Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

30
Demam Berdarah Dengue Fardiansyah (NIM 102013199) Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : [email protected] Abstrak :. Demam berdarah dengue adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh virus dengue. Gejalanya meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, dan ruam kulit yang khas yang mirip dengan campak. Dengue yang ditularkan oleh beberapa jenis nyamuk Aedes dalam genus, terutama A.aegypti. Virus ini memiliki lima jenis yang berbeda; Infeksi dengan satu jenis biasanya memberikan kekebalan seumur hidup terhadap jenis itu, tetapi hanya imunitas jangka pendek untuk orang lain. Karena tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial, pencegahan dicari dengan mengurangi habitat dan jumlah nyamuk dan membatasi paparan gigitan. Pengobatan demam berdarah akut mendukung, baik menggunakan rehidrasi oral atau intravena untuk penyakit ringan atau sedang, dan cairan intravena dan transfusi darah untuk kasus yang lebih parah. Kata kunci : Demam Berdarah Dangue(DBD), A.aegypti Abstrak : Dengue fever also known as breakbone fever, is a mosquito- borne tropical disease caused by the dengue virus. Symptoms include fever, headache, muscle and joint pains, and a characteristic skin rash that is similar to measles. Dengue is transmitted by several species of mosquito within the genus Aedes, principally A. aegypti. The virus has five different types; infection with one type usually gives lifelong immunity to that type, but only short-term immunity to the others. As there is no commercially available vaccine, prevention is sought by reducing the habitat and the number of mosquitoes and limiting exposure to bites. Treatment of acute dengue is supportive, using either oral or intravenous rehydration for mild or moderate disease, and intravenous fluids and blood transfusion for more severe cases. Keywords: Dangue, A.aegypti, Pendahuluan 1

description

12

Transcript of Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Page 1: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Demam Berdarah Dengue

Fardiansyah

(NIM 102013199)

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

No. Telp (021) 5694-2061, e-mail : [email protected]

Abstrak :. Demam berdarah dengue adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh virus dengue. Gejalanya meliputi demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, dan ruam kulit yang khas yang mirip dengan campak. Dengue yang ditularkan oleh beberapa jenis nyamuk Aedes dalam genus, terutama A.aegypti. Virus ini memiliki lima jenis yang berbeda; Infeksi dengan satu jenis biasanya memberikan kekebalan seumur hidup terhadap jenis itu, tetapi hanya imunitas jangka pendek untuk orang lain. Karena tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial, pencegahan dicari dengan mengurangi habitat dan jumlah nyamuk dan membatasi paparan gigitan. Pengobatan demam berdarah akut mendukung, baik menggunakan rehidrasi oral atau intravena untuk penyakit ringan atau sedang, dan cairan intravena dan transfusi darah untuk kasus yang lebih parah.

Kata kunci : Demam Berdarah Dangue(DBD), A.aegypti

Abstrak : Dengue fever also known as breakbone fever, is a mosquito-borne tropical disease caused by the dengue virus. Symptoms include fever, headache, muscle and joint pains, and a characteristic skin rash that is similar to measles. Dengue is transmitted by several species of mosquito within the genus Aedes, principally A. aegypti. The virus has five different types; infection with one type usually gives lifelong immunity to that type, but only short-term immunity to the others. As there is no commercially available vaccine, prevention is sought by reducing the habitat and the number of mosquitoes and limiting exposure to bites. Treatment of acute dengue is supportive, using either oral or intravenous rehydration for mild or moderate disease, and intravenous fluids and blood transfusion for more severe cases.

Keywords: Dangue, A.aegypti,

Pendahuluan

Pada negara tropis yang curah hujannya cukup banyak seperti Indonesia, saat

peralihan dari musin hujan kemusim panas banyak terdapat genangan-genangan air.

Lingkungan genangan air ini merupakan sarana tempat berkembangnya jentik nyamuk,

diantaranya nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue. Demam berdarah

dengue (DBD) menjadi masalah utama kesehatan, hal ini bukan hanya di Indonesia tetapi di

juga diseluruh negara di Asia Tenggara. Demam berdarah dengue, suatu penyakit demam

berat yang sering mematikan, disebabkan oleh virus, ditandai oleh gangguan permeabilitas

1

Page 2: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

kapiler, dan hemostasis tubuh, dan pada kasus berat menyebabkan sindrom syok kehilangan

protein.

Selama tiga sampai lima tahun terakhir jumlah kasus DBD telah meningkat sehingga

Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis1. Sejak tahun 1956 sampai 1980 di seluruh

dunia kasus DBD yang memerlukan rawat inap mencapai 350 000 kasus per tahun sedang

yang meninggal dilaporkan hampir mencapai 12 000 kasus . Penyakit ini disebabkan oleh

virus dengue yang merupakan anggota genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Terdapat

4 serotipe virus dengue yang disebut DEN-1, DEN-2, dan DEN-3. Oleh karena ditularkan

melalui gigitan artropoda maka virus dengue termasuk arbovirus. Vektor DBD yang utama

adalah nyamuk Aedes aegypti.1

Anamnesis

Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara

melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau

dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan

wawancara biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan

pengetahuan tentang penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya

suatu penyakit serta bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien. Berdasarkan

anamnesis yang baik dokter akan menentukan beberapa hal mengenai hal-hal berikut.

1. Penyakit atau kondisi yang paling mungkin mendasari keluhan pasien (kemungkinan

diagnosis)

2. Penyakit atau kondisi lain yang menjadi kemungkinan lain penyebab munculnya

keluhan pasien (diagnosis banding)

3. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit tersebut (faktor

predisposisi dan faktor risiko)

4. Kemungkinan penyebab penyakit (kausa/etiologi)

5. Faktor-faktor yang dapat memperbaiki dan yang memperburuk keluhan pasien (faktor

prognostik, termasuk upaya pengobatan)

6. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medis yang diperlukan untuk

menentukan diagnosisnya.

2

Page 3: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Berdasarkan anamnesa, pasien seorang perempuan 25 tahun demam sejak 5 hari

yang lalu, demam tinggi dengan intesitas naik turun dan timbul mendadak, disertai

dengan mual, pegal-pegal, dan mimisan 1 hari yang lalu.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan tanda-tanda vital selalu dijalankan pertama

kali untuk mendapatkan suhu badan pasien, tekanan darah dan frekuensi pernafasan serta

bilangan denyut nadi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan:

Kesadaran :Compos mentis

Keadaan umum :Sakit sedang

Tekanan darah :110/80 mmhg

Suhu :37,5○C

Nadi :96x/menit

Pernafasan :20x/menit

Rumple leed test :(+) positif

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil:

Trombosit :80.000/uL

Hemoglobin :12 gram/dL

Hematokrit :40%

Leukosit :6.000 sel/mm3

Working Diagnosis

Diagnosis demam berdarah biasa dilakukan secara klinis. Penyakit ini ditunjukkan

melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan

otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri

merah terang dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada beberapa pasien, ia

menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut bisa juga

muncul dengan kombinasi sakit di perut, rasa mual, muntah-muntah atau diare.2

3

Page 4: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Demam berdarah umumnya lamanya sekitar enam atau tujuh hari dengan puncak

demam yang lebih kecil terjadi pada akhir masa demam. Gejala klinis demam berdarah

menunjukkan demam yang lebih tinggi, pendarahan, trombositopenia dan

hemokonsentrasi . Sejumlah kecil kasus bisa menyebabkan sindrom shock dengue yang

mempunyai tingkat kematian tinggi.

Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa demam disertai Ruam-ruam

makulopapular. Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam

ringan atau demam tinggi (>39 derajat C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari,

disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan

ruam-ruam. Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-

bintik perdarahan di farings dan konjungtiva.2

Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang

rusuk kanan dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang demam mencapai 40-410C dan terjadi

kejang demam pada bayi. Perlu diperhatikan bahwa terjangkitnya Demam Berdarah

Dengue tidak selalu ditandai dengan munculnya bintik-bintik merah pada kulit.

Mendiagnosis secara dini dapat mengurangi resiko kematian dari pada menunggu akut.

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala

prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tukang belakang, dan persaaan lelah.

Demam berdarah dengue (DBD). Berdasarkan criteria WHO tahun 1997 diagnosis

ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi:1,3

Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

Terdapat minimal 1 dari manisvestasi pendarahan berikut:

- Uji bendung positif

- Petekie, ekimosis, purpura.

- Perdarahan mukosa ( tersering epitaksis, atau pendarahan gusi), pendarahan dari

tempat lain

- Hematemesis atau melena

Trombositoprenia (jumlah trombosit < 100.000/mikroliter)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut:

- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis

kelamin.

4

Page 5: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan

niali hematokrit sebelumnya.

- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Differential Diagnosis

1. Demam Tifoid

Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala

serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala,

pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak

enak di perut, batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu

tubuh meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada

sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas

berupa demam, bradikardia relative, lidah yang berselaput, hepatomegali,

splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,

delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang Indonesia.

2. Malaria

Malaria mempunyai gambaran karateristik demam periodic, anemia dan

splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan

prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit

kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam

ringan anoreksia, perut tak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin.

Gejala yang klasik yaitu terjadinya “Trias Malaria” secara berurutan: periode dingin

(15-60 menit): mulai menggigil, diikuti dengan periode panas: penderita muka

merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan

keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat: penderita berkeringat banyak

dan temperature turun, dan penderita merasa sehat. Anemia dan splenomegali juga

merupakan gejala yang sering dijumpai pada malaria.

3. Chikungunya

Chikungunya adalah suatu infeksi arbovirus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes

aegypti. Penyakit ini terdapat di daerah tropis, khususnya di perkotaan wilayah

5

Page 6: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Asia, India, dan Afrika Timur. Masa inkubasi diantara 2-4 hari dan bersifat self-

limiting dengan gejala akut (demam onset mendadak (>40°C,104°F), sakit kepala,

nyeri sendi (sendi-sendi dari ekstrimitas menjadi bengkak dan nyeri bila diraba),

mual, muntah, nyeri abdomen, sakit tenggorokan, limfadenopati, malaise, kadang

timbul ruam, perdarahan juga jarang terjadi) berlangsung 3-10 hari. Gejala diare,

perdarahan saluran cerna, refleks abnormal, syok dan koma tidak ditemukan pada

chikungunya. Sisa arthralgia suatu problem untuk beberapa minggu hingga

beberapa bulan setelah fase akut. Kejang demam bisa terjadi pada anak. Belum ada

terapi spesifik yang tersedia, pengobatan bersifat suportif untuk demam dan nyeri

(analgesik dan antikonvulsan). 4,5

Epidemiologi

Demam berdarah dengue tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan subtropics,

khususnya di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Perang dunia II

menimbulkan penyebaran dengue dan Asia Tenggara ke Jepang dan kepulauan Pasifik.

Selama 20 tahun terakhir, endemic dengue telah menimbulkan masalah di Amerika.

Pada tahun 1995, lebih dari 200.000 kasus demam dengue dan lebih dari 5.500 kasus

demam berdarah dengue terjadi di Amerika selatan dan tengah. Diperkirakan sekitar 50 juta

atau lebih kasus dengue terjadi setiap tahun di seluruh dunia dengan 400.000 kasus demam

berdarah dengue. Kasus demam berdarah dengue merupakan penyebab utama kematian

pada anak di beberapa negara di Asia.

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran diseluruh tanah air. Pada

tahun 1989-1995, insiden DBD di Indonesia antara 6-15 per 100.000 penduduk , dan

pernah meningkat tajam saat keadaan luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada

tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada

tahun 1999.

6

Page 7: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Beberapa factor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue,

yaitu:4

1. Vektor : Meliputi perkembangbiakan vector, kebiasaan menggiti, kepadatan vector

di lingkungan, dan transpotasi vector dari satu tempat ke tempat lain.

2. Host : Meliputi terdapatnya penderita di lingkungan, atau keluarga mobilisasai dan

pemaparan terhadap vector, usia, dan jenis kelamin.

3. Lingkungan : Meliputi curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.

Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil dari nyamuk Culex quinquefasciatus,

mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih, terutama pada kakinya.

Morfologinya khas, yaitu memiliki gambaran lira atau harpa (lyra-form) yang putih pada

punggungnya (mesonotum). Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis

dan menyerupai gambaran kain kasa. Larva Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka

dan gigi sisir yang berduri lateral. Nyamuk betina meletakan telurnya di dinding tempat

perindukannya 1-2cm di atas permukaan air.Seekor nyamuk betina dapat meletakan rata-

rata 100 butir telur setiap kali bertelur. Pertumbuhan dari telur hingga menjadi dewasa

memerlukan waktu kira-kira 9 hari.6

Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang berisi air

bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak

500 meter dari rumah penduduk. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan

buatan manusia, seperti tempayan atau gentong tempat penyimpanan air minum, bak

mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di

kebun yang berisi air hujan, juga tempat perindukan alamiah sepeti kelopak daun tanaman,

tempurung kelapa, tonggak bamboo dan lubang pohon yang berisi air hujan. Di tempat

perindukan Aedes aegypti sering ditemukan larva Aedes albopictus yang hidup bersama-

sama.6

Nyamuk Aedes betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan

baik di luar maupun di dalam rumah. Penghisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang

dengan dua puncak waktu, yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari

terbenam (15.00-17.00). Tempat istirahat Aedes aegypti berupa semak-semak atau tanaman

rendah, dan juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian.

7

Page 8: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari. Walaupun berumur pedek

yaitu kira-kira 10 hari, Aedes aegypti dapat menularkan virus dengue yang masa

inkubasinya antara 3-10 hari.6

Etiologi

Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus

Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm

terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.4

Terdapat empat serotipe virus, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang

semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat

serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terddapat

reaksi silang anatara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese

encehphalitis, dan West Nile virus.4

Patofisiologi

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih

diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme

imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan

dengue.3,4

Respons imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:

a. respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses

netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue

berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag.

Hipotesis ini disebut antibody dependent enchancement (ADE).

b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon

imum seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan

memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH-2

memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10.

8

Page 9: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

c. Monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi

antibodi. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus

dan sekresi sitokin oleh makrofag; d) selain itu, aktivasi komplemen oleh

kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a.

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah

dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the

secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi

apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe

virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6

bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi

sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang

berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons

antibody anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan

transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibody IgG anti dengue titer tinggi.

Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak.

Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang

selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi

C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan

merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan

berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama

24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia

jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain dari kematian pada DBD ialah

perdarahan saluran pencernaran hebat yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung

lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang

ditemukan pada sebagian besar penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa

demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat

meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10

sejak permulaan penyakit. Kelainan sistem koagulasi mempunyai juga peranan sebagai

sebab perdarahan pada penderita DBD. Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor

II, V, VII, IX, X dan fibrinogen. Faktor XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor

9

Page 10: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti

terganggu, juga oleh aktifasi system koagulasi.

Klasifikasi

WHO, 1986 mengklasifikasikan DHF menurut derajat penyakitnya menjadi 4 golongan, yaitu:

Derajat IDemam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan. Panas 2-7 hari, Uji tourniquet positif, trombositipenia, dan hemokonsentrasi.

Derajat II Sama dengan derajat I, ditambah dengan gejala-gejala perdarahan spontan seperti petekie, ekimosis, hematemesis, melena, perdarahan gusi.

Derajat III Ditandai oleh gejala kegagalan peredaran darah seperti nadi lemah dan cepat (>120x/mnt ) tekanan nadi sempit ( ≤ 120 mmHg ), tekanan darah menurun.

Derajat IV Syok berat nadi tidak teraba, tekanan darah tidak teratur, anggota gerak teraba dingin, berkeringat dan kulit tampak biru.

Prognosis

Kebanyakan kasus ringan DBD dapat sembuh sendiri atau dengan perawatan.,

demam berdarah dengue dapat menjadi fatal bila kebocoran plasma tidak dideteksi lebih

dini. Namun, dengan manajemen medis yang baik yaitu monitoring trombosit dan

hematokrit maka mortalitasnya dapat diturunkan. Jika trombosit <100.000/ul dan

hematokrit meningkat waspadai dengue shock syndrome.

Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan

ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan

terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal

terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.

Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari

ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan

berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan

pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah

10

Page 11: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya

kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu

diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada

trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,

lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluran cerna. Sebagai terapi

simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk

mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid

sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas

(lambung/duodenum).

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada

penatalaksanaan DBD, pertama yaitu jenis cairan, kedua yaitu jumlah serta kecepatan

cairan yang akan diberikan. Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan

cairan diruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer

asetat,cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid

sebagai cairan standar pada terapi DHF karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih

mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya dibutuhkan dalam

penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama di intravaskular, aman dan relatif

mudah diekskresi, tidak mengganggu sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi

yang minimal. Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tata laksana DHF aman dan

efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan kristaloid

adalah edema, asidosis laktat, instabilitas hemodinamik dan hemokonsentrasi. Kristaloid

memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam pembuluh darah. Pemberian larutan RL

secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan efek penambahan volume vaskular hanya

dalam waktu yang singkat sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial

(ekstravaskular) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu

satu jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskular dan 15 ml masuk ke

dalam ruang interstisial. Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memiliki beberapa

keunggulan yaitu: pada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume

plasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan untuk waktu lebih lama di ruang

intravaskular. Dengan kelebihan ini, diharapkan koloid memberikan oksigenasi jaringan

lebih baik dan hemodinamik terjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin

didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya yang

11

Page 12: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

lebih besar. Namun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan

alergi yang rendah (contoh: hetastarch). Penelitian cairan koloid dibandingkan kristaloid

pada sindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien dengan parameter stabilisasi

hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan hasil sebanding pada kedua jenis

cairan.4,7

Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan

Divisi Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada

pasien dewasa berdasarkan kriteria :

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.

Praktis dalam pelaksanaannya.

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

1. Protokol 1

Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

2. Protokol 2

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

3. Protokol 3

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%

4. Protokol 4

Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

5. Protokol 5

Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok

Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama

pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai

sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.4

Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000 pasien dapat

dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24

12

Page 13: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau

bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka

di ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini5 :

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}

Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam :

Bila Hb, Ht meningkat 10 – 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan

tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.

Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai

dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan

sebanyak 5%. Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan

infus cairan kristaloid sebanyak 6 – 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 – 4

jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit

turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah

cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan

keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap

tidak membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah

menurun, 20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan

infus menjadi 10 ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila

keadaan menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam

tetapi bila keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan

menjadi 15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan

didapatkan tanda – tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana

sindroma syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan

dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.4

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

13

Page 14: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan

hidung / epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,

perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran

kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah

perdarahan sebanyak 4 – 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan

pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan

darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan

Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan

trombosit sebaiknya diulangi setiap 4 – 6 jam.

Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-

tanda intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi.

FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang

memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya

diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit

< 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.4

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa

Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang

harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian

cairan intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok

dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan

dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,

penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda

renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain

resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 – 4 liter/menit. Pemeriksaan-

pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),

hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan

kreatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 – 20 ml/kgBB dan dievaluasi

setelah 15 – 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik

100 mHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per

menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai

14

Page 15: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

diuresis 0,5 – 1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam

waktu 60 – 120 menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila

dalam waktu 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3

ml/kgBB/jam. Bila 24 - 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit

tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena

jika reabsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan

turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru

atau gagal jantung dapat terjdi.

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan

terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses

patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja

yang menetap dalam pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk

mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital

yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps,

pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah

diuresis.diuresis diusahak 2 ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan

jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka

pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 – 30 ml/kgBB/jam dan

kemudian dievaluasi setelah 20 – 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka

perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma

masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai

hematokrit menurun, berati terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan

transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat

cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 -

20ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka

untuk memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan

pemberian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 -

1,51/hari) dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum

teratasi harus diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,

hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah

15

Page 16: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat

inotropik / vasopresor.4

Komplikasi

Kebanyakan orang yang menderita DBD pulih dalam waktu dua minggu. Namun,

untuk orang-orang tertentu dapat berlanjut untuk selama beberapa minggu hinga berbulan-

bulan. Gejala klinis yang semakin berat pada penderita DBD dan dengue shock syndromes

dapat berkembang menjadi gangguan pembuluh darah dan gangguan hati. Hal ini tentu

dapat mengancam jiwa.8

1. Sindrom Syok Dengue (SSD)

Seluruh kriteria Demam Berdarah Dengue (DBD) disertai kegagalan sirkulasi

dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),

hipotensi (dibandingkan standar sesuai umur), kulit dingin dan lembab serta gelisah.4

Pada penderita DBD yang disertai syok, setelah demam berlangsung selama

beberapa hari, keadaan umum penderita tiba-tiba memburuk. Pada sebagian besar penderita

ditemukan tanda kegagalan peredaran darah yaitu kulit teraba lembab dan dingin, sianosis

sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lemah, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan

darah menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, dan tekanan sistolik menurun sampai 80

mmHg atau lebih rendah. Penderita kelihatan lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam

fase kritis syok. Penderita seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok

timbul. Nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan gastrointestinal, dan nyeri di

daerah retrosternal tanpa sebab yang dapat dibuktikan memberikan petunjuk terjadinya

perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya

mempunyai prognosis buruk.7

2. Ensefalopati Dengue

Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan

dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan

metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab

terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan

dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah –otak, sementara sebagai akibat dari

16

Page 17: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat menembus

sawar darah-otak. Dikatakan pula bahwa keadaan ensefalopati berhubungan dengan

kegagalan hati akut.

3. Kelainan ginjal

Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok

yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun

jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan

volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik.

Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui

apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh karena

bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat terjadi

syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis,

ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.1

4. Udem paru

Udem paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian

cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai

panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan udem paru oleh karena

perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang

ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat

penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan

mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan

gambaran udem paru pada foto rontgen dada.1

5. Kerusakan hati

Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit,

bervariasi dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah

lengkung iga kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk

menemukan pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah

hati sering kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus. Nyeri tekan

17

Page 18: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

di daerah hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya

perdarahan.1

Pencegahan

Cara yang paling mudah namun efektif dalam mencegah penyakit DBD dengan

istilah 3M plus yaitu dengan menutup tempat penampungan air, menguras bak mandi dan

tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali serta menimbun sempah-

sampah dan lubang-lubang pohon yang berpotensi sebagai tempat perkembangan jentik-

jentik nyamuk. Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan tindakan plus seperti

memelihara ikan pemakan jentik-jentik nyamuk, menur larvasida, menggunakan kelambu

saat tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent,

memesang obat nyamuk, memeriksa jentik nyamuk secara berkala serta tindakan lain yang

sesuai dengan kondisi setempat.2

Kesimpulan

Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maupun penunjang, dapat di tetapkan

diagnosis pasien menderita demam berdarah dengue (DBD). DBD merupakan penyakit

yang di tularkan melalui gigitan nyamuk A.Aegypti yang mengandung virus dengue,

klasifikasi demam berdarah dibagi menjadi 4 derajat. Pecegahan DBD dapat dilakukan

dengan 3M plus.

18

Page 19: Fardiansyah 102013199-Sk5-Blok 12 DBD

Daftar Pustaka

1. Suroso T, Hadinegoro SR, Wuryadi S, Simanjuntak G, Umar Al, Pitoyo PD, dkk.

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah

Dengue. Jakarta: WHO dan Departemen Kesehatan RI; 2001.

2. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah

dengue:panduan lengkap. Jakarta:EGC;2005.h.41-5.

3. Satari, Hindra I., Meiliasari,Mila. Demam berdarah. Jakarta: Puspa Swara;2004.h.28-

31.

4. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. h. 2773 – 9.

5. Mansjoer A, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. h.428-433.

6. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku

Nyamuk. Dalam:Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta:Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia;2009.h.250.

7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran.

Edisi 3. Jakarta:Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003.

8. Longo DL, Kasper DL, Jameson LJ, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 16 ed. New York: Mc-Graw Hill. 2005

19