Feature Dimas

6
Tak “semanis” Jadah Tempe Oleh : Dimas Triambodo “Monggo mas, dicoba dulu. Manis kok.. ” ujar seorang perempuan, sembari menyodorkan sebuah jadah dan tempe beralaskan plastik. Lalu ia tersenyum hangat. Setelah mengucap terima kasih, dengan sigap kuterima jadah dan tempe tersebut. Perempuan itu bukan sedang berbaik hati berbagi makanan. Tapi ia sedang “merayu” agar saya mau membeli jajanannya. Namanya Wanti, Umurnya 60 tahun. Ia adalah salah satu penjaja makanan di Telogo Putri, tempat wisata andalan di kawasan Kaliurang, Yogyakarta. Sore itu Jumat 11 Januari 2013, hujan sedang mengguyur Telogo Putri. Suasana nampak sepi. Pengunjung yang terlihat hanya segelitir orang. Sisanya adalah pedagang makanan dan para sales/sopir jip yang lalu lalang menembus hujan. Cuaca memang tak bersahabat kala itu. Hampir satu jam berlalu hujan tak jua berhenti. Di sebuah petak terbuka beratapkan seng. Ia menggelar lapak dagangan bersama 2 penjaja jadah lain, yakni Menok dan Marfuah. Untuk ukuran lokasi dagang, petak itu terasa sempit. Hanya berukuran 2 x 4 meter. Sehingga dalam berjualan Wanti terpaksa berhimpit - himpitan dengan kedua rekan sesama pedagang tersebut.

description

vcv

Transcript of Feature Dimas

Page 1: Feature Dimas

Tak “semanis” Jadah Tempe

Oleh : Dimas Triambodo

“Monggo mas, dicoba dulu. Manis kok.. ” ujar seorang perempuan, sembari

menyodorkan sebuah jadah dan tempe beralaskan plastik. Lalu ia tersenyum hangat. Setelah

mengucap terima kasih, dengan sigap kuterima jadah dan tempe tersebut. Perempuan itu

bukan sedang berbaik hati berbagi makanan. Tapi ia sedang “merayu” agar saya mau membeli

jajanannya.

Namanya Wanti, Umurnya 60 tahun. Ia adalah salah satu penjaja makanan di Telogo

Putri, tempat wisata andalan di kawasan Kaliurang, Yogyakarta. Sore itu Jumat 11 Januari 2013,

hujan sedang mengguyur Telogo Putri. Suasana nampak sepi. Pengunjung yang terlihat hanya

segelitir orang. Sisanya adalah pedagang makanan dan para sales/sopir jip yang lalu lalang

menembus hujan. Cuaca memang tak bersahabat kala itu. Hampir satu jam berlalu hujan tak

jua berhenti.

Di sebuah petak terbuka beratapkan seng. Ia menggelar lapak dagangan bersama 2

penjaja jadah lain, yakni Menok dan Marfuah. Untuk ukuran lokasi dagang, petak itu terasa

sempit. Hanya berukuran 2 x 4 meter. Sehingga dalam berjualan Wanti terpaksa berhimpit -

himpitan dengan kedua rekan sesama pedagang tersebut. Ia juga menuturkan, jika dulu atap

petaknya sering bocor saat hujan. Beberapa kali ia melayangkan keluhan kepada pengelola,

namun diabaikan. Sampai-sampai ia harus memperbaikinya sendiri. “Kalo laporan ya paling

jawabnya kapan-kapan mas..” kata Wanti dengan tawa kecil.

Lokasi yang ia tempati juga tak gratis. Setiap bulannya ia wajib membayar 34 ribu. Tapi

hal itu tak ditanggung sendiri, melainkan bersama Menok dan Marfuah. Bagi Wanti, Menok dan

Page 2: Feature Dimas

Marfuah, sudah seperti saudara. Hampir tiap hari bertemu saat berjualan dan kebetulan

menjajakan makanan yang sama.

Anak pertama dari 10 bersaudara ini seorang diri saat berjualan. Ia tak ditemani oleh

suami atau anaknya. Sang suami telah meninggal. Beberapa hari yang lalu adalah seribu hari

sang suami. Belum sempat menanyakan sebab meninggal suami, dengan cepat Ia melanjutkan

ceritanya.

“Bapak sebelumnya pernah kawin lagi” tutur Wanti dengan mata terlihat berkaca-kaca.

Itulah alasan mengapa ia harus menghidupi anaknya sendirian.

Anak lelaki satu-satunya telah menikah dan bekerja sebagai sales jip. Pekerjaannya

adalah mencari penumpang yang mau berkeliling kawasan Kaliurang menggunakan mobil Jip.

Anak lelakinya juga yang setiap hari mengantar – jemput Wanti saat berdagang.

Wanti bukan seorang pendatang. Ia mengaku asli warga Kaliurang. Jarak rumahnya tak

sampai satu kilometer dari Telogo Putri. Sudah 15 tahun Wanti menggantungkan hidup dengan

bekerja sebagai Penjaja Jadah Tempe. Sebelumnya, pekerjaan Wanti hanyalah ngarit (mencari

rumput) untuk ternak sapinya. Namun karena sapinya telah dijual. Ia memilih berjualan Jadah

Tempe.

Ditengah hujan yang makin deras, Wanti mempersilahkan saya duduk sambil mencicip

jajanannya.

“Manis njih Bu’. Pakai gula jawa ya ?” Selorohku

“Injih mas. Manteb to?” ujar Wanti, sambil berkelakar.

Jadah Tempe Wanti memang seketika mengobati kerinduan akan rasa khas jadah.

Karena pakai gula jawa, manis di Tempe bacem terasa alami, bukan rasa seribu manis. Jadah

dan tempe ia buat sendiri. Ia berkata jika dirinya punya resep tersendiri warisan orang tuanya

dalam membuat jadah tempe.

Page 3: Feature Dimas

Wanti mengaku kebanyakan pembeli Jadah tempe adalah orang jawa, jarang sekali

pembelinya adalah orang dari luar jawa. Menurutnya, hal itu karena orang luar jawa mungkin

belum terbiasa makan makanan orang jawa.

Jajanan yang dijual Wanti tak hanya jadah dan tempe, tapi juga tahu, kerupuk, wajik.

Jajanannya tak hanya dijual di Telogo Putri, tapi juga dirumah. Jika sedang musim liburan,

dagangan miliknya bisa laku habis terjual karena ramainya pengunjung. Akan tetapi jika bukan

musim liburan seperti saat ini, ia hanya bisa menjual beberapa kilo jadah. Walau begitu ia tetap

bersyukur. Bagi dia asal sudah bisa memenuhi kebutuhan itu sudah cukup.

Obrolan belum berhenti, Hampir satu jam semenjak hujan turun sampai sudah reda.

Saya masih duduk di samping Wanti. Ia sangat terbuka dengan kehadiran saya. Bahkan saya

sempat menjadi objek promosi dagangnya.

“Monggo mbak jadah tempenya, yang jualan mas disamping saya ini loo” teriak Wanti

kepada sepasang muda-mudi yang sedang melintas didepan lapaknya.

Tak ayal muda-mudi itupun tertawa geli melihat kearah kami. Spontan muka saya pun

memerah. Menok dan Maimunah juga tak bisa menahan gelak tawanya. Keduanya ikut-ikutan

menertawai.

Melihat bukit yang rimbun dibelakang Lapak Wanti. Saya iseng bertanya.

“Apa tidak takut longsor bu? Ujar saya”

“Oh ndak mas, yang saya khawatirkan malah kalo ada gerombolan monyet yang turun

dari bukit” ucapnya.

Salah satu daya tarik tempat wisata Telogo Putri adalah banyaknya monyet yang

berkeliaran. Biasanya gerombolan monyet ini turun dari bukit guna mencari makan. Wanti

punya cerita sendiri terhadap para gerombolan monyet tersebut. Salah satunya tentang

dagangan Wanti yang sering diambil oleh gerombolan monyet. Hingga wanti memutuskan

memberi sebungkus jadah kepada para monyet, saat mereka menyerbu lapak Wanti. Pedagang

lain pun tak kalah sibuk saat para monyet turun. Pedagang lain juga terkena serbuan para

Page 4: Feature Dimas

monyet. Yang lucu kata Wanti, monyet tersebut saat mengambil minuman, tak mau cuman air

putih, tapi yang milih yang berwarna.

Hari makin sore. Wanti tetap setia menunggu lapaknya. Percakapan tentang para

monyet tadi telah menjadi penutup percakapan kami. Setelah membeli sebungkus Jadah

Tempe, saya pergi meninggalkan Wanti.

Walau manisnya Jadah Tempe buatannya tak “semanis” cerita hidupnya. Namun, Wanti

adalah potret wanita tangguh di negeri ini.