fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

118
1 PENGARUH JENIS PELARUT TERHADAP KLOROFIL DAN SENYAWA FITOKIMIA DAUN KIAMBANG (SALVINIA MOLESTA MITCHELL) DARI PERAIRAN RAWA KARAKTERISTIK KIMIAWI DAN POTENSI PEMANFAATAN DUNALIELLA SALINA DAN NANNOCHLOROPSIS SP EFISIENSI DAN IDENTIFIKASI LOSS PADA PROSES PENGOLAHAN TERASI UDANG REBON (ACETES SP) DI DESA BELO LAUT KECAMATAN MUNTOK BANGKA BELITUNG HIDROLISIS PROTEIN TINTA CUMI-CUMI (LOLIGO SP) DENGAN ENZIM PAPAIN KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI SILASE KEONG MAS ( POMACEA CANALICULATA) DENGAN PENAMBAHAN ASAM FORMAT DAN BAKTERI ASAM LAKTAT 3B104 ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT (PB, HG, CU DAN AS) PADA KERUPUK KEMPLANG DI DESA TEBING GERINTING UTARA, KECAMATAN INDRALAYA SELATAN, KABUPATEN OGAN ILIR PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP MUTU SILASE LIMBAH PENGOLAHAN KODOK BEKU (RANA SP.) YANG DIKERINGKAN DENGAN PENAMBAHAN DEDAK PADI PENGARUH PERBEDAAN SUHU PEREBUSAN DAN KONSENTRAS NAOH TERHADAP KUALITAS BUBUK TULANG IKAN GABUS (CHANNA STRIATA) BEKASAM IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENGGUNAAN SUMBER KARBOHIDRAT YANG BERBEDA

description

jurnal thi unsri

Transcript of fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

Page 1: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

1

PENGARUH JENIS PELARUT TERHADAP KLOROFIL DAN SENYAWA FITOKIMIA DAUN KIAMBANG (SALVINIA MOLESTA MITCHELL) DARI PERAIRAN RAWA KARAKTERISTIK KIMIAWI DAN POTENSI PEMANFAATAN DUNALIELLA SALINA DAN NANNOCHLOROPSIS SP EFISIENSI DAN IDENTIFIKASI LOSS PADA PROSES PENGOLAHAN TERASI UDANG REBON (ACETES SP) DI DESA BELO LAUT KECAMATAN MUNTOK BANGKA BELITUNG HIDROLISIS PROTEIN TINTA CUMI-CUMI (LOLIGO SP) DENGAN ENZIM PAPAIN KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI SILASE KEONG MAS (POMACEA CANALICULATA) DENGAN PENAMBAHAN ASAM FORMAT DAN BAKTERI ASAM LAKTAT 3B104 ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT (PB, HG, CU DAN AS) PADA KERUPUK KEMPLANG DI DESA TEBING GERINTING UTARA, KECAMATAN INDRALAYA SELATAN, KABUPATEN OGAN ILIR PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP MUTU SILASE LIMBAH PENGOLAHAN KODOK BEKU (RANA SP.) YANG DIKERINGKAN DENGAN PENAMBAHAN DEDAK PADI PENGARUH PERBEDAAN SUHU PEREBUSAN DAN KONSENTRAS NAOH TERHADAP KUALITAS BUBUK TULANG IKAN GABUS (CHANNA STRIATA) BEKASAM IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENGGUNAAN SUMBER KARBOHIDRAT YANG BERBEDA

Page 2: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

1

FishtecH merupakan jurnal yang memuat karya ilmiah berupa hasil penelitian, studi

kepustakaan, gagasan, aplikasi teori dan kajian kritis dibidang pengolahan hasil perikanan

dan perairan secara luas, yang diterbitkan oleh

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Faperta UNSRI

Terbit pertama kali akhir tahun 2012, dengan frekuensi penerbitan

Dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Mei dan November

Ketua Redaksi Agus Supriadi, SPt., MSi

Anggota Redaksi

Susi lestari, SPi., MSi

Reviewer Ahli Dr. Sugeng Heri Suseno, SPi.,MSi (FPIK-IPB)

Dr. Ir. Kiki Yuliati, MSc (THP-UNSRI) Dr. Ace Baehaki, SPi.,MSi (THI-UNSRI)

Rodiana Nopianti, SPi., MSc (THI-UNSRI) Shanti Dwita Lestari, SPi., MSc (THI-UNSRI)

Siti Hanggita RJ, STp., MSi (THI-UNSRI)

Redaksi Pelaksana: Dian Wulan Sari, STp., MSi

Ani Sumarni, SE

Alamat redaksi / penerbit:

Prodi THI Faperta Unsri, Jalan Palembang – Prabumulih KM. 32 Desa Timbangan, Kec.

Indralaya Utara, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kode Pos: 30662. Tel / fax : 0711-

580934, email: fishtechthi @yahoo.co.id

FishtecH

ISSN 2302-6936

Volume I, Nomor 01, November 2012

Page 3: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

2

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan Syukur kami haturkan kepada Allah SWT, atas rahmat-Nya

sehingga Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Pertanian Universitas

Sriwijaya di usianya yang XI dapat menerbitkan jurnal ilmiah pertama yang diberi

nama FishtecH.

FishtecH merupakan jurnal yang memuat karya ilmiah berupa hasil penelitian,

studi kepustakaan, gagasan, aplikasi teori dan kajian kritis dibidang pengolahan hasil

perikanan dan perairan secara luas. Penekanan pada kata “secara luas” sebagai

interprestasi pada arti hasil perikanan dan perairan, bahwa objek kajian tidak hanya

terfokus pada ikan semata melainkan seluruh biota yang berada di perairan.

Pada edisi pertama jurnal FishtecH mempublikasikan hasil penelitian

mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, dengan maksud jurnal

FishtecH dapat menjadi media penyebaran teknologi karya mahasiswa kepada

masyarakat sehingga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat yang lebih luas

dibandingkan publikasi di skripsi. Selain itu jurnal FishtecH juga menjadi sarana

implementasi tridarma perguruan tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat.

Guna penerbitan edisi-edisi berikutnya kami mengundang kepada seluruh

peneliti, praktisi, civitas akademik, dan pihak yang konsen untuk dapat

memanfaatkan jurnal ini dengan maksimal untuk mempublikasikan karya ilmiahnya.

Akhirnya kami berharap jurnal FishtecH selanjutnya dapat menjadi media

penyebaran teknologi dan bermanfaat bagi pembaca, selamat membaca.

Redaksi

Page 4: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

3

DAFTAR ISI Pengaruh jenis pelarut terhadap klorofil dan senyawa fitokimia daun kiambang (Salvinia Molesta Mitchell) dari perairan rawa ...................................................................................... 4 Karakteristik kimiawi dan potensi pemanfaatan Dunaliella Salina dan Nannochloropsis Sp . 18 Efisiensi dan identifikasi Loss pada proses pengolahan terasi udang rebon (Acetes Sp) di desa Belo laut Kecamatan Muntok Bangka Belitung ............................................................ 26 Hidrolisis protein tinta Cumi-cumi (Loligo Sp) dengan enzim papain .................................... 41 Karakteristik Kimia Dan Mikrobiologi Silase Keong Mas (Pomacea Canaliculata) Dengan Penambahan Asam Format Dan Bakteri Asam Laktat 3b104 ............................................ 55 Analisis Kandungan Logam Berat (Pb, Hg, Cu Dan As) Pada Kerupuk Kemplang Di Desa Tebing Gerinting Utara, Kecamatan Indralaya Selatan, Kabupaten Ogan Ilir......................................................................................................................................... 69 Pengaruh Suhu Dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu Silase Limbah Pengolahan Kodok Beku (Rana Sp.) Yang Dikeringkan Dengan Penambahan Dedak Padi .............................. 78 Pengaruh Perbedaan Suhu Perebusan Dan Konsentras Naoh Terhadap Kualitas Bubuk Tulang Ikan Gabus (Channa Striata) .................................................................................... 91 Bekasam Ikan Lele Dumbo (Clarias Gariepinus) Dengan Penggunaan Sumber Karbohidrat Yang Berbeda ................................................................................................................... 102

Page 5: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

4

PENGARUH JENIS PELARUT TERHADAP KLOROFIL DAN SENYAWA FITOKIMIA DAUN KIAMBANG (Salvinia molesta Mitchell) DARI PERAIRAN RAWA

Yaya Ernaini

1, Agus Supriadi

2, Rinto

2

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : Kiambang, Extract, Chlorophyll, Phytochemical

1. Pendahuluan Tanaman secara umum terbagi dua yaitu tanaman tingkat tinggi dan tanaman tingkat

rendah. Tanaman tingkat tinggi terdiri dari akar, batang, daun, bunga, buah dan biji. Sedangkan tanaman tingkat rendah hanya memiliki beberapa dari bagian tanaman tingkat tinggi, salah satu contohnya adalah kiambang. Bagian-bagian tumbuhan ini telah diketahui mengandung komponen fitokimia. Fitokimia merupakan senyawa kimia yang bersifat aktif yang dihasilkan oleh tumbuhan. Kandungan senyawa fitokimia yang terdapat dalam suatu tanaman akan mempengaruhi manfaat tanaman tersebut (Rozak dan Hartanto, 2008). Fitokimia banyak digunakan sebagai zat warna, aroma makanan, serta obat-obatan. Salah satu senyawa fitokimia ialah klorofil.

Kiambang (Salvinia molesta Mitchell) merupakan tumbuhan rawa yang ketersediaannya melimpah, khususnya di perairan rawa Sumatera Selatan. Tumbuhan ini tidak memiliki nilai ekonomi tinggi, kecuali sebagai sumber humus. Kiambang dapat menyebabkan blooming yaitu tumbuh sangat rapat sampai menutupi permukaan sungai atau danau. Daun kiambang berwarna hijau mengandung klorofil. Kandungan klorofil pada tumbuh-tumbuhan memiliki jumlah yang banyak yaitu rata-rata 1% berat kering, sehingga sangat berpotensi dikembangkan sebagai suplemen pangan, pewarna alami, dan kegunaan lainnya.

Klorofil adalah pigmen utama berwarna hijau pada tumbuhan, memiliki struktur mirip dengan hemoglobin (pigmen pada darah manusia), dimana atom sentral Fe2+ pada darah diganti dengan Mg2+ pada klorofil. Klorofil merupakan senyawa yang tidak stabil dan sangat peka terhadap cahaya sehingga sulit untuk menjaga agar molekulnya tetap utuh dengan warna hijau yang sangat menarik (Hutajulu et al., 2008). Selain itu, klorofil juga peka terhadap panas, oksigen dan degradasi kimia. Degradasi klorofil pada jaringan sayuran dipengaruhi oleh pH. Pada media basa, kondisi klorofil lebih stabil, sehingga dapat menekan reaksi pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan (Manurung, 2011). Senyawa

The objective of this research was to know effect of solvent (NaHCO3 0,5% and MgCO3

0,03%) and Tween 80 (0,5%, 1%, and 1,5%) to obtain the chlorophyll and phytochemical

compounds of kiambang leaves. The research used factorial randomized block design

with two treatments and each treatment was replicated three times. The treatments were

the type of solvent (NaHCO3 0.5% and MgCO3 0.03%) and the concentration of Tween 80

(0.5%, 1% and 1.5%). The parameters of research were total chlorophyll content, water

dissolve chlorophyll, phytochemichal, colour intensity (Hunter a, Hunter b, and Lightness),

and colour stability. The result showed that the average of total chlorophyll ranges from

10.261 mg/L to 16.435 mg/L, water dissolve chlorophyll ranges from 4.503 mg/L to 5.739

mg/L, Hunter a ranges from -2.8 to -4.667, Hunter b ranges from +6.1 to +14.6, Lightness

ranges from 29.4 to 34.067. Phytochemical compounds of kiambang leaves were alkaloid,

fenol, and saponin. The colour stability test of kiambang leaves by using NaHCO3 0.5%

and Tween 80 1.5% indicated the best colour stability during four weeks storage in

aerobic condition.

Page 6: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

5

fitokimia dan klorofil dapat diperoleh melalui proses pelarutan menggunakan pelarut (Harborne, 1996 dalam Afrisandy, 2008).

Pelarut merupakan zat yang jumlahnya lebih banyak daripada zat-zat lain dalam suatu campuran homogen. Larutan NaHCO3 dan MgCO3 merupakan garam yang bersifat basa. Kondisi basa biasa diterapkan pada proses blansir sayuran berdaun hijau untuk mencegah degradasi klorofil menjadi feofitin yang berwarna hijau kecoklatan. Berdasarkan penelitian Prangdimurti (2007), penggunaan NaHCO3 0,5% dapat meningkatkan kadar klorofil pada daun suji. Selain itu, berdasarkan penelitian Hutajulu et al. (2008) menunjukkan bahwa penggunaan MgCO3 0,03% dapat mempertahankan warna hijau klorofil daun suji.

Proses pelarutan klorofil dipermudah dengan bantuan deterjen. Penggunaan Tween 80, yang termasuk deterjen non ionik, dalam proses pelarutan klorofil dapat menekan pembentukan feofitin. Selain itu, penggunaan Tween 80 dapat mempermudah kontak antara klorofil dengan enzim klorofilase. Enzim klorofilase bekerja menghidrolosis gugus fitol klorofil sehingga mengubahnya menjadi klorofilid yang larut air (Prangdimurti, 2007). Berdasarkan uraian tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui kandungan klorofil dan senyawa fitokimia lain yang terdapat pada daun kiambang.

2. Metode Penelitian

2.1. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Kiambang (Salvinia molesta Mitchell) diambil di danau UNSRI, Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, 2) Magnesium karbonat (MgCO3) , 3) Natrium bikarbonat (NaHCO3), 4) Tween 80, 5) Aquades, 6) Pereaksi Fitokimia: Asam sulfat 2N, iodine, kalium iodida, aquades, kloroform, anhidrida asetat, asam sulfat pekat, air panas, asam klorida 2N, besi klorida 5%, 7) bahan kimia untuk analisis kadar klorofil: aseton 99,5%, petroleum eter, air deionisasi.

Alat yang digunakan adalah: 1) blender, 2) inkubator, 3) timbangan analitik, 4) ayakan, 5) baskom stainless 6) mini water bath, 7) botol, 8) kain kasa, 9) pipet tetes, 10) labu ukur, 11) beker gelas, 12) Erlenmeyer, 13) pipet volume, 14) tabung reaksi, 15) Spektrofotometer, 16) vortex mixer, dan 17) Colour reader CR-10

2.2. Prosedur

Cara kerja dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Prangdimurti (2007) yang telah dimodifikasi. Bahan baku (kiambang) yang diperlukan diambil dicuci bersih lalu ditiriskan. Selanjutnya bahan baku dicelupkan (blanching) dalam air mendidih selama 45 detik. Kemudian sampel didinginkan dengan air mengalir menggunakan wadah berupa saringan sehingga air langsung terbuang untuk menghentikan proses inaktivasi enzim saat blanching. Kemudian bahan baku dikering-anginkan.

Berikutnya dilakukan pembuatan larutan yang akan digunakan untuk melarutkan daun kiambang dengan cara NaHCO3 0,5 gram dan MgCO3 0,03% dilarutkan ke dalam larutan Tween 80 dengan konsentrasi (0,5%, 1%, 1,5%). Kiambang yang telah dipersiapkan kemudian ditambahkan dengan larutan tersebut (1:10 b/v) lalu dihancurkan menggunakan blender. Kemudian diinkubasi pada suhu 70-75 oC selama 60 menit. Setelah diinkubasi dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain kasa untuk membuat ampas, kemudian klorofil daun kiambang disimpan dalam botol gelap

Parameter yang diamati meliputi kadar total klorofil ekstrak, kadar klorofil larut air, senyawa fitokimia (alkaloid, steroid, triterpenoid, fenol, tanin, dan saponin), intensitas warna, dan kestabilan warna selama penyimpanan

2.3. Statistik

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF) dengan dua faktor perlakuan yaitu jenis pelarut (dua taraf) dan konsentrasi Tween 80 (tiga taraf). Percobaan ini diulang sebanyak 3 kali dengan ulangan sebagai kelompok. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

Page 7: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

6

1. Jenis Pelarut (A)

A1 :Natrium Bikarbonat (NaHCO3) 0,5 % A2 :Magnesium Karbonat (MgCO3) 0,03%

2. Konsentrasi Tween 80 (T) T1 = Tween 80 0,5% T2 = Tween 80 1% T3 = Tween 80 1,5%

Data yang diperoleh diolah menggunakan statistik parametrik dengan Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang dianalisis dengan keragaman (Ansira 5%) dan dilakukan uji lanjut dengan uji Duncan

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Kadar total klorofil

Klorofil adalah pigmen utama warna hijau pada tumbuhan, memiliki struktur mirip dengan haemoglobin (pigmen pada darah manusia), dimana atom sentral Fe2+ pada haemoglobin duganti dengan Mg2+ pada klorofil (Eskin 1979 dalam Hutajulu 2008). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rata-rata kadar total klorofil ekstrak kiambang tertinggi adalah pada perlakuan A1T3 yaitu sebesar 16,435 mg/L dan yang terendah pada perlakuan A2T1 sebesar 10,261 mg/L. Tanaman kiambang memiliki kadar total klorofil yang hampir sama dengan tanaman mata lele yang memiliki kadar total korofil sebesar 17,866 mg/L. Namun, kadar total klorofil tanaman kiambang terlalu kecil dibandingkan tanaman suji yang memiliki kadar total klorofil sebesar 3.773,9 mg/L. Hasil rata-rata kadar total klorofil dari semua perlakuan disajikan pada Gambar 1. Keterangan: A1T1= NaHCO30.5% dan Tween 80 0.5% , A1T2= NaHCO30.5% dan

Tween 80 1%, A1T3= NaHCO30.5% dan Tween 80 1.5% , A2T1= MgCO3 0.03% dan Tween 80 0.5%, A2T2= MgCO3 0.03% dan Tween 80 1%, A2T3= MgCO3 0.03% dan Tween 80 1.5%

Gambar 1. HistogramNilai Rata- Rata Kadar Total Klorofil Ekstrak Kiambang

30,533

31,167

34,067

29,4

34

30,133

27

28

29

30

31

32

33

34

35

A1T1 A1T2 A1T3 A2T1 A2T2 A2T3

Tota

l klo

rofi

l (m

g/l)

Perlakuan

Page 8: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

7

Hasil analisis keragaman kadar total klorofil daun kiambang menunjukkan bahwa jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap kadar total klorofil. Hal ini diduga NaHCO3 dan MgCO3 cenderung bersifat basa sehingga mampu menekan reaksi pembentukan feofitin, sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fennema (1996) dalam Manurung (2011) penambahan garam seperti sodium, magnesium, atau kalsium menurunkan feofitinisasi, karena terjadi pelapisan elektrostatik dari garam. Selain itu, dengan adanya penggunaan Tween 80 pada proses pelarutan dapat membantu peningkatan kadar total klorofil dengan ditunjukkan semakin tinggi konsentrasi Tween 80, maka semakin tinggi pula kadar total klorofil. Namun, konsentrasi Tween 80 dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar total klorofil yang dihasilkan pada uji 5%. Hasil uji Duncan pengaruh jenis pelarut terhadap total klorofil daun kiambang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh jenis pelarut terhadap

kadar total klorofil ekstrak kiambang

Jenis pelarut Rerata BJND 0,05

A1 15,735 b A2 10,348 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti

berbeda tidak nyata.

Hasil uji Duncan pada Tabel 1, memperlihatkan bahwa perlakuan jenis pelarut NaHCO3 berbeda nyata dengan perlakuan jenis pelarut MgCO3. Hal ini disebabkan penggunaan konsentrasi yang berbeda antara NaHCO3 dan MgCO3. Larutan NaHCO3 merupakan larutan yang bersifat basa. Kondisi basa biasa diterapkan pada proses blansir sayuran berdaun hijau untuk mencegah degradasi klorofil menjadi feofitin yang berwarna kuning-coklat. Menurut Manurung (2011) degradasi klorofil pada jaringan sayuran dipengaruhi oleh pH. Pada media basa, klorofil lebih stabil, sehingga dapat menekan reaksi pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan. Klorofil bersifat tidak stabil dan ion magnesium yang terdapat didalamnya dapat dengan mudah digantikan oleh ion hidrogen. Akibatnya warna sayuran yang semula hijau berubah menjadi kecoklatan karena terbentuknya feofitin (Muchtadi, 1992 dalam Wulansari, 2005).

3.2. Klorofil larut air

Prinsip perhitungan klorofil larut air adalah separasi antara pelarut (aseton dan petroleum eter), yaitu turunan klorofil yang bersifat polar (larut air) akan tetap berada pada lapisan aseton, setelah dilakukan penambahan petroleum eter pada ekstrak aseton, sedangkan klorofil yang bersifat non polar akan berpindah ke dalam lapisan petroleum eter. Cara ini biasa diterapkan untuk melihat aktivitas klorofilase yaitu dengan mengukur intensitas klorofilid yang terbentuk (Gross, 1991 dalam Prangdimurti, 2007).

Enzim klorofilase dapat menghidrolisis gugus fitol dari klorofil sehingga terlepas membentuk klorofilid. Penghilangan gugus fitol dari klorofil akan menghasilkan molekul klorofilid yang bersifat polar dan larut dalam air. Oleh karena itu banyaknya klorofil yang larut air dapat dilihat dari besarnya absorbansi lapisan aseton (Prangdimurti, 2007). Kadar klorofil larut air daun kiambang hasil penelitian disajikan pada Gambar 2.

Page 9: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

8

Gambar 2. Histogram Nilai Rata-rata Kadar Klorofil Larut Air Ekstra Kiambang

Hasil pengujian kadar klorofil larut air daun kiambang yang tertinggi pada perlakuan

A2T3 yaitu sebesar 5,739 mg/L dan yang terendah pada perlakuan A1T1 sebesar 4,503 mg/L. Penggunaan NaHCO3, MgCO3 serta peningkatan konsentrasi Tween 80 pada masing-masing perlakuan menunjukkan adanya peningkatan kadar klorofil larut air karena jenis pelarut dan Tween 80 masing-masing berperan mengubah klorofil menjadi klorofilid, sehingga rata-rata kadar klorofil larut air ekstrak kiambang yang dihasilkan mengalami peningkatan. Namun, berdasarkan analisis keragaman menunjukkan bahwa jenis pelarut, konsentrasi Tween 80 dan interaksi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar klorofil larut air pada taraf uji 5%.

Menurut Clydesdale et al. (1976) dalam Wulansari (2005) salah satu upaya untuk mempertahankan warna hijau dari jaringan tanaman antara lain dilakukan dengan cara mengubah klorofil menjadi klorofilid. Surfaktan atau detergen non-ionik mampu melindungi warna hijau seperti halnya penambahan MgCO3 untuk membuat suasana alkali. Begitupun dengan Tween 80 yang merupakan deterjen non ionik yang juga berperan mengubah klorofil menjadi klorofilid yang larut air. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Prangdimurti (2007) Tween 80 dapat mempermudah kontak antara klorofil dengan enzim klorofilase. Klorofilase bekerja menghidrolisis gugus fitol klorofil sehingga mengubahnya menjadi klorofilid yang larut air.

3.3. Senyawa fitokimia

Fitokimia merupakan senyawa kimia yang bersifat aktif yang dihasilkan oleh tumbuhan. Kandungan senyawa fitokimia yang terdapat dalam suatu tanaman akan mempengaruhi manfaat tanaman tersebut. Uji kualitatif senyawa fitokimia daun kiambang hanya untuk mengetahui keberadaan atau ketiadaan senyawa fitokimia tersebut. Uji kualitatif senyawa fitokimia pada daun kiambang dilakukan dengan uji warna yang meliputi uji alkaloid, steroid, triterpenoid, fenol hidrokuinon, tanin, dan saponin. Hasil uji kualitatif senyawa fitokimia daun kiambang dapat dilihat pada Tabel 2.

30,533

31,167

34,067

29,4

34

30,133

27

28

29

30

31

32

33

34

35

A1T1 A1T2 A1T3 A2T1 A2T2 A2T3

Tota

l klo

rofi

l (m

g/l)

Perlakuan

Page 10: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

9

Tabel 2. Senyawa fitokimia ekstrak kiambang

Jenis Ekstrak Alkaloid Steroid Triterpen Fenol Tanin Saponin

A1T1 + - - + - + A1T2 + - - + - + A1T3 + - - + - + A2T1 + - - + - + A2T2 + - - + - + A2T3 + - - + - +

Keterangan: (+) = Mengandung senyawa yang dimaksud; (-) = Tidak mengandung senyawa yang dimaksud

Berdasarkan uji kualitatif senyawa fitokimia daun kiambang menunjukkan bahwa semua perlakuan (A1T1, A1T2, A1T3, A2T1, A2T2, dan A2T3) mengandung senyawa alkaloid, fenol, dan saponin. Namun keberadaan steroid, triterpenoid, dan tanin tidak terdeteksi.

Senyawa fenol bersifat mudah larut dalam air dan berperan aktif sebagai antioksidan. Senyawa fenol merupakan kelas utama antioksidan yang berada dalam tumbuh-tumbuhan. Senyawa fenol dapat berfungsi sebagai antioksidan primer dikarenakan mampu menghentikan reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid (Kochar dan Rossell, 1990 dalam Diantriani, 2006). Senyawa fenolik memiliki efek yang penting pada stabilitas oksidasi dan keamanan mikrobiologi pangan, seperti aktivitas biologis yang berhubungan dengan efek penghambatan pada mutagenesis dan pembentukan karsinogen. Walaupun demikian, senyawa fenolik dalam jumlah yang besar dapat bersifat sebagai antinutrisi, sehingga perlu pertimbangan yang baik sebelum dikonsumsi (Yoga, 2008).

Larutan daun kiambang memberikan reaksi positif terhadap alkaloid dan saponin. Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom Nitrogen. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia pada konsentrasi tinggi dan pada konsentrasi rendah dapat membantu kegiatan fisiologis, sehingga alkaloid dapat digunakan untuk mengobati berbagai jenis penyakit, salah satunya untuk mengobati penyakit diare (Harborne, 1987).

Senyawa saponin sangat berperan bagi kesehatan manusia. Senyawa saponin memiliki berbagai macam efek farmakologi diantaranya sebagai hipoglikemik, menurunkan kadar kolesterol dalam darah, dan antifertilitas. Saponin merupakan faktor alami kekebalan tubuh dan antibodi yang lebih efisien dalam mengurangi peradangan hati, memicu sistem kekebalan tubuh untuk menurunkan frekuensi demam, flu, sembelit dan infeksi pencernaan yang disebabkan jamur dan kapang. (Anonymous, 2005 dalam Faradisa, 2008). Beberapa jenis saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995 hal 157 dalam Faradisa, 2008). Selain itu, saponin juga berperan mengobati penyakit jantung. Saponin akan memperkuat kontraksi otot jantung sehingga dapat bekerja lebih efisien pada penderita serangan jantung. Walaupun demikian, saponin menyebabkan keracunan pada dosis tinggi (Clark, 2004).

Ada beberapa senyawa fitokimia yang tidak terdeteksi pada daun kiambang yaitu tanin, steroid, dan triterpenoid. Tanin merupakan senyawa organik yang tergolong dalam gugus polifenol yang berperan sebagai antioksidan dan mempunyai sifat yang menjadi ciri khas, yaitu rasa pahit dan sepat serta bersifat sebagai asam lemah (Gandhi, 1991). Begitupun dengan steroid dan triterpenoid. Pada tanaman tingkat tinggi, steroid dikenal dengan fitosterol yang terdapat dalam bentuk bebas atau sebagai glukosida sederhana (Harborne, 1987). Steroid merupakan kelompok triterpenoid yang berhubungan erat dengan beberapa hormon dan keaktifan biologis lainnya. Pada dasarnya kandungan lemak dari

Page 11: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

10

kiambang sangat rendah sehingga senyawa-senyawa triterpenoid pada daun kiambang tidak terdeteksi. Menurut Prangdimurti (2007) keberadaan senyawa-senyawa triterpenoid ini memberikan konstribusi terhadap kandungan lemak dari sampel yang diuji.

3.4. Intensitas Warna

3.4.1. Nilai Hunter a

Nilai Hunter a adalah parameter umum yang digunakan untuk mengukur warna hijau (Clydesdale et al., 1969 dalam Oktaviani, 1987). Semakin negatif nilai Hunter a, semakin hijau pula warnanya. Hasil pengujian intensitas warna nilai Hunter a daun kiambang yang tertinggi pada perlakuan A1T3 yaitu sebesar -4,667 dan yang terendah adalah A1T1 sebesar -2,8. Nilai Hunter a daun kiambang dapat dilihat pada Gambar 3.

NaHCO3 dan MgCO3 merupakan larutan basa yang berperan melindungi warna hijau klorofil. Namun hasil analisis keragaman nilai Hunter a daun kiambang menunjukkan bahwa jenis pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai Hunter a daun kiambang. Sedangkan konsentrasi Tween 80 dan interaksi antara konsentrasi Tween 80 dengan jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai Hunter a daun kiambang yang dihasilkan pada uji 5%. Hal ini karena Tween 80 termasuk deterjen non ionik yang dapat menekan pembentukan feofitin. Menurut Yoga (2008) Tween 80 termasuk deterjen non ionik yang berfungsi menekan pembentukan feofitin pada klorofil. Hasil uji Duncan pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap nilai Hunter a daun kiambang dapat dilihat pada Tabel 3

Hasil uji Duncan pada Tabel 3, memperlihatkan bahwa penambahan Tween 80 1% tidak berbeda nyata dengan penambahan Tween 80 1,5 %, tetapi berbeda nyata dengan penambahan Tween 0,5%. Semakin tinggi konsentrasi Tween 80 dapat meningkatkan nilai Hunter a daun kiambang. Beberapa usaha untuk menstabilkan warna hijau dari jaringan tanaman antara lain dengan mengubah klorofil menjadi klorofilid. Pemberian surfaktan atau deterjen non ionik dapat membuat suasana alkali, sehingga dapat meningkatkan aktivitas enzim klorofilase mengubah klorofil menjadi klorofilid. Menurut Clydesdale dan Francis (1976) dalam Prangdimurti (2007) surfaktan atau deterjen non ionik mampu melindungi warna hijau dengan membuat suasana alkali.

Gambar 3. HistogramNilai Rata-rata Nilai Hunter a Ekstrak Kiambang

Tabel 3. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap nilai Hunter a ekstrak kiambang

Konsentrasi T

Rerata BJND 0,05

30,533

31,167

34,067

29,4

34

30,133

27

28

29

30

31

32

33

34

35

A1T1 A1T2 A1T3 A2T1 A2T2 A2T3

Nila

i Hu

nte

r a

Perlakuan

Page 12: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

11

T1 -2,833 a T2 -3,7 b T3 -4,083 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada

kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.

Pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi Tween 80 terhadap nilai Hunter a daun kiambang menunjukkan bahwa perlakuan A2T2 berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan lainnya tetapi berbeda tidak nyata terhadap perlakuan A1T3. Hal ini diduga bahwa pemberian MgCO3 0,03% dan Tween 80 1% dapat meningkatkan nilai Hunter a daun kiambang karena MgCO3 dan Tween 80 ini keduanya bersifat basa yang dapat membantu melindungi warna hijau klorofil. Dalam pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa suasana alkali dapat melindungi warna hijau klorofil dari reaksi pembentukan feofitin yang berwarna kecoklatan. Menurut Winarno (1997) dalam Hutajulu et al. (2008) warna hijau alami ini dapat berubah menjadi hijau kecoklatan dan mungkin berubah menjadi coklat akibat substitusi magnesium oleh hidrogen membentuk feofitin. Reaksi dapat berjalan lebih lambat pada larutan dengan kondisi basa.

3.4.2. Nilai Hunter b

Nilai Hunter b menunjukkan besaran warna biru dan kuning. Semakin positif nilai b, warna semakin kuning sedangkan semakin negatif nilai b, warna semakin biru. Berdasarkan hasil pengamatan intensitas warna daun kiambang diperoleh nilai Hunter b daun kiambang yang tertinggi pada perlakuan A1T3 yaitu sebesar +14,6 dan yang terendah pada perlakuan A2T1 yaitu sebesar +6,1. Nilai Hunter b daun kiambang dapat dilihat pada Gambar 4.

Hasil analisis keragaman nilai Hunter b daun kiambang menunjukkan bahwa jenis pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap nilai Hunter b daun kiambang. Hal ini diduga sama dengan nilai Hunter a bahwa NaHCO3 dan MgCO3 merupakan larutan basa yang sama-sama berperan menjaga intensitas warna daun kiambang, sehingga diantara keduanya tidak terdapat perbedaan yang tidak begitu nyata. Sedangkan konsentrasi Tween 80 dan interaksi antara konsentrasi Tween 80 dengan jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap nilai Hunter b daun kiambang yang dihasilkan pada uji 5%. Hal ini karena penggunaan Tween 80 yang dapat menekan pembentukan feofitin dengan membuat suasana alkali. Hasil uji Duncan pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap nilai Hunter b daun kiambang dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 4. Histogram Rata-rata Nilai Hunter b Ekstrak Kiambang

30,533

31,167

34,067

29,4

34

30,133

27

28

29

30

31

32

33

34

35

A1T1 A1T2 A1T3 A2T1 A2T2 A2T3

Nila

i hu

nte

r b

Perlakuan

Page 13: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

12

Tabel 4. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh konsntrasi tween 80

terhadap nilai Hunter b ekstrak kiambang

Konsentrasi T

Rerata BJND 0,05

T1 6,171 a T2 10,717 b T3 11,667 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada

kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata.

Hasil uji Duncan pada Tabel 4, memperlihatkan bahwa penambahan Tween 80 1%

tidak berbeda nyata dengan penambahan Tween 80 1,5 %, tetapi berbeda nyata dengan penambahan Tween 0,5%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi Tween 80, semakin tinggi pula nilai Hunter b daun kiambang.

Pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi Tween 80 terhadap nilai Hunter b daun kiambang menunjukkan bahwa perlakuan A2T2 berbeda nyata terhadap kombinasi perlakuan lainnya tetapi berbeda tidak nyata terhadap perlakuan A1T3. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa A2T2 juga berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya dan berbeda tidak nyata terhadap perlakuan A1T3 dalam menghasilkan intensitas warna nilai Hunter a, begitupun dengan nilai Hunter b. Menurut Clydesdale (1969) dalam Oktaviani (1987) kombinasi nilai Hunter a yang semakin negatif dan nilai Hunter b yang semakin positif berkorelasi dengan penampakan visual yang baik. Nilai Hunter b secara tunggal menunjukkan warna kuning jika nilainya semakin positif. Hal ini berhubungan dengan kecerahan warna, karena dengan kombinasi warna hijau-kuning akan memberikan warna cerah, sedangkan kombinasi warna hijau-biru (nilai Hunter b negatif) akan memberikan warna yang gelap.

3.4.3. Kecerahan (L)

Kecerahan (lightness atau L) adalah parameter yang diukur untuk mengetahui apakah suatu produk berwarna cerah atau gelap. Menurut Clydesdale et al. (1969) dalam Oktaviani (1987) penampakan visual yang baik berkorelasi dengan nilai L yang tinggi. Semakin tinggi nilai L, warna produk semakin cerah. Hasil pengujian intensitas warna kecerahan (L) daun kiambang yang tertinggi pada perlakuan A1T3 yaitu sebesar 34,067, sedangkan kecerahan (L) daun kiambang yang terendah pada perlakuan A2T1 yaitu sebesar 29,4. Kecerahan (L) daun kiambang dapat dilihat pada Gambar 5.

30,533

31,167

34,067

29,4

34

30,133

27

28

29

30

31

32

33

34

35

A1T1 A1T2 A1T3 A2T1 A2T2 A2T3

Ke

cera

han

(l)

Perlakuan

Page 14: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

13

Gambar 5. Histogram Rata-rata Tingkat Kecerahan (L) Ekstrak Kiambang Hasil analisis keragaman kecerahan (L) daun kiambang menunjukkan bahwa jenis

pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap kecerahan (L) daun kiambang. Hal ini diduga sama dengan nilai Hunter a dan Hunter b bahwa NaHCO3 dan MgCO3 merupakan larutan basa yang sama-sama berperan menjaga intensitas warna daun kiambang, sehingga diantara keduanya tidak terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan konsentrasi Tween 80 dan interaksi antara konsentrasi Tween 80 dengan jenis pelarut memberikan pengaruh nyata terhadap kecerahan (L) daun kiambang yang dihasilkan pada uji 5%. Hal ini karena Tween 80 termasuk surfaktan yang dapat menekan degradasi klorofil menjadi feofitin yang dapat mempengaruhi warna klorofil. Hasil uji Duncan pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap tingkat kecerahan (L) ekstrak kiambang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil uji lanjut Duncan pengaruh konsentrasi Tween 80 terhadap tingkat kecerahan (L) ekstrak kiambang

Konsentrasi T Rerata BJND 0,05

T1 29,967 a T2 32,1 b T3 32,583 b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata

Hasil uji Duncan pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa penambahan Tween 80 1%

tidak berbeda nyata dengan penambahan Tween 80 1,5 %, tetapi berbeda nyata dengan penambahan Tween 80 0,5%. Peningkatan konsentrasi Tween 80 dapat meningkatkan kecerahan (L) daun kiambang, karena Tween 80 termasuk deterjen non ionik yang dapat menekan pembentukan feofitin. Menurut Winarno (1997) dalam Hutajulu et al. (2008) reaksi pembentukan feofitin dapat berjalan lebih lambat dalam suasana basa.

Pengaruh interaksi jenis pelarut dan konsentrasi Tween 80 terhadap kecerahan (L) daun kiambang menunjukkan bahwa perlakuan A2T2 berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A1T3. Semakin rendah nilai kecerahan menunjukkan bahwa warna semakin tidak baik. Diduga hal ini karena terjadi pembentukan turunan-turunan pigmen yang berwarna gelap sebagai akibat degradasi lanjutan dari feofitin. Dengan terbentuknya turunan pigmen yang berwarna gelap, perbandingan sinar yang direfleksikan dengan sinar yang diserap menjadi lebih kecil sehingga nilai kecerahan juga semakin rendah (Pomeranz et al., 1978 dalam Oktaviani, 1987).

3.5. Kesetabilan warna

Pengamatan kestabilan warna larutan daun kiambang dalam penyimpanan pada suhu ruang, dilakukan selama 1 bulan (0,1, 2, 3, 4 minggu). Sampel diambil dari botol yang sama dan diukur dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Berdasarkan hasil pengamatan selama 1 bulan terlihat pada Gambar 6.

Page 15: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

14

y = -0.0783x + 1.2847 R² = 0.7853

Ab

so

rba

ns

i

Lama penyimpanan

A1T1

y = -0.1x + 1.4916 R² = 0.7325

Ab

so

rba

ns

i

Lama Penyimpanan

A1T2

y = -0,0733x + 1,5997 R² = 0,7689

Ab

so

rba

ns

i

Lama penyimpanan

A1T3

y = -0,0378x + 1,6806 R² = 0,1855

Ab

so

rba

ns

i

Lama penyimpanan

A2T1

Page 16: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

15

Gambar 6. Pengaruh lama penyimpanan pada suhu kamar terhadap kestabilan

warna ekstrak kiambang

Hasil pengamatan seperti terlihat pada Gambar 6, nilai absorbansi zat warna daun kiambang pada minggu ke-1 penurunannya tidak terlalu tinggi. Lain halnya pada penyimpanan selama 2-minggu nilai absorbansi mengalami penurunan yang tajam, sedangkan pada penyimpanan 3-minggu dan 4-minggu mengalami penurunan yang tidak berarti. Berdasarkan grafik analisis regresi linier kestabilan warna larutan daun kiambang pada Gambar 14, menunjukkan bahwa perlakuan A1T3 yang lebih stabil dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini dilihat dari nilai slope yang kecil dengan membentuk garis linier yang lebih landai dan nilai korelasi yang tinggi. Diduga hal ini terjadi karena adanya pembentukan feofitin. Pembentukan feofitin selama penyimpanan terjadi karena dipengaruhi oleh asam yang terdapat dalam jaringan tanaman. Menurut White et al. (1963) dalam Oktaviani (1987) pada umumnya jaringan tanaman bersifat asam dan pembentukan feofitin akan terjadi meskipun dalam kondisi asam yang lemah. Lin et al. (1971) dan Clydesdale et al. (1972) dalam Oktaviani (1987) menunjukkan bahwa asam tidak dilepaskan oleh jaringan tanaman, tetapi terbentuk selama penyimpanan dan pemanasan. Asam-asam yang terbentuk adalah asam asetat dan asam pirolidon karboksilat.

Selain itu, larutan daun kiambang disimpan dalam botol pada kondisi aerobik, sehingga degradasi feofitin diduga dapat terjadi. Menurut Walker (1963) dalam Oktaviani (1987) selama penyimpanan ada dua bentuk degradasi klorofil, yaitu degradasi klorofil membentuk feofitin dan selanjutnya degradasi feofitin itu sendiri. Dikatakan lebih lanjut bahwa degradasi klorofil dan feofitin tidak akan terjadi pada ekstrak klorofil yang disimpan pada kondisi anaerobik. Selain itu, pada umumnya jaringan tanaman bersifat asam dan pembentukan feofitin akan terjadi meskipun dalam kondisi asam yang lemah (White et al., 1963 dalam Oktaviani, 1987).

y = -0,0872x + 1,7254 R² = 0,6079

Ab

so

rba

ns

i

lama penyimpanan

A2T2

Page 17: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

16

4. Kesimpulan dan Saran

4.1. Kesimpulan

1. Penggunaan NaHCO3 0,5% menghasilkan kadar total klorofil yang lebih banyak daripada MgCO3 0,03%.

2. Penambahan Tween 80 1% menunjukkan intensitas warna (Hunter a, Hunter b, dan kecerahan) yang paling baik.

3. Kombinasi perlakuan A2T2 (MgCO2 0,03% dan Tween 80 1%) menunjukkan nilai intensitas warna yang baik.

4. Senyawa fitokimia yang terdapat pada daun Kiambang adalah alkaloid, fenol, dan tanin.

5. Perlakuan A1T3 (NaHCO3 0,5% dan Tween 80 1,5%) memiliki warna yang lebih stabil pada penyimpanan selama 4 minggu pada suhu ruang kondisi aerobik.

4.2. Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan kandungan klorofil tertinggi sebaiknya menggunakan kombinasi perlakuan NaHCO3 0,5% dan Tween 80 1,5%. Untuk penelitian lebih lanjut, dapat dilakukan proses pelarutan klorofil dengan perlakuan kontrol sebagai pembanding, uji kuantitatif terhadap senyawa fitokimia yang terdeteksi pada daun kiambang, analisa antioksidan daun kiambang, pengamatan kestabilan warna daun kiambang selama penyimpanan pada kondisi anaerobik dan aplikasi klorofil daun kiambang menjadi pewarna alami.

DAFTAR PUSTAKA

Afrisandy, D. 2008. Kandungan Klorofil dan Senyawa Fitokimia Ekstrak Mata Lele (Azolla sp) [skripsi]. Indralaya: Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.

Clark, T.J., 2004, Saponin. (online) www.marz.kAreations.com.wildplants.CRYO/Doccs/Silvu, diakses 4 Mei 2011.

Diantriani, V. 2006. Aktivitas Antioksidan Daun terung Pucuk (Solanum macrocarpon L.) [skripsi]. Indralaya: Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.

Faradisa, M. 2008. Uji Efektifitas Antimikroba Senyawa Saponin dari Batang Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi Linn) [skripsi]. Malang: Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Malang.

Gandhi, M. 1991. Identifikasi Gugus Fungsional senyawa Tanin Aktif Anti Bakteri dari Akar senggani (Melastoma polyanthum Blume. Radix) [skripsi]. Indralaya: Fakultas MIPA, Universitas Sriwijaya.

Harborne, J.B. 1987. Phytochemical Methods. Diterjemahkan oleh Padmawinata K dan

Soediro I. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Edisi kedua. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Hutajalu, T.F., Hartanto , Subagia. 2008. Proses Ekstraksi Zat Warna Hijau Khlorofil Alami untuk Pangan dan Karakteristiknya. J Riset Industri 2(1):44-45.

Manurung, P. 2011. Pigmen Klorofil Daun Katuk dan Aplikasinya sebagai Zat Pewarna Alami (online) (http://breanmanurung.wordpress.com/2011/02/26/pigmen-klorofil-daun-katuk-dan-aplikasinya-sebagai-zat-pewarna-alami/ diakses 23-03-2011).

Oktaviani, L. 1987. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Ekstrak Warna Hijau Daun Suji (Pleomele angustifolia) Selama Penyimpanan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Prangdimurti, E. 2007. Kapasitas Antioksidan dan Daya Hipokolesterolemik Ekstrak Daun suji (Pleomele angustifolia N.E.Brown) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rozak, M dan Hartanto, U. 2008. Ekstraksi Klorofil dari Daun Pepaya dengan Solvent 1-Butanol [skripsi]. Semarang: Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.

Page 18: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

17

Wulansari, K. 2005. Studi Kemampuan Pengikatan Kolesterol oleh Ekstrak Daun Suji (Pleomele angustifolia N. E. Brown) dalam Simulasi system Pencernaan In Vitro [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Yoga, I. 2008. Identifikasi Komponen Pembentuk Gel (KPG) dan Potensi Antioksidan Daun Kacapiring (Gardenia jasminoides Ellis) [tesis]. Bogor: IPB.

Page 19: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

18

Karakteristik Kimiawi dan Potensi Pemanfaatan Dunaliella salina dan Nannochloropsis sp Radyanti Darsi1, Agus Supriadi1 dan Ade Dwi Sasanti2

1 Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

2 Program Studi Budidaya Perikanan Universitas Sriwijaya

Abstrac

Keyword: Karakteristik, Pemanfaatan, Dunaliella salina dan Nannochloropsis sp 1. Pendahuluan

Mikroalga merupakan tumbuhan bersel tunggal, berkembang biak sangat cepat

dengan daur hidup relatif pendek (Panggabean, 1998). Mikroalga dapat tumbuh jauh lebih cepat dengan hanya membutuhkan media tumbuh yang lebih sedikit (Widjaja, 2009). Mikroalga biasanya menggandakan dirinya sekitar 24 jam sekali, namun pada fase eksponensial biasanya lebih singkat yaitu hanya 3,5 jam sekali (Chisti, 2007). Selain memiliki laju pertumbuhan yang sangat cepat, mikroalga juga memiliki senyawa metabolit yang dapat dijadikan sebagai alternatif pangan yang dapat bersaing dengan produk pertanian dalam mengatasi lahan yang semakin terbatas (Panggabean, 1998).

Mikroalga sebagai salah satu komoditi hasil perairan dewasa ini telah menjadi alternatif untuk dikembangkan karena memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan maupun pangan. Kebanyakan spesies mikroalga menghasilkan produk yang khas seperti karotenoid, antioksidan, dan asam lemak (Hossain et al., 2008). D. salina dan Nannochloropsis sp. merupakan contoh mikroalga yang berpotensi untuk dikembangkan terutama sebagai sumber karotenoid. Menurut Vonshak (1996), kandungan karotenoid dari

The objective of this research was to know the chemical characteristics and the potential utilization of D.salina and Nannochloropsis sp. The research has been conducted from December 2010 until April 2012 in Technology Of Fishery Product Laboratory, Aquaculture Laboratory, Bioprocess Laboratory University of Sriwijaya and Integrated Laboratory Bogor Agricultural University. The parameters observed were biomass dry weight, proximate (moisture content, ash content, protein content, fat content, and total carbohydrate content), carotenoid, and amino acids. Proximate composition of Nannochloropsis sp. obtained of this research were 58.00% ash content, moisture content 12.39%, protein content 16.17%, fat content 0.30% and total carbohydrate content 19.08%. Then total carotenoids 0.27 ppm, and essential amino acids (histidine, threonine, arginine , methionine, phenylalanine, valine, isoleucine, and leucine) and non-essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, alanine, and tyrosine). As for the sample D.salina were the ash content 58.29%, water content 15.58%, protein content 17.08%, fat content 0.003% and total carbohydrate content 15.07%. Then total carotenoids 0.19 ppm, and essential amino acids (histidine , threonine, arginine, methionine, phenylalanine, valine, isoleucine, leucine, and lysine) and non-essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, alanine, and tyrosine). From the results of data analysis and chemical characteristics of dry weight D.salina and Nannochloropsis sp. obtained in this study, biomass produced this research has the chemical characteristics of lower quality than the quality requirements of microalgae as an industrial raw material of food, feed, biodiesel and bioethanol.

Page 20: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

19

mikroalga mencapai 65% dari bobot biomassa keringnya. Sedangkan mikroalga Nannochloropsis sp. merupakan salah satu mikroalga laut yang mengandung lipid cukup tinggi dengan kisaran 31 - 68 % berat kering (Chisty, 2007).

Nannochloropsis sp. secara komersial dimanfaatkan sebagai bahan makanan, energi biomassa, pupuk pertanian, dan industri farmasi karena mikroalga ini mengandung protein, karbohidrat, lipid dan berbagai macam mineral. Seperti halnya jenis-jenis mikroalga lainnya, D. salina dan Nannochloropsis sp. dalam pertumbuhannya juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan maupun kandungan nutrisi dalam media tumbuhnya (Kabinawa et al., 1994).

Pemanfaatan D. salina dan Nannochloropsis sp. banyak diaplikasikan pada berbagai bidang antara lain dalam bidang akuakultur, bioteknologi farmasi, agrikultur, dan lingkungan (Sasmita et al., 2004). Namun pemanfaatannya ditentukan berdasarkan nilai nutrisi yang terkandung didalamnya (Anonim, 2009) sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kimiawi yang terkandung pada D. salina dan Nannochloropsis sp.

2. Metode Penelitian

a. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: akuarium berukuran 25 cm x 25 cm x 25 cm, termometer, pH meter, beker glass 1000 mL, kurs porselen, neraca digital, timbangan, pipet volumetrik, tabung sentrifuge, kertas saring Whatman No.40, gas kromatografi (GC), HPLC, Oven, sentrifuge, dan refraktometer. Peralatan analisis seperti alat titrasi, soxlet dan kondensor.

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah starter D. salina dan Nannochloropsis sp., media berupa limbah cair tahu, garam krosok serta pupuk teknis yang terdiri dari Urea (0,01 g.L-1), TSP (0,01 g.L-1) , ZA (0,1 g.L-1). Gandasil-B (0,003 g.L-1) untuk Nannochloropsis sp. Bahan-bahan untuk analisis protein, lemak, asam amino, total karoten adalah: akuades, K2SO4, HgO, H2SO4, NaOH, H3BO3 3% , HCl, pelarut heksana, larutan pengering (methanol dan trimetilamin), natrium asetat 1 M.

b. Prosedur Kerja

i. Persiapan Media

Akuarium berukuran 25 cm x 25 cm x 25 cm dengan volume 10 liter dibersihkan dengan air sabun lalu dibilas hingga bersih selanjutnya disterilkan dengan alkohol. Masing-masing akuarium diisi dengan limbah tahu yang sudah direbus dan didinginkan.

ii. Persiapan Pupuk Teknis

Pupuk teknis yang digunakan adalah modifikasi media teknis kultur D. salina dan Nannochloropsis sp. Pupuk ditimbang sesuai yang dibutuhkan yaitu : Urea (0,01 g.L-1), TSP (0,01 g.L-1) , ZA (0,1 g.L-1) dan untuk Nannochloropsis sp. ditambahkan Gandasil-B (0,003 g.L-1). Pupuk yang telah ditimbang dilarutkan dalam 10 L media.

iii. Kultivasi Sel

Kultivasi biomassa mikroalga untuk persiapan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan media optimal yang mengacu pada hasil penelitian Rinitiani (2010) untuk D. salina dan Wijayanti (2010) untuk Nannochloropsis sp. Kepadatan awal mikroalga yang digunakan adalah 106 sel.mL-1. Akuarium diisi dengan air yang sudah direbus dan didinginkan. Garam krosok dimasukkan ke dalam akuarium dan dihomogenkan sampai tercapai salinitas 30 ppt untuk Nannochloropsis sp. dan 60 ppt untuk D. salina. Limbah tahu dituang ke dalam akuarium sesuai persentase, yaitu limbah tahu 81% + pupuk teknis 19% untuk D. salina dan limbah cair tahu 41% + pupuk teknis 59% untuk Nannochloropsis sp. Starter mikroalga ditambahkan sesuai kepadatan yang diperoleh lalu homogenkan.

Page 21: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

20

Akuarium diletakkan di bawah sinar lampu TL 36 watt dan diberi aerasi. Pengadukan dilakukan 2 x sehari (setiap pukul 09.00 WIB dan 14.30 WIB)

iv. Pemanenan dan Pengeringan Pemanenan biomassa dilakukan pada saat kepadatan sel mencapai fase stasioner,

dengan cara sebagai berikut : Volume akuarium diambil sebanyak ± ¾ bagian lalu diendapkan di dalam botol

berukuran 1,5 L selama satu minggu sampai terbentuk endapan. Selanjutnya endapan dari mikroalga tersebut disaring degan menggunakan kertas saring Whatman No.40 kemudian dimasukkan ke dalam kurs porselen yang telah disiapkan . Setelah ditimbang lalu di oven pada suhu 60 0C selama 24 jam kemudian dilakukan penepungan dengan cara menggerus dengan menggunakan mortar.

c. Parameter Pengamatan Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi analisis proksimat (kadar air,

kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat total dengan mengacu pada metode AOAC (1995), asam amino (AOAC, 1984), dan total karotenoid (Indrasti et al. (2006) dalam Mayanti (2009)).

3. Hasil dan Pembahasan

a. Karakteristik Kimiawi D. salina dan Nannochloropsis sp

Hasil kadar proksimat yang diperoleh untuk sampel D. salina ialah kadar abu sebesar

58,29%, kadar air 15,58%, kadar protein 17,08%, kadar lemak 0,003% dan kadar karbohidrat total 15,07%, sedangkan total karoten 0,19 ppm, Asam amino esensial (histidin,threonin, arginin, metionin, fenilalanin, valin, isoleusin, leusin, dan lisin) dan asam amino non-essensial terdiri dari (asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, alanin, dan tirosin ). Hasil kadar proksimat yang diperoleh untuk sampel Nannochloropsis sp. ialah kadar abu sebesar 58,00%, kadar air 12,39%, kadar protein 16,17%, kadar lemak 0,30% dan kadar karbohidrat total 19,08% , kandungan total karoten 0,27 ppm, dan asam amino esensial terdiri dari (histidin,threonin, arginin, metionin, fenilalanin, valin, isoleusin, dan leusin) dan asam amino non-essensial terdiri dari (asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, alanin, dan tirosin ).

Hasil uji kimia dan bobot kering Nannochloropsis sp. (NT) dan D. salina (DT) yang dikeringkan selama 24 jam pada suhu 60 0C yang diperoleh pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.

i. Bobot Kering Biomassa

Hasil rerata bobot kering biomasa yang dikeringkan selama 24 jam pada suhu 60 0C untuk Nannochloropsis sp. pada penelitian ini yaitu 2,37 g.L-1 dan untuk D. salina 3,29 g.L-1

(Gambar 3). Hasil bobot kering yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Gao dan Hu (2006) untuk Nannochloropsis sp. yang hanya mencapai 0.308 g.L-1

pada media f/2-enriched artificial seawater, D. salina yang diperoleh pada penelitian ini juga lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Weldy dan Huesemann (2007) yang hanya mencapai 0,95 g.L-1 (950 mg.L-1) dengan media yang digunakan yaitu media modifikasi DR.Polle. Pada penelitian ini, jika untuk memproduksi 1 kg biomasa Nannochloropsis sp. dan D. salina kering dibutuhkan ± 500 liter atau 0,5 m3. Sedangkan untuk Gao dan Hu (2006) dan Weldy dan Huesemann (2007) membutuhkan ± 3.250 liter atau 3,5 m3.

Produksi massal mikroalga akan sangat mahal apabila unsur utama seperti karbondioksida dan sinar matahari tidak tersedia. Oleh sebab itu, faktor utama untuk memproduksi massal mikroalga adalah ketersediaan karbon dioksida dan intensitas sinar matahari yang cukup. Menurut Molina et al. (1999) untuk memproduksi 100 ton biomasa

Page 22: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

21

dibutuhkan 183 ton karbondioksida. Untuk menghasilkan biomasa secara komersial maka karbondioksida harus disuplai secara terus menerus agar jumlah dan kualitas mikroalga yang dihasilkan tetap terjamin. Adanya pemanasan bumi global warming dan climate change akibat aktivitas industri dan otomotif telah menyebabkan kelimpahan karbondioksida di udara (Basmal, 2008). Indonesia telah merasakan dampak dari penumpukan karbon dioksida di udara, oleh sebab itu produksi massal mikroalga merupakan hal yang positif untuk mengatasi penumpukan karbondioksida disamping untuk memperoleh biomasa untuk kebutuhan industri

Tabel 4. Hasil uji kimia dan bobot kering Nannochloropsis sp. (NT) dan D. salina (DT) yang

dikeringkan selama 24 jam pada suhu 60 0C.

Parameter D. salina (DT) Nannochloropsis sp. (NT)

1. Bobot Kering (g.L-1)

2. Kadar air (% )

3. Kadar abu (%)

4. Kadar protein (% bk)

5. Kadar lemak (% bk)

6. Kadar karbohidrat total (% bk)

7. Total karoten (ppm)

8. Asam amino (% w/w bk) - As. aspartat - As. glutamat - Serin - Histidin - Glisin - Threonin - Arginin - Alanin - Tirosin - Metionin - Valin - Fenilalanin - I-leusin - Leusin - Lisin - Prolin

3,29 15,58 58,29 17,08

0,003 15,07

0,19

0,73 0,73 0,37 0,07 0,39 0,29 0,33 0,46 0,21 0,06 0,37 0,32 0,29 0,45 0,25 nd*

2,37 12,39 58,00 16,17 0,30

19,08

0,27

1,57 0,96 0,20 0,47 0,40 0,27 0,72 0,39 0,47 1,17 0,37 1,06 1,05 0,31 nd* nd*

Keterangan : nd* = not detected

3,32

2,6

3,09

3,87 3,545

2,1375 2,42 2,4025

2,875

1,995

0

3

6

0 3 6 9 12 15

Bo

bo

t K

erin

g (

g.L

-1)

Waktu (Hari)

DT

NT

Page 23: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

22

Gambar 3. Grafik bobot kering rerata D. salina dan Nannochloropsis sp.

ii. Kadar Air Nilai rerata kadar air Nannochloropsis sp. yang diperoleh pada penelitian ini yaitu

12,39% dan D. salina yaitu 15,58%. Hal ini diduga karena ada hubungannya dengan kepadatan yang dicapai oleh Nannochloropsis sp dan D. salina. Kepadatan biomassa D. salina (4,29 x 106 ± 9,980 x 107 ) lebih tinggi jika dibandingkan dengan Nannochloropsis sp. (1,58 x 106 ± 2,530x 107) sehingga kadar air yang diperoleh D..salina lebih tinggi dibandingkan dengan Nannochloropsis sp.

Perbedaan kepadatan biomassa yang dihasilkan juga menyebabkan perbedaan tinggi volume disetiap kurs porselen sehingga pada suhu, waktu dan ukuran kurs porselen yang sama dengan volume endapan biomasa yang berbeda menyebabkan perbedaan hasil kadar air yang diperoleh. Sehingga kadar air akan tinggi dengan semakin padatnya biomasa yang dihasilkan. Selain perbedaan kepadatan jumlah biomasa, bentuk dan ukuran tempat yang digunakan untuk media perantara pemindah panas pada penelitian ini adalah kurs porselen juga ikut mempengaruhi hasil kadar air yang diperoleh dari proses pengeringan biomasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Buckle et al. (2007) yang menyatakan bahwa jumlah bahan dan permukaan alat atau media perantara pemindah panas yang digunakan merupakan faktor yang mempengaruhi proses pengeringan, sehingga akan mempengaruhi perbedaan kadar air yang diperoleh pada setiap sampel.

Kadar air Nannochloropsis sp. pada penelitian ini (12,39%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Susilaningsih et al. (2009) yang hanya sebesar 3,23%. Demikian halnya dengan kadar air untuk sampel D. salina pada penelitian ini (15,58%) lebih tinggi jika dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh Nutra-Kol Nutrition Solution Pty Ltd. (2010) yaitu 9,1%. Menurut Kusnandar (2010), kadar air dalam bahan dapat mempengaruhi umur simpan pada bahan tersebut.

iii. Kadar Abu

Kadar abu juga dikenal sebagai unsur mineral. Dalam proses pembakaran, bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tidak sehingga disebut abu (Winarno, 2004). Penentuan kadar abu dilakukan dengan cara membakar semua zat organik pada suhu tinggi (500-600 0C) dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran tersebut (Sudarmadji et al., 2007).

Nilai kadar abu yang diperoleh pada pengujian sangat tinggi, yaitu 58,29% untuk D. salina dan 58,00% untuk Nannochloropsis sp. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan garam pada media. Garam yang tinggi digunakan untuk meningkatkan salinitas karena Nannochloropsis sp. dan D. salina merupakan alga yang hidup pada salinitas tinggi. Garam inilah yang mengakibatkan kadar abu sampel menjadi tinggi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sudarmadji et al. (2007) yang menyatakan bahwa kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan dan mineral tersebut dapat berupa garam.

Tingginya kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber mineral (makro nutrien). Menurut Winarno (2004) beberapa jenis unsur mineral yang berbeda diperlukan tubuh agar memiliki kesehatan dan pertumbuhan yang baik. Namun, tidak semua mineral yang terdapat pada bahan pangan dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh atau biasa disebut toksik (Andarwulan et al., 2011).

iv. Kadar protein

Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur –unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak atau karbohidrat (Winarno, 2004). Kandungan protein dalam bahan ditentukan menggunakan metode Kjeldahl dengan hasil yang bervariasi pada setiap bahan (Kusnandar, 2010). Hasil pengukuran kadar protein Nannochloropsis sp. dan

Page 24: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

23

D. salina yang telah yang telah dikeringkan selama 24 jam pada suhu 60 0C yaitu berkisar antara 16,17% hingga 17,08%. Hasil kadar protein yang diperoleh pada Nannochloropsi sp. pada penelitian ini sebesar 16,17%, persentase ini lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase kadar protein pada hasil penelitian Gao dan Hu (2006) yaitu sebesar 23-59%. Sedangkan persentase kadar protein untuk sampel D. salina yaitu 17,08% yang lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kadar protein pada data Nutra-Kol Nutrition Solution Pty Ltd. (2010).

Dari hasil kisaran kadar protein yang diperoleh pada penelitian ini, biomassa Nannochloropsis sp. dan D. salina yang dihasilkan pada media penambahan limbah cair tahu dan media pupuk teknis tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein karena kadar protein tertinggi yang diperoleh hanya sebesar 17,8%. Meskipun menurut Becker (1994) protein yang terkandung dalam mikroalga memiliki jenis asam amino essensial seperti leusin, isoleusin dan valin, namun menurut Ben-Amotz (2009), suatu bahan dapat memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sumber protein pangan dan pakan apabila memiliki kadar protein sebesar 20-50%.

v. Kadar Lemak

Nannochloropsis sp. dan D. salina merupakan jenis mikroalga yang berpotensi untuk pembuatan biodiesel karena memiliki kadar lemak yang tinggi. Menurut Chisti (2007) kedua mikroalga tersebut memiliki kandungan lemak sebesar 23% (bobot kering) untuk Dunaliella dan 31-68% (bobot kering) untuk Nannochloropsis sp. Namun pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya potensi untuk pembuatan biodisel, hal ini dikarenakan kadar lemak yang diperoleh sangat rendah. Sedangkan kadar lemak yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai biodiesel berkisar antara 8-50% (Ben-Amotz, 2009). Nilai kadar lemak untuk Nannochloropsis sp. yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,30%. Sedangkan untuk kadar lemak D. salina yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,003% (Tabel 4).

Kadar lemak untuk Nannochloropsis sp. yang diperoleh pada penelitian ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Susilaningsih et al. (2009) dan Gao dan Hu (2006). Pada penelitian ini kadar lemak yang diperoleh pada sampel Nannochloropsis sp. sebesar 0,30% sedangkan pada penelitian Susilaningsih et al. (2009) kadar lemak yang diperoleh sebesar 15,35% untuk Nannochloropsis sp. tanpa perlakuan penepungan dan 30,35% untuk Nannochloropsis sp. dengan perlakuan penepungan dan pada penelitian Gao dan Hu (2006) rerata kadar lemak mencapai 9-62%.

Kadar lemak untuk D. salina yang diperoleh pada penelitian ini juga jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Weldy dan Huesemann (2007). Kadar lemak D. salina yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 0,003% sedangkan pada penelitian Weldy dan Huesemann (2007) rerata kadar lemak yang diperoleh sebesar 15-45%. Hal ini diduga karena pengaruh media yang digunakan untuk pertumbuhan pada penelitian ini berbeda dengan media yang digunakan pada penelitian Susilaningsih et al. (2009) dan Weldy dan Huesemann (2007) serta Gao dan Hu (2006). Hal ini sejalan dengan pernyataan Chisti (2007) bahwa mikroalga yang dikultur pada kondisi media yang berbeda akan menghasilkan perbedaan kandungan nilai proksimat.

Komposisi media dan pupuk juga sangat mempengaruhi hasil kadar lemak yang diperoleh. Selain dari limbah cair tahu, faktor N juga terdapat pada jenis pupuk teknis yang digunakan yaitu pada pupuk urea [(NH2)2CO] dan ZA [(NH4)2SO4]. Menurut Kawaroe et al. (2010), kadar N yang tinggi pada media kultivasi merupakan faktor rendahnya total lemak yang dihasilkan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Borowitzka dan Borowitzka(1988) bahwa faktor nutrisi nitrogen dalam medium akan berpengaruh terhadap lipid intrasel dalam mikroalga.

vi. Kadar Karbohidrat Total

Karbohidrat adalah senyawa organik yang terdapat di alam yang jumlahnya paling banyak. Karbohidrat diproduksi oleh tanaman melalui proses fotosintesis, yang disertai dengan pembentukan oksigen dan pelepasan energi (Kusnandar, 2010). Kadar karbohidrat

Page 25: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

24

total pada penelitian ini dilakukan dengan metode by different yaitu hasil pengurangan 100% sampel terhadap kadar air total, protein total, lemak total, dan abu total. Hasil pengukuran kadar karbohidrat total menunjukkan kadar karbohidrat total yang diperoleh pada sampel Nannochloropsis sp. pada penelitian ini adalah sebesar 19,08% dan D. salina sebesar 15,07%. Hasil rerata perhitungan kadar karbohidrat total yang diperoleh Nannochloropsis sp. yaitu 19,08% (bk) dan untuk D. salina yaitu 15,07% (bk) merupakan rerata yang paling tinggi jika dibandingkan dengan nilai hasil pengukuran kadar protein dan kadar lemak.

Berdasarkan hasil rerata perhitungan kadar karbohidrat total yang diperoleh pada penelitian ini, sampel Nannochloropsis sp. dan D. salina pada media pertumbuhan kombinasi limbah cair tahu dan pupuk teknis tidak memiliki potensi sebagai bahan baku bioetanol karena persentase kadar karbohidrat yang diperoleh belum mencapai 20%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ben-Amotz (2009) yang menyatakan bahwa syarat suatu bahan yang berpotensi sebagai sumber bioetanol adalah memiliki kandungan karbohidrat yang berkisar antara 20-50%. Namun, hasil pengukuran kadar karbohidrat pada penelitian ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil rerata karbohidrat pada penelitian Gao dan Hu (2006) yaitu 5-17% untuk Nannochloropsis sp.. Sedangkan untuk D. salina kadar karbohidrat yang diperoleh pada penelitian ini juga lebih besar jika dibandingkan dengan data yang dimiliki Nutra-Kol (2011) yang hanya mencapai 9,4 %.

vii. Total karoten

Pigmen adalah salah satu komponen yang terkandung dalam sel, seperti contohnya karoten yang bisa diperoleh dari biomassa mikroalga (Gireesh, 2007). Karotenoid alami (juga dikenal sebagai ekstrak karoten) secara alami memberikan pigmen warna pada berbagai tumbuhan termasuk buah-buahan dan sayuran. Karotenoid berperan penting bagi kesehatan dan kelangsungan hidup manusia. Karotenoid dapat meningkatkan sistem immun, perlindungan terhadap kanker dan juga berfungsi sebagai antioksidan (Winarno, 2004).

Hasil rerata total karoten Nannochloropsis sp. yang telah dikeringkan selama 24 jam pada suhu 60 0C pada penelitian ini yaitu sebesar 0,27 ppm dan untuk D. salina sebesar 0,19 ppm. Hasil rerata total karoten yang diperoleh pada penelitian ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya. Hasil penelitian Mayanti (2009) menunjukan hasil total karoten D. salina tertinggi sebesar 66,44% dengan media kultur menggunakan pupuk Conway dan waktu pengeringan selama 36 jam. Hal ini diduga karena perbedaan pupuk dan waktu pengeringan yang digunakan. Selain itu, rerata total karoten yang diperoleh pada penelitian ini (0,19 ppm) jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Gomez et al. (2003) yaitu sebesar 12,9 mg.L-1 (setara dengan 12,9 ppm). Total karoten yang diperoleh untuk sampel Nannochloropsis sp. hanya sebesar 0,27 ppm. Sedangkan data Guedes et al. (2011) total karoten untuk Nannochloropsis sp. yaitu 250 ppm.

Rendahnya kadar lemak yang diperoleh pada penelitian ini diduga mempengaruhi rendahnya hasil total karoten yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena karoten merupakan golongan terpenoid yaitu pigmen yang larut lemak (Harborne, 1996). Hal ini sejalan dengan pernyataan Syukri (1994) yang menyatakan bahwa karoten merupakan senyawa volatile dan senyawa nonpolar yang tidak larut dalam air (pelarut polar) tetapi larut dalam lemak (pelarut non polar), sehingga semakin rendah kadar lemak maka total karoten yang dihasilkan juga akan rendah.

viii. Asam Amino

Asam amino adalah senyawa organik penyusun protein yang memiliki dua buah gugus fungsional primer, yaitu gugus amin (-NH2) dan gugus karboksil (-COOH) (Kusnandar, 2010). Mutu protein dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang terkandung dalam protein tersebut. Hal ini sejalan dengan pernyataan Winarno (1991) yang menyatakan bahwa protein yang kekurangan satu atau lebih jenis asam amino esensial mempunyai mutu yang rendah.

Page 26: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

25

Hasil pengujian sampel pada penelitian ini menunjukan bahwa semua jenis asam amino esensial dapat terdeteksi kecuali untuk asam amino esensial jenis lisin yang hanya terdeteksi pada sampel D. salina yaitu 0,25%. Sedangkan untuk jenis asam amino non-esensial hanya terdeteksi 6 jenis asam amino yaitu as. aspartat, as. glutamat, serin, glisin, alanin, dan tirosin.

Asam amino tertinggi dari penelitian ini adalah asam aspartat (1,57%) untuk Nannochloropsis sp. Sedangkan untuk D. salina asam amino tertinggi yang diperoleh adalah asam aspartat (0,73%) dan asam glutamat (0,73%). Asam aspartat adalah salah satu jenis asam amino yang tertinggi untuk Nannochloropsis sp. dan D. salina yang dalam media dengan penambahan limbah cair tahu. Asam aspartat dapat diperoleh dari asparagin, dimana asparagin terdapat pada konglutin dan legumin yaitu protein dalam tumbuhan (Poedjiadi, 1994). Asam glutamat (0,73%) yang tertinggi terdapat pada D. salina yang dikultur dalam media dengan penambahan limbah cair tahu. Asam glutamat merupakan kelompok asam amino asam yang memiliki dua gugus karboksilat, yaitu gugus karboksil α dan yang terikat pada gugus R (Kusnandar, 2010).

Tabel 5. Kandungan asam amino Nannochloropsis sp. dan D. salina

Parameter Hasil

NT Ns1 DT Ds1

Asam Amino As. Aspartat As. Glutamat Serin Histidin Glisin Threonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin I-leusin Leusin Lisin Prolin

1,57 0,96 0,20 0,47 0,40 0,27 0,72 0,39 0,47 1,17 0,37 1,06 1,05 0,31 nd* nd*

0,95 1,53 0,86 0,62 1,04 nd* 1,11 2,32 0,38 0,41 0,98 0,59 1,40 1,73 0,67 3,52

0,73 0,73 0,37 0,07 0,39 0,29 0,33 0,46 0,21 0,06 0,37 0,32 0,29 0,45 0,25 nd*

11,90

10,04 5,29 1,08

13,93 3,93 0,49

12,53 2,08 nd*

4,56 3,03 2,60 8,52 6,15 nd*

Keterangan : nd* : not detected NT : Nannochloropsi sp, Media kultur limbah tahu 41% + pupuk teknis 59%

Ns1 : Nannochloropsis sp., Mohammady et al., (2005) DT : D. salina,, Media kultur limbah tahu 81% + pupuk teknis 19% Ds1 : D. salina , El-Sheekh et al. (2011)

Namun jika dibandingkan dengan data hasil penelitian Mohammady et al. (2005) untuk asam amino Nannochloropsis sp. pada penelitian ini terdapat 2 jenis asam amino yang tidak dapat terdeteksi yaitu, lisin dan prolin. Sedangkan pada hasil penelitian Mohammady et al. (2005) yang menggunakan media BES jenis asam amino yang tidak terdeteksi adalah threonin. Jenis asam amino yang tidak dapat terdeteksi untuk sampel D. salina pada penelitian ini adalah prolin. Data hasil penelitian El-Sheekh et al. (2011) yang menngunakan media MH (Loeblich,1982), jenis asam amino prolin dan metionin tidak terdeteksi. Sedangkan pada penelitian ini jenis asam amino metionin pada sampel D. salina dapat terdeteksi dengan persentase sebesar 0.06%. Perbandingan asam amino pada penelitian ini dengan data hasil penelitian Mohammady et al. (2005) dan El-Sheekh et al. (2011) disajikan pada Tabel 5.

Page 27: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

26

Namun demikian, jumlah rata-rata persentase asam amino keseluruhan dari sampel Nannochloropsis sp. dan D. salina yang diperoleh pada penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan data hasil penelitian Mohammady et al. (2005) dan El-Sheekh et al. (2011). Rendahnya persentase asam amino yang dihasilkan pada penelitian ini diduga berkaitan dengan rendahnya kadar protein yang diperoleh. Menurut Winarno (2004), asam amino merupakan penyusun molekul protein, sehingga semakin rendah kadar protein yang diperoleh maka persentase asam amino yang dihasilkan juga akan semakin rendah dan jumlah asam amino yang dihasilkan semakin sedikit. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Lehninger (1982) bahwa untuk menentukan jumlah tiap-tiap asam amino dapat dilakukan dengan menghidrolisa protein.

b. Potensi Pemanfaatan D. salina dan Nannochloropsis sp.

D. salina dan Nannochloropsis sp. dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan penting seperti sebagai sumber substansi bioaktif, bahan dasar pakan ternak dan keperluan pertanian (pupuk), serta sumber energi alternatif yang terbarukan (Kawaroe et al., 2010). Namun, pemanfaatan D. salina dan Nannochloropsis sp. sebagai bahan baku industri harus dilihat dari kualitas yang dimiliki oleh biomasa. Biomasa mikroalga yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki mutu yang rendah. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik kimiawi yang dihasilkan lebih rendah dari syarat mutu mikroalga yang ditetapkan untuk bahan baku. Syarat mutu mikroalga dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Syarat Mutu Mikroalga sebagai Bahan Baku

Tujuan Industri Karakteristik kimiawi

1. Pangan dan pakan (Food & Feed) 2. Bio-diesel 3. Bio-ethanol

Protein 20-50%* Lemak 8-50%* Karbohidrat 20-50%*

Keterangan : * : Ben-Amotz (2009)

Dari data diatas, biomasa D. salina dan Nannochloropsis sp. yang dihasilkan pada penelitian ini tidak dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pangan, pakan, biodiesel, dan bioetanol karena karakteristik kimiawi yang terkandung dalam biomasa tidak memenuhi standar mutu mikroalga yang telah ditetapkan. Namun pemanfaatan limbah cair tahu untuk media kultivasi D. salina dan Nannochloropsis sp. dapat membantu mengatasi masalah limbah yang dihasilkan oleh industri tahu. Penggunaan limbah cair tahu memberikan maanfaat sebagai sumber nitrogen untuk mikroalga, sehingga mengurangi pencemaran ke dalam lingkungan. Hal ini dikarenakan oleh sifat yang dimiliki mikroalga sebagai bio-absorben. Sehingga media air limbah dapat diolah secara biologis oleh mikroalga sekaligus memberikan masukan nutrient untuk pertumbuhannya.

Berdasarkan hasil penelitian Amin (2011) perlakuan limbah cair tahu menghasilkan kemampuan bioremediasi serta produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan limbah lateks. D. salina dan Nannochloropsis sp. dapat tumbuh dengan baik dengan memanfaatkan nutrient yang berasal dari limbah cair tahu yang menjadi media tumbuhnya. Hal ini dapat dilihat dari bobot kering biomasa D. salina dan Nannochloropsis sp. yang diperoleh pada penelitian ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian penelitian Weldy dan Huesemann (2007) dan Gao dan Hu (2006) yang tidak menggunakan limbah cair tahu pada media kultivasinya. Penggunaan mikroalga dalam pengolahan air limbah memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pengolahan menggunakan bahan kimia. Menurut Kawaroe et al. (2010), beberapa keuntungan penggunaan mikroalga dalam pengolahan air limbah yaitu : biaya efektif, kebutuhan energi rendah, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan dapat memperoleh produk sampingan berupa biomasa mikroalga. Produk sampingan biomasa yang dihasilkan dari kultivasi pada limbah cair tahu dapat digunakan sebagai pupuk organik sebagai sumber alternatif pengganti pupuk-pupuk pertanian yang mengandung bahan kimia

Page 28: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

27

sintesis. Mineral-mineral yang terkandung dalam limbah cair tahu terakumulasi pada biomasa diduga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.

4. Kesimpulan dan Saran a. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan adalah biomasa D. salina dan Nannochloropsis sp. yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki karakteristik mutu kimiawi yang lebih rendah dari persyaratan mutu mikroalga sebagai bahan baku industri pangan, pakan, biodiesel dan bioetanol. Namun D. salina dan Nannochloropsis sp. yang dihasilkan pada penelitian ini mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu: histidin, threonin, arginin. metionin, fenilalanin, valin, isoleusin, leusin dan asam aminon non esensial yaitu: asam aspartat, asam glutamate, serin, glisin, alanin, serta tirosin.

b. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan teknik pemanenan dan pengeringan sehingga dapat menghasilkan mutu D. salina dan Nannochloropsis sp. yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC (Association of Official Analytical Chemist) (1984). Official methods of analysis of the Association of Official Analytical Chemists 14th ed. Arlington, VA 22209 USA.

AOAC. 1995. Official Methods of Analysts of Official Analytical Chemists, 16 th. AOAC Inc.Arlington. Virginia.

Amin, F. 2011. Kultur Dunaliella salina Skala Semi Masal dalam Media Pupuk Teknis, Limbah Cair Tahu dan Limbah Lateks. [skripsi]. Indralaya: Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya

Andarwulan, N. F. Kusnandar. dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta

Anonim. 2009. Penggunaan dan Teknik Produksi Pakan Alami : Mikroalga. (online). (http://www.sith.itb.ac.id diakses 31 Agustus 2010).

Apriliyanti, S, N.Cholifah dan S.W. Sumijati. 2006. Kultur Plankton dengan Media Berkadar Garam Tinggi pada Skala Semi Massal. Laporan Kegiatan BBPBAP Jepara Tahun 2006. Jepara.

Basmal. J. 2008. Peluang dan Tantangan Produksi Mikroalga Sebagai Biofeul. Jurnal Squalen. Vol.3. No.1 : 34-40

Becker, E.W. 1994. In "Microalgae: biotechnology and microbiology". (online). (http:// ww.fao.org/docrep/w7241e/w7241e0h.htm diakses 12 September 2011)

Ben-Amotz. 2009. Bio-Fuel and CO2 Capture by Micro-Algae. (online). (http://newbusness.grc.nasa.gov diakses 02 Agustus 2011).

Borowitzka, MA and LJ Borowitzka. 1988. Microalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge.

Buckle, KA., R.A.Edward., G.H. Fleet., dan M. Wooton. 2007. Ilmu Pangan. penerjemah ; Purnomo H, editor. Jakarta. UI-Press. Terjemahan dari: Food Science.

Chisti, Y. 2007. “Biodiesel From Microalgae”, Biotechnology Advances, Vol. 25, hal. 294-306.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta

Page 29: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

28

El-Sheekh, M., E.M. Fakhry dan A.A. Tammam. 2011. Effect of Salt Stress on Antioxidant System and the Metabolism of the Reactive Oxygen Species in D. salina and Dunaliella tortiolecta. African Journal of Biotechnology. Vol 10 (19) : 3798-3808

Gani,M.L, Marwa dan Haryanto. 2005. Penggunaan Phytozyme 2-2-2 untuk Budidaya Fitoplankton (Dunaliella sp) pada Skala Laboratorium. Kumpulan Makalah Pertemuan UPT Payau dan Laut Tahun 2005.

Gao,K., dan H. Hu. 2006. Response of Growth and Fatty Acid Compositions of Nannochloropsis sp. to Environmental Factors Under Elevated CO2 Concentration. Biotechnol Lett. 28 : 987-992

Gireesh, R. 2007. Proximate Composition, Chloropyll a, and Carotenoid Content in D. salina (Dunal) Teod (Chloropycea:Dunaliellaceae) Cultured with Cost-Effective Seaweed Liquid Fertilizer Medium. Tubitak Research Article : 21-26

Gomez, P.I., A. Barriga., A.S.Cifuentes, dan M.A. Gonzalez. 2003. Effect of Salinity on The Quantity and Quality of Carotenoids Accumulated by D. salina (strain CONC-007) and Dunaliella bardawil (strain ATCC 30861) Chlorophyta. Biol Res 36 : 185-192

Guedes, A.C., H.M.Amaro, dan F.X.Malcata. 2011. Microalga as Sources of Carotenoids. Journal of Marine Drugs. 9 : 625-644

Handajani, H. 2006. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu sebagai Pupuk Alternatif pada Kultur Mikroalga Spirullina sp. Jurnal Protein. No.2 Vol 13:188-193

Harborne, JB.1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Edisi ke-2, penerjemah ; Padmawinta, K. dan Sodira, I., editor. Bandung. Institut Teknologi Bandung.

Heryani. Putri, SF. dan A.W. Ninggar. 2009. Pembuatan Bubur Instan Bekatul Padi Sebagai Alternatif Pangan Untuk Mencegah Hiperkolesterolemia. [Laporan Kegiatan Kreativitas Mahasiswa]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Hossain, A.B.M., A. Salleh, A.N. Boyce, P.Chowdhurry, M.Naqiuddin. 2008. Biodiesel Fuel Production from Algae as Renewable Energy. American Journal of Biochemistry and Biotechnology. Vol 4 (3) :250-254

Irawan, B., M. Marissa dan Atiek. 2009. Pemanfaatan Alga Laut Nannochlorpsis oculata Sebagai Sumber Antioksidan untuk Pengendali Vibriosis pada Ikan Kerapu. Program Kreatifitas Mahasiswa. Universitas Brawijaya. Malang

Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta: Kanisius

Kabinawa, IN.K., D.Susilaningsih, dan N.W.S.Agustini. 1994. Produksi biomasa mikroalga Chlorella pyrenoidosa dalam skala rumah kaca. (online). (http//katalog.pdii.lipi.go.id diakses 11 Mei 2010)

Kawaroe, M. T. Prartono, A. Sunuddin, D.W. Sari, dan Augustine, D. 2010. Mikroalga : Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. Penerbit Institut Pertanian Bogor Press. Bogor

Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan : Komponen Makro. Dian Rakyat : Jakarta Lamers, P. 2009. Metabolomics of carotenoid biosynthetisis in the alga Dunaliellas salina.

(online). (http://www.google.com , diakses 28 Januari 2012) Lehninger, A.L. 1982. Dasar-dasar Biokimia. penerjemah : Thenawidjaja,M. Institut Pertanian

Bogor. Bogor

Loeblich, LA. 1982. Photosynthesis and pigment influenced by light intensity and salinity in the halophilic Dunaliella salina (Chlorophyta). J.Mar.Biol,Assoc.U.K. 62:493-508

Luh, S. 1991. Rice Production and Utilization. Westort: The AVI Publishing Company. Mayanti, RM. 2009. Pengaruh Perbedaan Waktu Pengeringan Terhadap Total Karoten Pada

Mikroalga Dunaliella salina. [skripsi]. Indralaya : Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya

Mohammady, N.G., Y.C.Chen, A. El-Mahdy, R.F.Mohammad. 2005. Physiological Responses of the Eustigmatophycean Nannochloropsis salina to Aqueous Diesel Fuel Pollution. Oceanologia. 47 (1) : 75-92

Page 30: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

29

Molina., E. Grima, Acién, F.G. Fernández, F. García Camacho, and Y.Chisti. 1999. Photobioreactors: light regime, mass transfer and scaleup.J.Biotechnol. 70 : 231–47.

Muliono. 2004. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan Terhadap Kondisi Sel Nannochloropsis sp. [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan)

Nutra-Kol Nutrition Solution Pty Ltd. 2010. (online)

(http://www.nutrakol.com/nutritionandhealtofDunaliella salina diakses 27 Agustus 2010).

Octophus. 2009. Pemanfaatan Axanthin. (online) (http://octophus.wordpress.com diakses 15 Mei 2010).

Panggabean, L.M.G. 1998. Mikroalgae : Alternatif Pangan dan Bahan Industri Dimasa Mendatang. Oceana. Vol XXIII, No.1, 19-26

Pisal, D.S. dan S.S.Lele. 2004. Carotenoid Production from Microalga Dunaliella salina. Indian Journal of Biotechnology. Vol 4 :476-483

Poedjiadi, A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: Universitas Indonesia. Puspasari, R. 2000. Peranan fitoplankton dalam mengurangi kandungan logam berat Pb

dalam air laut. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. (tidak di publikasikan) Rinitiani. 2010. Pertumbuhan Populasi D. salina dalam Kombinasi Yashima dengan Limbah

Tahu dan Limbah Lateks Cair. [skripsi]. Universitas Sriwijaya. (tidak di publikasikan)

Sasmita, P.G, I.G.Wenten dan G.Suantika. 2004. Pengembangan Teknologi Ultrafiltrasi untuk Pemekatan Mikroalga. (prosiding) Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses.

Sembiring, Z., Suharso,. Regina., M.Faradila., dan Murniyati.2008. Studi Proses Adsorpsi-Desorpsi Ion Logam Pb(II), Cu(II) dan Cd(II) Terhadap Pengaruh Waktu dan Konsentrasi pada Biomasa Nannochloropsis sp. yang Terenkapsulasi Aqua-Gel Silika dengan Metode Kontinyu. Universitas Lampung 17-18 November 2008. Tahun 2008. hlm 591-602.

Sleigh, M.A. 1989. Protista and Other Protist. Edgard Arnold. London Sudarmadji, S., B.Haryono. dan Suhardi. 2007. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian.

Liberty : Yogyakarta Susilaningsih, D., A.C.Djohan, D.N.Widyaningrum, dan K.Anam. (2009). Biodiesel from

Indigeneous Indonesian Marine Microalgae, Nannochloropsis sp. Journal of Biotechnology Research of Tropical Region 2:1-4

Syukri. S. 1994. Kimia Dasar Jilid I. Penerbit Institut Teknologi Bandung:Bandung Tjahjo, W., L.Erawati, dan S.Hanung. 2002. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton.

Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan: Proyek Pngembangan Perekayasaan Ekologi Balai Budidaya Laut Lampung.

Tri-Panji, Suharyanto & Y. Away . 1994. Produksi protein sel tunggal menggunakan limbah lateks pekat. Menara Perkebunan, 62 (2), 36-40.

Vonshak, A. 1996. Spirulina platensis (Arthospira).Taylor & Francis, Great Britain Weldy, C.S, dan M.Huesemann. 2007. Lipid by D. salina in Batch Culture: effects of Nitrogen

Limitation and Light Intensity. Journal of Undergraduate Research. Department of Energy. Vol 7 Issues 7. Pages : 115-12

Widjaja, A. 2009. Lipid production from microalgae as a promising candidate for biodiesel production. J Makara- Teknologi 13(1):47-51.

Wijayanti, M. 2010. Bioremediasi Limbah Cair Tahu dan Lateks untuk Produksi Chlorella, Spirulina, Dunaliella, dan Nannochloropsis Di Daerah Rawa. [laporan akhir penelitian hibah bersaing].Universitas Sriwijaya. Indralaya. Tidak dipublikasikan.

Winarno. F.G.2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Yuda, AP. 2008. Senyawa Antibakteri dari Mikroalga Dunaliella sp. pada Umur Panen yang

Berbeda. [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan.

Page 31: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

30

Zhu, Y.H dan J.G. Jiang. 2008. Continuous cultivation of Dunaliella salina in photobioreactor for the production of β-carotene. Eur Food Res Technol. 227:953–959

Page 32: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

31

EFISIENSI DAN IDENTIFIKASI LOSS PADA PROSES PENGOLAHAN TERASI UDANG REBON (Acetes sp) DI DESA BELO LAUT KECAMATAN MUNTOK BANGKA BELITUNG

Erta Afriza Andriyani, Kiki Yuliati, Agus Supriadi Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword: effciency, loss, terasi, shrimp

5. Pendahuluan

Terasi merupakan produk perikanan setengah basah, dibuat dari udang atau ikan-ikan kecil yang diolah secara fermentasi setelah melalui tahap penggilingan atau dan penjemuran (Suprapti, 2002). Pada proses pengolahan terasi, fermentasi merupakan faktor yang paling menentukan karena pada tahap ini terjadi pembentukan citarasa dan aroma khas dari terasi. Ciri khas terasi antara lain aroma harum yang disebabkan adanya degradasi protein dan lemak yang menghasilkan senyawa karbonil, asam lemak, amonia, amin, dan senyawa belerang sederhana seperti sulfida, merkaptan dan disulfida. Selain itu kandungan asam amino glutamat yang tinggi menyebabkan terasi enak sebagai komponen bumbu (Adawiyah, 2006).

Terasi sudah dikenal luas di Indonesia terbukti dari banyak dan beragamnya sebutan untuk terasi. Di negara lain di Asia Tenggara dikenal produk fermentasi sejenis terasi misalnya di Philipina (bagoong), di Malaysia (belachan), di Thailand (kapi), di Burma (ngapi), di Kamboja (prahoc) dan di Jepang (shiokara) (Adawiyah, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa terasi sangat prospektif untuk terus dikembangkan.

Berat terasi yang dihasilkan biasanya 30-50% dari berat bahan yang digunakan (Handiyadi, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa output yang dihasilkan kecil. Rendahnya output dikarenakan proses pengolahan terasi memiliki tahapan yang panjang mulai dari penggaraman sampai dengan penumbukan yang keseluruhannya membutuhkan waktu ± 10 hari. Pada setiap tahapan bahan baku mengalami penurunan berat dengan ditandai adanya kehilangan (loss) bobot massa yang disebabkan adanya faktor kimia dan fisik.

Selama proses pengolahan terasi sering terjadi loss yang berdampak pada kurangnya efisiensi. Meskipun pada prinsipnya kehilangan bobot (loss) tersebut dilakukan secara sengaja untuk tujuan pengawetan, namun pada prakteknya terdapat loss yang disebabkan oleh faktor pemborosan selama produksi yang dilakukan oleh manusia seperti

The objective of this research was to study the efficiency and identification on each processing of terasi shrimp and recommendation to repaired. The research was conducted from August 2009 until July 2012 in Belo Laut village, Bangka Belitung Province. The objective of this research was to study the efficiency, to identify losses during the processing of terasi and to formulate recommendations for process improvement. Laboratory analysis was conducted in Bioprocess Laboratory at Chemical Enginering, Enginering Faculty, Sriwijaya University. Parameters observed were the contents of water, ash, protein, fat, and carbohydrate.. The data were analysed descriptively. The results showed that the efficiency was 35.73%. Based on Pareto diagram, the improvement priority which need to be done is for the dominant loss of shrimp that is wasted on the salinity (36.76%), left on the machine (26.47%), and wasted on drying I (16.18%). The cause-effect diagram analysis shows that the causing factor of the dominant loss come from equipment and human/worker factors. The results of laboratory on nutrient composition terasi showed that average water content (wb) was 35.21%, protein content (db) was 37.88%, fat content (db) was 1.85%, ash content (db) was 9.35%, and carbohydrate content (db) was 50.94%.

Page 33: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

32

adanya bahan baku yang terbuang. Oleh Karena itu perlu dilakukan analisis efisiensi dan identifikasi loss pada pengolahan terasi udang rebon yang bertujuan untuk mengetahui seberapa besar nilai efisiensi yang dihasilkan.

Efisiensi adalah hubungan antara jumlah yang keluar (output) dari sejumlah masukan (input). Menurut Nopirin (1997), efisiensi berarti tepat (sesuai) dalam melakukan sesuatu dengan benar tanpa adanya pemborosan. Efisiensi dapat dievaluasi dengan menganalisis penilaian terhadap perbandingan antara input dan output. Hasil perhitungan antara input dan output dari tiap proses pengolahan kemudian dilakukan perhitungan efisiensi.

Dengan dilakukannya analisis efisiensi dan identifikasi loss diharapkan dapat membantu pengolah untuk mengetahui nilai efisiensi, menentukan titik-titik potensial terjadinya loss selama pengolahan dengan menganalisis sebab akibat dari permasalahan yang timbul, sehingga pengolah dapat melakukan tindakan perbaikan yang diperlukan serta membantu pengolah untuk mengatasi dan mencegah terjadinya loss yang lebih besar.

6. Metode Penelitian

6.1. Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1) karung, 2) timbangan gantung, 3) batu, 4) tikar, 5) mesin penggiling, 6) lumpang, 7) alu, 8) baskom, 9) terpal, 10) stopwatch, 11) gelas ukur, 12) cawan petri, 13) desikator, 14) labu Erlenmeyer, 15) neraca Analitik, 16) oven, 17) muffle furnace, 18) seperangkat alat analisa protein (metode Kjedhal), dan 19) seperangkat alat analisa lemak (soxhlet).

Bahan yang digunakan adalah 1) udang rebon (Acete sp), 2) terasi, 3) garam, 4) air, dan 5) bahan-bahan kimia untuk analisa (K2SO4, HgO, Aquadest, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3, indikator metil merah dan metil biru, HCl, Pelarut Heksana).

6.2. Prosedur

Cara kerja pada penelitian ini adalah modifikasi dari metode pengolahan terasi yang dilakukan pengolah di desa Belo Laut. Berikut adalah cara kerja pada penelitian ini:

1. Udang rebon ditimbang dan ditambah garam 10%, kemudian dilakukan pencampuran dan ditimbang.

2. Udang rebon yang digarami dimasukkan ke dalam karung dan dipres dengan meletakkan batu diatasnya. Proses ini dilakukan ± 14 jam, setelah selesai udang rebon ditimbang.

3. Udang rebon hasil pres dijemur dengan sinar matahari selama ± 4 jam. Selesai penjemuran udang rebon semi kering ditimbang.

4. Udang rebon semi kering digiling, selesai penggilingan udang rebon ditimbang kembali. 5. Udang giling difermentasi ±7 hari, selesai fermentasi udang ditimbang. 6. Udang terfermentasi dijemur pada sinar matahari selama ±6-7 jam, selesai penjemuran

adonan terasi ditimbang. 7. Adonan terasi ditumbuk dan ditambahkan larutan garam, selesai penumbukan terasi

ditimbang. Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi perhitungan efisiensi dan loss

pada setiap tahap proses, analisis kimia meliputi kadar air, kadar lemak, kadar abu (AOAC, 2005).

1. Efisiensi pada setiap proses pengolahan

Efisiensi adalah hubungan antara jumlah yang keluar (output) dari sejumlah masukan (input). Menurut Tandyono (2008), efisiensi merupakan rasio antara output dengan input dan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut :

Page 34: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

33

2. Loss pada setiap proses pengolahan

a. Proses penggaraman Metode pengukuran loss pada proses penggaraman yaitu dengan

cara menimbang semua udang yang tertinggal di terpal dan terbuang.

input = output + loss

b. Proses pengepresan Metode pengukuran loss pada proses pengepresan yaitu dengan cara

pengurangan nilai input dengan output, sehingga didapat nilai lossnya.

input = output + loss

c. Proses pengeringan I Metode pengukuran loss pada proses pengeringan I yaitu dengan cara

menimbang semua udang yang terbuang.

input = output + loss + air menguap

d. Proses penggilingan Metode pengukuran loss pada proses penggilingan yaitu dengan cara

menimbang semua udang halus yang terbuang.

input = output + loss

e. Proses fermentasi Metode pengukuran loss pada proses fermentasi yaitu dengan cara

pengurangan nilai antara input dan output.

input = output + loss

f. Proses pengeringan II Metode pengukuran loss pada proses pengering II yaitu dengan cara

menimbang semua adonan terasi yang terbuang.

input = output + loss + air menguap

g. Proses penumbukan Metode pengukuran loss pada proses penumbukan yaitu dengan cara

menimbang semua adonan terasi dan terasi yang terbuang.

input + larutan garam = output + loss

6.3. Statistik

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan mengikuti proses pembuatan terasi pada lokasi yang telah ditentukan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa Belo Laut merupakan salah satu pengolah terasi udang rebon di Kecamatan Muntok, Provinsi Bangka Belitung. Penelitian ini dilakukan pada 2 pengolah terasi yang masing-masing proses diulang sebanyak 3 kali.

Data diperoleh dengan pengukuran langsung terhadap parameter utama yaitu perhitungan efisiensi dan jenis loss pada setiap proses. Efisiensi dan loss pada proses pengolahan terasi yang diukur mulai dari penggaraman, pengepresan, pengeringan I, fermentasi, pengeringan II dan penumbukan. Terasi udang rebon yang dihasilkan oleh

Page 35: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

34

pengolah diambil masing-masing sebanyak 3 sampel. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif terhadap nilai efisiensi dan loss yang terjadi pada setiap proses pengolahan.

7. Hasil dan Pembahasan

7.1. Efisiensi Pengolahan

Usaha pengolahan hasil perikanan secara tradisional terus diarahkan pada upaya perbaikan proses pengolahan untuk meningkatkan efisiensi. Efisiensi mencerminkan ketepatan untuk mengerjakan (menghasilkan) sesuatu dengan melakukan cara yang benar dalam mencapai hasil tanpa adanya pemborosan. Efisiensi dapat dievaluasi dengan penilaian terhadap perbandingan antara input dan output. Berdasarkan hasil perhitungan kesetimbangan materi setiap proses pengolahan terasi udang rebon (Lampiran 3) diperoleh data input dan output yang kemudian dilakukan perhitungan nilai efisiensi. Nilai efisiensi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Nilai efisiensi pada setiap tahap proses pengolahan terasi udang rebon

Proses Pengolahan

input (kg)

output (kg)

Skor Efisiensi

Penggaraman 33 32,75 99,24% Pengepresan 32,75 27,38 83,60% Pengeringan I 27,38 21,32 77,87% Penggilingan 21,32 21,12 99,06% Fermentasi 21,12 21,12 100% Pengeringan II 21,12 11,07 52,41% Penumbukan 12,34 12,24 99,19%

Nilai efisiensi setiap proses pengolahan terasi udang rebon yang diperoleh dapat dilihat pada gambar 1.

8. Gambar 1. Nilai efisiensi setiap proses pengolahan terasi udang rebon (Acetes sp)

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai efisiensi pada setiap proses pengolahan,

efisiensi terbesar terdapat pada proses fermentasi yaitu sebesar 100%. Hal ini disebabkan karena tidak terjadi perubahan massa baik penambahan atau pengurangan. Penurunan efisiensi yang dominan terjadi pada proses pengeringan II, pengeringan I dan pengepresan yang masing-masing memiliki nilai sebesar 52,41%, 77,87% dan 83,60%. Hal ini terjadi karena 2 faktor yaitu kimia dan fisik, pertama faktor kimia terjadi karena air dalam bahan baku menguap selama proses pengeringan dan terbuangnya limbah cair selama proses pengepresan. Kedua faktor fisik, terjadi karena adanya udang yang terbuang.

99,24

83,6 77,87

99,06 100

52,41

99.19

0

20

40

60

80

100

120

Per

sen (

%)

efisiensi Batas efisiensi

Page 36: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

35

Pengeringan dan pengepresan bertujuan untuk proses pengawetan dengan menghilangkan kadar air pada bahan baku guna menghambat proses pembusukan. Menurut Supriyono (2003), pengeringan bertujuan untuk mengurangi jumlah kandungan air dalam suatu bahan pangan dengan cara menguapkan air tersebut menggunakan energi panas sehingga menghambat pertumbukan mikroba pembusuk. Menurut Suyantohadi (2000), pengepresan bertujuan mengurangi kadar air pada bahan baku dengan memberi gaya tekan dari atas.

Pada proses penggaraman efisiensi yang diperoleh sebesar 99,24%, proses penumbukan efisiensi yang diperoleh sebesar 99,19%, dan proses penggilingan efisiensi yang diperoleh sebesar 99,06%. Penurunan nilai efisiensi pada ketiga proses ini terjadi karena faktor fisik berupa udang yang terbuang, adonan terasi yang terbuang, dan terasi yang terbuang. Dari hasil efisiensi keseluruhan maka diperoleh nilai efisiensi proses pengolahan terasi. Input di peroleh dari berat udang, garam dan larutan garam sedangkan output dari berat terasi yang dihasilkan.

= 35,73% Efisiensi proses pengolahan terasi udang rebon yang di dapat sebesar 35,73%.

Kecilnya nilai efisiensi disebabkan karena 2 faktor yaitu faktor kimia dan fisik. Pertama, faktor kimia yang disebabkan karena proses pengepresan dan pengeringan yang bertujuan untuk proses pengawetan. Kedua, faktor fisik yang disebabkan karena kelalaian pekerja dan peralatan sehingga terjadinya loss.

8.1. Identifikasi Loss

Hasil analisis menunjukkan bahwa penyebab turunkan nilai efisiensi disebabkan karena adanya loss pada setiap proses pengolahan. Loss terbesar terjadi pada proses pengeringan II yaitu pengurangan kandungan air pada bahan sebesar 10,03 kg, pengeringan I sebesar 5,97 kg dan diikuti oleh terbuangnya limbah cair pada proses pengepresan sebesar 5,37 kg. Loss tersebut sengaja dilakukan oleh pengolah untuk tujuan pengawetan. Menurut Moeljanto (1992), bahwa proses pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan dengan mengurangi kadar air bahan sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat menyebabkan pembusukan.

Selain adanya loss karena faktor kimia juga terdapat loss karena faktor fisik. Loss tersebut berupa udang yang terbuang pada penggaraman, udang yang terbuang pada pengeringan I, udang halus yang tertinggal di mesin dan kayu, adonan terasi yang terbuang pada pengeringan II, adonan terasi yang tertinggal di lumpang dengan masing-masing jumlah sebesar 0,25 kg, 0,11 kg, 0,18 kg, 0,02 kg, 0,02 kg, 0,01 kg, dan 0,09 kg. Loss dapat dicegah dan dikendalikan dengan cara menganalisis jenis loss yang dominan dengan menggunakan diagram pareto dan mencari penyebab loss tersebut dengan menggunakan diagram sebab akibat, sehingga dapat membantu untuk memusatkan perhatian pada persoalan utama yang harus ditangani dalam upaya perbaikan.

Page 37: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

36

Tabel 2. Jenis loss pada setiap proses pengolahan

Jenis loss pada setiap proses Jumlah

(kg) Persen

1. Penggaraman Kehilangan:

a. Udang yang terbuang 2. Pengepresan

Kehilangan:

a. Limbah cair 3. Pengeringan I

Kehilangan:

a. Udang yang terbuang b. Penguapan air

4. Penggilingan Kehilangan:

a. Udang yang tertinggal di mesin b. Udang yang tertingal di kayu

5. Fermentasi 6. Pengeringan II

Kehilangan:

a. Adonan terasi yang terbuang b. Penguapan air

7. Penumbukan Kehilangan:

a. Adonan terasi yan terbuang b. Terasi tertinggal di lumpang

0,25

5,37

0,11 5,96

0,18 0,02

-

0,02

10,03

0,01 0,09

1,13%

24,37%

0,50% 27,04%

0,82% 0,09%

-

0,09%

45,51%

0,05% 0,40%

Total 22,04 100%

8.1.1. Diagram Pareto dan Penentuan Jenis Loos Utama

Diagram pareto adalah diagram yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengurutkan jenis loss. Dengan diagram ini, maka dapat diketahui jenis loss yang paling dominan. Data yang diperoleh diurutkan berdasarkan jumlah loss, mulai dari yang terbesar hingga yang kecil dan dibuat persentase kumulatif. Persentase kumulatif berguna untuk menyatakan berapa perbedaan yang ada dalam frekuensi kejadian diantara beberapa permasalahan yang dominan. Frekuensi loss setiap proses pengolahan dapat dilihat pada table 3.

Tabel 3. Frekuensi loss (berdasarkan urutan jumlahnya)

Jenis loss Jumlah (kg) Persentase Persentase Kumulatif

Udang yang terbuang pada penggaraman Udang halus yang tertinggal di mesin Udang yang terbuang pada pengeringan I Terasi yang tertinggal di lumpang Adonan terasi yang terbuang pada pengeringan II Udang halus yang tertinggal di kayu penekan Adonan terasi yang terbuang pada penumbukan

0,25 0,18 0,11

0,09

0,02 0,02

0,01

36,76% 26,47% 16,18%

13,24%

2,94% 2,94%

1,47%

36,76% 63,24% 79,41%

92,65%

95,59% 98,53%

100%

Page 38: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

37

Total 0,688 100%

Berdasarkan data diatas maka dapat disusun sebuah diagram pareto seperti terlihat

pada gambar berikut:

9. 10. 11. 12.

Gambar 2. Diagram pareto jenis loss selama pengolahan

Keterangan: T1 = udang terbuang pada penggaraman T2 = Udang halus tertinggal di mesin T3 = Udang terbuang pada pengeringan I T4 = Terasi tertinggal di lumpang T5 = Adonan terasi terbuang pada pengeringan II T6 = Udang halus tertinggal di kayu T7 = Adonan terasi terbuang pada penumbukan Dari diagram pareto diatas dapat disimpulkan bahwa jenis loss yang mempunyai

tingkat loss terbesar didominasi oleh 3 jenis loss yaitu udang yang terbuang pada penggaraman sebesar 36,76%, udang halus yang tertinggal di mesin sebesar 26,47%, dan udang yang terbuang pada pengeringan I sebesar 16,18%. Selebihnya terjadi karena terasi yang tertinggal di lumpang, adonan terasi terbuang saat pengeringan II, udang halus yang tertinggal di kayu, adonan terasi yang terbuang pada penumbukan dan terasi yang tertinggal di alu yang masing-masing mempunyai persentase 13,24%, 2,94%, 2,94%, dan 1,47%.

Berdasarkan prinsip 80-20, maka jenis kecacatan yang perlu diperhatikan adalah loss yang terjadi karena udang yang terbuang saat penggaraman, udang halus yang terbuang di mesin dan udang yang terbuang pada pengeringan I. Dimana diharapkan dengan mengatasi ketiga sumber penyebab loss berarti kita sudah mengatasi 79,41% loss yang terjadi.

12.1.1. Diagram Sebab Akibat (Fishbone)

Setelah diketahui jenis-jenis kehilangan yang terjadi, maka perlu mengambil langkah-

langkah perbaikan untuk memperkecil sampai mencegah timbulnya loss yang serupa. Hal

yang harus dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya kehilangan tersebut yaitu dengan

menggunakan diagram sebab akibat atau yang disebut fishbone diagram. Adapun

penggunaan diagram sebab akibat untuk menelusuri jenis masing-masing loss yang terjadi.

Fishbone diagram dapat dilihat sebagai berikut:

12.1.1.1. Analisis udang yang terbuang pada penggaraman

Faktor-faktor penyebab adanya udang yang terbuang pada proses penggaraman dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

0,25

0,18

0,11 0,09

0,02 0,02 0,01

0

20

40

60

80

100

0

0,1

0,2

0,3

0,4

T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7

per

sen

tase

ku

mu

lati

f

Jum

lah

Masalah

Page 39: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

38

Gambar 3. Fishbone udang yang terbuang selama penggaraman

Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa udang yang terbuang disebabkan karena pada proses penggaraman para pekerja menggunaan alas terpal yang berukuran kecil, cara kerja para pekerja yang ceroboh dan tidak mengecek kembali serta membiarkan udang yang tertinggal di terpal sehingga menyebabkan udang banyak yang terbuang. Selain itu ukuran udang rebon yang kecil dan kondisi basah sehingga udang mudah menempel dan tertinggal di terpal.

12.1.1.2. Analisis udang yang tertinggal pada mesin penggiling

Faktor-faktor penyebab adanya udang yang tertinggal pada mesin penggiling dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

Gambar 4. Fishbone udang yang tertinggal di mesin penggiling

Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa udang yang tertinggal di penggilingan disebabkan karena ketika digiling udang menjadi halus dan kondisi udang yang lembab menyebabkan udang mudah menempel dan tertinggal pada saluran pengeluaran, ulir dan pisau pemotong sehingga banyak udang giling yang tertinggal di mesin penggiling. Selain itu pekerja tidak mengecek kembali atau mengambil sisa udang giling yang tertinggal pada mesin penggiling.

12.1.1.3. Analisis udang yang terbuang pada pengeringan I

Faktor-faktor penyebab adanya udang yang terbuang pada pengeringan dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

Page 40: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

39

13. Gambar 5. Fishbone udang yang terbuang selama pengeringan I

Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa udang yang terbuang disebabkan oleh ketidak tepatan dalam penggunaan alas yaitu menggunakan jaring yang berongga. Penggunaan alas jaring yang merongga menyebabkan udang terbuang, terutama ukuran udang yang kecil sehingga udang mudah terbuang melalui rongga jaring. Kebiasaan cara kerja yang ceroboh pada saat menjemur dan membalik sehingga udang terbuang. Suhu udara yang panas mempengaruhi pekerja sehingga mereka kurang nyaman dalam melakukan pekerjaannya menyebabkan mereka bekerja dengan tergesah-gesah.

13.1.1.1. Analisis terasi yang terbuang di lumping

Faktor-faktor penyebab terasi yang tertinggal di lumpang dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

Gambar 6. Fishbone terasi yang tertinggal pada lumpang

Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa udang yang tertinggal pada lumpang disebabkan karena setelah ditumbuk bahan menjadi halus, kondisi bahan yang lembab

Page 41: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

40

sehingga bahan mudah menempel dan tertinggal pada lumpang. Keadaan lumpang yang terbuat dari kayu dengan dinding yang tidak rata sehingga menyebabkan terasi menempel dan tertinggal di lumpang. Cara kerja yang tidak teliti karena bahan yang tertinggal dapat diambil tetapi oleh pekerja bahan yang tertinggal pada lumpang dibiarkan saja dan terbuang.

13.1.1.2. Analisis adonan terasi yang terbuang pada pengeringan II

Faktor-faktor penyebab terasi yang terbuang pada pengeringan II dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

Gambar 7. Fishbone adonan terasi yang terbuang selama pengeringan II

Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa adonan terasi yang terbuang disebabkan karena kebiasaan cara kerja yang ceroboh pada proses penjemuran sehingga menyebabkan adonan terasi terbuang. Selain itu suhu udara yang panas menjadikan pekerja kurang nyaman dalam melakukan pekerjaannya sehingga bekerja dengan tergesah-gesah sehingga menyebabkan adonan terasi terbuang.

13.1.1.3. Analisis adonan udang yang tertinggal di kayu penekan

Faktor-faktor penyebab udang tertinggak di kayu penekan dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

Gambar 8. Fishbone udang halus yang tertinggal pada kayu penekan

Page 42: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

41

Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa udang yang tertinggal di kayu penekan disebabkan karena setelah digiling bahan menjadi halus, kondisi bahan yang lembab sehingga bahan mudah menempel dan tertinggal pada kayu penekan, dan cara kerja yang tidak teliti karena bahan yang tertinggal dapat diambil tetapi oleh pekerja bahan yang tertinggal pada kayu penekan dibiarkan saja dan terbuang.

13.1.1.4. Analisis adonan terasi yang terbuang pada penumbukan

Faktor-faktor penyebab terasi yang terbuang pada penumbukan dapat dicari dengan menggunakan fishbone diagram.

Gambar 9. Fishbone adonan terasi yang terbuang pada penumbukan Dari fishbone di atas dapat dilihat bahwa adonan terasi yang terbuang disebabkan

karena alat penumbuk yang kecil dengan diameter 26 cm dan kedalaman 22 cm sehingga pada saat penumbukan adonan lebih mudah terlempar dan terbuang. Selain itu cara kerja yang tidak berhati-hati saat menumbuk menyebabkan adonan terasi terbuang.

13.1.2. Usulan perbaikan

Setelah mengetahui nilai efisiensi dan penyebab terjadinya loss selama proses pengolahan, maka disusun suatu rekomendasi atau usulan perbaikan secara umum dalam upaya menekan tingkat loss sebagai berikut:

Tabel 4. Usulan perbaikan untuk loss pada proses penggaraman

Masalah Penyebab Usulan perbaikan

Udang terbuang pada penggaraman

Alas terpal yang kecil, menyebabkan udang terbuang keluar.

Kebiasaan cara bekerja para pekerja tidak teliti dan ceroboh.

Menggunakan alas terpal yang lebar atau bak plastik besar yang mampu menampung semua udang, sehingga udang tidak terbuang.

Pemberian garam pada udang perlu dilakukan secara hati-hati sehingga udang tidak terbuang keluar terpal dan pekerja harus

Page 43: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

42

memastikan tidak adanya udang yang tertinggal di terpal.

Tabel 5. Usulan perbaikan untuk loss pada proses pengeringan I

Masalah Penyebab Usulan perbaikan

Udang terbuang

Ketidak tepatan dalam

penggunaan alas yang

menggunakan jaring

berongga dengan mess

0,5 cm.

Kebiasaan cara bekerja para pekerja tidak teliti dan ceroboh.

Sebaiknya menggunakan jaring dengan mess yang lebih kecil.

Peningkatan ketelitian dalam bekerja, mengusahakan tidak adanya udang yang terbuang.

Tabel 6. Usulan perbaikan untuk loss pada proses penggilingan

Masalah Penyebab Usulan perbaikan

Udang

tertinggal di

mesin

penggiling dan

kayu penekan

Pekerja tidak mengecek kembali udang halus yang masih bisa dimanfaatkan yang menempel pada saluran, ulir dan pisau mesin

Udang halus

menempel

pada kayu

penekan

Setelah selesai penggilingan hendaknya pekerja mengecek kembali mesin dan mengambil udang halus yang tertinggal di mesin dan kayu penekan.

Tabel 7. Usulan perbaikan untuk loss pada proses pengeringan II

Masalah Penyebab Usulan perbaikan

Adonan terasi yang terbuang saat penjemuran dan pembalikan

Cara kerja yang ceroboh dan tidak berhati-hati

Peningkatan ketelitian dalam

bekerja, mengusahakan tidak

adanya udang yang terbuang

Page 44: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

43

Tabel 8. Usulan perbaikan untuk loss pada proses penumbukan

Masalah Penyebab Usulan perbaikan

Adonan terasi yang terbuang saat proses penumbukan

Terasi yang tinggal di lumpang

Cara kerja yang ceroboh dan tidak berhati-hati

Diameter lumpang yang kecil dan kedalaman yang rendah

Kondisi terasi yang lembab sehingga mudah menempel pada alu dan lumpang dengan dinding yang tidak rata

Peningkatan ketelitian dalam bekerja, mengusahakan tidak adanya udang yang terbuang. Pada permukaan atas lumpang diberi tutup yang ditengahnya diberi lubang, ketika menumbuk sesekali tutup dibuka untuk dilakukan pengadukan.

Setelah selesai menumbuk hendaknya para pekerja mengecek kembali alu dan lumpang dan memastikan tidak adanya terasi yang tertinggal pada lumpang

13.2. Kandungan gizi terasi udang rebon

Kandungan gizi suatu produk merupakan parameter yang sangat penting karena merupakan salah satu pertimbangan konsumen dalam menentukan pilihan terhadap makanan. Salah satu cara untuk menentukan kandungan gizi suatu produk adalah dari analisis kimia. Analisis kandungan gizi terasi diperlukan untuk menginformasikan kandungan gizi terasi udang rebon yang buat oleh pengolah di desa Belo Laut kecamatan Muntok Bangka Belitung.

Tabel 9. Kandungan gizi terasi udang rebon (Acetes sp)

Sampel Kandungan gizi (%)

Protein Air Lemak Abu KH

Pengolah I 35,86 3

6,56 1,75 9,72 52,67 Pengolah II 39,90

33,86 1,94 8,95 49,21

4. Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Page 45: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

44

1. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa input sebesar 34,26 kg dan output sebesar 12,24 kg dihasilkan efisiensi pengolahan sebesar 35,73%.

2. Dari keseluruhan proses didapat nilai efisiensi terbesar pada proses penggaraman sebesar 99,24%.

3. Jenis-jenis loss yang terjadi selama proses pengolahan terasi yaitu udang yang terbuang pada penggaraman sebesar 0,25 kg, udang halus yang tertinggal di mesin sebesar 0,18 kg, udang yang terbuang pada pengeringan I sebesar 0,11 kg, udang halus yang tertinggal di kayu penekan sebesar 0,02 kg, adonan terasi yang terbuang pada pengeringan II sebesar 0,02 kg, adonan terasi yang terbuang pada penumbukan sebesae 0,01 kg, dan terasi yang tertinggal di lumpang sebesar 0,09 kg.

4. Berdasarkan diagram pareto, prioritas perbaikan yang diperlukan oleh pengolah terasi untuk menekan dan mengurangi jumlah loss yang terjadi dalam pengolahan yaitu loss karena udang yang terbuang pada penggaraman sebesar 36,76%, udang halus yang terbuang di mesin sebesar 26,47% dan udang yang terbuang pada pengeringan I sebesar 16,18%.

5. Dari análisis diagram sebab akibat (fishbone) dapat diketahui faktor penyebab loss selama pengolahan bersumber pada faktor peralatan yang tidak tepat dan manusia (pekerja), sehingga perbaikan yang diusulkan lebih kepada peralatan dan manusia.

4.2 Saran

Saran yang dapat diberikan pada pihak pengolah terkait dengan penelitian ini yaitu secara umum penyebab utama terjadinya loss berasal dari faktor peralatan dan manusia. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk mengatasi terjadinya loss yang disebabkan oleh faktor tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Peralatan

Pada proses penggaraman hendaknya menggunakan alas terpal yang lebar sehingga udang rebon tidak terbuang keluar.

Pada proses penjemuran alas yang digunakan hendaknya menggunakan jaring beraongga dengan ukuran mess yang lebih kecil (0,1 cm).

Pada proses penumbukan, dibagian atas lumpang diberi tutup yang dibagian tengahnya diberi lubang, dengan tujuan agar selama proses penumbukan adonan terasi tidak terbuang. Namun perlu sesekali tutup dibuka untuk dilakukan pengadukan agar hasil tumbukan halus secara sempurna.

Manusia

Melakukan pengawasan terhadap kinerja para pekerja

Meningkatkan ketelitian dalam bekerja

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, R. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta. Anonim. 2008. Ishikawa diagram. (online). (http://mot.vuse.vanderbilt.edu/mt322/

Ishikawa.html, diakses tanggal 28 Februari 2012). Association of Official Chemists. 2005. Official Methods of Analysis. 15th. Association of

Official Chemists Washington DC. United State of America. Badan Standar Nasional. 2009. Syarat Mutu Terasi. SNI 2716.1:2009. Badan Standar

Nasional. Jakarta. Budiman, M.S. 2004. Teknik Penggaraman dan Pengeringan. Departemen Pendidikan

Nasional.

Page 46: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

45

Conway, C. 2010. Succesful software management. (online).(http://www.charlesconway.com/artikel/findhiddenprojectrisk.htm, diakses tanggal 21 januari 2012).

Darmono. 1991. Budidaya Udang Penaeus. Kanisius. Yogyakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan (PIPP).

http//:pipp.dkp.go.id/pipp2/species.htm, diakses tanggal 13 November 2008). Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Petunjuk Penggunaan Mesin Penggiling Ikan. Dinas

Kelautan dan Peikanan. Bangka Belitung. Direktorat Gizi Depkes. 1992. Daftar Komposisi Gizi Bahan Pangan. Depkes RI. Jakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Yogyakarta. Liberty. Handayadi, P. 2006. Analisis kebijakan keamanan pangan produk hasil perikanan di Pantura

Jawa Tengah dan DIY. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang. (tidak dipublikasikan).

Ishikawa K.1988. Teknik Penuntun Pengendalian Mutu (Terjemahan). Di dalam Muhandri T dan D. Kasarisma. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor. IPB Press.

Moeljanto R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Nasution MN. 2004. Manajemen Mutu Terpadu. Bogor. Ghalia Indonesia. Nopirin. 1997. Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro. Yogyakarta. BPFE-UGM Purwakusun, W. 2007. O-fish media informasi ikan iias dan tanaman. (online). (htt://O-

Fish.astaxanthin.mth, diakses tanggal 16 September 2008). Suprapti, L. 2002. Teknologi tepat guna cara membuat terasi. Kanisius. Jakarta.

(online).(http://www.bukuonline.com/terasi/kanisius, diakses tanggal 20 Oktober 2009).

Soetomo, M. 1990. Teknik Budidaya Udang. Bandung. Penerbit Sinar Baru. Supriyono. 2003. Mengukur faktor-faktor dalam proses pengeringan. Modul pertanian.

(online). (http ://202.152.31.170/ modul/ pertanian/agroindustri/mengukur_faktor-_faktor_proses_dalam_pengeringan.pdf, diakses tanggal 18 desember 2011).

Suyantohadi, A. 2000. Penerapan alat pengepres ampas tahu untuk pengrajin tempe gembus pada sentra industri tahu ‘nguli lestari’ Srandakan, Bantul. Agrnech 2000;20:25. (online). (http://www.akademik.unsri.ac.id/dowload/journal/ agrnech, diakses tanggal 18 desember 2011).

Tandyono, J. W. 2008. Analisa dan implementasi peningkatan efisiensi bahan baku di PT. Intan Ustrix. Skripsi. Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Kristen Petra. Surabaya. (tidak dipublikasikan).

Rahayu, W. P., S. Ma’oen., Suliantari dan S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Page 47: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

46

PENGARUH J HIDROLISIS PROTEIN TINTA CUMI-CUMI (Loligo sp) DENGAN ENZIM PAPAIN

Kurniawan, Susi Lestari, Siti Hanggita R.J Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : hydrolysis, squid ink, enzyme papain

14. Pendahuluan Perairan Indonesia mempunyai potensi sumber daya perairan laut yang cukup besar,

diantaranya ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, karang, udang, lobster, dan cumi-cumi. Ekspor cumi-cumi pada tahun 2010 mencapai 34.925.401 kg, ekspor cumi-cumi menunjukkan peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2011 sebesar 48.803.318 kg (KKP, 2012).

Cumi-cumi umumnya dimanfaatkan sebagai bahan makanan dalam bentuk cumi bakar, cumi asin, bakso cumi-cumi, dan berbagai macam hidangan seafood lainnya, cumi-cumi pada industri dimanfaatkan dalam bentuk beku, kering atau cumi kertas untuk keperluan ekspor, namun pada pengolahan cumi-cumi tinta cumi-cumi tidak ikut diolah sehingga terbuang dan menjadi limbah.

Tinta cumi-cumi mempunyai nilai gizi yang cukup baik terutama kandungan protein dan asam amino. Mukholik (1995) menyatakan bahwa tinta cumi-cumi mengandung protein sebesar 10,88% yang terdiri atas asam amino esensial dan non esensial. Menurut Okozumi dan Fujii (2000), melanoprotein tinta cumi-cumi mengandung asam amino esensial yang dominan berupa lisin, leusin, arginin dan fenilalanin. Sementara kadar asam amino non esensial yang dominan adalah asam glutamat dan asam aspartat. Untuk memperoleh asam amino tinta cumi-cumi dapat dilakukan dengan cara dihidrolisis.

Menurut Haslaniza et al. (2010), hidrolisis protein merupakan protein yang mengalami degradasi hidrolitik dengan asam, basa, atau enzim proteolitik yang menghasilkan produk berupa asam amino dan peptida. Pengunaan enzim dalam menghidrolisis protein dianggap paling aman dan menguntungkan. Hal ini disebabkan kemampuan enzim dalam menghidrolisis protein dapat menghasilkan produk hidrolisat yang terhindar dari perubahan dan kerusakan produk (Johnson dan Peterson, 1974 dalam Purbasari, 2008).

The objective of this research were to know yield, protein content, free α-amino

nitrogen, degree of hydrolysis, and amino acid of the result hydrolysis of ink protein squid

(Loligo sp) with papain enzyme. The research used the method completely randomized

design with two replications of the treatment factors, the difference in the concentration of

the papain enzyme (0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, and 6%). The parameters of research

were yield, protein content, free α-amino nitrogen, degree of hydrolysis, and amino acids.

The results of research showed that differences in the concentration papain enzyme

significant effect on the value of yield, protein content, free α-amino nitrogen, and degree

of hydrolysis. Yield ranges from 78.05% to 88.61%, protein content from 28.90 mg/ml to

36.31 mg/ml, free α-amino nitrogen from 0.49 mg/ml to 10.99 mg/ml, the degree of

hydrolysis from 0.016 to 0.345, and contains 14 kinds of amino acids of the 15 amino

acids analyzed, histidine, arginine, threonine, valine, isoleucine, leucine, phenylalanine,

lysine, glutamic acid, aspartic acid, serine, glycine, alanine, and tyrosine. The content of

amino acid and degree of hydrolysis highest contained in the P2 treatment (papain

enzyme concentration of 2%).

Page 48: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

47

Papain merupakan enzim proteolitik hasil isolasi dari getah penyadapan buah pepaya (Carica papaya L.). Enzim tersebut dapat diproduksi dalam bentuk bubuk maupun larutan. Pengunaan enzim papain sangat beragam, diantaranya digunakan untuk pengempuk daging, konsentrat protein, dan hidrolisat protein (Dwinastiti, 1992).

Menurut Mitchel et al. (1929) dalam Hidayat (2005), hidrolisis protein dipengaruhi oleh konsentrasi bahan penghidrolisis, suhu, pH dan waktu hidrolisis. Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan volume hidrolisat protein ikan yang bersifat tak larut menjadi senyawa nitrogen yang bersifat larut. Hidayat (2005) menyimpulkan bahwa konsentrasi enzim papain optimum pada pembuatan hidrolisat protein ikan selar kuning sebesar 5%, namun pengunaannya pada hidrolisis protein tinta cumi-cumi belum banyak dilakukan sehingga perlu dilakukan penelitian tentang hidrolisis protein tinta cumi-cumi (Loligo sp) dengan enzim papain komersial.

15. Metode Penelitian

15.1. Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tinta cumi-cumi (Loligo sp) dan enzim papain merk “PAYA”. Bahan kimia yang digunakan yaitu AgNO3, asam asetat glasial, akuades, BaCl2, CH3COOH, HCl, heksana, H2SO4, K2SO4, H3PO3, larutan kuprifosfat, larutan buffer, larutan trikloroasetat (TCA), MgO, MgCO3, Na2S2O3, NaOH. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom plastik, erlenmeyer, gelas ukur, HPLC (High Performance Liquid Chromatrografi), inkubator, oven, pisau stainless, pipet tetes, pH meter, sarung tangan (plastik), sentrifuse dan timbangan analitik.

15.2. Prosedur

Proses hidrolisis protein tinta cumi-cumi berdasarkan (Hidayat, 2005) yang telah dimodifikasi adalah sebagai berikut :

1. Kantung tinta cumi-cumi yang didapatkan terlebih dahulu dibersihkan dengan air mengalir.

2. Tinta cumi-cumi dikeluarkan dari kantungnya, dengan cara kantung tinta cumi-cumi ditekan ke dalam wadah yang telah disiapkan.

3. Selanjutnya tinta cumi-cumi dimasukan ke dalam gelas ukur sebanyak 30 ml. 4. Tinta cumi-cumi dicampurkan dengan aquadest hingga homogen,

perbandingan tinta cumi-cumi dan aquadest (1:2) 5. Enzim papain ditambahkan dengan konsentrasi 0%, 1%, 2%, 3%, 4%, 5%

dan 6%. 6. Campuran tersebut diaduk dan nilai pH diatur hingga mencapai pH 7,

dengan HCL sebagai pengatur suasana asam dan NaOH sebagai pengatur suasana basa.

7. Kemudian dihidrolisis dengan cara di inkubasi ke dalam inkubator pada suhu 55 0C selama 6 jam, pada proses hidrolisis sampel diaduk setiap 60 menit.

8. Sampel kemudian dipanaskan di oven pada suhu 90 0C selama 20 menit untuk menonaktifkan enzim.

9. Kemudian disentrifuse selama 15 menit. 10. Hidrolisat protein tinta cumi-cumi (Loligo sp) yang dihasilkan kemudian

dianalisis. Parameter yang dianalisis pada penelitian ini yaitu, nilai rendemen, kadar protein,

kadar α-amino nitrogen bebas, derajat hidrolisis dan asam amino.

15.3. Statistik

Page 49: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

48

Penelitian ini mengunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) nonfaktorial,

dengan satu faktor perlakuan dua ulangan yaitu perbedaan konsentrasi enzim papain (P),

yang terdiri dari 7 taraf perlakuan yaitu:

P0 = 0% (kontrol) P4 = 4%

P1 = 1% P5 = 5%

P2 = 2% P6 = 6%

P3 = 3%

16. Hasil dan Pembahasan

16.1. Rendemen

Rendemen hidrolisis protein tinta cumi-cumi dihitung berdasarkan volume cairan yang

dihasilkan dengan volume cairan sebelum dihidrolisis. Pada proses hidrolisis menggunakan

enzim, substrat yang digunakan akan diubah menjadi produk hidrolisat. Persentase

banyaknya produk hidrolisat yang dihasilkan terhadap volume bahan baku sebelum

dihidrolisis disebut rendemen produk hidrolisat (Ariyani et al. 2003). Grafik rata-rata

rendemen hasil hidrolisis protein tinta cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 1.

Keterangan :

P0 = Konsentrasi enzim 0%

P1 = Konsentrasi enzim 1%

P2 = Konsentrasi enzim 2%

P3 = Konsentrasi enzim 3%

P4 = Konsentrasi enzim 4%

P5 = Konsentrasi enzim 5%

P6 = Konsentrasi enzim 6%

Gambar 1. Grafik rerata rendemen hidrolisis protein tinta cumi-cumi

Gambar 1 memperlihatkan rerata nilai rendemen berkisar antara 78,05 – 88,61%.

Nilai rendemen terendah terdapat pada perlakuan P0 (konsentrasi enzim papain 0%) yaitu

sebesar 78,05% dan tertinggi pada perlakuan P6 (konsentrasi enzim papain 6%) sebesar

88,61%, Hidrolisis tanpa penambahan enzim papain (P0) terlihat bahwa rendemen yang

dihasilkan kecil dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena tidak

ada penambahan enzim.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi

enzim papain berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap rendemen hidrolisis protein tinta

78,05

86,38

87,94 88,16 88,33 88,52 88,61

72

74

76

78

80

82

84

86

88

90

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

Ren

dem

en

(%

)

Perlakuan

Page 50: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

49

cumi-cumi. Hasil uji lanjut BNJ nilai rendemen hidrolisis protein tinta cumi-cumi dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Uji lanjut BNJ nilai rendemen hidrolisis protein tinta cumi-

cumi

Perlakuan Rendemen BNJ 0,05

P0 78,05 a

P1 86,38 b

P2 87,94 c

P3 88,16 c

P4 88,33 c

P5 88,52 c

P6 88,61 c

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom

yang sama artinya tidak berbeda nyata.

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%), P1

(konsentrasi enzim 1%), dan P2 (konsentrasi enzim 2%) menunjukan pengaruh yang

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada penelitian Purbasari (2008) tentang produksi

dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas ngur (Atactodea striata) menyatakan

bahwa, perlakuan konsentrasi enzim dari 0%, 2%, 4% dan 6% memberikan pengaruh yang

berbeda nyata antar perlakuan, sedangkan antara perlakuan 6%, 8 %, dan 10% tidak

berbeda nyata.

Fenomena ini dijelaskan oleh Sahidi et al. (1995) dalam Ariyani et al. (2003) yaitu

pada proses hidrolisis ikan terdapat pola yang khas, meskipun sejumlah enzim ditambahkan

secara berlebih terdapat sekitar 20% dari total nitrogen yang tidak larut. Mereka menduga

bahwa hidrolisis mungkin dihambat oleh produk hidrolisis atau oleh pemutusan rantai pada

semua ikatan peptida yang dapat dihidrolisis oleh enzim.

16.2. Kandungan Protein

Protein merupakan komponen penting dalam produk hidrolisat. Salah satu tujuan memproduksi hidrolisat adalah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, khususnya dari hasil perikanan. Tingkat mutu dari produk hidrolisat sangat ditentukan oleh kadar zat terlarut, terutama kadar protein yang dihitung dengan kadar total nitrogen (Sutedja et al. 1981 dalam Syahrizal 1991). Rata – rata kandungan protein hidrolisis protein tinta cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 2.

28.90 30,57 31,38

32,71 33,96

35,18 36,31

0

5

10

15

20

25

30

35

40

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

Ka

nd

un

ga

n p

ro

tein

(m

g/m

l)

Perlakuan

Page 51: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

50

Keterangan :

P0 = Konsentrasi enzim 0%

P1 = Konsentrasi enzim 1%

P2 = Konsentrasi enzim 2%

P3 = Konsentrasi enzim 3%

P4 = Konsentrasi enzim 4%

P5 = Konsentrasi enzim 5%

P6 = Konsentrasi enzim 6%

Gambar 2. Grafik rerata kandungan protein hidrolisat protein tinta cumi-cumi

Grafik diatas menunjukan adanya peningkatan kadar protein pada setiap perlakuan,

rata-rata kandungan protein berkisar antara 28,90 mg/ml hingga 36,31 mg/ml. Kandungan

protein terendah terdapat pada perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%) sebesar 28,90 mg/ml

dan tertinggi terdapat pada perlakuan P6 (konsentrasi enzim 6%) sebesar 36,31 mg/ml.

Menurut Kirk dan Othmer (1985) dalam Hidayat (2005), selama hidrolisis terjadi

konversi protein yang bersifat tidak larut menjadi senyawa nitrogen yang bersifat larut,

selanjutnya terurai menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, seperti peptida-

peptida, asam amino dan amonia. Haslaniza et al. (2010) menyatakan bahwa konsentrasi

enzim proteolitik yang semakin meningkat dalam proses hidrolisis akan menyebabkan

peningkatan kandungan nitrogen terlarut dalam hidrolisat protein ikan.

Hasil analisis sidik ragam menunjukan bahwa kandungan protein hidrolisis protein

tinta cumi-cumi berpengaruh nyata pada taraf 5%. Hasil uji lanjut BNJ kandungan protein

hidrolisis protein tinta cumi-cumi dengan enzim papain dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Uji lanjut BNJ kandungan protein hidrolisis protein tinta cumi-cumi

Perlakuan

Rerata

protein

BNJ

0,05

P0 28,

90 a

P1 30,

57 a

P2 31,

38 a b

Page 52: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

51

P3 32,

71 b

P4 33,

96 b

P5 35,

18 b

c

P6 36,

31

c

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom

yang sama artinya tidak berbeda nyata.

Hasil uji lanjut BNJ menunjukan perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%) tidak berbeda

nyata dengan perlakuan P1 (konsentrasi enzim 1%). Perlakuan P2 (konsentrasi enzim 2%)

berbeda tidak nyata dengan perlakuan P3 (konsentrasi enzim 3%), P4 (konsentrasi enzim

4%) dan P5 (konsentrasi enzim 5%). Namun berbeda nyata dengan perlakuan P6

(konsentrasi enzim 6%). Perbedaan antar perlakuan ini diduga karena pengaruh konsentrasi

enzim yang digunakan.

Peningkatan kandungan protein tersebut diduga disebabkan oleh terdeteksinya

enzim pada perlakuan. Menurut Lehninger (1982), enzim merupakan protein dan aktifitas

katalitiknya bergantung pada integritas strukturnya sebagai protein. Harrison et al. (1997)

dalam Dewi (2002), menyatakan bahwa enzim papain merupakan protein yang tersusun atas

212 residu asam amino.

16.3. Kandungan α-amino Nitrogen Bebas

Protein yang terhidrolisis akan membebaskan asam-asam amino. Jumlah asam amino yang terdapat dalam hidrolisis protein disebut kadar α-amino nitrogen bebas. Rerata kandungan α-amino nitrogen bebas yang terdapat pada hidrolisis protein tinta cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 5 menunjukan adanya peningkatan kandungan α-amino nitrogen bebas pada

setiap perlakuan. konsentasi α-amino nitrogen bebas terendah terdapat pada perlakuan P0

(konsentasi enzim 0%) sebesar 0,49 mg/ml, rendahnya kandungan α-amino bebas pada

perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%) disebabkan karena tidak adannya enzim yang

menghidrolisis protein pada sampel. Sedangkan kandungan α-amino nitrogen bebas tertinggi

terdapat pada perlakuan P6 (konsentrasi enzim 6%) sebesar 10,99 mg/ml.

Menurut Harrow Mazur (1971) dalam Hidayat (2005), hidrolisis protein akan

menambah kepolaran protein sehingga molekul protein yang tidak larut dalam air akan larut

dengan adanya proses hidrolisis. Hal ini akan menyebabkan kenaikan kadar α-amino

nitrogen bebas. Semakin tinggi nilai α-amino nitrogen bebas pada hidrolisis berarti proses

hidrolisis berjalan dengan baik.

Hasil analisis sidik ragam menunjukan konsentrasi enzim berpengaruh nyata

terhadap kandungan α-amino nitrogen bebas hidrolisis protein tinta cumi-cumi, hasil uji lanjut

BNJ dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah.

Berdasarkan hasil uji lanjut BNJ diatas bahwa perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%),

P1 (konsentrasi enzim 1%), dan P2 (Konsentrasi enzim 2%) menunjukan pengaruh yang

berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Penelitian Purbasari (2008) tentang produksi dan

karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas ngur (Atactodea striata) menyatakan bahwa,

peningkatan kandungan asam amino bebas pada perlakuan konsentrasi enzim papain 0%,

2%, dan 4% berbeda tidak nyata antar perlakuan.

Page 53: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

52

Kandungan α-amino nitrogen bebas pada perlakuan kontrol (P0), diduga disebabkan

oleh proses autolisis dan bakteriolisis setelah cumi-cumi mati. Menurut (Afrianto dan

Liviawati, 2005), didalam daging ikan terdapat enzim cathepsin, dan didalam saluran

pencernaan terdapat enzim proteolitik seperti trypsin, chemotrypsin, dan pepsin. serta enzim

dari mikroorganisme yang ada pada tubuh ikan. Enzim-enzim ini merupakan enzim pengurai

protein (proteolitik) sehingga dapat menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih

sederhana.

Keterangan :

P0 = Konsentrasi enzim 0%

P1 = Konsentrasi enzim 1%

P2 = Konsentrasi enzim 2%

P3 = Konsentrasi enzim 3%

P4 = Konsentrasi enzim 4%

P5 = Konsentrasi enzim 5%

P6 = Konsentrasi enzim 6%

Gambar 3. Grafik rerata kandungan α-amino nitrogen bebas hidrolisat protein tinta cumi-cumi

Shahidi et al. (1995) dalam Widadi (2011) menyatakan bahwa pada tahap awal

proses hidrolisis, enzim akan diserap ke dalam suspensi partikel daging ikan, kemudian

didalamnya terjadi pemutusan ikatan peptida yang terjadi secara simultan. Pada konsentrasi

tertentu, kecepatan hidrolisis akan mengalami penurunan dan memasuki tahap stasioner.

Tabel 3. Uji lanjut BNJ kandungan α-amino nitrogen bebas hidrolisis

protein tinta cumi-cumi

Perlakuan Rerata α-amino

BNJ0,05

P0 0,49 a

P1 9,31 b

0,49

9,31

10,83 10,86 10,86 10,9 10,99

0

2

4

6

8

10

12

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

α-a

min

o n

itro

gen

beb

as

(mg

/ml)

Perlakuan

Page 54: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

53

P2 10,83 c

P3 10,86 c

P4 10,86 c

P5 10,90 c

P6 10,99 c

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom

yang sama artinya tidak berbeda nyata.

16.4. Derajat Hidrolisis

Derajat hidrolisis merupakan suatu parameter yang menunjukan kemampuan protease untuk menguraikan protein dengan cara membandingkan amino nitrogen dengan total nitrogen (AN/TN), derajat hidrolisis digunakan untuk menentukan derajat kesempurnaan proses hidrolisis (Hasnaliza et al. 2010). Derajat hidrolisis dalam proses hidrolisis protein tinta cumi-cumi ditentukan dengan cara perbandingan kandungan α-amino nitrogen bebas dengan kandungan protein dan total nitrogen (AN/TN), rerata derajat hidrolisis protein tinta cumi-cumi dapat dilihat pada Gambar 4.

Keterangan :

P0 = Konsentrasi enzim 0%

P1 = Konsentrasi enzim 1%

P2 = Konsentrasi enzim 2%

P3 = Konsentrasi enzim 3%

P4 = Konsentrasi enzim 4%

P5 = Konsentrasi enzim 5%

P6 = Konsentrasi enzim 6%

Gambar 4. Grafik rerata nilai derajat hidrolisis protein tinta cumi-cumi

Proses hidrolisis protein tinta cumi-cumi mengunakan enzim papain menghasilkan

derajat hidrolisis antara 1,69% – 34,51%, dengan nilai derajat hidrolisis terkecil terdapat

pada perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%) sebesar 1,69% dan nilai derajat hidrolisis

tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (konsentrasi enzim 2%) yaitu sebesar 34,51%.

Nilai derajat hidrolisis dipengaruhi oleh jumlah senyawa peptida dan asam amino

sebagai hasil pemecahan protein oleh enzim. Karena derajat hidrolisis diukur dari

perbandingan α-amino nitrogen dengan total nitrogen (AN/TN) maka dengan semakin tinggi

tingkat pemecahan protein menjadi senyawa berantai pendek termasuk senyawa α-amino

nitrogen, derajat hidrolisisnya menjadi semakin tinggi. Hasnaliza et al. (2010) menyatakan

1,69

30,46

34,51 33,19

31,99 30,99 30,28

0

5

10

15

20

25

30

35

40

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

Dera

jat

hid

ro

lisi

s (%

)

Perlakuan

Page 55: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

54

bahwa peningkatan derajat hidrolisis disebabkan oleh peningkatan peptida dan asam amino

yang terlarut dalam TCA akibat dari pemutusan ikatan peptida selam hidrolisis protein.

Pada penelitian ini terjadi penurunan derajat hidrolisis dari perlakuan P3 (konsentrasi

enzim 3%) hingga P6 (konsentrasi enzim 6%). Hal ini sejalan dengan penelitian Guerard et

al. (2001). Pada hidrolisis protein limbah ikan tuna dengan enzim alkalase, terjadi penurunan

derajat hidrolisis. Diduga kecenderungan penurunan derajat hidrolisis dapat dikaitkan ke

fenomena seperti, penurunan konsentrasi peptida yang tersedia untuk dihidrolisis,

penurunan aktivitas enzim dan penghambatan produk.

Hasil analisis sidik ragam menunjukan konsentrasi enzim berpengaruh nyata

terhadap nilai derajat hidrolisis. Hasil uji lanjut BNJ dapat dilihat pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Uji lanjut BNJ derajat hidrolisis protein tinta cumi-cumi

Perlakuan

Derajat Hidrolisis

BNJ

0,05

P0 1,69 a

P6 30,2

8 b

P1 30,4

6 b

P5 30,9

9 b

P4 31,9

9 b

P3 33,1

9 c

P2 34,5

1 d

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang

sama artinya tidak berbeda nyata.

Tabel uji lanjut tersebut menjelaskan perlakuan P0 (konsentrasi enzim 0%) berbeda

nyata dengan perlakuan lainnya, perlakuan P1 (konsentrasi enzim 1%), P6 (konsentrasi

enzim 6%), P5 (konsentrasi enzim 5%) dan P4 (konsentrasi enzim 4%), berbeda nyata

terhadap perlakuan P3 (konsentasi enzim 3%) dan P2 (konsentrasi enzim 2%). Dengan

demikian dapat diketahui konsentrasi enzim papain yang paling efisien untuk menghasilkan

nilai derajat hidrolisis protein tinta cumi-cumi adalah perlakuan P2 (konsentrasi enzim papain

2%) dengan nilai 34,51%.

Derajat hidrolisis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi enzim,

waktu hidrolisis, dan jenis enzim yang digunakan. Penelitian Hasnaliza et al. (2010),

menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi antara enzim bromelin dengan substrat

menyebabkan perbedaan derajat hidrolisis yang dihasilkan.

16.5. Asam Amino

Asam amino merupakan komponen penyusun protein yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Analisis asam amino bertujuan untuk mengetahui jenis dan jumlah asam amino yang terkandung dalam protein bahan pangan Muchtadi (1989) dalam Purbasari (2008). Hasil analisis asam amino hidrolisat protein tinta cumi-cumi (Loligo sp) disajikan pada Gambar 5.

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6

Asa

m a

min

o (

%)

Perlakuan

asam glutamat

alanin

fenilalanin

leusin

asam aspartat

lysin

glysin

i-leusin

valine

arginin

treonin

serine

tyrosin

histidin

metionin

Page 56: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

55

Keterangan :

P0 = Konsentrasi enzim 0%

P1 = Konsentrasi enzim 1%

P2 = Konsentrasi enzim 2%

P3 = Konsentrasi enzim 3%

P4 = Konsentrasi enzim 4%

P5 = Konsentrasi enzim 5%

P6 = Konsentrasi enzim 6%

Gambar 5. Grafik kandungan asam amino tiap perlakuan

Gambar 5 menunjukan kandungan asam amino pada tiap perlakuan. Kandungan

asam amino tertinggi terdapat pada perlakuan P2 (konsentrasi enzim 2%). Hal ini sejalan

dengan hasil pengamatan nilai rendemen, kandungan α-amino nitrogen bebas dan derajat

hidrolisis yang menunjukan konsentrasi enzim papain yang paling efisien dalam

menghidrolisis protein tinta cumi-cumi adalah perlakuan P2 (konsentrasi enzim 2%).

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori umum kerja enzim Michaelis Menten

(Winarno, 2003)

E + S ═ ES → E + P

Enzim akan berikatan dengan substrat membentuk ikatan antara enzim substrat (ES).

Enzim - subtrat ini akan dipecah menjadi hasil reaksi (P) berupa asam amino dan peptida

dan enzim (E) bebas (Winarno, 2003). Menurut Lehninger (1982), dalam reaksi hidrolisis

enzim terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk bebas dan bentuk sudah terikat. Kecepatan

reaksi katalitik ini jelas menjadi maksimum jika semua enzim terdapat sebagai komplek

enzim-substrat dan konsentrasi enzim bebas menjadi sangat kecil.

Menurut Fachraniah (2002) dalam Praptono (2006), menurunnya kecepatan reaksi

hidrolisis protein disebabkan oleh beberapa hal, yaitu penurunan ikatan peptida spesifik bagi

enzim, inhibisi produk, inaktivasi enzim dan kestabilan molekul enzim yang mempengaruhi

Page 57: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

56

pengikatan enzim dengan substrat, baik secara langsung maupun tidak langsung yang

berakibat pada menurunya konsentrasi produk yang dihasilkan.

Perbedaan kandungan asam amino pada produk hidrolisat dengan enzim papain

dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.

Tabel 5.Kandungan asam amino produk hidrolisat

No Asam amino

Jumlah (% b/b)

P0 1

P12

HPI selar kuning 3

1 Asam glutamat

0,11

0,35

0

,385

2 Alanin

0,17

0,30

0,054

3 Fenilalanin*

0,13

0,23

0,085

4 Leusin*

0,13

0,21

0,105

5 Asam aspartat

0,10

0,21

0

,185

6 Lysine*

0,11

0,20

0,117

7 Glysin

0,10

0,18

0,098

8 Isoleusin*

0,09

0,16

0,067

9 Valine*

0,08

0,16

0,075

10 Arginin*

0,06

0,11

0,094

11 Treonin*

0,05

0,10

0,077

12 Serine

0,04

0,08

0,159

13 Tyrosin

0,03

0,06

0,095

14 Histidin*

0,03

0,05

0,097

15 Metionin* - -

0,120

Keterangan :

* Asam amino esensial 1 Asam amino hidrolisis protein tinta cumi-cumi tanpa

mengunakan enzim papain. 2 Asam amino hidrolisis protein tinta cumi-cumi dengan enzim

papain 2%. 3 Asam amino hidrolisat protein ikan selar kuning (Caranx

leptolepis) (Hidayat, 2005).

Page 58: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

57

Data pada tabel 5 menunjukan bahwa kandungan asam amino pada sampel tanpa

penambahan enzim papain lebih rendah dibandingkan dengan kandungan asam amino

sampel yang dihidrolisis dengan penambahan enzim papain 2%. Penelitian Purbasari (2008)

tentang produksi dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas ngur (Atactodea striata)

menyatakan bahwa jenis asam amino hidrolisat protein kerang mas ngur sama dengan jenis

asam amino pada protein kerang mas ngur, tetapi kadar beberapa jenis asam amino produk

hidrolisat lebih tinggi dari kadar asam amino protein kerang mas ngur. Menurut Gesualdo

dan Chan (1999), bahwa semua protein yang dihidrolisis akan menghasilkan asam-asam

amino, tetapi ada beberapa protein yang disamping menghasilkan asam amino juga

menghasilkan molekul-molekul protein yang masih berikatan.

Hidrolisat protein tinta cumi-cumi mengandung 14 jenis asam amino yang terdiri dari

6 asam amino non esensial dan 8 asam amino esensial. Asam amino non esensial yang

tertinggi pada hidrolisat protein tinta cumi-cumi yaitu asam glutamat dan alanin dengan nilai

0,35% dan 0,30%, sedangkan Asam amino essensial tertinggi yaitu fenilalanin dan leusin

dengan nilai 0,23% dan 0,21%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Okozumi dan Fujii (2000),

bahwa melanoprotein tinta cumi-cumi mengandung asam amino esensial yang dominan

berupa fenilalanin, leusin, dan arginin. Sementara kadar asam amino non esensial yang

dominan adalah asam glutamat dan alanin.

Kandungan asam amino hidrolisat protein tinta cumi-cumi berbeda dengan hidrolisat

protein ikan selar kuning (Caranx leptolepis) pada penelitian Hidayat (2005), yang

melaporkan bahwa hidrolisat protein ikan selar kuning mempunyai nilai derajat hidrolisis

AN/TN sebesar 0,07 dan kandungan α-amino nitrogen bebas sebesar 0,06 gr/100gr,

Kandungan asam amino non esensial terbesar adalah asam glutamat dan asam aspartat

dengan nilai 0,385% dan 0,185%, Asam amino esensial terbesar yaitu serin dan metionin

dengan nilai 0,159% dan 0,120%. Menurut Okuzumi dan Fujii (2000), perbedaan kandungan

asam amino ini disebabkan karena kandungan asam amino pada masing-masing spesies

tidak sama. Masing-masing spesies memiliki proses fisiologis yang berbeda. Perbedaan

kandungan asam amino ini juga dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan serta

tahapan dalam daur hidup organisme.

Asam amino esensial yang jumlahnya paling rendah pada hidrolisat protein tinta

cumi-cumi adalah metionin dan histidin. Asam amino metionin tidak terdeteksi pada hidrolisat

protein tinta cumi-cumi sedangkan asam amino histidin mempunyai nilai 0,05%. Menurut

Almatsier (2006), rendahnya salah satu jenis asam amino dapat dilengkapi dengan protein

dari sumber lain yang memiliki asam amino berbeda. Beberapa macam protein dapat saling

mengisi kekurangan asam amino esensial. Dua jenis protein yang terbatas dalam asam

amino yang berbeda, bila dimakan secara bersamaan di dalam tubuh dapat menjadi

susunan protein yang lengkap, dalam keadaan tercampur, asam amino yang berasal dari

berbagai jenis protein dapat saling mengisi untuk menghasilkan protein yang dibutuhkan

untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh.

17. Kesimpulan dan Saran

17.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan akan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :

Page 59: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

58

1. Penggunaan enzim papain pada hidrolisis protein tinta cumi-cumi dapat meningkatkan nilai rendemen, kandungan protein, α-amino nitrogen bebas, nilai derajat hidrolisis dan kandungan asam amino.

2. Perlakuan P2 (konsentrasi enzim 2%) merupakan perlakuan yang paling efisien pada hidrolisis protein tinta cumi-cumi, yang menghasilkan nilai rendemen 86,97%, kandungan protein dan total nitrogen 31,38 mg/ml, kandungan α-amino nitrogen bebas 10,83 mg/ml, derajat hidrolisis 34,56 dan memiliki kandungan asam amino paling tinggi.

3. Hidrolisat protein tinta cumi-cumi mengandung 14 asam amino dari 15 asam amino yang dianalisis, terdiri dari 8 asam amino esensial dan 6 asam amino nonesensial. Asam amino esensial yang terdapat pada hidrolisat protein tinta cumi-cumi adalah histidin, arginin, treonin, valin, isoleusin, leusin, fenilalanin, lisin. Asam amino non esensial yang terdapat pada hidrolisat protein tinta cumi-cumi adalah asam glutamat, asam aspartat, serin, glisin, alanin, dan tirosin.

4. Derajat hidrolisis protein tinta cumi-cumi berkisar antara 1,69 – 34,56. sedangkan nilai derajat hidrolisis tinggi yaitu 50% atau lebih.

17.2. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut

tentang hidrolisis protein tinta cumi-cumi mengunakan enzim yang berbeda, dan

pemanfaatan hidrolisat protein tinta cumi-cumi misalnya dengan membuat produk fortifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Alamatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu dan Gizi. Cetakan keenam. Gramedia. Jakarta Ariyani, F. Saleh, M. Tazwir dan Hak, N. 2003. Optimasi proses produksi hidrolisat protein

ikan (HPI) dari Mujair (Oreochromis mossambicus). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.

Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2011. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.

Dewi, GC. 2002. Studi penggunaan enzim papain pada produksi hidrolisat protein ikan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Dwinastiti, A. 1992. Pengaruh varietas dan penambahan NaCl pada getah pepaya terhadap rendemen dan mutu papain. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Istitut Pertanian Bogor.

Gesualdo, AML dan Li Chan, ECY. 1999. Functional Properties of Fish Protein Hydrolisate from Herring (Clupea harengus). Journal of Food Science by (6): 1000-1004.

Guerard, F. Dufosse, L. Broise, DL dan Binet, A. 2001. Enzymatic hydrolysis of proteins from yellowfin tuna (Thunnus albacares) wastes using alcalase. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic 11: 1051–1059

Haslaniza, H. 2010. The effects of enzyme concentration, temperature and incubation time on nitrogen content and degree of hydrolysis of protein precipitate from cockle (Anadara granosa) meat wash water. International Food Research Journal 17: 147-152

Hidayat, T. 2005. Pembuatan hidrolisat protein dari ikan selar kuning (Caranx leptolepis) dengan menggunakan enzim papain. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Lehninger, AL. 1982. Principles of Biochemistry. Diterjemahkan oleh Maggy Thenawidjaja. Dasar-Dasar Biokimia I. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Mukholik. 1995. Pengaruh larutan tinta cumi-cumi dan suhu perebusan terhadap air rebusan cumi-cumi. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Okuzumi, M dan Fujii, T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Japan: National Cooperative Association of Squid Processors.

Page 60: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

59

Purbasari, D. 2008. Produksi dan karakterisasi hidrolisat protein dari kerang mas ngur

(Atactodea striata). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Praptono, B. 2006. Produksi peptone ikan gulamah (Argyrosonzun sp.) sebagai sumber nitrogen media pertumbuhan mikroba. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. lnstitut Pertanian Bogor.

Syahrizal, FSNA. 1991. Mikrobiologi kecap ikan yang dibuat secara hidrolisis enzimatis. skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Widadi, IR. 2011. Pembuatan dan karakterisasi hidrolisat protein dari ikan lele dumbo (clarias gariepinus) Menggunakan enzim papain. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Winarno, FG. 2003. Enzim pangan. Gramedia. Jakarta.

Page 61: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

60

PENGARUH J KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI SILASE KEONG MAS (Pomacea canaliculata) DENGAN PENAMBAHAN ASAM FORMAT DAN BAKTERI ASAM LAKTAT 3B104 Yovitaro Noviana N, Susi Lestari, Siti Hanggita RJ

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : golden snail silage, formic acid, lactid acid bacteria (LAB)

18. Pendahuluan

Tepung ikan merupakan bahan baku utama dalam pakan ikan dan udang karena memiliki protein yang cukup tinggi sekitar 53,7% (Anonim, 2005). Nilai impor pasokan tepung ikan menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, pada tahun 2006 mencapai angka 88.825 ribu ton sedangkan pada tahun 2008 menjadi 67.597 ribu ton (Nikijuluw, 2010). Dengan adanya pasokan tepung ikan dunia yang mulai menurun dan penggunaannya yang mulai bersaing dengan harga kebutuhan pangan, maka berbagai penelitian dilakukan untuk mencari alternatif sumber bahan baku pakan pengganti tepung ikan yang dilakukan dengan menitikberatkan pada bahan baku yang bersifat mudah didapatkan, murah serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah penggunaan silase ikan. Silase ikan adalah salah satu produk cair yang berasal dari ikan atau sisa-sisa pengolahan perikanan (Rahayu et al., 1992). Proses pembuatan silase dapat dilakukan secara kimia dan mikrobiologi. Pembuatan silase secara kimiawi dilakukan dengan cara menambahkan asam organik atau asam mineral maupun campuran keduanya dan diawetkan dalam suasana asam. Secara biologis dilakukan dengan mempergunakan kemampuan bakteri asam laktat (BAL) serta dengan penambahan sumber karbohidrat yang menyebabkan jalannya proses fermentasi (Sukarsa et al., 1985).

Dalam proses pembuatan silase secara kimiawi umumnya menggunakan asam organik maupun asam mineral. Menurut Kompiang dan Ilyas (1993), asam organik terutama asam format umumnya lebih mahal daripada asam mineral, tetapi dengan menggunakan asam ini silase yang dihasilkan tidak begitu asam. Penggunaan asam format ini pun dapat langsung digunakan sebagai ransum ikan maupun ternak tanpa harus dinetralkan terlebih dahulu (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Penambahan asam format pada penelitian ini juga

The purposes of this research were to know characteristics of golden snail (Pomacea

canaliculata) silage processed chemically and microbiologycal using lactid acid bacteria culture

(LAB) 3B104. The research used the Factorial Randomized Block Designed with two factors of

treatment and each was replicated three times. The factors were different of percentation formic

acid (formic acid 2.5%, 3.0% and 3.5%), without and given lactid acid bacteria (LAB) culture

3B104. The parameters were chemical analysis (pH value, moisture content, ash content, protein

content, fat content, carbohydrate, crude fiber) and microbiologycal analysis (Total Plate Count,

Salmonella test, Escherischia coli test). The result of this research were different ration of

percentage formic acid, without and given lactid acid bacteria culture (LAB) 3B104 had significant

effect on pH value, moisture content, protein content, carbohydrate and crude fiber. The average

value were pH value after fermentation (4.73-5.46), moisture content (77.98%-81.59%), ash

content (2.25%-3.97%), protein content (10.88%-14.54%), fat content (0.45%-0.68%.),

carbohydrate content (2.00%-3.70%.), crude fiber (0.56%-1.47%). The highest protein content

(14.54%) was found in the treatment of formic acid 3.5% without given lactid acid bacteria culture

(LAB) 3B104. The microbiologycal analysis showed total plate count (5.78 log CFU/gr-7.29 log

CFU/gr), negative Salmonella and Escherischia coli.

Page 62: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

61

bertujuan mempercepat penurunan pH dan mengaktifkan kerja enzim. Enzim mengubah protein ke dalam unit yang lebih kecil sehingga asam amino sebagai penyusun protein menjadi lebih pendek (Jatmiko, 2002).

Bakteri asam laktat (BAL) adalah salah satu bakteri yang digunakan dalam proses pengawetan bahan pangan. BAL dapat dimanfaatkan sebagai starter dalam proses fermentasi. BAL termasuk bakteri yang menguntungkan. BAL dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan bakteri patogen pada produk pangan serta produk fermentasi (Misgiyarta dan Widowati, 2002). Menurut Fardiaz (1989), BAL mempunyai kemampuan memfermentasi gula menjadi asam laktat. BAL memproduksi asam berlangsung secara cepat sehingga pertumbuhan mikroba lain yang tidak diinginkan dapat terhambat.

Pemilihan bahan baku pembuatan silase selama ini biasanya memanfaatkan bahan baku dari ikan utuh, ikan rucah, rumput laut, kerang dan limbah hasil perikanan (Djazuli et al, 1998). Akan tetapi sumber daya bahan baku tersebut cenderung membutuhkan biaya besar, selain ketersediaannya yang tidak memadai dan mudah mengalami pembusukan serta bersaing dengan kebutuhan manusia. Sumatera Selatan merupakan provinsi yang mempunyai potensi besar dalam perairan rawa. Salah satu komoditi perairan rawa yang sumber bahan bakunya melimpah adalah keong mas. Pemanfaatan keong mas yang belum optimal menyebabkan perkembangbiakan keong mas yang sangat cepat dan melimpah sehingga keong mas menjadi hama utama tanaman padi. Oleh karena itu untuk menanggulangi perkembangannya keong mas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan silase.

Menurut Edwars dan MC Donald (1978), umumnya beberapa jenis BAL dapat ditemukan pada silase. Jenis-jenis BAL yang terdapat pada silase adalah Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis, Lactobacillus buchneri, Lactobacillus fermentum, Lactobacillus viridescens, Pediococcus acidilactici, Streptococcus faecalis, Streptococcus faesin, Streptococcus lactis. Pada penelitian ini BAL yang digunakan adalah isolat BAL 3B104. Isolat BAL 3B104 adalah salah satu isolat BAL yang diisolasi dari produk bekasam.

Menurut penelitian Suarni (2010), isolat 3B104 yang diisolasi dari produk bekasam memiliki morfologi berbentuk batang (basil) dan gram positif. Isolat BAL 3B104 ini mampu menghambat bakteri dengan zona hambat paling besar yaitu 1,19 cm untuk bakteri Eschericia coli, menghambat Bacillus subitilis sebesar 2,4 cm dan menghambat Morganella morganii sebesar 1,725 cm dibandingkan dengan isolat-isolat BAL yang lainnya. Maka dari itu dilakukan penelitian pembuatan silase ini untuk mengetahui pengaruh penambahan asam dan penambahan kultur bakteri asam laktat (BAL) isolat 3B104 terhadap kandungan kimia dan mikrobiologi silase keong mas.

19. Metode Penelitian

19.1. Bahan dan Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi 1) autoclave, 2) beaker glass, 3) bunsen, cawan petri, 4) cawan porselen, 5) corong Buncher, 6) desikator, 7) erlenmeyer, 8) gelas ukur, 9) hot plate, 10) inkubator, 11) jarum ose, 12) kompor, 13) labu destilat, 14) magnetic stirer, 15) muffle furnace, 16) neraca analitik, 17) oven, 18) panci, 19) pH meter, 20) hot plate, 21) pengaduk, 22) pipet mikro, 23) pipet volume, 24) pisau, 25) rak tabung reaksi, 26) tabung Durham, 27) tabung Kjehdal, 28) tabung reaksi, 29) Soxlet dan 30) stoples kaca.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain 1) alkohol 70%, 2) aquades, 3) asam format konsentrasi 85%, 4) isolat BAL 3B104, 5) H2BO3, 6) HCl, 7) HgO, 8) H2SO4, 9) indikator metil biru, 10) indikator metil merah, 11) kapas, 12) keong mas (Pomacea canaliculata) yang diperoleh dari daerah Mariana, 13) K2SO4, 14) larutan Buffer, 15) larutan butterfields phospate buffered, 16) media Mac Conkey, 17) media NB (Nutrient Broth), 18) media PCA (Plate Count Agar), 19) media Selenite Broth , 20) NaOH dan 21) pelarut heksana.

Page 63: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

62

19.2. Prosedur

19.2.1. Proses Perbanyakan Kultur Bakteri Asam Laktat (BAL)

Proses perbanyakan BAL menurut Rinto (2006) adalah sebagai berikut : a. Sebanyak 1 mL bakteri diambil dengan menggunakan mikro pipet. b. Lima mL Nutrient Broth (NB) disiapkan di dalam tabung reaksi, kemudian 1 mL bakteri

yang sudah diambil, dimasukkan kedalam 5 mL NB yang sudah disiapkan, dihomogenkan menggunakan mixer vortex dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 OC untuk memperbanyak biakan bakteri, kemudian diambil sebanyak 1 mL.

c. Dari 1 mL larutan yang sudah diambil, dimasukkan ke dalam 9 mL NB yang sudah disiapkan dan dihomogenkan lalu diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37 OC.

d. Campuran media dan bakteri sebanyak 9 mL dimasukkan ke dalam 90 mL NB yang telah disiapkan. Homogenkan dan diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37 OC.

e. Sebanyak 900 mL NB disiapkan di dalam erlenmeyer. Kemudian campuran media dan bakteri yang sudah diinkubasi pada tahap ke-4, dimasukkan media yang telah disiapkan tersebut. Homogenkan dan diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37 OC.

19.2.2. Proses Pembuatan Silase Proses pembuatan silase keong mas (Pomacea canaliculata) yang mengacu pada penelitian Hermana et al. (2006) dan Hasan (2003) yang telah dimodifikasi tahapannya sebagai berikut : 1. Keong mas yang diperoleh diberokkan dengan cara direndam ke dalam air bersih

selama sehari semalam. Kemudian dicuci dan direbus terlebih dahulu. Daging dan jeroannya dikeluarkan dari cangkang, ditiriskan lalu dicincang.

2. Keong tanpa cangkang yang sudah dicincang selanjutnya direndam dalam larutan garam 3,5% selama 30 menit. Lalu dicuci hingga bersih dan ditiriskan. Kemudian ditimbang seberat 150 gram.

3. Sampel dimasukkan ke dalam toples kaca kemudian ditambahkan bahan kimia dan kultur BAL sebanyak 15% sesuai masing-masing perlakuan.

4. Sampel diaduk hingga merata, kemudian difermentasi selama 7 hari. 5. Silase keong mas yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis kimia dan mikrobiologi.

19.3. Statistik

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan faktor pertama (A) terdiri dari tiga taraf perlakuan yaitu perbedaan persentase penggunaan asam format. Faktor kedua (B) terdiri dari dua taraf perlakuan yaitu tanpa dan dengan penambahan kultur BAL 3B104. Pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. 1. Faktor Pertama (A)

A1= asam format 2,5% A2= asam format 3% A3= asam format 3,5%

2. Faktor Kedua (B) B0= tanpa penambahan kultur BAL 3B104 B1= penambahan kultur BAL 3B104 sebanyak 15%

Parameter yang dianalisis pada penelitian ini meliputi analisis kimia, dan analisis

mikrobiologi.

20. Hasil dan Pembahasan

20.1. Analisa Kimia

20.1.1. Nilai pH

Nilai pH dari silase keong mas sebelum fermentasi berkisar antara 4,09 hingga 5,60. Nilai pH terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 3,5% tanpa penambahan kultur BAL (A3B0) sedangkan nilai pH tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% dengan penambahan kultur BAL (A1B1).

Page 64: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

63

Nilai pH dari silase keong mas setelah fermentasi berkisar antara 4,73 hingga 5,46. Nilai pH terendah setelah fermentasi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 3,5% tanpa penambahan kultur BAL (A3B0) sedangkan nilai pH tertinggi setelah fermentasi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 3,0% tanpa penambahan kultur BAL (A2B0). Histogram rerata nilai pH silase keong mas sebelum dan setelah fermentasi seperti disajikan pada Gambar 2.

Keterangan : A1 = Asam format (85%) 2,5% B0 = Tanpa penambahan kultur BAL A2 = Asam format (85%) 3,0% B1 = Penambahan kultur BAL sebanyak15% A3 = Asam format (85%) 3,5%

Gambar 2. Histogram rerata nilai pH sebelum dan setelah fermentasi Gambar 2 memperlihatkan nilai pH silase keong mas kombinasi perlakuan asam

format tanpa penambahan kultur BAL cenderung mengalami penurunan sedangkan nilai pH silase keong mas kombinasi perlakuan asam format dengan penambahan kultur BAL mengalami penurunan. Penurunan nilai pH cenderung mengalami penurunan setelah fermentasi.

Nilai pH setelah fermentasi relatif mengalami penurunan. Nilai pH yang mengalami penurunan disebabkan karena penambahan asam. Penambahan asam format dengan persentase berbeda juga mempengaruhi penurunan nilai pH. Dimana semakin tinggi persentase asam yang digunakan maka, pH silase semakin rendah. Hal ini didukung dengan pendapat Yuwono et al. (2010) yang menyatakan bahwa peningkatan asam format mengakibatkan peningkatan konsentrasi ion hidrogen dalam silase sehingga pH menjadi rendah.

Penambahan asam format pada penelitian ini berfungsi untuk mempercepat penurunan pH. Dengan adanya penurunan pH yang cepat, pertumbuhan bakteri pembusuk maupun patogen terhambat. Menurut Kompiang dan Ilyas (1993), asam yang sering digunakan dalam pembuatan silase adalah asam organik.

Penambahan asam juga menciptakan kondisi lingkungan yang asam dan sangat dibutuhkan dalam proses fermentasi (Afrianto dan Liviawaty, 2005). Adanya penambahan asam format akan bereaksi dengan jaringan-jaringan yang terkandung dan menyebabkan denaturasi protein menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Menurut Hasan (2003), bahwa nilai pH silase ikan yang mengalami penurunan dikarenakan terjadinya reaksi oleh asam yang ditambahkan. Dengan penambahan asam maka protein akan terdenaturasi.

5,45 5,60 5,30 5,41

4,09

5,34

5,38 5,29

5,46 5,27

4,73 4,75

0

1

2

3

4

5

6

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

NIL

AI

pH

PERLAKUAN

sebelum fermentasi

sesudah fermentasi

Page 65: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

64

Denaturasi protein dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau wiru molekul protein (Winarno, 1992). Denaturasi dapat disebabkan oleh pemanasan, pH ekstrim, perlakuan mekanis, kekuatan ion, radiasi, pembekuan, logam berat, dan pelarut organik. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan persentase asam format berpengaruh sangat nyata sedangkan perlakuan kultur BAL dan serta interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap pH silase keong mas.

Uji lanjut BJND menunjukkan bahwa perlakuan (A3) berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Hal ini disebabkan adanya penambahan asam format yang berpengaruh terhadap nilai pH silase keong mas. Menurut Kompiang dan Ilyas (1993), bahwa perubahan nilai pH dengan penambahan asam (baik itu asam organik maupun asam mineral) dalam pembuatan silase ikan dapat menurunkan nilai pH pada bahan yang diawetkan sehingga pertumbuhan mikroba pembusuk maupun patogen dapat dihambat.

20.1.2. Kadar Air

Nilai kadar air keong mas adalah 75,65%. Setelah menjadi silase berkisar antara 77,98% hingga 81,59%. Nilai kadar air yang terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan (A2B0) sedangkan nilai kadar air tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan (A1B1). Grafik rerata kadar air silase keong mas seperti disajikan pada Gambar 4.

Gambar 3. Histogram rerata kadar air Gambar 3 memperlihatkan bahwa nilai kadar air silase mengalami peningkatan. Jika

dibandingkan dengan kadar air keong mas, kadar air silase mengalami peningkatan setelah fermentasi. Meningkatnya nilai kadar air silase keong mas diduga adanya penambahan asam dan kultur BAL.

Nilai kadar air silase keong mas perlakuan asam format tanpa penambahan kultur BAL cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi berlangsung, terjadi proses hidrolisis yang membutuhkan air. Air yang digunakan untuk proses hidrolisis menyebabkan kadar air menurun.

Nilai kadar air silase keong mas dengan penambahan penambahan kultur BAL mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena adanya metabolisme BAL yang menghasilkan CO2 dan H2O. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan asam format dengan persentasi penggunaan yang berbeda, perlakuan tanpa penambahan dan dengan penambahan kultur BAL berpengaruh sangat nyata sedangkan interaksinya berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air silase keong mas.

Uji lanjut BJND pengaruh persentase asam format terhadap kadar air menunjukkan

bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena selama proses hidrolisis

berlangsung dibutuhkan H2O sehingga ion hidrogen mengalami peningkatan dan kadar

airnya cenderung menurun. Uji lanjut BJND pengaruh penambahan kultur BAL terhadap

80,43

81,59

77,98

80,29

78,91

80,27

76

77

78

79

80

81

82

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

KA

DA

R A

IR

PERLAKUAN

Page 66: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

65

kadar air juga menunjukkan perlakuan berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena adanya

metabolisme BAL yang menghasilkan CO2 dan H2O.

20.1.3. Kadar Abu

Nilai kadar abu keong mas adalah 2,21%. Setelah menjadi silase berkisar antara 2,25% hingga 3,97%. Nilai kadar abu silase keong mas yang terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% dengan penambahan kultur BAL (A1B1) sedangkan nilai kadar abu silase keong mas yang tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% tanpa penambahan kultur BAL (A1B0). Histogram rata-rata nilai kadar abu silase keong mas disajikan pada Gambar 5.

Gambar 4. Histogram rerata kadar abu

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan asam format dengan persentasi penggunaan yang berbeda dan interaksinya berpengaruh sangat nyata sedangkan perlakuan tanpa penambahan kultur BAL dan dengan penambahan kultur BAL berpengaruh nyata terhadap kadar abu silase keong mas. Uji lanjut BJND pengaruh persentase asam format menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Hal ini diduga karena asam yang digunakan sebagai perlakuan adalah asam organik, pada saat pengabuan zat organik tersebut ikut terbakar sehingga mempengaruhi kadar abu. Abu adalah suatu zat anorganik yang berhubungan dengan jumlah mineral yang terkandung pada bahan (Sudarmadji et al. 1997).

Uji lanjut BJND menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Uji lanjut

BJND interaksi persentase asam format dengan perlakuan penambahan kultur BAL

menunjukkan bahwa interaksi pengaruh perlakuan (A2B0) dan perlakuan (A3B1) berbeda

nyata terhadap semua perlakuan. Perlakuan (A1B0) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan

(A2B1). Perlakuan (A3B0) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan (A1B1). Hal ini diduga

mikroba memanfaatkan mineral-mineral yang terkandung dalam bahan untuk tumbuh.

20.1.4. Kadar Protein

Kadar protein keong mas adalah 10,77%. Setelah menjadi silase kadar protein berkisar antara 10,88% hingga 14,54%. Grafik rerata nilai kadar protein silase keong mas seperti disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 memperlihatkan nilai kadar protein terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% tanpa penambahan kultur BAL (A1B0) sedangkan nilai kadar protein tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 3,5% tanpa penambahan kultur BAL (A3B0).

Nilai kadar protein silase keong mas perlakuan asam format tanpa penambahan kultur BAL memperlihatkan bahwa setelah diproses menjadi silase, kadar protein keong mas

3,97

2,25

3,21 3,64

2,43

3,04

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

4,5

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

KA

DA

R A

BU

PERLAKUAN

Page 67: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

66

meningkat. Hal ini diebabkan karena adanya penambahan asam dengan persentase yang berbeda. Semakin tinggi asam yang digunakan menyebabkan aktivitas enzim terhambat maka proses hidrolisis protein menjadi peptida terhambat sehingga kadar proteinnya mengalami peningkatan.

Gambar 5. Histogram rerata kadar protein

Nilai kadar protein silase keong mas dengan penambahan kultur BAL mengalami

peningkatan. Hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan enzim protease. Enzim protease memecah protein menjadi peptida atau asam amino sehingga kadar protein mengalami peningkatan.

Uji lanjut BJND pengaruh perlakuan persentase asam format menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Peningkatan kadar protein pada semua perlakuan diduga karena adanya penambahan asam. Hal ini diduga karena banyaknya protein yang terdegradasi lebih lanjut menjadi peptida. Gildberg (2005) mengemukakan bahwa pengolahan limbah ikan secara kimiawi menghasilkan produk berbentuk cair karena protein ikan dan jaringan struktur lainnya didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil oleh enzim sehingga dapat meningkatkan kandungan protein silase ikan. Peningkatan kadar protein disebabkan karena protein didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil dapat memberikan efek positif terhadap tingkat kecernaan.

Uji lanjut BJND menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Uji lanjut BJND (Lampiran 6) menunjukkan bahwa interaksi pengaruh perlakuan (A1B0) berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Interaksi perlakuan (A2B1) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan (A1B1). Interaksi perlakuan (A3B1) berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Interaksi perlakuan (A2B0) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan (A3B0). Interaksi pengaruh kombinasi perlakuan berpengaruh terhadap kadar protein.

20.1.5. Kadar Lemak

Kadar lemak keong mas adalah 0,68%. Setelah menjadi silase kadar lemak dari silase keong mas berkisar antara 0,45% hingga 0,68%. Kadar lemak setelah menjadi silase mengalami penurunan. Menurut Oktavia (2011) menyatakan bahwa turunnya kadar lemak setelah menjadi silase disebabkan karena lemak terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Asam lemak bebas ini akan mudah mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan kadar lemak menurun.

Nilai kadar lemak yang terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% tanpa penambahan kultur BAL (A1B0) sedangkan nilai kadar lemak yang tertinggi diperoleh

10,88 12,09

14,23

12,00

14,54

12,68

0

2

4

6

8

10

12

14

16

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

KA

DA

R

PR

OT

EIN

PERLAKUAN

Page 68: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

67

dari kombiasi perlakuan asam format 3,5% dengan penambahan kultur BAL (A3B1). Grafik rerata nilai kadar lemak silase keong mas seperti disajikan pada Gambar 7.

Gambar 6 memperlihatkan kadar lemak silase keong mas cenderung mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan karena asam yang ditambahkan dapat memecah komponen lemak yang komplek menjadi komponen yang lebih sederhana. Lemak akan terpecah oleh enzim lipase menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga menyebabkan kandungan lemak menurun.

Gambar 6. Histogram rerata kadar lemak Menurut Brockerhoff (1974) kadar lemak yang mengalami penurunan disebabkan

karena terjadinya proses lipolitik yang menyebabkan terurainya lemak menjadi asam lemak rantai pendek, karbonil dan senyawa volatil sebagai asam lemak bebas. Menurut Abun (2006) bahwa asam organik yang ditambahkan pada proses pembuatan silase akan memecah molekul lemak yang komplek menjadi molekul yang lebih sederhana dimana secara proposional dapat menurunkan kadar lemak pada bahan. Penambahan asam organik juga dapat memecah molekul lemak yang komplek menjadi molekul yang lebih sederhana dan menjadi asam lemak tidak jenuh.

20.1.6. Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan salah satu komponen sumber energi. Nilai kadar karbohidrat keong mas adalah 3,47%. Nilai kadar karbohidrat silase keong mas berkisar antara 2,00% hingga 3,70%. Nilai kadar karbohidrat terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% dengan penambahan kultur BAL (A1B1) sedangkan nilai kadar karbohidrat tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% tanpa penambahan kultur BAL (A1B0). Grafik rerata nilai kadar karbohidrat silase keong mas seperti disajikan pada Gambar 7.

0,45

0,6 0,65 0,62 0,6

0,68

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

KA

DA

R L

EM

AK

PERLAKUAN

3,70

2,00

2,77 2,54

2,17 2,46

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

4

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

KA

DA

R K

AR

BO

HID

RA

T

PERLAKUAN

Page 69: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

68

Gambar 7. Histogram rerata kadar karbohidrat Kadar karbohidrat silase keong mas yang berbeda diduga disebabkan karena kenaikan

komponen-komponen lain silase keong mas seperti kadar protein, air, abu dan lemak. Penentuan nilai kadar karbohidrat pada silase keong mas ini menggunakan metode by different, sehingga semakin naiknya kadar protein, air, abu dan lemak silase yang dihasilkan maka kadar karbohidrat semakin meningkat.

Uji lanjut BJND pengaruh penambahan dan penambahan kultur BAL terhadap hasil karbohidrat silase keong mas menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Hal ini diduga karena terjadinya proses glikolisis yang disebabkan oleh mikroba. Proses glikolisis juga merupakan serangkaian reaksi yang mengubah glukosa menjadi asam laktat yang dilakukan oleh mikroba secara anaerob. Mikroba juga memanfatkan karbohidrat sebagai salah satu sumber nutrisi sehingga mempengaruhi kadar karbohidrat. Menurut Nurwantoro dan Djarijah (1997) bahwa mikroba memanfaatkan karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk tumbuh. Uji lanjut BJND menunjukkan bahwa pengaruh interaksi perlakuan (A1B0) berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Hal ini diduga karena adanya penambahan asam.

20.1.7. Kadar Serat

Serat kasar keong mas adalah 1,33%. Nilai serat kasar silase keong mas berkisar antara 0,56 % hingga 1,47%. Nilai serat silase keong mas terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% tanpa penambahan kultur BAL (A1B0) sedangkan nilai kadar serat kasar silase keong mas yang tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% dengan penambahan kultur BAL (A1B1). Grafik rerata nilai kadar serat kasar silase keong mas seperti disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Histogram rerata kadar Gambar 8 memperlihatkan bahwa kandungan serat kasar cenderung mengalami

peningkatan. Serat kasar yang dihasilkan berasal dari sisa-sisa makanan keong mas. Jika dilihat dari segi makanannya, keong mas termasuk hewan herbivora. Makanan keong mas berupa erceng gondok, ganggang air dan padi (Sihombing, 1999). Hal ini yang diduga menyebabkan peningkatan kandungan serat kasar silase keong mas.

Nilai kadar serat kombinasi perlakuan asam tanpa penambahan kultur BAL cenderung mengalami peningkatan. Hal ini diduga karena serat kasar yang dihasilkan berasal dari sisa makanan keong mas tersebut sehingga kandungan serat kasar silase keong mas meningkat. Sedangkan nilai kadar serat kombinasi perlakuan asam format dengan penambahan kultur

0,58

1,47

1,16

0,91

1,34

0,88

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1,4

1,6

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

KA

DA

R S

ER

AT

PERLAKUAN

Page 70: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

69

BAL cenderung mengalami penurunan. Hal ini diduga terjadinya proses hidrolisis yang disebabkan enzim lipolitik yang berasal dari bakteri tersebut.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan asam format dengan persentasi penggunaan yang berbeda dan perlakuan tanpa penambahan kultur BAL serta dengan penambahan kultur BAL tidak berpengaruh nyata sedangkan interaksinya berpengaruh sangat nyata. Hasil uji lanjut BJND pengaruh interaksi perlakuan asam format dengan persentasi penggunaan yang berbeda, tanpa penambahan dan dengan penambahan kultur BAL menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata terhadap serat kasar silase.

Uji lanjut BJND menunjukkan bahwa perlakuan asam format (A1B1) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan (A3B0) dan (A2B0). Perlakuan (A2B1) berbeda tidak nyata terhadap perlakuan (A3B1). Perlakuan asam format (A1B0) berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Hal ini diduga karena serat kasar terhidrolisis oleh asam menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sehingga kandungan serat mengalami penurunan.

20.2. Analisa Mikrobiologi

20.2.1. Analisa TPC

Analisa total plate count (TPC) merupakan salah satu uji penentuan jumlah mikrobiologi pada suatu produk pangan. Nilai log dari hasil jumlah total mikroba silase keong mas berkisar antara 5,78 log unit koloni/gram hingga 7,28 log unit koloni/gram. Histogram penentuan jumlah total mikroba silase keong mas seperti disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Histogram jumlah total mikroba Gambar 1 memperlihatkan bahwa jumlah total bakteri silase keong mas yang

terendah diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 3,5% tanpa penambahan kultur BAL (A3B0). Hal ini diduga karena perlakuan asam format sebanyak 3,5% mempunyai nilai pH rendah, hanya jenis mikroba tertentu yang bisa bertahan hidup sehingga mempengaruhi kelangsungan hidup mikroba tersebut. Menurut Yunizal (1986), proses silase secara biologis (mikrobiologis), bakteri asam laktat akan merubah gula menjadi asam organik yang mengakibatkan terjadinya perubahan pH.

Gambar 1 memperlihatkan bahwa jumlah total mikroba silase keong mas yang tertinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan asam format 2,5% dengan penambahan kultur BAL (A3B1). Hal ini diduga karena persentase penggunaan asam format 2,5% dan adanya penambahan kultur BAL pada perlakuan. Dengan adanya penambahan kultur BAL pada perlakuan maka jumlah mikroba yang terkandung pada perlakuan akan meningkat. Kompiang dan Ilyas (1993) juga mengemukakan bahwa penggunaan asam kurang dari 3%, silase yang dihasilkan akan mudah terserang mikroba serta penurunan pH relatif lambat.

6,69 7,28

6,48 7,11

5,78

6,68

0

1

2

3

4

5

6

7

8

A1B0 A1B1 A2B0 A2B1 A3B0 A3B1

PE

NE

NT

UA

N J

UM

LA

H T

OT

AL

MIK

RO

BA

(C

FU

/gra

m)

PERLAKUAN

Page 71: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

70

20.2.2. Salmonella

Salmonella merupakan salah satu bakteri golongan Enterobacter. Salmonella merupakan bakteri yang berbentuk batang, tidak membentuk spora dan bersifat gram negatif. Salmonella juga termasuk bakteri yang dapat memfermentasi glukosa (Pelczar dan Chan, 1988).

Menurut Haryadi (2005) Salmonella merupakan bakteri indikator keamanan baik pangan maupun pakan. Hasil pengujian Salmonella pada seluruh perlakuan yaitu negatif. Hal ini diduga Salmonella memerlukan kondisi yang optimal untuk tumbuh dan berkembang biak. Salmonella optimal tumbuh dan berkembang pada pH netral sedangkan silase yang dihasilkan memiliki pH berkisar 4,73 hingga 5,46, sehingga pada silase yang dihasilkan tidak ditemukan Salmonella. Menurut SNI 7548 : 2009 tentang pakan buatan untuk ikan patin dan SNI 7473 : 2009 tentang pakan buatan untuk ikan gurami, kandungan Salmonella pada pakan ikan haruslah negatif. Hasil pengujian jumlah Salmonella pada seluruh perlakuan silase adalah negatif sehingga silase yang dihasilkan tersebut memenuhi persyaratan untuk dijadikan bahan campuran dalam pakan ikan. Hasil pengujian Salmonella silase keong mas seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil pengujian Salmonella silase keong mas

No Kode Sampel Hasil Identifikasi Salmonella

1. A1B0` Negatif 2. A1B1 Negatif 3. A2B0 Negatif 4. A2B1 Negatif 5. A3B0 Negatif 6. A3B1 Negatif

20.2.3. Escherischia coli

Escherischia coli merupakan salah satu bakteri yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae, yang paling umum dibiakkan dalam laboratoium klinis. Escherischia coli mempunyai bentuk batang, gram negatif dan bersifat fakultatif anaerob. Dalam bidang mikrobiologi pangan, E. coli dikenal sebagai bakteri indikator sanitasi. Hasil pengujian E. coli silase keong mas menunjukkan bahwa semua perlakuan negatif tidak mengandung E. coli. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari penambahan asam dan BAL. Asam organik yang digunakan pada pembuatan silase keong mas ini juga dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Hasil pengujian E. coli silase keong mas seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Pengujian Escherischia coli silase keong mas

No Kode Sampel Hasil Identifikasi Escherischia

coli

1. A1B0` Negatif 2. A1B1 Negatif 3. A2B0 Negatif 4. A2B1 Negatif 5. A3B0 Negatif 6. A3B1 Negatif

21. Kesimpulan dan Saran

21.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

Page 72: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

71

1. Perlakuan perbedaan persentase asam format berpengaruh nyata terhadap nilai pH, kadar air, kadar abu dan kadar protein.

2. Perlakuan dengan penambahan kultur BAL berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar kabohidrat.

3. Interaksi perbedaan persentase asam format dengan perlakuan penambahan kultur BAL berpengaruh nyata terhadap kadar abu, kadar protein, kadar karbohidrat dan serat kasar.

4. Silase keong mas yang terbaik diperoleh dari perlakuan perlakuan A3B0 yaitu dengan nilai pH 4,73, kadar air 78,91%, kadar abu 2,43%, kadar protein 14,54%, kadar lemak 0,60%, karbohidrat 2,17%, serat kasar 1,34%, jumlah total mikroba sebanyak 5,78 log unit koloni/gram, Salmonella dan Escherischia coli negatif.

21.2. Saran

Disarankan bila dilakukan penelitian tentang silase keong mas (Pomacea

canaliculata) dengan penambahan kultur BAL perlu ditambahkan sumber karbohidrat

sebagai nutrisi BAL serta dilakukan penelitian lanjutan tentang kandungan asam aminonya.

DAFTAR PUSTAKA

Abun, D. Rusmana, D. Saefulhadjar. 2004. Pengaruh cara pengolahan limbah ikan tuna (Thunnus atlanticus) terhadap kandungan gizi dan nilai energi metabolisme pada ayam pedaging. Laporan Penelitian Universitas Padjajaran Fakultas Peternakan.

Abun. 2006. Evaluasi nilai kecernaan limbah ikan tuna (Thunnus atlanticus) produk pengolahan kimiawi dan biologis serta nilai retensi nitrogen pada ayam broiler. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius. Jakarta. Afrianto, E dan E. Liviawaty. 2005. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta Anonim. 2005. Bahan Alternatif Pakan dari Hasil Samping Industri Pangan. Ditjen Perikanan

Budidaya BBAT – Jambi (Abstr.). Association of Official Analaytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Assosiation

of Official Chemist. AOAC Inc. Arlington. Virginia. Badan Standarisasi Nasional. SNI No 7548-2009. 2009a. Standarisasi Nasional Pakan

Buatan Ikan Patin. Standar Nasional Indonesia. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. SNI No 7473-2009. 2009b. Standarisasi Nasional Pakan

Buatan Ikan Gurami. Standar Nasional Indonesia. Jakarta. Brockerhoff. 1974. Lipolytic Enzymes. Academic Press. New York. Budiyono, S. 2006. Teknik mengendalikan keong mas pada tanaman padi. Jurnal Ilmu-ilmu

Pertanian, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Vol 2 No. 2:128-133. Direktorat Jenderal Perikanan. 1998. Tepung Silase Ikan. Balai Bimbingan dan Pengujian

Mutu Hasil Perikanan Jakarta. Djazuly, N., Sunaryo dan D. Budiyanto. 1998. Teknologi mutu dan aplikasi tepung silase

ikan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Edwars, R. H dan P. M. Donald. 1978. The Chemistry of Silase Fermentation. In : E. Helen

dan R. Kreuzer Ed. Fermentation of Silase review. Ntaional Feed Ingredients Association. Iowa.

Fardiaz. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor. Bogor. Firdus. Muchlisin, Z. A. 2004. Pemanfaatan keong mas (Pomacea canaliculata) sebagai

pakan alternatif dalam budidaya ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina). Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh.

Gesualdo AML dan Li Chan ECY. 1999. Functional Properties of Fish Protein Hydrolisate from Herring (Clupea harengus). Journal of Food Science by (6): 1000-1004.

Page 73: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

72

Gildberg, A. 2005. Enzymes and Bioactive Peptides from Fish Waste Related to Fish Silage, Fish Feed, Fish Sauce Production. http://vefur.rf.is/TAFT2003/Speakers/AGildberg.pdf

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Jilid 1. Liberty. Yogyakarta. Haetami, K., Susangka, I., Maulina, I. 2006. Suplementasi asam amino pada pelet yang

mengandung silase ampas tahu dan implikasinya terhadap pertumbuhan benih ikan nila gift (Oreochromis niloticus). Universitas Padjajaran Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Hasan, B. 2003. Fermentation of fish silage using Lactobacillus pentous. Jurnal Natur Indonesia 6(1): 11–14 (2003). ISSN 1410-9379.

Hermana, W., W.G. Piliang, L.A., Sofyan 2006. Pengaruh penggunaan tepung silase dalam ransum terhadap penampilan ayam pedanging strain aksas. Med Pet 24: 26-29.

Jatmiko, B. 2002. Teknologi dan aplikasi tepung silase ikan. Makalah Falsafah Sains

Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Kamaruddin. Usman. Makmur. 2005. Pemanfaatan keong mas (Pomacea sp.) sebagai

substitusi tepung ikan dalam pakan ikan. Warta Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No. 6 Tahun 2005. BRPBAP. Maros.(Abstr.)

Kompiang, I. P. 1990. Fish silage and tepsil production technology. Research Institute for Animal Production. IARD Journal, Vol 12 No. 4.

Kompiang, I.P. dan S. Ilyas. 1993. Silase ikan : pengolahan, penggunaan, dan prospeknya di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Lehninger, L.A. 1988. Principles Of Biochemistry. Diterjemahkan oleh Thenawidjaja, M. 1993. Dasar-Dasar Biokimia. Erlangga. Jakarta.

Misgiyarta dan Widowati. 2002. Seleksi dan identifikasi bakteri asam laktat (BAL) Indegenus. (Prosiding).

Nikijuluw, V. 2010. Penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi sekitar 20 Produk Perikanan dan Penunjangnya. (Online). (http://jpmi.or.id/2010/07/31/2010-indonesia-impor-82-juta-kilo-ikan-segar-dan-beku/). diakses tanggal 10 Maret 2010.

Nurwantoro dan Djarijah, A. B. 1997. Mikrobiologi Pangan Hewani – Nabati. Kanisius. Jakarta.

Oktavia, Y. 2011. Pemanfaatan limbah ikan gabus (Channa striata) menjadi silase. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Indralaya. (Tidak dipublikasikan).

Pato. U. 2003. Potensi Bakteri Asam Laktat yang diisolasi dari Dadih untuk menurunkan Resiko Penyakit Kanker. Jurnal Natur Indonesia 5(2):162-166

Pelczar, Michael J & Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi Jilid 2. Universitas Indonesia. Jakarta.

Polonen, I. 2000. Silage for fur Animal. Universitiy of Helsinki. Helsinki. Pitojo, S. 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemantauan Keong Mas. Trubus Agriwidya.

Jakarta. Poedjiadi, A dan T. Supriyanti. 2007. Dasar-Dasar Biokimia. Universitas Indonesia Press.

Jakarta. Rahayu, W. P., S. Ma’oen, Suliantari, S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk

Perikanan. IPB. Bogor. Riawan, S. 1990. Kimia Organik Edisi 1. Binarupa Aksara. Jakarta. Rinto. 2006. Pediococcus acidilactici F-11 Sebagai biokontrol pembentukan histamin pada

fermentasi peda. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan).

Rostini, I. 2007. Peranan bakteri asam laktat (Lactobacillus plantarum) terhadap masa simpan fillet nila merah pada suhu rendah. Laporan Penelitian. Universitas Padjajaran. Bandung.

Saleh M. dan S. Rahayu. 1981. Pembuatan Silase dari Sisa Industri Paha Kodok Beku. Buletin Penelitian Perikanan. Vol 1. No. 2 : 227-239.

Page 74: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

73

Setiawati, A. 2002. Sifat fisik, kimia serta kandungan nutrisi silase ikan yang diberi additive tape dan gaplek. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sihombing, D. T. 1999. Satwa Harapan I. Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya. Cetakan Pertama. Penerbit Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.

Siswanto, B. 1999. Optimasi produksi bubuk pepton dari limbah perikanan dengan menggunakan pengering tipe pengering semprot (Spray Dryer). Laporan Penelitian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

SNI 01-2332. 3-2006. Cara Uji Uji Mikrobiologi – Bagian 3 : Penentuan Angka Lempeng Total (ALT) pada Produk Perikanan. Badan Standarisasi Nasional. ICS 67.050.

Sudarmadji, S. B, Haryanto dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Jakarta.

Suarni. 2010. Isolasi bakteri asam laktat dari bekasam dan peda sebagai penghambat Escherichia coli, Bacillus subtilis dan Morganella morganii. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Indralaya. (Tidak dipublikasikan).

Sukarsa, D. R. Nitibaskara dan R. Suwandi. 1985. Penelitian pengolahan silase ikan dengan

proses biologis. Laporan Penelitian. IPB. Bogor. Sulistiono. 2006. Keong Mas, Sumber Pakan dan Obat-obatan. Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB). (Abstr). Tatterson, I. N. Dan M. I. Windsor. 1974. Fish Silage. Journal Science. Food Agriculture

25;369. Vidotti. 2003. Amino acid composition of processed fish silage using different raw materials.

Journal Animal Feed Science and Technology 105 (2003) 199-204. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yeoh, Q. L. 1979. Processing Of Non- Commercial and Low-Cost Fish in Malaysia. Yunizal, 1986. Teknologi Pengawetan Ikan dengan Proses Silase. In Fish Manual Seri No.

26. Direktorat Jenderal Perikanan Jakarta. Yuwono., et al. 2010. Pemanfaatan Limbah Kerang Simping (Amusium pleuronectes)

sebagai Bahan Pakan Itik melalui Metode Silase Asam. Makalah Prosiding, Universitas Dipenogoro. (Online). (http:// ejournal.undip.ac.id/index.php/pasirlaut/article/download/210/128, diakses tanggal 06 Juni 2011).

Page 75: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

74

PENGARUH J

ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT (Pb, Hg, Cu dan As) PADA KERUPUK

KEMPLANG DI DESA TEBING GERINTING UTARA, KECAMATAN INDRALAYA

SELATAN, KABUPATEN OGAN ILIR

Kiki Agus Ariansyah, Kiki Yuliati, Siti Hanggita R.J

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : kerupuk kemplang, plumbum, mercury, cooper, arsenic

22. Pendahuluan Kerupuk merupakan suatu jenis makanan kering yang amat populer dan digemari

oleh hampir semua lapisan masyarakat di Indonesia baik sebagai makanan kecil maupun sebagai lauk penyedap atau penambah selera makanan. Produk ini disajikan dengan cara digoreng atau dipanggang. Kerupuk dibedakan menjadi dua bagian yaitu kerupuk sumber protein dan kerupuk bukan sumber protein. Kerupuk sumber protein merupakan kerupuk yang mengandung protein hewani maupun protein nabati. Kerupuk bukan sumber protein pada proses pembuatannya tidak ditambahkan bahan sumber protein seperti ikan, udang, kedelai dan sebagainya contohnya kerupuk jengkol, kerupuk beras dan sebagainya (Badan Standar Nasional, 2009).

Berbagai jenis kerupuk dapat ditemukan di Indonesia diantaranya adalah kerupuk ikan, kerupuk udang, kerupuk kemplang, kerupuk jengkol dan kerupuk-kerupuk jenis lainnya. Kerupuk kemplang merupakan salah satu jenis kerupuk yang banyak dijumpai di Palembang dan tempat lain di Sumatera Selatan seperti di Desa Tebing Gerinting Utara, Kecamatan Indralaya Selatan, Kabupaten Ogan Ilir.

Desa Tebing Gerinting Utara merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Indralaya Selatan, Kabupaten Ogan Ilir yang menjadi salah satu sentral penghasil kerupuk kemplang. Desa Tebing Gerinting Utara memiliki luas 184 Ha dengan jumlah penduduk 1823 jiwa dan terdapat kurang lebih 408 jumlah kepala keluarga, dimana ada sekitar 180 kepala keluarga yang punya usaha industri rumah tangga produksi kerupuk

The purpose of research was to investigated the heavy metal (Pb, Hg, Cu, and As) content on the kerupuk kemplang (traditional fish cracker) at the North Tebing Gerinting Region, District of South Indralaya, Ogan Ilir Regency. This research was conducted on September until May 2012 the north region Tebing Gerinting, district of South Indralaya, Ogan Ilir regency and Laboratory of Balai Riset dan Standarisasi Industri dan Perdagangan, Palembang. This research used survey method to obtain primary data. The data showed the value of heavy metal content differs, there were fish source (marine fish and fresh water fish), location (in the roadside and in the village), and drying method (with and without rack) and each sample was replicated two times. The parameter of observation were conducted on plumbum (Pb), mercury (Hg), copper (Cu) and arsenic (As). The result of the research revealed that plumbum (Pb) of Kerupuk kemplang with raw material from marine fish and dried in the roadside with rack had value of plumbum 0,0025 mg/kg and in the roadside without rack had 0,0108 mg/kg. Drying on the village with rack had 0,005 mg/kg and without rack had 0,0005 mg/kg. Kerupuk kemplang with raw material from freshwater fish and dried in the rack of roadside had value of plumbum 0,0021 mg/kg and without rack had the value of 0,0055 mg/kg. Drying on the village with rack had 0 mg/kg and without rack had 0,005 mg/kg. Plumbum’s content on kerupuk kemplang still below the threshold were allowed, had the value of 0,3 mg/kg, but it should be able attention because of its heavy metal that could be accumulated in human’s body especially on kidney, heart and brain.

Page 76: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

75

kemplang. Desa Tebing Gerinting Utara terletak di pinggir sepanjang jalan raya atau jalan lintas timur yang menghubungkan antar kota sehingga jalan Desa Tebing Gerinting Utara sering dilalui oleh kendaraan bermotor.

Industri rumah tangga di Desa Tebing Gerinting Utara memiliki kesamaan dalam hal proses pembuatan kerupuk kemplang, namun yang membedakan adalah takaran dan bahan tambahan yang digunakan. Secara umum, semua industri kerupuk kemplang di Desa Tebing Gerinting Utara menggunakan ikan laut dan ikan sungai sebagai bahan dasar dari produksi kerupuk kemplang.

Ikan laut merupakan biota yang terdiri atas hewan dan tumbuhan yang hidup dan diperoleh dari laut. Ikan laut yang digunakan sebagai bahan baku kerupuk kemplang Desa Tebing Gerinting diperoleh dari penjual di Pasar Jakabaring Palembang dimana pasokan bahan baku ikan laut bersumber dari perairan Pulau Bangka. Menurut Munawir (2010), Perairan Teluk Klabat Pulau Bangka merupakan salah satu sumber perikanan bagi nelayan setempat. Pemerintah daerah setempat telah menetapkan sebagai kawasan pengembangan perikanan, oleh karena itu informasi tentang kondisi kualitas air lingkungan perairan sangat diperlukan. Hasil penelitian Arifin, (2011) rata-rata konsentrasi logam berat pada beberapa biota di perairan Teluk Klabat yaitu Pb 0,940; Cd 0,085; Cu 0,124; dan Zn 2,994 mg/kg.

Selain penggunaan ikan air laut sebagai bahan baku kerupuk kemplang, produsen di Desa Tebing Gerinting Utara juga menggunakan ikan air tawar. Ikan air tawar merupakan salah satu organisme akuatik yang mampu menerima dampak secara langsung dari pencemaran. Menurut Palar (1994), logam-logam dalam perairan berasal dari sumber alamiah dan dari aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Sumber logam alamiah yang masuk dalam badan perairan bisa berupa pengikisan batu mineral yang banyak bersumber dari perairan dan partikel-partikel yang ada di udara yang masuk ke perairan karena terbawa oleh air hujan. Logam yang berasal dari aktivitas manusia berasal dari limbah industri, limbah rumah tangga dan lain-lain.

Proses pengeringan kerupuk kemplang di Desa Tebing geriting Utara umumnya hanya memanfaatkan halaman rumah mereka yang berada di pinggir jalan raya sebagai lokasi penjemuran. Pemanfaatan lokasi penjemuran yang berada di pinggir jalan raya yang banyak dilalui kendaraan bermotor dapat menyebabkan kontaminasi udara di sekitar tempat penjemuran kerupuk kemplang. Menurut Widagdo (2005) secara umum, zat pencemar udara dapat digolongkan ke dalam dua golongan yaitu gas dan partikel. Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemar bergerak yang menghasilkan CO, hidrokarbon, NOx, SOx dan partikel. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor meningkatkan jumlah zat pencemar berupa gas maupun partikel.

Bahan pangan sering tercemar oleh komponen-komponen anorganik, diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Logam berat merupakan unsur logam dengan berat molekul tinggi, dalam kadar rendah logam berat pada umumnya sudah bersifat toksik bagi tumbuhan, hewan dan manusia. Logam-logam berat yang berbahaya sering mencemari lingkungan yang berasal dari asap kendaraan bermotor, tanah debu dan bahan baku ikan yaitu seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), Tembaga (Cu) dan arsenik (As), sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai analisis kandungan logam berat pada kerupuk kemplang di Desa Tebing Gerinting Utara.

23. Metode Penelitian

23.1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquadest, HCl pekat, H2SO4

pekat, HNO3 pekat, ikan sarden, ikan tawes, kerupuk kemplang, KMnO4 dan hidroksilamin (NH2OH). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, corong, gelas beaker, hot plate, kertas saring, kurs porselen, labu digesti, labu ukur 100 ml dan 250 ml, pipet volume, spektrofotometer serapan atom (SSA), tanur dan timbangan analitik.

Page 77: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

76

23.2. Prosedur

Cara penentuan sampel yaitu dengan metode acak sederhana (simple random sampling) dan setiap penarikan sampel diulang sebanyak dua kali. Sampel kemudian dianalisis di laboratorium dengan menggunakan alat Spektofotometer Serapan Atom (SSA).

Parameter yang diamati dalam penelitian ini yaitu analisis logam berat Pb, Cu, As (SNI

2354.5:2011), Hg (SNI 01-2354.6:2006,) pada kemplang kering.

23.3. Statistik

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode survei untuk memperoleh data primer berupa nilai kandungan logam berat kerupuk kemplang yang diambil pada sumber ikan yang berbeda, lokasi yang berbeda dan cara penjemuran yang berbeda. Analisis di laboratorium dengan memberikan beberapa penarikan sampel yaitu:

A1 : Kerupuk kemplang ikan laut A2 : Kerupuk kemplang ikan sungai B1 : Penjemuran di pinggir jalan raya ± 5 meter B2 : Penjemuran di dalam desa ± 100 meter C1 : Penjemuran menggunakan para-para C2 : Penjemuran tanpa menggunakan para-para

24. Hasil dan Pembahasan

24.1. Analisis Logam Pb (Timbal)

Secara alami timbal dapat ditemukan pada tanah, tidak berbau dan tidak berasa. Timbal dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa lain membentuk berbagai senyawa timbal, baik senyawa-senyawa organik seperti timbal oksida (PbO), timbal klorida (PbCl2) dan lain-lain. Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air makanan, tanah yang terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal (BSN, 2009). Menurut Siregar (2005), partikel timah hitam atau timbal yang dikeluarkan oleh asap kendaraan bermotor antara 0,08–1,00 μm dengan masa tinggal di udara selama 4–40 hari. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata kadar timbal kerupuk kemplang dapat dilihat pada Gambar 1.

0,0025

0,0005

0,0108

0,0005

0,0021 0

0,0055

0,0005

0

0,002

0,004

0,006

0,008

0,01

0,012

Tepi jalan

para

Dalam desa

para

Tepi jalan

nonpara

Dalam desa

nonpara

Kad

ar P

b (

mg

/kg

)

Kerupuk Kemplang

Ikan laut

Ikan tawar

Gambar 1. Rata-rata kadar timbal kerupuk kemplang

Gambar 1 menunjukkan bahwa kandungan timbal berbeda antara kerupuk kemplang

yang dijemur di tepi jalan raya dengan yang dijemur di dalam desa (100 m dari jalan raya). Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan laut tertinggi terdapat pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para yakni sebesar 0,0108 mg/kg sedangkan nilai kandungan timbal terendah terdapat pada sampel lokasi di dalam desa dengan para-para yakni sebesar 0,0005 mg/kg. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi terdapat pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para yakni sebesar 0,0055 mg/kg sedangkan nilai

Page 78: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

77

kandungan terendah terdapat pada sampel lokasi di dalam desa menggunakan para-para yakni sebesar 0 mg/kg.

Perbedaan kandungan timbal yang terkandung di dalam kerupuk kemplang pada tiap lokasi penjemuran, diduga karena perbedaan tingkat kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor pada lokasi pinggir jalan raya dengan tingkat kepadatan lalu lintas kendaraan bermotor lokasi di dalam desa. Menurut Siregar (2005), jumlah kadar timah hitam di udara dipengaruhi oleh volume atau kepadatan lalu lintas, jarak dari jalan raya dan daerah industri. Palar (1994) menyatakan bahan aditif yang biasa dimasukkan ke dalam bahan bakar kendaraan bermotor pada umumnya terdiri dari 62% tetraetil Pb, 18% etilendikhlorida, 18% etilendibromida dan sekitar 2% campuran tambahan dari bahan-bahan yang lain.

Gambar 1 menunjukkan bahwa kandungan timbal berbeda antara kerupuk kemplang yang dijemur menggunakan para-para dengan tanpa menggunakan para-para. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan laut penjemuran di pinggir jalan tanpa para-para lebih tinggi yaitu sebesar 0,0108 mg/kg daripada penjemuran tanpa para-para yaitu sebesar 0,0025 mg/kg. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan tawar pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0055 mg/kg lebih tinggi daripada sampel lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para sebesar 0,0021 mg/kg.

Perbedaan kandungan timbal di dalam kerupuk kemplang pada metode penjemuran antara menggunakan para-para dan tanpa para-para diduga terjadi karena kerupuk kemplang tercemar oleh timbal melalui udara, debu dan tanah lingkungan di sekitar lahan penjemuran. Tanah merupakan bagian dari siklus logam berat. Pembuangan limbah ke tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna limbah akan mengakibatkan pencemaran tanah. Menurut Dewi dan Saeni (1999), di antara Pb yang masuk ke udara ada yang langsung jatuh ke permukaan tanah atau ke vegetasi. Ada juga yang dalam beberapa waktu melayang-layang di udara, namun akan jatuh juga ke permukaan bumi dan akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia. Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tak langsung melalui rantai pangan, sehingga dapat mempengaruhi kesehatannya. Menurut Rubianto, (2000) dalam Widowati, (2008), sekitar 10% Pb dari emisi gas buang kendaraan bermotor yang mengendap langsung di tanah dalam jarak 100 m dari jalan.

Perbedaan kandungan timbal juga terdapat pada sampel kerupuk kemplang ikan laut dengan kerupuk kemplang ikan tawar. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan laut tertinggi pada lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0108 mg/kg sedangkan kandungan kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi pada lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0055 mg/kg. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan laut terendah terdapat pada lokasi di dalam desa menggunakan para-para sebesar 0,0005 mg/kg, sedangkan kerupuk kemplang ikan tawar terendah pada lokasi di dalam desa menggunakan para-para sebesar 0 mg/kg.

Kandungan timbal pada kerupuk kemplang ikan laut dan kerupuk kemplang ikan tawar dengan lokasi penjemuran di pinggir jalan raya menunjukkan bahwa pencemaran timbal dari emisi gas buang kendaraan bermotor dapat masuk atau mencemari makanan yang dijajakan di pinggir jalan. Menurut Cahyadi dan Tandinur (2004), dari sepuluh jenis makanan/minuman yang dijual di pinggir jalan di sekitar wilayah Bandung, tujuh jenis diantaranya mengandung Pb. Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kadar timbal (Pb) pada makanan jajanan yang dijual di pinggir jalan kota Medan di dapat hasil dari 12 sampel ternyata 11 diantaranya mengandung timbal (Pb). Kadar yang terbesar pada kue pancong yaitu sebesar 1.0854 ppm dan terendah pada donat yaitu sebesar 0.0000 ppm (Betty, 2008 dalam Widowati, 2008).

Berdasarkan standar makanan yang ditetapkan oleh BSN (2009) yang menganjurkan batas cemaran logam berat timbal dalam kerupuk kempang yang dikonsumsi oleh manusia sebesar 0,3 mg/kg. Dengan demikian nilai rata-rata kandungan logam berat timbal pada kerupuk kemplang yang dianalisis masih di dalam ambang batas sehingga aman untuk dikonsumsi.

Page 79: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

78

24.2. Analisis Logam Hg (Merkuri)

Merkuri merupakan salah satu logam berat yang berbahaya dan dapat terjadi secara alamiah di lingkungan, sebagai hasil dari perombakan mineral di alam melalui proses cuaca/iklim, dari angin dan air. Senyawa merkuri dapat ditemukan di udara, tanah dan air dekat tempat-tempat kotor dan berbahaya (BSN, 2009). Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata kandungan merkuri kerupuk kemplang dapat dilihat pada Gambar 2.

0,26

0,170,2

0,21

0,24

0,21

0,25

0,19

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

Tepi jalan

paraDalam desa

paraTepi jalan

nonparaDalam desa

nonpara

Kad

ar H

g (

mg/k

g)

Kerupuk Kemplang

Ikan laut

Ikan tawar

Gambar 2. Rata-rata kadar merkuri kerupuk kemplang

Gambar 2 menunjukkan bahwa kandungan merkuri berbeda antara kerupuk kemplang yang dijemur di tepi jalan raya dengan yang dijemur di dalam desa. Kandungan merkuri kerupuk kemplang ikan laut pada sampel lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para yakni sebesar 0,26 mg/kg lebih tinggi daripada kandungan merkuri pada sampel lokasi di dalam desa menggunakan para-para yakni sebesar 0,17 mg/kg. Kandungan merkuri kerupuk kemplang ikan tawar pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para yakni sebesar 0,25 mg/kg lebih tinggi daripada kandungan merkuri pada sampel lokasi di dalam desa tanpa para-para yakni sebesar 0,19 mg/kg.

Kandungan merkuri terdapat perbedaan antara kerupuk kemplang yang dijemur menggunakan para-para dengan yang dijemur tanpa para-para. Kandungan merkuri kerupuk kemplang ikan laut tertinggi pada sampel lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para sebesar 0,26 mg/kg sedangkan kandungan merkuri terendah pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,20 mg/kg. Kandungan kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,25 mg/kg, sedangkan terendah pada sampel lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para sebesar 0,24 mg/kg.

Gambar 2 juga menunjukkan bahwa kandungan merkuri berbeda antara kerupuk kemplang ikan laut dengan kerupuk kemplang ikan tawar. Kandungan merkuri kerupuk kemplang ikan laut tertinggi pada lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para sebesar 0,26 mg/kg sedangkan kandungan kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi pada lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,25 mg/kg. Kandungan merkuri kerupuk kemplang ikan laut terendah terdapat pada lokasi di dalam desa menggunakan para-para sebesar 0,17 mg/kg, sedangkan kerupuk kemplang ikan tawar terendah pada lokasi di dalam desa tanpa para-para sebesar 0,19 mg/kg.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan merkuri pada kerupuk kemplang berbeda antara lokasi penjemuran di tepi jalan raya dengan lokasi di dalam desa dan antara penjemuran menggunakan para-para dengan penjemuran tanpa menggunakan para-para. Lu (1995), menyatakan kadar merkuri dalam udara umumnya sangat rendah, kadarnya dalam air di daerah tidak tercemar sekitar 0,1 μg/l. Dalam makanan kadarnya sangat rendah, biasanya dalam rentang 5–20 μg/kg. Sebagian besar ikan mengandung kadar yang lebih tinggi berkisar antara 200–1000 μg/kg. Sedangkan menurut BSN (2009), dari data Balai

Page 80: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

79

Besar Sumber Daya Lahan Pertanian menunjukkan bahwa hasil pengujian merkuri dalam ikan di Indonesia sekitar 1,0 mg/kg.

Hasil analisis kandungan merkuri pada kerupuk kemplang menunjukkan bahwa kadar merkuri yang terkandung di dalam kerupuk kemplang tidak dipengaruhi oleh pencemaran yang berasal dari teknik penjemuran, namun berasal dari penggunaan bahan baku ikan. Menurut Widowati (2008), tersebarnya logam berat Hg di tanah, perairan, ataupun udara bisa melalui berbagai jalur, seperti pembuangan limbah industri secara langsung, baik limbah padat maupun limbah cair yang dibuang ke tanah, udara dan air. Sebagian senyawa Hg yang lepas ke lingkungan akan mengalami proses metilasi dan menjadi metil merkuri (CH3Hg) oleh mikroorganisme dalam air dan tanah. Metil-Hg memiliki kelarutan yang tinggi dalam tubuh hewan air sehingga Hg terakumulasi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam jaringan tubuh hewan air. Akumulasi Hg dalam tubuh hewan air disebabkan oleh pengambilan Hg oleh organisme air lebih cepat dibandingkan proses ekresi sehingga kadar Hg dalam ikan bisa mencapai 100.000 kali dari kadar air di sekitarnya.

Kandungan merkuri pada kerupuk kemplang di Desa Tebing Gerinting Utara masih di dalam ambang batas yang diizinkan persyaratan mutu. Menurut BSN (2009) batas maksimum cemaran merkuri (Hg) yang dikonsumsi dalam kerupuk kemplang yaitu 0,5 mg/kg.

24.3. Analisis logam Cu (tembaga)

Tembaga dengan nama kimia cupprum dilambangkan dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Dalam tabel periodik unsur-unsur kimia, tembaga menempat posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan mempunyai bobot atau berat atom (BA) 63,546 (Palar, 1994). Berdasarkan hasil penelitian, nilai rata-rata kandungan tembaga dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata kadar tembaga kerupuk kemplang

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata nilai kandungan tembaga kerupuk kemplang

ikan laut tertinggi terdapat pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para yakni sebesar 0,0015 mg/kg sedangkan nilai kandungan tembaga terendah terdapat pada sampel lokasi di dalam desa menggunakan para-para yakni sebesar 0,0007 mg/kg. Kandungan tembaga kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi terdapat pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para yakni sebesar 0,0015 mg/kg sedangkan nilai kandungan terendah terdapat pada sampel lokasi di dalam desa menggunakan para-para yakni sebesar 0,0007 mg/kg.

Hasil penelitian juga menunjukkan kandungan tembaga kerupuk kemplang ikan laut pada sampel lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0015 mg/kg lebih tinggi daripada kerupuk kemplang sampel lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para sebesar 0,0011 mg/kg. Kandungan tembaga kerupuk kemplang ikan tawar pada sampel

Ikan laut; Tepi

jalan para;

0,0011

Ikan laut; Dalam

desa nonpara;

0,0008

Ikan tawar; Tepi

jalan para;

0,0014

Ikan tawar;

Dalam desa

para; 0,0007

Ikan tawar; Tepi

jalan nonpara;

0,0015

Ikan tawar;

Dalam desa

nonpara; 0,0012

Kad

ar C

u (

mg/k

g)

Kerupuk Kemplang

Ikan laut

Ikan tawar

Page 81: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

80

lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0015 mg/kg lebih tinggi daripada kerupuk kemplang ikan tawar pada sampel lokasi di tepi jalan raya menggunakan para-para sebesar 0,0014 mg/kg.

Hasil penelitian menunjukkan kandungan tembaga kerupuk kemplang ikan laut tertinggi pada lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0015 mg/kg sedangkan kandungan kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi pada lokasi di tepi jalan raya tanpa para-para sebesar 0,0015 mg/kg. Kandungan tembaga kerupuk kemplang ikan laut terendah terdapat pada lokasi di dalam desa menggunakan para-para sebesar 0,0007 mg/kg, sedangkan kerupuk kemplang ikan tawar terendah pada lokasi di dalam desa menggunakan para-para sebesar 0,0007 mg/kg.

Gambar 3 menunjukkan bahwa pada kerupuk kemplang terdapat sejumlah kecil kandungan tembaga di semua sampel. Hal ini diduga karena secara alamiah, kandungan logam berat tembaga pada komoditas ikan sudah tergolong rendah. Hasil penelitian Suprianto (2007), menunjukkan bahwa hasil pengukuran kandungan tembaga pada tiga jenis ikan air tawar tidak ada perbedaan yang signifikan yaitu 0,0001±0,0012 (ppm). Menurut Shindu (2005), kandungan logam berat Cu bervariasi pada masing-masing organ ikan yang diamati. Ikan dengan jenis yang sama ataupun berbeda menunjukkan perbedaan yang tidak terlalu jauh. Kandungan logam berat Cu paling tinggi terdapat di ginjal, sedangkan pada hati dan daging menunjukkan nilai yang hampir sama.

Adanya sejumlah kecil kandungan tembaga pada kerupuk kemplang dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan bagi tubuh manusia karena tembaga termasuk ke dalam logam-logam esensial bagi manusia, namun dalam jumlah berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Menurut Palar (1994), kebutuhan manusia terhadap tembaga cukup tinggi, pada dewasa membutuhkan Cu 30 µg/kg berat tubuh, pada anak-anak jumlah Cu yang dibutuhkan 40 µg/kg berat tubuh, sedangkan pada bayi dibutuhkan 80 µg/kg berat tubuh.

Pada manusia logam Cu dibutuhkan untuk sistem enzim oksidatif seperti enzim askorbat oksidase, sistikrom C oksidase, polyfenol oksidase, amino oksidase dan lain-lain. Logam Cu juga dibutuhkan manusia sebagai komplek Cu-protein yang mempunyai fungsi dalam pembentukan haemoglobin, kolagen, pembuluh darah dan myelin otak (Palar, 1994).

Menurut Linder (2006), penyerapan tembaga terutama pemindahannya dari mukosa intestin ke dalam plasma darah adalah proses yang diatur dalam tubuh. Dalam plasma darah, tembaga mula-mula diikat pada albumin dan suatu protein baru (transcuprein) dan dibawa ke hati dimana akan mencapai proses diinkorporasikan ke dalam seruloplasmin dan protein/enzim hati yang spesifik kemudian hilang melalui empedu.

Standar kerupuk kemplang yang ditetapkan oleh BSN (2009) batas cemaran logam berat Cu yang dikonsumsi manusia sebesar 0,2 mg/kg. Data hasil analisis pada sampel memiliki kandungan logam Cu masih dalam ambang batas sehingga aman dikonsumsi.

24.4. Analisis logam As (arsen)

Arsen merupakan logam anorganik berwarna abu-abu, dengan kelarutan dalam air sangat rendah. Arsen banyak digunakan sebagai insektisida, racun semut, cat, kertas tembok, keramik dan gelas. Arsen pada konsentrasi rendah terdapat pada tanah, air, udara dan makanan.

Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar arsen tidak terdeteksi pada semua sampel baik pada perbedaan lokasi penjemuran, perbedaan metode penjemuran maupun perbedaan jenis ikan kerupuk kemplang. Hal ini diduga karena logam berat arsen sangat jarang ditemukan dalam unsur karena arsen biasanya membentuk berbagai macam senyawa kompleks. Menurut Widowati (2008), arsen di alam dapat ditemukan berupa mineral, antara lain arsenopirit (FeAsS), longlingit (FeAs2), smaltit (CoAs2), nikolit (NiAs), dan proustit (Ag3AsS).

Arsen banyak ditemukan di dalam air tanah. Hal ini disebabkan arsen merupakan salah satu mineral yang memang terkandung dalam susunan batuan bumi. Menurut Walsh dan Keeney (1975) dalam Sukar (2003), tanah yang tidak terkontaminasi arsen ditemukan

Page 82: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

81

mengandung kadar As antara 0,240 mg/kg, sedang yang terkontaminasi mengandung kadar As rata-rata lebih dari 550 mg/kg.

Kandungan logam As pada kerupuk kemplang yang dianalisis masih di dalam ambang batas yang dianjurkan oleh BSN (2009) yaitu 1 mg/kg. Dengan demikian konsentrasi cemaran logam berat As masih diterima dalam pangan sehingga kerupuk kemplang aman untuk dikonsumsi.

25. Kesimpulan dan Saran

25.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan laut tertinggi terdapat pada sampel lokasi penjemuran di tepi jalan raya sebesar 0,0108 mg/kg sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel lokasi penjemuran di dalam desa sebesar 0,0005 mg/kg. Kandungan timbal kerupuk kemplang ikan tawar tertinggi terdapat pada sampel lokasi penjemuran di pinggir jalan raya sebesar 0,0055 mg/kg sedangkan nilai kandungan terendah terdapat pada sampel lokasi penjemuran di dalam desa sebesar 0 mg/kg.

2. Kerupuk kemplang yang di jemur dengan menggunakan para-para memiliki nilai logam berat yang lebih rendah daripada kerupuk kemplang yang di jemur tanpa menggunakan para-para.

3. Kandungan merkuri kerupuk kemplang memiliki perbedaan pada penarikan sampel antara lokasi di tepi jalan raya dengan lokasi di dalam desa dan antara penjemuran menggunakan para-para dengan penjemuran tanpa menggunakan para-para.

4. Nilai kadar arsen tidak terdeteksi pada setiap penarikan sampel hal ini disebabkan kandungan arsen secara alami di alam sangat rendah.

5. Berdasarkan standar makanan yang ditetapkan oleh BSN (Badan Standarisasi Nasional) tentang batas cemaran logam berat Pb, Hg, Cu dan As kerupuk kemplang yang diproduksi di Desa Tebing Gerinting Utara masih dalam ambang batas aman untuk dikonsumsi.

25.2. Saran

Dari penelitian yang telah dilakukan, disarankan agar proses penjemuran kerupuk kemplang dilakukan di lokasi dalam desa dengan menggunakan para-para. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis kandungan logam berat kerupuk kemplang sebelum proses penjemuran dalam upaya mengurangi kadar logam berat.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. 2011. Konsentrasi logam berat di air, sedimen dan biota di Teluk Kelabat, Pulau Bangka. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 1, Hal 104-114.

Badan Standarisasi Nasional. 2006. Penentuan Kadar Logam Berat Hg Produk Perikanan. No. SNI 01-2354.6:2006. BSN. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2011. Penentuan Kadar Logam Berat Pb Produk Perikanan. No. SNI 2354.5:2011. BSN. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional. 2009a. Kerupuk Ikan No. SNI 2713.1:2009. BSN. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam

Pangan. No. SNI 7387:2009. BSN. Jakarta. Cahyadi, W. (2010). Mekanisme keracunan timbal. (Online). http://www.pikiran-rakyat.com/

cetak/0804/19/cakrawala/utama2.htm

Page 83: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

82

Darmono. 2001. Logam Berat dalam Sistem Biologi Mahluk Hidup. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Dewi, K. S. P. dan Saeni, M.S. 1999. Tingkat pencemaran logam berat (Hg, Pb dan Cd) di dalam sayuran, air minum dan rambut di Denpasar, Gianyar dan Tabanan. Jurnal Universitas Udayana. Denpasar.

Hutagalung, H. P. 1991. Kandungan logam berat dalam beberapa perairan laut Indonesia, dalam kondisi lingkungan pesisir dan laut di Indonesia. LONLIPI. Jakarta

IPB.2002.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/7235/bab%205_%202002lli.pdf?sequence=12 diakses 15 Februari 2012

Linder, M.C. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Universitas Indonesia, Jakarta.

Lu, Frank. C. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Universitas Indonesia, Jakarta.

Munawir, K. 2010. Pestisida organoklorin di perairan Teluk Klabat Pulau Bangka. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(1): 1- 19

Notohadiprawiro, T. 2006. logam berat dalam pertanian. (Online), (Http://soil.faperta.ugm.ac.id.pdf, diakses 02 Februari 2011).

Nurjaya, E. Z., dan Saeni, M. S. 2006. Pengaruh ameliuran terhadap kadar Pb tanah, serapannya serta hasil tanaman bawang merah pada inceptisol. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. (Online). 8(2):110-119. http://www.bdpunib.org. diakses 02 Februari 2011.

Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Panjaitan, G. Y. 2009. Akumulasi logam berat tembaga (Cu) dan timbal (Pb) pada pohon

Avicennia marina di hutan mangrove. Fakultas Pertanian Departemen Kehutanan. USU. Medan. (tidak dipublikasikan).

Shindu, Shinta Femala. 2005. Kandungan logam berat Cu, Zn dan Pb dalam air ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan mas (Cyprinus carpio) dalam keramba jaring apung, Waduk Siguling. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor

Siregar, E. 2005. Pencemaran udara, respon tanaman dan pengaruhnya pada manusia. Fakultas Pertanian, Program Studi Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. (Online), (http://library.usu.ac.id, diakses 15 Februari 2012)

Suhendrayatna. 2001. Bioremoval logam berat dengan menggunakan mikroorganisme. Suatu kajian kepustakaan Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) – Chapter Japan Departemen of Applied Chemistry Engineering Faculty of Engineering Kagastima University Karimoto Japan.

Sukar. 2003. Sumber dan terjadinya arsen di lingkungan. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol 2 No 2, Agustus 2003 : 232 – 238.

Supriyanto, C. Samin. Dan Kamal, Z. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu dan Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrofotometri nyala serapan atom (SSA). Jurnal Seminar Nasional III, SDM Teknologi Nuklir.Yogyakarta.

Widagdo, S. 2005. Tanaman elemen lanskap sebagai biofilter untuk mereduksi polusi timbal (Pb) di udara. (Online), (http://www.rudyct.com diakses 02 Februari 2011

Widaningrum. Miskiyah dan Suismono. Bahaya kontaminasi logam berat dalam sayuran dan alternatif pencegahan pencemarannya. Jurnal Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Vol. 3

Widowati, Wahyu. 2008. Efek Toksit Logam Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran. Andi. Yogyakarta.

Page 84: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

83

Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Silase Limbah Pengolahan Kodok Beku (Rana sp.) yang Dikeringkan dengan Penambahan Dedak Padi Rosidin, Kiki Yuliati, Siti Hanggita RJ

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : Temperature, Duration of Drying, The Silage and Rice Bran

26. Pendahuluan Paha kodok merupakan salah satu komoditas yang menghasilkan devisa dalam

kelompok ekspor komoditi perikanan. Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012), ekspor paha kodok Indonesia pada tahun 2011 mencapai 3.563,870 ton dengan nilai US$ 18.456.948, sedangkan ekspor paha kodok dari Provinsi Sumatera Selatan sebesar 589,201 ton, dengan nilai US$ 3.482.331.

Bagian tubuh kodok yang dimanfaatkan untuk industri hanya bagian paha, sedangkan bagian isi perut, kulit, termasuk kepala kurang termanfaatkan. Menurut Murni et al. (2008), limbah pengolahan kodok beku yaitu tubuh tanpa paha belakang, sering tercemar Salmonella, memiliki kandungan protein dan mineral yang cukup tinggi, dan cepat membusuk. Limbah pengolahan kodok beku ini berpotensi sebagai salah satu sumber pakan protein hewani karena kandungan proteinnya yang cukup tinggi.

Salah satu cara pemanfaatan limbah pengolahan kodok beku yaitu dengan mengolah menjadi silase. Silase merupakan suatu produk yang dihasilkan melalui proses fermentasi terkendali yang menghasilkan suatu bahan berkadar air tinggi. Tujuan utama pembuatan silase adalah untuk mengawetkan dan menurunkan antinutrisi suatu bahan baku untuk dimanfaatkan pada masa mendatang (Murni et al. 2008).

Namun demikian, masalah utama produk hasil awetan silase adalah kadar air yang tinggi sehingga menambah bobot pada saat transportasi dan tidak tahan lama. Selain itu aroma asam produk silase tersebut kurang disukai oleh ternak atau ikan. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut adalah melakukan pengolahan lebih lanjut dari produk hasil silase melalui proses pengeringan untuk mempermudah penyimpanan, penggudangan dan distribusi.

Pengeringan secara langsung dari suatu bahan pakan sumber protein akan menghasilkan tepung yang masih bersifat higroskopis, yang pada akhirnya menyebabkan bahan tersebut tidak tahan lama dan menyebabkan penggumpalan. Bahan yang digunakan untuk mengurangi penggumpalan adalah bahan pengikat (filler). Filler pada umumnya

The objectives of this study were to determine the effects of temperature and duration of drying on the quality the silage made from the waste of frozen frog (Rana sp.) processing with addition of rice bran. This research was designed using completely randomized factorial design with two treatments and two replications. The treatments were temperatures (40 oC and 50 oC) and durations of drying (20, 25, 30, 35, and 40 hours). The observed parameters include contents : bulk density, water, protein, fat, and crude fiber. The result showed that temperature and duration of drying affected significantly on bulk density, water content, and protein of the silage. Temperature and duration of drying had significant effect on fat content , but no significant differences in interaction between each other. Only the temperature treatment had significant effect on crude fiber. T2t5 (temperature of 50 oC and 40 hours of drying time) produced silage meal with lower water content (7.45 %), high protein content (59.63 %), fat content (8.50 %), crude fiber (12.65 %), and bulk density (0.620 g/mL).

Page 85: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

84

berasal dari bahan pakan sumber energi sekaligus berfungsi sebagai pengikat air (Winarno, 1991). Penggunaan filler dedak halus sebanyak 10% dalam pengeringan produk silase bekicot menghasilkan performan tepung silase yang baik (Oktara, 2004).

Nilai biologis suatu bahan pangan kering tergantung pada metode pengeringan. Pemanasan yang terlalu lama pada suhu tingggi dapat mengakibatkan protein menjadi kurang berguna. Perlakuan suhu rendah terhadap protein dapat menaikan daya cerna protein dibandingkan bahan aslinya (Desrosier, 1988). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap mutu silase limbah pengolahan kodok beku (Rana sp.) yang dikeringkan dengan penambahan dedak padi.

27. Metode Penelitian

27.1. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: limbah pengolahan kodok beku (kepala, kulit, kaki, dan isi perut) yang diperoleh dari unit usaha pemotongan kodok binaan PT. Agung Jaya Sakti Indralaya, asam format 85%, asam asetat 80%, dedak padi, dan soda abu (Na2CO3). Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis yaitu: aquades, H3BO3, H2SO4, HgO, indikator metil merah, indikator metil biru, asam sitrat, K2SO4, NaOH, heksan, CaCO3, Na2S2O3, dan HCl.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: stoples kaca, pengaduk, pisau, blender, oven, dan timbangan analitik. Alat yang digunakan untuk analisis yaitu: alat titrasi, cawan porselen, corong bunchner, desikator, labu ukur, labu Erlenmeyer, gelas Beaker, gelas ukur, labu Kjedahl, muffle furnace, oven, pipet tetes, Soxhlet, tabung reaksi, hot plate, dan kertas saring.

27.2. Prosedur

Proses pembuatan tepung silase limbah pengolahan kodok beku modifikasi dari Hermana et al. (2006) adalah sebagai berikut:

1. Bahan baku limbah (kepala, kulit, kaki, dan isi perut) dicuci bersih lalu ditiriskan. 2. Limbah dihaluskan, kemudian ditimbang seberat 150 g. 3. Limbah dimasukkan ke toples kaca tertutup kemudian ditambahkan campuran asam

format 85% dan asam asetat 80%, sebanyak 3% dari berat total bahan baku. 4. Campuran limbah dan larutan asam diaduk hingga merata kemudian difermentasi

tertutup selama 9 hari. 5. Silase yang dihasilkan dinetralkan dengan soda abu (Na2CO3) sebanyak 1% dari

bahan baku. 6. Silase yang sudah dinetralkan, kemudian dicampur bahan pengikat (filler) berupa

dedak padi sebanyak 10% dari bahan baku. 7. Hasil pencampuran tersebut dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 40 oC dan

50 oC selama 20 jam, 25 jam, 30 jam, 35 jam, dan 40 jam (sesuai perlakuan) lalu digiling halus menjadi tepung silase.

27.3. Statistik

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial dengan dua faktor perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali. Secara rinci perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Suhu pengeringan (T) T1 = 40 oC T2 = 50 oC

2. Lama Pengeringan (t) t1 = 20 jam t2 = 25 jam t3 = 30 jam

Page 86: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

85

t4 = 35 jam t5 = 40 jam

Parameter yang dianalisis pada penelitian ini yaitu densitas kamba, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan serat kasar

28. Hasil dan Pembahasan

28.1. Densitas kamba

Hasil pengukuran densitas kamba dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku antara 0,335 g/mL hingga 0,620 g/mL. Densitas kamba terendah (0,335 g/mL) diperoleh dari kombinasi perlakuan T1t1 (suhu pengeringan 40 oC dan dikeringkan selama 20 jam). Densitas kamba tertinggi (0,620 g/mL) diperoleh dari kombinasi perlakuan T2t5 (suhu pengeringan 50 oC dan dikeringkan selama 40 jam). Rata-rata densitas kamba dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Rerata densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku Dapat dilihat pada Gambar 1 bahwa densitas kamba tepung silase limbah

pengolahan kodok beku meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama pengeringan. Hal ini dikarenakan nilai densitas kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air. Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan pangan, sehingga nilai densitas kambanya semakin besar.

Wirakartakusumah et al. (1992) dalam Kaya (2008), menyatakan bahwa semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruang penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba yang lebih rendah menunjukkan bahwa pada volume yang sama, jumlah partikel yang menempati ruang pada volume tersebut lebih ringan dari pada densitas kamba yang lebih tinggi.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama pengeringan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap nilai densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh suhu pengeringan terhadap densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tabel Uji lanjut BNJ pengaruh suhu terhadap densitas kamba tepung silase

limbah pengolahan kodok beku.

Suhu pengeringan

Densitas Kamba BNJ 5% = 0,0242

T1 T2

0,396 0,497

a b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

R² = 0,9728

R² = 0,9655

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

15 20 25 30 35 40 45

Den

sita

s k

am

ba

(g

/mL

)

Waktu pengeringan (jam)

Densitas Kamba

suhu 40 oC

suhu 50 oC

Page 87: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

86

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh suhu terhadap densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku menunjukkan bahwa penambahan suhu sebesar 10 oC sudah memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai densitas kamba. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh lama pengeringanterhadap densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2.Tabel Uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan terhadap

densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

waktu pengeringan

Densitas kamba

BNJ 5% = 0,0563

t1 t2 t3 t4 t5

0,3775

0,42

0,445

0,465

0,525

a a a

b

b

c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan tepung silase limbah pengolahan

kodok beku menunjukkan bahwa pengaruh lama pengeringan dapat terlihat setelah 35 jam dikeringkan terhadap nilai dentitas kamba dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) interaksi pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji lanjut BNJ interaksi pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap

densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Interaksi T1.t

Densitas kamba

BNJ 5% 0,0011

Interaksi T2.t

Densitas Kamba

BNJ 5% 0,0011

T1t1 T1t2 T1t3 T1t4 T1t5

0,335 0,390 0,405 0,420 0,430

a b c d e

T2t1 T2t2 T2t3 T2t4 T2t5

0,420 0,450 0,485 0,510 0,620

d f g h i

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Pengaruh suhu dan lama pengeringan tepung silase limbah pengolahan kodok beku

menunjukkan bahwa pada perlakuan T1t4 dan T2t1 nilai densitas kamba berbeda tidak nyata. Pada suhu 50 oC dibutuhkan waktu pengeringan 20 jam, sedangkan pada suhu 40 oC dibutuhkan waktu pengeringan 35 jam. Hal ini berarti waktu pengeringan dengan suhu 50 oC kenaikan densitas kamba lebih besar dibandingkan dengan suhu 40 oC.

28.2. Kadar Air

Hasil pengukuran kadar air dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku antara 7,45% hingga 24,74%. Kadar air terendah (7,45%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T2t5 (suhu pengeringan 50 oC dan dikeringkan selama 40 jam) sedangkan kadar air tertinggi (24,74%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T1t1 (suhu pengeringan 40 oC dan dikeringkan selama 20 jam). Rata-rata kadar air dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Gambar 2.

Page 88: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

87

Gambar 2. Rerata kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku Dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa kadar air tepung silase limbah pengolahan

kodok beku menurun seiring dengan peningkatan suhu dan lama pengeringan. Hal ini dikarenakan semakin tinggi suhu serta lamanya waktu pengeringan menyebabkan penguapan air dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku semakin banyak sehingga tepung silase semakin kering. Menurut Desrosier (1988), semakin tinggi suhu dan semakin lama pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak.

Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan semakin cepat pindah panas ke bahan pangan dan semakin cepat pula penguapan air dari bahan pangan. Semakin tinggi suhu udara, semakin banyak uap air yang dapat ditampung oleh udara tersebut dan semakin cepat mengambil air dari bahan pangan sehingga proses pengeringan lebih cepat (Estiasih dan Ahmadi, 2009).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama pengeringan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Uji lanjut BNJ pengaruh suhu terhadap kadar air tepung

silase limbah pengolahan kodok beku.

Suhu pengeringan

Kadar air BNJ 5% = 0,756

T1 T2

17,40 11,48

a b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh suhu terhadap kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 10 oC memberikan pengaruh yang nyata, yaitu dapat menurunkan kadar air dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh lama pengeringan terhadap kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan terhadap kadar

air tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Waktu pengeringan

Kadar air BNJ 5% = 1,7708

t1 t2 t3

20,15

16,90 14,33

a b c

R² = 0,9749

R² = 0,9599

0

5

10

15

20

25

30

15 20 25 30 35 40 45

kad

ar a

ir (

%)

Waktu pengeringan (jam)

Kadar Air

suhu 40 oC

suhu 50 oC

Page 89: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

88

t4 t5

11,22

9,61 d d

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan tepung silase limbah pengolahan

kodok beku menunjukkan bahwa beda waktu pengeringan 5 jam sudah memberi pengaruh yang nyata terhadap penurunan kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku, tetapi berbeda tidak nyata pada waktu pengeringan 35 jam dan 40 jam. Hal ini dikarenakan semakin rendah kadar air, semakin rendah laju pengeringan. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) interaksi pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji lanjut BNJ interaksi pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap

kadar air tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Interaksi T1.t

Kadar air BNJ 5% 2,09

Interaksi T2.t

Kadar air BNJ 5% 2,09

T1t1 T1t2 T1t3 T1t4 T1t5

24,74 21,32 17,03 12,15 11,78

a b c d d

T2t1 T2t2 T2t3 T2t4 T2t5

15,56

12,49

11,63 10,29

7,45

c d d d e

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Peningkatan suhu 10 oC mempercepat laju pengeringan sehingga untuk mencapai

kadar air yang berbeda tidak nyata (T1t3 dan T2t1) waktu pengeringan berbeda sampai 10

jam. Pengeringan dengan suhu 40 oC memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata

terhadap kadar air pada waktu pengeringan 35 jam dan 40 jam. Pengeringan dengan suhu

50 oC memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata terhadap kadar air silase limbah

pengolahan kodok pada waktu pengeringan 25 jam, 30 jam dan 35 jam. Semakin rendah

kadar air, semakin rendah laju pengeringan yang dapat dilihat dari Gambar 2.

28.3. Kadar Protein

Hasil pengukuran kadar protein dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku berkisar antara 37,91% hingga 59,63%. Kadar protein terendah (37,91%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T2t1 (suhu 50 oC dan lama pengeringan 20 jam) sedangkan kadar protein tertinggi (59,63%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T2t5 (suhu 50 oC dan lama pengeringan 40 jam). Rata-rata kadar protein dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rerata kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku

R² = 0,9528

R² = 0,9642

0

10

20

30

40

50

60

70

15 20 25 30 35 40 45

Kad

ar p

rote

in (

%)

Waktu pengeringan (jam)

Kadar Protein

40 oC 50 oC

Page 90: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

89

Dapat dilihat pada Gambar 3 bahwa kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan suhu dan lamanya waktu pengeringan. Hal ini diduga pada suhu 40 oC dan suhu 50 oC bakteri proteolitik yang menghasilkan enzim protease melakukan aktivitas metabolisme dengan memanfaatkan komponen makanan pada silase selama waktu pengeringan untuk pertumbuhannya.

Menurut Akhdiya (2003), aktivitas bakteri proteolitik yang menghasilkan enzim protease pada suhu 40 oC, 50 oC, dan 60 oC aktivitasnya masih meningkat. Puncak produksi enzim protease alkalin termostabil umumnya terjadi pada akhir fase eksponensial sampai akhir fase stasioner (Durham et al. 1987 dalam Akhdiya, 2003). Indrawan (2005) dalam Arief et al. (2008), menyatakan bakteri proteolitik yang menghasilkan enzim protease merupakan protein sel tunggal yang secara tidak langsung mampu meningkatkan kandungan protein kasar.

Kandungan protein pada tepung silase limbah pengolahan kodok beku ini dapat memenuhi persyaratan untuk dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan pakan. Menurut Afriyanto dan Liviawaty (2005), umumnya ikan membutuhkan makanan yang kadar proteinnya berkisar antara 20-60%, sedangkan kadar optimum berkisar antara 30-36%. Pada umumnya ikan membutuhkan protein yang lebih besar dari pada hewan ternak di darat. Selain itu, jenis dan umur ikan juga berpengaruh terhadap jumlah kebutuhan protein ikan pemakan daging (karnivora) yang berumur muda membutuhkan protein lebih banyak dibandingkan dengan ikan dewasa.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama pengeringan serta interaksi keduanya berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji lanjut BNJ pengaruh suhu terhadap kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Suhu pengeringan

Kadar protein

BNJ 5% = 0,85

T1 T2

41,05 44, 14

a b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh suhu terhadap kadar protein tepung silase limbah

pengolahan kodok beku menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 10 oC memberikan pengaruh yang nyata, yaitu dapat meningkatkan kadar protein dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh lama pengeringan terhadap kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan terhadap

kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Waktu pengeringan

Kadar protein

BNJ 5% = 2,00

t1 t2 t3 t4 t5

38,97

39,71 40,05 42,80 51,43

a a a b c

Page 91: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

90

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan tepung silase limbah pengolahan

kodok beku menunjukkan bahwa pengaruh lama pengeringan dapat terlihat setelah 35 jam dikeringkan. Hasil uji Beda Nyata Jujur (BNJ) interaksi pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 9.

Pengeringan dengan suhu 40 oC memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar protein pada waktu pengeringan 20 jam, 25 jam, 30 jam, 35 jam dan 40 jam. Pengeringan dengan suhu 50 oC memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar protein silase limbah pengolahan kodok pada waktu pengeringan 20 jam, 25 jam 30 jam. Peningkatan kadar protein mulai terlihat pada suhu 50 oC selama 35 jam dan 40 jam waktu pengeringan. Hal ini diduga karena pada suhu 50 oC keaktifan enzim lebih besar dan selama waktu pengeringan 35 jam sampai 40 jam jumlah enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri proteolitik meningkat sehingga secara tidak langsung meningkatkan kadar protein dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Tabel 9. Uji lanjut BNJ interaksi pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar protein tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Interaksi T1.t

Kadar protein

BNJ 5% 2,33

Interaksi T2.t

Kadar protein

BNJ 5% 2,33

T1t1 T1t2 T1t3 T1t4 T1t5

40,03 40,39 40,47 41,11 43,23

a ab ab ab bc

T2t1 T2t2 T2t3 T2t4 T2t5

37,91 39,02 39,63 44,49 59,63

a a a c d

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

28.4. Kadar Lemak

Hasil pengukuran kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku berkisar antara 7,04% hingga 8,50%. Kadar lemak terendah (7,04%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T1t1 (suhu 40 oC dan lama pengeringan selama 20 jam), sedangkan kadar lemak tertinggi (8,50%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T2t5 (suhu 50 oC dan lama pengeringan selama 40 jam). Rata-rata kadar lemak dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Gambar 4.

R² = 0,8906

R² = 0,678

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

15 20 25 30 35 40 45

Kad

ar le

mak

(%

)

Waktu pengeringan (jam)

Kadar Lemak

suhu 40 oC

suhu 50 oC

Page 92: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

91

Gambar 4. Rerata kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku Dapat dilihat pada Gambar 4 bahwa kadar lemak tepung silase limbah pengolahan

kodok beku meningkat seiring dengan peningkatan suhu dan lama waktu pengeringan. Hal ini diduga karena pada suhu 40 oC dan suhu 50 oC enzim lipase yang terdapat pada bahan baku limbah pengolahan kodok beku aktif menghidrolisis lemak sehingga kadar lemak menjadi meningkat setelah menjadi tepung.

Menurut Winarno (1983), mengatakan bahwa suhu optimum enzim lipase pada umumnya berkisar antara 30 oC dan 40 oC. Meningkatnya kadar lemak dari silase limbah pengolahan kodok beku ini diduga karena lemak yang berikatan dengan protein (lipoprotein) terpisah sehingga dapat meningkatkan kandungan lemak dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku (Almatsier, 2004).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan lama pengeringan berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku tetapi interaksi antara keduanya berpengaruh tidak nyata pada. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Uji lanjut BNJ pengaruh suhu pengeringan terhadap

kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Suhu pengeringan

Kadar lemak total

BNJ 5% = 0,31

T1 T2

7,59 7,93

a b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 10 oC memberikan

pengaruh yang nyata, yaitu dapat meningkatkan kadar lemak dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh lama pengeringan terhadap kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Uji lanjut BNJ pengaruh lama pengeringan terhadap

kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Waktu pengeringan

Kadar lemak total

BNJ 5% = 0,745

t1 t2 t3 t4 t5

7,19 7,48 8,11 7,89 8,12

a a b ab b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Tabel 11 menunjukkan bahwa pengaruh lama pengeringan dapat terlihat setelah 30

jam dikeringkan. Kemudian, setelah 30 jam perpanjangan waktu pengeringan memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Page 93: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

92

Kadar lemak tepung silase limbah pengolahan kodok beku ini dapat dijadikan sebagai komponen pakan. Menurut Afrianto dan Liviawaty (2005), kandungan lemak dalam pakan buatan sebaiknya tidak lebih dari 18%. Kandungan lemak yang tinggi akan mempersulit proses ekstraksi atau pencetakan pakan. Jumlah lemak dalam pakan yang berlebihan dapat menimbulkan pengaruh negatif karena ikan menyimpan lemak sebanyak-banyaknya terutama di dinding rongga perut dan saluran pencernaan.

28.5. Kadar Serat

Hasil pengukuran kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku berkisar antara 11,93% hingga 13,18%. Kadar serat kasar terendah (11,93%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T2t1 (suhu 50 oC dan lama pengeringan selama 20 jam) sedangkan kadar serat kasar tertinggi (13,18%) diperoleh dari kombinasi perlakuan T1t2 (suhu 40 oC dan lama pengeringan selama 24 jam). Rata-rata kadar serat kasar dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Rerata kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku Dapat dilihat pada Gambar 5 bahwa kadar serat kasar tepung silase limbah

pengolahan kodok beku menurun seiring dengan peningkatan suhu pengeringan. Hal ini diduga karena pada suhu 40 oC dan suhu 50 oC enzim amilase yang terdapat pada bahan baku limbah pengolahan kodok beku masih aktif menghidrolisis karbohidrat sehingga kadar serat kasar menjadi menurun setelah menjadi tepung. Menurut Winarno (1983), mengatakan bahwa suhu optimum enzim amilase pada umumnya berkisar antara 50 oC sampai 60 oC.

Penurunan kandungan serat kasar pada penelitian ini diduga disebabkan karena adanya pemecahan hemiselulosa sehingga terjadi penurunan kandungan serat kasar karena hemiselulosa merupakan bagian dari serat kasar. Bigelis (1993) dalam Arief et al. (2008), menyatakan bahwa enzim hemiselulase dapat memecah hemiselulosa dan enzim hemiselulase seperti glukanase, xylanase, galaktanase, mannase, galaktomannase, dan pentosanase. Kadar serat kasar tepung silase dapat dijadikan komponen dalam pembuatan pakan, karena dalam pembuatan pakan serat kasar juga dibutuhkan. Dalam pembuatan pakan ikan, biasanya kandungan serat kasar lebih kecil dari 8% tetapi tidak boleh lebih dari 21% karena hal ini dapat berbahaya bagi pertumbuhan ikan (Afrianto dan Liviawaty 2005).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku dan perlakuan lama pengeringan tidak berpengaruh nyata, tetapi interaksi antara keduanya berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

R² = 0,1289

R² = 0,9612

11,8

12

12,2

12,4

12,6

12,8

13

13,2

13,4

15 20 25 30 35 40 45

Kad

ar s

era

t ka

sar

(%)

Waktu pengeringan (jam)

Serat kasar

suhu 40 oC

suhu 50 oC

Page 94: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

93

Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Uji lanjut BNJ pengaruh suhu pengeringan terhadap kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

Suhu pengeringan

Kadar serat kasar

BNJ 5% = 0,22

T2 T1

12,42 12,81

a b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Tabel 12 menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 10 oC memberikan

pengaruh yang nyata, yaitu dapat menurunkan kadar serat kasar dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku. Hasil uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pengaruh interaksi suhu dan lama pengeringan terhadap kadar serat kasar tepung silase limbah pengolahan kodok beku disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Uji lanjut BNJ interaksi suhu dan lama pengeringan terhadap kadar serat

kasar (%) tepung silase limbah pengolahan kodok beku

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama berarti berbeda nyata

Pengaruh suhu dan lama pengeringan pada suhu 40 oC memberikan perbedaan yang

nyata dibandigkan dengan suhu 50 oC, tetapi tidak dipengaruhi oleh faktor lama pengeringan. Tabel 13 menunjukkan bahwa faktor lama pengeringan pengaruhnya ditingkatkan oleh faktor suhu. Pada kondisi ini interaksi adalah pengaruh peningkatan faktor suhu terhadap pengaruh faktor lama pengeringan.

29. Kesimpulan dan Saran

29.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :

1. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan, kadar air tepung silase limbah pengolahah kodok beku semakin rendah.

2. Nilai densitas kamba tepung silase limbah pengolahan kodok beku berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung.

Interaksi T1.t

Kadar serat kasar

BNJ 5% 0,62

Interaksi T2.t

Kadar serat kasar

BNJ 5% 0,62

T1t1 T1t2 T1t3 T1t4 T1t5

12,75 13,18 12,87 12,40 12,83

ab bc b a b

T2t1 T2t2 T2t3 T2t4 T2t5

11,93 12,18 12,60 12,73 12,65

a a ab ab ab

Page 95: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

94

3. Peningkatan suhu 10 oC sudah memberikan pengaruh yang nyata terhadap densitas kamba, kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan serat kasar dari tepung silase limbah pengolahan kodok beku.

4. Untuk menghasilkan tepung silase dari silase limbah pengolahan kodok beku dengan kadar air yang rendah (7,45 %), kadar protein yang tinggi (59,63 %), kadar lemak (8,50 %), serat kasar (12,65 %), dan densitas kamba (0,620 g/mL), menggunakan perlakuan T2t5 (suhu 50 oC dan waktu pengeringan 40 jam).

29.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian tentang aplikasi tepung silase limbah pengolahan kodok

beku pada budidaya ikan sebagai bahan pakan ikan.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E. dan E. Liviawaty. 2005. Pakan Ikan. Kanisius, Yogyakarta. Akhdiya, A. 2003. Isolasi bakteri penghasil enzim protease alkalin termostabil. Balai

Penelitian dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Bogor. Buletin Plasma Nutfah, Vol.9 No.2.

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Arief, M., E. Kusumaningsih. dan B. S. Rahardja. 2008. Kandungan protein kasar dan serat

kasar pada pakan buatan yang difermentasi dengan probiotik. Berkala Ilmiah Perikanan Vol. 3 No. 2.

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia, Jakarta. Estiasih, T. dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta. Hermana, W., W.G. Piliang. dan L.A. Sofyan. 2006. Pengaruh penggunaan tepung silase

dalam ransum terhadap penampilan ayam pedanging strain aksas. Med Pet. 24: 26-29. Kaya, A.O.W. 2008. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp.) sebagai sumber

kalsium dan posfor dalam pembuatan biskuit. Tesis S2. Institut Pertanian Bogor. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2011. Direktur

Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Jakarta. Lehninger. 1982. Principles of Biochemistry. Diterjemahkan oleh Maggy, T. 1982. Dasar-

dasar Biokimia. Erlangga, Jakarta. Murni, R., Suparjo., Akmal dan BL. Ginting. 2008. Buku Ajar Teknologi Pemanfaatan Limbah

Untuk Pakan. Jambi: Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Oktara, J. 2004. Pengaruh penambahan “filler” dedak halus terhadap kandungan nutrisi

silase bekicot yang dikeringkan. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. (Abstr.). Winarno, F.G. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Winarno, F.G. 1983. Enzim Pangan. PT. Gramedia, Jakarta.

Page 96: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

95

PENGARUH J PENGARUH PERBEDAAN SUHU PEREBUSAN DAN KONSENTRAS NaOH TERHADAP

KUALITAS BUBUK TULANG IKAN GABUS (Channa striata)

Yunita Cucikodana, Agus Supriadi, Budi Purwanto

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : bone powder, snake head and calcium

30. Pendahuluan Ikan gabus merupakan salah satu hasil tangkapan penting dalam sektor perikanan

di Indonesia. Jumlah produksi ikan gabus di Sumatera Selatan pada tahun 2008 yaitu

sebesar 5.702 ton (Dirjen PPHP, 2010). Jenis industri perikanan ikan gabus yang

berkembang di Indonesia antara lain industri pengolahan, pengasapan, dan penangkapan.

Hasil olahan perikanan menghasilkan materi yang tidak diinginkan yaitu limbah.

Limbah yang dihasilkan berupa kepala, ekor, sirip, tulang dan jeroan sebesar 35%

(Irawan, 1995).

Sebagai bahan pangan hewani setiap bagian dari ikan merupakan komponen

organik yang seharusnya masih bisa dimanfaatkan. Penanganan limbah industri perikanan

selama ini umumnya hanya dikubur dan diolah menjadi pakan ternak. Tulang ikan

merupakan salah satu limbah hasil industri perikanan yang belum dimanfaatkan dengan

baik. Tulang ikan biasanya didapat dari hasil limbah pasar ikan yang memproduksi ikan

giling.

Sumber kalsium terbaik adalah susu, makanan hasil perairan, buah-buahan dan

sayuran hijau. Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan

pertumbuhan, tulang kurang kuat, osteoporosis dan osteomalasia (Almatsier, 2004).

Salah satu hasil perairan yang kaya akan kalsium adalah ikan terutama bagian

tulangnya. Kalsium dari tulang ikan memiliki kualitas cukup bagus serta mudah diperoleh

(Wahid, 2007). Salah satu pemanfaatan tulang ikan yaitu tepung tulang Pemanfaatan tepung

tulang dapat dijadikan suplemen dalam pembuatan biskuit (Maulida, 2005). Selain itu,

tepung tulang dapat juga dimanfaatkan dalam pembuatan mie kering (Mulia, 2004).

Dengan melihat potensi limbah tulang ikan yang banyak di Sumatera Selatan dan

dapat dijadikan alternatif dalam pemanfaatan limbah yang tepat dalam rangka menyediakan

sumber kalsium. Maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian berbahan baku tulang

ikan gabus dalam bentuk bubuk tulang ikan gabus.

The purpose of this research was to observe the quality of snake head fish bone powder

using different boiling temperature and NaOH concentration.The Factorial Randomized

Block Design was used with two factors of treatment and 2 replications. The different

boiling temperatures (60 0C, 650C, 700C) and three different NaOH concentrations (Control

0%, NaOH 2%, NaOH 4% and NaOH 6%). The parameters were yield, whiteness, density,

solubility and calcium content. The result showed that the treatments significantly effected

the yield (43.98%-97.47%), whiteness (47.6-58.48%) density (0.51–0.67 g/ml),

solubility(11.38-23.76%) and calcium content (16.86-22.77%).

Page 97: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

96

31. Metode Penelitian

31.1. Bahan dan Alat Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulang ikan gabus

(Channa striata) . Bahan-bahan lain yang digunakan adalah aquadest HCl 1%, dan NaOH 1%, NaOH 2%, NaOH 3%, NaOH 4%. dan bahan kimia lainnya yang digunakan untuk analisis.

Alat yang digunakan adalah aluminium foil, ayakan ukuran 100 mesh, baskom, chopper, hot plate, kain saring, loyang, mortal, neraca analitik, oven, pengadukdan alat lainnya yang akan digunakan untuk analisis.

31.2. Prosedur

Cara kerja pembuatan bubuk tulang ikan pada penelitian ini (Diagram alir penelitian dapat dilihat pada lampiran 1) adalah sebagai berikut (Modifikasi Kettawan et al., 2002) :

1. Tulang ikan direbus selama 1 menit, lalu dibersihkan dari daging dan kotoran yang melekat dengan cara disikat.

2. Tulang ikan direbus dengan air selama 2 jam dengan perbandingan tulang dan air 1:3 (b/v)

3. Tulang dikeringkan dalam oven pada suhu 65 oC selama 10 jam. 4. NaOH dengan konsentrasi masing-masing 0%, 2%, 4% dan 6% ditambahkan ke

tulang kering dengan perbandingan tulang kering yang sudah hancur : NaOH 1:3 (b/v), campuran direbus selama 2 jam pada suhu 60 0C, 65 0C dan 70 0C.

5. Tulang yang telah hancur dipisahkan dari larutan NaOH menggunakan kain saring, kemudian tulang dicuci dua kali, pencucian pertama menggunakan HCl 1% dengan perbandingan tulang : HCL 1% 1:1 dan pencucian kedua menggunakan aquadest sampai netral.

6. Tulang hasil pemisahan kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 4 jam.

7. Tulang kering digiling sampai halus menggunakan chopper. 8. Tulang kering di ayak menggunakan ayakan ukuran 100 mesh. 9. Kalsium konsentrat dari metode alkali disebut bubuk ekstrak tulang ikan (Fish Bone

Extract Powder ). Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi rendemen, derajat putih, densitas

kamba, kelarutan dan kadar kalsium.

31.3. Statistik Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan dua

kali ulangan. Terdiri dari dua faktor perlakuan yaitu faktor pertama perbedaan temperatur perebusan (60 oC, 650C dan 70 oC) dan faktor kedua yaitu perbedaan konsentrasi NaOH (Kontrol 0%, NaOH 2%, NaOH 4%, NaOH 6%) dan dikelompokkan berdasarkan hari pembuatan.

32. Hasil dan Pembahasan

32.1. Rendemen Rendemen merupakan suatu parameter yang penting untuk mengetahui nilai

ekonomis dan efektivitas suatu proses produk atau bahan. Perhitungan rendemen berdasarkan presentase perbandingan antara berat akhir dengan berat awal proses.Semakin besar rendemennya maka semakin tinggi pula nilai ekonomis produk tersebut, begitu pula nilai efektivitas dari produk tersebut (Amiarso, 2003). Nilai rendemen rerata bubuk tulang ikan disajikan pada Gambar 3.

Page 98: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

97

Keterangan:

T1K0: Suhu ekstraksi 600C NaOH 0%,

T1K1: Suhu ekstraksi 600C NaOH 2%

T1K2: Suhu ekstraksi 600C NaOH 4%,

T1K3: Suhu ekstraksi 600C NaOH 6%,

T2K0: Suhu ekstraksi 650C NaOH 0%

T2K1: Suhu ekstraksi 650C NaOH 2%,

T2K2: Suhu ekstraksi 650C NaOH 4%,

T2K3: Suhu ekstraksi 650C NaOH 6%,

T3K0: Suhu ekstraksi 700C NaOH 0%,

T3K1: Suhu ekstraksi 700C NaOH 2%,

T3K2: Suhu ekstraksi 700C NaOH 4%,

T3K3: Suhu ekstraksi 700C NaOH 6%,

Gambar 1. Histogram nilai rata-rata rendemen bubuk tulang ikan gabus

Gambar 1 menunjukkan hasil bahwa rerata rendemen bubuk tulang ikan gabus mengalami penurunan seiring peningkatan suhu dan konsentrasi NaOH pada proses ekstraksi. Perlakuan tanpa NaOH menghasilkan rendemen tertinggi kemudian menurun sebanding dengan peningkatan konsentrasi NaOH dan suhu ekstraksi. Data tersebut menunjukkan bahwa NaOH dan suhu ekstraksi berperan penting dalam penurunan rendemen (P>0,5). Hal ini diduga karena NaOH melarutkan protein dan lemak pada tulang ikan dan proses pelarutan protein dan lemak akan semakin besar dengan adanya suhu ekstraksi yang berperan sebagai katalis (mempercepat reaksi).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi, berpengaruh nyata terhadap rendemen bubuk tulang ikan gabus pada taraf uji 5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap rendemenbubuk tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 1.

Uji lanjut BNJ (Tabel 1) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu perebusan maka rendemen bubuk tulang ikan gabus semakin rendah. Rendahnya nilai rendemen dipengaruhi oleh suhu, hal ini diduga karena suhu merupakan katalisator yang dapat mempercepat larutan NaOH untuk melarutkan protein dalam tulang. Lubis (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu

97,47

57,84 57,11

44,81

94,37

52,91 48,92

44,67

92,85

49,83 46,41 43,98

0

20

40

60

80

100

120

T1K0 T1K1 T1K2 T1K3 T2K0 T2K1 T2K2 T2K3 T3K0 T3K1 T3K2 T3K3

Ren

dem

en

(%

)

Perlakuan

Page 99: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

98

membuat rendemen semakin rendah.Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH terhadap rendemen bubuk tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1.Uji lanjut BNJ pengaruh suhu ekstraksi terhadap rendemen

bubuk tulang ikan gabus

Perlakuan

Rerata

BNJ(0,05) 1,91

T3 58,27

a

T2 60,21

b

T1 64,31

c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada

kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika

hurufnya berbeda berarti berbeda nyata

Tabel 2. Uji lanjut BNJ pengaruh konsentrasi NaOH terhadap rendemen bubuk ekstrak tulang ikan

Perlakuan Rendemen rerata (%)

BNJ(

0,05)1,8318

K3 44,48 a K2 50,81 b K1 53,53 c K0

94,90

d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika hurufnya berbeda berarti berbeda nyata

Uji lanjut BNJ (Tabel 2) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata

dibanding perlakuan lainnya. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka rendemen dalam bubuk tulang ikan akan semakin menurun.

Rendahnya nilai rendemen juga disebabkan oleh banyaknya bagian bubuk yang terbuang pada saat proses pencucian setelah perendaman NaOH. Hidrolisis dengan NaOH menyebabkan struktur jaringan tulang menjadi rapuh dan hancur, sehingga komponen organik tulang banyak yang terlarut dan terbuang pada saat penetralan basa dengan pencucian menggunakan akuades.

Menurut Murtiningrum (1997), rendemen yang tertinggi belum tentu akan menghasilkan kadar kalsium tertinggi, tetapi ditentukan juga oleh faktor-faktor lain seperti rendahnya kandungan protein dalam bahan. Salah satu golongan protein yang banyak terdapat di dalam jaringan hewan adalah kolagen. Semakin banyak kolagen yang larut dalam basa maka daya ikat komponen senyawa dalam tulang akan semakin menurun sehingga ikatan molekul protein dengan senyawa lain menjadi terlepas (Poedjiadi, 1994). Salah satu senyawa dalam bahan yang terikat adalah air sehingga semakin banyak air yang keluar nilai rendemen semakin rendah.

Rendahnya rendemen juga diduga akibatpengaruh dari pengeringan, dimana pengeringan adalah proses pengeluaran atau pembuangan bahan cair dari suatu bahan yang mencakup pengeringan, pemanggangan, penguapan dan lain-lain. Hasil akhir pengeringan merupakan bahan yang bebas dari air (cairan) atau mengandung air dalam

Page 100: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

99

jumlah yang rendah (Hall 1979 dalam Nabil 2005). Melalui cara pengeringan ini biasanya kadar air dapat menurun mencapai 60-70% sehingga menghasilkan nilai rendemen yang rendah.

Hasil uji BNJ pengaruh interaksi kedua perlakuan temperatur perebusan dan konsentrasi NaOH menunjukkan bahwa perlakuan T1K0 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Perlakuan T1K3 berbeda tidak nyata dengan perlakuan T2K3 dan T3K3. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu perebusan ekstraksi dan konsentrasi NaOH maka rendemen yang dihasilkan semakin rendah.Hal ini diduga protein terdenaturasi dan terlarut karena suasana basa selama perebusan dalam larutan NaOH sehingga dapat menurunkan daya ikat protein.Senyawa yang terikat dengan protein salah satunya air.Air yang terlepas dari protein dinamakan air bebas sehingga air mudah untuk diuapkan dengan semakin meningkatnya suhu.

32.2. Derajat Putih

Pengukuran derajat putih sangat penting untuk dilakukan terhadap jenis tepung-

tepungan karena derajat putih merupakan salah satu faktor yang menunjukkan nilai mutu

dari tepung. Berdasarkan hasil penelitian, nilai derajat putih rerata bubuk tulang ikan yang

diperoleh berkisar 47,65% - 58,48%. Nilai derajat putih rerata bubuk tulang ikan disajikan

pada Gambar 2.

Gambar 2. Histogram nilai rata-rata derajat putih bubuk tulang ikan gabus

Nilai rerata derajat putih menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan konsentrasi

NaOH maka semakin tinggi nilai derajat putih bubuk tulang ikan gabus. Hasil analisis

keragaman menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi, konsentrasi NaOH, dan

interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap derajat putih bubuk tulang ikan gabus

pada taraf uji 5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH ekstraksi

terhadap derajat putih bubuk tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji lanjut BNJ pengaruh NaOH ekstraksi terhadap bubuk tulang

ikan gabus

Perlakuan

Rerata

BNJ(0,05) 4,5326

K0 50,15

a

K1 52,84

a

K2 55,28

ab

48,07 51,3

54,3 55,94

49,55 53,67 54,8

57,44 52,86 53,55 56,74

58,77

0

10

20

30

40

50

60

70

Der

aja

t P

uti

h

Perlakuan

Page 101: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

100

K3 57,38

b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada

kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika hurufnya

berbeda berarti berbeda nyata.

Uji lanjut BNJ (Tabel 3) menunjukkan bahwa perlakuan K0 berbeda tidak nyata

dengan perlakuan K1. Perlakuan K1 berbeda nyata dengan perlakuan K3. Hasil tersebut

juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan cenderung

meningkatkan nilai derajat putih. Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka

semakin banyak kandungan lemak dan protein yang hilang sehingga akan cenderung

meningkatkan nilai derajat putih pada tulang ikan gabus. Menurut Jhonson dan Patterson

(1974) dalam Nabil (2005) bahwa penggunaan basa lebih menguntungkan dibandingkan

dengan asam.Penggunaan basa sebagai bahan penghidrolisis menghasilkan fraksi larut dan

fraksi tidak larut dengan warna yang lebih putih.Kelemahan penggunaan asam adalah

terbentuknya zat berwarna kehitaman atau hitam kecoklatan yang dinamakan humin atau

melanin yang terbentuk dari kandungan inti indol triptofan dengan aldehida yang berasal dari

karbohidrat yang terdapat pada bahan.

32.3. Densitas Kamba

Densitas kamba merupakan salah satu parameter fisik yang menunjukkan porositasdari bahan-bahan tepung dan biji-bijian. Densitas kamba tepung tulang ikan gabus diukur dengan menimbang berat sampel pada volume tertentu.

Berdasarkan hasil penelitian, nilai densitas kamba rerata bubuk tulang ikan yang diperoleh berkisar 0,51% - 0,67%. Nilai densitas kamba rerata bubuk tulang ikan disajikan pada gambar3.

Gambar 3. Histogram nilai rata-rata densitas kamba bubuk tulang ikan gabus Nilai rerata densitas kamba menunjukkan semakin tinggi suhu dan konsentrasi NaOH

menurunkan nilai densitas kamba.Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perbedaan suhu ekstraksi, konsentrasi NaOH, dan interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap densitas kamba bubuk tulang ikan gabus pada taraf uji 5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap densitas kamba bubuk tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 4 .

0,51 0,52 0,53 0,57 0,55 0,56 0,59

0,63 0,57

0,61 0,63 0,67

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

T1K0 T1K1 T1K2 T1K3 T2K0 T2K1 T2K2 T2K3 T3K0 T3K1 T3K2 T3K3

Den

sita

s K

am

ba

g/m

l

Perlakuan

Page 102: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

101

Tabel 4. Uji lanjut BNJ pengaruh suhu ekstraksi terhadap densitas kamba bubuk tulang ikan gabus

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika hurufnya berbeda berarti berbeda nyata.

Uji lanjut BNJ (Tabel 4) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata.Hal ini

menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu perebusan maka semakin tinggi nilai densitas kamba. Menurut Nabil (2005), nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekasaran permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan densitas kamba tepung berbanding terbalik dengan kecenderungan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tingginya kekambaan tepung. Semakin halus ukuran partikelnya, maka produk akan semakin kurang kamba karena semakin sedikit udara yang terkurung diantara partikel-partikel. Semakin tinggi suhu maka kadar air semakin rendah dan nilai densitas kamba bubuk tulang ikan gabus semakin meningkat.

Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH terhadap densitas kamba bubuk tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Uji lanjut BNJ pengaruh konsentrasi NaOH terhadap densitas

kamba bubuk ekstrak tulang ikan

Perlakuan Rerata BNJ(0,05) 0,289

K0 17,53 a K1 18,66 b K2 20,29 c K3 21,79 d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika hurufnya berbeda berarti berbeda nyata.

Uji lanjut BNJ (Tabel 5) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata

dibanding perlakuan lainnya. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka densitas kamba dalam bubuk tulang ikan akan semakin rendah. Menurut Nabil (2005), besar kecilnya densitas kamba bahan hasil pertanian juga dipengaruhi oleh kandungan airnya. Kecenderungan densitas kamba tepung berbanding terbalik dengan kecenderungan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tingginya kekambahan bahan atau semakin rendah densitas kambanya.

32.4. Kelarutan

Pengujian kemudahan melarut bubuk tulang ikan gabus juga dibutuhkan untuk

mengetahui seberapa cepat bubuk tulang larut dalam air tanpa diaduk.Kelarutan dapat juga

dipengaruhi oleh lamanya waktu melarutkan, yaitu semakin lama waktu melarutkan, maka

Perlakuan Rerata BNJ(0,05) 0,0194

T3 0,53 a T2 0,58 b T1 0,62 c

Page 103: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

102

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

15 30 60 120 180 240

kela

ruta

n %

waktu ( menit)

T1K0 T1K1 T1K2 T1K3 T2K0 T2K1

T2K2 T2K3 T3K0 T3K1 T3K2 T3K3

berat bahan yang tertinggal dalam kertas saring lebih sedikit sehingga bahan yang terlarut

semakin banyak (Futri, 2011).

Tujuan dari pengukuran ini adalah untuk mengetahui tingkat kelarutan tepung tulang

ikan di dalam air. Tepung tulang ikan dengan kemudahan melarut yang cepat dapat berarti

bahwa jumlah padatan tidak larut dalam tepung relatif sedikit. Sebaliknya apabila

kemudahan melarut tepung lambat, berarti jumlah padatan tidak larut dalam tepung tersebut

relatif banyak. Nilai kelarutan bubuk tulang ikan disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Grafik kelarutan bubuk tulang ikan gabus

Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 4) diketahui bahwa kelarutan bubuk tulang

ikan gabus cukup besar yaitu 11,38-23,76%. Data tersebut juga memperlihatkan kenaikan

kelarutan bubuk tulang ikan gabus sejalan dengan lamanya waktu kelarutan. Nilai kelarutan

bubuk tulang ikan gabus terbesar pada 15 menit pertama terdapat pada perlakuan T3K3

yaitu 16,68%, sedangkan nilai kelarutan terkecil pada perlakuan T1K0 yaitu 11,38%. Nilai

kelarutan terkecil setelah 240 menit pelarutan diperoleh pada perlakuan T1K0 yaitu sebesar

14,88% sedangkan untuk nilai kelarutan terbesar diperoleh pada perlakuan T3K3 yaitu

sebesar 23,76%. Persen kelarutan dari masing-masing bubuk tulang ikan gabus tersebut

secara umum meningkat dengan semakin lamanya waktu pelarutan.

Kemudahan kelarutan tepung kalsium tulang ikan juga dibutuhkan untuk mengetahui

seberapa cepat tepung larut dalam air tanpa diaduk.Kelarutanjuga dipengaruhi oleh lamanya

waktu melarutkan, yaitu semakin lama waktu melarutkan, maka berat bahan yang tertinggal

dalam kertas saring lebih sedikit sehingga bahan terlarut semakin banyak.

Menurut Master (1979) dalam Nabil (2005) bahwa kadar air produkberhubungan

dengan kelarutan. Semakin tinggi kadar air produk, semakin sulit produk tersebut dilarutkan

dalam air, karena produk cenderung membentuk butiran lebih besar. Sama halnya kelarutan

juga dipengaruhi oleh kadar air bahan yang dilarutkan, semakin rendah kadar air bahan

maka waktu melarut kembali didalam air akan semakin cepat (Nabil, 2005).

32.5. Kadar Kalsium

Page 104: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

103

Kalsiumadalah salah satu unsur penting dalam makanan karena merupakan bahan

pembentuk tulang, gigi dan jaringan lunak serta berperan dalam berbagai proses

metabolisme dalam tubuh (Winarno, 1997). Hasil kadar kalsium rerata bubuk tulang ikan

disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian, nilai kadar kalsium rerata bubuk

tulang ikan yang diperoleh berkisar 16,86%-22,77%. Nilai kadar kalsium rerata bubuk tulang

ikan disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5.Histogram nilai rata-rata kadar kalsium bubuk tulang ikan gabus

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rerata kadar kalsium bubuk tulang

ikan gabus mengalami kenaikan seiring peningkatan suhu dan konsentrasi NaOH pada

proses ekstraksi (Gambar 5), perlakuan tanpa NaOH menghasilkan kadar kalsium terendah

kemudian meningkat sebanding dengan peningkatan konsentrasi NaOH dan suhu ekstraksi..

Hal ini diduga tingginya suhu ekstraksi yang digunakan dalam larutan NaOH memungkinkan

banyaknya kalsium yang mengendap dalam matrik-matrik tulang, sehingga kalsium bubuk

tulang ikan gabus semakin meningkat. Hasil analisis keragaman

menunjukkanbahwaperbedaan suhu ekstraksi, konsentrasi NaOH, dan interaksi kedua

perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium bubuk tulang ikan gabus pada taraf uji

5%. Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan suhu ekstraksi terhadap kadar kalsium bubuk

tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Uji lanjut BNJ pengaruh suhu ekstraksiterhadap kadar kalsium bubuk tulang ikan gabus

Perlakuan

Rerata BNJ(0,05) 0,301

T1 18,53 a T2 19,71 b T3 37,19 c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika hurufnya berbeda berarti berbeda nyata.

Uji lanjut BNJ (Tabel 6) menunjukkan bahwa semua perlakuan berbeda nyata.

Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa pada suhu ekstraksi 600C(T1) kadar kalsium

yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan dengan suhu ekstraksi 650C(T2) dan suhu

ekstraksi 700C(T3). Hal ini diduga semakin tingginya suhu semakin tinggi kadar kalsium. Hal

ini diduga karena dengan tingginya suhu ekstraksi yang digunakan dalam larutan NaOH

akan memungkinkan banyaknya kalsium yang mengendap dalam matrik-matrik tulang,

16,86 17,22

19,04

20,99

17,15

19,4 20,68

21,62

18,6 19,38

21,15 22,77

0

5

10

15

20

25

T1K0 T1K1 T1K2 T1K3 T2K0 T2K1 T2K2 T2K3 T3K0 T3K1 T3K2 T3K3

ka

da

r K

als

ium

(%

)

Perlakuan

Page 105: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

104

sehingga kalsium bubuk tulang ikan gabus akan semakin meningkat. Hal ini diperkuat

dengan pernyataan Harrow dan Mazur (1961) dalam Nabil (2005) menyatakan bahwa

ekstraksi dengan larutan basa pada suhu tinggi menyebabkan protein terdenaturasi. Protein

yang terdenaturasi pada pH alkali maka molekul tersebut terdapat sebagai protein terlarut

(Lehninger, 1982). Hasil uji lanjut BNJ pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH terhadap

kadar kalsium bubuk tulang ikan gabus dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Uji lanjut BNJ pengaruh konsentrasi NaOH terhadap kadar kalsium bubuk ekstrak tulang ikan.

Perlakuan

Rerata

BNJ(0,05) 0,289

K0 17,53

a

K1 18,66

b

K2 20,29

c

K3 21,79

d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata, jika hurufnya berbeda berarti berbeda nyata

Uji lanjut BNJ (Tabel 7) menunjukkan bsemua perlakuan berbeda nyata dibanding

perlakuan lainnya. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi

NaOH yang digunakan maka kadar kalsium dalam bubuk tulang ikan akan semakin tinggi.

Kalsium merupakan salah satu mineral terbanyak dalam tulang yang melekat pada protein

kolagen (Winarno, 1992).

Pada suasana basa, kalsium dalam tulang bersama dengan fosfor membentuk

kalsiumfosfat. Kalsium fosfat adalah kristal mineral yang memiliki sifat tidak larut pada pH

alkali (Almatsier, 2004).Kalsiumyang tidak larut selama perebusan akan tertinggal dan

mengendap dalam matrik-matrik cangkang sehingga mampu meningkatkan proporsi kalsium

dalam bahan tulang ikan gabus.

Hasil uji BNJ pengaruh interaksi kedua perlakuan temperatur perebusan dan

konsentrasi NaOH menunjukkan bahwa perlakuan T1K0 berbeda tidak nyata dengan

perlakuan T2K0 dan T1K1. Perlakuan T3K0 berbeda nyata dengan perlakuan T3K2.

Kombinasi perlakuan yang terbaik yaitu temperatur perebusan T3K3 karena kombinasi

perlakuan tersebut menghasilkan kadar kalsium yang tinggi.Hal ini diduga pada suasana

basa selama perebusan dengan tingginya suhu mampu meningkatkan daya larut protein

dalam tulang sehingga kalsium yang tidak larut dalam suasana basa akan tertinggal dan

mengendap dalam matrik-matrik tulang sehingga mampu meningkatkan proporsi kalsium

dalam bahan (tepung tulang). Menurut Karmas (1982), efektivitas larutan basa tergantung

pada konsentrasi larutan basa dan suhu yang digunakan.

33. Kesimpulan dan Saran

33.1. Kesimpulan

Page 106: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

105

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Perbedaan suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap rendemen, densitas kambadan

kadar kalsium. 2. Perbedaan konsentrasi NaOH berpengaruh nyata terhadaprendemen,derajat putih dan

kadar kalsium. 3. Interaksi suhu ekstraksi dan konsentrasi NaOH berpengaruh nyata terhadap rendemen

dan kadar kalsium pada taraf uji 5%. 4. Bubuk tulang ikan gabus memiliki rendemen 43,98-97,47%, nilai derajat putih sebesar

48,07-58,77%, densitas kamba 0,51–0,61 g/mL kelarutan 13,38-16,68% pada menit ke-15, sedangkan pada menit ke-240 nilai kelarutan yang diperoleh mencapai 14,88- 23,76% dan kadar kalsium bubuk tulang ikan gabus 16,86-22,77 %.

33.2. Saran

Disarankan agar dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan rendemen bubuk tulang ikan gabus dengan proses dan alat penghancuran tulang yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Amiarso. 2003. Pengaruh Penambahan Daging Ikan Kambing-kambing (Abalistes

steilatus) terhadap Mutu Kerupuk Gemblong Khas Kuningan Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.2010. Warta Pasarikan. Edisi: Oktober 86.

Futri, E.D. 2011. Pengaruh perbedaan suhu ekstraksi dan konsentrasi NaOH terhadap kualitas bubuk ekstrak sotong (Sepia sp.) kertas [skripsi]. Inderalaya: Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya.

Irawan, A. 1995. Pengolahan Hasil perikanan. CV Aneka Solo.Solo Karmas, E. 1982.Meat, Poultry and Seafood Technology. Noyes Data Coorporation, Park

Ride. New Jersey. Kettawan, A., Sungpuang., Sirichakwal, P.P., Chavasit. 2002. Chicken Bone Calcium

Extraction and its Application As a Food Fortificant. J. Natl. 34 (2): 164-180. Lubis, I.H. 2008. Pengaruh lama dan suhu pengeringan terhadap mutu tepung pandam

[laporan akhir].Palembang: Fakultas Teknik. Politeknik Negri Sriwijaya. Maulida, N. 2005. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Madidihang (Thunnus albacores)

sebagai Suplemen dalam Pembuatan Biskuit [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Mulia. 2004. Kajian potensi limbah tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagaialternatif sumber kalsium dalam produk mi kering [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Murtiningrum.1997. ekstraksi kalsium dari tulang ikan cakalang (Katsuwonus pelamis L.) dengan teknik deproteinisasi.[skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Nabil, M. 2005. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp.)sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi.PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 107: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

106

PENGARUH J BEKASAM IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PENGGUNAAN SUMBER KARBOHIDRAT YANG BERBEDA Ayu Kalista, Agus Supriadi, Siti Hanggita Rachmawati J Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Universitas Sriwijaya

ABSTRAC

Keyword : ikan lele, bekasam dan karbohidrat

34. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman makanan tradisional,

salah satunya adalah produk bekasam. Bekasam merupakan produk olahan ikan yang dibuat dengan cara fermentasi. Bekasam memiliki rasa asam dan asin yang membuat produk ini memiliki cita rasa yang khas dan banyak dikenal di Sumatera Selatan, Jawa Tengah dan Kalimantan (Adawyah, 2006).

Menurut Taufik (2007), bekasam dibuat dengan beberapa tahapan yaitu penyiangan, pencucian ikan, pencampuran nasi dan garam ke dalam rongga perut ikan, pemasukan ke dalam wadah tertutup dan difermentasi selama 7 (tujuh) hari. Selama proses fermentasi kondisi harus tetap terkontrol dan tidak terdapat udara (Irawan, 1997). Bekasam memiliki komposisi gizi yang cukup baik dan dikonsumsi sebagai pelengkap lauk pauk. Bekasam belum cukup komersial dipasaran sebagai produk fermentasi, dibandingkan dengan produk fermentasi lainnya, seperti kecap ikan dan peda.

Fermentasi bekasam merupakan fermentasi yang terjadi secara spontan, hanya mengandalkan garam sebagai penyeleksi mikroorganisme (Rahayu, 2000). Mikroorganisme yang tumbuh dengan keberadaan garam pada bekasam adalah bakteri asam laktat yang termasuk pada golongan mikroorganisme amilotik. Menurut Pambayun dan Kurnia (1995), amilum yang merupakan karbohidrat utama akan menjadi substrat awal bagi bakteri asam laktat, kemudian dihidrolisis menjadi karbohidrat sederhana. Menurut Djafar (1997), bakteri asam laktat mampu menghidrolisis berbagai monosakarida dan disakarida. Oleh sebab itu digunakan sumber karbohidrat berupa tepung ketan, tepung meizena, tepung terigu, tepung tapioka dan tepung beras.

Dalam pembuatan bekasam umumnya menggunakan ikan teri dan ikan tawes (Setiadi, 2001). Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan lele dumbo. Ikan lele dumbo merupakan salah satu ikan air tawar yang memiliki ketersediaan cukup melimpah bagi masyarakat dan belum digunakan dalam pembuatan bekasam. Ikan lele dumbo banyak terdapat didaerah perairan umum, sawah, tambak juga kolam. Produksi ikan lele di Sumatera Selatan pada tahun 2004 sebesar 51,000 ton meningkat menjadi 69,000 ton pada

This purposes of this research were to determine the effect of different carbohydrat sources on the the characteristics of chemical, microbiological and organoleptic bekasam catfish. The research was conducted in June until July 2011 at Fishery Processing Technology Laboratory, Aquaculture Laboratory, Animal Nutrition Laboratory and Bioprocess Laboratory University of Sriwijaya.This research that the used Completely Randomized Design (CRD) with five treatments, and each treatment was replicated three times. The treatment were A1 = glutinous rice flour, A2 = corn flour, A3= wheat flour , A4 = cassava flour, A5 = rice flour. The result showed used of different carbohydrate sources had significant effect in N-amino content, pH value and total count but was significantly for water content and ash content. The highest bacterial count was obtained by using rice flour (4,491) and the lowest was found in bekasam with glutinous rice (3.470). The flour that has a higher amylose content is easier to use as a bacterial growth media.

Page 108: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

107

tahun 2005. Kemudian pada tahun 2006, jumlah produksi ikan lele dumbo kembali mengalami peningkatan menjadi 77,000 ton (DKP, 2008). Kombinasi antara sumber karbohidrat yang berbeda dengan penggunaan ikan lele dumbo diharapkan dapat menghasilkan bekasam yang baik dan meningkatkan nilai jual di masyarakat.

35. Metode Penelitian

35.1. Bahan dan Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, autoclaf, cawan petri, gelas ukur, inkubator, desikator, neraca analitik, pipet mikro, pipet tetes, pipet volume, pisau, pH-meter, erlenmeyer, termometer, baskom, toples, biuret, statif, spatula, piring, pisau.

Alat pemotong harus benar-benar tajam, bersih dan terbuat dari stainless stell. Bahan-bahan yang akan digunakan antara lain sampel ikan lele (Clarias gariepinus), aquadest, garam, tepung ketan, tepung meizena, tepung terigu, tapioka dan tepung beras.

35.2. Prosedur

Adapun cara kerja yang akan dilakukan dalam penelitian ini melalui beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut (Taufik, 2007 dan Aryanto, 2008). Penyiapan Bahan Pencampur

Masing-masing sumber karbohidrat (tepung ketan, tepung meizena, tepung terigu, tepung tapioka dan tepung beras) 40% dari berat ikan dipersiapkan ke dalam wadah, lalu ditambahkan air dengan perbandingan 1:5 diaduk sampai homogen. Adonan dipanaskan sampai terjadi gelatinisasi sempurna yang ditandai dengan adonan yang kalis. Adonan berwarna putih jernih dari adonan awal. Adonan didinginkan pada suhu kamar dan tepung siap digunakan dalam pembuatan bekasam.

Cara Pembuatan Bekasam

Ikan lele segar disiangi (buang isi perut, sirip dan insang), kemudian dicuci dengan air mengalir, ditimbang dan dicatat dengan berat ± 500 g. Masing-masing sumber karbohidrat (tepung ketan, tepung meizena, tepung terigu, tepung tapioka dan tepung beras) sesuai perlakuan dan garam 10% dari berat ikan dicampur hingga homogen dan dibalurkan pada seluruh permukaan tubuh ikan dan juga kedalam rongga perut ikan, agar fermentasi terjadi pada seluruh bagian tubuh ikan.Kemudian dimasukkan dalam wadah yang tertutup rapat dan di fermentasi selama 7 hari.

Bekasam yang dihasilka kemudian dianalisis kadar air, kadar abu (AOAC, 1995), kadar N-amino, kadar asam total (Sudarmadji et al., 1997), nilai pH (Apriyantono et al, 1989), total bakteri (SNI 01-2332-3-2006).

35.3. Statistik

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial (Gomez dan Gomez (1995)) dan terdiri dari 5 taraf sehingga diperoleh 5 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:

A1 = Tepung ketan A2 = Tepung meizena A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka A5 = Tepung beras

Page 109: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

108

36. Hasil dan Pembahasan

36.1. Analisa Kimia

36.1.1. Kadar Air

Kadar air menunjukkan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dalam produk olahan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa di dalam pengolahan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan dan pengeringan. Rerata kadar air bekasam ikan lele dumbo disajikan pada Grafik 1.

Keterangan : A1 = Tepung ketan A2 = Tepung meizena A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka A5 = Tepung beras

Grafik 1. Rerata kadar air bekasam ikan lele dumbo.

Berdasarkan hasil penelitian nilai kadar air ikan lele dumbo segar adalah 76,00%, setelah difermentasi menjadi bekasam nilai kadar air berkisar antara 72,14%-74,81%. Penelitian Nirmala (2008), melaporkan bahwa kadar air bekasam ikan patin berkisar antara 60,67%-74,48%. Hasil penelitian lain yang ditemukan Nurhayati (2000), kadar air bekasam ikan betok berkisar antara 72,0%-73,2%.

Setelah proses fermentasi, kadar air produk fermentasi bekasam mengalami penurunan. Hal ini diduga disebabkan oleh kemampuan garam dapat mengikat air kelur dari jaringan daging ikan (garam bersifat higrokopis) pada saat proses fermentasi. Borgstrom (1995), mengatakan adanya garam dalam ikan akan mendenaturasi protein, sehingga terjadi koagulasi yang dapat membebaskan air. Buckle et al., (1987), menegaskan bahwa air diperlukan oleh mikroba untuk tumbuh dan berfungsi secara normal.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pada perlakuan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh tidak nyata pada taraf 5% terhadap kadar air bekasam ikan lele dumbo yang dihasilkan. Hal ini diduga karena tidak terdapat perbedaan konsentrasi sehingga tidak terlihat adanya perbedaan.

36.1.2. Kadar Abu

Abu adalah residu anorganik dari pembakaran bahan-bahan organik dan komponen-komponennya terdiri atas: kalsium, kalium, natrium, magnesium dan mangan. Abu terbentuk berwarna putih abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan. Rerata kadar abu bekasam ikan lele dumbo disajikan pada Grafik 2.

72,14 72,22

72,99 73,58

74,81

70,571

71,572

72,573

73,574

74,575

75,5

A1 A2 A3 A4 A5

Kad

ar A

ir (

%)

Perlakuan

Page 110: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

109

Keterangan : A1= Tepung ketan A2 = Tepung meizena A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka A5 = Tepung beras

Grafik 2. Rerata kadar abu bekasam ikan lele dumbo.

Berdasarkan hasil penelitian nilai kadar abu ikan lele dumbo sebelum difermentasi adalah 1,39%, setelah menjadi bekasam nilai kadar abu berkisar antara 3,27%-3,54%. Penelitian Setiadi (2001), melaporkan bahwa kadar abu bekasam ikan tawes berkisar antara 11,63%-15,27%. Hasil penelitian lain yang ditemukan Hermansyah (1999), kadar abu bekasam ikan mas berkisar antara 18,1%-23,3%. Abu merupakan zat anorganik yang berasal dari sisa hasil pembakaran suatu bahan berupa mineral. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu: garam-garam organik, misalnya garam dari asam asetat, oksalat, mallat, pektat dan lain-lain dan garam-garam anorganik, misalnya fospat, karbonat, khlorida, sulfat dan nitrat (Sudarmadji et al., 2003).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pada perlakuan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh tidak nyata pada taraf 5% terhadap kadar abu bekasam ikan lele dumbo sehingga tidak dilakukan uji lanjut. Hal ini diduga kadar abu tidak dipengaruhi oleh penggunaan perbedaan sumber karbohidrat. Kadar abu pada tepung meizena 0,1, tepung beras 0,5, tapioka 0,6, tepung ketan 0,1 dan pada tepung terigu 0,5 (Nurmala, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung. tidak berpengaruh signifikan terhadap kadar abu bekasam, sehingga penambahan konsentrasi tepung pada ikan saat pembuatan bekasam

dengan jumlah yang sama tidak terlihat adanya perbedaan. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh (Murtini et al., dalam Hermansyah, 1999), kadar abu bekasam stabil selama fermentasi.

36.1.3. Kadar N-amino

Rerata kadar N-amino bekasam ikan lele dumbo dapat dilihat pada Grafik 3. Berdasarkan hasil penelitian nilai kadar N-amino ikan lele dumbo sebelum difermentasi adalah 0,17%, setelah menjadi bekasam nilai kadar N-amino berkisar antara 0,29%-0,40%. Nilai N-amino terendah terdapat pada perlakuan A1 sedangkan nilai kadar N-amino tertinggi terdapat pada perlakuan A3. Penelitian Nirmala (2008), melaporkan bahwa kadar N-amino bekasam ikan patin berkisar antara 0,22%-0,12%.

Hasil analisis keragaman (menunjukkan bahwa pada perlakuan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap nilai N-amino bekasam ikan lele dumbo yang dihasilkan. Hasil uji lanjut beda jarak duncan (BJND) N-amino bekasam ikan lele dumbo menunjukkan bahwa kadar N-amino bekasam pada perlakuan A3 berbeda nyata

3,54 3,49

3,33

3,42

3,27

3,1

3,2

3,3

3,4

3,5

3,6

A1 A2 A3 A4 A5

Kad

ar A

bu

(%

)

Perlakuan

Page 111: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

110

dengan A1, A2, dan A4 tetapi tidak berbeda nyata dengan A5. Tingginya N-amino pada A3 diduga disebabkan oleh kandungan protein yang terdapat pada tepung terigu (8,9) sedikit lebih tinggi daripada tepung beras protein (7,0), pada tepung tapioka (1,1). Protein yang ada pada bekasam akan dihidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana, sehingga kadar N terlarut semakin tinggi (Chamidah et al., 2000). Rahayu et al., (1992), menyatakan bahwa selama fermentasi protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam-asam amino dan peptide, kemudian asam-asam amino akan terurai lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentuk citarasa produk.

Keterangan : A1 = Tepung ketan A2 = Tepung meizena A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka A5 = Tepung beras

Grafik 3. Rerata kadar N-amino bekasam ikan lele dumbo.

36.1.4. Kadar Asam Total

Kadar asam total merupakan suatu analisis kimia bahan pangan untuk mengetahui kandungan asam dari bahan pangan tersebut (Wahyuni, 2004). Rerata kadar asam total bekasam ikan lele dumbo disajikan pada Grafik 4.

Berdasarkan hasil penelitian nilai kadar asam total ikan lele dumbo sebelum adalah 0,22%, setelah difermentasi nilai kadar asam total bekasam berkisar antara 0,86%-1,37%. Penelitian Nirmala (2008), melaporkan bahwa kadar asam total bekasam ikan patin berkisar antara 0,79%-1,65%. Kadar asam total terendah terdapat pada perlakuan A1 sedangkan kadar asam total tertinggi terdapat pada perlakuan A5. Menurut Stanton dan Yeoh (1978), pada kondisi yang optimum salah satu perubahan penting dalam fermentasi adalah cadangan karbohidrat yang difermentasi menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Pembentukan asam laktat tersebut menurut Sudarmadji et al., (2003), akan menyebabkan peningkatan kadar asam total dan penurunan pH.

Keterangan : A1 = Tepung ketan A2 = Tepung meizena A5 = Tepung beras A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka

0,30 0,32

0,40 0,34 0,35

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

A1 A2 A3 A4 A5

Kad

ar N

-am

ino

(%

)

Perlakuan

0,86 0,93 1,14

1,36 1,37

0,00

0,50

1,00

1,50

A1 A2 A3 A4 A5

Kad

ar A

sam

to

tal (

%)

Perlakuan

Page 112: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

111

Grafik 4. Rerata kadar asam total bekasam ikan lele dumbo.

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pada perlakuan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap kadar asam total bekasam ikan lele dumbo yang dihasilkan.

Uji BJND kadar asam total bekasam pada perlakuan A5 berbeda nyata terhadap perlakuan A1 dan A2 tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A3 dan A4. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kandungan amilopektin yang terdapat pada tepung. Kandungan amilopektin yang terdapat pada perlakuan tepung ketan 98%, tepung meizena 76%, tepung terigu 75%, tepung tapioka 73% dan sedikit lebih besar dibandingkan amilopektin yang terdapat pada tepung beras 67% (Winarno, 2002; Alam, 2007; Ahmad 2009), sehingga pada perlakuan yang memiliki kandungan amilopektin lebih tinggi bakteri asam laktat memerlukan waktu yang relatif lebih panjang untuk merombak menjadi asam laktat.

Pada proses fermentasi kandungan amilosa akan diuraikan sempurna menjadi glukosa dan dapat diubah menjadi campuran dekstrin, maltose, glukosa dan oligosakarida, setelah itu diubah lagi menjadi asam laktat, sedangkan amilopektin pada tepung dapat diubah menjadi asam laktat dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan amilosa dan glukosa karena amilopektin harus diubah dalam bentuk yang lebih sederhana terlebih dahulu, sehingga tidak terlalu besar peningkatan kadar asam total dan penurunan pHnya (deMan, 1997 dalam Purnama, 2007).

36.1.5. Nilai pH

pH merupakan faktor penting pertumbuhan mikrobia. Rerata pH bekasam ikan lele dumbo disajikan pada Grafik 5.

Keterangan : A1 = Tepung ketan A2 = Tepung meizena A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka A5 = Tepung beras

Grafik 5. Rerata pH bekasam ikan lele dumbo.

Berdasarkan hasil penelitian nilai pH ikan lele dumbo sebelum difermentasi adalah 6,90, setelah menjadi bekasam nilai pH berkisar antara 3,99-4,41. Penelitian Nirmala (2008), melaporkan bahwa pH bekasam ikan patin berkisar antara 4,45-3,92. hasil penelitian lain yang ditemukan Nurhayati (2000), pH bekasam ikan betok berkisar antara 6,40-4,00. Penelitian Setiadi (2001), pH bekasam ikan tawes berkisar antara 4,50-5,31.

Setelah proses fermentasi, pH produk bekasam mengalami penurunan. Hal ini diduga karena aktivitas mikrobia yang menghidrolisis tepung sehingga menghasilkan asam yang dapat menyebabkan penurunan pH. Menurut Pambayun dan Kurnia (1995) dalam Aryanto (2008), fermentasi menggunakan karbohidrat jenis metabolit yang dihasilkan pada bekasam ikan adalah bakteri asam laktat. Asam laktat akan meningkatkan kadar asam dan menurunkan nilai pH. Rendahnya nilai pH juga dapat mengakibatkan terhambatnya

4,41 4,38 4,36 4,31

3,99

3,73,83,9

44,14,24,34,44,5

A1 A2 A3 A4 A5

pH

Perlakuan

Page 113: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

112

pertumbuhan mikrobia terutama mikroorganisme patogen. Oleh sebab itu pH harus ditekan agar pertumbuhan mikroorganisme dapat dikendalikan.

Hasil analisis keragaman didapatkan perlakuan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap nilai pH bekasam ikan lele dumbo yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut BJND perlakuan A5 berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada A5, pH bekasam yang menggunakan bahan pencampur tepung beras lebih rendah dibanding dengan bekasam lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan amilopektin tepung beras yang lebih rendah dibanding perlakuan lainnya, sehingga bakteri asam laktat memerlukan waktu relatif lebih cepat untuk menghidrolisis menjadi asam laktat dan lebih cepat menurunkan pH bekasam (Nirmala, 2008).

36.2. Analisa Mikrobiologi

Total bakteri meliputi kandungan total bakteri asam laktat (BAL) dan (non BAL). Rerata jumlah bakteri bekasam ikan lele dumbo disajikan pada Grafik 6.

Keterangan : A1 = Tepung ketan A2 = Tepung meizena A3 = Tepung terigu A4 = Tepung tapioka A5 = Tepung beras

Grafik 6. Rerata jumlah bakteri bekasam ikan lele dumbo.

Berdasarkan hasil penelitian jumlah bakteri berkisar antara 3,4761-4,191 log cfu/ml. Jumlah total koloni bakteri tertinggi terdapat pada perlakuan A5 sedangkan terendah terdapat pada perlakuan A1. Jumlah bakteri bakteri mengalami peningkatan selama proses fermentasi. Hal ini diduga dengan adanya penambahan tepung akan membantu pertumbuhan yang baik bagi bakteri asam laktat karena tepung akan menjadi nutrisi sebagai substrat bagi pertumbuhan bakteri (Fardiaz, 1992).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pada perlakuan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh nyata pada taraf uji 5% terhadap jumlah bakteri bekasam ikan lele dumbo yang dihasilkan.

Dari uji lanjut BJND didapatkan perlakuan A5 berbeda nyata A1, A2 dan A3 tetapi tidak berpengaruh nyata dengan perlakuan A4. Hal ini diduga pada fase ini perkembangan jumlah bakteri sangat cepat karena nutrisi yang tersedia masih mencukupi kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Supardi dan Sukamto (1999), populasi mikroorganisme dipengaruhi oleh beberapa faktor interinsik dan eksterinsik. Faktor intrinsik seperti tersedia nutrient, pH dan aktifitas air sedangkan faktor ekstrinsik berupa zat penghambat dan suhu. Nutrient pada bekasam ikan adalah senyawa polisakarida yang terdapat pada tepung dan protein pada ikan dimana bakteri dapat tumbuh dan berkembang jika nutrisi yang dibutuhkan tersedia dengan baik.

3,461 3,576 3,637 3,987 4,191

0,0001,0002,0003,0004,0005,000

A1 A2 A3 A4 A5

jum

lah

ba

kter

i (lo

g

cfu

/ml)

Perlakuan

Page 114: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

113

37. Kesimpulan dan Saran

37.1. Kesimpulan

Penggunaan perbedaan sumber karbohidrat berpengaruh nyata terhadap pH, kadar asam total, kadar N-amino tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air dan kadar abu. Jumlah bakteri tertinggi didapat dari bekasam dengan penggunaan tepung beras dan terendah terdapat pada bekasam dengan penggunaan tepung ketan. Pada tepung yang memiliki amilosa yang lebih tinggi dan amilopektin yang lebih rendah bakteri lebih mudah memanfaatkannya sebagai media pertumbuhan Bakteri Asam Laktat (BAL) sehingga hasil fermentasinya lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Adawya, R. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara. Jakarta. Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1996. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Jakarta. Alam, N. 2007. Sifat fisikokimia dan sensoris instan starch noodle (ISN) pati aren pada

berbagai cara pembuatan. J. Agroland. Vol. 14 (4): 269-274. Association Official Analytical Chemist. 1995. Offical methods of an analysis. 15th edition.

Association of official analytical chemestry. Washington DC. United of America. Aryanto, Y. 2008. Karakteristik kimiawi mikrobiologi dan organoleptik bekasam dengan

perlakuan pra-fermentasi. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 65 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Astawan, M. 1999. Pengaruh konsentrasi garam dan lama fermentasi terhadap mutu bekasam kering dari ikan mas (Ciprinus carpio). Kumpulan jurnal teknologi pangan. Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia. Jakarta. Vol. II: 59-66.

Buckle, K.A., R.A. Edward., G.H. Fleet dan M Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan dari: Hari Purnomo dan Hadiono. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Borgstorm, G. 1969. Prinsiples of Food Science. Food Microbiology and Biochemestry. MacMillan Ltd. London. Vol. II: 56-61.

Chamidah, A., Yahya dan Kartikaningsih. 2000. Pengembangan makanan fermentasi Indonesia “bekasam ikan mujair” tinjauan aspek mikrobiologi kimia. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. 73 hlm. Malang. (tidak dipublikasikan)

Daulay, D. dan Rachman. 1992. Teknologi Fermentasi Sayuran dan Buah-buahan. PAU Pangan dan Gizi. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Desroiser, N.W. 2008. The Technology Of Food Chemestry. Diterjemahkan oleh Muchji Muljohardjo. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Ekspor 2008. (online). (http://statistik.dkp.go.id/download/ekspor2008.pdf, diakses tanggal 13 Juli 2010).

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Ginting, P. 2002. Mempelajari proses pembuatan kecap udang putih (Panaeus mergulensis)

secara fermentasi mikrobiologi. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. 73 hlm. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Hariyadi, R.D., N. Anjaya, Suliantari, Nuraida, Satiyawihardja. 1999. Teknologi Fermentasi.

Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hermansyah. 1999. Konsentrasi garam dan karbohidrat dan lama fermentasi terhadap mutu bekasam kering ikan mas (Ciprinus carpio). [Tesis S2]. Institut Pertanian Bogor 83 hlm. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Heryanti, U.D. 2007. Molase sebagai sumber alternatif dalam fermentasi bekasam. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 72 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Page 115: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

114

Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan Cara Mengolah dan Mengawetkan Secara Tradisional dan Modern. CV Aneka. Solo.

Kuswantono, K.R. dan Sudarmadji S. 1988. Proses-proses Mikrobiologi Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Penerbit Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Pratama, U.N. 2008. Pembuatan chips ikan gabus dan ikan patin dengan penambahan telur dan tepung ketan. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 65 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Pambayun, R.Y., Kurnia. 1995. Bekasam : makanan fermentasi tradisional Indonesia nilai gizi dan kajian manfaatnya. Kumpulan Jurnal Widya Karya Nasional Khasiat Makanan Tradisional. Vol. 13:417-421.

Purnama, D. 2007. Karakteristik kimia mikrobiologi bekasam dengan jenis ikan yang berbeda. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 77 hlm. Indralaya. (Tidak dipublikasikan).

Rachman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. PAU. Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Murtini, J. T. E.,Yulianah dan Nurjanah. 1997. Pengaruh starter bakteri asam laktat pada pembuatan bekasam ikan sepat rawa (Trichogaster trichopterus) terhadap mutu dan daya awetnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol III(2): 89-124.

Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Nirmala, I. 2008. Karakteristik bekasam ikan patin gula aren dengan penambahan tepung

beras dan tapioka dengan berbagai konsentrasi. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 70 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Nurhayati, C. 2000. Pengaruh konsentrasi Garam dan jenis ikan terhadap mutu bekasam. Dinamika Penelitian BIPA. Vol VIII. No 14. 9-15.

Nurmala, T. 1998. Serealia Sumber Karbohidrat. Rineka Cipta. Jakarta. Rahayu, E.S. 2000. Bakteri asam laktat dalam fermentasi dan pengawetan makanan.

Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Rahayu, W.P., Budiarto Suliantari dan Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk

Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Bina Cipta. Jakarta. Sastra, W. 2008. Fermentasi rusip. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. 64 hlm. Bogor. (tidak

dipublikasikan). Setiawati, L. 2004. Daya terima chips ikan nila dengan penambahan telur dan tepung.

[Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 60 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan). Setiadi, A.N. 2001. Mempelajari kegunaan cairan pikel ketimun sebagai sumber bakteri

asam laktat pada pembuatan bekasam ikan tawes (Puntius javanicus). [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. 80 hlm. Bogor. (tidak dipublikasikan).

Sudarmadji, S.B., Haryono dan Suhardi. 2003. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Supardi I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Alumni. Bandung

Sukarto. 1992. Penilaian Organoleptik. Penerbit Bhrata Karya Aksara Press. Yogyakarta. Suyanto, S dan N.Y. Rachmatun. 2007. Ikan Lele. Bina Cipta. Jakarta. Stanton, W.R. dan Q.L. Yeoh. 1978. Low salt fermentation method for concerving fresh

waste under south east asian condition. Malaysian Agricultural Research and Development Institute. Malaysia. 87 hlm. (unpublished).

Taufik, M. 2007. Karakteristik kimiawi, mikrobiologis dan organoleptik bekasam dengan

variasi konsentrasi penggaraman dan suhu fermentasi. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 70 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Wahyuni, D. 2004. Rusip nasi dan ikan serta lama pengeringan bekasam blok ikan sepat rawa (Trichogaster tricopterus). [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 97 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Page 116: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

115

Widiasari, I. 2004. Karakteristik chips pisang dari beberapa formulasi jumlah bubur pisang dan tepung terigu. [Skripsi]. Universitas Sriwijaya. 85 hlm. Indralaya. (tidak dipublikasikan).

Page 117: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

116

PEDOMAN BAGI PENULIS

1. Jurnal ilmiah bernama FishtecH merupakan jurnal yang memuat karya ilmiah berupa hasil

penelitian, studi kepustakaan, gagasan, aplikasi teori dan kajian kritis dibidang pengolahan hasil perikanan dan perairan secara luas

2. Naskah yang dikirim asli dan belum pernah dipublikasikan 3. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar dan Bahasa Inggris. 4. Naskah diketik dengan MS. word dalam 1 spasi margin 3 cm, kertas A4 font 11 arial, jumlah

naskah maksimal 20 halaman dan dikirim rangkap 3 beserta soft copynya. Penulis dapat mengirimkan naskah ke redaksi pelaksana: Program Studi THI Faperta Unsri, Jalan Palembang – Prabumulih KM. 32 Desa Timbangan, Kec. Indralaya Utara, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kode Pos: 30662 Tel / fax : 0711-580934, email: fishtechthi @ yahoo.co.id.

5. Dewan redaksi berhak menolak naskah yang dianggap tidak layak untuk diterbitkan.

NASKAH Judul Judul hendaknya tidak lebih dari 15 kata dan mencerminkan isi naskah, diikuti dengan nama penulis dan instansi penulis ditulis di bawah judul. Abstrak Dibuat dengan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris paling banyak 250 kata.

Kata Kunci Terdiri atas 4 samapi 6 kata ditulis dibawah Pendahuluan Secara ringkas mengurai masalah-masalah, tujuan, dan pentingnya penelitian.

Metode Penelitian Secara jelas dan ringkas menguraikan penelitian dengan rincian secukupnya sehingga memungkinkan peneliti lain untuk mengulangi penelitian yang terkait terdiri dari bahan, prosedur dan statistik

Hasil dan Bahasan Diuraikan secara jelas serta dibahas sesuai dengan topik atau permasalahan yang terkait dengan judul.

Kesimpulan

Disajikan secara ringkas dengan mempertimbangkan judul naskah, maksud, tujuan, serta hasil penelitian.

Persantunan Memuat judul kegiatan dan dana penelitian yang menjadi sumber penulisan naskah (bila ada)

Daftar Pustaka Disusun berdasarkan abjad tanpa nomor urut dengan urutan sebagai berikut. Nama pengarang (dengan cara penulisan yang baku), tahun penerbitan, judul artikel, judul baku atau nama dan nomor jurnal, penerbit dan kota, serta jumlah dan nomor halaman. Publikasi yang tidak diterbitkan tidak dapat digunakan, kecuali skripsi, tesis dan disertasi.

Tabel Disajikan dengan judul dibagian atas tabel dan keterangan di bawah tabel (keduanya ditulis rata table sebelah kiri) Gambar dan Grafik

Page 118: fishtech vol 1 nomor 01 tahun 2012

117

Skema, diagram alir, dan potret diberi nomor urut dengan angka arab. Judul dan keterangan gambar dan grafik diletakkan di bawah gambar dan grafik. Gambar, grafik, skema, diagram alir di pisahkan dengan naskah dalam file yang berbeda.