EPISTAKSIS jadi

34
EPISTAKSIS Jeanet Prisilia, S.Ked Ridha Nur Rahma Ariani, S.Ked dr. Daud Rantetasak sp, THT-KL I. Pendahuluan Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua pada anak kecilnya. Sebagian besar epistaksis adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada beberapa yang terjadi berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun merupakan masalah kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. 1 Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan 1

description

kao

Transcript of EPISTAKSIS jadi

Page 1: EPISTAKSIS jadi

EPISTAKSIS

Jeanet Prisilia, S.Ked

Ridha Nur Rahma Ariani, S.Ked

dr. Daud Rantetasak sp, THT-KL

I. Pendahuluan

Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik

pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat

menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua pada anak kecilnya.

Sebagian besar epistaksis adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan

bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada beberapa yang terjadi

berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun merupakan masalah

kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani.1

Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya,

kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh

kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya

trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,

tumor, dan pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit

kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,

kelainan hormonal dan kelainan kongenital.1

1

Page 2: EPISTAKSIS jadi

II. Epidemiologi

Prevalensi epistaksis sulit dinilai karena mayoritas berhenti sendiri dan

tidak dilaporkan. Namun, sekitar 90% dari total kejadian epistaksis ialah tipe

anterior dan 10% sisanya merupakan epistaksis posterior. Epistaksis anterior lebih

sering terjadi pada anak (2-10 tahun) dan usia lanjut. Sementara epistaksis

posterior biasanya terjadi pada usia >50 tahun.2

Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa penyakit koagulopati atau patologi

nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal (mengorek hidung) tidak terjadi

hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua dan remaja juga memiliki

angka kejadian yang rendah. Harus dipikirkan penggunaan kokain pada anak

remaja. Prevalensi epistaksis cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) daripada

wanita (42%).3

III. Klasifikasi

Berdasarkan tempat asal perdarahan, epistaksis dibedakan menjadi tipe

anterior dan posterior.2

1. Epistakssi anterior berasal dari pleksus kiesselbach yang terdiri dari

ujung-ujung a. etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior, a.

sfenopalatina, a. palatina mayor, dan a. labialis superior.

2. Epistaksis posterior berasal a. sfenopalatina atau a. Etmoidalis posterior.

Biasanya jarang dapat berhenti sendiri.

2

Page 3: EPISTAKSIS jadi

IV. Anatomi

Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar

dan terpenting dari arteri karotis interna dan eksterna. Sistem arteri karotis

eksterna memperdarahi hidung melalui arteri fasialis dan maksilaris interna.

Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian depan rongga hidung dan

septum anterior melalui cabang septum. Arteri fasialis bercabang menjadi Arteri

labialis superior (cabang terminal). Arteri maksilaris interna masuk melalui fosa

pterigomaksilaris dan bercabang menjadi 6 cabang yaitu arteri alveolaris posterior

superior, arteri palatina desenden, arteri infraorbitalis, arteri sfenopalatina, arteri

kanal pterigoid, dan arteri faringeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanal

palatina mayor dan memperdarahi dinding lateral hidung, lalu kembali ke dalam

rongga hidung melalui cabang di foramen incisivus untuk memperdarahi septum

anterior. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga hidung dekat dengan

perlekatan posterior konka media untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan

bercabang lagi untuk memperdarahi septum.3

Arteri karotis interna berkontribusi terhadap vaskularitas hidung melalui

Arteri oftalmikus. Arteri ini memasuki tulang orbital melalui fisura orbital

superior dan bercabang menjadi beberapa cabang. Arteri etmoidalis posterior

keluar orbit melalui foramen etmoidalis posterior yang terletak 2-9 mm di depan

kanal optikus. Arteri etmoidalis anterior yang lebih besar meninggalkan orbit

melalui foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan posterior

menyebrangi atap etmoid untuk masuk fossa kranialis anterior lalu turun ke dalam

3

Page 4: EPISTAKSIS jadi

rongga hidung melalui lempengan kribiformis, di sini mereka bercabang menjadi

cabang lateral dan septal untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan septum.3

Pleksus Kiesselbach atau area Little adalah jaringan anastomosis dari

pembuluh-pembuluh darah yang terletak di septum kartilago anterior, pleksus ini

menerima suplai darah dari arteri karotis interna dan eksterna. Banyak arteri yang

memperdarahi septum mempunyai hubungan anastomosis di daerah ini yaitu

arteri etmoidalis anterior dan posterior, a. labialis superior, a. sfenopalatina, dan a.

palatina mayor.3

Gambar 1 : Vaskularisasi septum hidung(dikutip dari kepustakaan no.4)

4

Page 5: EPISTAKSIS jadi

Gambar 2 : Vaskularisasi dinding lateral hidung(dikutip dari kepustakaan no.4)

V. Etiologi

Epistaksis disebabkan oleh berbagai hal, baik bersifat lokal maupun

sistemik, tetapi juga dapat idiopatik.2

1. Penyebab lokal

a. Trauma

Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung

terus-menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum

anterior. Skenario ini sering terjadi pada anak kecil. Benda asing di rongga

hidung (nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan

epistaksis walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena

benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras.3,5

5

Page 6: EPISTAKSIS jadi

Trauma akut fasial dan nasal sering menyebabkan epistaksis.

Pendarahan yang berasal dari laserasi minor pada mukosa biasanya

terbatas. Namun, trauma fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul,

jatuh, kecelakaan lalu lintas) dapat menyebabkan pendarahan berat yang

memerlukan tampon nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat

menandakan adanya aneurisma traumatik.3

Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau

trauma pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan

operasi nasal perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan

pada trauma nasal dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa)

hingga berat (karena transeksi pembuluh darah besar).3

b. Udara Kering

Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa,

oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca

dingin dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi

mukosa nasal.3

c. Obat-obatan

Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid

dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke

septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan

epistaksis. Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs

(NSAIDs).3 Pada orang sehat aspirin menyebabkan perpanjangan masa

perdarahan. Hal ini bukan karena hipoprotrombinemia, tetapi karena

6

Page 7: EPISTAKSIS jadi

asetilase sikloosigenase trombosit sehingga pembentukan TXA2

terhambat.6

d. Kelainan Septum

Deviasi septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal sehingga

menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan biasanya

terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari deviasi

septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi sumber

epistaksis.3

e. Inflamasi / Infeksi Lokal

Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan

inflamasi mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada kasus ini

biasanya ringan dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.

Penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener,

tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan mukosa

menjadi kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang.

Bayi dengan gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat mengalami

epistaksis karena inflamasi.3

f. Tumor

Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien

yang terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan

rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis berat dapat timbul pada

hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma. Rabdomiosarkoma intranasal,

walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak

7

Page 8: EPISTAKSIS jadi

kecil. Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat

menyebabkan epistaksis berat sebagai gejala awalnya.3

2. Penyebab sistemik

a. Kelainan darah

Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan

riwayat keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari

trauma ringan atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital

adalah hemofilia dan penyakit von Willebrand.3

Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor

pembekuan darah yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive

pada kromosom X (Xh). Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis

yang dapat dijumpai pada kasus hemofilia. Tanda perdarahan yang sering

dijumpai yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/inramuskular,

perdarahan mukosa mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis, dan

hematuria.7

Von Willebrand Disease (VWD) merupakan kelaianan perdarahan

turunan yang paling sering terjadi, bentuk dominan autosomal yang lebih

ringan dapat terjadi pada 1% populasi. Faktor von willebrand beredar

dalam sirkulasi sebagai polimer berukuran besar dan memiliki dua fungsi.

Fungsi utamanya untuk membentuk jembatan yang memungkinkan

trombosit melekat pada endotel yang rusak. Oleh karena itu, pada vWF

klinisnya berupa perdarahan yang polanya sama dengan pasien penderita

8

Page 9: EPISTAKSIS jadi

kelainan trombosit, misalnya epistaksis dan menoragi. Faktor sekunder

adalah menstabilkan faktor VIII yang berdera dalam sirkulasi.8

Koagulopati yang didapat bisa primer (karena penyakit) atau

sekunder (karena perawatannya). Koagulopati didapat yang sering adalah

trombositopenia dan penyakit liver yang disertai pengurangan signifikan

dari faktor-faktor pembekuan darah. Walaupun tanpa penyakit liver,

peminum alkohol sering berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis.

Obat antikoagulan oral juga menjadi faktor resiko epistaksis.3

b. Kelainan pembuluh darah

Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai

penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut.

Sindrom Osler-Weber-Rendu juga disebut telengiektasis hemoragic

herediter, merupakan suatu sindrom autosomal dominan yang ditandai

oleh pembentukan lesi vaskular disekitar bibir, rongga mulut dan hidung.

Salah satu manifestasi utama yang lazim adalah epistaksis berulang hingga

memerlukan transfusi lebih dari satu kali.9

c. Migrain

Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih

tinggi untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus

Kiesselbach, yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah

terlibat dalam patogenesis migrain.3

d. Hipertensi

9

Page 10: EPISTAKSIS jadi

Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami.

Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan darah yang tinggi.

Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang mungkin dikarenakan

kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang kronis.3

Hipertensi jarang menjadi penyebab langsung epistaksis.

Umumnya epistaksis yang disertai kegelisahan dapat menyebabkan

peningkatan tekanan darah yang akut, oleh karena itu penangannya harus

difokuskan pada pengendalian tekanan pendarahan dan mengurangi

kegelisaha. Batuk berlebihan yang menyebabkan hipertensi vena nasal

dapat diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis.3

e. Gangguan hormonal

Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena

pengaruh perubahan hormonal.1

3. Idiopatik (10% kasus)

Penyebab epistaksis anterior biasanya bersifat lokal, sedangkan

epistaksis posterior bersifat sistemik.1

VI. Patofisiologi

Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah

menjadi terpajan kemudian pecah. Lebih dari 90% pendarahan terjadi di daerah

anterior dan berasal dari area Little atau pleksus Kiesselbach di septum.

Pendarahan kapiler atau vena tersebut mengalir secara perlahan walaupun

pemompaan darah yang besar pada arteri asalnya.3

10

Page 11: EPISTAKSIS jadi

Pendarahan anterior dapat juga berasal dari konka inferior bagian depan.

Pendarahan posterior terjadi lebih jauh di belakang rongga hidung, biasanya

terjadi lebih berat dan sering berasal dari arteri (contoh: cabang Arteri

sfenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Pada epistaksis

posterior, jumlah perdarahan biasanya lebih masif. Perdarahan posterior

mendatangkan resiko yang lebih tinggi akan terjadinya sumbatan jalan nafas,

aspirasi darah, dan perdarahan lebih sulit dikontrol.2,3

VII. Diagnosis

1. Anamnesa

Penanganan epistaksis yang tepat akan tergantung pada suatu

anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut :9

a. Riwayat perdarahan sebelumnya.

b. Lokasi perdarahan.

c. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior)

atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk

tegak.

d. Lamanya perdarahan dan frekuensinya

e. Kecendrungan perdarahan

f. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga

g. Hipertensi

h. Diabetes melitus

i. Penyakit hati

11

Page 12: EPISTAKSIS jadi

j. Penggunaan antikoagulan

k. Trauma hidung yang belum lama

l. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan kavum nasi secara menyeluruh dengan spekulum

nasal. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan bantuan tampon anterior

yang diberikan vasokonstriktor (seperti adrenalin 1/5000-1/10.000 dan

pantokain atau lidokain 2% untuk membantu menetukan titik

perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Biarkan tampon selama 10-15

menit.2

Jika sumber perdarahan anterior tidak dapat ditemukan, atau

perdarahan timbul dari kedua lubang hidung, atau darah mengalir terus

menerus di faring posterior, pertimbangkan kemungkinan epistaksis

posterior.2

3. Pemeriksaan penunjang2

Pemeriksaan penunjang hanya dikerjakan pada kasus dengan

kecurigaan koagulopati atau perdarahan masif.

a. Laboratorium (darah lengkap dan profil hemostasis (waktu

perdarahan, PT, aPTT).

b. Radiologis: MRI atau CT-Scan untuk pasien dengan kecurigaan

keganasan atau benda asing yang sulit pada pemeriksaan fisis.

VIII. Penatalaksanaan

12

Page 13: EPISTAKSIS jadi

Terapi ditujukkan untuk memperbaiki keadaan umum, mencari dan

menghentikan sumber perdarahan, serta mencegah berulangnya epistaksis. Tanda

vital (jalan napas, tekanan darah, denyut nadi) harus menjadi perhatian pertama

dan ditangani terlebih dahulu. Posisi pasien adalah duduk, namun juka keadaan

lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan.

Biarkan darah keluar dari hidung agar dapat dimonitor. Bila pasien anak, posisi

adalah duduk dipangku, kepala dipegangi, sementara badan dan tangan dipeluk.2

1. Epistaksis anterior2

Posisikan pasien duduk tegak condong ke depan, posisi kepala

terangkat, tetapi tidak hiperekstensi untuk mencegah aspirasi. Lakukan

penenkanan langsung dengan jari pada kedua cuping hidung ke arah

septum (lokasi pleksus kiesselbach) selama 10-15 menit. Biasanya

perdarahan akan segera berhenti. Terutama pada anak-anak. Edukasi

pasien untuk tetap bernapas melalui mulut.

Bila perdarahan masih berlangsung, pasang tampon adrenalin.

Tampon adrenalin dibuat dengan kasa steril yang diteteskan dengan

epinefrin 0,5% 1:10.000 ditambah pantokain atau lidokain 2%.

Masukkan tampon ke dalam kavum nasi sebanyak 1-2 buah, biarkan

10-15 menit. Evaluasi kembali, apakah perdarahan berhenti setelah 10-

15 menit pemasangan tampon.

Apabila epistaksis masih berlangsung dan tampak sumber

perdarahan, pertimbangkan prosedur kauterisasi dengan AgNO3 25-

13

Page 14: EPISTAKSIS jadi

30% atau elektrokauter. Sesudahnya area tersebut diberi krim

antibiotik.

Jika dengan kauterisasi perdarahan tidak berhenti, atau pemberian

tampon adrenalin, pasang tampon anterior sebanyak 2-4 buah. Dengan

pelumas vaselin atau salep antibiotik selama 2x24 jam sambil

melakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab epistaksis.

Setelah 2 hari, tampon dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.

Bila perdarahan belum berhenti, pasang tampon baru.

a.

b.

14

Page 15: EPISTAKSIS jadi

c.

Gambar 3 : Pemasangan tampon anterior(dikutip dari kepustakaan no.10)

2. Epistaksis posterior2

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya

perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan

rhinoskopi anterior.

Pada epistaksis ini, dilakukan pemasangan tampon Bellocq

(tampon posterior). Tampon ini juga diindikasikan apabila tampon

anterior tidak dapat mengentikan perdarahan. Tampon Bellocq berbentuk

kubus/bulat dengan diameter 3 cm dan terbuat dari kasa. Pada tampon

terikat tiga utas benang; dua utas di satu sisi, dan satu buah disisi

berlawanan. Kontraindikasi tampon posterior adalah trauma fasial.

Cara pemasangan tampon Bellocq :

a. Pada perdarahan satu sisi, masukkan kateter ke lubang hidung hingga

tampak orofaring. Lalu tarik keluar mulut. Pada ujung kateter di

mulut, ikatkan dua utas benang tampon Bellocq. Tarik kateter melalui

hidung hingga dua utas benang tersebut tampak dan dapat ditarik.

15

Page 16: EPISTAKSIS jadi

b. Dorong tampon dengan jari telunjuk agar dapat melewati palatum

mole ke nasofaring.

c. Jika masih terdapat perdarahan, tambahkan tampon anterior ke

kavum nasi.

d. Kedua benang yang sudah keluar di hidung diikat pada sebuah

gulungan kain kasa di depan nares anterior

e. Seutas benang yang dapat keluar dari mulut diikat secara longgar

pada pipi pasien (setelah 2-3 hari, tampon ditarik keluar melalui

benang ini).

f. Jika perdarahan berat, dapat digunakan dua kateter masing-masing di

kavum nasi kanan dan kiri. Epistaksis posterior dapat mengakibatkan

perdarahan masif, bahkan hingga syok hipovolemik bila tidak

ditangani segera.

16

Page 17: EPISTAKSIS jadi

Gambar 4 : Pemasangan tampon posterior.(dikutip dari kepustakaan no.10)

g. Alternatif pengganti tampon Bellocq: kateter Folley dengan balon,

tampon buatan pabrik dengan balon khusus hidung, tampon gel

hemostatik, dan rujuk ke dokter spesialis THT untuk kauterisasi.ligasi

arteri dengan panduan endoskopi.

Gambar 4 : Pemasangan kateter Folley(dikutip dari kepustakaan no.11)

17

Page 18: EPISTAKSIS jadi

Gambar 4 : Pemasangan balon kateter nasal(dikutip dari kepustakaan no.11,12)

h. Agar epistaksis tidak terulang kembali, pasien diedukasi untuk tidak

mengoyang-goyangkan hidung dan tetap menjaga letak kepala agar

lebih tinggi dari jantung.

IX. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau

sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang

hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat

menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah mendadak

dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner

sampai infark miokard sehigga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini

pemberian infus atau tranfusi darah harus dilakukan secepatnya.1

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi sehingga perlu

diberikan antibiotik. Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis

media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu

diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari

tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.

18

Page 19: EPISTAKSIS jadi

Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah

melalui tuba eustachius, dan airmata berdarah (bloody tears), akibatnya

mengalirnya darah secara retrograd melalui ductus nasolakrimalis.1

Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan

laserasi palatum mole atau sududt bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu

ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon dapat menyebabkan

nekrosis mukosa hidung atau septum.1

X. Prognosis

Untuk sebagian besar populasi, epistaksis dianggap hanyalah gangguan

ringan. Tetapi, masalah ini kadang-kadang dapat mengancam nyawa, terutama

pada pasien usia lanjut dan pasien dengan masalah kesehatan. Untungnya,

kematian jarang dan biasanya karena komplikasi dari hipovolemia, dengan

pendarahan berat atau keadaan penyakit penyebabnya.3

Secara keseluruhan, prognosisnya baik tapi beragam; dengan perawatan

yang benar, sangatlah baik.ketika penanganan suportif mencukupi dan penyakit

penyebabnya terkontrol, sebagian besar pasien jarang mengalami pendarahan

berulang. Beberapa dapat mengalami rekurensi minor yang dapat berhenti secara

spontan atau dengan perawatan minimal oleh diri sendiri. Sebagian kecil pasien

mungkin memerlukan tampon atau perawatan yang lebih agresif.3

Pasien dengan epistaksis yang terjadi karena membran kering atau trauma

ringan biasanya baik-baik saja, tanpa dampak jangka panjang.Pasien dengan HHT

cenderung mengalami rekurensi yang banyak walaupun telah dilakukan

pengobatan.Pasien dengan pendarahan karena masalah hematologi atau kanker

19

Page 20: EPISTAKSIS jadi

memiliki prognosis yang beragam. Pasien yang telah menjalankan tampon nasal

adalah subjek dalam peningkatan morbiditas. Tampon posterior dapat

menyebabkan sumbatan jalan nafas dan depresi pernafasan. Tampon di manapun

dapat menyebabkan infeksi.3

XI. Edukasi Pasien

Tindakan pencegahan berikut harus disampaikan kepada pasien:3

1. Menggunakan semprotan nasal garam fisiologis, terutama pada lingkungan

yang panas dan kering untuk menjaga kelembapan mukosa nasal.

2. Menghindari bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras

3. Bersin dengan mulut terbuka

4. Tidak menggunakan manipulasi jari pada nasal

5. Menghindari makanan panas dan pedas

6. Menghindari mandi dengan air panas

7. Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya

Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri

yang harus diberitahukan:3

1. Memberikan tekanan oleh jari untuk 5-10 menit

2. Menggunakan kantong es

3. Bernafas dalam dan tenang

4. Menggunakan vasokonstriktor topikal

20

Page 21: EPISTAKSIS jadi

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Sp.THT (K), Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Iskandar, Sp.THT (K), Prof.

Dr. Nurbaiti, Bashiruddin, Sp.THT (K), Prof. Dr. Jenny, Restuti, Sp.THT (K),

Prof. Dr. Ratna Dwi. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

Kepala & Leher Edisi Keenam. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Hal. 155-159

2. Tanto, C, Liwang, F, Hanifati, S, Pradipta, Eka A. Kapita Selekta Kedokteran

Essentials of Medicine Jilid 2. 2014. Jakarta. Media Aesculapius. Hal 1044-

1046

3. Nguyen, M.D, Quoc A. Epistaxis. 2014. Medscape. http : / / emedicine .

medscape .com / article / 863220-overview.

4. Schlosser RJ. M.D, Epistaxis. 2009. New England Journal Of Medicine

http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784

5. F.R.C.S, Dr. P. Van den Broek, Debruyne, Dr. F, Feenstra, L, Marres, Dr.

H.A.M. Buku Saku Ilmu Kesehatan Tenggorok, Hidung, dan Telinga. 2009.

Jakarta. EGC. Hal 254

6. Ganawan, Sulistia G, Nafriadi, Rianto S, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi.

2007. Jakarta: Gaya Baru. Hal 235

7. Rotty, Linda W.A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid II.

2009. Jakarta: Interna Publishing. Hal 1307

8. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. 2005. Jakarta. Erlangga. Hal 329

21

Page 22: EPISTAKSIS jadi

9. Adams, M.D, George L, Jr, M.D, Lawrence R. Boies, Highler M.D, Peter A.

Boies Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology)

Edisi 6. 2012. Jakarta :EGC. Hal 224-225

10. Kucik, Corry J, Clenney, Timothy. Management of Epistaxis. 2005.

American Family Physician Volume 71 no.II. www.aafp.org. Hal 1 dan Hal

309-310

11. Anonim. Epistaksis (Perdarahan Hidung). 2010. www.jevuska.com

12. Viebweg, DMD, Tate L, Roberson, DMD, John B. Hudson, DDS, J.W.

Epistaxis : Diagnosis and Treatment. 2006. American Association of Oral and

Maxillofacial Surgeons. www.google.com. Hal 1 dan Hal 4

22

Page 23: EPISTAKSIS jadi

LAMPIRAN

23