Fitriani Indah (HDK) Fix
description
Transcript of Fitriani Indah (HDK) Fix
I. PENDAHULUAN
Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan
salah satu dari tiga penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga
banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun
2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah
diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-
kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan
dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari
komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.1
Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade,
hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi
masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsia merupakan suatu
peningkatan tekanan darah yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada
kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan
paling sering terjadi pada ibu hamil primigravida. Jika timbul pada ibu hamil
multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes
mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Hipertensi dalam Kehamilan
Yang dimaksud dengan preeklamsia adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan.1,3
Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsia adalah preeklamsia yang disertai
dengan kejang dan atau koma.2
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20
minggu, atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20
minggu dan hipertensi menetap sampai 12 minggu pascapersalinan.2
Hipertensi kronis dengan superimposed preeklamsia adalah hipertensi kronik
1
disertai tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.2
Hipertensi gestasional (diseut juga transient hypertension) adalah hipertensi
yang timbul pada kehamilan tanpa di sertai proteinuria dan hipertensi menghilang
setelah 3 bulan pascapersalinan atau kehamilan dengan tanda-tanda preeklamsia tetapi
tanpa proteinuria.2
Menurut The National High Blood Pressure Education Program
(NHBPEP) Working Group (2000), ia dibagi ke 4 tipe :
1. Gestational hipertensi
2. Preeklamsia dan ekamsia
3. Superimposed pada hipertensi kronik
4. Hipertensi kronik.1,4
Penjelasan Diagnosis hipertensi pada kehamilan:
Gestational Hipertensi
Sistolik TD 140 atau diastolik TD 90 mmHg untuk pertama kalinya selama
kehamilan
Tidak ada proteinuria
TD kembali normal sebelum 12 minggu postpartum
Diagnosis Akhir setelah postpartum
Mungkin memiliki tanda-tanda lain atau gejala preeklamsia, misalnya,
epigastrium ketidaknyamanan atau trombositopenia.
Preeklamsia :
Kriteria minimum
TD 140/90 mmHg setelah usia kehamilan 20 minggu
Proteinuria 300 mg / 24 jam atau 1 dipstick.
Kemungkinan terjadi preeklamsia berat dan disertai HELLP sindrom
TD 160/110 mmHg
Proteinuria 2,0 g / 24 jam atau 2 dipstick
Serum kreatinin 1,2 mg / dL kecuali diketahui sebelumnya ditinggikan
Trombosit 100.000 /µL
Mikroangiopati hemolisis - meningkat LDH
Peningkatan transaminase serum tingkat - ALT atau AST
Sakit kepala persisten atau gangguan otak atau visual lainnya
2
Nyeri epigastrium Persistent
Eklampsia :
Kejang yang tidak bisa dikaitkan dengan penyebab lain pada wanita dengan
preeklamsia.
Superimposed Preeklamsia Pada Hipertensi Kronis :
Baru - onset proteinuria 300 mg / 24 jam pada wanita hipertensi tetapi tidak
ada proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu
Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau trombosit
<100.000 /µL pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu
Hipertensi kronis :
TD 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia
kehamilan 20 minggu tidak disebabkan penyakit trofoblas gestasional atau
Hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan
terus-menerus setelah 12 minggu postpartum.1
Menurut The International Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :
1. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau
pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.
Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)
Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)
Hipertensi gestasional dengan proteinuria (preeklamsia)
2. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal
kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)
Hipertensi kronis (tanpa proteinuria)
Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)
Hipertensi kronis dengn superimposed
Preeklamsia (proteinuria)
3. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria
4. Eklampsia.3
2.2 Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan
3
Diagnosis dini harus ditegakkan bila diharapkan menurun angka
morbiditas dan mortalitas ibu dan anak. Walaupun terjadinya preeklamsia sukar
dicegah, tetapi berat dan terjadinya eklamsia biasanya dapat dihindari dengan
mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara tepat.1
Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff
setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada
posisi berbaring dapat mengganggu pekururan sehingga terjadi pengukuran yang
lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang
5-10 menit.4
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat
140/90 mmHg atau lebih besar. Kriteria yang lalu mengemukakan bahwa
peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg
digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur
di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan
karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan
untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan,
tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan
diastolik pada ibu hamil primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-
kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria
diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang
normotensi.1,2
2.2.1 Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah
mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama
kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga
transient hypertensio dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu
postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama trisemester akhir
hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak pernah
ditemukan.1,4,7
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu1 :
TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
4
Tidak ada proteinuria.
TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri
epigastrium atau trombositopenia.
Abnormalitas Ringan Berat
Tekanan darah diastolic < 100 mmHg ≥ 110 mmHg
Tekanan darah sistolik < 160 mmHg ≥160 mmHg
Proteinuria ≤2+ ≥3+
Sakit kepala Tidak ada Ada
Nyeri perut bagian atas Tidak ada Ada
Oliguria Tidak ada Ada
Kejang (eklamsi) Tidak ada Ada
Serum Kreatinin Normal Meningkat
Trombositopeni Tidak ada Ada
Peningkatan enzim hati Minimal Nyata
Hambatan pertumbuhan
janinTidak ada Nyata
Oedem paru Tidak ada Ada
Tabel 2.2.1. Indikator Keparahan hipertensi Gestational
2.2.2 Preeklamsia
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)
menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24
jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick)
secara persisten.1,8
Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsia adalah
hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang
abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan
kepastian diagnosis preeklamsia Selain itu, pemantauan secara terus-menerus
5
gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan
kepastian tersebut.1,8
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang meregangkan kapsul Glissoni.
Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang
tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.1
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsia yang memburuk,
dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta
hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti
adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia,
hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang
berat.1
Kriteria diagnosis pada preeklamsia terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsia berat dan HELLP sindrom
TD 160/110 mmHg.
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah
meningkat.
Trombosit <100.000/mm3.
Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
Peningkatan ALT atau AST.
Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
Nyeri epigastrium p ersisten.1
Sindroma HELLP adalah preeklamsia-eklamsia disertai timbulnya
hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar, dan trombositopenia.
H: Hemolysis
EL: Elevated liver Enzyme
LP: Low Platelets Count
6
Diagnosis
Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri kepala,
mual,muntah (semua ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)
Adanya tanda dan gejala preeklamsia
Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST,
dan bilirubin indirek.
Tanda kerusakan/ disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST,
LDH
Trombositopenia
Trombosit ≤ 150.000/ml
Semua perempuan hamil dengan keluhan nyeri pada kuadran atas
abdomen, tanpa memandang ada tidaknya tanda dan gejala preeklamsia, harus
dipertimbangkan sindrom HELLP.2
Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi
Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi
dengan nama “Klasifikasi Mississippi”
Klas 1 : Kadar trombosit : ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
Klas 2 : Kadar trombosit : > 50.000/ml ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
Klas 3: Kadar trombosit : > 100.000/ml ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l.2
KLasifikasi Tennessee
Benar atau lengkap
Platelet < 100.000
AST > 70 IU/l
LDH > 600 IU/l
Parsial atau tidak lengkap
Preeklasia berat dengan salah satu dari berikut: ELLP , HEL , EL , LPKeterangan:
7
ELLP : tidak ada hemolisis
HELnda : tidak adanya trombosit rendah
EL : fungsi hati yang tinggi
LP : trombosit rendah
II.2.3 Eklamsia
Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsia, yang
disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama hanya dengan preeklamsia,
eklamsia dapat timbul pada antepartum, intrapartum, dan postpartum. Eklamsia
postpartum umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah
persalinan.
Pada penderita preeklamsia yang akan kejang, umumnya memberi
gejala-gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda
prodoma akan terjadinya kejang. Preeklamsia yang disertai dengan tanda-tanda
prodoma ini disebut sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia.2
II.2.4 Superimposed Preeclampsia
Diagnosis Superimposed preeclampsia sulit, apabila hipertensi kronik
disertai kelainan ginjal dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed
preeclampsia pada hipertensi kronik adalah : adanya proteinuria, gejala-gejala
neurologic, nyeri kepala hebat, gangguan virus, edema patologik yang menyeluh
(anasarka), oliguria, edema paru. Kelainan laboratorium berupa kenaikan serum
kreatinin, trombositopenia, kenaikan transaminase hepar.2
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
Poteinuria 300 mg / 24 jam pada wanita hipertensi tetapi tidak ada proteinuria
sebelum kehamilan 20 minggu
Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau trombosit
<100.000 /µL pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum
kehamilan 20 minggu.1
II.2.5 Hipertensi Kronis
Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan
sebelum timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi
8
sebelum kehamilan, maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan
tekanan darah sistolik 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg
sebelum umur kehamilan 20 minggu.2
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
TD 140/90 mm Hg sebelum kehamilan atau didiagnosis sebelum usia
kehamilan 20 minggu tidak disebabkan penyakit trofoblas gestasional atau
Hipertensi pertama kali didiagnosis setelah usia kehamilan 20 minggu dan
terus-menerus setelah 12 minggu postpartum.1
II.3Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui
dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi
dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap
mutlak benar. Teori-teori sekarang banyak dianut adalah:
Teori kelainan vaskularisasi Plasenta
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Teori adaptasi kardiovaskular genetik
Teori defisiensi gizi
Teori inflamasi.2
II.4 Pencegahan
Beragam strategi telah digunakan dalam melakukan pencegahan terhadap
terjadinya preeklamsia dan eklamsi. Setelah dilakukan evaluasi terhadap
strategi-strategi ini, tidak ada satupun yang terbukti efektif secara klinis.1
2.4.1 Pilihan obat anti hipertensi
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam
kehamilan :
1. Hidralazine
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung
yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat
hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek
9
meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran
darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.1,5,6,8
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol
mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari
160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit
sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun
sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek
puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping
seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti
dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam
menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsia.1,8
2. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-
adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok µ1 dan non
selektif β, dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada
kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan
hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih
cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan
arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena.
Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg
labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg,
pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg
atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek
puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol
secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter.
Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu
maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220
mg tiap episode pengobatan.1,8
3. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini
10
menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma
kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos
dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini
mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30
menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat
sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub
lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan,
menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat
sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak
digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.1,5,7,8
4. Metil dopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti
hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu.
Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan
pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah
dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil norefinefrin yang
merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi
sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika
metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti
hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya
dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil.
Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak
plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek
maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi
lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan
hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat
menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk
memberhentikan obat ini.1,5,8,10
5. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan
11
dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2
mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek
maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap
berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat
diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada
penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.10
6. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan korida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi
penurunan curah jantung dan tekanan darah, selain mekanisme tersebut ,
beberapa diuretic juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah
efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium diruang
intersisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya
menghambat influx kalsium.10
7. Penghambat ACE
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang
mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten),
tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga
meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi
bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril,
dam lisinopril.10
2.4.2 Pemberian obat anti kejang
- Obat anti kejang adalah:
MgSO4
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang:
o Diasepam
o Fenitoin
Difenihidantoin obat antikejang untuk epilepsi telah banyak dicoba pada
12
penderita eklampsia
Beberapa peneliti telah memakai bermacam-macam regimen. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat untuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit.2
Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman pemakaian
fenitoin di beberapa rumah sakit di dunia masih sedikit. Pemberian magnesium
sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding fenitoin. Terhadap enam uji
klinik, yang melibatkan 897 penderita eklampsia. Obat antikejang yang banyak
dipakai di indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO47H2O) magnesium sulfat
menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf
dengan menghambat transmisi neuromuscular.2
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada
pemberian magnesium, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inbibition antara ion tubuh dan ion
magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat dapat menghambat
kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini masih menjadi pilihan
pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia. Banyak cara
pemberian magnesium sulfat.2
Cara pemberian:
Magnesium sulfat regimen
Loading dose initial dose
4 gram MgSO4 intravena, (40 % dalam 100 cc) selama 30 menit
Maintenance dose
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer/6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
o Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi introksikasi yaitu kalsium
glukonas 10 % =1 g (10 % dalam 10 cc) diberikan i.v. 3 menit
o Refleks patella (+) kuat
o Frekuensi pernapasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas.
13
Magnesium sulfat dihentikan bila:
o Ada tanda-tanda introksikasi
o Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
Dosis terapeutik dan tokis MgSO4
o Dosis terapeutik 4 – 7 mEq/liter 4,8 -8,4 mg/dl
o Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
o Terhentinya pernapasan 15 mEq/liter 18 mg/dl
o Terhentinya jantung > 30 mEq/liter > 36 mg/dl
pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu dan didapatkan
50 % dari pemberiannya menimbulkan efek flusher (rasa panas)
- Bila terjadi refraktek terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat
berikut: tiopental sodium, sodium amorbarbital, diazepam, atau fenitoin
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah
jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin
Pemberian antihipertensi.
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut off)
tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi
Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmHg dan
MAP ≥ 126 mmHg.
Penatalaksanaan Pasca salin
Beberapa bagian terapi tidak perlu dilanjutkan setelah persalinan. Karena
25% konvulsi sering terjadi postpartum, pasien dengan preeklamsi tetap
melanjutkan magnesium sulfat sampai 24 jam setelah persalinan. Fenobarbital
120 mg/hari kadang-kadang digunakan pada pasien dengan hipertensi persisten
dimana diuresis spontan postpartum tidak terjadi atau hiperreflek menetap 24
jam pemberian magnesium sulfat. Bila tekanan diastol tetap konstan diatas 100
mmHg selama 24 jam postpartum, beberapa obat anti hipertensi harus diberikan
seperti diuretik, Ca channel blocker, ACE inhibitor, Central alpha agonist, atau
beta bloker. Setelah follow-up 1 minggu, pemberian terapi anti hipertensi dapat
14
dievaluasi kembali.1
Prioritas utama penatalaksanaan eklamsi adalah mencegah kerusakan
maternal dan menjaga fungsi respirasi dan kardiovaskular. Selama atau segera
setalah episode konvulsi akut, terapi suportif harus diberikan untuk mencegah
kerusakan serius maternal dan aspirasi. Penjagaan jalan nafas dilakukan dengan
penyangga lidah yang dimasukkan diantara gigi dan diberikan oksigenisasi
maternal. Untuk meminimalisasikan risiko aspirasi, pasien harus berbaring
dengan posisi dekubitus lateral. Muntah dan sekresi oral harus dihisap bila
diperlukan. Selama terjadi konvulsi, hipoventilasi dan asidosis respiratoar sering
terjadi. Walaupun konvulsi pertama hanya berlangsung selama beberapa menit,
penting untuk menjaga oksigenisasi dengan pemberian oksigen lewat face mask
dengan atau tanpa reservoir sebesar 8-10 L/menit. Setelah konvulsi berhenti,
pasien mulai bernafas kembali dan oksigenisasi menjadi masalah lagi.
Hipoksemia maternal dan asidosis dapat terjadi pada pasien yang mengalami
konvulsi berulang, pneumonia aspirasi, edema pulmonal, atau kombinasi faktor-
faktor ini. Ada kebijakan untuk menggunakan transcutaneus pulse oxymetri
untuk monitor oksigenasi pada semua pasien eklamsi. Bila hasil pulse oksimetri
abnormal (saturasi oksigen < 92%), maka perlu dilakukan analisis gas darah. Hal
yang selanjutnya diperlukan untuk mencegah terjadinya konvulsi berulang
adalah pemberian magnesium sulfat sesuai regimen yang telah tersedia di
masing-masing rumah sakit. Sekitar 10% wanita eklamsi akan mengalami
konvulsi ke dua setelah menerima magnesium sulfat. Langkah selanjutnya dalam
penanganan eklamsi adalah menurunkan tekanan darah dalam batas aman, tetapi
pada saat yang sama menghindari terjadinya hipotensi. Tujuan objektif dalam
terapi hipertensi berat adalah menghindari kehilangan autoregulasi serebral dan
untuk mencegah gagal jantung kongestif tanpa mengganggu perfusi serebral atau
membahayakan aliran darah uteroplasenter yang sudah tereduksi pada wanita
dengan eklamsi. Ada kebijakan untuk menjaga tekanan sistolik sebesar 140-160
mmHg dan tekanan diastolik sebesar 90-110 mmHg. Hal ini dapat dilakukan
dengan pemberian hidralazin atau labetalol (20—40m g IV) setiap 15 menit.
Bila diperlukan, nifedipin 10-20 mg oral setiap 30 menit sampai dosis maksimal
50 mg dalam satu jam. 1,2,4
15
Hipoksemia maternal dan hiperkarbia dapat menyebabkan perubahan
denyut jantung janin dan aktivitas rahim selama dan segara setelah konvulsi.
Perubahan denyut jantung janin meliputi bradikardi, deselerasi lambat transien,
penurunan beat-to-beat variabilitas, dan takikardi kompensasi. Perubahan
aktivitas uterus meliputi peningkatan frekuensi dan tonus. Hal ini biasanya
membaik secara spontan dalam 3-10 menit setelah terminasi konvulsi dan
koreksi hipoksemia maternal. Bagaimanapun juga, penting untuk tidak
melakukan persalinan pada keadaan ibu yang tidak stabila, bahkan bila terjadi
fetal distres. Setelah konvulsi dapat diatasi, tekanan darah sudah dikoreksi, dan
hipoksia sudah diatasi, persalinan dapat dimulai. Pasien ini tidak perlu buru-buru
dilakukan seksio, terutama bila kondisi maternal tidak stabil. Lebih baik bagi
janin untuk bertahan dalam uterus untuk perbaikan hipoksia dan hiperkarbia
akibat konvulsi maternal. Namun, bila bradikardi dan/atau deselerasi lambat
berulang menetap lebih dari 10-15 menit setelah segala usaha resusitasi,
diagnosis solusio plasenta harus ditegakkan. Adanya eklamsi bukan indikasi
untuk dilakukan seksio. Keputusan untuk mengadakan seksio harus berdasarkan
usia janin, kondisi janin, dan skor bishop. Direkomendasikan untuk mengadakan
seksio pada wanita yang mengalami eklamsi sebelum usia kehamilan 30 minggu
yang tidak dalam fase pembukaan dan skor bishop kurang dari 5. Pasien yang
mengalami ruptur membran atau pembukaan diperbolehkan untuk menjalani
persalinan per vaginam bila tidak terdapat komplikasi obstetrik. Anestesi rasa
nyeri maternal selama pembukaan dan persalinan dapat dengan anestesi epidural
yang direkomendasikan pada wanita dengan preeklamsi berat. Untuk persalinan
dengan seksio, regional anestesi seperti epidural, spinal, atau teknik kombinasi
dapat dipergunakan. Anestesi regional dikontraindikasikan bila terdapat
koagulopati atau trombositopeni berat (< 50.000 mm3). Pada wanita dengan
eklamsi, anestesi umum meningkatkan risiko aspirasi dan gagal intubasi karena
edema jalan nafas dan peningkatan tekanan darah sistemik (transient reflex
hypertension) dan serebral selama intubasi.
Setelah persalinan, pasien eklamsi harus diobservasi ketat terhadap tanda
vital, intake-otput cairan, dan gejala selama 48 jam. Wanita ini biasanya
menerima cairan IV yang banyak selama fase pembukaan, persalinan, dan post
16
partum. Sebagai tambahan, selama post partum terjadi pergeseran cairan
ekstraselular sehingga terjadi peningkatan volume cairan intravaskular.
Hasilnya, wanita dengan eklamsi, terutama dengan gangguan fungsi ginjal,
solusio plasenta, hipertensi kronis, memiliki risiko terjadinya edema pulmonal.
Magnesium perenteral harus dilanjutkan selama 24 jam setelah persalinan
dan/atau selama 24 jam setelah konvulsi terakhir. Jika pasien mengalami oliguria
(< 100 mL/4 jam), pemberian infus dan dosis magnesium sulfat harus dikurangi.
Setelah persalinan terjadi, agen anti hipertensi oral seperti labetalol atau
nifedipine dapat digunakan untuk menjaga tekanan sistolik di bawah 155 mmHg
dan tekanan diastolik di bawah 105 mmHg. Rekomendasi labetalol oral adalah
200 mg setiap 8 jam (dosis max 2400 mg/hari) dan rekomendasi dosis nifedipine
10 mg oral setiap 6 jam (dosis max 120 mg/hari).
III. KESIMPULAN
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP
(2000) dibagi menjadi 4 tipe, yaitu hipertensi gestasional, preeklamsi- eklamsi,
17
preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis, dan hipertensi kronis.
Faktor risiko pada preeklamsia dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu faktor
risiko maternal, faktor risiko medikal maternal, dan faktor risiko plasental atau fetal.
Sebab potensial yang mungkin menjadi penyebab preeklamsi adalah invasi
trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis antara jaringan
plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan kardiovaskular atau
inflamasi dari kehamilan normal, faktor nutrisi, dan pengaruh genetik.
Anti hipertensi diberikan bila tekanan diastol mencapai 110 mmHg. Tujuan
utama pemberian obat anti hipertensi adalah menurunkan tekanan diastolik menjadi 90-
100 mmHg.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K, Hypertensive
Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22, New York:
18
McGraw-Hill, 2010 : 706-747
2. Prawirohardjo S, Hipertensi Dalam Kehamilan, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-3,
Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005: 281-301
3. Shennan A, Hypertensive disorders, dalam Dewhurst’s textbook of Obstetrics &
Gynaecology, edisi ke-7, USA : Blackwell Publishing, 2007 : 227-234
4. Carson M, Hypertension and Pregnancy, 25/5/2015, diakses tanggal 27 Maret 2015,
dari http ://emedicine.medscape.com/article/261435overview#aw2aab6c11
5. Health Service Executive, The Diagnosis And Management Of Pre-Eclampsia And
Eclampsia Clinical Practice Guideline, September 2013, Institute Of Obstetricians
And Gynaecologists, Royal College Of Physicians Of Ireland
6. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-`10, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,
penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2008: 258-275
7. Chandiramani M, Management Of Hypertension & Preeclampsia In Pregnancy,
May/June 2007, Trends in Urology Gynaecology & Sexual Health, dari http :
//www.tugsh.com
8. Magee L.A, Pels A, Helewa M, Diagnosis, Evaluation, and Management of the
Hypertensive Disorders of Pregnancy: Executive Summary. May 2014, dari J Obstet
Gynaecol Can 2014;36(5):416–438
9. WHO Recommendations for Prevention and Treatment Of Pre-Eclampsia and
Eclampsia, WHO Handbook for guideline development. Geneva, World Health
Organization, 2010
10. Nafrialdi, Antihipertensi. dalam Farmakologi dan Terapi edisi ke-5.Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Hal:341-360
19