expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

65
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu keganasan pada wanita yang menimbulkan kematian adalah kanker serviks. Hal ini menyebabkan kanker serviks menjadi sesuatu yang menakutkan karena pada kanker serviks pada stadium awal tidak menimbulkan gejala, sedangkan pada stadium lanjut, saat kanker tersebut sudah dengan gejala yang jelas, maka penangannya menjadi lebih sulit dan mempunyai prognosis yang lebih buruk. Kanker serviks merupakan penyebab ke-2 terbanyak kematian yang disebabkan oleh kanker di seluruh dunia. Di banyak negara berkembang, kanker serviks sering merupakan penyebab utama kematian pada wanita. Walaupun negara industri telah berhasil mengurangi angka kejadian dan kematian dengan memperkenalkan tes skrining yang sangat efektif (apusan papaniculaou), jumlah kasusnya masih tinggi. Setiap tahun, tercatat sekitar 500.000 diagnosis baru kanker serviks, dan sekitar 350.000 pasien meninggal dunia akibat kanker serviks (Skiba et al., 2006). Berdasakan data registrasi kanker berbasis patologi pada tahun 2006 di Denpasar, terdapat 250 kasus kanker serviks yang menduduki peringkat pertama kanker terbanyak pada wanita. Pada tahun 2007, kanker serviks merupakan kanker kedua terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 226 kasus, dan pada tahun 2008, kanker serviks tetap merupakan kanker kedua 1

Transcript of expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

Page 1: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu keganasan pada wanita yang menimbulkan kematian adalah kanker

serviks. Hal ini menyebabkan kanker serviks menjadi sesuatu yang menakutkan

karena pada kanker serviks pada stadium awal tidak menimbulkan gejala,

sedangkan pada stadium lanjut, saat kanker tersebut sudah dengan gejala yang

jelas, maka penangannya menjadi lebih sulit dan mempunyai prognosis yang lebih

buruk.

Kanker serviks merupakan penyebab ke-2 terbanyak kematian yang

disebabkan oleh kanker di seluruh dunia. Di banyak negara berkembang, kanker

serviks sering merupakan penyebab utama kematian pada wanita. Walaupun

negara industri telah berhasil mengurangi angka kejadian dan kematian dengan

memperkenalkan tes skrining yang sangat efektif (apusan papaniculaou), jumlah

kasusnya masih tinggi. Setiap tahun, tercatat sekitar 500.000 diagnosis baru

kanker serviks, dan sekitar 350.000 pasien meninggal dunia akibat kanker serviks

(Skiba et al., 2006). Berdasakan data registrasi kanker berbasis patologi pada

tahun 2006 di Denpasar, terdapat 250 kasus kanker serviks yang menduduki

peringkat pertama kanker terbanyak pada wanita. Pada tahun 2007, kanker serviks

merupakan kanker kedua terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 226

kasus, dan pada tahun 2008, kanker serviks tetap merupakan kanker kedua

1

Page 2: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

2

terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebesar 270 kasus (Susanti, 2006;

Susanti, 2007; Susanti, 2008).

Hubungan antara lesi prekanker epitelial serviks uteri (lesi displasia; cervical

intraepithelial neoplasia; CIN) dan kanker/karsinoma invasif, terutama squamous

cell carcinoma (SCC) dengan human papillomavirus (HPV) telah jelas (Amalinei

et al., 2009; Hwang et al., 2012). Cervical intraepithelial neoplasia adalah

spektrum dari lesi servikal uteri yang mewakili lesi prekursor dari SCC yang

dikategorikan menjadi cervical intraepithelial neoplasia 1 (CIN1), cervical

intraepithelial neoplasia 2 (CIN2) dan cervical intraepithelial neoplasia 3

(CIN3).

Tumor serviks uteri dikategorikan menjadi epithelial tumours, mesenchymal

tumours and tumour-like condition, mixed epithelial and mesenchymal tumours,

melanotic tumours, miscellaneous tumours, lymphoid and haematopoietic

tumours dan secondary tumours. Karsinoma invasif serviks uteri pada epithelial

tumours dibagi menjadi SCC, adenocarcinoma, adenosquamous carcinoma,

adenoid cystic carcinoma, adenoid basal carcinoma, small cell carcinoma, large

cell neuroendocrine carcinoma dan undifferentiated carcinoma (Wells et al.,

2003). Faktor penyebab utama kanker serviks adalah infeksi HPV yang ditularkan

melalui hubungan seksual (Wells et al., 2003; Tjalma et al., 2005; Nam et al.,

2008).

Human papillomavirus dikategorikan menjadi tipe resiko tinggi (high-risk

HPV; HR-HPV) dan tipe resiko rendah (low-risk HPV; LR-HPV) bergantung dari

kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi yang berhubungan dengan

Page 3: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

3

timbulnya kanker (Paavonen, 2007). Kebanyakan wanita dengan infeksi HR-HPV

hanya merupakan infeksi sementara yang tidak menyebabkan transformasi ganas

pada mukosa serviks; meskipun demikian HR-HPV merupakan agen etiologi pada

hampir semua kanker serviks (Amalinei et al., 2009; Hwang et al., 2012). Dua

tipe HR-HPV yang paling utama menyebabkan terjadi karsinogenesis adalah

HPV16 dan HPV18, yang juga paling bertanggung jawab pada 70% kanker

serviks dan sekitar 50% CIN3 (Skiba et al., 2006; Schiffman et al., 2007;

Amalinei et al., 2009). Berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV,

didapatkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV

tipe 52 (23%), 16 (18%), 18 (16.1%) dan 32 (11.8%); sedangkan sebagian besar

lesi-lesi serviks di Bali disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18

(12%) (Vet et al., 2008).

Kebanyakan infeksi HPV (sampai 90%) akan mengalami regresi spontan,

tanpa terapi, setelah beberapa bulan. Jika infeksi virus menetap, resiko

berkembang menjadi lesi displasia dan karsinoma invasif akan meningkat. Hal ini

menegaskan pentingnya diagnosis yang akurat dan identifikasi lesi yang memiliki

resiko tinggi mengalami progesivitas (Amalinei et al., 2009; Stanley, 2010;

Hwang et al., 2012).

Pemeriksaan histologi biopsi kolposkopi masih merupakan ‘standard emas’

untuk lesi serviks uteri, walaupun pemeriksaan ini terbatas pada interpretasi

morfologi dengan sedikit atau tanpa informasi apakah lesi tersebut akan menetap,

mengalami regresi atau progresi. Pemeriksaan histologi pada lesi serviks uteri

adalah untuk membedakan keadaan normal dengan berbagai derajat displasia dan

Page 4: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

4

membedakan lesi displasia derajat rendah (CIN1) dengan lesi displasia derajat

tinggi (CIN2 dan CIN3). Kesalahan diagnosis histologi akan menyebabkan pasien

tersebut diberikan terapi yang berlebihan ataupun diberikan terapi yang lebih

rendah pada pasien yang secara klinis mempunyai lesi displasia derajat tinggi

(Stanley, 2010; Hwang et al., 2012).

Penelitian molekular yang menggunakan kultur jaringan dan selular

memberikan pengertian tentang transformasi HPV di epitel serviks (Balan et al.,

2009). Genom dari HPV mengkode 8 gen, yaitu 6 nonstruktural protein awal (E1,

E2, E4, E5, E6, E7) dan 2 protein akhir (L1 dan L2) (Paavonen, 2007). L1

merupakan elemen struktural primer dengan virion yang infeksius mengandung

360 copies protein yang tersusun dalam 72 kapsomer. L2 merupakan komponen

virion minor (Doorbar, 2006). L1 dan L2 membungkus genom virus yang akan

membentuk progeny virion didalam inti sel (Yoshida et al., 2008). Perkembangan

antigen kapsid virus L1 bergantung pada faktor transkripsi yang hanya dapat

terekspresi selama proses maturasi dari sel epitel basal menjadi sel epitel

superfisial (Wu et al., 2011).

Antigen kapsid virus L1 (Human papillomavirus L1; HPVL1)

dipertimbangkan menjadi target mayor respon imun selular (Wu et al., 2011),

sehingga berkurangnya atau menghilangnya produksi antigen kapsid dapat

merupakan hilangnya respon imun selular. Hilangnya protein L1 pada awal proses

transformasi dapat menyebabkan stimulasi respon imun yang tidak tepat, sehingga

terjadi transformasi sel epitel imatur (Balan et al., 2009).

Page 5: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

5

Human papillomavirus L1 dapat terdeteksi pada fase produktif infeksi HPV,

yaitu pada CIN1/CIN2, tetapi jarang terdeteksi pada CIN3 dan tidak terdeteksi

pada kanker invasif. Ekspresi HPVL1 pada suatu kasus mengindikasikan

kecenderungan lesi tersebut akan mengalami regresi dibandingkan dengan kasus

yang tidak mengekspresikan HPVL1. Penelitian yang dilakukan oleh Negri dan

kawan-kawan menyatakan bahwa HPVL1 dapat membantu untuk memperkirakan

potensial biologik dari lesi-lesi serviks uteri (Skiba et al., 2006; Negri et al.,

2008). Hal ini ditekankan juga oleh Griesser dan kawan-kawan serta Brown dan

kawan-kawan, bahwa lesi displasia ringan sampai sedang (CIN1/2), dengan

protein kapsid HPVL1 negatif, akan mengalami progresi secara bermakna (Skiba

et al., 2006; Griesser et al., 2009; Brown et al., 2012).

Tidak terdeteksinya HPVL1 menunjukkan dua status virus DNA. Status

pertama adalah virus DNA telah berintegrasi dengan genom pejamu, dan yang

kedua adalah infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada

sintesis onkoprotein HPV (Yoshida et al., 2008; Balan et al., 2011).

Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 merupakan

marker yang sangat baik dan berguna untuk menyatakan infeksi HPV berada

dalam fase produktif atau aktif (Yoshida et al., 2008), sehingga status L1

memiliki kegunaan untuk memprediksi progresivitas dari penyakit (Skiba et al.,

2006; Negri et al., 2008; Balan et al, 2009).

Evaluasi pengecatan HPVL1 dikatakan positif jika terlihat warna coklat pada

inti sel. Parameter yang dipakai adalah jumlah sel pada satu lapang pandang

pembesaran besar (400 x) yang tercat positif dengan HPVL1, di-grading sebagai

Page 6: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

6

berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat, grade 1: 2-3 sel yang tercat,

grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel yang tercat (Negri et al., 2008).

Di laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah, Denpasar, terdapat

berbagai lesi displasia epitelial serviks uteri sampai kanker/karsinoma invasif

serviks uteri, di mana karsinoma invasif serviks uteri terbanyak yang dijumpai

adalah SCC.

Persoalan utama dalam menangani lesi displasia serviks uteri adalah

mengevaluasi resiko progresifitas suatu lesi displasia (Negri et al., 2008). Derajat

displasia dan respon imun masing-masing individu serta tipe HPV yang

menginfeksi akan mempengaruhi apakah lesi displasia akan mengalami regresi

ataupun mengalami progresi sampai menjadi kanker, di mana disimpulkan bahwa

pada lesi CIN1, CIN2, dan CIN3 akan mengalami regresi sebesar 57%, 43% dan

32%, akan menetap sebesar 32%, 35%, dan 56%, dan akan mengalami progresi

sampai menjadi kanker serviks invasif sebesar 1%, 5%, dan lebih dari 12%,

sehingga ketepatan diagnosis sangat mempengaruhi prognosis pasien (Wright,

2006).

Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa dengan pewarnaan H&E tidak dapat

ditentukan apakah lesi tersebut akan mengalami regresi atau progresi, di mana hal

tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan kepada klinisi

berkaitan dengan penatalaksanaan pasien dengan mempertimbangkan ekspresi

protein HPVL1 yang dapat memperkirakan potensial biologik dari lesi-lesi serviks

uteri serta menegaskan bahwa ekspresi HPVL1 lebih tinggi pada CIN1

dibandingkan dengan CIN2, CIN3 dan SCC.

Page 7: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

7

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada CIN1?

2. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada CIN2?

3. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada CIN3?

4. Bagaimanakah ekspresi HPVL1 18 pada SCC serviks uteri?

5. Apakah terdapat perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2, CIN3,

dan SCC serviks uteri?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2,

CIN3, dan SCC serviks uteri.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada CIN1.

2. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada CIN2.

3. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada CIN3.

4. Untuk mengetahui ekspresi HPVL1 18 pada SCC serviks uteri.

5. Untuk mengetahui perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2,

CIN3, dan SCC serviks uteri.

Page 8: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

8

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi data epidemiologi tentang ekspresi HPVL1 18

pada CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC pada serviks uteri.

2. Memberikan informasi kepada klinisi sehingga penanganan pasien

menjadi lebih tepat sesuai dengan protap RSUP Sanglah, Denpasar

berdasarkan derajat displasia serviks uteri berkaitan dengan

penatalaksanaan pasien dengan mempertimbangkan ekspresi protein

HPVL1 18 yang dapat memperkirakan potensial biologik dari lesi-lesi

serviks uteri.

Page 9: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Neoplasma Jinak dan Ganas

Neoplasia adalah ‘suatu pertumbuhan yang baru’. Walaupun semua dokter

mengetahui dengan jelas apa yang dimaksud dengan neoplasia sewaktu

menyebutkannya, namun sulit memberikan definisi yang akurat. Seorang ahli

onkologi memberikan definisi neoplasma yang paling mendekati, yaitu massa

jaringan abnormal yang pertumbuhannya melebihi dan tidak berkoordinasi dengan

jaringan normal dan tetap dapat bertumbuh dengan baik walaupun telah diberikan

stimulus untuk menghentikannya (Stricker dan Kumar, 2008).

Perbedaan antara tumor jinak dan ganas didasarkan kepada morfologi dan

perilaku (perjalanan klinis), menggunakan empat kriteria, yaitu perubahan

keganasan (transformasi) sel target (diferensiasi dan anaplasia), kecepatan

pertumbuhan, invasi lokal dan metastasis (Mitchell et al., 2006; Stricker dan

Kumar, 2008).

2.2 Epidemiologi

Sejumlah faktor menjadi faktor predisposisi terjadinya kanker pada seseorang

atau pada suatu populasi. Kanker prostat, paru dan kolon merupakan kanker

paling banyak yang dijumpai pada laki-laki, sedangkan kanker payudara, paru dan

kolon merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada wanita. Berbagai

9

Page 10: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

10

faktor predisposisi tersebut adalah faktor geografik dan lingkungan, faktor usia,

dan faktor predisposisi genetik terhadap kanker (Stricker dan Kumar, 2008).

Faktor geografik dan lingkungan berpengaruh pada jenis kanker tertentu di

berbagai bagian dunia. Misalnya, angka kematian karena kanker lambung di

Jepang tujuh kali lipat dibandingkan di Amerika Serikat. Para imigran Jepang di

Amerika Serikat, angka kematian karena kanker lambung dan kolon berada di

tengah-tengah insiden pada penduduk pribumi Jepang dan Amerika Serikat. Hal

ini menunjukkan adanya pengaruh lingkungan serta budaya (Stricker dan Kumar,

2008).

Kanker lebih sering terjadi pada orang-orang yang berusia di atas 55 tahun

dan merupakan penyebab utama kematian pada wanita yang berusia 40 hingga 79

tahun serta pada laki-laki yang berusia 60 sampai 79 tahun. Walaupun demikian,

kanker tertentu sering ditemukan pada anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun,

seperti tumor Wilms dan retinoblastoma (Stricker dan Kumar, 2008).

Hereditas memainkan peranan dalam perkembangan penyakit kanker.

Predisposisi genetik terhadap kanker dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu

sindrom kanker yang diturunkan secara autosomal dominan yang ditandai oleh

pewarisan gen mutan tunggal yang sangat meningkatkan resiko terjadinya tipe

tumor tertentu, sindrom kecacatan perbaikan DNA yang ditandai oleh

ketidakstabilan kromosom, dan kanker familial yang ditandai oleh

pengelompokan bentuk-bentuk kanker tertentu secara familial tetapi dengan pola

transmisi yang tidak jelas pada kasus individual (Stricker dan Kumar, 2008).

Page 11: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

11

Kondisi predisposisi nonherediter adalah kondisi klinis tertentu yang

berkaitan dengan peningkatan resiko penyakit kanker yang tengah berkembang.

Kondisi ini dibagi dua yaitu inflamasi kronik dan kanker serta kondisi prakanker.

Meskipun mekanisme persisnya yang menghubungkan inflamasi kronik dan

karsinogenesis tidak diketahui, reaksi inflamasi kronik dapat menyebabkan

produksi sitokin setempat yang berkesinambungan yang dapat menstimulasi

pertumbuhan sel yang sudah mengalami transformasi (Stricker dan Kumar, 2008).

2.3 Dasar Molekular Kanker

Lebih dari dua dekade, ratusan gen yang berkaitan dengan kanker telah

ditemukan. Salah satunya adalah p53 yang bermutasi pada banyak kanker. Setiap

gen yang berhubungan dengan kanker (cancer-associated genes) mempunyai

fungsi yang spesifik, di mana disregulasinya akan menyebabkan berkembangnya

suatu jaringan ke arah keganasan. Terdapat delapan dasar perubahan fisiologi sel

yang menyebabkan terjadinya keganasan, yaitu kemandirian dalam menghasilkan

sinyal pertumbuhan (proliferasi tanpa stimuli eksternal), ketidaksensitifan

terhadap sinyal yang menghambat pertumbuhan, penghindaran apoptosis, defek

pada perbaikan DNA, potensi replikasi yang tidak terbatas, angiogenesis yang

dipertahankan, kemampuan untuk menginvasi dan bermetastasis, serta

kemampuan untuk menghindari pengenalan dan regulasi imun (Gambar 2.1)

(Stricker dan Kumar, 2008).

Page 12: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

12

2.4 Siklus Sel Normal

Progresi sel secara teratur lewat siklus sel dikoordinasi oleh siklin (cyclin),

enzim kinase yang bergantung siklin (cyclin dependent kinase, CDK) dan oleh

inhibitornya. Enzim kinase yang bergantung siklin menggerakan siklus sel dengan

memfosforilasi protein tertentu yang menjadi sasaran. Aktivitas CDK diatur oleh

pengikatan siklin yang secara selektif disintesis dan diurai di sepanjang siklus sel.

Setelah cyclin-CDK diaktifkan, siklin yang relevan diurai dan aktivitasnya

menurun dengan cepat (Mitchell et al., 2006).

Gambar 2.1 Skema sederhana dasar molekular penyakit kanker

Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008

Page 13: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

13

Beberapa fokus penting dalam proses tersebut yaitu pertama, komplek siklin

D-CDK4 memegang peranan yang penting dalam regulasi siklus sel dengan

memfosforilasi protein retinoblastoma (pRb), di mana pRb merupakan tombol

sentral ‘nyala-mati’ untuk replikasi DNA dan memodulasi titik restriksi G1/S.

Dalam keadaan ‘mati’ atau terhipofosforiasi, pRb akan terikat pada elongation

two factor (E2F) dan mencegah transkripsi DNA. Pada saat pRb

terhiperfosforilasi oleh siklin D-CDK4, E2F dilepas sehingga memungkinkan

terjadinya transkripsi DNA serta progresinya menjadi siklus sel fase S. Kedua,

inhibitor CDK merupakan regulator penting yang mengatur aktivitas siklin-CDK.

Dua kelas utamanya adalah family Cip/Kip (yang meliputi p21, p27 dan p57) dan

family NK4/ARF (yang meliputi p16INK4a serta p14ARF). Aktivasi transkripsi

p21 dikendalikan oleh p53; peranan p53 dalam siklus sel adalah sebagai pemantau,

memicu kontrol checkpoint yang melambatkan atau menghentikan progesi siklus

sel pada sel yang rusak (Gambar 2.2) (Mitchell et al., 2006).

Page 14: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

14

Gambar 2.2 Peranan pRb dalam Meregulasi Checkpoint Siklus Sel G1-S

Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008

2.5 Kanker Serviks

Di seluruh dunia, penyakit yang berhubungan dengan HPV merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang sangat berat. Sekitar 50% pria dan wanita

mendapat infeksi HPV genital di sepanjang hidup mereka. Kebanyakan individu

tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi HPV karena tidak adanya gejala,

sehingga virus HPV dapat dengan mudah menyebar tanpa sepengetahuan sewaktu

melakukan hubungan seksual atau sexual foreplay (Paavonen, 2007). Infeksi HPV

terdeteksi pada hampir semua CIN dan kanker/karsinoma invasif serviks uteri,

terutama SCC (Jedpiyawongse et al., 2008; Amalinei et al., 2009). Cervical

Page 15: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

15

intraepithelial neoplasia adalah spektrum dari lesi servikal uteri yang mewakili

lesi prekursor dari SCC yang dikategorikan menjadi CIN1, CIN2 dan CIN3.

Tumor serviks uteri dikategorikan menjadi epithelial tumours, mesenchymal

tumours and tumour-like condition, mixed epithelial and mesenchymal tumours,

melanotic tumours, miscellaneous tumours, lymphoid and haematopoietic

tumours dan secondary tumours. Karsinoma invasif serviks uteri pada epithelial

tumours dibagi menjadi SCC, adenocarcinoma, adenosquamous carcinoma,

adenoid cystic carcinoma, adenoid basal carcinoma, small cell carcinoma, large

cell neuroendocrine carcinoma dan undifferentiated carcinoma (Wells et al.,

2003).

2.6 Human papillomavirus

Human papillomavirus merupakan penyebab terbanyak penyakit menular

seksual pada pria dan wanita di seluruh dunia. Human papillomavirus

berhubungan dengan berbagai kondisi klinis yang bervariasi mulai dari lesi yang

tidak berbahaya sampai kanker (Gomez dan Santos, 2007).

Lebih dari 100 tipe HPV telah teridentifikasi, sekitar 40 tipe diketahui

mengenai traktus genital wanita. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa

HPV DNA menyebabkan lebih dari 95% prekanker dan kanker serviks. Insiden

infeksi HPV di Amerika mencapai 6,2 juta per tahun, dengan estimasi prevalensi

20 juta. Puncak prevalensi adalah pada wanita berumur kurang dari 25 tahun.

Perbedaan antara jumlah wanita yang terinfeksi HPV dengan jumlah wanita

Page 16: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

16

dengan prekanker dan kanker menunjuk pada adanya faktor predisposisi lain yang

menyebabkan terjadinya tranformasi keganasan (Thomison et al., 2008).

Papillomavirus merupakan kelompok dari beragam virus yang ditemukan

pada hampir semua vertebra, termasuk mamalia, reptil, dan burung (Thomison et

al., 2008). Papillomavirus merupakan anggota dari keluarga Papovaviridae, yang

mempunyai ciri relatif kecil, tidak berkapsul, memiliki diameter 55nm, sirkular,

double stranded DNA genome yang bereplikasi dalam inti sel pejamu, melepaskan

virion dengan kapsid protein berbentuk ikosahedral. Walaupun papillomavirus

yang pertama teridentifikasi pada kelinci pada tahun 1933, perkembangan

penelitian tentang infeksi HPV tetap berlangsung karena virus tersebut tidak dapat

diperbanyak dengan kultur sel. Gambaran morfologi koilocytic atypia, termasuk

perinuclear cytoplasmic clearing, kondensasi perifer filamen sitoplasma, dengan

pembesaran nukleus dan hiperkromasia, telah ditetapkan sebagai tanda

patognomonik efek HPV dan merupakan hasil langsung dari replikasi aktif genom

virus (Burd, 2003; Thomison et al., 2008).

Siklus hidup HPV bergantung dari proses maturasi sel epitel skuamous

normal. Infeksi virus HPV yang menyebabkan terjadinya tumor jinak, yang

diketahui sebagai kutil atau papiloma, ditunjukkan dengan adanya peningkatan

jumlah ketebalan epitel (akantosis atau papilomatosis), hiperkeratinisasi, retensi

nukleus pada lapisan sel keratin yang paling atas (parakeratosis), dan proliferasi

pembuluh darah kapiler dermis yang secara klinis terlihat sebagai pungtuasi

vaskular. Heterogenitas tipe HPV, spesies yang terkena, dan jarangnya

Page 17: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

17

interspecies transmissibility mengesankan bahwa virus ini dapat koevolusi dengan

penjamunya (Thomison et al., 2008).

Genom HPV mempunyai panjang 6900 sampai 8000 base-pair (bp) molekul

DNA (Burd, 2003, Thomison et al., 2008) yang memiliki kemampuan untuk

mengkode enam protein awal (E1, E2, E4-E7) dan dua protein akhir (L1 dan L2)

yang diperlukan untuk replikasi virus DNA di dalam inti sel pejamu dan untuk

berkumpulnya partikel virus yang baru diproduksi dalam sel yang terinfeksi

(Paavonen, 2007, Doorbar, 2006). Kedua kelompok tersebut dipisahkan oleh

upstream regulatory region (URR) yang berfungsi untuk meregulasi replikasi

DNA dengan mengontrol transkripsi open reading frames (ORF). Upstream

regulatory region juga mengandung berbagai variasi genom virus (Gambar 2.3)

(Burd, 2003; Munoz et al., 2006; Stanley, 2010).

Gambar 2.3 Presentasi Skematik Genom HPV

Presentasi skematik genom HPV yang menunjukkan susunan gen nonstruktural

awal (E), gen kapsid (L1 dan L2) dan upstream regulatory region (URR).

Dikutip dari Munoz, 2006

Page 18: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

18

Transmisi HPV terjadi terutama dengan kontak kulit-ke-kulit. Penelitian

epidemiologi secara jelas mengindikasikan bahwa resiko terkena infeksi HPV

genital dan kanker serviks dipengaruhi oleh aktivitas seksual. Seseorang individu

akan mempunyai resiko terinfeksi HPV yang lebih besar jika mempunyai

pasangan seksual multipel atau mempunyai satu pasangan seksual yang

mempunyai pasangan seksual multipel. Hubungan seksual pada usia dini juga

meningkatkan resiko terinfeksi HPV. Kebanyakan kanker serviks timbul pada

squamocolumnar junction, yaitu antara epitel kolumnar endoserviks dan epitel

skuamous ektoserviks, dimana pada tempat tersebut terjadi perubahan metaplasia

yang terus menerus. Aktivitas metaplasia terbanyak tersebut terjadi pada saat

pubertas, kehamilan pertama, dan menurun setelah menopause (Burd, 2003).

2.7 Hubungan Tipe HPV dengan Displasia dan Kanker

Human papillomavirus dikategorikan menjadi HR-HPV dan LR-HPV

bergantung dari kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi yang

berhubungan dengan timbulnya kanker (Paavonen, 2007). Human papillomavirus

resiko tinggi merupakan virus yang paling sering ditemukan pada lesi prekanker

dan kanker; sebaliknya, LR-HPV jarang ditemukan pada lesi tersebut. Sebagai

catatan, kebanyakan infeksi HR-HPV akan secara spontan menghilang dan tidak

berkembang menjadi lesi displasia atau kanker. Tipe HR-HPV yang klasik adalah

HPV16 dan HPV18, sedangkan tipe LR-HPV antara lain HPV6 dan HPV11

(Thomison et al., 2008).

Page 19: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

19

Berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV, didapatkan sebagian besar

lesi-lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (23%), 16 (18%),

18 (16.1%) dan 32 (11.8%); sedangkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Bali

disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18 (12%) (Vet et al.,

2008).

Infeksi HPV sering dijumpai pada wanita dan pria diusia yang aktif secara

seksual. Kebanyakan merupakan infeksi transient subklinis, dan jika terdeteksi

adanya lesi pada pemeriksaan kolposkopi, maka lesi tersebut merupakan lesi

displasia derajat rendah (CIN1). Kebanyakan infeksi HPV (misalnya terdeteksi

secara DNA namun tidak terdeteksi adanya lesi) dan CIN1 akan menghilang

dikarenakan perkembangan dari cell-mediated immunity (CMI) yang biasanya

dibarengi oleh serokonversi dan antibodi terhadap protein mayor L1. Sebagian

kecil wanita (10-15%) tidak memiliki CMI yang baik sehingga pada saat

terinfeksi HPV, HPV DNA tersebut tidak menghilang dan berlanjut dengan

infeksi virus yang persisten. Biasanya kelompok wanita ini terinfeksi persisten

oleh virus HR-HPV, yang mempunyai resiko untuk berkembang menjadi lesi

displasia derajat tinggi (CIN2 dan CIN3) dan karsinoma invasif (Gambar 2.4)

(Amalinei et al., 2009; Bolanca et al., 2010; Stanley, 2010; Hwang dan Shroyer,

2012).

2.8 Fungsi Protein HPV

Genom virus HPV dibagi menjadi awal (early) dan akhir (late) ORF (Tabel

2.1). Open reading frames awal mengkode enam protein (E1, E2, E4-E7) yang

Page 20: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

20

berhubungan dengan regulasi replikasi DNA dan proliferasi sel. Open reading

frames akhir, L1 dan L2, mengkode protein yang berhubungan dengan penciptaan

kapsid virus. Replikasi genom membutuhkan aktivasi semua gen awal (Burd,

2003; Thomison et al., 2008).

L1 merupakan elemen struktural primer dengan virion yang infeksius

mengandung 360 copies protein yang tersusun dalam 72 kapsomer. L2 merupakan

komponen virion minor (Doorbar, 2006). L1 dan L2 membungkus genom virus

yang akan membentuk progeny virion didalam inti sel. Virion ini merupakan

kumpulan dari virus yang akan mereinfeksi kembali. Pada fase awal infeksi HPV,

fase produktif, terjadilah ekspresi dari HPVL1. Fase kedua, fase transformasi,

adalah fase dimana HPV DNA terintegrasi dengan DNA pejamu (Yoshida et al.,

2008).

Protein E1 berhubungan dengan pemeliharaan genom dan replikasi. Protein

E2 merupakan protein transregulasi mayor yang mempengaruhi transkripsi dan

replikasi virus DNA. Sebagai tambahan, pada tipe HR-HPV, peranan utama E2

sebagai represor untuk promoter gen E6 dan E7. Protein ini dipercaya bekerja

bersama-sama untuk memelihara genom virus dalam bentuk episom di dalam sel.

Protein ini juga terekspresi selama replikasi DNA untuk menjaga low copy

number dari episom. Selama amplifikasi genom virus, E2 berikatan dengan URR

dan membentuk komplek dengan heliks DNA E1. Komplek inisiasi ini analog

dengan komplek selular dan memperbolehkan terjadinya replikasi DNA pada saat

tidak ada replikasi sel pejamu. Melalui aktivasi late promoter dependent pada

diferensiasi selular, terjadi peningkatan level E1 dan E2, sehingga copy number

Page 21: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

21

genom juga meningkat, sebagai persiapan pembungkusan dan pelepasan virus

(Thomison et al., 2008).

Gambar 2.4 Gambaran Infeksi HPV

Human papillomavirus merupakan virus yang sangat infeksius, dengan masa

inkubasi 3 minggu sampai 8 bulan atau lebih. Kebanyakan individu akan

menderita kutil genital setelah 2-3 bulan terjadinya infeksi. Regresi spontan

terjadi pada 10-30% pasien dalam waktu 3 bulan. Hal ini berhubungan dengan

respon CMI yang baik. Setelah regresi, infeksi subklinis dapat berlangsung

seumur hidup. Terinfeksinya seseorang oleh HR-HPV, seperti HPV16 dan

HPV18, memiliki pola infeksi yang sama dengan LR-HPV, seperti HPV6 dan

HPV11, tetapi infeksi tersebut baru akan menghilang setelah 12-18 bulan.

Sayangnya, jika infeksi HR-HPV tersebut menetap, maka dapat berkembang

menjadi CIN2/3 dan karsinoma invasif.

Dikutip dari Stanley, 2010

Protein E4 merupakan protein ORF yang paling sering dijelaskan pada kutil

jinak dan terekspresi pada diferensiasi lanjut sel skuamous, dimana

Page 22: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

22

pembungkusan dan berkumpulnya virus terjadi. Ekspresi E4 penting untuk

produksi protein L2. E4 juga mengganggu sitokeratin sitoplasma, menyebabkan

kondensasi tonofilamen perifer sel dan perinuclear cytoplasmic clearing yang

secara morfologi disebut dengan koilosit. Gangguan ini memfasilitasi pelepasan

partikel virus dari sel epitel skuamous superfisial. Sebagai tambahan, E4

mempunyai peran menyokong amplifikasi genom virus (Thomison et al., 2008).

Tabel 2.1 Peran Gen HPV

Gen

HPV

Kategori Fungsional Peran Utama

E1 Replikasi Memelihara episomal

Up-regulation replikasi genom

E2 Replikasi, transkripsi Memelihara episomal

Represor E6 dan E7

E4 Replikasi, transkripsi Memproduksi L2

Menggangu filament sitokeratin

E5 Replikasi, transkripsi,

transformasi

Menstimulasi reseptor faktor pertumbuhan

pejamu

E6 Replikasi, transformasi Up-regulate siklus sel

Down-regulate p53, Bak, Bax

Up-regulate telomerase

E7 Replikasi, transformasi Up-regulate siklus sel

Down-regulate pRb

Up-regulate p21 dan p27

L1 Kumpulan virus Protein kapsid mayor

L2 Kumpulan virus Protein kapsid minor

Dikutip dari Thomison et al., 2008

Page 23: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

23

Protein onkogen, E5, E6, dan E7, semuanya bergabung dalam transformasi

selular. E5 merupan protein yang kecil yang berikatan dengan berbagai protein

membran pejamu dan reseptor faktor pertumbuhan, termasuk epidermal growth

faktor receptor (EGFR), platelet-derived growth faktor β receptor, dan colony

stimulating faktor 1 receptor, dan diperlukan untuk amplifikasi genom virus,

kemungkinan berhubungan dengan ekspresi rangkaian poliadenilasi yang

meregulasi ekspresi gen virus dari semua ORF awal. Ada beberapa kejadian

dimana E5 membantu mencegah terjadinya apoptosis sel setelah terjadi kerusakan

DNA. Sebagai tambahan, E5 memfasilitasi penghindaran sistem imun oleh sel

yang terinfeksi melalui presentasi antigen yang lemah yang disebabkan oleh

molekul down-regulation komplek histokompabilitas mayor (major

histocompability complex, MHC) kelas I. Onkoprotein E6 dan E7 menstimulasi

progresi siklus sel dan berikatan dengan regulator siklus sel, termasuk proliferasi

sel basal yang terinfeksi sampai memfasilitasi replikasi genom virus (Thomison et

al., 2008).

2.9 Basis Molekular Transformasi

Infeksi HPV terjadi sewaktu adanya penetrasi virion (partikel infeksius) yang

mencapai lapisan basal epitel, melalui abrasi ringan atau mikrotrauma epidermis,

yang kemudian akan terikat dan masuk ke sel tersebut melalui celah. Beberapa

penelitian memberikan kesan bahwa perlekatan awal virus ke sel penjamu

bergantung pada heparan sulfate. Uncoating dan lepasnya virion merupakan hasil

gangguan ikatan disulfide antar kapsomer. Pada lapisan basal, replikasi virus tidak

Page 24: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

24

produktif. Virus DNA tersebut kemudian ditranspor ke inti sel pejamu untuk

transkripsi dan replikasi, dalam bentuk episomal. Latennya virus berhubungan

dengan terhindarnya virus dari mekanisme penjagaan imun. Supresi sistem imun

pejamu dapat menyebabkan terjadinya reaktivasi infeksi laten atau reinfeksi, yang

akhirnya menimbulkan lesi yang jelas (Burd, 2003; Thomison et al., 2008).

Untuk terjadinya infeksi yang terus menerus, virus tersebut harus menginfeksi

sel induk epitel (Munoz et al., 2006). Setelah sel pejamu terinfeksi oleh virus

HPV, DNA HPV akan bereplikasi seperti sel basal yang berdiferensiasi dan

berkembang sampai ke epitel permukaan. Pada lapisan basal, dengan

menggunakan mesin replikasi DNA penjamu, virus menghasilkan low-copy-

number episome. Pada lapisan suprabasal epitel, yaitu pada lapisan keratinosit,

virus akan bereplikasi, memperbanyak DNA sampai mencapai high-copy-number,

mensintesis protein kapsid, dan menyebabkan virus HPV tersebut berkumpul

(Gambar 2.5) (Burd, 2003; Munoz et al., 2006).

Pada saat terjadi infeksi yang produktif, genom virus dipelihara sebagai

bentuk episomal oleh protein E1. Jika protein E1 tidak secara penuh terekspresi,

pemeliharaan episomal akan hilang, sehingga akan terjadi integrasi genom ke

dalam DNA pejamu. Sewaktu DNA virus terintegrasi, beberapa gen akan hilang

atau terfragmentasi, termasuk E4, E5, dan bagian dari E2. Protein E2 yang

terfragmentasi tidak mampu mensupresi promoter gen E6/E7, sehingga

mengakibatkan terjadinya up-regulation dua protein tersebut (Thomison et al.,

2008).

Page 25: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

25

Human papillomavirus hanya mengkode 8 sampai 10 protein, sehingga virus

HPV harus dibantu oleh sel pejamu untuk meregulasi transkripsi dan replikasi.

Replikasi HPV dimulai saat sel pejamu berinteraksi dengan UUR dari genom

HPV dan memulai transkripsi gen virus E6 dan E7. Produk gen E6 dan E7

menyebabkan deregulasi siklus pertumbuhan sel pejamu dengan berikatan dan

menginaktivasi tumor suppressor protein, cell cyclin, dan CDK (Gambar 2.6)

(Gomes dan Santos, 2007).

Pertumbuhan sel sebagian besar diregulasi oleh dua protein selular, yaitu

tumor suppressor protein, p53, dan produk gen retinoblastoma, pRb. Onkoprotein

E6 berikatan dengan p53, suatu protein yang menyebabkan cell arrest pada fase

G1 sebagai respon dari kerusakan DNA dan menginduksi apoptosis pada sel yang

mengalami cedera, dan menstimulasi degradasi dengan membentuk komplek

dengan human protein E6AP, suatu ligase ubiquitin-protein, menghasilkan

ubiquitinasi p53, yang mempengaruhi ubiquitin-dependent protease system.

Dengan cara yang sama, protein tersebut menginaktivasi berbagai protein

proapoptosis yang lain termasuk Bak dan Bax, menyebabkan terjadinya progresi

selular dan mencegah kematian dari replikasi sel yang terinfeksi. Sebagai

tambahan, melalui mekanisme yang tidak diketahui, E6 mempengaruhi aktivitas

telomerase, sehingga panjangnya telomer pada sel yang terinfeksi dapat terus

bertambah. Gen HPV E7 berikatan dengan bentuk protein RB yang

terhipofosforilasi, yang akan mengganggu komplek pRb dan faktor transkripsi

selular (E2F-1), sehingga E2F-1 akan bebas dan menyebabkan produk transkripsi

gen yang diperlukan oleh sel memasuki siklus sel fase S, sehingga terjadi

Page 26: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

26

stimulasi sintesis DNA selular dan proliferasi sel. Aktivitas konstan dari protein

virus E6 dan E7 menyebabkan peningkatan instabilitas genom dan terjadi

akumulasi mutasi onkogen, sehingga kontrol pertumbuhan sel akan menghilang

yang akhirnya menjadi kanker. Selama proses progresi tumor, genom virus sering

terintegrasi dengan kromosom pejamu, yang akan terlihat dengan adanya

tingkatan protein E6/E7 yang konstan lewat stabilisasi mRNA karena pengaruh

dari struktur kromatin yang termodifikasi atau hilangnya regulasi negatif dari

transkripsi yang diperantarai oleh protein virus E2 (Burd, 2003; Munoz et al.,

2006; Gomez dan Santos, 2007; Thomison et al., 2008).

Pada infeksi fase produktif, ekspresi gen sangat dikontrol dan terjadi pada sel

yang mengalami diferensiasi dan telah kehilangan kemampuan untuk

berproliferasi, sehingga menimbulkan CIN1. Koilocytotic atypia diinduksi oleh

ekspresi ORF HPV, termanifestasi dengan pembesaran dan hiperkromasia dari inti

sel, perinuclear cytoplasmic clearing, dan kondensasi perifer tonofilamen

sitoplasma. Pembesaran inti menunjukkan aktivasi sintesis DNA oleh protein E6

dan E7; pada lesi displasia derajat rendah, hal ini terbatas pada sel yang

berdiferensiasi. Cytoplasmic clearing merupakan hasil dari gangguan cytokeratin

sebagai hasil dari ekspresi E4. Lesi displasia derajat tinggi, CIN2 dan CIN3, tidak

bersandar pada replikasi genom HPV, terdiri dari sel yang mirip dengan sel epitel

basal tetapi tidak memperlihatkan karakteristik inti atau sitoplasma dari infeksi

virus yang aktif, sesudah kehilangan hubungan antara ekspresi gen virus awal dan

diferensiasi selular (Thomison et al., 2008).

Page 27: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

27

Gambar 2.5 Siklus Sel Utama Papillomavirus pada Epitel Skuamous.

Arsitektur sel epitel skuamous berlapis pada servik uteri dan ekspresi protein HPV

setelah infeksi. Sel anak dari sel induk epitel terbagi sepanjang membrane basal

dan akan mengalami maturasi secara vertikal disepanjang epitel tanpa pembagian

lebih lanjut (sisi kanan). Setelah masuknya HPV ke dalam sel induk di lapisan

basal epitel, ekspresi virus protein non-struktural terjadi. Dibawah regulasi protein

ini, populasi dividing-cell meluas secara vertikal dan diferensiasi sel epitel akan

terhambat dan tidak sempurna. Protein virus terekspresi bersamaan dengan

terjadinya diferensiasi dan virion matur akan diproduksi hanya di lapisan paling

superfisial dari epitel. Antigen-presenting cell (APC) intraepitel mengalami

deplesi saat terjadi infeksi HPV di epitel.

Dikutip dari Munoz et al., 2006

2.10 Human papillomavirus L1

Persoalan utama dalam menangani lesi displasia serviks uteri adalah

mengevaluasi resiko progresifitas suatu lesi displasia. Walaupun hanya sedikit lesi

displasia derajat rendah dan tidak semua lesi displasia derajat tinggi pada serviks

uteri yang akan berkembang menjadi kanker, beberapa wanita akan menjalani

terapi yang berlebihan. Memprediksi prilaku dari suatu lesi merupakan hal yang

Page 28: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

28

sangat bernilai secara klinis, yang secara potensial menyebabkan penanganan

individual akan bergantung dari resiko progresinya. Sayangnya, kriteria morfologi

saja kurang dapat membedakan lesi mana yang akan mengalami regresi, menetap

atau berkembang (Negri et al., 2008).

Gambar 2.6 Mekanisme molekular infeksi onkogenik HPV

Dikutip dari Gomes dan Santos, 2007

Derajat displasia dan respon imun masing-masing individu serta tipe HPV

yang menginfeksi akan mempengaruhi apakah lesi displasia akan mengalami

regresi ataupun mengalami progresi sampai menjadi kanker, dimana disimpulkan

bahwa pada lesi CIN1, CIN2, dan CIN3 akan mengalami regresi sebesar 57%,

43% dan 32%, akan menetap sebesar 32%, 35%, dan 56%, dan akan mengalami

progresi sampai menjadi kanker serviks invasif sebesar 1%, 5%, dan lebih dari

Page 29: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

29

12%, sehingga ketepatan diagnosis sangat mempengaruhi prognosis pasien

(Wright, 2006).

Human papillomavirus L1 (HPVL1) merupakan protein kapsid yang

terekspresi pada saat fase produktif karsinogenesis, yaitu pada CIN1/CIN2, tetapi

jarang terdeteksi pada CIN3 dan tidak terdeteksi pada kanker invasif (Negri et al.,

2008; Skiba et al., 2006). Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa

derajat positif HPVL1 berkurang secara bertahap berdasarkan beratnya derajat

displasia serviks (Bolanca et al., 2010; Wu et al., 2011).

Ekspresi HPVL1 pada suatu kasus mengindikasikan kecenderungan lesi

tersebut akan mengalami regresi dibandingkan dengan kasus yang tidak

mengekspresikan HPVL1 (Skiba et al., 2006). Penelitian yang dilakukan oleh

Negri dan kawan-kawan menyatakan bahwa HPVL1 dapat membantu untuk

memperkirakan potensial biologik dari lesi-lesi servikal (Negri et al., 2008). Hal

ini ditekankan juga oleh Griesser dan kawan-kawan serta Brown dan kawan-

kawan, bahwa lesi displasia ringan sampai sedang (CIN1/2), dengan protein

kapsid HPVL1 negatif, akan mengalami progresi secara bermakna (Skiba et al.,

2006; Griesser et al., 2009; Brown et al., 2012).

Tidak terdeteksinya HPVL1 menunjukkan dua status virus DNA. Status

pertama adalah virus DNA telah berintegrasi dengan genom pejamu, dan yang

kedua adalah infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada

sintesis onkoprotein HPV (Yoshida et al., 2008; Balan et al., 2011).

Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 merupakan

marker yang sangat baik dan berguna untuk menyatakan infeksi HPV berada

Page 30: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

30

dalam fase produktif atau aktif, yang mana HPVL1 akan terekspresi pada fase

produktif (Yoshida et al., 2008) dan terdapat arti prognostik status L1 dimana

status L1 memiliki kegunaan untuk memprediksi progresivitas dari penyakit

(Skiba et al., 2006; Negri et al., 2008; Balan et al., 2009).

2.11 Interpretasi pulasan HPVL1

Evaluasi pengecatan HPVL1 dikatakan positif jika terlihat warna coklat pada

inti sel. Parameter yang dipakai adalah jumlah sel pada satu lapang pandang

pembesaran besar (400x) yang tercat positif dengan HPVL1, di-grading sebagai

berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat, grade 1: 2-3 sel yang tercat,

grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel yang tercat (Negri et al., 2008).

Page 31: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

31

BAB III

KERANGKA PIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Pikir

Human papillomavirus dibagi menjadi dua kategori yaitu HR-HPV dan tipe

LR-HPV bergantung dari kemampuan virus tersebut untuk menimbulkan infeksi

yang berhubungan dengan timbulnya kanker.

Human papillomavirus sendiri merupakan virus double-stranded DNA,

nonenveloped. Genom dari HPV mengkode 8 gen, yaitu 6 nonstruktural protein

awal (E1, E2, E4, E5, E6, E7) dan 2 protein akhir (L1 dan L2).

Pada lesi displasia dan karsinoma invasif serviks uteri yang berkaitan dengan

infeksi HR-HPV, terdapat inaktivasi fungsi pRB oleh protein E7 HPV dan

degradasi p53 oleh protein E6 HPV sehingga mengakibatkan proliferasi sel yang

tak terkendali dan pada akhirnya dapat menimbulkan perubahan keganasan pada

sel.

Protein kapsid HPVL1 menunjuk pada sekitar 90% protein total pada

permukaan virus HPV dan secara umum dapat terdeteksi selama fase reproduktif

infeksi HPV; dimana maturasi virus bergantung pada maturasi skuamous. Lesi

CIN2/3 tidak mungkin untuk menunjang infeksi HPV yang produktif, karena

maturasi skuamous berhenti pada saat CIN2/3.

31

Page 32: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

32

Infeksi HPV resiko tinggi dapat menimbulkan perubahan pada epitel serviks

mulai dari lesi displastik sampai keganasan. Pemeriksaan imunohistokimia

HPVL1 pada lesi servikal bertujuan untuk memperkirakan potensial biologik dari

lesi-lesi serviks uteri apakah lesi tersebut akan mengalami progresi atau

mengalami regresi serta menegaskan bahwa ekspresi HPVL1 lebih tinggi pada

CIN1 dibandingkan dengan CIN2, CIN3 dan SCC. Hal tersebut bermanfaat untuk

memberikan informasi tambahan kepada klinisi sebagai pertimbangan

penatalaksanaan yang lebih tepat pada pasien dengan lesi displasia serviks uteri.

Page 33: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

33

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan ekspresi HPVL1 18 pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC

serviks uteri.

Siklus sel

P53 berikatan

dengan E6

dari HPV

Rb berikatan

dengan E7 dari

HPV

Proliferasi sel

Protein Awal Protein Akhir

E6 E7 L1 L2

Infeksi HPV resiko tinggi

CIN1 CIN2 CIN3 SCC

Page 34: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

34

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian preliminary dengan menggunakan

metode analitik potong lintang.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

Sanglah, Denpasar dan pengecatan imunohistokimia dilakukan di Bagian/SMF

Patologi Anatomi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta dari 25

Maret 2013-30 Juni 2013.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah semua bahan biopsi dari blok parafin penderita

CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi

pada Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium

Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.

34

Page 35: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

35

4.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah semua bahan biopsi dari blok parafin penderita

CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi

pada Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium

Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar, yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi dari tanggal 1 Januari 2011–30 April 2013.

4.3.3 Jumlah Sampel

Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung

berdasarkan rumus (Madiyono, 2002):

( )( )

2

21221

−+

==XX

SZZnn

βα

Keterangan:

n = Besar sampel pada masing-masing kelompok.

Zα = nilai Z untuk nilai α tertentu (α = 0,05, Zα = 1,96 )

Zβ = nilai Z untuk power (1-ß ) ( ß = 0,20, Zß = 0.842)

S = Standar deviasi ditentukan 1,06

X1-X2 = Perbedaan yang diinginkan 0,48

Besar sampel minimal adalah 38 untuk masing-masing kelompok.

Page 36: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

36

4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

4.4.1 Kriteria Inklusi

Sampel didiagnosis sebagai CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri.

4.4.2 Kriteria Eksklusi

1. Kasus dengan diagnosis histopatologik belum pasti (misalnya

meragukan antara CIN3 dengan squamous metaplasia, atau proses

reaktif karena inflamasi) atau masih ada diagnosis banding.

2. Sediaan banyak mengandung jaringan nekrosis atau perdarahan.

3. Blok parafin rusak atau berjamur.

4.5 Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu:

I. Varibel tergantung: HPVL1 18.

II. Varibel bebas: CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri.

4.6 Definisi Operasional Variabel

1. Cervical Intraepithelial Neoplasia 1 (CIN1) adalah gambaran CIN dengan

karaktersitik terdapat sedikit abnormalitas inti, sedikit mitosis pada

sepertiga basal namun jarang ditemukan mitosis abnormal dan adanya

maturasi pada duapertiga bagian atas dari ketebalan epitel dan sel-sel

Page 37: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

37

superfisial menunjukkan gambaran atipia yang bervariasi dan umumnya

ringan, termasuk efek sitopatik virus (koilositosis). Interpretasi

histomorfologi ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E),

menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21.

2. Cervical Intraepithelial Neoplasia 2 (CIN2) adalah gambaran CIN dengan

karaktersitik atipia inti yang jelas pada bagian atas maupun bagian bawah

lapisan epitel, mitosis normal dan abnormal dapat dijumpai, namun

terbatas pada duapertiga bagian basal epitel dan adanya maturasi pada

setengah bagian atas dari ketebalan epitel, dengan Interpretasi

histomorfologi ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E),

menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21.

3. Cervical Intraepithelial Neoplasia 3 (CIN3) adalah gambaran CIN dengan

karaktersitik yang bila ada, terdapat atipia inti sangat jelas terlihat pada

sebagian besar atau seluruh ketebalan epitel, mitosis normal dan abnormal

mudah dijumpai pada seluruh ketebalan epitel dan adanya maturasi yang

terbatas pada sepertiga superfisial epitel (termasuk keratinisasi pada

bagian permukaan). Interpretasi histomorfologi ini dilihat dengan pulasan

Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya

binokuler Olympus CX21.

4. Squamous cell carcinoma (SCC) serviks uteri adalah suatu karsinoma

invasif serviks uteri yang tersusun dari sel-sel squamous dengan berbagai

derajat diferensiasi. Interpretasi histomorfologi ini dilihat dengan pulasan

Page 38: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

38

Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya

binokuler Olympus CX21.

5. Ekspresi HPVL1 18 adalah penilaian protein HPVL1 18 dengan pulasan

imunohistokimia yang menggunakan monoclonal antibody dari

Novocastra, diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler

Olympus CX21 pada satu lapang pandang dengan pembesaran 400 kali.

Penilaian ekspresi HPVL1 18 dibuat dengan mengevaluasi jumlah sel

yang tercat positif dengan HPVL1 18. Jumlah dari sel yang tercat positif

di-grading sebagai berikut: grade 0: tidak ada sel sampai 1 sel tercat,

grade 1: 2-3 sel yang tercat, grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel

yang tercat. Pemeriksaan imunohistokimia HPVL1 18 dikerjakan di

Laboratorium Imunohistokimia bagian Patologi Anatomi FK Universitas

Gajah Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta.

4.7 Prosedur Penelitian

1. Sediaan preparat dari penderita yang didiagnosis sebagai CIN1, CIN2,

CIN3 maupun SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi dari 1

Januari 2011 sampai 30 April 2013 di Laboratorium Patologi Anatomi

Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP

Sanglah, Denpasar, dikumpulkan dan dilihat apakah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

Page 39: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

39

2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai nomor-nomor diatas

dikumpulkan dan dievaluasi ulang dengan menilai semua parameter

patologik yaitu CIN1, CIN2, CIN3 dan karsinoma invasif. Preparat yang

sulit dievaluasi dilakukan potong ulang blok dan dipulas dengan pulasan

rutin menggunakan Harris’s Hematoksilin dan Eosin.

Prosedur Pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai dengan prosedur pulasan

Hematoksilin dan Eosin yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi

Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar:

a. Potong blok parafin mengunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan

ketebalan 4 µm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail

Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.

b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masing-

masing celupan selama 5 menit.

c. Hidrasi dengan akohol bertingkat dengan konsentrasi menurun

mengunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75% dan alkohol

50%, masing-masing celupan selama 2 menit.

d. Masukkan ke air selama 10 menit.

e. Celupkan ke cat utama yaitu Harris’s Hematoksilin selama 10 menit.

f. Cuci dengan air selama 10 menit.

Page 40: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

40

g. Lihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan

sitoplasma tidak berwarna.

h. Celupkan pada cat pembanding Eosin 1% selama 0,5-1 menit.

i. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat

mengunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol

absolut, masing-masing celupan selama 2 menit.

j. Penjernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, masing-masing

celupan selama 5 menit.

k. Tutup dengan cover glass.

3. Memilih preparat yang digunakan sebagai dasar untuk mencari blok

parafin. Preparat yang dipilih untuk pemeriksaaan imunohistokimia

HPVL1 18 adalah preparat yang paling banyak mengandung bagian tumor

dengan sedikit atau tidak ada area nekrosis maupun perdarahan.

4. Preparat yang dipilih kemudian dicari blok parafinnya.

5. Blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom untuk pulasan

imunohistokimia.

6. Melakukan pulasan imunohistokimia untuk HPVL1 18 dengan

menggunakan monoclonal antibody HPVL1 18 dari Novocastra. Sel yang

dinyatakan terpulas positif adalah sel yang terpulas coklat pada inti sel.

Penilaian ekspresi HPVL1 18 dibuat dengan mengevaluasi jumlah sel

Page 41: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

41

yang tercat positif dengan HPVL1 18 yang diamati dengan menggunakan

mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 pada satu lapang pandang

dengan pembesaran 400 kali. Jumlah dari sel yang tercat positif di-grading

sebagai berikut: grade 0: tidak ada sel yang tercat sampai 1 sel tercat,

grade 1: 2-3 sel yang tercat, grade 2: 4-10 sel yang tercat, grade 3: >10 sel

yang tercat.

Prosedur Pulasan Imunohistokimia HPVL1 18:

a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan

ketebalam 4 µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah

dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar 1

inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.

b. Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37o C selama 1 malam.

c. Deparafinisasi dengan xilol, preparat dicelupkan ke dalam xilol

sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit.

d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2 kali,

alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 3

menit.

e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.

f. Teteskan H2O2 dalam metanol 3% sampai menutupi seluruh

permukaan jaringan selama 15 menit.

Page 42: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

42

g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit.

h. Cuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masing-

masing selama 10 menit.

i. Rendam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di

dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan

pemanasan tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan

pemanasan sedang (50oC) selama 5 menit.

j. Dinginkan pada suhu kamar.

k. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.

l. Teteskan 100µl selama 10 menit.

m. Teteskan 100 µl antibodi primer menggunakan monoclonal antibody

HPVL1 18 dari Novocastra selama 30 menit pada suhu kamar atau

semalam pada suhu 40C.

n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.

o. Teteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit.

p. Cuci dengan buffer saline (BS) sebanyak 2 kali, masing-masing 10

menit.

q. Teteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit.

r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.

Page 43: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

43

s. Teteskan dengan reagen DAB selama 10 menit.

t. Cuci dengan air mengalir.

u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit.

v. Cuci dengan air mengalir.

w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol

80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing selama

3 menit.

x. Celupkan ke dalam xilol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3

menit.

y. Tutup dengan cover glass.

7. Pemeriksaan pulasan imunohistokimia HPVL1 18 dilakukan oleh peneliti

dan seorang ahli Patologi Anatomi (dokter spesialis Patologi Anatomi).

8. Blok parafin yang sudah selesai diproses dikembalikan ke Laboratorium

Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi

FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.

9. Pencatatan dan pengumpulan data.

10. Analisis data.

Page 44: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

44

4.8 Analisis Data

Perbedaan ekspresi HPVL1 18 antara CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC diuji

dengan analisis bivariant one way anova. Tingkat kemaknaan (alfa) ditentukan

pada p<0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai IK 95%.

Page 45: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

45

4.9 Skema Alur Penelitian

Gambar 4.1 Bagan Alur Penelitian

Mencari nomor sediaan CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri dari 1

Januari 2011 sampai 30 April 2013

Pengumpulan sediaan pulasan HE

Seleksi, rediagnosis sediaan mikroskopis yang memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi

Memilih preparat sebagai dasar untuk memilih blok parafin untuk pulasan

HPVL1 18

Mencari dan mengumpulkan blok parafin

Blok parafin dipotong 4 µm

Pengecatan imunohistokimia HPVL1 18

Pemeriksaan pulasan HPVL1 18

Pencatatan dan pengumpulan data

Analisis statistik

Page 46: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

46

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Menurut Data Klinis

Laporan awal penelitian ini disampaikan dengan jumlah sampel sebanyak 60

sampel yang terdiri dari 10 sampel CIN1, 10 sampel CIN2, 10 sampel CIN3, dan

30 sampel SCC serviks uteri, di mana sampel tersebut diambil pada periode 1

Januari 2011 sampai 30 Juni 2013 dari Laboratorium Patologi Anatomi Swasta,

Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK Unud/RSUP Sanglah,

Denpasar. Tiga puluh sembilan kasus diambil dari Laboratorium Patologi

Anatomi Swasta, Denpasar dan 21 kasus diambil dari Patologi Anatomi FK

Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.

Umur pasien terbanyak yang dipakai pada penelitian ini adalah pada rentang

umur 30-39 tahun (dekade ke empat) dan pada rentang umur 50-59 tahun (dekade

ke enam) yaitu masing-masing sebanyak 14 kasus (Tabel 5.1), dengan umur

termuda 24 tahun dan umur tertua 72 tahun.

46

Page 47: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

47

Tabel 5.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Umur

Nomor Rentang

Umur (tahun)

Dekade Jumlah Persentase (%)

1 <20 1-2 0 0

2 20-29 3 4 6,67

3 30-39 4 14 23,33

4 40-49 5 18 30

5 50-59 6 14 23,33

6 60-69 7 9 15

7 70-79 8 1 1,67

Total 60 100

Umur pasien CIN1 yang terbanyak adalah pada dekade ke empat dan ke lima,

umur pasien CIN2 dan CIN3 yang terbanyak adalah pada dekade ke lima, dan

umur pasien SCC serviks uteri yang terbanyak adalah pada dekade ke enam

(Gambar 5.1).

Gambar 5.1 Grafik Distribusi Dekade Umur Sampel Berdasarkan CIN1, CIN2,

CIN3 dan SCC Serviks Uteri

Umur rata-rata pasien CIN1 43.8 ± 10.1 tahun, CIN2 41.9 ± 10.8 tahun, CIN3

43.1 ± 7.09 tahun, dan SCC serviks uteri 49.5 ± 12.5 tahun (Gambar 5.2).

0

2

4

6

8

10

12

CIN 1 CIN 2 CIN 3 SCC

3

4

5

6

7

8

Page 48: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

48

Gambar 5.2 Grafik Distribusi Rerata Umur pada CIN 1, CIN 2, CIN 3, dan SCC

Serviks Uteri

5.2 Ekspresi HPVL1 18 pada Sampel Penelitian

Dari 10 kasus CIN1, 10 kasus CIN2, 10 kasus CIN3 dan 30 kasus SCC

serviks uteri, semuanya tidak menunjukkan ekspresi HPVL1 18 (grade 0) (Tabel

5.2, Gambar 5.3).

Tabel 5.2 Ekspresi HPVL1 18 pada Sampel Penelitian

Ekspresi HPVL1 18

Kelompok Jumlah (N) Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3

CIN1 10 10 - - -

CIN2 10 10 - - -

CIN3 10 10 - - -

SCC 30 30 - - -

Total 60 60 - - -

Page 49: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

49

Pada Gambar 5.3 A dapat dilihat bahwa HPVL1 18 tidak terekspresi pada

satu pun sel epitel sediaan CIN1; demikian juga pada Gambar 5.3 B, C, dan D,

HPVL1 18 tidak terekspresi pada satu pun sel epitel sediaan CIN2, CIN3, dan

SCC serviks uteri.

Gambar 5.3 Gambaran histopatologi sampel (pulasan HPVL1 18, dengan

mikroskop Olimpus CX21). A. CIN1 (nomor sediaan M2793/2012). B. CIN2

(nomor sediaan M283/2012). C. CIN3 (nomor sediaan M2302/2012). D. SCC

serviks uteri (nomor sediaan M726/2011).

B

C

A

D

Page 50: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

50

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Subjek Menurut Data Klinis

Umur pasien terbanyak yang dipakai pada penelitian ini adalah pada rentang

umur 30-39 tahun (dekade ke empat) dan pada rentang umur 50-59 tahun (dekade

ke enam) yaitu masing-masing sebanyak 14 kasus, dengan umur termuda 24 tahun

dan umur tertua 72 tahun. Umur pasien CIN1 yang terbanyak adalah pada dekade

ke-4 dan ke-5, umur pasien CIN2 dan CIN3 yang terbanyak adalah pada dekade

ke-5, dan umur pasien SCC serviks uteri yang terbanyak adalah pada dekade ke-6.

Wells et al. (2003) menyatakan bahwa penderita CIN2 dan CIN3 terbanyak

berada pada dekade ke-2. Andersson et al. (2006) menyatakan bahwa lesi

prekanker serviks biasanya terjadi pada wanita usia muda, yaitu dengan puncak

usia antara 25 dan 40 tahun (dekade ke-3 dan ke-5). Burd (2003) menyatakan

bahwa karsinoma serviks uteri sering terjadi pada wanita dengan usia di atas 35

tahun. Berdasakan literatur tersebut, usia sampel pada penelitian ini lebih tua. Hal

ini dapat dikarenakan di negara maju, kesadaran untuk melakukan papsmear bagi

wanita yang telah melakukan hubungan seksual sudah lebih tinggi, sehingga lesi

displasia ataupun keganasan dapat dideteksi pada usia yang lebih dini; dan di

Indonesia, norma-norma sosial masih dijunjung tinggi, sehingga untuk melakukan

hubungan seksual sebelum menikah masih dianggap tabu.

50

Page 51: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

51

6.2 Ekspresi HPVL1 18 pada Sampel Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan monoclonal antibody HPVL1 18

karena HPV18 merupakan penyebab tertinggi ke-3 lesi serviks di Bali. Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Vet et al. (2008) yang menyatakan

bahwa berdasarkan data epidemiologi prevalensi HPV, didapatkan sebagian besar

lesi serviks di Indonesia disebabkan oleh HR-HPV tipe 52 (23%), 16 (18%), 18

(16.1%) dan 32 (11.8%), sedangkan sebagian besar lesi serviks di Bali disebabkan

oleh HR-HPV tipe 52 (18%), 16 (15%) dan 18 (12%). Peneliti tidak menggunakan

HPVL1 52 maupun 16, yang merupakan penyebab lesi serviks di Bali yang

pertama maupun ke-2, karena sulitnya untuk mendapatkan monoclonal antibody

HPVL1 52 maupun 16.

Pada penelitian ini, dari 10 kasus CIN1, 10 kasus CIN2, 10 kasus CIN3 dan

30 kasus SCC serviks uteri, semuanya tidak menunjukkan ekspresi HPVL1 18

(grade 0).

Tidak terekspresinya HPVL1 18, secara umum, mungkin dapat disebabkan

oleh berbagai hal. Pertama, jumlah sampel penelitian yang terlalu sedikit. Ke-2,

populasi sampel hanya berasal dari satu populasi yaitu populasi wanita dengan

lesi serviks uteri di Bali, yang mana penyebab lesi serviks uteri terbanyak di Bali

adalah HPV52 dan bukan HPV18.

Tidak terekspresinya HPVL1 18 pada kasus CIN1 mungkin dikarenakan pada

kasus CIN1 tidak terinfeksi oleh HPV18 namun oleh HR-HPV lainnya, seperti

HPV52 dan HPV16. Penelitian yang dilakukan oleh Sarmadi et al. (2012)

menyatakan bahwa terdapat kemungkinan beberapa spesimen yang didiagnosis

Page 52: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

52

CIN1 dengan pulasan H&E, pada pemotongan selanjutnya untuk dipulas dengan

pulasan imunohistokimia HPVL1, lesi tersebut sudah tidak tampak/tidak ada

sehingga tidak dapat mengekspresikan HPVL1 18.

Tidak terekspresinya HPVL1 18 pada kasus CIN2, CIN3, dan SCC serviks

uteri mungkin dikarenakan oleh penyebab yang sama dengan pada kasus CIN1,

yaitu pada kasus CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri tidak terinfeksi oleh HPV18

namun oleh HR-HPV lainnya, seperti HPV52 dan HPV16.

Pada literatur yang ditulis oleh Stanley (2010) dikatakan bahwa CIN2 dan

CIN3 berhubungan dengan infeksi HR-HPV yang menimbulkan defek pada

diferensiasi selular pada lesi ini, CIN2 dan CIN3 tidak menunjang lagi untuk

terjadinya siklus infeksius virus secara komplit, sehingga ekspresi gen akhir

(dalam hal ini L1) menghilang atau berkurang secara bermakna.

Penelitian yang dilakukan oleh Bolanca et al. (2010) menyatakan bahwa

HPVL1 akan terekspresi kuat pada bagian superfisial epitel permukaan, dan

karena proses maturasi pada CIN2 dan CIN3 sudah terganggu, maka ekspresi

HPVL1 akan menurun. Hal yang sama dikatakan oleh Griesser et al. (2009) dan

Hwang dan Shroyer (2012) yaitu secara umum, CIN2 dan CIN3 tidak dapat

menunjang produktivitas infeksi HPV, karena maturasi virus bergantung pada

maturasi sel epitel squamous, yang terhenti pada CIN2 dan CIN3.

Yoshida et al. (2008), Ungureanu et al. (2010), dan Balan et al. (2011)

menyatakan bahwa tidak terdeteksinya HPVL1 dapat disebabkan oleh berbagai

hal. Pertama, DNA virus HPV telah berintegrasi dengan genom pejamu sehingga

virus DNA tersebut tidak lagi dapat membuat capsid protein (L1) yang

Page 53: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

53

menyebabkan tidak dapat dideteksi oleh pemeriksaan imunohistokimia HPVL1.

Ke-2, infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada sintesis

onkoprotein HPV. Hal ini juga didukung oleh penelitian lain yang mengatakan

bahwa tidak terekspresinya HPVL1 mengindikasikan adanya infeksi virus yang

laten atau sudah terjadi integrasi DNA HPV ke dalam genom pejamu (Yu et al.,

2010).

Beberapa penelitian lain menyatakan bahwa HPVL1 merupakan protein

kapsid yang terekspresi pada saat awal fase produktif karsinogenesis, dan secara

progresif akan menghilang pada fase transformasi lanjut dan tidak terdeteksi pada

kanker invasif (Skiba et al., 2006; Negri et al., 2008, Yoshida et al., 2008, Yu et

al., 2010, Wu et al., 2011, Haltas et al., 2012).

Tidak terekspresinya HPVL1 pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri

selain karena penyebab yang telah disebutkan di atas, mungkin juga dikarenakan

semua sampel penelitian akan mengalami progresi dan bukan regresi. Hal ini

didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Griesser et al. (2004) dan Balan

et al. (2009) yang mengatakan bahwa HPVL1 merupakan target mayor respon

imun selular, sehingga tidak terdeteksinya HPVL1 pada lesi awal proses

transformasi dapat menyebabkan stimulasi yang tidak efektif dari respon imun

dan menyebabkan terjadinya transformasi lanjutan dari sel epitel yang imatur.

Penelitian yang dilakukan oleh Griesser et al. (2009) juga mendukung hal ini

dengan menyatakan bahwa tidak terekspresinya HPVL1 pada lesi-lesi displasia

serviks uteri menunjukkan adanya infeksi yang nonproduktif namun memiliki

potensi untuk terjadinya progresi; sebaliknya, terekspresinya HPVL1 pada lesi-

Page 54: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

54

lesi displasia serviks uteri menunjukkan adanya infeksi HPV yang produktif

namun mempunyai resiko yang rendah untuk terjadinya progresi. Pada CIN1 dan

CIN2 yang tidak mengekspresikan HPVL1 akan mengalami progresi secara

bermakna jika dibandingkan dengan CIN1 dan CIN2 yang mengekspresikan

HPVL1.

Penelitian yang dilakukan oleh Brown et al. (2012) menyatakan bahwa

HPVL1 dapat menjadi marker prognostik yang dapat membedakan apakah

seorang pasien dengan lesi di serviks uteri akan mengalami perubahan dari lesi

prekursor menjadi kanker atau akan mengalami regresi. Tidak terekspresinya

HPVL1 pada lesi yang terinfeksi HR-HPV memiliki kemungkinan yang sangat

rendah untuk mengalami regresi.

Penelitian yang dilakukan oleh Skiba et al. (2006) menyimpulkan bahwa

pasien dengan lesi serviks yang tidak mengekspresikan HPVL1 mempunyai

prognosis yang buruk yang membutuhkan pendekatan terapi yang lebih agresif,

seperti kemoterapi adjuvan.

Tidak terekspresinya HPVL1 pada lesi-lesi serviks uteri dapat juga

disebabkan karena sintesis protein L1 yang rendah pada sel epitel skuamous yang

berada di bawah ambang tes imunohistokimia (Griesser et al., 2004, Balan et al.,

2009).

Hasil penelitian ini adalah bahwa HPVL1 18 tidak terekspresi pada seluruh

sampel CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri, yang dapat disebabkan oleh

karena (1) penelitian ini menggunakan monoclonal antibody HPVL1 18

sedangkan sebagian besar lesi-lesi serviks di Bali disebabkan oleh HR-HPV tipe

Page 55: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

55

52; (2) sampel penelitian tidak terinfeksi oleh HPV18 namun oleh HR-HPV

lainnya, seperti HPV52 dan HPV16; (3) jumlah sampel penelitian yang terlalu

sedikit; (4) populasi sampel hanya berasal dari satu populasi; (5) CIN2 dan CIN3

tidak menunjang lagi untuk terjadinya siklus infeksius virus secara komplit,

sehingga ekspresi gen akhir (dalam hal ini L1) menghilang atau berkurang secara

bermakna; (6) DNA virus HPV telah berintegrasi dengan genom pejamu; (7)

infeksi HPV berada pada fase laten dengan sedikit atau tidak ada sintesis

onkoprotein HPV; (8) sintesis protein L1 yang rendah pada sel epitel skuamous

yang berada di bawah ambang tes imunohistokimia.

Page 56: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

56

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Ekspresi HPVL1 18 negatif pada CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri.

7.2 Saran

1. Pada penelitian ini, HPVL1 18 tidak terekspresi pada semua sampel yang

bisa disebabkan karena sampel tersebut tidak terinfeksi oleh HPV18

namun terinfeksi oleh HR-HPV tipe yang lain, sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan tipe HR-HPV yang menginfeksi dengan metode PCR pada

lesi serviks uteri, kemudian dilanjutkan dengan pengecatan

imunohistokimia dengan HPVL1 yang sesuai dengan tipe HR-HPV yang

menginfeksi untuk mengetahui progresivitas lesi serviks tersebut.

2. Populasi sampel penelitian sebaiknya diambil dari berbagai daerah

(berdasarkan data epidemiologi) dengan jumlah sampel yang lebih banyak.

56

Page 57: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

57

DAFTAR PUSTAKA

Andersson S., Wangsa D., Flores-Staino C., Safari H., Mints M., Kjerpe A.,

Hagmar B., Johansson B. 2006. Expression of P16INK4a in Relation ti

Hsitopathology and Viral Load of ‘High-risk’ HPV Types in Cervical

Neoplastic Lesions. European Journal of Cancer, 42: 2815-2820.

Amalinei C., Balan R., Stanoiu B., Crauciuc E., Toma O., Caruntu I.D. 2009.

Immunohistochemical Identification of Human Papilloma Virus High-risk

Type L1 Major Capsid Proteins in Atypical Glandular Cells. SecŃiunea

Genetică şi Biologie Moleculară, 10: 103-108.

Balan R., Amalinei C., Giusca S.E., Crauciuc E., Neacsu D., Gheorghita V.,

Caruntu I.D. 2011. Epidermal Growth Factor Reseptor (EGFR) and

Human Papillomavirus (HPV) L1 Capsid Protein in Cervical Aquamous

Intraepithelial Lesions. SecŃiunea Genetică şi Biologie Moleculară, 12: 49-

54.

Balan R., Caruntu I.D., Crauciuc E., Gherghita V., Toma O., Amalinei C. 2009.

Immunocytochemical Expression of Human Papillomavirus (HPV) High

Risk Type L1 Capsid Proteins in LSIL and HSIL. SecŃiunea Genetică şi

Biologie Moleculară, 10: 97-102.

Bolanca I.K., Sentija K., Simon S.K., Kukura V., Vranes J. 2010. Estimating

Clinical Outcome of HPV Induced Cervical Lesions by Combination of

Capsid Protein L1 and p16INK4a Protein Detection. Coll Antropol, 34(1):

31-36.

Brown C., Bogers J., Sahebali S., Depuydt C.E., Prins F.D., Malinowski D.P.

2012. Review Article: Role of Protein Biomarkers in the Detection of

High-Grade Disease in Cervical Cancer Screening Programs. Journal of

Oncologi. Article ID 289315. 11 pages.

Burd E.M. 2003. Human Papillomavirus and Cervical Cancer. Clinical

Microbiology Review, 16(1): 1-17.

Doorbar J. 2006. Review: Molecular Biology of Human Papillomavirus Infection

and Cervical Cancer. Clinical Science, 110: 525-541.

Gomez D.T., Santos L. 2007. Human Papillomavirus Infection and Cervical

Cancer: Pathogenesis and Epidemiology. Communicating Current

Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology, A.

Mendez-Vilas (Ed): 680-688.

57

Page 58: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

58

Griesser H., Sander H., Hilfrich R., Moser B., Schenck U. 2004. Correlation of

Immunochemical Detection of HPV L1 Capsid Protein in Pap Smears with

Regression of High-Risk HPV Positive Mild/Moderate Dysplasia. The

International Academy of Cytology, 26(5): 241-245.

Griesser H., Sander H., Walczak C., Hilfrich R.A. 2009. HPV Vaccine Protein L1

Predicts Disease Outcome of High-Risk HPV+ Early Squamous

Dysplastic Lesion. American Journal of Clinicopathology, 132: 840-845.

Haltas H., Bayrak R., Yenidunya S., Yildirim U. 2012. The Immunohistochemical

Detection of P16 and HPV L1 Capsid Protein on Cell Block Sections from

Residual PapSpin Liquid-based Gynecology Cytology Specimens as a

Diagnostic and Prognostic Tool. European Review for Medical and

Pharmacological Sciences, 16: 1588-1595.

Hwang S.J., Shroyer K.R. 2012. Review Article: Biomarkers of Cervical

Dysplasia and Carcinoma. Journal of Oncology. Article ID 507286. 9

pages.

Jedpiyawongse A., Homca-em P., Karalak A., Srivatanakul P. 2008.

Immunohistochemical Overekspression of p16 Protein Associated with

Cervical Cancer in Thailand. Asian Pasific Journal of Cancer Prevention,

9: 625-630.

Mitchell R.N., Kuman V., Abbas A.K., Fausto N. 2006. Neoplasia. Pocket

Companion to Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease Seventh

Edition, Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 158-159.

Munoz N., Castellsague X., Berrington de Gonzalez A., Gissmann L. 2006. HPV

in the Etiology of Human Cancer. Journal Vaccine, 05.115. Available

from: www.sciencedirect.com.

Nam E.J., Kim J.W., Hong J.W., Jang H.S., Lee S.Y., Jang S.Y., Lee D.W., Kim

S.W., Kim J.H., Kim Y.T., Kim S., Kim J.W. 2008. Expression of the

p16INK4a and Ki-67 in Relation to the Grade of Cervical Intraepithelial

Neoplasia and High-risk Human Papillomavirus Infection. Journal of

Gynecology Oncology, 19(3): 162-168.

Negri G., Bellisano G., Zannoni G.F., Rivasi F., Kasal A., Vittadello F.,

Antoniazzi S., Faa G., Ambu R., Egarter-Vigl E. 2008. Original Article:

P16INK4a and HPVL1 Immunohistochemistry is Helpful for Estimating

the Behavior of low-grade Dysplastic Lesions of the Cervix Uteri.

American Journal of Surgical Pathology, 32(11):1715-1720.

Page 59: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

59

Paavonen J. 2007. Human Papillomavirus Infection and the Development of

Cervical Cancer and Related Genital Neoplasia. International Journal of

Infectious Disease, 11(Suplement 2): 53-59.

Sarmadi S., Izadi-mood N., Pourlashkari M., Yarandi F., Sanii S. 2012. HPV L1

Capsid Protein Expression in Squamous Intraepithelial Lesions of Cervix

Uteri and Its Relevance to Disease Outcome. Archive of Gynecology and

Obstetrics, 285(3): 779-784.

Schiffman M., Castle P.E., Jeronima J., Rodriguez A.C., Wacholder S. 2007.

Human Papillomavirus and Cervical Cancer. The Lancet, 370: 890-907.

Skiba D., Mehlhorn G., Fasching P.A., Beckmann M.W., Ackermann S. 2006.

Prognostic Significance of Serum Antibodies to HPV-16 L1 Virus–like

Particles in Patient with Invasive Cervical Cancer. Anticancer Research,

26: 4921-4926.

Stanley M. 2010. Review: Pathology and Epidemiology of HPV Infection in

Females. Gynecologic Oncology, 117: S5-S10. Available from:

www.sciencedirect.com.

Stricker T.P., Kumar V. 2008. Neoplasia. In: Kumar F., Abbas A.K., Fausto N.,

Aster J.C., editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease

Eighth Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 284-292.

Susanti I. 2006. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia

Tahun 2006 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter

Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.

Susanti I. 2007. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia

Tahun 2007 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter

Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.

Susanti I. 2008. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia

Tahun 2008 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter

Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.

Thomison J., Thomas L.K., Shtoyer K.R. 2008. Progress in Pathology: Human

Papillomavirus: Molecular and Cytologic/Histologic Aspect Related to

Cervical Intraepithelial Neoplasia and Carcinoma. Human Pathology, 39:

154-166.

Page 60: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

60

Tjalma W.A.A., Van Waes T.R., Van Den Eiden L.E.M., Bogers J.J.P.M. 2005.

Role of Human Papillomavirus in the Carcinogenesis of Squamous Cell

Carcinoma and Adenocarcinoma of the Cervix. Best practice & research

clinical obstetric and gynecology, 19(40): 469-483.

Ungureanu C., Socolov D., Anton G., Mihailovici M.S., Teleman S. 2010.

Immunocytochemical Expression of p16INK4a and HPV L1 Capsid

Proteins as Predictive Markers of the Cervical Lesions Progression Risk.

Romanian Journal of Morphology and Embryology, 51(3): 497-503.

Vet J.N.I., Boer M.A., Akker B.E.W.M., Siregar B., Lisnawati, Budiningsih S,

Tyasmorowati D., Moestikaningsih., Cornain S., Peters A.A.W., Fleuren

G.J. 2008. Prevalence of Human Papillomavirus in Indonesia: a

Population-based Study in Three Regions. British Journal of Cancer, 99:

214-218.

Wells M., Ostor A.G., Crum C.P., Franceschi S., Tommasino M. 2003. Epithelial

tumours. In: Tavassoli F.A., Devilee P., editors. WHO: Pathology and

Genetics Tumours of the Breast and Female Genital Organ. Lyon: IARC.

p. 262-270.

Wright T.C. 2006. Pathology of HPV Infection at Cytology and Histologic Level:

Basis for a 2-tiered Morphologic Classification System. International

Journal of Gynecology and Obstetric, 94(supplement 1): S22-S31.

Wu H., Shi H., Kong L. 2011. Full Length Research Paper: Relationship of

HPVL1 and P16 Expression with Different Cervical Lesion. Scientific

Research and Essays, 6(17): 3724-3728.

Yoshida T., Sano T., Kanuma T., Owada N., Sakurai S., Fukuda T., Nakajima T.

2008. Immunochemical Analysis of HPV L1 Capsid Protein and p16

Protein in Liquid-based Cytology Samples From Uterine Cervical Lesions.

Cancer (Cancer Cytopathol), 114: 83-88.

Yu L., Wang L., Zhong J., Chen S. 2010. Diagnostic Value of p16INK4A, Ki-67,

and Human Papillomavirus L1 Capsid Protein Immunochemical Staining

on Cell Bloks From Residual Liquid-Based Gynecologic Cytology

Specimens. Cancer (Cancer Cytopathol), 118: 47-55.

Page 61: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

61

Lampiran 1.

Page 62: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

62

Lampiran 2.

Page 63: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

63

Lampiran 3.

Data Sampel dan Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia HPVL1 18

No No Sediaan Umur Diagnosis Grade

1 M1057/12 29 CIN I 0

2 M970/12 61 CIN I 0

3 M2793/12 45 CIN I 0

4 M848/12 37 CIN I 0

5 M2862/12 37 CIN I 0

6 1551PP12 44 CIN I 0

7 2271PP12 33 CIN I 0

8 2488PP12 56 CIN I 0

9 3416PP12 50 CIN I 0

10 1226PP12 46 CIN I 0

11 M499/12 24 CIN II 0

12 M642/12 60 CIN II 0

13 M777/12 45 CIN II 0

14 M741/12 26 CIN II 0

15 M897/12 45 CIN II 0

16 M913/12 44 CIN II 0

17 M283/12 35 CIN II 0

18 M563/12 48 CIN II 0

19 M1408/11 46 CIN II 0

20 M2884/12 46 CIN II 0

21 M562/12 54 CIN III 0

22 M2302/12 45 CIN III 0

23 2505PP13 46 CIN III 0

24 M2515/12 33 CIN III 0

25 M2841/12 51 CIN III 0

26 M1113/12 43 CIN III 0

27 M3084/12 40 CIN III 0

28 M1529/12 47 CIN III 0

29 M2469/12 40 CIN III 0

30 M2847/12 32 CIN III 0

31 M1321/12 36 SCC 0

32 M1271/12 53 SCC 0

33 M1228/12 30 SCC 0

34 M1096/12 55 SCC 0

35 M1033/12 65 SCC 0

36 M780/12 55 SCC 0

Page 64: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

64

37 M20/12 35 SCC 0

38 M150/12 39 SCC 0

39 M296/12 63 SCC 0

40 M697/12 50 SCC 0

41 M1819/11 65 SCC 0

42 M1693/11 28 SCC 0

43 M1290/11 47 SCC 0

44 M700/11 50 SCC 0

45 M726/11 35 SCC 0

46 1190PP12 35 SCC 0

47 4167PP12 63 SCC 0

48 4238PP12 35 SCC 0

49 1864PP12 60 SCC 0

50 1973PP12 64 SCC 0

51 2013PP12 30 SCC 0

52 2170PP12 49 SCC 0

53 2201PP12 50 SCC 0

54 2497PP12 57 SCC 0

55 2584PP12 62 SCC 0

56 2782PP12 54 SCC 0

57 2797PP12 58 SCC 0

58 3103PP12 50 SCC 0

59 3582PP12 40 SCC 0

60 4248PP12 72 SCC 0

Page 65: expression of hpvl1 18 in cervical intraepithelial neoplasia 1 ...

65

Lampiran 4.

Analisis Statistik

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

umur 60 24.00 72.00 46.2167 11.33629

Valid N (listwise) 60