expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1
date post
09-Dec-2016Category
Documents
view
219download
3
Embed Size (px)
Transcript of expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu keganasan pada wanita yang menimbulkan kematian adalah kanker
serviks. Hal ini menyebabkan kanker serviks menjadi sesuatu yang menakutkan
karena pada kanker serviks pada stadium awal tidak menimbulkan gejala,
sedangkan pada stadium lanjut, saat kanker tersebut sudah dengan gejala yang
jelas, maka penangannya menjadi lebih sulit dan mempunyai prognosis yang lebih
buruk.
Kanker serviks merupakan penyebab ke-2 terbanyak kematian yang
disebabkan oleh kanker di seluruh dunia. Di banyak negara berkembang, kanker
serviks sering merupakan penyebab utama kematian pada wanita. Walaupun
negara industri telah berhasil mengurangi angka kejadian dan kematian dengan
memperkenalkan tes skrining yang sangat efektif (apusan papaniculaou), jumlah
kasusnya masih tinggi. Setiap tahun, tercatat sekitar 500.000 diagnosis baru
kanker serviks, dan sekitar 350.000 pasien meninggal dunia akibat kanker serviks
(Skiba et al., 2006). Berdasakan data registrasi kanker berbasis patologi pada
tahun 2006 di Denpasar, terdapat 250 kasus kanker serviks yang menduduki
peringkat pertama kanker terbanyak pada wanita. Pada tahun 2007, kanker serviks
merupakan kanker kedua terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 226
kasus, dan pada tahun 2008, kanker serviks tetap merupakan kanker kedua
1
2
terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 270 kasus (Susanti, 2006;
Susanti, 2007; Susanti, 2008).
Hubungan antara lesi prekanker epitelial serviks uteri (lesi displasia; cervical
intraepithelial neoplasia; CIN) dan kanker/karsinoma invasif, terutama squamous
cell carcinoma (SCC) dengan human papillomavirus (HPV) telah jelas (Amalinei
et al., 2009; Hwang et al., 2012). Cervical intraepithelial neoplasia adalah
spektrum dari lesi servikal uteri yang mewakili lesi prekursor dari SCC yang
dikategorikan menjadi cervical intraepithelial neoplasia 1 (CIN1), cervical
intraepithelial neoplasia 2 (CIN2) dan cervical intraepithelial neoplasia 3
(CIN3).
Tumor serviks uteri dikategorikan menjadi epithelial tumours, mesenchymal
tumours and tumour-like condition, mixed epithelial and mesenchymal tumours,
melanotic tumours, miscellaneous tumours, lymphoid and haematopoietic
tumours dan secondary tumours. Karsinoma invasif serviks uteri pada epithelial
tumours dibagi menjadi SCC, adenocarcinoma, adenosquamous carcinoma,
adenoid cystic carcinoma, adenoid basal carcinoma, small cell carcinoma, large
cell neuroendocrine carcinoma dan undifferentiated carcinoma (Wells et al.,
2003). Faktor penyebab utama kanker serviks adalah infeksi HPV yang ditularkan
melalui hubungan seksual (Wells et al., 2003; Tjalma et al., 2005; Nam et al.,
2008).
Human papillomavirus dikategorikan menjadi tipe resiko tinggi (high-risk
HPV; HR-HPV) dan tipe resiko rendah (low-risk HPV; LR-HPV) bergantung dari
kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi yang berhubungan dengan
3
timbulnya kanker (Paavonen, 2007). Kebanyakan wanita dengan infeksi HR-HPV
hanya merupakan infeksi sementara yang tidak menyebabkan transformasi ganas
pada mukosa serviks; meskipun demikian HR-HPV merupakan agen etiologi pada
hampir semua kanker serviks (Amalinei et al., 2009; Hwang et al., 2012). Dua
tipe HR-HPV yang paling utama menyebabkan terjadi karsinogenesis adalah
HPV16 dan HPV18, yang juga paling bertanggung jawab pada 70% kanker
serviks dan sekitar 50% CIN3 (Skiba et al., 2006; Schiffman et al., 2007;
Amalinei et al., 2009). Berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV,
didapatkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV
tipe 52 (23%), 16 (18%), 18 (16.1%) dan 32 (11.8%); sedangkan sebagian besar
lesi-lesi serviks di Bali disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18
(12%) (Vet et al., 2008).
Kebanyakan infeksi HPV (sampai 90%) akan mengalami regresi spontan,
tanpa terapi, setelah beberapa bulan. Jika infeksi virus menetap, resiko
berkembang menjadi lesi displasia dan karsinoma invasif akan meningkat. Hal ini
menegaskan pentingnya diagnosis yang akurat dan identifikasi lesi yang memiliki
resiko tinggi mengalami progesivitas (Amalinei et al., 2009; Stanley, 2010;
Hwang et al., 2012).
Pemeriksaan histologi biopsi kolposkopi masih merupakan standard emas
untuk lesi serviks uteri, walaupun pemeriksaan ini terbatas pada interpretasi
morfologi dengan sedikit atau tanpa informasi apakah lesi tersebut akan menetap,
mengalami regresi atau progresi. Pemeriksaan histologi pada lesi serviks uteri
adalah untuk membedakan keadaan normal dengan berbagai derajat displasia dan
4
membedakan lesi displasia derajat rendah (CIN1) dengan lesi displasia derajat
tinggi (CIN2 dan CIN3). Kesalahan diagnosis histologi akan menyebabkan pasien
tersebut diberikan terapi yang berlebihan ataupun diberikan terapi yang lebih
rendah pada pasien yang secara klinis mempunyai lesi displasia derajat tinggi
(Stanley, 2010; Hwang et al., 2012).
Penelitian molekular yang menggunakan kultur jaringan dan selular
memberikan pengertian tentang transformasi HPV di epitel serviks (Balan et al.,
2009). Genom dari HPV mengkode 8 gen, yaitu 6 nonstruktural protein awal (E1,
E2, E4, E5, E6, E7) dan 2 protein akhir (L1 dan L2) (Paavonen, 2007). L1
merupakan elemen struktural primer dengan virion yang infeksius mengandung
360 copies protein yang tersusun dalam 72 kapsomer. L2 merupakan komponen
virion minor (Doorbar, 2006). L1 dan L2 membungkus genom virus yang akan
membentuk progeny virion didalam inti sel (Yoshida et al., 2008). Perkembangan
antigen kapsid virus L1 bergantung pada faktor transkripsi yang hanya dapat
terekspresi selama proses maturasi dari sel epitel basal menjadi sel epitel
superfisial (Wu et al., 2011).
Antigen kapsid virus L1 (Human papillomavirus L1; HPVL1)
dipertimbangkan menjadi target mayor respon imun selular (Wu et al., 2011),
sehingga berkurangnya atau menghilangnya produksi antigen kapsid dapat
merupakan hilangnya respon imun selular. Hilangnya protein L1 pada awal proses
transformasi dapat menyebabkan stimulasi respon imun yang tidak tepat, sehingga
terjadi transformasi sel epitel imatur (Balan et al., 2009).
5
Human papillomavirus L1 dapat terdeteksi pada fase produktif infeksi HPV,
yaitu pada CIN1/CIN2, tetapi jarang terdeteksi pada CIN3 dan tidak terdeteksi
pada kanker invasif. Ekspresi HPVL1 pada suatu kasus mengindikasikan
kecenderungan lesi tersebut akan mengalami regresi dibandingkan dengan kasus
yang tidak mengekspresikan HPVL1. Penelitian yang dilakukan oleh Negri dan
kawan-kawan menyatakan bahwa HPVL1 dapat membantu untuk memperkirakan
potensial biologik dari lesi-lesi serviks uteri (Skiba et al., 2006; Negri et al.,
2008). Hal ini ditekankan juga oleh Griesser dan kawan-kawan serta Brown dan
kawan-kawan, bahwa lesi displasia ringan sampai sedang (CIN1/2), dengan
protein kapsid HPVL1 negatif, akan mengalami progresi secara bermakna (Skiba
et al., 2006; Griesser et al., 2009; Brown et al., 2012).
Tidak terdeteksinya HPVL1 menunjukkan dua status virus DNA. Status
pertama adalah virus DNA telah berintegrasi dengan genom pejamu, dan yang
kedua adalah infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada
sintesis onkoprotein HPV (Yoshida et al., 2008; Balan et al., 2011).
Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 merupakan
marker yang sangat baik dan berguna untuk menyatakan infeksi HPV berada
dalam fase produktif atau aktif (Yoshida et al., 2008), sehingga status L1
memiliki kegunaan untuk memprediksi progresivitas dari penyakit (Skiba et al.,
2006; Negri et al., 2008; Balan et al, 2009).
Evaluasi pengecatan HPVL1 dikatakan positif jika terlihat warna coklat pada
inti sel. Parameter yang dipakai adalah jumlah sel pada satu lapang pandang
pembesaran besar (400 x) yang tercat positif dengan HPVL1, di-grading sebagai
6
berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat, grade 1: 2-3 sel yang tercat,
grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel yang tercat (Negri et al., 2008).
Di laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah, Denpasar, terdapat
berbagai lesi displasia epitelial serviks uteri sampai kanker/karsinoma invasif
serviks uteri, di mana karsinoma invasif serviks uteri terbanyak yang dijumpai
adalah SCC.
Persoalan utama dalam menangani lesi displasia serviks uteri adalah
mengevaluasi resiko progresifitas suatu lesi displasia (Negri et al., 2008). Derajat
displasia dan respon imun masing-masing individu serta tipe HPV yang
menginfeksi akan mempengaruhi apakah lesi displasia akan mengalami regresi
ataupun mengalami progresi sampai menjadi kanker, di mana disimpulkan bahwa
pada lesi CIN1, CIN2, dan CIN3 akan mengalami regresi sebesar 57%, 43% dan
32%, akan menetap sebesar 32%, 35%, dan 56%, dan akan mengalami progresi
sampai menjadi kanker serviks invasif sebesar 1%, 5%, dan lebih dari 12%,
sehingga ketepatan diagnosis sangat mempengaruhi prognosis pasien (Wright,
2006).
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa