Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

27
Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam (1) Berikut ini adalah fakta-fakta yang tidak banyak diketahui ataupun diperhatikan tentang sejumlah kelompok Islam di Indonesia. Anda tidak harus percaya sepenuhnya dengan kebenaran fakta-fakta ini, silakan cek sendiri kebenarannya. Akan tetapi seandainya fakta-fakta ini benar maka sudah sewajarnya kita curiga mengapa begitu banyak perselisihan yang terjadi di antara pelbagai kelompok Islam di Indonesia. 1. Muhammadiyah Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan Islam yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta beserta sejumlah muridnya di Yogyakarta pada 18 November 1912. Beliau adalah salah seorang abdi dalem pamethakan yaitu abdi dalem Keraton Yogyakarta yang bertugas dalam bidang keagamaan. 1 Bahwa Kiai Ahmad Dahlan banyak dipengaruhi ide- ide pembaharuan dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha sudah jamak diketahui. Namun yang jarang disadari orang adalah siapa sesungguhnya ketiga tokoh yang disebut-sebut sebagai “pembaharu Islam” tersebut. Jamaluddin al-Afghani sebenarnya bukan orang Afghanistan, ia adalah orang Iran penganut Syi’ah ("Afghani, Jamal ad-Din al-" . Oxford Centre for Islamic Studies . Oxford University Press . Retrieved 2010-09-05). Selain itu al- 1 Sekalipun sering dicitrakan sebagai organisasi Islam puritan yang menolak sinkretisme, pada kenyataannya Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan Keraton Yogyakarta yang merupakan patron budaya Jawa yang sinkretis (Lihat Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al Wasat). Tradisi Grebeg Mulud yang kental dengan nuansa sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa juga terus berlangsung tanpa gangguan hanya sepelemparan batu dari kampung Kauman, basis dan tempat lahirnya Muhammadiyah (Lihat “Muhammadiyah, Kraton Yogyakarta, Garebeg Mulud, and Sekaten” dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011/04/muhammadiyah-kraton- yogyakarta-garebeg.html ).

Transcript of Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

Page 1: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam (1)

Berikut ini adalah fakta-fakta yang tidak banyak diketahui ataupun diperhatikan

tentang sejumlah kelompok Islam di Indonesia. Anda tidak harus percaya sepenuhnya

dengan kebenaran fakta-fakta ini, silakan cek sendiri kebenarannya. Akan tetapi

seandainya fakta-fakta ini benar maka sudah sewajarnya kita curiga mengapa begitu

banyak perselisihan yang terjadi di antara pelbagai kelompok Islam di Indonesia.

1. Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan Islam yang didirikan K.H.

Ahmad Dahlan di Yogyakarta beserta sejumlah muridnya di Yogyakarta pada 18

November 1912. Beliau adalah salah seorang abdi dalem pamethakan yaitu abdi dalem

Keraton Yogyakarta yang bertugas dalam bidang keagamaan.1 Bahwa Kiai Ahmad

Dahlan banyak dipengaruhi ide-ide pembaharuan dari Jamaluddin al-Afghani,

Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha sudah jamak diketahui. Namun yang jarang

disadari orang adalah siapa sesungguhnya ketiga tokoh yang disebut-sebut sebagai

“pembaharu Islam” tersebut.

Jamaluddin al-Afghani sebenarnya bukan orang Afghanistan, ia adalah orang Iran

penganut Syi’ah ("Afghani, Jamal ad-Din al-". Oxford Centre for Islamic Studies. Oxford

University Press. Retrieved 2010-09-05). Selain itu al-Afghani adalah seorang anggota

Freemason Ritus Skotlandia (Scottish Rite Freemasonry) (Livingstone, David 2007.

Terrorism and the Illuminati - A Three Thousand Year History: 163). Beberapa orang

yang mengenal al-Afghani menyatakan bahwa ia telah menyimpang dari ajaran Islam.

Luthfi Jum’ah mengatakan “keyakinannya bukan Islam yang sejati meskipun ia

mendakwahkannya (Islam, pen), dan aku tidak bisa menilai keyakinan para

pengikutnya”. Sementara itu Syibli Syumayyil2, seorang penulis asal Suriah yang

mengagumi al-Afghani, ketika mendengar bahwa al-Afghani menulis sebuah risalah yang

menolak materialisme berkomentar, “Aku terkejut, karena aku tahu bahwa ia bukanlah

orang yang religius. Adalah sulit bagiku setelah melewati pengalaman pribadi

bersamanya untuk memberikan penilaian pasti mengenai apa yang aku dengar tentangnya

setelah itu, akan tetapi aku lebih cenderung berpikir bahwa ia bukanlah seorang yang

1 Sekalipun sering dicitrakan sebagai organisasi Islam puritan yang menolak sinkretisme, pada kenyataannya Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan Keraton Yogyakarta yang merupakan patron budaya Jawa yang sinkretis (Lihat Burhani, Ahmad Najib. 2010. Muhammadiyah Jawa. Jakarta: Al Wasat). Tradisi Grebeg Mulud yang kental dengan nuansa sinkretisme antara Islam dan budaya Jawa juga terus berlangsung tanpa gangguan hanya sepelemparan batu dari kampung Kauman, basis dan tempat lahirnya Muhammadiyah (Lihat “Muhammadiyah, Kraton Yogyakarta, Garebeg Mulud, and Sekaten” dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011/04/muhammadiyah-kraton-yogyakarta-garebeg.html ).2 Syibli Syumayyil adalah seorang Kristen asal Suriah yang menyerukan universalisme dan liberalisme di Dunia Arab. Syibli banyak mendapat pengaruh pemikiran dari pencetus Teori Evolusi Charles Darwin (Hourani, Albert. 1983.Arabic Thought in the Liberal Age, 1789 - 1939. Cambridge, U.K., & New York: Cambridge University Press).

Page 2: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

beriman” (Livingstone, David. 2010. Surrendering Islam: The Subversion of Muslim

Politics Throughout History Until The Present Day: 88). Dalam pemikirannya al-Afghani

memadukan semangat anti-kolonialisme Eropa, seruan persatuan umat Islam (Pan-

Islamisme), dan seruan untuk mengadopsi sains serta institusi Barat yang dapat

memperkuat umat Islam.

Pemikiran al-Afghani lalu dilanjutkan oleh muridnya dari Mesir, Muhammad

Abduh. Seperti halnya al-Afghani Abduh juga adalah seorang Mason dan ia menjalin

hubungan dengan gerakan Baha’i.3 Tahun 1899 Lord Cromer –kepala administrasi

kolonial Inggris di Mesir- mengangkatnya sebagai mufti Mesir (Livingstone. 2010: 95-

96). Baik al-Afghani maupun Abduh menyerukan dibukanya pintu ijtihad dan menolak

taklid terhadap produk pemikiran para ulama terdahulu termasuk dalam hal fikih. Lebih

dari itu, Abduh berusaha menghidupkan kembali pemikiran rasional dalam tradisi ilmiah

Islam sebagaimana yang pernah dikembangkan oleh kaum Mu’tazilah. Semangat

“pembaharuan” al-Afghani dan Abduh dilanjutkan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Agak

berbeda dengan 2 orang pendahulunya, Ridha cenderung lebih konservatif. Ia

menyerukan pemurnian Islam dari bid’ah dan khurafat di samping menolak taklid. Ridha

juga adalah pemikir Islam pertama yang meletakkan dasar bagi teori negara Islam

modern. Setelah kaum Wahabi di bawah Ibnu Sa’ud merebut Mekkah dan Madinah

Ridha memuji Ibnu Sa’ud sebagai penyelamat Haramain dan pengamal Islam yang

murni. Konon Kiai Dahlan bertemu dengan Ridha di Tanah Suci dan darinyalah ia

berkenalan dengan pemikiran al-Afghani serta Abduh.

Pulang ke Jawa, Kiai Dahlan mengimplementasikan pemikiran al-Afghani,

Abduh, dan Ridha dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah. Sebelum mendirikan

Muhammadiyah ia sempat menjadi anggota Budi Utomo, organisasi sekuler berpaham

nasionalisme Jawa yang banyak dihuni anggota Freemason (Bahasa Belanda:

Vrijmetselarij). Di organisasi tersebut Kiai Dahlan sering memberikan ceramah dan

pelajaran agama kepada anggota Budi Utomo.4 Mereka menyambut baik pelajaran agama

Kiai Dahlan karena pendekatannya yang berbeda dengan para kiai pada masa itu. Lewat

bantuan para koleganya di BU ia pun memperoleh kesempatan memberikan pelajaran

agama bagi murid-murid di sekolah kolonial. Atas dorongan para koleganya di BU pula

3 Baha’i adalah sebuah agama monoteis yang lahir di Persia pada abad ke-19, menekankan kesatuan spiritual antara seluruh umat manusia (Houghton (2004). "Bahaism". The American Heritage Dictionary of the English Language (4th ed.). Houghton Mifflin Company dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Baha’i). Agama ini pada mulanya adalah gerakan sempalan dari kaum Syi’ah di Iran. 4 Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Bodi Otomo. Seluruh pendiri Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI (Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo lah satu-satunya organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja selain di organisasi yang didirikannya sendiri (Burhani, Ahmad Najib. 2007. “Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa” ”. Jurnal Ma’arif dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2009/11/muhammadiyah-sebagai-representasi-islam.html).

Page 3: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

akhirnya Kiai Dahlan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan

untuk menaungi sekolah Islam modern yang didirikan Kiai Dahlan agar bisa terus

berjalan bila kelak ia wafat. Setelah didirikan pada bulan November 1912, pada akhir

Desember 1912 kepengurusan Muhammadiyah pertama dideklarasikan di Gebouw Lodge

Malioboro (http://sejarawanmuda.wordpress.com/2012/03/31/biografi-kh-ahmad-

dahlan/). Pengumuman kepengurusan Muhammadiyah itu dibacakan oleh Raden

Dwijosewoyo, seorang anggota BU (http://www.muhammadiyah.or.id/content-177-det-

refleksi-perjuangan.html). Yang menarik, bangunan tempat dilaksanakannya deklarasi

tersebut adalah salah satu loji (lodge) milik kaum Freemason yang ada di kota

Yogyakarta (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/08/resensi-dan-tinjauan-kritis-

terhadap_8480.html). Apakah ini hanya kebetulan belaka? Wallahu a’lam.

Pada 1914 Muhammadiyah mendapat pengesahan resmi sebagai badan hukum

dari Pemerintah Kolonial Belanda dengan Dat het Register der Besluiten van den

Gouverneur-General No. 81. Dengan pengesahan tersebut Muhammadiyah menjadi

organisasi yang diakui secara legal oleh pemerintah kolonial dan berhak mendapat

bantuan dari pemerintah kolonial. Dalam perkembangannya Muhammadiyah sendiri

memang bersedia menerima bantuan dari pemerintah kolonial, hal inilah yang

menimbulkan perselisihan antara Muhammadiyah dengan PSII yang bersikap non-

kooperatif terhadap Belanda (Lihat Noer, Deliar. 1980. Gerakan Modern Islam di

Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES). Muhammadiyah sebagai organisasi tidak pernah

mengambil sikap konfrontatif terhadap Belanda, organisasi ini lebih berfokus pada

bidang pendidikan dan sosial serta tidak terlibat dalam aktivitas politik.

Muhammadiyah secara tidak langsung ikut bertanggung jawab atas masuk dan

berkembangnya Ahmadiyah di Indonesia. Adalah Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana

Ahmad -2 tokoh Ahmadiyah Lahore- yang datang ke Hindia-Belanda pada bulan Maret

1924. Mereka datang atas undangan pengurus Muhammadiyah untuk menghadiri kongres

Muhammadiyah di Yogyakarta. Dalam kongres tersebut keduanya mendapat kesempatan

menyampaikan pandangan-pandangan Ahmadiyah di hadapan peserta kongres (Adam,

Asvi Warman. “Belajar dari Sejarah Ahmadiyah”. Harian Indo Pos edisi Kamis, 24 April

2008 dalam http://muhammadiyahstudies.blogspot.com/2011/05/belajar-dari-sejarah-

ahmadiyah.html). Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito,

saudara sepupu dari K.H. Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan

K.H. Abdul Wahab Chasbullah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Tahun 1930,

pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat

nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra K.H. Ahmad Dahlan

yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran

tersebut di Thailand. Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar

tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan

Page 4: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah,

bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.

Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar

Muzakar di Sulawesi Selatan (Adam. “Belajar dari Sejarah Ahmadiyah”). Baru pada

kongresnya di Solo tahun 1929 Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang

menyatakan bahwa barang siapa meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW

maka ia telah kafir hanya saja fatwa ini tidak ditujukan secara spesifik kepada

Ahmadiyah. Fatwa ini sendiri lebih mengarah kepada Ahmadiyah Qadiyan yang

mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Sedangkan kepada Ahmadiyah Lahore

yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai mujaddid Muhammadiyah sangat jarang

mengeluarkan pernyataan yang memojokkan aliran tersebut (Adam. “Belajar dari Sejarah

Ahmadiyah”).

Sejak era kepemimpinan K.H. Mas Mansur (1937-1943) Muhammadiyah lebih

banyak berkutat pada usaha purifikasi (pemurnian) ajaran dan praktik Islam dari

takhayul, bid’ah, dan khurafat –disingkat TBC (tachajul, bid’ah, churafat, ejaan lama,

pen.)- di samping meneruskan amal usaha di bidang sosial dan pendidikan sehingga

Muhammadiyah kemudian menjadi organisasi keagamaan yang lekat dengan citra

puritan, kaku, serta konservatif. Namun memasuki medio 1990-an Muhammadiyah

tampaknya ingin mengubah citra ini dengan mengangkat konsep “dakwah kultural” yang

lebih akomodatif terhadap tradisi lokal. Hal ini berlangsung mulai era kepemimpinan

Amien Rais (1993-1998) dan berlanjut di bawah era Ahmad Syafi’i Ma’arif (1998-

2005). Pada periode Syafi’i Ma’arif pemikiran Islam liberal berkembang cukup pesat di

kalangan elit Muhammadiyah.

Ada sejumlah tokoh Muhammadiyah yang memiliki kecenderungan liberal antara

lain Dawam Rahardjo, Moeslim Abdurrahman, Abdul Munir Mulkhan, dan Syafi’i

Ma’arif sendiri. Sejumlah intelektual muda Muhammadiyah yang tergabung dalam

Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) juga ikut mengusung ide-ide liberal.

Ditinjau dari satu sisi liberalisasi pemikiran Islam yang berkembang di kalangan

Muhammadiyah dapat dilihat sebagai pengembangan lebih lanjut dari pemikiran al-

Afghani, Abduh, dan Ridha –terutama dua yang pertama- yang dibawa Kiai Dahlan. Para

liberalis dalam tubuh Muhammadiyah sering kali mengklaim bahwa mereka hanya

sekadar “melanjutkan semangat tajdid” yang dirintis Kiai Dahlan. Lebih jauh lagi

gagasan liberalisasi pemikiran agama dan sekularisasi sebagaimana yang diusung kaum

liberalis sejatinya sejalan dengan prinsip kebebasan berpikir serta sekularisme yang

dijunjung tinggi Gerakan Freemason. Berkembangnya pemikiran liberal di sebagian

kalangan Muhammadiyah sesungguhnya bukanlah hal yang terlalu aneh jika kita melihat

siapa tokoh yang pemikirannya mengilhami kelahiran Muhammadiyah serta bagaimana

pemikirannya itu sendiri.

Page 5: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

2. Sarekat Islam

Banyak orang yang memuji Sarekat Islam (SI) sebagai pelopor pergerakan politik

Islam di Indonesia, bahkan menyatakan bahwa SI-lah pelopor pergerakan nasional

Indonesia namun sepertinya tidak banyak orang berusaha menelaah sejarah SI secara

lebih kritis. SI yang didirikan di Solo pada tahun yang sama dengan pendirian

Muhammadiyah pada mulanya sesungguhnya bukan termasuk gerakan politik yang

agresif. Ide-idenya masih kalah radikal dibandingkan Indische Partij. Bahkan pada masa-

masa awal berdirinya, pemimpin SI yang terkemuka H.O.S. Tjokroaminoto menyatakan

loyalitasnya dan loyalitas organisasinya pada Kerajaan Belanda. Sebagai sebuah

organisasi yang menyandang nama Islam, SI pada awalnya belum mempunyai konsepsi

ideologi Islam yang jelas. Label Islam pada SI lebih dimaksudkan untuk menarik dan

menghimpun rakyat pribumi yang ketika itu diidentikkan sebagai orang Islam –terlepas

sedalam apakah pemahamannya tentang Islam dan sejauh mana ketaatannya dalam

melaksanakan ajaran Islam. Islampun menjadi label identitas bagi bangsa pribumi yang

saat itu belum bernama (Lihat Shiraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak; Radikalisme

Rakyat di Jawa 1912—1926. Jakarta: Grafiti).

Sekalipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa SI mampu berkembang

menjadi organisasi yang berhasil menghimpun massa rakyat dalam jumlah besar. Hal ini

menarik perhatian kaum komunis yang hendak menyemai ide-idenya di Hindia-Belanda.

Sneevliet, seorang komunis Belanda yang memimpin Indische Social Demokratische

Veereniging (ISDV) berhasil merekrut sejumlah anggota SI di Semarang –antara lain

Semaun dan Alimin- menjadi kader komunis. Menyebarnya paham komunis di tengah-

tengah anggota SI memicu radikalisasi SI sekaligus menimbulkan perpecahan pada

organisasi tersebut. Akhirnya pada kongres SI tahun 1921 diputuskan bahwa seluruh

anggota SI yang memiliki keanggotaan ganda harus melepaskan salah satu

keanggotaannya. Keputusan ini membuat para anggota PKI –metamorfosis dari ISDV-

yang bergabung dalam SI melepaskan keanggotaannya dan membentuk organisasi

tersendiri yang dikenal dengan nama SI Merah. Adapun para anggota yang tetap bertahan

di SI kemudian dikenal sebagai SI Putih.

Pasca pembersihan SI dari anasir-anasir komunis organisasi ini lebih meneguhkan

identitas serta ideologi keislamannya. Tahun 1922 SI –yang kemudian berganti nama

beberapa kali hingga menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)- menyelenggarakan

Kongres Al Islam dengan mengundang organisasi dan kelompok-kelompok Islam

lainnya. Kongres ini diadakan untuk membicarakan pelbagai hal terkait kondisi umat

Islam di Hindia-Belanda ketika itu. Dalam rangkaian kongres berikutnya yang

diselenggarakan mulai 1924 Kongres Al Islam lebih banyak mengangkat pembicaraan

seputar perkembangan politik umat Islam internasional menyusul dihapuskannya

Kekhalifahan Utsmani oleh pemerintahan sekuler Republik Turki pada 1924.

Page 6: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

Rangkaian Kongres Al Islam yang diprakarsai SI menunjukkan kapasitas

organisasi ini dalam menggalang persatuan umat Islam pada zaman itu. Perbedaan antara

Kaum Tua (tradisionalis) yang diwakili kalangan pesantren dengan Kaum Muda

(modernis) yang diwakili oleh organisasi seperti Muhammadiyah, Al Irsyad, dan SI dapat

dikesampingkan untuk sementara waktu ketika dalam Kongres Al Islam ke-3 pada bulan

Desember 1924 di Surabaya disepakati pembentukan delegasi untuk menghadiri

Konferensi Khilafah yang sedianya akan digelar di Kairo Mesir. Delegasi tersebut terdiri

dari wakil-wakil Kaum Tua dan Kaum Muda (van Bruinessen, Martin. 1995. Muslims of

The Dutch East Indies and The Caliphate Question dalam Studia Islamika, Vol. 2 no.3:

10).

Namun sayangnya Konferensi Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar itu

ditunda pelaksanaannya. Lebih disayangkan lagi persatuan yang sudah sempat terbangun

itu kembali harus merenggang akibat perselisihan yang kembali timbul antara Kaum Tua

dan Kaum Muda dalam kongres Al Islam ke-4 pada bulan Agustus 1925. Kali ini

perselisihan terjadi di seputar program tanzim yang merupakan program pembaharuan

kehidupan umat Islam dalam berbagai lapangan kehidupan.5 Program yang diinisiasi SI

ini banyak merepresentasikan pandangan golongan Kaum Muda sehingga mendapat

penolakan dari Kaum Tua. Penolakan Kaum Tua selanjutnya bukan hanya pada program

tanzim tetapi juga kepada SI itu sendiri karena Agus Salim sebagai tokoh SI kerap

menyatakan pujian dan dukungannya pada Raja Abdul Aziz bin Sa’ud yang sejak akhir

1924 telah berhasil merebut Mekkah dan Madinah (van Bruinessen. 1995: 12). Ibnu

Sa’ud sebagai pengikut paham Wahabi dianggap sebagai ancaman oleh Kaum Tua karena

kaum Wahabi dikenal sangat anti terhadap praktik-praktik Islam tradisionalis seperti

taklid terhadap mazhab, tarekat, ziarah ke makam para wali dan sebagainya yang oleh

kaum Wahabi dianggap sebagai bid’ah. Kaum Tua yang merasa tidak terwakili suaranya

dalam Kongres Al Islam lalu memutuskan untuk membentuk Komite Hijaz yang menjadi

cikal-bakal Nahdlatul Ulama (NU).

Kongres-kongres Al Islam setelah Kongres Al Islam ke-4 tidak lagi dihadiri

golongan Kaum Tua. Belakangan Muhammadiyah pun tidak lagi mengirim utusannya ke

kongres tersebut sebagai buntut perselisihannya dengan SI –yang sejak 1926 berganti

nama menjadi PSI lalu menjadi PSII pada 1929. Organisasi-organisasi Islam lainnya

mengikuti langkah Muhammadiyah dengan alasan-alasan yang berbeda dan praktis sejak

Kongres Al Islam ke-9 tahun 1929 kongres tersebut hanya menjadi hajatan PSII belaka.

PSII pun kehilangan perannya sebagai garda depan pergerakan Islam di Hindia-Belanda

(van Bruinessen. 1995: 14). Dalam lingkup pergerakan kemerdekaan yang lebih luas

PSI/PSII kehilangan pengaruhnya dengan kemunculan Partai Nasional Indonesia (PNI) 5 Nama program tanzim mengingatkan kita pada tanzimat di Turki, yaitu era reformasi yang digulirkan untuk memodernisasi Kekhalifahan Turki Utsmani pada abad ke-19 (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Tanzimat). Era tanzimat merupakan titik tolak dari berlangsungnya proses sekularisasi di Turki.

Page 7: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

tahun 1927 yang mengusung ide nasionalisme sekuler. Sebelumnya saingan bagi

SI/PSI/PSII muncul dari PKI yang mendapat dukungan yang cukup luas dari massa

rakyat hingga menimbulkan pemberontakan PKI tahun 1926. Perlu dicatat bahwa

Soekarno yang merupakan pendiri PNI adalah salah satu murid politik dan bahkan juga

menantu Tjokroaminoto.

Berbicara tentang SI dan PSII memang tidak bisa dilepaskan dari sosok Haji

Oemar Said (H.O.S.) Tjokroaminoto. Tokoh asal Surabaya ini membawa SI menjadi

gerakan yang merakyat. Ia disegani oleh kawan maupun lawannya sebagai seorang

pemimpin karismatis bahkan pemerintah kolonial pun menjulukinya sebagai “Raja Jawa

Tanpa Mahkota”. Tjokroaminoto bukan sekadar pemimpin massa yang pandai berorasi

belaka tetapi ia pun tergolong seorang pemikir. Salah satu buah karya pemikirannya

adalah buku berjudul “Islam dan Sosialisme” yang ditulis tahun 1924. Secara umum buku

ini berisi uraian mengenai konsep “sosialisme” dalam bingkai pemahaman Islam. Dalam

“Islam dan Sosialisme” Tjokroaminoto menunjukkan kesejajaran antara Islam dengan

sosialisme, ia menyebutkan nilai-nilai Islam yang sejalan dengan konsep sosialisme

antara lain kedermawanan dan persaudaraan. Lebih lanjut Tjokroaminoto menyatakan

ada 3 anasir dalam sosialisme yaitu kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan

(gelijkheid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity) yang ketiga-tiganya

terdapat dalam ajaran Islam (“Islam & Sosialisme; H.O.S. Tjokroaminoto” Sumber:

http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/01/islam-sosialisme-hos-tjokroaminoto/).

Tidak lain dan tidak bukan tiga anasir sosialisme yang dikemukakan Tjokroaminoto

adalah 3 semboyan Revolusi Perancis yang terkenal itu (liberte, egalite, fraternite). Perlu

diingat, Revolusi Perancis adalah awal terwujudnya tatanan baru di Eropa, sebuah tatanan

yang murni sekuler yang kemudian diekspor oleh negara-negara penjajah Eropa ke

seluruh penjuru dunia.6

Sintesis antara sosialisme dan Islam yang dilakukan Tjokroaminoto bukanlah hal

yang aneh pada pergantian abad ke-19-20. Pada masa itu para pemikir Muslim memang

sedang gandrung-gandrungnya pada pemikiran modern yang datang dari Barat sembari

tetap mempertahankan identitas keislamannya. Dalam situasi semacam itu “perkawinan”

antara gagasan Barat dengan Islam menjadi hal yang jamak terjadi. Pelopor sintesis ini

tiada lain adalah Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Pemikiran mereka

berdua banyak memengaruhi para pemikir Muslim di berbagai belahan dunia pada zaman

itu. Seperti halnya K.H. Ahmad Dahlan, Tjokroaminoto tampaknya banyak terinspirasi

pemikiran al-Afghani, Abduh, dan juga Rasyid Ridha meskipun tidak pernah bertemu

langsung dengan mereka.7 Selain al-Afghani dan Abduh kita pun mengenal nama Sir

6 Illuminati diduga ikut berperan di belakang timbulnya Revolusi Perancis (Livingstone. 2010: 70).

7 Tjokroaminoto tampaknya mengenal pemikiran al-Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridha lewat majalah-majalah Islam berbahasa Melayu seperti Al Munir (Padang), Al Munir Al Manar (Padang Panjang) atau Al Imam (Singapura). Majalah-majalah tersebut banyak menyebarkan pemikiran tokoh-tokoh “pembaharu” itu

Page 8: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

Sayyid Ahmad Khan (1817-1898)8 dan Muhammad Iqbal (1877-1938)9 dari anak benua

India yang termasuk tokoh-tokoh besar dalam jajaran penggemar sintesis ini -selanjutnya

kita sebut saja kaum modernis. Tidak jelas benar apakah sintesis yang dilakukan para

pemikir ini bisa dikategorikan sebagai ‘Islamisasi’ terhadap pemikiran Barat atau

sebaliknya pembaratan terhadap pemikiran Islam –secara perlahan-, kedua pandangan itu

bisa jadi benar, tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Tentu saja keliru apabila kita

menganggap pemikiran kaum modernis pada pergantian abad yang lalu itu sama dengan

pemikiran kaum liberal dewasa ini –semacam JIL- yang sampai pada taraf menggugat

keabsahan atau relevansi ayat-ayat Al Qur`an yang qath’i misalnya. Para pemikir

modernis seperti Abduh, Rasyid Ridha, atau Ahmad Khan tetap mengakui sakralitas teks-

teks Al Qur`an. Akan tetapi tampaknya tidak berlebihan jika seruan “membuka kembali

pintu ijtihad” yang diserukan para pemikir modernis tersebut dipandang sebagai gerbang

awal bagi berkembangnya pemikiran Islam yang lebih liberal. Bagaimanapun agak sulit

melepaskan kesan adanya kesinambungan antara para pemikir Muslim modernis generasi

awal yang menggugat penafsiran para ulama terdahulu yang sudah mapan dengan para

pemikir Muslim liberal yang juga menyuarakan hal serupa.

Selain sebagai pemimpin SI Tjokroaminoto juga dikenal sebagai guru politik bagi

para tokoh pergerakan nasional Indonesia. Musso, Alimin, Semaun, Darsono,

Kartosuwiryo, dan Soekarno adalah sejumlah nama yang pernah ‘berguru’ pada

Tjokroaminoto. Pada perjalanannya, meskipun “seguru seilmu” para tokoh ini menempuh

jalur yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan satu sama lain. Musso, Alimin,

Semaun, dan Darsono memilih komunisme sebagai ideologi yang mereka anut.

Kartosuwiryo memilih berjuang di jalur Islam. Sedangkan Soekarno mengusung

nasionalisme sekuler. Sebagian pihak mengklaim Kartosuwiryo sebagai sebagai pewaris

pemikiran Tjokroaminoto yang sebenarnya. Klaim ini tidak salah tetapi tidak mengubah

fakta bahwa Tjokroaminoto juga adalah guru politik dari tokoh komunis seperti Musso

atau Soekarno yang nasionalis sekuler. Sedikit banyak pastilah ada pengaruh yang

ditanamkan Tjokroaminoto terhadap tokoh-tokoh tersebut, terlepas dari ideologi yang

dianutnya.

Satu hal yang tidak banyak diketahui orang adalah bahwa Tjokroaminoto

mempunyai hubungan erat dengan Ahmadiyah Lahore. Ia adalah orang yang

menerjemahkan tafsir Al Qur`an berbahasa Inggris The Holy Qur`an karya Presiden

Ahmadiyah Lahore Maulana Muhammad Ali ke dalam bahasa Melayu. Penerjemahan ini

yang diterjemahkan dari tulisan-tulisan mereka yang dimuat di jurnal Al Manar Mesir (Lihat Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942).8 Sir Sayyid Ahmad Khan adalah pendiri Universitas Aligarh India. Ia merupakan salah satu anggota Freemason terkemuka di India (Lihat http://www.masonindia.org/WellKnownFreeMasons.htm). 9 Muhammad Iqbal adalah filosof dan penyair terkemuka pencetus Teori Dua Bangsa (Two Nations Theory) yang melahirkan negara Pakistan. Ia adalah murid orientalis Inggris Thomas W. Arnold. Iqbal banyak mengambil elemen-elemen pemikiran Nietzsche, Bergson, dan Goethe di samping tokoh sufi Jalaluddin Rumi dalam merumuskan pemikirannya (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Iqbal).

Page 9: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

dilakukan dengan dukungan Wali Ahmad Baig, utusan Ahmadiyah Lahore yang dikirim

ke Hindia-Belanda

(http://historia.co.id/artikel/2/658/Majalah-Historia/Jejak_Tafsir_Kaum_Ahmadi). Proyek

penerjemahan tafsir Al Qur`an ini kemudian dijadikan sebagai program resmi PSII.

Mengenai proyek penerjemahan ini Agus Salim berkata: “Kongres Serikat Islam 26-29

januari 1928 di Jogjakarta memperingati hari S.I. 15 tahun. Sebagai dimaksudkan dahulu

itu, diadakan juga Majelis Ulama itu, tetapi Muhammadiyah tidak mau turut duduk di

Majelis itu sebenarnya Majelis S.I. adanya, jadi di luar organisasi ini, tidak mempunyai

kekuasaan apa-apa. Di Kongres itu dibicarakan juga tafsir Qur’an yang sedang dikerjakan

oleh Cokroaminoto. Dari penerbitan-penerbitan pertama, ternyatalah bahwa tafsir itu

didasarkan atas Tafsir Ahmadiyah. Lantaran ini timbullah dalam kalangan sendiri

perlawanan yang keras. Salim menerangkan, bahwa dari segala jenis tafsir Qur’an, yaitu

dari kaum kuno, kaum Muktazilah, ahli sufi dan golongan moderen (di antaranya

Ahmadiyah, Wahabi baru, dan kaum Theosofi), Tafsir Ahmadiyah-lah yang paling baik

untuk memberi kepuasan kepada pemuda-pemuda Indonesia yang terpelajar“

(Pringgodigdo, A.K. 1946 Sejarah Pergerakan-pergerakan Rakjat Indonesia (cetakan

kelima). Pustaka Rakyat halaman 47 dalam

http://www.tabligh-tarbiyat.web.id/tabligh/206269-100-tahun-khilafat-ahmadiyah-fakta-

dan-sejarah.html). Upaya penerjemahan ini mendapat banyak kritik, terutama dari

kalangan Muhammadiyah. Akan tetapi Tjokroaminoto terus melanjutkan usaha tersebut

dengan dukungan dari pimpinan Ahmadiyah (Adam. “Belajar dari Sejarah Ahmadiyah”).

Ia menyatakan bahwa dirinya sudah mendapat persetujuan dari para pemimpin

Muhammadiyah, Fachruddin dan Kiai Mas Mansur, pada 1925. Bahkan Fachruddin

berkontribusi atas terjemahan komentar Muhammad Ali. Namun Tjokroaminoto tetap

diserang dengan sengit

(http://historia.co.id/artikel/2/658/Majalah-Historia/Jejak_Tafsir_Kaum_Ahmadi). Usaha

penerjemahan tafsir Al Qur`an ini akhirnya berhasil dirampungkan dan diterbitkan tahun

1930.

Tidak hanya menerjemahkan tafsir milik Ahmadiyah Lahore, Tjokroaminoto

dikabarkan juga bergabung dengan aliran tersebut. Hal ini dituturkan oleh Djalaluddin

Irsyad, putra dari mendiang Muhammad Irsyad salah satu tokoh pendiri organisasi

Ahmadiyah Lahore di Indonesia. Bahkan menurut Djalaluddin ia adalah orang

Ahmadiyah Lahore pertama di Indonesia

(http://suaramuslimindonesia.wordpress.com/2011/04/05/h-o-s-tjokroaminoto-orang-

indonesia-yang-pertama-masuk-gerakan-ahmadiyah/). Benar atau tidaknya pengakuan ini

memang harus diselidiki lagi kebenarannya namun mengingat Tjokroaminoto

mengagumi tafsir Al Qur`an Ahmadiyah Lahore dan bahkan menerjemahkannya klaim

tersebut adalah suatu hal yang masuk akal.

Page 10: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

Selain Tjokroaminoto, tokoh SI lainnya yang terkemuka adalah H. Agus Salim.

Bersama dengan Tjokroaminoto ia menjadi bagian dwitunggal kepemimpinan SI (Kahfi,

Erni Haryanti (2000). Haji Agus Salim : His Role in Nationalist Movements in Indonesia

During the Early Twentieth Century (Master of Arts thesis). Canadian theses. Ottawa:

National Library of Canada: 8 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim). Tokoh

kelahiran Koto Gadang Agam Sumatra Barat tahun 1884 ini mengenyam pendidikannya

di sekolah elit Belanda mulai dari Europeesche Lagere School (ELS) –sebuah sekolah

yang hanya diperuntukkan bagi golongan masyarakat Eropa dan kaum pribumi yang

terpandang- hingga Hogere Burgher School (HBS). Ketika berusia 22 tahun Salim

menerima tawaran dari pemerintah kolonial untuk bekerja sebagai pegawai di konsulat

Belanda di Jeddah (Kahfi. 2000: 17 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim).

Sewaktu menjadi pegawai konsulat Belanda ini Salim sempat berguru kepada pamannya

Syaikh Ahad Khatib, salah seorang ulama besar di Mekkah ketika itu. Sekembalinya ke

Tanah Air tahun 1911 ia bekerja di Jawatan Pekerjaan Umum di Batavia selama setahun

sebelum kembali ke kampung halamannya dan mendirikan Hollandsche Indische School

(HIS) –sekolahdasar- di sana. Pada 1915 Salim bergabung dengan SI dan memutuskan

untuk tinggal di Batavia dan membawa serta keluarganya pindah ke Batavia. Tak lama

setelah bergabung ia segera masuk dalam jajaran kepengurusan SI yang dipimpin

Tjokroaminoto.

Keterlibatan Salim dalam SI sendiri sesungguhnya berawal dari upaya pemerintah

kolonial memata-matai gerakan tersebut. Untuk mengawasi sepak terjang SI pemerintah

kolonial menugaskan Salim masuk ke dalam organisasi itu untuk meneliti keberadaan

dan sepak terjangnya (Purwoko, Dwi dkk. 2001. Negara Islam; Percikan Pemikiran H.

Agus Salim, K.H. Mas Mansur, Mohammad Natsir, K.H. Hasyim Asy’ari. Depok:

Permata Artistika Kreasi: 105). Sebagai orang yang mempunyai bekal pengetahuan Islam

yang memadai serta pernah cukup lama tinggal di Jazirah Arab agaknya Salim adalah

orang yang cocok menjalankan tugas tersebut. Sejarah kemudian mencatat Salim adalah

bagian dari pucuk kepemimpinan SI yang disegani. Tidak diketahui apakah ia terus

menjalin hubungan dengan pemerintah kolonial setelah menjadi pemimpin SI. Sejauh

mana hubungan itu berlangsung dan bagaimana sifat hubungannya –jika hubungan

tersebut memang masih ada- tetap menjadi misteri sejarah. Yang jelas pada dekade 1920-

an Salim masih mendapat jabatan sebagai hoofd redacteur (redaktur kepala) untuk

Bahasa Melayu di Komisi Bacaan Rakyat yang berganti nama menjadi Balai Pustaka

(Purwoko dkk. 2001: 103). Seperti kita ketahui Balai Pustaka pada waktu itu adalah salah

satu lembaga yang bernaung di bawah pemerintah kolonial. Dalam catatan perjalanan

hidupnya meskipun Salim adalah tokoh yang kritis terhadap Belanda namun nyatanya ia

tidak pernah ‘bermasalah’ dengan pemerintah kolonial sebagaimana sejumlah tokoh

Page 11: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

pergerakan kemerdekaan lainnya yang sampai harus menjalani penahanan atau hukuman

pengasingan dari Belanda.

Selain menjadi mata-mata pemerintah kolonial, Salim juga pernah bergabung

dengan Perkumpulan Theosofi yang memiliki hubungan erat dengan Freemason.10 Hal ini

diakui sendiri olehnya saat memberikan ceramah dalam pertemuan The Indonesian-

Pakistan Culture Association yang diselenggarakan di Amerika Serikat pada 9 Desember

1953. Dalam ceramahnya tersebut tokoh diplomat ulung yang oleh sejarawan Harry J.

Benda dijuluki “The Grand Old Man” itu menyatakan bahwa keterlibatannya dalam

Perkumpulan Theosofi membuatnya ‘terjerumus’ ke dalam dunia politik selama lebih

dari 40 tahun. Ia lalu berkata “Namun di sini hendak saya ikrarkan, bahwa mulai saat ini

pesan yang hendak saya bawa ialah pesan agama Islam. Saya tidak akan menghiraukan

soal-soal politik, karena bila ada terdapat suatu upaya untuk menyembuhkan segala

penyakit di dunia ini, saya yakin upaya itu tidak lain daripada mencari jalan menuju ke

Allah, dan memperjelas jalan itu.” Tak lama setelah mengeluarkan pernyataan itu ia

menyatakan keluar dari Perkumpulan Theosofi (http://irengputih.com/mewaspadai-

bahaya-freemasonry-15-pengaruhi-sejarah-indonesia/2510/). Salim sendiri akhirnya

meninggal dunia pada 4 November 1954 di Jakarta. Bila kita mencermati pengakuan

Salim tentang keterlibatannya dalam Perkumpulan Theosofi maka ia sudah amat lama

berkecimpung dalam organisasi tersebut. Bahkan keterlibatannya dalam Theosofilah

yang membawanya masuk dalam dunia politik (Ingat bahwa Salim mulai terjun ke politik

saat bergabung dengan SI dan keputusannya itu sendiri berdasarkan tugas dari

pemerintah kolonial untuk memata-matai SI!). Dengan kata lain masa-masa ketika Salim

menjadi seorang Theosofi adalah masa yang sama dengan masa-masa keaktifannya dalam

politik. Sebegitu lamanya Salim menjadi bagian dari Perkumpulan Theosofi ia baru

keluar dari perkumpulan tersebut menjelang akhir hayatnya. Hanya saja ada satu hal yang

kontradiktif terkait posisi Salim sebagai orang Theosofi sewaktu ia menyindir keras

perkumpulan itu dalam tulisannya di harian “Fajar Asia”. Dalam tulisan itu Salim

menandaskan “Theosofi soedah terang-terangan mengadjarkan agama Hindoe, karena

memberikan peladjaran Baghavad Gita, Khresna dan Ardjoena. Mereka terboekti

mengandjoerkan persaoedaraan manusia dengan berpaham Christoes. Maka perloe

diperiksa betoel azaz keneutralan itoe, soepaja djangan mendjadi anti igama, ataoe anti

sesoeatoe igama, jang tentoe misalnja Islam.”

(http://www.globalmuslim.web.id/2012/02/sejarah-gerakan-theosofi-di-

indonesia_07.html). Hanya saja sindiran keras itu menjadi tidak ada artinya jika kita

10 Perkumpulan Theosofi adalah sebuah perkumpulan yang dibentuk untuk mempelajari warisan pengetahuan spiritual dan supranatural dari berbagai tradisi di dunia khususnya agama-agama Timur dalam rangkai mencapai suatu persaudaraan manusia yang universal, didirikan oleh antara lain Helena Blavatsky, Henry Steel Olcott, William Quan Judge, di New York tahun 1875 (Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Theosophical_Society).

Page 12: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

melihat fakta bahwa Salim baru meninggalkan perkumpulan yang banyak dihuni

kalangan elit modern Indonesia itu beberapa puluh tahun kemudian.

Setelah wafatnya Tjokroaminoto tahun 1934 Salim menggantikan posisi

Tjokroaminoto sebagai Ketua Central PSII. Dalam Kongres PSII dua tahun berikutnya

Abikoesno Tjokrosoejoso terpilih menjadi ketua menggantikan Salim. Tjokrosoejoso

kemudian mengangkat SM. Kartosuwiryo sebagai Ketua Muda PSII dan menugaskannya

membuat brosur tentang Sikap Hijrah PSII. Apa yang dinamakan Sikap Hijrah itu adalah

haluan politik yang dipilih PSII sebagai penegasan atas sikap non-kooperatif yang

diambilnya terhadap pemerintah kolonial. Salim menolak politik non-kooperatif serta

Sikap Hijrah tersebut karena menurutnya dengan bertindak non-kooperatif PSII tidak lagi

mewakili kepentingan rakyat tetapi hanya mewakili kepentingan partai sehingga pada

akhirnya sikap itu hanya akan merugikan rakyat. Salim bersama Mohammad Roem lalu

membentuk faksi tersendiri dalam tubuh PSII yang dinamakan “Barisan Penyadar” untuk

mengkritik politik non-kooperatif yang menjadi sikap resmi partai itu. Akibat tindakan ini

Salim, Roem, dan sejumlah pengurus PSII lainnya yang tergabung dalam Barisan

Penyadar akhirnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII pada bulan Februari 1937. Mereka

lalu memutuskan membentuk partai sendiri yang dikenal sebagai PSII-Penyadar.

Belakangan PSII di bawah Abikoesno terpecah lagi menjadi Partai Islam Indonesia (PII)

yang diketuai Wiwoho, Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII) yang dipimpin

Kartosuwiryo, dan PSII di bawah Abikoesno sendiri. Kesemua pecahan PSII itu bubar

setelah Jepang masuk ke Indonesia dan melarang segala bentuk organisasi politik. Setelah

kemerdekaan, PSII berdiri kembali pada 1947 tetapi tidak pernah mengulangi kembali

kejayaannya di masa lalu dan semakin tenggelam setelah partai ini berfusi dengan partai-

partai Islam lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973.

3. Al Irsyad

Organisasi ini adalah sebuah gerakan pembaharuan Islam yang didirikan oleh

sekelompok masyarakat keturunan Arab di Batavia pada 6 September 1914. Tokoh utama

yang mendirikan Al Irsyad adalah seorang ulama asal Sudan bernama Syaikh Ahmad as-

Surkati yang sebelumnya bekerja sebagai penilik sekolah-sekolah milik organisasi

Jami’atul Khair.11 Berdirinya Al Irsyad tidak bisa dilepaskan dari perselisihan yang

terjadi di kalangan masyarakat keturunan Arab di Hindia-Belanda ketika itu antara

golongan Sayyid (golongan yang mengklaim memiliki garis keturunan dari Nabi

Muhammad SAW) dengan golongan non-Sayyid. Golongan Sayyid mempunyai sejumlah

tradisi yang membedakannya dari masyarakat umum seperti aturan tentang kafa`ah

(persamaan derajat) dalam perkawinan dan taqbil (mencium tangan). Kaum Sayyid

melarang perkawinan antara wanita Sayyid dengan pria non-Sayyid karena menurut

11 Jami’atul Khair adalah organisasi Islam yang didirikan oleh warga keturunan Arab di Batavia tahun 1901 untuk memajukan pendidikan Islam khususnya di kalangan masyarakat keturunan Arab (Lihat http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/1177).

Page 13: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

keyakinan mereka seorang wanita tidak boleh menikahi pria yang kufu` (kedudukan atau

martabat)-nya lebih rendah sementara kaum non-Sayyid dianggap lebih rendah kufu`-nya

daripada Sayyid meskipun seorang pria Sayyid diperbolehkan menikahi wanita non-

Sayyid. Kaum Sayyid juga mewajibkan orang non-Sayyid mencium tangan Sayyid jika

bertemu dengan seorang Sayyid meskipun orang non-Sayyid itu lebih tua atau lebih

berilmu daripada sang Sayyid. Secara umum golongan Sayyid memiliki kedudukan yang

istimewa dalam struktur masyarakat di Hadhramaut –daerah asal sebagian besar

keturunan Arab di Indonesia- dan hal ini terbawa hingga ke Indonesia. Di luar kalangan

masyarakat Arab kaum Sayyid juga mendapatkan penghormatan yang luar biasa bahkan

pengultusan dari masyarakat pribumi.

Pelbagai tradisi yang berkembang di kalangan masyarakat Arab khususnya

golongan Sayyid itu mendapat kritikan dari Syaikh Ahmad Surkati. Lahir di Pulau Arqu,

Dunggula, Sudan, pada 1874, Surkati mulai mempelajari Al-Qur’an sejak kecil. Setelah

ayahnya meninggal dunia, Surkati meneruskan pelajarannya ke negeri Arab. Di sana, ia

pernah belajar di Makkah dan Madinah. Pada 1906, ia menerima sertifikat tertinggi untuk

guru agama dari pemerintah Turki Utsmani di Istambul dan mulai mengajar di Tanah

Suci (Natamarga, Rimbun. “Pembawa Salafi ke Indonesia Ahmad Surkati?” dalam

http://yasirmaster.blogspot.com/2011/12/pembawa-salafi-ke-indonesia-ahmad.html).

Atas permintaan para Sayyid dari Jami’atul Khair Syaikh Ahmad tiba di Hindia-Belanda

tahun 1911 bersama dua orang kawannya Syaikh Muhammad Thoyyib al-Maghribi dan

Syaikh Muhammad bin Abdul Hamid as-Sudani. Syaikh Ahmad Surkati diundang oleh

pengurus Jami’atul Khair untuk diangkat sebagai penilik sekolah-sekolah yang dibuka

Jami'atul Khair di Batavia dan Bogor. Di negeri barunya ini, Syaikh Ahmad

menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia

(http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41).

Kehadiran Syaikh Ahmad berhasil memajukan sekolah-sekolah milik Jami’atul Khair,

namun ia banyak mendapatkan penentangan dari kalangan Sayyid karena kritik-kritiknya

yang tajam terhadap tradisi para Sayyid. Syaikh Ahmad memandang tradisi para Sayyid

yang berbau feodal itu adalah bid’ah dan bertentangan dengan ajaran Islam yang bersifat

egaliter. Ia misalnya pernah memfatwakan bolehnya perkawinan antara wanita golongan

Sayyid dengan pria non-Sayyid selama pria tersebut adalah Muslim.

Syaikh Ahmad banyak terpengaruh pemikiran Abduh dan Rasyid Ridha, selain

berusaha mewujudkan pemikiran-pemikiran Abduh dalam pendidikan di Al-Irsyad,

Surkati sendiri adalah seorang Muslim rasionalis seperti Abduh. Kecenderungan

rasionalis ini terkadang menimbulkan sikap yang kontroversial dari Syaih Ahmad. Ia

misalnya, dengan tegas menolak memercayai berita kedatangan Imam Mahdi,

kemunculan Dajjal, serta turunnya Nabi Isa AS sebagaimana yang diriwayatkan di

sejumlah hadits shahih (Natamarga.“Pembawa Salafi ke Indonesia Ahmad Surkati?”)

Page 14: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

karena hadits-hadits yang meriwayatkan kabar tersebut adalah hadits ahad. Sementara

menurutnya hadits ahad tidak dapat dijadikan dalil dalam urusan akidah.12

Akibat pertentangan tajam antara Syaikh Ahmad dengan golongan Sayyid

akhirnya setelah 3 tahun ia memutuskan untuk keluar dari Jami’atul Khair dan

mendirikan madrasahnya sendiri yaitu Madrasah al-Irsyad al-Islamiyah. Untuk menaungi

madrasah tersebut dibentuk organisasi yang diberi nama Jam’iyatul Ishlah wal Irsyad al-

Arabiyah –belakangan nama al-Arabiyah diganti dengan al-Islamiyah- atau kemudian

dikenal sebagai Al Irsyad (http://alirsyad.net/index.php?

option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41). Pembentukan organisasi ini

didukung oleh masyarakat keturunan Arab dari golongan non-Sayyid dan dalam

perkembangannya memang Al Irsyad didominasi oleh orang-orang Arab sehingga

kemudian Al Irsyad identik dengan organisasi orang Arab.

Bersama-sama dengan Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad

menjadi bagian dari “3 serangkai” gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Di antara

ketiga organisasi tersebut menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper yang benar-benar

merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan

gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang

Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik

pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang

Indonesia (http://alirsyad.net/index.php?

option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41).

Sebagaimana halnya Muhammadiyah, Al Irsyad juga bergiat di bidang

pendidikan. Organisasi ini banyak mendirikan madrasah bercorak modern di berbagai

daerah yang menarik tidak hanya murid-murid dari kalangan keturunan Arab tetapi juga

pribumi. Kurikulum di Madrasah Al Irsyad menekankan pentingnya pelajaran Bahasa

Arab yang sebagai bahasa Al Qur`an dan bahasa keilmuan Islam penting untuk dikuasai

guna memahami Islam langsung dari sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-

Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan

daya kritis. Tekanan pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah

(http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=24&Itemid=41).

Pendidikan di Madrasah Al Irsyad telah menghasilkan sejumlah besar alumni yang

menjadi tokoh yang diperhitungkan di bidangnya masing-masing. Beberapa nama alumni

Madrasah Al Irsyad yang terkemuka antara lain K.H. Abdul Kahar Muzakkir (anggota

BPUPKI dan salah satu penanda tangan Piagam Jakarta), Muhammad Rasjidi (mantan

Menteri Agama), dan T.M. Hasbi ash-Shiddiqui (pakar tafsir, fikih, dan hadits). Selain

ulama dan intelektual Islam Madrasah Al Irsyad juga menghasilkan alumni yang menjadi

politisi seperti A.R. Baswedan pendiri Partai Arab Indonesia yang setelah kemerdekaan

12 Pendapat yang sama dianut oleh Hizbut Tahrir.

Page 15: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

aktif di Masyumi. Para politisi alumni Al Irsyad tidak hanya bergabung dengan pertai

Islam tetapi ada juga yang bergabung dengan partai sekuler seperti PNI (Yuslam Badres),

PSI (Awod Baharmus) dan bahkan PKI (Abdullah Baraba13). Tidak hanya itu, dari

Madrasah Al Irsyad juga lahir seorang tokoh evolusionis seperti Sa’id al-Hilabi yang

meyakini bahwa Nabi Adam yang dihadapkan oleh Allah kepada para malaikat pada awal

penciptaannya berbentuk kera (Belanawane. S, Muhammad. 2008. Identitas dan

Pengonstruksiannya dalam Komunitas Salafi-Ahlus Sunah wal Jama’ah Masjid

Fatahillah di Tanah Baru, Beji, Jawa Barat. Depok: FISIP UI: 89).

Madrasah Al Irsyad memang tergolong sekolah Islam yang “liberal” untuk ukuran

zamannya dalam arti memberikan ruang kebebasan berpikir bagi murid-muridnya. Di

sekolah ini karya-karya para sastrawan Arab modern seperti Mushthafa Shadiq ar-Rifa’i,

Luthfi al-Manfaluthi, Ahmad Syauqi Bek, dan lain-lain yang pemikirannya amat kental

dengan warna Mu’tazilah adalah bacaan wajib murid-murid Al Irsyad (Belanawane. S.

2008: 89). Oleh karena nuansa “liberal” tersebut sebagian kalangan Salafi dewasa ini

yang notabene beberapa antaranya berlatar belakang keluarga warga Al Irsyad mengritik

keras organisasi itu (Lihat misalnya tulisan Ja’far Umar Thalib “Pasang Surut Perjuangan

Menegakkan Syariah Islamiyah” dalam

http://alghuroba.org/artikel/PasangSurutPerjuanganMenegakkanSyariahIslamiyah.doc).

Dalam perjalanan sejarahnya Al Irsyad menjadi salah satu organisasi Islam yang

berafiliasi dengan Partai Masyumi dan menjadi pendukung setia Masyumi hingga

dibubarkannya partai ini oleh Presiden Soekarno tahun 1960. Pasca dibubarkannya

Masyumi, Al Irsyad tidak lagi terlibat dalam percaturan politik meskipun sebagian

warganya ikut terjun ke dunia politik secara individual. Kini Al Irsyad hanya menjadi

salah satu dari sekian banyak organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial,

pendidikan, dan dakwah. Terakhir Al Irsyad terpecah menjadi dua kubu dengan

kepengurusan yang berbeda, satu diketuai Abdullah Jaidi sementara kubu yang satu lagi

diketuai Yusuf Ba’isa.14

Walaupun pengaruhnya tidak sebesar NU atau Muhammadiyah namun kaum

Irsyadiyyin (sebutan bagi warga Al Irsyad) tersebar di berbagai lapangan kehidupan dan

ikut berperan dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Kaum Irsyadiyyin yang nyaris identik

dengan keturunan Arab non-Sayyid memiliki orientasi paham keagamaan yang beragam

dari mulai yang tergolong “Islam garis keras” dan konservatif sampai yang “moderat”

(baca: longgar dalam beragama) bahkan cenderung liberal. Sejumlah nama dari mulai

Abdullah Sungkar, Abu Bakar Ba’asyir (keduanya tokoh gerakan Darul Islam dan

13 Abdullah Baraba adalah anggota Politbiro Comite Sentral (CC) PKI dan pernah menjadi anggota Konstituante (Thalib, Ja’far Umar “Pasang Surut Perjuangan Menegakkan Syariah Islamiyah” dalam http://alghuroba.org/artikel/PasangSurutPerjuanganMenegakkanSyariahIslamiyah.doc).14 Terpecahnya Al Irsyad menjadi dua buntut dari perselisihan yang terjadi di organisasi ini sejak akhir 90-an. Belakangan salah satu kubu membentuk organisasi tersendiri yang diberi nama Perhimpunan Al Irsyad Al Islamiyah di bawah kepemimpinan Yusuf Ba’isa. Ia adalah mantan pengasuh Pesantren Al Irsyad Tengaran Semarang dan salah satu pembawa serta penyebar paham Wahabi/Salafi di Indonesia.

Page 16: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam

kemudian Jamaah Islamiyah), Fuad Bawazier (Menteri Keuangan terakhir era Orde

Baru), Munir15 (aktivis HAM), sampai Anies Baswedan16 (Rektor Universitas Paramadina

yang juga cucu A.R. Baswedan) adalah contoh orang-orang yang mempunyai hubungan

historis dan emosional dengan Al Irsyad meskipun tidak semua dari mereka adalah

anggota atau pernah menjadi anggota Al Irsyad. Mereka mewakili pandangan keagamaan

yang beragam dalam keluarga besar Al Irsyad atau masyarakat keturunan Arab secara

umum. Terlepas dari perbedaan tajam dalam pandangan keagamaan di antara sesama

anggota keluarga besar Al Irsyad, adalah fakta sejarah yang tidak bisa dinafikan bahwa

pembaharuan di kalangan masyarakat keturunan Arab di Indonesia –dengan segala

macam konsekuensi dan derivasinya- yang dimotori Al Irsyad berawal dari Syaikh

Ahmad Surkati sebagai pelopornya, seorang ulama yang mendapat inspirasi dari

pemikiran Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan (pada akhirnya) Jamaluddin al-

Afghani.

(Bersambung....)

15 Munir, nama lengkapnya adalah Munir bin Sa’id Thalib –satu marga dengan Panglima Laskar Jihad Ja’far Umar Thalib dan tokoh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Muhammad Thalib- konon pernah menjadi seorang Muslim “garis keras” sebelum berpindah haluan menjadi aktivis pembela HAM. 16 Sebagai Rektor Universitas Paramadina Anies adalah pelanjut pemikiran mendiang Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang merupakan pendiri universitas tersebut. Tahun 2008 namanya masuk dalam daftar Top 100 intelektual publik versi majalah Foreign Policy –majalah yang didirikan pencetus teori “Benturan Peradaban” (The Clash of Civilization) Samuel Huntington (http://www.foreignpolicy.com/articles/2008/04/18/the_top_100_public_intellectuals_bios).

Page 17: Fakta Tersembunyi di Balik Kelompok-kelompok Islam