Explore Kota Gede

58
1 e x p l o r e K o t a G e d e Yogyakarta - 1 Januari 2012

description

Nyai Panggung masih kokoh berdiri meski usianya telah mencapai 400 tahun. Akar-akar gantungnya menjulur menyentuh tanah, mengeras bagai beberapa batang pohon yang saling membelit dan menyangga tajuk dedaunan membuat benak membayangkan citra seorang ibu tua yang tengah berjalan berdiri tenang dengan bantuan tongkat-tongkat penyangga tubuhnya yang telah renta. Dimulailah perjalanan menyusuri lorong demi lorong Kota Gede yang membawa kami kembali ke masa lampau. Pengalaman yang lebih dari sekedar "wisata" dan menorehkan banyak makna.

Transcript of Explore Kota Gede

Page 1: Explore Kota Gede

1

e x p l o r e K o t a G e d eYogyakarta - 1 Januari 2012

Page 2: Explore Kota Gede

2

e x p l o r e K o t a G e d eYogyakarta - 1 Januari 2012

Fotografer Wahyu Widhi W

Penulis Wawies Wisnu Wisdantio

Desain dan Lay Out Untung Sumarsono

Editor Fitria Werdiningsih

Sita Apriliasari

Page 3: Explore Kota Gede

3

"Ayunan langkah perjalanan bagai serpihan mozaik yang

menjahit masa lalu dan masa kini. Jejak-jejak segera menjadi

masa lalu untuk selalu dikenang dan entah suatu saat nanti

bayang-bayang itu akan kembali ditelusuri oleh saya, anda,

atau bahkan oleh anak cucu kita"

Page 4: Explore Kota Gede

4

Page 5: Explore Kota Gede

5

Ucapan selamat pagi tersaji hangat, bertabur bumbu wajah sumringah (ceria) menjadi

kudapan di pagi pertama tahun 2012. Mungkin hanyalah menu ala kadarnya yang jauh

dari rasa kenyang. Namun, akan sangat berbeda rasa ketika menikmatinya dibawah bayang

rimbun dedaunan Waringin Sepuh (Beringin Tua) kota tua dengan segudang cerita

yang lestari tersembunyi dibalik dinding-dinding rapuh berlumutnya. Bahkan, jauh lebih

berkesan daripada gegap gepita menyambut pergantian tahun semalam yang dipenuhi

hiruk pikuk bertabur dentum ledakan kembang api beragam warna dan nyaring suara

terompet bersahut-sahutan.

Semua berawal dari selembar announcement Forum Joglo dan tawaran jelajah budaya

lamanya yang didapat Fitria ketika menikmati suasana temaram Kotagede terbalut

eksotisme musik jazz dalam acara Ngayogjazz 2011. Menjadi sebuah ide akan kegiatan

Blusukan menelusuri lurung-lurung (lorong-lorong) sempit Kotagede disepakati menjadi

pengisi hari pertama di awal tahun. Kotagede, Kota tua di sudut tenggara Yogyakarta

yang selalu di-identik-kan dengan kerajinan Perak Bakar dan pesona rumah kaum

Kalang-nya.

Fitria, Sita, Widhi, Untung, maupun saya sendiri tak pernah mengira bila trip ini akan

sama gurihnya Jadah Manten yang menjadi welcome snack dan awal perjalanan panjang

selama lebih dari 3 jam kedepan. Awal mengesankan untuk sebuah trip yang awalnya

kami kira akan dimenemukan suasana layaknya sebuah tour di museum ditemani para

guide yang bermuka datar dengan senyum dipaksakan sambil menghamburkan berbagai

informasi kaku bak teks book. Perkenalan singkat yang ringan ketika mbak Shinta sang

sekretaris forum Joglo memperkenalkan apa dan siapa forum joglo, mas David sang

pemandu perjalanan, dan mbak Lista yang tak pernah lepas dari view finder kamera

DSLR-nya ditanggapi Widhi dan Untung dengan penuh keseriusan. Terlihat dari awal

saja mereka berdua telah aktif mengesplorasi setiap lekuk potongan-potongan beras ketan

berisi daging cincang berbalut kulit telur dadar tipis itu dan dengan antusias memindahkan

dari bambu penjepitnya ke dalam perut mereka masing-masing (doyan apa emang laper

mas?... :D ... ). Tetapi ketika mbak Shinta memperkenalkan seorang bapak yang telah

beranjak sepuh membuat kami terkaget-kaget. Beliau adalah pak Suryantoro sang koordinator

forum Joglo sendiri yang berkenan hadir menyambut kami yang masih terbilang anak-

anak kemarin sore. Terlebih lagi ketika bapak yang juga cukup intens menjadi penggiat

kegiatan konservasi heritage di Kotagede tersebut berkenan untuk menemani jalan-jalan

kami kali ini. Wow!!! Belum memulai perjalanan saja kami sudah dibuat tercengang, tak

terbayangkan bagaimana suasana perjalanan yang ditemani empat pemandu sekaligus...

:D

Page 6: Explore Kota Gede

6

Njogo Srawung liwat Lurung, Langgar, Pasar lan Kampung

Page 7: Explore Kota Gede

7

Nyai Panggung masih kokoh berdiri meski usianya telah mencapai 400 tahun.

Akar-akar gantungnya menjulur menyentuh tanah, mengeras bagai beberapa batang pohon

yang saling membelit dan menyangga tajuk dedaunan membuat benak membayangkan

citra seorang ibu tua yang tengah berjalan berdiri tenang dengan bantuan tongkat-tongkat

penyangga tubuhnya yang telah renta.

Pagi ini jalanan sepanjang kurang dari 300 meter dari sekitar pelataran sang Waringin

Sepuh masih terasa sangat lengang. Rumah-rumah tradisional dikanan kiri jalan setapak

yang telah diperkeras batu-batu candi hitam tertata rapi itu pun belum banyak memperlihatkan

aktivitasnya. Kesan yang sangat jauh dari suasana yang terjadi ratusan tahun lampau,

ketika jalanan ini masih berupa hutan lebat yang sedang dipenuhi ratusan orang tengah

bahu membahu menebangi pepohonan. Alas Mentaok (hutan Mentaok) bukanlah hutan

biasa, lahan disepanjang sungai Gajah Wong itu dipercaya pernah menjadi pusat Kerajaan

Mataram Kuno abad ke-8. Sebuah peradaban kuno yang pernah berjaya dan sangat lekat

dengan kisah sejarah wangsa-wangsa terkemuka

di tanah Jawadwipa seperti wangsa Syailendra

dan Sanjaya. Peradaban yang sangat terkenal

karena kedasyatan peninggalannya yang

saat ini masih membuat siapapun berdecak

kagum ketika memandangnya, seperti candi

Borobudur maupun candi Prambanan.

Namun entah mengapa, peradaban itu

tiba-tiba hilang tak berbekas dan lahan

itu perlahan berubah menjadi hutan yang

sangat lebat.

Page 8: Explore Kota Gede

8

Tampak dikejauhan dua pria gagah tengah berdiri mengawasi

jalannya pekerjaan maha berat mem-Babat Alas Mentaok (membuka

hutan Mentaok), hutan lebat berumur lebih dari 7 abad. Ki Ageng

Pemanahan masih berbadan tegap meski gurat-gurat wajahnya tak

bisa lagi sembunyikan usianya yang beranjak senja. Dalam diam, dia

hanya berdiri mematung tepat di sebelah putranya Sutawijaya yang

sesekali berteriak dan melompat tenggelam dalam hiruk pikuk.

Keduanya tak lain adalah pembesar istana sekaligus orang-orang yang

paling dipercaya penguasa kerajaan Pajang, Sultan Hadiwijaya.

Karena jasa mereka yang berhasil mengalahkan Arya Penangsang

dan bala tentara Kadipaten Jipang Panolan di tahun 1549, sang

Sultan menghadiahkan lahan luas yang dinamai tanah Mataram

di sepanjang sungai Gajah Wong itu sebagai wilayah kekuasaannya.

Semenjak dibukanya kembali, perlahan tanah Mataram seakan kembali

kembali hidup. Terus berkembang bahkan menjadi layaknya sebuah

kerajaan kecil. Bahkan, sepeninggal kakek Pemanahan yang kemudian

digantikan Sutawijaya muda, tanah Mataram menjadi pusat kerajaan

baru sekaligus menjadi awal sejarah panjang generasi dinasti

Mataram di pulau Jawa yang masih terus berkembang dan lestari

hingga saat ini.

Page 9: Explore Kota Gede

9

"Toleransi adalah dasar dan pondasi terkuat

tempat berdirinya negeri ini" ujar pak Suryantoro

diantara langkah-langkah kami menembus relung

gapura Padureksa. Gapura dengan nuansa budaya

hindu budha dengan balok dan daun pintu kayu

penuh relief sulur-sulur dedaunan rumit tertatah

halus di tiap sisi terbukanya yang dapat ditangkap

oleh mata. Setelah kami mengitari kelir (dinding

penghalang) berhiaskan ornamen lambang kerajaan,

kesunyian halaman yang sejuk ternaungi pepohonan

dan tugu jam berhiaskan mahkota Kasunanan

Surakarta menyambut kedatangan kami di halaman

masjid tertua di Yogyakarta, Masjid Mataram

Kotagede. "Bukan sekedar untuk menghormati

para pekerja yang kebanyakan masih menganut

ajaran Hindu Budha, namun dibangunnya gapura

itu juga menjadi pengingat bahwa Hindu Budha

sudah menjadi budaya lama yang tidak akan

pernah bisa dilepaskan dari kehidupan di tanah ini".

Kesunyian syahdu dan gemerisik dedaunan sejenak

menenggelam kami dalam setiap lekuk dan gurat

hasil karya tangan-tangan seniman terbaik dinasty

Mataram yang seakan memancarkan doa-doa

untuk mengagungkan sang pencipta, menghembuskan

kesejukan kesetiap relung benak kami diantara

langkah-langkah pelan tapak kaki tanpa alas di atas

dinginnya lantai Masjid Mataram yang awalnya

hanyalah sebuah langgar kecil tempat Ki Ageng

Pemanahan menunaikan kewajibannya.

Page 10: Explore Kota Gede

10

Page 11: Explore Kota Gede

11

Page 12: Explore Kota Gede

12

Jam tugu hijau menunjukkan pukul 10.30 ketika kami beranjak meninggalkan Masjid

Mataram dan beragam fragmen sejarah yang kembali dikisahkan mas David. Pasarean

Senopaten, Kompleks makam raja-raja Mataram yang tak jauh dari Masjid Mataram menjadi

tujuan selanjutnya melalui beberapa regol (pintu gerbang) dan kelir pembatas antar

pelataran atau petak halaman yang masing-masing dilingkupi dinding tebal pembatas.

Ternyata ketika kami melalui gerbang Srimanganti dan mencapai pelataran bangsal

pengapit, seorang abdi dalem keraton memberi tahu bila hari masih terlampau pagi

sehingga gerbang terakhir menuju pelataran Pasarean Senopaten masih terkunci rapat.

Sehingga, mau tak mau kami hanya bisa duduk di salah satu sudut bangsal Pengapit beralaskan

karpet hijau menikmati keramahan para Abdi dalem yang tengah menjalankan tugasnya.

Page 13: Explore Kota Gede

13

Page 14: Explore Kota Gede

14

Page 15: Explore Kota Gede

15

S imbol-simbol budaya Jawa semakin lengkap terpapar ketika kami sampai di

pelataran Sendang Selirang yang konon menjadi tempat mandi khusus keluarga istana.

Sepasang kolam kecil yang diberi nama sendang Kakung (pria) dan Sendang Putri

(perempuan). Berada cukup lama di bibir pagar keliling sendang Kakung, mas David

menceritakan sejarah panjang yang masih letari tersimpan dibalik permukaan air tempat

hidup beberapa ikan yang berukuran cukup besar. Seklumit kisah tentang salah satu

"lelaku" dalam kepercayaan yang masih kental dalam budaya masyarakat setempat dan

sering kali disebut sebagai budaya Kejawen pun diceritakan mas David masih sangat

mudah ditemui di sendang yang cukup sepi itu.

Page 16: Explore Kota Gede

16

Belum habis tawa dan canda ringan kami sambil membahas cerita mas David, seketika

suara kami menghilang bak tertelan angin ketika seorang ibu berusia setengah baya

mendekat ke pagar telaga tanpa sedikitpun menghiraukan keberadaan kami. Kekusyukan

sang ibu melantunkan permohonan panjang dalam bahasa Jawa Kromo Inggil (salah

satu tingkatan dalam tata bahasa tradisional suku Jawa- red) yang halus tak urung

membuat kami ikut terpaku dalam keheningan. Seakan ikut meng-amin-i doa sang ibu,

kami pun baru beranjak meninggalkan sendang Kakung setelah seluruh prosesi itu usai

dengan berbagai hal yang berkecamuk dalam benak kami masing-masing.

Page 17: Explore Kota Gede

17

Page 18: Explore Kota Gede

18

Page 19: Explore Kota Gede

19

Page 20: Explore Kota Gede

20

Page 21: Explore Kota Gede

21

Page 22: Explore Kota Gede

22

Page 23: Explore Kota Gede

23

Meninggalkan situs-situs tua disekitar Masjid Mataram yang masih sangat kental dengan

fragmen budaya dalam kehidupan masyarakat Jawa, perjalanan berlanjut pada penelusuran

lurung-lurung Kotagede yang rumit saling berkelindan bagaikan jejaring urat-urat nadi. Meski

hanya selebar kurang dari 1,5 meter, dinding-dinding tua berlumut seakan ikut berbisik mengisi

benak kami dengan cerita beberapa tradisi lama yang masih lestari hingga saat ini. "Waduh, kalo

seumpama ada 2 motor yang saling bersilangan di lurung ini, gimana caranya ya pak?" seloroh

Fitria. "Ya, mau enggak mau salah satu harus mengalah", jawab pak Surya sambil terkekeh geli.

"Urut Tuwo, mbak, hehehe..." (berurutan sesuai usia yang lebih tua - red) tambah mbak Shinta

yang membuat kami ikut tertawa.

Page 24: Explore Kota Gede

24

"Sejauh ini sih, memang tidak pernah ada permasalahan karena hal itu, mbak" tambah

pak Surya menegaskan masih kentalnya nilai-nilai toleransi dalam keseharian

masyarakat Kotagede hingga sekarang. Tak hanya itu, disepanjang perjalanan pun kami

menemukan salah satu ciri khas yang sangat mudah ditemui di Kotagede. Keramahan

disertai senyum dan tawaran untuk sekedar singgah sejenak menjadi hal yang sangat

mudah ditemui hampir disetiap rumah yang kami lalui. Namun sayangnya, terpaksa kami

tolak dengan halus mengingat masih jauhnya perjalanan.

Page 25: Explore Kota Gede

25

Page 26: Explore Kota Gede

26

"Lho!! Mbak Shinta!! Lho..lho... ada pak Sur juga to... Monggo mampir dulu!!"

sergah seorang bapak menyapa ramah ketika kami tiba didekat Pendopo Joglo tua

yang baru saja selesai direnovasi. Disela-sela waktu menunggu mbak Shinta yang

masih bercengkerama dengan bapak yang tadi menyapanya, pak Surya mem-

perkenalkan alah satu ciri khas Kotagede ketika beranjak duduk di tempat duduk

beton di dinding salah satu rumah dan menjorok ke jalanan. "Tempat duduk

ini namanya Tadahlas, alias tadah (tempat) alas (dasar) ... maksudnya

alas manusia alias pantat.... hahahaha... Disinilah biasa orang-orang Kotagede

berkumpul dan bercengkerama satu sama lain.... tidak hanya disini... hampir

disemua rumah di Kotagede punya Tadahlas. Jadi bisa dibayangkan bagaimana

eratnya persaudaraan di sini".

Page 27: Explore Kota Gede

27

Page 28: Explore Kota Gede

28

Page 29: Explore Kota Gede

29

"Lho, Fit!!!! Kamu pernah kesini ya??!! hahahaha" teriakan Widhi dari kejauhan

disela-sela keasyikannya menjepretkan kamera mau tak mau telah membuat kami

penasaran dan beranjak meninggalkan pak Surya yang masih menikmati suasana

di Tadahlas. Tiba-tiba tawa lepas kami meledak bersama-sama setelah mendekati

tempat mas Widhi berdiri sambil melihat ke dinding-dinding disekeliling kami yang

penuh grafity liar. Uniknya, hampir disetiap dinding ditemukan goresan membentuk

sebaris nama Fitria dalam berbagai ukuran.... :D ... "Jangan-jangan Fitria mengajak

kita ke kotagede cuma mau nunjukin ini nih... hahahaha... nunjukin kalo sekarang

jadi artis di Kotagede" seloroh Untung membuat gelak tawa kami semakin keras

berderai. "Siauuulll!!!" jawab Fitria disela-sela tawanya.

Page 30: Explore Kota Gede

30

Tak jauh dari pelataran tembok ratapan

Fitria (hehehehe... sorry fit... belum

menemukan nama yang cocok untuk

menyebutnya sih... :P...), langkah-langkah

kami kembali terhenti di halaman sebuah

rumah ekletis yang cukup apik mempadukan

ketradisionalan Joglo dengan gaya

arsitektur jengky, gaya bangunan yang

banyak berkembang di era 60-an.

Page 31: Explore Kota Gede

31

"Rumah ini salah satu joglo tua di Kotagede yang masih sangat terawat", ujar mas David.

"Rencananya sih rumah ini akan dikembangkan jadi salah satu homestay bagi para petualang Heritage

yang berminat melewatkan waktu lebih lama di Kotagede, semoga saja cepat terealisasi" timpal mbak

Shinta bersemangat. "Monggo... monggo masuk, monggo kalo mau lihat-lihat, tapi maaf sekali, rumah

kami masih sangat kotor karena banyak yang belum selesai dibenahi", ramah bu Gunawan menyambut.

Seketika panas sinar matahari tergantikan oleh kelembaban suhu ruangan sejuk membelai kulit. Di

sebuah ruang besar yang belum tertata dan berbagai furniture kuno diletakkan ala kadarnya agar tetap

bisa digunakan, benak kami seakan membawa kembali ke masa-masa kecil ketika suasana yang sama

masih sangat mudah kami temukan.

Page 32: Explore Kota Gede

32

Keunikan rumah Keluarga Gunawan yang membuat kami terpukau adalah

kesempatan untuk bisa melihat langsung salah satu fragmen yang memperlihatkan geliat

masyarakat Kotagede dimasa revolusi. Mungkin sekilas tidaklah semenarik yang kami

bayangkan sebelumnya. Situs sejarah itu hanya berupa sebuah almari kuno yang mulai lapuk

termakan jaman dan tak lagi berdiri tegak. Saat daun pintu almari itu dibuka pun,

kami hanya melihat barang-barang usang berdebu yang tak lagi berfungsi. Tetapi, ketika

kami cermati lebih jauh, ternyata barang-barang itu menyamarkan bagian belakang

almari yang tidak berdinding dan berhubungan dengan sebuah lubang besar menganga.

Page 33: Explore Kota Gede

33

Ya! Sebuah Pintu Rahasia! "Dahulu

kalau ada serangan udara, atau ada

serangan dan sweeping tentara penguasa

kolonial, lewat almari inilah kami masuk

ke gua (lubang) dibelakangnya. Sehingga

setiap kali tentara Kolonial masuk ke

dalam rumah, mereka selalu tertipu dan

menganggap rumah ini hanyalah rumah

kosong yang ditinggalkan pemiliknya

pergi mengungsi", ujar bu Gunawan

menjelaskan sambil sesekali matanya

menerawang jauh seakan hendak

mengenang kembali masa-masa itu.

"Meski cuma lubang kecil, jasanya sangat

besar ketika melindungi keluarga ini.

Karena itulah kami tetap mempertahankan

keberadaannya".

Page 34: Explore Kota Gede

34

Di ruang tengah yang awalnya merupakan pendopo joglo, bu Gunawan kembali

melanjutkan berbagai kisah lama lainnya yang tersimpan rapi hampir disetiap furniture

maupun setiap lekuk keindahan kayu berukir pada balok-balok kayu tumpang sari dengan

penyangga empat soko guru (tiang penyangga) berumpak batu hitam legam di tengah

ruangan. Belum habis kisah-kisah lama itu terceritakan, tak disangka-sangka suasana

dalam pendopo menjadi semakin ramai ketika mas Totok Surahman datang bersama putranya,

pria yang juga salah satu pengurus Forum Joglo sekaligus kepala rumah tangga yang

dibinanya bersama mbak Shinta.

Page 35: Explore Kota Gede

35

"Baru kali ini saya merasakan trip jalan-jalan yang jumlah pemandunya sama banyak

dengan jumlah peserta trip-nya... hahahahahaha", seloroh Fitria dan Sita sambil tawa geli

ketika mas Totok memutuskan ikut menemani kami menelusuri lurung-lurung Kotagede.

"Sekalian ngajak si kecil jalan-jalan, mbak. Mumpung hari minggu.. hehe" ujar mas Totok

yang ternyata tak kalah ramah dibanding pasukan forum Joglo lainnya yang sudah lebih

dulu menemani kami semenjak pagi.

Page 36: Explore Kota Gede

36

Page 37: Explore Kota Gede

37

Semakin jauh ke arah barat, memasuki lorong-lorong kampung Citran memberikan

nuansa terasa sedikit berbeda. Banyak lorong-lorong sempit yang tak lagi terapit dinding-

dinding tua berlumut. "Sayang sekali, gempa banyak mengubah wajah Kotagede. Terlalu

banyak dinding lurung maupun bangunan lama yang roboh. Bahkan nggak sedikit yang

dibiarkan begitu saja karena pemiliknya tak mampu mendirikannya kembali", ujar mbak

Shinta sambil sesekali menunjukkan beberapa pelataran penuh alang-alang liar diantara

puing bangunan terlantar yang kami lalui disepanjang perjalanan.

Page 38: Explore Kota Gede

38

Sinar matahari semakin kejam membakar ketika lorong demi lorong terus kami lalui.

Dari joglo Tumenggungan yang merupakan satu-satunya joglo dengan konstruksi gantung

hingga sampai di Omah UGM.

Page 39: Explore Kota Gede

39

Tergoda sejuk semilir angin setelah terpanggang panasnya matahari, kami menghempaskan

tubuh ke lantai pelataran tegel abu-abu omah UGM yang dingin. Teras unik dengan

furniture lama di sisa-sisa Gandhok (ruang samping rumah Jawa) tepat di sebelah timur

pendapa yang telah dibangun kembali dengan tetap mempertahankan sisa-sisa dinding

tak utuh menjadi sebuah monumen pengingat kejadian maha besar di tahun 2006 lalu.

Page 40: Explore Kota Gede

40

Page 41: Explore Kota Gede

41

Kenarsisan kami mulai menggeliat... :P .... beruntung, mbak Lista ternyata

cukup berbesar hati berkenan mengabadikan kami meski pose-pose kami

mungkin "sedikit" tak wajar baginya... hahaha.. :D. Seakan belum juga

terpuaskan, usai menyerap habis seluruh informasi dari setiap diorama dalam

omah UGM, teras yang asri-pun kembali menjadi korban kenarsisan kami.

Bahkan, Mbak Shinta, Mas Totok, Mas David, Mbak Lista, dan bahkan

Pak Suryantoro pun sedikit teracuni ajakan kami untuk berfoto bersama

(untungnya beliau-beliau tidak ikut teracuni mengambil pose-pose kami

yang tak wajar, haahahahaha).....

Page 42: Explore Kota Gede

42

Page 43: Explore Kota Gede

43

"Kelihatannya hari sudah terlalu siang,

bagaimana kalau setelah ini kita pergi

ke tempat makan siang", tawaran yang

langsung kami sambut serempak,

"Setujuuuuuuu, hahahaha!!!!"

Page 44: Explore Kota Gede

44

Page 45: Explore Kota Gede

45

Etape terakhir perjalanan pun kembali berlanjut ditengah

sinar matahari yang semakin terasa tajam mengiris kulit.

Lorong demi lorong, joglo demi joglo, berkenalan dengan

sejarah pos penjagaan yang tepat berada di persimpangan

jalan yang seringkali disebut pos Malang (jawa: melintang,

red), lorong omah kalang milik jutawan Rudi Pesik yang

pernah digunakan menginap Lech Walesa, presiden Polandia

era 1990-1995. Sayang sekali, waktu kembali menjadi

penghalang kami untuk menyaksikan koleksi benda budaya

di rumah seni Rudi Pesik.

Page 46: Explore Kota Gede

46

Langkah-langkah kami terus terayun memasuki lorong-lorong kampung Ngerikan hingga

menembus ke Jalan Mondorakan yang memisahkan wilayah Kotagede menjadi 2, yaitu

sisi utara jalan masuk dalam wilayah administrasi kota Yogyakarta dan di sisi selatan

jalan yang masuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten Bantul.

Page 47: Explore Kota Gede

47

Menyeberangi Jalan Mondorakan, kami tiba dalem Sopingen, salah satu dari sekian

banyak saksi bisu sejarah panjang yang bertebaran di hampir seluruh wilayah kota tua

ini. Sebuah rumah tua yang didalamnya pernah terjadi berbagai kejadian bersejarah

dunia politik semenjak era kebangkitan kaum muda hingga era ketika Partai Komunis

Indonesia masih memiliki kekuatan politis di negeri ini.

Page 48: Explore Kota Gede

48

Akhirnya, petualangan inipun berakhir

disebuah rumah sederhana ternaungi

pepohonan rindang yang usianya mung-

kin sudah sangat tua. Ndalem Ngaliman,

demikian mbak Shinta menyebutnya.

Tepat didepan rumah Bp. H. Ngalim,

dalam naungan atap joglo telah tertata

sebuah meja kecil lengkap dengan hidangan

sederhana yang menyambut.

Page 49: Explore Kota Gede

49

Page 50: Explore Kota Gede

50

"Monggo, monggo, selamat datang di Dalem Ngaliman", ujar mbak Shinta sambil

mengajak kami berkenalan langsung dengan pak Ngalim yang meski usianya sudah

cukup sepuh masih tetap sigap bergerak dan mantap menyambut setiap uluran jabat

tangan kami. Ini dia yang harusnya menjadi welcome snack tadi pagi. Perkenalkan,

inilah yang dinamakan Kipo, penganan berwarna hijau yang sedikit terdapat noda

menghitam karena dipanggang diatas bara api terpapar cantik diatas piring-piring kecil

bersanding dengan segelas minuman ramuan rempah yang biasa disebut wedhang

Secang menjadi pemandangan sangat indah dimata kami.

Page 51: Explore Kota Gede

51

Tanpa menunggu lebih lama lagi, sepotong demi sepotong kipo yang terbuat dari ulenan

tepung ketan lembut berisi parutan kelapa manis berpindah dari piring-piring kecil itu

masuk ke dalam mulut kami yang seakan tak lelah mengunyah. Sementara wedang Secang

yang hangat kembali menyegarkan tubuh lelah kami. Dan akhirnya bersama-sama

dengan pak Ngalim, kami rasakan nikmatnya masakan "rumahan" yang telah disiapkan

secara khusus. Entah mengapa, meski sederhana, makan siang kali ini terasa sangat

berbeda. Mungkin saja memang keramahan sang tuan rumah yang duduk bersama-sama

dengan kami, ataukan memang kami terlalu lapar ... :P, Entahlah.....

Page 52: Explore Kota Gede

52

Ketika Sesrawungan itu Harus Berakhir

Page 53: Explore Kota Gede

53

Kesejukan angin, perut penuh, dan tempat merebahkan tubuh di lantai joglo yang

dingin saat hari tengah panas menyengat, menjadi perpaduan sangat sempurna untuk

menghadirkan rasa kantuk yang bisa dipastikan akan membuat kelopak mata siapapun

terasa luar biasa berat! Hahaha.... Cukup lama kami asyik memanjakan diri di joglo

Dalem Ngaliman, Widhi lebih memilih menyerah pada rasa kantuk dan tertidur disalah

satu sudut pendopo, Untung ternyata masih memiliki sedikit ruang dalam perutnya

sehingga tetap menyibukkan diri dengan piring kipo ke-tiganya, Sita dan Fitria terlihat

asyik berbagi pengalaman dengan mbak Shinta tentang suka duka menjalani kesehariannya

menjadi penggiat forum joglo dan pelestari heritage Kotagede, sedangkan saya sendiri

menyibukkan diri membolak-balik halaman-halaman buku Toponim Kotagede hasil

karya keroyokan tiga penulis sekaligus, yaitu Erwito Wibowo, Hamid Nuri dan Agung

Hartadi yang banyak mengulas sejarah penamaan di Kotagede (hiks... ketemu buku

bagus tapi nggak bawa uang cukup... :p ...).

Page 54: Explore Kota Gede

54

"Lho, masih banyak kok mas, kok sudah selesai?"

ujar mbak Shinta sambil berdiri dan kembali

sambil menyodorkan dua piring terakhir kipo

yang masih tersisa diatas meja. Tentu saja

Untung yang sepertinya telah jatuh hati pada

penganan hijau manis itu menyambut penuh

antusias. Waktu terus bergulir hingga akhirnya

gulungan-gulungan mendung tebal mulai

menyelimuti sepanjang ufuk utara hingga ke

barat dan terus bergerak ke arah kami. Meski

dengan berat hati, kami harus berpamitan dengan

keluarga Pak Ngalim, mas Totok, mas David,

mbak Lista (yang sampai akhir masih tetap setia

dengan senyumnya tanpa banyak berkata... :P)

dan bapak Suryantoro. "Mari saya antarkan

sampai ke pelataran parkir. Sekalian ambil beberapa

barang yang masih saya tinggalkan disana", ujar

mbak Shinta sigap berdiri bersiap diri menemani

kami berjalan kaki ke pelataran Waringin Sepuh

tempat motor-motor dititipkan.

Page 55: Explore Kota Gede

55

Kotagede tetap menjadi tempat yang terlalu eksotis untuk segera kami tinggalkan begitu

saja hanya karena mendung tebal. Jabat tangan sebagai pengikat tali paseduluran (Jawa:

tali persahabatan, red) pun akhirnya memisahkan kami dengan mbak Shinta dan teman-teman

baru di forum Joglo. Namun, sudut-sudut Kotagede ternyata masih cukup menggoda

kami untuk tidak segera meninggalkannya, "hey, kita masih punya uang sisa makan

malam kemarin lhooo..... kita beli coklat aja yuuuk", ujar fitria. "Iya nih, sekalian mau

beli oleh-oleh buat temen-temen di Jakarta", sambut Untung yang akan berangkat ke

ibukota ke-esokan harinya. Akhirnya, semua perjalanan panjang inipun berakhir dengan

pesta coklat disalah satu outlet coklat terkenal dari Kotagede yang letaknya tak jauh dari

pelataran situs Watu Gilang di selatan pasar Kotagede yang masih ramai oleh penjual

penganan tradisional.

Page 56: Explore Kota Gede

56

Kotagede, kota tua ini agaknya akan kembali kami jajaki. Meskipun belum tau kapan itu

akan kami lakukan, tapi pasti kami akan kembali. Petilasan Keraton Mataram yang

penuh dengan berbagai situs tua penuh kisah panjang perjalanan kerajaan Mataram di

Tanah Jawa, seperti: situs Watu Gilang, situs tembok pangeran Rangga, situs gerbang

kembar, atau menikmati berbagai koleksi benda budaya di museum budaya Rudi Pesik,

menjajaki rumah-rumah Kalang, merasakan membuat perhiasan perak hasil karya kami

sendiri, dan mungkin kembali bersama forum Joglo untuk merasakan trip malam yang

tadi sempat ditawarkan mbak Shinta.

Kotagede, tunggu kedatangan kami tuk kembali suatu saat nanti... :)

Page 57: Explore Kota Gede

57

Divisi Jelajah Pusaka Kotagede FORUM JOGLO

Ndalem Ngaliman,Kompleks Sopingen,Prenggan Kotagede Yogyakarta IndonesiaTelepon : 0274 6665448 : 085 743 768 8484e-mail : [email protected]

FB Page : kotagedeheritage.org |sanggar tari tejo arum kotagede | Perpustakaan Heritage Kotagede | Kotagede Heritage Trail

www.kotagedeheritage.org

Rekening :BRI KCP Gedongkuning,No. Rek : 1008-01-000826-53-2an. Shinta Noor Kumala

Bantuan Anda akan sangat berguna untukpelestarian bangunan bersejarah di Kota Gede

Page 58: Explore Kota Gede

58

2012Share pengalaman atau destinasi favorit Anda.

Hubungi kami di: w w w.landscapeindonesia.com