FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN … · bentuk padi menjadi hasil olahan utama berupa...
Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN … · bentuk padi menjadi hasil olahan utama berupa...
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI PADA
PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI DI KABUPATEN KARAWANG
Oleh: NUGRAHA ARIEF
A14104123
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
NUGRAHA ARIEF. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Pendapatan dan Efisiensi Produksi pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang. Di bawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS.
Beras merupakan komoditi terpenting di Indonesia dan berlaku sebagai makanan pokok (staple food) bagi lebih dari 95 persen penduduk. Tingkat konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia. Data Susenas (2006) menyebutkan bahwa tingkat konsumsi beras per kapita mayarakat Indonesia sebesar 139,15 kilogram per tahun. Beras juga menjadi industri yang strategis bagi perekonomian nasional dengan sumbangan industri beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen, dengan menyerap tenaga kerja sebesar 28,79 persen dari total penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian atau setara dengan 12,05 juta jiwa.
Selain Bulog, pengusahaan penggilingan padi juga memiliki tanggungjawab dalam upaya penyediaan beras. Balitbang Deptan (2006) menyatakan bahwa jumlah penggilingan di Indonesia pada tahun 2005 berjumlah 110.611 unit, 70 persen diantaranya adalah penggilingan berskala kecil (rice milling unit), sisanya adalah penggilingan berskala sedang dan besar. Penggilingan memiliki peranan penting antara lain (1) sebagai penyedia kebutuhan pangan masarakat, (2) menjadi titik sentral dari suatu kawasan industri produksi padi, karena mampu berfungsi sebagai titik pertemuan antara perubahan bentuk padi menjadi hasil olahan utama berupa beras, (3) kontribusinya dalam menentukan jumlah ketersediaan beras, mutu dan kualitas beras, (4) tingkat harga dan pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen, (5) mampu membuka lapangan pekerjaan di daerah perdesaan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) membandingkan karakteristik pengusahaan penggilingan padi, (2) menghitung tingkat pendapatan penggilingan padi, (3) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pendapatan antara pengusahaan penggilingan padi berpendapatan tinggi dan rendah, dan (4) menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dalam pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2008, dengan menggunakan data primer yang bersumber dari wawancara terstruktur berpedoman pada kuesioner dengan pengusaha penggilingan padi di Kabupaten Karawang. Penarikan sampel dilakukan dengan metode judgement sampling yang membagi penggilingan ke dalam dua kelompok, yaitu penggilingan padi besar dan kecil. Penggilingan padi besar adalah penggilingan padi dengan kapasitas produksi beras sama dengan atau lebih dari 20 ton per hari, sedangkan penggilingan kecil memiliki kapasitas produksi beras kurang dari 20 ton per hari. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk melihat aktivitas produksi penggilingan padi, karakteristik pengusahaan penggilingan padi dan hal-hal terkait lain. Analisis kuantitatif dilakukan untuk menghitung tingkat pendapatan, faktor-faktor pembeda pendapatan, dan analisis efisiensi penggunaan faktor produksi pada pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Ms. Excel, Minitab 14, dan SPSS 13.
Penggilingan besar memiliki kapasitas produksi beras yang lebih besar dibandingkan penggilingan padi kecil. Rata-rata penggilingan padi besar memiliki kapasitas produksi beras per hari rata-rata sebesar 29,23 ton, sedangkan penggilingan padi kecil memiliki rata-rata kapasitas produksi 5,9 ton beras per hari. Penggilingan besar memiliki kapasitas lebih besar karena didukung oleh modal yang lebih besar untuk membeli gabah serta ditunjang oleh kapasitas mesin yang digunakan dan luas gudang penyimpanan yang lebih besar. Penggilingan besar sebagian menggunakan mesin dan alat-alat produksi yang mampu mengeliminasi tenaga manusia (mekanisasi), sedangkan penggilingan kecil masih mengandalkan tenaga manusia dalam proses produksinya. Pengalaman usaha pemilik penggilingan padi besar yang lebih lama mampu menentukan keberhasilan usaha dibandingkan dengan pengalaman pengusaha penggilingan padi kecil. Penggilingan padi besar hampir seluruhnya melakukan kemitraan dengan Bulog karena dianggap menguntungkan dan meminjam modal usaha ke bank, sementara penggilingan padi kecil tidak melakukannya.
Pengusahaan penggilingan padi besar memiliki pendapatan atas biaya total sebesar Rp 15.738.069 dengan nilai rasio R/C atas biaya total sebesar 1,117, yang artinya setiap Rp 1.000 yang dikeluarkan sebagai biaya akan menghasilkan Rp 1.117 penerimaan. Penggilingan padi kecil memiliki pendapatan atas biaya total sebesar Rp 4.629.912 dengan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,174, artinya setiap Rp 1.000 biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.174. Berdasarkan perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa pengusahaan pengilingan padi kecil lebih efisien daripada penggilingan padi besar. Rasio R/C yang lebih tinggi dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang telah menguntungkan.
Analisis diskriminan mampu menunjukkan faktor yang berpengaruh nyata dalam membedakan penggilingan padi berpendapatan tinggi dan rendah antara lain kapasitas produksi penggilingan, modal yang dimiliki, kapasitas mesin penggilingan, kemitraan penggilingan dengan Bulog, dan tingkat pendidikan pengusaha penggilingan. Model diskriminan yang dibentuk oleh kelima faktor tersebut mampu menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelompok penggilingan berpendapatan tinggi dan rendah.
Analisis efisiensi penggunaan faktor produksi menghasilkan tiga faktor produksi yang berpengaruh nyata dan positif terhadap jumlah beras yang dihasilkan pengusahaan penggilingan padi, yaitu jumlah GKP, jumlah Solar, dan modal usaha. Dari ketiga faktor tersebut, faktor yang dianalisis dalam efisiensi penggunaan faktor produksi adalah faktor produksi yang bersifat fisik dan dapat dinilai dengan satuan rupiah yaitu jumlah GKP dan jumlah solar. Analisis efisiensi penggunaan faktor produksi pengusahaan penggilingan padi menunjukkan kondisi belum efisien. Jumlah GKP perlu dikurangi sedangkan jumlah solar perlu ditambah untuk mencapai kondisi optimal. Kombinasi optimal jumlah GKP adalah 21,33 ton sedangkan jumlah solar optimal adalah 2.463,15 liter. Kombinasi optimal solar yang perlu ditambah kurang sesuai dengan pengurangan jumlah GKP dan peningkatan harga solar dewasa ini. Skala produksi penggilingan padi berada pada skala kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to scale).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI PADA
PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI DI KABUPATEN KARAWANG
Oleh: NUGRAHA ARIEF
A14104123
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Pendapatan
dan Efisiensi Produksi pada Pengusahaan Penggilingan
Padi di Kabupaten Karawang
Nama : Nugraha Arief
NRP : A14104123
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Muhammad Firdaus, Ph.D NIP. 132 158 758
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PERBEDAAN PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI PADA
PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI DI KABUPATEN
KARAWANG” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN
TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN
MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA
SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG
PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN
KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM
NASKAH.
Bogor, Juli 2008
Nugraha Arief A14104123
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Nugraha Arief, dilahirkan di Karawang pada
tanggal 5 Juni 1985. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan
Didi Sumardi dan Mulyati. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan
dasar di SDN Rengasdengklok Utara II. Kemudian, pada tahun 2001 penulis
menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Rengasdengklok,
Banjarnegara dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1
Karawang pada tahun 2004.
Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2004 dengan program studi
Manajemen Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas
pertanian. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis aktif diberbagai organisasi
kemahasiswaan seperti BEM TPB (2004-2005), BEM Fakultas Pertanian (2005-
2006), IAAS (2006-2008), dan terakhir di MISETA (2007-2008).
Penulis juga aktif mengikuti berbagai kompetisi tingkat nasional seperti
Student Technopreneurship (2006), PKMP-PIMNAS (2006), LIIM (2006),
Danone International Business Simulation TRUST by Danone (2007), KPKM
Bidang Ekonomi (2007), Dale Carnegie Fundamental Leadership Training (2008),
dan Leadership Scholarship 2nd Nutrifood (2008). Beberapa diantaranya berhasil
menorehkan prestasi sebagai pemenang. Penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah Sosiologi Umum selama satu semester. Penulis juga pernah bekerja
pada PT Nutrifood Indonesia dengan posisi Marketing Promotion Executive
(MPE), kemudian mengundurkan diri karena alasan melanjutkan studi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya bagi Allah Rabb jagat raya dan Penjaga hati atas
anugerah, rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perbedaan Pendapatan dan Efisiensi Produksi pada Pengusahaan Penggilingan
Padi di Kabupaten Karawang” dengan baik. Skripsi ini ditulis sebagai persyaratan
menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan karakteristik pengusahaan
penggilingan padi di Kabupaten Karawang, menganalisis tingkat pendapatan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pendapatan penggilingan padi, serta
menganalisis efisiensi produksi pengusahaan penggilingan padi di Kabupaen
Karawang.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari sempurna, karena itu penulis mengharapkan saran dan
kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini. Namun dengan segala
keterbatasan yang ada, skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
dalam pembangunan pertanian Indonesia.
Bogor, Juli 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dengan hati menunduk penulis panjatkan segala puji dan syukur kepada
Allah SWT atas cinta dan sayang-Nya, skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis
sampaikan penghargaan tertinggi pada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Didi
Sumardi dan Ibunda Mulyati atas doa yang tak kunjung henti mengalir dalam
darah penulis, kalian inspirator sepanjang masa. Terima kasih juga penulis
sampaikan pada kakak-kakak, Verry Iskandar, Anita Fatmawati, Yuliawati, dan
Nanang Kosim, atas segala bantuan, motivasi, dan doa serta untuk kedua
keponakan tercinta Azelia dan Yudha.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan pada berbagai pihak
yang telah membantu dalam persiapan, pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini
baik berupa bimbingan, dukungan dan masukan, terutama kepada:
1. Muhammad Firdaus, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi, atas semua
masukan, transfer ilmu, bimbingan dan arahan yang sangat berharga bagi
penulis selama menyusun skripsi ini.
2. Ir. Popong Nurhayati, MM., selaku dosen penguji utama yang telah berkenan
memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Rahmat Yanuar, SP., selaku dosen penguji wakil departemen atas segala
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan skripsi.
4. Dra. Yusalina, MSi. selaku dosen pembimbing akademik atas segala
bimbingan, ilmu, dan pelajaran hidup. Terima kasih ibu.
5. Yeka Hendra Fatika, SP atas diskusi yang santai dan menyenangkan selama
penyusunan skripsi. Terima kasih atas pelajaran hidupnya, Mas.
6. Bapak Yusuf dan para pengusaha penggilingan padi, serta Bapak Yanto
(Bulog) atas bantuan dan diskusi panjang mengenai penggilingan padi.
7. Manajemen PT Nutrifood Indonesia: Felix Abednego (HRD Director), Nina
Agustriana dan Dian Mariani (Manager), Andi Handoyo dan Yuliana
Tanoewidjaja (Associate), Mas Opan. Terima kasih atas semuanya, dua bulan
yang penuh makna, persahabatan, dan pelajaran hidup.
8. Sahabat-sahabat di AGB’41 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Atas
segala persahabatan, kenangan, perjuangan, dan asa untuk mencapai impian.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... v I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................... 8 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 12 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 12 1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ......................................... 13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Padi ........................................................................... 14 2.2 Gambaran Umum Gabah dan Beras ....................................................... 16 2.3 Alat Pengolahan Padi ............................................................................. 18 2.4 Penggilingan Padi .................................................................................. 20 2.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................... 24
2.5.1 Penelitian Mengenai Produksi Penggilingan Padi ....................... 24 2.5.2 Penelitian Mengenai Tingkat Pendapatan dan Efisiensi.............. 26 2.5.3 Penelitian Mengenai Analisis Diskriminan ................................. 27
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................. 29
3.1.1 Konsep Usahatani ......................................................................... 29 3.1.2 Konsep Pendapatan....................................................................... 30 3.1.3 Imbangan Penerimaan dan Biaya ................................................. 32 3.1.4 Analisis Diskriminan .................................................................... 33 3.1.5 Konsep Fungsi Produksii .............................................................. 37 3.1.6 Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi ......................................... 41
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 45
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................. 49 4.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................................... 49 4.3 Metode Penarikan Sampel...................................................................... 50 4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 51
4.4.1 Analisis Pendapatan ..................................................................... 52 4.4.2 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya .................................. 54 4.4.3 Analisis Diskriminan ................................................................... 54 4.4.4 Analisis Fungsi Produksi ............................................................. 59 4.4.5 Pengujian Fungsi Produksi .......................................................... 65 4.4.6 Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi .......................... 68 4.4.7 Definisi Operasional .................................................................... 69
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
5.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian ...................................................... 73 5.2 Keadaan Demografis Penduduk ............................................................. 74 5.3 Karakteristik Pengusahaan Penggilingan Padi ....................................... 77 5.3.1 Pemilik Penggilingan Padi........................................................... 77 5.3.2 Kapasitas Produksi ...................................................................... 82 5.3.3 Mesin dan Alat Penggilingan Padi .............................................. 83 5.3.4 Modal Usaha ................................................................................ 89 5.3.5 Gabah dan Beras .......................................................................... 91 5.3.6 Tenaga Kerja, Lantai Jemur, dan Bangunan ................................ 94 5.3.7 Mitra dengan Bulog ..................................................................... 99 5.3.8 Aktivitas Pengusahaan Penggilingan Padi .................................. 100
VI. ANALISIS PENDAPATAN PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI 6.1 Penerimaan Penggilingan Padi ............................................................... 112 6.1.1 Penggilingan Padi Besar .............................................................. 113 6.1.2 Penggilingan Padi Kecil .............................................................. 113 6.1.3 Penggilingan Padi Agregat .......................................................... 114 6.2 Pengeluaran Penggilingan Padi .............................................................. 115 6.2.1 Penggilingan Padi Besar .............................................................. 117 6.2.2 Penggilingan Padi Kecil .............................................................. 119 6.2.3 Penggilingan Padi Agregat .......................................................... 120 6.3 Analisis Pendapatan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya .................. 121
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN PENDAPATAN PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
7.1 Validasi Data .......................................................................................... 124 7.1.1 Identifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh Secara Signifikan
dalam Membedakan Penggilingan Berdasarkan Tingkat Pendapatan .................................................................................. 125
7.1.2 Pemilihan Faktor sebagai Prediktor Terbaik Model Diskriminan ................................................................................. 127
7.2 Interpretasi Model Diskriminan ............................................................. 132
VIII. ANALSIS EFISIENSI PRODUKSI PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
8.1 Analisis Fungsi Produksi ....................................................................... 137 8.2 Pengaruh Faktor-Faktor Produksi .......................................................... 144 8.3 Analisis Skala Usaha .............................................................................. 146 8.4 Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi .................................................. 147 8.5 Kombinasi Optimal Faktor-Faktor Produksi .......................................... 148
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ............................................................................................ 152 9.2 Saran ....................................................................................................... 153 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 155 LAMPIRAN ....................................................................................................... 159
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Rata-Rata Konsumsi Komoditas Pangan di Indonesia Tahun 2006 ............. 1
2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2002-2005 ..................................................................................................... 8
3. Standardisasi Kualitas Gabah oleh Bulog di Indonesia Tahun 2007 ............ 16
4. Persyaratan Kualitas Beras Tahun 2007 ....................................................... 18
5. Hubungan antara Analisis Varians, Regresi, dan Diskriminan ..................... 35
6. Jumlah dan Jenis Penggilingan pada Lokasi Penelitian ................................ 51
7. Faktor Pembeda dalam Skala Interval .......................................................... 56
8. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ........................................ 75
9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia ....................................................... 75
10. Komposisi Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha .................................... 76
11. Jumlah Pemilik Penggilingan Padi Berdasarkan Umur ................................ 77
12. Tingkat Pendidikan Pemilik Penggilingan Padi ............................................ 78
13. Jumlah Pemilik Penggilingan Padi Berdasarkan Pengalaman Usaha ........... 80
14. Jumlah Pemilik Berdasarkan Persepsi terhadap Pekerjaan sebagai Pemilik Penggilingan Padi ......................................................................................... 81
15. Jumlah Pemilik Berdasarkan Sumber Modal ................................................ 89
16. Jumlah Pemilik Penggilingan yang Bermitra dengan Bulog ........................ 99
17. Penerimaan Bersih Pengusahaan Penggilingan Padi per Hari ...................... 112
18. Biaya-Biaya yang Dikeluarkan Pengusahaan Penggilingan Padi per Hari ... 117
19. Analisis Pendapatan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Penggilingan Padi per Har ............................................................................ 122
20. Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Membedakan Penggilingan Padi Berdasarkan Tingkat Pendapatan .................................................................. 125
21. Pemasukan Variabel pada Kelompok Penggilingan ..................................... 134
22. Analisis Ragam Produksi Beras pada Pengusahaan Penggilingan Padi ....... 138
23. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang .................................................. 139
24. Rasio NPM dan BKM pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang ...................................................................................................... 148
25. Kombinasi Optimal Penggunaan Faktor-Faktor Produksi pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang .................................................. 150
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Perkembangan Produktivitas Padi Nasional Tahun 1997-2007 ............ 3
2. Grafik Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986-2006 ............. 4
3. Langkah-Langkah Melakukan Analisis Diskriminan ............................ 35
4. Kurva Fungsi Produksi dan Hubungannya dengan Produk Marjinal dan Produk Rata-Rata .................................................................................. 40
5. Efisiensi Produksi .................................................................................. 42
6. Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 48
7. Mesin Husker pada Penggilingan Padi .................................................. 84
8. Mesin Polisher pada Penggilingan Padi ................................................ 85
9. Mesin Penggerak Husker dan Polisher .................................................. 86
10. Mesin Shining dan Cera Tester ............................................................. 86
11. Lantai Jemur pada Penggilingan Padi ................................................... 97
12. Gudang Penyimpanan dan Kantor pada Penggilingan Padi .................. 98
13. Tahap-Tahap Pengolahan Beras ............................................................ 108
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Karakteristik Pengusaha Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang .. 159
2. Harga Faktor Produksi dan Biaya Aktivitas Produksi Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang ............................................................... 160
3. Pengeluaran (Biaya) Produksi Penggilingan Padi di Kabupaten .......... 161
4. Penerimaan Bersih Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang ........... 162
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Pendapatan Penggilingan Padi ........................................................................................................ 163
6. Penggunaan Faktor Produksi Penggilingan Padi Kabupaten Karawang 164
7. Analysis Case Processing Summary...................................................... 165
8. Test Of Equality Of Group Means ........................................................ 165
9. Variables Not in the Analysis ................................................................ 166
10. Wilks’ Lambda ...................................................................................... 168
11. Eigenvalues ............................................................................................ 168
12. Canonical Discriminant Function Coefficients ..................................... 168
13. Functions at Group Centroids ................................................................ 168
14. Classification Result .............................................................................. 169
15. Structure Matrix ..................................................................................... 169
16. Analisis Regresi Model Cobb-Douglas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Poduksi Penggilingan Padi ........................................... 170
17. Normalitas Model Cobb-Douglas .......................................................... 171
18. Uji Normalitas Residual Model Cobb-Douglas ..................................... 172
19. Uji Homoskedastisitas Model Cobb-Douglas ....................................... 173
20. Kuesioner ............................................................................................... 174
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia
untuk mempertahankan hidup dan kehidupan. Sebagai makhluk bernyawa, tanpa
pangan manusia tidak mungkin dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya
untuk berkembang biak dan bermasyarakat. Bagi bangsa Indonesia jenis tanaman
pangan yang terpenting adalah padi yang kemudian dikonsumsi dalam bentuk
beras.
Beras merupakan komoditi terpenting di Indonesia dan berlaku sebagai
makanan pokok (staple food) masyarakat. Tingkat konsumsi per kapita
masyarakat Indonesia terhadap beras merupakan yang tertinggi di dunia. Data
Susenas (2006) menyebutkan bahwa tingkat konsumsi beras per kapita mayarakat
Indonesia sebesar 139,15 kilogram per tahun (Tabel 1.). Nilai ini jauh lebih tinggi
daripada konsumsi ideal sebesar 80-90 kilogram per kapita per tahun.
Tabel 1. Rata-Rata Konsumsi Komoditas Pangan di Indonesia Tahun 2006 No Komoditas Pangan Konsumsi per Kapita per Tahun (kg) 1 Beras 139,15 2 Jagung 5,32 3 Ketela Pohon 15,04 4 Ayam 4,07 5 Daging 7,10 6 Telur 6,12 7 Susu 6,50 8 Ikan 18,58 9 Buah-buahan 50,78 10 Gula 15,6 11 Kedelai 7,78 12 Sayur-sayuran 9,60
Sumber: Susenas, 2006
2
Beras sebagai sebuah industri juga menjadi kekuatan yang strategis bagi
perekonomian nasional. Amang dan Sawit (2001) menyatakan sumbangan
industri beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8 persen, dengan menyerap
tenaga kerja sebesar 28,79 persen dari total penyerapan tenaga kerja di sektor
pertanian atau setara dengan 12,05 juta jiwa.
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi lebih dari 95 persen penduduk
Indonesia. Usahatani padi menyediakan lapangan pekerjaan dan sebagai sumber
pendapatan bagi sekitar 21 juta rumah tangga pertanian (Suryana, 2002).
Apriyantono (2006) menambahkan bahwa beras juga merupakan komoditas
politik yang sangat strategis, sehingga produksi beras dalam negeri menjadi tolak
ukur ketersediaan pangan bagi Indonesia1. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika campur tangan pemerintah Indonesia sangat besar dalam
upaya peningkatan produksi dan stabilitas harga beras. Kecukupan pangan
(terutama beras) dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan utama
kebijakan pembangunan pertanian. Swastika, et.al (2007) mengatakan bahwa
kekurangan pangan bisa menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik
yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional.
Usaha pemerintah dalam menyediakan pangan bagi rakyat salah satunya
ditunjukkan oleh usaha peningkatan produktivitas padi. Gambar 1. menunjukkan
perkembangan produktivitas padi tahun 1997-2007. Mengacu pada data BPS
(2007), produktivitas padi pernah mengalami penurunan tajam pada tahun 1998-
1999 akibat krisis ekonomi dan adanya bencana El-Nino dan La-Nina yang
merusak sebagian besar persawahan di beberapa sentra padi sehingga produksi 1Apriyantono, Anton. 2006. Beras Komoditas Penuh Tantangan. Harian Seputar Indonesia Edisi 18 Desember 2006. http://www.seputar-indonesia.com/edisi cetak/index.php/ [diakses tanggal 1 Mei 2008]
3
turun sekitar 3,2 persen. Produksi kemudian terus mengalami kenaikan yang
cukup signifikan sampai tahun 2007. Tercatat pada tahun 2006 produktivitas padi
sebesar 54,45 kuintal per hektar, dan pada tahun 2007 menunjukkan posisi 57,05
kuintal per hektar. Pertumbuhan produktivitas padi nasional pada periode tahun
2000-2004 sebesar 0,76 persen, sementara pada periode tahun 2005-2007
menunjukkan angka pertumbuhan sebesar 1,25 persen.
Gambar 1. Perkembangan Produktivitas Padi Nasional Tahun 1997-2007 Sumber: BPS, 2007 (diolah)
Kemampuan produksi nasional kurang lebih 54,1 juta ton gabah kering
giling (GKG) atau setara dengan 30,91 juta ton beras, sementara secara nasional
kebutuhan untuk konsumsi dan industri pada tahun 2005 mencapai 54,86 juta ton
beras (Departemen Pertanian, 2005). Defisit penyediaan beras nasional seringkali
diantisipasi oleh pemerintah dengan melakukan kebijakan impor beras dari negara
lain. Gambar 2. menunjukkan perkembangan impor beras nasional tahun 1986-
2006.
4
Gambar 2. Grafik Perkembangan Jumlah Impor Beras Tahun 1986-2006 Sumber: BPS, 2007 (diolah)2
Pada Gambar 2. di atas terlihat bahwa impor beras tertinggi terjadi pada
periode tahun 1995-2000, bahkan pada tahun 1999, impor beras nasional
mencapai angka 4,8 juta ton (BPS, 2007). Krisis ekonomi yang menimpa
Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan produksi padi nasional menurun secara
signifikan karena kondisi ekonomi, politik, dan keamanan pada saat itu yang tidak
kondusif ditambah adanya bencana El-Nino pada tahun 1998 yang merusak
sebagian areal pertanian produktif di wilayah sentra beras. Hal tersebut
mendorong terjadinya kekhawatiran akan kurangnya stok pangan untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Produksi padi turun sampai dengan dua juta
ton. Pemerintah juga melakukan liberalisasi perdagangan dengan membebaskan
tarif impor hingga nol persen akibat tekanan IMF dan WTO sehingga pada
periode tersebut angka impor beras melonjak tinggi.
Badan Urusan Logistik (Bulog) yang ditugaskan oleh pemerintah untuk
menjaga penyediaan beras, memiliki kapasitas gudang (divre dan subdivre) 2 Disampaikan oleh INDEF pada Seminar Pertanian Nasional tanggal 2 Desember 2007 di Kampus IPB Darmaga.
5
sebesar 3,9 juta ton di berbagai tempat yang tersebar di 1.500 lokasi. Kemampuan
Bulog sangat dibutuhkan dalam upaya mengelola kondisi permintaan masyarakat
terhadap beras dan suplai gabah dari petani guna memenuhi permintaan konsumsi
beras nasional. Bulog menguasai dua sampai tiga juta ton beras setiap tahunnya
(Saifullah, 2001).
Bulog bertanggungjawab terhadap mekanisme distribusi beras dan impor
beras dalam rangka menjamin ketahanan pangan rakyat dan keamanan stok
pangan nasional. Bulog melalui berbagai peraturan pemerintah juga bertugas
untuk menjaga stabilitas harga beras dalam negeri melalui penerapan harga HPP
dan ceiling price. Abu Bakar (2007) menyatakan Bulog yang berbentuk sebagai
perusahaan umum memiliki setidaknya empat tugas publik yang terkait beras,
yaitu (1) jaminan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, (2)
stabilitas harga, (3) pengelolaan beras miskin (raskin), dan (4) cadangan atau stok
pangan nasional3.
Upaya penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras
nasional bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, namun dapat
juga dilakukan oleh swasta-swasta atau individu-individu yang memiliki orientasi
bisnis seperti pengusahaan penggilingan padi. Balitbang Departemen Pertanian
(2005) menyatakan bahwa jumlah penggilingan di Indonesia pada tahun 2004
berjumlah 110.611 unit. Dari jumlah tersebut 70 persen diantaranya adalah
penggilingan berskala kecil (rice milling unit), sisanya adalah penggilingan
berskala sedang dan besar.
3 Abu Bakar, Mustofa. 2007. Orasi Ilmiah Direktur Bulog di Kampus IPB. http://www.ipb.ac.id/ [diakses tanggal 1 Mei 2008]
6
Berbagai penggilingan padi yang tersebar di Indonesia memiliki peranan
penting dalam hal penyediaan kebutuhan pangan masarakat Indonesia akan beras.
Penggilingan beras juga menjadi titik sentral dari suatu kawasan industri produksi
padi, karena mampu berfungsi sebagai titik pertemuan antara perubahan bentuk
padi menjadi hasil olahan utama berupa beras.
Peranan lainnya yang dimiliki oleh pengusahaan penggilingan padi adalah
kontribusinya dalam menentukan jumlah ketersediaan beras, mutu dan kualitas
beras yang dikonsumsi masyarakat. Selain itu, tingkat harga dan pendapatan yang
diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar oleh konsumen turut
ditentukan oleh keberadaan penggilingan padi ini. Seperti kegiatan usaha lainnya,
pengusahaan penggilingan padi mampu membuka lapangan pekerjaan di daerah
perdesaan. Melihat begitu besarnya peranan penggilingan padi dan didukung oleh
kondisi luasnya areal persawahan dengan produktivitasnya yang semakin
meningkat, maka pengusahaan penggilingan padi masih berpotensi untuk
dikembangkan.
Peluang pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia masih terbuka
lebar. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa di subsektor tanaman pangan,
khususnya padi, dari alur aktivitas kegiatan usaha tani padi mulai dari pengolahan
lahan hingga penggilingan, hanya ada dua kegiatan yang penerapan
mekanisasinya sudah mencapai 100 persen, yaitu pengendalian hama penyakit dan
penggilingan padi. Usaha penggilingan padi yang terkait langsung dalam
mendukung pengembangan beras, juga memberikan keuntungan yang cukup
menarik bagi para pelakunya. Usaha penggilingan padi memiliki rasio keuntungan
7
dan biaya (R/C) sebesar 1,29 dengan payback period 2,65 tahun (Balitbang
Deptan, 2005).
Perkembangan jasa penggilingan padi makin meluas, industri mesin
penggilingan padi makin maju, namun demikian kualitas beras yang dihasilkan
tidak seiring dengan kemajuan teknologi. Dari hasil studi diketahui bahwa kondisi
yang mengkhawatirkan adalah tingkat rendemen beras4 yang semakin menurun
dari tahun ke tahun. Dari 70 persen pada tahun 1970-an menjadi hanya 65 persen
pada tahun 1985, kemudian 63,2 persen pada tahun 1999, dan pada tahun 2000
paling tinggi hanya 62 persen. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian
pada studi penggilingan padi tahun 2004 bahkan memperkirakan rendemen beras
hanya 60 persen5 saja (Balitbang Deptan, 2005). Malian (2004) mencatat bahwa
dalam kurun waktu 50 tahun telah terjadi penurunan redemen beras sebesar 7,5
persen karena pada tahun 1950-an tingkat rendemen mencapai 70 persen.
Usaha penggilingan padi dapat dikatakan unik, karena selain terdapat
masalah penurunan rendemen dan penggunaan alat dan mesin yang relatif
berumur tua, penggilingan padi juga tidak terlepas dari hubungannya dengan
petani. Banyak penggilingan terutama penggilingan padi kecil yang berproduksi
ketika panen, namun berhenti saat masa paceklik. Keterbatasan modal untuk
membeli gabah dan kondisi alam juga turut menjadi kendala pengusahaan
penggilingan padi.
4 Rendemen beras adalah faktor konversi padi ke beras akibat proses pengolahan (Rosmawanty, 2007). 5 Angka 60 persen menunjukkan konversi dari padi ke beras, artinya terdapat 40 persen hasil konversi yang hilang dalam proses tersebut.
8
1.2 Perumusan Masalah
Kabupaten Karawang adalah salah satu sentra produksi beras yang berada
di Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang memiliki luas wilayah mencapai
175.327 hektar dengan luas areal persawahan sekitar 93.494 hektar dan terbagi
atas 30 kecamatan6. Pada tahun 2002-2005, luas areal panen dan produksi padi
mengalami laju pertumbuhan masing-masing sebesar 0,09 persen dan 2,32 persen,
sementara laju pertumbuhan produktivitas padi (kuintal per hektar) di Karawang
adalah sebesar 2,27 persen. Jika dilihat per tahun, luas areal panen cenderung
menurun dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2003 luasan panen berkurang
menjadi 166.773 hektar. Hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh faktor
konversi lahan pertanian ke industri, akibatnya pada tahun tersebut produktivitas
dan produksi padi menurun. Tabel 2. menunjukkan gambaran luas panen,
produksi, dan produktivitas padi di Kabupaten Karawang tahun 2002-2005.
Tabel 2. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Kabupaten Karawang Tahun 2002-2005
Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Produktivitas (Kuintal/Ha)
2002 183.985 1.098.714 59,72 2003 166.773 1.035.330 62,08 2004 187.685 1.184.411 63,11 2005 182.319 1.164.478 63,87
Laju Pertumbuhan (%/thn) 0,09 2,32 2,27
Sumber: Distan Hutbun Kabupaten Karawang, 2006
Sebagai salah satu daerah sentra padi terbesar di Indonesia, pembangunan
pertanian di Kabupaten Karawang tidak terlepas dari peran industri penggilingan
padi. Banyak penggilingan padi yang berkembang dan tersebar di setiap
kecamatan. Data Distan Hutbun Kabupaten Karawang (2006) menyebutkan
6 http://www.karawang.go.id/ [diakses tanggal 10 April 2008]
9
bahwa terdapat penggilingan di seluruh kecamatan di Kabupaten Karawang.
Penggilingan kecil dapat ditemukan di tiap kecamatan, dengan jumlah total
penggilingan kecil sebesar 1.120, sedangkan jumlah penggilingan padi besar di
Kabupaten Karawang adalah 66 penggilingan yang tersebar hanya di 12
kecamatan.
Usaha penggilingan padi erat kaitannya dengan petani. Penggilingan padi
tidak mampu bertahan tanpa adanya petani. Sebaliknya, petani juga sangat
membutuhkan adanya penggilingan padi untuk memproses hasil panen menjadi
beras7. Kegiatan usaha penggilingan padi bergantung ada atau tidaknya panen.
Hal tersebut juga terjadi pada penggilingan padi di Kabupaten Karawang.
Bagi penggilingan kecil hal tersebut dapat menjadi kendala besar, karena
tidak memiliki cukup modal untuk membeli gabah di daerah lain yang mengalami
panen. Bagi penggilingan besar, ketiadaan panen di suatu daerah dapat diatasi
dengan membeli gabah di daerah lain karena modal yang mencukupi, ditambah
kemampuan penggilingan besar untuk melakukan stok gabah di gudang-gudang
penyimpanannya. Penggilingan besar dapat tetap beroperasi di saat penggilingan
kecil kesulitan mencari gabah, bahkan seringkali penggilingan kecil membeli
gabah dari penggilingan besar, walaupun dengan harga yang relatif lebih tinggi.
Kondisi alam memang menjadi kendala bagi penggilingan kecil yang tidak
memiliki modal yang cukup.
Keberhasilan pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang
salah satunya ditentukan oleh tingkat pendapatan yang diterima pengusaha
melalui aktivitas penggilingan padi. Tingkat pendapatan yang tinggi akan mampu
7 Usaha Pengilingan Padi Saling Sikut. Sriwijaya Post 5 Maret 2007
10
memberikan insentif bagi pengusaha untuk memproduksi beras dengan volume
dan kualitas yang lebih baik. Dalam prakteknya, tingkat pendapatan pengusaha
penggilingan padi bergantung pada kualitas gabah yang dipanen oleh petani dan
mesin yang memiliki teknologi yang baik.
Kualitas gabah kering panen dari petani dapat dilihat dari kadar air gabah.
Distan Hutbun Kabupaten Karawang (2006) menyatakan nilai gabah jatuh apabila
kandungan kadar air tinggi (lebih dari 26 persen), karena berat gabah akan
meningkat namun tidak memberikan keuntungan karena produksi beras akan
turun ditambah biaya pengeringan yang lebih tinggi. Sebaliknya, gabah dengan
kadar air baik (kurang dari 26 persen) memiliki nilai tinggi, karena penggilingan
akan menghasilkan mutu beras dengan kuantitas yang baik.
Teknologi mesin yang digunakan penggilingan ikut menentukan
pendapatan penggilingan. Mesin berteknologi baik mampu menghasilkan beras
dengan mutu baik dan memiliki nilai jual yang tinggi. Tidak banyak penggilingan
di Kabupaten Karawang yang memiliki mesin dengan teknologi baik. Sebagian
besar penggilingan padi menggunakan mesin yang sudah berumur tua, bahkan
beberapa menggunakan mesin yang sudah habis umur ekonomisnya. Hal itu
terjadi karena penggilingan tidak memiliki banyak modal untuk berinvestasi pada
mesin berteknologi (Rosmawanty, 2007).
Kualitas gabah yang baik dan mesin yang memiliki teknologi tinggi
menjadi faktor dominan dalam menghasilkan beras dengan tingkat rendemen yang
baik. Tingkat rendemen yang tinggi menyebabkan peningkatan hasil produksi
sehingga akan menguntungkan penggilingan. Sebaliknya, penurunan penghasilan
penggilingan akan terjadi apabila tingkat rendemen menurun. Tingkat rendemen
11
beras bahkan menjadi perhatian pemerintah, karena berdampak secara agregat
terhadap produksi beras nasional. Menurut Amang dan Sawit (2001), setiap
penurunan rendemen beras sebesar satu persen, beras yang “hilang” mencapai 0,5
juta ton. Berdasarkan penelitian di Pantura Jawa Barat, diperkirakan rendemen
pada tahun 1998 hanya 62 persen.
Masalah kualitas gabah yang erat kaitannya dengan faktor alam dan
teknologi mesin yang terkait dengan modal yang dimiliki merupakan masalah
yang dihadapi industri penggilingan termasuk di Kabupaten Karawang. Masalah
lainnya adalah harga gabah dan beras yang sangat fluktuatif sehingga banyak
penggilingan yang tidak mau mengambil resiko untuk memutuskan berproduksi.
Banyak ditemukan penggilingan yang beroperasi sesekali sementara menunggu
harga gabah dan beras yang menguntungkan, namun banyak pula yang masih
bertahan terutama penggilingan besar dengan modal yang besar8.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimanakah karakteristik pengusahaan penggilingan padi besar dan
kecil di Kabupaten Karawang?
2. Apakah pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang sudah
menguntungkan?
3. Faktor apa sajakah yang mampu mempengaruhi perbedaan pendapatan
antara penggilingan padi yang berpendapatan tinggi dan rendah?
4. Apakah penggilingan padi di Kabupaten Karawang sudah efisien dalam
menggunakan faktor-faktor produksinya?
8 Usaha Pengilingan Padi Terseok. Harian Pikiran Rakyat Edisi 25 Mei 2008. http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=16196/ [diakses tanggal 1 Juni 2008]
12
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Membandingkan karakteristik pengusahaan penggilingan padi besar dan
kecil di Kabupaten Karawang.
2. Menghitung tingkat pendapatan pengusahaan penggilingan padi di
Kabupaten Karawang.
3. Menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan pendapatan antara
penggilingan padi berpendapatan tinggi dan rendah.
4. Menganalisis tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi dalam
pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat
kebijakan dalam bidang pertanian, peneliti, dan pembaca. Bagi pengambil
kebijakan baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, hasil penelitian ini
dapat menjadi informasi tambahan dalam merumuskan dan menentukan kebijakan
yang berhubungan dengan bidang pertanian, terutama yang diarahkan pada
pemecahan masalah perberasan baik di tingkat lokal maupun nasional. Bagi
penulis sendiri diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai aplikasi dari ilmu
yang didapat selama menuntut ilmu di IPB dan menambah pengalaman. Bagi
pembaca, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat sebagai tambahan
informasi, literatur dan bahan penelitian selanjutnya.
13
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mencoba mengetahui keragaman
pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang dari segi pendapatan dan
produksi. Pengambilan data dilakukan di tiga kecamatan yaitu Kecamatan
Rengasdengklok, Telagasari, dan Tirtajaya. Data yang dikumpulkan dari
pengusahaan penggilingan padi adalah data yang mendukung terhadap analisis
pendapatan, faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pengusahaan
penggilingan padi, dan faktor-faktor produksi yang digunakan. Penggilingan yang
menjadi responden meliputi penggilingan padi yang baru berdiri ataupun yang
telah lama berdiri dan berada di Kabupaten Karawang. Jenis penggilingan padi
yang diteliti adalah penggilingan padi besar dan kecil. Dalam penelitian ini,
penggilingan padi terpadu dikelompokkan ke dalam penggilingan padi skala
besar, sedangkan penggilingan padi sederhana dikelompokkan ke dalam
penggilingan padi kecil.
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Padi
Padi termasuk family Graminae, subfamily Oryzidae, dan genus Oryzae.
Dari 20 spesies anggota genus oryzae yang sering dibudidayakan adalah Oryzae
sativa L. dan O.glabarima steund. Pada dasarnya tanaman padi terdiri dari dua
bagian utama, yaitu bagian vegetatif (akar, batang, daun) dan bagian generatif
berupa malai dan bunga.
1. Bagian vegetatif tanaman padi
Organ-organ tanaman yang berfungsi mendukung proses pertumbuhan
adalah bagian vegetatif. Termasuk dalam bagian ini adalah akar, batang, dan
daun.
a. Akar
Akar padi tergolong akar serabut. Akar yang tumbuh dari kecambah biji
disebut akar utama (primer, radikula). Akar lain yang tumbuh di dekat buku
adalah akar seminal. Akar tanaman padi berfungsi untuk menopang batang,
menyerap nutrisi dan air, serta untuk pernapasan.
b. Batang
Secara fisik batang padi berguna untuk menopang tanaman secara
keseluruhan yang diperkuat oleh pelepah daun. Secara fungsional, batang
berfungsi untuk mengalirkan nutrisi dan air ke seluruh bagian tanaman.
Batang padi bentuknya bulat, berongga, dan beruas-ruas, antara ruas
dipisahkan oleh buku.
15
c. Daun
Daun padi umbuh pada buku-buku dengan susunan berseling. Jumlah
daun per tanaman tergantung varietas. Varietas unggul umumnya memiliki
14-18 daun.
2. Bagian generatif tanaman padi
Organ generatif padi terdiri dari malai, bunga, dan buah padi (gabah). Awal
fase generatif diawali dengan fase primordial bunga yang tidak sama untuk
setiap varietas.
a. Malai
Malai terdiri dari 8-10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer.
Dari buku pangkal malai umumnya hanya muncul satu cabang primer, dan
dari cabang primer itu akan muncul lagi cabang-cabang sekunder. Panjang
malai diukur dari buku terakhir sampai butir gabah paling ujung.
b. Bunga
Bunga padi berkelamin dua dan memiliki enam buah benang sari dengan
tangkai sari pendek dua kandung serbuk di kepala sari. Bunga padi juga
memiliki dua tangkai putik dengan dua buah kepala putik yang berwarna
putih atau ungu.
c. Buah padi
Buah padi (gabah) terdiri dari bagian luar yang disebut sekam dan bagian
dalam yang disebut karyopsis. Sekam terdiri dari lemma dan palea. Biji
yang sering disebut beras pecah kulit adalah karyopsis yang terdiri dari
lembaga (embrio) dan endosperm. Endosperm diseliputi oleh lapisan
aleuron, tegmen, dan perikarp (Suparyono dan Setyono, 1993).
16
2.2 Gambaran Umum Gabah dan Beras
Gabah adalah biji tanaman padi yang telah dilepas dari tangkainya dengan
cara dirontokkan tetapi belum sampai pada proses penggilingan. Struktur gabah
secara lengkap terdiri dari 1) sekam, yang disusun oleh palea dan lemma, baik
dengan bulu maupun tanpa buli, 2) kulit dalam yang terdiri dari lima lapisan
mikroskopis, 3) endosperm, dan 4) lembaga. Butiran gabah sendiri disusun oleh
sekam, periokarp, lapisan aleuron, lembaga, dan endosperm.
Pengertian klasifikasi gabah menjadi tiga, yaitu gabah yang baru dipanen di
sawah disebut gabah kering panen (GKP), sedangkan gabah yang sudah melalui
proses pengeringan disebut gabah kering sawah (GKS). Apabila GKS melalui
proses pembersihan dan pengeringan lanjutan maka disebut dengan gabah kering
giling (GKG). Pemerintah melalui Bulog (2007) telah menetapkan standar ukuran
kuantitatif untuk jenis gabah-gabah tersebut yang ditunjukkan pada Tabel 3. di
bawah ini.
Tabel 3. Standardisasi Kualitas Gabah oleh Bulog di Indonesia Tahun 2007
Persyaratan Grade Kualitas (%) GKG GKS GKP
Kadar Air 14 18 25 Hampa Kotoran 3 6 10 Butir Hujau/Mengapur 5 7 10 Butir Kuning Rusak 3 3 3 Butir Merah 3 3 3
Sumber: Bulog, 2007 Keterangan: GKG : Gabah Kering Giling GKS : Gabah Kering Sawah GKP : Gabah Kering Panen
Beras memiliki banyak karakteristik yang unik, tidak saja bagi bangsa
Indonesia, tetapi juga sebagian bangsa-bangsa Asia (Amang dan Sawit, 2001).
Selain merupakan komoditi yang hampir 90 persen produksi dan konsumsinya
17
dilakukan di Asia, beras juga merupakan komoditi yang pasarnya sangat tipis di
dunia, yaitu hanya sekitar empat sampai lima persen dari total produksi. Hal ini
berbeda dengan tanaman pangan lainnya seperti gandum, jagung, dan kedelai
yang masing-masing mencapai 20 persen, 15 persen, dan 30 persen dari total
produksi (Surono, 2001).
Beras merupakan bahan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Rachmawati (2003) mengemukakan bahwa konsumsi beras per kapita per hari
masyarakat Indonesia mencapai 285 gram. Oleh karena itu, beras termasuk
komoditas strategis karena ketahanan pangan Indonesia bertumpu pada produksi
beras dengan jumlah yang aman, harga terjangkau, dan bergizi. Untuk itu,
pemenuhan kebutuhan pokok ini bergantung pada produksi beras dalam negeri
namun bila kekurangan produksi maka pemerintah akan melakukan impor agar
kebutuhan beras dalam negeri tetap terpenuhi.
Beras sebagai bahan pangan pokok merupakan komoditas yang inelastis
terhadap perubahan harga9. Naik atau turunnya harga beras akan berpengaruh
relatif sangat kecil terhadap perubahan permintaan beras. Hal ini disebabkan
orang tidak akan secara signifikan menambah atau mengurangi konsumsi beras
walau harga berfluktuasi. Konsumsi beras juga relatif tidak sensitif terhadap
perubahan pendapatan10. Peningkatan pendapatan seseorang tidak akan
meningkatkan kuantitas beras tetapi lebih pada meningkatkan kualitas beras yang
dikonsumsi. Dengan demikian porsi pengeluaran untuk beras cenderung
9 Manurung, Martin. Mengupas Tuntas Masalah Beras. Artikel 21 Februari 2007. http://www. indoprogress.co.id/ [diakses tanggal 1 Mei 2008] 10 Prawira, Daniel. Konsumsi Beras sebagai Ukuran Sederhana Kesejahteraan Masyarakat. Mei 2003. http://www.smeru.co.id/ [diakses tanggal 1 Mei 2008]
18
berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan seseorang, proporsi pengeluaran
untuk beras cenderung semakin kecil dan sebaliknya.
Beras dikenal memiliki rasa yang enak, sesuai dengan selera dan lidah
masyarakat Indonesia serta memiliki kandungan gizi (kalori dan protein) yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Beras yang dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai jenis dan kualitas tertentu. Tabel 4.
menunjukkan persyaratan kualitas beras yang baik dengan standar tertentu.
Kualitas beras diantaranya dapat dilihat dari derajat sosoh, kadar air, beras kepala,
bulir utuh, butir putih, butir menir, butir kuning/rusak,butir mengapur, benda
asing, butir gabah, dan campuran lainnya.
Tabel 4. Persyaratan Kualitas Beras Tahun 2007 Komponen Kualitas Kualitas Beras (%)
Derajat sosoh (min) 95 Kadar air (max) 14 Beas Kepala 78 Butir Utuh (min) 35 Butir Putih (max) 20 Butir Menir (max) 2 Butir Merah (max) 2 Butir Kuning/Rusak (max) 2 Butir Mengapur (max) 3 Benda Asing (max) 0,02 Butir Gabah (max) 1 Campuran Lain (max) 5
Sumber: Bulog, 2007
2.3 Alat Pengolahan Padi
Tata cara pengolahan beras sebenarnya telah diketahui oleh masyarakat
petani Indonesia sejak dahulu. Seiring dengan semakin pesatnya kemampuan
teknologi yang mampu diadaptasi bangsa Indonesia, pengolahan beras saat ini
19
semakin modern. Bantacut (2005)11 mengatakan pada dasarnya ada dua cara
pengolahan untuk merubah gabah menjadi beras, yaitu:
1. Secara tradisional atau kovensional dengan cara ditumbuk. Gabah yang akan
dijadikan beras ditumbuk dengan sebuah alat tumbuk tertentu. Pengolahan
dengan cara seperti ini sudah sangat jarang ditemukan kecuali di daerah-
daerah yang terpencil.
2. Secara modern dengan menggunakan alat-alat atau mesin-mesin. Alat atau
mesin tersebut merupakan adaptasi dari teknologi modern. Alat pengolahan
modern yang biasa dikenal dengan huller atau engelberg.
Alat pengolah padi terdiri dari berbagai macam mesin, yaitu mesin perontok
padi, mesin penggiling padi, mesin pembersih gabah, mesin penyosoh beras, dan
mesin pencacah kulit gabah (BPS, 2002).
Berbagai macam alat pengolah padi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Perontok Padi (Thresher)
adalah alat yang digunakan untuk merontokkan butiran padi dari tangkainya.
Berdasakan penggeraknya dibedakan menjadi pedal thresher dan power
thresher
2. Pengering Padi (Dryer)
adalah alat untuk menurunkan kadar air padi atau gabah dengan hembusan
udara luar atau udara yang dipanaskan.
11 Bantacut, Tajuddin. Teknologi Pengolahan Padi Terintegrasi Berwawasan Lingkungan. Makalah. Disampaikan pada Lokakarya Nasional ”Peningkatan Dayasaing Beras Melalui Perbaikan Kualitas” Gedung Pertemuan Oryza Bulog, Jakarta, 13 September 2006.
20
3. Pembersih Gabah (Cleaner)
adalah alat untuk memisahkan gabah dari kotoran-kotoran yang tidak
diinginkan seperti potongan jerami, kerikil dan benda-benda asing.
4. Penyosoh Beras (Polisher)
adalah suatu jenis alat yang berfungsi untuk menyosoh beras pecah kulit
menjadi beras putih.
5. Pemecah Kulit Gabah (Husker)
adalah alat pengolah padi yang digunakan untuk mengupas kulit luar
(sekam) gabah menjadi beras pecah kulit.
2.4 Penggilingan Padi
Proses pengolahan padi di penggilingan padi, terdapat dua fase pengolahan
sehingga gabah menjadi beras. Fase pertama adalah melepaskan kulit atau sekam
dari caryopsis-nya yang menghasilkan beras pecah kulit. Beras pecah kulit ini
sebenatrnya memiliki kandungan vitamin B yang sangat tinggi, tepatnya pada
bagian periocarp, namun berasnya kurang enak dimakan dan tidak dapat disimpan
lama karena mudah bau apek. Fase kedua adalah lapisan periocarp pada caryopsis
dikikis dengan jalan menyosohnya. Derajat kejernihan dari beras yang keluar dari
mesin penyosoh itu tergantung pada setelan mesin penyosoh sesuai dengan mutu
beras yang diinginkan. Semakin jernih beras, maka semakin banyak bagian-bagian
yang sebenarnya mengandung zat gizi, akan terbuang dan menjadi dedak. Justru
penampakkan beras menjadi semakin menarik bila dilihat oleh konsumen.
21
Suismono dan Damardjati (2000) menyatakan bahwa pengusahaan
penggilingan padi dapat dibedakan berdasarkan teknik penggilingan yang
digunakan dalam proses produksi, antara lain:
1. Sistem penggilingan padi diskontinyu adalah sistem penggilingan padi yang
menggunakan mesin pemecah kulit dan penyosohan yang manual, yang
masih digerakkan oleh tenaga manusia.
2. Sistem penggilingan padi sistem modifikasi kontinyu adalah sistem
penggilingan padi dengan proses pemecahan kulit berasnya secara kontinyu,
tetapi proses penyosohannya dilakukan secara manual.
3. Sistem penggilingan konitinyu adalah sistem penggilingan padi yang terdiri
dari satu unit mesin penggilingan padi yang secara kontinyu (langsung atau
ban berjalan) kapasitas 1000 kilogram per jam yang dilengkapi mesin-mesin
pembersih gabah, pemecah kulit, pengayak beras pecah kulit, penyosoh
beras, dan ayakan beras
Sistem penggilingan kontinyu maupun modifikasi kontinyu dapat
meningkatkan efisiensi kerja, kapasitas produksi dan mutu beras (penampakkan
beras lebih jernih). Usaha untuk menigkatkan mutu penampakkan beras dapat
dilakukan dengan cara pemolesan beras giling. Proses pemolesan adalah proses
penyosohan beras disertai pengkabut uap agar penampakkan beras lebih
mengkilap. Beras yang diolah sampai pada proses ini disebut beras Kristal
(Suismono dan Damardjati, 2000).
22
Widowati (2001) membagi pengusahaan penggilingan padi berdasarkan
kapasitas mesin yang dimiliki, antara lain:
1. Penggilingan Padi Besar (PPB)
PPB menggunakan tenaga penggerak lebih dari 60 HP (Horse Power) dan
kapasitas produksi lebih dari 1.000 kg/jam, baik menggunakan sistem
kontinyu maupun diskontinyu. PPB sistem kontinyu terdiri dari satu unit
penggiling padi lengkap, semua mesin pecah kulit, ayakan, dan penyosoh
berjalan secara kontinyu, dengan kata lain masuk gabah keluar beras giling.
PPB diskontinyu minimal terdiri dari empat unit mesin pemecah kulit dan
empat unit mesin penyosoh yang dioperasikan tidak sinambung atau masih
menggunakan tenaga manusia Penggilingan kapasitas besar biasanya
dilengkapi grader sehingga menir langsung dipisahkan dari beras kepala.
2. Penggilingan Padi Sedang/Menengah (PPS)
PPS menggunakan tenaga penggerak 40-60 HP, dengan kapasitas produksi
700-1.000 kg/jam. Umumnya PPS terdiri dari dua unit mesin pemecah kulit
dan dua unit mesin penyosoh. PPS ini menggunakan sistem semi kontinyu,
yaitu mesin pecah kulitnya kontinyu, sedangkan mesin sosohnya masih
manual. Proses pemindahan bahan dari satu alat ke alat yang lain ada yang
menggunakan elevator dan sebagian besar lainnya menggunkan tenaga
manusia.
3. Penggilingan Padi Kecil (PPK)
PPK menggunakan tenaga penggerak 20-40 HP, dengan kapasitas produksi
300-700 kg/jam. Penggilingan padi manual yang terdiri dari dua unit mesin
pemecah kulit dan dua unit mesin penyosoh ini sering disebut Rice Milling
23
Unit (RMU). Di pedesaan masih terdapat Huller, yaitu penggilingan padi
yang menggunakan tenaga penggerak kurang dari 20 HP dan kapasitasnya
kurang dari 300 kg/jam. Huller terdiri dari satu unit mesin pemecah kulit
dan satu unit penyosoh. Beras yang dihasilkan mutu gilingnya kurang baik,
umumnya untuk dikonsumsi sendiri di perdesaan.
Bulog (2007) membagi penggilingan padi atas empat kelompok berdasarkan
sarana yang dimiliki dan kemampuan produksi beras, sebagai berikut:
1. Penggilingan Padi Terpadu (PPT)
PPT merupakan gabungan dari beberapa mesin yang menjadi satu kesatuan
utuh yang berfungsi sebagai pengolah gabah menjadi beras, dengan
kapasitas lebih besar dari PPB serta terintegrasi dengan mesin pengering dan
silo penyimpanan oleh elevator dan conveyor.
2. Penggilingan Padi Besar (PPB)
PPB memiliki unit peralatan teknik yang merupakan gabungan dari dari
beberapa mesin menjadi satu kesatuan dengan kapasitas antara tiga sampai
sepuluh ton GKG per jam atau setara dengan 20 sampai 60 ton beras per
hari. Sistem pengolahan PPB minimum harus melalui empat proses utama,
yaitu proses pembersihan gabah, proses pecah kulit, proses pemisahan gabah
dengan beras pecah kulit, dan proses pemutihan beras pecah kulit secara
berulang dua sampai empat kali.
3. Penggilingan Padi Kecil (PPK)
PPK memiliki unit peralatan teknik gabungan dari beberapa mesin menjadi
satu kesatuan utuh dengan kapasitas lebih kecil dari satu sampai tiga ton
24
GKG per jam atau sekitar lima sampai 20 ton beras per hari. Sistem PPK
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu tipe sederhana dan tipe lengkap.
4. Penggilingan Padi Sederhana (PPS)
PPS merupakan unit peralatan teknik baik merupakan satu unit tersendiri
maupun merupakan gabungan dari beberapa mesin, dimana proses satu sama
lain dihubungkan dengan tenaga manusia dengan kapasitas 0,5 sampai satu
ton GKG per jam atau kurang dari lima ton beras per hari. Penggilingan
dikatakan sederhana karena teknologi yang digunakan sudah dikenal sejak
mulai menggunakan mesin penggilingan padi sampai saat ini secara turun
temurun tanpa perubahan berarti. Beberapa jenis penggilingan sederhana,
antara lain mesin tipe engelberg dan kombinasi dari beberapa mesin
khususnya husker, separator, dan polisher.
2.5 Tinjauan Penelitian Terdahulu
2.5.1 Penelitian Mengenai Produksi Penggilingan Padi
Masroh (2005) dalam penelitiannya mampu menghasilkan kombinasi
kuantitas pengadaan dari kelima jenis produk beras dan bekatul pada Unit
Penggilingan Padi (UPP) Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Kombinasi tersebut
antara lain beras super diproduksi sebanyak 22.776,94 kg per bulan, beras kepala
sebanyak 144.223,06 kg per bulan, beras medium sebesar 40.063,4 kilogram per
bulan, beras medium BJ sebanyak 12.945,88 kg per bulan, dan beras broken
sebanyak 26.404,05 kg per bulan. Untuk menghasilkan kombinasi kuantitas
pengadaan sama dengan kombinasi kuantitas optimal maka kuantitas pengadaan
beras super harus aktual diturunkan sebesar 1,28 persen, beras medium diturunkan
25
sebesar 5,27 persen. Penelitian Masroh (2005) dilakukan dengan menggunakan
metode linear programming.
Tahun 2005, Purwoko dalam penelitiannya menyatakan bahwa pola data
produksi beras kualitas PT Pertani tidak stasioner, memiliki unsur tren dan
musiman. Proyeksi produksi beras kualitas sebesar 26.792.589 kg pada tahun
2004. Jika dibandingkan dengan target penjualan (40 ribu ton), maka sebesar
66,98 persen, beras yang akan dijual PT Pertani adalah beras kualitas. Purwoko
(2005) mampu meramalkan proyeksi produksi beras kualitas PT Pertani hanya
sekitar 0,096 persen dari potensi pasar beras kualitas.
Studi kelayakan usaha terhadap pengusahaan penggilingan padi dilakukan
oleh Rosmawanty pada tahun 2007 di Kabupaten Karawang. Dalam penelitiannya,
Rosmawanty (2007) menyebutkan bahwa penusahaan penggilingan padi skala
besar adalah yang paling menguntungkan dibandingkan penggilingan skala
sedang dan skala kecil. Hal tersebut terjadi karena pengusahaan penggilingan padi
besar memiliki tingkat rendemen yang tinggi sehingga penerimaan yang diperoleh
dari penjualan beras giling lebih besar. Penggilingan padi sedang memiliki tingkat
keuntungan yang tidak lebih kecil dari penggilingan padi kecil kerena hasil
sampingan berupa dedak atau menir tergabung dan dijual dengan harga yang lebih
murah sehingga berpengaruh pada penerimaan pendapatan yang lebih rendah.
Persamaan penelitian ini dengan ketiganya adalah objek yang diteliti sama
yaitu penggilingan padi. Sedangkan, perbedaan penelitian ini dengan ketiga
penelitian di atas adalah bahwa penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat
pendapatan penggilingan padi dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi.
26
2.5.2 Penelitian Mengenai Tingkat Pendapatan dan Efisiensi
Penelitian yang dilakukan oleh Retmawati (2005) menjelaskan mengenai
usahatani padi sawah di Kecamatan Mojowongso yang memiliki rasio R/C atas
biaya total sebesar 1,55 sedangkan nilai rasio R/C atas biaya total usahatani padi
ladang sebesar 1,44. Tahun 2003, Nasution menghitung nilai rasio R/C atas biaya
tunai dan biaya total usahatani padi program PTT di Kabupaten Karawang
masing-masing sebesar 1,91 dan 1,14. Namun penelitian yang dilakukan Purba
(2005) menyatakan bahwa nilai rasio R/C atas biaya total padi ladang di
Kabupaten Karawang sebesar 0,76. Penelitian Purba (2005) sama halnya dengan
penelitian Brahmana (2005) mengenai usahatani padi lahan kering di Kecamatan
Tanggeung dan penelitian Herdiansyah (2003) tentang usahatani padi organik di
Kecamatan Bogor Barat, keduanya menghasilkan rasio R/C atas biaya total
kurang dari satu, sehingga dapat dikatakan kedua usahatani di daerah tersebut
tidak efisien dan tidak menguntungkan petani.
Pada tahun 2007, Astuti meneliti penerapan teknologi system of rice
intensification (SRI) di Desa Margahayu Tasikmalaya. Hasil analisis pendapatan
usahatani menunjukan bahwa pendapatan bersih usahatani padi SRI sebesar
Rp 3.757.200 dengan rasio R/C atas biaya total sebesar 1,43, sehingga dapat
disimpulkan bahwa usahatani padi SRI efisien dari sisi pendapatan. Penggunaan
faktor produksi lahan, mol pertumbuhan, dan tenaga kerja tanpa panen tidak
efisien sehingga perlu dikurangi. Sementara penggunaan faktor produksi benih,
pupuk organik padat, mol buah dan pestisida organik belum efisien, sehingga
perlu ditambah. Penggunaan faktor produksi yang tepat dalam usahatani padi SRI
akan menentukan pendapatan yang akan diperoleh petani SRI.
27
Rachmawati (2003) menghitung pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh
petani pemilik penggarap pada usahatani dan pemasaran beras pandan wangi di
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat sebesar Rp 16.139.323 per tahun, sedangkan
petani penggarap sebesar Rp 412.394 per tahun. Pendapatan atas biaya total
pemilik penggarap Rp 6.795.076 per tahun, sedangkan petani penggarap sebesar
Rp 3.279.444 per tahun. Nilai rasio R/C atas biaya tunai pemilik penggarap adalah
3,14, sedangkan rasio R/C penggarap sebesar 1,19 yang menunjukkan bahwa
keduanya menguntungkan dan bisa lebih dikembangkan sebagai mata
pencaharian. Rasio R/C biaya total nilainya masing-masing petani pemilik sebesar
1,55 dan penggarap 1,18. Dari perhitungan pendapatan dan analisis rasio R/C,
tampak bahwa usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata sama-sama
menguntungkan. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas
adalah objek penelitian yaitu penggilingan padi, walaupun juga membahas tingkat
pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor produksi
2.5.3 Penelitian Mengenai Analisis Diskriminan
Fadlillah (2006) menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara konsumen yang sering berkunjung dan jarang berkunjung pada Restoran
Sari Idaman. Hal tersebut ditunjukkan melalui analisis diskriminan dengan
melihat angka Chi-square sebesar 69,639 dan angka signifikansi 0,0000. Dari 16
atribut restoran yang diteliti, hanya terdapat lima peubah independen paling
berpengaruh sebagai pembeda antargrup antara lain atribut rasa, ranggapan
terhadap keluhan, desain, keragaman menu, dan harga sebesar 58,37 persen
varians dari peubah dependen dapat dijelaskan oleh model yang terbentuk dari
28
lima peubah independen tersebut, sedangkan ketepatan prediksi model sebesar
86,9 persen.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Fadlillah (2006) adalah
menggunakan analisis diskriminan. Perbedaannya adalah pada objek penelitian
yaitu pengusahaan penggilingan padi dengan terlebih dahulu menganalisis tingkat
pendapatan dan efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi. Analisis diskriminan
dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi perbedaan pendapatan pengusahaan penggilingan padi di
Kabupaten Karawang antara penggilingan padi berpendapatan tinggi dan
berpendapatan rendah.
29
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Konsep Usahatani
Usahatani merupakan organisasi dari alam, tenaga kerja, modal dan
pengelolaan yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Menurut
Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah suatu kegiatan yang
mengorganisasikan alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi
di bidang pertanian. Organisasi ini dalam pelaksanaanya berdiri sendiri dan
sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial,
baik yang terikat genologis, politis, maupun territorial sebagai pengelolanya.
Soekartawi, et. al. (1986) mengungkapkan pada umumnya ciri-ciri
usahatani di Indonesia adalah berlahan sempit, modal relatif kecil, pengetahuan
petani yang terbatas serta kurang dinamis, dan rendahnya pendapatan petani.
Lahan yang sempit merupakan cerminan terbatasnya sumberdaya dasar tempat
petani berusahatani. Terlebih lagi, lahan petani kecil umumnya tidak subur dan
terpencar-pencar dalam beberapa petak. Selain itu, mereka menghadapi pasar dan
harga yang yang tidak stabil dan tidak cukup menerima dukungan penyuluhan.
Petani memiliki tujuan yang berbeda dalam melaksanakan usahatani.
Usahatani yang memiliki tujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga disebut
usahatani pencukup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Di sisi lain, usahatani
yang berjalan didasari tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya disebut
usahatani komersial (commercial farm). Hernanto (1995) menyatakan bahwa
keberhasilan usahatani dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor-faktor pada
30
usahatani itu sendiri (intern) dan faktor-faktor di luar usahatani (ekstern). Adapun
faktor intern antara lain petani-petani pengelola, tanah usahatani, tenaga kerja,
modal, tingkat teknologi, jumlah keluarga dan kemampuan petani dalam
mengaplikasikan penerimaan keluarga. Di sisi lain, faktor ekstern yang
berpengaruh pada keberhasilan usahatani adalah tersedianya sarana trasnportasi
dan komunikasi, aspek-aspek yang menyangkut pemasaran hasil dan bahan
usahatani (harga hasil, harga saprodi, dan lain-lain), fasilitas kredit, dan sarana
penyuluhan bagi petani.
3.1.2 Konsep Pendapatan
Menurut Soeharjo dan Patong (1973), pendapatan adalah balas jasa dari
kerjasama faktor-faktor produksi seperti GKP, bahan bakar, tenaga kerja, modal,
dan jasa pengelolaan. Pendapatan usaha tidak hanya berasal dari kegiatan
produksi saja tetapi juga diperoleh dari hasil menyewakan atau menjual unsur-
unsur produksi, misalnya menjual kelebihan alat-alat produksi, menyewakan
kendaraan, mesin, dan lain sebagainya.
Soekartawi, et.al. (1986) mengemukakan beberapa definisi yang berkaitan
dengan ukuran pendapatan dan keuntungan:
1. Penerimaan tunai merupakan nilai yang diterima dari penjualan produk
hasil proses produksi.
2. Pengeluaran tunai adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian
barang dan jasa bagi dalam proses usaha.
3. Pendapatan tunai adalah produk yang dihasilkan dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual.
31
4. Pengeluaran total merupakan nilai semua yang habis terpakai atau
dikeluarkan dalam kegiatan produksi termasuk biaya penyusutan
penggunaan mesin atau alat (biaya yang diperhitungkan).
5. Penerimaan total adalah selisih antara penerimaan kotor dengan
pengeluaran total.
Pendapatan juga dapat diartikan sebagai sisa dari pengurangan nilai
penerimaan yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan yang
diharapkan tentu saja memiliki nilai positif dan semakin besar nilainya maka
semakin baik, meskipun besar pendapatan tidak selalu mencerminkan efisiensi
yang tinggi karena pendapatan yang besar mungkin saja diperoleh dari investasi
yang jumlahnya besar pula.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan usaha adalah
dengan melakukan analisis pendapatan usaha. Analisis pendapatan usaha mampu
mengetahui gambaran keadaan aktual usaha sehingga dapat melakukan evaluasi
dengan perencanaan kegiatan usaha pada masa yang akan datang.
Dalam melakukan analisis pendapatan usaha diperlukan informasi
mengenai keadaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan.
Penerimaan usaha merupakan nilai produksi yang diperoleh dalam jangka waktu
tertentu dan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi total dengan harga
satuan dari hasil produksi tersebut, sementara yang disebut pengeluaran usaha
adalah nilai penggunaan faktor-faktor produki dalam melakukan proses produksi
selama usaha berlangsung.
Biaya dapat dibedakan menjadi biaya tunai dan biaya yang
diperhitungkan. Biaya tunai adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pengusaha
32
penggilingan, sedangkan biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran yang
secara tidak tunai dikeluarkan pengusaha penggilingan. Biaya yang
diperhitungkan dapat berupa faktor produksi yang digunakan pengusaha
penggilingan tanpa megeluarkan uang tunai seperti penggunaan tenaga kerja
keluarga, penggunaan hasil produksi sendiri dan penyusutan dari sarana produksi
berupa alat atau mesin yang digunakan.
Pengeluaran meliputi biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variabel
cost). Biaya tetap adalah biaya yang sifatnya tidak dipengaruhi oleh jumlah
produksi yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang sifatnya dipengaruhi
oleh jumlah produksi yang dihasilkan. Semakin besar produksi maka semakin
besar pula biaya variabel. Biaya variabel meliputi biaya untuk pembelian GKP,
pembelian bahan bakar berupa minyak tanah atau solar, dan upah tenaga kerja
atau buruh borongan.
Pendapatan terbagi atas pendapatan kotor usaha dan pendapatan bersih
usaha. Pendapatan kotor mengukur pendapatan kerja pengusaha penggilingan
tanpa memasukkan biaya yang diperhitungkan sebagai komponennya. Pendapatan
kotor merupakan selisih antara penerimaan usaha dengan biaya tunai usaha,
sedangkan pendapatan bersih usaha mengukur pendapatan kerja pengusaha
penggilingan dari seluruh biaya usaha atau produksi yang dikeluarkan.
Pendapatan bersih usaha diperoleh dari selisih penerimaan usaha dengan biaya
total usaha.
3.1.3 Imbangan Penerimaan dan Biaya
Suatu usaha dikatakan layak apabila memiliki tingkat efisiensi penerimaan
yang diperoleh atas setiap biaya yang dikeluarkan hingga mencapai perbandingan
33
tertentu. Soeharjo dan Patong (1973) menjelaskan bahwa pendapatan yang besar
bukanlah berarti pertanda bahwa suatu usaha sudah efisien. Salah satu untuk
mengukur kelayakan kegiatan usaha adalah dengan menggunanakan analisis
imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis).
Analisis rasio R/C mampu menunjukkan besar penerimaan usaha yang
akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan usaha.
Semakin besar nilai R/C maka semakin besar pula penerimaan usaha yang
diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa kegiatan usaha tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.
Kegiatan usaha dapat dikatakan layak apabila nilai rasio R/C lebih besar
dari satu, artinya setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan
tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya.
Sederhananya, kegiatan usaha tersebut menguntungkan. Sebaliknya, apabila nilai
rasio R/C lebih kecil dari satu, artinya tambahan biaya menghasilkan tambahan
penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usaha dapat dikatakan tidak
menguntungkan. Sedangkan jika nilai rasio R/C sama dengan satu, maka kegiatan
usahatani memperoleh keuntungan normal (Tjakrawiralaksana, 1983).
3.1.4 Analisis Diskriminan
Analisis diskriminan adalah sebuah teknik yang menganalisis data ketika
kriteria atau variabel tidak bebas bersifat kategoris dan prediktor atau variabel
bebas bersifat metrik (Simamora, 2005). Analisis diskriminan pada prinsipnya
bertujuan untuk mengelompokkan setiap objek atau kelompok berdasar pada
kriteria sejumlah variabel bebas. Malhotra (2005) mengemukakan tujuan
dilakukannya analisis diskriminan sebagai berikut:
34
1. Pengembangan fungsi diskriminan, atau kobinasi linear prediktor atau
variabel bebas, akan mendiskriminankan yang terbaik antara kategori-
kategori variabel tidak bebas (kelompok).
2. Pengujian apakah terdapat perbedaan signifikan di antara kelompok-
kelompok dalam hal variebel-variabel prediktor.
3. Penentuan variabel prediktor mana yang memberi sumbangan terbesar
kepada perbedaan antarkelompok.
4. Klasifikasi kasus-kasus pada satu di antara kelompok-kelompok
berdasarkan nilai variabel-variabel prediktor.
5. Evaluasi akurasi klasifikasi.
Teknik analisis diskriminan dijelaskan dengan sejumlah kategori yang
dimiliki oleh variabel tidak bebas. Bila variabel tidak bebas mempunyai dua
kataegori maka teknik analisisnya dikenal sebagai analisis diskriminan dua
kelompok. Jika terdapat dua atau lebih kategori, teknik analisisnya dikenal dengan
analiss diskriminan majemuk. Perbedaan utama kedua jenis teknik ini adalah
bahwa dalam analisis dua variabel, dimungkinkan untuk menurunkan hanya satu
fungsi diskriminan. Dalam analisis diskriminan majemuk, dapat dihitung lebih
dari satu fungsi (Malhotra, 2005).
Analisis diskriminan memiliki hubungan dengan analisis varians
(ANOVA), dan analisis regresi. Hubungan ketiga analisis tersebut digambarkan
dengan persamaan dan perbedaan yang meliputinya. Persamaan ketiga analisis
tersebut antara lain pada jumlah variabel dependen dan independennya. Variabel
tidak bebas berjumlah satu sementara variabel bebasnya berjumlah banyak.
Perbedaan ketiga analisis tersebut pada sifat variabelnya. Sifat variabel dependen
35
pada analisis varians dan regresi adalah metrik sementara pada analisis
diskriminan bersifat kategoris. Sedangkan sifat variabel independen pada analisis
diskriminan dan regresi adalah metrik, sementara pada analisis varians bersifat
kategoris. Tabel 5. di bawah ini menunjukkan hubungan tersebut.
Tabel 5. Hubungan antara Analisis Varians, Regresi dan Diskriminan ANOVA REGRESI DISKRIMINAN
Kesamaan Jumlah variabel dependen Jumlah variabel independen
Satu
Banyak
Satu
Banyak
Satu
Banyak Perbedaan
Sifat variabel dependen Sifat Variabel independen
Metrik
Kategoris
Metrik Metrik
Kategoris
Metrik Sumber: Malhotra, 2005
Langkah-langkah yang termasuk ke dalam analisis diskriminan terdiri dari
formulasi estimasi, penentuan signifikansi, penafsiran, dan validasi. Langkah-
langkah ini dibahas dan diilustrasikan ke dalam konteks analisis diskriminan dua
atau beberapa kelompok. Langkah-langkah tersebut diilustrasikan dalam Gambar
3. berikut.
Gambar 3. Langkah-Langkah Melakukan Analisis Diskriminan Sumber: Malhotra, 2005
Buat estimasi koefisien fungsi diskriminan
Formulasikan masalah
Tetapkan signifikansi fungsi diskriminan
Tafsirkan hasil
Menilai validitas analisis diskriminan
36
Pengelompokkan dalam analisis diskriminan ini bersifat mutually exclusive
dan collectively exhaustive, dalam artian jika suatu objek sudah masuk kelompok
satu maka objek tersebut tidak mungkin juga dapat menjadi anggota kelompok
dua. Analisis kemudian dapat dikembangkan pada variabel mana saja yang
membuat kelompok satu berbeda dengan kelompok dua, berapa persen yang
masuk kelompok satu, dan berapa persen yang masuk kelompok dua.
Dalam analisis diskriminan ini terdapat sejumlah variabel bebas, maka
akan terdapat satu variabel tidak bebas (bergantung). Ciri analisis diskriminan
adalah jenis data dari variabel dependen bertipe nominal (kategori) seperti kode 0
dan 1, atau kode 1, 2, dan 3 serta kombinasi lainnya. Menurut Malhotra (2005)
jika variabel variabel tidak bebas menggunakan skala interval atau rasio, maka
variabel-variabel tersebut harus lebih dahulu dikonversikan ke dalam kategori-
kategori. Alternatif lainnya adalah kita dapat membagi distribusi variabel
dependen dan membentuk kelompok-kelompok dengan ukuran yang sama lewat
penentuan titik potong yang sesuai untuk setiap kategori. Variabel-variabel
prediktor harus dipilih berdasarkan model teoritis atau riset sebelumnya, atau
dalam kasus explanatory research, pemilihan variabel tersebut didasarkan pada
pengelaman peneliti.
Secara alamiah analisis diskriminan lebih bersifat eksploratif sebagai suatu
prosedur pemisahan. Analisis diskriminan sering digunakan dengan landasan satu
waktu untuk memeriksa perbedaan yang diamati. Untuk kasus yang sederhana,
analisis diskriminan dapat diterapkan pada dua grup, dalam hal ini grup adalah
contoh dari populasi yang telah diterapkan sebelumnya. Sejumlah variabel dua
grup, maka akan terbentuk kombinasi linear dari variabel-variabel bebas tersebut.
37
Analisis diskriminan dapat dipakai untuk mengetahui variabel-variabel
penciri yang membedakan kelompok populasi yang ada, juga dapat digunakan
sebagai kriteria pengelompokkan (Gasperz dalam Setyantoro, 2001). Analisis
diskriminan dilakukan berdasarkan perhitungan statistik terhadap kelompok yang
terlebih dahulu diketahui secara jelas dan mantap pengelompokkannya. Untuk
menentukan peubah-peubah yang dimasukkan ke dalam fungsi diskriminan dapat
menggunakan analisis diskriminan bertatar (stepwise discriminant). Peubah-
peubah independen dimasukkan ke dalam model secara bertahap didasarkan atas
kemampuan peubah independen tersebut dalam mendiskriminasikan
antarkelompok. Metode ini cocok digunakan jika banyak peubah independen yang
dilibatkan, dan peneliti ingin menyederhanakan model dengan memilih peubah
independen yang terbaik untuk dimasukkan ke dalam model (Malhotra, 2005).
3.1.5 Konsep Fungsi Produksi
Produksi adalah proses menciptakan barang atau jasa ekonomi dengan
menggunakan dua macam atau lebih barang atau jasa lainnya. Produksi
berhubungan dengan usaha untuk menciptakan dan menambah kegunaan suatu
barang atau jasa.
Proses produksi yang terjadi selalu melibatkan faktor-faktor yang memiliki
hubungan erat dalam menghasilkan suatu produk (Nicholson, 2002). Tidak ada
suatu barang atau jasa yang diproduksi dengan hanya menggunakan satu faktor
produksi. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi besar-kecilnya produk yang
dihasilkan. Proses produksi dibedakan atas tiga periode waktu yaitu jangka sangat
pendek, jangka pendek, dan jangka panjang. Jangka sangat pendek dicirikan
38
dengan semua inputnya adalah tetap sementara jangka panjang memiliki minimal
satu input yang yang merupakan input variabel.
Doll dan Orazem (1984) mendefinisikan fungsi produksi sebagai suatu
fungsi yang menggambarkan hubungan teknis antara faktor produksi (input) dan
produksi (output) yang ditandai dengan jumlah output maksimal yang dapat
diproduksi dengan satu set kombinasi tertentu. Soekartawi (1990) menambahkan
bahwa fungsi produksi secara sederhana dapat digambarkan sebagai hubungan
fisik atau hubungan teknis antara jumlah faktor produksi yang digunakan dengan
jumlah produk yang dihasilkan per satuan waktu. Fungsi produksi
menggambarkan hubungan input-output yaitu berapa sumber daya yang
ditransformasikan menjadi produk. Penggunaan fungsi produksi haruslah dapat
dipertanggungjawabkan, memiliki dasar yang logis secara fisik maupun ekonomi,
mudah dianalisis, dan mempunyai implikasi ekonomi.
Secara matematis, fungsi dapat dinyatakan sebagai berikut (Doll dan
Orazem, 1984):
Y = f (X1, X2,…, Xn)
Keterangan:
Y = Jumlah produksi yang dihasilkan dalam proses produksi
X1, X2,…, Xn = Faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi
f = Bentuk hubungan yang ditransformasikan faktor-faktor
produksi ke-n dalam hasil produksi
39
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam fungsi produksi, antara lain:
1. Kepastian
Dalam pertanian, hasil produksi yang lalu mungkin kurang baik untuk
mengestimasi hasil produksi hasil tahun sekarang, sedangkan dalam bisnis
yang menggunakan mesin buatan mungkin hasil produksi yang lalu dapat
digunakan untuk mengestimasi hasil produksi sekarang. Permasalahan
dalam pertanian muncul karena masa depan tidak dapat diketahui atau
diperkirakan. Hal ini disebut resiko dan ketidakpastian. Oleh karena itu
digunakan asumsi perpect certainty.
2. Tingkat Teknologi
Sebuah produk atau output dapat dihasilkan dengan berbagai cara. Oleh
karena itu, pengusaha penggilingan harus menggunakan cara atau teknik
yang paling efisien.
3. Panjang Periode Waktu
Fungsi produksi menggambarkan output yang dihasilkan dari proses
produksi selama periode waktu tertentu. Input tetap jumlahnya tidak
berubah selama periode produksi, sementara input variabel mengalami
perubahan selama proses produksi berlangsung.
Fungsi produksi klasik menunjukkan tiga daerah produksi yang berbeda
dalam penggunaan sumberdaya meliputi daerah produksi kenaikan, penurunan,
dan negatif penerimaan marjinal. Daerah-daerah tersebut dibedakan berdasarkan
elastisitas produksi, yaitu perubahan produk yang dihasilkan karena perubahan
faktor produksi yang digunakan (Doll dan Orazem, 1984). Pada Gambar 4.,
daerah-daerah tersebut ditunjukkan oleh daerah I, daerah II, dan daerah III.
40
Gambar 4. Kurva Fungsi Produksi dan Hubungannya dengan Produk
Marjinal dan Produk Rata-Rata Sumber: Doll dan Orazem, 1984
Daerah produksi I yang terletak di antara 0 dan X2, memiliki nilai
elastisitas lebih dari satu, artinya bahwa setiap penambahan faktor produksi
sebesar satu satuan, akan menyebabkan petambahan produksi yang lebih besar
dari satu satuan. Pada kondisi ini, keuntungan maksimum belum tercapai karena
produksi masih dapat diperbesar dengan mengunakan faktor produksi yang lebih
banyak. Daerah produksi I disebut juga daerah irasional.
Daerah produksi II yang terletak di antara X2 dan X3, memiliki nilai
elastisitas produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi
X (faktor produksi)
PM atau PR
X (faktor produksi)
Fungsi produksi
Daerah III
PM (produk marjinal)
PR (produk rata-rata)
Daerah I Daerah II
X1 X2 X3 0
Y (produksi)
41
sebesar satu satuan akan menyebabkan penambahan produksi paling besar satu
satuan dan paling kecil nol satuan. Daerah ini menunjukkan tingkat produksi
memenuhi syarat keharusan tercapainya keuntungan maksimum. Daerah ini juga
dicirikan dengan penambahan hasil produksi yang semakin menurun (diminishing
return). Pada tingkat tertentu dari penggunaan faktor-faktor produksi di daerah ini
akan memberikan keuntungan maksimum. Hal ini menunjukkan penggunaan
faktor-faktor produksi telah optimal sehingga daerah ini disebut daerah rasional
(rational region atau rational stage of production).
Daerah produksi III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil
dari nol. Pada daerah ini produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan
oleh produk marginal yang bernilai negatif yang berarti setiap penambahan faktor
produksi akan mengakibatkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan.
Penggunaan faktor produksi pada daerah ini sudah tidak efisien sehingga disebut
daerah irasional (Irrational region atau irrational stage of production).
3.1.6 Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi
Suatu usaha efisien secara teknis jika menghasilkan output tertinggi yang
memungkinkan dari pemakaian sejumlah input pada produksi, sementara efisiensi
alokatif terjadi jika suatu usaha menggunakan kombinasi input yang
menghasilkan keuntungan maksimum. Dua pengukuran ini kemudian
dikombinasikan untuk mengukur efisiensi ekonomi12.
Gambar 5. menunjukkan garis produksi TP1 dan TP2 dengan garis rasio
harga. Titik A menunjukkan kondisi efisiensi alokatif karena garis harga
menyinggung garis produksi total. Efisiensi teknis tidak tejadi pada titik A karena 12 Alber, D. 2007. The Era Of Economic Growth. http://450-aers.psu.edu/economics-poor.cfm/ [diakses tanggal 1 Mei 2008]
42
jumlah output yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan jumlah output
yang berada pada TP2 atau dengan kata lain, ada cara lain yang lebih baik
menghasilkan output lebih tinggi. Titik C hanya menunjukkan terjadinya efisiensi
teknis dan titik D tidak menunjukkan adanya efisiensi alokatif dan teknis.
Sedangkan, titik B menunjukkan kedua kondisi, baik efisiensi alokatif dan teknis.
Gambar 5. Efisiensi Produksi Sumber: Doll dan Orazem, 1984
Terdapat dua syarat untuk mencapai efisiensi ekonomi, yaitu syarat
keharusan (necessary condition) dan syarat kecukupan (sufficient condition) (Doll
dan Orazem, 1984). Syarat keharusan bagi penentuan efisiensi dan tingkat
produksi optimum adalah hubungan fisik antara faktor produksi dengan produksi
harus diketahui. Dalam analisis fungsi produksi, syarat keharusan dipenuhi jika
produsen berproduksi pada daerah II yaitu pada saat elastisitas produksinya
bernilai antara nol dan satu (0 < Ep < 1). Tidak seperti syarat keharusan yang
bersifat objektif, syarat kecukupan ditujukan untuk nilai dan tujuan individu atau
kelompok. Syarat kecukupan dapat secara alami berbeda antara satu individu
dengan yang lainnya. Dalam teori abstrak, kondisi ini biasa disebut indikator
pilihan (choice indicator).
A
B
C
D Garis Rasio Harga
TP1
TP2
Y
X
YB
YD
YC YA
XB XC XA XD
• • •
•
43
Usahatani akan mencapai efisiensi ekonomi jika tercapai keuntungan
maksimum. Syarat untuk mencapai kuntungan maksimum adalah turunan pertama
dari fungsi keuntungan terhadap masing-masing faktor produksi sama dengan nol
(Doll dan Orazem, 1984). Fungsi keuntungan yang diperoleh usahatani dapat
dinyatakan sebagai berikut:
���
���
+−= � TFCXPxYP iiy ..π
Keterangan:
� = Pendapatan usahatani
i = 1, 2, 3, …, n
Pxi = Harga pembelian faktor produksi ke-i
TFC = Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total)
Py = Harga per unit produksi
Y = Hasil produksi
Dengan demikian, untuk memenuhi syarat tercapainya keuntungan
maksimum, maka turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah:
� 0=−∂∂=
∂∂
iii
PxXY
PyXπ
�
ii
PxXY
Py =∂∂
�
Dari persamaan tersebut dapat diketahui bahwa level penggunaan faktor
produksi ke-i yang efisien merupakan fungsi dari harga output, harga faktor
produksi ke-i dan jumlah output yang dihasilkan, atau secara matematis dapat
dituliskan sebagai berikut:
44
Xi = f (Py, Px, Y)
Dengan mengetahui iX
Y∂∂
sebagai marginal product (MPxi) faktor produksi
ke-i, maka persamaan di atas menjadi:
Py.MPx = Px
Sesuai dengan prinsip keseimbangan marjinal (equi-marginal principle),
bahwa untuk mencapai keuntungan maksimal, tambahan nilai produksi akibat
tambahan penggunaan faktor produksi ke-i (Py.MPxi) harus lebih besar dari
tambahan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian faktor produksi ke-i tersebut
(Pxi), penambahan penggunaan faktor produksi berhenti ketika Py.MPxi = Pxi.
Pada saat inilah keuntungan maksimum tercapai.
Secara matematis keuntungan maksimum dari penggunaan faktor produksi
ke-i dinyatakan sebagai berikut:
� 1.
=i
i
PxMPxPy
�
Keterangan:
Py.MPxi = Nilai produk marjinal (NPM) faktor produksi ke-i
Pxi = Biaya korbanan marjinal (BKM) faktor produksi ke-i
Artinya keuntungan maksimum tercapai pada saat tambahan nilai produksi
akibat penambahan pengunaan faktor produksi ke-i tersebut atau resiko keduanya
sama dengan satu.
45
Jadi secara umum keuntungan maksimum dari penggunaan n faktor
produksi akan diperoleh pada saat:
1.
.........
=====n
n
i
i
i
i
i
i
PxMPxPy
PxMPxPy
PxMPxPy
PxMPxPy
Dengan asumsi Py dan Px merupakan nilai konstan, maka hanya ix
Y∂∂
yang
mengalami perubahan. Ketika Py.MPxi > Pxi, maka penggunaan faktor produksi
harus ditambah agar tercapai keuntungan maksimum. Sebaliknya jika Py.MPxi <
Pxi, maka penggunaan faktor produksi harus dikurangi.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Kabupaten Karawang merupakan salah satu sentra produksi beras terbesar
di Indonesia. Salah satu fokus pembangunan pemerintah Kabupaten Karawang
adalah pembangunan pertanian. Pembangunan pertanian selain bertujuan untuk
kesejahteraan rakyat juga ditujukan untuk ikut dalam upaya penyediaan beras bagi
daerah-daerah lain di Indonesia. Pembangunan pertanian di Kabupaten Karawang
tidak terlepas dari peranan penggilingan padi sebagai industri pengolahan padi
menjadi beras.
Terdapat sekitar 1.120 penggilingan kecil dan sebanyak 66 penggilingan
besar yang beroperasi di Kabupaten Karawang. Penggilingan-penggilingan
tersebut tersebar hampir di setiap kecamatan di wilayah ini. Dalam
operasionalnya, penggilingan padi dapat berusaha sendiri maupun mengadakan
kerjasama dengan Bulog dalam bentuk kemitraan yang saling menguntungkan.
Usaha penggilingan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan petani.
Petani sebagai penghasil gabah adalah pihak yang menjual gabahnya ke
46
penggilingan. Penggilingan tidak akan mampu bertahan tanpa adanya peran
petani, begitu juga sebaliknya petani membutuhkan penggilingan untuk
memproses hasil panen manjadi beras. pada saat panen semua penggilingan ralatif
dapat melakukan proses produksi, akan tetapi pada saat terjadi gagal panen, hanya
ditemukan beberapa penggilingan tertentu yang berproduksi. Penggilingan yang
tetap berproduksi pada saat gagal panen memiliki modal yang lebih besar
sehingga penggilingan besar dapat membeli gabah dari daerah lain yang surplus
beras. Cuaca yang buruk juga dapat menjadi kendala bagi banyak penggilingan,
sehingga penggilingan berhenti produksi untuk sementara.
Masalah pada penggilingan di Kabupaten Karawang tidak terbatas pada
masalah yang ada hubungannya dengan petani dan alam. Penggilingan di
Kabupaten Karawang juga mengalami masalah penurunan rendemen beras seperti
pada rata-rata penggilingan lainnya di Indonesia. Penurunan rendemen beras dapat
mengakibatkan menurunnya hasil produksi beras yang merupakan faktor
penerimaan utama penggilingan. Menurunnya hasil produksi dapat berdampak
pada menurunnya pendapatan yang diterima oleh penggilingan padi. Selain itu,
faktor mesin dan alat yang digunakan penggilingan belum optimal dalam
menghasilkan beras dengan kualitas dan kuantitas yang baik. Banyak
penggilingan yang masih menggunakan mesin dan alat yang berumur tua dengan
teknologi rendah. Mesin dan alat berteknologi tinggi hanya terdapat pada
penggilingan yang memiliki modal besar.
Berdasarkan kondisi tersebut, menarik untuk diteliti bagaimana
karakteristik pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang. Analisis
dilakukan dengan mengetahui karakteristik pengusaha sebagai pemilik
47
penggilingan dan aktivitas pengusahaan penggilingan padi. Analisis mengenai
karakteristik dilakukan pada kedua kelompok penggilingan padi dalam penelitian
ini, yaitu penggilingan padi besar dan kecil, sehingga diharapkan mampu
menggambarkan kedua kelompok tersebut berikut perbedaan karakteristiknya.
Penelitian kemudian diarahkan untuk mengetahui seberapa
menguntungkan pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang. Analisis
pendapatan dilakukan dengan menghitung pendapatan tunai dan total, serta
menghitung rasio R/C dari aktivitas penggilingan yang telah dilakukan. Dugaan
sementara dari penelitian ini bahwa pendapatan antara satu penggilingan dengan
yang lainnya dapat berbeda. Satu penggilingan dapat memiliki pendapatan lebih
tinggi atau lebih rendah dibandingkan penggilingan lainnya.
Penggilingan yang memiliki pendapatan di atas rata-rata dikelompokkan
ke dalam penggilingan berpendapatan tinggi, sedangkan penggilingan
berpendapatan di bawah rata-rata dikelompokkan ke dalam penggilingan
berpendapatan rendah. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan melakukan
analisis diskriminan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
perbedaan pendapatan penggiingan padi.
Informasi yang diperoleh melalui analisis di atas akan dilanjutkan dengan
meneliti tingkat efisiensi penggunaan faktor produksi. Faktor-faktor tersebut
antara lain jumlah GKP, jumlah solar, tenaga kerja, jam kerja mesin, kapasitas
mesin, modal, mitra Bulog, pendidikan pemilik, dan pengalaman usaha. Fungsi
produksi yang terbentuk juga akan melihat skala usaha pengusahaan penggilingan
padi dan rasio antara NPM dan BKM. Gambar 6. menunjukkan kerangka
pemikiran operasional penelitian ini.
48
Gambar 6. Kerangka Pemikiran Operasional
Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
Analisis Pendapatan
Pendapatan Rasio R/C
Total Tunai
Analisis Diskriminan
Atribut-Atribut Diskriminan: - Kapasitas Produksi - Tenaga kerja - Jam kerja mesin - Kapasitas mesin - Jumlah GKP - Kadar air gabah - Luas gudang simpan - Luas lantai jemur - Tingkat rendemen beras - Pengalaman usaha - Pendidikan pengusaha - Modal - Kemasan - Grading beras - Mitra Bulog - Sumber modal - Umur pengusaha - Jumlah solar - Pengalaman usaha - Pendidikan
• Keterkaitan sangat erat dengan petani dan kondisi alam • Tingkat rendemen beras yang menurun • Kondisi dan teknologi mesin dan alat produksi • Fluktuasi harga gabah dan harga beras • Modal penggilingan padi
Analisis Efisiensi Produksi
Faktor-Faktor Produksi: − Jumlah GKP -Kapasitas mesin − Tenaga Kerja -Modal − Bahan Bakar -Mitra Bulog − Jam Kerja Mesin -Pendidikan − Pengalaman
Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi
Karakteristik Pengusahaan Penggilingan Padi
49
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil tempat di Kabupaten
Karawang Propinsi Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan selama dua bulan
yang berlangsung dari bulan Februari 2008 sampai dengan bulan Maret 2008.
Pemilihan lokasi dilakukan dengan secara sengaja (purposive) dengan
mempertimbangkan Kabupaten Karawang sebagai salah satu wilayah sentra beras
di Jawa Barat. Selain itu, usaha penggilingan padi terdapat cukup banyak di
kabupaten yang dikenal sebagai lumbung beras ini. Pengambilan data dilakukan di
tiga kecamatan yang memiliki jumlah penggilingan padi yang relatif banyak yaitu,
Kecamatan Rengasdengklok, Telagasari, dan Tirtajaya.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Penelitian yang dilakukan ini menggunakan dua jenis data, yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur
berpedoman kepada kuesioner yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara
langsung dilakukan dengan para pengusaha penggilingan padi yang berada di
Kabupaten Karawang. Pengamatan langsung di lapangan dilakukan untuk melihat
aktivitas pengusahaan pengilingan padi. Data sekunder diperoleh melalui
penelusuran kepustakaan melalui buku, jurnal ilmiah, media massa, kumpulan
makalah, seminar, browsing internet, dan penelusuran literatur lainnya yang
berkaitan dengan topik penelitian ini. Selain itu, data sekunder juga diperoleh dari
50
Pusat Studi Sosial Ekonomi Pertanian Bogor, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota
Bogor dan Kabupaten Karawang serta Dinas Pertanian Kabupaten Karawang.
4.3 Metode Penarikan Sampel
Pengumpulan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
teknik judgement sampling. Teknik ini menurut Nazir (2003) merupakan teknik
penarikan sampel berdasarkan pertimbangan objektif dan kriteria tertentu yang
ditentukan oleh peneliti. Sampel dalam penelitian ini adalah para pengusaha
penggilingan padi baik yang telah melakukan usaha sejak lama ataupun
pengusaha penggilingan padi yang baru berdiri. Pengusaha penggilingan padi
yang menjadi responden pada penelitian ini adalah pengusaha yang memiliki
usaha dan beroperasi di Kabupaten Karawang. Jumlah responden yang
diwawancarai adalah 35 pengusaha penggilingan padi.
Daerah sebaran kuesioner meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan
Regasdengklok, Kecamatan Telagasari, dan Kecamatan Tirtajaya. Mengacu pada
data Distan Hutbun Kabupaten Karawang (2006), ketiga kecamatan tersebut
dipilih dengan pertimbangan jumlah pengusahaan penggilingan padi yang relatif
banyak. Adapun jumlah responden tiap kecamatan ditentukan secara proporsional
sesuai dengan proporsi jenis penggilingan yang akan diwawancarai. Tabel 6.
menunjukkan jumlah penggilingan yang diambil tiap kecamatan lokasi penelitian.
Skala dan besarnya usaha penggilingan padi dalam penelitian ini terbagi ke
dalam dua kelompok, yaitu penggilingan padi besar dan penggilingan padi kecil.
Pembagian tersebut merupakan penyesuaian dari pembagian penggilingan padi
berdasarkan pada Bulog (2007) yang membagi penggilingan ke dalam empat
51
klasifikasi, yaitu PPT, PPB, PPK, dan PPS dengan kriteria sarana dan kapasitas
produksi. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penelitian dengan mengacu pada
kriteria yang ditetapkan Bulog (2007) sulit dilakukan karena keterbatasan jumlah
penggilingan padi klasifikasi PPT dan informasi yang sulit untuk diakses.
Penelitian ini mengambil nilai batas bawah untuk penggilingan padi
klasifikasi PPB dan nilai batas atas untuk penggilingan padi klasifikasi PPK dari
kapasitas produksi menurut penggilingan klasifikasi Bulog. Kapasitas produksi
yang dimaksud dan menjadi acuan dalam penelitian ini adalah kapasitas produksi
beras penggilingan sebesar 20 ton per hari. Penggilingan padi yang memiliki
kapasitas produksi beras per hari lebih besar atau sama dengan 20 ton
digolongkan ke dalam penggilingan padi besar, sedangkan penggilingan padi kecil
adalah penggilingan dengan kapasitas produksi kurang dari 20 ton beras per hari
Jumlah penggilingan padi besar dan kecil dapat dilihat pada Tabel 6. di bawah ini.
Tabel 6. Jumlah dan Jenis Penggilingan pada Lokasi Penelitian Kecamatan Penggilingan Padi Besar Penggilingan Padi Kecil
Rengasdengklok 5 8 Telagasari 4 7 Tirtajaya 4 7
Jumlah 13 22
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan analisis
kuantitatif berdasarkan data primer dan sekunder dari hasil penelitian. Analisis
kualitatif dilakukan untuk melihat aktivitas produksi penggilingan padi dan hal-
hal yang terkait diuraikan secara deskriptif. Untuk menyederhanakan data agar
mudah dibaca, data kualitatif disajikan dengan menggunakan tabel, persentase,
grafik, dan diagram. Data yang telah terkumpul kemudian mengalami tahapan
52
pengeditan, pengolahan, dan penyusunan dalam bentuk tabulasi untuk selanjutnya
dianalisis. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat hitung
dan menggunakan software Microsoft Excel 2007, program Minitab Realease 14,
dan program SPSS 13.
4.4.1 Analisis Pendapatan
Analisis pendapatan dilakukan dengan mencatat seluruh penerimaan dan
pengeluaran penggilingan padi sesuai dengan kemampuan kapasitas produksi
beras per hari. Penerimaan total adalah nilai produk total dalam jangka waktu
tertentu. Pengeluaran total adalah nilai semua input yang dikeluarkan dalam
proses produksi. Pengeluaran total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tunai
dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara
tunai, sedangkan biaya diperhitungkan mencakup biaya yang secara tidak
langsung dikeluarkan pengusaha seperti biaya penyusutan, sementara pendapatan
adalah selisih antara total penerimaan dan total pengeluaran.
Semua komponen biaya dan penerimaan dalam penelitian ini, kecuali
penyusutan alat-alat atau mesin, banguanan dan modal lainnya dikonversi ke
dalam rata-rata kapasitas produksi beras per hari masing-masing jenis
penggilingan. Hal ini unik karena biaya yang dikeluarkan penggilingan padi
masing-masing relatif sama untuk tiap aktivitas produksi dengan membayar buruh
atau tenaga kerja sejumlah rupiah tertentu dari setiap kilogram gabah atau beras
yang diproses. Selain itu, karakteristik penggilingan padi yang mirip perusahaan
dengan siklus produksi yang relatif cepat dan tanpa terputus, menyulitkan untuk
menggunakan satuan lain selain pendapatan pengusahaan penggilingan padi per
53
hari baik penggilingan besar, kecil, maupun secara agregat walauupun diketahui
bahwa tidak semua penggilingan melakukan produksi setiap hari.
Biaya penyusutan alat-alat atau mesin-mesin, gudang penyimpanan, dan
bangunan diperhitungkan sebagai biaya penggunaan per hari produksi dengan
membagi selisih antara nilai pembelian dengan sisa yang ditafsirkan dengan
lamanya modal dipakai, dengan menggunakan metode penyusutan garis lurus
dengan perhitungan sebagai berikut:
Biaya Penyusutan = (Nb-Ns) / n
Nb = Nilai pembelian, dalam rupiah
Ns = Tafsiran nilai sisa, dalam rupiah
N = Jangka usia ekonomi, dalam hari produksi
Setelah itu dilakukan perhitungan pendapatan atas biaya tunai atau
pendapatan kotor dan perhitungan pendapatan atas biaya total atau pendapatan
bersih. Secara matematis pendapatan atas biaya tunai (Bt) dapat dituliskan sebagai
berikut:
� tunai = TR – Bt
Keterangan:
� tunai = Pendapatan tunai atau keuntungan tunai
TR = Penerimaan total (total revenue)
Bt = Biaya tunai
54
Sementara pendapatan atas biaya total (BT) dapat dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
� total = TR – BT
Keterangan:
� total = Pendapatan total atas keuntungan total
BT = Biaya total (biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan)
4.4.2 Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya
Analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio analysis) merupakan
alat untuk mengetahui kriteria kelayakan dari kegiatan usaha yang dilakukan.
Rasio R/C membandingkan antara nilai output terhadap nilai inputnya atau
perbandingan antara penerimaan usahatani (TR) dengan pengeluaran usaha.
Analisis rasio R/C dilakukan berdasarkan jenis biaya yang dikeluarkan, yaitu
biaya tunai (Bt) dan biaya total (BT). Rumus Rasio R/C atas biaya tunai adalah
sebagai berikut:
BtTR
CRRasio =/
Sedangkan rasio R/C atas biaya total dapat dituliskan sebagai berikut:
BTTR
CRRasio =/
4.4.3 Analisis Diskriminan
Analisis diskriminan dipakai dalam penelitian ini karena variabel tidak
bebas (dependen) penelitian adalah variabel kategoris yaitu bila variabel
penelitian menggunakan skala ordinal atau nominal sedangkan variabel bebas
(independen) menggunakan skala metrik (interval dan rasio). Variabel tidak bebas
55
berupa dua kategori, dimana dalam penelitian ini responden atau objek terbagi
atas dua kategori, yakni pengusahaan penggilingan padi yang memiliki
pendapatan tinggi dan pengusahaan penggilingan padi berpendapatan rendah.
Penggilingan berpendapatan tinggi adalah penggilingan yang memiliki
pendapatan lebih besar dari rata-rata pendapatan penggilingan padi secara agregat,
sedangkan penggilingan berpendapatan rendah memiliki pendapatan lebih kecil
dari rata-rata pendapatan penggilingan padi secara agregat. Data mengenai
besarnya pendapatan diperoleh setelah melakukan analisis pendapatan kemudian
dipisahkan berdasarkan kelompok di atas.
Metode analisis diskriminan yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan analisis diskriminan bertahap (stepwise discriminant), dimana
variabel-variabel bebas dimasukkan ke dalam model secara bertahap berdasarkan
kemampuan variabel bebas tersebut dalam melakukan diskriminasi
antarkelompok. Metode ini cocok digunakan jika banyak variabel bebas yang
dilibatkan dan peneliti ingin menyederhanakan model dengan memilih variabel
terbaik untuk dimasukkan ke dalam model (Malhotra, 2005).
Adapun variabel-variabel bebas yang diduga menunjukkan perbedaan
antara kedua kelompok tersebut antara lain 1) Kapasitas produksi beras; 2)
Kapasitas mesin; 3) Tenaga kerja; 4) Jam kerja mesin; 5) Jumlah GKP; 6) Kadar
air gabah; 7) Luas gudang penyimpanan; 8) Luas lantai jemur; 9) Rendemen
beras; 10) Pengalaman pengusaha; 11) Pendidikan pengusaha; 12) Modal
pengusaha; 13) Kemasan beras; 14) Grading beras; 15) Mitra Bulog; 16) Sumber
modal pengusaha; 17) Umur pengusaha; dan 18) Jumlah solar. Lima faktor
pembeda dalam perhitungan analisis diskriminan ini dikelompokkan ke dalam
56
skala interval (Tabel 7.). Variabel bebas (faktor-faktor) tersebut diduga dapat
menunjukkan perbedaan antara kedua kelompok penggilingan padi berdasarkan
tingkat pendapatannya.
Tabel 7. Faktor Pembeda dalam Skala Interval No Atribut Satuan Ukuran 1. Mitra Bulog 1 = Penggilingan bermitra
2 = Penggilingan tidak bermitra 2. Sumber Modal 1 = Modal sendiri
2 = Modal pinjaman 3. Kemasan Beras 1 = Menggunakan merek sendiri
2 = Menggunakan merek pasar 4. Grading Beras 1 = Melakukan grading beras
2 = Tidak melakukan grading 5. Pendidikan Pengusaha 1 = SMA – S1
2 = SD – SMP
Dengan memilih variabel-variabel bebas yang terbaik sebagai prediktor
(pembeda) pada setiap tahapannya, maka variabel-variabel bebas yang tidak
berguna sebagai prediktor antarkelompok akan dikeluarkan dari model. Model
diskriminan yang berisi variabel-variabel bebas terpilih tadi sama baiknya, bahkan
terkadang lebih baik, dibandingkan model yang berisi keseluruhan variabel bebas
yang digunakan dalam penelitian (Hair, et.al., 1998).
Prosedur pemilihan variabel bebas terbaik dilakukan dalam beberapa tahap
(step) sehingga disebut dengan analisis diskriminan bertahap (stepwise
discriminant analysis). Metode ini akan memasukkan variabel satu-persatu
berdasarkan kemampuan mereka dalam membedakan kelompok. Pada setiap
tahapan stepwise discriminant, pemilihan variabel tersebut didasarkan atas nilai
Mahalanobis Distance (Min D square) yang terbesar disertai dengan nilai Sig. of
F to Enter yang terkecil. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi, maka atribut yang
bersangkutan secara signifikan dapat berfungsi sebagai pembeda kelompok dan
57
dapat dimasukkan ke dalam model. Namun apabila tidak terpenuhi maka proses
dihentikan (Myers dan Mullet, 2003).
Model diskriminan yang terbentuk dapat dikatakan mampu membedakan
perilaku kedua kelompok secara nyata jika angka Chi-square tinggi dengan
tingkat signifikansi di bawah 0.05, makin besar nilai Chi-square dan makin
rendah nilai signifikansi, menggambarkan bahwa perilaku antarkelompok secara
nyata berbeda.
Hair, et.al. (1998) menyatakan bahwa model diskriminan adalah
kombinasi linear dari variabel-variabel bebas yang merupakan hasil analisis
diskriminan. Bentuk model tersebut yaitu:
Zjk = a + W1X1k + W2X2k + … +WnXnk
Keterangan
Zjk = Z skor diskriminan (discriminant Z score)
a = Intersep
W = Bobot diskriminan
X = Variabel bebas
Dengan mengabaikan tanda, tiap-tiap pembobot menggambarkan
kontribusi relatif dari variabel bebas yang bersangkutan terhadap model
diskriminan yang terbentuk. Variabel bebas dengan bobot yang lebih besar
memberikan kontribusi yang lebih baik sebagai prediktor (pembeda) perilaku
antarkelompok kepada model diskriminan, dibandingkan variabel bebas yang
memiliki bobot lebih kecil.
Model diskriminan akan mengestimasi koefisien W, sehingga nilai Z
(discriminant Z score) setiap kelompok sedapat mungkin berbeda. Berdasarkan
58
perbandingan nilai Z (discriminant Z score) dengan angka Z kritis (cutting Z
score), yaitu nilai yang perbatasan antarkelompok, keanggotaan anggota
kelompok (penggilingan) diprediksi. Dalam penelitian ini, jumlah antar kedua
kelompok tidak sama sehingga untuk mendapatkan angka Z kritis diperoleh
melalui rumus yang dikemukakan oleh Hair, et.al. (1998) sebagai berikut:
NbNaZbNbZaNa
Z cu ++= ..
Keterangan:
Zcu = Angka kritis untuk kelompok yang tidak sama ukurannya
Na = Jumlah anggota kelompok a
Nb = Jumlah anggota kelompok b
Za = Centroid kelompok a
Zb = Centroid kelompok b
Tahap terakhir adalah mengidentifikasi ketepatan prediksi dari model
diskriminan, yaitu dengan menunjukkan kasus yang secara tepat diprediksi oleh
model baik dari kelompok penggilingan berpendapatan tinggi dan penggilingan
padi berpendapatan rendah kemudian dibagi jumlah kasus secara keseluruhan.
Menurut Hair, et.al. (1998) batas minimal ketepatan prediksi untuk model
diskriminan yang tidak sama ukuran kelompoknya diperoleh dengan rumus:
22 )1( ppCpro −+=
Keterangan
Cpro = Batas minimal ketepatan prediksi
p = Proporsi dari kelompok 1
(1 - p) = Proporsi dari kelompok 2
59
Jika model diskriminan dengan ukuran kelompok yang tidak sama
memiliki ketepatan prediksi di atas nilai Cpro, maka ketepatan prediksi model
tersebut termasuk kategori ketepatan klasifikasi tinggi. Sesuai dengan batasan
penelitian ini, maka tahap analisis hanya dilakukan sampai tahap mengetahui
faktor-faktor apa saja yang menjadi pembeda perilaku kedua kelompok.
4.4.4 Analisis Fungsi Produksi
Fungsi produksi yang digunakan untuk menjelaskan parameter Y dan X
dalam penelitian ini adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Menurut Soekartawi
(1990) fungsi produksi Cobb-Douglas memliki beberapa kelebihan antara lain 1)
penyelesaian fungsi Cobb-Douglas relatif lebih mudah dan sederhana
dibandingkan dengan fungsi yang lain karena dapat ditransformasikan ke dalam
bentuk linear sederhana; 2) koefisien pangkatnya sekaligus menunjukkan
besarnya elastisitas produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor
produksi; 3) jumlah elastisitas dugaan dari masing-masing faktor produksi
merupakan pendugaan skala usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor
produksi yang digunakan dalam proses produksi yang sedang berlangsung.
Kondisi return to scale didefinisikan sebagai respon dari perubahan
jumlah output jika terjadi perubahan penggunaan semua input secara proporsional.
Skala usaha perlu diketahui apakah kegiatan dari suatu yang diteliti tersebut
mengikuti kaidah increasing, constant, atau decreasing return to scale. Jika
jumlah elastisitas produksi dari fungsi Cobb-Douglas dilambangkan dengan �bi,
kondisi usahatani dapat dibedakan menjadi:
60
a. Jika �bi > 1, kondisi usahatani berada pada kondisi increasing return to
scale, artinya setiap penambahan faktor produksi akan menghasilkan
tambahan produksi dengan proporsi yang lebih besar.
b. Jika �bi = 1, usahatani berada pada kondisi constant return to scale, artinya
penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan
produksi.
c. Jika �bi < 1, usahatani berada pada kondisi decreasing return to scale,
artinya penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan
produksi.
Fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan secara matematis sebagai berikut:
Y = b0X1b1X2
b2X3b3X4
b4……Xnbn eu
Keterangan:
Y = Produksi
b0 = Intersep
bi = Koefisien regresi penduga variabel ke-i
Xi = Jenis faktor produksi ke-I, dimana I = 1, 2, 3,…,n
e = Bilangan natural (e = 2,7182)
u = Unsur sisa (galat)
Soekartawi (1990) menambahkan bahwa syarat dalam menggunakan
fungsi produksi Cobb-Douglas adalah tidak ada nilai pengamatan yang bernilai
nol atau negatif karena logaritma dari nol adalah suatu bilangan yang besarnya
tidak berhingga (infintif), namun sulit untuk menghindarkan hal tersebut dalam
kenyataan di lapang. Hal tersebut memerlukan cara untuk memperbaiki
61
pendugaan yang menggunakan suatu data, yaitu dengan cara mengganti
pengamatan yang bernilai nol tersebut dengan bilangan yang lebih kecil sekali.
Persyaratan lainnya adalah dalam faktor produksi, perlu mengambil asumsi bahwa
tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan serta perbedaan lokasi
dalam fungsi produksi sudah tercakup pada faktor kesalahan.
Variabel-variabel dugaan yang digunakan dalam menganalisis fungsi
produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi penggilingan padi adalah faktor-
faktor yang diduga berhubungan secara langsung dengan produksi dan ditambah
faktor yang signifikan dalam analisis diskriminan yang telah dilakukan. Faktor-
faktor tersebut antara lain::
1. Jumlah GKP
Jumlah gabah dalam satu musim diukur dalam satuan kilogram. Jumlah
gabah yang digiling diduga memiliki pengaruh positif terhadap produksi
penggilingan padi, semakin banyak gabah yang digiling maka akan
meningkatkan produksi sebesar nilai elastisitasnya (cateris paribus).
2. Bahan Bakar (solar)
Penggunaan bahan bakar dalam proses produksi diukur dalam satuan liter.
Bahan bakar berupa solar diduga berpengaruh secara positif terhadap
produksi penggilingan padi, semakin besar penggunaan solar, semakin
meningkat produksi sebesar nilai elastisitasnya (cateris paribus).
3. Tenaga Kerja
Penggunaan tenaga kerja diukur dalam satuan hari orang kerja (HOK).
Tenaga kerja yang dimaksudkan di sini adalah tenaga kerja yang ikut serta
dalam kegiatan penggilingan (proses pengolahan) saja. Tenaga kerja
62
diduga berpengaruh positif terhadap produksi, secara teori bila jumlah
tenaga kerja yang digunakan bertambah satu satuan, maka akan
meningkatkan produksi sebesar nilai elastisitasnya (cateris paribus).
4. Jam Kerja Mesin
Penggunaan mesin per hari dalam aktivitas penggilingan dapat diukur
dalam satuan jam per hari (jam/hari). Jam kerja mesin adalah total
penggunaan seluruh mesin yang digunakan selama produksi dalam satu
hari. Jam kerja mesin diduga berpengaruh positif terhadap produksi, secara
teori apabila jumlah jam kerja mesin bertambah satu satuan, maka akan
meningkatkan produksi sebesar nilai elastisitasnya (cateris paribus).
5. Kapasitas Mesin
Kapasitas mesin diukur dengan kemampuan mesin atau daya mesin dalam
satuan horse power (HP) atau juga disebut dengan power kuda (PK). Daya
mesin mampu menentukan kecepatan giling dan jumlah beras yang
digiling, sehingga kapasitas mesin diduga berpengaruh positif terhadap
produksi. Secara teori, apabila jumlah jam kerja mesin bertambah satu
satuan, maka akan meningkatkan produksi sebesar nilai elastiistasnya
(cateris paribus).
6. Modal
Modal merupakan faktor yang sangat penting untuk menjamin berjalannya
suatu produksi penggilingan. Modal digunakan untuk membiayai seluruh
aktivitas produksi, dari mulai pembelian gabah sampai pada penjualan
beras. Modal diduga berpengaruh positif terhadap produksi. Semakin
banyak modal yang digunakan, maka semakin banyak pula jumlah
63
produksi yang dihasilkan. Secara teori, apabila modal bertambah sebesar
satu satuan, maka akan meningkatkan produksi sebesar nilai elastisitasnya
(cateris paribus).
7. Mitra dengan Bulog
Kerjasama yang dilakukan oleh penggilingan padi dengan Bulog dalam hal
pengadaan beras, diduga berpengaruh positif terhadap produksi. Kemitraan
dengan Bulog menuntut produksi yang berkelanjutan dengan kuantitas dan
kualitas yang telah ditentukan oleh Bulog. Faktor ini merupakan faktor
boneka (dummy).
8. Pendidikan
Pendidikan pemilik penggilingan diduga berpengaruh positif terhadap
produksi beras penggilingan. Pendidikan mampu menggambarkan kualitas
dan cara pandangan pemilik terhadap usaha yang dijalankannya. Semakin
tinggi pendidikan, semakin luas pula pengetahuan dan wawasan pemilik.
Faktor ini merupakan faktor boneka (dummy).
9. Pengalaman Pemilik
Pengalaman pemilik dalam menjalankan usaha penggilingan diduga
menjadi faktor yang berpengaruh positif terhadap produksi. Pemilik yang
berpengalaman telah mengetahui usaha penggilingan secara luas.
Seringkali, pemilik dengan pengalaman banyak dan luas menjadi pedoman
bagi pemilik lain dalam menjalankan aktivitas usahanya.
Identifikasi variabel dilakukan dengan mendaftar faktor-faktor produksi
yang digunakan dalam proses penggilingan padi. Faktor-faktor produksi tersebut
antara lain jumlah GKP, bahan bakar, tenaga kerja, jumlah jam kerja mesin,
64
kapasitas mesin, modal, pendidikan, mitra, dan pengalaman. Faktor-faktor
tersebut merupakan variabel independen (bebas) yang akan diuji pengaruhnya
terhadap variabel dependen (tidak bebas) yaitu hasil produksi.
Dalam analisis fungsi produksi digunakan pendekatan fungsi produksi
Cobb-Douglas, sebagai berikut::
Y = b0X1b1X2
b2X3b3X4
b4 X5b5 X6
b6 X7b7 X8
b8 X9b9eu
Model tersebut ditransformasikan dapat ke dalam bentuk linear
logaritmatik untuk menduga fungsi produksi:
lnY = ln b0 + b1lnX1 + b2lnX2 + b3lnX3 + b4lnX4 + b5lnX5 + b6lnX6 + b7lnX7
+ b8lnX8 + b9lnX9 + u
Keterangan:
Y = Produksi beras penggilingan padi (kg/hari)
X1 = Jumlah GKP (kg)
X2 = Bahan bakar yang digunakan (liter)
X3 = Tenaga kerja yang digunakan (HOK)
X4 = Jumlah jam kerja mesin per hari (jam/hari)
X5 = Kapasitas mesin giling (HP)
X6 = Modal usaha (juta rupiah)
X7 = Mitra dengan Bulog (faktor dummy; 1: bermitra, 2; tidak)
X8 = Pendidikan pengusaha (faktor dummy; 1: SMA-S1, 2: SD-SMP)
X9 = Pengalaman usaha (umur)
b0 = Intersep
bi = Koefisien regresi dari peubah bebas dengan I = 1. 2, 3,.. n
u = Galat
65
Berdasarkan analisis regresi sederhana logaritmatik akan diperoleh
besarnya nilai t-hitung, F-hitung, dan R2. Nilai t-hitung digunakan untuk menguji
apakah koefisien regresi dari masing-masing variabel bebas (X) yang digunakan
secara terpisah berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y). Nilai F-
hitung berguna untuk melihat apakah variabel-variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5,
X6, X7, X8 dan X9) tersebut secara bersma-sama memiliki pengaruh nyata terhadap
variabel tidak bebas (Y). Sementara nilai R2 berguna untuk melihat sejauh mana
keragaman yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas (X) terhadap variabel tidak
bebas (Y).
4.4.5 Pengujian Fungsi Produksi
Hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dalam produksi
dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dengan metode Ordinary Least
Square (OLS). Menurut Gujarati (1995), metode ini dapat dipakai dengan asumsi-
asumsi sebagai berikut:
1. Variasi unsur sisa menyebar normal
2. Nilai rata-rata dari unsur sisa sama dengan nol
3. Tidak ada korelasi berangkai/autokorelasi antara nilai-nilai sisa pada setiap
pengamatan
4. Homokedastiitas atau ragam merupakan bilangan tetap
5. Tidak ada hubungan linear sempurna antar peubah bebas
6. Tidak ada korelasi diri (multikolinearitas).
66
Pengujian-pengujian yang dilakukan adalah pengujian model penduga dan
pengujian terhadap parameter regresi.
1. Pengujian terhadap model penduga
Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah model penduga
yang diajukan sudah layak untuk menduga parameter dalam fungsi
produksi.
Hipotesis:
H0 : bi = bo = …… = b8 = 0
H1 : minimal ada satu b � 0
Uji statistik yang digunakan adalah uji F;
F-hitung = ( )
( ) ( )knRkR
−−−
/11/
2
2
F tabel = F (k-1, n-k)
dimana,
K = jumlah variabel, tetapi tidak termasuk konstanta
n = jumlah pengamatan/responden
Kriteria uji:
F-hitung > F-tabel (k-1, n-k) : tolak Ho
F-hitung > F-tabel (k-1, n-k) : terima Ho
Apabila kriteria uji menunjukkan penolakan Ho, maka parameter bebas
yang digunakan dalam analisis tersebut secara bersama-sama berpengaruh
nyata terhadap parameter tidak bebas. Sebaliknya apabila kriteria uji
menunjukkan terima Ho, maka parameter bebas yang digunakan dalam
67
analisis secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap parameter
tidak bebas.
Setelah itu, dilakukan penghitungan nilai koefisien determinasi (R2) agar
dapat memperkuat pengujian tersebut. Nilai koefisien determinasi akan
mampu menunjukkan seberapa jauh keragaman dapat dijelaskan oleh
parameter penjelas yang terpilih. Koefisien determinasi dapat dituliskan
sebagai berikut:
R2 = )()(
SSTtotalkuadratjumlahSSRregresikuadratjumlah
R2 = ��
��
�
�
�− 2
2
1i
i
Y
e
2. Pengujian untuk masing-masing parameter regresi
Pengujian ini berguna untuk mengetahui apakah masing-masing parameter
bebas yang bepengaruh nyata terhadap parameter tidak bebas.
Hipotesis:
H0 : bi = 0
H1 : bi � 0
Uji statistik: Uji t
t-hitung = ( )biSbi 0−
t-tabel = t(�/2, n-k)
Kriteria uji:
t-hitung > t-tabel (�/2, n-k) : tolak Ho
t-hitung < t-tabel (�/2, n-k) : terima Ho
68
dimana:
k = jmlah variabel bebas
n = jumlah pengamatan/responden
S(bi) = simpangan baku keofisien regresi
Jika Ho ditolak artinya peubah bebas berpengaruh nyata terhadap parameter
tidak bebas dalam model, sebaliknya jika terima Ho maka parameter bebas
tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebas (Sarwoko, 2005).
4.4.6 Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi
Pengujian terhadap efisiensi dilakukan untuk mengetahui tingkat
pencapaian ekonomi pada pengusahaan penggilingan padi, apakah faktor-faktor
produksi yang digunakan telah dikombinasikan secara optimal, sehingga dapat
diketahui apakah kegiatan tersebut telah mencapai keuntungan maksimum.
Analisis yang digunakan untuk melihat hal tersebut adalah analisis efisiensi
alokatif (allocative efficiency) atau juga disebut efisiensi harga (price efficiency)
berdasarkan penggunaan input. Efisiensi alokatif dicapai pada saat nilai produk
marjinal (NPM) sama dengan biaya korbanan marjinal (BKM) atau dengan kata
lain rasio NPM dengan BKM sama dengan satu.
Rasio NPM dan BKM sama dengan satu untuk semua faktor produksi
menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi berada pada kondisi
optimal dan telah mencapai keuntungan maksimal. Jika rasio NPM dan BKM
lebih besar dari satu, maka penggunaan faktor produksi belum efisien dan perlu
ditingkatkan agar optimal. Rasio NPM dan BKM yang kurang dari satu
menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi telah melebihi batas optimal
sehingga penggunaan harus dikurangi.
69
Nilai Produk Marjinal (NPM) merupakan hasil kali harga rata-rata output
dengan produk marjinalnya (PM). Produk marjinal merupakan hasil kali antara
koefisien regresi dengan rata-rata produksi per rata-rata penggunaan masing-
masing faktor produksi. Koefisien regresi yang digunakan adalah koefisien regresi
yang diperoleh dari hasil pendugaan dan pengujian fungsi produksi. Faktor-faktor
produksi yang akan dianalisis tingkat efisiensinya adalah faktor-faktor produksi
yang berpengaruh nyata terhadap produksi beras berdasarkan hasil uji t,
sedangkan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) didapat dari harga rata-rata dari
masing-masing faktor produksi yang digunakan.
4.4.7 Definisi Operasional
Definisi operasional diperlukan untuk menghindari adanya perbedaan
pengertian terkait istilah-istilah dalam penelitian ini.
1. Bahan bakar atau solar digunakan untuk menggerakkan mesin diesel
sebagai penggerak mesin giling.
2. Bangunan termasuk investasi penggilingan yang berkaitan secara langsung
dalam proses produksi seperti kantor, namun tidak termasuk rumah tempat
tinggal.
3. Biaya diperhitungkan dalam penelitian ini meliputi biaya penyusutan alat
dan mesin giling, kendaraan, lantai jemur, dan bangunan.
4. Calo atau tengkulak merupakan orang kiriman atau yang ditugaskan secara
khusus oleh penggilingan untuk mencari dan membeli gabah petani di
daerah yang sedang panen.
5. Dedak atau bekatul merupakan salah satu hasil samping dari pengolahan
gabah menjadi beras yang dapat dijual kembali.
70
6. Gabah kering panen (GKP) adalah gabah yang baru dipanen oleh petani di
sawah dan belum mengalami proses penjemuran. GKP merupakan jenis
gabah yang paling banyak dibeli penggilingan dibandingkan gabah kering
sawah (GKS) atau gabah kering giling (GKG).
7. Grading beras merupakan kegiatan memisahkan beras berdasarkan
kualitasnya. Grading beras dapat dilakukan dari mulai menggiling sampai
pada tahap pengemasan beras.
8. Gudang penyimpanan merupakan tempat yang digunakan untuk
menyimpan gabah yang belum dikeringkan ataupun siap digiling. Gudang
juga biasa digunakan untuk menyimpan beras yang sudah digiling.
9. Harga gabah dan harga beras merupakan harga kesepakatan yang terjadi
melalui tawar-menawar antara penggilingan (calo) dengan petani
berdasarkan keadaan pasar pada saat itu.
10. Jam kerja mesin merupakan total jam yang menjadi beban bagi mesin
untuk menggiling gabah selama satu hari produksi.
11. Jumlah beras yang dijual merupakan jumlah total dari kapasitas
penggilingan per hari dihitung dalam satuan ton.
12. Jumlah stok beras atau gabah merupakan jumlah total stok beras atau
gabah yang dimiliki penggilingan dan disimpan di gudang Jumlah stok
beras atau gabah dihitung dalam satuan ton.
13. Kadar air gabah merupakan jumlah kandungan air yang terdapat dalam
gabah, biasa diukur dalam satuan persentase. Kadar air diukur secara
subjektif oleh pengusaha dengan menggunakan intuisi atau perasaan
berdasarkan pengalaman. Alat untuk mengukur kadar air adalah cera
71
tester, namun hanya ditemukan dua penggilingan yang memiliki alat
tersebut.
14. Kapasitas mesin giling menunjukkan kemampuan sebuah mesin giling
dalam mengolah gabah menjadi beras, biasa diukur dalam satuan ton beras
per jam.
15. Kapasitas produksi merupakan kemampuan produksi beras sebuah
penggilingan padi per hari.
16. Kemasan beras dapat berupa kemasan yang berasal dari penggilingan
dengan merek sendiri ataupun kemasan yang menggunakan merek yang
sudah dikenal oleh konsumen di pasaran.
17. Kemitraan dengan Bulog merupakan kerjasama yang dilakukan oleh
penggilingan padi dengan Bulog dalam hal pengadaan beras. Penggilingan
padi yang bermitra dengan Bulog kemudian disebut mitra Bulog.
18. Kendaraan merupakan aktiva lancar yang digunakan untuk operasional
penggilingan, dapat berupa truk atau mobil pick-up.
19. Lantai jemur merupakan tempat berupa lapang terhampar yang telah
diplester dengan semen, berbentuk undakan ataupun datar yang digunakan
untuk menjemur gabah.
20. Menir atau jitai merupakan salah satu hasil samping dari pengolahan
gabah menjadi beras yang dapat dijual kembali dengan harga yang lebih
tinggi daripada dedak atau bekatul.
21. Modal usaha merupakan sejumlah rupiah yang dibutuhkan untuk
melakukan satu kali proses produksi dan menjamin satu proses produksi
selanjutnya.
72
22. Pendidikan pengusaha merupakan tingkat pendidikan formal terakhir yang
ditempuh oleh pengusaha pemilik penggilingan
23. Pengalaman usaha merupakan ukuran lamanya seorang menjalankan usaha
penggilingan padi yaitu sejak memulai usaha penggilingan atau
meneruskan usaha keluarga hingga saat penelitian dilakukan
24. Pengusaha atau pemilik penggilingan merupakan individu atau ketua suatu
kelompok yang memiliki usaha penggilingan padi di Kabupaten
Karawang.
25. Persepsi terhadap pekerjaan merupakan pandangan atau anggapan seorang
pengusaha terhadap profesinya sebagai pengusaha penggilingan padi,
apakah sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan sampingan.
26. Sumber modal menunjukkan dari mana modal yang diperoleh pengusaha
penggilingan dalam menjalankan usahanya. Modal dapat berasal dari
meminjam dari bank ataupun modal sendiri.
27. Tenaga kerja aatu buruh yang digunakan merupakan tenaga kerja atau
buruh borongan dengan bayaran tertentu sesuai dengan kerja yang
dilakukan.
28. Tingkat rendemen beras merupakan faktor konversi dari jumlah gabah
yang digiling menjadi beras. Rendemen diukur secara subjektif dengan
menggunakan perasaan atau intuisi pengusaha berdasarkan
pengalamannya. Alat ukur rendemen hanya terdapat di Bulog kecamatan
atau kabupaten.
29. Umur pengusaha dihitung sampai pada saat wawancara dengan pengusaha
dilakukan.
73
V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
5.1 Keadaan Umum Wilayah Penelitian
Kabupaten Karawang merupakan daerah dataran rendah dengan ketinggian
antara 0 meter sampai 50 meter di atas permukaan laut. Secara geografis,
Kabupaten Karawang terletak di antara 107 derajat 2 menit Bujur Timur sampai
dengan 107 derajat 40 menit Bujur Timur dan 5 derajat 56 menit sampai dengan 6
derajat 34 menit Lintang Selatan.
Wilayah Kabupaten Karawang meliputi wilayah bukit Sanggabuana di
Kecamatan Pangkalan hingga ke tepi Laut Jawa di Kecamatan Cilamaya,
Pakisjaya, dan Cibuaya. Sebelah timur Kabupaten Karawang berbatasan dengan
Kabupaten Purwakarta dan Subang. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Bekasi dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur.
Kabupaten Karawang merupakan salah satu wilayah lumbung padi di
wilayah Pantura Propinsi Jawa Barat. Kabupaten ini memilik luas wilayah sekitar
175.327 hektar, yang terbagi atas lahan perkampungan dan pemukiman seluas
33.038 hektar, persawahan 93.494 hektar, kebun campuran 6.329 hektar, tegalan
2.419 hektar, perkebunan 1.279 hektar, semak belukar 1.701 hektar, hutan 11.396
hektar, tambak, kolam atau rawa 13.973 hektar, industri 9.502 hektar dan lahan
lain-lain seluas 2.196 hektar.
Lahan sawah di Kabupaten Karawang umumnya ditanam padi dua kali
setahun. Sejumlah kecil lahan persawahan lainnya ada yang ditanam tiga kali
dalam setahun. Hal ini sehubungan dengan program intensifikasi padi (IP-300)
yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan jumlah produksi beras
74
secara nasional. Pola tanam yang umum dipraktekkan petani adalah padi-padian
dan palawija. Tanaman palawija yang ditanam adalah kedelai, kacang ijo atau
sayuran buncis. Masa tanam padi puncaknya pada bulan April-Juni dan
Nopember-Januari, dengan puncak masa panen padi pada bulan Februari-April
dan Juli-September. Panen padi untuk lokasi sawah yang melaksanakan tiga kali
masa tanam adalah pada bulan Oktober dan November, namun jumlah yang
dihasilkan tergolong kecil karena hanya sebagian kecil lahan sawah yang
menggunakan metode tersebut. Jumlah produksi yang dihasilkan hanya sekitar 15
persen dari total produksi yang dihasilkan pada bulan biasanya.
5.2 Keadaan Demografis Penduduk
Penduduk Kabupaten Karawang umumnya adalah suku Sunda yang
menggunakan Bahasa Sunda, tetapi di Kabupaten Karawang terdapat beberapa
bahasa dan budaya diantaranya budaya dan bahasa Betawi di daerah utara
Karawang tepatnya sebagian Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya serta
bahasa Jawa Cirebonan di jalur Utara Kecamatan Tempuran Kecamatan Cilamaya.
Jumlah Penduduk Kabupaten Karawang mencapai 2.017.367 jiwa pada tahun
2006, dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk (LPP) sebesar 2,26 persen.
Berikut adalah komposisi penduduk Kabupaten Karawang.
1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Komposisi penduduk Kabupaten Karawang menurut jenis kelamin pada
tahun 2006 sebagai berikut jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.007.124 jiwa
dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1.010.243 jiwa. Total penduduk
Kabupaten Karawang pada tahun 2006 berjumlah 2.017.367. Dengan demikian
75
berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan seimbang dengan rasio jumlah laki-laki
dan perempuan sebesar 49,9: 50,1. Tabel 8. di bawah ini menggambarkan keadaan
tersebut.
Tabel 8. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)
Laki-Laki 1.007.124 49,90 Perempuan 1.010.243 50,10
Total 2.017.367 100,00 Sumber: BPS Kabupaten Karawang, 2006
2. Komposisi Penduduk Berdasarkan Struktur Usia
Komposisi penduduk Kabupaten Karawang berdasarkan usia pada tahun
2006 sangat bervariasi. Mayoritas penduduknya berusia 5-9 tahun sebesar 213.684
jiwa atau sekitar 10,59 persen dan 10-14 tahun sebesar 203.800 jiwa atau sekitar
10.10 persen. Data pada Tabel 9. juga memperlihatkan bahwa jumlah penduduk
terbanyak berada pada usia sekolah dasar, sedangkan jumlah penduduk usia
produktif atau usia 15-64 tahun sebesar 1.395.633 jiwa atau sekitar 69,18 persen.
Tabel 9. Komposisi Penduduk Berdasarkan Usia Kelompok Usia (tahun) Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)
< 4 125.769 6,23 5-9 213.684 10,59
10-14 203.800 10,10 15-64 1.395.633 69,18 > 65 78.481 3,9 Total 2.017.367 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Karawang, 2006
Komposisi piramida penduduk dapat menunjukkan angka beban
ketergantungan (dependency ratio) sebagai perbandingan penduduk usia produktif
15-64 tahun (diukur dari penduduk usia kerja) dengan penduduk usia tidak
produktif (usia kurang dari 15 tahun atau usia lebih dari 64 Tahun). Pada tahun
2006, nilai dependency ratio menunjukkan angka 45 persen yang berarti bahwa
76
dari seratus orang usia produktif menanggung beban sekitar 45 orang yang tidak
produktif. Jika dibandingkan dengan angka dependency ratio pada tahun 2005
sebesar 50 persen (100 orang menanggung beban sekitar 50 orang) sehingga
memperlihatkan perubahan tingkat beban ketergantungan yang semakin baik.
3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha
Pada tahun 2006 jumlah penduduk bekerja berdasarkan lapangan usaha
sebanyak 728.775 orang. Dari Jumlah tersebut sebesar 258.047 orang atau sekitar
35,41 persen bekerja pada lapangan usaha pertanian dan perikanan. Pada lapangan
usaha perdagangan memberikan kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja sebesar
174.872 orang atau sekitar 24,54 persen, sedangkan pada lapangan usaha industri
menyerap tenaga kerja sebesar 125.539 orang atau sekitar 17,23 persen. Tabel 10
menyajikan data mengenai komposisi penduduk Kabupaten Karawang
berdasarkan lapangan usaha.
Tabel 10. Komposisi Penduduk Berdasarkan Lapangan Usaha Lapangan Usaha Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)
Pertanian dan Peternakan 258,047 35,41 Perdagangan 178,872 24,54 Industri 125,539 17,23 Pemerintahan dan lainnya 166,317 22,82
Total 728,775 100,00 Sumber: BPS Kabupaten Karawang, 2006
4. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sektor pendidikan merupakan salah satu program prioritas pembangunan.
Hal ini tidak terlepas dari kondisi tingkat pendidikan masyarakat yang masih
relatif rendah, padahal kualitas sumberdaya manusia masyarakat merupakan
faktor determinan dalam keberhasilan pembangunan. Jumlah penduduk usia 10
tahun ke atas yang berpendidikan kurang atau setara SD berjumlah 1.160.736
77
orang atau 69 persen dari total jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas. Hal ini
juga mengindikasikan bahwa rata-rata lama sekolah (RLS) di Kabupaten
Karawang masih dalam tingkat sekolah dasar.
5.3 Karakteristik Pengusahaan Penggilingan Padi
Karakteristik pengusahaan penggilingan padi dalam penelitian ini
mengkaji dan membandingkan penggilingan padi besar dan kecil. Karakteristik
tersebut terdiri atas karakteristik pemilik penggilingan, kapasitas produksi
penggilingan, mesin dan alat penggilingan, modal usaha, kemitraan dengan
Bulog, gabah dan beras, serta karakteristik tenaga kerja, lantai jemur dan
bangunan yang dimiliki, serta gambaran umum aktivitas pengusahaan
penggilingan padi di Kabupaten Karawang.
5.3.1 Pemilik Penggilingan Padi
a. Umur Pemilik
Berdasarkan umur, responden pemilik penggilingan padi dalam penelitian
ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok umur, yaitu kelompok umur 30-39
tahun, kelompok umur 40-49 tahun, kelompok umur 50-59 tahun, dan kelompok
umur lebih dari 59 tahun. Jumlah dan persentase dari tiap kelompok tersebut dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Jumlah Pemilik Penggilingan Berdasarkan Umur
Umur Pemilik (tahun)
Penggilingan Padi Besar
Penggilingan Padi Kecil
Penggilingan Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % 30-39 0 0,0 2 9,1 2 5,7 40-49 6 46,2 11 50,0 17 48,6 50-59 5 38,5 7 31,8 12 34,3 >59 2 15,4 2 9,1 4 11,4
Jumlah 13 100,0 22 100,0 35 100,0
78
Tabel 11. menunjukkan bahwa jumlah terbesar pemilik berada pada
kelompok umur 40-49 tahun, yaitu sebanyak 17 pemilik atau 48,6 persen dari total
pemilik. Jumlah pemilik pada kelompok umur 50-59 tahun adalah 12 pemilik
(34,3 persen), sementara jumlah reponden pada kelompok umur lebih dari 59
tahun dan kelompok umur 30-39 tahun, masing-masing sebanyak empat pemilik
(11,4 persen) dan dua pemilik (5,7 persen).
Sama seperti pemilik penggilingan padi besar, jumlah pemilik
penggilingan padi kecil paling banyak berada pada kelompok umur 40 sampai 49
tahun. Tidak terdapat pemilik penggilingan padi besar yang berumur kurang dari
40 tahun, sedangkan terdapat dua pemilik yang berumur kurang dari 40 tahun.
Terdapat dua pemilik dari masing-masing kelompok penggilingan yang berumur
lebih dari 59 tahun Hal ini menunjukkan bahwa pemilik penggilingan padi besar
secara umum berusia lebih tua dari pemilik penggilingan padi kecil. Secara tidak
langsung usia menunjukkan kematangan pemilik dalam mengelola kegiatan usaha
penggilingannya selain juga karena faktor pengalaman usaha pemilik.
b. Tingkat Pendidikan Pemilik
Berdasarkan tingkat pendidikan, pemilik terbagi ke dalam variasi tingkat
pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi. Tabel 12.
menunjukkan tingkat pendidikan pemilik penggilingan padi.
Tabel 12. Tingkat Pendidikan Pemilik Penggilingan Padi
Pendidikan Pemilik
Penggilingan Padi Besar
Penggilingan Padi Kecil
Penggilingan Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Lulus SD 1 7,7 10 45,5 11 31,4 Lulus SMP 6 46,2 6 27,3 12 34,3 Lulus SMA 4 30,8 5 22,7 9 25,7 Lulus Sarjana 2 15,4 1 4,5 3 8,6 Jumlah 13 100,0 22 100,0 35 100,0
79
Tabel 12. menunjukkan bahwa semua pemilik pernah mengikuti
pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar sampai dengan tingkat sarjana.
Sebanyak 11 pemilik atau 31,4 persen pernah menyelesaikan pendidikan sekolah
dasar. Pemilik yang berhasil menyelesaikan pendidikan formal di tingkat
SMP/Sederajat adalah sebanyak 12 pemilik atau 34,3 persen. Terdapat 9 pemilik
atau 25,7 persen pernah menyelesaikan pendidikan formal di tingkat
SMA/Sederajat, sementara tiga pemilik atau 8,6 persen berhasil menyelesaikan
pendidikan sarjana.
Pemilik penggilingan padi besar paling banyak menempuh dan
menyelesaikan pendidikan sampai pada tingkat SMP, sedangkan pemilik
penggilingan padi kecil sebagian besar hanya menyelesaikan tingkat pendidikan
SD. Uniknya terdapat dua pemilik penggiingan padi besar yang berhasil
menempuh pendidikan sarjana, sementara terdapat satu pemilik penggilingan padi
kecil yang menyelesaikan pendidikan sarjana. Dua pemilik penggilingan besar
berpendidikan sarjana mengakui bahwa usaha penggilingan padi yang dilakukan
sekarang bukan merupakan usaha yang dirintis sejak awal berdiri, namun
meneruskan usaha orang tua yang sudah meninggal atau berusia lanjut. Satu
pemilik penggilingan padi kecil yang berpendidikan sarjana merupakan orang
yang belum lama memulai usaha penggilingan. Pemilik yang sebagian hanya lulus
SD atau SMP bukan berarti merendahkan arti penting pendidikan, namun karena
tidak adanya kesempatan untuk mengecap pendidikan lebih tinggi sebelumnya.
c. Pengalaman Usaha Pemilik
Pengalaman usaha yang dimiliki oleh seorang pemilik dianggap memiliki
pengaruh yang cukup kuat bagi keberhasilan usaha penggilingan padi miliknya.
80
Pemilik yang telah lama menjalani usaha penggilingan padi biasanya menjadi
acuan bagi pemilik lainnya karena dianggap memiliki pengetahuan yang
diperolehnya selama menjalankan usahanya. Tabel 13. memperlihatkan jumlah
pemilik berdasarkan lamanya berusaha di penggilingan padi.
Tabel 13. Jumlah Pemilik Berdasarkan Pengalaman Usaha Pengalaman
Usaha (tahun)
Penggilingan Padi Besar
Penggilingan Padi Kecil
Penggilingan Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % 0 – 9 0 0,0 3 13,6 3 8,6
10 – 19 2 15,4 14 63,6 16 45,7 20 – 29 6 46,2 5 22,7 11 31,4 30 -39 4 30,8 0 0,0 4 11,4
>39 1 7,7 0 0,0 1 2,9 Jumlah 13 100,0 22 100,0 35 100,0
Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa jumlah pemilik terbesar, yaitu 16
pemilik (45,7 persen) telah menjalankan usaha penggilingan padi selama 10-19
tahun. Jumlah pemilik terbesar kedua, yaitu 11 pemilik (31,4 persen) memiliki
pengalaman usaha 20-29 tahun. Sebanyak empat pemilik (11,4 persen) dan tiga
pemilik (8,6 persen), masing-masing memiliki pengalaman 30-39 tahun dan 0-9
tahun. Sementara satu pemilik (2,9 persen) telah lebih dari 39 tahun menjalankan
usaha penggilingan padi.
Pemilik penggilingan padi besar paling banyak memiliki pengalaman
usaha selama 20 sampai 29 tahun, dan sebagian kecil lainnya telah menjalankan
bisnis penggilingan selama lebih dari 30 tahun. Berbeda dengan pemilik
penggilingan padi besar, pemilik penggilingan padi kecil rata-rata memiliki
pengalaman usaha selama 10 sampai 19 tahun, dan tidak terdapat pemilik yang
menjalankan usahanya lebih dari 29 tahun.
81
Pengalaman, bagi pemilik dianggap sebagai hal yang mampu menentukan
keberhasilan bisnis penggilingan padi. Pemilik yang lebih berpengalaman lebih
mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas penggilingan
berikut hal-hal yang menjadi rahasia tersendiri bisnis ini. Pemilik yang lebih
berpengalaman biasa menjadi acuan dan tempat bertanya. Seringkali, pemilik
dengan pengalaman minim berpedoman pada aktivitas pemilik yang lebih
berpengalaman, misalnya mengenai harga gabah atau beras, pembelian gabah,
sistem stok dan lain sebagainya.
d. Persepsi Pemilik Penggilingan Padi terhadap Pekerjaan
Persepsi pemilik terhadap pekerjaan yang dilakukan dapat berbeda satu
sama lain. Hal tersebut terjadi karena biasanya pemilik memiliki lebih dari satu
pekerjaan sebagai mata pencahariannya. Persepsi terhadap pekerjaan dapat berupa
pekerjaan utama atau pekerjaan sampingan. Tabel 14. menunjukkan persepsi
pemilik terhadap pekerjaan sebagai pemilik penggilingan padi.
Tabel 14. Jumlah Pemilik Berdasarkan Persepsi terhadap Pekerjaan sebagai Pemilik Penggilingan Padi
Persepsi Terhadap Pekerjaan
Penggilingan Padi Besar
Penggilingan Padi Kecil
Penggilingan Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Pekerjaan Utama 12 92,3 12 54,5 24 68,6 Pekerjaan Sampingan 1 7,7 10 45,5 11 31,4 Jumlah 13 100,0 22 100,0 35 100,0
Berdasarkan Tabel 14., terdapat 24 pemilik atau 68,6 persen yang
menyatakan bahwa usaha penggilingan padi yang dijalankan adalah sebagai
pekerjaan utama. Sisa pemilik yaitu sebanyak delapan pemilik (31,4 persen)
menyatakan bahwa usaha penggilingan padi yang dijalankan dianggap sebagai
pekerjaan utama.
82
Pemilik penggilingan padi besar dan kecil memiliki kesamaan mengenai
persepsi terhadap pekerjaan sebagai pemilik penggilingan padi. Pemilik
menganggap bahwa penggilingan padi yang dimiliki adalah mata pencaharian
utama. Beberapa pemilik memiliki pekerjaan utama sebagai pemilik tambak
ikan/udang, wiraswasta, atau karyawan swasta. Sebanyak sepuluh pemilik
penggilingan kecil juga berprofesi sebagai petani dan pemilik lahan pertanian.
Sepuluh pemilik tersebut menganggap usaha penggilingan tidak lebih utama dari
pekerjaan mereka sebagai petani atau pemilik lahan. Pemilik yang menganggap
penggilingan padi adalah pekerjaan sampingan tidak memungkiri bahwa bisnis di
penggilingan padi mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
kesejahteraan pemilik.
5.3.2 Kapasitas Produksi
Kapasitas produksi merupakan salah satu karakteristik yang membedakan
antara satu penggilingan padi dengan penggilingan yang lain. Kapasitas produksi
mengacu pada kemampuan suatu penggilingan padi dalam memproduksi beras
selama satu hari. Kapasitas produksi erat kaitannya dengan kemampuan yang
dimiliki mesin, modal, jumlah gabah yang dimiliki dan faktor-faktor terkait
lainnya.
Kapasitas produksi penggilingan padi besar adalah di atas atau sama
dengan 20 ton beras per hari. Rata-rata kapasitas produksi penggilingan padi besar
dalam penelitian ini sebesar 29,23 ton beras per hari. Kapasitas produksi terkecil
penggilingan besar sebesar 20 ton beras per hari, sedangkan yang paling besar
adalah 60 ton beras per hari. Kemampuan produksi yang besar ini dapat
83
dimaklumi karena penggilingan besar memiliki kemampuan untuk membeli gabah
dalam jumlah banyak, tentunya dengan didukung oleh modal yang besar pula.
Berbeda dengan penggilingan besar, penggilingan kecil memiliki kapasitas
produksi beras per hari kurang dari 20 ton. Rata-rata kapasitas produksi
penggilingan padi kecil adalah 5,91 ton beras per hari. Dalam penelitian ini,
kapasitas penggilingan padi kecil terendah sebesar 2 ton beras per hari, sedangkan
yang tertinggi sebesar 15 ton beras per hari. Jumlah tersebut lebih relatif lebih
rendah dibandingkan penggilingan padi besar karena penggilingan padi kecil tidak
memiliki jumlah gabah yang banyak, dengan mesin yang berumur tua, dan modal
yang terbatas. Pemaparan mengenai gabah, mesin, dan modal disampaikan pada
uraian berikutnya.
5.3.3 Mesin dan Alat Penggilingan Padi
Mesin yang digunakan oleh penggilingan dalam penelitian ini memiliki
umur yang relatif tua. Mesin yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mesin
husker, polisher, dan mesin penggerak (mesin diesel). Rata-rata umur mesin pada
penggilingan padi besar dan kecil adalah 10-12 tahun, sementara umur ekonomis
mesin diprediksi hanya berkisar 5-6 tahun. Pemilik penggilingan sebenarnya
mengetahui hal ini, namun beberapa menganggap pergantian atau up grade mesin
tidak perlu dilakukan selama mesin masih dapat digunakan, selain juga karena
modal yang dimiliki terutama penggilingan kecil relatif terbatas. Pemilik hanya
melakukan perawatan dengan mengganti spare part atau suku cadang mesin yang
rusak seperti rubber roll dan as mesin. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Rosmawanty (2007) pada analisis kelayakan usaha pengusahaan
penggilingan padi di Kabupaten Karawang.
84
Mesin husker yang biasa digunakan oleh penggilingan semuanya
merupakan mesin buatan China. Merek mesin yang mendominasi adalah Dong
Fang Hong dengan tipe LM 24-2 C. Gambar 7. dibawah menunjukkan mesin
tersebut. Mesin ini berumur 5 tahun dan dapat dibeli dipasaran dengan harga per
unit Rp 3.000.000 sampai Rp 3.500.000. Mesin ini memiliki kapasitas giling
sebesar 1500 kg gabah per jam dan berfungsi sebagai alat pemecah kulit gabah
menjadi beras setengah jadi yang akan dikumpulkan untuk proses selanjutnya.
Gambar 7. Mesin Husker pada Penggilingan Padi
Mesin lain yang biasa digunakan adalah mesin polisher. Mesin polisher
berfungsi untuk membuang kulit ari beras supaya beras putih sehingga
berpenampilan lebih baik dan siap dikonsumsi. Sebagian besar penggilingan padi
baik besar maupun kecil menggunakan mesin polisher bermerek Ichi dengan tipe
N 70 sampai dengan N 100. Mesin ini merupakan mesin buatan China dan
memiliki kapasitas sebesar 700-1000 kg gabah per jam. Mesin ini dapat dengan
mudah ditemukan di pasaran alat dan mesin pertanian dengan harga beli
85
Rp 3.500.000 sampai Rp 5.000.000. Mesin Ichi ini diduga memiliki umur
ekonomi 5-6 tahun. Gambar 8. di bawah ini menunjukkan salah satu mesin Ichi
bertipe N 70 dengan kapasitas produksi 700 gabah per jam.
Gambar 8. Mesin Polisher pada Penggilingan Padi
Mesin husker dan polisher tidak dapat berfungsi apabila tidak digerakkan
oleh mesin penggerak atau diesel. Kapasitas mesin penggerak selain dari
kemampuan menggiling gabah juga dapat dilihat dari ukuran daya mesin. Daya
mesin penggerak dapat diukur dengan satuan horse power (HP) atau biasa disebut
power kuda (PK). Penggilingan padi besar memiliki daya mesin di atas 80 PK,
dengan rata-rata daya sebesar 95,38 PK. Penggilingan padi kecil memiliki daya
mesin rata-rata 63,64 PK, sebagian memiliki mesin berdaya 40 PK, 60 PK, dan
sebagian kecil berdaya 80 PK. Daya mesin mempengaruhi kecepatan dan jumlah
gabah yang digiling atau beras yang dapat dihasilkan dari proses penggilingan
tersebut.
86
Mesin penggerak yang biasa digunakan penggilingan padi dapat bermacam-
macam, bergantung pada jenis, merek, harga, dan kapasitas mesinnya. Beberapa
penggilingan menggunakan mesin merek Kubota buatan Indonesia (gambar
nomor 1), merek Chang Fa Hwang buatan China (gambar nomor 2), dan ada pula
yang menggunakan merek Mitsubishi buatan Jepang (gambar nomor 3). Di lokasi
penelitian, mesin Kubota yang digunakan bertipe KND 250 DI yang berfungsi
untuk menggerakkan husker atau polisher. Mesin ini memiliki daya maksimum
60-80 PK atau sekitar 4800 RPM. Mesin ini dapat ditemukan di pasaran dengan
harga Rp 22.000.000, relatif mahal dan banyak ditemukan di penggilingan besar,
dan memiliki umur ekonomis 6-8 tahun. Gambar 9. menunjukkan mesin-mesin
penggerak tersebut.
Gambar 9. Mesin Penggerak Husker dan Polisher
1
2
3
87
Mesin Chang Fa Hwang yang digunakan bertipe CFZS 1115G dengan
daya 40 PK atau 4000 RPM. Mesin ini dapat ditemukan di pasaran dengan harga
Rp 2.500.000, biasa ditemukan di penggilingan kecil. Mesin ini memiliki umur
ekonomi sekitar 5 tahun. Mesin buatan Jepang, Mitsubishi bertipe GD15-04 hanya
dimiliki oleh beberapa penggilingan padi, karena sebagian besar lebih
mempercayai mesin penggerak buatan China. Harga beli mesin ini adalah
Rp 17.500.000 sampai dengan Rp 20.000.0000 dengan umur ekonomis 8 tahun.
Semua mesin penggerak di atas menggunakan bahan bakar solar dalam
aktivasinya.
Inventaris lain yang dimiliki oleh penggilingan adalah mesin Shining dan
Cera Tester. Kedua alat tersebut hanya dimiliki oleh tiga penggilingan padi besar
karena relatif mahal sehingga tidak semua penggilingan memiliki alat-alat ini.
Mesin Shining yang dimiliki bermerek Satake tipe KB 403 buatan Jepang yang
berfungsi membuat beras lebih bersinar dan bercahaya. Mesin ini berkapasitas
2500 kg per jam dan berherga Rp 17.500.000 dengan umur ekonomis 5 tahun.
Cera Tester salah satunya adalah buatan Foss Electric Denmark dengan tipe TCT
berfungsi untuk menguji kadar air. Mesin ini bernilai Rp 10.000.000 dengan umur
ekonomis 10 tahun. Gambar 10. adalah gambar mesin shining dan cera tester.
Gambar 10. Mesin Shining dan Cera Tester
1 2
88
Solar yang digunakan sebagai bahan bakar penggerak mesin dapat berbeda
satu penggilingan padi dengan yang lainnya. Rata-rata penggunaan solar
penggilingan besar adalah 291,54 liter, sementara penggilingan padi kecil rata-rata
69,09 liter. Produktivitas penggilingan padi besar adalah satu liter solar
menghasilkan beras sejumlah satu ton, sedangkan penggilingan padi kecil mampu
menghasilkan 0,86 ton beras dengan penggunaan satu liter solar. Hal ini terjadi
karena perbedaan teknologi mesin penggerak yang digunakan masing-masing
penggilingan padi, baik besar maupun kecil.
Tiap penggilingan memiliki satu atau lebih mesin giling. Penggilingan
padi kecil sebagian besar memiliki satu unit mesin giling (mesin husker, polisher,
dan diesel), sementara penggilingan padi besar memiliki 4-6 unit. Beberapa
penggilingan padi besar memiliki sistem kontinyu dan mengeliminasi peran
tenaga manusia dalam proses produksinya sebagian lain semi kontinyu, dengan
masih melibatkan tenaga manusia dalam prosesnya. Penggilingan padi kecil
sepenuhnya masih menggunakan mesin secara manual dengan menggunakan
tenaga manusia.
Mesin-mesin tersebut di atas selalu digunakan setiap hari selama proses
produksi berlangsung. Ketiganya digunakan selama sehari produksi sekitar 8-10
jam per hari. Dengan menggabungkan seluruh mesin yang dimiliki oleh
penggilingan padi, hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata jam kerja
mesin (JKM) per hari penggilingan padi besar adalah 26,92 jam, sedangkan
penggilingan padi kecil sebesar 16,13 jam. Perbedaan ini terjadi karena
penggilingan padi besar memiliki jumlah unit mesin yang lebih banyak daripada
yang dimiliki penggilingan padi kecil. JKM berhubungan erat dengan produksi
89
beras yang dihasilkan. Semakin banyak JKM yang digunakan, maka semakin
banyak pula jumlah beras yang dihasilkan oleh suatu penggilingan padi. Dapat
dilihat bahwa produksi beras penggilingan padi besar lebih tinggi daripada
penggilingan padi kecil.
Alat-alat lain yang digunakan selain mesin dalam penggilingan merupakan
alat ringan seperti ayakan, timbangan besar atau kecil, mesin jahit besar atau kecil,
dan mesin press kecil atau besar. Alat-alat tersebut merupakan buatan dalam
negeri, dengan harga yang relatif murah dan umur ekonomis yang kurang dari dua
tahun.
5.3.4 Modal Usaha
Modal yang dimiliki oleh pemilik dipergunakan untuk menjalankan
kegiatan produksi dalam penggilingan padi. Semakin banyak modal yang dimiliki
oleh pemilik, semakin banyak aktivitas produksi yang bisa dilakukan. Modal yang
dimiliki dapat berupa modal yang berasal dari sendiri atau modal yang berasal
dari pihak lain. Tabel 15. menunjukkan jumlah pemilik berdasarkan sumber
modal.
Tabel 15. Jumlah Pemilik Berdasarkan Sumber Modal
Sumber Modal Usaha
Penggilingan Padi Besar
Penggilingan Padi Kecil
Penggilingan Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Modal Sendiri 4 30,8 16 72,7 20 57,1 Modal Pinjaman 9 69,2 6 27,3 15 42,9 Jumlah 13 100,0 22 100,0 35 100,0
Tabel 15. memperlihatkan bahwa pemilik yang memiliki modal sendiri
dan modal yang berasal dari pinjaman berjumlah hampir sama. Sebanyak 20
pemilik (57,1 persen) menggunakan modal sendiri tanpa melakukan peminjaman,
90
sementara 15 pemilik lainnya (42,9 persen) melakukan pinjaman pada pihak lain
sebagai modal usahanya.
Pemilik penggilingan padi besar lebih dari sebagian melakukan pinjaman
ke bank untuk aktivitasnya. Pinjaman ini biasa digunakan oleh pemilik untuk
melakukan investasi dalam hal mesin dan alat produksi, juga digunakan untuk
persiapan menghadapi masa paceklik untuk membeli gabah. Pemilik yang
meminjam menyatakan bahwa dengan meminjam, pemilik dapat mengatasi
kendala keterbatasan dana untuk pengembangan bisnis. Pemilik penggilingan padi
kecil sebagian besar tidak meminjam modal dari bank, karena kekhawatiran akan
resiko yang mereka hadapi jika mengalami kegagalan usaha. Pemilik yang tidak
meminjam pada bank cenderung lebih merasa aman menggunakan uang sendiri
ditambah sulitnya pengurusan dan syarat untuk meminjam pada bank. Semua
pemilik yang meminjam menyatakan mendapat pinjaman modal dari Bank BRI.
Besarnya modal yang dimiliki menentukan keberhasilan penggilingan padi
dalam aktivitas produksinya. Modal yang besar dapat memungkinkan
penggilingan membeli gabah lebih besar dan melakukan perbaikan serta
kemempuan untuk membeli alat dan mesin giling. Modal dapat digunakan untuk
melakukan aktivitas pembelian gabah, pengeringan gabah, pengolahan beras,
penjualan beras, dan penyimpanan gabah atau beras.
Penggilingan padi besar rata-rata memiliki modal untuk melakukan
produksi sebesar Rp 136,57 juta, sementara penggilingan padi kecil memiliki rata-
rata modal untuk kegiatan produksi sebesar Rp 27,04 juta. Modal ini selain
digunakan untuk proses menggiling juga digunakan untuk melakukan pembelian
sementara proses menggiling sedang berlangsung. Penggilingan besar memiliki
91
kemampuan lebih besar untuk membeli gabah dalam jumlah besar, sehingga dapat
menjual beras dan memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan
penggilingan kecil. Penggilingan besar yang memiliki modal besar memiliki
kesempatan lebih besar untuk berinovasi dan melakukan terobosan dalam proses
produksi penggilingan. Dua penggilingan saat ini sedang mengembangkan bahan
bakar dari batu bara untuk menggantikan peran solar dan minyak tanah sebagai
bahan bakar. Inovasi ini dianggap dapat meminimalisir biaya yang menjadi beban
penggilingan, terlebih saat ini harga solar turut naik akibat krisis energi yang juga
menimpa Indonesia. Berbeda dengan penggilingan kecil yang terbatas modal
usahanya.
5.3.5 Gabah dan Beras
Gabah yang dibeli penggilingan dari petani adalah berupa gabah kering
panen (GKP). GKP lebih dipilih oleh penggilingan dibandingkan gabah kering
sawah (GKS) karena penggilingan tidak mau menanggung biaya pengeringan di
sawah yang dilakukan oleh petani. Penggilingan biasa membeli gabah melalui
perantara atau calo yang merupakan orang kiriman penggilingan ataupun calo di
luar penggilingan yang menawarkan gabah. Penggilingan padi besar rata-rata
membeli GKP sebanyak 50,31 ton, sedangkan penggilingan padi kecil sebanyak
10 ton. Jumlah pembelian GKP bergantung pada besarnya modal yang dimiliki
oleh penggilingan padi, termasuk dengan mempertimbangkan lokasi pembelian
gabah yang tentunya memerlukan biaya transportasi.
Jenis gabah yang paling banyak digiling oleh penggilingan di Kabupaten
Karawang adalah jenis Ciherang, karena jenis ini paling banyak diproduksi oleh
petani Karawang dan cocok dengan karakteristik tanah pertanian Karawang.
92
Varietas lainnya juga ikut di giling seperti Muncul, IR 64, IR 42, dan Pandan
Wangi, namun karena jumlahnya sedikit dan tidak semua penggilingan
memproduksinya, maka penelitian ini membatasi pada pembahasan varietas
Ciherang saja.
Kadar air gabah adalah hal yang perlu diperhatikan oleh penggilingan
selain jenis varietas,. Kadar air mampu menentukan harga, kualitas, dan kuantitas
hasil. Kadar air rata-rata penggilingan padi besar dan kecil relatif sama yaitu 26
persen. Hal ini terjadi karena cuaca yang mendukung pada saat penelitian
sehingga kadar airnya normal. Kadar air yang terlalu besar akan menyebabkan
berat gabah bertambah sementara isinya tidak terlalu bagus, sehingga harga gabah
dengan kadar air tinggi akan menjadi rendah. Penggilingan juga terbebani oleh
proses pengeringan yang relatif sulit dan berbiaya tinggi apabila kadar air gabah
tinggi, ditambah hasil yang tidak begitu baik dibandingkan gabah dengan kadar
air rendah.
Proses pengeringan gabah dilakukan agar gabah memiliki kadar air sesuai
dengan yang diinginkan. Bagi penggilingan padi yang bermitra dengan Bulog,
kualitas gabah harus memenuhi persyaratan beras yang ditetapkan oleh Bulog,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4. Syarat kadar air yang berlaku adalah 14
persen. Walaupun syarat ini tidak berlaku bagi penggilingan padi yang tidak
bermitra dengan Bulog, akan tetapi penggilingan padi harus tetap memperhatikan
hal ini karena berkaitan erat dengan kualitas beras.
Hasil produksi berupa beras juga menunjukkan tingkat rendemen beras
yang terjadi. Rata-rata penggilingan padi besar memiliki tingkat rendemen beras
58,5 persen, sedangkan penggilingan padi kecil sebesar 59,75 persen. Angka
93
tersebut menunjukkan persentase hasil produksi beras dari sejumlah GKP yang
digiling. Baik kadar air maupun tingkat rendemen beras diketahui pemilik
penggilingan melalui intuisi semata dengan berbekal pengalaman, karena sebagian
besar tidak memiliki alat untuk mengukur kadar air dan tingkat rendemen. Pemilik
hanya menggenggam beberapa sampel dari gabah atau beras, kemudian
ditentukan besarnya kadar air dan tingkat rendemen. Hal tersebut memang
subjektif, namun bagi pemilik berpengalaman, hasil perkiraan melalui intuisi
seringkali tepat dengan ukuran sebenarnya apabila menggunakan alat ukur.
Volume beras yang dihasilkan oleh penggilingan sebagian besar
berkualitas medium. Kualitas lain yang biasa diproduksi penggilingan antara lain
beras kepala, beras super, dan broken, akan tetapi jumlahnya terbatas dan hanya
diproduksi apabila telah terdapat konsumen yang terbiasa memesan beras kualitas
lain selain beras medium. Penggilingan yang bermitra dengan Bulog
memproduksi beras kualitas medium, walaupun juga memproduksi beras kualitas
lain.
Beras yang telah dihasilkan melalui proses penggilingan kemudian di
kemas dalam kemasan atau karung. Sebagian besar penggilingan padi
menggunakan kemasan yang telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai merek
pasar, seperti Slyp, Cap Melati dan lain sebagainya. Beberapa penggilingan padi
juga memiliki merek sendiri dengan kualitas yang menjadi standar tertentu. Merek
sendiri biasa digunakan apabila beras tersebut sudah dikenal oleh masyarakat atau
ada pesanan atau permintaan khusus dari konsumen. Permintaan khusus tersebut
biasa berasal dari institusi atau lembaga yang memesan beras untuk
diperjualbelikan kembali, misalnya hypermarket seperti Carrefour atau Giant,
94
yang menggunakan merek Beras Carrefour atau Beras Giant sedangkan beras
tersebut diproduksi oleh penggilingan, bukan oleh institusi tersebut. Beberapa
penggilingan sudah melakukan kerjasama dengan hypermarket tersebut.
Penggilingan padi, dalam prakteknya, juga melakukan grading dalam hal
penjualan beras. Penggilingan meng-grading beras kualitas medium, broken, dan
kepala. Seringkali penggilingan juga melakukan pencampuran atau oplos beras
kualitas tertentu dengan yang kualitas lainnya, atau bahkan varietas tertentu
dengan varietas lainnya. Tindakan pengoplosan beras diakui oleh pemilik
penggilingan merupakan kecurangan atau penipuan, terlebih apabila dilakukan
oplos varietas, misalnya varietas Pandan Wangi dioplos dengan Ciherang, namun
beras diakui sebagai beras Pandan Wangi dengan harga lebih tinggi.
Tindakan pengoplosan juga dapat dianggap lumrah dan bukan bentuk
kecurangan, karena ternyata banyak konsumen yang mencari beras oplos.
Konsumen ingin menikmati beras Ciherang namun berbau Pandan Wangi, karena
mungkin membeli beras Pandan Wangi membutuhkan biaya yang relatif mahal,
sehingga pengoplosan dianggap oleh sebagian konsumen sebagai peluang
menikmati beras “rasa Pandan Wangi” dengan harga yang lebih murah.
5.3.6 Tenaga Kerja, Lantai Jemur, dan Bangunan
Kegiatan produksi dan aktivitas pengusahaan penggilingan padi termasuk
ke dalam kegiatan yang padat karya karena melibatkan banyak tenaga kerja di
dalamnya, sehingga tidak heran adanya anggapan pengusahaan penggilingan di
perdesaan dapat membuka lapangan pekerjaan. Peran tenaga kerja dibutuhkan
oleh penggilingan padi dalam aktivitas mulai dari pembelian gabah sampai pada
penjualan hasil olahan berupa beras kepada para konsumen.
95
Tenaga kerja yang digunakan oleh penggillingan sebagain besar berupa
buruh borongan, seperti pada kegiatan pembelian gabah, pengeringan,
pengolahan, dan pengangkutan. Pada proses pembelian gabah, tenaga kerja
borongan dibutuhkan dalam proses kemas gabah, timbang, dan angkut gabah dari
tempat pembelian gabah ke tempat penggilingan serta membongkarnya. Jumlah
tenaga kerja dapat bervariasi bergantung pada jumlah gabah yang dibeli. Semakin
banyak gabah yang dibeli, maka semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan
untuk aktivitas tersebut. Dalam proses ini, satu orang buruh dapat melakukan
kegiatan kemas, muat, timbang, dan bongkar pada satu ton gabah yang dibeli
salama satu hari. Produktivitas buruh per jam-nya berkisar antara 80-100 kg
gabah.
Proses pengeringan dan pengolahan gabah yang terjadi di tempat
penggillingan juga memerlukan tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan adalah
buruh borongan yang dibayar sejumlah tertentu per kg gabah atau beras yang
dihasilkan. Dalam penelitian ini, hanya kedua kegiatan ini dapat diamati dan
dihitung hari orang kerja (HOK), tidak seperti pada kegiatan awal yang terjadi di
luar tempat penggilingan dan sulit diamati.
Dalam proses pengeringan gabah, rata-rata jumlah HOK yang digunakan
oleh penggilingan padi besar adalah 129,31 HOK, sementara penggilingan padi
kecil rata-rata menggunakan 25,47 HOK. Jumlah ini berbeda karena penggilingan
padi besar menggunakan jumlah buruh yang lebih banyak walaupun jam kerja
buruhnya sama. Produktivitas buruh untuk kegiatan ini adalah satu orang dapat
menangani 50-80 kg gabah atau beras per jam-nya sehingga kebutuhan akan
buruh dapat diperkirakan dari produktivitas tersebut.
96
Tenaga kerja penggilingan padi besar dalam proses pengolahan beras
(giling) dan pengemasan memiliki rata-rata HOK sebesar 80 HOK, sedangkan
penggilingan padi kecil rata-rata sebesar 16,13 HOK. Produktivitas giling setiap
satu orang buruh adalah sebesar 47-60 kg beras per jam. Jumlah ini dapat berbeda
satu penggilingan dengan yang lainnya, bahkan dengan penggilingan yang
menggunakan sistem kontinyu dan terintegrasi yang mampu meminimalisir tenaga
manusia.
Sebagian kecil penggilingan besar atau tiga penggilingan sebenarnya
memiliki tenaga kerja tetap. Tenaga kerja tetap tersebut mengurusi masalah
administrasi atau menjadi orang kepercayaan pemilik penggilingan dan
memperoleh penghasilan tetap tiap bulan dengan tambahan insentif tertentu.
Sebagian besar penggilingan lainnya menganggap tidak membutuhkan tenaga
kerja tetap, mengingat skala usaha penggilingan yang tidak sebesar penggilingan
yang memiliki tenaga kerja tetap.
Dalam proses penjualan beras, buruh dibutuhkan untuk aktivitas angkut,
timbang, dan bongkar beras di tempat konsumen. Produktivitas satu orang dalam
melakukan kegiatan ini adalah sebesar 95-110 kg beras per jam. Rata-rata
penggunaan HOK penggilingan padi besar adalah 39,13 HOK, sedangkan
penggilingan padi kecil 7,88 HOK. Perbedaan jumlah ini terjadi karena jumlah
beras yang dihasilkan penggilingan padi besar lebih banyak dibandingkan
penggilingan padi kecil, sehingga membutuhkan lebih banyak buruh.
Inventaris lain yang dimiliki oleh penggilingan padi yang dapat diamati
sebagai karakteristik adalah lantai jemur, gudang penyimpanan, dan bangunan
yang dimiliki penggilingan padi. Ketiganya membutuhkan investasi yang relatif
97
besar. Lantai jemur digunakan oleh penggilingan untuk mengeringkan gabah
dengan menggunakan panas matahari. Lantai jemur merupakan lapangan yang
terbuat dari semen yang diplester, ada yang berbentuk datar, namun ada pula yang
bergelombang. Gambar 11. di bawah ini menunjukkan gambar lantai jemur, baik
yang relatif luas maupun sempit.
Gambar 11. Lantai Jemur pada Penggilingan Padi
Luas lantai jemur tiap penggilingan dapat berbeda satu sama lain karena
pertimbangan kebutuhan dan kemampuan berinvestasi. Luasan satu meter persegi
lantai jemur dapat digunakan untuk menjemur 10-15 kg gabah. Rata-rata luasan
lantai jemur yang dimiliki oleh penggilingan padi besar adalah 4.880,77 m2,
sedangkan penggilingan padi kecil rata-rata memiliki luas lantai jemur 984,09 m2.
Penggilingan padi besar memiliki lantai jemur yang relatif luas dan biasanya
terfragmentasi, terpisah satu sama lain, tidak seperti lantai jemur yang dimiliki
penggilingan padi kecil yang relatif sempit sehingga biasanya hanya terdapat di
satu tempat. Nilai lantai jemur yang dimiliki penggilingan padi diprediksi sebesar
Rp 30.000 per meter persegi dengan umur ekonomis 10 tahun, namun tidak
mengenal penyusutan pada tanah. Tindakan perbaikan pada lantai jemur
dilakukan dengan melakukan plester ulang apabila permukaan lantai jemur telah
98
rusak atau terkelupas. Kerusakan terjadi karena proses produksi dan akibat panas
matahari.
Bangunan yang terdapat pada penggilingan padi dapat berupa bangunan
kantor atau administrasi dan gudang penyimpanan gabah atau beras. Kantor dalam
penelitian ini berbeda dan terpisah dengan rumah tempat tinggal. Penggilingan
yang memiliki kantor relatif sedikit, dan hanya dimiliki oleh tujuh penggilingan
padi besar. Penggilingan lainnya biasa melakukan kegiatan administrasi di gudang
dengan menyisakan sebagian tempat untuk hal tersebut. Luas rata-rata kantor yang
dimiliki oleh penggilingan padi besar sebesar 40 meter persegi.
Gudang digunakan untuk menyimpan hasil produksi atau gabah yang siap
untuk dijemur atau digiling. Luas gudang tentunya bergantung pada kebutuhan
dan kemampuan penggilingan padi. Apabila gabah dan hasil produksinya besar,
maka gudang yang dibutuhkan untuk menyimpannya harus memiliki luas yang
cukup besar. Rata-rata luasan gudang penyimpanan yang dimiliki penggilingan
padi besar adalah 100,62 meter persegi, sementara penggilingan padi kecil
memiliki rata-rata luas gudang penyimpanan sebesar 25,73 meter persegi.
Penggilingan padi besar biasa memiliki gudang lebih dari satu bangunan. Gambar
12. di bawah ini menunjukkan gudang dan kantor yang terdapat pada
penggilingan padi.
Gambar 12. Gudang Penyimpanan dan Kantor pada Penggilingan Padi
99
5.3.7 Mitra dengan Bulog
Pemilik penggilingan padi, selain melakukan perdagangan dengan pembeli
umum, juga memiliki kesempatan untuk bekerjsama dengan Badan Urusan
Logistik (Bulog) setempat. Kerjasama antara Bulog dan pemilik terjadi dalam
bentuk kemitraan dalam upaya penyediaan beras untuk kebutuhan nasional
maupun regional, namun tidak semua pemilik mendapatkan kesempatan tersebut
karena Bulog menyaratkan kapasitas produksi tertentu yang dimiliki oleh sebuah
penggilingan padi.
Tabel 16. Jumlah Pemilik Penggilingan yang Bermitra dengan Bulog
Mitra Bulog Penggilingan Padi
Besar Penggilingan Padi
Kecil Penggilingan Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Ya 11 84,6 4 18,2 15 42,9 Tidak 2 15,4 18 81,8 20 57,1 Jumlah 13 100,0 22 100,0 35 100,0
Tabel 16. menunjukkan pemilik penggilingan padi yang bermitra dengan
Bulog berjumlah 15 orang atau 42,9 persen sementara 20 orang pemilik lainnya
atau 57,1 persen tidak bermitra dengan Bulog. Pemilik penggilingan padi besar
hampir semua bermitra dengan Bulog, sedangkan sebgaian besar pemilik
penggilingan padi kecil tidak melakukan kerjasama dengan Bulog dalam hal
kemitraan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu penggilingan untuk dapat
bermitra dengan bulog terdiri dari persyaratan administrasi, teknis, dan kinerja
penggilingan. Persyaratan yang bagi beberapa penggilingan sulit menjadi kendala
selain kapasitas produksi penggilingan padi yang tidak bermitra dengan Bulog
padahal beberapa dari pemilik menginginkan kerjasama tersebut. Kerjasama
dengan Bulog dianggap menguntungkan karena tidak bersifat mengikat, artinya
100
pemilik bebas untuk menjual berasnya ke pihak luar Bulog saat harga tinggi,
sementara Bulog akan membeli beras pemilik dengan harga pembelian pemerintah
(HPP) saat harga jatuh di pasaran. Bulog dapat membeli beras yang dihasilkan
oleh penggilingan atau penggilingan dapat berperan sebagai mitra giling dari
gabah yang dimiliki Bulog
5.3.8 Aktivitas Pengusahaan Penggilingan Padi
Kegiatan pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang
dilakukan mulai dari kegiatan pembelian gabah di suatu daerah tertentu yang
kemudian akan diproses menjadi beras sampai pada aktivitas penjualan hasil
olahan berupa beras ke konsumen. Aktivitas tersebut dapat berlangsung setiap hari
sepanjang tahun selama pemilik memiliki cukup modal dan hasil panen petani
yang tersedia sepanjang tahun. Biasanya penggilingan padi di Kabupaten
Karawang hanya melakukan kegiatan pengeringan dan pengolahan selama 9-10
bulan setahun, sisanya dimanfaatkan untuk menyimpan stok gabah dan membeli
kembali untuk proses berikutnya karena pada dua atau tiga bulan dalam satu tahun
tersebut petani mengalami masa istirahat atau paceklik.
Gabah yang sudah dibeli kemudian dikeringkan melalui proses
penjemuran atau pengeringan dengan mesin dryer. Mesin dryer hanya digunakan
saat cuaca tidak mendukung untuk menjemur di bawah sinar matahari. Tidak
semua penggilingan memiliki mesin dryer karena biaya investasi dan biaya
operasionalnya mahal. Setelah proses pengeringan, gabah kemudian diproses
kembali untuk digiling. Proses penggilingan biasa berlangsung seharian
bergantung jumlah gabah dan kapasitas penggilingan. Proses penggilingan dapat
berlangsung lebih dari sekali untuk mendapatkan kualitas beras yang diinginkan.
101
Pasca proses penggilingan, beras yang dihasilkan kemudian dikemas.
Beberapa penggilingan melakukan grading terlebih dahulu berdasarkan kualitas
berasnya untuk kemudian dikemas. Beras yang sudah dikemas dalam karung
kemudian dijual pada pedagang induk baik yang ada di dalam kabupaten ataupun
di luar kabupaten. Selain beras, penggilingan menerima tambahan pendapatan dari
penjualan hasil olahan gabah menjadi beras berupa dedak, sekam, atau jitai.
Penjelasan yang lebih lanjut dari tahap-tahap tersebut dapat dilihat di bawah ini.
a. Pembelian Gabah
Kegiatan pembelian gabah adalah kegiatan awal yang dilakukan oleh
penggilingan padi. Kegiatan ini berlangsung setiap hari selama penggilingan
memiliki modal untuk membeli gabah yang dihasilkan oleh petani. Hampir jarang
ditemukan di lapangan, seorang pemilik penggilingan padi secara langsung
melakukan pembelian gabah ke petani tanpa perantara. Perantara dapat berupa
orang khusus kiriman pemilik penggilingan padi atau tengkulak dari luar
penggilingan yang menjual gabahnya pada penggilingan tersebut.
Daerah pembelian gabah dapat mencakup daerah-daerah sentra padi,
bukan hanya di dalam kabupaten, tetapi seringkali dilakukan oleh sampai ke luar
propinsi. Di daerah Jawa Barat sendiri, banyak pemilik yang sering membeli
gabah di Subang, Cianjur, atau Indramayu. Sementara di luar propinsi, daerah
pembelian dapat mencapai Propinsi Lampung, Banten, atau Demak. Pembelian
gabah di daerah yang jauh dari Karawang biasa dilakukan apabila terjadi
kelangkaan gabah (paceklik) atau karena harga gabah di luar lebih murah,
tentunya saja hal ini dimungkinkan apabila penggilingan padi memiliki modal
yang besar untuk melakukan pembelian. Semakin jauh jarak atau daerah
102
pembelian akan berdampak pada biaya transportasi. Dengan asumsi daerah
pembelian berada di Kabupaten Karawang dan sekitarnya, rata-rata biaya
transportasi adalah sebesar Rp 40 per kg gabah. Biaya tersebut sudah termasuk
sopir, bahan bakar dan biaya lainnya.
Penggilingan padi besar adalah penggilingan yang biasanya mampu untuk
membeli gabah dalam jumlah yang banyak dan bahkan dari daerah lain pada saat
paceklik. Hal tersebut mampu dilakukan karena penggilingan padi besar memiliki
modal yang cukup besar, berbeda dengan penggilingan kecil yang tidak memiliki
modal besar. Penggilingan kecil bahkan dalam beberapa kasus membeli gabah
dari penggilingan besar yang memiliki stok gabah yang besar.
Pembelian gabah biasa dilakukan di tempat penjual gabah. Transaksi
pembelian dilakukan secara tunai (cash) dengan harga yang menjadi kesepakatan
antara pembeli dan penjual berdasarkan harga pasar yang saat itu berlaku.
Varietas padi/gabah yang paling banyak digiling adalah varietas Ciherang.
Varietas lain seperti Pandan Wangi atau Muncul turut diproduksi, tetapi karena
jumlahnya yang sedikit, maka penelitian ini hanya akan mengkaji varietas
Ciherang saja.
Harga pembelian gabah rata-rata adalah Rp 2.400 per kg yang ditentukan
berdasarkan harga di pasar pada saat itu. Harga gabah juga bergantung pada
kualitas kadar air gabah tersebut. Sejauh pengamatan di lapangan, kadar air gabah
berkisar pada angka 25 sampai 30 persen. Pengukuran kadar air dapat dilakukan
dengan alat yang disebut cera tester. Alat ini relatif mahal dan hanya ditemukan
di beberapa penggilingan besar, sedangkan sebagian besar lainnya menggunakan
perasaan untuk mengukur kadar air. Semakin besar kadar air, maka harga gabah
103
akan semakin rendah, sebaliknya semakin kecil kadar air maka harga gabah
cenderung tinggi. Oleh sebab itu, pada masa paceklik dimana hasil panen tidak
terlalu baik karena musin hujan harga gabah di tingkat petani cenderung turun.
Pemilik penggilingan juga mengeluarkan biaya lain meliputi biaya karung
(kemasan), biaya komisi/calo, dan biaya kemas, timbang, muat, dan bongkar.
Biaya karung (kemasan) rata-rata sebesar Rp 5 per kg. Biaya ini relatif lebih
murah dari biaya kemasan untuk menjual beras, karena pemilik cenderung
menggunakan kemasan yang sama sebanyak 10 sampai 15 kali. Biaya komisi/calo
yang dikeluarkan di daerah tersebut rata-rata sebesar Rp 45 per kg. Biaya ini
dikeluarkan untuk memperlancar aktivitas pembelian gabah. Sementara, biaya
kemas, timbang, muat, dan bongkar rata-rata sebesar Rp 30 per kg yang biasanya
dibayarkan secara borongan. Komponen biaya ini relatif sama antara penggilingan
padi besar dan kecil.
b. Pengeringan Gabah
Gabah yang sudah dibeli kemudian sampai di penggilingan untuk
dilakukan proses selanjutnya, yaitu pengeringan. Proses pengeringan gabah
bergantung pada keadaan cuaca pada saat itu dan dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu menggunakan lantai jemur dan mesin dryer. Lantai jemur dipakai
apabila cuaca mendukung dan cukup sinar matahari sebagai panas untuk
mengeringkan gabah. Sementara mesin dryer digunakan apabila cuaca mendung
atau hujan. Kombinasi kedua cara tersebut dapat juga dilakukan bergantung pada
kondisi cuaca pada saat itu.
Penggunaan lantai jemur lebih efisien daripada mesin dryer, karena
dengan mesin dryer selain biaya investasi yang mahal, biaya operasional yang
104
relatif tinggi berupa penggunaan solar dan minyak tanah. Bagi pemilik dengan
modal besar, kemampuan memiliki mesin dryer dapat menguntungkan saat
kondisi cuaca yang buruk. Pemilik penggilingan dapat menjual beras dengan
kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih tinggi dibandingkan penggilingan
yang tidak memiliki mesin dryer. Dalam penelitian ini, hanya terdapat empat
pemilik penggilingan padi besar yang memiliki mesin dryer sehingga asumsi yang
digunakan untuk menyederhanakan penelitian adalah hanya mengkaji
penggilingan yang menggunakan lantai jemur untuk mengeringkan gabahnya.
Asumsi penggunaan solar dan minyak tanah untuk mengeringkan sepuluh ton
gabah dengan mesin dryer adalah 47 liter solar dan 33 liter minyak tanah.
Banyaknya gabah yang dijemur bergantung pada luasnya lantai jemur
yang dimiliki. Semakin luas lantai jemur maka semakin banyak gabah yang
mungkin untuk dijemur. Rata-rata penggilingan memiliki kapasitas lantai jemur
satu meter persegi untuk 10 kg gabah jemur. Penggilingan padi besar memiliki
rata-rata lantai jemur seluas 4880,8 m2 sedangkan penggilingan kecil hanya
memiliki lantai jemur seluas 984,1 m2. Lantai jemur merupakan salah satu
investasi terbesar penggilingan padi karena dibutuhkan biaya yang sangat besar
untuk membuat lantai jemur. Semakin luas lantai jemur, maka biaya investasi
yang dikeluarkan akan semakin besar. Besarnya investasi juga sebanding dengan
umur ekonomis penggunaan lantai jemur yang relatif sangat lama. Perbaikan
hanya dilakukan apabila terdapat bagian lantai yang rusak atau terkelupas.
Pengeringan gabah dilakukan karena gabah yang dibeli dari petani adalah
gabah kering panen (GKP) yang masih mengandung kadar air relatif tinggi
sehingga harus dijemur untuk memperoleh beras dengan kualitas baik pada proses
105
penggilingan berikutnya. Kadar air yang umum terjadi pada saat penggilingan
membeli gabah dari petani berkisar antara 25 sampai 32 persen. Pengeringan
dilakukan untuk menguragi kadar air sampai sekitar 14 sampai 15 persen sehingga
memudahkan dan mengurangi kerusakan dalam penyosohan dan proses
selanjutnya. Kadar air yang terlalu tinggi menyebabkan kerusakan (pecah atau
hancur) karena tekstur yang lunak.
Proses penjemuran ini dilakukan dengan menghamparkan gabah di lantai
jemur kemudian diratakan agar mendapat panas yang sama. Saat hujan turun,
hamparan gabah dapat ditutup dengan terpal atau dipindahkan ke tempat yang lain
bila perlu. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan untuk proses ini biasanya
adalah buruh borongan dengan rata-rata biaya tenaga kerja yang dikeluarkan
sebesar Rp 40 per kg gabah. Biaya ini relatif sama antara penggilingan padi besar
dan kecil. Dalam proses ini tidak dilakukan penimbangan ulang karena dianggap
tidak efisien dalam hal biaya. Proses ini berlangsung seharian bahkan dapat
dilanjutkan di hari kemudian ketika dirasa kadar air gabah kering giling (GKG)
yang diinginkan belum tercapai. Pada proses penjemuran juga dilakukan aktivitas
pemisahan kotoran dari padi karena masih banyak terbawa kotoran lain seperti
jerami, daun, batang, bahkan benda lain yang tidak lazim seperti batu dan pasir.
Kotoran ini akan mengganggu proses pengeringan terutama penyerapan kalori dan
penghambatan proses pergerakan padi pada tahap berikutnya.
Gabah yang telah selesai dijemur kemudian disebut sebagai gabah kering
giling (GKG) atau gabah yang siap untuk digiling. Gabah yang telah digiling
biasanya disimpan di dalam gudang penyimpanan untuk kemudian digiling. Luas
gudang penyimpanan tiap penggilingan berbeda satu sama lain. Setiap satu meter
106
persegi luas gudang biasa digunakan untuk menyimpan gabah atau beras sebesar
300 sampai 400 kg. Penggilingan besar rata-rata memiliki gudang untuk
menyimpan gabah atau beras seluas 100,62 m2, sedangkan penggilingan padi kecil
memiliki rata-rata luasan gudang 50 m2.
c. Pengolahan Beras
Aktivitas penggilingan gabah atau pengolahan gabah menjadi beras
dilakukan ketika GKG dengan kadar air yang inginkan diperoleh. Penggilingan
padi melakukan aktivitas ini sepanjang hari apabila terdapat persediaan gabah
untuk digiling dan tidak terpengaruh cuaca karena dilakukan di ruang tertutup.
Proses pengolahan biasanya dapat berlangsung lebih dari satu kali dengan
menggunakan mesin pemecah kulit gabah (husker), penyosoh beras (polisher),
dan pencahaya beras (shining). Mesin-mesin tersebut digerakkan oleh mesin
penggerak (mesin diesel) dengan bahan bakar berupa solar. Tidak semua
penggilingan memiliki ketiga alat tersebut. Biasanya husker dan polisher adalah
mesin yang umum terdapat di penggilingan baik besar maupun kecil, sementara
mesin shining relatif mahal sehingga tidak dapat ditemukan di setiap
penggilingan.
Kapasitas mesin masing-masing penggilingan dapat berbeda satu sama
lain, bergantung besarnya modal yang dimiliki. Berdasarkan pengamatan,
penggilingan padi biasanya memiliki mesin dengan daya sebesar 40 sampai 120
HP (horse power). Penggilingan padi besar menggunakan mesin berdaya 80 HP
dan beberapa menggunakan mesin berdaya 120 HP. Penggilingan padi kecil
menggunakan mesin dengan daya 40 sampai 60 HP, dan beberapa menggunakan
mesin berdaya 80 HP. Semakin besar kapasitas mesin, maka beras yang dihasilkan
107
juga akan lebih cepat, sehingga semakin besar pula biaya investasi yang perlu
dikeluarkan oleh penggilingan. Pengaturan pada mesin (setelan mesin) juga
mempengaruhi hasil output (beras) yang diperoleh. Pemilik terutama yang
berpengalaman biasanya memiliki pengaturan tersendiri dan dapat berbeda
dengan pemilik penggilingan padi lainnya.
Proses pengolahan beras dilakukan beberapa tahap. Proses tersebut diawali
dengan memasukkan gabah siap giling ke dalam husker sesuai kapasitasnya.
Mesin husker akan memecahkan kulit gabah untuk mendapatkan beras. Beras
yang masih terdapat kulit gabah akan diproses kembali di husker pertama. Beras
kemudian akan dimasukkan ke husker kembali untuk menghilangkan sisa
kulitnya. Demkian seterusnya sampai tingkat kualitas yang diharapkan tercapai.
Beras yang sudah terkelupas kulit arinya (beras pecah kulit), kemudian disiapkan
untuk proses penyosohan beras.
Proses penyosohan berfungsi untuk menyosoh beras pecah kulit menjadi
beras putih. Alat yang digunakan dalam proses penyosohan adalah polisher. Beras
pecah kulit kemudian dimasukkan ke dalam polisher dan dapat berlangsung lebih
dari sekali untuk mendapatkan putih beras yang diinginkan. Derajat kejernihan
dari beras yang keluar dari mesin penyosoh itu tergantung pada setelan mesin
penyosoh sesuai dengan mutu beras yang diinginkan. Semakin jernih beras, maka
semakin banyak bagian-bagian yang sebenarnya mengandung zat gizi, akan
terbuang dan menjadi dedak atau bekatul.
Penggilingan seringkali menambahkan zat tertentu pada tahap ini sesuai
dengan kebiasaannya. Tiap penggilingan padi memiliki formula sendiri dalam
melakukan proses ini. Proses ini dikhawatirkan oleh banyak pihak dapat
108
membahayakan kesehatan sehingga keluar peraturan Menteri Pertanian No.
32/Permentan/OT.140/3/2007 mengenai pelarangan penggunaan bahan kimia
berbahaya pada proses pengolahan beras. Peraturan ini mewajibkan penggilingan
padi untuk menghindari beberapa zat kimia yang dianggap berbahaya dan dilarang
penggunaannya.
Gambar 13. Tahap-Tahap Pengolahan Beras
Sebagian besar penggilingan hanya melakukan tahap seperti tergambar
pada Gambar 13. Namun, beberapa penggilingan terutama penggilingan padi
besar melajutkan proses pengolahan dengan menggunakan mesin shining. Mesin
Masukkan gabah ke Husker 1
Oprimalisasi Husker I
Tampung Beras PEcah Kulit (PK) I
Masukkan PK I ke Husker II
Optimalisasi Husker II
Tampung beras PK II
Beras PK tidak sempurna
Masukkan ke ayakan PK II
Beras PK sempurna
Tampung
Tahap 1 Tahap 2
Masukkan beras PK sempurna ke Polisher
Oprimalisasi Polisher I
Tampung beras polisher I
Masukkan beras ke Polisher II
Oprimalisasi Polisher II
Tampung beras
109
shining membutuhkan biaya investasi yang besar, sehingga hanya dimiliki oleh
beberapa penggilingan padi. Proses pencahayaan beras dengan mesin shining
dilakukan untuk menigkatkan mutu penampakkan beras dengan cara pemolesan
beras giling.
Proses pemolesan adalah proses penyosohan beras disertai pengkabut uap
agar penampakkan beras lebih mengkilap. Beras yang diolah sampai pada proses
ini disebut beras Kristal. Beras dengan kualitas seperti ini memiliki harga yang
tinggi dan biasanya untuk konsumen dengan segmentasi tertentu. Perkembangan
permintaan beras tanpa kerusakan yang meningkat mendorong perkembangan
teknologi yang semakin canggih seperti teknologi pemisah kotoran.
Seluruh proses di atas dapat terjadi lebih dari satu kali. Hampir semua
penggilingan besar bahkan sudah tidak menjalankan mesin tersebut secara manual
dan mengurangi beban buruh. Mesin-mesin yang terdapat pada penggilingan besar
sebagian besar telah terintegrasi dan kontinyu dengan adanya conveyor, elevator,
sekaligus grader. Biaya untuk proses pengolahan pada penggilingan padi besar
lebih rendah daripada penggilingan padi kecil yang membutuhkan banyak buruh.
Penggilingan yang menggunakan mesin yang belum terintegrasi, rata-rata
biaya giling adalah Rp 40 per kg beras yang dihasilkan pada proses akhirnya.
Biaya tersebut sudah termasuk biaya air dan listrik, namun sebagian besar
porsinya untuk upah buruh giling. Biaya lainnya adalah biaya bahan bakar berupa
solar untuk menggerakkan mesin diesel yaitu sebesar Rp 35 per kg gabah yang
digiling. Sementara rata-rata rendemen beras yang dihasilkan adalah 58 persen,
artinya dari 100 ton gabah, beras yang dihasilkan adalah 58 ton.
110
d. Penjualan Beras
Beras yang dihasilkan kemudian dikemas dengan karung umumnya untuk
kapasitas beras 25 kg dan 50 kg dengan biaya kemasan rata-rata sebesar Rp 25 per
kg beras. Penggilingan padi besar melakukan grading beras (penyortiran) terlebih
dahulu sebelum dikemas, namun sebagian besar penggilingan padi kecil lainnya
tidak melakukan grading beras. Kemasan yang dipakai dapat berupa karung beras
bercap tertentu yang dapat dibeli di pasaran, atau juga ada beberapa penggilingan
yang mengemasnya dengan merek sendiri atau kemasan pesanan dari pembeli
baik perorangan maupun instansi atau swasta.
Beras hasil giling tidak langsung dikemas sampai sisa panas akibat
penggilingan hilang. Pengemasan harus memperhatikan besar isinya. Fakta yang
perlu diperhatikan dalam memilih jenis kemasan adalah kekuatan kemasan dan
bahan kemasan agar tidak mencemari produk beras, kedap udara atau pori-pori
penyerapan uap air dari luar tidak mengganggu peningkatan kadar air beras dalam
kemasan. Beberapa penggilingan baik besar maupun kecil memiliki label atau
merek sendiri selain menggunakan kemasan dengan label atau merek yang biasa
terdapat di pasaran beras.
Harga jual rata-rata beras yang telah dikemas adalah Rp 4.978 per kg.
Selain beras, proses produksi pengolahan gabah menjadi beras juga menghasilkan
hasil samping lain berupa dedak atau bekatul dan menir atau yang biasa disebut
dengan jitai. Jumlah dedak atau bekatul yang dihasilkan adalah sebesar persen
dari produksi beras, sedangkan menir atau jitai sebesar dua persen dari produksi
beras. Hasil samping tersebut memiliki nilai jual dan dapat berkontribusi terhadap
penerimaan penggilingan padi. Harga rata-rata dedak atau bekatul adalah Rp
111
1.464 per kg, sedangkan harga rata-rata menir atau jitai adalah Rp 3.366 per kg.
Hasil samping lain berupa sekam tidak memiliki nilai ekonomis, bahkan lebih
bersifat sampah dan residu tak terpakai. Biasanya penggilingan mengizinkan
apabila ada masyarakat yang mau memanfaatkan sekam hasil produksi tanpa
dipungut biaya, sementara penggilingan diuntungkan dengan tidak mengeluarkan
biaya tambahan untuk membuang sekam.
Beras akan dimuat setelah beras dikemas ke dalam truk atau mobil bak
terbuka. Beras akan didistribusikan langsung ke pasar induk atau konsumen
lainnya. Pasar induk yang biasa didistribusikan adalah pasar induk kabupaten,
selain itu juga didistribusikan ke daerah Jakarta dan daerah lain. Rata-rata biaya
transportasi yang dikeluarkan oleh penggilingan untuk daerah pemasaran
Kabupaten Karawang dan sekitarnya adalah sebesar Rp 40 per kg beras, termasuk
biaya supir dan bahan bakar. Sementara biaya untuk aktivitas muat dan bongkar
beras adalah masing-masing Rp 10 per kg beras. Seringkali penggilingan
dibebankan oleh biaya calo/komisi dengan rata-rata Rp 20 per kg beras untuk
memperlancar jalannya penjualan beras dari penggilingan ke pasar sehingga biaya
yang dikeluarkan untuk calo dianggap wajar.
Beras yang tidak langsung dijual akan disimpan di gudang penyimpanan.
Kondisi gudang yang harus aman dari pencurian dan tikus, bersih, dan bebas
kontaminasi hama dan penyakit gudang. Karung beras biasa diletakkan di atas
bantalan kayu yang disusun berjejer dengan jarak 50 cm untuk pengaturan
sirkulasi udara, tidak langsung kontak dengan lantai untuk menghindari
kelembaban, memudahkan pengendalian hama (fumigasi), dan teknik
penumpukan beras.
112
VI . ANALISIS PENDAPATAN PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
6.1 Penerimaan Penggilingan Padi
Penerimaan yang diperoleh penggilingan padi dalam melakukan aktivitas
usaha berasal dari hasil penjualan berupa produk utama dan produk samping.
Produk utama yang dihasilkan adalah beras, sedangkan produk samping yang
mampu memberikan kontribusi dalam penerimaan penggilingan padi berupa
dedak atau bekatul dan menir atau disebut juga jitai (broken). Sebenarnya
penggilingan padi juga menghasilkan produk samping lain berupa sekam, namun
sekam tidak dijual sehingga tidak berkontribusi terhadap penerimaan.
Penjualan beras memiliki kontribusi yang paling besar terhadap total
penerimaan baik pada penggilingan padi besar maupun kecil. Kontribusi
penjualan beras terhadap total penerimaan adalah 96 persen, sedangkan kontribusi
bekatul dan menir masing-masing adalah tiga persen dan satu persen terhadap
total penerimaan penggilingan padi. Tabel 17. menunjukkan kondisi penerimaan
penggilingan padi. Gambaran mengenai masing-masing penggilingan akan
disampaikan dalam subbab di bawah ini.
Tabel 17. Penerimaan Bersih Pengusahaan Penggilingan Padi per Hari
Komponen Penerimaan Penggilingan Besar
Penggilingan Kecil
Penggilingan Agregat
Penjualan Beras (Rp) 144.346.154 30.004.545 72.474.286 Penjualan Bekatul (Rp) 4.107.692 883.182 2.080.857 Penjualan Menir (Rp) 1.986.923 394.182 985.771 Total Penerimaan (Rp) 150.440.769 31.281.909 75.540.914
113
6.1.1 Penggilingan Padi Besar
Penggilingan padi besar memiliki rata-rata kapasitas produksi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan penggilingan padi kecil. Rata-rata kapasitas produksi
penggilingan besar adalah 29,23 ton beras per hari. Harga jual beras rata-rata yang
berlaku pada saat itu adalah Rp 4.938 per kg. sehingga penjualan beras adalah
Rp 144.346.154. Penjualan beras mampu memberikan kontribusi sebesar 96
persen terhadap total penerimaan penggilingan padi besar.
Tabel 17. menunjukkan hasil penjualan bekatul dan menir (broken).
Bekatul dan menir adalah produk samping dari aktivitas pengolahan beras. Jumlah
bekatul adalah sepuluh persen dari total produksi, sementara menir adalah dua
persen dari total produksi beras. Jumlah bekatul atau dedak yang dihasilkan rata-
rata sebesar 2,92 ton, sedangkan menir atau jitai yang dihasilkan penggilingan
padi besar adalah 585 kg. Harga rata-rata bekatul adalah Rp 1.400 per kg
sedangkan menir adalah Rp 3.400 per kg. Penerimaan dari penjualan bekatul dan
menir masing-masing sebesar Rp 4.107.092 dan Rp 1.986.923. Dengan
menjumlahkan penjualan beras, bekatul, dan menir, maka diperoleh total
penerimaan penggilingan padi besar, yaitu sebesar Rp 150.440.769 per hari.
6.1.2 Penggilingan Padi Kecil
Penerimaan yang diperoleh penggilingan kecil berasal dari komponen
penjualan beras, penjualan bekatul, dan penjualan menir. Bedanya dengan
penggilingan besar, penggilingan padi kecil memiliki rata-rata kapasitas produksi
beras per hari yang lebih kecil daripada penggilingan padi kecil, yaitu 5,9 ton per
hari. Penjualan beras yang diperoleh penggilingan padi kecil adalah sebesar
Rp 30.004.545 dengan tingkat harga beras Rp 5.031 per kg.
114
Penggilingan kecil juga menghasilkan produk samping berupa bekatul dan
menir. Bekatul yang dihasilkan sebesar sepuluh persen dari total produksi beras,
yaitu sebesar 588 kg. Harga jual rata-rata bekatul atau dedak pada saat itu sebesar
Rp 1.464 per kg, sehingga penjualan bekatul adalah Rp 883.182. Menir yang
dihasilkan sebesar dua persen dari total produksi beras, yaitu sebesar 118 kg. Jika
harga menir per kg pada saat itu adalah Rp 3.341, maka penjualannya adalah Rp
394.182. Dengan menjumlahkan penjualan beras, penjualan bekatul, dan
penjualan menir, maka diperoleh total penerimaan bersih penggilingan padi kecil,
sebesar Rp 31.281.909 per hari (Tabel 17.).
6.1.3 Penggilingan Padi Agregat
Penerimaan penggilingan padi secara agregat merupakan penerimaan yang
diperoleh dengan menggabungkan seluruh kelompok penggilingan padi baik
penggilingan padi besar maupun kecil. Seluruh komponen penerimaan dan total
penerimaan penggilingan secara agregat cenderung berada di tengah diantara
penggilingan padi besar dan kecil.
Pada Tabel 17. penjualan beras seluruh penggilingan padi secara agregat
adalah Rp 72.474.286, sementara penjualan bekatul dan menir masing-masing
sebesar Rp 2.080.857 dan Rp 394.182. Jika seluruh komponen penjualan tersebut
dijumlahkan maka akan diperoleh Rp 75.540.914 sebagai total penerimaan per
hari penggilingan secara agregat. Penjualan beras tetap memegang kontribusi
terbesar terhadap total penerimaan.
115
6.2 Pengeluaran Penggilingan Padi
Aktivitas usaha yang dilakukan oleh penggilingan padi dalam tiap
tahapannya memiliki resiko biaya yang ditanggung oleh penggilingan. Biaya
tersebut terbagi atas biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai dikeluarkan
oleh penggilingan meliputi biaya pembelian GKP, biaya pengeringan gabah, biaya
pengolahan, dan biaya penjualan, sedangkan biaya tidak tunai adalah biaya
diperhitungkan (biaya penyusutan) akibat penggunaan alat-alat dan mesin-mesin
dalam tiap aktivitasnya.
Biaya tunai menjadi beban penggilingan dihitung dengan mengonversi ke
dalam satuan kilogram, baik itu pembelian GKP, kemasan, maupun upah dalam
tiap tahap aktivitasnya. Biaya pembelian GKP terdiri dari biaya GKP, karung,
calo/komisi, transportasi, dan upah kemas, timbang, muat, bongkar (KTMB).
Biaya pembelian dihitung dengan mengalikan biaya per kilogram (Rp/kg) tiap
aktivitas dengan jumlah gabah yang dibeli (kg). Perhitungan seperti itu juga
berlaku untuk semua aktivitas tersebut di atas. Seluruh biaya pembelian GKP,
upah jemur dan solar juga dihitung dengan mengalikan jumlah gabah (kg) dengan
biaya per kilogramnya (Rp/kg), sementara upah giling dan seluruh biaya
penjualan dihitung dengan mengalikan jumlah beras yang dihasilkan (kg) dengan
biaya per kilogramnya (Rp/kg).
Biaya diperhitungkan merupakan biaya penyusutan alat-alat dan mesin-
mesin akibat dipergunakan dalam proses produksi dan penyusutan stok gabah.
Alat-alat dan mesin-mesin tersebut antara lain husker (mesin pemecah kulit
gabah), polisher (mesin penyosoh beras), mesin diesel (mesin penggerak), dryer
(mesin pengering gabah), cera tester (mesin pengukur kadar air gabah), shining
116
(mesin pencahaya beras), moda transportasi seperti truk dan mobil pick-up (mobil
kap terbuka) dan alat-alat tambahan pendukung produksi. Tidak semua
penggilingan memiliki semua mesin tersebut, hanya beberapa saja dari
penggilingan besar yang memiliki semua alat dan mesin tersebut.
Penggilingan padi pada umumnya memiliki husker dan polisher dengan
tambahan mesin diesel sebagai penggeraknya. Semua alat dan mesin tersebut
diamati penggunaannya dalam produksi dan dihitung penyusutannya dalam satu
hari. Selain itu penyusutan alat-alat dan mesin-mesin produksi juga
diperhitungkan. Asumsi yang digunakan antara lain penggunaan alat dan mesin
tersebut adalah delapan bulan dalam setahun, dan tiap bulan hanya digunakan 28
kali dalam sehari. Penyusutan tiap alat dan mesin berbeda bergantung pada nilai
dan umur ekonomisnya. Penysutan inventaris penggilingan padi juga
memperhitungkan lantai jemur, gudang penyimpanan, dan gedung operasional
penggilingan. Penyusutan stok gabah adalah 0,3 persen dari total produksi per
hari. Biaya diperhitungkan kemudian diperoleh dengan menjumlahkan penyusutan
per hari dari riap-tiap alat dan mesin serta investasi penggilingan padi tersebut
ditambah penyusutan stok.
Biaya diperhitungkan ata penyusutan pengusahaan penggilingan padi per
hari dapat ditentukan setelah mengidentifikasi biaya tunai dan tidak tunai.
Masing-masing penggilingan padi besar, kecil dan penggilingan secara agregat
akan dihitung biaya total dan disajikan lebih terperinci di subbab berikutnya.
Tabel 18. menunjukkan perhitungannya.
117
Tabel 18. Biaya-Biaya yang Dikeluarkan Pengusahaan Penggilingan Padi per Hari
Komponen Biaya Penggilingan Besar
Penggilingan Kecil
Penggilingan Agregat
Biaya Tunai Biaya Pembelian GKP GKP (Rp) 120.542.308 24.000.455 59.858.857 Karung (Rp) 139.154 26.614 68.414 Calo/Komisi (Rp) 2.301.923 422.841 1.120.786 Transportasi (Rp) 2.006.538 401.232 997.489 Upah KTMB (Rp) 1.513.077 301.977 751.814 Biaya Pengeringan Upah Jemur (Rp) 2.040.385 398.159 1.008.129 Biaya Pengolahan Upah Giling (Rp) 846.154 235.909 462.571 Solar (Rp) 1.635.231 205.182 736.343 Biaya Penjualan Transportasi (Rp) 1.171.154 227.273 577.857 Kemasan (Rp) 730.769 147.727 364.286 Upah Muat Bongkar (Rp) 578.846 115.455 287.571 Calo/Komisi (Rp) 582.692 116.818 289.857 Total Biaya Tunai (Rp) 134.088.231 26.599.641 66.523.974 Biaya Tidak Tunai Biaya Diperhitungkan (Rp) 614.470 52.356 261.141 Total Biaya Tidak Tunai (Rp) 614.470 52.356 261.141 Total Biaya (Rp) 134.702.701 26.652.997 66.785.115
6.2.1 Penggilingan Padi Besar
Penggilingan padi besar memiliki kapasitas produksi yang lebih besar
dibandingkan penggilingan kecil. Rata-rata kapasitas produksi penggilingan besar
adalah 29,23 ton beras per hari. Rata-rata harga gabah yang berlaku pada saat itu
adalah Rp 2.392 per kg, sehingga biaya GKP dapat dihitung sebesar
Rp 120.542.308 atau sama dengan 89 persen dari total biaya. Biaya karung adalah
Rp 139.154, lebih rendah daripada biaya kemasan sebesar Rp 730.769, karena
karung yang digunakan pada proses pembelian gabah dapat digunakan berulang
kali sebanyak delapan sampai sepuluh kali. Penggilingan padi besar dalam
melakukan pembelian GKP seringkali menggunakan dan memanfaatkan jasa calo
118
atau bahkan untuk membayar iuran ilegal rata-rata sebesar Rp 2.301.923. Biaya
transportasi yang menjadi beban penggilingan padi besar adalah Rp 2.006.538.
Jumlah tersebut sudah termasuk supir dan bahan bakar, sedangkan upah kemas,
timbang, muat dan bongkar (KTMB) dan upah jemur masing-masing adalah
Rp 1.513.007 dan Rp 2.040.385. Tabel 18. menunjukkan kondisi tersebut.
Biaya solar untuk proses pengolahan gabah menjadi beras adalah sebesar
Rp 1.635.231. Rata-rata penggunaan solar adalah 10 liter per jam dengan
produktivitas satu liter mampu menghasilkan satu ton beras, dengan catatan
bahwa perhitungan biaya solar didasarkan pada jumlah gabah yang digiling. Upah
giling atas penggunaan tenaga buruh adalah Rp 846.154. Jumlah ini tergolong
rendah karena terdapat lima penggilingan yang memiliki mesin husker dan
polisher yang telah terintegrasi dengan tambahan elevator dan conveyor sehingga
menyebabkan pekerjaan buruh lebih mudah. Beban kerja yang lebih rendah
menyebabkan upah giling juga lebih rendah, sekitar Rp 20 per kg. Upah giling
juga telah mengakomodasi beban biaya karena listrik dan air. Biaya penjualan
terdiri dari Biaya trasportasi, kemasan, upah muat bongkar, dan calo/komisi
dengan total biaya penjualan sebesar Rp 3.063.462.
Biaya penyusutan yang terjadi relatif lebih besar dibandingkan
penggilingan kecil. Hal ini terjadi karena alat dan mesin yang dimiliki
penggilingan besar relatif lebih banyak dengan nilai yang lebih tinggi, misalnya
husker dan polisher yang lebih banyak dan terintegrasi, jumlah truk dan mobil
pick-up yang lebih banyak. Biaya penyusutan juga terjadi karena proses
penyimpanan gabah atau beras, sehingga perlu dipertimbangkan penyusutan
sebesar 0,3 persen. Penggilingan besar juga memiliki luasan lantai jemur dan
119
gudang penyimpanan yang lebih luas, serta beberapa penggilingan besar memiliki
kantor sebagai pusat kegiatan administrasi penggilingan Berdasarkan perhitungan
diperoleh besarnya biaya penyusutan penggilingan padi besar adalah Rp 486.951
per hari.
Semua biaya tunai dan tidak tunai yang telah diidentifikasi dijumlahkan
maka dapat diketahui total biaya penggilingan padi besar. Total biaya tunai dan
total biaya tidak tunai masing-masing adalah Rp 134.088.231 dan Rp 486.951,
sehingga total biaya penggilingan padi adalah Rp 134.575.181.
6.2.2 Penggilingan Padi Kecil
Berbeda dengan penggilingan padi besar, penggilingan padi kecil memiliki
kapasitas produksi yang lebih kecil. Rata-rata jumlah GKP yang dibeli dalam tiap
kali produksi adalah 10 ton, dengan harga gabah pada saat transaksi terjadi
sebesar Rp 2.423 per kg, sehingga biaya pembelian adalah Rp 24.000.455. Biaya
pembelian karung adalah Rp 26.614 dan karung dapat digunakan delapan sampai
sepuluh kali. Biaya yang dikeluarkan untuk calo/komisi, transport, dan KTMB
berturut-turut adalah Rp 422.841, Rp 401.232, dan Rp 301.977 (Tabel 18.).
Seluruh penggilingan kecil melakukan pengeringan di lantai jemur dengan
upah jemur Rp 40 per kg dengan biaya pengeringan sebesar Rp 398.159. Tidak
ada penggilingan padi kecil yang memiliki mesin giling yang terintegrasi satu
sama lain, sehingga upah giling yang dikeluarkan lebih tinggi, yaitu Rp 40 per kg
dengan rata-rata upah giling total Rp 235.909. Biaya penjualan beras berjumlah
total Rp 607.273 yang terdiri dari biaya transportasi, kemasan, upah muat
bongkar, dan calo/komisi.
120
Biaya diperhitungkan dalam penggilingan kecil relatif lebih kecil
dibandingkan dengan biaya diperhitungkan pada penggilingan besar. Hal ini dapat
dipahami karena penggilingan kecil memiliki alat-alat dan mesin-mesin yang
terbatas jumlahnya. Sebagian besar hanya memiliki satu atau dua paket mesin
husker dan polisher ditambah dengan diesel sebagai mesin penggerak. Tidak
semua penggilingan kecil memiliki truk atau mobil pick-up sendiri. Selain itu,
luas lantai jemur dan gudang penyimpanan yang selalu bersatu dengan bangunan
tempat produksi tidak terlalu luas. Total biaya diperhitungkan adalah Rp 35.536
per hari termasuk biaya penyusutan stok gabah 0,3 persen dari total GKP.
Total biaya diperoleh dengan menjumlahkan total biaya tunai dan total
biaya tidak tunai. Total biaya tunai dan tidak tunai penggilingan padi kecil
berturut turut adalah Rp 26.599.641 dan Rp 52.356 sehingga total biaya yang
terjadi adalah Rp 26.665.177. Tabel 18. menunjukkan biaya-biaya yang
dikeluarkan oleh penggilingan padi kecil.
6.2.3 Penggilingan Padi Agregat
Pengeluaran padi secara agregat adalah rataan dari seluruh pemilik baik
penggilingan padi besar maupun kecil. Semua komponen pengeluaran
penggilingan padi secara agregat berada relatif di antara penggilingan padi besar
dan kecil. Total biaya tunai dan tidak tunai secara agregat masing-masing adalah
Rp 66.523.974 dan Rp 261.141. Apabila total biaya tunai dan tidak tunai
dijumlahkan, maka diperoleh total biaya secara agregat yaitu Rp 66.785.115.
Biaya pembelian GKP terdiri dari biaya GKP, karung, calo/komisi,
transportasi, dan KTMB. Total biaya pembelian GKP dan biaya pengeirngan
berupa upah jemur masing-masing adalah Rp 62.797.360 dan Rp 1.008.129.
121
Biaya pengolahan terdiri dari upah giling dan biaya solar, sedangkan biaya
penjualan terdiri dari biaya transportasi, kemasan, upah muat bongkar, dan
calo/komisi. Total biaya pengolahan dan total biaya penjualan berturut-turut
Rp 1.198.914 dan Rp 1.519.571, sedangkan total biaya diperhitungkan berjumlah
Rp 203.204. Tabel 18. menggambarkan kondisi tersebut secara lebih detail.
6.3 Analisis Pendapatan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya
Analisis pendapatan dilakukan untuk menentukan nilai yang diperoleh
penggilingan padi dari aktivitas-aktivitas produksi. Analisis pendapatan meliputi
analisis pendapatan atas biaya tunai dan analisis pendapatan atas biaya total.
Analisis pendapatan atas biaya tunai hanya mempertimbangkan biaya tunai
sementara analisis pendapatan atas biaya total dengan mengikutsertakan
komponen biaya diperhitungkan ke dalam analisis.
Perhitungan pandapatan penggilingan padi dilakukan pada penggilingan
padi besar, penggilingan padi kecil, dan secara agregat untuk melihat gambaran
keseluruhan penggilingan padi. Perhitungan dilakukan untuk rata-rata kapasitas
produksi penggilingan padi mengingat penggilingan padi memliliki sifat seperti
layaknya sebuah perusahaan dan memiliki siklus produksi yang relatif cepat.
Penerimaan berasal dari penjualan hasil produksi berupa beras dan hasil
samping berupa bekatul dan menir. Sementara biaya dihasilkan dari aktivitas-
aktivitas pengusahaan penggilingan padi mulai dari pembelian GKP sampai pada
penjualan produk ke konsumen. Data penerimaan dan biaya pada Tabel 19. di
bawah ini berasal dari perhitungan pada Tabel 17. dan Tabel 18.
122
Tabel 19. Analisis Pendapatan dan Imbangan Penerimaan dan Biaya Pengusahaan Penggilingan Padi per Hari
Komponen Penerimaan Penggilingan Besar
Penggilingan Kecil
Penggilingan Agregat
Total Penerimaan 150.440.769 31.277.727 75.538.286 Total Biaya Tunai 134.088.231 26.599.641 66.523.974 Total Biaya Diperhitungkan 614.470 52.356 261.141 Biaya Total 134.702.701 26.651.997 66.785.115 Pendapatan Atas Biaya Tunai 16.352.538 4.682.268 9.016.940 Pendapatan Atas Biaya Total 15.738.069 4.629.912 8.755.799 R/C Atas Biaya Tunai 1,122 1,176 1,136 R/C Atas Biaya Total 1,117 1,174 1,131
Pada Tabel 19. di atas, total penerimaan penggilingan padi besar adalah
Rp 150.440.769. Total biaya yang menjadi beban penggilingan besar adalah
Rp 134.702.701, yang berasal dari total biaya tunai Rp 134.088.231 ditambah
total biaya diperhitungkan sebesar Rp 614.470. Pendapatan atas biaya tunai dan
pendapatan atas biaya total berturut-turut sebesar Rp 16.352.538 dan
Rp 15.738.069.
Efisiensi penggilingan padi besar dapat dilihat dari perbandingan
penerimaan dan biaya (rasio R/C). Rasio R/C atas biaya tunai adalah 1,122,
artinya setiap Rp 1.000 yang dikeluarkan sebagai biaya akan menghasilkan
Rp 1.122. Sedangkan, rasio R/C atas biaya total sebesar 1,117, yang artinya setiap
Rp 1.000 yang dikeluarkan akan menghasilkan Rp 1.117. Rasio R/C atas biaya
tunai dan atas biaya total relatif tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena jumlah
biaya diperhitungkan relatif kecil dengan persentase yang tidak signifikan.
Penggilingan padi kecil memiliki penerimaan sebesar Rp 31.277.727 yang
berasal dari penjualan beras dan hasil sampingnya. Total biaya tunai yang menjadi
beban penggilingan kecil sebesar Rp 26.651.997, sedangkan biaya total sebesar
123
Rp 26.651.997. Pendapatan penggilingan padi kecil atas biaya tunai adalah
Rp 4.682.268, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah Rp 4.629.912.
Efisiensi penggilingan padi kecil dapat diketahui dengan melihat rasio R/C
atas biaya tunai sebesar 1.176, artinya setiap Rp 1.000 biaya yang dikeluarkan
akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.176. Sedangkan rasio R/C atas biaya
total adalah 1.174, artinya setiap Rp 1.000 biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.174.
Sama seperti penggilingan besar, penggilingan padi memiliki nilai rasio
R/C yang tidak terlalu jauh berbeda antara R/C atas biaya tunai atau atas biaya
total. Berdasarkan perbandingan antara penggilingan padi besar dan kecil pada
Tabel 19, dapat diketahui bahwa penggilingan padi kecil lebih efisien dari
penggilingan padi besar, walaupun tidak signifikan. Hal ini terjadi karena
penggilingan padi kecil mengeluarkan biaya diperhitungkan yang lebih sedikit
dengan memiliki mesin dan alat yang tidak memerlukan investasi yang besar,
sementara harga per aktivitas penggilingan padi baik besar maupun kecil relatif
sama.
Penggilingan padi secara agregat memiliki rasio R/C atas biaya tunai
sebesar 1,136, yang artinya setiap Rp 1.000 biaya yang dikeluarkan akan
menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.136. Sedangkan, rasio R/C atas biaya total
penggilingan secara agregat adalah 1,131, artinya setiap Rp 1.000 biaya yang
dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 1.131. Selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 19.
124
VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN PENDAPATAN PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
Analisis diskriminan digunakan dalam penelitian untuk menjawab
permasalahan tentang ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara penggilingan
berpendapatan tinggi dan rendah. serta faktor-faktor yang paling membedakan
kedua kelompok tersebut. Penggilingan berpendapatan tinggi adalah penggilingan
yang memiliki pendapatan lebih besar dari rata-rata pendapatan penggilingan padi
secara agregat, sedangkan penggilingan berpendapatan rendah memiliki
pendapatan lebih kecil dari rata-rata pendapatan penggilingan padi secara agregat.
Data mengenai besarnya pendapatan diperoleh setelah melakukan analisis
pendapatan. Analisis pendapatan menunjukkan bahwa terdapat tiga penggilingan
padi kecil yang ternyata memiliki pendapatan yang lebih tinggi dari pendapatan
agregat penggilingan padi sehingga ketiganya dimasukkan ke dalam kelompok
penggilingan padi berpendapatan tinggi. Pada penggilingan padi besar terdapat
dua penggilingan yang termasuk dalam kelompok penggilingan berpendapatan
rendah, karena memiliki pendapatan kurang dari rata-rata pendapatan agregat
penggilingan padi.
7.1 Validasi Data
Analisis dilakukan terhadap 18 faktor yang dianggap berpengaruh pada
tinggi rendahnya pendapatan penggilingan padi. Semua faktor tersebut diperoleh
melalui pengamatan dan ditinjau kembali melalui diskusi dengan pemilik
penggilingan padi. Semua data yang diperoleh dalam kajian ini adalah bersifat
rasio. Setelah diolah dengan menggunakan program SPSS 13.0 for Windows,
125
menunjukkan bahwa keseluruhan data yang dimasukkan valid. Hal tersebut berarti
dari 35 data yang dimasukkan ke dalam program SPSS 13.0 for Wndows tidak ada
data yang hilang satupun dengan tingkat validasi 100 persen. Validasi data dapat
dilihat pada Lampiran 12 Tabel Analysis case processing summary.
7.1.1 Identifikasi Faktor-Faktor yang Berpengaruh Secara Signifikan dalam Membedakan Penggilingan Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Setelah melakukan proses validasi, analisis dilanjutkan dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap dua
kelompok penggilingan berpendapatan tinggi dan rendah dengan mengetahui
faktor-faktor apa saja yang secara signifikan membedakan kedua kelompok. Tabel
20. menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh dalam membedakan
penggilingan padi berdasarkan tingkat pendapatan.
Tabel 20. Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Membedakan Penggilingan Padi Berdasarkan Tingkat Pendapatan
Faktor Nilai F Signifikansi Kapasitas Produksi 43,821 0,000 Kapasitas Mesin 31,301 0,000 Tenaga Kerja 43,265 0,000 Jam Kerja Mesin 24,146 0,000 Gabah Kering Panen (GKP) 41,681 0,000 Kadar Air 1,295 0,263 Luas Gudang Penyimpanan 41,681 0,000 Luas Lantai Jemur 42,618 0,000 Rendemen Beras 3,898 0,057 Pengalaman Pemilik 21,679 0,000 Pendidikan Pemilik 3,419 0,015 Modal 18,184 0,000 Kemasan 9,314 0,073 Grading Beras 18,184 0,000 Mitra Bulog 18,184 0,000 Sumber Modal 9,314 0,004 Umur 3,658 0,064 Solar 40,313 0,000
126
Berpedoman pada nilai signifikansi dan F test, jika nilai signifikansi lebih
dari 0,05 (sig. > 0,05), maka faktor tersebut tidak dapat menjadi pembeda antar
kelompok, sedangkan jika nilai signifikansi kurang dari atau sama dengan 0,05
(sig. < 0,05), maka faktor tersebut dapat menjadi pembeda antar kelompok. Tabel
18. menunjukkan signifikansi faktor terhadap pembeda dua kelompok.
Berdasarkan Tabel 18. dari 18 faktor awal yang dianggap mampu
membedakan kedua kelompok, ternyata terdapat empat faktor yang tidak
signifikan menjadi pembeda antarkelompok. Keempat faktor tersebut antara lain
kadar air, rendemen beras, kemasan, dan umur. Keempatnya akan dikeluarkan
dari analisis dan tidak diikutsertakan dalam tahap analisis berikutnya.
Kadar air tidak signifikan dalam membedakan kelompok karena antara
kelompok penggilingan berpendapatan tinggi dan rendah memberikan penilaian
yang relatif sama terhadap faktor tersebut. Hal ini terjadi karena rata-rata
penggilingan membeli gabah dari petani dengan kadar air 26 persen, baik
penggilingan berpendapatan tinggi dan rendah. Selain itu, pada saat wawancara
dengan pemilik penggilingan, kondisi cuaca memang mendukung sehingga
tingkat kadar air relatif baik di tingkat petani.
Tingkat rendemen beras dan kemasan yang digunakan penggilingan padi
dalam Tabel 18. menunjukkan hasil yang tidak signifikan dalam membedakan dua
kelompok. Berdasarkan input yang dimasukkan ke dalam program SPSS 13.0 for
Windows, kedua faktor ini tersebar hampir secara merata terdapat pada kedua
kelompok penggilingan. Rendemen beras yang tinggi tidak hanya terdapat pada
penggilingan yang berpendapatan tinggi tetapi juga terdapat pada penggilingan
berpendapatan rendah, begitu juga sebaliknya. Rendemen yang rendah bukan saja
127
menjadi masalah bagi penggilingan kecil, tetapi juga bagi penggilingan besar.
Kemasan yang digunakan penggilingan padi juga tidak signifikan karena dalam
tiap kelompok banyak ditemukan penggilingan yang menggunakan merek sendiri
juga sekaligus menggunakan merek pasar.
Begitu pula yang terjadi pada faktor umur pemilik. Tidak ada jaminan
pemilik yang masuk ke dalam kelompok penggilingan berpendapatan tinggi
adalah pemilik berumur tua. Hal ini dapat dipahami karena umur tersebar di antara
dua kelompok. Berbeda dengan pengalaman pemilik yang memiliki hasil
signifikan dalam membedakan kedua kelompok, umur pemilik memiliki nilai
yang tidak signifikan sehingga harus dikeluarkan dalam analisis berikutnya.
7.1.2 Pemilihan Faktor sebagai Prediktor Terbaik Model Diskriminan
Setelah dilakukan tahap pengujian terhadap keseluruhan faktor, diperoleh
14 faktor yang diteliti secara signifikan menjadi pembeda antara kelompok
penggilingan berpendapatan tinggi dan penggilingan berpendapatan rendah.
Kemudian lebih jauh diteliti faktor-faktor manakah yang paling baik dan memiliki
pengaruh yang besar sebagai pembeda antarkelompok, sehingga metode yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis diskriminan bertahap
(stepwise discriminant).
Metode analisis diskriminan bertahap merupakan teknik analisis
diskriminan dengan memasukkan variabel bebas (faktor-faktor yang dianggap
menjadi pembeda) ke dalam model secara bertahap (satu per satu) berdasarkan
kemampuan variabel bebas tersebut dalam melakukan diskriminasi
antarkelompok. Selanjutnya, akan diperoleh model yang lebih sederhana dan
berisi faktor-faktor terbaik sebagai pembeda antarkelompok.
128
Tata cara pemilihan faktor terbaik dilakukan dalam beberapa tahap (step).
Pada setiap tahap pemilihan faktor tersebut dilakukan atas dasar nilai
Mahalanobis Distance (Min D Square) terbesar dengan nilai Sig. of F to Enter <
0,05. Apabila kedua kriteria tersebut terpenuhi, maka faktor yang bersangkutan
dapat dimasukkan ke dalam model. Jika kedua kriteria tersebut tidak terpenuhi,
maka proses dihentikan.
Pada tahap 0 (Lampiran 9.), semua faktor masih dipertimbangkan untuk
dimasukkan ke dalam model diskriminan. Pada tabel Variables Not In The
Analysis, terlihat nilai Mahalanobis Distance (Min D Square) yang terbesar
adalah 5,112 (faktor kapasitas produksi) dengan nilai Sig. of F to Enter 0,000. Hal
ini berarti faktor kapasitas produksi dapat dimasukkan ke dalam model
diskriminan.
Pada tahap 1, semua faktor kecuali faktor kapasitas produksi masih
dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam model diskriminan. Terlihat pada
nilai Mahalonobis Distance (Min D Square) yang terbesar adalah 7,974 yang
diwakili oleh faktor modal, dengan nilai Sig. of F to Enter 0,003. Artinya faktor
modal dapat dimasukkan ke dalam model diskriminan dan tidak diikutsertakan
pada tahap 2.
Pada tahap 2, semua faktor kecuali faktor kapasitas produksi dan modal
masih dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam model diskriminan. Terlihat
pada nilai Mahalanobis Distance (Min D Square) yang terbesar adalah 10,305
yang diwakili oleh faktor pendidikan. Nilai Sig. of F to Enter untuk faktor
pendidikan pemilik adalah 0,019, artinya faktor pendidikan pemilik dimasukkan
ke dalam model diskriminan dan hilang pada tahap selanjutnya.
129
Pada tahap 3, kecuali faktor kapasitas produksi, modal, dan pendidikan
pemilik, semua faktor masih dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam model
diskriminan. Pada nilai Mahalanobis Distance (Min D Square) yang terbesar
adalah 13,076 dengan nilai Sig. of to F Enter adalah 0,022 yang diwakili oleh
faktor kapaitas mesin. Faktor ini memenuhi kriteria sehingga faktor kapasitas
mesin dimasukkan ke dalam model diskriminan.
Pada tahap 4, semua faktor masih dipertimbangkan untuk dimasukkan ke
dalam model diskriminan kecuali faktor kapasitas produksi, modal, pendidikan,
dan kapasitas mesin. Terlihat pada tahap 4 ini, nilai Mahalanobis Distance (Min D
Square) yang terbesar adalah 16,514 dengan nilai Sig. of F to Enter sebesar 0,022
yang diwakili oleh faktor kemitraan dengan Bulog. Faktor kemitraan dengan
Bulog memenuhi kriteria sehingga dapat dimasukkan ke dalam model
diskriminan.
Proses pemilihan faktor tetap berlangsung sampai tidak mampu memenuhi
kriteria. Pada tahap 5, semua faktor masih dipertimbangkan, namun terlihat dari
nilai Sig. of F to Enter sudah lebih dari 0,05. Hal ini berarti tidak ada lagi faktor
yang memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam model diskriminan. Dengan
demikian tahap pemilihan faktor berhenti dan model diskriminan yang terbentuk
terdiri dari faktor kapasitas produksi, modal, pendidikan pemilik, kapasitas mesin,
kemitraan dengan Bulog.
Lampiran 10. menunjukkan hasil pengujian apakah ada perbedaan yang
nyata atau tidak antara penggilingan berpendapatan tinggi dan rendah. Setelah
dilakukan analisis diskriminan dengan berdasar pada nilai Chi-square sebesar
50,804 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan adanya
130
perbedaan yang signifikan antara kelompok penggilingan padi berpendapatan
tinggi dan rendah
Nilai Cannonical Correlation pada Lampiran 11. dari hasil analisis
diskriminan adalah 0,901, jika dikuadratkan menjadi 0,811801. Hal ini berarti
sebesar 81,18 persen varians dari peubah tidak bebas pendapatan penggilingan
padi dapat dijelaskan oleh model yang terbentuk dari lima peubah bebas yaitu
kapasitas produksi, modal, pendidikan pemilik, kapasitas mesin, dan mitra Bulog.
Selanjutnya, perlu diketahui seberapa besar ketepatan model diskriminan yang
terbentuk dalam memprediksi atau mengelompokkan penggilingan ke dalam
kelompok mana. Hal ini diperlukan karena jika ketepatan prediksi termasuk ke
dalam prediksi yang tinggi, maka model diskriminan yang terbentuk mampu
menggambarkan keadaan aktual dengan baik. Lampiran 12. menunjukkan hasil
ketepatan prediksi dan model disriminan yang terbentuk.
Teknik pengklasifikasian atau pengelompokkan pada bagian original
adalah teknik pengklasifikasian pendapatan penggilingan padi dengan
menggunakan model diskriminan yang diturunkan dari seluruh data yang dimiliki.
Berdasarkan Lampiran 14, Tabel Classification result pada bagian original
terlihat data awal yang tergolong kelompok penggilingan padi berpendapatan
tinggi berjumlah 15 penggilingan padi dan 20 penggilingan padi berpendapatan
rendah. Sementara menurut model diskriminan, sebanyak satu penggilingan padi
yang awalnya berada di kelompok penggilingan berpendapatan tinggi ternyata
menjadi kelompok penggilingan berpendapatan rendah. Pada kelompok
penggilingan berpendapatan rendah tidak terdapat perbedaan antara data awal
131
dengan hasil model diskriminan. Dengan demikian ketepatan prediksi model
adalah (14+20) / 35 = 0,97 atau 97 persen.
Cross-validated adalah teknik pengukuran ketepatan prediksi yang
digunakan sebagai penguat hasil produksi yang ditampilkan pada bagian original,
dengan cara membandingkan keseluruhan penggilingan padi kecuali penggilingan
padi yang sedang diteliti dengan model diskriminan yang terbentuk. Pada
Lampiran 14. bagian cross-validated terlihat bahwa penggilingan yang pada data
awal tergolong kelompok penggilingan padi berpendapatan tinggi sebanyak 15
penggilingan, sedangkan menurut model diskriminan yang tergolong kelompok
penggilingan berpendapatan tinggi adalah 12 penggilingan, dan tiga penggilingan
dianggap salah prediksi dan dimasukkan ke kelompok penggilingan
berpendapatan rendah. Sama seperti pada bagian original, kelompok penggilingan
padi berpendapatan rendah tidak terdapat perbedaan antara data awal dengan hasil
model diskriminan. Dengan demikian ketepatan prediksi model adalah sebesar
(12+20) / 35 = 0,9143 atau 91,43 persen. Batas minimal ketepatan prediksi dan
model diskriminan yang terbentuk dalam penelitian ini adalah:
Cpro = p2 + (1-p)2
= (0,15)2 + (1-0,15)2
= 0,745 atau 74,5 %
Hasil perhitungan batas minimal ketepatan prediksi model diskriminan di
atas menunjukkan bahwa ketepatan prediksi dari model diskriminan yang
terbentuk termasuk ke dalam ketepatan prediksi yang tinggi. Hal ini berarti model
diskriminan tersebut mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dengan
baik.
132
7.2 Interpretasi Model Diskriminan
Interpretasi dilakukan dengan melihat model diskriminan yang terbentuk,
centroids (nilai rata-rata skor diskriminan), dan cutting Z score (batas skor
diskriminan) antara penggilingan padi berpendapatan tinggi dan penggilingan padi
berpendapatan rendah. Model diskriminan yang terbentuk adalah:
Z = 1,669 – 0,001 X1 – 0,056 X2 + 1,023 X3 + 0,297 X4 + 1,356 X5
Dimana:
Z = Skor diskriminan
X1 = Skor penilaian terhadap faktor kapasitas produksi
X2 = Skor penilaian terhadap faktor kapasitas mesin
X3 = Skor penilaian terhadap faktor pendidikan pemilik
X4 = Skor penialain terhadap faktor modal
X5 = Skor penilaian terhadap faktor kemitraan dengan Bulog
Model di atas menunjukkan bahwa pendidikan pemilik penggilingan,
modal yang dimiliki, dan status penggilingan sebagai mitra Bulog memiliki
hubungan yang positif dengan skor diskriminan. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi skor penilaian terhadap pendidikan, modal, dan mitra Bulog, maka
skor diskriminan yang dihasilkan juga semakin tinggi. Begitu juga sebaliknya,
semakin rendah skor penilaian terhadap pendidikan pemilik penggilingan, modal
yang dimiliki, dan status penggilingan sebagai mitra Bulog, maka skor
diskriminan yang dihasilkan semakin rendah.
Untuk mengetahui pada skor berapa penggilingan dapat dikatakan
berpendapatan tinggi dan rendah, maka dapat dilihat pada Tabel Function at
Group Centroids (Lampiran 13.). Berdasarkan tabel tersebut diketahui centroids
133
(nilai rata-rata skor diskriminan) kelompok penggilingan berpendapatan tinggi
adalah -2,322 dan centroids (rata-rata skor diskriminan) kelompok penggilingan
padi berpendapatan rendah adalah 1,742. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok
penggilingan padi berpendapatan tinggi berada pada skor diskriminan negatif,
sedangkan kelompok penggilingan padi berpendapatan rendah berada pada skor
diskriminan positif. Dengan demikian, penggilingan dapat dikatakan
berpendapatan tinggi ketika memiliki skor diskriminan negatif, dan dapat
dikatakan berpendapatan rendah ketika memiliki skor diskriminan positif.
Untuk mengetahui lebih jelas berapa batas skor diskriminan (cutting Z
score), sehingga suatu penggilingan padi dapat dikatakan berpendapatan tinggi
dan rendah, maka dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
NbNaZbNbZaNa
Z cu ++= ..
( ) ( )2015
742,120322,215++−= xx
Z cu
Zcu = 0.000286
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa batas skor diskriminan (cutting Z
score) yang dihasilkan adalah 0,000286. Berpedoman pada nilai rata-rata skor
diskriminan kelompok penggilingan padi berpendapatan tinggi yang negatif, dan
kelompok penggilingan padi berpendapatan rendah yang positif, maka hasil
perhitungan tersebut memiliki arti yaitu, jika skor diskriminan di atas 0,000286,
maka penggilingan dapat dikatakan memiliki pendapatan rendah, sedangkan jika
berada di bawah 0,000286, maka penggilingan dapat dikatakan memiliki
pendapatan tinggi. Dengan kata lain, semakin rendah penilaian yang diberikan
134
terhadap kapasitas produksi, kapasitas mesin, pendidikan pemilik, modal yang
dimiliki, dan status penggilingan sebagai mitra Bulog, maka penggilingan
cenderung memiliki pendapatan yang tinggi. Begitu juga sebaliknya, semakin
tinggi penilaian terhadap kapasitas produksi, kapasitas mesin, tingkat pendidikan
pemilik, modal yang dimiliki, dan status penggilingan sebagai mitra Bulog, maka
penggilingan cenderung memiliki pendapatan rendah.
Interpretasi juga dapat dilakukan dengan melihat nilai rata-rata
diskriminan khususnya perbandingan faktor kapasitas produksi, modal, kapasitas
mesin, mitra Bulog, dan pendidikan. Nilai tersebut kemudian dibandingkan
dengan angka yang ada pada structure matrix (Lampiran 15.)
Tabel 21. Pemasukkan Variabel pada Kelompok Penggilingan
Faktor
Penggilingan Berpendapatan
Tinggi (nilai rata-rata)
Penggilingan Berpendapatan
Rendah (nilai rata-rata)
Matriks Struktur
Kapasitas Produksi 29.231 5.909 -0,556 Modal 137 27 -0,534 Kapasitas Mesin 95 74 -0,470 Mitra Bulog 1,08 1,82 0,358 Pendidikan 1,54 1,77 0,216
Tabel 21. menunjukkan pemasukan variabel pada kedua kelompok.
didasarkan skor pada tiap faktor, skor lebih tinggi yang akan terpilih. Faktor
kapasitas produksi (29.231), modal (137), dan kapasitas mesin (95) masuk ke
dalam kelompok penggilingan padi berpendapatan tinggi, sedangkan faktor
kemitraan penggilingan dengan Bulog (1,82) dan pendidikan (1,77) masuk ke
dalam kelompok penggilingan padi berpendapatan rendah. Dengan demikian
penggilingan berpendapatan tinggi lebih dipengaruhi (bersifat positif) oleh
kapasitas produksi penggilingan, modal yang dimiliki, dan kapasitas mesin
135
penggilingan, sedangkan penggilingan berpendapatan rendah lebih dipengaruhi
(bersifat positif) oleh status penggilingan sebagai mitra Bulog dan tingkat
pendidikan pemilik.
Kemampuan kapasitas produksi penggilingan, modal yang dimiliki, dan
kapasitas mesin penggilingan lebih mempengaruhi kelompok penggilingan
berpendapatan tinggi secara positif. Hal ini dapat dipahami karena berdasarkan
pengamatan di lokasi penelitian, penggilingan yang memiliki ketiga faktor di atas
memiliki peluang untuk sukses dan menghasilkan pendapatan yang lebih besar
dibandingkan penggilingan lain yang tidak memiliki ketiga faktor tersebut.
Kemampuan kapasitas produksi yang baik dapat menjadi faktor utama
karena penjualan utama penggilingan adalah beras hasil produksi. Apabila
kapasitas produksi besar, maka lebih banyak beras yang dapat dijual sehingga
mampu menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
penggilingan lain dengan kapasitas produksi lebih rendah.
Modal yang dimiliki penggilingan sangat berpengaruh dalam melakukan
pembelian gabah dalam jumlah yang besar dan investasi dalam mesin-mesin dan
alat-alat produksi dengan teknologi tinggi. Penggilingan dengan modal kuat dapat
tetap melakukan aktivitas produksi walaupun kondisi alam tidak memungkinkan,
karena dengan modal yang kuat penggilingan mampu memiliki cadangan (stok)
gabah.
Kapasitas mesin yang dimiliki penggilingan mampu menentukan
produktivitas produksi dalam sehari. Semakin cepat dan semakin banyak gabah
yang digiling maka keuntungan yang diperoleh penggilingan dapat lebih besar
dibandingkan penggilingan lainnya. Kapasitas mesin yang besar mampu
136
menghasilkan beras yang lebih besar dalam waktu yang relatif efisien
dibandingkan penggilingan berpendapatan rendah.
Kerjasama yang dilakukan penggilingan dengan Bulog dalam bentuk
kemitraan dan pendidikan pemilik lebih mempengaruhi kelompok penggilingan
berpendapatan rendah secara positif. Kerjasama dengan Bulog dalam pengadaan
beras dianggap menguntungkan, sehingga kelompok penggilingan berpendapatan
rendah menilai positif kerjasama tersebut. Sebenarnya kelompok penggilingan
berpendapatan tinggi, juga banyak yang menjadi mitra Bulog, namun karena
sudah bertahun-tahun menjalin kerjasama dengan Bulog, hal tersebut sudah
dianggap lumrah, sehingga kemitraan penggilingan dengan Bulog ini lebih
berasosiasi dengan kelompok penggilingan berpendapatan rendah.
Tingkat pendidikan pemilik, dianggap positif oleh kelompok penggilingan
berpendapatan rendah karena pendidikan dapat mempercepat proses inovasi dan
transfer teknologi. Kelompok penggilingan berpendapatan tinggi tidak terlalu
menganggap tingkat pendidikan yang dimiliki pemilik sebagai penentu, karena
pengalaman lebih dianggap positif dalam kaitannya dengan bisnis penggilingan.
137
VIII. ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI PENGUSAHAAN PENGGILINGAN PADI
8.1 Analisis Fungsi Produksi
Fungsi produksi menggambarkan suatu hubungan antara faktor-faktor
produksi dengan hasil produksinya. Berdasarkan asumsi awal bahwa produksi
beras di penggilingan padi di Kabupaten Karawang diduga dipengaruhi oleh
sembilan variabel yaitu jumlah GKP, jumlah solar, tenaga kerja yang digunakan,
jam kerja mesin, kapasitas mesin, modal, mitra Bulog, pendidikan, dan
pengalaman pemilik. Dari sembilan faktor tersebut, empat faktor diantaranya
merupakan faktor yang secara signifikan mempengaruhi perbedaan pendapatan
antara pengusahaan penggilingan padi. Semua faktor-faktor produksi tersebut
merupakan peubah bebas yang akan menduga produksi beras sebagai peubah
tidak bebas. Dalam penelitian ini, semua seluruh faktor produksi digabung baik
penggilingan besar maupun penggilingan kecil. Data penggunaan faktor-faktor
produksi dapat dilihat pada Lampiran 6.
Model fungsi produksi yang digunakan untuk menduga fungsi produksi
dalam penelitian ini adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Faktor-faktor
produksi yang diduga berpengaruh dalam produksi penggilingan padi adalah
jumlah GKP, jumlah solar, tenaga kerja yang digunakan, jam kerja mesin (JKM),
kapasitas mesin, modal, mitra Bulog, pendidikan, dan pengalaman pemilik. Hasil
pendugaan model dan hubungan antara variabel bebas (faktor-faktor produksi)
dan variabel tidak bebas (produksi beras) dapat dilihat pada Tabel 22.
138
Tabel 22. Analisis Ragam Produksi Beras pada Penggusahaan Penggilingan Padi
Sumber Ragam
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah F-hitung Peluang
Regresi 9 32,3304 3,5923 5758,44 0,000 Galat 25 0,0156 0,0006 Total 34 32,3460
Berdasarkan pendugaan model produksi yang diperoleh pada Tabel 22,
terlihat nilai F-hitung sebesar 5758,4 yang signifikan pada taraf kepercayaan 95
persen (� = 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi yang
digunakan dalam model secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap
produksi beras penggilingan padi.
Hasil pendugaan yang diperoleh untuk fungsi produksi Cobb-Douglas
adalah:
Ln Produksi = 1.23 + 0.709 ln GKP + 0.146 ln Solar + 0.0180 ln TK
- 0.0156 ln Jam - 0.0475 ln KapMes + 0.143 ln Modal
- 0.0041 ln Mitra - 0.0166 ln Pend + 0.0229 ln pengalaman
Berdasarkan hasil pendugaan diperoleh koefisien determinasi (R2) sebesar
98,8 persen. Nilai R2 sebesar 98,8 persen menunjukkan bahwa 98,8 persen dari
variasi produk beras dapat dijelaskan oleh variasi faktor-faktor seperti jumlah
GKP, jumlah solar, tenaga kerja, jam kerja mesin, kapasitas mesin, modal, mitra
Bulog, pendidikan, dan pengalaman. Sisanya, variasi sebesar 1,2 persen dijelaskan
oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Hasil analisis model
produksi dapat dilihat pada Tabel 23. dan Lampiran 8.
139
Tabel 23. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Beras pada Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
Variabel Koefisien Regresi
Simpangan Baku
Koefisien
T-hitung Nilai-P VIF
Konstanta 1,2292 0,07650 2,85 0,009 Ln GKP 0,70911 0,07650 9,27 0,000 152,2 Ln Solar 0,14574 0,06039 2,41 0,023 156,2 Ln TK 0,01800 0,06039 0,72 0,480 9,3 Ln JKM -0,01558 0,02410 -0,65 0,524 7,3 Ln KapMesin -0,04754 0,03712 -1,28 0,212 7,1 Ln Modal 0,14304 0,05706 2,51 0,019 174,3 Ln Mitra -0,00412 0,01785 -0,23 0,819 2,1 Ln Pendidikan -0,01661 0,01513 -1,10 0,283 1,3 Ln Pengalaman 0,02286 0,01421 1,61 0,120 2,2
Pengaruh faktor-faktor produksi secara parsial juga dapat dilihat dengan
menggunakan uji t. Hasil uji t menunjukkan bahwa faktor produksi jumlah GKP,
jumlah solar, dan modal pemilik berpengaruh nyata dan signifikan terhadap
produksi beras. Jumlah GKP berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99
persen, sementara variabel jumlah solar dan modal pemilik penggilingan padi
berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen. Uji t pada variabel tenaga
kerja (TK), jam kerja mesin (JKM), kapasitas mesin, mitra Bulog, pendidikan, dan
pengalaman menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut memiliki nilai t yang
kecil dan kurang dari t-tabel sehingga tidak nyata dan tidak signifikan pada taraf
kepercayaan 95 persen.
Variabel tenaga kerja memiliki pengaruh tidak nyata karena hanya
mengukur tenaga kerja yang digunakan pada proses pengolahan dan pengeringan
saja, sementara tenaga kerja yang melakukan pekerjaan lainnya seperti pembelian
gabah dan penjualan sulit diidentifikasi sehingga tidak termasuk dalam model.
JKM tidak nyata karena mesin yang biasa digunakan di penggilingan padi
umumnya dijalankan delapan sampai sepuluh jam per hari dan telah mencapai
140
kapasitas optimalnya. Selain itu, umur mesin yang digunakan relatif tua sehingga
kinerjanya tidak begitu baik. Apabila jam kerja ditingkatkan maka dibutuhkan
mesin yang memiliki teknologi yang lebih baik dan kapasitas giling yang lebih
besar daripada yang saat ini digunakan.
Variabel kapasitas mesin menjadi tidak nyata karena beberapa
penggilingan yang memiliki mesin dengan kapasitas yang sama, namun berbeda
dalam hasil produksi, selain itu tiap penggilingan memiliki jumlah unit mesin
giling yang berbeda. Variabel mitra Bulog menjadi tidak signifikan karena
kemitraan penggilingan dengan Bulog tidak menjadikan penggilingan padi yang
bermitra menambah produksinya. Kemitraan dilakukan lebih kepada keuntungan
yang diperoleh penggilingan yang melakukan kemitraan dengan kemampuan
produksi yang dimiliki.
Variabel pendidikan dan pengalaman juga tidak berpengaruh secara
signifikan, karena tidak ada hubungan khusus yang kuat antara pendidikan dengan
produksi beras penggilingan. Tinggi atau rendahnya pendidikan pemilik tidak
mempengaruhi kemampuan kapasitas produksi penggilingan. Begitu juga dengan
pengalaman, karena terdapat banyak pemilik yang berumur muda meneruskan
usaha orang tuanya di penggilingan yang memang sudah memiliki kapasitas
produksi tinggi, walaupun pengalaman dianggap hal yang penting.
Pengujian fungsi produksi dapat dilihat dengan menganalisis kesesuaian
dengan asumsi OLS. Suatu model terbaik harus memenuhi beberapa asumsi OLS
antara lain adalah normalitas (kenormalan sisaan), homoskedastisitas
(kehomogenan ragam), tidak terdapat multikolinearitas (hubungan antar variabel)
dan autokorelasi. Pada Lampiran 17. dapat dilihat bahwa pada model Cobb-
141
Douglas asumsi normalitas terpenuhi. Asumsi ini terpenuhi karena tebaran sisaan
model Cobb-Douglas membentuk suatu garis lurus. Sebenarnya, gambar pada
Lampiran 17. belum dapat diputuskan dengan tegas bahwa residual model Cobb-
Douglas yang dibuat telah mengikuti distribusi normal yang diinginkan sesuai
dengan asumsi model regresi karena gambar pada Lampiran 18. dan Lampiran 17.
secara grafik tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan antara keduanya,
sehingga perlu dilakukan uji kenormalan residual model dengan menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov (Iriawan dan Astuti, 2006).
Pada Lampiran 18. terdapat informasi mengenai rata-rata, standar deviasi,
dan jumlah pengamatan yang masing-masing bernilai -3,01981 x 10-15, 0,02142,
dan 35. Hasil statistik Kolmogorov-Smirnov adalah 0,114 dengan p-value
melebihi 15 persen. Terlihat bahwa nilai KS-hitung lebih kecil dari KS-tabel
(0,224) dan tolak H0 jika nilai Kolmogorov-Smirnov (KS) lebih besar dari KS1-�.
Kesimpulan hasil uji kenormalan residual adalah residual model regresi Cobb-
Douglas yang dibuat telah mengikuti distribusi normal.
Asumsi homoskedastisitas pada model Cobb-Douglas juga terpenuhi
karena penyebaran nilai-nilai residual model Cobb-Douglas tidak membentuk
suatu pola tertentu. Uji homoskedastisitas dapat dilihat pada Lampiran 19. dimana
nilai-nilai residual tidak membentuk suatu pola tertentu. Pengujian terhadap gejala
autokorelasi dapat dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (DW).
Pada Lampiran 16. dapat dilihat bahwa nilai DW adalah 2,29628 (d*). Pengujian
dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat masalah autokorelasi atau tidak.
Model tidak memiliki masalah autokorelasi apabila nilai d* berada pada selang
pengujian du < d* < 4-du (1,77 < d* < 2,33). Berdasarkan hal tersebut, dapat
142
diketahui bahwa model fungsi Cobb-Douglas yang diperoleh tidak terdapat
masalah autokorelasi.
Salah satu asumsi yang terdapat pada persamaan regresi klasik adalah
tidak terdapatnya masalah multikolinearitas. Multikolinearitas dapat terbagi atas
multikolinearitas sempurna dan tidak sempurna. Multikolinearitas sempurna
jarang sekali ditemukan dan jika ada mudah dihindari. Sementara
multikolinearitas tidak sempurna sering dihadapi dalam estimasi.
Multikolinearitas dapat didefinisikan sebagai hubungan fungsional yang bersifat
linear antara dua atau lebih variabel independen yang kuat sehingga secara
signifikan berpengaruh terhadap koefisien hasil estimasi, koefisien regresi dari
variabel independen itu (Gujarati, 1995).
Sarwoko (2005) menambahkan bahwa multikolinearitas terdapat pada
setiap persamaan regresi. Tidak mungkin contoh riil dalam dunia nyata
menemukan serangkaian variabel-variabel penjelas yang sama sekali tidak
berkorelasi satu sama lainnya. Selain itu, harus disadari bahwa multikolinearitas
adalah sebuah fenomena sampel dan fenomena teori.
Terdapat banyak cara untuk mendeteksi adanya multikolinearitas, namun
tidak ada kesepakatan umum tentang uji-uji multikolinearitas yang benar. Ada dua
cara mendeteksi multikolinearitas yang paling banyak digunakan yaitu koefisien
korelasi sederhana yang tinggi, dan nilai VIF (variance inflation factors) yang
tinggi. Untuk memudahkan, dalam bagian ini hanya akan dilihat nilai VIF yang
terdapat pada model Cobb-Douglas. Nilai VIF yang lebih dari 10
mengindikasikan adanya hubungan antar variabel-variabelnya. Tabel 23.
menunjukkan nilai VIF masing-masing faktor produksi. Terdapat tiga variabel
143
bebas yang memiliki nilai VIF lebih dari 10, yang berarti dalam model Cobb-
Douglas ini menunjukkan adanya gejala mulikolinearitas. Variabel-variabel
tersebut adalah jumlah GKP, jumlah solar dan modal. Tabel 20. menunjukkan
nilai VIF dalam model Cobb-Douglas.
Masalah multikolinearitas yang terdapat pada model Cobb-Douglas dapat
diatasi dengan beragam cara antara lain (1) mengeluarkan variabel bebas yang
berkolinear (berhubungan) dari model (Nachrowi dan Usman, 2006), (2)
mentrasformasikan variabel berkolinear, dan (3) mencari data tambahan atau
menambah ukuran sampel. Gujarati (1995) menyatakan bahwa setiap perbaikan
terhadap masalah multikolinearitas memiliki suatu kekurangan karena
multikolinearitas adalah sebuah fenomena yang bersifat grey issue karena dapat
berubah dari sampel ke sampel bahkan untuk spesifikasi yang serupa dari sebuah
persamaan regresi. Oleh karena itu, tindakan tanpa melakukan perbaikan
seringkali menjadi solusi yang bijak.
Alasan tidak mengambil tindakan apapun terhadap masalah
multikolinearitas dalam sebuah persamaan tidak akan selalu mengurangi nilai t
sehingga menjadi tidak signifikan atau merubah koefisien variabel pada model
sehingga nilai tersebut berbeda dengan yang diharapkan. Tabel 23. menjelaskan
bahwa variabel GKP, jumlah Solar, dan modal yang berkorelasi kuat memiliki
nilai t yang signifikan dan koefisien variabel yang sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini semakin memperkuat alasan bahwa eksistensi multikolinearitas dalam
model Cobb-Douglas tidak memiliki arti sehingga tindakan perbaikan tidak
diperlukan. Jika perbaikan tetap dilakukan maka dapat menyebabkan persoalan
lain yang mungkin lebih parah pada model tersebut.
144
Alasan lainnya mengabaikan perbaikan dalam masalah multikolinearitas
adalah bahwa menghapuskan sebuah variabel multikolinear yang dimiliki sebuah
persamaan dapat membahayakan karena akan muncul bias spesifikasi. Menghapus
variabel semacam itu berarti secara sengaja menciptakan bias spesifikasi tersebut.
Oleh karena itu, banyak ahli ekonometrika yang tidak menghilangkan variabel
berkorelasi dalam model walaupun nilai t-nya rendah. Gujarati (1995)
memberikan penjelasan yang baik dengan asosiasi berikut, jika multikolinearitas
adalah sebuah penyakit dan tindakan perbaikan adalah obatnya, maka obatnya
mungkin lebih buruk dari penyakitnya dalam beberapa situasi.
8.2 Pengaruh Faktor-Faktor Produksi
Analisis regresi fungsi Cobb-Douglas dapat menunjukkan pengaruh
masing-masing faktor produksi terhadap produksi beras. Pengaruh masing-masing
faktor produksi dapat diketahui berdasarkan nilai elastisitas produksi yang dilihat
dari koefisien masing-masing faktor produksi. Informasi mengenai pengaruh
masing-masing faktor produksi terhadap hasil produksi dapat dijadikan dasar
dalam pengalokasian faktor-faktor produksi secara tepat. Pengaruh masing-
masing faktor produksi terhadap produksi beras dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Jumlah GKP
GKP merupakan faktor penting dalam pengusahan penggilingan padi.
GKP sangat signifikan terhadap produksi karena tanpa GKP, tidak mungkin
penggilingan padi dapat berproduksi. Berdasarkan analisis regresi, jumlah GKP
mempunyai pengaruh yang positif dan nyata pada tingkat kepercayaan 99 persen.
Hasil ini sesuai dengan sentralnya peran GKP dalam aktivitas penggilingan padi
145
yang mampu meningkakan produksi beras. Tingkat elastisitas GKP ditunjukkan
oleh nilai koefisien regresi yaitu sebesar 0,709, yang berarti bahwa apabila jumlah
GKP ditingkatkan sebesar satu persen, maka produksi beras akan mengalami
peningkatan sebesar 0,709 persen, dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap
(cateris paribus).
b. Jumlah Solar
Solar merupakan bahan bakar yang diperlukan untuk menggerakkan mesin
giling yang akan mengolah GKP menjadi beras. Tanpa solar sebuah penggilingan
padi tidak dapat berproduksi sebanyak apapun gabah yang dimiliki. Pengaruhnya
yang signifikan juga dibuktikan oleh analisis regresi bahwa solar berpengaruh
nyata dan positif pada selang kepercayaan 95 persen. Tingkar elastisitas solar
dapat diketahui melalui nilai koefisien regresi sebesar 0,146, artinya setiap
peningkatan penggunaan solar dalam produksi sebesar satu persen, akan mampu
meningkatkan produksi beras sebesar 0,146 persen, dengan asumsi faktor-faktor
lain tetap (cateris paribus).
c. Modal
Modal dianggap sebagai hal yang sangat penting dalam produksi dan
menjalankan aktivitas pengusahaan penggilingan padi. Modal mengaktivasi
kegiatan di penggilingan antara lain pembelian gabah, pengeringan gabah,
pengolahan beras, penjualan beras, dan kegiatan penyimpanan beras atau gabah.
Modal yang dimiliki penggilingan padi dapat menjamin penggilingan untuk tetap
berproduksi. Modal juga mampu memberikan keamanan terhadap kerugian yang
disebabkan oleh kegiatan produksi. Kemampuan penggilingan padi untuk
melakukan inovasi dan pengembangan usaha juga ditentukan oleh modal.
146
Sentralnya peran modal bagi penggilingan padi juga dapat ditunjukkan oleh
analisis statistic. Modal memepngaruhi produksi beras penggilingan padi di
Kabupaten Karawang secara nyata dan signifikan pada selang kepercayaan 95
persen. Tingkat elastisitas modal dalam model produksi dapat diketahui melalui
koefisien regresi yang bernilai 0,143, yang berarti bahwa setiap tambahan satu
satuan penambahan modal, mampu meningkatkan produksi beras penggilingan
sebesar 0,143 satuan, dengan asumsi faktor-faktor lain dianggap tetap (cateris
paribus).
Faktor produksi yang berpengaruh nyata dan positif terhadap produksi
beras di penggilingan padi adalah jumlah GKP, jumlah solar, dan modal. Jika
dilihat dari besaran nilai elastisitasnya, maka faktor produksi yang paling
responsif terhadap produksi beras di penggilingan padi adalah penggunaan GKP
dengan nilai elastisitas sebesar 0,709. Jumlah GKP adalah faktor yang paling
menentukan produksi beras di penggilingan padi.
8.3 Analisis Skala Usaha
Analisis skala usaha digunakan untuk mengetahui apakah produksi beras
dapat lebih besar, sama, atau lebih kecil dibandingkan kenaikan faktor-faktor
produksi jika penggunaannya ditambah secara proporsional. Increasing return to
scale terjadi apabila kenaikan produksi lebih besar. Apabila lebih kecil, maka
disebut decreasing return to scale, dan apabila sama, maka disebut constant
return to scale. Dalam model fungsi produksi Cobb-Douglas, nilai koefisien
regresi merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel, sedangkan
147
penjumlahan dari nilai-nilai elastisitas tersebut dapat digunakan untuk menduga
keadaan skala usaha produksi.
Hasil pendugaan dan pengujian fungsi produksi Cobb-Douglas diperoleh
jumlah nilai elastisitas seluruh faktor produksi sebesar 0,9549. Karena nilai
tersebut lebih kecil dari satu, maka dapat disimpulkan bahwa produksi beras pada
penggilingan padi berada pada skala kenaikan hasil yang menurun (decreasing
return to scale). Nilai ini mengandung pengertian bahwa penambahan satu persen
dari masing-masing faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan
produksi sebesar 0,9549 persen. Pada skala usaha ini, peningkatan jumlah
produksi yang disebabkan oleh penambahan penggunaan faktor-faktor produksi
lebih besar daripada peningkatan hasil produksinya. Salah satu yang
menyebabkan hal ini adalah karena adanya faktor rendemen dalam aktivitas
mengubah dan menggiling gabah menjadi beras. Tidak semua gabah yang digiling
menjadi beras seutuhnya. Selain faktor rendemen, “kehilangan” kuantitas juga
terjadi dari mulai aktivitas pembelian gabah, pengeringan gabah sampai pada
proses penjualan.
8.4 Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi
Tingkat efisiensi ekonomi dari penggunaan faktor-faktor produksi dapat
dilihat dari besarnya rasio Nilai Marjinal Produk (NPM) dan Biaya Korbanan
Marjinal (BKM). Faktor-faktor produksi yang dapat dianalisis adalah faktor-faktor
produksi yang bersifat fisik dan dapat dinilai dengan satuan rupiah. Faktor-faktor
produksi tersebut antara lain faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata
terhadap produksi beras berdasarkan hasil uji t, yaitu jumlah GKP dan Solar.
148
Rata-rata kapasitas produksi beras per hari yang dihasilkan penggilingan
padi secara agregat di Kabupaten Karawang adalah 14.571,43 kg, dengan harga
jual rata-rata Rp 4.979 per kg. Penggunaan rata-rata GKP per hari adalah
24.974,29 kg dan penggunaan solar rata-rata per hari 152,97 liter. Harga rata-rata
GKP per kg adalah Rp 2.411, sementara harga rata-rata untuk solar adalah
Rp 4.300 per liter. Informasi mengenai penggunaan rata-rata masing-masing
faktor produksi dan harga rata-rata digunakan untuk menduga besarnya rasio
NPM dan BKM. Tingkat efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi pada
penggilingan padi secara agregat di Kabupaten Karawang dapat dilihat pada
Tabel 24.
Tabel 24. Rasio NPM dan BKM pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
Faktor Produksi
Penggunaan Rata-Rata
Aktual
Koefisien Regresi
NPM BKM Rasio NPM/BKM
GKP (kg) 24.974,29 0,709 2.480,685 2.411 0,854 Solar (liter) 152,97 0,146 67.899,84 4.300 16,102
Tabel 24. menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan
rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada
penggilingan padi di Kabupaten Karawang. Rasio NPM dan BKM pada setiap
faktor produksi menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi dalam
pengusahaan penggilingan padi di Kabupaten Karawang tidak efisien secara
ekonomi, karena nilai-nilai rasio NPM dan BKM tidak ada yang sama dengan
satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada
penggilingan padi belum optimal pada jumlah produksi yang sama.
GKP memiliki NPM sebesar 2.480,685 yang artinya bahwa setiap
penambahan penggunaan satu kilogram GKP, akan memberikan tambahan
149
penerimaan sebesar Rp 2.480,685. Rasio NPM dan BKM diperoleh sebesar 0,854
dengan harga rata-rata GKP sebesar Rp 2.411 per kilogram dan koefisien regresi
sebesar 0,709. Rasio NPM dan BKM GKP yang kurang dari satu menunjukkan
bahwa penggunaan GKP sudah melampaui batas optimal, karena penambahan
biaya lebih besar daripada tambahan penerimaannya. sehingga penggilingan padi
harus mengurangi penggunaan GKP agar tercapai kondisi yang efisien dan
optimal. Penggunaan GKP yang melampaui batas ini disebabkan oleh antisipasi
yang dilakukan penggilingan padi dalam mengolah gabah menjadi beras. Hal ini
terjadi karena adanya penyusutan yang baik kehilangan kuantitas gabah selama
proses ataupun pengaruh dari tingkat rendemen yang mengkonversi gabah
menjadi beras.
Solar memiliki NPM sebesar 67.899,84, yang artinya bahwa setiap
penambahan penggunaan satu liter solar, akan memberikan tambahan penerimaan
sebesar Rp 67.899,84. Harga rata-rata solar adalah Rp 4.300 per liter dengan
koefisien regresi sebesar 0,146. Rasio NPM dan BKM yang paling besar adalah
pada penggunaan faktor produksi solar sebesar 16,102. Berdasarkan nilai tersebut,
maka penggunaan faktor produksi solar memerlukan penambahan yang relatif
besar agar tercapai tingkat efisien. Dengan rasio NPM dan BKM sebesar itu, maka
penggunaan solar perlu ditambah dalam jumlah yang relatif besar agar
penggunaanya efisien dan optimal.
8.5 Kombinasi Optimal Faktor-Faktor Produksi
Rasio NPM dan BKM pada analisis efisiensi faktor produksi sebelumnya
memiliki nilai tidak sama dengan satu, yang berarti menunjukan bahwa
150
penggunaan faktor-faktor produksi belum efisien. Penggunaan faktor produksi
GKP masih berlebihan sehingga harus dikurangi, sedangkan faktor produksi solar
harus ditambah agar tercapai efisiensi. Kedua faktor tersebut harus mencapai
kondisi optimal agar efisiensi tercapai. Kondisi efisiensi tercapai apabila rasio
NPM dan BKM masing-masing faktor produksi bernilai sama dengan satu.
Penggunaan faktor-faktor produksi beras penggilingan padi di Kabupaten
Karawang saat kondisi optimal dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Kombinasi Optimal Penggunaan Faktor-Faktor Produksi pada Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
Faktor Produksi
NPM BKM Rasio NPM/BKM
Kondisi Optimal
GKP (kg) 2.480,685 2.411 0,854 21.329,40 Solar (liter) 67.899,84 4.300 16,102 2.463,15
Kondisi efisiensi penggunaan faktor-faktor produksi beras pada
penggilingan padi dicapai apabila penggunaan jumlah GKP dikurangi sebesar
3.644,88 kg menjadi 21.329,4 kg. Pengurangan penggunaan jumlah GKP
bertujuan agar tercapai kondisi efisien. Penggunaan GKP dalam produksi beras
penggilingan padi yang melebihi batas ooptimal ini disebabkan oleh tindakan
antisipasi pemilik penggilingan terhadap kehilangan yang terjadi dalam proses
produksi.
Kehilangan tersebut dapat terjadi karena penyusutan gabah yang disimpan
yang mencapai sampai tiga persen dan proses pembelian, pengangkutan, dan
proses penjemuran yang mengurangi berat kotor tonase GKP. Pemiliki juga tidak
melakukan penimbangan ulang setelah membeli gabah dari petani atau calo,
karena dianggap penimbangan ulang akan menambah beban biaya dan
pemborosan waktu. Seringkali kehilangan ini baru dapat diketahui secara pasti
151
setelah beras diproduksi. Hal ini membutuhkan kecermatan dan pengalaman
pemilik dalam menentukan dan mengantisipasi proses kehilangan gabah tersebut
agar tidak menambah biaya untuk GKP yang memiliki persentase terbesar dalam
struktur biaya penggilingan padi. Penggunaan GKP yang dilakukan secara tepat
dan teliti diharapkan dapat mengurangi biaya produksi.
Penggunaan faktor produksi solar dalam produksi beras penggilingan
harus ditambah agar memiliki rasio NPM dan BKM yang sama sehingga tercapai
efisiensi. Penggunaan solar dapat ditambah sebesar 2.310,18 liter menjadi
2.463,15 liter. Kondisi ini tidak sesuai dengan pengurangan jumlah GKP pada
kondisi optimal, karena pengurangan penggunaan GKP seharusnya dapat
mengurangi jumlah solar yang digunakan sebagai bahan bakar untuk menggiling
gabah. Semakin sedikit gabah yang digiling, maka solar yang dibutuhkan semakin
sedikit.
Kondisi optimal solar yang membutuhkan penambahan juga tidak sesuai
dengan kenaikan harga BBM terutama solar, dari Rp 4.300 per liter menjadi
Rp 5.500 per liter pada bulan Mei 2008. Penambahan solar akan mengakibatkan
peningkatan biaya yang sangat besar, sehingga akan merugikan penggilingan.
Perhitungan dengan harga solar baru (Rp 5.500 per liter) juga tidak sesuai karena
penggunaan solar tetap harus ditambah sebesar 1.772,77 liter menjadi 1.925,74
liter. Jumlah ini akan merugikan pemilik penggilingan padi.
152
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan, maka kesimpulan
yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Kapasitas produksi beras merupakan faktor utama yang membedakan
antara penggilingan padi besar dengan yang kecil. Penggilingan padi besar
lebih unggul dibandingkan penggilingan padi kecil dari segi modal yang
dimiliki, kapasitas dan teknologi mesin, luas lantai jemur dan gudang
penyimpanan. Penggilingan padi besar memiliki pengalaman lebih lama,
melakukan kemitraan dengan Bulog dan meminjam modal usaha ke bank,
sementara penggilingan padi kecil sebaliknya.
2. Pengusahaan penggilingan padi besar memiliki nilai rasio R/C atas biaya
total sebesar 1,117 sedangkan rasio R/C atas biaya total pengusahaan
penggilingan padi kecil adalah 1,174. Artinya, pengusahaan pengilingan
padi kecil lebih efisien daripada penggilingan padi besar. Rasio R/C yang
lebih tinggi dari satu menunjukkan bahwa pengusahaan penggilingan padi
di Kabupaten Karawang sudah menguntungkan.
3. Faktor yang berpengaruh nyata dalam membedakan penggilingan padi
berpendapatan tinggi dan rendah antara lain kapasitas produksi
penggilingan, modal yang dimiliki, kapasitas mesin penggilingan,
kemitraan penggilingan dengan Bulog, dan tingkat pendidikan pemilik
penggilingan. Model diskriminan yang dibentuk oleh kelima faktor
tersebut mampu menunjukkan perbedaan yang signifikan antar kelompok.
153
4. Terdapat tiga faktor produksi yang berpengaruh nyata dan positif terhadap
jumlah beras yang dihasilkan pengusahaan penggilingan padi, yaitu
jumlah GKP, jumlah solar, dan modal. Skala produksi penggilingan padi
berada pada skala kenaikan hasil yang menurun (decreasing return to
scale). Dari segi efisiensi, pengusahaan penggilingan padi belum efisien
sehingga faktor jumlah GKP harus dikurangi, sementara jumlah solar
harus ditambah agar tercapai kondisi.
9.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat disampaikan antara lain:
1. Penggilingan besar harus lebih memperhatikan efisiensi biaya karena tidak
lebih efisien dibandingkan penggilingan kecil walaupun memiliki
penerimaan yang jauh lebih besar. Dengan modal yang kuat, penggilingan
besar harus mampu melakukan inovasi agar biaya yang dikeluarkan pada
aktivitas tertentu dalam penggilingan dapat diminimalisasi.
2. Efisiensi penggunaan faktor produksi perlu diperhatikan secara seksama
oleh penggilingan padi karena berada pada decreasing return to scale.
Faktor produksi jumlah GKP dapat dikurangi agar tercapai kondisi
optimal, begitu juga dengan penggunaan faktor produksi solar.
3. Perbaikan mekanisasi penggilingan diperlukan mengingat mesin dan alat
yang digunakan memiliki umur ekonomis yang hampir habis dengan
teknologi yang tidak terlalu baik. Pemerintah, institusi keilmuan, dan
lembaga keuangan seperti bank dapat membantu penggilingan dengan
154
memberikan kredit dan teknologi optimalisasi produksi sehingga dapat
tercapai produksi yang diharapkan.
4. Untuk penelitian lanjutan, perlu melakukan pengujian efisiensi
penggunaan faktor produksi tiap jenis penggilingan. Penelitian dapat
dilakukan dengan mengambil beberapa sampel tiap jenis penggilingan
berdasarkan klasifikasi dari Bulog, kemudian membandingkannya secara
langsung (apple to apple). Dengan begitu akan terlihat lebih jelas tingkat
efisiensi masing-masing penggilingan. Penelitian lanjutan juga dapat
diarahkan pada analisis efisiensi teknis dan ekonomi faktor produksi yang
optimal untuk memperoleh keuntungan yang optimal.
155
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. dan M. H. Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi Edisi Kedua. Penerbit IPB Press Bogor.
Astuti, R.B. 2007. Penerapan Teknologi System of Rice Intensification di Desa Margahayu Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Dukungan Aspek Teknologi Pascapanen. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis: Dukungan Aspek Mekanisasi Pertanian. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Badan Urusan Logistik. 2007. Pedoman Umum Pengadaan Gabah dan Beras Dalam Negeri Tahun 2007. Divisi Pengadaan Perum Bulog. Jakarta.
Brahmana, M.C. 2005. Analisis Pendapatan dan Efisiensi Teknis Usahatani Padi Lahan Kering dengan Pendekatan Stochastic Frontier (Di Desa Tanggeung, Kecamatan Tanggeung, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Skrpsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dinas Pertanian Kehutanan Dan Perkebunan Kabupaten Karawang, 2006. Laporan Tahunan Distan Hutbun Kabupaten Karawang Tahun 2006. Kabupaten Karawang
Doll, J.P dan Orazem. 1984. Production Economics Theory with Applications Second Edition. John Wiley and Sons, Inc. Singapore.
Fadlillah, U. 2006. Analisis Diskriminan Perilaku Konsumen Terhadap Atribut-Atribut Restoran Sari Idaman. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gujarati, D.N. 1995. Basic Econometrics Third Edition. Mcgraw-Hill Incorporation.
Hair, J.F., et. al. 1998. Multivariate Data Analysis. Prentice Hall. New Jersey.
Herdiansyah, I. 2003. Analisis Aspek Ekonomi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Sistem Usahatani Padi Organik (Studi Kasus Pertanian Padi Organik Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
156
Hernanto, F. 1995. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta.
Iriawan, N. dan Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit Andi. Yoyakarta.
Malhotra, N.K. 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan. PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta
Malian, A.H. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 2. No.2, Juni 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Masroh, A.H. 2005. Minimisasi Biaya Pengadaan Beras Pada Strategic Business Unit (SBU) Perberasan PT Pertani (Persero) (Kasus Pada Unit Penggilingan Padi Haurgeulis, Indramayu). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Myers, J.H. dan Mullet, 2003. Managerial Applications Of Multivariate Analysis In Marketing. Thomson Business and Professional Publishing. Mason. USA.
Nachrowi, N.D. dan Usman, H. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. UI-Press. Jakarta.
Nasution, M.I. 2003. Studi Perbandingan Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Padi Program PTT dengan Petani Non-Program (Kasus Implementasi Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) di Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Erlangga. Jakarta
Purba, H.M. 2005. Analisis Pendapatan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purwoko, E. 2005. Peramalan Produksi Beras Kualitas pada Strategic Business Unit Perberasan PT Pertani Persero. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rachmawati, S. 2003. Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Pandan Wangi Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
157
Retmawati. L. 2005. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Padi Sawah dan Padi Ladang (Studi Kasus Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rosmawanty. 2007. Analisis Kelayakan Investasi Pengusahaan Penggilingan Padi (Kasus Beberapa Pengusahaan Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Saifullah, A. 2001. Peran Bulog Dalam Kebijakan Perberasan Nasional. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Editor Achmad Suryana Dan Sudi Mardianto. Tim Pengkajian Perberasan Nasional Hal. 83-97. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI). Jakarta.
Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi. Yoyakarta.
Setyantoro, B. 2001. Analisis Diskriminan Bertatar untuk Mengklasifikasikan Kelapa Hibrida Genjah Salak dan Induknya dari Karakter Morfometriknya. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Simamora, B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soeharjo, A dan Patong. 1973. Sendi-Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekartawi, et.al. 1986. Ilmu Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Suismono dan D.S. Damardjati. 2000. Teknologi Produksi Beras Kristal Dan Beras Instan. Majalah Pangan No. 35/X/Juli 2000. BULOG. Jakarta
Suparyono dan Setyono. 1993. Padi. Penerbit Swadaya. Jakarta.
Surono, S. 2001. Perkembangan Produksi dan Kebutuhan Impor Beras Serta Kebijakan Pemerintah untuk Melindungi Petani. Dalam Bunga Rampai Ekonomi Beras. Tim Pengkajian Perberasan Nasional. A. Suryana, S. Mardianto, dan M. Ikhsan (Eds). Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) Hal 41-58.
Swastika, D.. et.al. 2007. Analisis Kebijakan Peningkatan Produksi Padi Melalui Efisiensi Pemanfaatan Lahan Sawah Di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 1 Maret 2007:36-52. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Lampiran 1. Karakteristik Pengusaha Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
No Nama Responden Umur (tahun)
Pendidikan Terakhir
Pengalaman Usaha (tahun)
Persepsi Pekerjaan
Sumber Modal
Mitra Bulog
Kapasitas Prod/hari (kg/hari)
1 Umar 73 SMP 45 utama sendiri ya 600002 Susendar 55 SMA 30 utama pinjam ya 350003 H. Syafei 55 SMP 30 utama pinjam ya 450004 Isphandie 46 SMA 15 sampingan pinjam ya 250005 Syahroni 45 SMP 25 utama pinjam ya 350006 H. Makmun 48 SMA 25 utama pinjam ya 350007 Asep 50 S1 30 utama sendiri ya 200008 H. Abdul Latif 62 SMP 28 utama pinjam ya 200009 Aam Sutisna 45 SD 23 utama sendiri ya 20000
10 Dadang 55 S1 25 utama sendiri ya 2500011 Yanto 48 SMP 24 utama pinjam tidak 2000012 Nanang S. 56 SMA 30 utama pinjam ya 2000013 Tati S. 43 SMP 18 utama sendiri ya 20000
Penggilingan Kecil (PK)14 Wari 60 SD 24 utama sendiri tidak 400015 Zahri 40 STM 15 utama pinjam tidak 1500016 Sarma 30 SD 10 utama sendiri tidak 800017 Kadim 45 SD 13 utama sendiri tidak 800018 Aning 42 SD 9 sampingan pinjam tidak 400019 H. Yahya 60 SD 10 sampingan sendiri tidak 200020 Karim 42 SD 8 utama sendiri tidak 400021 H Ridwan 53 SMA 24 utama sendiri tidak 400022 H. Asan 55 SD 15 utama sendiri tidak 600023 Yusuf 45 SMA 16 utama sendiri ya 800024 Samtangaran 50 SMP 15 utama sendiri tidak 1000025 Kitot 52 SD 20 utama sendiri tidak 1000026 Nanang K. 32 S1 5 sampingan sendiri tidak 400027 Nana Suryana 40 SMP 15 sampingan pinjam tidak 200028 Gunawan 43 SMA 12 sampingan sendiri tidak 400029 Ajat Sudrajat 51 SD 18 utama sendiri tidak 1500030 Budi 45 SMP 16 sampingan sendiri tidak 400031 Anwar 40 SMP 15 sampingan pinjam ya 400032 H. Muk. Hasan 50 SMA 15 sampingan sendiri tidak 400033 Iswari 53 SMP 22 utama sendiri ya 400034 Komariah 43 SMP 15 sampingan sendiri tidak 200035 Sobari 48 SD 20 sampingan sendiri ya 4000
Penggilingan Besar (PB)
Lampiran 2. Harga Faktor Produksi dan Biaya Aktivitas Produksi Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
Karung Calo Transport KTMB Upah Solar Transport Kemasan Upah MB
1 Umar 60000 57 105000 2400 5000 3 50 40 30 45 20 32 40 25 202 Susendar 35000 56 62000 2400 4750 3 40 40 30 40 20 30 35 25 153 H. Syafei 45000 58 78000 2400 4900 3 50 35 25 40 20 32 40 25 204 Isphandie 25000 57 44000 2300 5200 2 40 40 35 45 40 30 45 25 205 Syahroni 35000 58 60000 2400 4900 3 50 40 25 40 20 32 40 25 206 H. Makmun 35000 57 61000 2500 5000 3 40 45 35 40 20 35 45 25 257 Asep 20000 61 33000 2300 5000 3 50 40 30 35 40 35 40 25 208 H. Abdul Latif 20000 57 35000 2400 5100 3 40 40 30 40 40 35 40 25 209 Aam Sutisna 20000 62 32500 2500 4900 2 50 35 30 40 40 32 35 25 15
10 Dadang 25000 58 43000 2300 4800 2 40 40 35 35 40 34 40 25 2511 Yanto 20000 62 32500 2400 5100 3 40 40 30 40 40 32 35 25 2012 Nanang S. 20000 60 33500 2300 4900 2 50 40 30 40 40 32 40 25 1513 Tati S. 20000 58 34500 2500 5100 3 50 45 30 40 40 34 45 25 20
29231 58 50308 2392 4973 3 45 40 30 40 32 33 40 25 20
14 Wari 4000 62 6500 2500 4800 3 40 40 30 40 40 35 40 25 2015 Zahri 15000 60 25000 2400 5200 3 40 45 30 45 45 35 40 25 2016 Sarma 8000 57 14000 2500 4900 2 40 40 25 40 40 35 35 25 2517 Kadim 8000 61 13200 2300 5000 2 50 35 30 40 40 33 40 25 1518 Aning 4000 59 6800 2400 4900 3 50 40 25 40 40 35 40 25 2019 H. Yahya 2000 63 3200 2600 5100 3 50 38 30 35 35 35 40 25 2020 Karim 4000 62 6500 2400 4900 2 40 40 30 40 40 35 35 25 2021 H Ridwan 4000 62 6500 2500 5000 3 50 40 30 45 45 35 40 25 1522 H. Asan 6000 60 10000 2400 4900 3 40 35 30 40 40 35 35 25 2023 Yusuf 8000 59 13500 2300 5000 3 40 40 30 40 40 35 40 25 2024 Samtangaran 10000 58 17200 2400 5100 3 40 45 25 35 35 35 40 25 1525 Kitot 10000 57 17500 2300 5000 2 40 40 35 40 40 35 35 25 2026 Nanang K. 4000 61 6600 2400 4800 3 40 45 30 40 40 35 40 25 25
Nama Responden
Kapasitas Prod./Hari (kg/Hari)
Tk. Ren-demen Beras
Harga Gabah (Rp/kg)
Harga Beras
(Rp/kg)
Biaya Pengeringan
(Rp/kg)
GKP (kg)
Biaya Pembelian (Rp/kg) B. Pengolahan (Rp/kg)
Penggilingan Besar (PB)
Penggilingan Kecil (PK)
Rata-rata P.B.
Biaya Penjualan (Rp/kg)No
27 Nana Suryana 2000 63 3200 2500 5000 2 40 40 30 35 35 35 35 25 2028 Gunawan 4000 58 6900 2300 4900 2 45 40 25 40 40 35 40 25 2029 Ajat Sudrajat 15000 57 26500 2400 5000 3 40 35 35 35 35 35 40 25 2030 Budi 4000 57 7000 2300 4900 2 50 40 30 40 40 35 40 25 2531 Anwar 4000 62 6500 2400 5000 3 40 40 30 40 40 35 35 25 2032 H. Muk. Hasan 4000 59 6800 2500 5000 3 40 45 25 40 45 30 40 25 1533 Iswari 4000 62 6500 2600 5000 2 50 40 50 45 45 35 35 25 2034 Komariah 2000 63 3200 2600 5200 3 50 40 25 45 40 35 35 25 1535 Sobari 4000 57 7000 2300 5000 3 40 40 25 40 40 35 40 25 20
5909 60 10005 2423 4982 3 43 40 30 40 40 35 38 25 20
14571.43 59 ####### 2411 4979 3 44 40 30 40 37 34 39 25 20Rata-rata Agregat
Rata-rata P.K.
Calo
2025201520202015202520152020
20202020152020252020152020
20202025202520201520
20
Lampiran 3. Pengeluaran (Biaya) Produksi Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
GKP Karung Calo Transport KTMB Upah Giling
Solar Transport Kemasan Upah MB
Calo
1 Umar 252000000 315000 5250000 4200000 3150000 4725000 1200000 3360000 2400000 1500000 1200000 1200000 1977679 2805000002 Susendar 148800000 186000 2480000 2480000 1860000 2480000 700000 1860000 1225000 875000 525000 875000 914286 1643460003 H. Syafei 187200000 234000 3900000 2730000 1950000 3120000 900000 2496000 1800000 1125000 900000 900000 1035714 2072550004 Isphandie 101200000 88000 1760000 1760000 1540000 1980000 1000000 1320000 1125000 625000 500000 375000 654464 1132730005 Syahroni 144000000 180000 3000000 2400000 1500000 2400000 700000 1920000 1400000 875000 700000 700000 700214 1597750006 H. Makmun 152500000 183000 2440000 2745000 2135000 2440000 700000 2135000 1575000 875000 875000 700000 914286 1693030007 Asep 75900000 99000 1650000 1320000 990000 1155000 800000 1155000 800000 500000 400000 400000 373214 851690008 H. Abdul Latif 84000000 105000 1400000 1400000 1050000 1400000 800000 1225000 800000 500000 400000 300000 212625 933800009 Aam Sutisna 81250000 65000 1625000 1137500 975000 1300000 800000 1040000 700000 500000 300000 400000 212616 90092500
10 Dadang 98900000 86000 1720000 1720000 1505000 1505000 1000000 1462000 1000000 625000 625000 625000 191225 11077300011 Yanto 78000000 97500 1300000 1300000 975000 1300000 800000 1040000 700000 500000 400000 400000 269643 8681250012 Nanang S. 77050000 67000 1675000 1340000 1005000 1340000 800000 1072000 800000 500000 300000 300000 262500 8624900013 Tati S. 86250000 103500 1725000 1552500 1035000 1380000 800000 1173000 900000 500000 400000 400000 269643 96219000
120542308 139154 2301923 2006538 1513077 2040385 846154 1635231 1171154 730769 578846 582692 614470 134088231
14 Wari 16250000 19500 260000 260000 195000 260000 160000 140000 160000 100000 80000 80000 14755 1796450015 Zahri 60000000 75000 1000000 1125000 750000 1125000 675000 525000 600000 375000 300000 300000 92946 6685000016 Sarma 35000000 28000 560000 560000 350000 560000 320000 280000 280000 200000 200000 160000 83086 3849800017 Kadim 30360000 26400 660000 462000 396000 528000 320000 264000 320000 200000 120000 160000 118750 3381640018 Aning 16320000 20400 340000 272000 170000 272000 160000 140000 160000 100000 80000 60000 37946 1809440019 H. Yahya 8320000 9600 160000 121600 96000 112000 70000 70000 80000 50000 40000 40000 23661 916920020 Karim 15600000 13000 260000 260000 195000 260000 160000 140000 140000 100000 80000 80000 14755 1728800021 H Ridwan 16250000 19500 325000 260000 195000 292500 180000 140000 160000 100000 60000 100000 14755 1808200022 H. Asan 24000000 30000 400000 350000 300000 400000 240000 210000 210000 150000 120000 120000 13071 26530000
Biaya Pembelian (Rp)Nama RespondenNo
Penggilingan Besar (PB)
Penggilingan Kecil (PK)
Total Biaya Tunai
Rata-rata P.B.
B. Pengering
an (Rp)
B. Pengolahan (Rp) Biaya Penjualan (Rp)Biaya Tunai Biaya
Diperhitungkan
(Rp)
23 Yusuf 31050000 40500 540000 540000 405000 540000 320000 280000 320000 200000 160000 160000 75893 3455550024 Samtangaran 41280000 51600 688000 774000 430000 602000 350000 350000 400000 250000 150000 150000 153571 4547560025 Kitot 40250000 35000 700000 700000 612500 700000 400000 350000 350000 250000 200000 200000 92027 4474750026 Nanang K. 15840000 19800 264000 297000 198000 264000 160000 140000 160000 100000 100000 80000 37946 1762280027 Nana Suryana 8000000 6400 128000 128000 96000 112000 70000 70000 70000 50000 40000 40000 25446 881040028 Gunawan 15870000 13800 310500 276000 172500 276000 160000 140000 160000 100000 80000 80000 37946 1763880029 Ajat Sudrajat 63600000 79500 1060000 927500 927500 927500 525000 525000 600000 375000 300000 300000 191071 7014700030 Budi 16100000 14000 350000 280000 210000 280000 160000 140000 160000 100000 100000 100000 14757 1799400031 Anwar 15600000 19500 260000 260000 195000 260000 160000 140000 140000 100000 80000 80000 14755 1729450032 H. Muk. Hasan 17000000 20400 272000 306000 170000 272000 180000 120000 160000 100000 60000 100000 39732 1876040033 Iswari 16900000 13000 325000 260000 325000 292500 180000 140000 140000 100000 80000 80000 14755 1883550034 Komariah 8320000 9600 160000 128000 80000 144000 80000 70000 70000 50000 30000 40000 25446 918160035 Sobari 16100000 21000 280000 280000 175000 280000 160000 140000 160000 100000 80000 60000 14757 17836000
24000455 26614 422841 401232 301977 398159 235909 205182 227273 147727 115455 116818 52356 26599641
59858857 68414 1120786 997489 751814 1008129 462571 736343 577857 364286 287571 289857 261141 66523974
380
Rata-rata Agregat
Rata-rata P.K.
282477679165260286208290714113927464160475214170217286
855422149359262590305116
110964225870821438651150096488643
134702701
1797925566942946385810863393515018132346
9192861173027551809675526543071
Biaya Total
34631393456291714483952717660746
8835846176767467033807118008757173092551880013218850255
92070461785075726651997
66785115
Lampiran 4. Penerimaan Bersih Penggilingan Padi di Kabupaten Karawang
Jumlah (Kg)
Harga (Rp/Kg) Total (Rp) Jumlah
(Kg)Harga
(Rp/Kg) Total (Rp) Jumlah (Kg)
Harga (Rp/Kg
)Total (Rp)
1 Umar 60000 4800 288000000 6000 1300 7800000 1200 3400 4080000 2998800002 Susendar 35000 4900 171500000 3500 1400 4900000 700 3600 2520000 1789200003 H. Syafei 45000 5000 225000000 4500 1500 6750000 900 3300 2970000 2347200004 Isphandie 25000 5100 127500000 2500 1450 3625000 500 3500 1750000 1328750005 Syahroni 35000 4800 168000000 3500 1600 5600000 700 3300 2310000 1759100006 H. Makmun 35000 5000 175000000 3500 1400 4900000 700 3300 2310000 1822100007 Asep 20000 5000 100000000 2000 1400 2800000 400 3400 1360000 1041600008 H. Abdul Latif 20000 4900 98000000 2000 1450 2900000 400 3500 1400000 1023000009 Aam Sutisna 20000 5000 100000000 2000 1300 2600000 400 3200 1280000 103880000
10 Dadang 25000 5100 127500000 2500 1450 3625000 500 3300 1650000 13277500011 Yanto 20000 4700 94000000 2000 1300 2600000 400 3600 1440000 9804000012 Nanang S. 20000 5200 104000000 2000 1450 2900000 400 3500 1400000 10830000013 Tati S. 20000 4900 98000000 2000 1200 2400000 400 3400 1360000 101760000
29231 4954 144346154 2923 1400 4107692 585 3408 1986923 150440769
14 Wari 4000 5200 20800000 400 1500 600000 80 3300 264000 2166400015 Zahri 15000 5300 79500000 1500 1400 2100000 300 3300 990000 8259000016 Sarma 8000 4900 39200000 800 1600 1280000 160 3300 528000 4100800017 Kadim 8000 4900 39200000 800 1400 1120000 160 3400 544000 4086400018 Aning 4000 4800 19200000 400 1700 680000 80 3400 272000 2015200019 H. Yahya 2000 5000 10000000 200 1450 290000 40 3300 132000 1042200020 Karim 4000 5000 20000000 400 1500 600000 80 3500 280000 2088000021 H Ridwan 4000 4900 19600000 400 1500 600000 80 3300 264000 2046400022 H. Asan 6000 5000 30000000 600 1700 1020000 120 3300 396000 31416000
Rata-rata P.B.
Penjualan Beras
Penggilingan Besar (PB)
Penjualan Dedak/BekatulNama
Responden
Penggilingan Kecil (PK)
Penjualan Jitai/MenirTotal Penerimaan
(Rp)No
23 Yusuf 8000 5200 41600000 800 1600 1280000 160 3300 528000 4340800024 Samtangaran 10000 4900 49000000 1000 1300 1300000 200 3400 680000 5098000025 Kitot 10000 5000 50000000 1000 1600 1600000 200 3300 660000 5226000026 Nanang K. 4000 5000 20000000 400 1500 600000 80 3300 264000 2086400027 Nana Suryana 2000 5400 10800000 200 1450 290000 40 3200 128000 1121800028 Gunawan 4000 5000 20000000 400 1400 560000 80 3300 264000 2082400029 Ajat Sudrajat 15000 5200 78000000 1500 1500 2250000 300 3300 990000 8124000030 Budi 4000 5000 20000000 400 1450 580000 80 3500 280000 2086000031 Anwar 4000 5100 20400000 400 1600 640000 80 3300 264000 2130400032 H. Muk. Hasan 4000 5300 21200000 400 1400 560000 80 3500 280000 2204000033 Iswari 4000 5000 20000000 400 1500 600000 80 3300 264000 2086400034 Komariah 2000 5400 10800000 200 1600 320000 40 3400 136000 1125600035 Sobari 4000 5200 20800000 400 1400 560000 80 3300 264000 21624000
5909 5077 30004545 591 1502 883182 118 3341 394182 31281909
14571 5031 72474286 1457 1464 2080857 291 3366 985771 75540914Rata-rata Agregat
Rata-rata P.K.
Lampiran 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Pendapatan Penggilingan Padi
1 Umar 0 60000 120 159.57 60.00 105000 26 210 10000 57 45 2 285 2 2 1 1 73 600.00
2 Susendar 0 35000 120 93.09 30.00 62000 25 124 6000 56 30 1 167 1 1 1 2 55 350.00
3 H. Syafei 0 45000 120 119.68 40.00 78000 26 156 7500 58 30 2 211 2 1 1 2 55 450.00
4 Isphandie 0 25000 80 66.49 20.00 44000 26 88 4500 57 15 1 116 1 1 1 2 46 240.00
5 Syahroni 0 35000 120 93.09 30.00 60000 27 120 6000 58 25 2 162 2 1 1 2 45 350.00
6 H. Makmun 0 35000 120 93.09 30.00 61000 26 122 6000 57 25 1 172 2 1 1 2 48 380.00
7 Asep 0 20000 80 53.19 20.00 33000 28 66 3000 61 30 1 87 2 1 1 1 50 180.00
8 H. Abdul Latif 1 20000 80 53.19 20.00 35000 30 70 3500 57 28 2 95 2 2 1 2 62 180.00
9 Aam Sutisna 0 20000 80 53.19 20.00 32500 25 65 3250 62 23 2 92 2 1 1 1 45 220.00
10 Dadang 0 25000 80 66.49 20.00 43000 26 86 4300 58 25 1 113 2 1 1 1 55 240.00
11 Yanto 0 20000 80 53.19 20.00 32500 25 65 3200 62 24 2 89 2 1 2 2 48 200.00
12 Nanang S. 0 20000 80 53.19 20.00 33500 26 67 3000 60 30 1 88 2 1 1 2 56 180.00
13 Tati S. 0 20000 80 53.19 20.00 34500 25 69 3200 58 18 2 98 2 2 1 1 43 220.00
0 29230.77 95.38 77.74 26.92 50307.69 26.23 100.62 4880.77 58.50 26.77 1.54 136.57 1.85 1.23 1.08 1.62 52.38 291.54
14 Wari 0 4000 60 10.64 10.00 6500 25 13 650 62 24 2 18 2 2 2 1 60 45.00
15 Zahri 0 15000 120 39.89 20.00 25000 27 50 2500 60 15 1 68 2 1 2 2 40 175.00
16 Sarma 0 8000 60 21.28 20.00 14000 28 28 1400 57 10 2 39 2 1 2 1 30 95.00
17 Kadim 0 8000 60 21.28 10.00 13200 25 26.4 1300 61 13 2 34 2 2 2 1 45 90.00
18 Aning 0 4000 60 10.64 10.00 6800 25 13.6 650 59 9 2 18 2 2 2 2 42 48.00
19 H. Yahya 0 2000 40 5.32 10.00 3200 26 6.4 300 63 10 2 9 2 2 2 1 60 28.00
20 Karim 0 4000 60 10.64 10.00 6500 25 13 650 62 8 2 18 2 2 2 1 42 50.00
21 H Ridwan 0 4000 60 10.64 10.00 6500 28 13 650 62 24 1 18 2 2 2 1 53 45.00
22 H. Asan 0 6000 60 15.96 20.00 10000 25 20 1000 60 15 2 27 2 1 2 1 55 75.00
23 Yusuf 0 8000 80 21.28 20.00 13500 25 27 1300 59 16 1 35 1 2 1 1 45 95.00
24 Samtangaran 0 10000 80 26.60 20.00 17200 26 34.4 1700 58 15 2 46 1 1 2 1 50 120.00
25 Kitot 0 10000 80 26.60 20.00 17500 25 35 1750 57 20 2 45 2 2 2 1 52 110.00
26 Nanang K. 0 4000 60 10.64 10.00 6600 25 13.2 650 61 5 1 18 2 2 2 1 32 46.00
27 Nana Suryana 0 2000 40 5.32 10.00 3200 29 6.4 300 63 15 2 9 2 2 2 2 40 20.00
28 Gunawan 0 4000 60 10.64 10.00 6900 25 13.8 650 58 12 1 18 2 2 2 1 43 40.00
Penggilingan Kecil (PK)
Sumber Modal
Umur (thn)
JKM (jam/h
ari)No Pengalaman
(thn)Pendidika
nGKP (Kg) Kadar
Air (%)Gudang
(m2)Lt. Jemur
(m2)
Rata-rata P.B.
TK (HOK)
Nama Responden Kap. Prod. (Kg)
Kap. Mesin (PK)
D
Penggilingan Besar (PB)
Solar (ltr)
Rendemen (%)
Modal (Rp juta)
Kemasan
Mitra Bulog
Grading
29 Ajat Sudrajat 0 15000 80 39.89 20.00 26500 25 53 2500 57 18 2 71 1 1 2 1 51 175.00
30 Budi 0 4000 60 10.64 10.00 7000 26 14 700 57 16 2 18 2 2 2 1 45 48.00
31 Anwar 0 4000 60 10.64 10.00 6500 25 13 650 62 15 2 18 2 2 1 2 40 45.00
32 H. Muk. Hasan 0 4000 60 11.70 10.00 6800 25 13.6 700 59 15 2 19 2 2 2 1 50 50.00
33 Iswari 0 4000 60 12.77 10.00 6500 26 13 650 62 22 2 19 2 2 1 1 53 55.00
34 Komariah 0 2000 40 6.91 10.00 3200 25 6.4 300 63 15 2 9 2 2 2 1 43 25.00
35 Sobari 0 4000 60 14.89 10.00 7000 25 14 700 57 20 2 18 2 1 1 1 48 40.00
0 5909.09 63.64 16.13 13.18 10005 25.73 20.01 984.09 59.75 15.09 1.77 27.04 1.86 1.73 1.82 1.18 46.32 69.09
0 14571.43 75.43 39.01 18.29 24974 25.91 49.95 2431.43 59.29 19.43 1.69 67.72 1.86 1.54 1.54 1.34 48.57 151.71
Variabel keteranganD 1 = Pendapatan Tinggi 2 = Pendapatan rendahMitra Bulog 1 = ya 2= tidakAsal modal 1 = sendiri 2 = pinjamKemasan 1 = merek sendiri 2 = merek pasarGrading 1 = ya 2= tidakpendidikan 1 = SMA-S1 2 = SMP-SD
Rata-rata P.K.
Rata-rata Agregat
Lampiran 6. Penggunaan Faktor Produksi Penggilingan Padi Kabupaten Karawang
1 Umar 60000 105000 600.00 159.57 60.002 Susendar 35000 62000 350.00 93.09 30.003 H. Syafei 45000 78000 450.00 119.68 40.004 Isphandie 25000 44000 240.00 66.49 20.005 Syahroni 35000 60000 350.00 93.09 30.006 H. Makmun 35000 61000 380.00 93.09 30.007 Asep 20000 33000 180.00 53.19 20.008 H. Abdul Latif 20000 35000 180.00 53.19 20.009 Aam Sutisna 20000 32500 220.00 53.19 20.00
10 Dadang 25000 43000 240.00 66.49 20.0011 Yanto 20000 32500 200.00 53.19 20.0012 Nanang S. 20000 33500 180.00 53.19 20.0013 Tati S. 20000 34500 220.00 53.19 20.00
29230.77 50308 291.54 78 27
14 Wari 4000 6500 45.00 10.64 10.0015 Zahri 15000 25000 175.00 39.89 20.0016 Sarma 8000 14000 95.00 21.28 20.0017 Kadim 8000 13200 90.00 21.28 10.0018 Aning 4000 6800 48.00 10.64 10.0019 H. Yahya 2000 3200 28.00 5.32 10.0020 Karim 4000 6500 50.00 10.64 10.0021 H Ridwan 4000 6500 45.00 10.64 10.0022 H. Asan 6000 10000 75.00 15.96 20.0023 Yusuf 8000 13500 95.00 21.28 20.0024 Samtangaran 10000 17200 120.00 26.60 20.0025 Kitot 10000 17500 110.00 26.60 20.0026 Nanang K. 4000 6600 46.00 10.64 10.0027 Nana Suryana 2000 3200 20.00 5.32 10.0028 Gunawan 4000 6900 40.00 10.64 10.0029 Ajat Sudrajat 15000 26500 175.00 39.89 20.0030 Budi 4000 7000 48.00 10.64 10.0031 Anwar 4000 6500 45.00 10.64 10.0032 H. Muk. Hasan 4000 6800 50.00 11.70 10.0033 Iswari 4000 6500 55.00 12.77 10.0034 Komariah 2000 3200 25.00 6.91 10.0035 Sobari 4000 7000 40.00 14.89 10.00
5909.09 10004.55 69.09 16.13 13.18
14571.43 24974.29 151.71 39.01 18.29
Jam Kerja Mesin (jam/hari)
Penggilingan Besar (PB)
No Nama Responden
Produksi/Hari (Kg)
Jumlah GKP (Kg)
Bahan Bakar (liter)
Tenaga Kerja (HOK)
Rata-rata P.B.
Penggilingan Kecil (PK)
Rata-rata P.K.
Rata-rata Agregat
165
�
Lampiran 7. Analysis Case Processing Summary
Analysis Case Processing Summary
Unweighted Cases N Percent Valid 35 100.0 Excluded Missing or out-of-range
group codes 0 .0
At least one missing discriminating variable 0 .0
Both missing or out-of-range group codes and at least one missing discriminating variable
0 .0
Total 0 .0 Total 35 100.0
Lampiran 8. Tests of Equality of Group Means
Tests of Equality of Group Means
Wilks'
Lambda F df1 df2 Sig. KapProd .430 43.821 1 33 .000 KapMes .513 31.301 1 33 .000 TK .433 43.265 1 33 .000 JKM .577 24.146 1 33 .000 GKP .442 41.681 1 33 .000 KadarAir .962 1.295 1 33 .263 Gudang .442 41.681 1 33 .000 LtJemur .436 42.618 1 33 .000 Rendemen .894 3.898 1 33 .057 Pengalaman .604 21.679 1 33 .000 Pendidikan .833 6.615 1 33 .015 Modal .450 40.387 1 33 .000 Kemas .906 3.419 1 33 .073 Grading .645 18.184 1 33 .000 Mitra .645 18.184 1 33 .000 Sumber .780 9.314 1 33 .004 Umur .900 3.658 1 33 .064 Solar .450 40.313 1 33 .000
166
�
Lampiran 9. Variables Not in the Analysis
Variables Not in the Analysis
Step Tolerance Min.
Tolerance Sig. of F to
Enter Min. D
Squared Between Groups
0 KapProd 1.000 1.000 .000 5.112 1 and 2 KapMes 1.000 1.000 .000 3.652 1 and 2 TK 1.000 1.000 .000 5.048 1 and 2 JKM 1.000 1.000 .000 2.817 1 and 2 GKP 1.000 1.000 .000 4.863 1 and 2 KadarAir 1.000 1.000 .263 .151 1 and 2 Gudang 1.000 1.000 .000 4.863 1 and 2 LtJemur 1.000 1.000 .000 4.972 1 and 2 Rendemen 1.000 1.000 .057 .455 1 and 2 Pengalaman 1.000 1.000 .000 2.529 1 and 2 Pendidikan 1.000 1.000 .015 .772 1 and 2 Modal 1.000 1.000 .000 4.712 1 and 2 Kemas 1.000 1.000 .073 .399 1 and 2 Grading 1.000 1.000 .000 2.121 1 and 2 Mitra 1.000 1.000 .000 2.121 1 and 2 Sumber 1.000 1.000 .004 1.087 1 and 2 Umur 1.000 1.000 .064 .427 1 and 2 Solar 1.000 1.000 .000 4.703 1 and 2 1 KapMes .690 .690 .148 5.727 1 and 2 TK .001 .001 .461 5.269 1 and 2 JKM .182 .182 .115 5.847 1 and 2 GKP .002 .002 .016 6.928 1 and 2 KadarAir .997 .997 .337 5.379 1 and 2 Gudang .002 .002 .016 6.928 1 and 2 LtJemur .006 .006 .562 5.208 1 and 2 Rendemen .849 .849 .677 5.162 1 and 2 Pengalaman .641 .641 .581 5.200 1 and 2 Pendidikan .935 .935 .008 7.381 1 and 2 Modal .003 .003 .003 7.974 1 and 2 Kemas .968 .968 .055 6.221 1 and 2 Grading 1.000 1.000 .008 7.384 1 and 2 Mitra .903 .903 .144 5.739 1 and 2 Sumber .999 .999 .077 6.049 1 and 2 Umur .865 .865 .721 5.149 1 and 2 Solar .015 .015 .260 5.481 1 and 2 2 KapMes .615 .002 .029 9.987 1 and 2 TK .001 .001 .461 5.269 1 and 2 JKM .181 .003 .246 8.507 1 and 2 GKP .001 .001 .462 8.186 1 and 2 KadarAir .996 .003 .357 8.308 1 and 2 Gudang .001 .001 .462 8.186 1 and 2 LtJemur .005 .002 .414 8.236 1 and 2 Rendemen .763 .002 .592 8.086 1 and 2 Pengalaman .616 .003 .944 7.976 1 and 2
167
�
Pendidikan .935 .003 .019 10.305 1 and 2 Kemas .909 .002 .020 10.271 1 and 2 Grading .978 .003 .048 9.594 1 and 2 Mitra .900 .003 .158 8.772 1 and 2 Sumber .988 .003 .071 9.306 1 and 2 Umur .859 .003 .588 8.088 1 and 2 Solar .011 .002 .585 8.090 1 and 2 3 KapMes .602 .002 .022 13.076 1 and 2 TK .001 .001 .461 5.269 1 and 2 JKM .175 .003 .512 10.514 1 and 2 GKP .001 .001 .236 10.994 1 and 2 KadarAir .996 .003 .409 10.636 1 and 2 Gudang .001 .001 .236 10.994 1 and 2 LtJemur .005 .002 .496 10.530 1 and 2 Rendemen .753 .002 .812 10.333 1 and 2 Pengalaman .611 .003 .901 10.313 1 and 2 Kemas .899 .002 .056 12.164 1 and 2 Grading .978 .003 .072 11.942 1 and 2 Mitra .893 .003 .274 10.890 1 and 2 Sumber .986 .003 .089 11.763 1 and 2 Umur .834 .003 .906 10.312 1 and 2 Solar .011 .002 .458 10.573 1 and 2 4 TK .001 .001 .461 5.269 1 and 2 JKM .165 .002 .259 13.849 1 and 2 GKP .001 .001 .186 14.148 1 and 2 KadarAir .966 .002 .262 13.841 1 and 2 Gudang .001 .001 .186 14.148 1 and 2 LtJemur .005 .002 .617 13.225 1 and 2 Rendemen .717 .002 .790 13.118 1 and 2 Pengalaman .578 .002 .529 13.312 1 and 2 Kemas .868 .002 .172 14.220 1 and 2 Grading .881 .002 .306 13.709 1 and 2 Mitra .667 .002 .022 16.514 1 and 2 Sumber .980 .002 .169 14.238 1 and 2 Umur .819 .002 .852 13.096 1 and 2 Solar .007 .002 .509 13.336 1 and 2 5 TK .001 .001 .461 5.269 1 and 2 JKM .159 .002 .541 16.792 1 and 2 GKP .001 .001 .221 17.653 1 and 2 KadarAir .957 .002 .224 17.637 1 and 2 Gudang .001 .001 .221 17.653 1 and 2 LtJemur .005 .002 .590 16.730 1 and 2 Rendemen .703 .002 .589 16.731 1 and 2 Pengalaman .555 .002 .897 16.526 1 and 2 Kemas .866 .002 .255 17.495 1 and 2 Grading .868 .002 .504 16.847 1 and 2 Sumber .975 .002 .276 17.411 1 and 2 Umur .818 .002 .814 16.555 1 and 2 Solar .007 .002 .655 16.662 1 and 2
168
�
Lampiran 10. Wilks' Lambda
Wilks' Lambda
Test of Function(s) Wilks'
Lambda Chi-square df Sig. 1 .189 50.804 5 .000
Lampiran 11. Eigenvalues
Eigenvalues
Function Eigenvalue % of Variance Cumulative % Canonical Correlation
1 4.289(a) 100.0 100.0 .901 a First 1 canonical discriminant functions were used in the analysis.
Lampiran 12. Canonical Discriminant Function Coefficients
Canonical Discriminant Function Coefficients
Function
1 KapProd -.001 KapMes -.056 Pendidikan 1.023 Modal .297 Mitra 1.356 (Constant) 1.669
Unstandardized coefficients
Lampiran 13. Functions at Group Centroids
Functions at Group Centroids
D
Function
1 1 -2.322 2 1.742
Unstandardized canonical discriminant functions evaluated at group means
169
�
Lampiran 14. Classification Result Classification Results(b,c) � � ��������������
�� �������� �����
�� �� ��
� �������� ����� �� ��� �� ���
� � �� �� ��� ���
� �� �� !"!� #"$� ���"��
� � �� �� ���"�� ���"��
����%&��������� ����� �� ��� !� ���
� � �� �� ��� ���
� �� �� '�"�� ��"�� ���"��
� � �� �� ���"�� ���"��
a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case. b 97,1% of original grouped cases correctly classified. c 91,4% of cross-validated grouped cases correctly classified. Lampiran 15. Structure Matrix
Structure Matrix
Pooled within-groups correlations between discriminating variables and standardized canonical discriminant functions Variables ordered by absolute size of correlation within function. a This variable not used in the analysis.
Function
1 TK(a) -.558 KapProd -.556 Gudang(a) -.551 GKP(a) -.551 Solar(a) -.542 LtJemur(a) -.541 Modal -.534 KapMes -.470 JKM(a) -.465 Pengalaman(a) -.371
Mitra .358 Rendemen(a) .262 Grading(a) .226 Pendidikan .216 KadarAir(a) .159 Umur(a) -.116 Kemas(a) -.071 Sumber(a) -.026
170
�
Lampiran 16. Analisis Regresi Model Cobb-Douglas Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Penggilingan Padi
Regression Analysis: ln Produksi versus ln GKP, ln Solar, ... The regression equation is ln Produksi = 1.23 + 0.709 ln GKP + 0.146 ln Solar + 0.0180 ln TK - 0.0156 ln Jam - 0.0475 ln KapMes + 0.143 ln Modal - 0.0041 ln Mitra - 0.0166 ln Pend + 0.0229 ln pengalaman Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 1.2292 0.4316 2.85 0.009 ln GKP 0.70911 0.07650 9.27 0.000 315.4 ln Solar 0.14574 0.06039 2.41 0.023 156.2 ln TK 0.01800 0.02513 0.72 0.480 14.3 ln Jam -0.01558 0.02410 -0.65 0.524 7.3 ln KapMes -0.04754 0.03712 -1.28 0.212 7.1 ln Modal 0.14304 0.05706 2.51 0.019 174.3 ln Mitra -0.00412 0.01785 -0.23 0.819 2.1 ln Pend -0.01661 0.01513 -1.10 0.283 1.3 ln pengalaman 0.02286 0.01421 1.61 0.120 2.2 S = 0.0249765 R-Sq = 98.8% R-Sq(adj) = 98.8% Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 9 32.3304 3.5923 5758.44 0.000 Residual Error 25 0.0156 0.0006 Total 34 32.3460 Source DF Seq SS ln GKP 1 32.3205 ln Solar 1 0.0032 ln TK 1 0.0002 ln Jam 1 0.0005 ln KapMes 1 0.0006 ln Modal 1 0.0028 ln Mitra 1 0.0007 ln Pend 1 0.0004 ln pengalaman 1 0.0016 Unusual Observations Obs ln GKP ln Produksi Fit SE Fit Residual St Resid 11 10.4 9.9035 9.8584 0.0120 0.0451 2.06R 27 8.1 7.6009 7.5555 0.0144 0.0454 2.22R R denotes an observation with a large standardized residual. Durbin-Watson statistic = 2.29628
171
�
Lampiran 17. Normalitas Model Cobb-Douglas
��������
����
���������������������������
��
��
��
��
��
�
��
�
��
��
��
�
�
������������� ���� ���� ������������ ������������������������
�
172
�
Lampiran 18. Uji Normalitas Residual Model Cobb-Douglas
�����
����
���������������������������
��
��
��
��
��
�
��
�
��
��
��
�
�
����
������
������������
!"�# ������
$ ��
% ����
��&����
������� ���� ���������$��'���
173
�
Lampiran 19. Uji Homoskedastisitas Model Cobb-Douglas
�� ��������
��������
���������������������������
����
���
����
����
����
����
�����
�����
�����
����
���������������� ����� ��������� ������������������������
�
174
�
Lmapiran 20. Kuesioner
KUESIONER
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERBEDAAN PENDAPATAN DAN EFISIENSI PRODUKSI PADA PENGUSAHAAN
PENGGILINGAN PADI DI KABUPATEN KARAWANG
I. Identitas (Profil) Pribadi Pengusaha Penggilingan Padi 1. Nama : 2. Umur : tahun 3. Pengalaman Usaha : tahun 4. Pendidikan Terakhir : 5. Pekerjaan utama : 6. Pekerjaan sampingan : (sebutkan) 7. Besar pendapatan non penggilingan : 8. Karakteristik anggota keluarga1 :
No Nama Hub dlm klrg Umur Pendidikan Jenis Pekerjaan Utama Sampingan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1anggota keluarga adalah semua anggota keluarga yang termasuk dalam satu unit anggaran belanja (termasuk anak yang sedang sekolah atas biaya rumah tangga, maupun orang lain yang sebagian besar biaaya hidupnya menjadi tanggungan keluarga)
II. Keragaan Penggilingan Padi 1. Kemana saja membeli gabah?
a. Dalam kecamatan dan luar kecamatan b. Dalam kabupaten dan luar kabupaten, sebutkan…………... c. Dalam propinsi dan luar propinsi, sebutkan………………..
2. Bagaimana cara membeli gaba tersebut? a. Beli langsung c. beli melalui perantara b. Beli melalui pedagang desa/kec d. lainnya, sebutkan……
3. Bagaimana penetapan harga beli gabah? a. Sepihak oleh penjual d. ditentukan pembeli b. Tawar menawar d. lainnya, sebutkan……
4. Bagaimana sistem pembayarannya? Tunai/tunda? Jelaskan………. 5. Varietas padi yang digiling? Sebutkan:………….. 6. Berapa rata-rata tingkat rendemen?
175
�
7. Bagaimana cara mengukur tingkat rendemen tersebut? Dengan alat atau perasaan (insting)?
8. Rata-rata pembelian gabah dalam sebulan/seminggu terakhir: Varietas Volume (ton) Harga Beli (Rp/ton) Tempat Beli
9. Bagaimana ketentuan penetapan harga jual beras?
a. Ditentukan penjual c. ditentukan pembeli b. Tawar-menawar d. lainnya, sebutkan……….
10. Bagaimana cara pembayaran oleh pembeli beras? Tunai/tunda? Jelaskan….. 11. Rata-rata penjualan beras dalam sebulan/seminggu terakhir:
Varietas Volume (ton) Harga Beli (Rp/ton) Tempat Beli
12. Banyak penggilingan padi di kecamatan ini?..........unit
13. Bagaimana tingkat persaingan antarpenggilingan di daerah Anda?
Sehat/tidak sehat? Ketat/tidak ketat?
14. Apakah terdapat persatuan (paguyuban) penggilingan di wilayah Anda?
15. Asal sumber modal: Sendiri/pinjaman? 16. Bagaimana saluran pemasaran gabah dan beras yang Bapak alami:
17. Berapa bulan dalam satu tahun penggilingan beroperasi? 18. Berapa hari dalam sebulan penggilingan beroperasi?
19. Berapa jam dalam satu hari penggilingan beroperasi?
20. Kapasitas total produksi beras di penggilingan per hari?
21. Jumlah stok yang tersedia per bulan/musim tanam/tahun?
22. Penyusutan stok gabah per bulan/musim tanam/tahun?
176
�
III. Penerimaan dan Biaya 1. Penerimaan total penggilingan padi:
Produksi Penggilingan Padi Produk Produksi Total
(Kg) Dikonsumsi Sendiri (Kg)
Jumlah Dijual (Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Beras Dedak Sekam Bekatul Lainnya: 1……… 2………
2. Biaya-biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas penggilingan padi:
a) Pembelian GKP 1.1 Harga GKP Rp 1.2 Karung Rp 1.3 Kemas, timbang, muat, bongkar Rp 1.4 Ongkos angkut Rp 1.5 Komisi/calo Rp
b) Biaya Pengeringan
2.1 Upah Pengeringan Rp 2.2 Solar Rp 2.3 Minyak tanah Rp 2.4 Biaya lainnya Rp
c) Biaya Pengolahan (penggilingan) 3.1 Upah giling (upah tenaga kerja) Rp 3.2 Solar Rp 3.3 Biaya pemakaian alat Rp 3.4 Biaya lainnya Rp
d) Biaya pasca pengolahan (penjualan)
4.1 Kemasan Rp 4.2 Upah muat/bongkar Rp 4.3 Komisi/calo Rp 4.4 Transportasi Rp 4.5 Biaya lainnya Rp
3. Biaya investasi
Jenis Jumlah/ Luas (m2)
Nilai (Rp) Umur (tahun)
Penyusutan/ tahun
Penggunaan (Jam/hari)
Mesin-Mesin 1. Pengering padi (Dryer) 2. Pembersih gabah (Cleaner) 3. Penyosoh beras (Polisher) 4. Pemecah kulit gabah (Husker) 5. Pencahaya beras (Shining) 6. Cera Tester
177
�
Pajak (PBB) Rp B. perawatan mesin Rp Iuran Desa Rp
IV. Satu Siklus Produksi 1. Berapa kapasitas produksi 1 unit mesin giling (gabah optimum yang
digunakan untuk sekali giling)? 2. Waktu, Tenaga kerja, bahan bakar, dan biaya
a. Aktivitas angkut, bongkar, muat Berapa jam = Biaya = Jumlah tenaga kerja =
b. Aktivitas pengeringan lantai jemur Berapa jam = Biaya = Jumlah tenaga kerja =
c. Aktivitas pengeringan dalam dryer Berapa jam = Biaya = Jumlah tenaga kerja = Jmlh liter solar=
d. Aktivitas penggilingan Berapa jam = Biaya = Jumlah tenaga kerja = jmlh liter solar=
e. Aktivitsd kemas dan angkut Berapa jam = Biaya = Jumlah tenaga kerja =
7. Mesin Jahit 8. Mesin Press 10. Diesel 11. Ayakan 11. Timbangan 12. Peralatan lain:
- …… - ……
Bangunan Gudang Penyimpanan Lap Pengeringan Kendaraan 1. Motor 2. Mobil
Lainnya: 1…………. 2………….
178
�
V. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perbedaan Pendapatan 1. Berapa banyak jenis mesin yang dimiliki oleh penggilingan Anda?
a. Kurang dari 4 (empat) buah c. 6 (enam) buah b. 5 (lima) buah) d. 7 (tujuh) buah
2. Jumlah tenaga kerja (luar dan dalam keluarga) yang terlibat dalam kegiatan
penggilingan? a. 5 (lima) orang c. 11 – 15 orang b. 6 – 10 orang d. lebih dari 16 orang
3. Jumlah gabah yang diproduksi menjadi beras dalam satu musim tanam? a. Kurang dari 40 ton c. 81 – 120 ton b. 41 – 80 ton d. lebih dari 120 ton
4. Bagaimana dengan rata-rata kualitas kadar air gabah yang dijual petani/perantara dalam satu musim terakhir? a. Gabah basah c. Gabah kering sawah (GKS) b. Gabah kering panen (GKP) d. Gabah kering giling (GKG)
5. Berapa luas gudang penyimpanan beras/gabah yang dimiliki? a. Kurang dari 10 m2 c. 21 – 30 m2 b. 11 – 20 m2 d. lebih dari 30 m2
6. Berapa jumlah pemasok/petani/perantara yang menjual gabahnya ke penggilingan Anda? a. Kurang dari 5 (lima) orang c. 11 – 15 orang b. 6 – 10 orang d. lebih dari 15 orang
7. Bagaimana dengan rata-rata kualitas beras yang dihasilkan dalam satu musim terakhir? a. Kualitas rendah (broken) c. Kualitas beras kepala b. Kualitas sedang (medium) d. Kualitas beras super
8. Produk sampingan yang dihasilkan dari proses penggilingan? a. Tidak ada c. cukup b. Ada, namun sedikit sekali d. banyak
9. Jumlah pembeli beras setia (loyal)? a. Kurang dari 5 (lima) orang c. 11 – 15 orang b. 6 – 10 orang d. lebih dari 16 orang
10. Bagaimana dengan aktivitas pengemasan beras? a. Tidak dikemas c. kemasan dengan merek lain b. Kemasan kecil tanpa merek d. kemasan merek sendiri
11. Apakah Anada melakukan grading beras? a. Tidak di-grading c. grading dan mencampur b. Kadang-kadang di-grading d. grading murni tanpa mencampur
179
�
12. Rata-rata besarnya tingkat rendemen beras dalam musim tanam terakhir? a. Kurang dari 55 persen c. 61 – 65 persen b. 56 – 60 persen d. 66 – 70 persen
13. Berapa besar kapasitas produksi yang dimiliki oleh penggilingan Anda? a. Kurang dari 40 ton c. 81 – 120 ton b. 41 – 80 ton d. lebih dari 121 ton
14. Berapa jenis varietas padi yang digiling? a. 1 (satu) jenis saja c. 3 (tiga) jenis b. 2 (dua) jenis d. lebih dari 4 jenis Sebutkan…..
15. Jumlah penggilingan pesaing dalam satu kecamatan Anda?
a. Kurang dari 5 (lima) penggilingan c. 11 – 15 penggilingan b. 6 – 10 penggilingan d. lebih dari 16 penggilingan
16. Jumlah pembeli beras secara umum (yang sering ataupun yang jarang)? a. Kurang dari 15 orang c. 31 – 45 orang b. 16 – 30 orang d. lebih dari 46 orang
17. Pengalaman usaha di penggilingan? a. Kurang dari 5 (lima) tahun c. 16 – 30 tahun b. 6 – 15 tahun d. lebih dari 31 tahun
18. Pendidikan terakhir pengusaha penggilingan? a. Tidak lulus SD c. lulus SMP b. Luluas SD d. lulus SMA/SMK
158
Tjakrawiralaksana, A. 1983. Usahatani dan Undang-Undang Pokok Agraria. Departemen Imu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Widowati, S. 2001. Pemanfaatan Hasil Samping Penggilingan Padi dalam Menunjang SIstem Agroindustri di Pedesaan. Buletin AgroBio 4 (1): 33-38. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Bogor.