EUTHANASIA ATAU MERCY KILLING ( STUDI ...repository.uinjambi.ac.id/1965/1/SKRIPSI LUQMAN HAKIM...
Transcript of EUTHANASIA ATAU MERCY KILLING ( STUDI ...repository.uinjambi.ac.id/1965/1/SKRIPSI LUQMAN HAKIM...
EUTHANASIA ATAU MERCY KILLING ( STUDI PERBANDINGAN
FATWA JABATAN KEMAJUAN ISLAM MALAYSIA (JAKIM) DAN
FATWA YUSUF AL QARDHAWI )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Ilmu Syariah
Pada Fakultas Syariah
LUQMAN HAKIM BIN JAMALUDDIN
NIM: 103170024
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
1440 H / 2019
ii
PERNYATAAN ORISINALITIS TUGAS AKHIR
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Luqman Hakim Bin Jamaluddin
NIM : 103170024
Jurusan : Perbandingan Mazhab
Fakultas : Syariah
Alamat : Mess Pelajar Malaysia, No.44, Rt.27, Rw.08, Jalan Melur 2,
Kelurahan Simpang IV Sipin, Telanaipura, 36124, Jambi,
Indonesia
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa skripsi yang berjudul Euthanasia Atau
Mercy Killing (Studi Perbandingan fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
(JAKIM) Dan Fatwa Yusuf Al Qardhawi). Ini adalah hasil karya pribadi yang
tidak mengandung plagiarisme dan tidak berisi materi yang dipublikasikan atau
ditulis orang lain, kecuali kutipan yang telah disebutkan sumbernya sesuai dengan
ketentuan yang dibenarkan secara ilimiah.
Apabila penyaatan ini tidak benar, maka peneliti siap mempertanggungjawab
sesuai hukum yang berlaku dan ketentuan UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
termasuk pencabutan gelar yang saya peroleh dari skripsi ini.
Jambi, 10 OKTOBER 2019
Yang Menyatakan,
LUQMAN HAKIM BIN JAMALUDDIN
NIM : 103170024
iii
PEMBIMBING I : Dr. Illy Yanti. M.Ag
PEMBIMBING II : Dr. Ramlah. M.Pd.I.,M.Sy
Alamat : Fakultas Syariah UIN STS Jambi, JL Jambi-Muara
Bulian KM.16 Simp.Sei Duren, 36363
Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Syariah
UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Di_
JAMBI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah membaca dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami
berpendapat bahwa skripsi saudara Luqman Hakim Bin Jamaluddin, NIM:
103170024 yang berjudul: “Euthanasia Atau Mercy Killing (Studi
Perbandingan Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) Dan
Fatwa Yusuf Al Qardhawi)”, dapat diajukan untuk dimunaqasyahkan guna
melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S1) pada Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, maka dengan ini kami ajukan skripsi tersebut agar dapat
diterima dengan baik.
Demikianlah kami ucapkan terima kasih, semoga bermanfaat bagi
kepentingan Agama, Nusa dan Bangsa.
Wassalamualaikum Wr,Wb.
Jambi,10 Okt 2019
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr.Illy Yanti, M.Ag Dr.Ramlah, M.Pd.I.,M.Sy
197102271994012001 196804011994022002
iv
v
vi
MOTTO
حيم حمه الر الر بسم الله
Artinya: “Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi israel, bahwa:
barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi”1. (Q.S. Al-Maidah 5:32)
1Mushaf al Quran Dan Terjemahannya, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Departemen
Agama RI, cet. 2018)
vii
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul, Euthanasia Atau Mercy Killing (Studi Fatwa Perbandingan
Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) Dan Fatwa Yusuf Al Qardhawi.
Skripsi ini adalah bertujuan untuk mengetahui metode pengeluaran hukum bagi
Euthanasia atau Mercy Killing, serta mengetahui latar belakang munculnya fatwa
tersebut dan peranan Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia dalam penetapan hukum
tersebut. Penulis menjalankan kajian lapangan di Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia (JAKIM), Putrajaya. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif dengan menggunakan metode
perbandingan. Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini yaitu, field
research (kajian lapangan) dan juga library research (kajian pustaka) supaya
penulis dapat meneliti dan membahas kajian ini secara rinci dan membahas
permasalahan ini dengan lebih mendalam. Teknis pengumpulan data adalah
melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil dari penelitian yang
dilakukan, penulis dapat menyimpulkan bahwa secara gamblang praktek
Euthanasia adalah tidak diperkenankan oleh syara‟ namun disana masih terdapat
pembahasan dari Ulama yang membolehkan Euthanasia namun tergantung
kondisinya. Menurut pendapat Yusuf al Qardhawi, Euthanasia Aktif haram
hukumnya kerana termasuk dalam kategori pembunuhan. Bagi Euthanasia pasif
pula, beliau berpendapat bahwa dibolehkan karena termasuk menghentikan
pengobatan. Metode yang digunakan oleh beliau adalah Metode Intiqa‟i. Bagi
Majlis Fatwa Kebangsaan pula, mengeluarkan fatwa bahwa hukum Euthanasia
pada dasarnya adalah haram. Namun terdapat pengecualian bagi memberhentikan
alat bantu pernapasan yaitu dibenarkan karena bertentangan dengan pratek
Euthanasia yang bersifat membunuh. Hal ini perlulah didasarkan dari keyakinan
dokter bahwa rawatan tidak lagi lagi diperlukan dan disahkan mati. Metode yang
digunakan oleh Majlis Fatwa Kebangsaan adalah metode Bayani.
Kata kunci : Euthanasia, Istinbath Hukum.
viii
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini kepada…
Ibunda dan ayahanda tercinta
Sebagai tanda bakti, hormat dan rasa terima kasih yang tiada terhingga
kupersembahkan skripsi ini kepada ayahanda Jamaluddin Bin Ahmad dan Ibunda
Norwahidah Binti Ali yang telah berjuang dengan penuh keikhlasan, yang telah
mencurahkan segala kasih sayangnya dengan penuh ketulusan tanpa mengenal
arti lelah, serta telah mendidik dan mengasuh dari kecil hingga dewasa.
Kakanda dan adindaku tercinta
Terima kasih tidak terhingga diucapkan atas segala perhatian dan dorongan yang
diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi antara kita merupakan rahmat dan
anugerah dari-Nya, serta menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya.
Kedua pembimbing yang dihormati
Segenap rasa yang tidak dapat diungkapkan dengan perkaatan khusus buat kedua
pembimbing saya Ibu Dr Illy Yanti dan Ibu Dr Ramlah yang telah banyak
membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jutaan terima kasih kepada semua yang terlibat secara langsung atau tidak
langsung..
ix
حيم حمه الر الر بسم الله
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadrat Allah جل جلاله atas segala rahmat
dan karunia-Nya. Shalawat dan salam turut dilimpahkan kepada junjungan besar
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم yang sangat dicintai. Alhamdulillah dalam usaha
menyelesaikan skripsi ini penulis sentiasa diberi nikmat kesehatan dan kekuatan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Euthanasia Atau
Mercy Killing (Studi Perbandingan Fatwa Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia (JAKIM) Dan Fatwa Yusuf Al Qardhawi)” .
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan
ilmu syariah dalam bagian ilmu perbandingan mazhab tentang fatwa hukum. Juga
memenuhi sebagian persyaratan bagi memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (1)
dalam Jurusan Perbandingan Mazhab pada Fakultas Syariah Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima
hambatan dan halangan baik dalam masa pengumpulan data maupun
penyusunannya. Situasi yang mencabar dari awal hingga ke akhir menambahkan
lagi daya usaha untuk menyelesaikan skripsi ini agar selari dengan penjadualan.
Dan berkat kesabaran dan sokongan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat
juga diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu sama ada secara langsung
maupun secar tidak langsung menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Su‟aidi Asy‟ari, MA, Ph.D Rektor Uin STS
Jambi, Indonesia.
2. Bapak Dr. AA. Miftah, M. Ag, Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi, Indonesia.
x
3. Bapak H. Hermanto Harun, LC, M. HI, Ph.D selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik, Ibu Dr Rahmi Hidayati, S. Ag, M.HI. Wakil
Dekan Bidang Administrasi Umum, Perancanaan dan Keuangan
dan Ibu Dr. Yuliatin, S. Ag. MHI, Wakil Dekan Kemahasiswaan
dan Kerjasama di lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi,
Indonesia.
4. AlHusni, S.Ag., M.HI, Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab dan
Bapak Yudi Armansyah, M. Hum, Sekretaris Jurusan
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah UIN STS Jambi,
Indonesia.
5. Ibu Dr. Illy Yanti. M.Ag selaku Pembimbing I dan Ibu Dr.
Ramlah. M.Pd.I, M.Sy selaku Pembimbing II skripsi ini yang telah
banyak memberi masukan, tunjuk ajar dan bimbingan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan,
asisten dosen serta seluruh karyawan dan karyawati yang telah
banyak membantu dalam memudahkan proses menyusun skripsi di
Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
7. Untuk sahabat yang diingati, khusus untuk semua ahli rumah
ulama Mohsen Qobeh Jiddan, Jebat, Loh, Muhaimin, Wak haikal,
Syafiq, Izzudin serta kesemua mahasiswa Malaysia yang bernaung
dibawah Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Indonesia
(PKPMI) di Indonesia Cawangan Jambi, ribuan terima kasih di
ucapkan atas segala buah pikiran, bantuan kalian, sehingga skripsi
ini selesai. Semoga Allah جل جلاله melipat gandakan pahala amalan
kalian.
Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan
maklumat maupun dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini.
xi
Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi
pemikiran, tanggapan dan masukan berupa saranan, nasihat dan kritik demi
kebaikan skripsi ini. Semoga apa yang diberikan dicatatkan sebagai amal
jarriyyah di sisi Allah dan mendapatkan ganjaran yang selayaknya kelak.
Jambi, 10 OKTOBER 2019
Penulis,
Luqman Hakim Bin Jamaluddin
NIM : 103170024
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERNYATAAN ORISINALITIS TUGAS AKHIR ............................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
PENGESAHAN PANATIA UJIAN ...................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN......................................................................................... v
MOTTO.................................................................................................................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
PERSEMBAHAN ................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ xv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................. 4
C. Batasan Masalah .................................................................................... 4
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................................... 4
E. Kerangka Teori ...................................................................................... 5
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 8
G. Metode Penelitian ................................................................................. 9
H. Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
BAB II : BIOGRAFI YUSUF AL QARDHAWI DAN GAMBARAN UMUM
LOKASI PENELITIAN
A. Biografi Yusuf Al Qardhawi ............................................................ 14
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................. 21
BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG TENTANG EUTHANASIA DAN
PEMBUNUHAN
A. Konsep Euthanasia............................................................................ 30
xiii
B. Konsep Pembunuhan ........................................................................ 34
BAB IV : PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kedudukan Euthanasia Didalam Islam ............................................. 40
B. Keputusan Fatwa Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia Dan Fatwa
Yusuf Al Qardhawi Berserta Metode Istinbath Hukumnya .............. 45
C. Analisis Penulis ................................................................................. 56
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 59
B. Saran-Saran ....................................................................................... 60
C Kata Penutup ...................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
DAFTAR SINGKATAN
UIN STS : Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Jambi
JAKIM : Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
S.W.T : Subhanahu Wa Taala
S.A.W : Sallallhu „Alaihi Wasallam
No. : Nomor
Q.S : Al Quran dan Sunnah
Cet. : Cetakan
Hlm. : Halaman
Hr. : Hadis Riwayat
xv
PEDOMAN TRANSLITERASI
غ sy ش kh خ a ا gh ن n
w و f ف sh ص d د b ب
t ت ق dh ض dz ذ q h ه
ts ث r ر ك th ط k ء hamza
z ز j ج ya ي lam ل zh ظ
m م ain ع s س h ح
â = a panjang
î = u panjang
û = u panjang Au = او
Ay = اى
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam era moderan ini, seiring kemajuan ilmu sains dan teknologi menjadi
semakin pesat karena munculnya pelbagai penemuan yang banyak memberi
manfaat kepada manusia. Jika dibandingkan penemuan teknologi tersebut,
perkembangan teknologi dalam bidang perobatan dilihat sangat
memberangsangkan. Kini, hasil daripada perkembangan dan kemajuan dalam
bidang sains dan perobatan, nyawa manusia dapat dilanjutkan dengan
menggunakan obatan atau alat bantu pernapasan. Seorang dokter dapat
menentukan sama ada ingin mematikan atau menghidupkan seorang pasien.
Dengan perkembangan teknologi yang sebegini, maka, tidak mustahil ia bakal
mengundang masalah yang rumit. Keadaan ini menimbulkan beberapa kasus
tentang kematian yang dikaitkan dengan Euthanasia yang berarti kematian dengan
aman tanpa kesakitan.
Menurut kamus keperawatan, Euthanasia adalah sebuah istilah kedokteran
yang berarti, kematian yang mudah tanpa rasa sakit2. Euthanasia berasal dari
bahasa yunani eu (baik) dan thanatos (kematian) adalah tindakan dengan sengaja
untuk untuk mengakhiri hidup seseorang agar terbebas dari kesengsaraan sakit
yang diderita karena diyakini tidak ada lagi harapan untuk sembuh. Biasanya
Euthanasia dilakukan dengan memberikan obat-obatan tertentu melalui suntikan
(Euthanasia aktif) atau menghentikan pengobatan yang sedang dilakukan
(Euthanasia pasif).3 Istilah lain yang hampir searti dengan itu dalam bahasa arab
2Dewi Lestari, Kamus Keperawatan, (Wacana Intelektual, 2018), Hlm.220
3Ahmad Zahro,M.A.Fiqh Kontemporer Buku 1, (Pt Qaf Media Kreativa, Mei 2018),
Hlm.87
2
adalah qatl ar rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut
(memudahkan kematian).4
Membunuh dengan sebab belas kasihan merupakan satu perkara yang sangat
mementingkan nilai kemanusian dengan sifat belas ke atas pasien. Tidak
dinafikan, praktis ini dapat memudahkan prosedur kematian seorang pasien tanpa
perlu menanggung lebih lama kesakitan yang dialami. Namun begitu, Islam
sebagai satu agama yang mementingkan kemulian manusia, mempunyai
perspektif tersendiri dalam membahaskan hukum ini.5 Islam sebagai agama yang
memelihara nyawa melarang sekeras-kerasnya pembunuhan bukan dengan hak.
Al-Qatl atau pembunuhan merupakan satu jenayah yang sangat dilarang. Ia
dikaitkan dengan perbuatan menamatkan nyawa seorang manusia secara hak atau
bukan secara hak. Sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya: Dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannya ialah neraka Jahanam, kekal ia didalamnya, dan Allah
murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab seksa
yang besar.
(Surat al-Nisa‟, 4:93)6
Dalam kaidah fiqh Islam, tidak ada yang secara jelas dan gamblang
membahas tentang Euthanasia. Ini dimungkinkan karena pada zaman terdahulu
belum ada kasus yang melibatkan Euthanasia. Sementara seiring arus kemajuan
masyarakat yang terus berkembang, masyarakat juga membutuhkan hukum baru
4https://www.eramuslim.com/kontemporer/euthanasia-menurut-hukum-Islam.html
Diakses pada 11 November 2018 5http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/Arifin Rada/Euthanasia-Sebagai-Konsekuensi-
Kebutuhan-Sains-Dan-Teknologi/ Diakses pada 12 November 2018 6Surah al-Nisa, 4:93, Mushaf Al Quran Dan Terjemahan, (Jakarta:Departemen Agama
RI, Pustaka al Kautsar, Cet. Juni 2018)
3
yang dapat menjawab pertanyaan dan persoalaan masyarakat seputar hukum
Islam.
Berangkat dari persoalan yang timbul dari kasus Euthanasia, ulama
mengambil peran sewajarnya bagi mengeluarkan ijtihad. Ijtihad ulama untuk
melahirkn hukum baru yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat tentang hukum
Islam Kotemporer tentu sangat penting dan bertujuan supaya masyarakat tidak
ragu-ragu dalam menjalankan hukum Islam.
Tidak terlepas dari mengeluarkan Ijtihad, Syeikh Yusuf al Qardhawi
berpendapat didalam karya nya, Fatwa-Fatwa Kontemporer bahwa Euthanasia
terbagi kepada dua bagian, yaitu, Euthanasia Positif (tindakan memudahkan
kematian pasien dengan menggunakan alat atau Instrumen) dan Euthanasia
Negatif (menghentikan pengobatan yang diberikan). Adapun mengenai hukum
bagi keduanya, Euthanasia positif tidak diperkenankan oleh syara‟ karena yang
demikian berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan niat membunuh pasien.
Dan Euthanasia negatif pula, dibenarkan oleh syara‟ didasarkan oleh keyakinan
dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya dan tidak
memberikan harapan kepada pasien.7
Berdasarkan keputusan Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis Kebangsaan
Malaysia Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia kali ke-97 yang bersidang pada
15-17 Disember 2011 telah membincangkan mengenai hukum Euthanasia atau
Mercy Killing, Muzakarah berpandangan bahwa menghentikan hayat hidup
seorang sebelum dia disahkan mati dengan menggunakan apa-apa cara dan
bersandarkan kepada apa-apa alasan adalah haram dan dilarang oleh Islam.
Sehubungan itu, Muzakarah memutuskan bahwa perbuatan memepercepatkan
kematian melalui praktek Euthanasia sama ada Euthanasia Voluntary, Non-
7Yusuf al Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, (Jakarta:Gema Sani Press,
September 1995),Hlm 749
4
Voluntary atau Involuntary adalah haram menurut Islam karena ia menyamai
perbuatan membunuh.8
Bertolak belakang dari permasalahan perobatan mengenai Euthanasia,
penulis dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki merasa terpanggil untuk membuat
sebuah penelitian fatwa mengenai Euthanasia menurut hukum Islam dengan
harapan agar memeberi pencerahan ilmiah kepada masyarakat. Maka lahirlah
sebuah karya ilmiah yang berjudul “Euthanasia Atau Mercy Killing (Studi
Perbandingan Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) Dan
Fatwa Yusuf Al Qardhawi)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, maka penulis merumuskan
beberapa permasalahan di antaranya seperti berikut:
1. Bagaimana kedudukan Euthanasia sebagai praktek medis didalam Islam?
2. Bagaimana Fatwa Majlis Kebangsaan Malaysia mengenai Euthanasia dan
Fatwa Dr Yusuf Al Qardhawi beserta Metode apa yang digunakan bagi
Istinbath hukum tentang Euthanasia?
3. Bagaimana analisis penulis mengenai fatwa terkait Euthanasia?
C. Batasan Masalah
Agar pembahasan ini lebih terarah dan tidak mengambang maka penulis
membatasi masalah penelitian dengan hanya kaidah pengeluaran hukum yang
terkait dengan praktek Euthanasia didalam ilmu medis.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
a. Untuk mngetahui kedudukan Euthanasia sebagai praktek medis didalam
Islam.
8http://www.Islam.gov.my/Keputusan-Muzakarah-Jawatankuasa-Fatwa-Majlis-
Kebangsaan-Malaysia- mengenai-hukum-Euthanasia-atau-Mercy-Killling Hlm 121,fatwa nomor
37 bab 4 (Perobatan) Diakses pada 15 November 2018
5
b. Untuk mengetahui fatwa Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia tentang
Euthanasia dan Fatwa Dr Yusuf Al Qardhawi berserta metode Istibath
hukumnya.
c. Untuk menganalisis tentang kajian yang telah dibuat.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian adalah:
a. Sebagai salah satu upaya untuk memberi penjelasan kepada masyarakat
tentang Euthanasia atau Mercy Killing.
b. Sebagai bahan bacaan dan rujukan bagi mahasiswa, peneliti dan
masyarakat seluruhnya melalui pembuatan dan penyusunan karya ilmiah
secara baik.
c. Sebagai salah satu syarat bagi memperoleh Sarjana Strata Satu (S1)
Fakultas Syariah, Jurusan Perbandingan Mazhab, Universitas Islam
Negeri Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi.
E. Kerangka Teori
1) Metode
a. Metode Bayani
Metode Bayani, yaitu metode Ijtihad untuk menemukan hukum yang
terkandung dalam nash, namun sifatnya dhanni, baik dari segi ketetapannya
maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam
batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara
beberapa pemahaman yang berbeda. Dalam hal ini, hukumnya tersurat
dalam nash, namun tidak memberikan penjelasan yang pasti. Metode di sini
hanya memberikan penjelasan hukum yang pasti dari nash itu9.
b. Metode Intiqa‟i
Yang dimaksud Ijtihad Intiqa‟i ialah memilih satu pendapat dari beberapa
pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam, yang penuh dengan
fatwa dan keputusan hukum. Bagi Yusuf al Qardhawi, ijtihad tidak berarti
9Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), Hlm. 286
6
meninggalkan semua warisan ulama. Sesungguhnya ijtihad yang
diserukannya adalah mengadakan studi komprehensif terhadap pendapat-
pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil ijtihad
yang dijadikan sandaran pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya kita
dapat memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannya pun sesuai
dengan kaidah tarjih. Kaidah tarjih itu banyak, di antaranya hendaklah
pendapat itu mempunyai itu mencerminkan kelembutan-kelembutan dan
kasih sayang kepada manusia, hendaknya pendapat itu lebih mendekati
kemudahan yang ditetapkan oleh hukum Islam, hendaknya pendapat itu
lebih memprioritaskan maksud-maksud syara‟, kemaslahatan manusia dan
menolaknya marabahaya10
.
2) Istinbath
Kata Istibath diambil dari akar kata “al-nabt” yang dalam kamus
diartikan dengan “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang
digali”. Istinbath secara bahasa juga diartikan dengan: “mengeluarkan air
mata dari mata air”. Di dalam “Lisan al-„Arab”, kata istinbath juga diartikan
dengan mengeluarkan dengan demikian, secara bahasa, kata istinbath juga
diartikan dengan mengeluarkan. Dengan demikian, secara bahasa, kata
istinbath dapat diartikan dengan “mengeluarkan sesuatu
persembunyiannya”. Istinbath secara terminalogis diartikan dengan
“mengeluarkan makna-makna (hukum-hukum) dari nas-nas (baik dalam al-
Quran maupun al-Hadith) dengan ketajaman nalar dan kemampuan yang
maksimal. Atau seperti yang ditegaskan oleh Ibrahim hosen: “mengeluarkan
hukum syara‟ yang belum ditegaskan secara langsung oleh al-Quran dan al-
Hadith”. Atau usaha dan cara mengeluarkan hukum dari sumbernya ( al-
Quran dan al Hadith).11
10
Gibtiyah, Fikih Kontemporer Ed 2, (Depok:Kencana, 2018), Hlm. 61 11
Ibid, Hlm. 18
7
3) Fatwa dan Ijtihad
a. Definisi Fatwa
Secara bahasa berarti petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang
berkaitan dengan hukum. Fatwa juga adalah satu pandangan atau keputusan
samaada peribadi atau dihasilkan oleh sekumpulan mujtahid keatas sesuatu
hukum syara‟. Ketetapan sesuatu fatwa amat bergantung kepada kaidah
pendalilan yang diguna pakai dan keselarian dalam Maqasid al Syariah.
Menurut Abu al Hassan al Basri, al Ghazali, al Syirazi, al Amidi, Ibnu
Qayyim dan al Syauqani, Mufti adalah mujtahid yaitu seorang yang mampu
melakukan Ijtihad dan Istinbath. Justeru, Mufti dan Mujtahid adalah sama
secara umumnya, Cuma berbeda dari segi punca berlakunya yaitu fatwa
dikeluarkan untuk menjawab persoalan atau sesuatu masalah yang sudah
berlaku, sedangkan Ijtihad tidak terikat dengan syarat tersebut.12
Pihak yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan
pihak yang meminta fatwa disebut al Mustafti. Seorang Mustafti bisa saja
mengajukan pertanyaan kepada seorang Mufti mengenai hukum sesuatu
permasalahan yang dihadapinya. Apabila Mufti menjawab nya dengan
perkataan, hukum masalah ini halal atau haram, tanpa disertai dengan dalil-
dalilnya secara terperinci, maka itulah fatwa.13
b. Definisi Ijtihad
Ijtihad berasal daripada kata ijtihada yang bermaksud menggunakan
tenaga sepenuhnya atau bersungguh-sungguh dalam sesuatu perbuatan
maupun pekerjaan.14
Didalam Kitab al-Wajiz Fil Usul Fiqh, Ijtihad dari
bahasa adalah kekuatan dan keupayaan di mana dengan berusaha
bersungguh-sungguh dan mengerah seluruh tenaga untuk mencapai
sesuatu.15
12
Mustafa Ahmad al- Zarqa‟, Fatawa, (Dimasyq: Dar al-Qalam,1999) Hlm. 196 13
Abu Ishaq Ibrahim bin „Ali al-Syirazi, al-Luma‟ fi Usul al Fiqh, tt (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1985) Hlm 182 14
Abd Latif muda, Pengantar Usul Fiqh (Kuala Lumpur:Pustaka Salam,1997) Hlm.255 15
Ibid
8
Manakala menurut istilah pula adalah mencurahkan tenaga sepenuhnya
dan sebanyak mana untuk mendapatkan hukum syara‟yang berbentuk amali
dengan cara istinbath daripada dalil-dalil dan sumber syara‟. Didalam kitab
al-Wajiz Fil Usul Fiqh, Ijtihad bermaksud mengerahkan sepenuh usaha dan
tenaga untuk mendapatkan hukum syara‟.16
F. Tinjauan Pustaka
Mengenai persoalan Euthanasia, tidak dinafikan ia bukanlah sesuatu
perkara yang sudah diketahui umum oleh masyarakat. Namun diatas usaha para
ilmuan dan agamawan, beberapa penelitian telah dibuat bagi memberi pencerahan
kepada masyarakat tentang kondisi sebenar Euthanasia didalam hukum Islam
maupun perobatan. Berikut adalah beberapa penelitian seputar mengenai
Euthanasia, antaranya: penelitian pada tahun 2008, Fajar Nugroho telah membuat
satu penelitian yang berjudul “ Euthanasia dalam tinjauan hukum pidana Islam”17
.
Didalam penelitian tersebut membahaskan mengenai Euthanasia didalam hukum
Islam, namun pembahasan nya masih ditahapan hukum Islam secara umum.
Manakala, penulis telah membuat satu penelitian yang lebih khusus dan
menyentuh fatwa hukum yang diwartakan oleh Fatwa Kebangsaan Malaysia dan
Fatwa Yusuf al Qardhawi.
Selain itu, penulis juga menjumpai suatu kajian ilmiah dari Ahmad Zaelani,
pelajar Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta yang berjudul “Euthanasia dalam pandangan Hak Asasi
Manusia dan Hukum Islam”18
. Didalam skripsi tersebut membahaskan tentang
Euthanasia dalam pandangan yang lebih khusus, dari sudut Hak Asasi Manusia
(HAM). Pembahasannya juga ada menyentuh mengenai hukum Islam namun
pembahasannya lebih umum. Berbeda dengan penelitian dari penulis, yang tidak
16
Abd Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh wa Khalasah At- Tasyri‟ al-Islami ( Beirut:Darul
Fikir al-Arabi, 1995)Hlm 256 17
Fajar Nugroho, “Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam” skripsi Fakultas
Hukum, Universitas Muhammadiyyah Surakata, 2008 18
Ahmad Zaelani, “Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia Dan Hukum
Islam” skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta.
9
menyentuh dari sudut HAM tetapi hanya sebatas fatwa dan metode dari JAKIM
dan Yusuf al Qardhawi.
Penulis juga menjumpai satu jurnal (Pengurusan dan Penyelidikan Fatwa)
oleh Wan Mohd Khairul Firdaus bin Wan Khairuldin dan Abdul Hanis bin
Embong , yang judulnya Alqatl bi Dafi‟ al-Syafaqah menurut perspektif Islam:
Analisis Fatwa-Fatwa Kontemporer19
. Didalam jurnal ini membahaskan mengenai
fatwa-fatwa yang dikumpulkan dari segenap fatwa yang berkaitan dengan
Euthanasia dan memberi penjelasan mengenainya. Berbeda dengan penelitian dari
penulis, yang hanya membuat komparatif dari dua fatwa terpilih yaitu fatwa
JAKIM dan Yusuf al Qardhawi.
Dan yang terakhir, terdapat juga karya ilmiah hasil dari Arifin Rada yang
berjudul “Euthanasia Sebagai Konsekuensi Kebutuhan Sains dan Teknologi”20
.
Didalam karyanya membahaskan tentang Euthanasia dalam Ilmu Kedokteran serta
mengkaji esessi Euthanasia dan kedudukannya dalam hukum Islam. Ini jelas
berbeda dengan penelitian penulis, yang tidak membahas Euthanasia dari sudut
kedokteran.
Dari hasil penelitian diatas yang penulis gunakan sebagai tinjauan pustaka,
mempunyai perbedaan yang jelas dalam isi penelitian mereka. Sedangkan
penelitian yang diteliti oleh penulis memfokuskan hukum Euthanasia dengan
membandingkan dua fatwa, yaitu fatwa dari JAKIM dan Yusuf al qardhawi.
G. Metode Penelitian
a. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan hukum normatif dengan menggunakan metode perbandingan
(komparatif). Analisis normatif komparatif ini bersifat meneliti dan
menelaah bahan pustaka atau data sekunder dengan membandingkan dua
atau lebih subjek yang menghasilkan penelitian. Di dalam penelitian ini,
19
Wan Mohd Khairul Firdaus bin Wan Khairuldin dan Abdul Hanis bin Embong, Alqatl
bi Dafi‟ al-Syafaqah menurut perspektif Islam: Analisis Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jurnal 20
Arifin Rada, “Euthanasia Sebagai Konsekuensi Kebutuhan Sains dan Teknologi,
Jurnal”, Sekolah Tinggi Islam Negeri Ternate
10
penulis menfokuskan satu hukum yaitu hukum Euthanasia dengan
perbandingan antara fatwa dari Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia dan
fatwa dari Yusuf Al Qardhawi.
b. Jenis Penelitian Data dan Sumber data
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang memadukan dua jenis
penelitian di dalam nya yaitu:
i. Penelitian Lapangan ( Field Research )
Penulis langsung turun ke lapangan untuk mendapatkan data hasil
pengamatan atau informasi dari responden. Menurut sifat dari penelitian
dskriptif ini, apa yang dimaksudkan dari jenis penelitian ini adalah memberi
data terhadap apa yang diteliti dengan lebih tepat dan terbaru serta berperan
menguatkan informasi yang diperoleh dari bahan bacaan. Selain itu, kaidah
ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi tambahan dan
penyelesaian kepada masalah yang dihadapi. Responden yang di
wawancarai adalah pihak yang terkait seperti Pegawai di Majlis Fatwa
Kebangsaan Malaysia.
ii. Penelitian Pustaka ( Library Research )
Kaidah penelitian ini penting dalam mengumpulkan data dan informasi
bagi penelitian ini terhadap semua bab serta menjadi pedoman kepada
penulis untuk mengetahui dengan lebih rinci tentang apa yang bakal dikaji
dalam penelitian ini. Informasi diperoleh dari bahan bacaan seperti buku,
majalah jurnal, hasil penelitian, kertas kerja seminar dan sumber-sumber
buku lain.
2. Sumber Data
1) Data primer dalam penelitian ini dapat dibagi dua yaitu data primer di
lapangan adalah data informasi atau keterangan yang diperoleh dari
penelitian lapangan terhadap mufti-mufti di Majlis Fatwa Kebangsaan
11
Malaysia tentang cara penetapan fatwa berkaitan Euthanasia. Seterusnya,
data primer secara literatur yaitu karya Dr Yusuf al Qardhawi, Fatawa al
Muasarah (Fiqh Kontemporer) yang berkaitan tentang kajian ini.
2) Data sekunder yaitu data pelengkap atau pendukung yang berkaitan
dengan kajian kedudukan hukum Euthanasia atau Mercy Killing diambil
dari berbagai sumber yang berkaitan dengan pembahasan yang bersifat
menunjang sumber primer dalam bentuk buku-buku, artikel-artikel dan
juga data dokumentasi yang terkait dengan Euthanasia oleh Majlis Fatwa
Kebangsaan Malaysia dan fatwa Dr Yusuf Al Qardhawi.
c. Teknis Pengumpulan Data
Untuk memudahkan dan mehimpunkan data-data dan fakta di lapangan,
maka penulis akan menggunakan beberapa teknik, antara lain:
1. Wawancara
Penulis akan mewawancara pihak yang terkait yaitu Penolong Pengarah
Kanan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, Dr. Mohd Kamel Bin Mohd
Salleh yang bertanggungjawab mengeluarkan fatwa tersebut.
2. Dokumentasi
Dalam pengumpualan data, untuk membahas permasalahan yang ada
kaitannya dengan judul skripsi ini, peneluis menggunakan metode
dokumentasi, yaitu suatu cara untuk pengumpulan data melalui peninggalan
tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang
pendapat teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan
dengan masalah penyelidikan. Metode ini sangat penting sekali yaitu
sebagai alat pengumpul data utama karena pembuktian hipotesisnya
dilakukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori, hukum-hukum
yang diterima kebenarannya. Hal ini penulis akan menganalisis cara
penetapan hukum fatwa mengenai Euthanasia.
12
d. Teknis Analisis Data
Untuk menganalisis data atau informasi yang penulis dapat, maka untuk
penyusunannya dapat digunakan beberapa teknis antaranya seperti berikut:
1. Pengumpulan Data
Metode ini digunakan dalam memproses pemilihan data, menajamkan,
menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data
sehingga dapat ditarik dan diverifikasikan. Data-data wawancara yang telah
direkam kemudian ditranskripkan dengan tujuan memudahkan peneliti
memilih data-data yang sesuai untuk dianalisis. Data-data ini berhubungan
dengan apa yang diteliti.
2. Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat dan terkait hubungan
antara kategori supaya memudahkan untuk memahami apa yang terjadi.
3. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan salah satu teknis analisis data yaitu
dengan cara menyatukan hasil analisis yang dapat digunakan untuk
mengambil tindakan sebuah fakta itu diterima atau ditolak
H. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini terbagi pada lima bab yang mana setiap bab terdiri
dari sub-sub bab. Masing-masing bab membahas permasalahan-
permasalahan tertentu tetapi saling berkait antara satu bab dengan sub bab
yang lainnya.
Bab I membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II secara umum mengenai profil biografi Dr Yusuf Qardhawi. Bab
ini juga membahas mengenai Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia.
Merangkumi sejarah penubuhan, organisasi, visi, misi dan moto, obyektif,
13
fungsi dan bidang tugas serta fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis Fatwa
Kebangsaan.
Bab III didalam bab ini membahaskan mengenai definisi
Euthanasia,macam-macam dan bentuk Euthanasia dan sejarah Euthanasia.
Bab ini juga membahaskan tentang pengertian pembunuhan dan juga
macam-macam pembunuhan secara umum.
Bab IV pula membahaskan secara khusus mengenai dasar-dasar
penetapan fatwa dan hasil penelitian metode istinbath hukum yang
digunakan bagi mengeluarkan fatwa ini oleh Majlis Fatwa Kebangsaan
Malaysia dan fatwa dari Dr Yusuf Qardhawi. Penulis juga menampilkan
analisis penulis didalam bab ini.
Bab V merupakan penutup yang terdiri daripada kesimpulan, saran-saran
dan kata penutup.
14
BAB II
BIOGRAFI YUSUF AL QARDHAWI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
A. Biografi Yusuf Al Qardhawi
Syeikh Yusuf Al Qardhawi adalah seorang dai yang alim, seorang pakar fiqih
sekali gus seorang guru, ahli usul fiqih serta ahli tafsir. Nama lengkap nya adalah
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Ali Al Qardhawi. Namanya merujuk kepada
perkampungan yang bernama “Al-Qardhah” di negeri Kafru Syeikh, Mesir.
a. Pendidikan, Prestasi dan Profesi Beliau
Syeikh Yusuf Al Qardhawi dilahirkan pada tanggal 1 Rabiul Awal 1345
Hijrah bertepatan dengan 9 disember 1926 Masihi di Daerah Shift Thurab, satu
daripada daerah di Markaz Al-Mahalliyah Al-Kubra negeri Al- Gharbiyah di
Mesir.
Shift Thurab juga disebut Shift al-Qudur, tempat disemadikan seorang
sahabat terkemuka, Abdullah bin Harits, sahabat nabi terakhir yang wafat di Mesir
pada tahun 86 Hijrah. Syeikh Yusuf Al Qardhawi menghubungkan daerah tempat
lahirnya seorang sahabatt terkemuka itu dengan beberapa bait syair yang terkenal.
Syeikh Yusuf Al Qardhawi lahir dalam keadaan yatim. Oleh itu, dia
dipelihara oleh pakciknya. Bapa saudaranya inilah yang menghantar Al Qardhawi
semasa kecil ke suatu tempat belajar. Disana Al Qardhawi terkenal sebagai murid
yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya dia mampu menghafal al Quran dan
menguasai hukum-hukum tajwidnya dengan sangat baik. Itu terjadi pada saat dia
masih berada dibawah umur sepuluh tahun. Orang-orang di desa tersebut
menjadikannya imam dalam usianya yang relatif muda, khusunya pada saat sholat
subuh. Ramai orang yang menangis saat sholat di belakang Al Qardhawi21
21
Yusuf al Qardhawi, Biografi Fatwa Al Qardhawi, (Selangor: Sri Saujana Marketing,
Cet 1, 2019), Hlm. 2
15
b. Menjadi Yatim Sejak Kecil
Syeikh Yusuf Al Qardhawi ditinggal ayahnya saat berusia dua tahun. Dia
memiliki ibu bapa yang pengasih dan penyayang. Setelah kematian ayahnya,
Yusuf (panggilan Al Qardhawi ketika kecil) diasuh oleh pakciknya, Ahmad.
Pakciknya adalah seorang yang sangat istiqamah menjalankan ajaran Islam, sama
seperti penduduk desa lainya saat itu. Dia rajin melaksanakan sholat lima wakt di
masjid. Meski hanya seorang petani, namun pakciknya suka menyajikan kepada
Yusuf kisah-kisah yang menghibur dan cerita-cerita yang membuatnya tertawa.
Inilah yang membuat dia cerdas dan kuat hafalannya22
.
c. Masa Kanak-Kanak di Kuttab
Kuttab (tempat mengaji saat itu) adalah suatu tempat istimewa yang secara
turun-temurun diwariskan oleh bangsa Mesir sepanjang zaman. Ia menyerupai
ruangan sederhana, baik ukurannya besar mahupun kecil, yang berisi hingga
ratusan anak yang umurnya berkisar antara empat hingga enam tahun.
Kemampuan menghafal, tingkat pemahaman dan kecerdasan mereka berbeda-
beda. Karena itu, dalam Kuttab mereka dibagi menjadi hingga sepuluh kelompok.
Tiap-tiap orang dari mereka memegang papan tulisnya atau membaca al Quran,
baik dengan cara mengulangi, membaca, dan memperdengarkan hafalannya.
Orang yang melakukan perjalanan dari jarak yang jauh akan mendengar bacaan
itu antara satu dengan yang lainnya. Barangkali perumpamaan yang tepat bagi
mereka adalah seperti suara lebah yang berbunyi pada masa yang sama.
Yusuf telah memasuki Kuttab sejak kecil dan masa ini merupakan masa
pertama dia menimba ilmu. Dia mengaji di Kuttab Syeikh Hamid Abu Zuwail,
setelah pindah dari Kuttab Syeikh Yumani Murad, karena pangaruh pukulan
Syeikh Yumani Murad kepada semua muridnya, termasuk Yusuf, orang yang
pertama dipukul oleh gurunya itu, sehingga dia memutuskan untuk keluar.
22
Akram Kassab, Metode Dakwah Yusuf Al Qardhawi, (Jakarta:Pustaka al Kautsar, 2010),
Hlm. 6
16
Setelah itu, ibunya menghantar Yusuf ke Kuttab Syeikh Zuwail dan
memberinya nasihat yang baik, sehingga Yusuf mahu kembalibelajar kepada
Syeikh itu. Di Kuttab Syeikh Zuwail, Yusuf diterima dan dilayan dengan baik.
Karena prestasinya yang baik dan anak yatim, Yusuf memperoleh biasiswa
sebanyak 0.5 Peaster Mesir setiapmingu dari sekolahannya.
Di Kuttab Syeikh Zuwail inilah Yusuf mulai menghafal al Quran dari surah
An-Nas. Cara menghafal seperti ini diterapkan secara umum di hampir semua
Kuttab di Mesir. Cara ini dianggap baik untuk menghafal, karena ayat-ayatnya
pendek, mudah dihafal, dan sejalan dengan kemampuan kanak-kanak. Ketika
Yusuf telah berhasil menghakhatamkan hafalannya hingga surah al Baqarah,
maka diadakan acara wisuda kecil-kecilan. Khatam dan hafal hingga surah al
Baqarah ini diberbagai Kuttab Mesir disebut dengan Khataman kecil.
Setelah itu, Yusuf kembali memulakan hafalannya yang baru dari surah al
A‟raf hingga surah al Kahfi. Setalah itu, Syeikh akan menghentikan hafalannya
agar ingatannya menjadi kuat. Para guru di Kuttab menyebut tempoh ini sebagai
“Muraja‟atul Madhi” (mengulang yang telah lalu). Yusuf kemudian bercuti
bersama pakciknya ke Kaherah dan menghabiskan beberapa hari disana. Yusuf
khuatir keberadaannya di Kaherah akan berlanjut hingga sepuluh bulan, Namun
pakciknya menyuruhnya kembali ke Kuttab. Dia lalu kembali ke Kuttab dan
menghafal al Quran secara keseluruhannya23
.
d. Belajar di Al-Azhar
Ketika berusia tujuh tahun, Yusuf memasuki sekolah rendah kerajaan. Dia
mengaji di Kuttab pagi hari, dan pergi ke sekolah kerajaan di tengah hari. Dengan
begitu, dia dapat menyatukan antara dua kebaikan, di Kuttab dan di sekolah.
Setelah tamat sekolah rendah, Yusuf tidak tahu mahu kemana dan bingung
memikirkan masa depannya.
Namun Yusuf memiliki cita-cita yang sangat besar, yaitu belajar di Al
Azhar. Tetapi saat itu Yusuf memiliki gambaran lain tentang para alumni Al
Azhar. Karena salah seorang diantara mereka, meski telah tamat belajar lima belas
23
Yusuf al Qardhawi, Hlm. 3
17
tahun di Al Azhar, namun masih menganggur, kecuali sedikit dari mereka yang
bekerja. Oleh itu, Yusuf kemudian memutuskan untuk ikut pakciknya pergi
berniaga, dan kadang-kadang ikut sepupunya bekerja diladang. Pada suatu hari,
Allah mengutuskan seorang syeikh berserban kepadanya dan dia meminta air
kepada Yusuf dan pakciknya. Ketika syeikh itu telah minum, dia meminta kepada
Ahmad agar menguji hafalan al Quran Yusuf. Setelah diuji, syeikh itu kagum
dengan hafalan dan bacaan Yusuf. Maka syeikh itu pun meyakinkan Ahmad, agar
dapat membawa Yusuf di Al Azhar24
.
e. Peranannya Ketika Siswa di Al Azhar
Al Azhar merupakan masjid dan universitas yang dianggap sebagai
monumen yang memiliki pengaruh yang mengakar dan menerangi semua sisi
Timur dan Barat, dan juga sebagai sekolah Islam dan tempat menimba Ilmu.
Memasuki Al Azhar memang telah menjadi cita-cita yang menggantung di
cakerawala antara kedua mata Yusuf. Allah telah mewujudkan cita-cita itu dengan
masuknya Yusuf ke sekolah rendah Al Azhar di Tanta, kemudian Tsanawiyah dan
Aliyah, lalu kuliah di Fakulti Usuludin Kaherah dan mendapatkan ijazah
mengajar. Setelah itu, dia juga mendapatkan gelaran dokter falsafah di Universitas
Al Azhar.
Yusuf Al Qardhawi telah melangkahkan kakinya di antara siswa siswa Al
Azhar sebagai penyair, pemimpin, dan penceramah, sebelum dia dikenal di antara
para Ulama Al Azhar sebagai ulama, ahli fiqih, cendekiawan dan dai.
Yusuf Al Qardhawi pernah menjadi utusan siswa-siswa pada masanya
ketika masih duduk di bangku sekolah rendah. Tetapi, dia benar-benar muncul
sebagai peribadi yang mengagumkan ketika duduk di Tsanawi yah dan Aliyah.
Hal itu, karena siswa-siswa pada masa ini, menganggapnya sebagai suara umat
yang hidup, lisannya yang tanggap bebicara, dan lengannya yang kuat. Di
peringkat sekolah menengah Al Azhar terdapat gerakan siswa sekolah. Setiap kali
ketuanya selesai tempoh jawatannya, maka akan digantikan oleh lainnya. Ketika
24
Ibid, Hlm. 4
18
Al Qardhawi telah di tahun tiga Tsanawiyah, dia menjadi ketua gerakan siswa.
Demikian juga ketika di tahun satu dan kelas dua Aliyah, hingga dia memiliki
kedudukan di gerakan Ikhwanul Muslimun. Kepempinannya di sekolah
membuatnya sangat disukai oleh para guru, apalagi dia berprestasi di sekolahnya.
Siswa-siswa yang lain juga menyukainya karena dia mempunyai banyak bakat,
seperti berpidato, syair dan lainnya. Bahkan pencalonnya sebagi ketua gerakan di
sekolah, karena dicalonkan oleh siswa-siswa itu sendiri.
Dengan ketua gerakan di sekolah, Yusuf Al Qardhawi boleh mengikuti
beberapa persidangan, diantaranya seperti yang diadakan di Tanta, dan Syabin Al
Kum.
Setelah melanjutkan sekolahnya ke jenjang Universitas Al Azhar, kegiatan
Yusuf makin bertambah dan pekerjaannya mengajak kepada memperbaiki Al
Azhar semakin banyak. Ketika dia berada ditahun dua Fakulti Usuludin,
mahasiswa membentuk gerakan senat mahasiswa yang pada itu diketua oleh
Manna‟ Al Qaththan. Ketika Manna‟ Al Qaththan telah menyelesaikan kuliahnya,
kepimpinan di gerakan ini dipegang oleh Yusuf Al Qardhawi.
Yusuf Al Qardhawi pada waktu ini menjadi anggota dewan kebangkitan ini.
Kawan-kawan sesama anggota dewan ini menugaskannya untuk membuat buku
pertama yang akhirnya dewan ini dikenali oleh masyarakat. Yusuf Al Qardhawi
kemudian menulis buku itu dengan judul “Risalatikum Ya Abna‟al Azhar”.pada
waktu buku itu diajukan kepada Syeikh Muhammad al Ghazali dan Ustaz Abdul
Aziz Kamil, keduanya merasa suka membaca tulisan itu dan memujinya dengan
baik. Buku itu lalu dibawa ke percetakan untuk diterbitkan. Tetapi tulisannya
tidak berterusan karena kasus penahanan pada tahun 1945 yang dialami oleh
anggota Ikhwanul Muslimun. Meski begitu, Syeikh Al Qardhawi berhasil
menyatukan tulisannya dan diterbitkan dnegan judul “Risalah Al Azhar Baina Al
Amsi wa Al Yaum wa Al Ghad”25
.
25
Akram Kassab, Hlm 13
19
f. Pekerjaan Rasmi Yusuf Al Qardhawi
Yusuf Al Qardhawi pernah menjadi penceramah (khutbah) dan pengajar di
beberapa masjid. Kemudian menjadi pengawas pada Akademi Para Imam,
Lembaga yang berada di bawah Kemneterian Wakaf di Mesir.
Setelah itu dia pindah ke urusan bahagian Pentadbiran Awam untuk
masalah-masalah budaya Islam di Al Azhar. Di tempat ini dia bertugas
mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang menyangkut teknik pada
bidang dakwah.
Pada tahun 1961 dia ditugaskan sebagai tenaga bantuan untukmenjadi Guru
Besar sebuah sekolah menengah di negeri Qatar.Mulanya penugasan tersebut
hanya berlangsung empat atau lima tahun. Namun, karena keadaan politik Mesir
tidak menentu, penugasan itu berlanjutan. Yusuf Al Qardhawi sendiri merasa
selesa dengan Qatar. Dengan semangat tinggi dia melakukan pengembangan dan
peningkatan yang sangat signifikan di tempat itu serta berhasil meletakkan asas
yang sangat kukuh dalam bidang pendidikan. Dia berhasil menggabungkan antara
khazanah lama dan kemodenan pada waktu bersamaan.
Pada tahun 1973 didirikan fakultas Tarbiyah untuk mahasiswa dan
mahasiswi, yang merupakan awal wujudnya Universitas Qatar. Syeikh Al
Qardhawi ditugaskan ditempat itu untuk mendirikan Jabatan Pengajian Islam
sekali gus menjadi ketuanya.
Pada tahun 1977 dia ditugaskan untuk memimpin kewujudan dan sekali gus
menjadi dekan pertama Fakultas Syariah dan Pengajian Islam di Universitas
Qatar. Dia menjadi dekan Fakultas itu sehingga akhir tahun perkuliahan 1989-
1990. Dia hingga kini menjadi dewan pengasas pada Pusat Penyelidikan Sunnah
dan Sirah Nabi di Universitas Qatar.
Pada tahun 1990/1991dia ditugaskan pemerintah Qatar unutuk menjadi
pensyarah tamu di Aljazair. Di negeri ini dia menjadi Ketua Majelis Ilmiah pada
semua Universitas dan Akademi negeri itu. Setelah itu, dia kembali mengerjakan
tugas rutinnya di Pusat Penyelidikan Sunnah dan Sirah Nabi26
.
26
Yusuf al Qardhawi, Hlm. 15
20
g. Syeikh Al Qardhawi dan Fatwanya
Ketika fatwa menjadi salah satu media dakwah pada masa dahulu dan
sekarang, Syeikh Al Qardhawi naik ke mimbarnya dengan menggunakan media
ini sejak usia muda. Dia menegaskan hal itu seraya berkata, “Di antara salah satu
yang telah ditentukan oleh Allah جل جلاله kepadaku adalah memberikan fatwa kepada
oaring-orang sejak usia muda. Aku telah menjadi imam sholat, khatib, dan
mengajar ketika masih berumur 12 tahun di sekolah dasar dan sekolah menengah
rendah di Al Azhar. Ketika aku menyampaikan ceramah dan mengajar mereka,
tentu saja mereka akan bertanya tentang masalah agama.
Semakin hari fatwa Syeikh Al Qardhawi semakin banyak dengan
bertambahnya orang-orang yang mengikuti ceramah dan pengajiannya.dia
memiliki kebiasaan baik yang belum tentu para dai menggunakan kebiasaan baik
itu, yaitu setiap kali selesai melaksanakan sholat jumaat, dia memberikan
pengajian dan membuka sesi soal jawab kepada para jamaah yang berhubungan
dengan masalah keIslaman.
Di sisi lain, Syeikh Al Qardhawi juga menyampaikan fatwa-fatwanya
dengan menulis majalah Islam, seperti Majalah Mimbar Al Islam yang diterbitkan
oleh Kementerian Wakaf Mesir, Majalah Nur Al Islam yang diterbitkan oleh
Organisasi Ulama Al Azhar.
Ketika Syeikh Al Qardhawi dating ke Qatar, dia menyampaikan fatwa
dengan cara baru. Dia membuat acara untuk menjawab pertanyaan kaum
muslimin. Acara itu ada yang berupa siaran di radio dengan nama acara “Nur wa
Hidayah”. Kemudian yang kedua, acara yang berupa siaran di televisyen dengan
nama “Had al Islam”, yang hingga kini masih tetap ditanyangkan.
Ketika banyak surat dan pertanyaan dating kepadanya, dan fatwa Syeikh Al
Qardhawi makin bertambah, sebagian jamaahnya menganjurkan untuk
mengumpulkan fatwa-fatwa itu. Syeikh Al Qardhawi kemudian memilih fatwa-
fatwa yang sesuai dengan reality kekinian dan diperlukan oleh masyarakat. Dia
21
lalu menulis sebuah buku yang berjudul “Min Hadyl Al Islam” yang berisi fatwa-
fatwa kontemporer yang diterbitkan dalam tiga juz27
.
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
a. Geografi Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia
Majlis Fatwa kebangsaan Malaysia adalah antara salah satu dari bagian
yang berada di bawah pengelolaan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM).
Majlis ini terletak di Negara Malysia yang berbasis di provinsi Putrajaya atau
nama penuhnya adalah Wilayah Persekutuan Putrajaya.
Putrajaya adalah pusat pemerintahan Kerajaan Persekutuaan Malaysia yang
menggantikan Kuala Lumpur pada tahun 1999. Putrajaya, Kota Pintar dalam
taman terletak 25 kilometer di selatan Kuala Lumpur adalah sebuah kota futuristic
yang menempatkan pusat pemerintahan Kerajaan Persekutuan. Ini adalah Wilayah
Persekutuan ke-3 di Malaysia28
.
Putrajaya yang pada awalnya bernama “Prang Besar”, didirikan pada tahun
1918 sebagai Air Hitam oleh British. Pada awalnya ia meliputi area seluas 800
acre (3,2 km2), ia kemudian dipeluas hingga 8.000 acre (32 km2), dan
dikombinasikan dengan area perkebunan sekitar, termasuk real Raja Alang,
Perkebunan Galloway dan Perkebunan Bukit Prang.
Visi untuk memiliki Pusat Administrasi Pemerintah Federal yang baru bagi
menggantikan Kuala Lumpur sebagai pusat Administrasi Pemerintah Federal
muncul pada akhir 1980-an, selama periode Perdana Menteri ke-4 Malaysia, Dr.
Mahathir Bin Mohamad, baru ini direncanakan berlokasi di antara Kuala Lumpur
dan Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA).
Pemerintah Federal berkonsultasi dengan negeri Selangor untuk
kemungkinan Wilayah Persekutuan lain dan pada pertengahan tahun 1990-an,
pemerintah federal membayar sejumlah besar uang ke Selangor bagi 11,320 acre
27
Ibid, Hlm. 103 28
Dokumentasi Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia, 2018
22
(45.8 km2) tanah di Prang Besar, Selangor. Hasil dari pembelian tanah ini, negeri
Selangor kini sepenuhnya mengelilingi dua Wilayah Persekutuan dalam
perbatasan, yaitu Kuala Lumpur dan Putrajaya.
Putrajaya dinamai oleh Perdana Menteri Malaysia yang pertama, Tunku
Abdul Rahman Putra, kota tersebut terletak dalam Koridor Raya Multimedia,
selain Cyberjaya yang baru dikembangkan Dalam Sanskerta, “Putra” berarti
“Pangeran” atau “Anak Lelaki”, dan “Jaya” berarti “Keberhasilan” atau
“Kemenangan”. Pembanggunan Putrajaya dimulai sejak awal 1990-an, dan hari
ini mercutanda utama selesai dan penduduk diperkira meningkat dalam waktu
yang terdekat29
.
Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia telertak di gedung yang beralamat:
Lantai 5, Blok D7, Kompleks D, Pusat Pentadbiran Kerajaan Persekutuan
Wilayah Persekutuan Putrajaya, Malaysia.
b. Sejarah Dan Perkembangan
Pendirian JAKIM dimulai dengan Majlis Kebnagaan Bagi Hal Ehwal
Agama Islam Malaysia (MKI) pada tahun 1968 yang mana awal telah disepakati
oleh Dewan Raja-Raja. Pada tahun 1974 pula, Sekretariat MKI telah dinaikkan
statusnya menjadi sebuah Bagian Agama di Departmen Perdana Menteri dan
diberi nama Divisi Islam (BAHEIS).
Sejalan dengan perkembangan negara dan kebutuhan masyarakat Islam saat
itu. Bagian Hal Ehwal Islam (BAHEIS) ini telah direstrukturisasi. Maka pada 2
Oktober 1996, Rapat Jemaah Menteri telah menyetujui sertifikat sehingga
BAHEIS, Departemen Perdana Menteri dipromosikan menjadi sebuah
Departemen Efektif 1 Januari 1997 dengan nama Jabatan Kemajuan Islam
Malaysia (JAKIM). Pendirian JAKIM dilihat sebagai salah satu platfom di dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat Islam seiring dengan perkembangan dan
pembanggunan Negara yang menjadikan Islam sebagai agama resmi.
Transformasi yang dibentuk oleh JAKIM adalah seiring dengan visi, misi, moto,
29
Dokumentasi Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia, 2018
23
tujuan dan fungsi departemen tersebut sebagai pemimpin dalam membangun
peradaban ummah yang unggul30
.
Untuk memantapkan menajemen dan menghasilkan gerak kerja yang lebih
efisien, JAKIM dibagi menjadi 4 bagian utama yaitu Sektor Dasar, Sektor
Pembanggunan Manusia, Sektor Pengelolaan dan Sektor Dibawah Kantor Dirjen.
Sektor-sektor ini telah membentuk 22 bagian dan semuanya yang bernaung di
bawah JAKIM dibandingkan pembentukan awalnya hanya memiliki 14 bagian.
Bagian-bagian di bawah Sektor Kebijakan adalah Bagian Perencanaan dan
Penelitian, Bagian Kemajuan Islam, Bagian Perhubungan, Bagian Manajemen
Fatwa, Bagian Koordinasi Hukum. Bagian-bagian dibawah Sektor Pembanggunan
Manusia dibagi menjadi bagian Dakwah, Bagian Pembanggunan Manusia, Bagian
Keluarga, Sosial dan Komunitas, Bagian Penerbitan Dan Bagian Media.
Rapat Pre-Council Dewan Raja-Raja pada 1 Juli 2008 dan Rapat Dewan
Raja-Raja Kali Ke-214 telah setuju sehingga fungsi Komie Fatwa Majlis
Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia diperkuat dari aspek
penstrukturannya. Sehubungan itu Rapat Pasca-Kabinet Menteri di Jabatan
Perdana Menteri pada 17 September 2008 telah menyetujui supaya urus setia
kepada Komite Fatwa MKI ditingkakan dan dipisahkan menjadi satu bagian baru
di Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM). Pada 2 Januari 2009, JAKIM
telah mendirikan secara administrasi Bagian Manajemen Fatwa dan
Pengembangan Ijtihad. Pada 15 Juni 2009 JAKIM telah memperoleh surat
perintah personalia Rekomendasi Branding Retweet JAKIM Tahap 1 berlaku 1
Juni 2009 dengan resmi wujudnya bagian baru tersebut dengan nama Bagian
Manajemen Fatwa.
Bagian Manajemen Fatwa didirikan untuk memperkuat perannya
sebagaiurus setia kepada Komite Fatwa MKI yang didirikan pada awal tahun1970
di bawah Pasal 11 Peraturan Dewan Nasional Bagi Hal Ehwal Ugama Islam
Malaysia (MKI). Komite Fatwa MKI merupakan badan produsen dan coordinator
fatwa di tingkat nasional31
.
30
Ibid 31
Ibid
24
c. Struktur Organisasi
Carta Organisasi Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM)32
Gambar 1
32
Portal Rasmi “jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam
Malaysia” , diases pada tanggal 1 Juli 2019 dari www.e-fatwa.gov.my/jawatankuasa-fatwa-
majelis-kebangsaan-bagi-hal-ehwalagama-Islam-Malaysia.
25
Carta Organisasi Bahagian Pengurusan Fatwa
TIMB. KETUA PENGARAH
Datuk Haji Mohammad
Nordin bin Ibrahim
PENGARAH
Haji Mazlan bin Abdullah
KAJIAN FATWA PEMBANGUNAN HUKUM MAJLIS FATWA
KETUA PEN.
PENGARAH KANAN
Jaafar bin Ismail
KETUA PENOLONG
PENGARAH
Aminudin bin Mohamad
KETUA PENOLONG
PENGARAH
Nor Safina binti Zainal
KETUA PENGARAH Dato’ Haji Othman bin
Mustapha
26
Gambar 2
d. Visi, Misi dan Obyektif
Visi:
Bertekad menjadi pusat rujukan fatwa yang kompeten dan berintergritas di
tingkat nasional dan internasional
PENOLONG PENGARAH
KANAN
Nor Asmahan binti
Abdul Kadir
PEMBANTU PHEI
Mohd Syafiroo bin
Zahid Sapian
PHEI
Rafiza Diana binti
Mohd Rafein
PEMBANTU PHEI
Jauharatud Dini binti
Aminuddin
PENOLONG PENGARAH
Salina binti Salleh
PHEI
Nur Muhammad Jamil bin
Ismail
PENOLONG PENGARAH
Oslan Affandi bin
Abdullah
27
Misi:
Memartabatkan fatwa di Malaysia melalui manajemen, koordinasi dan
penelitian.
Obyektif:
1. Untuk menjadi badan prodeusen dan coordinator dan fatwa di tingkat
nasional
2. Untuk menjadi badan/lembaga coordinator manajemen urusan
kefatwaan di Malaysia
3. Untuk menciptakan kerjasama strategis dan kemitraan pintar dalam
urusan kefatwaan dengan lembaga fatwa dan lembaga lain yang terkait
di dalam dan luar negeri
4. Untuk memberikan kesadaran da pendidikan fatwa kepada masyarakat.
5. Untuk menjadi Pusat Rujukan fatwa yang otoriner dan berwibawa33
.
e. Peran Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia
Majelis Fatwa Kebangsaan Malaysia tidak hanya merupakan satu organsasi
atau kantor yang mengeluarkan fatwa semata-mata. Ia memiliki peran tersendiri
yang telah diberi pedoman oleh Menteri Agama di Malaysia. Antara peran Majelis
Fatwa Kebangsaan Malaysia adalah seperti berikut:
1. Menjadi pengemudi kepada Komite Fatwa MKI dan pertemuan/rapat yang
terkait dengan kefatwaan.
2. Menjadi sumber referensi hukum/fatwa terhadap setiap permasalahan/isu
yang timbul dalam masyarakat.
3. Meninjau dan meneliti isu-isu kontemporer dalam berbagai bidang yang
membutuhkan pandangan hukum/fatwa
4. Menyelaraskan pandangan hukum/fatwa yang diputuskan di tingkat
Nasional dan Negara.
33
http://www.Islam.gov.my/mengenai-jakim/profil-jakim/visi-misi-objektif-etika DIakses
pada 10 Juli 2019
28
5. Mewujudkan kerjasama strategis dan meingkatkan koordinasi antara
Departemen Mufti Negara dan Lembaga lain yang terkait.
6. Menyebarkan pandangan hukum/fatwa yang diputuskan dan memberikan
pendidikan fatwa kepada masyarakat.
7. Menjadi pusat rujukan pandangan hukum/fatwa di tingkat Nasional dan
Internasional.
8. Memberi maklum balas mengenai pertanyaan isu hukum atau fatwa dalam
tempoh 7 hari.
f. Metode Pengeluaran Hukum atau Pandangan Syarak Oleh
Jawatankuasa Fatwa
Terdapat dua kaedah yang digunakan oleh Jawatankuasa Fatwa dalam
mengeluarkan hukum34
. Pihak-pihak tertentu yang pakar akan dipanggil untuk
memberikan pandangan dan penjelasan terhadap isu-isu yang tidak jelas atau
memerlukan penjelasan dan taklimat terperinci supaya semua Ahli Jawatankuasa
Fatwa MKI mendapat maklumat yang tepat bagi membuat keputusan. Metode
yang digunakan adalah:
1. Mesyuarat/rapat Jawatankuasa Fatwa MKI
Proses penegeluaran hukum melalui kaedah ini bermula apabila mesyuarat
Raja-raja memerintahkan supaya anggota Jawatankuasa Fatwa MKI memberikan
pandangan hukum atau fatwa tentang sesuatu isu yang timbul di kalangan
masyarakat. Isu yang timbul itu dikaji serta disediakan satu kertas kerja
berkaitannya, kemudian dibentangkan dalam Mesyuarat Jawatankuasa Fatwa
MKI.
Apabila ahli Jawatankuasa telah menegeluarkan hukum, maka hukum
berkenan akan dibentangkan kepada Majlis Raja-Raja melalui Majelis
Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama Islam Malaysia. Hukum yang telah
dipersetujui oleh Majlis Raja-Raja tersebut akan dibawa kepada Jawatankuasa
34
Dokumentasi Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia 2015
29
Fatwa Negeri-negeri tanpa boleh diubah dan selanjutnya diwartakan sebagai fatwa
negeri berkenan.
2. Muzakarah Jawatankuasa Fatwa MKI
Kaedah ini digunakan apabila terdapat permohonan dari masyarakat Islam
atau pihak-pihak tertentu. Isu yang dikemukakan akan dikaji, disediakan satu
kertas kerja berkaitan isu tersebut kemudian dibentangkan dalam Muzakarah
Jawatankuasa Fatwa MKI.
Fatwa yang telah diputuskan dalam Muzakarah ini akan dibawa ke
Jawatankuasa Fatwa Negeri-Negeri dan diperingkat negeri boleh diubah
keputusan tersebut atau menerimanya tanpa perubahan sebagai fatwa negeri dan
seterusnya diwartakan. Fatwa yang diputuskan dalam Muzakarah ini juga akan
dibentangkan untuk perkenan Majlis Raja-Raja melalui Majlis Kebangsan Bagi
Hal Ehwal Agama Islam Malaysia35
.
35
Dokumentasi Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia 2018
30
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG EUTHANASIA DAN PEMBUNUHAN
A. Konsep Euthanasia
a. Definisi Euthanasia
Euthanasia sampai saat ini masih merupakan masalah yang menarik untuk
dikaji. Istilah Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu “EU-THANASIA”.
EU artinya baik, dan THANATOS artinya mati. Secara keseluruhan kata tersebut
dapat diartikan sebagai “kematian yang senang dan wajar”36
.
Menurut Abuddin Nata, Achmad Gholib, Fauzan, Euthanasia diartikan
sebagai sebuah istilah yang menngacu pada sebuah tindakan yang bertujuan untuk
memudahkan kematian atau mengakhiri hidup seseorang dengan sengaja tanpa
merasa sakit dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit. Upaya ini dilakukan
terhadap orang sakit yang menurut perhitungan dan analisis ahli medis sudah
tidak ada harapan lagi untuk hidup37
.
Menurut Anton M. Moeliono dan kawan-kawan, pengertian Euthanasia
adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang atau pun
hewan piaraan) yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusian38
.
Dari pengertian tersebut diatas dapat diambil intisari bahwa Euthanasia
adalah usaha, tindakan dan bantuan yang dilakukan oleh seorang dokter untuk
dengan sengaja mempercepat kematian seseorang, yang menurut perkiraannya
sudah hamper mendekati kematian, dengan tujuan untuk meringakan atau
membebaskannya dari penderitaannya.
Definisi Euthanasia yang dikemukankan di atas sedikitnya mencakup tiga
kemungkinan:
36
Imron Halimy, Euthanasia, (Solo: Ramadani, 1990), Hlm. 35 37
Abuddin Nata, Achmad Gholib, Fauzan, Fikih Kedokteran Ilmu & Ilmu Kesehatan,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2017), Hlm. 165 38
Anton, M. Moeliono, et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), Hlm. 237
31
1. Memperbolehkan (membiarkan) seseeorang mati.
2. Kematian karena belas kasihan.
3. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.
Memperbolehkan seseorang mati mengandung pengertian tentang adanya
suatu kenyataan, bahwa segala macam usaha penyembuhan terhadap penyakit
seseorang, sudah tidak ada manfaatnya lagi. Secara medis usaha penyembuhan
tersebut tidak ada hasilnya yang positif, malah dalam keadaan tertentu, ada
kemungkinan pengobatan tersebut justru mengakibatkan bertambahnya
penderitaan. Dalam keadaan demikian, seorang penderita lebih baik dibiarkan
meninggal dalam keadaan tenang tanpa campur tangan manusia.
Kematian karena belas kasihan merupakan suatu tindakan langsung dan
disengaja untuk mengakhiri kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau
permintaannya. Hal ini disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidsk tahan
lagi menanggung rasa sakit yang demikian berat. Keadaan ini tentu saja tidak
sama dengan memperbolehkan seseorang mati, walaupun mungkin ada juga
persamaannya39
.
Pada peristiwa pencabutan nyawa seseorang karena belas kasihan
memberikan pengertian terhadap suatu tindakan yang langsung untuk
menghentikan kehidupan penderita tanpa izinnya. Tindakan ini didasarkan atas
asumsi bahwa kehidupan si penderita selanjutnya tidak ada artinya lagi. Tentu saja
ada perbedaan antara peristiwa ini dengan kematian karena kasihan, yaitu bahwa
dalam peristiwa yang terakhir ini tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan si
penderita40
.
39
H. Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan Hukum
Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Hlm. 14 40
Ibid
32
b. Macam-macam dan Bentuk Euthanasia
Menurut Abuddin Nata, Achmad Gholib dan Fauzan dalam buku nya yang
berjudul Fikih Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Euthanasia dapat dibagi menjadi
dua (2) bagian, yaitu:
1. Euthanasia Aktif
2. Euthanasia Pasif
Euthanasia Aktif, yaitu tindakan dokter mempercepatkan kematian pasien
dengan memberikan suntikan pada satidum terakhir, dimana menurut perkiraan
dan analisis medis sudah tidak mungkin lagi dapat sembuh atau bertahan lama.
Tindakan ini dilakukan dengan alasan pengobatan yang diberikan hanya akan
memperpanjangkan penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang
memang sudah parah.
Euthanasia Pasif, yaitu tindakan seorang tenaga medis berupa penghentian
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, dimana secara medis sudah tidak
mungkin lagi bisa disembuhkan. Dengan penghentian pemberian obat ini akan
berakibat mempercepat kematian pasien. Tindakan ini dilakukan dengan alasan
kemampuan keuangan pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan
untuk penyembuhan penyakit sangat besar. Alasan lainya adalah meskipun pasien
diberikan obat yang mahal, tetapi fungsi pengobatan tersebut menurut perhitungan
dokter sudah tidak efektif lagi41
.
c. Sejarah Euthanasia
Euthanasia sebenarnya bukan masalah baru. Perbuatan ini sebenarnya sudah
lama dikenal orang, bahkan sudah sering dilaksanakan sejak zaman dahulu kala.
Menurut Ilyas Effendi, pada zaman Romawi dan Mesir Kuno Euthanasia ini
pernah dilakukan oleh dokter Olympus terhadap diri Ratu Cleopatra dari Mesir,
atas permintaan sang Ratu, walaupun sebenarnya ia tidak sakit. Cleopatra (60 – 30
41
Abuddin Nata, Achmad Gholib, Fauzan, Fikih Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
(Jakarta: Salemba Diniyah, 2017), Hlm. 166
33
S.M.) seorang ratu yang cantik dan seksi dapat menundukkan dua pria perkasa
pada zamannya, yaitu Yulius Caesar dan Markus Antonius, penguasa Imperium
Rumawi. Cleopatra mempunyai ambisi yang sangat besar untuk menakluk dan
menguasai dunia. Akan tetapi ambisinya itu tidak tercapai, karena orang yang
diharapkan akan memperjuangkannya melalui Senat, yaitu Yulius Caesar, mati
dibunuh sebelum sidang dimulai oleh kelompok, yang antara lain terdiri dari anak
angkatnya sendiri yaitu Brutus. Orang kedua yang menggantikan Yulius Caesar,
yaitu Markus Antonius, yang juga bertekuk lutut kepada sang Ratu, gagal pula
meraih kemenangan dala pertempuran, karena ia dikalahkan oleh lawannya, yaitu
Oktavianus, dan kemudian ia mati bunuh diri. Cleopatra yang merasa kecewa dan
putus asa, karena ambisi dan impiannya tidak terwujud, akhirnya meminta kepada
dokter Olympus untuk melakukan Euthanasia terhadap dirinya. Dengan patukan
ular beracun yang disiapkan oleh dokter Olympus, Cleopatra akhirnya pada usia
38 tahun menghembuskan nafas yang terakhir (meninggal dunia)42
.
Tindakan Euthanasia pada zaman dahulu kala itu. Banyak didukung oleh
tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Menurut Imron Halimy, Plato misalnya, telah
mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang pada masa itu,
untuk mengakhiri penderitaan yang dialaminya. Demikian pula Aristoteles telah
membenarkan tindakan “Infanticide”, yaitu membunuh anak yang berpenyakit
sejak lahir dan mereka tidak dapat hidup menjadi manusia yang perkasa.
42
Ilyas Efendi, Euthanasia Ratu Cleopatra Dua Puluh Abad Lalu, dalam Majalah Kartini,
no.369, Edisi 9 s.d. 22 Januari 1989.
34
B. Konsep Pembunuhan
a. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan berasal dari kata “bunuh” atau “membunuh” yang berarti: (1)
mematikan: menghilangkan (menghabisi;mencabut nyawa), (2) menghapus
(tulisan), (3) memadamkan (api dan sebagainya), (4) menutup (bocor, pancuran
dan sebagainya)43
.
Dalam istilah Hukum Pidana Indonesia, pembunuhan dirumuskan sebagai
“perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain”44
. Rumusan ini diambil
dari pasal 338 KUH pidana yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, dihukum,
karena pembunuhan biasa dengan hukuman penjara selama-lamanya lima
belas tahun45
.
Dari pengertian tersebut diatas dapat diketahui bahwa untuk bisa dianggap
sebagai pembunuhan harus dipenuhi tiga unsur:
1. Adanya perbuatan manusia,
2. Perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa manusia.
3. Perbuatan tersebut dilakukan dengan melawan hukum46
.
Perbuatan manusia yang mengakibatkan kematian, yang menjadi unsur
tindak pidana pembunuhan, tidak terbatas kepada satu jenis perbuatan saja.
Perbuatan tersebut bisa berupa penembakan, pemukulan, penusukan dengan pisau,
peracunan, suntikan dengan obat yang mematikan dan sebagainya. Alat yang
digunakan juga bisa bermacam-macam, seperti pistol, pisau, golok, besi, racun,
43
Anton M. Moeliono, et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), Hlm. 138 44
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Bogor:Politea, 1976), Hlm. 207 45
Tim Redaksi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Kitab Undang Hukum
Pidana, (Efata Publishing, Cet. V, 2018), Hlm. 271 46
H. Ahmad Wardi Muslich, Euthansia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan Hukum
Islam, Ed. 1-Cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Hlm. 30
35
obat suntikan dan lain sebagainya. Demikian pula cara nya juga bermacam-
macam.
b. Macam-Macam Pembunuhan
Dalam Hukum Pidana Indonesia, pembunuhan dapat dibagi kepada dua bagian:
1. Pembunuhan sengaja.
2. Pembunuhan karena kesalahan.
Pembagian pembunuhan kepada sengaja dan tidak sengaja sejalan dengan
pendapat Imam Malik dalam Hukum Pidana Islam. Imam Malik sebagaimana
dikutip oleh Wahbah Zuhaili membagi kepada dua bagian:
1. Pembunuhan sengaja.
2. Pembunuhan karena kesalahan.
Akan tetapi jumhur Ulama, umumnya membagi tindak pidana pembunuhan
kepada tiga bagian:
1. Pembunuhan sengaja.
2. Pembunuhan menyerupai sengaja.
3. Pembunuhan karena kesalahan47
.
1. Pembunuhan Sengaja
Pembunuhan sengaja dalam Hukum Pidana Indonesia dirumuskan sebagai:
“Pembunuhan (Perbuatan) yang mengakibatkan kematian orang lain,
sedangkan kematian itu disengaja, artinya dimaksud, termasuk dalam
niatnya”48
.
Pengertianya ialah bahwa dalam pembunuhan sengaja, kematian yang
diakibatkan oleh perbuatan si pelaku betul-betul dikehendaki. Apabila kematian
tersebut tidak dikehendaki, maka perbuatan tersebut termasuk pembunuhan
47
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqul Islamiy Wa Adillatuh Juz 6, (Damaskuz: Darul Fikr, 1989),
Hlm. 222. 48
R. Soesilo, Hlm. 207
36
karena kesalahan atau kurang hati-hati, seperti yang diatur dalam pasal 359,
Mungkin juga perbuatan tersebut termasuk penganiyaan biasa, berakibat matinya
orang (pasal 351 sub 3) atau termasuk penaganiyaan yang direncanakan terlebih
dahulu, berakibat matinya orang yang dianiya (pasal 353 sub 3)49
.
Dalam hukum pidana Islam, pembunuhan sengaja dirumuskan sebagai:
“Pembunuhan sengaja ialah suatu pembunuhan dimana perbuatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa itu disertai dengan niat membunuh si
korban”.
Dari definisi ini dapat diambil pengertian untuk dianggap sebagai
pembunuhan sengaja, tidak cukup dengan adanya kesengajaan dalam melakukan
perbuatan yang dilarang, melainkan juga diperlukan niat membunuh pada diri si
pelaku. Apabila niat membunuhnya tidak ada, maka pembunuhan tersebut bukan
pembunuhan sengaja, melainkan pembunuhan yang menyerupai sengaja.
Pendapat ini merupakan pendapat jumhur ulama50
.
Niat untuk membunuh merupakan sesuatu yang tersimpan dalam hati dan
tidak bisa dilihat oleh mata. Untuk mengetahuinya diperlukan indikator, yaitu
berupa alat yang digunakan haruslah alat yang menyebatkan kematian. Untuk
mempertegas hal itu, Wahbah Zuhaili mengutip pendapat Jumhur Ulama,
merumusukan pengertian pembunuhan sengaja sebagai berikut:
“Pembunuhan sengaja adalah sengaja melakukan perbuatan yang dilarang
(melawan hukum) dan menghendaki kematian si korban dengan
menggunakan alat yang pada galibnya mengakibatkan kematian”.
Pengertian pembunuhan sengaja yang dikemukan oleh Jumhur Ulama ini,
sejalan dengan pengertian yang terdapat dalam KUH Pidana. Dalam Pasal 340
KUHP disebutkan “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih
dulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan
49
Tim Redaksi, Hlm. 275. 50
H. Ahmad Wardi Muslich, Euthansia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan Hukum
Islam, Ed. 1-Cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Hlm. 33
37
berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun”51
.
2. Pembunuhan Menyerupai Sengaja
Dalam hukum positif, istilah pembunuhan menyerupai sengaja ini tidak
dikenal, karena pembunuhan hanya terbagi kepada dua bagian: (1) Pembunuhan
sengaja, (2) pembunuhan karena kesalahan. Oleh karenanya tidak ada pembahasan
yang panjang lebar mengenai masalah ini dilihat dari sisi hukum positif.
Barangkali yang dapat dimasukkan ke dalam pembunuhan menyerupai sengaja ini
dalam hukum positif adalah penganiyaan yang mengakibatkan matinya orang lain,
sebagimanayang tercantum dalam pasal 351, sub 3 yang berbunyi:
“Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara selama paling lama tujuh tahun”52
Hanya saja menurut hukum positif, perbuatan tersebut tidak termasuk
pembunuhan melainkan penganiyaan yang mengakibatkan matinya orang. Dalam
hukum Islam, pembunuhan menyerupai sengaja ini dikemukakan oleh Jumhur
Ulama, yang terdiri dari Imam Abu Hanifah, Syafie dan Ahmad Ibnu Hanbal.
Dalam mengartikan pembunuhan menyerupai sengaja ini, Imam Abu Hanifah
sebagaiman yang dikutip oleh Abdurrahman Al jaziri mengemukakan:
“Syibhul „amd ialah kesengajaan seseorang untuk melakukan pemukulan
dengan sesuatu (alat) yang bukan senjata dan tidak pula disamakan dengan
senjata, baik alat tersebut pada galibnya mematikan atau tidak”53
Sementara itu Imam Syafie dan Ahmad Ibnu Hanbal serta dua orang murid
Abu Hanifah, yang dikutip oleh Al-Jaziri, mengemukakan:
“Syibhul „amd ialah kesengajaan pemukulan oleh seseorang dengan sesuatu
(alat) yang pada galibnya tidak mengakibatkan kematian”
51
Pustaka Mahardika, KUHP dan KUHAP, (Yogyakarta: cet. 2017), Hlm. 111 52
Tim Redaksi, KUHAP dan KUHP, (Efata Publishing, Cet V, 2018), Hlm. 274, 275 53
Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh „Alal-Madzahib Al Arba‟ah, Juz 5, (Beirut: Darul Fikr),
Hlm. 275
38
Dari kedua definisi tersebut terlihat adanya perbedaan mengenai kriteria
pembunuhan menyerupai sengaja. Abu Hanifah memaandang bahwa pembunuhan
dengan benda-benda keras atau berat, asal bukan sengaja, termasuk menyerupai
sengaja, meskipun benda-benda tersebut dapat mengakibatkan kematian.
Pemukulan dengan batu atau tongkat yang besar, besi dan semacamnya, yang
mengakibatkan kematian si korban, tidak termasuk pembunuhan sengaja,
melainkan tetap menyerupai sengaja54
. Sementara menurut Imam Syafie, Hambali
dan dua orang murid Imam Abu Hanifah, hanya pemukulan dengan benda-benda
kecil (ringan) saja, yang ada galibnya tidak sampai mematikan, yang termasuk
pembunuhan menyerupai sengaja. Sedangkan pemukulan dengan benda-benda
keras (berat) seperti besi, kayu, dan batu yang besar, yang dapat mengakibatkan
kematian, termasuk pembunuhan sengaja.
Menurut pendapat penulis, apa yang dikemukan oleh Imam Syafie, Hanbali
dan dua orang murid Imam Abu Hanifah tentang pembunuhan menyerupai
sengaja ini, rasanya lebih tepat. Hal ini oleh karena pembunuhan dengan alat-alat
yang berat, meskipun bukan sengaja, tetapi fungsi mematikannya mirip dengan
senjata. Seseorang yang dengan sengaja memukul orang lain dengan tongkat,
ranting yang kecil, atau sapu lidi misalnya, tentu saja tidak bermaksud untuk
membunuhnya, meskipun akibat pemukulan tersebut adalah kematian si korban.
Dengan demikian maka pembunuhan tersebut bukan pembunuhan sengaja.
Namun karena pemukulan yang mengakibatkan kematian tersebut dilakukan
dengan sengaja, maka sudah sepantasnya kalau pembunuhan tersebut termasuk
menyerupai sengaja.
3. Pembunuhan Karena Kesalahan
Dalam hukum positif (KUHP), istilah yang digunakan untuk pembunuhan
karena kesalahan ini adalah “karena salahnya mengakibatkan orang mati”55
.
Pembunuhan karena kesalahan terjadi karena kurang hati-hatinya si pelaku.
Dalam hal ini si pelaku tidak mempunyai niat untuk menghilangkan nyawa orang
54
https://artikelsyamsularif.wordpress.com/2016/03/13/pembunuhan-dan-hukum-pidana-
Islam/ diakses pada 16 september 2019 55
R. Soesilo, Hlm. 214
39
lain, dan ia tidak menyadari bahwa perbuatannya itu akan menimbulkan kematian
bagi orang lain tersebut56
.
R. Soesilo mengemukakan bahwa matinya orang dalam hal ini tidak
dimaksud sama sekali oleh si pelaku, akan tetapi kematian tersebut hanya
merupakan akibat dari kurang hati-hati atau lalainya si pelaku. Dengan demikian,
apabila matinya si korban dimaksud oleh si pelaku, maka perbuatannya termasuk
pembunuhan sengaja, dan kepadanya dikenakan pasal tentang pembunuhan (pasal
338 atau 340 pidana). Sebagai contoh dapat dikemukakan, seorang sopir yang
menjalankan mobil terlalu kencang, sehingga ia tidak bisa mengendalikannya dan
mobilnya menabrak orang sampai mati57
.
Dalam Hukum Pidana Islam , pembunuhan karena kesalahan ini disebut
dengan “Al- Qatlul Khatha”. Wahbah Zuhaili mengemukan definisi pembunuhan
seperti berikut:
“Pembunuhan karena kesalahan adalah pembunuhan yang terjadi tanpa
disertai dengan kesengajaan, baik dalam perbuatannya maupun objeknya
(orangnya)”58
Dari definisi tersebut, jelas terlihat perbedaan antara pembunuhan karena
kesalahan dengan pembunuhan menyerupai sengaja. Dalam pembunuhan karena
kesalahan, si pelaku sama sekali tidak ada niat untuk melakukan perbuatan yang
dilarang. Artinya perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan mubah (dibolehkan).
Akibat yang timbul, berupa kematian si korban, semata-mata karena
keterlalaiannya atau kurang hati-hatinya. Sedangkan dalam pembunuhan
menyerupai sengaja, seperti telah disinggung dalam uraian yang lalu, si pelaku
sengaja melakukan perbuatan yang dilarang, seperti pemukulan, tetapi dalam hati
si pelaku tidak ada niat untuk membunuh orang.
56
Ahmad Wardi Muslich, Hlm 39 57
R. Soesilo, Hlm. 214 58
Wahbah Zuhaili, VI, Hlm 223
40
BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Kedudukan Euthanasia di Dalam Islam
Salah satu tujuan disyariatkan agama Islam adalah untuk memelihara jiwa
manusia. Dalam rangka memelihara jiwa, manusia dperintahkan melakukan
upaya-upaya untuk mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia diperintahkan
untuk makan, minum, berpakaian dan bertempat tinggal. Apabila ia sakit maka ia
diperintahkan untuk berobat. Disyariatkan hukuman qishah dan diat bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan, juga dalam rangka menegakkan kehidupan ini,
sebaliknya perbuatan-perbuatan yang akan merusak kehidupan manusia, seperti
pembunuhan, dilarang untuk dilakukan dan diwajibkan bagi manusia untuk
menolaknya.
Dalam hubungan ini, Abdul Wahab Khallaf mengatakan:
“Untuk memelihara jiwa dan menjamin kehidupan manusia, maka
disyariatkan kewajiban untuk melakukan segala sesuatu yang merupakan
kebutuhan pokok untuk menegakkannya, seperti makan, minum, pakaian
dan rumah tinggal. Demikian pula diwajibkan qishah dan diatas orang yang
melakukan pelanggaran terhadapnya (membunuh atau melukai), dan
diharamkan untuk menjatuhkan diri ke dalam kerusakan, serta diwajibkan
menolak atau mencegah kemudharatan dari dirinya”59
Jiwa manusia merupakan anugerah atau pemberian dari Allah. Oleh
karenanya, sudah menjadi tanggungjawab kita semua menjaganya dan tidak
berwenang untuk menghilangkannya tanpa kehendak dan aturan Allah sebagai
pemilik segenap jiwa manusia. Didalam Islam, kita sebagai penganutnya tidak
dibenarkan tindakan membunuh diri sendiri karena manusia bukan pencipta
kepada diri sendiri dan bukan pemilik mutlak. Allah adalah pemilik semua
kehidupan, sebagimana firmannya:
59
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam), (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003), Hlm. 201
41
ول جلٱلناسٱلليؤاخذأ إل ه ر يؤخ ولكي داةث وي ا عني حرك وا ه ةظن ى
ت ليس ه جنفإذاجاءأ سمى مو و خل وليس ٦١خررو ااعثى
Artinya:“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezalimnya, niscaya
tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang
melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang
ditentukan, maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka,
tidaklah mereka mengundurkannya baraang sesaatpun dan tidak (pula)
mendahulukannya.”60
Kesusahan dan penderitaan dalam kehidupan ini merupakan suatu ujian
terhadap iman dan taqwa kepada Allah. Seharusnya sesorang muslim itu perlu
mempunyai pandan yang optimis untuk menghadapi segala tantangan hidup dan
tidak lari dari kesusahan di dunia dengan cara membunuh diri. Pada zaman
Rasulullah ramai sahabattt yang cedera parah ketika peperangan dan menderita
kesakitan selama beberapa hari, tetapi mereka tidak pernah cuba untuk membunuh
diri bagi menghapuskan penderitaan yang mereka alami. Sebagaimana firman
Allah dalam surah surah al-Luqman ayat 31:
له أ
رت ريفٱم فن محرأ ح ىجٱل خٱللةع ءاي مييكهوي لملأيجۦ إ فذ
صتارشكر ٣١مك
Artinya : “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”61
.
60
Surah al Nahl (16):61, Mushaf Al Quran dan Terjemahanya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, cet 2018) 61
Surah al Luqman (31):31, Mushaf Al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, cet 2018)
42
Dalam ajaran Islam, seseorang yang menanggung penderitaan adalah
diminta bersabar dan redha karena beliau akan mendapat ganjaran yang besar dari
Allah. Berdasarkan kode etik perobatan Islam telah dinyatakan bahwa pengamal
perobatan tidak mempunyai sebarang hak atau kuasa untuk menamatkan nyawa
pasien meskipon pasien tersebut telah dibuktikan tidak dapat dipulihkan secara
saintifik. Sebaliknya pengamal perobatan haruslah mencuba bersungguh-sungguh
untuk menyelamatkan nyawa pesakit tersebut karena ia merupakan
tanggungjawab pengamal perobatan62
. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Dr. Kamel ketika diwawacara penulis:
“Syariah Islam merupakan syariah yang sempurna yang mampu mengatasi
segala persoalan yang wujud pada setiap waktu dan tempat. Berikut ini
adalah solusi syariah terhadap masalah Euthanasia aktif maupun Euthanasia
pasif. Bagi Euthanasia aktif kaidah yang digunakan adalah dengan
memberikan rawatan yang bertujuan untuk menghentikan hayat pasien,
syariah Islam mengharamkan karena ia termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja, walaupon niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walaupon ia merupakan
permintaan dari pasien sendiri atau ahli keluarganya”63
.
Hal tersebut di perkuatkan dengan hadith Ibnu Mas‟ud r.a:
ع د اث الل رضي يضع ل قبل : قبل ع يحم ل : صهى عهي الل صه الل رص
ذ يضهى ايزئ دو يش أي الل إلا إن ل أ ل انثايت : ثلاس ثإحذ إلا الل رص
اي، انافش انزا انزابرك فش ثبنا فبرق نذي بعخ ان نهج
“Dari Ibnu Mas‟ud r.a berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Tidak halal
darah seorang muslim kecuali karena salah satu daripada tiga perkara:
Berzina, sedangkan dia sudah berkahwin, nyawa dengan nyawa (membunuh
orang) dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari
jemaah (murtad), (Hadis Riwayat al Bukhari, No. 6878)”64
.
62
Farah Wahida Mohd Yusuf dan Tamar Jaya Nizar dan Siti Norlina Muhammad dan
Nurain Mohd Nazir, “Euthanasia :Melanggar Etika dan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Teknologi,
Ogos 2013, Hlm. 39 63
Wawancara dengan Dr Kamel, Penolong Pegawai Unit Penelitian Fatwa, Jabatan
Kemajuan Islam Malaysia pada 19 0gos 2019 64
Muhammad Fattah Hafizullah, Hadith 40 Imam Nawawi, (Pustaka Ilmuwan, cet.
Pertama 2016), Hlm.79
43
Selain larangan dilakukan pembunuhan orang lain, syariat Islam juga
melarang dilakukannya perbuatan membunuh diri, dalam surat An-Nisa (4) ayat
29 Allah berfirman:
ا يأ ٱلييي كهة مكهةي و و
اأ كن
الحأ حك حجرةعيٱم بطلءاو
إلأ
فسكه إ اأ خن اٱللحراضوكه ولتل رحيىى ٢٩ك ةكه
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”65
.
Dari ayat-ayat al-Quran dan hadith-hadith tersebut diatas, dapat diambil
suatu asumsi bahwa Euthansia, terutama aktif, dimana seorang dokter melakukan
upaya aktif membantu mempercepatkan kematian sseorang pasien, yang menurut
dugaan dan perkiraannya tidak dapat bertahan untuk hidup, meskipun atas
permintaan dan persetujuan si pasien atau keluarganya-jelas dilarang oleh Islam,
karena perbuatan tersebut tergolong kepada pembunuhan dengan sengaja66
.
Disamping itu, permintaan untuk dilakukan Euthanasia baik oleh pasien maupun
keluarganya, mencerminkan sikap dan perasaan putus asa. Sikap semacam ini
tentu saja tidak disukai dan dilarang oleh Allah. Hal ini sebagaiman dijelaskan
dalam surah Yusuf (12): 87:
تن ي تا ٱذ خيولحاي افوأ فخحسساويي ٱللهساويرو ۥإ سلياي
مإلٱللويرو فرو ٱم ل ٨٧ٱم ك
Artinya : “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang
Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah,
melainkan kaum yang kafir”67
.
65
Surah an-Nisa (4):29, Mushaf Al Quran dan Terjemahanya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, cet 2018) 66
Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan Hukum
Islam, Ed. 1, Cet. 1, (Jakarta: 2014), Hlm. 75 67
Surah Yusuf (12):87, Mushaf Al Quran dan Terjemahanya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, cet 2018)
44
Islam menghendaki kepada setiap muslim hendaknya selalu optimis dalam
menghadapi setiap musibah. Ini karena seorang mukmin itu diciptakan justru
untuk berjuang, bukan untuk tinggal diam dan untuk berperang bukan untuk lari.
Iman dan budinya tidak mengizinkan dia lari dari arena kehidupan. Sebab setiap
muslim mempunyai kekayaan iman dan kekayaan budi. Tidak sedikit anjuran bagi
penderita untuk bersabar dan menjadikan penderitaan sebagai sarana pendekatan
diri kepada Yang Maha Kuasa.
Secara gamblang, dapat dipahami bahwa hukum terkait Euthanasia secara
umumnya dan disepakati para ulama‟ adalah tidak diperkenankan oleh syara‟.
Namun masih ada segelintir Ulama yang membahas secara mendalam bagaimana
posisi hukum Euthanasia yang haram dan dibolehkan. Seperti Yusuf Qardhawi
yang membagikan Euthanasia kepada aktif dan pasif. Untuk Euthanasia aktif,
beliau berpandangan ia haram dilakukan karena ia termasuk dalam kategori
pembunuhan dengan sengaja. Namun, Euthanasia pasif pula, Yusuf Qardhawi
berpendapat dibolehkan karena termasuk dalam praktik menghentikan obatan.
Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan
yang dilakukan tiada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada
pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat bantuan penapasan dari tubuh
pasien.
Inilah pentingnya hukum Islam dalam menetapkan hal-hal yang halal dan
haramnya suatu sikap yang diambil dalam Euthansia. Ketika orang diombang-
ambingkan oleh keadaan yang sangat mendesak karena dipengaruhi oleh tuntutan
zaman atau kemajuan teknologi, dimana orang seenaknya saja bertindak asalkan
menurut mereka hal itu merupakan keputusan rasional tanpa melihat apakah
tindakan mereka itu benar atau tidak menurut hukum, agama maupun etika68
.
68
Ariffin Rada, Euthanasia Sebagai Konsekuensi Kebutuhan Sains dan Teknologi, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 2, Mei 2013, Hlm 340-341
45
B. Keputusan Fatwa Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia dan Fatwa
Yusuf al Qardhawi Berserta Metode Istinbath Hukumnya
a. Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia
1. Keputusan Fatwa Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia Tentang Hukum
Euthanasia Atau Mery Killing
Berkaitan dengan hal ini, Muzakarah Jawatankuasa Fatwa Majlis
Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Ugama Islam Malaysia kali ke-97 yang bersidng
pada 15-17 Disember 2011 telah membincangkan mengenai Hukum Euthanasia
atau Mercy Killing. Muzakarah telah membuat keputusan seperti berikut:
- “Setelah mendengar taklimat dan dan penjelasan pakar serta meneliti
keterangan, hujah-hujah dan pandangan yang dikemukakan, Muzakarah
berpandangan bahwa menghentikan hayat hidup seorang sebelum disahkan
mati dengan menggunakan apa-apa cara dan bersandarkan kepada apa-apa
alasan adalah haram dan dilarang oleh Islam. Sehubungan dengan itu,
Muzakarah memutuskan bahwa perbuatan mempercepatkan kematian
melalui amalan Euthanasia (samaada Euthanasia Voluntary, Non-Voluntary
atau Involuntary) atau Mercy Killing adalah haram menurut Islam karena ia
menyamai perbuatan membunuh dan ianya juga bertentangan dengan Etika
Perobatan di Malaysia”.
- “Walau bagaimanapun, dalam keadaan di mana pakar perobatan telah
mengesahkan bahwa jantung dan/atau otak pesakit telah berhenti berfungsi
secara hakiki dan pesakit disahkan tidak ada lagi harapan untuk hidup dan
hanya bergantung kepada bantuan sokongan pernapasan, muzakarah
memutuskan bahwa tindakan memberhentikan alat bantuan pernapasan
tersebut adalah dibenarkan oleh Islam karena pesakit telah disahkan mati
oleh pakar perobatan dan sebarang rawatan tidak lagi diperlukan. Begitu
juga, dalam kasus dimana pakar perobatan telah mengesahkan bahwa
pesakit tiada harapan untuk sembuh dan pesakit telah dibenarkan pulang,
maka tindakan memberhentikan rawatan utama dan hanya rawatan
sokongan (conventional treatment) diteruskan adalah dibenarkan oleh Islam
karena seumpama ini tidak termasuk dalam Euthanasia atau Mercy Killing
yang diharamkan, walau bagimanapun, jika rawatan tersebut digunakan
untuk tujuan lain seperti alat bantuan mengeluarkan bendalir untuk
memudahkan pernapasan, maka tindakan mancabut/memberhentikannya
adalah tidak dibenarkan”69
.
69
Kompilasi Pandangan Hukum Jawatankuasa Muzakarah Kebangsaan, Cet 6, (Putrajaya
:2018)
46
2. Metode Istinbath Hukum Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia (MKI)
Berdasarkan pemerhatian penulis, penetapan metode istinbath hukum yang
digunakan Muzakarah Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia mengenai Euthanasia
ialah Metode Bayani. Secara bayani didapati dalam beberapa penggunaaan dalil
al-Quran maupun hadith yang menerangkan tentang membunuh. Euthanasia tidak
sukarela (non-voluntary) dan Euthanasia luar kawalan (involuntary) merupakan
perbuatan yang menyerupai tindakan membunuh sesuai dengan firman Allah dan
sabda Rasulullah yang mengharamkan perbuatan tersebut dan seharusnya
dikenakan sanksi hukum terhadap pelakunya tanpa mengambil kira alasan yang
diberikan terhadap tindakan membunuh itu. Antaranya adalah ayat al-Quran surah
an-Nisa‟ ayat 92 yang mana ayat ini menjelaskan larangan Allah tentang
membunuh jiwa yang lain.
واإلخطووا خلوؤ يل ويأ ىك لىؤ ...ا
Artinya : “Dan tidak boleh bagi sesorang mukmin membunuh seorang
mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)”70
.
Ayat ini menafikan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh orang
mukmin. Hal ini berarti bahwa tindakan membunuh bertentangan dengan prinsip
iman. Jika seorang mukmin membunuh mukmin yang lain berarti imannya rapuh.
Perbuatan membunuh menyebabkan iman seseorang itu rosak. Kecuali
pembunuhan yang dilakukan secara tidak sengaja, ia tidak merosakkan iman.
Dalam ayat ini يب merupakan حزف انفي yang menjelaskan hukum tidak boleh
membunuh jiwa mukmin yang lain dengan alasan apapun. Kalimah ال pada ayat
tersebut pula merupakan isim istisna‟ yang menerangkan bahwa adanya
pengecualian terhadap pembunuhan yang dilakukan tanpa sengaja. Ini jelas bahwa
70
Surah an Nisa (4);92, Mushaf Al Quran dan Terjemahanya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, cet 2018)
47
praktek Euthanasia adalah haram karena ia adalah tindakan menghilangkan nyawa
pasien dengan sengaja.
Seperti yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Ibnu Mas‟ud R.A.,
bahwa Rasulullah telah bersabda:
ع د اث الل رضي يضع ل قبل : قبل ع الل صها الل رص صهاى عهي يحم ل
اي، انثايت : ثلاس ثإحذ إلا يضهى ايزئ دو انافش انزا انزابرك ثبنافش، نذي
فبرق بعخ ان نهج
Artinya : “Dari Ibnu Mas‟ud berkata; bersabda Rasulullah S.A.W tidak halal
darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga alasan; jiwa
(dibalas) dengan jiwa (qishah), orang telah bernikah yang berzina dan orang
yang keluar dari agama meninggalkan jama‟ah (murtad), (Hadis Riwayat al
Muslim, No. 1676)”71
.
Hadith yang mulia ini memberi penjelasan tentang Islam yang agung dan
kaidah pensyariatan yang kokoh dalam menjaga kehidupan seorang muslim.
Perkataan ل يحم دو ايزئ يضهى yaitu tidak halal darah orang muslim yang mengucap
dua kalimah syahadah berarti haram membunuh orang muslim yang beriman
karena darah mereka terpelihara dan terjaga. Ibnu Hajar al-Haitami berkomentar
tentang pentingnya ini:
“Hadith ini merupakan kaidah yang penting karena berkaitan dengan
sesuatu yang sangat prinsip, yaitu darah. Menjelaskan mana yang halal dan
mana yang tidak halal, serta menjelaskan bahwa asal darah setiap orang itu
itu terlindungi, demikian juga dengan akalnya, karena pada asalnya semua
yang mencintai berlangsungnya kehidupan manusia dalam bentuknya yang
paling baik”72
.
Perkataan ال pula merupakan isim istisna‟ yang menunjukan penegecualian
terhadap larangan membunuh disebabkan 3 (tiga) alasan yaitu zina orang yang
71
Shahih Muslim, No. Hadis 1676, (Beirut: Dar el Fiker, 1993) 72
Mustafa Dieb al-Bugha, Muhyiddin Mistu, Al Wafi Syarah Hadith Arbain Imam an-
Nawawi, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2002), Hlm. 111
48
telah berkahwin, qishah dan murtad. Hanya dengan alasan ini Islam membenarkan
untuk melaksanakan pembunuhan. Ini jelas membuktikan bahwa praktek
Euthanasia tidak memerlukan kepada 3 (tiga) alasan tersebut untuk membuktikan
alasan untuk melaksanakan.
Islam tidak hanya melarang perbuatan mengambil nyawa orang lain
(membunuh) malah Islam juga melarang keras bagi ummat nya untuk membunuh
diri sendiri. Praktek semacam Euthanasia Voluntary adalah contoh yang jelas bisa
dikaitkan dengan membunuh diri. Di dalam prakteknya, pasien sendiri meminta
untuk dihilangkan nyawa nya karena tidak lagi mamou menahan kesakitan yang
dialami. Larangan ini didasarkan dari firman Allah S.W.T dalam surah al-Baqarah
ayat 195 :
فلاوأ ابيل ٱللف إل ي ميكه
ةأ حن لا ول نكثٱلت إ ا س ح
ٱللوأ يب
سني ١٩٥ٱل ىح
Artinya :“Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah
kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik”73
.
Ayat ini menjelaskan larangan mencampakkan diri ke dalam kebinasaan
dengan merosakkan diri sendiri. Membunuh diri adalah termasuk dalam kategori
perbuatan yang membawa kepada kebinasaan. Lafaz ل رهقا dalam ayat ini disertai
dengan ل ي yang menunjukkan kepada larangan melakukan perbuatan yang
sengaja membawa kepada kebinasaan. Seharusnya setiap manusia menghargai
nyawa yang telah diberikan oleh Allah S.W.T dengan melakukan segala perintah
Allah dan meninggalkan larangan-Nya. ini sejajar dengan hadith Rasulullah
S.A.W yang menjelaskan hukum haram dengan adannya ancaman dari Allah
S.W.T dari memasuki syurga.
73
Al Baqarah 2:195, Mushaf al Quran dan Terjemahannya, (Jakarta:Departemen Agama
RI, Pustaka al Kautsar, Cet. 2018)
49
صها الل رصل قبل اللا صهاى عهي : يذ في ذيذر فح ثحذيذح فض قزم ي أ جا يز
ب في ث اى بر في ثط ب يخهاذا خبنذا ج . أثذا في ي ب شزة فض فقزم ص ف
اى بر في يزحضاب ب يخهاذا خبنذا ج . أثذا في ي رزدا فض فقزم ججم ي فاى بر في يززدا ب يخهاذا خبنذا ج أثذا في
Artinya : Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang membunuh dirinya sendiri
dengan besi, maka besinya akan berada di tangannya menikam perutnya di
neraka Jahannam yang ia berada disana selama-lamanya. Siapa yang minum
racun, sehingga ia membunuh dirinya, maka ia akan meminumnya di dalam
neraka Jahannam yang ia kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan siapa
yang menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung sehingga membunuh dirinya,
maka ia akan menjatuhkan dirinya di dalam neraka Jahannam yang ia
berada disana selama-lamanya. (Riwayat Muslim, No. 109)” 74
Bagi pasien yang telah disahkan jantung dan/otak telah tidak berfungsi dan
disahkan tidak ada lagi harapan untuk meneruskan kehidupan, kasus seperti ini,
dikecualikan untuk dibolehkan memberhentikan alat pernapasan seperti yang
dikemukan oleh Dr kamel, pegawai yang diwawancara oleh penulis:
“Namun, berbeda halnya dengan keadaan dimana pakar perobatan telah
mengesahkan bahwa jantung dan/atau otak pesakit telah tidak berfungsi
secara hakiki dan pesakit disahkan tidak ada lagi harapan untuk hidup dan
hanya bergantung kepada bantuan sokongan pernapasan, maka muzakarah
fatwa kebangsaan memutuskan bahwa tindakan memberhentikan alat
bantuan pernapasan dibenarkan karena ini bertentangan dengan paraktek
Euthanasia yang bersifat membunuh. Hal ini perlu didasarkan dengan
keyakinan dokter bahwa sebarang rawatan tidak lagi diperlukan dan
disahkan mati75
”
74
Shahih Muslim, No. Hadis 109, (Beirut:Dar el Fiker, 1993) 75
Wawancara dengan Dr Kamel, Penolong Pegawai Unit Penelitian Fatwa, Jabatan
Kemajuan Islam Malaysia pada 19 Ogos 2019
50
b. Yusuf al Qardhawi
1. Keputusan fatwa Dr. Yusuf Al Qardhawi tentang Euthanasia
Yusuf Al Qardhawi mengartikan Euthanasia kepada 2 (dua) bagian, yaitu:
i. Euthanasia positif (taisir al-maut al-fa‟al)
ii. Euthanasia negatif (taisir al-maut al-munfa‟il)
Yang dimaksud Eutahanasia Positif ialah tindakan memudahkan kematian
si pesakit (karena kasih sayang) yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh dia antaranya:
i. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa
hingga bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberikan obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya
dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya
sekaligus.
ii. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya
karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya
mengalamai benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia
hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan,
sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat
disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam
paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika
alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat
melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat
dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan
alat pernapasan buatan utk melanjutkan gerak hidupnya. Namun, ada
yang menggangap bahwa orang sakit seperti ini sebagai “orang mati”
yang tidak mamu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat
51
pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses
kematiannya76
.
Hal ini berbeda dengan Euthanasia Negatif (taisir al maut al munfa‟il).
Pada Euthanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif
untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi
pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya:
i. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena
semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau
orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati,
padahal masih ada kemungkinan untuk diobati-akan dapat mematikan
penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan
dapat mempercepat kematiannya.
ii. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita
kelumpuhan tulang belakang (tashallub al-asyram) atau kelumpuhan
otak (syalal al-mukhkhi). Dalam keadaan demikian ia dapat saja
dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru
atau sejenis penyakit sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat
membawa kematian anak tersebut.
Dalam contoh tersebut, “penghentian pengobatan” merupakan salah satu
bentuk Euthanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita
penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan
mempermudahkan kematian secara pasif (Eutahanasia negatif) itu mencegah
perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya77
.
76
Yusuf al Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), Hlm. 749 77
Ibid, Hlm. 750
52
Isi Fatwa:
i. Euthanasia Positif
Memudahkan proses kematian secara aktif (Euthanasia Positif) seperti yang
telah dijelaskan adalah tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian
itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepatkan kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka
dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara apa sekali
pun.
ii. Euthanasia Negatif (Menghentikan/Tidak Memberi Pengobatan)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (Euthanasia
Negatif) sebagaimana telah dicontohkan pada awal penjelasan berkisar pada
“menghentikan pengobatan” atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini
didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada
gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan
sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semester) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal dikalangan ulama‟ syara‟ ialah bahwa
mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur
fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan para ulama‟ berbeda pendapat mengenai
mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang
yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan
hadith yaitu:
عطبء ع ن قبل قبل رثبح أث ث ايزأح أريل أل عجابس اث م ي قهذ انجاخ أ
ذ قبل . ثه زأح داء ان ا أرذ انضا إ فقبنذ – صهى عهي الل صه – اناج
إ ، أصزع فبدع أركشاف » قبل . ن اللا نل صجزد شئذ إ انجاخ إ شئذ
د دع اللا فبدع أركشاف إ فقبنذ . أصجز فقبنذ « . يعبفيل أ اللا أركشاف ل أ
ب فذعب ، ن
Artinya: Dari „Atho‟ bin Abi Robaah, ia berkata bahwa Ibnu „Abbas berkata
padanya, “Maukah kutunjukkan wanita yang termasuk penduduk surga?”
„Atho menjawab, “Iya mau.” Ibnu „Abbas berkata, “Wanita yang berkulit
hitam ini, ia pernah mendatangi Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, lantas ia
53
pun berkata, “Aku menderita penyakit ayan dan auratku sering terbuka
karenanya. Berdo‟alah pada Allah untukku.” Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam pun bersabda, “Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku
akan berdo‟a pada Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun
berkata, “Aku memilih bersabar.” Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa
tersingkap (kala aku terkena ayan). Berdo‟alah pada Allah supaya auratku
tidak terbuka.” Nabi –shallallahu „alaihi wa sallam– pun berdo‟a pada Allah
untuk wanita tersebut. (HR. Bukhari no. 5652 dan Muslim no. 2576)78
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid Ghazali telah menyusun satu bab
tersendiri dalam “Kitab at-Tawakul” dari Ihya‟ Ulumuddin, untuk menyanggah
orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apa
pun79
.
Demikian pendapat fuqaha mengenai masalah berobat atau pengobatan bagi
orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah, sebagian kecil
menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kcil lagi berpendapat wajib.
Dalam hal ini, saya (Yusuf Al Qardawi) sependapat dengan golongan
mewajibkannya apabila sakitanya parah, obatnya berpengaruh dan ada harapan
untuk sembuh sesuai dengan sunnatullah.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) semacam ini tidak
seyogianya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena
kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter.
Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah,
sehingga tidak dikenakan sanksi. Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz
dan dibenarkan syara’ (bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya80
.
78
Shahih Muslim, No. Hadis 2576, (Beirut: Dar el Fiker, 1993) 79
Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 4, Hlm 290 80
Yusuf al Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, (Jakarta:Gema Insani Press,
1995)
54
2. Metode Istinbath Hukum Dr. Yusuf al-Qardhawi
Sudah menjadi peran bagi ulama yang menjadi rujukan utama bagi
permasalah hukum seperti Yusuf al Qardhawi untuk memurnikan seputar masalah
hukum yang berlegar di tengah masyarakat. Maka Euthanasia juga tidak terlepas
dari menjadi salah satu kasus yang telah Yusuf al Qardhawi perbincangkan.
Dalam penetapan hukum Euthanasia, beliau telah membagikan praktek
Euthanasia kepada 2 (dua) bagian yaitu hukum Euthanasia Aktif dan hukum
Eutahansia pasif.
Bagi kasus Euthanasia Aktif, Yusuf al Qardhawi memutuskan bahwa
hukum praktek Euthanasia aktif adalah sejajar dengan keputusan jumhur Ulama
yaitu ia haram dilakukan karena jelas perbuatan membunuh. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh beliau didalam fatwa beliau, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2
yang berbunyi:
“Memudahkan proses kematian secara aktif Euthanasia Aktif (Euthanasia
Positif) seperti yang dicontohkan adalah tidak diperkenankan oleh syara‟.
Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan
tujuan memebunuh si sakit dan mempercepatkan kematiannya melalui
pemberian obat secara overdosis”81
.
Tanpa memperpanjangkan huraian beliau mengenai hukum Euthanasia
Aktif, Yusuf al Qardhawi memutuskan hukum bagi tindakan aktif tersebut adalah
tidak diperkenankan disisi syara‟.
Namun berbeda halnya dengan Euthanasia Negatif (Pasif) yaitu Euthanasia
Negatif adalah memberhentikan/tidak memberi pengobatan. Bagi memutuskan
hukum bagi tindakan ini, Yusuf al Qardhawi menggunakan pendekatan metode
istinbath hukum, Metode Ijtihad Intiqai. Sebelum penulis melanjutkan
pembahasan, Metode Ijtihad Intiqai bermaksud memilih satu pendapat dari
beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih Islam, yang penuh
dengan fatwa dan keputusan hukum82
. Ini merupakan salah satu metode terpenting
yang sering digunakan oleh Yusuf al qardhawi bagi mengeluarkan fatwa.
81
Yusuf al Qardhawi, Hlm. 751 82
Gibtiah, Fikih Kontemporer, (Depok: Kencana, Cet. 2, 2016), Hlm. 61
55
Euthanasia Negatif menurut bahasa yang mudah dipahami adalah satu
tindakan memudahkan kematian tanpa melalui sebarang proses tindakan aktif dari
dokter. Keyakinan dokter untuk menghentikan atau tidak memberikan pengobatan
sangatlah penting bagi meneruskan tindakan ini. Pasien perlulah berada didalam
kondisi yang dimana pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya dan juga tidak
memberikan harapan kepada si pasien untuk sembuh.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara‟ ialah
mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur
fuqaha dan imam-imam mazhab. Ada juga yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama. Diantaranya pendapat Ibnu Taimiyah yang
mengatakan:
“Berobat tidaklah wajib menurut mayoritas ulama. Yang mewajibkannya
hanyalah segelintir ulama saja sebagaimana yang berpendapat demikian
adalah sebagian ulama Syafi‟i dan Hambali. Para ulama pun berselisih
pendapat manakah yang lebih utama, berobat ataukah bersabar. Karena
hadith shahih yang menerangkan hal ini dari Ibnu Abbas, tentang budak
wanita yang sabar terkena penyakit ayan. Ibnu Taimiyah melanjutkan,
sekelompok sahabat nabi dan tabi‟in tidak mengambil pilihan untuk berobat.
Ada sahabat seperti Ubay bin Ka‟ab dan Abu Dzar tidak mau berobat, lantas
sahabat lainnya tidak mengingkarinya”83
.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al Ghazali telah menyusun satu bab
tersendiri dalam “Kitab at-Tawakul” dari Ihya‟ Ulumuddin, untuk menyanggah
orag yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan
apapun84
.
Justru dalam hal ini, Yusuf al Qardhawi sependapat dengan golongan yang
mewajibkannya (berobat) apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada
harapan untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah taala.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al maut) kalau boleh diistilah
dengan demikian, semacam ini tidak seyogianya diembel-embeli dengan istilah
qatl ar rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak
83
http;//rumaysho.com/memilih berobat atau sabar dan tawakkal. Diakses pada 21
september 2019 84
Abu Hamid al Ghazali, Kitab Ihya‟ Ulumuddin, Juz 4, Hlm 290
56
didapati tindakan aktif (positif) dari dokter, tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi85
.
C. Analisis Penulis
Melakukan Muqaranah (perbandingan) terhadap sesuatu hukum, berarti
melihat titik perbedaan cara melakukan Istinbath dalam penetapan hukum.
Setelah meneliti pembahasan diatas, penulis merasa lebih cenderung kepada
pendapat dari Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia dalam memutuskan fatwa
mengenai hukum Euthanasia atau Mercy Killing yang menggunakan metode
bayani.
Setelah mengamati kajian pembahasan yang penulis lakukan, penulis
merasakan bahwa metode bayani adalah lebih sesuai untuk dipahami masyarakat.
Ini karena metode yang digunakan dari Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia lebih
ahwat atau dari sudut Ihtiyatnya (berjaga-jaga) untuk masyarakat. Metode ini juga
meraikan kemudahan pemahaman bagi masyarakat awam bagi sesuatu hukum
khususnya di Malaysia.
Bagi pendapat Yusuf al Qardhawi pula, penulis merasakan bahwa metode
yang digunakan yaitu Metode Intiqa‟i bagi Euthanasia Negatif adalah kurang
relevansi bagi memahamkan masyarakat dan ditakuti ditingkat masyarakat awam
akan merasa keliru dengan fatwa yang dikeluarkan oleh Yusuf al Qardhawi. Jika
dilihat menerusi fatwa beliau, putusan hukum yang dikeluarkan kurang diambil
langsung dari nas al Quran dan Hadis melainkan lebih mengutamakan dari
pendapat beliau sendiri. Ini akan menyebabkan masyarakat yang membaca
putusan fatwanya merasa kurang memenuhi pemahaman mereka.
Pada pandangan penulis sendiri pula, ajaran Islam sama sekali tidak
membenarkan segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang dan
adalah berkewajiban bagi setiap insan untuk memelihara kehidupan yang
diamanahkan oleh Allah SWT. Seperti firman Allah SWT didalam surah al Isra
ayat 33:
85
Yusuf al Qardhawi, Hlm. 754
57
ول خنا ستل ٱمتٱلنف ٱللحرم ة إل ق لٱل ل ا جعن فلم ا نوى وظ كخل ۦووي فف افليس ى ٱم لخ لان ط اۥإ ٣٣ك وصرى
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang benar, dan barang
siapa yang dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui
batas dalam membunuhnya. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat
pertolongan”86
.
Berdasarkan ayat diatas, dapat dipahami bahwa adalah diharamkan bagi
segenap manusia untuk tidak membunuh jiwa manusia lain kecuali dengan alasan
yang benar. Sebegitu juga didalam kasus Euthanasia, walaupun tidak ada disebut
secara tepat didalam nas al Quran dan al Hadis sepakat ahli akademis maupun
religius didalam membahaskan mengenai Euthanasia, berpendapat dengan titik
akhir yang sama yaitu praktek Euthanasia mempunyai hubungan yang kuat
dengan pembunuhan.
Bagi mengokohkan pendapat penulis, terdapat satu Hadis dari Nabi SAW
yang menjelaskan besarnya dosa pembunuhan yaitu:
ال يب نز انذ الل عه أ يضهى قزم ي
Yang berarti: lenyaplah dunia lebih ringan di hadapan Allah SWT daripada
membunuh seorang muslim. (HR at Tirmidzi No. 2438)87
Menurut hadis diatas, dapat kita pahami bahwa bagaimana kedudukan
pembunuhan di kacamata Islam sebagai agama harmoni yang mementingkan
kemuliaan bagi jiwa seseorang. Adalah tidak adil bagi seseorang manusia untuk
peran tuhan sewenangnya dengan mengambil jiwa manusia. Ini juga bertepatan
dengan konsep Maqasid Syari‟yyah yaitu حفظ انفش (menjaga jiwa). Adalah
86
Surah al Isra‟ 17:33, Al quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI,
Cet. 2018) 87
Sunan at Tirmidzi, Hadis No. 2438, (Beirut, lebanon:Dar el Kutub el „almiyah)
58
menjadi kewajiban bagi setiap manusia untuk menjaga jiwa karena manusia
bukanlah pemilik mutlak bagi setiap nyawa.
Justru itu, bagi menyatakan titik akhir bagi analisis yang telah penulis garap,
penulis dapat menyimpulkan bahwa bagi hal yang terkait Euthanasia Aktif adalah
tidak diperkenankan oleh syarak dan bagi Euthanasia Pasif adalah diperbolehkan
oleh syarak tetapi berserta alasan dan kondisi yang telah diperbahaskan.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bagian akhir penulisan ini, penulis akan cuba menyimpulkan beberapa
kesimpulan sebagai titik akhir daripada uraian permasalahan dan pembahasan
yang penulis garap. Kesimpulan-kesimpulan yang penulis maksud adalah seperti
berikut:
1. Terdapat beberapa kasus tentang kematian yang terkait dengan Euthanasia
yang berarti kematian dengan aman tanpa kesakitan. Menurut hukum Islam,
secara gamblang dapat dipahami bahwa hukum terkait Euthanasia secara
umumnya dan disepakati para ulama‟ adalah tidak diperkenankan oleh
syara‟ namun masih ada perbahasan ulama mengenai hukum Euthanasia
yang dibolehkan.
2. Yusuf Qardhawi yang membagikan Euthanasia kepada aktif dan pasif.
Untuk Euthanasia aktif, beliau berpandangan ia haram dilakukan karena ia
termasuk dalam kategori pembunuhan dengan sengaja. Namun, Euthanasia
pasif pula, Yusuf Qardhawi berpendapat dibolehkan karena termasuk dalam
praktik menghentikan obatan dan metode yang diguna oleh beliau adalah
Metode Intiqa‟i. Adapun fatwa yang dikeluarkan oleh Fatwa Kebangsaan
Malaysia yang berpandangan bahwa mempercepatkan kematian melalui
Euthanasia menggunakan cara apa dan bersandarkan kepada apa-apa alasan
adalah haram dan dilarang oleh Islam. Muzakarah juga memutuskan bahwa
tindakan memberhentikan alat pernapasan adalah dibenarkan. Metode yang
telah oleh digunakan Muzakarah adalah Metode Bayani.
3. Analisis yang dapat disimpulkan oleh penulis, penulis lebih cenderung
dengan pendapat dari JAKIM yang menggunakan kekuatan hukum yang
lebih rajih (kuat) dan lebih berhati-hati. Hal ini akan memberi dampak
kepada masyarakat dalam memahami hukum yang telah dikeluarkan.
Berbeda dengan fatwa oleh Yusuf al Qardhawi, Metode Intiqa‟i yang
60
digunakan adalah kurang relevansi dan ditakuti akan mengelirukan
masayarakat. Putusan hukum dari beliau juga tidak mengunakan langsung
dari nash al Quran dan Hadis melainkan lebih mengutamakan pendapat
beliau sendiri.
.
B. Saran-Saran
Di akhir pembahasan ini penulis menyampaikan beberapa saran yang
diharapkan berguna bagi kita, antaranya seperti berikut:
1. Diharapkan agar institusi hukum seperti Fatwa Kebangsaan Malaysia
diangkat martabatnya supaya undang-undang syariah terpelihara dan umat
Islam melaksanakan syariat Islam dengan sebaiknya dalam kehidupan
mereka.
2. Diharap juga Fatwa Kebangsaan Malaysia lebih berperan aktif untuk
mensosialisasikan hasil dari keputusan fatwanya, agar masyarakat
mengetahui secara merata.
3. Diharap juga masyarakat bisa mengetahui lebih dalam tentang hukum dan
dasar hukum yang telah dikeluarkan oleh ulama yang bertanggungjawab dan
Institusi badan hukum seperti Fatwa Kebangsaan Malaysia.
4. Diharap juga agar umat Islam tidak mengambil jalan mudah untuk
menyelesaikan masalah yang timbul tanpa mengambil kira hukum dari
perbuatan atau tindakan yang dilakukan.
5. Ahli medis juga perlu diberi didikan agama yang cukup mengenai seputar
permasalahan yang berkaitan dengan Euthanasia agar mereka tidak
melakukan Euthanasia terhadap pasien mereka.
61
C. Kata Penutup
Demikian uraian dan pembahasan yang dapat ditujukan dalam rangka
penyusunan skripsi yang berjudul “Hukum Euthanasia Atau Mercy Killing
(Studi Perbandingan Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM)
Dan Fatwa Yusuf Al Qardhawi)”. Dalam penulisan ini penulis merasakan yang
terbaik walau bagaimanapun penulis tidak bisa untuk lari dari kesalahan dan
kekhilafan karena penulis adalah seorang manusia berkemungkinan masih banyak
kekurangan. Hal ini juga berlaku karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang
penulis miliki. Oleh karena itu, penulis berbesar hati dan berharap agar semua
pihak dapat memberikan kritikan dan saran-saran yang bersifat membangun demi
perbaikan dan kesempurnaan penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis berharap
dan berdoa kehadrat Illahi agar kehadiran skripsi ini dapat memberi manfaat
kepada masyarakat Islam dan dapat memenuhi persyaratan bagi memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu (S1) Fakultas Syariah, Jurusan Perbandingan Mazhab (PM).
Mudah-mudahan kita semua mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah S.W.T.
Amin ya Rabbal „Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Al Quran Dan Terjemahannya, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Departemen Agama
RI, cet. 2018
Abd Latif muda, Pengantar Usul Fiqh, Kuala Lumpur:Pustaka Salam,1997
Abd Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh wa Khalasah At- Tasyri‟ al-Islami, Beirut:
Darul Fikir al-Arabi, 1995
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam), Jakarta: Pustaka
Amani, 2003
Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh „Alal-Madzahib Al Arba‟ah, Juz 5, Beirut: Darul
Fikr
Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 4
Abu Ishaq Ibrahim bin „Ali al-Syirazi, al-Luma‟ fi Usul al Fiqh, tt, Beirut: Dar al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1985
Abuddin Nata, Achmad Gholib, Fauzan, Fikih Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Jakarta: Salemba Diniyah, 2017
Ahmad Zahro,M.A.Fiqh Kontemporer Buku 1, Pt Qaf Media Kreativa, Mei 2018
Akram Kassab, Metode Dakwah Yusuf Al Qardhawi, Jakarta:Pustaka al Kautsar,
2010
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011
Anton, M. Moeliono, et al, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989
Dewi Lestari, Kamus Keperawatan, Wacana Intelektual, 2018
Gibtiyah, Fikih Kontemporer Ed 2, Depok:Kencana, 2018
H. Ahmad Wardi Muslich, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif Dan
Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2014
Imron Halimy, Euthanasia, Solo: Ramadani, 1990
Kompilasi Pandangan Hukum Jawatankuasa Muzakarah Kebangsaan, Cet 6,
Putrajaya :2018
Muhammad Fattah Hafizullah, Hadith 40 Imam Nawawi, Pustaka Ilmuwan, cet.
Pertama 2016
Mustafa Ahmad al- Zarqa‟, Fatawa, Dimasyq: Dar al-Qalam,1999
Mustafa Dieb al-Bugha, Muhyiddin Mistu, Al Wafi Syarah Hadith Arbain Imam
an-Nawawi, Cet. 1, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2002
Pustaka Mahardika, KUHP dan KUHAP, Yogyakarta: cet. 2017
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor:Politea, 1976
Shahih Muslim, Beirut: Dar el Fiker, 1993
Sunan at Tirmidzi, Beirut, lebanon:Dar el Kutub el „almiyah
Tim Redaksi, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Kitab Undang
Hukum Pidana, Efata Publishing, Cet. V, 2018
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqul Islamiy Wa Adillatuh Juz 6, Damaskuz: Darul Fikr,
1989
Yusuf al Qardhawi, Biografi Fatwa Al Qardhawi, Selangor: Sri Saujana
Marketing, Cet 1, 2019
Yusuf al Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 2, Jakarta:Gema Sani Press,
September 1995
B. Jurnal
Ahmad Zaelani, “Euthanasia Dalam Pandangan Hak Asasi Manusia Dan Hukum
Islam” skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Arifin Rada, “Euthanasia Sebagai Konsekuensi Kebutuhan Sains dan Teknologi,
Jurnal”, Sekolah Tinggi Islam Negeri Ternate
Fajar Nugroho, “Euthanasia Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam” skripsi
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyyah Surakata, 2008
Farah Wahida Mohd Yusuf dan Tamar Jaya Nizar dan Siti Norlina Muhammad
dan Nurain Mohd Nazir, “Euthanasia :Melanggar Etika dan Hak Asasi
Manusia”, Jurnal Teknologi, Ogos 2013
Ilyas Efendi, Euthanasia Ratu Cleopatra Dua Puluh Abad Lalu, dalam Majalah
Kartini, no.369, Edisi 9 s.d. 22 Januari 1989
Wan Mohd Khairul Firdaus bin Wan Khairuldin dan Abdul Hanis bin Embong,
Alqatl bi Dafi‟ al-Syafaqah menurut perspektif Islam: Analisis Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jurnal
C. Lain-Lain
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/Arifin-Rada/Euthanasia-Sebagai-
Konsekuensi-Kebutuhan-Sains-Dan-Teknologi/ Diakses pada 12 November
2018
http://www.Islam.gov.my/Keputusan-Muzakarah-Jawatankuasa-Fatwa-Majlis-
Kebangsaan-Malaysia-mengenai-hukum-Euthanasia-atau-Mercy-Killling
Hlm 121, fatwa nomor 37 bab 4 (Perobatan) Diakses pada 15 November
2018
http://www.Islam.gov.my/mengenai-jakim/profil-jakim/visi-misi-objektif-etika
DIakses pada 10 Juli 2019
http;//rumaysho.com/memilih berobat atau sabar dan tawakkal. Diakses pada 21
September 2019
https://artikelsyamsularif.wordpress.com/2016/03/13/pembunuhan-dan-hukum-
pidana-Islam/ diakses pada 16 september 2019
https://www.eramuslim.com/kontemporer/euthanasia-menurut-hukum-Islam.html
Diakses pada 11 November 2018
Portal Rasmi “jawatankuasa Fatwa Majelis Kebangsaan Bagi Hal Ehwal Agama
Islam Malaysia” , diases pada tanggal 1 Juli 2019 dari www.e-
fatwa.gov.my/jawatankuasa-fatwa-majelis-kebangsaan-bagi-hal-
ehwalagama-Islam-Malaysia.
Wawancara dengan Dr Kamel, Penolong Pegawai Unit Penelitian Fatwa, Jabatan
Kemajuan Islam Malaysia pada 19 0gos 2019
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS SYARIAH Jalan Lintas Jambi-Muaro Bulian KM. 16 Simpang Sungai Duren Kab. Muaro Jambi 36363
Telp/ Fax : (0741) 583183 - 584118 website : www.iainjambi.ac.id
KONSULTASI BIMBINGAN SKRIPSI
Nama : Luqman Hakim Bin Jamaluddin
NIM : 103170024
Pembimbing 1 : Dr.Illy Yanti. M.Ag
Judul : “Euthanasia Atau Mercy Killing (Studi
Perbandingan Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) Dan Fatwa
Yusuf Al Qardhawi)”
Fakultas : Syariah
Jurusan/Program Studi : Perbandingan Mazhab
No Tanggal Konsultasi ke Materi Bimbingan Tanda Tangan
Pembimbing
1 Pembaikan Proposal
2 Pengesahan Proposal
3 Konsultasi untuk
seminar
4 Konsultasi
Pengesahan Judul
5 Konsultasi Bab 1-5
6 Pembaikan Bab 1-5
7 Konsultasi
Pembaikan
Jambi, 10 Okt 2019
Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab
Alhusni, S.Ag.,M.HI
197612252009011017
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN JAMBI
FAKULTAS SYARIAH Jalan Lintas Jambi-Muaro Bulian KM. 16 Simpang Sungai Duren Kab. Muaro Jambi 36363
Telp/ Fax : (0741) 583183 - 584118 website : www.iainjambi.ac.id
KONSULTASI BIMBINGAN SKRIPSI
Nama : Luqman Hakim Bin Jamaluddin
NIM : 103170024
Pembimbing 2 : Dr.Ramlah.M.Pd.I.,M.Sy
Judul : “Euthanasia Atau Mercy Killing (Studi
Perbandingan Fatwa Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) Dan Fatwa
Yusuf Al Qardhawi)”
Fakultas : Syariah
Jurusan/Program Studi : Perbandingan Mazhab
No Tanggal Konsultasi ke Materi Bimbingan Tanda Tangan
Pembimbing
1 Pembaikan
Proposal
2 Pengesahan
Proposal
3 Konsultasi untuk
seminar
4 Konsultasi
Pengesahan Judul
5 Konsultasi Bab 1-5
6 Pembaikan Bab 1-
5
7 Konsultasi
Pembaikan
Jambi, 10 Okt 2019
Ketua Prodi
Perbandingan Mazhab
Alhusni, S.Ag.,M.HI
197612252009011017
LAMPIRAN