FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

197
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG TAHUN 2018 SKRIPSI Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT Oleh : Sonia Qori Safitri NIM : 11141010000102 PEMINATAN EPIDEMIOLOGI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 / 1440 H

Transcript of FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

Page 1: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT

PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PAMULANG TAHUN 2018

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

Oleh :

Sonia Qori Safitri

NIM : 11141010000102

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2019 / 1440 H

Page 2: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

i

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

Skripsi, April 2019

Sonia Qori Safitri, NIM: 11141010000102

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Pneumonia pada Balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

xvii + 179 halaman, 1 grafik, 9 tabel, 2 bagan, 3 gambar, 6 lampiran

ABSTRAK

Pneumonia balita di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan utama.

Hal ini terlihat dengan tingginya angka morbiditas dan motalitas pneumonia

balita. Salah satu upaya untuk menurunkan kasus pneumonia adalah dengan

mengetahui faktor risiko yang menyebabkan terjadinya pneumonia. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian

pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif menggunakan

desain cross sectional. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 124 responden

dan didapat dengan metode accidental sampling. Data dikumpulkan melalui

wawancara dan observasi lingkungan serta didukung oleh data rekam medis atau

formulir MTBS responden untuk melihat diagnosis, dan buku KIA untuk

memastikan riwayat karakteristik balita. Analisis yang digunakan adalah analisis

univariat dan bivariat (uji chi square dengan α=0,05). Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa sebanyak 64 (51,6%) responden menderita pneumonia.

Terdapat hubungan signifikan antara BBLR (p=0,015), status gizi (p=0,002),

riwayat imunisasi (p=0,033), konsumsi vitamin A (p=0,001), ventilasi udara

(p=0,004), suhu (p=0,010), dan status merokok anggota keluarga (p=0,003).

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah masih banyak balita yang terkena

pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Pamulang yang dipengaruhi oleh faktor-

faktor yang berasal dari penderita sendiri dan lingkungannya. Saran bagi

Puskesmas Pamulang untuk memberikan edukasi kepada orangtua terkait upaya

pencegahan pneumonia terutama dalam hal pemberian nutrisi dan kebiasaan

membuka ventilasi udara serta bahaya rokok.

Kata Kunci: Pneumonia balita, BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi

vitamin A, ventilasi udara, suhu, status merokok anggota keluarga.

Daftar bacaan : 130 (1996-2018)

Page 3: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

ii

FACULTY OF HEALTH SCIENCES

PUBLIC HEALTH STUDY

EPIDEMIOLOGY

Undergraduates Thesis, April 2019

Sonia Qori Safitri, NIM: 11141010000102

Factors Associated with Pneumonia in Children Under Five in the Work

Area of Pamulang Health Center in 2018

xvii + 179 pages, 1 graph, 9 tables, 2 charts, 3 pictures, 6 attachments

ABSTRACT

Pneumonia in children under five in Indonesia is still a major health

problem. This can be seen with the high morbidity and mortality of pneumonia.

One effort to reduce pneumonia cases is to know the risk factors that cause

pneumonia. This study aims to determine the risk factors associated with the

incidence of pneumonia in childern under five in the work area of Pamulang

Community Health Center in 2018.

This research was using quantitative method with cross sectional study

design. The number of samples in this study were 124 respondents using the

accidental sampling method. Data was collected through interviews and

environmental observations and supported by respondent's medical records or

MTBS forms to see diagnoses, and MCH books to ascertain the history of the

characteristics of children under five. The analysis used was univariate and

bivariate analysis (chi square test with α = 0.05). The results of this study indicate

that as many as 64 (51.6%) respondents suffered from pneumonia. There was a

significant relationship between LBW (p = 0.002), nutritional status (p = 0.002),

immunization history (p = 0.033), consumption of vitamin A (p = 0.001), air

ventilation (p = 0.004), temperature (p = 0.010) , and smoking status of family

members (p = 0.003).

The conclusion in this study is that there are still many children under five

who are exposed to pneumonia in the working area of the Pamulang Community

Health Center which is influenced by factors that originate from the sufferers

themselves and their environment. Suggestion for Pamulang Health Center to

provide education to parents regarding efforts to prevent pneumonia, especially in

terms of providing nutrition and the habit of opening air vents and the dangers of

smoking

Keywords: pneumonia, children under five, LBW, nutritional status,

immunization status, vitamin A consumption, ventilation, temperature, smoking

status of family members.

Reading list: 130 (1996-2018)

Page 4: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis yang disusun untuk

memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di Fakultas

Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu

Kesehatan (FIKES) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Mei 2019

Sonia Qori Safitri

Page 5: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT

PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PAMULANG TAHUN 2018

SKRIPSI

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi

Jakarta, Mei 2019

SONIA QORI SAFITRI

11141010000102

Pembimbing,

(Catur Rosidati, SKM, MKM)

NIP.197502102008012018

Page 6: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

v

LEMBAR PENGESAHAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT

PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PAMULANG TAHUN 2018

SONIA QORI SAFITRI

11141010000102

Jakarta, Mei 2019

Tim Sidang Skripsi

Ketua,

dr.Yuli Prapanca Satar, MARS

NIP. 19530730 198011 1 001

Anggota

Dela Aristi, MKM Nining Mularsih, SKM, M.Epid

NIP. 19780822 200003 2 002

Page 7: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Sonia Qori Safitri

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan

Tangal Lahir

: Bandung, 27 Januari 1996

Agama : Islam

Alamat : Pondok Cilegon Indah Blok D99 No.12 A

No. Handphone : 0821-7544-4363

Email : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

2002-2008

: SDIT Raudhatul Jannah

Cilegon, Banten

2008-2011 : SMPIT Raudhatul Jannah

Cilegon, Banten

2011-2014 : SMA Negeri 1 Cilegon

Cilegon, Banten

2014-sekarang : Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Program Studi Kesehatan

Masyarakat, Peminatan Epidemiologi

RIWAYAT ORGANISASI

2008-2009

: Anggota Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMPIT Raudhatul

Jannah

2008-2009 : Anggota Pasukan Pengibar Bendera Sang Saka (Paskibraka)

SMPIT Raudhatul Jannah

2012-2013 : Staff Pusat Informasi Konseling-Kesehatan Reproduksi Remaja

SMAN 1 Cilegon

2015-2016 : Staff Biro Kesekretariatan, Pergerakan Anggota Muda IAKMI

(Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia)

Page 8: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

vii

2015-2016 : Staff Pengembangan Ekonomi, Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN

Syarif Hidyatullah Jakarta

2016-2017 : Ketua Departemen Media Informasi dan Komunikasi

(MEDIKOM), Pergerakan Anggota Muda IAKMI (Ikatan Ahli

Kesehatan Masyarakat Indonesia)

2016-2017 : Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM),

Epidemiology Student Association (ESA) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2017-2018 : Wakil Menteri Dalam Negeri, Pergerakan Anggota Muda IAKMI

(PAMI) Nasional

2018-sekarang : Presiden Pergerakan Anggota Muda IAKMI (PAMI) Nasional

WORK EXPERIENCE

2014 : Anggota Divisi Acara “Festival Laut” Greenpeace ft Ocean

Defender (GOR Gelora Bung Karno, Jakarta)

2014 : Anggota Volunteer “Kesmas Untuk Negeri” Lebak, Banten

2015 : Ketua Pelaksana “Pelatihan Sponsorship” UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

2015 : Ketua Divisi PHD “FKIK Cup 2015” UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

2017 : Penilai Essay Kegiatan Pengenalan Budaya Akademik Kampus

(PBAK) program studi Kesehatan Masyarakat “Public Health Awe

Inspires the Amity Soul of the Youth”

2017 : Petugas Skrinning PJPD kegiatan KKN 008 Etos-PPM UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

2018 : Divisi Medical Record @ Krakatau Medika Hospital

Page 9: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan junjungan Nabi besar kita,

Muhammad SAW atas segala limpahan rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Penyakit Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Tahun 2018” Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak

terwujud tanpa ada bantuan dan bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan ucapan

terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua dan seluruh anggota keluarga yang telah memberikan

bantuan baik moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan

penelitian ini.

2. Ibu Dr. Zilhadia, MSi, Apt selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi

Kesehatan Masyarakat.

4. Ibu Catur Rosidati. S.K.M, MKM selaku pembimbing skripsi yang telah

banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi

5. Seluruh teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan,

semangat dan doa selama penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih kurang dari

sempurna sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi

kemajuan dan kesuksesan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Ciputat, April 2019

(Sonia Qori Safitri)

Page 10: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

ix

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

ABSTRACT ........................................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ...................................................................... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................ vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii

DAFTAR BAGAN .............................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv

DAFTAR GRAFIK ............................................................................................ xvi

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii

BAB 1 ..................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 6

C. Pertanyaan Penelitian ................................................................................ 7

D. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 8

1. Tujuan Umum: ......................................................................................... 8

2. Tujuan Khusus: ......................................................................................... 8

E. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9

F. Ruang Lingkup ........................................................................................... 9

BAB II .................................................................................................................. 10

TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 10

A. Pneumonia ................................................................................................ 10

1. Definisi ................................................................................................... 10

2. Klasifikasi ............................................................................................... 11

3. Etiologi ................................................................................................... 13

4. Epidemiologi .......................................................................................... 15

Page 11: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

x

5. Penularan pneumonia ............................................................................. 16

6. Patogenesis ............................................................................................. 17

7. Tanda dan Gejala .................................................................................... 18

8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang .................................................. 19

9. Pencegahan ............................................................................................. 21

B. Sistem Imun .............................................................................................. 22

1. Respon Imun Non-spesifik ..................................................................... 23

2. Respon Imun Spesifik ............................................................................ 24

3. Fungsi Respon Imun ............................................................................... 27

4. Penyimpangan Sistem Imun ................................................................... 28

5. Faktor Pengubah Mekanisme Imun ........................................................ 29

C. Faktor risiko ............................................................................................. 32

1. Usia ......................................................................................................... 32

2. Jenis kelamin .......................................................................................... 33

3. Status gizi ............................................................................................... 34

4. Berat Badan Lahir Rendah ..................................................................... 35

5. Pemberian ASI Eksklusif ....................................................................... 36

6. Riwayat Imunisasi .................................................................................. 38

7. Konsumsi Vitamin A .............................................................................. 40

8. Kepadatan Hunian .................................................................................. 41

9. Ventilasi Udara ....................................................................................... 43

10. Jenis Lantai ......................................................................................... 44

11. Jenis Dinding ...................................................................................... 45

12. Pencahayaan........................................................................................ 47

13. Suhu .................................................................................................... 48

14. Kelembaban Udara ............................................................................. 49

15. Status Merokok Anggota Keluarga..................................................... 50

D. Kerangka Teori ........................................................................................ 52

BAB III ................................................................................................................. 56

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ........................... 56

A. Kerangka Konsep ..................................................................................... 56

B. Definisi Operasional ................................................................................... 58

Page 12: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xi

C. Hipotesis ...................................................................................................... 62

BAB IV ................................................................................................................. 64

METODE PENELITIAN ................................................................................... 64

A. Desain Penelitian ...................................................................................... 64

B. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 64

C. Populasi dan Sampel ................................................................................ 64

1. Populasi Penelitian ................................................................................. 64

2. Sampel .................................................................................................... 64

3. Besar Sampel .......................................................................................... 65

D. Metode Pengumpulan Data ..................................................................... 66

E. Validitas dan Realibilitas ......................................................................... 74

F. Pengolahan Data ...................................................................................... 75

G. Metode Analisis Data .............................................................................. 76

BAB V ................................................................................................................... 79

HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 79

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 79

B. Gambaran Demografi Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ............. 80

C. Gambaran Kasus Pneumonia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang .......................................................................................................... 80

D. Hasil Analisis Univariat ........................................................................... 81

1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2018 ................................................................................... 81

2. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pneumonia pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................................ 82

E. Hasil Analisis Bivariat ............................................................................. 84

1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita berdasarkan Karakteristik

Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................ 84

2. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ................ 87

BAB VI ................................................................................................................. 91

PEMBAHASAN .................................................................................................. 91

A. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 91

Page 13: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xii

B. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ................................................................. 91

C. Gambaran Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Pneumonia pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ....................... 95

1. Usia Balita .............................................................................................. 95

2. Jenis Kelamin Balita ............................................................................... 97

3. Berat Badan Lahir Balita ........................................................................ 98

4. Status Gizi ............................................................................................ 100

5. Riwayat Imunisasi ................................................................................ 102

6. Konsumsi Vitamin A ............................................................................ 106

7. Pemberian ASI Eksklusif ..................................................................... 108

D. Pengaruh antara Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia

pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........... 112

1. Kepadatan Hunian ................................................................................ 112

2. Ventilasi Udara ..................................................................................... 115

3. Pencahayaan ......................................................................................... 117

4. Suhu ...................................................................................................... 119

5. Kelembaban .......................................................................................... 120

6. Status Merokok Anggota Keluarga ...................................................... 122

E. Perspektif Islam Terkait Kejadian Pneumonia pada Balita .............. 124

BAB VII ............................................................................................................. 137

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 137

A. Simpulan ................................................................................................. 137

B. Saran ....................................................................................................... 137

1. Bagi Puskesmas Pamulang ................................................................... 138

2. Bagi Masyarakat Sekitar ...................................................................... 139

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ..................................................................... 139

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 140

LAMPIRAN ....................................................................................................... 155

Page 14: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penetapan Status Gizi pada Balita .................................................................... 34

Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi pada Balita ........................................................................... 39

Tabel 2.3 Sasaran Sumplementasi Vitamin A .................................................................. 40

Tabel 5.1 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2018 ...................................................................................... 81

Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tahun 2018

.......................................................................................................................... 82

Tabel 5.3 Gambaran Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pneumonia pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................................... 83

Tabel 5.4 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Karakteristik Subjek

di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ....................................... 84

Tabel 5.5 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan di

Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018 ........................................... 88

Tabel 6.1 Crosstab Riwayat ASI dengan Status Gizi ………………………………………….110

Page 15: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 52

Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................ 56

Page 16: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum dengan Luas <10m2 ....... 72

Gambar 4.2 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum dengan Luas 10m2-100m2

.......................................................................................................................................... 72

Gambar 4.3 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan Umum dengan Luas >100m2 ..... 72

Page 17: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xvi

DAFTAR GRAFIK

Grafik 6.1 Gambaran Kasus Pneumonia Berdasarkan Luas Ventilasi dan

Kepadatan Hunian di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018........... 114

Page 18: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1.1 Kuesioner Penelitian ................................................................... 156

Lampiran 1.2 Lembar Observasi ....................................................................... 159

Lampiran 1.3 Tabel Perhitungan Status Gizi Balita .......................................... 161

Lampiran 1.4 Output Uji Validitas dan Realibilitas .......................................... 162

Lampiran 1.5 Output Hasil Analisis Data ......................................................... 163

Lampiran 1.6 Dokumentasi ............................................................................... 177

Page 19: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa balita merupakan periode yang penting dalam tumbuh kembang

anak. Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan

mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya (Depkes RI,

2006). Anak balita merupakan kelompok yang rentan terhadap gizi buruk dan

penyakit, sehingga harus mendapatkan perlindungan untuk mencegah terjadi

penyakit yang dapat mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan

terganggu atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Salah satu penyebab

kematian tertinggi akibat penyakit infeksi pada anak balita adalah penyakit

pneumonia (WHO, 2010).

Pneumonia merupakan bentuk infeksi pernapasan akut yang

mempengaruhi paru-paru, dimana alveoli paru-paru terisi dengan cairan

sehingga membuat asupan oksigen terbatas untuk bernafas WHO (2014).

Secara global, pneumonia membunuh hampir satu juta anak-anak berumur

kurang dari 5 tahun setiap tahunnya. Angka tersebut melebihi jumlah kematian

akibat penyakit menular, seperti infeksi HIV, malaria, atau tuberkulosis (CDC,

2017). Laporan UNICEF yang diterbitkan pada tahun 2018 menyebutkan

bahwa pneumonia masih menjadi penyebab utama kematian pada balita di

dunia dan menyumbang sekitar 16% dari 5,6 juta kematian balita. Pada tahun

2016 pneumonia berhasil menewaskan sekitar 2.400 anak setiap hari dan telah

menewaskan sekitar 880.000 anak di tahun tersebut.

Page 20: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

2

Di Indonesia, pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat

khususnya pada balita (Kemenkes, 2011). Riset Kesehatan Dasar 2013

menyebutkan lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia balita

tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka

Belitung (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%). Insiden tertinggi

pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-33 bulan (21,7%).

Pada tahun 2014 terdapat 657.490 kasus pneumonia balita (29,47%) di

Indonesia. Kemudian meningkat pada tahun 2015 sebesar 63,45% dan pada

tahun 2016 menjadi 65,27% (Profil Kesehatan Indonesia, 2016). Berdasarkan

kelompok umur penduduk, period prevalence pneumonia tertinggi tejadi pada

kelompok usia 1-4 tahun, dengan period prevalence pneumonia balita nasional

yaitu sebesar 18,5 per 1000 balita (Riskesdas, 2013).

Banten memiliki angka period prevalence pneumonia balita sebesar 19,4

per 1000 balita (Riskesdas Banten, 2013). Angka period prevalence

pneumonia balita tersebut melebihi angka nasional. Selain itu, jumlah kasus di

Provinsi Banten cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 terdapat

20.475 kasus Pneumonia pada balita di Provinsi Banten yang ditangani.

Sementara, pada tahun 2012 terdapat 25.936 kasus dan terus meningkat

hingga 28.741 kasus (29,32%) di tahun 2015 dan 30.649 kasus (72,95%) pada

tahun 2016 (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).

Salah satu daerah di Banten dengan angka pneumonia yang tinggi adalah

Tangerang Selatan. Pada tahun 2012, terdapat 4.705 penderita pneumonia di

Tangerang Selatan. Angka kasus pneumonia balita di Tangerang Selatan

meningkat di tahun 2014 menjadi 6.205 kasus dan menurun di tahun 2015

Page 21: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

3

menjadi 5.739 penderita dengan kasus terbanyak berada di wilayah Puskesmas

Pamulang (Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2015).

Puskesmas Pamulang merupakan pusat pemerintahan kota Tangerang

Selatan yang juga padat penduduknya. Dari 26 Puskesmas yang berada di

Kota Tangerang Selatan, 3 Puskesmas dengan kasus pneumonia tertinggi di

tahun 2017 adalah Puskesmas Pamulang (6,75%), Puskesmas Pondok Kacang

Timur (6,59%), dan Puskesmas Sawah Baru (5,44%). Jumlah kasus di

Puskesmas Pamulang pun mengalami peningkatan dari tahun 2015 terdapat

599 kasus, lalu mengalami peningkatan di tahun 2016 menjadi 656 kasus, dan

di tahun 2017 menjadi 1.040 kasus (LB3 Puskesmas Pamulang, 2017).

Pneumonia pada anak balita lebih sering disebabkan oleh virus

pernapasan dan puncakya terjadi pada anak usia 2-3 tahun. Dari data WHO

dan UNICEF, 50% dari pneumonia disebabkan oleh kuman Streptococcus

pneumonia dan 30% oleh Haemophylus influenza tipe B (Hib), sisanya adalah

oleh virus penyebab lain (Misnadiarly, 2008 dalam Hartanti et al., 2012). Bagi

bayi yang terinfeksi HIV, penyebab paling umum terjadinya pneumonia

adalah Pneumocytis jiroveci yang juga bertanggung jawab atas seperempat

dari seluruh kematian pneumonia pada bayi yang terinfeksi HIV (WHO,

2010).

Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor risiko

pneumonia. Faktor risiko yang sudah teridentifikasi meliputi status gizi, berat

badan lahir rendah (<2.500 gram saat lahir), kurangnya pemberian ASI

eksklusif pada enam bulan pertama kehidupan, imunisasi campak dan

kepadatan rumah (lima atau lebih orang per kamar) (UNICEF/WHO, 2006).

Page 22: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

4

Menurut penelitian Anwar dan Dhamayanti (2014) menggunakan data

Riskesdas 2013, faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia

pada balita adalah jenis kelamin, tipe tempat tinggal, pendidikan ibu, tingkat

ekonomi/kuintil indeks kepemilikan, kondisi rumah, letak dapur, kebiasaan

membuka jendela dan ventilasi kamar tidur. Berdasarkan Profil Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (2012) faktor risiko yang memengaruhi

insidens pneumonia antara lain adalah gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi

udara dalam ruagan, kepadatan hunian, cakupan imunisasi campak yang

rendah, dan BBLR.

Rudan et al. (2008) menyebutkan terdapat 3 kelompok faktor risiko

yang mempengaruhi insidens pneumonia pada anak. Tiga kelompok tersebut

yaitu definite risk factors atau faktor yang selalu ada, likely risk factors atau

faktor yang sangat mungkin ada, dan possible risk factors atau faktor yang

masih mungkin ada. Faktor risiko yang selalu ada terhadap kejadian

pneumonia adalah gizi kurang, BBLR, tidak memberikan ASI, polusi udara

dalam ruang, dan pemukiman padat. Faktor-faktor tersebut perlu mendapatkan

perhatian serius dan dilakukan intervensi segera demi menurunkan angka

kematian balita.

Penelitian yang dilakukan oleh Tiewsoh et al. (2009) pada 200 anak

usia 2-60 bulan yang dirawat dengan pneumonia berat sesuai dengan kriteria

WHO di rumah sakit di India menyatakan bahwa faktor risiko terkait dengan

pneumonia adalah kepadatan rumah dan tidak mendapat ASI eksklusif.

Penelitian yang di lakukan Mahalanabis et al. (2002) di rumah sakit anak di

Calcuta India pada 127 anak usia 2-35 bulan sebagai kasus dan 135 anak

Page 23: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

5

sebagai kontrol mendapatkan hasil bahwa pemakaian bahan bakar padat

memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,97 kali (OR=3,97 CI : 2,00-

7,88). Ada hubungan antara riwayat asma dengan penyakit pneumonia (OR=

5,49, CI: 2,37- 12,74). Anak yang berasal dari status ekonomi rendah memiliki

risiko terkena pneumonia sebesar 4,95 kali (OR= 4,95, CI: 2,38-10,28), dan

keluarga yang memelihara hewan besar memiliki risiko terkena pneumonia

sebesar 6,03 kali dibanding dengan keluarga yang tidak memelihara hewan

besar (OR= 6,03, CI: 1,13-32,27).

Berdasarkan penelitian di salah satu Rumah Sakit di Jakarta yang

dilakukan Hartanti et al. (2012) pada 138 sampel, terdapat empat faktor risiko

yang berhubungan secara bermakna, yaitu usia balita, riwayat pemberian ASI,

status gizi, dan kebiasaan merokok keluarga. Demikian dengan penelitian di

RSUD Salewangan Maros yang dilakukan Annah et.al. (2012) faktor risiko

pneumonia yang memiliki hubungan bermakna adalah status imunisasi

(OR=2,39; 95%CI: 1,03-5,71), kebiasaan merokok anggota keluarga

(OR=5,31; 95%CI: 2,42-11,65), pemberian ASI eksklusif (OR=2,49; 95%CI:

1,02-5,17), dan penggunaan obat nyamuk bakar (OR=6,34; 95%CI: 2,91-

13,80). Sedangkan pemberian vitamin A tidak memiliki hubungan bermakna

(OR=1,05; 95%CI: 0,48-2,32).

Berdasarkan penelitian tentang faktor risiko pneumonia pada anak balita

di wilayah kerja Puskesmas Sudiang oleh Mokoginta et.al. (2014) didapatkan

hasil yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif (OR: 4,47), jenis

lantai (OR: 3,21), kondisi lantai (OR: 1,97), status gizi (OR: 1,18), dan

ventilasi rumah (OR: 2,03) merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada

Page 24: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

6

anak balita. Sedangkan kebiasaan merokok dan pengetahuan ibu bukan

merupakan faktor risiko atau tidak adanya hubungan bermakna.

Dapat disimpulkan bahwa pneumonia pada balita masih menjadi

masalah kesehatan utama. Hal ini terlihat dengan tingginya angka morbiditas

dan mortalitas pneumonia. Salah satu upaya untuk dapat dilakukan intervensi

yang tepat terkalit kejadian pneumonia adalah dengan mengetahui faktor-

faktor risiko yang menyebabkan terjadinya pneumonia. Adapun kasus

tertinggi pneumonia di Tangerang Selatan terdapat di Puskesmas Pamulang.

Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas Pamulang tahun 2018.

B. Rumusan Masalah

Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan utama yang menyebabkan

kematian pada balita. Di provinsi Banten, angka period prevalens pneumonia

balita berdasarkan diagnosis dan gejala berada diatas rata-rata period

prevalens nasional yaitu sebesar 19,4 per 1000 balita. Angka kasus pneumonia

pun cenderung mengalami kenaikan, hingga terdapat 30.649 kasus (72,95%)

pada tahun 2016 (Profil Kesehatan Indonesia, 2016). Dengan kasus tertinggi

di Tangerang Selatan pada tahun 2012, yaitu sebanyak 4.705 kasus. Angka

tersebut meningkat di tahun 2014 menjadi 6.205 penderita, dengan kasus

terbanyak berada di wilayah puskesmas pamulang (Profil Kesehatan Kota

Tangerang Selatan, 2015).

Berdasarkan data LB3 Puskesmas Pamulang pada tahun 2017,

didapatkan bahwa kasus pneumonia balita mengalami fluktuasi dan cenderung

meningkat setiap bulannya. Pada bulan Januari terdapat 79 kasus pneumonia

Page 25: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

7

balita. Kasus tersebut menurun menjadi 51 kasus di bulan Februari. Pada

bulan Maret terdapat 68 kasus pneumonia dan meningkat menjadi 78 kasus di

bulan April dan 91 kasus di bulan Mei. Pada bulan Juni tidak ditemukan kasus

pneumonia, namun melonjak naik menjadi 115 kasus pada bulan Juli. Pada

bulan Agustus terdapat 105 kasus, dan menurun menjadi 91 kasus pada

September dan naik kembali menjadi 104 kasus di bulan Oktober, 112 kasus

di bulan November, dan 146 kasus di bulan Desember.

Tingginya angka kejadian pneumonia tidak terlepas dari faktor risiko

pneumonia. Faktor risiko yang sudah teridentifikasi meliputi status gizi, berat

badan lahir rendah, kurangnya pemberian ASI eksklusif pada enam bulan

pertama kehidupan, imunisasi campak dan kepadatan rumah (UNICEF/WHO,

2006).

Berdasarkan gambaran kejadian pneumonia tersebut, peneliti tertarik

untuk melakukan penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit

pneumonia pada balita di Puskesmas Pamulang sehingga diketahui faktor

risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita dan dapat

dilakukan intervensi yang tepat.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik balita (usia, jenis kelamin, BBLR,

status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A, dan riwayat ASI

eksklusif) pada penderita pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang pada tahun 2018 ?

2. Bagaimana gambaran faktor lingkungan (kepadatan hunian, ventilasi

udara, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status merokok anggota

Page 26: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

8

keluarga) pada penderita pneumonia di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang pada tahun 2018 ?

3. Apakah ada hubungan antara karakteristik balita (usia, jenis kelamin,

BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A, dan riwayat

ASI eksklusif) dengan pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Pamulang

pada tahun 2018 ?

4. Apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kepadatan hunian,

ventilasi udara, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status merokok

anggota keluarga) dengan kejadian pneumonia di wilayah kerja

Puskesmas Pamulang pada tahun 2018 ?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum:

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko terjadinya

pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

2. Tujuan Khusus:

a. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik balita (usia, jenis

kelamin, BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A,

dan riwayat ASI eksklusif) dengan pneumonia balita di wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2018.

b. Untuk mengetahui hubungan antara faktor lingkungan (kepadatan

hunian, ventilasi udara, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status

merokok anggota keluarga) dengan pneumonia balita di wilayah

kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

Page 27: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

9

E. Manfaat Penelitian

Berikut ini adalah manfaat penelitian ini :

1. Bagi Puskesmas Pamulang

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk

menentukan atau merancang kegiatan pencegahan dan promosi

kesehatan guna mencegah penyakit pneumonia pada balita di wilayah

kerja puskesmas pamulang.

2. Bagi Peneliti Lainnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

referensi untuk melakukan penelitian lanjutan dengan analisis

multivariat untuk mengetahui faktor mana yang lebih berpengaruh. Serta

menjadi pustaka untuk memperluas wawasan.

3. Bagi Masyarakat Pamulang

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

masyarakat tentang pneumonia pada balita. Sehingga masyarakat dapat

melakukan upaya pencegahan terjadinya pneumonia pada lingkungan

sekitar.

F. Ruang Lingkup

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan penyakit pneumonia pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2018. Penelitian ini dilakukan pada bulan

September 2018 hingga November 2018. Desain studi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah cross sectional. Sumber data penelitian berasal dari data

primer yang dilakukan dengan cara wawancara dan observasi. Kemudian,

dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat dalam penelitian ini.

Page 28: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pneumonia

1. Definisi

Pneumonia adalah infeksi paru-paru yang dapat menyebabkan

penyakit ringan hingga berat pada semua kelompok usia. Beberapa jenis

pneumonia dapat dicegah dengan melakukan vaksin, namun, pneumonia

masih menjadi penyebab utama kematian yang menular pada anak-anak

di bawah usia 5 tahun di seluruh dunia (CDC, 2016).

Pneumonia merupakan bentuk akut dari infeksi saluran pernafasan

bawah, yang secara khusus mempengaruhi paru-paru. Paru-paru terdiri

dari ribuan tabung atau bronkus yang terbagi menjadi saluran udara yang

lebih kecil atau bronkhiolus, yang diujungnya berakhir dengan kantung-

kantung kecil yaitu alveoli. Alveoli mengandung kapiler pembuluh darah

tempat terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida. Pada seseorang

yang mengalami pneumonia, alveoli di salah satu atau kedua paru-paru

akan terisi dengan cairan atau nanah sehingga membuat asupan oksigen

terbatas dan sulit untuk bernafas. (UNICEF/WHO, 2006).

Secara klinis, pneumonia diartikan sebagai suatu peradangan paru

yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau

parasit. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh non

mikroorganisme seperti bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik atau

obat-obatan dan lainnya disebut pneumonitis (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2003).

Page 29: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

11

2. Klasifikasi

Beberapa sumber mengelompokan pneumonia dalam berbagai

klasifikasi. Klasifikasi pneumonia tersebut dibuat berdasarkan usia,

anatomi, etiologi, gejala klinis dan epidemiologi.

Depkes RI (2007) membuat klasifikasi pneumonia pada balita

berdasarkan kelompok usia :

a. Usia anak 2 bulan - < 5 tahun :

1) Batuk bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat

dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah.

2) Pneumonia ditandai dengan adanya nafas cepat dan tidak ada

tarikan dinding dada bagian bawah

3) Pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dinding dada

bagian bawah ke depan

b. Usia kurang dari 2 bulan :

1) Bukan pneumonia ditandai dengan tidak ada nafas cepat dan

tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.

2) Pneumonia berat ditandai dengan adanya nafas cepat dan tarikan

dinding dada bagian bawah kedalam yang kuat.

Menurut Depkes RI (2008), klasifikasi pneumonia berdasarkan

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai berikut :

a. Pneumonia Berat dengan tanda gejala : terdapat tanda bahaya umum,

atau terdapat tarikan dinding dada ke dalam, atau terdengan bunyi

sridor.

Page 30: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

12

b. Pneumonia dengan tanda gejala : nafas cepat dengan batasan (anak

usia 2 bulan - < 12 bulan, frekuensi nafas 50 kali/menit atau lebih dan

anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi nafas 40 kali/menit atau

lebih).

c. Batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada tanda yang mengarah ke

pneumonia, atau pneumonia berat.

Hockenberry dan Wilson (2009) mengklasifikasikan pneumonia

berdasarkan predileksi infeksi yaitu :

a. Pneumonia lobaris: peradangan pada semua atau sebagian besar

segmen paru dari satu atau lebih lobus paru, kemungkinan disebabkan

oleh adanya obstruksi bronkus, misalnya pada aspirasi benda asing

atau adanya proses keganasan.

b. Bronkopneumonia: sumbatan yang dimulai dari cabang akhir

bronkiolus oleh eksudat mukopurulen dan berkonsolidasi di lobulus

yang disebut juga pneumonia lobular

c. Pneumonia interstitial: proses peradangan pada dinding alveolus

(interstitial) dan peribronkial serta jaringan interlobularis.

Menurut perhimpunan dokter paru Indonesia (2003), pneumonia yang

terjadi di rumah sakit dikelompokan menjadi

a. Pneumonia nosocomial/Hospital Acquired Pneumonia (HAP) yaitu

pneumonia yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit

dan disingkirkan semua infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah

sakit

Page 31: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

13

b. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) yaitu pneumonia yang

terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakel.

3. Etiologi

Data mengenai patogen spesifik penyebab pneumonia masih

terbatas. Diketahui bahwa bakteri Streptococcus pneumoniae adalah

penyebab yang paling sering ditemukan dari pasien, terutama pada anak-

anak. Etiologi tersering kedua adalah Haemophilus influenzae tipe B

(Hib) dan etiologi virus tersering adalah Respiratory Syncytial Virus

(RSV) (WHO, 2014). Uji coba di Afrika menunjukan bahwa 50% kasus

pneumonia berat disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Dan sekitar

20% kasus pneumonia berat dari Bangladesh, Chilie, dan Gambia

disebabkan oleh Hib. Selain itu pneumonia juga dapat disebabkan oleh

RSV dan influenza bakteri lain seperti Staphylococcus aureaus dan

Klebsiella pneumoniae atau jamur Pneumocystis jiroveci (PCP)

khususnya pada anak-anak dengan AIDS (UNICEF-WHO, 2006).

Menurut publikasi WHO, penelitian di berbagai negara menunjukkan

bahwa Streptococcus pneumonia dan Haemophylus influenza merupakan

bakteri yang selalu ditemukan pada penelitian tentang etiologi di negara

berkembang. Jenis bakteri ini ditemukan pada dua per tiga dari hasil

isolasi yaitu 73,9% aspirasi paru dan 69,1% hasil isolasi spesimen darah.

Sedangkan di negara maju pneumonia pada anak umumnya disebabkan

oleh virus (Depkes RI, 1996).

Streptococcus pneumoniae atau sering disebut juga pneumococcus

merupakan bakteri gram positif yang merupakan penghuni normal dari

Page 32: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

14

saluran pernafasan bagian atas manusia (sekitar 5-40%). Bakteri ini

memiliki kemampuan untuk menularkan, melekat pada sel inang,

menginvasi sel inang dan jaringan, mampu untuk meracuni, dan mampu

untuk menghindar dari sistem kekebalan inang. Pneumococcus dapat

hidup berbulan-bulan dalam sputum yang kering terlindung matahari.

Mampu tumbuh secara optimal pada suhu 31-37 ºC. Pada suhu 50ºC

bakteri mati dalam satu jam. Dapat juga mati dalam larutan fenol dan

antiseptic biasa, dan sensitif terhadap penisilin (Hedlund, 2005).

Pneumococcus sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu

pertahanan tubuh menurun, bakteri akan segera memperbanyak diri dan

menyebabkan kerusakan. Patogenesis pneumococcus berawal dari

melekatnya bakteri pada epitel faring yang kemudian bereplikasi dan

proses lolosnya kuman dari fagositosis oleh makrofag. pneumococcus

menyebabkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dalam

jaringan. Setelah membentuk koloni, bakteri dapat menyebar langsung ke

saluran pernapasan. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran

pernapasan, selanjutnya masuk ke bronkhiolus dan alveoli sehingga

menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema

dalam alveoli dan jaringan interstitial. Bakteri pneumococcus dapat

meluas melalui porus Kohn dari alveoli ke alveoli di seluruh lobus

(Muttaqin, 2008)

Selain itu juga penularan penyakit karena bakteri ini dapat melalui

inhalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar, aliran

darah dari infeksi di tubuh orang lain, migrasi (perpindahan) organisme

Page 33: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

15

langsung dari infeksi di dekat paru-paru, dan menular melalui percikan air

ludah (Hedlund, 2005).

4. Epidemiologi

Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan

penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun

(anak balita). Pneumonia disebut sebagai pembunuh nomer satu di dunia

karena hampir satu dari lima anak balita meninggal dan lebih dari 2 juta

anak di negara berkembang meninggal setiap tahunnya. Pneumonia di

negara berkembang disebut penyakit yang terabaikan (the neglegted

disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten disease) karena

begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia tetapi sangat

sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah pneumonia (Said,

2010).

Balita merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terserang

pneumonia. Laporan UNICEF yang diterbitkan pada tahun 2018

menyebutkan bahwa pneumonia masih menjadi penyebab utama

kematian pada balita di dunia dan menyumbang sekitar 16% dari 5,6 juta

kematian balita. Pada tahun 2016 pneumonia berhasil menewaskan

sekitar 2.400 anak setiap hari dan telah menewaskan sekitar 880.000 anak

di tahun tersebut. Berdasarkan kelompok umur penduduk, period

prevalence pneumonia tertinggi tejadi pada kelompok usia 1-4 tahun.

Insiden pneumonia di Amerika berkisar antara 4-5 juta kasus per

tahun, dengan kurang lebih 25% membutuhkan perawatan di rumah sakit

(Waterer GW et al., 2004). Di Eropa, insiden pneumonia berkisar 1,2-

Page 34: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

16

11,6 kasus per 10.000 populasi per tahun, dengan angka yang sedikit

lebih tinggi pada populasi pria dan umur yang sangat tua. Angka

perawatan di rumah sakit berkisar antara 22%-51% disertai dengan angka

kematian 0,1-0,7 per 1000 orang (Almirall J et al., 2000). Persebaran

pneumonia di dunia tidaklah seimbang, adanya angka yang lebih tinggi

pada negara berkembang atau negara dengan pendapatan rendah jika

dibandingkan dengan negara maju. Disebutkan juga sebanyak 74%

insiden pneumonia anak terjadi hanya pada 15 negara, dengan angka

lebih dari 50% terjadi hanya pada 6 negara : India, Cina, Pakistan,

Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria (Xu J et al., 2009).

Pneumonia di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat khususnya pada balita (Kemenkes, 2011). Riset Kesehatan

Dasar 2007 mengungkapkan bahwa pneumonia merupakan penyebab

terbesar kedua kematian bayi di Indonesia (15,5%) setelah diare (25,2%).

Pada tahun 2014 terdapat 657.490 kasus pneumonia balita (29,47%) di

Indonesia. Kemudian meningkat pada tahun 2015 sebesar 63,45% dan

pada tahun 2016 menjadi 65,27% (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).

Pneumonia menempati 10 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun

2010 dengan Case Fatality Rate (CFR) 7,60% (Kementrian Kesehatan RI,

2012).

5. Penularan pneumonia

Agen penyakit dapat mencapai paru-paru balita melalui rute yang

berbeda. Namun, pada umumnya pneumonia dapat terjadi karena agen

penyakit telah berada di hidung atau tenggorokan sehingga terhirup ke

Page 35: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

17

paru-paru dan menyebabkan infeksi. Selain itu agen penyakit juga dapat

menyebar melalui droplet udara lewat batuk atau bersin dan radang paru-

paru bisa menyebar melalui darah, terutama selama dan segera setelah

lahir (UNICEF/WHO, 2006).

6. Patogenesis

Pneumonia terjadi jika mekanisme pertahanan paru mengalami

gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian

bawah. Dalam keadaan sehat tidak akan terjadi pertumbuhan

mikroorganisme di paru, karena adanya mekanisme pertahanan paru.

Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan

mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran

napas. Terdapat beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai

permukaan yaitu melalui inokulasi langsung, penyebaran melalui

pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol dan kolonisasi dipermukaan

mukosa. Inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal,

mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-2,0 µm

melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveolus dan

terjadilah proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas

(hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan

terjadi inokulasi mikroorganisme. Hal ini merupakan awal infeksi dari

sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil secret orofaring

sebagian besar terjadi pada orang normal waktu tidur juga pada keadaan

penurunan kesadaran, peminum alcohol dan pemakai obat (drug abuse).

Pad pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau

Page 36: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

18

aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas

bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada

beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.

Agen penyebab pneumonia memiliki tiga bentuk transmisi primer

yaitu aspirasi secret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah

berkolonisasi pada orofaring, infeksi aerosol yang infeksius dan

penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulmonal. Dan aspirasi serta

inhalasi agen infeksius yang merupakan cara penyebaran tersering

penyebab pneumonia. Sementara penyebaran secara hematogen jarang

terjadi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

7. Tanda dan Gejala

Balita penderita pneumonia dapat memiliki gejala yang beragam

tergantung pada usia dan penyebab infeksi. Pneumonia bakteri biasanya

menyebabkan anak-anak menjadi sakit parah dengan demam tinggi dan

napas cepat. Sedangkan infeksi virus sering terjadi secara bertahap dan

dapat memburuk seiring berjalannya waktu. Beberapa gejala umum

pneumonia pada balita adalah napas cepat atau sulit, batuk, demam,

menggigil, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan napas tersengal-

sengal (UNICEF/WHO, 2006)

Pneumonia dapat ditandai dengan adanya napas cepat dan napas

sesak, karena paru yang meradang secara mendadak. Batas napas cepat

adalah jika frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit pada anak

usia < 2 bulan, 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai

Page 37: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

19

kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1

tahun sampai kurang dari 5 tahun (Depkes RI, 2002).

Selain gejala tersebut, penderita pneumonia juga dapat mengalami

batuk, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga, dan demam. Serta terlihat

adanya retraksi interkostal, nyeri dada, penurunan bunyi nafas, pernafasan

cuping hidung, sianosis, batuk kering kemudian berlanjut ke batuk

produktif dengan adanya ronkhi basah. Pada pemeriksaan kardiovaskuler

akan didapatkan gejala takikardi dan pada pemeriksaan neurologis

terdapat nyeri kepala, gelisah, dan susah tidur (Kemenkes, 2012).

8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis pneumonia dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu

pemeriksaan fisik secara umum berdasarkan gambaran klinis, dan dengan

pmeriksaan penunjang yaitu rontgen dada dan tes laboratorium untuk

mengkonfirmasi penyakit tersebut, termasuk tingkat keparahan, lokasi

infeksi serta penyebabnya (UNICEF/WHO, 2006).

Gambaran klinis biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu

tubuh meningkat dapat melebihi 40℃, batuk dengan dahak mukoid atau

purulen kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2003).

WHO (2009) menjelaskan gambaran klinis pneumonia dibagi dalam:

a. Pneumonia ringan

Ditandai dengan adanya batuk atau sulit bernapas, napas cepat :

Usia < 2 bulan : ≥60 kali/menit

Usia 2 bulan – 11 bulan : ≥50 kali/menit

Page 38: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

20

Usia 1-5 tahun : ≥40 kali/menit

b. Pneumonia berat

Batuk atau kesulitan bernapas, ditambah dengan salah satu gejala:

1) Kepala terangguk-angguk

2) Pernapasan cuping hidung

3) Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

4) Rontgen dada menunjukan gambaran infiltrate luas,

konsolidasi, dan lainnya.

Selain itu bisa juga ditemukan gambaran klinis napas cepat, suara

merintih/grunting pada bayi, terdengar ronki atau crackles pada

auskultasi, suara pernafasan menurun, serta suara pernapasan bronkial.

Pada pemeriksaan radiologis atau rontgen dada, dapat berupa

infiltrate hingga konsolidasi dengan “air broncogram”, penyebab

bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Namun foto toraks

saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia.

Pemeriksaan tersebut hanya merupakan petunjuk kearah diagnosis

etiologi. Seperti gambaran pneumonia lobaris sering disebabkan oleh

Steptococcus pneumonia, gambaran infitrat bilateral atau

bronkopneumonia sering disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah

leukosit, biasanya lebih dari 10.000/µ atau terkadang mencapai 30.000/µ.

Dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi

peningkatan LED (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003).

Page 39: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

21

9. Pencegahan

Negara-negara berkembang telah mengidentifikasi 6 strategi dalam

upaya mengontrol infeksi saluran pernapasan akut yang dapat

mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat pneumonia anak (WHO,

2003). Keenam strategi tersebut yaitu, pemberian imunisasi, memberikan

kemoprofilaksis, memperbaiki nutrisi, mengurangi polusi lingkungan,

mengurangi penyebaran kuman dan mencegah penularan langsung, serta

memperbaiki cara perawatan anak.

Pada tahun 2009, WHO dan UNICEF telah membuat rencana aksi

Global Action Plan for the Prevention (GAPP) untuk pencegahan dan

pengendalian pneumonia. Dimana hal tersebut bertujuan untuk

mempercepat kontrol pneumonia dengan kombinasi intervensi untuk

melindungi, mencegah, dan mengobati pneumonia pada anak dengan

tindakan berikut :

a. Melindungi anak-anak dari pneumonia termasuk mempromosikan

pemberian ASI eksklusif dan mencuci tangan, mengurangi polusi

udara di dalam rumah.

b. Mencegah pneumonia dengan pemberian vaksin

c. Mengobati pneumonia yang difokuskan pada upaya bahwa setiap

anak sakit memiliki akses perawatan yang tepat dan baik dari

petugas kesehatan berbasis masyarakat atau fasilitas kesehatan jika

penyakitnya bertambah serta mendapatkan antibiotik dan oksigen

yang mereka butuhkan untuk kesembuhan.

Page 40: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

22

B. Sistem Imun

Sistem imun merupakan sistem yang sangat kompleks dengan berbagai

peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Untuk melaksanakan

fungsi imunitas, di dalam tubuh terdapat suatu sistem limforetikuler. Sistem

ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar di seluruh

tubuh seperti, sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa, timus, sistem saluran

napas, saluran cerna, dan beberapa organ lainnya. Jaringan ini terdiri atas

bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan respons terhadap suatu

rangsangan sesuai sifat dan fungsinya masing-masing (Roitt, 1990).

Konsep imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dengan

kemampuan untuk mengenal suatu zat asing terhadap dirinya, yang

selanjutnya tubuh akan melakukan tindakan dalam bentuk netralisasi,

melenyapkan atau memasukkannya ke dalam proses metabolisme yang dapat

menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan jaringan tubuh sendiri.

Ada atau tidaknya tindakan oleh tubuh (respon imun) tergantung dari

kemampuan sistem limforetikuler untuk mengenali zat asing atau tidak (Roitt,

1990).

Jika tubuh terpapar zat yang dianggap asing, maka akan terjadi dua jenis

respon imun yaitu, respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik.

Meskipun proses kedua respon imun tersebut berbeda, namun telah dibuktikan

bahwa kedua jenis respon tersebut saling meningkatkan efektivitas masing-

masing. Respon imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi antara satu

komponen dengan komponen lain yang terdapat dalam sistem imun. Interaksi

Page 41: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

23

tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa dan memiliki kerja sama

yang erat (Roitt, 1990).

1. Respon Imun Non-spesifik

Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap

dan memiliki respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada

individu yang sehat. Respon imun ini bertindak sebagai lini pertama dalam

menghadapi infeksi dan tidak perlu menerima pajanan sebelumnya.

Bersifat non-spesifik karena tidak ditujukan pada patogen atau mikroba

tertentu, mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas dan mampu

melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial. Respon imun non-

spesifik merupakan imunitas bawaan dan telah berfungsi sejak lahir.

Mekanisme imun non-spesifik untuk mempertahankan diri terhadap

masuknya antigen adalah dengan cara menghancurkan antigen tersebut

melalui proses fagositosis. Sel utama yang berperan dalam proses

fagositosis oleh imunitas non-spesifik adalah sel mononuklear (monosit

dan makrofag) serta sel polimorfonuklear atau granulosit, sel Natural

Killer (NK) dan sel mast. Sel-sel ini berperan sebagai sel yang menangkap

antigen, mengolah, dan selanjutnya mempresentasikannya kepada sel T

yang dikenal sebagai sel penyaji atau APC. Agar terjadi fagositosis, sel-sel

fagositosis tersebut harus berada dalam jarak yang dekat dengan partikel

bakteri, atau partikel bakteri tersebut melekat pada permukaan fagosit.

Untuk mencapai kondisi tersebut maka fagosit harus bergerak menuju

sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau mediator

tertentu yang disebut dengan faktor leukotaktik atau kemotaktik yang

Page 42: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

24

berasal dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrophil, makrofag

atau komplemen yang telah berada di lokasi bakteri (Kresno, 2010).

Selain fagositosis, mekanisme lain dari respon imun non-spesifik

adalah reaksi inflamasi (peradangan). Reaksi ini terjadi akibat

dilepaskannya mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, seperti

histamine yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit, vasoactive amine

yang dilepaskan oleh trombosit, serta anafilatoksin yang berasal

komponen-komponen komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari

mastosit dan basofil. Mediator-mediator ini akan merangsang bergeraknya

sel-sel polymorfonuklear (PMN) menuju lokasi masuknya antigen serta

meningkatkan permiabilitas dinding vaskuler yang mengakibatkan

eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala inilah yang disebut dengan

respons inflamasi akut (Abbas dan Lichtman, 2007).

2. Respon Imun Spesifik

Respon imun spesifik merupakan suatu sistem yang dapat mengenali

antigen atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh. Antigen yang pertama

kali masuk akan diingat oleh sistem imun spesifik dan jika antigen yang

sama masuk kembali dalam tubuh maka antigen tersebut akan dikenal

lebih cepat dan kemudian dihancurkan. Disebut sebagai respon imun

spesifik karena sistem tersebut hanya menghancurkan benda asing yang

sudah ada sebelumnya. Sistem imun spesifik disebut pula dengan sistem

imun yang didapat, dimana sel imun yang berperan penting adalah limfosit

B dan sel limfosit T (Latifah, 2017).

Page 43: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

25

Respon imun ini bertindak sebagai respon imun lini kedua. Respon

imun spesifik diperlukan untuk melawan antigen dari imunitas non-

spesifik. Antigen tersebut merupakan substansi berupa protein dan

polisakarida yang mampu merangsang munculnya sistem kekebalan tubuh

(antibodi). Tubuh kita seringkali dapat membentuk kekebalan dengan

sendirinya. Setelah memiliki kekebalan, tubuh akan kebal terhadap

penyakit tersebut walaupun terinfeksi beberapa kali. Seperti pada campak

atau cacar air, penyakit tersebut biasanya hanya menjangkit manusia sekali

dalam seumur hidupnya. Hal ini terjadi karena tubuh telah membentuk

kekebalan primer. Dimana kekebalan tersebut diperoleh dari B limfosit

dan T limfosit (Kresno, 2010). Respon imun spesifik terdiri dari sistem

spesifik humoral dan seluler.

a. Respon imun spesifik seluler

Dalam imunitas seluler yang berperan adalah limfosit T atau sel T

yang berasal dari sumsum tulang dan dimatangkan dalam kelenjar

timus. Sel T menyerang antigen yang berada di dalam sel. Fungsi

utama sistem imun spesifik seluler adalah untuk pertahanan terhadap

virus, bakteri, jamur dan keganasan di intra seluler (yang sulit

dijangkau oleh antibodi). Sel T bermacam-macam jenisnya,

berdasarkan fungsinya secara umum terdapat tiga golongan utama dari

sel T. terdapat sel T sitotoksik (Tc) yang merupakan sel efektor dari

killing sel, sel T helper (Th) yang dikenal juga sebagai CD4 dan sel T

suppressor (Ts) atau dikenal juga sebagai CD8 (Latifah, 2017).

Page 44: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

26

b. Respon imun spesifik humoral

Dalam imunitas humoral yang berperan adalah B limfosit atau sel

B. dimana fungsi utamanya adalah mempertahankan tubuh terhadap

infeksi bakteri, virus, dan melakukan netralisasi toksin. Dibuat di

sumsum tulang yaitu sel batang yang sifatnya pluripotensi (pluripotent

stem cells) dan dimatangkan di sumsum tulang. Sel B menyerang

antigen yang ada di cairan antar sel. Terdapat 3 jenis sel B yaitu,

limfosit B plasma yang memproduksi antibodi, limfosit B pembelah

yang menghasilkan limfosit dalam jumlah yang banyak secara cepat,

dan limfosit B memori yang mengingat antigen yang pernah masuk ke

tubuh (Latifah, 2017).

Respon imun humoral, diawali dengan diferensiasi sel B menjadi

satu populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibodi spesifik

dalam darah. Pada respon imun humoral juga berlaku respon imun

primer yang membentuk klon sel B memori. Setiap klon limfosit

diprogramkan untuk membentuk satu jenis antibodi spesifik terhadap

antigen tertentu (clonal selection). Antibodi ini akan berikatan dengan

antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat

mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen

tersebut. Agar sel B berdiferensiasi dan membentuk antibodi

diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper), yang oleh sinyal-

sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang dilepaskan oleh

makrofag, merangsang produksi antibodi. Selain oleh sel T-helper,

produksi antibodi juga diatur oleh sel T-penekan (T-supresor),

Page 45: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

27

sehingga produksi antibodi seimbang dan sesuai dengan yang

dibutuhkan (Abbas dan Lichtman, 2007).

3. Fungsi Respon Imun

a. Pertahanan

Fungsi pertahanan menyangkut pertahanan terhadap antigen dari luar

tubuh seperti masuknya mikroorganisme dan parasit ke dalam tubuh.

Terdapat dua kemungkinan yang terjadi akibat hasil pertahanan tubuh

melawan mikroorganisme tersebut yaitu, tubuh mampu melawan dan

terhindar dari penyakit atau sebaliknya (Gunawan, 2013).

b. Homeostatis

Homeostatis adalah keseimbangan yang ideal dalam tubuh yang

berfungsi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dengan cara berinteraksi

dengan seluruh sistem yang terdapat dalam tubuh. Sehingga imunitas

berfungsi untuk menjaga keseimbangan homeostatis agar bekerja

dengan baik (Gunawan, 2013).

c. Perondaan

Fungsi perondaan menyangkut perondaan di seluruh bagian tubuh

terutama ditujukan untuk memantau pengenalan terhadap sel-sel yang

berubah menjadi abnormal melalui proses mutase. Perubahan sel

tersebut dapat terjadi secara spontan atau dapat diinduksi oleh zat-zat

kimia tertentu, radiasi, atau infeksi virus. Fungsi perondaan dari sistem

imun bertugas untuk selalu waspada dan mengenal adanya perubahan-

perubahan dan selanjutnya secara cepat akan membuang hasil yang

baru timbul pada permukaan sel abnormal (Gunawan, 2013).

Page 46: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

28

4. Penyimpangan Sistem Imun

Seperi sistem lainnya dalam tubuh, sistem imun pun dapat

mengalami penyimpangan di seluruh jaringan komunikasi baik berbentuk

morfologis ataupun fungsional. Gangguan morfologis seperti tidak

berkembangnya secara normal kelenjar timus sehingga mengakibatkan

defisiensi pada limfosit T. Sedangkan gangguan fungsional merupakan

perwujudan dari lumpuhnya mekanisme respon imun terhadap suatu

antigen tertentu. Penyimpangan lain dalam mekanisme respon imun dapat

berbentuk sebagai reaksi alergi, anafilaksis ataupun hipersensitifitas tipe

lambat, dimana semua ini terkadang menimbulkan kerugian pada jaringan

tubuh. Hal ini dapat terjadi karena gangguan fungsi pertahanan sistem

imun (Abbas dan Lichtman, 2007).

Gangguan fungsi homeostatis pada sistem imun dapat menimbulkan

kelainan yang dinamakan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan karena

sistem imun melihat konfigurasi dari tubuh sendiri sebagai benda asing,

sehingga respon imun ditujukan kepada jaringan tubuh sendiri dan terjadi

kerusakan. Selain itu jika fungsi perondaan mengalami gangguan maka

akan mengakibatkan tidak bekerjanya sistem pemantauan terhadap

perubahan sel tubuh. Sehingga akhirnya sel abnormal tersebut berkembang

biak diluar kendali yang dapat menimbulkan penyakit yang bersifat ganas

(Gunawan, 2013).

Page 47: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

29

5. Faktor Pengubah Mekanisme Imun

Selain faktor genetik, terdapat beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi mekanisme imun seperti faktor metabolic, lingkungan,

gizi, anatomi, fisiologi, usia dan mikroba (Almatsier, 2009).

a. Faktor Metabolik

Beberapa hormon dapat mempengaruhi respon imun tubuh, seperti

pada keadaan hipoadrenal dan hipotiroidisme yang akan

mengakibatkan menurunnya daya tahan terhadap infeksi. Demikian

pula pada orang-orang yang mendapat pengobatan dengan steroid

sangat mudah mendapat infeksi maupun virus. Steroid akan

menghambat fagositosis, produksi antibodi dan menghambat proses

inflamasi. Hormon kelamin yang masuk ke dalam golongan hormon

steroid seperti andogen, estrogen dan progesterone diduga sebagai

faktor pengubah terhadap respon imun. Hal ini tercermin dari adanya

perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan perempuan yang

mengidap penyakit imun tertentu (Abbas dan Lichtman, 2007).

b. Faktor Lingkungan

Kenaikan angka kesakitan terhadap penyakit infeksi sering terjadi

pada masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Hal ini dapat

disebabkan karena masyarakat dengan tingkatan tersebut lebih banyak

dihadapkan pada bibit penyakit karena buruknya lingkungan

sekitarnya. Menurunnya daya tahan tubuh juga dapat disebabkan

karena buruknya keadaan gizi (Abbas dan Lichtman, 2007).

Page 48: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

30

c. Faktor Gizi

Keadaan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap status imun.

Tubuh membutuhkan enam komponen dasar bahan makanan yang

dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan tubuh.

Keenam komponen tersebut yaitu protein, karbohidrat, lemak, vitamin,

mineral dan air. Gizi yang cukup dan sesuai sangat penting untuk

berfungsinya sistem imun secara normal. Kekurangan gizi penyebab

utama timbulnya imunodefisiensi (Abbas dan Lichtman, 2007).

d. Faktor Anatomi

Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba

biasanya terdapat pada kulit dan selaput lendir yang melapisi bagian

permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tersebut, bertindak sebagai

imunitas alamiah dengan menyediakan suatu rintangan fisik yang

efektif. Dalam hal ini kulit lebih efektif daripada selaput lendir.

Adanya kerusakan pada permukaan kulit atau pada selaput lendir akan

lebih memudahkan timbulnya suatu penyakit (Abbas dan Lichtman,

2007).

e. Faktor Fisiologi

Getah lambung pada umumnya menyebabkan suatu lingkungan

yang kurang menguntungkan untuk sebagian besar bakteri patogen.

Demikian pula dengan air kemih yang normal akan membilas saluran

kemih sehingga menurunkan kemungkinana infeksi oleh bakteri. Pada

kulit juga dihasilkan zat yang besifat bakterisida. Di dalam darah

terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara non-spesifik.

Page 49: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

31

Faktor humoral lainnya adalah properdin dan inferno yang selalu siap

untuk menanggulangi masuknya zat asing (Abbas dan Lichtman,

2007).

f. Faktor Usia

Berhubungan dengan perkembangan sistem imun sudah mulai

dirasa sejak dalam kandungan, maka efektifitasnya juga diawali dari

keadaan yang lemah dan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.

Walaupun demikian tidak berarti pada usia lanjut, sistem imun akan

bekerja secara maksimal. Tetapi sebaliknya, fungsi imun pada usia

lanjut akan mulai menurun dibandingkan dengan orang yang lebih

muda, walaupun tidak mengalami gangguan pada sistem imunnya. Hal

tersebut disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik, secara

umum juga jelas berkaitan dengan menyusutnya kelenjar timus.

Keadaan tersebut akan mengakibatkan perubahan-perubahan respon

imun seluler dan humoral. Pada usia lanjut risiko akan timbulnya

berbagai kelainan yang melibatkan sistem imun akan bertambah,

misalnya risiko menderita penyakit autoimun, penyakit keganasan,

sehingga memudahkan tersinfeksi oleh suau penyakit (Abbas dan

Lichtman, 2007).

g. Faktor Mikroba

Berkembangnya koloni mikroba yang tidak patogen pada

permukaan tubuh, baik diluar maupun didalam tubuh, akan

mempengaruhi sistem imun. Misalnya dibutuhkan untuk membantu

produksi natural antibodi. Flora normal yang tumbuh pada tubuh dapat

Page 50: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

32

pula membantu menghambat pertumbuhan kuman patogen.

Pengobatan dengan antibiotika tanpa prosedur yang benar, dapat

mematikan pertumbuhan flora normal, dan sebaliknya dapat

menyuburkan pertumbuhan bakteri patogen (Abbas dan Lichtman,

2007).

C. Faktor risiko

Berikut faktor risiko penyakit pneumonia pada balita :

1. Usia

Usia merupakan salah satu faktor risiko pada beberapa penyakit. Usia

rentan dalam kehidupan manusia adalah usia balita, dimana sistem imun

pada rentang usia tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan usia

selanjutnya (Khomsan dan Anwar, 2008). Usia yang muda seperti balita

memiliki mekanisme pertahanan tubuh yang belum sempurna, hal ini

menyebabkan balita lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti

influenza dan pneumonia (Utami, 2014).

Berdasarkan penelitian Hartanti et al. (2012) balita yang berusia ≤ 12

bulan mempunyai peluang 3,24 kali untuk mengalami pneumonia

dibandingkan dengan balita berusia ≥ 12 bulan (95% CI: 1,58-6,64).

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Hananto (2004) yang

menyebutkan bahwa anak usia ≤ 12 bulan mempunyai risiko pneumonia

sebesar 2,30 kali (95% CI : 1,59-3,33) dibandingkan dengan responden

yang berusia > 12 bulan.

Page 51: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

33

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin atau seks menurut Hananto (2004) adalah perbedaan

antara perempuan dan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir.

Dalam program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(P2 ISPA) dijelaskan bahwa laki-laki adalah faktor risiko yang

mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004).

Adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan.

Perempuan memiliki hormone 17 β-estradiol yang akan menstabilisasi

dan meningkatkan reaksi imunitas bila terjadi infeksi dengan cara

mengeluarkan mediator inflamasi yang sangat berguna ketika terjadi

respon inflamasi saat terjadi infeksi. Sedangkan hormon testosteron pada

laki-laki memiliki sedikit aktivitas untuk menghambat pengeluaran

interleukin sehingga akan mengganggu respon inflamasi ketika terjadi

infeksi (Falagas, 2007)

Hal ini didukung oleh hasil penelitian Anwar dan Dhamayanti (2014)

didapatkan hasil bahwa risiko pneumonia meningkat secara bermakna

pada kelompok balita laki-laki (OR=1,11, 95% CI:1,04-1,192). Hasil

penelitian Rasyid (2013) mengatakan bahwa jenis kelamin laki-laki lebih

berisiko 2,76 kali dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan (95%

CI: 1,82-4,17).

Sunyantaningkamto et al. (2004) mengatakan bahwa anak laki-laki

1,5 kali lebih berisiko dibandingkan anak perempuan (OR= 1,47, 95% CI:

1,06-2,04). Dikatakan, hal ini dapat terjadi karena diameter saluran

pernafasan anak laki-laki lebih kecil dibandingkan dengan anak

Page 52: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

34

perempuan atau adanya perbedaan dalam daya tahan tubuh antara anak

laki-laki dan perempuan.

3. Status gizi

Status gizi merupakan keseimbangan antara asupan dan kebutuhan

zat gizi yang diperlukan tubuh untuk tumbuh kembang terutama untuk

anak balita, aktivitas, pemeliharan kesehatan, dan penyembuhan bagi

yang menderita sakit serta proses biologis lainnya di dalam tubuh

(Depkes RI, 2008).

Status gizi balita diukur berdasarkan umur, Berat Badan (BB), dan

Tinggi Badan (TB). Variabel BB dan TB tersebut disajikan dalam bentuk

tiga indikator antropometri yaitu berat badan menurut umur (BB/U),

tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB). Gizi kurang dan gizi buruk adalah ststus gizi yang didasarkan

pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) (Kemenkes RI, 2011).

Berdasarkan KMK nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang

standar antopometri penilaian status gizi pada anak adalah sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Penetapan Status Gizi pada Balita

Indeks Kategori

Status Gizi

Ambang Batas (Z-Score)

Berat Badan menurut Gizi Buruk ≤ -3 SD

Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan ≤ -2 SD

Anak umur 0-60 bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD

Gizi Lebih >2 SD

Sumber : Kemenkes,2011

Page 53: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

35

Dalam penelitian Efni (2014) didapatkan hasil adanya hubungan

yang bermakna antara status gizi dengan kejadian pneumonia (p value=

0,022; OR= 9,1; 95% CI: 1,03-8). Hal ini sejalan dengan penelitian Utami

(2014) yang menyebutkan bahwa balita dengan status gizi kurang

berisiko 2,98 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita dengan

status gizi baik.

Status gizi kurang dan gizi buruk dapat menyebabkan gangguan

imunitas. Gangguan tersebut berupa penurunan imunitas yang disebabkan

oleh menurunnya aktivitas leukosit untuk memfagosit atau membunuh

agen penyebab pneumonia. Selain itu kekurangan protein juga dapat

menyebabkan atrofi timus, dimana timus adalah organ yang memproduksi

sel limfosit yang berperan dalam pertahanan tubuh dari benda asing

(Gozali, 2010).

4. Berat Badan Lahir Rendah

BBLR atau Berat Badan Lahir Rendah adalah bayi dengan berat lahir

kurang dari 2500 gram tanpa memperhitungkan masa gestasi

(Depkes,2005). BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan

mortalitas, morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi, anak, serta

memberikan dampak panjang untuk kehidupan dimasa depan (Sembiring,

2017).

Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematian yang lebih besar

dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan-

bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang

Page 54: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

36

sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama

pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya (Hartanti et al., 2012).

BBLR merupakan kasus prematuritas, bayi lahir dengan prematuritas

menyebabkan immaturitas sistem imun berupa penekanan pembentukan

gamma globulin oleh sistem limfoid. Selain itu immaturitas sistem imun

akan menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa penurunan

aktivitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk sitokin

sehingga terjadilah kegagalan sistem kekebalan humoral (Bratawidjaja,

2006).

Dalam penelitian Rasyid (2013) didapatkan hasil OR=1,62 (95% CI:

1,09-2,41) yang berarti terdapat hubungan antara BBLR dengan kejadian

pneumonia. Begitupula dalam penelitian Utami (2014) menyatakan

bahwa bayi yang lahir dengan berat badan <2500 gram lebih berisiko 4,4

kali terkena pneumonia dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan

berat badan >2500 gram (OR=4,4, 95% CI: 1,14-16,86).

5. Pemberian ASI Eksklusif

Pada saat bayi baru lahir, secara alamiah mendapatkan kekebalan

tubuh dari ibunya melalui plasenta. Tetapi kadar zat tersebut akan cepat

turun setelah kelahiran bayi. Sedangkan selama periode bayi baru lahir

hingga berusia 4 bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri

secara sempurna. Sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan

tubuhnya sendiri menjadi lambat dan akan terjadi kesenjangan.

Kesenjangan daya tahan tubuh dapat diatasi dengan pemberian ASI

(Utami, 2001).

Page 55: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

37

ASI eksklusif adalah tidak memberikan makanan atau miniman lain

(termasuk air putih) selain menyusui (kecuali obat-obatan dan vitamin

atau mineral tetes) (Kemenkes RI, 2014). Pedoman internasional yang

menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama

didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup

bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI mengandung nutrisi,

antioksidan, hormon dan antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk

bertahan dan berkembang serta sebagai sistem kekebalan tubuh anak yang

baik (UNICEF/WHO, 2006).

ASI mengandung nutrisi esensial yang cukup untuk bayi walaupun

ibu dalam kondisi kurang gizi sekalipun, dan mampu mengatasi infeksi

melalui sel fagosit (pemusnah) dan immunoglobulin (antibodi). ASI juga

mengandung komponen lain yang memberi efek perlindungan, seperti

sitokin, laktoferin, lisozim, dan musin (IDAI, 2013)

Menurut Annah et al. (2012), tidak memberikan ASI eksklusif

merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak usia 6-59 bulan

dengan nilai OR= 2,49 (95% CI: 1,20-5,17). Begitu pula dengan

penelitian Hartanti et al. (2012) pada balita yang tidak mendapatkan ASI

eksklusif mempunyai peluang mengalami pneumonia 4,47 kali dibanding

balita yang mendapatkan ASI eksklusif (95% CI: 1,68-11,80).

Penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Mokoginta et al. (2013)

yang menjelaskan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

berisiko 4,47 kali mengalami pneumonia 95% CI: 1,64-12,1). Oleh sebab

Page 56: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

38

itu, pemberian ASI eksklusif merupakan cara yang baik untuk mencegah

terjadinya penyakit pneumonia dan lainnya.

6. Riwayat Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan tubuh

secara aktif terhadap suatu antigen. Dengan imunisasi atau pemberian

vaksin, tubuh akan mengaktifkan sistem imun spesifik yang berperan

untuk memberikan kekebalan tubuh terhadap satu jenis agen infeksi

melalui mekanisme memori. Adanya sel memori akan memudahkan

pengenalan antigen pada pajanan yang kedua, sehingga jika seseorang

terpajan antigen yang sama tidak akan terjadi penyakit. (Judarwanto,

2009).

Imunisasi membantu mengurangi kematian anak dari pneumonia

dengan dua cara. Pertama, vaksinasi yang membantu mencegah anak-

anak dari infeksi yang berkembang langsung yang menyebabkan

pneumonia, seperti Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi

yang dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia

sebagai komplikasi dari penyakit seperti campak dan pertussis

(UNICEF/WHO, 2006).

Status Imunisasi balita di Indonesia dapat dilihat berdasarkan

lengkap atau tidaknya imunisasi, baik imunisasi dasar maupun imunisasi

lanjutan yang diberikan pada balita (Kemenkes, 2015). Berikut jadwal

imunisasi pada balita :

Page 57: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

39

Tabel 2.2 Jadwal Imunisasi pada Balita

Usia Jenis Vaksin

0-7 hari HB 0

1 bulan BCG, Polio 1

Imunisasi

Dasar

2 bulan DPT-HB-Hib 1,

Polio 2

Jadwal

Imunisasi

3 bulan DPT-HB-Hib 2,

Polio 3

4 bulan DPT-HB-Hib 3,

Polio 4

9 bulan Campak

Imunisasi 18

bulan

DPT-HB-Hib

Lanjutan 24

bulan

Campak

Sumber : Kemenkes, 2015

Hasil penelitian Rasyid (2013) menemukan bahwa anak balita yang

tidak mendapatkan imunisasi lengkap (tidak imunisasi campak dan DPT)

berpotensi untuk terkena campak yang selanjutnya akan berpotensi

menjadi pneumonia (OR= 1,61, 95% CI: 1,02-2,54). Penelitian yang

dilakukan Utami (2014) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara

riwayat imunisasi dengan kejadian pneumonia (p value : 0,007 OR:4,4;

95% CI: 1,15-16,89).

Balita yang telah mendapatkan imunisasi campak diharapkan

terhindar dari penyakit campak dan pneumonia yang merupakan

komplikasi yang paling sering terjadi pada anak yang mengalami

penyakit campak. Begitupun dengan vaksin DPT. Pemberian vaksin DPT

dapat mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai

Page 58: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

40

komplikasi dari pertusis. Maka dari itu imunisasi campak dan DPT sangat

penting untuk mencegah terjadinya penyakit pneumonia (UNICEF/WHO,

2006).

7. Konsumsi Vitamin A

Terdapat dua jenis kapsul vitamin A, yaitu kapsul biru (dosis

100.000 IU) diberikan untuk bayi berumur 6-11 bulan dan kapsul merah

(dosis 200.000 IU) untuk anak umur 12-59 bulan serta ibu nifas.

Pemberian kapsul vitamin A dilakukan secara serentak. Untuk bayi usia

6-11 bulan Februari atau Agustus. Dan untuk anak balita usia 12-59 bulan

pada bulan Februari dan Agustus (Kemenkes RI, 2016). Berikut sasaran

suplementasi vitain A :

Tabel 2.3 Sasaran Sumplementasi Vitamin A

Sasaran Dosis Frekuensi

Bayi 6-11 blan Kapsul Biru (100.000 SI) 1 kali

Balita 12-59 bulan Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali

Ibu Nifas (0-42 hari) Kapsul Merah (200.000 SI) 2 kali

Sumber : Depkes RI, 2009

Pemberian vitamin A kepada ibu nifas ditujukkan untuk

meningkatkan kandungan vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6

bulan. Kapsul vitamin A merah dikonsumsi oleh ibu nifas sebanyak 2

kali. Kapsul pertama diberikan untuk dikonsumsi segera setelah

melahirkan dan kapsul kedua diminum 24 jam sesudah konsumsi kapsul

pertama (Depkes RI, 2009)

Kemenkes RI (2016) mengatakan bahwa kekurangan vitamin A

dalam tubuh yang berlangsung lama dapat menimbulkan masalah

kesehatan yang berdampak pada meningkatnya risiko kesakitan dan

Page 59: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

41

kematian pada balita, hal ini disebabkan karena vitamin A memiliki peran

dalam pembentukan, produksi, dan pertumbuhan sel darah merah, sel

limfosit, antibodi, juga integritas sel epitel pelapis tubuh.

Kekurangan vitamin A akan menyebabkan integritas mukosa epitel

terganggu dikarenakan hilangnya sel goblet penghasil mukus. Hal

tersebut berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap patogen

(Almatsier, 2009). Selain itu, vitamin A juga merupakan antioksidan yang

menangkal radikal bebas dan dapat memperbaiki jaringan/sel yang telah

dirusak oleh radikal bebas. Kekurangan antioksidan dapat menyebabkan

supresi imun yang mempengaruhi mediasi sel T dan respon imun adaptif (

Brambilla D. et al., 2008). Retinol pada vitamin A juga berpengaruh pada

diferensiasi limfosit B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral.

Hasil penelitian Utami (2014) di Lampung, mengatakan bahwa anak

yang tidak mendapatkan vitamin A berisiko 2,23 kali terkena pneumonia

dibandingkan dengan anak yang diberikan vitamin A (OR= 2,23, 95% CI:

1,01-4,95). Menurut Kartasasmita (2010), anak yang tidak mendapatkan

vitamin A memiliki risiko meninggal akibat pneumonia lebih tinggi, dan

anak yang menderita pneumonia yang tidak pernah mendapatkan vitamin

A juga terbukti lebih lama mengalami sakit dibandingkan penderita

pneumonia yang mendapatkan suplemen vitamin A.

8. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan

Kesehatan Perumahan, luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak

Page 60: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

42

dianjurkan untuk digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruang tidur

kecuali anak usia 5 tahun.

Kepadatan hunian dalam rumah menurut Kasjono (2011) adalah satu

orang minimal menempati luas rumah 9 m2 agar dapat mencegah

penularan penyakit termasuk penularan penyakit ISPA dan juga dapat

melancarkan aktivitas di dalamnya. Keadaan tempat tinggal yang padat

dapat meningkatkan faktor polusi udara di dalam rumah (Maryunani,

2010).

Luas rumah yang sempit dengan jumlah anggota keluarga yang

banyak menyebabkan rasio penghuni dengan luas rumah tidak seimbang.

Kepadatan hunian ini memungkinkan penularan bakteri atau virus dari

penghuni satu ke penghuni lainnya (Yuwono, 2008).

Selain itu, kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu

ruangan yang disebabkan oleh pengeluaran panas tubuh yang akan

meningkatkan kelembaban akibat uap air dari keringat dan pernafasan

tersebut. Bangunan yang sempit dan tidak sesuai dengan jumlah

penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya oksigen dalam

ruangan. Dengan demikian, semakin banyak jumlah penghuni rumah

maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas atau

bakteri. Dengan banyaknya penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan

menurun dan diikuti oleh peningkatan CO ruangan dan dampak dari

peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah

(Yusup dan Sulistyorin, 2005).

Page 61: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

43

Berdasarkan analisa multivariat di Kabupaten Kubu Raya yang

dilakukan Sartika et al (2011). Didapatkan hasil bahwa terdapat

hubungan bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian

pneumonia. Responden yang memiliki hunian tidak memenuhi syarat

berisiko 16,335 kali lebih besar tertular pneumonia dibandingkan dengan

responden yang memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat (95%

CI: 2,88-77,79).

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian Utami (2014)

yang menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara kepadatan hunian

dengan kejadian pneumonia (OR: 3,55, 95%CI: 1,54-8,21).

9. Ventilasi Udara

Ventilasi udara memiliki fungsi untuk menjaga agar aliran udara

dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan Oksigen (O2) yang

diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga. Kurangnya ventilasi udara

akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah dan kadar karbon

dioksida (CO2) yang bersifat racun bagi penghuni menjadi meningkat.

Selain itu ventilasi udara juga berfungsi untuk membebaskan udara ruang

dari bakteri patogen karena akan terjadi aliran udara yang terus menerus

serta dapat menjaga kelembaban udara tetap optimum (Notoatmodjo,

2007).

Ventilasi udara berkaitan dengan kelembaban rumah, yang

mendukung daya hidup virus maupun bakteri. Kelembaban dalam

ruangan rumah yamg terlalu rendah ataupun tinggi dapat menyebabkan

meningkatnya pertumbuhan mikroorganisme (Amin, 2014). Ruangan

Page 62: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

44

dengan ventilasi yang tidak baik, jika dihuni dapat menyebabkan

kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit

ataupun pernafasan (Yuwono, 2008). Selain itu, ventilasi udara yang

cukup dan terbuka akan menyebabkan masuknya sinar matahari ke dalam

rumah.

Dimana sinar matahari dapat membunuh virus atau bakteri, sehingga

akan mengurangi risiko terjadinya pneumonia (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang menyebutkan rumah harus

dilengkapi dengan ventilasi minimal 10% luas lantai dengan sistem

ventilasi silang. Keadaan ventilasi udara yang kurang akan berpengaruh

terhaap fungsi fisiologis pernafasan terutama bayi dan balita.

Berdasarkan penelitian Hartanti et al. (2012) dikatakan bahwa balita

yang tinggal di rumah yang tidak memiliki ventilasi mempunyai peluang

2,5 kali terkena pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di

rumah yang memiliki ventilasi (OR= 2,5, 95% CI: 1,23-5,09). Hal ini

sejalan dengan penelitian Utami (2014), didapatkan hasil OR=2,61 (95%

CI: 1,54-8,21) yang berarti ventilasi udara memiliki hubungan bermakna

dengan kejadian pneumonia.

10. Jenis Lantai

Lantai harus cukup kuat untuk manahan beban di atasnya. Bahan

untuk lantai yang biasa digunakan yaitu ubin, kayu plesteran, atau bambu

dengan syarat-syarat tidak licin, stabil tidak lentur waktu diinjak,

permukaan lantai harus rata dan mudah dibersihkan (Dinata, A. et al.,

Page 63: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

45

2014). Lantai yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan pedoman

teknis penilaian rumah sehat ialah jenis lantai yang kedap air.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Padmonobo et al (2012)

lantai yang tidak kedap air (jenis lantai tanah) dapat mempengaruhi

kelembaban di dalam rumah dan kelembaban dapat mempengaruhi

berkembang biaknya kuman penyebab penyakit. Lantai rumah yang

terbuat dari tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi

berdebu. Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi

udara dalam rumah (indoor air pollution).

Penelitian Anggiani et al (2016) menyebutkan bahwa balita yang

tinggal di rumah dengan jenis lantai rumah tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko 4,265 kali lebih tinggi menderita pneumonia

dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai

rumah memenuhi syarat (p value : 0.009, OR: 4.265, 95% CI: 1.531-

11.886). hal tersebut sejalan dengan penelitian Padmonobo et al (2012)

yang mengatatakan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan lantai

tidak permanen mempunyai risiko menderita pneumonia 2,635 kali lebih

besar dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan lantai

permanen (p value: 0.008, OR: 2.635, 95% CI: 1.341-5.178).

11. Jenis Dinding

Dinding rumah masyarakat di Indonesia terdiri dari berbagai jenis,

ada yang terbuat dari anyaman bambu, papan kayu, dan bersifat

permanen (plester). Untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman

bambu atau papan kayu masih dapat ditembus oleh udara, secara

Page 64: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

46

penghawaan akan bagus namun dapat meningkatkan kelembaban ruang

dan tidak terjamin dari segi kebersihan. Debu yang terbawa masuk dan

menempel pada dinding dapat menjadi media yang baik untuk

mikroorganisme menempel dan berkembang, sehingga berpotensi

menimbulkan gangguan pada kesehatan terutama pernapasan (Anthony,

2008; Sinaga, 2012). Konstruksi dinding yang baik adalah dinding

rumah yang kedap air serta mudah dibersihkan, konstruksi kuat, serta

tidak berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan.

Dinding yang memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan pedoman

teknis penilaian rumah sehat adalah dinding yang permanen dan kedap

air. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Padmonobo et

al (2012) yaitu dinding yang tidak memenuhi syarat akan mempengaruhi

kelembaban dalam ruangan. Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat

menyebabkan kelembaban dalam ruangan menjadi tidak normal.

Kelembaban tidak normal ini akan menjadi prakondisi pertumbuhan

kuman maupun bakteri yang dapat menimbulkan penyakit bagi

penghuninya.

Padmonobo et al (2012) mendapatkan hasil OR: 3.034 (95% CI:

1.490-6.177) dengan nilai p value: 0.003 yang menunjukan bahwa

terdapat hubungan antara jenis dinding dengan penyakit pneumonia pada

balita. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Juni et al. (2016) yang

mengatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara jenis dinding

dengan kejadian pneumonia pada balita (OR: 6.6, 95% CI: 1.79-24.57, p

value: 0.004).

Page 65: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

47

12. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja

yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif (Kepmenkes

RI No. 1405 tahun 2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan

Kerja Perkantoran dan Industri). Menurut Mukono (2000) bahwa cahaya

yang cukup kuat untuk penerangan di dalam rumah merupakan kebutuhan

manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya

buatan dan cahaya alami.

Pencahayaan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke

dalam ruangan melalaui jendela, celah-celah atau bagian ruangan yang

terbuka. Pencahayaan alami siang hari dikatakan baik apabila pada pukul

08.00 hingga pukul 16.00 waktu setempat, terdapat cukup banyak cahaya

yang masuk ke dalam ruangan. Serta distribusi cahaya di dalam ruangan

cukup merata atau tidak menimbulkan kontras yang mengganggu (SNI-

03-2396-2001).

Kebutuhan kadar pencahayaan yang dipersyaratkan menurut

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara dalam Rumah yaitu minimal 60 Lux.

Pemenuhan kebutuhan cahaya untuk penerangan alamiah sangat

ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Nilai pencahayaan yang terlalu

tinggi akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan.

Menurut penelitian Padmonobo et al (2012), rumah yang sehat

memerlukan pencahayaan (cahaya sinar matahari) yang cukup, tidak

kurang dan tidak lebih. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah

Page 66: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

48

terutama cahaya alami matahari selain menyebabkan kurang nyaman juga

merupakan tempat atau media yang baik untuk hidup dan berkembang

biaknya penyakit. Cahaya sangat penting selain berguna untuk

mengurangi kelembaban dan dapat membunuh bakteri-bakteri patogen

seperti bakteri tuberculosis, penyakit mata dan penyakit saluran

pernapasan.

Dalam penelitian Padmonobo et al (2012) dikatakan bahwa balita

yang tinggal di rumah dengan pencahayaan kamar buruk mempunyai

risiko menderita pneumonia 2,202 kali lebih besar dibandingkan dengan

balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan baik (OR: 2.202, 95%

CI: 1.130-4.292, p value: 0.030). Hal ini sesuai dengan penelitian

Pangandaheng et al. (2013) yang mengatakan bahwa anak balita yang

tinggal di rumah dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat

memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 2,82 kali lebih besar

dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan pencahayaan

yang memenuhi syarat (p value: 0,04; OR: 2,82; 95% CI: 1.01-7.86).

13. Suhu

Suhu merupakan derajat panas dan dingin udara pada waktu dan

tempat tertentu (Ahmad, 2018). Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan RI No.1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman

Penyehatan Udara dalam Rumah menetapkan syarat suhu dalam ruangan

yang baik adalah 18ºC-30 ºC. Perubahan suhu udara dalam rumah

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ventilasi yang tidak memenuhi

syarat, kepadatan hunian, dan bahan serta struktur bangunan. Suhu dalam

Page 67: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

49

ruang rumah yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menyebabkan

gangguan kesehatan.

Suhu udara dalam rumah yang terlalu tinggi dapat memungkinkan bakteri

tumbuh dan berkembangbiak dengan baik di dalam rumah. seperti

Streptococcus pneumoniae yang mampu tumbuh secara optimal pada

suhu 31ºC-37ºC.

Penelitian Darmawati et al. (2016) mengatakan terdapat hubungan

antara suhu dengan insiden pneumonia pada anak balita (p value: 0.00;

OR: 12.727; 95% CI: 4.581-35.362). Hal ini sejalan dengan penelitian

Sari et al. (2014) yang menunjukan bahwa anak balita yang tinggal di

rumah dengan suhu rumah tidak memenuhi syarat memiliki risiko terkena

pneumonia sebesar 12,5 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang

tinggal di rumah dengan suhu memenuhi syarat ( p value: 0.01; OR:

12.571; 95% CI: 1.535-102.970).

14. Kelembaban Udara

Kelembaban merupakan persentase kandungan uap air yang ada di

udara. Kelembaban sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan

perkembangbiakan faktor etiologi pneumonia yang berupa virus, bakteri

dan jamur (Suryani, 2015). Patogen penyebab pneumonia tersebut

membutuhkan suhu dan kelembaban yang optimal untuk

berkembangbiak. Pada kelembaban tertentu memungkinkan

pertumbuhannya terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati.

Begitupula sebaliknya, patogen tersebut dapat tumbuh dan

Page 68: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

50

berkembangbiak dengan sangat cepat apabila kelembaban udara terlalu

tinggi taupun terlalu rendah (Padmonobo et al., 2012).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1077/

Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Rumah

menetapkan syarat kelembaban yaitu antara 40% - 60% Rh. Kelembaban

berkaitan dengan ventilasi, karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan

mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga

kelembaban udaranya tinggi.

Berdasarkan penelitian Padmonobo et al. (2012) kelembaban kamar

balita merupakan faktor risiko yang dominan terhadap kejadian

pneumonia pada balita (OR: 2.671, 95% CI: 1.061-6.724, p value: 0.037).

Begitu pula dengan penelitian Kusumawati et al. (2015) mengatakan

bahwa balita yang tinggal dalam hunian yang lembab memiliki risiko

sebesar 3,231 kali mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita

yang tinggal di hunian tidak lembab.

15. Status Merokok Anggota Keluarga

Bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan

gangguan kesehatan kepada perokok saja, namun juga berdampak pada

orang-orang disekitarnya yang tidak merokok seperti bayi, balita, anak-

anak dan ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif karena ada anggota

keluarga mereka yang merokok di dalam rumah (Sartika et al., 2011).

Dari sebatang rokok akan dihasilkan asap samping 2 kali lebih

banyak dari asap utama. Asap samping tersebut yang kemudian akan

mencemari lingkungan rumah dan terhirup oleh anggota keluarga

Page 69: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

51

termasuk bayi dan balita. Semakin sering menghisap asap rokok maka

akan semakin rentan terkena infeksi karena asap tersebut mengandung zat

yang dapat menurunkan kekebalan tubuh (WHO,2010).

Satu batang rokok yang dibakar akan menghasilkan sekitar 5000 mg

gas (92%) dan bahan-bahan partikel padat (8%) yang berupa droplet

aerosol cair dan partikel tar padat submikroskopik. Asap rokok

mengandung ribuan komponen kimia, termasuk 1.015 spesies reaktif

dalam fase gas, khususnya oksida nitrogen (NO), oksidan yang dihasilkan

tembakau menurunkan jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat

dalam sel paru-paru. Oksidan dalam asap rokok mempunyai jumlah yang

cukup untuk memainkan peranan yang besar untuk terjadinya kerusakan

saluran nafas. Oksidan asap tembakau menghabiskan antioksidan

intraseluler dalam sel paru (in vivo) melalui mekanisme yang dikaitkan

terhadap tekanan oksidan (Britton dan Edwards, 2007)

Asap rokok dapat menurunkan fungsi silia, merusak sel epitel bersilia

yang akan diubah menjadi sel-sel skuamosa, dan menurunkan sistem

imunitas humoral/seluler (Sunyataningkamto et al., 2004). Menurut

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003), sistem imunitas humoral

sangat berperan dalam mekanisme pertahanan paru (saluran napas atas).

Berdasarkan penelitian Annah et al. (2012) didapatkan hasil bahwa

balita dengan anggota keluarga yang merokok berisiko terkena

pneumonia 5,31 kali dibandingkan dengan balita yang anggota

keluarganya tidak merokok OR = 5,31 (95% CI: 2,42-11,65). Begitupun

dalam penelitian Hartanti et al. (2012) yang menyebutkan adanya

hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian

pneumonia pada balita dengan nilai OR= 2,53 (95% CI: 1,27-5,04).

Page 70: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

52

D. Kerangka Teori

Sumber : (Khomsan dan Anwar, 2008;Hartanti, 2011; Falagas, 2007; Bratawidjaja, 2006;

Judarwanto, 2009; Brambilla, D. et al., 2008; Almatsier, 2009; Sunyataningkamto, 2004;

Yuwono, 2008; Yusup dan Sulistyorin, 2005)

Pneumonia

Faktor Lingkungan :

Kepadatan Hunian

Ventilasi Udara

Jenis Lantai

Jenis Dinding

Pencahayaan

Suhu

Kelembaban Udara

Anggota Keluarga Merokok

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Karaktristik Balita :

Usia

Jenis Kelamin

Status Gizi

Berat Badan Lahir Rendah

Pemberian ASI Eksklusif

Riwayat Imunisasi

Konsumsi Vitamin A

Page 71: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

53

Dari kerangka teori diatas dapat dijelaskan bagaimana mekanisme

variabel independen (usia, jenis kelamin, BBLR, status gizi, ASI eksklusif,

riwayat imunisasi, pemberian vitamin A, status merokok keluarga, ventilasi udara

dan kepadatan hunian) dapat menjadi risiko terjadinya pneumonia (variabel

dependen).

Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa usia, jenis kelamin, BBLR, ASI

eksklusif, riwayat imunisasi, pemberian vitamin A, dan status gizi akan

menyebabkan gangguan fungsi imunitas sehingga host menjadi rentan atau

terkena pneumonia. Pada usia balita sistem imunitas yang terbentuk belum

sempurna. Pada balita sebenarnya sudah terdapat sel limfosit T (sistem imun

seluler) namun, sel T yang ada berupa sel T naif, dimana sel tersebut tidak akan

merespon terhadap suatu paparan antigen tertentu. Selain itu pada balita kadar IgG

(sebagai respon antibodi) belum bekerja optimal. Sehingga mengakibatkan respon

imunitas pada saluran pernafasan juga tidak optimal dan terjadinya infeksi.

Jenis kelamin mempengaruhi imunitas host karena terdapat perbedaan

humoral antara laki-laki dan perempuan. Perempuan memiliki hormon yang akan

menstabilisasi dan meningkatkan reaksi imunitas bila terjadi infeksi yaitu dengan

cara mengeluarkan mediator inflamasi. Sedangkan laki-laki memiliki hormon

testosteron yang justru menghambat dikeluarkannya interlukein, hal tersebut akan

mengganggu respon inflamasi ketika terjadi infeksi.

Bayi dengan BBLR mwemiliki immaturitas sistrm imun berupa

penekanan pembentukan gamma globulin oleh sistem limfoid. Selain itu,

immaturitas sistem imun akan menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa

Page 72: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

54

penurunan aktivitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk sitokin

sehingga terjadilah kegagalan sistem kekebalan humoral.

Dalam ASI terdapat sel-sel penting seperti leukosit, makrofag, neutrophil

yang berguna untuk sistem imun (terutama proses fagosit atau pemusnahan sel

infeksius). Selain itu terdapat juga faktor protektif yang terlarut dalam ASI seperti

enzim lisozim, laktoferin, sitokin, dan protein yang dapat mengikat B12, faktor

bifdus serta enzim-enzim dan antioksidan.

Riwayat imunisasi yang dimaksud dalam variabel ini adalah imunisasi

campak dan DPT, karena penyakit-penyakit tersebut akan menyebabkan balita

terserang pneumonia. Pemberian imunisasi merupakan pemberian antigen pada

tubuh. Balita tidak akan menjadi sakit karena antigen tersebut dilemahkan atau

dimatikan. Dengan pemberian imunisasi/antigen tersebut, akan memicu system

imun seluler dan humoral yang akan mengingat antigen tersebut. Sehingga jika

suatu hari nanti terdapat antigen yang serupa menyerang tubuh balita, balita tidak

akan mengalami sakit tersebut.

Vitamin A merupakan zat gizi mikro yang mempunyai peranan penting

dalam pemeliharaan sel epitel (diferensiasi sel) terutama sel goblet yang dapat

mengeluarkan mukus/lendir. Bakteri atau virus yang masuk ke tubuh akan

diserang dan dikeluarkan melalui mukus sebagai bentuk pertahanan tubuh.

Gizi kurang/buruk akan mempengaruhi aktivitas leukosit untuk

memfagosit/membunuh agen pneumonia. Selain itu gizi kurang/buruk dapat

menyebabkan atrofi timus (penyusutan) akibat kekurangan protein. Timus

berfungsi untuk pematangan sel T yang nantinya digunakan untuk melawan

infeksi. (imunitas seluler).

Page 73: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

55

Selain itu, asap rokok juga mempengaruhi imunitas. Asap rokok

mengandung zat berbahaya seperti nikotin, tar, CO, NO, dsb. Zat-zat tersebut

merupakan oksidan yang dihasilkan dari tembakau. Oksidan tersebut akan

menurunkan jumlah antioksidan intraseluler yang terdapat dalam sel paru-paru.

Selain itu bahan-bahan berbahaya tersebut mampu menurunkan poliverasi limfosit

T dan limfosit B yang mengakibatkan menurunnya produktifitasantibodi protektif

dalam memperkuat system imun (mempengaruhi system imun melawan respon

inflamasi).

Sedangkan faktor lingkungan hunian saling berkaitan. Pencahayaan,

ventilasi udara, kepadatan hunian, akan mempengarhi suhu dan kelembaban

udara. Suhu yang tinggi dan udara yang lembab dapat memicu tumbuhnya bakteri

atau virus penyebab pneumonia. Jenis lantai dan jenis dinding pun akan

menyebabkan kelembaban udara. Kelembaban udara disebabkan karena

penguapan cairan tubuh dari kulit ataupun pernafasan. Semakin padat hunian

maka pengeluaran panas tubuh pun semakin besar, begitupula jika disertai

ventilasi yang kurang maka tidak akan ada sirkulasi udara sehingga kelembaban

meningkat. Pencahayaan yang terlalu tinggi pun akan mempengaruhi suhu yang

akan berakibat pada kelembaban udara. Sedangkan pencahayaan sendiri

dipengaruhi oleh ventilasi udara. Ventilasi yang baik akan menyebabkan

pencahayaan yang cukup.

Page 74: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

56

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko apa yang

berhubungan dengan penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas

Pamulang Tangerang Selatan tahun 2018. Faktor yang diteliti terkait dengan

kejadian pneumonia yaitu terdiri dari usia, jenis kelamin, BBLR, status gizi,

ASI eksklusif, riwayat imunisasi, dan konsumsi vitamin A, serta faktor

Pneumonia

Karakteristik Balita

Usia

Jenis Kelamin

BBLR

Status Gizi

Riwayat Imunisasi

Konsumsi Vitamin A

ASI Eksklusif

Faktor Lingkungan

Ventilasi Udara

Kepadatan Hunian

Pencahayaan

Suhu

Kelembaban Udara

Status Merokok

Anggota Keluarga

Bagan 3.1 Kerangka Konsep

Page 75: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

57

ventilasi udara, kepadatan hunian, pencahayaan, suhu, kelembaban udara,

dan status merokok anggota keluarga. Variabel independen yang diambil

merupakan faktor risiko yang memiliki hubungan terhadap kejadian

pneumonia berdasarkan penelitian sebelumnya. Untuk faktor jenis lantai dan

jenis dinding rumah tidak diteliti. Hal ini disebabkan karena jika dilihat

keadaan rumah masyarakat di wilayah kerja puskesmas pamulang memiliki

jenis lantai dan jenis dinding yang sama, sehingga data yang dihasilkan

dapat bersifat homogen.

Page 76: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

58

B. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

1 Pneumonia Infeksi saluran pernafasan.

Ditetapkan oleh dokter puskesmas dan

di register dinyatakan sebagai

penderita pneumonia dalam buku

MTBS

Telaah dokumen Register

MTBS

pasien

0 : Sakit pneumonia

1 : Bukan sakit pneumonia

Ordinal

2 Status gizi Keadaan status gizi balita yang

dihitung dari berat badan (kg) per usia

(bulan) balita (BB/U) berdasarkan

formula MTBS

Wawancara Kuesioner 0 : Gizi buruk-kurang (BB/TB

≤ -3 SD s/d ≤ -2 SD)

1 : Gizi baik-lebih ( BB/TB –

2SD s/d > 2 SD)

(Kemenkes RI, 2011)

Ordinal

3 Usia Lama hidup anak yang dihitung sejak

lahir sampai survei dilakukan, dihitung

dalam bulan

Telaah dokumen Kuesioner 0 : ≤ 12 bulan

1 : 13-59 bulan

Ordinal

4 Jenis kelamin Perbedaan antara laki-laki dan

perempuan berdasarkan ciri fisik

biologi yang tidak dapat ditukar

Telaah dokumen Kuesioner 0 : Laki-laki

1 : Perempuan

Nominal

5 Berat badan

lahir

Berat badan lahir bayi sewaktu

dilahirkan

Diketahui dari catatan pasien

Telaah dokumen Kuesioner 0 : BBLR (≤ 2500 gram)

1 : Tidak BBLR (>2500 gram)

Ordinal

6 Riwayat

Imunisasi

Lengkap tidaknya anak mendapatkan

imunisasi Campak dan DPT sesuai

dengan usianya

Telaah dokumen

dan wawancara

Kuesioner 0 : Tidak lengkap, jika salah

satu imunisasi campak / DPT

tidak terpenuhi (sesuai

kebutuhan usianya).

1 : Lengkap, jika imunisasi

campak dan DPT terpenuhi

Ordinal

Page 77: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

59

(sesuai kebutuhan usianya).

(Buku Panduan MTBS, 2015)

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

7 Konsumsi

vitamin A

Pemberian vitamin A dua kali dalam

satu tahun sesuai dengan usia anak.

Anak usia 6-11 bulan diberikan kapsul

biru dengan frekuensi 1 kali, usia 12-

59 bulan diberi kapsul merah dengan

frekuensi 2 kali. Serta ibu nifas diberi

kapsul merah dengan frekuensi 2 kali

segera setelah melahirkan dan

menyusui anaknya sehingga kebutuhan

vitamin A anak usia 0-6 bulan

terpenuhi.

(Kemenkes, 2016)

Telaah dokumen

dan wawancara

Kuesioner 0 : Balita yang tidak

menkonsumsi atau

mengkonsumsi vitamin A

(untuk usia 6-59 bula). Ibu

nifas yang menkonsumsi

vitamin A dan menyusui

anaknya (untuk anak usia 0-6

bulan). Sesuai frekuensi

sasaran.

1 : Balita yang menkonsumsi

vitamin A (untuk usia 6-59

bula). Ibu nifas yang

menkonsumsi vitamin A dan

menyusui anaknya/memberi

susu formula (untuk anak usia

0-6 bulan). Sesuai frekuensi

sasaran.

(Buku panduan MTBS, 2015)

Ordinal

8. Pemberian

ASI Ekslusif

Tidak memberi makanan atau

minuman lain, termasuk air putih,

selain menyusi paling sedikit 6 bulan

(kecuali obat-obatan, mineral tetes)

Kemenkes RI, 2014

Wawancara Kuesioner 0 : Tidak ASI eksklusif

1 : ASI eksklusif

Ordinal

Page 78: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

60

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

9. Kepadatan

Hunian

Jumlah penghuni dalam suatu rumah

dibandingkan dengan luas rumah

responden. Minimal 8m2/orang kecuali

usia 5 tahun ( KMK Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999)

Wawancara dan

observasi

Lembar

observasi

0 : Padat (< 8 m2/jiwa)

1 : Tidak Padat ( ≥ 8

m2/jiwa)

Nilai tersebut merupakan hasil

pembagian antara luas rumah

dengan jumlah penghuni.

(KMK Nomor 829/Menkes/SK/

VII/1999 )

Ordinal

10 Ventilasi

udara

Kategori luas jendela dan lubang angin

rumah yang berfungsi dan digunakan

sebagai aliran udara dari luar ke dalam

rumah dan sebaliknya, yaitu ≥10%

dari luas lantai.

(PerMenKes RI No. 1077/ Menkes/

Per/ V /2011)

Wawancara dan

observasi

Kuesioner 0 : Tidak sesuai (<10 % dari luas

lantai)

1 : Sesuai (≥ 10% dari luas lantai)

Ordinal

11 Pencahayaan Hasil pengukuran terhadap intensitas

cahaya alami di dalam ruangan yang

sering didiami oleh balita dimana

kebutuhan kadar pencahayaan yang

dipersyaratkan yaitu minimal 60 Lux.

( Peraturan Menteri Kesehatan RI

No.1077/Menkes/Per/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara dalam

Rumah).

Observasi Lux meter 0 : Kurang (<60 lux)

1 : Cukup (>60 lux)

Ordinal

Page 79: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

61

No Variabel Definisi Cara Ukur Alat

Ukur Hasil Ukur

Skala

Ukur

12 Suhu Hasil pengukuran derajat panas dan

dingin udara pada ruangan yang sering

didiami oleh balita, dengan syarat suhu

dalam ruangan yang baik adalah 18ºC-

30 ºC.

(Peraturan Menteri Kesehatan RI

No.1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara dalam

Rumah)

Observasi Thermohi

grometer

0 : Tidak memenuhi syarat

(<18ºC atau > 30ºC)

1 :Memenuhi syarat (18ºC-30 ºC)

Ordinal

13 Kelembaban

Udara

Hasil pengukuran persentase

kandungan uap air pada ruangan yang

sering didiami oleh balita dengan

syarat kelembaban yaitu antara 40% -

60% Rh.

(Peraturan Menteri Kesehatan RI

No.1077/ Menkes/Per/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara dalam

Rumah menetapkan)

Observasi Thermohi

grometer

0 : Tidak memenuhi syarat (<40%

atau >60% Rh)

1 :Memenuhi syarat ( 40%-60%

Rh)

Ordinal

14 Status

merokok

anggota

keluarga

Terdapat anggota keluarga responden

yang merokok di dalam rumah

Wawancara Kuesioner 0 : Ada

1 : Tidak ada

Ordinal

Page 80: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

62

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara usia dengan kejadian pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

3. Ada hubungan antara BBLR dengan kejadian pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

4. Ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

5. Ada hubungan antara riwayat imunisasi dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

6. Ada hubungan antara konsumsi vitamin A dengan kejadian pneumonia

pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

7. Ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018

8. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

9. Ada hubungan antara ventilasi udara dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

10. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian pneumonia pada balita

di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018

11. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

Page 81: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

63

12. Ada hubungan antara kelembaban udara dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

13. Ada hubungan antara status merokok anggota keluarga dengan kejadian

pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

Page 82: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

64

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif analitik dengan

pendekatan cross sectional, dimana variabel dependen (usia, jenis kelamin,

BBLR, status gizi, riwayat imunisasi, konsumsi vitamin A, ASI eksklusif,

ventilasi udara, kepadatan hunian, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan status

merokok anggota keluarga) dan variabel independen (pneumonia) diobservasi

secara bersamaan dalam satu waktu.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan September - November 2018.

Adapun lokasi penelitian ini berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah seluruh balita

yang mendapatkan pelayanan di poli MTBS Puskesmas Pamulang selama

periode bulan Oktober-November 2018.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejumlah balita

yang berobat di Puskesmas Pamulang selama periode Oktober-November

2018 dan terpilih sebagai sampel sesuai dengan krteria :

a. Pasien balita usia 0-59 bulan.

b. Tinggal di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

Page 83: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

65

c. Orang tua balita bersedia menjadi responden.

d. Responden berada di rumah saat dilakukan observasi.

Cara pemilihan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan non-probability sampling menggunakan teknik accidental sampling.

Accidental sampling merupakan pengambilan sampel secara aksidental atau

kebetulan. Pada penelitian ini, peneliti mengambil responden yang berobat di

Puskesmas Pamulang selama periode bulan Oktober-November 2018 yang

ditemui di lapangan saat itu juga. Hal ini dikarenakan periode infeksi

pneumonia yang cukup singkat, sehingga apabila digunakan teknik sampling

secara random yang membutuhkan frame sampling maka dikhawatirkan kasus

pneumonia sudah sembuh. Jika demikian maka hasil yang didapat akan

homogen karena tidak adanya kasus atau kasus hanya sedikit

3. Besar Sampel

Besar sampel pada penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus

beda dua proporsi.

n = ( 𝑍1−𝛼/2 √2�̅�(1−�̅�)+ 𝑍1−𝛽√𝑃1(1−𝑃1) + 𝑃2(1−𝑃2) )2

(𝑃1− 𝑃2)2

n : jumlah atau besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian

Z1-α/2 : Derajat kepercayaan 95% = 1,96

Z1-β : Kekuatan uji 80% = 0,84

=�̅� : Proporsi rata-rata (P1+P2)/2

P1 : proporsi penderita pneumonia yang memiiki anggota keluarga

merokok

P2 : proporsi penderita pneumonia yang tidak memiliki anggota

Page 84: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

66

keluarga merokok

Besar P1 dan P2 diambil dari hasil penelitian sebelumnya. Setelah masing-

masing variabel independen didapatkan besar sampel, kemudian ditetapkan

besar sampel pada penelitian ini, diambil dari perhitungan maksimal.

Berdasarkan perhitungan sampel menggunakan rumus uji hipotesis beda

dua proporsi didapatkan jumlah sampel minimal responden adalah sebanyak

56, untuk menghindari drop out maka besar sampel dikali 2 dan ditambah

10% dari total sampel. Sehingga total sampel yang dibutuhkan adalah 124

responden.

D. Metode Pengumpulan Data

1. Sumber Data

Sumber data diperoleh melalui data primer. Data primer didapat

dari hasil wawancara terstruktur dan observasi menggunakan kuesioner

dan lembar observasi. Dan didukung oleh buku KIA, rekam medis, atau

register MTBS untuk mendapat data terkait diagnosis dan riwayat

karakteristik balita.

2. Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah, wawancara dan

observasi. Peneliti melakukan pengimpulan data pada bulan Oktober-

November 2018. Langkah pertama yang peneliti lakukan adalah

mengumpulkan data karakteristik balita di Puskesmas Pamulang. Peneliti

ikut berbaur dengan wali pasien di ruang tunggu poli MTBS Puskesmas

Pamulang dan mengambil responden secara accidental, yaitu seluruh wali

dengan balita yang masuk dalam kriteria penelitian diminta kesediaannya

Page 85: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

67

untuk menjadi responden. Responden yang bersedia selanjutnya diberikan

informed consent untuk ditanda tangani. Selanjutnya peneliti akan

mewawancarai responden terkait identitas wali dan responden seperti, nama

orang tua, nama balita, alamat rumah, no.hp, tanggal lahir balita, jenis

kelamin, dan riwayat pneumonia sebagai informasi tambahan.

Lalu selain itu peneliti menanyakan pertanyaan terkait pemberian

ASI eksklusif dan informasi terkait status merokok anggota keluarga.

Peneliti juga menanyakan apakah wali masih menyimpan buku KIA untuk

melihat data terkait berat badan saat lahir dan riwayat imunisasi serta

pemberian vitamin A. Jika wali balita sudah tidak menyimpan buku KIA

maka peneliti menanyakan berat badan balita, riwayat imunisasi, dan

pemberian vitamin A langsung pada ibu/wali balita, lalu setelahnya dicek

ulang dengan melihat formulir MTBS.

Setelah melakukan wawancara dengan responden, peneliti

menunggu hingga jam kerja Puskesmas selesai dan meminta izin untuk

melihat form MTBS dan rekam medis pasien untuk melihat data terkait

diagnosis penyakit, berat badan balita, dan mengecek informasi terkait

riwayat imunisasi dan keadaan-keadaan lainnya sebagai informasi

tambahan.

Proses wawancara tersebut dilakukan hingga mencapai jumlah

sampel yang dibutuhkan yaitu 124 sampel. Namun, karena adanya beberapa

kendala seperti alamat yang susah dicari, responden yang tidak ada di

tempat, dan responden yang tidak merespon ketika akan dilakukan

Page 86: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

68

observasi maka dilakukan pengambilan sampel kembali di puskesmas

untuk memenuhi jumlah sampel yang dibutuhkan.

Dalam proses observasi dan pengukuran lingkungan, peneliti

dibantu oleh enumerator melakukan kunjungan ke rumah responden untuk

mengukur variabel faktor lingkungan. Peneliti dengan enumerator

mengukur luas rumah dengan menggunakan meteran, namun untuk

beberapa rumah dengan luas yang cukup besar peneliti menanyakan

langsung pada responden, apabila responden tidak mengetahui luas

rumahnya maka peneliti mengukur sendiri. Berikut cara yang dilakukan

untuk mengukur variabel lingkungan :

a. Status merokok anggota keluarga

Variabel tersebut diukur menggunakan kuesioner dengan

melakukan wawancara dengan orangtua/wali responden. Terdapat 4

pertanyaan terkait anggota keluarga yang merokok. Kuesioner ini

dimodifikasi dari penelitian sebelumnya terkait faktor risiko yang

berhubungan dengan kejadian pneumonia pada anak balita yang

dilakukan di RSUD Pasar Rebo Jakarta oleh (Hartanti et al, 2012).

b. Kepadatan hunian

Variabel tersebut diukur menggunakan lembar observasi

dengan melakukan wawancara terkait jumlah penghuni. Selain itu

dilakukan pula pengukuran menggunakan roll meter untuk mengetahui

luas lantai rumah. Kepadatan hunian ditentukan dari hasil perhitungan

dengan rumus :

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑙𝑎𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔ℎ𝑢𝑛𝑖 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ

Page 87: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

69

Hunian dikatakan padat apabila didapatkan nilai < 8m2 / jiwa.

Cara mengukur luas lantai rumah sendiri adalah dengan

mengukur luas lantai setiap ruangan yaitu panjang lantai dan lebar

lantai lalu dikalikan. Kemudian hasil dari luas setiap ruangan itu

dijumlahkan. Perhitungan luas disesuaikan dengan bentuk ruangan

rumah. Apabila terdapat kesulitan dalam mengukur luas lantai rumah

karena bentuk rumah yang beraneka macam, maka dapat ditanyakan

kepada penghuni rumah luas rumah tersebut atau melihat dokumen

rumah.

c. Ventilasi udara

Variabel tersebut diukur menggunakan lembar observasi

dengan melakukan observasi terkait ventilasi udara yang ada di rumah

responden. Luas ventilasi udara ditentukan dengan membandingkan

jumlah seluruh luas ventilasi udara yang digunakan dengan 10% luas

lantai. Apabila jumlah luas ventilasi udara melebihi 10% luas lantai

maka ventilasi tersebut memenuhi syarat. Luas ventilasi diukur dari

seluruh lubang pengawahan yang digunakan di dinding rumah

responden. Karena betuk ventilasi dapat beraneka macam, maka

pengukuran dan perhitungan disesuaikan dengan bentuk ventilasi yang

ada. Apabila ventilasi berbentuk segitiga maka hitung dengan rumus

luas segitiga yaitu ½ x alas x tinggi, apabila berbentuk persegi maka

hitung dengan rumus luas persegi yaitu sisi x sisi, apabila persegi

panjang maka hitung dengan rumus luas persegi panjang yaitu panjang

x lebar, dan apabila lingkaran maka hitung dengan rumus luas

Page 88: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

70

lingkaran yaitu π x r2, apabila belah ketupat maka hitung dengan rumus

luas belah ketupat, yaitu ½ x diagonal1 x diagonal2, dan rumus lainnya

sesuai dengan bentuk ventilasi.

d. Suhu dan Kelembaban Udara

Variabel suhu dan kelembaban udara diukur menggunakan alat

ukur Thermohygrometer. Yang digunakan memiliki akurasi suhu

sebesar ± 1ºC dan kelembaban ± 5%. Pengambilan data suhu dan

kelembaban udara dalam ruangan dilakukan selama 10 menit di

ruangan yang sering didiami balita. Berikut cara kerja pengukuran

suhu dan kelembaban:

1) Masukkan dan pasang baterai lalu tekan tombol On/Off selama 3

detik untuk menghidupkan alat.

2) Masukkan sensor kelembaban dan suhu pada stop kontak di sisi

alat.

3) Letakkan alat dan pegang sensor suhu dan kelembaban pada area

yang akan diukur yakni di titik tengah atau epicentrum.

4) Tekan tombol kelembaban dan suhu untuk melihat hasil

pengukuran

5) Catat perubahan nilai dari suhu dan kelembaban ruangan tersebut

setiap menitnya selama 10 menit

6) Hitung rata-rata dari nilai suhu dan kelembaban dalam ruangan

7) Matikan alat dengan tombol On/Off selama 3 detik dan lepaskan

baterai

Page 89: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

71

e. Pencahayaan

Pengukuran pencahayaan ini dilakukan dengan menggunakan

alat luxmeter yang hasilnya dapat langsung dibaca. Alat tersebut dapat

mengubah energi cahaya menjadi energi listrik. Kemudian energi

listrik dalam bentuk arus digunakan untuk menggerakan jarum skala,

dimana pada alat digital energi listrik akan diubah menjadi angka yang

dapat dibaca pada layar monitor.

Pengambilan data pencahayaan dilakukan berdasarkan SNI 16-

7062-2004. Berdasarkan SNI tersebut penentuan titik pengukuran

terbagi menjadi dua, yakni penerangan setempat dan penerangan

umum. Penerangan setempat dilakukan pada objek kerja seperti meja

kerja atau peralatan kerja lainnya, sedangkan penerangan umum

dilakukan pada tituk potong garis horizontal panjang dan lebar ruangan

pada setiap jarak tertentu dengan tinggi satu meter dari lantai.

Pengukuran pencahayaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

pengukuran penerangan umum, karena ruangan yang paling sering

ditempati balita bukan termasuk objek kerja. Berikut cara kerja

pengukuran pencahayaan:

a) Menghitung luas area pengukuran

b) Menentukan titik pengukuran di titik tengah dengan

ketentuan sebagai berikut:

(1) Luas ruangan kurang dari 10 meter persegi dengan

memotong titik garis horizontal panjang dan lebar ruangan

adalah pada jarak setiap 1 (satu) meter.

Page 90: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

72

Gambar 4.1 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan

Umum dengan Luas <10m2

(2) Luas ruangan antara 10 meter persegi sampai 100 meter

persegi dengan memotong titik garis horizontal panjang dan

lebar ruangan adalah pada jarak setiap 3 (tiga) meter.

Gambar 4.2 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan

Umum dengan Luas 10m2-100m2 (3) Luas ruangan lebih dari 100 meter persegi dengan memotong

titik horizontal panjang dan lebar ruangan adalah pada jarak 6

meter.

Gambar 4.3 Penentuan Titik Pengukuran Penerangan

Umum dengan Luas >100m2

c) Masukkan dan pasang baterai lalu tekan tombol On/Off selama 3

detik untuk menghidupkan alat.

Page 91: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

73

d) Masukkan sensor cahaya pada stop kontak di sisi alat.

e) Tekan tombol pencahayaan untuk melihat data pengukuran

f) Pegang alat dan buka penutup sensor cahaya, kemudian letakkan

alat dan sensor cahaya di tempat yang akan dilakukan

pengukuran pencahayaan dengan tinggi 1 meter dari lantai.

g) Arahkan sensor cahaya pada permukaan daerah yang diukur kuat

penerangannya.

h) Lihat hasil pengukuran dan tunggu hingga angka pada layar

stabil.

i) Catat hasil pengukuran pada lembar pengukuran.

j) Lakukan pengukuran kedua dan ketiga di titik pengukuran yang

sama.

k) Tutup kembali sensor cahaya.

l) Matikan alat dengan tombol On/Off selama 3 detik dan lepaskan

baterai.

m) Ulang langkah-langkah tersebut di titik-titik pengukuran yang

lainnya.

3. Instrumen

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang digunakan untuk

pengumpulan data. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dokumen pasien (rekam medis/register MTBS, buku KIA), kuesioner,

lembar observasi, roll meter, luxmeter, dan thermohygrometer.

Page 92: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

74

E. Validitas dan Realibilitas

1. Validitas Data

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan yang

terdapat di dalam kuesioner sudah dapat mengukur variabel yang ingin

diukur atau tidak. Pengujian validitas terkait pengukuran karakteristik

rumah sehat yang dilakukan dengan cara mengkalibrasi semua alat ukur

secara berkala sebelum digunakan untik mengukur lingkungan rumah

responden.

Uji validitas dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

SPSS. Uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai Corrected

Item-Total Correlation dengan r-tabel. Apabila r hitung lebih besar dari r

tabel maka item pertanyaan tersebut valid. Nilai r tabel kuesioner pada n

= 35 dan α = 0.05 adalah 0,3610 yang didapatkan dari nilai df (n-2). Uji

validitas dilakukan pada pertanyaan riwayat ASI eksklusif dan status

merokok anggota keluarga.

Pada variabel status merokok anggota keluarga semua pertanyaan

valid (didapatkan nilai 0,804). Sedangkan hasil uji validitas untuk

kuesioner riwayat ASI eksklusif terdapat 2 butir pertanyaan yang tidak

valid (didapatkan nilai dengan rentang 0,212-0,820) , yaitu pertanyaan

B11 (poin b dan poin c). Pertanyaan tersebut tidak valid karena memiliki

nilai r hitung < r table. Oleh karena itu pertanyaan tersebut diubah

menjadi pertanyaan baru.

Page 93: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

75

2. Reliabilitas Data

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui alat ukur yang

digunakan dalam penelitian dapat terjaga konsistensinya, baik dari hasil

pertama hingga pengukuran selanjutnya ataupun dilakukan secara

berulang-ulang hasilnya tetap konsisten. Pengujian reliabilitas alat

dilakukan dengan cara mengukur objek berulang kali untuk menghasilkan

data yang konsisten dan lebih akurat.

Uji reliabilitas dilakukan dengan membandingkan angka Cronbach

alpha dengan nilai Cronbach alpha minimal yaitu 0,6. Jika nilai Cronbach

alpha lebih besar dari 0,6, maka kuesioner dapat dikatakan reliabel,

begitupula sebaliknya. Hasil uji reliabilitas yang dilakukan pada

kuesioner ASI eksklusif mendapat hasil 0,751 dan status merokok

anggota keluarga didapatkan nilai Cronbach alpha 0,835. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa pertanyaan dalam kuesioner riwayat ASI eksklusif

dan status merokok anggota keluarga reliabel.

F. Pengolahan Data

Pengolahan data pada penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu :

1. Editing, yaitu suatu tahapan pemeriksaan kembali kebenaran dan

kelengkapan data yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk

menghindari kuesioner atau data diri yang belum lengkap atau

terlewat dalam pengisiannya. Peneliti melakukan proses editing

setelah proses wawancara selesai dan melanjutkan ke tahap

selanjutnya.

Page 94: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

76

2. Coding, yaitu proses pemberian kode numerik terhadap data

penelitian yang terdiri dari beberapa kategori. Pengubahan data yang

berbentuk huruf menjadi data yang berbentuk angka bertujuan untuk

mempermudah analisis data dan mempercepat entry data.

3. Entry, yaitu tahapan peneliti memindahkan dan memasukkan data

dari kuesioner ke sistem komputer atau program analisis data. Data

yang dientry ke sesuai dengan kode yang telah diberi pada masing-

masing jawaban responden.

4. Cleaning, yaitu proses pemeriksaan kembali data yang telah

dimasukkan ke program komputer sehingga dapat diketahui apabila

ada kesalahan data yang dientry untuk diperbaiki sesuai dengan data

yang telah dikumpulkan.

G. Metode Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat merupakan metode analisis untuk variable

tunggal. Ditujukan untuk menganalisis distribusi ukuran kasus sampel

dari variable tunggal (Lapau, 2013). Analisis univariat ini dilakukan

untuk memperoleh gambaran/deskripsi pada masing-masing variabel

independen (usia, jenis kelamin, BBLR, status gizi, riwayat imunisasi,

konsumsi vitamin A, pemberian ASI eksklusif, kepadatan hunian,

ventilasi udara, pencahayaan, suhu, kelembaban udara, dan status

merokok anggota keluarga) maupun varibel dependen (pneumonia balita).

Page 95: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

77

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat pada pada umumnya bertujuan untuk menguji

perbedaan dan menguji hubungan antara dua variabel penelitian yang

digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti bertujuan untuk menguji ada

tidaknya hubungan antara variabel independen dan variabel dependen.

Analisis bivariate juga memberikan hasil terhadap hipotesis yang

diajukan oleh peneliti. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui ada

tidaknya hubungan antara dua variabel adalah uji Chi-Square.

Uji statistik dilakukan untuk melihat nilai p value dan nilai risiko

dari setiap kategori variabel. Hasil uji statistik diketahui dengan melihat p

value yang dibandingkan dengan nilai α (alpha) = 0,05. Jika p value ≤

0,05 maka disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara variabel

independen dengan variabel dependen, sedangkan jika p value > α maka

disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel

dependen dengan variabel independen. Sedangkan untuk nilai risiko

menggunakan Prevelance Ratio (PR) dengan ketentuan :

1. PR < 1 berarti faktor risiko akan menurunkan risiko orang yang

terpajan untuk terkena penyakit (faktor protektif).

2. PR = 1 berarti faktor risiko bukan merupakan penyebab ataupun

pencegah penyakit

3. PR > 1 berarti faktor risiko akan meningkatkan risiko orang yang

terpajan untuk terkena penyakit (faktor risiko).

Page 96: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

78

Penelitian ini menggunakan nilai PR untuk memperlihatkan derajat

hubungan antara variabel dependen dan independen. Nilai ini

menggunakan derajat kemaknaan sebesar 95%.

Page 97: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

79

79

BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Gambaran Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Puskesmas Pamulang terletak pada 6 ° 12’ Lintang Selatan dan 106 °

48’ Bujur Timur dengan luas wilayah 7,4 km2.

Batas-batas wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah :

Bagian Batas Wilayah

Barat Puskesmas Setu dan Puskesmas Benda Baru

Timur Puskesmas Pondok Cabe Udik dan Puskesmas

Pisangan

Selatan Kota Depok

Utara Puskesmas Ciputat dan Ciputat Timur

Pada awalnya terdapat empat wilayah kelurahan yang masuk ke

dalam wilayah kerja Pusksmas Pamulang yaitu, Kelurahan Pondok Cabe

Udik, Kelurahan Pondok Cabe Ilir, Kelurahan Pamulang Barat, dan

Kelurahan Pamulang Timur. Namun, sesuai dengan keputusan Kepala

Dinas Kesehatan Kota Tngerang Selatan, mulai bulan Mei 2017, sejak

beroperasinya Puskesmas Pondok Cabe Udik, maka wilayah kerja

Puskesmas Pamulang hanya meliputi 2 kelurahan yaitu, Kelurahan

Pamulang Timur dan Kelurahan Pamulang Barat.

2. Gambaran Poli MTBS

Poli MTBS merupakan poli khusus yang ada di Puskesmas

Pamulang untuk menangani pasien dengan rentang usia 0-5 tahun. Namun

Page 98: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

80

karena keterbatasan tenaga kerja, saat dilakukannya penelitian, praktik poli

MTBS disatukan dengan poli lansia. Kecuali pada hari sabtu, praktik poli

MTBS dipisah karena adanya tenaga tambahan. Di poli MTBS pasien bayi

dan balita akan ditimbang dan diukur suhu badannya oleh perawat sembari

menunggu antrian. Setelah itu akan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan

oleh dokter yang bertugas. Dokter ditemani oleh satu perawat yang

bertugas mencatat dan merekap form serta rekam medis pasien. Pasien

akan ditindak sesuai dengan diagnosa yang diberikan oleh dokter.

B. Gambaran Demografi Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang

Jumlah Penduduk di wilayah Kerja Puskesmas Pamulang pada tahun

2017 sebanyak 102.310 jiwa dengan rincian jumlah penduduk Kelurahan

Pamulang Barat sebanyak 60.365 jiwa. Menurut kelompok umur 0-4 tahun

terdapat 2.227 balita laki-laki dan 2.179 balita perempuan. Jumlah

penduduk Kelurahan Pamulang Timur sebanyak 41.945 jiwa. Menurut

kelompok umur 0-4 tahun terdapat 1.889 balita laki-laki dan 1.868 balita

perempuan. Adapun tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Pamulang

Barat adalah 14.511 jiwa/km2 dan kepadatan Pamulang Timur 16.195

jiwa/km2 (BPS, 2018).

C. Gambaran Kasus Pneumonia Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang

Kecamatan Pamulang memiliki 4 Puskesmas, yaitu Puskesmas

Pondok Benda, Puskesmas Benda Baru, Puskesmas Pondok Cabe Udik,

dan Puskesmas Pamulang. Puskesmas tersebut merupakan puskesmas

yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Tngerang Selatan.

Page 99: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

81

Puskesmas Pamulang merupakan puskesmas dengan penemuan

pneumonia paling tinggi di Tangerang Selatan. Penjaringan terhadap

penyakit pneumonia balita dilakukan di poli MTBS khusus balita dari usia

0-5 tahun. Kasus pneumonia balita di Puskesmas Pamulang pun masih

mengalami fluktuasi. Pada tahun 2014 terdapat 1000 balita yang

mengalami pneumonia, lalu pada tahun 2015 terdapat 599 balita terkena

pneumonia. Angka tersebut menurun dari tahun sebelumnya (Profil

Kesehatan Kota Tangerang Selatan, 2015). Namun, pada tahun 2016

meningkat menjadi 656 balita yang terkena pneumonia dan melonjak pada

tahun 2017 menjadi 1.040 kasus pneumonia balita (LB3 Puskesmas

Pamulang, 2017).

D. Hasil Analisis Univariat

1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Gambaran kejadian pneumonia pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Pamulang tahun 2018 adalah sebagai berikut :

Tabel 4 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Pneumonia Frekuensi (n) Presentase (%)

Ya 64 51,6

Tidak 60 48,4

Total 124 100

Berdasarkan tabel 5.1 diatas, diketahui bahwa dari 124

responden lebih dari setengahnya terkena pneumonia (51,6%).

Page 100: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

82

2. Gambaran Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pneumonia pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

a) Gambaran Karakteristik Anak Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Gambaran karakteristik balita di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2018 adalah sebagai berikut :

Tabel 5.2 Gambaran Karakteristik Anak Balita di Wilayah

Kerja Puskesmas Tahun 2018

Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)

Usia

Usia ≤12 bulan 41 33,1

Usia 13-59 bulan 83 66,9

Jenis Kelamin

Laki-laki 62 50

Perempuan 62 50

BBLR

Ya (≤2500 gram) 15 37

Tidak (>2500 gram) 26 63

Status Gizi

Gizi kurang 57 46

Gizi baik 67 54

Riwayat Imunisasi

Tidak lengkap 60 48,4

Lengkap 64 51,6

Konsumsi Vitamin A

Tidak konsumsi 60 48,4

Konsumsi 64 51,6

ASI Eksklusif

ASI tidak eksklusif 62 50

ASI eksklusif 57 46

Berdasarkan tabel 5.2 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian

besar responden balita berusia lebih dari satu tahun (66,9%),

jumlah balita berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berjumlah

sama. Dari 41 responden berusia bayi, lebih banyak balita yang

Page 101: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

83

lahir dengan berat badan normal (63%), dan terdapat 57 balita

dengan status gizi kurang (46%).

Variabel riwayat imunisasi merupakan keterangan lengkap

atau tidaknya balita mendapatkan imunisasi campak dan DPT, dan

balita dengan riwayat imunisasi tidak lengkap ada sebanyak 60

balita (48,4%), sedangkan variabel konsumsi vitamin A dibagi

menjadi dua kategori, tidak konsumsi dan konsumsi, dan lebih dari

50% balita mengkonsumsi vitamin A (51,6%). Serta terdapat 57%

balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.

b) Gambaran Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi

Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2018

Gambaran faktor lingkungan di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang tahun 2018 adalah sebagai berikut :

Tabel 5.3 Gambaran Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi

Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2018

Variabel Frekuensi (n) Presentase (%)

Kepadatan Hunian

Padat 37 29,8

Tidak padat 87 70,2

Ventilasi Udara

Tidak sesuai 67 54

Sesuai 57 46

Pencahayaan

Kurang 79 63,7

Cukup 45 36,3

Suhu

Tidak memenuhi syarat 48 38,7

Memenuhi syarat 76 61,3

Kelembaban

Tidak memenuhi syarat 74 59,7

Memenuhi syarat 50 40,3

Page 102: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

84

Status Merokok Anggota Keluarga Ada 89 71,8

Tidak ada 35 28,2

Berdasarkan tabel 5.3 dapat terlihat bahwa pasien balita yang

memiliki hunian padat sebanyak 37 balita (29,8%). Hunian balita yang

memiliki ventilasi sesuai standar rumah sehat ada sebanyak 57 balita

(46%). Dan hanya 45 balita (36,3%) balita yang memiliki pencahyaan

yang cukup di ruangan yang paling sering dihuni oleh balita.

Sebagian besar balita (61,3%) memiliki suhu ruangan yang

memenuhi syarat, namun terdapat 74 balita (59,7%) yang sering berada

di ruangan yang kelembabannya tidak memenuhi syarat. Serta terdapat

89 balita (71,8%) balita yang memiliki anggota keluarga merokok.

E. Hasil Analisis Bivariat

1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita berdasarkan

Karakteristik Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun

2018

Gambaran kejadian pneumonia pada balita berdasarkan faktor

lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah sebagai

berikut:

Tabel 5.4 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan

Karakteristik Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun

2018

Karakteristik

Diagnosis Total PR (95% CI) p value

Pneumonia Bukan

Pneumonia

n % n % n %

Usia

Usia ≤12 bulan 16 39 25 61 41 100 0,675 0,075

Page 103: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

85

Usia 13-59 bulan 48 57,8 35 42,2 83 100 (0,441-1,032)

Jenis Kelamin

Laki-laki 28 45,2 34 54,8 62 100 0,778 0,208

Perempuan 36 58,1 26 41,9 62 100 (0,550-1,100)

BBLR

Ya (≤2500 gram) 10 66,7 5 33,3 15 100 2,889 0,015

Tidak (>2500

gram) 6 23,1 20 76,9 26 100 (1,314-6,351)

Status Gizi

Gizi kurang 38 66,7 19 33,3 57 100 1,718 0,002

Gizi baik 26 38,8 41 61,2 67 100 (1,208-2,443)

Riwayat Imunisasi

Tidak lengkap 37 61,7 23 38,3 60 100 1,462 0,033

Lengkap 27 42,2 37 57,8 64 100 (1,031-2,073)

Konsumsi Vitamin A

Tidak konsumsi 40 66,7 20 33,3 60 100 1,778 0,001

Konsumsi 24 37,5 40 62,5 64 100 (1,236-2,557)

ASI Eksklusif

ASI tidak

eksklusif 34 54,8 28 45,2 62 100 1,042 0,855

Eksklusif 30 52,6 27 47,4 57 100 (0,746-1,455)

Berdsarkan tabel 5.4 diatas, dapat diketahui bahwa trdapat 39% balita

berusia dibawah 1 tahun yang terkena pneumonia, sedangkan terdapat

57,8% balita diatas 1 tahun yang terkena pneumonia. Hasil uji statistik

menunjukkan p value 0,075 artinya tidak terdapat hubungan signifikan

antara usia dengan pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 0,675, artinya

balita dengan usia ≤ 12 bulan berisiko lebih rendah 0,675 kali untuk terkena

pneumonia.

Page 104: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

86

Sedangkan menurut jenis kelamin, terdapat 45,2% balita laki-laki yang

terkena pneumonia, sedangkan balita dengan jenis kelamin perempuan

yang terkena pneumonia yaitu sebesar 58,1%. Hasil uji statistik

menunjukkan p value 0,208 artinya tidak terdapat hubungan signifikan

antara jenis kelamin dengan pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR

0,778, artinya responden dengan jenis kelamin laki-laki berisiko lebih

rendah 0,778 kali untuk terkena pneumonia.

Menurut berat badan lahir, bayi dengan BBLR dan terkena pneumonia

ada sebanyak 66,7%, sedangkan bayi dengan berat badan lahir normal

(tidak BBLR) dan terkena pneumonia yaitu sebesar 23,1%. Hasil uji

statistik menunjukkan nilai p value 0,015 artinya terdapat hubungan

signifikan antara BBLR dengan pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR

3,125, artinya bayi dengan BBLR berisiko 3,125 kali untuk terkena

pneumonia.

Menurut status gizi, balita dengan status gizi kurang dan pneumonia

yaitu sebesar 66,7%, sedangkan balita dengan status gizi baik sebanyak

38,8% terkena pneumonia. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value

0,002 artinya terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan

pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,718, artinya responden dengan

status gizi kurang berisiko 1,718 kali untuk terkena pneumonia

Menurut riwayat imunisasi, balita yang imunisasi campak dan DPTnya

tidak lengkap sebanyak 61,7% terkena pneumonia, sedangkan balita yang

mendapat imunisasi campak dan DPT lengkap hanya 42,2% yang terkena

pneumonia. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,033 artinya

Page 105: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

87

terdapat hubungan signifikan antara riwayat imunisasi dengan pneumonia.

Selain itu, diperoleh nilai PR 1,462, artinya responden yang riwayat

imunisasi campak dan DPTnya tidak lengkap berisiko 1,462 kali untuk

terkena pneumonia.

Menurut konsumsi vitamin A, balita yang tidak mengkonsumsi vitamin

A sesuai dengan kebutuhannya dan terkena pneumonia yaitu sebesar

66,7%, sedangkan balita yang mengkonsumsi vitamin A hanya 37,5% yang

terkena pneumonia. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,001

artinya terdapat hubungan signifikan antara konsumsi vitamin A dengan

pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,778, artinya responden yang

tidak mengkonsumsi vitamin A berisiko 1,778 kali untuk terkena

pneumonia.

Sedangkan menurut pemberian ASI eksklusif menunjukan bahwa

pneumonia lebih banyak menyerang balita yang tidak ASI eksklusif, yaitu

sebesar 54,8%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,855 artinya

tidak terdapat hubungan signifikan antara pemebrian ASI eksklusif dengan

pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,042, artinya responden yang

tidak ASI eksklusif berisiko 1,042 kali untuk terkena pneumonia.

2. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Gambaran kejadian pneumonia pada balita berdasarkan faktor

lingkungan di wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah sebagai berikut:

Page 106: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

88

Tabel 5.5 Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Faktor Lingkungan

Diagnosis Total PR (95% CI) p value

Pneumonia Bukan

Pneumonia

n % n % n %

Kepadatan Hunian

Padat 17 45,9 20 54,1 37 100 0,850 0,531

Tidak padat 47 54 40 46 87 100 (0,570-1,268)

Ventilasi Udara

Tidak sesuai 43 64,2 24 35,8 67 100 1,742 0,004

Sesuai 21 36,8 36 63,2 57 100 (1,186-2,558)

Pencahayaan

Kurang 39 49,4 40 50,6 79 100 0,889 0,577

Cukup 25 55,6 20 44,4 45 100 (0,630-1,253)

Suhu

Tidak memenuhi

syarat 32 66,7 16 33,3 48 100 1,583 0,010

Memenuhi syarat 32 42,1 44 57,9 76 100 (1,137-2,204)

Kelembaban

Tidak memenuhi

syarat 41 55,4 33 44,6 74 100 1,204 0,361

Memenuhi syarat 23 46 27 54 50 100 (0,838-1,732)

Status Merokok Anggota Keluarga

Ada 54 60,7 35 39,3 89 100 2,124 0,003

Tidak ada 10 28,6 25 71,4 35 100 (1,225-3,680)

Berdasarkan tabel 5.5 diatas, dapat diketahui balita yang tinggal di

hunian padat dan terkena pneumonia yaitu sebesar 45,9%, sedangkan

balita yang tinggal di hunian tidak padat dan terkena pneumonia sebanyak

54%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,531 artinya tidak

terdapat hubungan signifikan antara kepadatan hunian dengan pneumonia.

Selain itu, diperoleh nilai PR 0,850, artinya responden dengan hunian yang

padat berisiko lebih rendah 0,850 kali untuk terkena pneumonia.

Selain itu balita yang tinggal di hunian dengan luas ventilasi yang

tidak sesuai dengan standar dan terkena pneumonia yaitu sebesar 64,2%,

Page 107: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

89

sedangkan balita yang tinggal di hunian dengan luas ventilasisi yang

sesuai dengan standar ada sebesar 36,8% yang terkena pneumonia. Hasil

uji statistik menunjukkan nilai p value 0,004 artinya terdapat hubungan

signifikan antara ventilasi udara dengan penyakit pneumonia. Selain itu,

diperoleh nilai PR 1,742, artinya responden yang memiliki luas ventilasi

tidak sesuai berisiko 1,742 kali untuk terkena pneumonia.

Diketahui pula balita yang sering berada di ruangan yang memiliki

pencahayaan kurang dan terkena pneumonia yaitu sebesar 49,4%,

sedangkan balita yang sering berada di ruangan dengan pencahayaan

cukup dan terkena pneumonia ada sebanyak 55,6%. Hasil uji statistik

menunjukkan p value 0,577 artinya tidak terdapat hubungan signifikan

antara pencahayaan dengan penyakit pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai

PR 0,889, artinya responden dengan pencahayaan ruangan yang kurang

berisiko lebih rendah 0,889 kali untuk terkena pneumonia.

Balita yang sering berada di ruangan yang memiliki suhu tidak

memenuhi syarat dan terkena pneumonia yaitu sebesar 66,7%, sedangkan

balita yang sering berada di ruangan dengan suhu memenuhi syarat dan

terkena pneumonia ada sebanyak 42,1%. Hasil uji statistik menunjukkan p

value 0,010 artinya terdapat hubungan signifikan antara suhu dengan

penyakit pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,583, artinya

responden dengan pencahayaan ruangan yang kurang berisiko 1,583 kali

untuk terkena pneumonia.

Sedangkan balita yang sering berada di ruangan yang memiliki

kelembaban tidak memenuhi syarat dan terkena pneumonia yaitu sebesar

Page 108: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

90

55,4%, sedangkan balita yang sering berada di ruangan dengan

kelembaban yang memenuhi syarat dan terkena pneumonia ada sebanyak

46%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,361 artinya tidak

terdapat hubungan signifikan antara kelembaban dengan penyakit

pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 1,204, artinya responden dengan

pencahayaan ruangan yang kurang berisiko 1,204 kali untuk terkena

pneumonia.

Balita yang berasal dari keluarga yang memiliki anggota keluarga

perokok dan terkena pneumonia yaitu sebesar 60,7%, sedangkan balita

yang anggota keluarganya bukan perokok dan terkena pneumonia yaitu

sebesar 28,6%. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,003 artinya

terdapat hubungan signifikan antara status merokok anggota keluarga

dengan penyakit pneumonia. Selain itu, diperoleh nilai PR 2,124, artinya

responden yang memiliki anggota keluarga yang merokok berisiko 2,124

kali untuk terkena pneumonia.

Page 109: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

91

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan penyakit pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang

tahun 2018. Pada penelitian ini tentu tidak luput dari beberapa kekurangan

yang menjadi suatu keterbatasan dalam penelitian ini. Dengan keterbatasan ini

diharapkan dapat dilakukan perbaikan pada penelitian yang akan datang.

Keterbatasan yang ada pada penelitian ini adalah peneliti melihat diagnosis

pasien berdasarkan form MTBS atau rekam medis pasien untuk mengambil

data status penyakit pneumonia balita. Namun, penentuan diagnosis

pneumonia oleh dokter hanya dilakukan dengan cara melihat gambaran klinis

pasien dan menghitung frekuensi nafas balita dan tidak selalu dilakukan

pemeriksaan penunjang. Dimana cara diagnosis tersebut memiliki kelemahan,

karena banyak penyakit dan sindrom yang memiliki tanda klinis dan gejala

yang menyerupai pneumonia.

B. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang terjadi di paru-

paru (Depkes RI, 2013). Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan

dan penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia dibawah lima tahun

(anak balita). Di negara berkembang pneumonia merupakan

Page 110: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

92

‘penyakit yang terabaikan’ atau ‘penyakit yang terlupakan’ (the forgotten

disease) karena banyak anak yang meninggal karena pneumonia namun sangat

sedikit perhatian yang diberikan (Said, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 51,6%

penderita pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Hal ini

sejalan dengan penelitian Warni et al (2013) bahwa sebanyak 64,9% balita di

Puskesmas Kotabumi Kabupaten Lampung menderita pneumonia. Selain itu,

penelitian yang dilakukan oleh Agustyana et al (2018) juga menunjukkan

angka yang lebih tinggi yaitu sebesar 51% balita terkena pneumonia di

wilayah kerja Puskesmas Bergas Kota Semarang.

Berdasarkan kelompok usia penduduk, period prevalens pneumonia

yang tinggi terjadi pada kelompok usia 1-4 tahun (0,2%), kemudian meningkat

pada usia 45-54 tahun (0,2%) dan terus meninggi pada usia berikutnya

(Rikesdas, 2013). Penelitian ini menunjukkan bahwa pneumonia lebih banyak

terjadi pada balita berusia 13-59 bulan (57,8%). Hal ini didukung oleh

penelitian Pamungkas (2012) di wilayah Indonesia Timur dengan

menggunakan data Riskesdan 2007 yang menunjukkan bahwa balita dengan

kelompok usia 12-59 bulan lebih banyak mengalami pneumonia (5,9%).

Begitupun dengan penelitian Anwar & Dharmayanti (2014) dengan

menggunakan data Riskesdas 2013 yang menunjukkan bahwa proporsi balita

yang mengalami pneumonia dengan usia 12-59 bulan lebih tinggi (4,3%)

dibandingkan dengan bayi usia dibawah 12 bulan.

Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa lebih banyak balita berjenis

kelamin perempuan yang mengalami pneumonia (58,1%). Namun, penelitian

Page 111: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

93

lain menunjukkan bahwa pneumonia lebih banyak menyerang balita laki-laki

seperti penelitian di China oleh Zhunge et al (2011) yaitu pneumonia pada

laki-laki sebesar (51,9%). Begitu pula dengan penelitian Nirmolia et al (2017)

di India yang menunjukkan bahwa lebih banyak balita laki-laki yang terkena

pneumonia (52,94%). Penelitian yang dilakukan Amin (2015) terdapat 58%

balita laki-laki mengalami pneumonia di wilayah kerja Puskesmas Ngesep

Kota Semarang.

Tingginya angka kasus pneumonia balita ini dapat terjadi karena

berbagai faktor yang mempengaruhinya, baik karakteristik balita itu sendiri

maupun faktor lingkungannya. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa

sebagian besar balita tinggal di hunian rumah yang tidak padat (70,2%).

Namun, kebiasaan mereka untuk membuka ventilasi masih sangat buruk,

sehingga tidak adanya sirkulasi udara yang memadai di hhunian tersebut. Hal

ini dapat dibuktikan dengan hasil yang didapat bahwa sebesar 54% responden

tinggal di hunian dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat.

Selain itu, 63,7% reponden sering berada di ruangan dengan

pencahayaan yang kurang dan 59,7% responden sering berada di ruangan

dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat pula. Kondisi lingkunganpun

diperburuk karena adanya anggota keluarga yang merokok (71,8%), dimana

hal ini dapat membuat balita rentan terkena penyakit akibat paparan asap

rokok yang mengandung racun.

Secara geografis, kasus pneumonia lebih banyak terjadi di daerah erban

atau perkotaan. Seperti penelitian (Zhuge et al., 2018) di China, didapatkan

hasil bahwa sebesar 75,6% kasus pneumonia pada balita terjadi di daerah

Page 112: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

94

urban. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan Guantari et al (2012) di

Bali, menunjukkan bahwa kasus pneumonia cenderung lebih tinggi di daerah

urban (21,9%) dibandingkan di daerah rural (13,5%). Penelitian tersebut

mendukung hasil dari penelitian ini, dimana wilayah kerja Puskesmas

Pamulang merupakan daerah perkotaan.

Tingginya kasus di daerah perkotaan dapat dikarenakan suhu daerah

perkotaan lebih tinggi sehingga balitanya menjadi lebih berisiko terkena

pneumonia. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas industri di sekitar hunian

penduduk yang menghasilkan polutan dan memicu terbentuknya udara kering

sehingga dapat meningkatkan suhu udara dalam ruangan di daerah perkotaan

(Dando et al., 2014). Namun demikian, balita di wilayah kerja puskesmas

Pamulang sebagian besarnya sering berada di ruangan dengan suhu yang

memenuhi syarat (61,3%), karena daerah pamulang bukan merupakan daerah

industri melainkan daerah perumahan, dimana lingkungan setempatnya tidak

terpapar aktivitas pabrik yang tinggi dan juga masih terdapat pepohonan tinggi

yang menyejukkan.

Kasus pneumonia pada balita ini memerlukan penanganan yang tepat

dan upaya intervensi yang baik agar balita terhindar dari pneumonia yang

dapat menyebabkan kematian. Upaya intervensi terhadap pneumonia pada

anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan non-imunisasi. Imunisasi

dilakukan terhadap patogen penyebab pneumonia yang merupakan

pencegahan spesifik. Sedangkan pencegahan non-imunisasi merupakan

pencegahan non-spesifik misalnya dengan mengatasi berbagai faktor risiko

Page 113: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

95

seperti polusi udara dalam ruang, merokok, kebiasaan perilaku tidak sehat,

perbaikan gizi, dan sebagainya (Said, 2010).

Selain dengan menghindari atau mengurangi faktor risiko dapat

dilakukan dengan beberapa pendekatan yaitu, dengan pendidikan kesehatan di

komunitas, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal

memanfaatkan pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia, penggunaan

antibiotika yang benar dan efektif, serta waktu untuk merujik yang tepat dan

segera bagi kasus pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian ASI

eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan pengurangan

polusi udara dalam ruangan dapat pula mengurangi faktor risiko

(Kartasasmita, 2010).

C. Gambaran Karakteristik Balita Terhadap Kejadian Pneumonia pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

1. Usia Balita

Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya

pneumonia maupun kematian akibat pneumonia. Bayi atau balita yang

lebih muda usianya lebih berisiko mengalami kematian akibat pneumonia.

Antara 152.000 dan 490.000 bayi berusia <1 tahun di seluruh dunia

meninggal karena pneumonia setiap tahun (Hooven and Polin, 2017).

Menurut Utami (2014) bayi dan balita memiliki mekanisme pertahanan

tubuh yang masih lemah dibandingkan orang dewasa, sehingga balita

masuk ke dalam kelompok yang rawan terhadap infeksi seperti influenza

dan pneumonia.

Page 114: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

96

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 57,8% balita berusia

lebih dari 1 tahun menderita pneumonia. Hasil penelitian ini pun

menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara usia dengan

pneumonia balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Didapatkan pula

hasil bahwa balita berusia kurang dari satu tahun berisiko lebih rendah

0,675 kali untuk mengalami pneumonia dibanding balita berusia diatas

satu tahun. Hal serupa juga ditunjukkan dari hasil penelitian Utami (2014)

di Lampung yang mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara

usia dengan kejadian pneumonia pada balita (p value: 0,84).

Dalam penelitian ini kategori usia dibagi menjadi dua kelompok yaitu

usia ≤12 bulan dan usia 13-59 bulan. Dari 124 responden, sebanyak 83

balita berusia 13-59 bulan (69,4%). Tidak adanya hubungan antara usia

dengan pneumonia pada balita dapat disebabkan karena banyak faktor

yang bisa menyebabkan pneumonia, sehingga faktor usia bukanlah faktor

utama. Banyaknya penderita pneumonia yang justru terjadi pada anak

diatas satu tahun dapat terjadi karena faktor risiko lain yang ikut berperan.

Balita diatas satu tahun memerlukan asupan gizi dan vitamin lebih,

tidak cukup bergantung pada ASI saja. Sehingga riwayat ASI eksklusif,

pemenuhan vitamin A, status gizi saat ini turut mempengaruhi keadaan

balita berusia diatas 1 tahun. Riwayat ASI tidak eksklusif, vitamin yang

tidak terpenuhi, dan keadaan status gizi yang kurang banyak ditemui pada

balita dalam penelitian ini. Kondisi ini dapat mempengaruhi kondisi daya

tahan tubuh balita di usia tersebut. Daya tahan tubuh yang terganggu

menyebabkan balita rentan terserang pneumonia dikarenakan

Page 115: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

97

ketidakmampuan tubuh menghadapi serangan kuman penyebab

pneumonia (Setyanti, 2016).

2. Jenis Kelamin Balita

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan

signifikan antara jenis kelamin dengan pneumonia balita di wilyah kerja

Puskesmas Pamulang. Selain itu, didapatkan pula hasil bahwa balita

berjenis kelamin laki-laki berisiko lebih rendah 0,778 kali untuk

mengalami pneumonia dibandingkan balita berjenis kelamin perempuan.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Utami

(2014) di Lampung yang mengatakan tidak ada hubungan yang bermakna

antara jenis kelamin dengan pneumonia pada balita (p value: 0,43).

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Pamungkas

(2012) di wilayah Indonesia bagian timur melalui data Riskesdas 2007

yang menunjukkan tidak adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin

dengan pneumonia balita.

Pada penelitian ini jenis kelamin responden sama rata antara laki-laki

dan perempuan (50%). Untuk kasus pneumonia lebih banyak terjadi pada

balita dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 58,1%. Hasil

penelitian ini pun sejalan dengan penelitian Domili dan Nontji (2013) di

Gorontalo, menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin

dengan kejadian pneumonia balita.

Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin dengan pneumonia dapat

terjadi karena jenis kelamin bukanlah faktor utama terjadinya pneumonia.

Pneumonia dapat menyerang karena adanya penurunan sistem imun pada

Page 116: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

98

balita dan didukung oleh lingkungan yang buruk. Sistem imun dipengaruhi

oleh genetik, umur, metabolik, lingkungan, dan nutrisi, anatomis,

fisiologis, dan mikrobiologi (Almatsier, 2009).

Sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi sistem imun secara

signifikan dalam kasus ini. Jenis kelamin memegang peran penting jika

dikaitkan dengan gangguan imunitas pada penyakit autoimun seperti

hashimoto thyroiditis, graves disease, dan sebagainya. Hal ini berkaitan

dengan hormone steroid (androgen, estrogen dan progesterone) yang akan

menghambat fagositosis, produksi antibodi, dan menghambat proses

inflamasi (Suardana, 2017).

3. Berat Badan Lahir Balita

Pada bayi dengan BBLR pembentukan zat anti kekebalan masih

kurang sempurna dan berisiko terkena penyakit infeksi terutama

pneumonia sehingga risiko kematian menjadi lebih besar dibanding

dengan berat badan lahir normal (Hartanti et al., 2012). Berat badan lahir

yang rendah dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan

selanjutnya, karena dengan berat lahir yang kurang dibutuhkan waktu

untuk mencapai berat badan normal.

Balita yang diteliti pada variabel BBLR ini dibatasi dengan rentang

usia 0-12 bulan. Dimana terdapat 41 responden yang terpilih dan sebanyak

37%-nya lahir dengan BBLR. Dilakukannya select cases dalam analisis

dikarenakan jangka waktu dari saat lahir hingga usia balita saat kini terlalu

jauh. Dimana balita juga telah mengalami banyak perubahan dan

Page 117: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

99

perkembangan sehingga variabel BBLR menjadi tidak relevan untuk balita

berusia diatas satu tahun.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% balita yang lahir

dengan berat badan rendah menderita pneumonia. Didapatkan pula hasil

yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara berat badan lahir

rendah dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang. Selain itu, diperoleh nilai PR 2,889 artinya balita yang lahir

dengan berat badan rendah berisiko 2,889 kali untuk mengalami

pneumonia dibandingkan dengan balita yang lahir dengan berat badan

normal.

Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Utami (2014)

di Lampung yang menyebutkan adanya hubungan antara berat badan lahir

dengan kejadian pneumonia (p value: 0,021). Penelitian ini didukung pula

oleh hasil penelitian Rasyid (2013) di Bandung dan penelitian Pamungkas

(2012) di wilayah Indonesia bagian Timur dengan data Riskesdas tahun

2007 yang mengatakan adanya hubungan antara berat badan lahir dengan

pneumonia balita.

Bayi dengan BBLR mempunyai risiko morbiditas yang lebih besar bila

dibandingkan dengan bayi dengan berat badan lahir normal. Bayi dengan

BBLR lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan

sakit saluran pernapasan lainnya. Hal ini dikarenakan sistem pembentukan

organ belum sempurna (Kartasasmita, 2010).

Sebesar 37%-80% kasus BBLR merupakan kasus prematuritas (Rudan,

2008). Bayi lahir dengan prematuritas menyebabkan immaturitas sistem

Page 118: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

100

imun dimana bayi tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta

selama trisemester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi

kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan.

Dimana hal tersebut menyebabkan gangguan fungsi imunologi berupa

penurunan aktifitas fagosit pada sel darah putih dan penurunan produk

sitokin dan akan terjadi kegagalan dari sistem kekebalan humoral (Garina,

2016). Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki

perlindungan seperti bayi normal, sehingga bayi BBLR mudah terkena

infeksi, salah satunya pneumonia (Fikri, 2016).

Namun kasus BBLR tidak hanya terjadi pada bayi prematur, bayi

cukup bulan juga dapat mengalami BBLR dikarenakan hambatan

pertumbuhan selama kehamilan. Hal itu dapat terjadi karena pengaruh

faktor ibu, faktor kehamilan dan faktor janin (Manuaba, 2010). Dimana

bayi dengan BBLR memerlukan perawatan khusus karena memiliki

permasalahan pada sistem tubuhnya disebabkan oleh kondisi yang belum

stabil (Surasmi et al., 2003).

4. Status Gizi

Beberapa studi mengatakan bahwa kekurangan gizi akan menurunkan

kapasitas kekebalan tubuh untuk merespon infeksi pneumonia termasuk

gangguan fungsi granulosit, penurunan fungsi komplemen dan

menyebabkan kekurangan mikronutrien (Sunyataningkamto, 2004).

Pemberian nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan

balita dapat mencegah anak terkena penyakit infeksi sehingga

pertumbuhan dan perkembangan anakpun menjadi optimal (Utami, 2014).

Page 119: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

101

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 66,7% balita

dengan status gizi kurang mengalami pneumonia. Ditunjukkan pula bahwa

terdapat hubungan signifikan antara status gizi dengan pneumonia balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Selain itu, diperoleh pula hasil yang

menunjukkan bahwa balita dengan status gizi kurang berisiko 1,718 kali

untuk mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita dengan status

gizi baik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Utami (2014) di Lampung yang menyebutkan bahwa adanya hubungan

antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita (p value: 0,012).

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Pamungkas (2012) di wilayah

Indonesia bagian Timur dengan menggunakan data Riskesdas tahun 2007

yang menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara status gizi balita

dengan kejadian pneumonia pada balita.

Berdasarkan SK Antropometri status gizi yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah keadaan status gizi balita yang dihitung dengan

melihat standar antropometri berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan

RI tahun 2010 berdasarkan indeks berat badan per umur (BB/U). balita

dikatakan memiliki gizi kurang apabila memiliki ≤ -3 standar deviasi

hingga < -2 standar deviasi. Dan dikatakan gizi baik apabila memiliki 2

standar deviasi hingga > 2 standr deviasi. Dalam penelitian ini terdapat

46% balita dengan status gizi kurang.

Menuut Wardlaw et al (2006), anak-anak yang kekurangan gizi

terpapar pada risiko yang lebih tinggi terkena pneumonia, terutama

Page 120: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

102

mereka yang memiliki ASI eksklusif yang tidak memadai. Penerapan zat-

zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan anak dipengaruhi oleh

usia, keadaan fisik, kondisi kesehatan fisiologis pencernaan, tersedianya

makanan, dan aktivitas dari anak sendiri (Maryani dan Muliani, 2010).

Gizi memegang peranan yang penting dalam membantu dan

membangun suatu proses pertumbuhan yang baik dan optimal. Keadaan

zat gizi tergantung dari konsumsi yang ditentukan oleh kualitas dan

kuantitas gizi yang diperlukan oleh tubuh. Dalam keadaan zat gizi yang

baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri

terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi

kekebalan tubuh akan menurun yang berarti kemampuan tubuh untuk

mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun.

(Simanjutak, 2007).

Penurunan zat gizi makro dan mikro pada makanan mempengaruhi

fungsi imun tubuh melalui beberapa kegiatan dalam saluran cerna, timus,

dan limfa. Kekurangan protein dapat menyebabkan atrofi timus sehingga

mengganggu produksi sel T yang berfungsi untuk melawan antigen asing.

Timus adalah salah satu organ limfoid primer yang memproduksi sel T.

Selain itu kekurangan protein juga dapat mengganggu produksi antibodi

sebagai imunitas humoral (Almatsier, 2009).

5. Riwayat Imunisasi

Manfaat dari imunisasi diantaranya adalah dapat mencegah beberapa

penyakit infeksi penyebab kematian dan kecacatan serta mengurangi

penyebaran infeksi termasuk pneumonia. Imunisasi membantu

Page 121: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

103

mengurangi kematian anak dari pneumonia dengan dua cara. Pertama,

vaksinasi yang membantu mencegah anak-anak dari infeksi yang

berkembang langsung yang menyebabkan pneumonia, seperti

Haemophilus influenza tipe b (Hib). Kedua, imunisasi yang dapat

mencegah infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia sebagai

komplikasi dari penyakit seperti campak dan pertussis (UNICEF/WHO,

2006). Imunisasi yang berhubungan dengan pneumonia diantaranya

imunisasi DPT dan campak (Kartasasmita, 2010). Campak adalah

penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit ini dapat

dikatakan ringan karena dapat sembuh sendiri. Namun, dapat diakatakan

berat pula jika terjadi berbagai komplikasi seperti pneumonia dan bahkan

dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak kurang gizi dan anak

dengan gangguan sistem imun.

Menurunkan kejadian penyakit campak pada balita dengan

memberikan vaksinasi dapat menurunkan kematian akibat pneumonia

sebagai hasil dari komplikasi campak. Begitupun imunisasi DPT yang

diberikan sebagai upaya menghindari difteri, pertussis, dan tetanus

sehingga diharapkan terhindar pula dari pneumonia sebagai komplikasi

dari pertusis (Kartasasmita, 2010).

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara

riwayat imunisasi campak dan DPT dengan pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Diperoleh pula hasil yang

menunjukkan bahwa balita yang riwayat imunisasinya tidak lengkap

Page 122: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

104

berisiko 1,462 kali untuk mengalami pneumonia dibandingkan dengan

balita dengan riwayat imunisasi campak dan DPT lengkap.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Rasyid (2013) di Bandung yang menemukan bahwa anak balita dengan

status imunisasi tidak lengkap (tidak imunisasi campak dan DPT) lebih

berisiko 1,6 kali (p value: 0,023). Hasil penelitian ini juga didukung oleh

Rianawati (2014) di Jakarta Selatan yang mengatakan bahwa terdapat

hubungan antara riwayat imunisasi campak dan DPT dengan pneumonia

pada balita (p value: 0,012).

Riwayat imunisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

lengkap tidaknya balita mendapatkan imunisasi campak dan DPT sesuai

keperluan usianya. Dimana imunisasi campak dilakukan 2 kali saat usia 9

bulan dan 24 bulan, serta DPT saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.

Dari 124 responden terdapat 48,4% balita status imunisasinya tidak

lengkap. Dan bahwa sebanyak 61,7% balita yang riwayat imunisasi

campak dan DPTnya tidak lengkap, menderita pneumonia.

Imunitas tubuh belum terbentuk sempurna pada periode bayi dan

balita. Untuk meningkatkan respon imun spesifik maka dibutuhkan

paparan antigenik dan perbaikan molekular selama masa balita untuk

membangun perlindungan yang lebuh kuat. Oleh karena itu pentingnya

melakukan imunisasi, agar tubuh dapat membuat pertahanan terhadap

infeksi. Selain itu, secara struktural, paru-paru pada bayi masih memiliki

kekurangan utama dalam fungsi penghalang penting yang memberikan

garis pertahanan pertama terhadap infeksi. Kurangnya relatif makrofag

Page 123: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

105

alveolar residen, ditambah dengan gangguan pembersihan mukosiliar

puing, sangat memungkinkan pembentukan kolonisasi awal oleh patogen

(Walzer and Walzer, 1993).

Pemberian imunisasi dengan dua dosis vaksin campak melalui

imunisasi dasar dan lanjutan serta dengan tiga dosis vaksin DPT selama

masa kanak-kanak bertujuan untuk menimbulkan sistem kekebalan tubuh

pada bayi dan balita sehingga mampu mencegah timbulnya suatu

penyakit tertentu baik pada perorang maupun kelompok. Dalam hal ini

yaitu penyakit campak dan pertusis. Dimana dengan demikian diharapkan

dengan dilakukannya imuniasasi tersebut dapat mencegah balita terkena

campak dan pertussis sehingga tidak terjadi komplikasi pneumonia

(Nirmolia et al, 2017).

Tambunan S, et al (2012) mengatakan bahwa riwayat status imunisasi

memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia pada

balita. Hasil penelitian ini didukung oleh teori yang mengatakan bahwa

bayi dan balita yang memiliki status imunisasi lengkap apabila terkena

pneumonia diharapkan perkembangan penyakitnya tidak menjadi parah.

Cara yang terbukti efektif saat ini adalah dengan pemberian imunisasi

campak dan pertusisi (DPT).

Pemberian imunisasi campak dan DPT akan mempengaruhi sistem

imun balita. Hal ini terjadi juga karena pemberian imunisasi dapat

membantu tubuh membentuk pertahanan spesifik yang akan melindungi

tubuh itu sendiri dari penyakit. Secara alamiah tubuh telah memiliki

pertahanan terhadap patogen, meliputi pertahanan non-spesifik dan

Page 124: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

106

pertahanan spesifik. Dalam pertahanan spesifik terdapat suatu sel yang

disebut sel memori, yang berfungsi untuk mengingat patogen yang pernah

masuk. Sehingga apabila patogen sudah pernah masuk dalam tubuh,

imunitas spesifik akan cepat bereaksi. Kondisi inilah yang digunakan

dalam prinsip imunisasi (Hardinegoro, 2011).

Dengan dilakukannya imunisasi diharapkan daya tahan tubuh menjadi

lebih kuat melawan patogen yang masuk ke dalam tubuh. Karena jika

daya tahan tubuh lemah akan menyebabkan virus yang masuk berhasil

menyebabkan kesakitan. Seperti halnya dengan virus pneumonia yang

mudah menyerang balita dalam keadaan lemah, sehingga balita terjangkit

pneumonia sebagai bentuk komplikasi dari penyakit campak atau

pertusis. Dengan pemberian imunisasi campak efektif mencegah sekitar

11% kematian akibat komplikasi (pneumonia balita) dan imunisasi DPT

mencegah 6% kematian akibat komplikasi (pneumonia balita) ( Maryani

dan Muliani, 2010).

6. Konsumsi Vitamin A

Vitamin A bermanfaat untuk meningkatkan imunitas dan melindungi

saluran pernapasan dari infeksi kuman (Kartasasmita, 2010). Defisiensi

vitamin A berhubungan dengan gangguan imunitas humoral dan seluler,

keratinisasi epitel saluran nafas, dan penurunan sekresi mukus yang

berakibat pada melemahnya sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Pemberian suplemen vitamin A dapat menurunkan keparahan infeksi

saluran nafas dan komplikasi lain akibat campak serta menurunkan angka

kematian balita (Utami, 2014).

Page 125: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

107

Hasil penelitian ini meunjukkan bahwa 66,7% balita yang tidak

mengkonsumsi vitamin A menderita pneumonia. Selain itu diperoleh

hasil bahwa terdapat hubungan signfikan antara konsumsi vitamin A

dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang.

Balita yang tidak mengkonsumsi vitamin A sesuai kebutuhannya berisiko

1,778 kali untuk mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang

mengkonsumsi vitamin A sesuai kebutuhan usianya. Penelitian ini sejalan

dengan penelitian yang dilakukan oleh Utami (2014) di Lampung yang

mengatakan bahwa ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan

kejadian pneumonia balita (p value: 0,047).

Berdasarkan Kemenkes (2016) yang dimaksud konsumsi vitamin A

pada penelitian ini adalah balita mengkonsumsi/mendapatkan vitamin A

sesuai kebutuhan usia balita. Pada balita usia 6-11 bulan diberikan kapsul

biru dengan frekuensi 1 kali, pada usia 12-59 bulan diberi kapsul merah

dengan frekuensi 2 kali. Dan pada balita kurang dari 6 bulan dipastikan

bahwa ibunya ketika nifas diberi kapsul merah dengan frekuensi 2 kali

segera setelah melahirkan dan menyusui anaknya sehingga kebutuhan

vitamin A anak usia 0-6 bulan terpenuhi.

Vitamin A memiliki peran penting dalam mengatur berbagai aspek

dari fungsi imun, termasuk komponen imunitas non-spesifik (seperti

fagositosis, yaitu pemeliharaan pada permukaan mukosa) dan imunitas

spesifik (seperti perubahan respon antibodi). Vitamin A yang berbentuk

retinol dan retinoat dapat memelihara integritas permukaan pada epitel,

seperti paru-paru dan kulit, serta produksi sekresi mukosa. Mukosa

Page 126: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

108

berfungsi untuk melindungi sel-sel epitel dari serbuan mikroorganisme

dan partikel lain yang berbahaya. Benda asing yang masuk ke saluran

pernapasan akan terbawa keluar bersama mukus karena adanya epitel

yang menyapu mukus keluar. Kekurangan vitamin A akan menghalangi

fungsi sel-sel kelenjar yang mengeluarkan mukus dan digantikan oleh sel

epitel bersisik dan kering. Sehingga menyebabkan membran mukosa

tidak dapat mengeluarkan cairan mukus dengan sempurna dan mudah

terserang bakteri sehingga terjadilah pneumonia (Keperien et al., 2013).

Selain itu, jika terjadi defisiensi vitamin A, maka akan berpengaruh

terhadap penurunan jumlah leukosit, sirkulasi komplemen dan antibodi,

rusaknya fungsi sel T dan menurunnya resistensi immunogenik tumor.

Vitamin A merupakan faktor esensial yang berfungsi untuk

perkembangan sistrem limfoid dan perkembangan mukosa pada saluran

pencernaan dan pernapasan. Meskipun mekanismenya belum diketahui

secara pasti, namun vitamin A sangat berpengaruh terhadap sistem

kekebalan tubuh. Hal ini dapat terjadi karena retinol pada vitamin A

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B (leokosit

yang berperan dalam kekebalan humoral). Dapat disimpulkan, vitamin A

memiliki pengaruh yang besar terhadap mekanisme protektif spesifik

dan non-spesifik, yaitu respon humoral terhadap bakteri, imunitas

mukosal, aktivitas sel NK, dan fagositosis (Azrimaidaliza, 2007).

7. Pemberian ASI Eksklusif

ASI diketahui memiliki zat yang unik dan bersifat anti infeksi. ASI

juga memberikan proteksi pasif bagi tubuh balita untuk menghadapi

Page 127: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

109

patogen yang masuk ke dalam tubuh. Pemberian ASI eksklusif terutama

pada bulan pertama kehidupan bayi dapat mengurangi insiden dan

keparahan penyakit infeksi termasuk pneumonia (Pamungkas, 2012).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 54,8% balita yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif mengalami pneumonia. Diperoleh pula hasil

bahwa tidak terdapat hubungan signifikan antara ASI eksklusif dengan

pneumonia pada balita di wilayah kerja Pusksmas Pamulang. Hasil uji

menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif

berisiko 1,042 kali untuk mengalami pneumonia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Pamungkas (2012) di wilayah Indonesia bagian Timur melalui data

Riskesdas tahun 2007 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna

antara pemberian ASI eksklusif dengan pneumonia balita. Namun,

didapatkan nilai OR sebesar 1,03 yang berarti balita yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif berisiko menderita pneumonia 1,03 kali

lebih besar.

Berdasarkan Kemenkes RI (2014) yang dimaksud dengan

pemberian ASI eksklusif pada penelitian ini adalah balita hanya diberi

ASI tanpa memberi makanan atau minuman lain termasuk air putih,

kecuali obat, vitamin, mineral tetes dan ASI yang diperas selama 6

bulan. Dari 124 responden balita yang telah mencapai usia diatas 6 bulan

sebanyak 119. Sehingga untuk variabel ASI eksklusif hanya

menggunakan 119 sampel dan didapatkan hasil sebanyak 62 balita tidak

mendapatkan ASI eksklusif. Ibu balita memberikan ASI secara

Page 128: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

110

predominan (disamping ASI, anak diberi sedikit air minum atau

minuman cair lainnya seperti teh, dsb), ada juga ibu yang tidak

memberikan ASInya sama sekali karena tidak keluar. Beberapa balita

sudah diberi makanan kurang dari usia 6 bulan, terutama pemberian

buah pisang dan biskuit (pemberian ASI parsial).

Pada penelitian ini pneumonia lebih banyak menyerang balita yang

tidak mendapat ASI eksklusif. Pentingnya pemberian ASI dikarenakan

ASI merupakan komponen penting bagi anak. Kandungan dalam ASI

yang diminum bayi selama pemberian ASI eksklusif sudah mencukupi

kebutuhan anak. Bahkan bayi yang baru lahir yang hanya mendapat

sedikit ASI pertama (kolostrum) tidak memerlukan tambahan cairan

karena bayi dilahirkan dengan cukup cairan di dalam tubuhnya (Hartanti

et al, 2012). Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih

banyak dari susu matang (matur). Dari kandungan zat kekebalan

tersebutlah yang membuat ASI dapat melindungi bayi dan anak dari

penyakit infeksi, misalnya diare, ootis media, dan infeksi saluran

pernapasan akut bagian bawah (Kemenkes RI, 2014).

Penilaian di lima negara Asia (Vietnam, Timor Leste, Filipina,

Indonesia, Kamboja) tentang faktor-faktor yang terkait dengan

kurangnya pemberian ASI eksklusif mengidentifikasi bahwa pekerjaan

ibu, rendahnya pendidikan ibu, dan ibu yang bekerja jauh dari rumah

merupakan faktor risiko untuk menghentikan pemberian ASI. Selain itu

bayi yang dilahirkan secara caesar juga berisiko untuk menggunakan

susu formula. Berdasarkan studi di Vietnam menunjukkan ibu lebih

Page 129: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

111

cenderung menggunakan susu formula sejak lahir setelah operasi caesar

(77%), karena rasa sakit pasca operasi dan ketakutan bahwa antibiotik

dapat ditransfer ke bayi melalui ASI (Nguyen et al., 2016).

Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI

eksklusif dengan kejadian pneumonia pada balita dapat disebabkan

karena adanya faktor lain yang menyertainya. Seperti hasil yang

didapatkan pada penelitian ini :

Tabel 6.1 Crosstab Riwayat ASI dengan Status Gizi

Riwayat ASI eksklusif

Tidak Iya

Gizi kurang 26 29

Gizi cukup 36 28

Pada tabel 6.1 dapat dilihat bahwa balita dengan ASI eksklusif

lebih banyak yang memiliki status gizi kurang (29 responden). Dan

balita dengan ASI tidak eksklusif lebih banyak memiliki status gizi

cukup (36 responden).

Balita dengan riwayat ASI eksklusif seharusnya memiliki sistem

imun yang lebih kuat, namun ternyata setelah lepas ASI justru balita

tersebut memiliki gizi kurang. Begitupun pada balita yang ASI tidak

eksklusif, yang seharusnya daya tahan tubuhnya tidak cukup kuat namun

karena pemenuhan gizinya baik maka membuat balita itu memiliki status

gizi cukup dimana hal itu akan berdampak pada daya tahan tubuhnya.

Kondisi seimbang seperti inilah yang berkemungkinan membuat

variabel ASI menjadi tidak berhubungan.

Terdapatnya kondisi tersebut dapat terjadi karena pola asuh ibu

yang kurang, dan asupan gizi yang tidak seimbang ketika anak mulai

Page 130: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

112

memasuki usia 6 bulan keatas. Sedangkan pada usia diatas 6 bulan,

penting untuk memberikan makanan pendamping ASI yang memiliki

gizi seimbang. Pemberian nutrisi yang tepat pada bayi akan

mengoptimalkan pertumbuhannya. Asupan nutrisi yang utama pada bayi

diperoleh dari makanan pendamping ASI, sedangkan memasuki usia 6

bulan, nutrisi pada bayi diperoleh dari makanan pendamping ASI.

Sehingga pola asuh ibu sangat menentukan kesehatan balita (Sutomo &

Dwi, 2010).

D. Pengaruh antara Faktor Lingkungan dengan Kejadian Pneumonia pada

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

1. Kepadatan Hunian

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit.

Semakin padat, maka perpindahan penyakit semakin cepat dan mudah

khususnya penyakit melalui udara. Selain itu kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat karena jumlah penghuni yang banyak dengan lahan huni

yang sempit menyebabkan kurangnya pertukaran udara di dalam rumah

yang dapat mempengaruhi kualitas udara dalam rumah (Syani et al.,

2015).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 54% balita yang tinggal di

hunian tidak padat, menderita pneumonia. Hasil penelitian inipun

menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan signifikan antara kepadatan

hunian dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang. Balita yang tinggal di hunian padat berisiko lebih rendah 0,850

kali untuk mengalami pneumonia.

Page 131: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

113

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Darmawati et al (2016) di wilayah kerja Puskesmas Yosomulyo Kota

Metro. Didapatkan hasil p value 0,546 yang berarti tidak ada hubungan

antara kepadatan hunian dengan insiden pneumonia pada anak balita. Hasil

serupa juga didapatkan dari hasil penelitian Pangandaheng et al (2013) di

wilayah kerja Puskesmas Tobelo Kabupaten Halmahera Utara, dan

penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih et al (2015) di Semarang yang

menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan

hunian rumah dengan kejadian pneumonia pada balita.

Kepadatan hunian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ketika

satu hunian rumah dengan luas yang tidak seberapa namun di huni oleh

banyak jiwa, yang dihitung dengan berpedoman pada KMK Nomor

829/Menkes/SK/VII/1999. Kepadatan hunian dalam penelitian ini dihitung

berdasarkan luas lantai per jumlah penghuni. Dikatakan tidak padat

apabila hasil perhitungan mendapatkan angka ≥8 m2/jiwa, dan dikatakan

padat apabila hasil perhitungan mendapatkan angka <8 m2/jiwa. Dari 124

responden, sebanyak 29,8% balita tinggal di hunian yang padat (<8

m2/jiwa). Dan 45,9% balita dengan hunian padat, menderita pneumonia.

Variabel kepadatan hunian erat kaitannya dengan ventilasi udara.

Kondisi rumah yang terlalu padat dan ventilasi kurang dapat

meningkatkan suhu udara di dalam rumah sehingga rumah terasa panas

karena upa air yang dihasilkan dari metabolisme dan benda-benda di

dalam rumah. Semakin banyak penghuni yang ada di dalam suatu ruangan

Page 132: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

114

kemungkinan akan meningkatkan risiko penularan penyakit terutama

balita yang memang masih rentan (Depkes RI, 2000).

Hasil penelitian ini menunjukkan grafik sebagai berikut :

Grafik 6.1 Gambaran Kasus Pneumonia Berdasarkan Luas

Ventilasi dan Kepadatan Hunian di Wilayah Kerja Puskesmas

Pamulang Tahun 2018

Grafik 6.2 diatas tersebut menunjukkan balita yang tinggal di hunian

tidak padat yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat dan terkena

pneumonia lebih banyak (34 orang) dibandingkan dengan balita pada

hunian padat yang ventilasinya tidak memenuhi syarat dan pneumonia (9

orang). Ventilasi tidak memenuhi syarat yang dimaksud adalah apabila

hasil perhitungan luas ventilasi yang didapat kurang dari 10% luas lantai

rumah. dan ventilasi yang akan dihitung adalah ventilasi yang berfungsi

atau digunakan. Dalam penelitian ini, apabila responden tidak membuka

ventilasinya maka ventilasi tersebut tidak akan dihitung, sehingga akan

masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat. Begitupun apabila memang

ventilasi yang digunakan juga hanya sedikit atau jika dihitung dan

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Padat Tidak Padat

Pn

eum

on

ia

Hunian

Ventilasi Tidak memenuhisyarat

Ventilasi memenuhi syarat

Page 133: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

115

dibandingkan dengan luas lantai rumah didapatkan hasil kurang dari

10%nya.

Grafik diatas menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara

kepadatan hunian dan pneumonia balita dapat disebabkan karena

kebiasaan membuka ventilasi pada sebagian besar responden yang

memiliki hunian padat. Sedangkan, ventilasi yang lancar dibutuhkan untuk

menghindari kurangnya kadar O2, bertambahnya CO2, suhu yang

meningkat dan kelembaban udara yang beratambah akibat penguapan air

dari kulit dan napas manusia, yang akan mempengaruhi

perkembangbiakan kuman penyebab pneumonia (Fikri, 2016).

2. Ventilasi Udara

Ventilasi udara berfungsi sebagai sarana sirkulasi untuk udara segar

masuk ke dalam rumah dan udara kotor keluar rumah dengan tujuan untuk

menjaga kelembaban udara di dalam ruangan. Rumah yang tidak

dilengkapi dengan ventilasi akan mengakibatkan suplai udara segar dalam

rumah sangat minim. Kecukupan udara segar dalam rumah sangat

dibutuhkan oleh penghuninya, karena kurangnya suplai udara akan

berpengaruh pada fungsi fisiologis alat pernapasan penghuni, terutama

bayi dan balita (Utami, 2014).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

signifikan antara ventilasi udara dengan pneumonia pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Pamulang. Balita yang tinggal di hunian dengan ventilasi

udara yang tidak sesuai standar berisiko 1,742 kali untuk mengalami

Page 134: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

116

pneumonia dibandingkan dengan balita yang tinggal di hunian dengan

ventilasi sesuai standar.

Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Yuwono (2008) di Semarang yang mengatakan bahwa terdapat hubungan

antara luas ventilasi dengan kejadian pneumonia balita (p value: 0,001).

Penelitian ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Sartika et

al (2011) di Kalimantan Barat dan penelitian yang dilakukan Pramudiani

& Prameswari (2011) dikatakan bahwa terdapat hubungan antara luas

ventilasi rumah dan pneumonia balita, serta luas ventilasi merupakan

faktor risiko terjadinya pneumonia.

Berdasarkan Permenkes RI (2011), ventilasi udara yang sesuai dalam

penelitian ini adalah responden yang memiliki ≥10% luas ventilasi

dibandingkan dengan luas lantai rumah. Luas ventilasi disini meliputi luas

lubang angina dan luas jendela yang terbuka/digunakan. Dari 124

responden, sebanyak 54% balita tinggal di rumah yang ventilasi udaranya

tidak memenuhi syarat (< 10% luas lantai). Dan sebanyak 64,2% balita

yang tinggal di hunian dengan ventilasi udara yang tidak sesuai standar,

menderita pneumonia.

Luas ventilasi udara yang tidak memenuhi syarat dapat disebabkan

karena tipe rumah yang kecil dan kepemilikan tanah yang sempit.

Ventilasi udara hanya terdapat di bagian depan rumah saja karena pada

bagian samping sudah berhimpitan dengan dinding rumah tetangga. Selain

itu tidak jarang responden yang memang tidak membuka jendela/pintu dan

menutup ventilasi udara sehingga tidak ada proses pertukaran udara dalam

Page 135: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

117

rumah dan tidak ada sinar matahari yang masuk yang dapat membunuh

bakteri atau virus (Notoadmodjo, 2003).

Menurut Notoatmodjo (2007), kurangnya ventilasi akan

menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang

bersifat racun akan meningkat. Selain itu, kurangnya ventilasi akan

menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan akan naik karena

terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapannya.

Kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri

patogen.

3. Pencahayaan

Rumah yang sehat memerlukan pencahayaan yang cukup.

Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah terutama cahaya alami

matahari dapat menyebabkan rumah menjadi tidak nyaman dan menjadi

media yang baik untuk bakteri dan kuman berkembangbiak. Cahaya juga

sangat penting untuk mengurangi kelembaban dan dapat membunuh

bakteri-bakteri patogen bakteri TB, penyakit mata dan penyakit saluran

pernapasan (Padmonobo, 2012).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 49,4% balita yang sering

berada di ruangan dengan pencahayaan kurang, menderita pneumonia.

Hasil penelitian inipun menunjukkan tidak adanya hubungan signifikan

antara pencahayaan dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja

Puskesmas Pamulang. Balita yang sering berada di ruangan dengan

pencahayaan yang kurang berisiko lebih rendah 0,889 kali untuk

mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang sering berada di

Page 136: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

118

ruangan dengan pencahayaan cukup. Hasil penelitian ini serupa dengan

penelitian yang dilakukan oleh Caesar (2014) yang mengatakan bahwa

tidak adanya hubungan bermakna antara pencahayaan dengan pneumonia

balita di wilayah kerja Puskesmas Ngesep Banyumanik Semarang (0,614).

Berdasarkan Kemenkes RI (2011) pencahayaan yang baik pada

penelitian ini adalah pencahayaan dengan nilai minimal 60 lux. Dari 124

responden, balita sering berada di ruangan dengan pencahayaan kurang

sebanyak 63,7%. Dan sebanyak 49,4% balita yang memiliki pencahayaan

kurang mengalami pneumonia. Hal tersebut yang menyebabkan pada

variabel pencahayaan tidak terdapat hubungan.

Pencahayaan yang diteliti dalam penelitian ini adalah cahaya alami

matahari. Peneliti mengukur ruangan yang sering ditempati balita

berdasarkan cahaya yang ada (tidak menyalakan lampu atau penerangan

buatan lain). Variabel pencahayaan diukur antara pukul 08.00-16.00 WIB,

dimana penerangan cahaya alami siang hari dimanfaatkan pada waktu

tersebut. Pada waktu tersebut, cahaya yang masuk ke dalam ruangan

melalui bukaan atau celah dapat berasal dari cahaya langit dan cahaya

matahari langsung (Suwantoro, 2006).

Pencahayaan dapat dipengaruhi oleh tata letak perabotan dalam

ruangan dan bidang pembatas ruangan (Syam & Rony, 2016). Tidak

adanya hubungan antara pencahayaan dengan kejadian pneumonia pada

balita dapat terjadi karena pada kelompok yang pencahayaannya kurang

lebih banyak yang bukan sakit pneumonia. Namun, jika dilihat dari jumlah

Page 137: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

119

penderita pneumonia balita, lebih banyak terjadi pada balita dengan

pencahayaan kurang (39 responden).

Selain itu pencahayaan bukanlah merupakan faktor utama

pneumonia pada balita, melainkan didukung oleh faktor lingkungan lain

seperti suhu, ventilasi udara, dan sebagainya. Bila sinar matahari dapat

masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur, dan suhu udara optimal

maka risiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang (Musadad,

2006).

4. Suhu

Hasil penelitian ini menunjkkan bahwa terdapat hubungan signifikan

antara suhu dengan pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Pamulang. Balita yang sering berada di ruangan dengan suhu tidak

memenuhi syarat berisiko 1,583 kali untuk mengalami pneumonia

dibandingkan dengan balita yang sering berada di ruangan dengan suhu

memenuhi syarat. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan

oleh Darmawati et al (2016) di wiilayah kerja Puskesmas Yosomulyo Kota

Metro, yang menunjukkan adanya hubngan antara suhu dengan kejadian

pneumonia pada balita (p value: 0,00).

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Agustyana et al (2018) di Semarang yang mengatakan ada hubungan

antara suhu dengan kejadian pneumonia pada balita (p value 0,016).

Tingginya suhu udara dapat disebabkan karena adanya perubahan kondisi

iklim akibat aktivitas manusia seperti penggunaan bahan bakar fosil yang

mempengaruhi efek gas rumah kaca yang mengakibatkan peningkatan

Page 138: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

120

suhu. Selain itu kurangnya vegetasi di daerah perumahan tersebut juga

dapat mempengaruhi peningkatan suhu udara di dalam ruangan. Hal ini

karena vegetasi dapat mengabsorbsi CO2 di udara sebesar 30%

(Kumbasari et al., 2017).

Berdasarkan Permenkes RI (2011), suhu yang memenuhi syarat

dalam penelitian ini adalah suhu ruangan antara 18ºC-30 ºC. Dari 124

responden, 38,7% balita sering berada di ruangan dengan suhu yang tidak

memenuhi syarat (< 18ºC atau >30 ºC). Dan sebanyak 66,7% balita yang

sering berada di ruangan dengan suhu yang tidak memenuhi syarat,

menderita pneumonia.

Suhu udara sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan

perkembangbiakan bakteri, virus, dan jamur yang merupakan penyebab

penyakit pneumonia. Seperti bakteri pneumococcus yang menjadi

penyebab tersering pneumonia, memiliki rentang suhu optimm dimana

bakteri tersebut dapat tumbuh pesat yaitu suhu 31-37ºC. Hal inilah yang

menyebabkan suhu sebagai faktor risiko pneumonia. Jika balita semakin

sering berada pada ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka

waktu panjang maka akan berpeluang terkena pneumonia (Syani et al.,

2015).

5. Kelembaban

Kelembaban yang terlalu tinggi menyebabkan suburnya

pertumbuhan mikroorganisme penyakit. Ruangan dengan kelembaban

udara yang tinggi dapat menjadi media yang baik untuk bakteri-bakteri

patogen. Kemudian, mikroorganisme yang hidup di ruangan lembab

Page 139: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

121

tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara yang terhirup oleh

saluran pernapasan sehingga akan mengakibatkan infeksi pada saluran

pernapasan (Gould dan Brooker, 2003).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan

signifikan antara kelembaban dengan pneumonia pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Pamulang. Balita yang sering berada di ruangan dengan

kelembaban yang tidak memenuhi syarat berisiko 1,204 kali untuk

mengalami pneumonia dibandingkan dengan balita yang sering berada di

ruangan dengan kelembaban yang memenuhi syarat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Pramudiani & Prameswari (2011) di yang menemukan bahwa tidak

adanya hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian

pneumonia pada balita (p value: 0,183). Penelitian ini didukung pula

dengan penelitian Kurniasih et al (2015) di Semarang yang menunjukkan

tidak adanya hubungan bermakna antara kelembaban dengan kejadian

pneumonia pada balita (p value: 1,00).

Berdasarkan Permenkes RI (2011), kelembaban yang memenuhi

syarat dalam penelitian ini adalah kelembaban dengan nilai 40%-60% Rh.

Dari 124 responden, sebanyak 59,7% balita sering berada di ruangan

dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat (<40% atau >60%). Dan

sebanyak 55,4% balita yang sering berada di ruangan dengan kelembaban

yang tidak memenuhi syarat, menderita pneumonia.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan dengan teori yang ada.

Tidak adanya hubungan antara kelembaban dengan kejadian pneumonia

Page 140: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

122

pada balita dapat dikarenakan keterkaitan antara suhu dengan kelembaban.

Daerah penelitian cenderung memiliki suhu tinggi sehingga sebagian besar

ruangan rumah responden memiliki kelembaban yang rendah. Namun,

tidak cukup rendah sehingga beberapa ruangan tetap masuk dalam

kategori tidak memenuhi syarat. Penelitian ini didukung dengan teori yang

menyatakan bahwa tingkat kelembaban yang rendah tidak berhubungan

dengan kejadian pneumonia karena bakteri patogen penyebab pneumonia

dapat tumbuh pada kelembaban relatif yaitu 85%, apabila tingkat

kelembaban ruangan rendah mengakibatkan metabolisme bakteri terhenti

(Yusuf et al., 2016).

6. Status Merokok Anggota Keluarga

Asap rokok tidak hanya berbahaya bagi perokoknya saja, tetapi juga

berbahaya bagi orang disekitarnya yang secara tidak langsung menghisap

(perokok pasif). Para perokok pasif lebih rentan terhadap berbagai bahaya

rokok bila menghirup asap sidestream, yaitu asap rokok yang dihasilkan

secara sendirinya dan bukan hasil hisapan pemiliknya dibanding dengan

mereka yang menghisap asap mainstream, atau asap yang dihasilkan dari

hisapan perokok aktif (Husaini, 2007).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan signifikan

antara status merokok anggita keluarga dengan pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Balita yang memiliki anggota

keluarga perokok berisiko 2,124 kali untuk mengalami pneumonia

dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki anggota keluarga

perokok. Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Page 141: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

123

Wardani (2014) di Magelang yang mengatakan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara paparan asap rokok dengan pneumonia balita. Selain itu

penelitian ini didukung pula oleh penelitian yang dilakukan Aprilioza et al

(2015) di Bandung dan penelitian Putri (2017) di Surakarta yang

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan merokok

orangtua dan kejadian pneumonia pada balita.

Status merokok anggota keluarga dalam penelitian ini adalah ada

atau tidaknya anggota keluarga yang merokok dalam keluarga responden.

Dari 124 responden, sebanyak 71,8% memiliki anggota keluarga yang

merokok. Dan sebanyak 60,7% balita yang memiliki anggota keluarga

perokok, menderita pneumonia. Sebagian besar anggota keluarga yang

merokok adalah ayah dan saudara dari responden yang tinggal dalam satu

rumah. Dan berdasarkan keterangan saat wawancara, sebagian besarnya

merupakan perokok berat. Dimana mereka menghabiskan 1 bungkus

rokok dalam satu hari, meskipun anggota keluarga tersebut jarang

merokok di dalam rumah namun asap rokok tetap menempel pada pakaian

dan terhirup balita saat masuk ke rumah dan main bersama.

Adanya seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar

risiko anggota keluarga yang menderita sakit, seperti gangguan

pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit angina

pectoris serta dapat meningkatkan risiko untuk mendapat serangan ISPA

khususnya pada balita (Wardani, 2016). Balita yang orangtuanya merokok

lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma,

pneumonia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam

Page 142: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

124

asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu, dan bakteri yang

tertumpuk dan tidak dapat dikeluarkan, serta menyebabkan bronchitis

kronis, lumpuhnya serat elastin di jaringan paru yang mengakibatkan daya

pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan

pecahnya kantong udara (Wardani, 2016).

Kebiasaan merokok di dalam rumah merupakan salah satu masalah

kesehatan yang kian mengkhawatirkan. Sumber asap rokok di dalam

ruangan (indoor) lebih membahayakan daripada di luar ruangan (outdoor)

karena sebagian besar orang menghabiskan 60-90% waktunya selama satu

hari penuh di dalam ruangan. Populasi yang rentan terhadap asap rokok

adalah anak-anak, karena mereka menghirup udara lebih sering daripada

orang dewasa. Selain itu organ anak-anak masih rentan terhadap gangguan

dan masih berkembang sehingga jika terkena dampak buruk maka

perkembangan organnyapun jadi terganggu (Depkes, 2008).

E. Perspektif Islam Terkait Kejadian Pneumonia pada Balita

Kesehatan merupakan salah satu faktor penentu seseorang dalam

kehidupan. Sejak zaman Rasulullah pun kesehatan sudah menjadi aspek

penting dalam berislam. Kesehatan jasmani dan rohani merupakan rahmat

yang setinggi-tingginya yang dilimpahkan Allah SWT atas hambanya. Segala

harta dan kekayaan, kebesaran dan kemuliaan tidak ada gunanya apabila ia

tidak disertai dengan badan dan penghidupan yang sehat. Dengan kesehatan

jasmani dan rohani akan memberikan perasaan bahagia kepada semua

manusia. Dalam hal ini dikatakan bahwa badan dan roh yang sehat adalah

Page 143: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

125

pokok segala bahagia dan kesenangan. Seperti hadits riwayat berikut:

Artinya :

“Dua kenikmatan yang banyak manusia menjadi rugi (karena tidak

diperhatikan), yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari)

Kesehatan adalah dasar yang sangat penting untuk terwujudnya kekuatan

seorang mukmin. Tanpa kesehatan manusia tidak dapat melakukan kegiatan

yang menjadi tugas serta kewajibannya yang menyangkut kepentingan diri

sendiri, keluarga, dan masyarakat maupun tugas dan kewajian melaksanakan

ibadah kepada Allah SWT. Selain itu kesehatan juga merupakan amanah

yang wajib kita syukuri dengan cara menjaga, memelihara, merawat dan

harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang diridhoi Allah

SWT.

Ajaran islam mengajarkan supaya hidup sehat baik jasmani dan rohani.

Untuk itu umat islam harus melaksanakan berbagai upaya untuk senantiasa

menjaga kesehatannya seperti pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat,

juga upaya memahami ilmu kesehatan maupun upaya untuk berobat,

memelihara kesehatan, mencegah terjangkitnya penyakit dan sebagainya.

Seperti yang tertuang dalam surah Ar-Ra’d ayat 11:

Page 144: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

126

Artinya :

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di

muka dan di belakangnya, mereka menjaga atas perintah Allah.

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka

merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah

menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat

menolaknya; dan sekali-kali taka da perlindungan bagi mereka selain Dia”.

(QS. Ar-Ra’d ayat 11)

Segala sesuatu yang terjadi termasuk kesakitan memang takdir Allah.

Takdir sebagai salah satu rukun iman telah disepakati oleh jumhur ulama

sebagai suatu kewajiban setiap muslim untuk meyakininya, namun kita

sebagai umat islam tidak dapat menyerah begitu saja kepada takdir, tetapi

harus ada upaya kearah perbaikan tersebut. Contoh kasus yang dijumpai

dalam sejarah islam adalah kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah

Umar bin Khatab. Diwaktu Umar bin Khatab menarik tentaranya dari Syiria

karena daerah tersebut terjangkit wabah sampar, sebagian sahabat keberatan

atas kebijaksanaan tersebut, mereka menganggap Khalifah Umar melarikan

diri dari takdir Allah, terhadap anggapan tersebut Khalifah Umar menjawab

dengan tegas : “Ya aku lari dari kehendak Allah, tetapi menuju kehendak

Allah”. Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar tidak berarti menentang

takdir Allah, tetapi justru berusaha supaya terhindar dari musibah yang buruk

yaitu penyakit wabah sampar.

Dengan pemahaman takdir seperti itu, islam menganjurkan dan

cenderung mewajibkan seseorang untuk mampu memelihara kesehatan baik

Page 145: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

127

perorangan, keluarga maupun masyarakat. Penyakit yang menimpa seseorang

selalu dirasakan sebagai sesuatu yang menyusahkan. Untuk menhindarinya,

sebaiknya mengambil langkah pencegahan. Dimana penjagaan diri pada

waktu sehat lebih baik daripada pengobatan pada waktu sakit. Maka dari itu

penting sekali untuk melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit

termasuk pneumonia yang masih menjadi masalah utama pada anak balita.

Pencegahan terhadap anak merupakan bentuk kewajiban orang tua

terhadap amanah yang telah diberikan Allah SWT. Islam memandang anak

sebagai karunia yang mahal harganya, dimana karunia tersebut harus dijaga

dan dilindungi oleh orangtua. Islam telah memberikan perhatian yang besar

terhadap perlindungan anak dalam bentuk memenuhi semua hak-haknya,

menjamin kebutuhan sandang dan pangannya, menjaga nama baik dan

martabatnya, serta menjaga kesehatannya.

Penyakit pneumonia dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko.

Faktor risiko pasti yang dapat mempengaruhi kejadian pneumonia adalah

malnutrisi, berat badan lahir rendah, ASI non eksklusif, kurangnya imunisasi

campak, dan polusi udara di dalam rumah (WHO, 2008). Hal tersebut dapat

mempengaruhi terjadinya pneumonia karena dapat menyebabkan imunitas

anak terganggu, maka dari itu sangat diperlukan upaya pencegahan terhadap

anak agar tidak terkena pneumonia.

Menjaga kesehatan anak dapat dimulai dengan pemberian ASI. Islam

memberikan hak pada seorang anak bayi untuk mendapatkan ASI maksimal

selama dua tahun. Sebagaimana Allah SWT telah memerintahkan untuk

Page 146: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

128

memberikan ASI eksklusif yang memiliki banyak manfaat seperti dijelaskan

dalam surah Al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut :

Artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah

memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang

tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang

ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena

anaknya, dan warisanpun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin

menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan

permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin

anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosan bagimu apabila

kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu

kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu

kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)

Hikmah yang terkandung dalam ayat di atas adalah menekankan bahwa

ASI sangat penting bagi bayi. Melalui ASI, secara teoritis dalam ilmu

kesehatan, dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi dan secara psikologis, anak

Page 147: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

129

merasakan kasih saying, kelembutan, dan perhatian dari orang tuanya. ASI

merupakan makanan yang ideal untuk balita terutama untuk bulan-bulan

pertama kehidupan. ASI mengandung semua zat gizi untuk membangun dan

penyediaan energi bagi balita sehingga balita dapat memiliki status gizi

normal dan ASI memiliki berbagai zat anti infeksi serta antibodi sehingga

balita dapat terhindar dari berbagai penyakit infeksi seperti pneumonia

(Sitorus, 2015).

Al-Qur’an sejak dini telah menggariskan bahwa air susu ibu, baik ibu

kandung ataupun bukan, merupakan makanan terbaik untuk bayi hingga dua

tahun. Dimana dua tahun merupakan batas maksimal dari kesempurnaan

penyusuan. Penyusuan yang selama dua tahun tersebut walaupun

diperintahkan tapi bukan kewajiban. Namun demikian, memberi ASI adalah

anjuran yang sangat ditekankan seakan-akan itu adalah perintah wajib

(Ruslaeni, 2009).

Pada ayat tersebut juga disinggung tentang peran sang ayah untuk

mencukupi keperluan sandang dan pangan si ibu, agar si ibu dapat menyusui

anaknya dengan baik. Dan apabila ayah menyediakan makanan yang baik dan

bergizi untuk sang istri maka ASI yang diberikan untuk bayi pun akan

mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan bayi.

Keputusan untuk menyapih seorang anak sebelum dua tahun harus

dilakukan dengan persetujuan bersama antara suami dan istri dengan

mengutamakan kepentingan terbaik bagi sang bayi. Pengambilan keputusan

tersebut harus didasarkan pada penghormatan atas perintah Allah dan

pelaksanaan hokum-Nya. Serta tidak bertujuan untuk meremehkan perintah-

Page 148: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

130

Nya. Demikian pula jika seorang ibu tidak bisa menyusui, dapat diputuskan

untuk menyusukan bayinya pada wanita lain, sehingga haknya untuk

mendapat ASI tetap tertunaikan.

Selain melalui ASI, pemenuhan zat gizi juga didapat dari asupan

makanan anak. Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi

kelangsungan hidup manusia. Makanan merupakan sumber energi, sehingga

pertumbuhan tubuh manusia sangat tergantung pada makanan yang

dikonsumsinya, begitu juga dengan kondisi kesehatan. Jika apa yang kita

makan itu baik dan bergizi nantinya akan berdampak pada kondisi kesehatan

yang baik pula. Melihat arti pentingnya makanan bagi manusia, Islam

menaruh perhatian besar soal makanan.

Dalam Al-Qur’an disebutkan secara berulang kata tha’am yang diartikan

makanan, dan juga perintah untuk makan, ẚkala. Perintah makan bagi

manusia tentunya dalam arti makanan yang oleh Islam disebut makanan yang

halal serta diikuti sifat thayyib. Istilah thayyiban artinya makanan yang baik,

yaitu yang mengandung gizi dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh dan

tidak menimbulkan efek yang berbahaya bagi kesehatan. Dalam surah Abasa

ayat 24-32 dijelaskan bahwa kita dianjurkan umtuk memerhatikan makanan

serta minuman.

Page 149: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

131

Artinya:

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya

Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah

bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu.

Anggur dan sayur-sayuran, zaitun dan kurma, kebun-kebun (yang) lebat, dan

buah-buahan serta rumput-rumputan. Untuk kesenanganmu dan untuk

binatang-biantang ternakmu” (Q.S. ‘Abasa: 24-32).

Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa memperhatikan

makanan dan minuman yang kita konsumsi. Masalah penyakit yang timbul

dalam tubuh manusia sebagian besar disebabkan oleh pola makan yang tidak

sehat. Rasulullah SAW, memberi perhatian besar pada masalah penyakit

yang disebabkan oleh makanan tidak sehat, berlebih-lebihan, dan tidak

mengandung gizi atau tidak memenuhi syarat untuk kesehatan. prinsip

terpenting yang diajarkan rasulullah adalah apa yang dimakan haruslah

seimbang, sederhana, dan menjaga tubuh agar tidak mudah terserang

penyakit (Ilahi, 2015).

Allah SWT juga menganjurkan dalam surah An-Nahl ayat 69 untuk

memakan buah-bahan dan madu untuk menjaga kesehatan. Buah-buahan

memiliki banyak manfaat bagi kesehatan sehingga balita diatas 6 bulan dapat

diberi makan buah-buahan dan madu yang mempunyai manfaat untuk

menambah nafsu makan. Sehingga dengan begitu akan memperbaiki status

gizi balita yang kurang dan mempertahankan status gizi balita yang baik.

Selain itu, madu dipercaya memiliki khasiat yang baik, dimana dapat

Page 150: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

132

digunakan sebagai obat untuk penyakit saluran pernapasan seperti pilek, dan

keluhan ISPA lainnya (An-Najjar & Kahil, 2012).

Artinya:

“Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan, lalu tempuhlah jalan

Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar

minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamya terdapat

obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu

benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir”.

(Q.S. AN-Nahl: 69)

Selain memperhatikan gizi balita, orang tua juga harus memperhatikan

lingkungan sekitar balita. Lingkungan adalah amanat. Allah SWT

mewajibkan para hamba-Nya untuk menjaga kebersihan, kesehatan, dan

keindahan lingkungannya. Peduli dengan lingkungan yang sehat akan

menciptakan kehidupan yang sehat pula. Ajaran Islam sangat memperhatikan

masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu

kesehatan.

Dalam terminologi Islam, masalah yang berhubungan dengan kebersihan

disebut dengan al-Thaharat. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, al-

thaharat meruakan salah satu bentuk upaya preventif, berguna untuk

menghindari penyebaran berbagai jenis kuman dan bakteri. Seperti halnya

kebanyakan ulama membagi thaharat menjadi dua yaitu, rohani dan lahiriah.

Page 151: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

133

Kesucian rohani meliputi kebersihan hati, jiwa, akidah, akhlak, dan pikiran.

Sedangkan kesucian lahiriah meliputi kebersihan badan, pakaian, tempat

tinggal, jalan dan segala sesuatu yang dipergunakan manusia dalam urusan

kehidupan (Anam, 2016).

Seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Baihaqi berikut :

Artinya :

“Agama Islam itu (agama) yang bersih, maka hendaklah kamu menjaga

kebersihan, karena sesungguhnya tidak akan masuk 133anja kecuali orang-

orang yang bersih”. (HR. Baihaqi)

Hadits tersebut menjelaskan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari

iman. Allah SWT adalah dzat yang baik, bersih, mulia, dan bagus. Karena

Allah menyukai hal-hal demikian. Sebagai umat islam, maka sudah

sepatutnya untuk memiliki sifat yang demikian pula terutama dalam hal

kebersihan tempat tinggal. Adapun dalam menjaga balita terhindar dari

pneumonia salah satunya dengan memperhatikan lingkungan tempat tinggal.

Karena sebagian besar waktu yang dihabiskan oleh balita adalah di dalam

rumah. Seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat berikut :

Artinya :

“Sesungguhnya Allah itu baik, mencintai kebaikan, bahwasanya Allah itu

bersih, menyukai kebersihan, Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan,

Page 152: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

134

Dia Maha Indah menyukai keindahan, karena itu bersihkan tempat-

tempatmu”. (HR. Tirmidzi)

Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT adalah dzat yang

Maha Baik, Maha Suci, danMaha Indah. Dia mencintai kebaikan, kesucian,

kemuliaan, dan keindahan. Agar kita dicintai Allah maka hendaklah kita

senantiasa berbuat kebaikan, menjaga kesucian (kebersihan lahir dan batin),

mengagungkan Allah SWT dan berbuat kemuliaan terhadap 134anjan

manusia dan menjadikan tempat tinggal dan lingkungannya terlihat teratur,

tertib, dan indah.

Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sangat penting terutama untuk

menjaga diri agar tetap sehat, dan mengurangi risiko diri kita maupun orang

terdekat terserang penyakit. Seperti dalam upaya pencegahan pneumonia,

karena pneumonia merupakan penyakit infeksi, maka untuk mengurangi

risiko hendaklah orang tua menjaga kebersihan diri, keluarga dan lingkungan

agar tidak menjadi tempat tumbuhnya bakteri atau kuman. Selain itu perlunya

pembiasaan membuka ventilasi udara penting pula untuk menjaga lingkungan

rumah agar tetap segar dan terhindar dari penyakit pernapasan seperti

pneumonia.

Selain itu, sebagai orang tua perlu juga memperhatikan kebiasaan buruk

yang akan berdampak pada kesehatan anak. Salah satu yang paling sering

dijumpai dan sulit ditinggalkan adalah kebiasaan merokok orang tua.

Merokok atau yang dalam 134anjan Arab disebut tadkhin mengakibatkan

berbagai macam penyakit. Tidak hanya menyerang orang yang merokok saja,

tetapi orang di sekitarnya pun akan terkena dampaknya.

Page 153: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

135

Islam tidak melarang siapapun melakukan tindakan yang berkaitan

dengan kebiasaan seseorang selama hal tersebut tidak merugikan pihak lain.

Namun, islam mengajarkan umatnya untuk tidak melakukan kegiatan yang

merugikan diri sendiri maupun orang lain. Dan seperti diketahui bahwa

merokok sejatinya merupakan kebiasaan yang merusak kesehatan. Maka

dapat dinilai bahwa rokok adalah kebiasaan yang tidak baik dilakukan bagi

umat muslim. Hadits tentang larangan merokok memang tidak dituliskan

secara

jelas. Namun, Allah SWT telah menerangkan dalam surah Al-A’raaf ayat 157

yaitu :

Artinya :

“(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang

(135anjang) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi

mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang

mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka

segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan

membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada

mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya,

Page 154: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

136

menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya

(al-Quran) mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al-A’raaf: 157)

Dari ayat tersebut telah menjelaskan bahwa Allah SWT telah

menghalalkan segala yang baik bagi umat manusia dan mengharamkan yang

buruk bagi manusia. Secara ilmu pengetahuan dan kesehatan, rokok

merupakan barang yang berpotensi untuk membuat kondisi pemakainya dan

orang sekitarnya menjadi menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa merokok

adalah kebiasaan yang tidak baik serta dilarang oleh Allah SWT. Dampak

dari merokok juga telah disebutkan pada kemasan rokok itu sendiri. Dalam

ayat yang lain Allah berfirman :

Artinya :

“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu

menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena

sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-

Baqarah: 195)

Dalam surat Al-Baqarah tersebut menjelaskan kepada kita sebagai umat

islam untuk tidak menggunakan apapun untuk menghancurkan diri kita

sendiri. Sebagaimana firman Allah tersebut, kita mengetahui bahwa rokok

sebenarnya dapat membunuh manusia secara perlahan. Maka dari itu sebagai

orang tua sudah sepatutnya memberikan contoh dan suritauladan yang baik

bagi anak. Hentikan kebiasaan buruk seperti merokok demi diri sendiri dan

juga keluarga.

Page 155: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

137

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Lebih dari 50% balita di Puskesmas Pamulang mengalami pneumonia.

2. Gambaran karakteristik balita terhadap pneumonia yaitu, sebagian besar

balita yang terkena pneumonia berusia > 1 tahun, berjenis kelamin

perempuan, lahir dengan berat badan normal, memiliki status gizi kurang,

riwayat imunisasi tidak lengkap, tidak mengkonsumsi vitamin A, dan

tidak mendapatkan ASI eksklusif.

3. Gambaran faktor lingkungan terhadap pneumonia yaitu, sebagian besar

balita yang terkena pneumonia tinggal di hunian tidak padat, memliki

ventilasi udara yang tidak sesuai, memiliki ruangan dengan pencahayaan

kurang, suhu yang tidak memenuhi syarat, kelembaban ruangan yang

tidak memenuhi syarat, dan adanya anggota keluarga yang merokok.

4. Ada hubungan antara karakteristik balita (BBLR, status gizi, riwayat

imunisasi, dan konsumsi vitamin A) dengan kejadian pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

5. Ada hubungan antara faktor lingkungan (ventilasi udara, suhu, dan status

merokok anggota keluarga) dengan kejadian pneumonia pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2018.

B. Saran

Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :

Page 156: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

138

1. Bagi Puskesmas Pamulang

a) Mengadakan kegiatan edukasi kepada orang tua yang mempunyai

anak balita mengenai pentingnya pemberian ASI eksklusif, pemberian

vitamin A, pemenuhan gizi optimal, dan pentingnya imunisasi

campak dan DPT untuk balita. Kegiatan edukasi dapat berupa

komunikasi interaktif antara petugas dengan orangtua balita yang

berobat, dan penayangan video pada layar di ruang tunggu pasien

sehingga sembari menunggu, pasien dan wali dapat melihat video

tersebut.

b) Pemberian makanan pendamping ASI kepada balita dengan gizi

buruk yang datang berobat ke puskesmas seperti biskuit balita atau

buah-buahan dan susu.

c) Melakukan skrinning vitamin A (apabila ada balita yang belum

mendapatkan vitamin A, maka diberi sesuai usianya).

d) Memberi edukasi dan pemahaman kepada orang tua balita tentang

pentingnya kebiasaan membuka jendela/ventilasi untuk sirkulasi

udara

e) Membuat program kerja yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan

seperti membuka jendela 8 jam sehari (pagi-sore) dan bekerja sama

dengan pemangku kebijakan setempat untuk mengadakan monitoring

dan evaluasi.

f) Diadakannya ruang khusus konseling tentang ‘stop merokok’ sebagai

upaya mengurangi atau memberhentikan konsumsi rokok pada

Page 157: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

139

orangtua balita yang diketahui merokok, dilakukan usai pemeriksaan

sebagai syarat mendapatkan resep obat.

g) Koordinasi dengan lintas sektor terkait pemantauan balita pneumonia,

seperti kader atau bidan desa untuk memastikan bahwa pasien

tersebut kontrol ulang atau dinyatakan sembuh.

1. Bagi Masyarakat Sekitar

a) Membiasakan untuk membuka ventilasi udara atau pintu, sehingga

terdapat sirkulasi udara yang baik dan sinar matahari dapat masuk dan

membunuh bakteri penyebab penyakit.

b) Rajin membersihkan lingkungan rumah dan menghindarkan anak dari

asap rokok atau polusi udara lainnya. Jangan membiasakan merokok

di dalam rumah tempat anak bermain.

c) Menjaga asupan gizi anak, mulai dari pemenuhan ASI, gizi seimbang,

dan kebutuhan vitamin serta mineral. Dan lengkapi imunisasi dasar

anak.

d) Memperhatikan tata letak bangunan rumah (kecukupan ventilasi

udara, membuat celah atau memasang kaca transparan untuk

masuknya cahaya matahari, dan sebagainya).

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

a) Melakukan penelitian dengan sampel yang lebih besar dengan analisis

multivariat untuk mengetahui faktor dominan yang mempengaruhi

kejadian pneumonia pada balita.

b) Melakukan penelitian lebih lanjut dengan meneliti etiologi pneumonia

pada balita, dengan populasi yang berbeda.

Page 158: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

140

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., dan Lichtman A.H. 2007. Cellular and Molecular Immunology.

Edisi ke 6. WB Saunders Company Saunders. Philadelpia.

Ahmad, D. 2018. Pengertian Suhu Udara. Artikel www.sridati.com diakses pada 3

Oktober 2018 (09:40).

Almatsier, S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama.

Almirall J, Bolíbar I, Vidal J, Sauca G, Coll P, Niklasson B, et al. 2000.

Epidemiology Of Community-Acquired Pneumonia In Adults: A

Population Based Study. Eur Resp J. 12:757–63.

Amin, K. Z. 2014. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan kejadian Pneumonia

Berulang pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Ngasrep Kota

Semarang Tahun 2014. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

An-Najjar, Zaglul dan Kahil, Abdul Daim. 2012. Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah

Al- Quran dan Hadits 5: Mukjizat Ilmiah tentang Gaya Hidup, Kesehatan,

dan Pengobatan. PT. Ikrarmandiri Abadi. Jakarta.

Annah, I., R. Nawi, dan J. Ansar. 2012. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Anak

Umur 6-59 Bulan di RSUD Salewangan Maros Tahun 2012. Artikel

Penelitian. Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin. Makassar

Anwar, A. dan I. Dharmayanti. 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.

Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8(8): 359-365.

Aprillioza, A., D. S. Argadireja, dan Y. Feriandi. 2015. Hubungan Kebiasaan

Merokok pada Orang tua di Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada

Page 159: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

141

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Plered. Prosiding Pendidikan Dokter.

Universitas Islam Bandung: 325-328.

Agustyana, Koni., et al. 2018. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian

Pneumonia pada Balita di Daerah Perkotaan (Studi Wilayah Kerja

Puskesmas Bergas). Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(1): 176-185..

Azrimaidaliza. 2007. Vitamin A, Imunitas dan Kaitannya dengan Penyakit

Infeksi. Jurnal Kesehatan Masyarakat 1(2): 90-96.

Bratawidjaja, K. G. 2006. Immunologi Dasar. Edisi ke-7. Balai Penerbit FK UI.

Jakata

Brambilla, D., et al. 2008. The Role Antioxidant Aupplement in Immune System

Neoplastic, and Neurodegenerative Disorders a Point of View for an

Assesment of The Risk/Benefit. England: Biomed Central Ltd 7(39): 1-9.

Britton, J., dan Edwards, F. 2007. Tobacco Smoking, harm reduction, and nicotine

product regulation. Lancet 317(9610): 441-445.

Chandra, B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Jakarta.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2016. Pneumonia an Infection

of The Lungs. https://www.cdc.gov/dotw/pneumonia/. 20 Juli 2018 (19:09)

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2017. Pneumonia.

https://www.cdc.gov/dotw/pneumonia/. 20 Juli 2018 (14:31)

Dando CLS., Koamesah S.M.J., Dedy M.A.E. 2014. Analisis Faktor Risiko

Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Noemuke

Kabupaten Timur Tengah Selatan Januari 2013-Juli 2014. Cendana Med

Journal. 5(2):106-115.

Page 160: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

142

Darmawati, Ayu Tri., Elvi Sunarsih, dan Inoy Trisnaini. 2016. Hubungan Faktor

Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku dengan Insiden Pneumonia pada Anak

Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Yosomulyo Kota Metro. Jurnal Ilmu

Kesehatan Masyarakat. 7(1): 6-13.

Depkes RI. 2002. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA) untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita.

Depkes RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional

Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Depkes RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2006 Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan

Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak ditingkat Pelayanan Kesehatan.

Depkes RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.

Depkes RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita.

Depkes RI. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A.

Direktorat Jendral Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan RI.

Jakarta

Departemen Kesehatan RI. 1996. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit

Infeksi Saluran Pernafasan Akut untuk Penanggulangan Pneumonia pada

Balita. Direktorat Jendral PPM&PLP. Jakarta.

Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. 2016. Profil Dinas Kesehatan Kota

Tangerang Selatan 2015. Dinkes. Tangerang Selatan.

Page 161: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

143

Domili M.F.H., dan Nontji W. V. N. A. 2013. Faktor yang Berhubungan dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Mogoloto.

Skripsi. Universitas Negeri Gorontalo.

Efni, Y., R. Machmud, D. Pertiwi. 2014. Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan

Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kelurahan Air Tawar Barat

Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 5(2): 365-370.

Falagas, M. E., 2007. Sex Differences In The Incidence and Severity of

Respiratory Tract Infections. Tufts University School of Medicine.

Boston.

Fitria, et al. 2013. Merokok dan Oksidasi DNA. Jurnal Sains Medika. 5(2): 113-

120.

Fikri, B. A. 2016. Analisis Faktor Risiko Pemberian ASI dan Ventilasi Kamar

terhadap Kejadian Pneumonia Balita. The Indonesian Journal of Public

Health. 11(1): 14-27.

Garina, L. A., S. F. Putri, dan Yuniarti. 2016. Hubungan Faktor Risiko dan

Karakteristik Gejala Klinis dengan Kejadian Pneumonia pada Balita.

Global Medical and Health Communication. 4(1): 26-31.

Guantari, Ni Luh., Agung Wiwiek, dan I Wayan. 2012. Perbandingan Kejadian

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Puskesmas 1 Ubud dan

Puskesmas II Denpasar Selatan Januari-Oktober 2012. Jurnal Publikasi.

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali.

Gozali, A. 2010. Hubungan antara Status Gizi dengan Klasifikasi Pneumonia pada

Balita di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta. Skripsi.

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Page 162: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

144

Gould D dan Broker C. 2003. Mikrobiologi Terapan untuk Perawat. EGC. Jakarta

Gunawan, J. Rahma. 2013. Pengaruh Pemberian Gabungan Ekstrak Phaleria

Macrocarpa dan Phyllanthus Nirori Terhaap Limfoblas Limfapada Mencit.

Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro. Semarang.

Hananto, M. 2004. Analisis Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian

Pneumonia pada Balita di 4 Provinsi di Indonesia. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia. Jakarta.

Hartanti, S., N. Nurhaeni, dan D. Gayatri. 2012. Faktor Risiko Terjadinya

Pneumonia pada Anak Balita. Jurnal Keperawatan Indonesia. 15(1): 13-

20.

Hedlund, J.M., Mats Kalin, dan Ake Ortqvist. 2005. Streptococcus Pneumoniae:

Epidemiology, Risk Factors and Clinical Features. Semir Respir Crit Care

Med. 26(6): 563-574.

Hockenberry, M.J., dan Wilson, D. 2009. Wong’s Essentials of Pedriatic Nursing.

8nd ed. Elsevier Mosby. St. Louis Missouri.

Hooven, T.A., Polin, R.A., 2017. Pneumonia. Seminars in Fetal & Neonatal Med.

22, 206–213.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2013. Nilai Nutrisi Air Susu Ibu.

www.idai.or.id. 27 Juli 2018 (13:56).

Iskandar, A., S. Tanuwijaya, dan L. Yuniarti. 2015. Hubungan jenis Kelamin dan

Usia Anak Satu sampai Lima Tahun dengan Kejadian Infeksi Saluran

Pernapasan Akut (ISPA). Global Medical and Health Communication.

3(1): 1-6.

Ilahi, Takdir M. 2015. Revolusi Hidup Sehat Ala Rasulullah. Katahati. Yoyakarta.

Page 163: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

145

Jenkins SG, Brown SD, Farrell DJ. Trends In Antibacterial Resistance Among

Streptococcus Pneumoniae Isolated In The USA: update from PROTEKT

US Years 1-4. Annals of clinical microbiology and antimicrobials.

1008;7:1. PubMed PMID: 18190701. Pubmed Central PMCID:

PMC2261084. Epub 1008/01/15. Eng.

Judarwanto, W. 2009. Imunologi Vaksin. Children Allergy Clinic Information

Education Network. https://childrenallergyclinic/imunologi. 27 Juli 2018

(18:56).

Kasjono, H. S. 2011. Penyehatan Pemukiman. Gosyen Publishing. Yogyakarta.

Kartasasmita, B.C. 2010. Pneumonia Pembunih Balita. Buletin Jendela

Epidemiologi. 3(22): 6.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pneumonia Balita. Buletin Jendela

Epidemiologi. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2012. Modul Tatalaksana 145anjang145 Pneumonia.

Kemenkes RI. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar

Provinsi Banten 2013. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan penelitian

dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan Tahun 2012. Direktorat Jenderal P2PL. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Kemenkes RI. Jakarta

Page 164: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

146

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Menkes Canangkan Crash Program Campak

Diintegrasikan Bulan Pemberian Kapsul Vitamin A. www.depkes.go.id .

20 Juli 2018 (19:19)

Kementerian Kesehatan RI. 2017. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016.

Kemenkes RI. Jakarta

Kemenerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1405/Menkes/SK/XI/2002.

Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industi.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia.19 Nopember 2002. Menteri

Kesehatan. Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 829/Menkes/SK/VII/1990.

Persyaratan Kesehatan Perumahan..20 Juli 1999. Menteri Kesehatan.

Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1995/Menkes/SK/XII/2010. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi

Anak..30 Desember 2010. Menteri Kesehatan RI 2011. Jakarta.

Keperien J, Bastiaan S, et al. Development of The Immune System Early Nutrion

and Consequences for Later Life. www.IntechOpen.com. 1 Januari 2019

(14:50).

Khomsan, A. dan F. Anwar. 2008. Sehat itu Mudah, Wujudkan Hidup Sehat

dengan Makanan Tepat. Cetakan I. PT Mizan Publika. Jakarta.

Kumbasari T.A., Budiyono Astoria N. 2017. Perbandingan Kejadian Pneumonia

pada Balita yang Tinggal di Dataran Tinggi dan Dataran Rendah ditinjau

Page 165: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

147

dari Faktor Iklim Kota Semarang Tahun 2012-2016. Jurnal Kesehatan

Masyarakat. 5(5):898-905.

Kurniasih, E., Suhartono, Nurjazuli. 2015. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik

Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita (Studi Kasus di Wilayah

Kerja Puskesmas Candi Lama Kecamatan Candisari Kota Semarang).

Jurnal Kesehatan Masyarakat. 3(1):2356-3346.

Kresno, S. Boedina. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. UI

Press. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Lapau, Buchari. 2013. Metode Penelitian Kesehatan: Metode Ilmiah Penulisan

Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.

Laporan Bulanan 3 (LB3) Puskesmas Pamulang. 2017.

Mahalanabis, et al. 2002. Risk Factors For Pneumonia In Infants And Young

Children And The Role Of Solid Fuel For Cooking : A Case-Control

Study. Epidemiol. Infect. 129: 65-71

Maryani, L & Muliani, R. 2010. Epidemiologi Kesehatan Pendekatan Penelitian.

Yogyakarta : Graha Ilmu

Maryunani, A. 2010. Ilmu Kesehatan Anak. CV. Trans Info Media. Jakarta.

Mokoginta, D., A. Arsin, dan D. Sidik. 2013. Faktor Risiko Kejadian Pneumonia

Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Kota Makassar.

Artkel Penelitian. Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Hasanuddin. Makassar.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Pernapasan. Salemba Medika. Jakarta.

Page 166: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

148

Musadad, Anwar. 2006. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Penularan

TB Paru Kontak Serumah. Jurnal Ekologi Kesehatan. 5(3): 486-496.

Mukono, H.J., 2000. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya Univ.

Airlangga.

Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar.

Rineka Cipta. Jakarta.

Notoadmodjo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Rineka Cipta.

Jakarta.

Nurnajiah, M., Rusdi, dan Desmawati. 2016. Hubungan Status Gizi dengan

Derajat Pneumonia pada Balita di RS. Dr. M. Djamil Padang. Jurnal

Kesehatan Andalas. 5(1): 250-255.

Nirmolia, Nabanita et al. 2017. Prevalence and Risk Factors of Pneumonia in

Under Five Children Living in Slums of Dibrugarh Town. Clinical

Epidemiology and Global Health. 4(196):1-4.

Nguyen, T.K.P., et al. 206. Risk Factors for Child Pneumonia-Focus on The

Western Pacific Region. Pediatric Respiratory Reviews. 7.

Padmonobo, H., O. Setiani, dan T. Joko. 2012. Hubungan Faktor-Faktor

Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia di Wilayah Kerja

Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan

Indonesia. 11(2): 194-198.

Patria, M. A. 2016. Faktor Risiko Pneumonia paa Balita di Indonesia:

148anjang148e Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan

Masyarakat. Jurmal Kesehatan Masyarakat. 10(2): 57-62.

Page 167: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

149

Pamungkas, D. R. 2012. Analisis Faktor Risiko Pneumonia pada Balita di 4

Provinsi di Wilayah Indonesia Timur (Analisis Data Riset Kesehatan

Dasar Tahun 2007). Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia. Depok.

Pangandaheng, Febbryani., Ricky C. Sondakh., dan Janno Bernadus. 2013.

Hubungan Antara Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan

Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tobelo

Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Publikasi. Universitas Sam Ratulangi

Manado.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.

Pramudiyani, N. A., G. N., dan Prameswari. 2011. Hubungan antara Sanitasi

Rumah dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan

Masyarakat. 6(2): 71-78.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1077/Menkes/Per/V/2011.

Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. 27 Mei 2011. Menteri

Kesehatan. Jakarta.

Pitaloka, S. L. Dyah. 2015. Beberapa Faktor Risiko yang Berhubungan dengan

Kematian Pasien Pneumonia Komunitas di RSUP Kanadi Semarang.

Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran UNDIP Semarang.

Putri, A. Febriani. 2017. Hubungan antara Keberadaan Anggota Keluarga yang

Merokok dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Usia 1-4 Tahun di

Wilayah Kerja Puskesmas Tawangsari Sukoharjo. Publikasi Ilmiah.

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Page 168: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

150

Rasyid, Z. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia

Balita di RSUD Bangkinang Kabupaten Kampar. Jurnal Kesehatan

Komunitas. 2(3): 136-140

Rudan, I., et al. 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia.

Bulletin of the World Health Organization. 86(5): 408-416.

Ruslaeni. 2009. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Bayi dan Balita di RSUD

Labuang Baja Makassar Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Ilmu kesehatan

Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Roitt I. Maurice. 1990. Pokok-pokok Ilmu Kekebalan. PT. Gramedia Pustaka

Utama. Jakarta.

Said, M. 2010. Pengendalian Pneumonia Anak Balita dalam Rangka Pencapaian

MDG4. Buletin Jendela Epidemilogi. 3: 16-21.

Sartika, M.H. D., O. Setiani, N. Endah W. 2012. Faktor Lingkungan Rumah dan

Praktik Hidup Orang Tua yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia

pada Anak Balita di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2011. Jurnal Kesehatan

Lingkungan Indonesia. 11(2): 153-159.

Sembiring, Juliana Br. 2017. Buku Ajar Neonatus, Bayi, Balita, Anak Pra

Sekolah. Deepublish. Yogyakarta.

Setyani, C Andhika. 2016. Alasan Utama Balita Paling Rentan Terserang

Pneumonia. www.cnnindonesia.com. 20 Januari 2019 (10:23).

Sinaga, L. A. F. S., Suhartono, dan Hanani D. Y. 2009. Analisis Kondisi Rumah

Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan

Lingkungan Indonesia. 8(1): 26-34.

Page 169: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

151

Sitorus. 2015. Perintah Pemberian ASI Eksklusif dalam Al-Quran dan

Manfaatnya. www.indonesiapositif.com 19 Januari (11:00).

Sommer A, Katz J, Tarwotjo I: Increased risk of respiratory disease and diarrhea

in children with preexisting mild vitamin A deficiency. Am J Clin Nutr

1984; 40:1090- 1095.

Srikandi,G., Bahaqi,A., Muzayyanah,N. 2011. Hubungan Riwayat BBLR

Terhadap Status Gizi Anak Balita di Puskesmas Gondosari Kabupaten

Kudus. Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta.

Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pedidikan Pendekatan

Kuantitatif,Kualitatif, Dan R&D. ALFABETA. Bandung.

Sunyataningkamto, et, al. 2004. The Role of Indoor Air Poluution and Other

Factors In The Incidence Of Pneumonia In Under-Five Children.

Paediatrica Indonesiana, 44 (1-2): 25-29.

Suardana, I. K. 2017. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. ANDI.

Yogyakarta.

Sutomo, B & Dwi, Y.A. 2010. Makanan Sehat Pendamping ASI. E-book diakses

https://books.google.co.id/. 5 Mei 2019 (7:08 AM)

Suwantoro, Hajar. 2006. Pencahayaan Alami pada Ruang Kuliah Labtek IX B

Jurusan Teknik Arsitektur ITB. USU Repository. Universitas Sumatra

Utara.

Surasmi A, Handayani S, Kusuma HN. 2003. Perawatan Bayi Risiko Tinggi.

Jakarta : EGC.

Page 170: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

152

Syam, Dedi Mahyudin dan Ronny. 2016. Suhu, Kelembaban dan Pencahayaan

Sebagai Faktor Risiko Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Kecamatan

Balaesang Kabupaten Donggala. Higiene. 2(3): 133-139.

Syani, Fauziah El., Budiyono., dan Mursid Raharjo. 2015. Hubungan Faktor

Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Penyakit Pneumonia Balita dengan

Pendekatan Analisis Spasial di Kecamatan Semarang Utara. Jurnal

Kesehatan Masyarakat. 3(3): 732-744.

Tiewsoh, et al. 2009. Factors determining the outcome of children hospitalized

with severe pneumonia. Research article. BMC Pediatrics. 9(15): 1-8.

The United Nations Children’s Fund (UNICEF)/World Health Organization

(WHO). 2006. Pneumonia: The Forgotten Killer of Children. New York

Thayyib, Besti. 2015. Pengertian Makanan Sehat Menurut Pandangan Islam.

www.abiummi.com. 20 Januari (15;30).

Utami, D. 2014. Determinan Kejadian Pneumonia Berat Pada Balita di RSUD Dr.

H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Wardani, N. K., S. Winarsih, dan T. Sukini. 2014. Hubungan antara Paparan Asap

Rokok dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada

Balita di Desa Pucung Rejo Kabupaten Magelang Tahun 2014. Jurnal

Kebidanan. 5(10): 30-37.

Warni, Reftia. Fitri Ekasari., dan Lolita Sary. 2013. Huungan Lingkungan Fisik

Rumah dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas

Kotabumi II Kecamatan Kotabumi Selatan Kabupaten Lampung Utara

Tahun 2013. Jurnal Dunia Kesmas 2(3): 179-185.

Page 171: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

153

Wardlaw, Tessa., Peter Salama et al. 2006. Pneumonia: The Leading Killer of

Children. The Lancet, 368.

Waterer GW, Kessler LA, Wunderink RG. 2004. Medium-term survival after

hospital with community-acquired pneumonia. Am J Resp Crit Care Med.

169:910-4

Walzer, P.D., Walzer, M., 1993. Pneumocystis, Pneumonia, Second Edition,.

CRC Press.

Widayat, A. 2014. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pneumonia pada

Balita di Wilayah Puskesmas Mojogedang II Kabupaten Karanganyar.

Artikel Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

WHO. 2003. Penanganan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara

Berkembang. Terjemahan Widjaja, A.C. EGC. Jakarta.

WHO. 2014. Pneumonia Fact Sheet. http://www.who.int/mediacentre/. 1 Agustus

2018 (10:35).

WHO dan UNICEF. 2009. Global Action Plan for Prevention and Action of

Pneumonia (GGAP)

WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit. WHO Indonesia. Jakarta.

WHO. 2010. Pneumonia. www.who.int/mediacentre/. 20 Maret (09:20).

WHO. 2010. Risiko Sakit dan Belanja Kesehatan Perokok dan Bukan Perokok.

www.ino.searo.who.int/. 30 Juli 2018 (20:26).

Xu J, Kochanek KD, Tejada-Vera B. 2009. Deaths: preliminary data for 2007.

National vital statistics reports 58(1).

Yusup dan Sulistyorin. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan

Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1(2).

Page 172: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

154

Yusuf M., Putu I., Nurtamio T. 2016. Hubungan Lingkungan Rumah dengan

Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Masyarakat Pesisir

Kelurahan Abadi. Jurnal Ilmu Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo; 3(2): 239-248.

Yuwono, T. A. 2008. Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan

dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis. Universitas

Dipenogoro. Semarang.

Zhuge, Y., Qian, H., Zheng, X., Huang, C., Zhang, Y., Zhang, M., Li, B., Zhao,

Z., Deng, Q., Yang, X., Sun, Y., Wang, T., Zhang, X., Sundell, J., 2018.

Residential risk factors for childhood pneumonia: A cross-sectional study

in eight cities of China. Environmental Int. 116, 83–91.

Page 173: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

LAMPIRAN

Page 174: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

156

Lampiran 1.1 Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT

PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PAMULANG TAHUN 2018

Assalamu’alaikum wr.wb

Saya Sonia Qori Safitri, mahasiswi semester akhir peminatan

Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian terkait dengan “Faktor-

faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Pneumonia pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018”. Secara umum, tujuan dari

penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor risiko terjadinya pneumonia pada

balita di wilayah kerja Puskesmas Pamulang. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat agar mengetahui faktor apa saja

yang dapat menyebabkan anak balita terserang pneumonia sehingga dapat

dilakukan upaya pencegahan.

Dengan demikian, peneliti memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini dengan memberikan informasi sesuai dengan

pertanyaan yang ada di dalam kuesioner dan lembar observasi di bawah ini.

Bapak/Ibu berhak menerima atau menolak keikutsertaan dalam penelitian ini.

Selain itu, Bapak/Ibu dapat memastikan bahwa informasi yang telah Bapak/Ibu

berikan terjamin kerahasiaannya dan Bapak/Ibu berhak untuk mengakses hasil

penelitian ini dengan menghubungi No. Telepon 082175444363

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan ini, saya BERSEDIA ikut sera dalam penelitian ini.

Pamulang, ……………….. 2018

Peneliti Responden

(________________) (_________________)

Page 175: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

157

KUESIONER PENELITIAN

No. Responden :

Tanggal wawancara :

A. Identitas Responden

A.1. Nama Orang tua :

A.2. Nama Balita :

A.3. Alamat :

A.4. No. Tlp/Hp :

A.5. Usia Balita : bulan

A.6. Diagnosis medis : 0. Pneumonia 1. Bukan pneumonia

A.7. Jenis Kelamin : 0. Laki-laki 1. Perempuan

A.8. Riwayat Pneumonia : 0. Iya 1. Tidak

B. Faktor Risiko

No Pertanyaan Jawaban Kode

BBLR dan Status Gizi (Dilihat dari form MTBS/Rekam Medis/ Buku KIA)

B1 Berapa berat badan anak ibu sewaktu dilahirkan ? gram

B2 Berapa berat anak ibu sekarang ? kg

B3 Status gizi anak _____ SD 0. Kurang / Buruk

1. Baik / Lebih

Riwayat Imunisasi (Dilihat dari form MTBS/Rekam Medis/ Buku KIA)

B4 Apakah anak ibu pernah mendapat imunisasi campak

?

0. Tidak

1. Ya, usia……...bulan

B5 Apakah anak ibu pernah mendapat imunisasi

a. DPT 1 0. Tidak 1. Ya, usia….

b. DPT 2 0. Tidak 1. Ya, usia….

c. DPT 3 0. Tidak 1. Ya, usia….

Konsumsi Vitamin A (Dilihat dari form MTBS/Rekam Medis/ Buku KIA)

B6 Apakah anak ibu telah mengkonsumsi kapsul vitamn

A di tahun ini ?

a. 6 bulan-11 bulan : kapsul biru

0. Tidak 1. Ya

Page 176: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

158

b. 12-59 bulan : kapsul merah ____ kali

B7 Untuk responden usia 0-6 bulan

Apakah saat ibu dalam masa nifas mengkonsumsi

vitamin A dua kali ?

0. Tidak 1. Ya

B8 Apakah ibu memberikan ASI untuk anak ibu ? 0. Tidak 1. Ya

B9 Apakah ibu memberikan susu formula untuk anak ibu

?

0. Tidak 1. Ya

Pemberian ASI Eksklusif

B10 Apakah ibu memberikan Air Susu Ibu (ASI) ?

Bila Ya, berapa lama ?

0. Tidak 1. Ya

_____ bulan

B11 Pada usia 0-6 bulan setelah lahir, apakah ibu

memberikan minuman lain selain ASI ?

a. Susu Formula

b. Air Putih

c. Lainnya,sebutkan….

0. Ya 1. Tidak

0. Ya 1. Tidak

0. Ya 1. Tidak

B12 Pada usia 0-6 bulan setelah lahir, apakah ibu

memberikan makanan lain selain ASI ?

a. Bubur bayi

b. Buah-buahan, sebutkan ….

c. Biscuit

d. Lainnya, sebutkan ….

0. Ya 1. Tidak

0. Ya 1. Tidak

0. Ya 1. Tidak

0. Ya 1. Tidak

Status Merokok Anggota Keluarga

B13 Apakah ada anggota keluarga yang merokok ? 0. Ya 1. Tidak

B14 Dimana biasanya bapak/ibu merokok ?

a. Di rumah

b. Di kantor

c. LainnyA, sebutkan …..

B15 Seberapa sering bapak/ibu merokok di dalam rumah ?

B16 Berapa jumlah orang yang merokok dalam rumah ? _____ orang

Page 177: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

159

Lampiran 1.2 Lembar Observasi

LEMBAR OBSERVASI RUMAH

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT

PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

PAMULANG TAHUN 2018

C Observasi Rumah

No Pertanyaan Jawaban Kode

C1 Luas lantai rumah :

P : ____ m L : ____ m

Luas : ____ m2

C2 Jumlah orang yang tinggal di rumah ? ____ jiwa

C3 Kepadatan rumah : 0. Padat

1. Tidak

C4 Adakah ventilasi udara rumah ?

Jika ada, berapa buah ……..

0. Tidak 1.

Ya

C5 Adakah ventilasi udara / jendela yang

terbuka ?

Berapa buah …….

0. Tidak 1. Ya

C6 Luas ventilasi rumah yang terbuka ?

Persegi 159anjang : P :….. m L :

…….. m

Persegi : S :….. m

Segitiga : a : ….. m t : ……..

m

Jajar genjang : a : ….. m t : …….

M

Luas total …..

m2

Page 178: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

160

Trapesium : sisi sejajar : ….. m t

: ….. m

Layang-layang/ belah ketupat: d1: …. M

d2: ….m

F. Pengukuran Pencahayaan

Ruang / Titik

Pengukuran

Hasil Pengukuran Pencahayaan (lux) Rata-rata

Pengukuran

1

Pengukuran

2

Pengukuran

3

G. Pengukuran Kelembaban Udara

Menit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-

rata

Kode

Suhu

Kelembaban

Page 179: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

161

Lampiran 1.3 Tabel Perhitungan Status Gizi Balita

Standar BB/U untuk anak laki-laki

Standar BB/U untuk anak

perempuan

Page 180: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

162

Lampiran 1.4 Output Uji Validitas dan Realibilitas

1. Uji Validitas dan Realibilitas Riwayat ASI Eksklusif

2. Uji Validitas dan Realibilitas Status Merokok Anggota Keluarga

Page 181: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

163

Lampiran 1.5 Output Hasil Analisis Data

1. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Pamulang Tahun 2018

Diagnosis

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Pneumonia 64 51.6 51.6 51.6

Bukan Pneumonia 60 48.4 48.4 100.0

Total 124 100.0 100.0

2. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita berdasarkan Karakteristik

Subjek di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

1. Usia Balita

Klasifikasi usia balita

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

<=12 bulan 41 33.1 33.1 33.1

13-59 bulan 83 66.9 66.9 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 182: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

164

2. Jenis Kelamin Balita

Jenis kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Laki-laki 62 50.0 50.0 50.0

Perempuan 62 50.0 50.0 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 183: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

165

3. Berat Badan Lahir Balita

Page 184: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

166

4. Status Gizi Balita

Status gizi anak

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Gizi kurang 57 46.0 46.0 46.0

Gizi cukup 67 54.0 54.0 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 185: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

167

Risk Estimate Status Gizi

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Status gizi

anak (Gizi kurang / Gizi

cukup)

3.154 1.508 6.597

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.718 1.208 2.443

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .545 .360 .824

N of Valid Cases 124

5. Riwayat Imunisasi Balita

Kelengkapan Imunisasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Tidak Lengkap 60 48.4 48.4 48.4

Lengkap 64 51.6 51.6 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 186: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

168

Risk Estimate

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Kelengkapan

Imunisasi (Tidak Lengkap /

Lengkap)

2.205 1.074 4.524

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.462 1.031 2.073

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .663 .452 .973

N of Valid Cases 124

6. Konsumsi Vitamin A

Konsumsi vitamin A

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Tidak 60 48.4 48.4 48.4

Iya 64 51.6 51.6 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 187: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

169

Risk Estimate Konsumsi Vit.A

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Konsumsi

vitamin A (Tidak / Iya) 3.333 1.594 6.970

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.778 1.236 2.557

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .533 .356 .800

N of Valid Cases 124

7. Riwayat ASI Eksklusif

Riwayat ASI eksklusif

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Tidak 62 50.0 52.1 52.1

Iya 57 46.0 47.9 100.0

Total 119 96.0 100.0

Missing System 5 4.0

Total 124 100.0

Page 188: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

170

Risk Estimate Riwayat ASI Eksklusif

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Riwayat ASI

eksklusif (Tidak / Iya) 1.093 .531 2.248

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.042 .746 1.455

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .953 .647 1.405

N of Valid Cases 119

3. Gambaran Kejadian Pneumonia pada Balita Berdasarkan Faktor

Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2018

1. Kepadatan Hunian

Kepadatan hunian

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Padat 37 29.8 29.8 29.8

Tidak padat 87 70.2 70.2 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 189: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

171

Risk Estimate Kepadatan Hunian

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Kepadatan

hunian (Padat / Tidak padat) .723 .334 1.565

For cohort Diagnosis =

Pneumonia .850 .570 1.268

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia 1.176 .809 1.709

N of Valid Cases 124

2. Ventilasi Udara

Luas ventilasi yang terbuka

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Tidak sesuai 67 54.0 54.0 54.0

Sesuai 57 46.0 46.0 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 190: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

172

Risk Estimate Luas Ventilasi

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Luas

ventilasi yang terbuka

(Tidak sesuai / Sesuai)

3.071 1.474 6.400

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.742 1.186 2.558

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .567 .389 .827

N of Valid Cases 124

3. Pencahayaan

Pencahayaan dalam ruangan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Kurang 79 63.7 63.7 63.7

Cukup 45 36.3 36.3 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 191: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

173

Risk Estimate Pencahayaan

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for

Pencahayaan dalam

ruangan (Kurang / Cukup)

.780 .374 1.627

For cohort Diagnosis =

Pneumonia .889 .630 1.253

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia 1.139 .769 1.687

N of Valid Cases 124

4. Suhu

Suhu ruangan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Tidak memenuhi syarat 48 38.7 38.7 38.7

Memenuhi syarat 76 61.3 61.3 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 192: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

174

Risk Estimate Suhu

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Suhu

ruangan (Tidak memenuhi

syarat / Memenuhi syarat)

2.750 1.295 5.841

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.583 1.137 2.204

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .576 .369 .897

N of Valid Cases 124

5. Kelembaban

Kelembababan ruangan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Tidak memenuhi syarat 74 59.7 59.7 59.7

Memenuhi syarat 50 40.3 40.3 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 193: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

175

Risk Estimate Kelembaban

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for

Kelembababan ruangan

(Tidak memenuhi syarat /

Memenuhi syarat)

1.458 .709 2.998

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 1.204 .838 1.732

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .826 .576 1.184

N of Valid Cases 124

6. Status Merokok Anggota Keluarga

Adanya anggota keluarga yang merokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Iya 89 71.8 71.8 71.8

Tidak 35 28.2 28.2 100.0

Total 124 100.0 100.0

Page 194: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

176

Risk Estimate Status Merokok Anggota Keluarga

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Adanya

anggota keluarga yang

merokok (Iya / Tidak)

3.857 1.652 9.004

For cohort Diagnosis =

Pneumonia 2.124 1.225 3.680

For cohort Diagnosis =

Bukan Pneumonia .551 .395 .768

N of Valid Cases 124

Page 195: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

177

Lampiran 1.6 Dokumentasi

Buku KIA

Rekam medis

Lembar rekam medis

Form MTBS

Page 196: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

178

Form MTBS

Ruang tunggu pasien poli MTBS

Mengukur pintu (ventilasi yang

digunakan)

Page 197: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENYAKIT …

179

Mengukur pencahayaan

Mengukur luas rumah

Mengukur suhu dan kelembaban

Alat ukur suhu dan kelembaban