Eriza rwferat istc

37
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tuberkulosis merupakan penyakit yang sangat kompleks. Penyakit TB dapat mengenai semua sistem organ, sehingga hampir semua disiplin medis terkait dengan penyakit ini. Penyakit ini karena dapat mengenai semua sistem organ tidak jarang keliru didiagnosis sebagai penyakit lain, terutama di negara dengan prevalens rendah. Sebaliknya di negara dengan prevalens tinggi seperti Indonesia, seringkali terjadi overdiagnosis. Hal ini dikarenakan gejalanya tidak khas, perangkat diagnosis yang ada tidak sepenuhnya memuaskan, dan pelaksanaan pemeriksaan diagnostik yang baku dan benar tidak praktis. Jadi penyakit TB berpotensi mengarah ke dua kutub ekstrim, underdiagnosis atau overdiagnosis, yang keduanya dapat terjadi di satu wilayah secara bersamaan. 1 Menyadari akan berbagai masalah TB tersebut, para ahli dari berbagai organisasi kesehatan dan medis yang bergerak di bidang TB merasa perlu mengembangkan suatu panduan baku yang bila dilaksanakan dengan benar akan menghilangkan atau paling tidak meminimalisasi kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh manajemen TB yang tidak sesuai dengan pedoman organisasi yang mempunyai inisiatif awal di antaranya WHO, International Union Against Tuberculosis and

description

Istc 2014

Transcript of Eriza rwferat istc

BAB 1PENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANGTuberkulosis merupakan penyakit yang sangat kompleks. Penyakit TB dapat mengenai semua sistem organ, sehingga hampir semua disiplin medis terkait dengan penyakit ini. Penyakit ini karena dapat mengenai semua sistem organ tidak jarang keliru didiagnosis sebagai penyakit lain, terutama di negara dengan prevalens rendah. Sebaliknya di negara dengan prevalens tinggi seperti Indonesia, seringkali terjadi overdiagnosis. Hal ini dikarenakan gejalanya tidak khas, perangkat diagnosis yang ada tidak sepenuhnya memuaskan, dan pelaksanaan pemeriksaan diagnostik yang baku dan benar tidak praktis. Jadi penyakit TB berpotensi mengarah ke dua kutub ekstrim, underdiagnosis atau overdiagnosis, yang keduanya dapat terjadi di satu wilayah secara bersamaan.1Menyadari akan berbagai masalah TB tersebut, para ahli dari berbagai organisasi kesehatan dan medis yang bergerak di bidang TB merasa perlu mengembangkan suatu panduan baku yang bila dilaksanakan dengan benar akan menghilangkan atau paling tidak meminimalisasi kerugian dan kerusakan yang ditimbulkan oleh manajemen TB yang tidak sesuai dengan pedoman organisasi yang mempunyai inisiatif awal di antaranya WHO, International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yang biasa disebut The Union, American Thoracic Society (ATS), CDC Amerika dan lain-lain.1Panduan ini disebut dengan International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). Sebagaimana tuntutan saat ini, maka penyusunan ISTC juga berdasarkan Evidence based medicine (EBM). ISTC tidak dimaksudkan untuk menggantikan berbagai pedoman (guideline) manajemen TB yang telah disusun secara rinci oleh masing-masing organisasi profesi, tetapi berperan sebagai rambu-rambu minimal untuk tenaga medis yang mengelola kasus TB. ISTC memuat hal-hal apa (what) yang seharusnya dilakukan dokter dalam mengelola pasien TB, sedangkan pedoman organisasi profesi berisi panduan bagaimana mengelola pasien TB.1

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 PengertianInternational standards for tuberculosis care ( ISTC ) adalah kumpulan standar penanganan tuberculosis yang bersifat internasional dengan tujuan untuk menggambarkan suatu tingkat penanganan yang dapat diterima secara luas yang harus dilakukan oleh seluruh praktisi baik pemerintah maupun swasta dalam penanganan pasien TB atau diduga menderita TB. Suatu standar mutu pelayanan yang sangat tinggi penting untuk menyembuhkan pnderita TB, mencegah penularan penyakit kepada anggota keluarga dan kontak serta menjaga kesehatan masyarakat pada umumnya. Penanganan yang dibawah standar akan berakibat kegagalan pengobatan, transmisi kuman TB yang berkelanjutan kepada anggota keluarga dan anggota masyarakat lain serta menimbulkan resistensi ganda obat (MDR). Karena alasan tersebut maka penanganan TB yang substandard tidak dapat diterima.2.2 Standar ISTCTahun 2006 ISTC mempunyai 3 katagori standar yaitu diagnosis ( 6 standar), terapi (9 standar) dan tanggung jawab kesehatan masyarakat (2 standar) sehingga ada 17 standar. Pencegahan, laboraturium dan ketenagaan tidak masuk dalam standar ini. Tahun 2009 dikeluarkan ISTC edisi kedua dengan beberapa perubahan dibagi menjadi 4 katagori standar yaitu :1. Standar diagnosis ( 1-6)2. Standar pengobatan ( 7-13)3. Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain (14-17)4. Standar kesehatan masyarakat (18-21)Standar ini dimaksudkan untuk melengkapi kebijakan lokal atau nasional pengendalian tuberculosis yang sesuai denga rekomendasi WHO.ISTC 2014 berpusat pada perawatan pasien dan komponen pencegahan berdasarkan strategi global WHO untuk pencegahan tuberkulosis, perawatan, dan kontrol setelah 2015. Keterlibatan semua penyedia layanan kesehatan adalah komponen penting strategi diperbarui dan ISTC akan berfungsi sebagai sarana untuk memfasilitasi pelaksanaan strategi tersebut, terutama di kalangan penyedia layanan swasta. Serta dicantumkan pula pentingnya mengidentifikasi individu atau kelompok pada peningkatan risiko tuberkulosis dan memanfaatkan metode skrining yang tepat dan intervensi pencegahan pada orang tersebut atau kelompok.12.2.1 Standar DiagnosaStandar 1Untuk memastikan diagnosis dini, penyedia harus menyadari faktor individu dan kelompok risiko TBC serta melakukan evaluasi klinis yang cepat dan tepat tes diagnostik untuk orang dengan gejala dan temuan yang mendukung TB.1Penyedia harus mengakui bahwa dalam mengevaluasi orang-orang yang mungkin memiliki TB mereka mengasumsikan fungsi kesehatan masyarakat esensial yang memerlukan tanggung jawab yang tinggi kepada masyarakat serta masing-masing pasien. Diagnosis dini dan akurat sangat penting untuk perawatan TB dan kontrol. Meskipun secara dramatis meningkatkan akses ke layanan TB berkualitas tinggi selama dua dekade terakhir, ada bukti substansial bahwa kegagalan untuk mengidentifikasi kasus awal adalah kelemahan utama dalam upaya untuk memastikan hasil yang optimal bagi pasien dan untuk mengendalikan penyakit ini. Penundaan Diagnostik mengakibatkan transmisi yang sedang berlangsung di masyarakat dan, penyakit progresif yang lebih parah pada orang yang terkena dampak. Ada tiga alasan utama untuk keterlambatan dalam mendiagnosis TB: orang yang terkena baik tidak mencari atau tidak memiliki akses ke perawatan ini, penyedia tidak mencurigai penyakit dan kurangnya sensitivitas tes yang paling umum tersedia diagnostik, sputum (atau spesimen lain) pemeriksaan mikroskopik.

Standar 2Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak dapat dijelaskan yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan suspek tuberkulosis pada radiografi dada harus dievaluasi untuk tuberkulosis.1Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif yang persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk darah, sesak napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia. Limfadenopati yang konsisten dengan TB paru juga dapat ditemukan, terutama pada pasien dengan infeksi HIV.1Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala batuk, gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi pada infeksi saluran napas akut, asma, serta PPOK. Walaupun begitu, batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan digunakan pada guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan prevalensi TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi TB yang rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan kondisi selain TB.

Standar 3semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB paru dan mampu menghasilkan dahak harus memiliki minimal dua spesimen sputum diajukan untuk mikroskopi smear atau spesimen dahak tunggal untuk Xpert MTB / RIF * pengujian di laboratorium mutu yang terjamin. Pasien yang beresiko untuk resistensi obat, yang memiliki risiko HIV, atau yang sakit parah, harus memiliki Xpert MTB / RIF dilakukan sebagai uji diagnostik awal. Tes serologi berbasis Darah dan interferon gamma release assay tidak boleh digunakan untuk diagnosis TB aktif. 1Untuk menetapkan diagnosis TB setiap upaya harus dilakukan untuk mengidentifikasi agen penyebab penyakit. Diagnosis mikrobiologis hanya dapat dikonfirmasi dengan kultur M. tuberculosis kompleks atau mengidentifikasi sekuens asam nukleat tertentu dalam spesimen dari situs penyakit. Karena pendekatan awal yang direkomendasikan mikrobiologi untuk diagnosis bervariasi tergantung pada risiko untuk resistensi obat, kemungkinan infeksi HIV dan tingkat keparahan penyakit, penilaian klinis harus mengatasi faktor-faktor ini. Saat ini, WHO merekomendasikan bahwa Xpert MTB / RIF assay harus digunakan daripada mikroskopi konvensional,Tuberkulin tes atau Interferon-gamma release assay (tes IGRA) memiliki nilai untuk mendiagnosis TB aktif pada orang dewasa meskipun hasilnya mungkin berfungsi untuk menambah atau mengurangi kecurigaan diagnostikStandar 4Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga menderita TB ekstraparu, spesimen dari situs yang dicurigai terlibat harus diperoleh untuk pemeriksaan mikrobiologi dan histologi. Sebuah Xpert MTB / RIF tes pada cairan serebrospinal direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal pada orang yang diduga mengalami meningitis TB karena kebutuhan untuk diagnosis cepat.1

Standar 5pada pasien yang diduga menderita TB paru yang sputum BTA negatif, harus dilakukan Xpert MTB / RIF dan / atau biakan dahak. Di antara pasien dengan sputum yang negatif dari pemeriksaan Xpert MTB / RIF yang memiliki bukti klinis keraah tuberkulosis, pengobatan anti tuberkulosis harus dimulai setelah pengambilan spesimen untuk pemeriksaan kultur.1Diagnosis tuberkulosis paru dengan hasil apusan dahak negatif dapat ditegakkan berdasarkan kriteria berikut : Minimal 2 kali hasil pemeriksaan mikroskopis sputum negatif (termasuk minimal 1 kali spesimen sputum pagi hari) Hasil temuan radiologis sesuai dengan gambaran tuberkulosis Tidak ada respon terhadap antibiotika spektrum luas (tidak termasuk pengobatan anti TB dan fluroquinolon)1,2

Pada pasien seperti kriteria diatas harus dilakukan kultur sputum untuk memperjelas diagnosis tuberkulosis. Kultur lebih dipilih karena sifatnya lebih sensitif, 100 organisme / ml sputum sudah cukup untuk menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Namun kekurangannya adalah biaya yang cukup mahal, teknik yang lebih kompleks, dan memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil. Meskipun hasil kultur belum tersedia, keputusan untuk memulai terapi anti TB dapat diambil, terlebih untuk pasien dengan tuberkulosis berat (misal disertai infeksi HIV). Terapi dapat dihentikan jika terbukti hasil kultur dahak negatif, pasien tidak memberikan respon secara klinis, dan terdapat bukti yang mendukung diagnosis banding.1Pada pasien yang hasil pemeriksaan apusan dahaknya negatif minimal 2 kali dengan perjalanan penyakit serta gejala yang kurang khas untuk TB, wajar jika dipertimbangkan kemungkinan adanya penyakit lain yang mendasari. Namun hal tersebut juga tidak menutup kemungkinan adanya tuberkulosis. Misalnya saja pada pasien dengan infeksi HIV. Karena sistem imun yang memburuk, biasanya pasien TB dengan HIV menunjukkan hasil BTA negatif.

Standar 6Untuk semua anak yang diduga menderita intratoraks (yakni, paru, pleura, dan hilus atau mediastinum kelenjar getah bening) tuberkulosis, konfirmasi bakteriologi harus dicari melalui pemeriksaan sekret pernapasan (ekspektorasi dahak, induksi dahak, bilas lambung) untuk pemeriksaan mikroskopik, Xpert MTB / RIF tes, dan / atau biakan dahak.1

Diagnosis TB pada anak bergantung pada evaluasi menyeluruh terhadap semua bukti yang berasal dari riwayat paparan, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang lainnya yang relevan.Penegakkan diagnosis tuberkulosis pada anak-anak memerlukan ketelitian dan pemeriksaan yang lengkap. Pada umumnya keterlibatan paru pada tuberkulosis anak memiliki karakteristik paucibacillar, tanpa kavitasi yang jelas, namun dengan keterlibatan nodus lima intratorakal. Dibandingkan dewasa, BTA sputum anak cenderung lebih negatif. Pada anak di bawah lima tahun yang secara praktis akan sulit untuk mendapatkan sampel sputum, kultur dari bilasan lambung (gastric washing) yang didapatkan dari pipa naso-gastrik serta sputum diinduksi dapat memiliki nilai diagnostik yang lebih tinggi dibandingkan sputum spontan. Harus dicari bila memungkinkan dengan sputum (atau spesimen lain) pemeriksaan dengan Xpert MTB / RIF, mikroskopi, dan biakan.

2.2.2 Standar PengobatanStandar 7Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.1

Standar 8Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang biovalibilitinya telah diketahui. Fase awal seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan. Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada fase lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh , terutama untuk pasien yang terinfeksi HIV.1Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:1) OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.2) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).3) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.Tahap Awal (Intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Standar 9Untuk meningkatkan serta mengevaluasi kepatuhan terhadap pengobatan, dilakukan pendekatan yang berfokus pada pasien, didasari oleh kebutuhan pasien serta adanya hubungan yang saling menghargai di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Supervisi dan dukungan yang dilakukan seharusnya menaruh perhatian khusus pada gender dan kelompok usia, serta harus pula sesuai dengan intervensi yang dianjurkan, termasuk di dalamnya edukasi dan konseling pasien. Elemen yang utama pada pendekatan ini adalah penggunaan pengukuran untuk menilai, meningkatkan kepatuhan berobat, dan mendeteksi ketidakpatuhan. Adapun pengukuran ini dibuat secara khusus sesuai keadaan masing masing individu dan dapat diterima oleh baik pasien maupun pemberi pelayanan. Salah satu metode yang dipakai adalah pengawasan langsung minum obat oleh seorang PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem kesehatan serta bertanggung jawab kepada pasien dan sistem kesehatan.1

Kepatuhan Berobat dan Faktor yang MempengaruhinyaEsensi yang secara jelas diungkapkan pada standar ini adalah pentingnya hubungan seorang pasien dengan penyedia layanan kesehatan untuk berkolaborasi dan berusaha meningkatkan kepatuhan pengobatan. Dengan mengasumsikan tatalaksana telah diresepkan secara tepat, hal ini adalah salah satu faktor kritikal untuk keberhasilan terapi.1Akan tetapi, pada kenyataannya, kepatuhan sering menjadi sebuah masalah besar dalam perjalanan terapi mengingat durasi pengobatan yang umumnya panjang (minimal 6 bulan). Tanpa dilakukannya sistem dukungan yang baik, seringkali pasien menghentikan pengobatan, terutama dengan alasan telah merasa sembuh ataupun karena adanya efek samping obat. Sebagai akibatnya, justru terjadi infeksi yang berkepanjangan, perburukan penyakit, atau bahkan resistensi obat.Kepatuhan pasien untuk menjalani pengobatan tuberkulosis berkaitan dengan banyak hal, misalnya penyedia layanan kesehatan, interpretasi dan persepsi pasien mengenai konsep sehat dan sakit, beban ekonomi, pengetahuan, sikap, dan tingkah laku, hukum dan kebijakan yang berlaku, efek samping pengobatan, keluarga dan lingkungan sekitar, serta beragam faktor lainnya.1Bila ditelaah lebih lanjut, kepatuhan pada dasarnya adalah sebuah fenomena multi dimensional yang mencakup 5 faktor utama, yaitu:

Faktor terkait sosial ekonomi.Beberapa kondisi sosial ekonomi yang diketahui dapat mempengaruhi kepatuhan pada pengobatan tuberkulosis antara lain tidak adanya sistem dukungan yang efektif, lingkungan tidak stabil, faktor budaya sekitar, stigma, mahalnya biata medikasi, mahalnnya biaya transportasi, dan lain lain. Untuk mengatasinya, diperlukan sistem dukungan sosial yang baik, disediakannya sarana transportasi yang memadai untuk keperluan terapi, dikembangkannya organisasi berbasis komunitas, dukungan rekan sebaya, dukungan pada keluarga dan komunitas, serta edukasi pada komunitas dan penyedia layanan kesehatan untuk mengurangi stigma. Faktor terkait sistem layanan kesehatan.Bila ternyata pelayanan kesehatan sangat buruk, tidak terdapat hubungan yang baik antara pasien dengan penyedia layanan kesehatan, petugas yang kurang terlatih, serta ketidakberadaan ahli, kepatuhan pasien juga dapat berubah.Oleh karena itu, masalah di atas diatasi dengan memperbaiki availabilitas petugas, melakukan pelatihan dan manajemen untuk meningkatkan kualitas penyedia layanan, supervisi intensif pada petugas, dan pelayanan yang multidisipliner. Faktor terkait kondisi.Beberapa kondisi khusus yang dialami oleh pasien dapat memberikan pengaruh buruk pada kepatuhan meminum obat, misalnya kasus asimtomatik, penurunan kesadaran akibat penyalahgunaan obat, stres psikologis, dan depresi.Di lain pihak, bila seorang pasien memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai TB serta pengobatannya, nilai kepatuhan pun akan membaik.Oleh karenanya, pemberian edukasi mengenai penyakit maupun tatalaksana yang akan dilakukan baik jangka pendek maupun jangka panjang pada dasarnya adalah wajib. Faktor terkait terapi.Terapi pada TB dapat dikatakan kompleks, tidak jarang menimbulkan efek samping, dan dapat pula menimbulkan efek toksik sebagai akibat dari seringnya konsumsi. Terkait dengan faktor terapi ini, usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan adalah penjelasan mengenai setiap obat dan efek sampingnya, penggunaan preparat kombinasi fixed dose, pengobatan yang disesuaikan dengan kondisi pasien / tailored, dan monitor serta penilaian secara ketat. Faktor terkait pasien.Pada dasarnya, seluruh aspek kepatuhan dikembalikan kembali pada sifat dari pasiennya. Kepatuhan yang buruk akan ditemui pada pasien pelupa, pasien dengan penyalahgunaan obat, depresi, stres, maupun pasien yang terasingkan sebagai akibat dari stigma yang ada. Kondisi berbeda akan ditemui pada pasien yang telah telah mendapatkan motivasi yang cukup ataupun percaya benar pada efektivitas terapi. Untuk mengatasinya, dibutuhkan adanya tenaga yang siap mengingatkan pasien baik dengan cara kunjungan langsung maupun pengingat melalui telepon.8Hal yang penting untuk diingat adalah setiap terapi dan dukungan yang akan dilakukan kembali harus disesuaikan karena kombinasi kelima faktor tadi akan berbeda untuk setiap individu, atau dengan kata lain dijalankan terapi yang bersifat tailor made / berfokus pada pasien. Melihat adanya kelima faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kepatuhan bukanlah semata mata berurusan hanya dengan pasien, akan tetapi merupakan persoalan kompleks yang juga harus ditinjau dari berbagai faktor lainnya.Directly Observed TherapyMeskipun masih menjadi kontroversi karena bervariasinya temuan hasil penelitian, salah satu strategi terkini yang diyakini dapat berdampak positif pada tatalaksana tuberkulosis adalah pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung (Directly Observed Therapy / DOT), sesuai dengan poin ke tiga pada DOTS.10Pengawasan pada pasien dengan tuberkulosis dapat dilakukan pada saat rawat jalan oleh seorang paramedis bila pasien dapat datang secara rutin atau oleh seorang petugas rumah sakit bila pasien dirawat. Di samping itu, orang lain seperti kader maupun tokoh masyarakat dapat saja berperan menjadi seorang Pengawas Minum Obat (PMO) asalkan memenuhi persyaratan: Bersedia dengan sukarela membantu pasien tuberkulosis hingga sembuh selama pengobatan dengan OAT, serta menjaga kerahasiaan penderita HIV / AIDS. Diutamakan seorang petugas kesehatan, tetapi dapat pula kader kesehatan ataupun anggota keluarga yang disegani oleh pasien.7Dalam pelaksanaan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai, pasien diberikan penjelasan bahwa alasan ditunjuk seorang PMO, yang harus pula hadir pada kesempatan tersebut. Adapun secara umum tugas dari seorang PMO ke depannya antara lain: Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik Melakukan pengawasan minum obat terhadap pasien Mengingatkan pasien untuk memeriksa ulang dahaknya sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga selesai Mengenai efek samping minor akibat obat dan menasihati pasien agar tetap mau meminum obat Merujuk pasien bila efek samping berat muncul Melakukan kunjungan rumah Menganjurkan anggota keluarga lain untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala untuk tuberkulosis.7Poin yang membuat strategi ini digemari adalah keberadaan supervisi yang ketat. Dengan adanya jaminan bahwa obat telah secara pasti diminum oleh pasien, dengan kembali mengasumsikan bahwa tidak terdapat kesalahan diagnosis ataupun pemilihan regimen, maka tentu hasil akhir dari terapi yang diberikan akan memuaskan dan hanya terdapat risiko minimal untuk resistensi. Bila terjadi efek samping, dapat pula dilakukan deteksi dini. Di samping itu, pendekatan yang berfokus pada pasien ini juga dapat meminimalisir terjadinya stigma dan faktor psikologis lain yang juga dapat mempengaruhi kepatuhan.8Standar 10Respon terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk tuberkulosis didiagnosis dengan tes molekuler cepat) harus dipantau oleh tindak lanjut BTA mikroskop pada saat penyelesaian fase awal pengobatan (dua bulan). Jika BTA positif pada penyelesaian tahap awal, dahak mikroskop harus dilakukan lagi pada 3 bulan dan, jika positif, tes kepekaan obat molekuler cepat (line pemeriksaan tes atau Xpert MTB / RIF) harus dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra paru dan pada anak-anak, respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis.Pemantauan pasien dan pengawasan pengobatan adalah dua fungsi yang terpisah. Pemantauan Pasien perlu untuk mengevaluasi respon dari penyakit untuk pengobatan dan untuk mengidentifikasi efek samping obat. Untuk menilai respon TB paru pengobatan, metode yang paling cepat adalah mikroskop BTA. Idealnya, di mana laboratorium kualitas terjamin yang tersedia, kultur sputum, serta smear, harus dilakukan untuk pemantauan.

Standar 11Penilaian pada kecenderungan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, paparan pada organisme yang mungkin menyebabkan resistensi, dan prevalensi resistensi pada komunitas harus dilakukan pada seluruh pasien. Tes efektivitas obat harus dilakukan pada awal terapi bagi seluruh pasien. Untuk pasien yang dianggap cenderung menjadi resisteni harus dilakukan tes Xpert MTB / RIF untuk diagnostik awal. Jika resistance rifampisin terdeteksi, biakan dan pengujian untuk kerentanan terhadap isoniazid, fluoroquinolones, dan obat suntik lini kedua harus dilakukan segera. Konseling pasien dan edukasi, serta pengobatan dengan empiris rejimen lini kedua, harus dimulai segera untuk meminimalkan potensi untuk transmisi. Langkah pengendalian infeksi sesuai dengan pengaturan harus diterapkan.Resistensi obat pada dasarnya adalah salah satu konsekuensi serius yang dapat muncul sebagai akibat dari regimen dan tatalaksana yang suboptimal.8 Pada kasus resistensi, terdapat setidaknya lima faktor yang saling berkolaborasi, yaitu: Faktor mikrobiologikResistensi dapat terjadi secara natural maupun didapat, sebagai akibat dari virulensi kuman yang tinggi, serta penularan kuman yang telah resisten.7 Pasien dengan resistensi obat dapat menularkan kuman yang telah resisten tersebut kepada orang lain yang berkontak dengan dirinya, seperti yang ditemui pada banyak penderita TB dengan HIV, sesama yang tinggal dalam penjara, atau tempat penampungan lainnya.4 Faktor klinik, sebagai akibat dari penyelenggara kesehatan, obat, maupun pasien.Faktor penyelenggara kesehatan yang berperan adalah terjadinya keterlambatan diagnosis, pengobatan yang tidak mengikuti pedoman, penggunaan OAT yang tidak adekuat baik dari jenis obat atau telah terjadinya resistensi, tidak adanya pedoman yang tersedia, buruknya organisasi program nasional TB, tidak adanya pelatihan TB, tidak ada supervisi, serta fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat yang ditambahkan pada satu paduan yang telah gagal sehingga memperpanjang deretan jumlah obat yang resisten.7Faktor klinik dari obat adalah lamanya pengobatan yang harus dijalankan sehingga cenderung membosankan, munculnya efek samping/efek toksik, kegagalan penyerapan obat akibat kesalahan waktu meminum obat atau diare, kualitas obat kurang baik, serta dosis yang tidak tepat.7.8Faktor pasien yang berperan adalah tidak optimalnya atau bahkan tidak adanya PMO, kurangnya informasi atau penyuluhan, ketidakpatuhan berobat, kurangnya dana untuk obat, kesulitan sarana dan prasarana transportasi, dan masalah sosial.3 Faktor program, di antaranya tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan, keterbatasan stok obat, harga obat yang tidak terjangkau, pengadaan obat yang terputus, tidak dijalankannya program atau tidak maksimalnya program yang berjalan. Faktor HIV / AIDS dan kondisi komorbid lainnya, antara lain malabsorbsi, diare, infeksi HIV, penggunaan obat anti jamur. Faktor kuman, terutama untuk kuman dengan sifat super strain, yang biasanya sangat virulen dan memiliki daya tahan hidup lebih tinggi.3Dari seluruh kemungkinan yang ada, faktor terkuat yang dapat menyebabkan adanya resistensi obat adalah pengobatan anti tuberkulosis sebelumnya.4 Secara umum, resistensi pada obat TB dapat diklasifikan menjadi: Resistensi primer, bila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan Resistensi inisial, bila tidak diketahui pasti apakah telah terdapat riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau memang belum pernah sebelumnya Resistensi sekunder, bila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT lebih dari 1 bulan.3Resistensi obat TB ini kembali dapat diklasifikasikan ke dalam lima jenis resistensi, yaitu: Mono resisten, bila hanya kebal terhadap satu jenis OAT. Poli resisten, bila terdapat kekebalan pada lebih dari satu OAT selain kombinasi isoniazid dan rifampisin. Resistensi obat ganda (multi drug resistance), didefinisikan dengan kuman yang telah resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.3 Resistensi obat ekstensif (extensive drug resistance), yaitu kriteria MDR ditambah kekebalan terhadap satu obat golongan fluorokuinolon, dan setidaknya salah satu dari OAT injeksi lini ke dua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).3,4 Resistensi obat total, baik dengan lini pertama maupun ke dua, sehingga tidak ada lagi obat yang dapat dipakai.3Adapun secara umum penilaian untuk resistensi obat perlu dilakukan bila terdapat kondisi berikut: Pasien TB paru yang gagal pengobatan kategori 1. Pasien TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2 dibuktikan dengan rekam medis sebelumnya dan riwayat penyakit dahulu. Pasien TB paru dengan gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 1. Pasien TB paru dengan gagal konversi setelah sisipan dengan kategori 2. Pasien TB yang pernah mendapatkan terapi dari fasilitas non DOTS, termasuk pada penggunaan terapi lini ke dua seperti kuinolon dan kanamisin. TB paru kasus kambuh setelah dinyatakan sukses terapi. Pasien TB yang kembali setelah lalai / default pada pengobatan kategori 1 maupun 2 Suspek TB dengan keluhan, yang sering berkontak atau tinggal dekat dengan pasien TB MDR yang telah terkonfirmasi. TB-HIV.7,8Seluruh suspek TB-MDR dalam hal ini akan diperiksa dahaknya di laboratorium yang telah dijamin mutunya. Kemudian, akan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan untuk OAT lini pertama.3,4 Bila terdapat riwayat pemakaian obat lini ke-2, dilakukan pula uji kepekaan untuk OAT lini ke-2 tersebut.3Standar 12Pasien dengan atau sangat mungkin untuk menderita tuberkulosis yang disebabkan oleh organisme yang resistan terhadap obat (terutama MDR / XDR) harus ditangani dengan rejimen khusus yang mengandung lini kedua obat antituberkulosis kualitas terjamin. Dosis obat antituberkulosis harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Regimen yang dipilih telah distandarisasi atau berdasarkan kecurigaan atau konfirmasi terhadap pola kerentanan obat. Setidaknya digunakan lima obat, pirazinamid dan empat obat yang masih efektif diketahui atau diduga rentan, termasuk suntik agen-harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan dan minimal 3 obat yang masih efektif diketahui atau diduga menjadi rentan, harus digunakan dalam fase lanjutan. Pengobatan harus diberikan selama minimal 18-24 bulan di luar konversi kultur. Tindakan berpusat pada pasien, termasuk pengamatan pengobatan, diperlukan untuk memastikan kepatuhan. Konsultasi dengan spesialis berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan TB MDR / XDR harus diperoleh.1

Penyebab tersering MDR adalah gagal dalam memberikan pengobatan efektif, ketidakpatuhan minum obat, terlambat mengedukasi pasien yang tidak patuh, dosis obat yang tidak adekuat, menambahkan satu obat baru dalam pengobatan yang gagal, dan gagal mengidentifikasi resistensi obat yang ada. Tiga strategi yang direkomendasikan oleh WHO adalah regimen terstandarisasi, regimen empiris, dan regimen pengobatan untuk masing-masing individu. Pemilihannya harus berdasarkan ketersediaan obat lini kedua, pola resistensi obat di tempat tersebut, dan riwayat penggunaan obat lini kedua sebelumnya. Penggunaan minimal adalah 6 hari dalam seminggu dan dosis obat ditentukan oleh berat badan pasien, penggunaan agen injeksi (aminoglikosida dan kapreomisin). Sambil menunggu hasil DST (Drug Susceptibility Testing), dapat diberikan terapi empiris untuk mencegah kerusakan dan transmisi.4

Adapun kelompok OAT yang digunakan dalam pengobatan TB resisten obat adalah:1. Kelompok 1: OAT lini 1 yaitu isoniazid (H), rifampisin (R), etambutol (E), pirazinamid (Z), dan rifabutin (Rfb).32. Kelompok 2: obat suntik berupa kanamisin (Km), amikasin (A), kapreomisin (Cm), dan streptomisin (S).33. Kelompok 3: Fluorokuinolon berupa moksifloksasin (Mfx),levofloksasin (Lfx), dan ofloksasin (Ofx). Moksifloksasin memiliki konsentrasi hambat minimal paling rendah. Sedangkan siprofloksasin harus dihindari pemakaiannya karena menimbulkan efek samping berat pada kulit berupa fotosensitif. Disamping itu, ditemukan pula resistensi silang antara etionamid dengan aminoglikosida, fluorokuinolon, sikloserin, dan terizidon.34. Kelompok 4: bakteriostatik OAT lini kedua yaitu etionamid (Eto), protionamid (Pto), sikloserin (Cs), terzidone (Trd), dan PAS.35. Kelompok 5: obat yang belum diketahui efektivitasnya yaitu klozamin (Cfz), linezoid (lzd), amoksiklav (amx/clv), tiosetazone (Thz), imipenem/ cilastin (Ipm/cln), H dosis tinggi, dan klartitromisin (Clr).3Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs.Z: Pirazinamid, E:etambutol, Kn: Kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs: Sikloserin. Etambutol tidak diberikan jika terbukti resisten.3 Pemberian obat suntik berdasarkan hasil konversi dimana obat suntik diteruskan sekurang-kurangnya 6 bulan dan minimal 4 bulan setelah hasil sputum atau kultur pertama menjadi negative. Disamping itu, keadaan klinis dan foto toraks dapat membantu dalam menentukan penghentian obat suntik. Namun, berdasarkan rekomendasi, pengobatan harus dilanjutkan hingga minimal 18 bulan. Pengobatan yang lebih lama hingga 24 bulan dapat diberikan pada TB kasus kronik.3Selain pengobatan, tatalaksana tersering TB MDR adalah reseksi. Akan tetapi, pembedahan tidak direkomendasikan untuk TB dengan gangguan paru luas bilateral. Oleh karena itu, pembedahan lebih diindikasikan untuk kelainan satu lobus atau paru unilateral. Pembedahan baru dapat dilakukan setelah 2 bulan menggunakan obat yang bertujuan untuk menurunkan infeksi paru. Obat tetap diberikan 12-24 bulan pasca pembedahan.3Pada pasien non-HIV, konversi terjadi pada sekitar 50% kasus, sedangkan response rate didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus. Kunci utama dalam pencegahan MDR adalah pemberian OAT yang benar dan pengawasan yang baik.3Standar 13Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek samping seharusnya disimpan untuk pasien.1

Keberlangsungan OAT seperti yang disebutkan pada DOTS poin keempat dimana pengadaan OAT harus secara berkesinambungan baik untuk lini pertama maupun kedua. Dalam pengadaan tersebut, dibutuhkan perencanaan yang terstruktur sehingga distribusi obat merata dan tanggung jawab dari pemerintah daerah maupun pusat. Distribusi obat berdasarkan tanggal kadaluarsa, atas permintaan dari obat ke gudang kabupaten, kota, atau provinsi sesuai dengan perencanaan tahunan. Selanjutnya, dengan menggunakan formulir TB 13 diberikan laporan triwulan mengenai penerimaan dan pemakaian obat OAT. Selanjutnya, dinas kesehatan provinsi akan merekapitulasi formulir tersebut dan melaporkannya kepada kementerian kesehatan. Setelah sampai di tempat tujuan, obat harus disimpan dengan baik untuk memelihara mutu barang, menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menjaga kelangsungan persediaan, dan memudahkan pengawasan.2Adapun cara penghitungan kebutuhan OAT adalah: Kebutuhan OAT= Konsumsi OAT per bulan dalam satuan paket x periode perencanaan dan pengadaan dalam satuan bulan + (stok dalam satuan paket (stok sekarang dalam satuan paket + stok dalam pesanan pasti dalam satuan paket)).2

2.2.3 Standar TB dengan HIV atau komorbid lainStandar 14Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang erat antara tuberkulosis dengan infeksi HIV pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi, pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan penatalaksanaan kedua infeksi.1

Standar 15Pada orang dengan infeksi HIV dan TB yang memiliki imunosupresi berat (jumlah CD4 kurang dari 50 sel / mm3), ART harus dimulai dalam waktu 2 minggu dari awal pengobatan tuberkulosis kecuali terdapat meningitis TB . Untuk semua pasien lain dengan HIV dan TB, terlepas dari jumlah CD4, ART harus dimulai dalam waktu 8 minggu dari awal pengobatan tuberkulosis. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.1Bukti tentang efektivitas pengobatan TB pada pasien dengan koinfeksi HIV dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki infeksi HIV telah ditinjau secara ekstensif. Ulasan ini menunjukkan bahwa, secara umum, hasil pengobatan tuberkulosis adalah sama pada pasien yang terinfeksi HIV dan non-terinfeksi HIV dengan pengecualian bahwa tingkat kematian lebih besar di antara pasien dengan infeksi HIV, mungkin karena sebagian besar komplikasi infeksi HIV.Rejimen pengobatan TB sebagian besar sama untuk pasien yang terinfeksi HIV dan non-terinfeksi HIV; Namun, hasilnya lebih baik jika rifampisin digunakan di seluruh dan pengobatan diberikan setiap hari setidaknya di fase intensif.

Standar 16Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.1Standar 17Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap kondisi komorbidyang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis.Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes melitus, program berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa kehamilan atau setelah melahirkan.1

2.2.4 Standar Untuk Kesehatan MasyarakatStandar 18Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional. Penentuan prioritas penyelidikan kontak didasarkan pada kecednderungan bahwa kontak:1Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah:-Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis-Anak berusia < 5 tahun-Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya infeksi HIV-Kontak dengan pasien MDR/XDR TBKontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah

Standard 19Anak berusia < 5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid.1

Standard 20Setiap fasiliti pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai.1

Standard21Semuapenyelenggara kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke Kantor Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijaksanaan yang berlaku.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). 3 ed. The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2014.2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Depkes RI; 20073. Frieden TR, ed. Tomans tuberculosis. Case detection, treatment and monitoring, 2nd Edition. Geneva: World Health Organization, 2004: 4650.4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.Jakarta;2011.p.3-5; 55-7.5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.Jakarta; 2011.p.20-25; 31-8; 52-60.6. Hopewell PC, et al. International Standars for Tuberculosis Care. 2nd Ed. San Fransisco: Tuberculosis Coalition for Tehcnical Assistance;2009.p.35-48.7. Second Line Anti-TB Medications. Diunduh dari: www.ndhealth.gov/disease/tb/.../Second%20line%20TB%20drugs.pdf. Diakses pada 8 November 2012, pk.14.56 WIB.

22