Etiologi referat
description
Transcript of Etiologi referat
BAB I
LATAR BELAKANG
Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin > 2 standar
deviasi dari kadar yang diharapkan berdasarkan usia neonatus atau lebih dari persentil 90.
Kondisi ini mengakibatkan kulit pada bayi terlihat lebih kuning. Hiperbilirubinemia
merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir.
Insidensi yang terjadi sebanyak lebih dari 85% dari seluruh neonatus. Hiperbilirubinemia
dapat disebabkan karena peningkatan dari kadar bilirubin direk, bilirubin indirek, ataupun
keduanya.
Hiperbilirubinemia akan menyebabkan kondisi yang disebut jaundice, yaitu
perubahan warna pada kulit, sklera, dan membrane mukosa menjadi lebih kuning.
Jaundice terjadi karena peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah lebih dari 1 mg/dL
bila kadar serum bilirubin total dalam darah kurang dari 5 mg/dL, atau mencapai 20%
dari kadar serum bilirubin total dalam darah bila lebih dari 5 mg/Dl. Jaundice disebabkan
karena obstruksi pada sistem eksresi cairan empedu ke usus halus, menurunnya fungsi
sekresi bilirubin oleh sel hepatosit, dan excessive bilirubin loading pada hati. Bila tidak
ditangani dengan baik dan tepat, masalah penyebab terjadinya hiperbilirubinemia direk
dapat berakibat ke masalah lain yang bersifat berbahaya bagi bayi tersebut, sehingga
penyebab tersebut harus dapat didiagnosis dengan cepat.
Pada negara berkembang seperti Indonesia, khususnya pada kalangan sosio-
ekonomi menengah kebawah, pengetahuan orang tua mengenai jaundice belum terlalu
berkembang, sehingga tidak mengetahui tanda-tanda hiperbilirubinemia awal. Terkadang
bayi yang dibawa ke instansi kesehatan dengan diagnosa jaundice patologis sudah berada
dalam kondisi lanjut. Dengan demikian, pengetahuan dan kemampuan untuk mediagnosa
penyebab dari peningkatan kadar bilirubin direk harus dilatih dan dikembangkan.
Referat mengenai hiperbilirubinemia direk ini kami buat untuk menampilkan
informasi yang lebih mendalam mengenai penyebab, cara mediagnosa, tatalaksana, dan
komplikasi dari hiperbilirubinemia direk.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Hiperbilirubinemia merupakan keadaan dimana meningkatnya kadar bilirubin
dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi 2,
hiperbilirubinemia direk dan indirek. Hiperbilirubinemia indirek adalah apabila serum
level bilirubin > 10 mg/dL. Hiperbilirubinemia direk adalah apabila bilirubin direk > 1
mg/dL apabila bilirubin total < 5 mg/dL, atau bilirubin direk > 20% dari total bilirubin
apabila > 5 mg/dL.1 Hiperbilirubinemia direk tidak pernah normal atau fisiologis pada
usia berapapun, dan terjadi pada 1 : 2500 bayi.2
2.2. Metabolisme Bilirubin
Bilirubin dihasilkan dalam sistem retikuloendotel sebagai hasil akhir dari proses
katabolis sel darah merah, dan dihasilkan melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Selain dari
proses katabolisme sel darah merah, bilirubin juga dihasilkan dari degradasi myoglobin,
sitokrom, dan katalase.3
Pada tahap oksidasi pertama, zat heme dalam sel darah merah akan mengalami
oksidasi sehingga menghasilkan biliverdin, karbon monoksida, dan zat besi. Zat besi akan
kemudian digunakan kembali oleh tubuh, dan karbon monoksida akan diekskresikan oleh
tubuh melalui ekspirasi. Selanjutnya, biliverdin yang larut dalam air akan tereduksi
menjadi bilirubin yang bersifat tidak larut dalam air. Dalam saluran darah, bilirubin akan
berikatan dengan albumin, protein lain, dan eritrosit. Pada bayi yang terganggu proses
pengikatan bilirubin-albumin tersebut akan menyebabkan meningkatnya kandungan
bilirubin bebas dalam darah sehingga dapat menembus membran yang mengandung
lemak seperti blood-brain barrier, menyebabkan keracunan jaringan saraf.3
Bilirubin yang telah mengikat dengan albumin yang mencapai hati akan
ditransport ke dalam sel hati, dan berikatan lagi dengan ligandin. Ligandin
mempengaruhi banyaknya bilirubin yang diserap oleh sel hati, dan dapat dibantu dengan
obat-obatan seperti fenobarbital. Dalam retikulum endoplasma sel hati, bilirubin tidak
terkonjugasi akan berikatan dengan asam glukuronik menjadi bilirubin yang terkonjugasi.
2
Reaksi ini dikatalisasi oleh zat uridin difosfoglukuroniltransferase (UDPGT). Aktivitas
UDPGT rendah pada neonatus yang baru lahir, namun meningkat pada umur 4-8 minggu.
Perubahan ini penting, karena merubah bilirubin yang tidak larut dalam air menjadi
mudah larut dalam air, sehingga dapat disekresikan bersama dengan cairan empedu.3
Cairan empedu bersama dengan bilirubin akan disekresikan ke usus halus,
kemudian akan didegenerasikan oleh bakteri dalam usus besar menjadi tetrapirol yang
tidak berwarna. Sebagian dari bilirubin yang disekresikan akan mengalami dekonjugasi
kembali pada usus halus proksimal oleh enzim B-glukuronidase, yang kemudian diserap
kembali ke dalam sirkulasi tubuh. Proses oksidasi-reduktasi-absorpsi-konjugasi-sekresi-
dekonjugasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.3
Gambar 2.2.1. Metabolisme bilirubinSumber: Lee WS, McKiernan PJ, Neath SV, Preece MA, Baty D, Kelly DA, Burchell B, Clarke DJ Bile
bilirubin pigment analysis in disorders of bilirubin metabolism in early infancy. Arch Dis Child
2001;85:38-42
3
2.3. Etiopatofisiologi
Secara garis besar, peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi (hyperbilirubinemia
direk) dapat disebabkan karena terjadinya 2 hal, yaitu penyumbatan saluran seksresi
cairan empedu (jaundice obstruktif), dan penyakit hepatoseluler (jaundice hepatoseluler).
Pada jaundice obstruktif, terjadi gangguan aliran cairan empedu, yang disebabkan oleh
penyempitan saluran secara mekanik. Saat terjadi penyumbatan pada saluran empedu,
proses sekresi cairan empedu beserta bilirubin terkonjugasi ke dalam usus halus, yang
kemudian akan diekskresikan melalui feses akan terganggu, sehingga terjadi peningkatan
penyerapan kembali bilirubin terkonjugasi ke dalam pembuluh darah, meningkatkan
serum bilirubin dalam darah. Pada jaundice hepatoseluler, terjadi kerusakan pada
hepatosit, sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi hepatosit, yang salah
satu diantaranya merupakan untuk mensekresikan bilirubin terkonjugasi ke saluran
empedu.
2.3.1. Obstruktif (Kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik)
2.3.1.1. Atresia bilier ekstrahepatik (EHBA)
Atresia bilier ekstrahepatik (EHBA) merupakan penyebab tersering dari
hiperbilirubinemia direk pada neonatus. EHBA merupakan hasil dari proses
inflamasi progresif dan destruktif yang mempengaruhi cabang bilier ekstrahepatik
maupun intrahepatik. EHBA sendiri dibagi mejadi 2 grup:2,4
- Fetal embrionic form: merupakan 20% dari kasus atresia bilier. Pada bentuk ini,
saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan Tipe ini mempunyai onset
yang lebih cepat, tidak mempunyai interval bebas jaundice dan biasanya
bersamaan dengan kelainan kongenital lainnya seperti anomali kardiovaskular,
gastrointestinal (malrotasi intestinal, situs inversus abdominal) dan limpa
(polisplenia, asplenia).
- Perinatal/acquired form: merupakan 80% dari kasus atresia bilier. Kelainan ini
biasanya tidak berasosiasi dengan kelainan kongenital. Biasanya dijumpai pada
neonatus aterm, terdapat interval bebas jaundice pada beberapa minggu postnatal.
Kedua bentuk ini mempunyai tanda kardinal yang sama yaitu jaundice,
hepatomegali dan feses akholik. Sebanyak 33% penderita memerlukan
transplantasi hati pada tahun pertama kehidupan, 34% memerlukan transplantasi
4
hati pada usia remaja dan 33% memerlukan prosedur Kasai pada masa
dewasa. 50% dari orang pemderita EHBA dewasa tetap memerlukan
transplantasi hati di kemudian hari. Prosedur Kasai (Roux-en-Y) merupakan
penanganan EHBA dengan cara melakukan bedah bypass dimana dilakukan
penyambungan usus dengan hati.2,4
2.3.1.2. Kista koledokus
Kista koledokus merupakan kelainan kongenital dari duktus bilier. Pada
beberapa pasien dengan kista koledokus, terdapat hubungan anomali antara
common bile duct dan pancreatic duct. Penyatuan abnormal dari dari kedua
duktus ini mengakibatkan hasil sekresi dari pankreas masuk ke dalam common
bile duct, sehingga mengiritasi dan melemahkan dinding dari bile duct, Penyebab
lainnya adalah adanya defek pada epitelialisasi dan rekanalisasi dari pembentukan
bile duct sehingga menyebabkan adanya kelemahan kongenital dari dinding
duktus. Manifestasi klinis dari kista koledokal ini merupakan nyeri, massa intra
abdomen dan ikterus.2,5
2.3.1.3. Perforasi spontan common bile duct
Perforasi spontan dari common bile duct termasuk jarang dan onset
gejalanya sering sekali tidak diketahui, sehingga menyebabkan penyakit ini sulit
untuk dideteksi. Umumnya, neonatus tersebut lahir dengan keadaan yang baik,
namun ketika mulai masuk di minggu 1 kehidupan, gejala seperti jaundice ringan
yang fluktuatif, feses akholik, urin gelap, dan gejala nonspesifik lainnya seperti
kenaikan berat badan yang buruk, muntah yang sering dan irritable. Tanda yang
lebih jarang namun khas seperti distensi abdomen, bile-staining hidrocele.6
2.3.1.4. Massa
Massa berupa batu atau tumor yang dapat menyumbat bagian distal dari
common bile duct dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk dengan gejala
seperti jaundice, feses akholik dan urin berwarna gelap.2
5
2.3.2. Excessive bilirubin load(inspissated bile duct syndrome)
Kelainan langka ini merupakan obstruksi parsial atau komplit dari sistem
bilier dikarenakan oleh penebalan dinding duktus atau terdapat sludge pada
bagian distal dari common bile duct. Kelainan ini sering dijumpai bersamaan
dengan cystic fibrosis, erythroblastosis fetalis dan total parenteral nutrition.
Sludge berupa kolesterol atau pigmen yang terbungkus dalam mukus juga sering
menjadi faktor obstruktif pada kelainan ini. Sludge tidak sama dengan batu
empedu, akan tetapi ada kemungkinan bahwa sludge tersebut dapat berkembang
menjadi batu empedu.2,7
Beberapa faktor resiko dari inspissated bile duct syndrome ini adalah berat
badan rendah, neonatus yang diberi ASI, neonatus dengan ibu penderita diabetes,
neonatus laki-laki, ras Asia timur, dan populasi yang tinggal di daerah dataran
tinggi. Inspissated bile duct syndrome biasanya tidak menyebabkan gejala dan
dapat hilang timbul secara tiba tiba. Apabila partikel sludge tersebut berkembang
menjadi batu empedu yang lebih besar, maka dapat dijumpai rasa nyeri pada
abdomen, mual dan muntah. Tatalaksana dari kelainan ini adalah dengan
menurunkan level bilirubin dari neonatus dengan fototerapi dan apabila tidak
berhasil, maka perlu dilakukan kolesistektomi dan lavase duktus bilier. 2,7
2.3.3. Hepatoseluler
2.3.3.1. Idiopathic neonatal hepatitis (INH)
Idiopathic neonatal hepatitis (INH) atau sering juga disebut sebagai giant
cell hepatitis sering menjadi penyebab dari kolestasis neonatal. Penyebab
kerusakan hati ini tidak diketahui sehingga disebut sebagai idiopatik. Untuk
penegakan diagnosa dari INH, neonatus perlu didapatkan jaundice dalam jangka
waktu yang lama dan pada biopsi ditemukan multinucleated giant hepatocytes,
nekrosis hepatosit fokal. Jaundice umumnya hilang pada umur ke 3 - 4 bulan.8
2.3.3.2. Gangguan duktus biliaris intrahepatik
1. Allagile Syndrome (AGS)
6
Merupakan gangguan dimana terjadi kekurangan duktus bilier intrahepatik
dimana terjadi mutasi pada gen Jagged 1 (JAG1) dan diturunkan secara autosomal
dominan. Pada AGS, duktus bilier intahepatik melebar, mengalami malformasi,
dan jumlahnya berkurang. Hal ini menyebabkan penumpukan empedu di hati dan
menyebabkan terjadinya scar yang akan menghalangi hati untuk bekerja secara
maksimal. Kerusakan pada hati ini akan menyebabkan munculnya jaundice dan
pasien dapat mengeluhkan gatal pada kulit.2,9
Gambar 2.3.3.2.1. Peculiar face AGSSumber: http:/ghr.nlm.nih.gov/condition/alagille-syndrome
AGS biasanya muncul dalam usia 3 bulan. Diagnosis ditentukan dengan
biopsi hati dimana ditemukan penurunan jumlah duktus biliar intrahepatik. Gejala
lain yang menyertai antara lain adanya stenosis pulmonal, peculiar face (dahi
lebar dan menonjol, deep-set eyes, dagu runcing), defek arkus vertebrae / butterfly
shape.2,9
2. Nonsyndromic paucity of the intrahepatic bile ducts
Seperti halnya AGS, pada penyakit ini terjadi penurunan jumlah duktus
bilier intrahepatik, namun tidak memberikan manifestasi. Penentuan diagnosis
pada penyakit ini ditentukan dengan biopsi hati. Penyakit ini dapat berhubungan
7
dengan beberapa kondisi klinis lain seperti defisiensi alpha-1 antytitrypsin,
fibrosis kistik, infeksi kongenital oleh cytomegalovirus atau rubela, atau
abnormalitas kromosom.10
3. Fibrosis hepatis kongenital dengan kista duktus bilier (Caroli disease)
Merupakan penyakit fibropolycystic dan merupakan manifestasi hepatik
dari autosomal recessive polycystic kidney disease (ARPKD). Kelainan ini
ditandai dengan dilatasi segmental dari duktus bilier besar dan berhubungan
dengan fibrosis hepatik kongenital. Pada Caroli disease dapat menyebabkan
pembentukan kista, abnormalitas bilier, hipertensi portal. Abnormalitas bilier
akan menyebabkan penyumbatan dari aliran empedu sehingga akan
bermanifestasi sebagai jaundice.11
Gambar 2.3.3.2.1 Caroli DiseaseSumber: Sato Y, Shan Ren X, Nakanuma Y. Caroli’s Disease: Current Knowledge of Its Billiary
Pathogenesis Obtained from an Orthologous Rat Model. International Journal of Hepatology . Vol 2012
2.3.3.3. Obat-obatan dan Toksin
1. Total Parenteral Nutrition Induced Cholestasis
Kondisi ini sering dijumpai pada bayi prematur atau bayi dengan very low
birthweight. Patogenesis terjadinya kolestasis masih belum jelas, namun ada
beberapa dugaan mengenainya. Pertama, kurangnya stimulasi enteral
menyebabkan penurunan sekresi hormon pertumbuhan yang seharusnya dapat
mempromosikan maturasi enterosit. Kedua, juga terjadi penurunan sekresi
hormon di usus seperti kolesistokinin yang akan menyebabkan aliran empedu
menjadi statik dan penurunan siklus enterohepatik. Selainan itu, usus yang
mengalami statis akan menyebabkan mudahnya pertumbuhan bakteri. Penelitian
8
menunjukkan endotoksin dari bakteri gram negatif dapat menghambat sekresi
bilier yang kemudian akan menyebabkan kolestasis, terutama pada bayi
prematur.12,13
Diketahui bahwa pada nutrisi parenteral yang memiliki dosis karbohidrat
atau glukosa tinggi juga lebih mudah menyebabkan terjadinya kolestasis. Hal ini
dikarenakan dengan semakin tingginya kadar glukosa, maka kadar insulin dan
glukagon dalam plasma dan juga hepatosit akan meningkat. Hal ini akan
menyebabkan peningkatan infiltrasi lemak ke periportal. Selain itu ada penelitian
yang menyatakan pada pasien yang menerima TPN dengan dosis asam amino dan
lemak yang lebih tinggi akan lebih mudah terjadi kolestasis, namun hal ini masih
kontroversial.12,13
Diketahui menyebabkan atrofi pada usus sehingga mengganggu fungsi
penyerapan.. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai adalah hepatomegali dan
feses berwarna pucat (akholic feces). TPN juga diketahui dapat menyebakan
biliary sludge.
2. Medikasi
Ada beberapa obat yang diduga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk pada bayi. Penggunaan Carbamazepin atau Metamphetamine pada ibu
pasien dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Selain itu, bayi yang terkena
paparan pada agen antimikroba terutama Ceftriaxone, Fluconazole, dan
Micafungin juga dapat memicu terjadinya kolestasis.14
3. Fetal Alcohol Syndrome (FAS)7
Merupakan gangguan yang muncul akibat adanya paparan atau konsumsi
alkohol selama masa perinatal. FAS didiagnosa apabila terdapat 3 kriteria :
defisiensi pertumbuhan perinatal / postnatal, 3 tanda kardinal pada wajah
(penurununan panjang palpebra, filtrum mendatar, bibir atas tipis), defisit susunan
saraf pusat, baik struktural, neurogikal, atau fungsional.15
9
Gambar 1.3.2.3.1. Tanda kardinal wajah pada penderita FASSumber: Williams JF, Smith VC. Fetal Alcohol Spectrum Disorders. American Academy
of Pediatrics. 2015. November; 136: 1395-1406
2.3.3.4. Gangguan Endokrin
1. Hipotyroidisme
Pada neonatus dengan hipotiroidisme, bisa ditemukan early onset
hiperbilirubinemia direk dan fisiologis. Neonatal cholestatic hepatitis sering
berhubungan dengan defisiensi hormon pituitary. Defisiensi hormon kortisol dan
pseudohypoaldoteronism 12 juga merupakan penyebab dari kolestatik hepatitis.
Hipotiroidism dapat menyebabkan pembentukan sludge akibat tiroksin dan
triiodothyronine yang menyebabkan inhibisi kontraksi sphingter Oddi sehingga
terjadi gangguan pengosongan isi kantung empedu. Pembentukan sludge juga
dapat berhubungan dengan sepsis, nutrisi parenteral, severe hemolytic disease,
gangguan metabolik, dan stenosis pyloric.16
Pembentukan sludge akibat hipotiroidisme harus dibedakan dengan
penyebab lain. Diagnosis ditegakkan dengan pemberian L-thyroxine, dimana
sludge akan menghilang. Pada follow up dengan pemeriksaan laboratorium, tidak
terjadi penurunan hemoglobin dan tidak terjadi peningkatan level bilirubin.16
2.3.3.5. Kelainan Metabolik
1. Kelainan metabolisme asam amino
10
- Tirosinemia
Tirosinemia merupakan kelainan genetik yang ditandai dengan adanya
gangguan pemecahan dari asam amino tirosin yang merupakan bahan dasar
dari protein. Mutasi dari gen FAH, TAT dan HPD menyebabkan penurunan
aktifitas dari enzim yang memecah tirosin sehingga tirosin dan dan derivat
produknya. Tipe 1: merupakan tipe tirosinemia terberat. Gejala dari kelainan
ini adalah kegagalan dalam berkembang dikarenakan asupan makanan
dengan protein tinggi dapat mengakibatkan diare dan muntah. Neonatus dan
bayi dengan tirosinemia akan mempunyai gejala berupa jaundice, cabbage-
like odor, dan lebih mudah untuk mengalami perdarahan. Tipe 1 dapat
berujung kepada kerusakan hati dan ginjal, riketsia, dan peningkatan insidensi
terjadi karsinoma hepatoseluler. Tipe 2: merupakan tipe dimana kelainan ini
menyerang mata, kulit dan perkembangan mental. Tipe 3: tipe yang
menyebabkan disabilitas intelektual, kejang dan ataxia intermiten.17
2. Kelainan metabolisme lipid
- Gaucher disease
Merupakan kelainan yang diturunkan yang diakibatkan dari mutasi gen
GBA. Fungsi dari gen GBA adalah untuk memproduksi enzim beta
glukoserebrosidase untuk memecah substansi lemak berupa
glukoserebrosidase menjadi molekul lebih sederhana berupa keramide.
Tanpa enzim ini, maka glukoserebrosidase akan tertumpuk dalam hati
sampai dengan level toksik dan akan merusak hati.18
- Niemann-Pick disease
Merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi pada gen SMPD1. Gen
ini berfungsi untuk memproduksi enzim asam sphingomyelinase yang
berguna untuk konversi sphingomyelin menjadi keramid yang apabila
tertumpuk dalam hati sampai dengan level toksik dan akan merusak hati.19
- Wolman syndrome
Merupakan kelainan diturunkan yang langka dikarenakan mutasi dari gen
LIPA yang berfungsi untuk memproduksi enzim lysosomal acid lipase.
11
Enzim ini berguna untuk memproses cholesteryl esters dan trigliserida.
Akumulasi dari lemak yang menumpuk di hati ini akan menyebabkan fatty
liver yang akan berujung kepada kerusakan hati.20
3. Kelainan metabolisme karbohidrat
- Galaktosemia
Galaktosemia adalah kelainan metabolik genetik langka yang
mempengaruhi kemampuan individu untuk memetabolisme galaktosa.
Galaktosemia merupakan kelainan resesif autosomal yang diturunkan yang
mengakibatkan kekurangan enzim GALK, GALT dan GALE yang berguna
untuk mendegradasi galaktosa. Apabila enzim ini kurang, maka terjadi
akumulasi galaktosa dalam hati sampai dengan level toksik dan akan merusak
hati.21
- Intoleransi fruktosa herediter
Merupakan kelainan dimana melibatkan mutasi dari gen ALDOB. Mutasi
ini mengakibatkan kekurangan produksi enzim aldolase B yang berfungsi
untuk memecah fruktosa-1-phosphate menjadi glyceraldehyde dan
dihydroxyacetone phosphate. Penumpukan molekul ini dalam hati sampai
dengan level toksik dan akan merusak hati.22
- Glycogen Storage Disease (GSD)
Merupakan kelainan defek dari proses sintesis glikogen. Terdapat 13 jenis
GSD dan yang paling bermakna adalah GSD tipe V dimana terjadi
kekurangan glycogen phosphorylase otot dan dapat menyebabkan anemia
hemolitik.23
4. Kelainan metabolisme asam empedu dan transpor ekskresi
Asam empedu disintesis di hati dari kolesterol melalui reaksi kompleks 14
enzim. Kegagalan metabolisme asam empedu akan mencegah pembentukan
asam empedu normal sehingga terjadi penumpukkan asam empedu dan
metabolit lainnya. Kegagalan untuk sintesis asam empedu ini akan
menurunkan laju pengosongan dari asam empedu dan menurunkan solubilisasi
12
intraluminal dari lemak. Penumpukan asam empedu akan menjadi toksik
terhadap hepatosit.2
5. Kelainan metabolisme peroksisomal
- Zellweger syndrome
Merupakan kelainan genetik dimana terdapat setidaknya mutasi 12 gen.
Gen tersebut berguna untuk memproduksi peroxins yang berguna untuk
formasi dan kerja dari peroksisom. Peroksisom berguna untuk memecah
asam lemak dan komponen toksik lainnya. Apabila gen ini tidak ada, maka
asam lemak dan komponen toksik lainnya akan menumpuk dalam hati
sampai dengan level toksik dan akan merusak hati.24
6. Kelainan transpor bilirubin
- Dubin-Johnson syndrome
Merupakan kelainan autosomal resesif dikarenakan adanya defek transfer
endogen dan eksogen konjugat anion dari hepatosit menuju empedu. Kelainan
ekskresi bilier dari bilirubin glukoronid yang disebabkan oleh mutasi gen
MRP2.25
- Rotor syndrome
Kelainan genetik akibat mutasi dari gen SLCO1B1 SLCO1B3 yang
berguna untuk memproduksi anion organik OATP1B1 dan OATP1B3. Kedua
protein ini berguna untuk transpor bilirubin dan komponen lainnya dari darah
ke dalam hati. Apabila gen ini tidak ada, maka transpor bilirubin akan
terganggu dan akan terjadi penumpukan di hati.26
7. Defisiensi -1-antitripsin
Merupakan kelainan yang diakibatkan oleh mutasi gen SERPINA1 yang
berfungsi untuk membentuk protein -1-antitrypsin untuk melindungi tubuh
dari enzim neutrofil elastase. Neutrofil dihasilkan dari sel darah putih untuk
melawan infeksi namun dapat menyerang jaringan normal apabila tidak dikontrol
oleh -1-antitrypsin.2
13
8. Cystic Fibrosis
Cystic fibrosis adalah kelainan genetik ditandai dengan penumpukan
mukus padat dan lengket yang dapat merusak organ tubuh. Mucus ini dapat
menyumbat saluran pankreas sehingga pengeluaran enzim terhambat sehingga
aliran. balik dari enzim tersebut akan merusak organ. Mutasi dari gen CTFR
menyebabkan kelainan ini. Gen CTFR berfungsi untuk transpor ion klorida dan
apabila kekurangan, maka dapat menganggu regulasi ion klorida dan air melalui
membran sel sehingga mengakibatkan organ memproduksi mukus yang padat dan
lengket.2
2.3.3.6. Infeksi
Infeksi viral yang sering menyebabkan gangguan hiperbilirubinemia pada
neonatus dikenal sebagai infeksi “TORCH”, yang merupakan akronim dari virus
Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex, dan HIV.27 Virus
tersebut dapat menular secara vertikal, dari ibu ke anak melalui pertukaran darah
pada plasenta, melali cairan vagina atau darah selama proses persalinan, dan
melalui pemberian air susu ibu (ASI). Penularan dari salah satu virus tersebut
dapat menyebabkan serangkaian gejala, antara lain demam, munculnya ruam
berwarna merah pada kulit, pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran
tubuh, gangguan pendengaran, dan pembesaran hepar dan empedu. Infeksi pada
hepatosit yang menyebabkan pembesaran hepar dapat meningkatkan nilai
bilirubin terkonjugasi dalam darah, karena diperkirakan terdapat cholangitis
dalam hepar yang menyebabkan gangguan dari pengaliran sekresi enzim hati ke
luar dari hati. Penyumbatan tersebut mengakibatkan penumpukan bilirubin
terkonjugasi dalam hepar, sehingga dapat kembali masuk ke dalam aliran darah,
mengakibatkan jaundice.28,29,30
Selain pada infeksi TORCH, hiperbilirubinemia terkonjugasi juga dapat
diakibatkan oleh sepsis bakterial, khususnya pada infeksi saluran kemih. Pada
kondisi shok sepsis, terjadi multiple organ dysfunction, dengan hepar sebagai
salah satu organ yang mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan karena dalam
periode syok sepsis, hepar bekerja lebih banyak terhadap mempertahankan respon
14
inflamasi tubuh dengan cara meningkatkan sintesis protein mediator inflamasi
akut yang dikenal sebagai interleukin-6. Peningkatan sintesis protein mediator
inflamasi akut ini akan menyebabkan peningkatan produksi CRP, -1-antitripsin,
fibrinogen, prothrombin, dan kadar haptoglobin, serta mengurangi produksi
albumin, transferrin, dan antitrombin. Peningkatan produksi mediator inflamasi
ini mengakibatkan penurunan fungsi biotransformasi hepar dan penurunan
aktivitas sitokrom p450, sehingga kemampuan hepar untuk mengekskresi zat
endobiotik dan xenobiotik juga menurun. Pengumpulan mediator inflamasi dalam
hepar akan mengakibatkan intrahepatic cholestasis, mengganggu saluran cairan
empedu yang dihasilkan oleh hepar.30,31
2.3.3.7. Kelainan Vaskular
- Budd-Chiari syndrome
Kelainan dimana terdapat oklusi dari vena hepatika. Trias klasik dari
kelainan ini adalah nyeri abdomen, asites dan hepatomegali.32
2.3.3.8. Kelainan kromosom trisomi 21 dan trisomi 182
15
2.4. Diagnosis
Gambar 2.4.1. Pendekatan diagnosis pada neonatus aterm dan pretermSumber: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology. Management,
Procedurs, On-Call Problems, Diseases, Drugs. 7th ed. McGraw Hill Education. 2013.
Untuk mendiagnosis penyakit kuning atau jaundice dibutuhkan melakukan
pemeriksaan yang lengkap, mulai dari anamnesis yang baik hingga pemeriksaan
penunjang yang tepat, karena dengan diagnosis yang tidak tepat dan pengobatan yang
terlambat dapat berakibat pada komplikasi yang bersifat letal.
Pada anamnesa, pertanyaan yang butuh diajukan antara lain:
16
- Onset terjadinya perubahan warna kulit. Pada hiperbilirubinemia direk,
jaundice biasanya muncul pada usia 2-3 minggu, walaupun pada kasus tertentu
seperti atresia bilier, jaundice dapat muncul lebih cepat
- Adanya gejala prodromal sebelum muncul jaundice. Hal ini menunjukkan
kemungkinan penyebab jaundice adalah infeksi seperti TORCH
- Adanya keluhan lain pada pasien seperti nyeri pada bagian perut, penurunan
berat badan, atau gatal pada kulit
- Perubahan warna pada urin atau feses. Feses penderita hiperbilirubinemia akan
berwarna akholik (pucat) dan juga warna urin yang lebih gelap dari neonatus
normal
Gambar 2.4.2. Infant Stool CardSumber: Brumbaugh D, Mack C. Conjugated Hyperbilirubinemia in Children. Pediatrics in
Review. July. 2012. Vol 33.
- Obat-obatan yang dikonsumsi atau terapi yang diterima baik oleh pasien
maupun oleh ibu selama masa kehamilan. Termasuk diantaranya bila pasien
menerima terapi TPN.
Pada pemeriksaan fisik, yang perlu ditemukan antara lain:
- Inspeksi :
17
o warna kulit dari pasien tersebut. Dengan pencahayaan yang bagus, kulit
neonatus dapat terlihat berwarna kuning apabila total serum bilirubin
bernilai di atas 4 mg/dL atau 68 μmol/L. Nilai total serum bilirubin dapat
diperkirakan nilainya dari ekstensifitas jaundice yang dialami oleh pasien.
Apabila jaundice terdapat pada wajah, nilai TSB sekitar 5 mg/dL, pada
dada bagian atas, nilasi TSB sekitar 10 mg/dL, pada bagian abdomen, nilai
TSB sekitar 12 mg/dL, dan pada telapak tangan atau kaki, nilai TSB
sekitar 15 mg/dL.
o Kelainan pada kulit, misalnya terdapat ruam kemerahan (infeksi) atau
gatal (Allagile Syndrome/AGS)
o Kelainan khas seperti pada wajah penderita FAS atau peculiar face pada
penderita AGS
- Pada palpasi dan perkusi, umumnya terjadi hepatomegali. Bisa juga ditemukan
distensi abdomen, massa intra abdominal
Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa tes yang dapat dilakukan, antara lain:
- Transcutaneous bilirubinometry merupakan suatu metode non-invasif yang dapat
dilakukan untuk menilai angka total serum bilirubin pada pasien, yang akurat,
yang bekerja dengan cara menilai panjang gelombang warna kulit dari bayi
tersebut, lalu menilai banyak bilirubin yang terkandung dalam kulit pasien. Pada
jaundice ringan, transcutaneous bilirubinometry cukup untuk menilai angka total
serum bilirubin pada pasie, namun apabila hasil dari transcutaneous
bilirubinometri menunjukan jaundice sedang, dibutuhkan pemeriksaan lanjutan
untuk mengetahui angka pasti total serum bilirubin pada darah pasien, dan pada
jaundice berat, transcutaneous bilirubinometri merupakan metode penilaian yang
lebih cepat untuk menilai perkiraan total serum bilirubin dan kesuksesan
pengobatan yang dijalani.
- Pemeriksaan darah lengkap juga dibutuhkan untuk mendiagnosis atau
memperkirakan terjadinya hiperilirubinemia. Yang dapat diperiksa antara lain:
o Nilai hemoglobin dan hematokrit
18
o Nilai TSB : kondisi hiperbilirubinemia pada neonatus dinyatakan apabila
nilai TSB sudah di atas 2 mg/dL.
o Nilai bilirubin terkonjugasi.
o Penilaian serum transaminase. Peningkatan serum transaminase dapat
menunjukkan lokasi obstruksi, apakah intrahepatik atau ekstrahepatik
Obstruksi ekstrahepatik : umumnya, level serum aspartat
transaminase (AST) umumnya tidak meningkat, bila terjadi
peningkatan biasanya hanya bersifat ringan-sedang (<10x batas
atas nilai normal). Namun bila obstruksi ekstrahepatik terjadi
secara akut, dapat terjadi peningkatan AST yang berat yang akan
segera turun dalam 72 jam.
Obstruksi intrahepatik : terjadi peningkatan AST maupun ALT
(alanin transaminase). Umumnya AST lebih tinggi dari ALT. Bila
AST dan ALT meningkat dalam jumlah yang sama, maka diduga
pasien mengalami kerusakan hepar akibat obat,
o Nilai alkaline fosfatase (ALP) dan gamma-glutamil transpeptidase (GGT)
juga dapat dinilai untuk mendiagnosis sumbatan pada saluran empedu.
Peningkatan jumlah ALP dapat mendiskriminasikan penyebab obstruksi
bilier, antara intrahepatik atau ekstrahepatik. Pada penyebab ekstrahepatik,
ALP dapat meningkat lebih dari 3x dari nilai normal.
- USG untuk melihat adanya batu empedu atau obstruksi pada saluran empedu
- CT-Scan atau MRI dapat dilakukan untuk melihat adanya obstruksi atau sumbatan
pada saluran empedu.
2.5. Tatalaksana
Pada penderita hiperbilirubinemia direk penting untuk mengetahui kondisi yang
membutuhkan terapi segera, antara lain : sepsis. Pada kondisi ini segera lakukan kultur
dan berikan regimen antibiotik.
a. Adanya tanda infeksi saluran kemih. Bila terdapat tanda adanya infeksi saluran
kemih, segera berikan antibiotik.
19
b. Gangguan metabolik seperti galaktosemia, tyrosinemia, hematochromatosis.
Pada kondisi ini pasien harus melakukan diet bebas laktosa dan bebas glukosa.
Sedangkan pada kondisi hematochoramtosis, pasien membutuhkan terapi
suportif dengan chelation dan agen lainnya. Bila kondisi berat dapat
dipertimbangkan dilakukan transplantasi hati.
c. Hipotiroidism. Tujuan terapi adalah memastikan pertumbuhan dan
perkembangan pasien dalam batas normal, menjaga kadar TSH dalam batas
normal, serta menjaga kadar T4 atau FT4 pada batas atas kisaran normal. Pasien
dapat diberikan Levothyroxine. Dosis awal diberikan 10-15mcg/kgBB/ hari per
oral. Sediaan Levothyroxine yang ada adalah pil, sehingga pada anak-anak dan
bayi sering dihancurkan dan diberikan bersamaan dengan ASI, formula atau air
mineral. Di Eropa terdapat sediaan cair 5 mcg / tetes. Tujuan dari pengobatan
ini adalah untuk menjaga konsentrasi T4 diatas kisaran normal (10-16 mcg/dL),
FT4 (1,4-2,3 mg/dL), dan serum TSH dalam batas low-normal (0,5-2 mU/L).
d. Gangguan hemolitik / hemolisis. Terapi yang diberikan sesuai dengan
etiologinya, misalnya dengan pemberian vitamin K.
e. Hypopituarism. Pada kondisi ini dilakukan terapi cairan, elektrolit dan
hormone replacement.
f. Infeksi intrautrine. Terapi yang diberikan sesuai dengan etiologi, misalnya
dengan pemberian antibiotik atau antivirus bila perlu.
Secara umum, terapi hiperbilirubinemia direk terdiri dari management nutrisi,
terapi medikamentosa dan tindakan operatif.
Pada kondisi dimana pasien diberikan nutrisi parenteral total (Total Parenteral
Nutrition / TPN) selama 2 minggu dan tidak disusui, maka dapat terjadi kondisi yang
dinamakan parenteral nutrition-associated cholestasis (PNAC). Bila kondisi ini terjadi,
maka hentikan pemberian TPN atau dapat diganti dengan nutrisi parenteral parsial
(dikombinasikan dengan pemberian nutrisi enteral). Pemberian nutrisi enteral dapat
mengurangi insidensi dan kegawatan dari PNAC. Sebagian besar pasien akan mengalami
perbaikan kolestasis dalam 1-3 bulan setelah pemberian makanan secara normal / enteral.
Pemberian phenobarbital, asam ursodeoxycholic dan kolesistokinin masih kontroversial.
20
Sedangkan pemberian eritromisin diduga dapat membantu untuk mencegah dan
mengobati PNAC dengan meningkatkan motilitas. Emulsi minyak ikan berbasis lemak
juga diduga dapat menangani cholestasis akibat TPN, namun belum tersedia. Satu-
satunya tatalaksana yang diketahui efektif adalah menghentikan pemberian nutrisi
parenteral dan menggantinya dengan pemberian nutrisi enteral.
Pada penderita hiperbilirubinemia direk secara umum pasien membutuhkan susu
formula khusus yang mengandung medium chain triglycerides (MCTs) yang dapat
diabsorbsi lebih baik dibanding susu formula lainnya karena tidak membutuhkan kerja
dari garam bilier. MCTs antara lain Enfaport dan Pregestimil. Suplementasi MCTs dapat
diberikan pada pasien yang masih menyusui. Selain itu dapat diberikan suplementasi
vitamin A, D, E dan K. Vitamin K terutama diberikan bila terdapat tendensi perdarahan.
Diet bebas fruktosa dan glukosa dapat mencegah perkembangan sirosis dan
manifestasi galatosemia serta intoleransi fruktosa. Pembatasan diet juga dapat menangani
tyrosinemia namun biasanya kurang bermakna.
Terapi medis biasanya bersifat suportif juga sebaiknya ditujukan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta menangani komplikasi kolestasis
kronis seperti pruritus, malabsorbsi, defisiensi nutrisi dan hipertensi portal. Terapi medis
yang dapat diberikan antara lain
Ursodiol (Ursodeoxycholic acid [UDCA], Actigall). Ursodiol merupakan
asam empedu dihydroxy bekerja dengan 2 cara yaitu mensubstitusi asam
empedu menjadi bersifat hidrofobik yang akan menurunkan kandungan
kolesterol pada empedu dan batu empedu dengan cara mereduksi sekresi
kolesterol dari hepar dan juga menurunkan absorbsi kolesterol pada usus.
Ursodiol juga dapat menstimulasi aliran ekskresi empedu. Ursodiol diketahui
dapat menurunkan kadar aminotransferase pada pasien dengan viral hepatitis
dan menurunkan biochemical markers serta memperlambat progesifitas
fibrosis hepatik pada PFIC. Dosis yang direkomendasikan pada pasien
dengan atresia bilier adalah 10-15 mg/kgBB/ hari. Sedangkan pada pasien
dengan cholestasis akibat TPN diberikan 30 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3
dosis. Efek samping yang dapat terjadi antara lain diare, ruam, konstipasi,
21
stomatitis, mual, muntah dan nyeri abdomen. Namun efek samping ini dapat
segera ditangani dengan menurunkan dosis pemberian.
Phenobarbital. Cara kerja phenobarbital adalah dengan meningkatkan sintesis
asam empedu, meningkatkan aliran empedu, dan menginduksi enzim
mikrosomal hepatis. Dosis yang direkomendasikan adalah 3-8 mg/kgBB/ hari
per oral dibagi dalam 2-3 dosis dengan dosis maksimal 12 mg/kgBB/hari.
Penurunan jumlah asam empedu biasanya dapat terlihat pada hari ke 2
pemberian.
Cholestyramine. Obat ini bekerja dengan mengikat asam empedu pada lumen
intestinal, sehingga menurunkan kadar empedu yang mengalami reabsorbsi
dan resirkulasi enterohepatik. Selain itu Cholestyramine juga meningkatkan
ekskresi empedu lewat fekal dan meningkatkan sintesis kolesterol menjadi
asam empedu oleh hepar, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol. Dosis
yang diberikan adalah 240 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Efek samping
yang dapat terjadi antara lain mengikat vitamin yang larut lemak, asidosis
metabolik dan konstipasi.
Rifampin. Merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat bakteriostatik
pada mycobacteria, Neisseria meningiditis dan kokus gram positif, serta dapat
digunakan bersamaan dengan antibiotik lainnya dalam menangani infeksi
oleh golongan stafilokokus. Rifampin terapi yang efektif untuk menangani
pruritus akibat kolestasis, namun praktik penggunaannya pada neonatus
masih sedikit. Dosis yang diberikan 5-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain anorexia, muntah, diare, ruam,
serta gatal. Selain itu perlu dilakukan pemantauan terhadap hepatotoksisitas
dan reaksi hipersensitivitas yang mungkin terjadi, seperti gagal ginjal, anemia
hemolitik, dan trombositopenia.
Terapi bedah yang mungkin dilakukan adalah prosedur Kasai dan transplantasi
organ hati. Prosedur Kasai atau Kasai portoenterostomy dilakukan untuk memungkinkan
adanya aliran empedu pada pasien yang didiagnosis dengan atresia bilier. Prosedur ini
mempunyai kemungkinan yang paling besar untuk mengembalikan aliran empedu dan
memiliki infant liver longest term-survival. Hasil optimal akan didapatkan bila prosedur
22
ini dilakukan sebelum pasien berusia 8 minggu. Sedangkan prosedur transplantasi organ
hati merupakan pilihan terakhir bila terjadi gangguan hati stadium akhir. Di Amerika
Serikat, atresia bilier merupakan indikasi dilakukannya transplantasi hati. Komplikasi
jangka panjang yang dapat terjadi antara lain kondisi immunocompromised, infeksi, gagal
ginjal, dan retardasi pertumbuhan.33
Gambar 2.5.1. Prosedur Kasai (Roux-en-Y)Sumber: Harb R, Thomas DW. Conjugated Hyperbilirubinemia. AAP. 2007;28(3):822-829.
2.6. Komplikasi dan prognosis
Hiperbilirubinemia direk tidak berikatan dengan jaringan neural dan karena tidak
dapat menembus sawar darah otak, maka hiperbilirubinemia direk tidak dapat menjadi
kern icterus atau bentuk toksik lainnya. Morbiditas dan mortalitas pada
hiperbilirubinemia direk berpengaruh kepada penyakit atau kelainan yang
melatarbelakangi hiperbilirubinemia direk tersebut.2
Pada penderita hiperbilirubinemia direk karena atresia bilier yang dilakukan Kasai
portoenterostomy mengalami perbaikan jaundice sebesar 70% bila prosedur dilakukan
sebelum usia 60 hari, 40-50% bila dilakukan pada usia 60-90 hari, 25% bila dilakukan
pada usia 90-120 hari dan hanya sebesar 10-20% bila dilakukan pada usia lebih dari 120
hari.22
23
KESIMPULAN
Hiperbilirubinemia direk adalah kondisi dimana jumlah bilirubin terkonjugasi
dalam darah lebih dari 1 mg/dL bila kadar serum bilirubin total kurang dari 5 mg/dL atau
lebih dari 20% kadar serum bilirubin total bila kadar serum bilirubin total lebih dari 5
mg/dL. Hiperbilirubinemia direk dapat terjadi karena obstruksi yang meliputi intahepatik
kolestasis dan ekstrahepatik kolestasis, gangguan hepatoseluler dan excessive bilirubin
load. Hiperbilirubinemia direk dapat menimbulkan gejala jaundice, hepatomegali,
perubahan warna feses menjadi akholik dan perubahan warna urin menjadi lebih gelap.
Hiperbilirubinemia direk memang tidak terlalu sering terjadi (1:2500 kelahiran
hidup) namun harus segera didiagnosa dan ditangani dengan cepat agar tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut. Penanganan hiperbilirubinemia direk dapat dengan menggunakan
obat-obatan ataupun dengan terapi operasi (prosedur Kasai).
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, Management, Procedures,
On-Call Problems, Diseases adn Drugs. McGraw-Hill. 7th ed. 2013.
2. Harb R, Thomas DW. Conjugated Hyperbilirubinemia. AAP. 2007;28(3):822-
829.
3. Lee WS, McKiernan PJ, Neath SV, Preece MA, Baty D, Kelly DA, Burchell B,
Clarke DJ Bile bilirubin pigment analysis in disorders of bilirubin metabolism in
early infancy. Arch Dis Child 2001; 85:38-42
4. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. J Pediatr Gastrol Nutr. 2006;42:190-5.
5. Mishra A, Pnt N, Chadha R, Choudhury R. Choledochal Cysts in Infancy and
Childhood. Ind J of Peds 2007;74:937-57.
6. Khanna R, Agarwal N, Basu SP. Spontaneous Common Bile Duct Perforation
Presenting as Acute Abdomen. Indian J Surg. 2010;72(5):407-8.
7. Jain A, Poddar U, Elhence P, Tripathi A, Shava U, Yachha SK. Cholestasis in a
neonate with ABO haemolytic disease of newborn following transfusion of ABO
group-specific red cells compatible with neonatal serum: inspissated bile
syndrome. Blood Transfus 2014; 12:621-3.
8. Lough J, Metrakos JD. Idiopathic neonatal hepatitis. Can Med Assoc J 1967;
96(18):1258-61.
9. http:/ghr.nlm.nih.gov/condition/alagille-syndrome
10. Bruguera M, Llach J, Rodes J. Nonsyndromic paucity of intrahepatic bile ducts in
infancy and idiopathic ducopenia in adulthood: the same syndrome? Hepatology
1992;15(5):830-4.
11. Sato Y, Shan Ren X, Nakanuma Y. Caroli’s Disease: Current Knowledge of Its
Billiary Pathogenesis Obtained from an Orthologous Rat Model. International
Journal of Hepatology . Vol 2012
12. Dahel KJ. Ferreti E. Montiveros C. Grenon R. Barrowman R. River CJ. Parenteral
Nutrition Induced Cholestasis in Neonates: Where does the Problem Lie.
Gastroenterology Research and Practice. Vol 2013.
25
13. Jain AK, Teckman JH. Newly Identified Mechanism of Total Parenteral Nutrition
Related Liver Injury. Advanced in Hepatology. Vol 2014
14. Brumbaugh D, Mack C. Conjugated Hyperbilirubinemia in Children. Pediatrics
in Review. July. 2012. Vol 33.
15. Williams JF, Smith VC. Fetal Alcohol Spectrum Disorders. American Academy of
Pediatrics. 2015. November; 136: 1395-1406
16. Kurtoğlu S, Ҫoban D, Akin MA, Akin L, et al. Neonatal Sludge: A Finding of
Congenital Hypothyroidism. J Clin Res Pediatr Endrocinol. 2009. Jun; 1(4): 197–
200
17. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/tyrosinemia
18. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/gaucher-disease
19. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/niemann-pick-disease
20. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/wolmann-syndrome
21. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/galactosemia
22. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/hereditary-fructose-intolerance
23. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/glycogen-storage-disease
24. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/zellweger-syndrome
25. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/dubin-johnson-syndrome
26. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/rotor-syndrome
27. Heubi JE, Setchell KDR, Bove KE. Inborn Errors of Bile Acid Metabolism.
Seminars Liver Dis. 2007; 27(3):282-94.
28. Nesseler N, Launey Y, Aninat C, Morel F, Malledant Y, Seguin P. Clinical
review: The liver in sepsis. Critical care 2012; 16:235-43.
29. NNF Teaching Aids : Newborn Care. 2014; 1-10.
30. AAP Clinical Practice Guideline: Management of Hyperbilirubinemia in the
Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.” Pediatrics vol. 114 No. 1 July
2004, pp. 297-316.
31. http://pedsinreview.aappublications.org/content/21/9/303
32. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/budd-chiari-syndrome
26
33. Lalit B, Stephen B. Berman’s Pediatric Decision Making. 5th ed. Elsevier.
2011.p288-291.
27