
Hipertermal dapat membantu para ilmuan menghasilkan sejumlah perkiraan
seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sepenuhnya kembali ke normal
yang tergantung pada seberapa banyak aktivitas pemanasan yang disebabkan
manusia.
“Dalam 100 hingga 300 tahun, kita dapat menghasilkan sebuah
peristiwa di Bumi yang perlu puluhan ribu tahun untuk diperbaiki, dilihat dari
rekaman geologis,” katanya.
Para ilmuan berharap lebih memahami seberapa cepat kondisi yang
memadamkan perkembangan hipertermal. Norris mengatakan kalau endapan
berusia 50 juta tahun di Laut Utara cukup berlapis-lapis sehingga ilmuan
dapat membedakan perubahan dari dekade ke dekade atau bahkan dari tahun
ke tahun.
Peneliti lain makalah ini termasuk para ilmuan dari Pusat Oseanografi
Nasional dari Southampton di Universitas Southampton Inggris dan Pusat
Ilmu Lingkungan Laut, Universitas Bremen, Jerman.
2.2 Kesimpulan
Perubahan yang paling ekstrim di kondisi permukaan bumi selama era
kenozoikum dimulai pada batas temporal antara zaman paleosen dan eosen
55,8 juta tahun lalu. Peristiwa ini (maksimum paleocene-eocene thermal )
dikaitkan dengan cepat (dalam istilah geologi) pemanasan global, perubahan
mendasar dalam ekosistem, dan gangguan utama dalam siklus karbon. Suhu
global naik sekitar 6 ° c (11 ° f) selama sekitar 20.000 tahun. Foraminifera
bentik dan mamalia terestrial banyak yang punah, tapi banyak perintis
mamalia modern muncul. Munculnya mamalia perintis ini dikaitkan dengan
perjalanan negatif menonjol dalam karbon isotop stabil (δ13c) catatan
dari seluruh dunia, dan pembubaran karbonat diendapkan pada semua dasar
samudera. Pengamatan terakhir ini sangat menyarankan bahwa input besar-
habis 13 c karbon memasuki atmosfer hidrosfer atau pada awal petm tersebut.
Baru-baru ini, geoscientists telah mulai untuk menyelidiki PETM
dalam rangka untuk lebih memahami emisi transportasi, peningkatkan gas
rumah kaca di atas skala waktu seribu tahun.
DAFTAR PUSTAKA
www.zipcodezoo.com (URL diakses 17 November 2011)
www.paleoecology.org (URL diakses 17 November 2011)
www.wikipedia.org (URL diakses 17 November 2011)
www.foraminifera.net (URL diakses 18 November 2011)