Ferdy 61744042 Referat SLE 2fgbcxh
description
Transcript of Ferdy 61744042 Referat SLE 2fgbcxh
Sistemik Lupus Eritematosus
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus
erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum
diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis
dan prognosisnya. Etiologinya sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun
diduga karena autoimmune, ultraviolet, obat-obatan, virus, hormonal, dan zat kimia.
Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan
gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE
merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia reproduksi.
Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses
patofisiologi. 1
Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara
9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus
SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data
epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan
cukup tinggi di Palembang.2
Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah
20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi
dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan
dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan
penyakit vascular aterosklerotik.3
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 1
Sistemik Lupus Eritematosus
BAB II
PEMBAHASAN
I. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang
terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri
yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang luas2.
II. ETIOLOGI
Penyebab dari SLE sendiri sebetulnya belum diketahui secara pasti, namun
diduga karena4
1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)
2. Cahaya matahari ( UV)
3. Stress
4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus,
klebsiella)
5. Obat – obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine,
Isoniazid
6. Zat kimia : merkuri dan silikon
7. Perubahan hormon
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 2
Sistemik Lupus Eritematosus
III. EPIDEMIOLOGI
Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik
utama di dunia5. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi
pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 -
400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa
negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua
usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi
pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara
(5,5-9) : 1. 6
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai
berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan
1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata
ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.7
Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000
perawatan (Purwanto, dkk). Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan
insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan).8
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 3
Sistemik Lupus Eritematosus
IV. PATOFISIOLOGI
Etiologi dan pathogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa pathogenesis SLE bersifat
multifactor dan ini mencakup factor genetic, lingkungan, dan hormonal terhadap
respon imun. Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu
yang mempunyai predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong
abnormal terhadap sel T CD4+ , mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap
self antigen. Sebagai akibatnya muncul sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupun
berupa sel memori. Pada SLE autoantibody yang terbentuk ditujukan terhadap
antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Kebanyakan di antaranya
dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks
protein RNA. Antibody ini dikenal sebagai ANA (anti nuclear antibody). Dengan
adanya antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar
dalam sirkulasi. Hal ini akan menyebabkan gangguan kompleks imun yaitu dapat
berupa terbentuknya deposit kompleks imun di luar system fagosit mononuclear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini akan
menghasilkan aktivasi komplemen yang menyebabkan timbulnya reaksi radang.
Reaksi radang ini menyebabkan timbulnya keluhan gejala pada organ atau tempat
yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit, dan lain sebagainya. Bagian
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 4
Sistemik Lupus Eritematosus
terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang
dalam keadaan normal mencegah autoimunitas2.
Gambar 1: patofisiologi SLE4
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 5
Sistemik Lupus Eritematosus
Gambar 2: patofisiologi dan Manifestasi klinis SLE6
V. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi konstitusional dapat berupa kelelahan, penurunan berat badan,
demam, mual-muntah, rambut rontok, sakit kepala, hilang nafsu makan1.
Manifestasi kulit berupa butterfly appearance. Manifestasi kulit yang lain
berupa lesi discoid, erythema palmaris,periungual erythema, alopesia. Mucous
membran lession cenderung muncul pada periode eksaserbasi pada 20% penderita
juga didapatkan fenomena Raynaud2.
Manifestasi gastrointestinal berupa nausea, diare, GIT discomfort. Gejala
menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobati dengan adekuat.
Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis dan arteritis pembuluh darah kecil
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 6
Sistemik Lupus Eritematosus
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis juga dapat
menimbulkan pankreatitis2.
Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia, myalgia, myopathi. Joint
symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita. Atritis
cenderung menjadi deformitas, dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan
pada pemeriksaan radiografi3.
Manifestasi ocular, termasuk conjungtivitis, fotofobia, transient atau
permanent monoocular blindness dan pandangan kabur. Pada pemeriksaan fundus
dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina (cytoid bodies) 1.
Manifestasi di jantung dapat berupa perikarditis, penyakit jantung koroner,
angina pectoris, gagal jantung kongestif, infark miokard, dan vaskulitis2
Manifestasi paru dapat terjadi berupa pneumonitis, emboli paru, hipertensi
pulmonal, perdarahan paru, shrinking lung syndrome2
Manifestasi renal umumnya tidak nampak sebelum terjadinya gagal ginjal
atau sindroma nefrotik. Dalam pemeriksaan biasanya ditemukan piuria,
proteinuria, peningkatan kadar serum kreatinin, eritrosit dalam urin2.
Manifestasi pada neuropsikiatrik biasanya ditemukan pada keterlibatan
susunan saraf pusat (SSP) dapat berupa hemiparesis, epilepsy, meningitis, dan lesi
saraf kranial2.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 7
Sistemik Lupus Eritematosus
Manifestasi hemi-limfatik dapat berupa anemia dan limfadenopati2
Gambar 3 : Manifestasi Klinis SLE7
Gambar 4: Butterfly Appeareance SLE8
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 8
Sistemik Lupus Eritematosus
VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Table 1: Hubungan antara Gambaran Klinis, Laboratorik, dan Patologik pada
pasien Lupus2
Mesangial Fokal
proliferatif
Difus
proliferatif
Membranous Tubulointersitial Infeksi Drug
induced
IIA IIB III IV V
Gejala - - - GG, SN SN - Disuria GG
Hipertensi - - + Sering Late onset Late onset Late
onset
-
Proteinuria
g/dl
- <1 <2 1-20 3,5-20 + + +
Hematuria
eri/LPB
- 5-
15
5-15 Banyak - + + -
Piuria
L/LPB
- 5-
15
5-15 Banyak - + Banyak -
Cetakan - + + Banyak - - - -
GFR N N 60-80 <60 N N N N
CH50 N +< < << N N N N
C3 N +< < << N N N N
Anti
dsDNA
N +< > >> N N N N
Kompleks
Imun
N +> > >> N N N N
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 9
Sistemik Lupus Eritematosus
Hematologi
Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia2.
Kelainan imunologi
Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor.
Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah
kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun
telah terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal
dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya
silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif2.
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College
of Rheumatology revisi tahun 1997.2
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 10
Sistemik Lupus Eritematosus
Table 2: Kriteria SLE tahun 1997 Revisi
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 11
Sistemik Lupus Eritematosus
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting dalam
penatalaksanaan pasien LES, terutama pasien yang baru terdiagnosis. Hal ini
dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada pasien atau dengan membetuk
kelompok pasien yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah
penyakitnya3.
Pilar Pengobatan
I. Edukasi dan konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungan sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi
mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit
dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya,
payung, atau topi. Karena infeksi sering terjadi pada pasien SLE, maka
pasien perlu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas
penyebabnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada pasien SLE
dengan nefritis atau pasien-pasien yang mendapat obat berupa
kontraindikasi terhadap kehamilan. Sebelum diberikan pengobatan, harus
diputuskan terlebih dahulu apakah pasien tergolong yang memerlukan
terapi konservatif atau agresif4.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 12
Sistemik Lupus Eritematosus
Terapi konservatif
a. Artritis, artralgia, mialgia. Merupakan keluhan yang paling sering
dijumpai pada pasien SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan
analgetik sementara atau obat antiinflamasi non-steroid. Bila obat-
obatan tersebut tidak memberikan respon yang baik, dapat
dipertimbangkan pemberian obat antimalaria misalnya
hidroksiklorokuin 400mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini
tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pada beberapa
pasien yang tidak menunjukkan respon adekuat dengan pemberian
analgetik/NSAID/antimalaria dapat dipertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah5
b. Lupus kutaneus. Sekitar 70% pasien SLE akan mengalami
fotosensitivitas. Eksaserbasi akut dapat timbul pada pasien yang
terpapar sinar ultraviolet, sinar infrared, sinar panas, dan lain
sebagainya. Pasien dengan fotosensitivitas harus berlindung terhadap
paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,
menghindari paparan langsung, dan menggunakan sunscreen.
Glukokortikoid topikal dapat digunakan untuk terapi dermatitis lupus.
Pemilihan preparat topikal harus hati-hati karena glukokortikoid
topikal terutama yang diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,
telangiektasia, dan depigmentasi. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaan steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi
misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit badan dan lengan dapat
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 13
Sistemik Lupus Eritematosus
digunakan steroid topikal berkekuatan sedang misalnya betametason
valerat dan triamsinolon asetonid. Obat antimalaria sangat bagus untuk
megatasi lupus kutaneus, karena memiliki efek sunblocking,
antiinflamasi, dan imunosupresan3
Terapi agresif
a. Dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi bila
manifestasi SLE serius dan mengancam nyawa. Pada manifestasi
minor SLE dapat diberikan 0,5 mg/KgBB.hari, sedangkan pada
manifestasi mayor dan serius dapat diberikan 1-1,5
mg/KgBB/haripemebrian bolus metilpredinisolon IV 1 gram atau
15 mg/KgBB.hari selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai
pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan
dengan prednison oral 1-1,5mg/KgBB/hari. Setelah pemberian
glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, makan harus
dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10%
setiap minggu bila tidak menimbulkan eksaserbasi akut. Setelah
dosis prednison mencapai 30 mg/hari, makan penurunan dosis
dilakukan 2,5.g/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-
15mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1mg/minggu. Bila timbul
eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif
sebelumnya sampai beberapa minggu, kemudian dicoba diturunkan
kembali. Bila setelah 4 minggu pemberian glukokortikoid dosis
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 14
Sistemik Lupus Eritematosus
tinggi tidak memberikan respon, makan perlu dipertimbangkan
pemberian imunosupresan/terapi agresif lainnya4.
b. Bolus siklofosfamida intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 250 ml Nacl
0,9% selama 60 menit diikuti pemberian cairan 2-3 liter/24 jam
setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi
SLE. Siklofosfamida diindikasi pada
a. Pasien SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi
b. Pasien SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis
tinggi
c. Pasien SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid
jangka lama atau berulang
d. Glomerulonefritis difus awal
e. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid
f. Penurunan GFR atau peningkatan kreatinin serum tanpa
adanya faktor-faktor ekstrarenal lainnya
g. SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat
Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea, vomitus, alopesia,
cystitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium,
dan azoospermia3
c. Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamida dengan dosis 1-3 mg/KgBB/hari
dan diberikan secara oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12
bulan pada pasien SLE, setelah penyakitnya dapat dikontrol dan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 15
Sistemik Lupus Eritematosus
dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprin
juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya
terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan
sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati, dan mencetuskan
keganasan6.
d. Siklosporin A dosis rendah (3-6mg/kgBB/hari) dan mofetil
mikofenolat7.
e. Pemberian imunoglobulin, hormonal, dan afaresis8
f. Terapi pada keadaan khusus2
1. Trombosis pada SLE heparin
2. Abortus berulang pada SLE kombinasi aspirin dan
glukokortikoid dosis tinggi
3. Lupus neonatal
4. Trombositopenia pada SLE prednison
0,5-1mg/KgBB/hari selama 3-4 minggu, bila jumlah
trombosit <50000, maka dosis prednison diturunkan
bertahap
5. SLE pada SSP antikoagulan, imunosupresan,
antikonvulsan
6. Nefritis lupus biopsi ginjal, kurangi asupan garam,
lemak, protein, beri loop diuretic, obati hipertensi,
hindari kehamilan
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 16
Sistemik Lupus Eritematosus
X. KOMPLIKASI
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati,
transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari
obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan
menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis
steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan2.
Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.
Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal
bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis
membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan
asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin
sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam
kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa
sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik3.
XI. PROGNOSIS
Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE
kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama7
Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik8.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 17
Sistemik Lupus Eritematosus
BABIV
KESIMPULAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi
karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan
dengan manifestasi klinik yang luas.2
Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki
antara 9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta,
didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi6.
Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia,
namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang.7 Survival rate SLE
berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita
SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas
penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit
vascular aterosklerotik.8
Etiologi dan pathogenesis SLE masih belum diketahui dengan
jelas.Meskipun demikian, terdapat banyak bukti bahwa pathogenesis SLE bersifat
multifactor dan ini mencakup factor genetic, lingkungan, dan hormonal terhadap
respon imun. Adanya satu atau beberapa factor pemicu yang tepat pada individu
yang mempunyai predisposisi genetic akan menghasilkan tenaga pendorong
abnormal terhadap sel T CD4+ , mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 18
Sistemik Lupus Eritematosus
self antigen. Sebagai akibatnya muncul sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibody maupun
berupa sel memori2.
Manifestasi klinis dapat berupa manifestasi konstitusional, manifestasi
kulit, gastrointestinal, musculoskeletal, ocular, jantung, paru, renal, neuro-
psikiatrik, dan hemilimfatik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan criteria SLE revisi
tahun 19972.
Penatalaksanaan pasien SLE dapat dilakukan dengan cara, edukasi
mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit dari
paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung, atau
topi. Karena infeksi sering terjadi pada pasien SLE, maka pasien perlu diingatkan
bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya. Pengaturan kehamilan
sangat penting pada pasien SLE dengan nefritis atau pasien-pasien yang mendapat
obat berupa kontraindikasi terhadap kehamilan. Sebelum diberikan pengobatan,
harus diputuskan terlebih dahulu apakah pasien tergolong yang memerlukan
terapi konservatif atau agresif1.
Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa
psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati,
transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari
obat kortikosteroid. Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal
kronik. Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan3.
Perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 19
Sistemik Lupus Eritematosus
yang lama7. Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat
baik8.
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 20
Sistemik Lupus Eritematosus
DAFTAR PUSTAKA
.
1. Ganang, Karnen. Sistemik Lupus Eritematosus. Dalam Imunologi Dasar Edisi 6.
FKUI, Jakarta: 2004, h.234-236
2. Isbagio Harry, Albar Zuljasri, Yoga, Bambang. Lupus Eritematosus
Sistemik. Dalam Sudoyo Aru, dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai
Penerbit FK UI Jakarta; 2006. h.1214-1221
3. Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15th Edition; Volume 2; page 1922-
1928.
4. SLE., diunduh tanggal 18 April 2012. Dari www.scribd.com/doc/32209242/ SLE
5. SLE-2. diunduh tanggal 18 April 2012 Dari
www.scribd.com/deftipamungkas/d/61744042-Referat-SLE-2
6. American college of rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus
erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999; 42(9): 1785-96
7. SLE epidemiologi. diunduh tanggal 18 April 2012. Dari www.fkui.ac.id
8 Diagnosa dan Penatalaksanaan SLE, diunduh tanggal 18 April 2012. Dari:
internershs.com/home3/index.php?option=com_content
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam – RSUD Ketileng SemarangPeriode 12 Maret 2012 – 19 Mei 2012 Page 21