Etiologi referat

40
BAB I LATAR BELAKANG Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin > 2 standar deviasi dari kadar yang diharapkan berdasarkan usia neonatus atau lebih dari persentil 90. Kondisi ini mengakibatkan kulit pada bayi terlihat lebih kuning. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Insidensi yang terjadi sebanyak lebih dari 85% dari seluruh neonatus. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan karena peningkatan dari kadar bilirubin direk, bilirubin indirek, ataupun keduanya. Hiperbilirubinemia akan menyebabkan kondisi yang disebut jaundice, yaitu perubahan warna pada kulit, sklera, dan membrane mukosa menjadi lebih kuning. Jaundice terjadi karena peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah lebih dari 1 mg/dL bila kadar serum bilirubin total dalam darah kurang dari 5 mg/dL, atau mencapai 20% dari kadar serum bilirubin total dalam darah bila lebih dari 5 mg/Dl. Jaundice disebabkan karena obstruksi pada sistem eksresi cairan empedu ke usus halus, menurunnya fungsi sekresi bilirubin oleh sel hepatosit, dan excessive bilirubin loading pada hati. Bila tidak ditangani dengan baik dan tepat, masalah penyebab terjadinya hiperbilirubinemia direk dapat berakibat ke masalah lain yang bersifat berbahaya bagi bayi tersebut, 1

description

referat

Transcript of Etiologi referat

Page 1: Etiologi referat

BAB I

LATAR BELAKANG

Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin > 2 standar

deviasi dari kadar yang diharapkan berdasarkan usia neonatus atau lebih dari persentil 90.

Kondisi ini mengakibatkan kulit pada bayi terlihat lebih kuning. Hiperbilirubinemia

merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir.

Insidensi yang terjadi sebanyak lebih dari 85% dari seluruh neonatus. Hiperbilirubinemia

dapat disebabkan karena peningkatan dari kadar bilirubin direk, bilirubin indirek, ataupun

keduanya.

Hiperbilirubinemia akan menyebabkan kondisi yang disebut jaundice, yaitu

perubahan warna pada kulit, sklera, dan membrane mukosa menjadi lebih kuning.

Jaundice terjadi karena peningkatan kadar bilirubin direk dalam darah lebih dari 1 mg/dL

bila kadar serum bilirubin total dalam darah kurang dari 5 mg/dL, atau mencapai 20%

dari kadar serum bilirubin total dalam darah bila lebih dari 5 mg/Dl. Jaundice disebabkan

karena obstruksi pada sistem eksresi cairan empedu ke usus halus, menurunnya fungsi

sekresi bilirubin oleh sel hepatosit, dan excessive bilirubin loading pada hati. Bila tidak

ditangani dengan baik dan tepat, masalah penyebab terjadinya hiperbilirubinemia direk

dapat berakibat ke masalah lain yang bersifat berbahaya bagi bayi tersebut, sehingga

penyebab tersebut harus dapat didiagnosis dengan cepat.

Pada negara berkembang seperti Indonesia, khususnya pada kalangan sosio-

ekonomi menengah kebawah, pengetahuan orang tua mengenai jaundice belum terlalu

berkembang, sehingga tidak mengetahui tanda-tanda hiperbilirubinemia awal. Terkadang

bayi yang dibawa ke instansi kesehatan dengan diagnosa jaundice patologis sudah berada

dalam kondisi lanjut. Dengan demikian, pengetahuan dan kemampuan untuk mediagnosa

penyebab dari peningkatan kadar bilirubin direk harus dilatih dan dikembangkan.

Referat mengenai hiperbilirubinemia direk ini kami buat untuk menampilkan

informasi yang lebih mendalam mengenai penyebab, cara mediagnosa, tatalaksana, dan

komplikasi dari hiperbilirubinemia direk.

1

Page 2: Etiologi referat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Hiperbilirubinemia merupakan keadaan dimana meningkatnya kadar bilirubin

dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi 2,

hiperbilirubinemia direk dan indirek. Hiperbilirubinemia indirek adalah apabila serum

level bilirubin > 10 mg/dL. Hiperbilirubinemia direk adalah apabila bilirubin direk > 1

mg/dL apabila bilirubin total < 5 mg/dL, atau bilirubin direk > 20% dari total bilirubin

apabila > 5 mg/dL.1 Hiperbilirubinemia direk tidak pernah normal atau fisiologis pada

usia berapapun, dan terjadi pada 1 : 2500 bayi.2

2.2. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin dihasilkan dalam sistem retikuloendotel sebagai hasil akhir dari proses

katabolis sel darah merah, dan dihasilkan melalui reaksi oksidasi dan reduksi. Selain dari

proses katabolisme sel darah merah, bilirubin juga dihasilkan dari degradasi myoglobin,

sitokrom, dan katalase.3

Pada tahap oksidasi pertama, zat heme dalam sel darah merah akan mengalami

oksidasi sehingga menghasilkan biliverdin, karbon monoksida, dan zat besi. Zat besi akan

kemudian digunakan kembali oleh tubuh, dan karbon monoksida akan diekskresikan oleh

tubuh melalui ekspirasi. Selanjutnya, biliverdin yang larut dalam air akan tereduksi

menjadi bilirubin yang bersifat tidak larut dalam air. Dalam saluran darah, bilirubin akan

berikatan dengan albumin, protein lain, dan eritrosit. Pada bayi yang terganggu proses

pengikatan bilirubin-albumin tersebut akan menyebabkan meningkatnya kandungan

bilirubin bebas dalam darah sehingga dapat menembus membran yang mengandung

lemak seperti blood-brain barrier, menyebabkan keracunan jaringan saraf.3

Bilirubin yang telah mengikat dengan albumin yang mencapai hati akan

ditransport ke dalam sel hati, dan berikatan lagi dengan ligandin. Ligandin

mempengaruhi banyaknya bilirubin yang diserap oleh sel hati, dan dapat dibantu dengan

obat-obatan seperti fenobarbital. Dalam retikulum endoplasma sel hati, bilirubin tidak

terkonjugasi akan berikatan dengan asam glukuronik menjadi bilirubin yang terkonjugasi.

2

Page 3: Etiologi referat

Reaksi ini dikatalisasi oleh zat uridin difosfoglukuroniltransferase (UDPGT). Aktivitas

UDPGT rendah pada neonatus yang baru lahir, namun meningkat pada umur 4-8 minggu.

Perubahan ini penting, karena merubah bilirubin yang tidak larut dalam air menjadi

mudah larut dalam air, sehingga dapat disekresikan bersama dengan cairan empedu.3

Cairan empedu bersama dengan bilirubin akan disekresikan ke usus halus,

kemudian akan didegenerasikan oleh bakteri dalam usus besar menjadi tetrapirol yang

tidak berwarna. Sebagian dari bilirubin yang disekresikan akan mengalami dekonjugasi

kembali pada usus halus proksimal oleh enzim B-glukuronidase, yang kemudian diserap

kembali ke dalam sirkulasi tubuh. Proses oksidasi-reduktasi-absorpsi-konjugasi-sekresi-

dekonjugasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.3

Gambar 2.2.1. Metabolisme bilirubinSumber: Lee WS, McKiernan PJ, Neath SV, Preece MA, Baty D, Kelly DA, Burchell B, Clarke DJ Bile

bilirubin pigment analysis in disorders of bilirubin metabolism in early infancy. Arch Dis Child

2001;85:38-42

3

Page 4: Etiologi referat

2.3. Etiopatofisiologi

Secara garis besar, peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi (hyperbilirubinemia

direk) dapat disebabkan karena terjadinya 2 hal, yaitu penyumbatan saluran seksresi

cairan empedu (jaundice obstruktif), dan penyakit hepatoseluler (jaundice hepatoseluler).

Pada jaundice obstruktif, terjadi gangguan aliran cairan empedu, yang disebabkan oleh

penyempitan saluran secara mekanik. Saat terjadi penyumbatan pada saluran empedu,

proses sekresi cairan empedu beserta bilirubin terkonjugasi ke dalam usus halus, yang

kemudian akan diekskresikan melalui feses akan terganggu, sehingga terjadi peningkatan

penyerapan kembali bilirubin terkonjugasi ke dalam pembuluh darah, meningkatkan

serum bilirubin dalam darah. Pada jaundice hepatoseluler, terjadi kerusakan pada

hepatosit, sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pada fungsi hepatosit, yang salah

satu diantaranya merupakan untuk mensekresikan bilirubin terkonjugasi ke saluran

empedu.

2.3.1. Obstruktif (Kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik)

2.3.1.1. Atresia bilier ekstrahepatik (EHBA)

Atresia bilier ekstrahepatik (EHBA) merupakan penyebab tersering dari

hiperbilirubinemia direk pada neonatus. EHBA merupakan hasil dari proses

inflamasi progresif dan destruktif yang mempengaruhi cabang bilier ekstrahepatik

maupun intrahepatik. EHBA sendiri dibagi mejadi 2 grup:2,4

- Fetal embrionic form: merupakan 20% dari kasus atresia bilier. Pada bentuk ini,

saluran empedu tidak terbentuk pada saat lahir dan Tipe ini mempunyai onset

yang lebih cepat, tidak mempunyai interval bebas jaundice dan biasanya

bersamaan dengan kelainan kongenital lainnya seperti anomali kardiovaskular,

gastrointestinal (malrotasi intestinal, situs inversus abdominal) dan limpa

(polisplenia, asplenia).

- Perinatal/acquired form: merupakan 80% dari kasus atresia bilier. Kelainan ini

biasanya tidak berasosiasi dengan kelainan kongenital. Biasanya dijumpai pada

neonatus aterm, terdapat interval bebas jaundice pada beberapa minggu postnatal.

Kedua bentuk ini mempunyai tanda kardinal yang sama yaitu jaundice,

hepatomegali dan feses akholik. Sebanyak 33% penderita memerlukan

transplantasi hati pada tahun pertama kehidupan, 34% memerlukan transplantasi

4

Page 5: Etiologi referat

hati pada usia remaja dan 33% memerlukan prosedur Kasai pada masa

dewasa. 50% dari orang pemderita EHBA dewasa tetap memerlukan

transplantasi hati di kemudian hari. Prosedur Kasai (Roux-en-Y) merupakan

penanganan EHBA dengan cara melakukan bedah bypass dimana dilakukan

penyambungan usus dengan hati.2,4

2.3.1.2. Kista koledokus

Kista koledokus merupakan kelainan kongenital dari duktus bilier. Pada

beberapa pasien dengan kista koledokus, terdapat hubungan anomali antara

common bile duct dan pancreatic duct. Penyatuan abnormal dari dari kedua

duktus ini mengakibatkan hasil sekresi dari pankreas masuk ke dalam common

bile duct, sehingga mengiritasi dan melemahkan dinding dari bile duct, Penyebab

lainnya adalah adanya defek pada epitelialisasi dan rekanalisasi dari pembentukan

bile duct sehingga menyebabkan adanya kelemahan kongenital dari dinding

duktus. Manifestasi klinis dari kista koledokal ini merupakan nyeri, massa intra

abdomen dan ikterus.2,5

2.3.1.3. Perforasi spontan common bile duct

Perforasi spontan dari common bile duct termasuk jarang dan onset

gejalanya sering sekali tidak diketahui, sehingga menyebabkan penyakit ini sulit

untuk dideteksi. Umumnya, neonatus tersebut lahir dengan keadaan yang baik,

namun ketika mulai masuk di minggu 1 kehidupan, gejala seperti jaundice ringan

yang fluktuatif, feses akholik, urin gelap, dan gejala nonspesifik lainnya seperti

kenaikan berat badan yang buruk, muntah yang sering dan irritable. Tanda yang

lebih jarang namun khas seperti distensi abdomen, bile-staining hidrocele.6

2.3.1.4. Massa

Massa berupa batu atau tumor yang dapat menyumbat bagian distal dari

common bile duct dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk dengan gejala

seperti jaundice, feses akholik dan urin berwarna gelap.2

5

Page 6: Etiologi referat

2.3.2. Excessive bilirubin load(inspissated bile duct syndrome)

Kelainan langka ini merupakan obstruksi parsial atau komplit dari sistem

bilier dikarenakan oleh penebalan dinding duktus atau terdapat sludge pada

bagian distal dari common bile duct. Kelainan ini sering dijumpai bersamaan

dengan cystic fibrosis, erythroblastosis fetalis dan total parenteral nutrition.

Sludge berupa kolesterol atau pigmen yang terbungkus dalam mukus juga sering

menjadi faktor obstruktif pada kelainan ini. Sludge tidak sama dengan batu

empedu, akan tetapi ada kemungkinan bahwa sludge tersebut dapat berkembang

menjadi batu empedu.2,7

Beberapa faktor resiko dari inspissated bile duct syndrome ini adalah berat

badan rendah, neonatus yang diberi ASI, neonatus dengan ibu penderita diabetes,

neonatus laki-laki, ras Asia timur, dan populasi yang tinggal di daerah dataran

tinggi. Inspissated bile duct syndrome biasanya tidak menyebabkan gejala dan

dapat hilang timbul secara tiba tiba. Apabila partikel sludge tersebut berkembang

menjadi batu empedu yang lebih besar, maka dapat dijumpai rasa nyeri pada

abdomen, mual dan muntah. Tatalaksana dari kelainan ini adalah dengan

menurunkan level bilirubin dari neonatus dengan fototerapi dan apabila tidak

berhasil, maka perlu dilakukan kolesistektomi dan lavase duktus bilier. 2,7

2.3.3. Hepatoseluler

2.3.3.1. Idiopathic neonatal hepatitis (INH)

Idiopathic neonatal hepatitis (INH) atau sering juga disebut sebagai giant

cell hepatitis sering menjadi penyebab dari kolestasis neonatal. Penyebab

kerusakan hati ini tidak diketahui sehingga disebut sebagai idiopatik. Untuk

penegakan diagnosa dari INH, neonatus perlu didapatkan jaundice dalam jangka

waktu yang lama dan pada biopsi ditemukan multinucleated giant hepatocytes,

nekrosis hepatosit fokal. Jaundice umumnya hilang pada umur ke 3 - 4 bulan.8

2.3.3.2. Gangguan duktus biliaris intrahepatik

1. Allagile Syndrome (AGS)

6

Page 7: Etiologi referat

Merupakan gangguan dimana terjadi kekurangan duktus bilier intrahepatik

dimana terjadi mutasi pada gen Jagged 1 (JAG1) dan diturunkan secara autosomal

dominan. Pada AGS, duktus bilier intahepatik melebar, mengalami malformasi,

dan jumlahnya berkurang. Hal ini menyebabkan penumpukan empedu di hati dan

menyebabkan terjadinya scar yang akan menghalangi hati untuk bekerja secara

maksimal. Kerusakan pada hati ini akan menyebabkan munculnya jaundice dan

pasien dapat mengeluhkan gatal pada kulit.2,9

Gambar 2.3.3.2.1. Peculiar face AGSSumber: http:/ghr.nlm.nih.gov/condition/alagille-syndrome

AGS biasanya muncul dalam usia 3 bulan. Diagnosis ditentukan dengan

biopsi hati dimana ditemukan penurunan jumlah duktus biliar intrahepatik. Gejala

lain yang menyertai antara lain adanya stenosis pulmonal, peculiar face (dahi

lebar dan menonjol, deep-set eyes, dagu runcing), defek arkus vertebrae / butterfly

shape.2,9

2. Nonsyndromic paucity of the intrahepatic bile ducts

Seperti halnya AGS, pada penyakit ini terjadi penurunan jumlah duktus

bilier intrahepatik, namun tidak memberikan manifestasi. Penentuan diagnosis

pada penyakit ini ditentukan dengan biopsi hati. Penyakit ini dapat berhubungan

7

Page 8: Etiologi referat

dengan beberapa kondisi klinis lain seperti defisiensi alpha-1 antytitrypsin,

fibrosis kistik, infeksi kongenital oleh cytomegalovirus atau rubela, atau

abnormalitas kromosom.10

3. Fibrosis hepatis kongenital dengan kista duktus bilier (Caroli disease)

Merupakan penyakit fibropolycystic dan merupakan manifestasi hepatik

dari autosomal recessive polycystic kidney disease (ARPKD). Kelainan ini

ditandai dengan dilatasi segmental dari duktus bilier besar dan berhubungan

dengan fibrosis hepatik kongenital. Pada Caroli disease dapat menyebabkan

pembentukan kista, abnormalitas bilier, hipertensi portal. Abnormalitas bilier

akan menyebabkan penyumbatan dari aliran empedu sehingga akan

bermanifestasi sebagai jaundice.11

Gambar 2.3.3.2.1 Caroli DiseaseSumber: Sato Y, Shan Ren X, Nakanuma Y. Caroli’s Disease: Current Knowledge of Its Billiary

Pathogenesis Obtained from an Orthologous Rat Model. International Journal of Hepatology . Vol 2012

2.3.3.3. Obat-obatan dan Toksin

1. Total Parenteral Nutrition Induced Cholestasis

Kondisi ini sering dijumpai pada bayi prematur atau bayi dengan very low

birthweight. Patogenesis terjadinya kolestasis masih belum jelas, namun ada

beberapa dugaan mengenainya. Pertama, kurangnya stimulasi enteral

menyebabkan penurunan sekresi hormon pertumbuhan yang seharusnya dapat

mempromosikan maturasi enterosit. Kedua, juga terjadi penurunan sekresi

hormon di usus seperti kolesistokinin yang akan menyebabkan aliran empedu

menjadi statik dan penurunan siklus enterohepatik. Selainan itu, usus yang

mengalami statis akan menyebabkan mudahnya pertumbuhan bakteri. Penelitian

8

Page 9: Etiologi referat

menunjukkan endotoksin dari bakteri gram negatif dapat menghambat sekresi

bilier yang kemudian akan menyebabkan kolestasis, terutama pada bayi

prematur.12,13

Diketahui bahwa pada nutrisi parenteral yang memiliki dosis karbohidrat

atau glukosa tinggi juga lebih mudah menyebabkan terjadinya kolestasis. Hal ini

dikarenakan dengan semakin tingginya kadar glukosa, maka kadar insulin dan

glukagon dalam plasma dan juga hepatosit akan meningkat. Hal ini akan

menyebabkan peningkatan infiltrasi lemak ke periportal. Selain itu ada penelitian

yang menyatakan pada pasien yang menerima TPN dengan dosis asam amino dan

lemak yang lebih tinggi akan lebih mudah terjadi kolestasis, namun hal ini masih

kontroversial.12,13

Diketahui menyebabkan atrofi pada usus sehingga mengganggu fungsi

penyerapan.. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai adalah hepatomegali dan

feses berwarna pucat (akholic feces). TPN juga diketahui dapat menyebakan

biliary sludge.

2. Medikasi

Ada beberapa obat yang diduga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia

direk pada bayi. Penggunaan Carbamazepin atau Metamphetamine pada ibu

pasien dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Selain itu, bayi yang terkena

paparan pada agen antimikroba terutama Ceftriaxone, Fluconazole, dan

Micafungin juga dapat memicu terjadinya kolestasis.14

3. Fetal Alcohol Syndrome (FAS)7

Merupakan gangguan yang muncul akibat adanya paparan atau konsumsi

alkohol selama masa perinatal. FAS didiagnosa apabila terdapat 3 kriteria :

defisiensi pertumbuhan perinatal / postnatal, 3 tanda kardinal pada wajah

(penurununan panjang palpebra, filtrum mendatar, bibir atas tipis), defisit susunan

saraf pusat, baik struktural, neurogikal, atau fungsional.15

9

Page 10: Etiologi referat

Gambar 1.3.2.3.1. Tanda kardinal wajah pada penderita FASSumber: Williams JF, Smith VC. Fetal Alcohol Spectrum Disorders. American Academy

of Pediatrics. 2015. November; 136: 1395-1406

2.3.3.4. Gangguan Endokrin

1. Hipotyroidisme

Pada neonatus dengan hipotiroidisme, bisa ditemukan early onset

hiperbilirubinemia direk dan fisiologis. Neonatal cholestatic hepatitis sering

berhubungan dengan defisiensi hormon pituitary. Defisiensi hormon kortisol dan

pseudohypoaldoteronism 12 juga merupakan penyebab dari kolestatik hepatitis.

Hipotiroidism dapat menyebabkan pembentukan sludge akibat tiroksin dan

triiodothyronine yang menyebabkan inhibisi kontraksi sphingter Oddi sehingga

terjadi gangguan pengosongan isi kantung empedu. Pembentukan sludge juga

dapat berhubungan dengan sepsis, nutrisi parenteral, severe hemolytic disease,

gangguan metabolik, dan stenosis pyloric.16

Pembentukan sludge akibat hipotiroidisme harus dibedakan dengan

penyebab lain. Diagnosis ditegakkan dengan pemberian L-thyroxine, dimana

sludge akan menghilang. Pada follow up dengan pemeriksaan laboratorium, tidak

terjadi penurunan hemoglobin dan tidak terjadi peningkatan level bilirubin.16

2.3.3.5. Kelainan Metabolik

1. Kelainan metabolisme asam amino

10

Page 11: Etiologi referat

- Tirosinemia

Tirosinemia merupakan kelainan genetik yang ditandai dengan adanya

gangguan pemecahan dari asam amino tirosin yang merupakan bahan dasar

dari protein. Mutasi dari gen FAH, TAT dan HPD menyebabkan penurunan

aktifitas dari enzim yang memecah tirosin sehingga tirosin dan dan derivat

produknya. Tipe 1: merupakan tipe tirosinemia terberat. Gejala dari kelainan

ini adalah kegagalan dalam berkembang dikarenakan asupan makanan

dengan protein tinggi dapat mengakibatkan diare dan muntah. Neonatus dan

bayi dengan tirosinemia akan mempunyai gejala berupa jaundice, cabbage-

like odor, dan lebih mudah untuk mengalami perdarahan. Tipe 1 dapat

berujung kepada kerusakan hati dan ginjal, riketsia, dan peningkatan insidensi

terjadi karsinoma hepatoseluler. Tipe 2: merupakan tipe dimana kelainan ini

menyerang mata, kulit dan perkembangan mental. Tipe 3: tipe yang

menyebabkan disabilitas intelektual, kejang dan ataxia intermiten.17

2. Kelainan metabolisme lipid

- Gaucher disease

Merupakan kelainan yang diturunkan yang diakibatkan dari mutasi gen

GBA. Fungsi dari gen GBA adalah untuk memproduksi enzim beta

glukoserebrosidase untuk memecah substansi lemak berupa

glukoserebrosidase menjadi molekul lebih sederhana berupa keramide.

Tanpa enzim ini, maka glukoserebrosidase akan tertumpuk dalam hati

sampai dengan level toksik dan akan merusak hati.18

- Niemann-Pick disease

Merupakan kelainan genetik dimana terjadi mutasi pada gen SMPD1. Gen

ini berfungsi untuk memproduksi enzim asam sphingomyelinase yang

berguna untuk konversi sphingomyelin menjadi keramid yang apabila

tertumpuk dalam hati sampai dengan level toksik dan akan merusak hati.19

- Wolman syndrome

Merupakan kelainan diturunkan yang langka dikarenakan mutasi dari gen

LIPA yang berfungsi untuk memproduksi enzim lysosomal acid lipase.

11

Page 12: Etiologi referat

Enzim ini berguna untuk memproses cholesteryl esters dan trigliserida.

Akumulasi dari lemak yang menumpuk di hati ini akan menyebabkan fatty

liver yang akan berujung kepada kerusakan hati.20

3. Kelainan metabolisme karbohidrat

- Galaktosemia

Galaktosemia adalah kelainan metabolik genetik langka yang

mempengaruhi kemampuan individu untuk memetabolisme galaktosa.

Galaktosemia merupakan kelainan resesif autosomal yang diturunkan yang

mengakibatkan kekurangan enzim GALK, GALT dan GALE yang berguna

untuk mendegradasi galaktosa. Apabila enzim ini kurang, maka terjadi

akumulasi galaktosa dalam hati sampai dengan level toksik dan akan merusak

hati.21

- Intoleransi fruktosa herediter

Merupakan kelainan dimana melibatkan mutasi dari gen ALDOB. Mutasi

ini mengakibatkan kekurangan produksi enzim aldolase B yang berfungsi

untuk memecah fruktosa-1-phosphate menjadi glyceraldehyde dan

dihydroxyacetone phosphate. Penumpukan molekul ini dalam hati sampai

dengan level toksik dan akan merusak hati.22

- Glycogen Storage Disease (GSD)

Merupakan kelainan defek dari proses sintesis glikogen. Terdapat 13 jenis

GSD dan yang paling bermakna adalah GSD tipe V dimana terjadi

kekurangan glycogen phosphorylase otot dan dapat menyebabkan anemia

hemolitik.23

4. Kelainan metabolisme asam empedu dan transpor ekskresi

Asam empedu disintesis di hati dari kolesterol melalui reaksi kompleks 14

enzim. Kegagalan metabolisme asam empedu akan mencegah pembentukan

asam empedu normal sehingga terjadi penumpukkan asam empedu dan

metabolit lainnya. Kegagalan untuk sintesis asam empedu ini akan

menurunkan laju pengosongan dari asam empedu dan menurunkan solubilisasi

12

Page 13: Etiologi referat

intraluminal dari lemak. Penumpukan asam empedu akan menjadi toksik

terhadap hepatosit.2

5. Kelainan metabolisme peroksisomal

- Zellweger syndrome

Merupakan kelainan genetik dimana terdapat setidaknya mutasi 12 gen.

Gen tersebut berguna untuk memproduksi peroxins yang berguna untuk

formasi dan kerja dari peroksisom. Peroksisom berguna untuk memecah

asam lemak dan komponen toksik lainnya. Apabila gen ini tidak ada, maka

asam lemak dan komponen toksik lainnya akan menumpuk dalam hati

sampai dengan level toksik dan akan merusak hati.24

6. Kelainan transpor bilirubin

- Dubin-Johnson syndrome

Merupakan kelainan autosomal resesif dikarenakan adanya defek transfer

endogen dan eksogen konjugat anion dari hepatosit menuju empedu. Kelainan

ekskresi bilier dari bilirubin glukoronid yang disebabkan oleh mutasi gen

MRP2.25

- Rotor syndrome

Kelainan genetik akibat mutasi dari gen SLCO1B1 SLCO1B3 yang

berguna untuk memproduksi anion organik OATP1B1 dan OATP1B3. Kedua

protein ini berguna untuk transpor bilirubin dan komponen lainnya dari darah

ke dalam hati. Apabila gen ini tidak ada, maka transpor bilirubin akan

terganggu dan akan terjadi penumpukan di hati.26

7. Defisiensi -1-antitripsin

Merupakan kelainan yang diakibatkan oleh mutasi gen SERPINA1 yang

berfungsi untuk membentuk protein -1-antitrypsin untuk melindungi tubuh

dari enzim neutrofil elastase. Neutrofil dihasilkan dari sel darah putih untuk

melawan infeksi namun dapat menyerang jaringan normal apabila tidak dikontrol

oleh -1-antitrypsin.2

13

Page 14: Etiologi referat

8. Cystic Fibrosis

Cystic fibrosis adalah kelainan genetik ditandai dengan penumpukan

mukus padat dan lengket yang dapat merusak organ tubuh. Mucus ini dapat

menyumbat saluran pankreas sehingga pengeluaran enzim terhambat sehingga

aliran. balik dari enzim tersebut akan merusak organ. Mutasi dari gen CTFR

menyebabkan kelainan ini. Gen CTFR berfungsi untuk transpor ion klorida dan

apabila kekurangan, maka dapat menganggu regulasi ion klorida dan air melalui

membran sel sehingga mengakibatkan organ memproduksi mukus yang padat dan

lengket.2

2.3.3.6. Infeksi

Infeksi viral yang sering menyebabkan gangguan hiperbilirubinemia pada

neonatus dikenal sebagai infeksi “TORCH”, yang merupakan akronim dari virus

Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes simplex, dan HIV.27 Virus

tersebut dapat menular secara vertikal, dari ibu ke anak melalui pertukaran darah

pada plasenta, melali cairan vagina atau darah selama proses persalinan, dan

melalui pemberian air susu ibu (ASI). Penularan dari salah satu virus tersebut

dapat menyebabkan serangkaian gejala, antara lain demam, munculnya ruam

berwarna merah pada kulit, pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan membran

tubuh, gangguan pendengaran, dan pembesaran hepar dan empedu. Infeksi pada

hepatosit yang menyebabkan pembesaran hepar dapat meningkatkan nilai

bilirubin terkonjugasi dalam darah, karena diperkirakan terdapat cholangitis

dalam hepar yang menyebabkan gangguan dari pengaliran sekresi enzim hati ke

luar dari hati. Penyumbatan tersebut mengakibatkan penumpukan bilirubin

terkonjugasi dalam hepar, sehingga dapat kembali masuk ke dalam aliran darah,

mengakibatkan jaundice.28,29,30

Selain pada infeksi TORCH, hiperbilirubinemia terkonjugasi juga dapat

diakibatkan oleh sepsis bakterial, khususnya pada infeksi saluran kemih. Pada

kondisi shok sepsis, terjadi multiple organ dysfunction, dengan hepar sebagai

salah satu organ yang mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan karena dalam

periode syok sepsis, hepar bekerja lebih banyak terhadap mempertahankan respon

14

Page 15: Etiologi referat

inflamasi tubuh dengan cara meningkatkan sintesis protein mediator inflamasi

akut yang dikenal sebagai interleukin-6. Peningkatan sintesis protein mediator

inflamasi akut ini akan menyebabkan peningkatan produksi CRP, -1-antitripsin,

fibrinogen, prothrombin, dan kadar haptoglobin, serta mengurangi produksi

albumin, transferrin, dan antitrombin. Peningkatan produksi mediator inflamasi

ini mengakibatkan penurunan fungsi biotransformasi hepar dan penurunan

aktivitas sitokrom p450, sehingga kemampuan hepar untuk mengekskresi zat

endobiotik dan xenobiotik juga menurun. Pengumpulan mediator inflamasi dalam

hepar akan mengakibatkan intrahepatic cholestasis, mengganggu saluran cairan

empedu yang dihasilkan oleh hepar.30,31

2.3.3.7. Kelainan Vaskular

- Budd-Chiari syndrome

Kelainan dimana terdapat oklusi dari vena hepatika. Trias klasik dari

kelainan ini adalah nyeri abdomen, asites dan hepatomegali.32

2.3.3.8. Kelainan kromosom trisomi 21 dan trisomi 182

15

Page 16: Etiologi referat

2.4. Diagnosis

Gambar 2.4.1. Pendekatan diagnosis pada neonatus aterm dan pretermSumber: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology. Management,

Procedurs, On-Call Problems, Diseases, Drugs. 7th ed. McGraw Hill Education. 2013.

Untuk mendiagnosis penyakit kuning atau jaundice dibutuhkan melakukan

pemeriksaan yang lengkap, mulai dari anamnesis yang baik hingga pemeriksaan

penunjang yang tepat, karena dengan diagnosis yang tidak tepat dan pengobatan yang

terlambat dapat berakibat pada komplikasi yang bersifat letal.

Pada anamnesa, pertanyaan yang butuh diajukan antara lain:

16

Page 17: Etiologi referat

- Onset terjadinya perubahan warna kulit. Pada hiperbilirubinemia direk,

jaundice biasanya muncul pada usia 2-3 minggu, walaupun pada kasus tertentu

seperti atresia bilier, jaundice dapat muncul lebih cepat

- Adanya gejala prodromal sebelum muncul jaundice. Hal ini menunjukkan

kemungkinan penyebab jaundice adalah infeksi seperti TORCH

- Adanya keluhan lain pada pasien seperti nyeri pada bagian perut, penurunan

berat badan, atau gatal pada kulit

- Perubahan warna pada urin atau feses. Feses penderita hiperbilirubinemia akan

berwarna akholik (pucat) dan juga warna urin yang lebih gelap dari neonatus

normal

Gambar 2.4.2. Infant Stool CardSumber: Brumbaugh D, Mack C. Conjugated Hyperbilirubinemia in Children. Pediatrics in

Review. July. 2012. Vol 33.

- Obat-obatan yang dikonsumsi atau terapi yang diterima baik oleh pasien

maupun oleh ibu selama masa kehamilan. Termasuk diantaranya bila pasien

menerima terapi TPN.

Pada pemeriksaan fisik, yang perlu ditemukan antara lain:

- Inspeksi :

17

Page 18: Etiologi referat

o warna kulit dari pasien tersebut. Dengan pencahayaan yang bagus, kulit

neonatus dapat terlihat berwarna kuning apabila total serum bilirubin

bernilai di atas 4 mg/dL atau 68 μmol/L. Nilai total serum bilirubin dapat

diperkirakan nilainya dari ekstensifitas jaundice yang dialami oleh pasien.

Apabila jaundice terdapat pada wajah, nilai TSB sekitar 5 mg/dL, pada

dada bagian atas, nilasi TSB sekitar 10 mg/dL, pada bagian abdomen, nilai

TSB sekitar 12 mg/dL, dan pada telapak tangan atau kaki, nilai TSB

sekitar 15 mg/dL.

o Kelainan pada kulit, misalnya terdapat ruam kemerahan (infeksi) atau

gatal (Allagile Syndrome/AGS)

o Kelainan khas seperti pada wajah penderita FAS atau peculiar face pada

penderita AGS

- Pada palpasi dan perkusi, umumnya terjadi hepatomegali. Bisa juga ditemukan

distensi abdomen, massa intra abdominal

Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa tes yang dapat dilakukan, antara lain:

- Transcutaneous bilirubinometry merupakan suatu metode non-invasif yang dapat

dilakukan untuk menilai angka total serum bilirubin pada pasien, yang akurat,

yang bekerja dengan cara menilai panjang gelombang warna kulit dari bayi

tersebut, lalu menilai banyak bilirubin yang terkandung dalam kulit pasien. Pada

jaundice ringan, transcutaneous bilirubinometry cukup untuk menilai angka total

serum bilirubin pada pasie, namun apabila hasil dari transcutaneous

bilirubinometri menunjukan jaundice sedang, dibutuhkan pemeriksaan lanjutan

untuk mengetahui angka pasti total serum bilirubin pada darah pasien, dan pada

jaundice berat, transcutaneous bilirubinometri merupakan metode penilaian yang

lebih cepat untuk menilai perkiraan total serum bilirubin dan kesuksesan

pengobatan yang dijalani.

- Pemeriksaan darah lengkap juga dibutuhkan untuk mendiagnosis atau

memperkirakan terjadinya hiperilirubinemia. Yang dapat diperiksa antara lain:

o Nilai hemoglobin dan hematokrit

18

Page 19: Etiologi referat

o Nilai TSB : kondisi hiperbilirubinemia pada neonatus dinyatakan apabila

nilai TSB sudah di atas 2 mg/dL.

o Nilai bilirubin terkonjugasi.

o Penilaian serum transaminase. Peningkatan serum transaminase dapat

menunjukkan lokasi obstruksi, apakah intrahepatik atau ekstrahepatik

Obstruksi ekstrahepatik : umumnya, level serum aspartat

transaminase (AST) umumnya tidak meningkat, bila terjadi

peningkatan biasanya hanya bersifat ringan-sedang (<10x batas

atas nilai normal). Namun bila obstruksi ekstrahepatik terjadi

secara akut, dapat terjadi peningkatan AST yang berat yang akan

segera turun dalam 72 jam.

Obstruksi intrahepatik : terjadi peningkatan AST maupun ALT

(alanin transaminase). Umumnya AST lebih tinggi dari ALT. Bila

AST dan ALT meningkat dalam jumlah yang sama, maka diduga

pasien mengalami kerusakan hepar akibat obat,

o Nilai alkaline fosfatase (ALP) dan gamma-glutamil transpeptidase (GGT)

juga dapat dinilai untuk mendiagnosis sumbatan pada saluran empedu.

Peningkatan jumlah ALP dapat mendiskriminasikan penyebab obstruksi

bilier, antara intrahepatik atau ekstrahepatik. Pada penyebab ekstrahepatik,

ALP dapat meningkat lebih dari 3x dari nilai normal.

- USG untuk melihat adanya batu empedu atau obstruksi pada saluran empedu

- CT-Scan atau MRI dapat dilakukan untuk melihat adanya obstruksi atau sumbatan

pada saluran empedu.

2.5. Tatalaksana

Pada penderita hiperbilirubinemia direk penting untuk mengetahui kondisi yang

membutuhkan terapi segera, antara lain : sepsis. Pada kondisi ini segera lakukan kultur

dan berikan regimen antibiotik.

a. Adanya tanda infeksi saluran kemih. Bila terdapat tanda adanya infeksi saluran

kemih, segera berikan antibiotik.

19

Page 20: Etiologi referat

b. Gangguan metabolik seperti galaktosemia, tyrosinemia, hematochromatosis.

Pada kondisi ini pasien harus melakukan diet bebas laktosa dan bebas glukosa.

Sedangkan pada kondisi hematochoramtosis, pasien membutuhkan terapi

suportif dengan chelation dan agen lainnya. Bila kondisi berat dapat

dipertimbangkan dilakukan transplantasi hati.

c. Hipotiroidism. Tujuan terapi adalah memastikan pertumbuhan dan

perkembangan pasien dalam batas normal, menjaga kadar TSH dalam batas

normal, serta menjaga kadar T4 atau FT4 pada batas atas kisaran normal. Pasien

dapat diberikan Levothyroxine. Dosis awal diberikan 10-15mcg/kgBB/ hari per

oral. Sediaan Levothyroxine yang ada adalah pil, sehingga pada anak-anak dan

bayi sering dihancurkan dan diberikan bersamaan dengan ASI, formula atau air

mineral. Di Eropa terdapat sediaan cair 5 mcg / tetes. Tujuan dari pengobatan

ini adalah untuk menjaga konsentrasi T4 diatas kisaran normal (10-16 mcg/dL),

FT4 (1,4-2,3 mg/dL), dan serum TSH dalam batas low-normal (0,5-2 mU/L).

d. Gangguan hemolitik / hemolisis. Terapi yang diberikan sesuai dengan

etiologinya, misalnya dengan pemberian vitamin K.

e. Hypopituarism. Pada kondisi ini dilakukan terapi cairan, elektrolit dan

hormone replacement.

f. Infeksi intrautrine. Terapi yang diberikan sesuai dengan etiologi, misalnya

dengan pemberian antibiotik atau antivirus bila perlu.

Secara umum, terapi hiperbilirubinemia direk terdiri dari management nutrisi,

terapi medikamentosa dan tindakan operatif.

Pada kondisi dimana pasien diberikan nutrisi parenteral total (Total Parenteral

Nutrition / TPN) selama 2 minggu dan tidak disusui, maka dapat terjadi kondisi yang

dinamakan parenteral nutrition-associated cholestasis (PNAC). Bila kondisi ini terjadi,

maka hentikan pemberian TPN atau dapat diganti dengan nutrisi parenteral parsial

(dikombinasikan dengan pemberian nutrisi enteral). Pemberian nutrisi enteral dapat

mengurangi insidensi dan kegawatan dari PNAC. Sebagian besar pasien akan mengalami

perbaikan kolestasis dalam 1-3 bulan setelah pemberian makanan secara normal / enteral.

Pemberian phenobarbital, asam ursodeoxycholic dan kolesistokinin masih kontroversial.

20

Page 21: Etiologi referat

Sedangkan pemberian eritromisin diduga dapat membantu untuk mencegah dan

mengobati PNAC dengan meningkatkan motilitas. Emulsi minyak ikan berbasis lemak

juga diduga dapat menangani cholestasis akibat TPN, namun belum tersedia. Satu-

satunya tatalaksana yang diketahui efektif adalah menghentikan pemberian nutrisi

parenteral dan menggantinya dengan pemberian nutrisi enteral.

Pada penderita hiperbilirubinemia direk secara umum pasien membutuhkan susu

formula khusus yang mengandung medium chain triglycerides (MCTs) yang dapat

diabsorbsi lebih baik dibanding susu formula lainnya karena tidak membutuhkan kerja

dari garam bilier. MCTs antara lain Enfaport dan Pregestimil. Suplementasi MCTs dapat

diberikan pada pasien yang masih menyusui. Selain itu dapat diberikan suplementasi

vitamin A, D, E dan K. Vitamin K terutama diberikan bila terdapat tendensi perdarahan.

Diet bebas fruktosa dan glukosa dapat mencegah perkembangan sirosis dan

manifestasi galatosemia serta intoleransi fruktosa. Pembatasan diet juga dapat menangani

tyrosinemia namun biasanya kurang bermakna.

Terapi medis biasanya bersifat suportif juga sebaiknya ditujukan untuk

meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan serta menangani komplikasi kolestasis

kronis seperti pruritus, malabsorbsi, defisiensi nutrisi dan hipertensi portal. Terapi medis

yang dapat diberikan antara lain

Ursodiol (Ursodeoxycholic acid [UDCA], Actigall). Ursodiol merupakan

asam empedu dihydroxy bekerja dengan 2 cara yaitu mensubstitusi asam

empedu menjadi bersifat hidrofobik yang akan menurunkan kandungan

kolesterol pada empedu dan batu empedu dengan cara mereduksi sekresi

kolesterol dari hepar dan juga menurunkan absorbsi kolesterol pada usus.

Ursodiol juga dapat menstimulasi aliran ekskresi empedu. Ursodiol diketahui

dapat menurunkan kadar aminotransferase pada pasien dengan viral hepatitis

dan menurunkan biochemical markers serta memperlambat progesifitas

fibrosis hepatik pada PFIC. Dosis yang direkomendasikan pada pasien

dengan atresia bilier adalah 10-15 mg/kgBB/ hari. Sedangkan pada pasien

dengan cholestasis akibat TPN diberikan 30 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 3

dosis. Efek samping yang dapat terjadi antara lain diare, ruam, konstipasi,

21

Page 22: Etiologi referat

stomatitis, mual, muntah dan nyeri abdomen. Namun efek samping ini dapat

segera ditangani dengan menurunkan dosis pemberian.

Phenobarbital. Cara kerja phenobarbital adalah dengan meningkatkan sintesis

asam empedu, meningkatkan aliran empedu, dan menginduksi enzim

mikrosomal hepatis. Dosis yang direkomendasikan adalah 3-8 mg/kgBB/ hari

per oral dibagi dalam 2-3 dosis dengan dosis maksimal 12 mg/kgBB/hari.

Penurunan jumlah asam empedu biasanya dapat terlihat pada hari ke 2

pemberian.

Cholestyramine. Obat ini bekerja dengan mengikat asam empedu pada lumen

intestinal, sehingga menurunkan kadar empedu yang mengalami reabsorbsi

dan resirkulasi enterohepatik. Selain itu Cholestyramine juga meningkatkan

ekskresi empedu lewat fekal dan meningkatkan sintesis kolesterol menjadi

asam empedu oleh hepar, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol. Dosis

yang diberikan adalah 240 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Efek samping

yang dapat terjadi antara lain mengikat vitamin yang larut lemak, asidosis

metabolik dan konstipasi.

Rifampin. Merupakan antibiotik spektrum luas yang bersifat bakteriostatik

pada mycobacteria, Neisseria meningiditis dan kokus gram positif, serta dapat

digunakan bersamaan dengan antibiotik lainnya dalam menangani infeksi

oleh golongan stafilokokus. Rifampin terapi yang efektif untuk menangani

pruritus akibat kolestasis, namun praktik penggunaannya pada neonatus

masih sedikit. Dosis yang diberikan 5-20 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.

Efek samping yang dapat terjadi antara lain anorexia, muntah, diare, ruam,

serta gatal. Selain itu perlu dilakukan pemantauan terhadap hepatotoksisitas

dan reaksi hipersensitivitas yang mungkin terjadi, seperti gagal ginjal, anemia

hemolitik, dan trombositopenia.

Terapi bedah yang mungkin dilakukan adalah prosedur Kasai dan transplantasi

organ hati. Prosedur Kasai atau Kasai portoenterostomy dilakukan untuk memungkinkan

adanya aliran empedu pada pasien yang didiagnosis dengan atresia bilier. Prosedur ini

mempunyai kemungkinan yang paling besar untuk mengembalikan aliran empedu dan

memiliki infant liver longest term-survival. Hasil optimal akan didapatkan bila prosedur

22

Page 23: Etiologi referat

ini dilakukan sebelum pasien berusia 8 minggu. Sedangkan prosedur transplantasi organ

hati merupakan pilihan terakhir bila terjadi gangguan hati stadium akhir. Di Amerika

Serikat, atresia bilier merupakan indikasi dilakukannya transplantasi hati. Komplikasi

jangka panjang yang dapat terjadi antara lain kondisi immunocompromised, infeksi, gagal

ginjal, dan retardasi pertumbuhan.33

Gambar 2.5.1. Prosedur Kasai (Roux-en-Y)Sumber: Harb R, Thomas DW. Conjugated Hyperbilirubinemia. AAP. 2007;28(3):822-829.

2.6. Komplikasi dan prognosis

Hiperbilirubinemia direk tidak berikatan dengan jaringan neural dan karena tidak

dapat menembus sawar darah otak, maka hiperbilirubinemia direk tidak dapat menjadi

kern icterus atau bentuk toksik lainnya. Morbiditas dan mortalitas pada

hiperbilirubinemia direk berpengaruh kepada penyakit atau kelainan yang

melatarbelakangi hiperbilirubinemia direk tersebut.2

Pada penderita hiperbilirubinemia direk karena atresia bilier yang dilakukan Kasai

portoenterostomy mengalami perbaikan jaundice sebesar 70% bila prosedur dilakukan

sebelum usia 60 hari, 40-50% bila dilakukan pada usia 60-90 hari, 25% bila dilakukan

pada usia 90-120 hari dan hanya sebesar 10-20% bila dilakukan pada usia lebih dari 120

hari.22

23

Page 24: Etiologi referat

KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia direk adalah kondisi dimana jumlah bilirubin terkonjugasi

dalam darah lebih dari 1 mg/dL bila kadar serum bilirubin total kurang dari 5 mg/dL atau

lebih dari 20% kadar serum bilirubin total bila kadar serum bilirubin total lebih dari 5

mg/dL. Hiperbilirubinemia direk dapat terjadi karena obstruksi yang meliputi intahepatik

kolestasis dan ekstrahepatik kolestasis, gangguan hepatoseluler dan excessive bilirubin

load. Hiperbilirubinemia direk dapat menimbulkan gejala jaundice, hepatomegali,

perubahan warna feses menjadi akholik dan perubahan warna urin menjadi lebih gelap.

Hiperbilirubinemia direk memang tidak terlalu sering terjadi (1:2500 kelahiran

hidup) namun harus segera didiagnosa dan ditangani dengan cepat agar tidak terjadi

komplikasi lebih lanjut. Penanganan hiperbilirubinemia direk dapat dengan menggunakan

obat-obatan ataupun dengan terapi operasi (prosedur Kasai).

24

Page 25: Etiologi referat

DAFTAR PUSTAKA

1. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, Management, Procedures,

On-Call Problems, Diseases adn Drugs. McGraw-Hill. 7th ed. 2013.

2. Harb R, Thomas DW. Conjugated Hyperbilirubinemia. AAP. 2007;28(3):822-

829.

3. Lee WS, McKiernan PJ, Neath SV, Preece MA, Baty D, Kelly DA, Burchell B,

Clarke DJ Bile bilirubin pigment analysis in disorders of bilirubin metabolism in

early infancy. Arch Dis Child 2001; 85:38-42

4. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. J Pediatr Gastrol Nutr. 2006;42:190-5.

5. Mishra A, Pnt N, Chadha R, Choudhury R. Choledochal Cysts in Infancy and

Childhood. Ind J of Peds 2007;74:937-57.

6. Khanna R, Agarwal N, Basu SP. Spontaneous Common Bile Duct Perforation

Presenting as Acute Abdomen. Indian J Surg. 2010;72(5):407-8.

7. Jain A, Poddar U, Elhence P, Tripathi A, Shava U, Yachha SK. Cholestasis in a

neonate with ABO haemolytic disease of newborn following transfusion of ABO

group-specific red cells compatible with neonatal serum: inspissated bile

syndrome. Blood Transfus 2014; 12:621-3.

8. Lough J, Metrakos JD. Idiopathic neonatal hepatitis. Can Med Assoc J 1967;

96(18):1258-61.

9. http:/ghr.nlm.nih.gov/condition/alagille-syndrome

10. Bruguera M, Llach J, Rodes J. Nonsyndromic paucity of intrahepatic bile ducts in

infancy and idiopathic ducopenia in adulthood: the same syndrome? Hepatology

1992;15(5):830-4.

11. Sato Y, Shan Ren X, Nakanuma Y. Caroli’s Disease: Current Knowledge of Its

Billiary Pathogenesis Obtained from an Orthologous Rat Model. International

Journal of Hepatology . Vol 2012

12. Dahel KJ. Ferreti E. Montiveros C. Grenon R. Barrowman R. River CJ. Parenteral

Nutrition Induced Cholestasis in Neonates: Where does the Problem Lie.

Gastroenterology Research and Practice. Vol 2013.

25

Page 26: Etiologi referat

13. Jain AK, Teckman JH. Newly Identified Mechanism of Total Parenteral Nutrition

Related Liver Injury. Advanced in Hepatology. Vol 2014

14. Brumbaugh D, Mack C. Conjugated Hyperbilirubinemia in Children. Pediatrics

in Review. July. 2012. Vol 33.

15. Williams JF, Smith VC. Fetal Alcohol Spectrum Disorders. American Academy of

Pediatrics. 2015. November; 136: 1395-1406

16. Kurtoğlu S, Ҫoban D, Akin MA, Akin L, et al. Neonatal Sludge: A Finding of

Congenital Hypothyroidism. J Clin Res Pediatr Endrocinol. 2009. Jun; 1(4): 197–

200

17. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/tyrosinemia

18. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/gaucher-disease

19. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/niemann-pick-disease

20. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/wolmann-syndrome

21. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/galactosemia

22. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/hereditary-fructose-intolerance

23. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/glycogen-storage-disease

24. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/zellweger-syndrome

25. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/dubin-johnson-syndrome

26. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/rotor-syndrome

27. Heubi JE, Setchell KDR, Bove KE. Inborn Errors of Bile Acid Metabolism.

Seminars Liver Dis. 2007; 27(3):282-94.

28. Nesseler N, Launey Y, Aninat C, Morel F, Malledant Y, Seguin P. Clinical

review: The liver in sepsis. Critical care 2012; 16:235-43.

29. NNF Teaching Aids : Newborn Care. 2014; 1-10.

30. AAP Clinical Practice Guideline: Management of Hyperbilirubinemia in the

Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation.” Pediatrics vol. 114 No. 1 July

2004, pp. 297-316.

31. http://pedsinreview.aappublications.org/content/21/9/303

32. http://ghr.nlm.nih.gov/condition/budd-chiari-syndrome

26

Page 27: Etiologi referat

33. Lalit B, Stephen B. Berman’s Pediatric Decision Making. 5th ed. Elsevier.

2011.p288-291.

27