Feature Dimas
description
Transcript of Feature Dimas
Tak “semanis” Jadah Tempe
Oleh : Dimas Triambodo
“Monggo mas, dicoba dulu. Manis kok.. ” ujar seorang perempuan, sembari
menyodorkan sebuah jadah dan tempe beralaskan plastik. Lalu ia tersenyum hangat. Setelah
mengucap terima kasih, dengan sigap kuterima jadah dan tempe tersebut. Perempuan itu
bukan sedang berbaik hati berbagi makanan. Tapi ia sedang “merayu” agar saya mau membeli
jajanannya.
Namanya Wanti, Umurnya 60 tahun. Ia adalah salah satu penjaja makanan di Telogo
Putri, tempat wisata andalan di kawasan Kaliurang, Yogyakarta. Sore itu Jumat 11 Januari 2013,
hujan sedang mengguyur Telogo Putri. Suasana nampak sepi. Pengunjung yang terlihat hanya
segelitir orang. Sisanya adalah pedagang makanan dan para sales/sopir jip yang lalu lalang
menembus hujan. Cuaca memang tak bersahabat kala itu. Hampir satu jam berlalu hujan tak
jua berhenti.
Di sebuah petak terbuka beratapkan seng. Ia menggelar lapak dagangan bersama 2
penjaja jadah lain, yakni Menok dan Marfuah. Untuk ukuran lokasi dagang, petak itu terasa
sempit. Hanya berukuran 2 x 4 meter. Sehingga dalam berjualan Wanti terpaksa berhimpit -
himpitan dengan kedua rekan sesama pedagang tersebut. Ia juga menuturkan, jika dulu atap
petaknya sering bocor saat hujan. Beberapa kali ia melayangkan keluhan kepada pengelola,
namun diabaikan. Sampai-sampai ia harus memperbaikinya sendiri. “Kalo laporan ya paling
jawabnya kapan-kapan mas..” kata Wanti dengan tawa kecil.
Lokasi yang ia tempati juga tak gratis. Setiap bulannya ia wajib membayar 34 ribu. Tapi
hal itu tak ditanggung sendiri, melainkan bersama Menok dan Marfuah. Bagi Wanti, Menok dan
Marfuah, sudah seperti saudara. Hampir tiap hari bertemu saat berjualan dan kebetulan
menjajakan makanan yang sama.
Anak pertama dari 10 bersaudara ini seorang diri saat berjualan. Ia tak ditemani oleh
suami atau anaknya. Sang suami telah meninggal. Beberapa hari yang lalu adalah seribu hari
sang suami. Belum sempat menanyakan sebab meninggal suami, dengan cepat Ia melanjutkan
ceritanya.
“Bapak sebelumnya pernah kawin lagi” tutur Wanti dengan mata terlihat berkaca-kaca.
Itulah alasan mengapa ia harus menghidupi anaknya sendirian.
Anak lelaki satu-satunya telah menikah dan bekerja sebagai sales jip. Pekerjaannya
adalah mencari penumpang yang mau berkeliling kawasan Kaliurang menggunakan mobil Jip.
Anak lelakinya juga yang setiap hari mengantar – jemput Wanti saat berdagang.
Wanti bukan seorang pendatang. Ia mengaku asli warga Kaliurang. Jarak rumahnya tak
sampai satu kilometer dari Telogo Putri. Sudah 15 tahun Wanti menggantungkan hidup dengan
bekerja sebagai Penjaja Jadah Tempe. Sebelumnya, pekerjaan Wanti hanyalah ngarit (mencari
rumput) untuk ternak sapinya. Namun karena sapinya telah dijual. Ia memilih berjualan Jadah
Tempe.
Ditengah hujan yang makin deras, Wanti mempersilahkan saya duduk sambil mencicip
jajanannya.
“Manis njih Bu’. Pakai gula jawa ya ?” Selorohku
“Injih mas. Manteb to?” ujar Wanti, sambil berkelakar.
Jadah Tempe Wanti memang seketika mengobati kerinduan akan rasa khas jadah.
Karena pakai gula jawa, manis di Tempe bacem terasa alami, bukan rasa seribu manis. Jadah
dan tempe ia buat sendiri. Ia berkata jika dirinya punya resep tersendiri warisan orang tuanya
dalam membuat jadah tempe.
Wanti mengaku kebanyakan pembeli Jadah tempe adalah orang jawa, jarang sekali
pembelinya adalah orang dari luar jawa. Menurutnya, hal itu karena orang luar jawa mungkin
belum terbiasa makan makanan orang jawa.
Jajanan yang dijual Wanti tak hanya jadah dan tempe, tapi juga tahu, kerupuk, wajik.
Jajanannya tak hanya dijual di Telogo Putri, tapi juga dirumah. Jika sedang musim liburan,
dagangan miliknya bisa laku habis terjual karena ramainya pengunjung. Akan tetapi jika bukan
musim liburan seperti saat ini, ia hanya bisa menjual beberapa kilo jadah. Walau begitu ia tetap
bersyukur. Bagi dia asal sudah bisa memenuhi kebutuhan itu sudah cukup.
Obrolan belum berhenti, Hampir satu jam semenjak hujan turun sampai sudah reda.
Saya masih duduk di samping Wanti. Ia sangat terbuka dengan kehadiran saya. Bahkan saya
sempat menjadi objek promosi dagangnya.
“Monggo mbak jadah tempenya, yang jualan mas disamping saya ini loo” teriak Wanti
kepada sepasang muda-mudi yang sedang melintas didepan lapaknya.
Tak ayal muda-mudi itupun tertawa geli melihat kearah kami. Spontan muka saya pun
memerah. Menok dan Maimunah juga tak bisa menahan gelak tawanya. Keduanya ikut-ikutan
menertawai.
Melihat bukit yang rimbun dibelakang Lapak Wanti. Saya iseng bertanya.
“Apa tidak takut longsor bu? Ujar saya”
“Oh ndak mas, yang saya khawatirkan malah kalo ada gerombolan monyet yang turun
dari bukit” ucapnya.
Salah satu daya tarik tempat wisata Telogo Putri adalah banyaknya monyet yang
berkeliaran. Biasanya gerombolan monyet ini turun dari bukit guna mencari makan. Wanti
punya cerita sendiri terhadap para gerombolan monyet tersebut. Salah satunya tentang
dagangan Wanti yang sering diambil oleh gerombolan monyet. Hingga wanti memutuskan
memberi sebungkus jadah kepada para monyet, saat mereka menyerbu lapak Wanti. Pedagang
lain pun tak kalah sibuk saat para monyet turun. Pedagang lain juga terkena serbuan para
monyet. Yang lucu kata Wanti, monyet tersebut saat mengambil minuman, tak mau cuman air
putih, tapi yang milih yang berwarna.
Hari makin sore. Wanti tetap setia menunggu lapaknya. Percakapan tentang para
monyet tadi telah menjadi penutup percakapan kami. Setelah membeli sebungkus Jadah
Tempe, saya pergi meninggalkan Wanti.
Walau manisnya Jadah Tempe buatannya tak “semanis” cerita hidupnya. Namun, Wanti
adalah potret wanita tangguh di negeri ini.