Epidemiologi
description
Transcript of Epidemiologi
MAKALAH
EPIDEMIOLOGI RUMAH SAKIT
STUDI KASUS RUMAH SAKIT SULIANTI SAROSO
Disusun Oleh :
Ahmad Kuslan Luthfianto (0906515925)
Anindyolaras Cahyo (0906515931)
Anissa Yanuarina (0906636743)
Ayu Wulandini (0906557285)
Cut Keumala Banaget (0906557303)
Fachri Artadi (0906515982)
Putri Nilam Sari (0906636951)
Tagor (0906557392)
Tatika Widyasari (0906516120)
Windi Silvia (0906637001)
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2011
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan
kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Di
Indonesia, infeksi merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan
bayi baru lahir. Selain itu, menyebabkan perpanjangan masa rawat inap bagi
penderita. Resiko infeksi di rumah sakit atau yang biasa dikenal dengan
infeksi nosokomial merupakan masalah penting di seluruh dunia. Infeksi ini
terus meningkat dari 1% di beberapa Negara Eropa dan Amerika, sampai
lebih dari 40% di Asia, Amerika Latin dan Afrika.
Infeksi nosokomial yang dikenal juga sebagai infeksi yang didapatkan
dari rumah sakit adalah infeksi yang didapatkan ketika tidak adanya
perhatian dari pihak rumah sakit Infeksi terjadi lebih dari 48 jam setelah
masuk ke rumah sakit dinyatakan sebagai nosokomial . Infeksi nosokomial
dapat dipertimbangkan sebagai endemik atau pandemik. Infeksi endemik
adalah infeksi yang sering terjadi. Infeksi epidemik terjadi ketika adanya
pertambahan yang tidak biasa di atas baseline dari infeksi yang spesifik atau
organisme yang bersifat infeksi.
Sehubungan dengan infeksi nosokomial ini, maka ada baiknya
mengetahui hal-hal sebagai berikut (dikutip dari repository.usu.ac.id ) :
1. Secara umum infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapatkan
penderita selaa di rumah sakit
2. Infeksi nosokomial sukat diatasi karena sebagai penyebabnya adalah
mikroorganisme yang sudah resisten terhadap anti biotika.
3. Bila terjadi infeksi nosokomial, maka akan terjadi penderitaan yang
berkepanjangan serta pemborosan waktu serta pengeluaran biaya yang
bertambah tinggi kadang-kadang kualitas hidup penderita akan menurun.
4. Infeksi nosokomial disamping berbahaya bagi penderita juga berbahaya
bagi lingkungan baik selama di rumah sakit ataupun di luar rumah sakit
setelah berobat jalan.
5. Dengan pengendalian infeksi nosokomial akan menghemat biaya dan
waktu yang terbuang.
6. Di negara yang sudah maju masalah ini telah diangkat menjadi masalah
nasional sehingga bila angka infeksi di suatu rumah sakit tinggi, maka
izin operasionalnya dipertimbangkan untuk dicabut oleh instansi yang
berwenang.
Adapun pada tabel 1 dapat dilihat definisi untuk beberapa infeksi yang
umum terjadi yang dapat digunakan untuk mensurvei fasilitas.
Perubahan pada penjagaan kesehatan telah menghasilkan jangka waktu
di dalam rumah sakit yang lebih pendek dan menambah banyaknya rawat
jalan. Infeksi nosocomial harus menyeluruh terhadap infeksi yang terjadi
pada pasien
I.2. Permasalahan
1. Apa hubungan antara epidemiologi dengan infeksi nosokomial?
2. Apa hubungan antara pengelolaan limbah rumah sakit dengan infeksi
nosokomial?
3. Bagaimana pengelolaan limbah di rumah sakit Sulianti Saroso?
4. Apakah hasil pengelolaan limbah di Rumah Sakit Sulianti Saroso sudah
sesuai dengan Keputusan Menteri atau Peraturan Pemerintah?
I.3. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas Epidemiologi mengenai Peninjauan Rumah Sakit
Sulianti Saroso.
2. Untuk menganalisa karakteristik limbah yang terdapat di dalam rumah
sakit dan pengelolaan untuk limbah-limbah.
3. Untuk menganalisis sistm sanitasi yang sudah terdapat di dalam rumah
sakit Sulianti Saroso.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian, Klasifikasi, dan Pelayanan Rumah Sakit
II.1.1. Pengertian Rumah Sakit
Dalam peraturan Menteri Kesehatan disebutkan bahwa rumah
sakit adalah sarana upya kesehatan yang menyelenggarakan
kegiatan pelayanan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan tenaga kesehatann dan tempat untuk penelitian
(Permenkes RI No.159b/Menkes/Per/98).
II.1.2. Klasifikasi Rumah Sakit
Klasifikasi Rumah sakit adalah pengelompokkan kelas Rumah
Sakit berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan. Rumah
Sakti terbagi menjadi dua, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit
Khusus.
Rumah Sakit Umum adalah Rumah Sakit yang memberikan
pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah sakit
umum diklasifikasikan menjad Rumah sakit umum kelas A, kelas
B, kelas C dan kelas D. Klasifikasi Rumah sakit umum ditetapkan
berdasarkan Pelayanan, Sumber daya manusia, Peralatan, Sarana
dan Prasarana serta Administrasi dan Manajemen.
Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang harus
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikt 4 (empat) pelayanan Medik Spesialis dasar, 5 (lima)
pelayanan spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) pelayanan
medik spesialis lain dan 13 (riga belas) pelayanan medik sub
spesialis. Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur
adalah 1:1 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan
pelayanan di Rumah Sakit dan jumlah tempat tidur minimal 400
(empat ratus) buah.
Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang harus
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikt 4 (empat) pelayanan Medik Spesialis dasar, 4 (empat)
pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (dua belas) pelayanan
medik spesialis lain dan 2 (riga belas) pelayanan medik sub
spesialis dasar. Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat
tidur adalah 1:1 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai
dengan pelayanan di Rumah Sakit dan jumlah tempat tidur
minimal 200 (dua ratus) buah.
Rumah Sakit kelas C adalah rumah sakit yang harus
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikt 4 (empat) pelayanan Medik Spesialis dasar, 4 (empat)
pelayanan spesialis penunjang medik. Perbandingan tenaga
keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi
tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit dan
jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.
Rumah Sakit kelas D adalah rumah sakit yang harus
mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling
sedikt 2 (dua) pelayanan Medik Spesialis dasar. Perbandingan
tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan
kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah
Sakit dan jumlah tempat tidur minimal 50 (lima puluh) buah.
Rumah Sakit Khusus adalah Rumah sakit yang memberikan
pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit
tertentu, berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ atau
jenis penyakit. Jenis rumah sakit khusus antara lain Rumah sakit
Khusus
a. Ibu dan Anak
b. Jantung
c. Kanker
d. Orthoperdi
e. Paru
f. Jiwa
g. Kusta
h. Mata
i. Ketergantungan Obat
j. Stroke
k. Penyakit Infeksi
l. Bersalin
m. Gigi dan Mulut
n. Rehabilitasi Medik
o. Telinga Hidung Tenggorokan
p. Bedah
q. Ginjal
r. Kulit dan Kelamin.
Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah sakit
khusus diklasifikasikan menjad Rumah sakit khusus kelas A, kelas
B dan kelas C. Klasifikasi Rumah sakit khusus ditetapkan
berdasarkan Pelayanan, Sumber daya manusia, Peralatan, Sarana
dan Prasarana serta Administrasi dan Manajemen. Dari penjelasan
peraturan menteri kesehatan ini tahun No.340 tahun 2010, RSPI-
Sulianti Saroso adalah Rumah Sakit Khusus Infeksi setingkat
denga rumah sakit tipe B non-pendidikan.
II.1.3. Pelayanan dan Kegiatan di Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang berfungsi
mewujudkan salah satu upaya pelayanan kesehatan terbesar pada
masyarakat. Rumah sakit sebagai suatu tempat untuk memenuhi
berbagai permintaan pasien dan dokter, agar penyelesaian masalah
kesehatan dapat dilaksanakan dengan baik.
Pelayanan rumah sait (RS) dapat ditinjau dari tiga hal yaitu
(Donabedian A, 1980) :
a. Struktur (sarana, fisik, peralatan, dana, tenaga kesehatan dan
nonkesehatan, serta pasien).
b. Proses (manajemen RS baik manajemen interpersonal, teknis
maupun pelayanan keperawatan yang kesemuanya tercermin
pada tindakan medis dan nonmedis kepada pasien).
c. Outcome
Bagian penerimaan pasien di rumah sakit merupakan salah
satu pelayanan kegiatan rumah sakit yang mempunyai pengaruh
dan nilai penting, walalupun belum ada tindakan-tindakan medis
khusus yang diberikan kepada pasien. Kesan pertama akan
memberikan arti tersendiri bagi pasien untuk melalui proses
pelayan selanjutnya. Kesiapan petugas, kelengkapan
sarana/prasaran di bagian penerimaan pasien haruslah optimal.
Pada bidang perawatan terdapat pelayanan rawat inap dan
rawat jalan yang merupakan kegiatan pelayanan rumah sakit.
Pelayanan rawat jalan, pasien memperoleh pelayanan kesehatan
pada jam-jam tertentu dan tidak perlu pemondokan, sedangkan
pelayanan rawat inap, pasien memperoleh pelayanan kesehatan
yang berlangsung lebih dari 24 jam.
Selama perawatan rawat inap, akan memperoleh pelayanan
berupa pemeriksaan, dilakukan diagnosa penyakitnya, diberikan
pengobatan atau tindakan, asuhan keperawatan, dievaluasi kondisi
kesehatannya dan akhirnya pasien diperbolehkan keluar rumah
sakit.
Fasilitas penunjang rumah sakit juga harus ada untuk dapat
melakukan kegiatan pelayanan ini, fasilitas berupa medis maupun
non medis. Fasilitas penunjang rumah sakit antara lain meliputi :
laboratorium, instalasi farmasi, radiologi, pelayanan makan pasien
saat rawat inap, dan lain-lain.
Kegiatan pelayanan Rumah Sakit, diantaranya :
Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis,
Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang
medis tambahan,
Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman,
Melaksanakan pelayanan medis khusus,
Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,
Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi,
Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,
Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,
Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan
rawat tinggal (observasi),
Melaksanakan pelayanan rawat inap,
Melaksanakan pelayanan administratif,
Melaksanakan pendidikan para medis,
Membantu pendidikan tenaga medis umum,
Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,
Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,
Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi,
II.2. Limbah Rumah Sakit dan Karakteristiknya
II.2.1. Limbah cair
Berdasarkan literatur yang didapatkan, menurut Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 58/MENLH/12/1995,
limbah cair rumah sakit adalah semua bahan buangan yang
berbentuk cair yang berasal dari rumah sakit yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme patogen, bahan kimia beracun dan
radioaktif. Diperkirakan bahwa sekitar 10-25% limbah yang
dihasilkan oleh rumah sakit merupakan limbah yang telah
terkontaminasi oleh infectious agent dan potensial membahayakan
kesehatan manusia dan lingkungan (WHO, 1999).
Sumber limbah cair rumah sakit yang berasal dari aktivitas
rumah sakit yang menggunakan air bersih seperti dari ruang
perawatan pasien, pasien rawat jalan, pengunjung pasien, dan
pengunjung rumah sakit yang meliputi kegiatan administrasi, dapur,
dan kegiatan lainnya. Menurut Puslit Sains dan Teknologi LP UI
dan Bapedal (2002), sumber dan timbulnya limbah cair dapat
dikelompokkan seperti berikut :
a. Ruang tunggu rumah sakit, limbah cair timbul dari aktivitas
pengunjung rumah sakit berupa sisa minuman, urin, dan tinja
yang dibuang melalui ssaluran atau WC;
b. Ruang poliklinik, limbah cairnya timbul dari aktivitas perawatan
pasien seperti urin, tinja, darah, sisa obat, sisa alkohol, air
buangan dan pembersihan alat, dan lain-lain;
c. Ruang operasi, bedah anesthesia, limbah air yang ditimbulkan
dari ruang ini berupa sisa-sisa cairan air bekas operasi seperti
sisa obat, darah, cairan bekas pembersih alat, dan lain-lain;
d. Ruang laboratorium, limbah cair yang timbul dari ruang ini
berupa sisa-sisa cairan bekas pakai, cairan bekas pemcucian alat,
larutan kimia hasil penelitian dan lain-lain;
e. Ruang perawatan dan pemulihan pasien, limbah cair yang
ditimbulkan dari ruang ini berupa urin, tinja dan sisa-sisa air
bekas pencucian, dan lain-lain;
f. Ruang radiologi, limbah cairnya yaitu zat kimia fixer dan
developer berkontribusi signifikan jika tidak dikelola dengan
baik, limbah radioaktif, serta limbah infeksius;
g. Ruang perkantoran, limbah cair yang timbul berupa urin, tinja
dan sisa-sisa air bekas pembersihan, dan lain-lain;
h. Ruang dapur, limbah cair yang dihasilkan berupa sisa air
pencucian sayur, sisa cairan bekas makanan dan lain-lain;
i. Ruang laundry, limbah cair yang ditimbulkan dari ruangan ini
berupa sisa air bekas cucian yang dibuang melalui saluran.
Secara umum karakteristik limbah cair rumah sakit dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 1. Karakteristik Air Limbah Rumah Sakit
No. Parameter Min Maks Rata-rata
1 BOD5 – mg/l 31,52 675,33 353,43
2 COD – mg/l 46,2 1183,4 615,01
3 KmnO4 – mg/l 69,84 739,56 404,7
4 Amoniak (NH3) – mg/l 10,79 158,73 84,76
5 Nitrit (NO2) – mg/l 0,013 0,274 0,1435
6 Nitrat (NO3) – mg/l 2,25 8,91 5,58
7 Khlorida (Cl) – mg/l 29,74 103,73 66,735
8 Sulfat (SO4) – mg/l 81,3 120,6 100,96
9 pH 4,92 8,99 6,96
10 Zat padat tersuspensi – mg/l 27,5 211 119,25
11 Deterjen (MBAS) – mg/l 1,66 9,79 5,725
12 Minyak/Lemak – mg/l 1 125 63
13 Cadmium (Cd) – mg/l Ttd 0,016 0,008
14 Timbal (Pb) – mg/l 0,002 0,04 0,008
15 Tembaga (Cu) – mg/l Ttd 0,49 0,245
16 Besi (Fe) – mg/l 0,19 70 35,1
17 Warna (skala Pt-Co) 31 150 76
18 Phenol – mg/l 0,04 0,63 0,335
Sumber : Puslit Sains dan Teknologi LP UI Bapedal, 2002
Berdasarkan Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa bila limbah cair
rumah sakit tersebut tidak diolah dengan benar, maka sangat
berpotensi mencemari lingkungan. Selain pencemaran secara
kimiawi, limbah cair rumah sakit juga berpotensi mencemari
lingkungan secara bakteriologis. Diagram alir pembuangan limbah
cair rumah sakit dapat dilihat pada Gambar berikut
Gambar 1. Diagram Alir Pembuangan Limbah Cair Rumah
Sakit
Sumber : Puslit Sains dan Teknologi LP-UI dan Bapedal, 2002)
Karakteristik limbah cair rumah sakit sangat penting untuk
dikatahui terutama dalam kaitannya dengan dampak yang
ditimbulkan serta upaya teknologi pengendaliannya. Karakteristik
limbah cair diuji berdasarkan zat-zat yang terkandung didalamnya
dan dikelompokkan dalam sifat, kimia dan biologi (Metclaf &
Eddy, 1991).
Berdasarkan karakteristik fisika, limbah cair rumah sakit yang
dijumpai dalam bentuk :
a. Padatan terlarut (Dissolved Solids)
Padatan terlarut yang berukuran kurang dari 1µm. Padatan ini
berupa garam asam, garam basa, logam berat, dan berbagai bahan
organik yang menyebabkan kualitas badan air turun (Metclaf &
Eddy, 1991);
b. Padatan tersuspensi (Suspended Solids)
Padatan tersuspensi dapat berupa zat organik atau anorganik
dengan diameter lebih besar dari 1 µm. Padatan tersuspensi dapat
mengendap tanpa bantuan koagulan, namun memerlukan waktu
lama sebab zat ini hanya mengandalkan gaya berat untuk
mengendap (Alaerts, 1987);
c. Padatan Kolodial (Colloidal Solids)
Koloid adalah padatan berdiameter antara 1 µm sampai 1 µ.
Koloid tidak dapat diendapkan begitu saja, tetapi dapat dihilangkan
dengan oksidan biologis atau dengan koagulan, kemudian
diendapkan (Metcalf & Eddy, 1991);
d. Temperatur
Temperatur limbah cair yang lebih tinggi dari temperatur badan
air penerima dapat menyebabkan polusi termal sehingga
mengganggu kehidupan biota air. Temperatur juga berpengaruh
pada beberapa karakteristik limbah lainnya, misalnya kenaikan
temperatur mempercepat reaksi proses biokimia, yang makin
mempercepat pengurangan kadar oksigen (Metcalf & Eddy, 1991).
Sesuai dengan batasan air limbah sebagai benda sisa, dengan
demikian air limbah adalah benda yang sudah tidak diperlukan lagi.
Namun tidak berarti bahwa air limbah tersebut dapat dibuang ke
dalam lingkungan begitu saja tanpa dilakukan pengolahan terlebih
dahulu. Menurut Sugiharto (1987) dampak negative yang
ditimbulkan air limbah adalah sebagai berikut :
a. Dampak pada Kesehatan
Air limbah berbahaya pada kesehatan manusia, karena banyak
penyakit yang ditularkan melalui air limbah. Air limbah dapat
berfungsi sebagai media pembawa penyakit seperti kolera, radang
usus, hepatitis infeksiosa serta schistosomiasis. Selain sebagai
pembawa penyakit di dalam air limbah juga mengandung bakteri
pathogen penyebab penyakit, seperti virus, Vibrio cholera,
Salmonella sp, Shigella sp, dan lain-lain (Sugiharto, 1987);
b. Dampak pada Kehidupan Biotik
Kehidupan biotic akan terpengaruh oleh keberadaan zat
pencemar dalam air limbah, karena akan menyebabkan menurunnya
kadar oksigen yang terlarut. Kematian kehidupan di dalam air ini
selain disebabkan oleh oksigen juga disebabkan oleh adanya zat-zat
beracun yang terkandung di dalam air limbah. Selain
mengakibatkan kematian ikan dan bakteri, air limbah juga dapat
menimbulkan kerusakan pada tanaman air. Akibat matinya bakteri,
maka proses penjernihan yang seharusnya terjadi menjadi terhambat
(Sugiharto, 1987);
c. Dampak pada Keindahan (Estetika)
Limbah dinilai sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai
estetika atau keindahan di maysarakat terutama secara visual, audio,
maupun psikososial. Gas NH3 dan H2S adalah hasil penguraian
bahan organic yang mengakibatkan bau. Demikian juga dengan
kotoran, sisa makanan dan minuman yang merupakan bahan-bahan
yang cepat busuk dan mendatangkan lalat sehingga dapat
mengganggu nilai-nilai keindahan (Sugiharto, 1987);
d. Dampak pada Kerusakan Benda
Air limbah yang mengandung CO2 akan mempercepat proses
terjadinya korosi pada benda yang terbuat dari besi. Selain
kandungan CO2 agresif, air limbah yang bersifat asam atau basa
juga dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan pada benda
(Sugiharto, 1987).
Dampak-dampak yang tersebut diatas akan merugikan
lingkungan sehingga menurunkan mutu linngkungan yang pada
akhirnya berdampak merugikan kualitas kehidupan organism.
Untuk mencegah dan meminimalkan dampak merugikan tersebut,
limbah yang dihasilkan harus dikelola dengan benar. Lingkup
pengelolaan limbah seharusnya bukan hanya pada instalasi
pengolahan saja, melainkan terintegrasi dengan proses pengelolaan
kegiatan penghasil limbah.
Menurut Reinhardt et al (1991), konsep dasar suatu proses
tejadinya limbah dapat dijelaskan dengan contoh misalnya
perawatan pasien yang seringkali mengahsilkan limbah menular.
Produksi limbah juga mengacu pada keputusan tentang material apa
yang harus dibuang, seperti bahan kimia laboratorium yang dibuang
tiap tahun dari rak penyimpanannya.
Dalam upaya pengelolaan limbah, dikenal ada dua pendekatan
yaitu :
- Pendekatan tradisional yang disebut end of pipe treatment
Melalui pendekatan ini limbah yang dihasilkan kemudian diolah
hingga memenuhi standar yang berlaku. Pendekatan ini lebih pada
pengendalian pencemaran (pollution control).
Pendekatan ini seringkali tidak dapat menyelesaikan masalah
pencemaran dan prinsipnya hanya mengubah serta memindahkan
pencemar dari satu media ke media lain. Dari aspek lingkungan
pendekatan ini tidak menguntungkan.
- Pendekatan terpadu, minimasi limbah (waste minimization)
Upaya ini bertujuan untuk mengurangi jumlah limbah yang
harus diolah di tempat pengolahan limbah maupun yang dibuang ke
lingkungan dengan cara mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan
oleh suatu proses produksi pada sumbernya, dan atau
memanfaatkannya kembali. Dengan minimasi limbah, biaya
investasi dan operasional pengelolaan limbah menjadi lebih rendah,
beban pencemaran juga menjadi lebih rendah.
II.2.2. Limbah Padat Klinis (B3) Rumah Sakit
Berdasarkan literatur yang ada, limbah klinis rumah sakit
adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis, perawatan gigi,
veterinary, farmasi atau sejenis, serta limbah yang dihasilkan
dirumah sakit pada saat perawatan/pengobatan atau penelitian
(DITJEN PPM & PPL Depkes, 2000)
Persentase limbah klinis diestimasikan yaitu sekitar 10-25 %
limbah yang diproduksi rumah sakit telah terkontaminasi oleh
infectious agent yang berpotensi membahayakan kesehatan
manusia dan lingkungan (WHO, 1999).
Menurut Sebayang & Muljadi (2002), jenis limbah padat B3
dari rumah sakit yang bersifat toksik dan infeksius dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, yatu kategori logam (jarum
suntik, peralatan bekas operasi, dan lainnya) dan kategori non-
logam (plastic, potongan tubuh, kertas, garmen, karet, gelas,
beddings, fecal matter, obat-obatan bekas, dan lainnya). Jumlah
limbah padat dari rumah sakit yang termasuk kategori logam
relative kecil sekitar < 10 % dan bersifat tidak terbakar.
Sedangkan yang bersifat non-logam sebesar > 90 % umumnya
memiliki kandungan organic sangat tinggi mudah terbakar.
Tabel 2. Karakteristik Limbah Padat B3 dari Rumah Sakit
No KomponenNilai Kalor
(MJ/kg)
Densitas
(kg/m3)
Kadar Air
(%)
1 Human anatomical 18,6-27,9 800-1200 70-90
2 Plastics 32,5-46,5 80-2300 0-1
3 Swabs, absorbents 18,6-27,9 80-1000 0-30
4 Alcohol disinfectants 25,5-32,5 800-1000 0-0,2
5 Animal infected anatomical 20,9-37,1 500-1300 60-90
6 Glass 0 2800-3600 0
7Beddings, shavings, paper, fecal
matter18,6-20,9 320-730 10-50
8Gauze, pads, swabs, garments,
cellulose16,6-27,9 80-1000 0-30
9 Plastics, PVC, Syringes 22,5-46.5 80-2300 0-1
10 Sharps, needles 0,14 7200-8000 0-1
11 Fluids residuals 0-23,2 990-1010 80-100
Sumber : Sebayang & Muljadi, 2002- Sistem Pengelolaan dan Pengumpulan
Berdasarkan literatur yang didapatkan, sumber limbah padat
klinis tersebut di beberapa ruangan rumah sakit dari berbagai
lokkasi sumber tersebut limbah padat klinisnya harus dipisahkan
antara limbah logam dan limbah bukan logam, agar memudahkan
pengangkutan maupun penanganannya. Misalnya jenis limbah
logam seperti jarum suntuik, jarum bekas operasi dan lain-lain.
Gambar 2. Diagram Alir Pengumpulan Limbah Padat B3 Rumah SakitSumber : Sebayang & Muljadi, 2002
Sebagian besar limbah klinis dan yang sejenis dimusnahkan
dengan insenerator atau landfill. Metode yang digunakan
bergantung pada faktor-faktor khusus yang sesuai dengan
institusi, peraturan yang berlaku, aspek lingkungan yang
berpengaruh terhadap masyarakat.
o Perlakuan Sebelum Dibuang
Reklamasi dan daur ulang untuk limbah kimia berbahaya
hendaknya dipertimbangkan untuk digunakan secara teknis dan
ekonomis memungkinkan. Dalam beberapa hal perlakuan
autoclaving atau desinfeksi menggunakan bahan kimia tertentu,
limbah infeksius dapat dibuang ke landfill yaitu dengan :
a. Autoclaving
Autoclaving sering digunakan untuk perlakuan terhadap
limbah infeksius. Limbah dipanasi dengan uap di bawah tekanan.
Namun masalah timbul karena besarnya volume atau limbah yang
dipadatkan, dan penetrasi uap secara lengkap pada suhu yang
diperlukan sering tidak terjadi, dengan demikian tujuan
autoclaving (sterilisasi) tidak tercapai.
b. Desinfeksi dengan bahan kimia
Peranan desinfeksi untuk institusi yang besar tampaknya
terbatas penggunaannya, misalnya digunakan setalah mengepel
lantai atau membasuh tumpahan dan mencuci kendaraan limbah.
Limbah infeksius dalam jumlah kecil dapat didesinfeksi
(membunuh mikroorganisme, tetapi tidak membunuh spora
bakteri) dengan bahan kimia seperti hypochlorite atau
permanganate.
o Insenerasi
Insenerasi adalah suatu proses oksidasi limbah yang dapat
terbakar (combustible) pada temperature tinggi sehingga menjadi
limbah yang lebih sederhana dalam bentuk abu. Sebagian limbah
tersebut dikonversi menjadi gas sehingga dari proses ini
dikeluarkan abu, debu, ddan gas-gas hasil pembakaran
(Damanturi, E. 1998).
Selain itu, setiap institusi rumah sakit penghasil timbulan
limbah kimia harus mempunyai tenaga khusus yang menangani
pengelolaan limbah klinis dengan klasifikasi pendidikan yang
sesuai. Untuk kecakapan pengelolaan diperlukan peningkatan
keterampilan dan pengetahuan melalui latihan.
II.2.3. Limbah Gas Rumah Sakit
Limbah gas khususnya gas buang dari stack mesin incinerator
dapat dievaluasi dengan cara melakukan pembandingan hasil uji
laboratorium emisi gas dengan baku mutu emisi seperti yang telah
dijelaskan diatas. Untuk gas buang dari sumber lain seperti dari
mesin boiler, cerobong dapur gizi, generator set dapat dilakukan
dengan pengamatan secara visual saja, karena gas buang ini selin
jarang dihasilkan khusnya genset juga emisi gas buang cendrung
tidak berpotensi menilbulkan cemaran yang signifikan.Kalupun
kualitas gas emisi akan dilakukan uji emisi, maka baku mutu yang
digunakan dapat mengacu pada Kep MenLH No.
Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
bergerak.
Emisi incinerator saat ini menjadi perhatian sebagai sumber
pencemar baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,
sehingga dalam pengoperasian mesin incinerator yang berguna
untuk membakar sampah medis di rumah sakit khususnya
pemerintah telah menerapkan berbagai peraturan yang cukup ketat.
Terhadap limbah gas ini, maka aspek yang perlu diperhatikan
dalam pengawasan dan pemantauan adalah sbb :
Kualitas emisi gas buang incinerator (diukur pada keadaan
materi sampah dalam ruang bakar dalam kondisi normal, over
load dan kosong)
Kelengkapan sampling (sampling port) pada cerobong
Panas pembakaran
Fasilitas filtrasi gas dan debu emisi
Ketinggian cerobong
SOP penanganan emisi gas/debu
Surat ijin pengoperasian incinerator
II.3. Sistem Sanitasi Rumah Sakit
II.3.1. Pengertian Sistem Sanitasi Rumah Sakit
Sanitasi, menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai
'pemelihara kesehatan'. Menurut WHO, sanitasi lingkungan
(environmental sanitation) adalah upaya pengendalian semua
faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau
dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkem- bangan
fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Dalam lingkup
Rumah Sakit (RS), sanitasi berarti upaya pengawasan berbagai
faktor lingkungan fisik, kimiawi dan biologis di RS yang
menimbulkan atau mungkin dapat mengakibatkan pengaruh buruk
terhadap kesehatan petugas, penderita, pengunjung maupun bagi
masyarakat di sekitar RS.
Dari pengertian di atas maka sanitasi RS merupakan upaya
dan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan di RS dalam memberikan layanan dan asuhan pasien
yang sebaik-baiknya, karena tujuan dari sanitasi RS tersebut
adalah menciptakan kondisi lingkungan RS agar tetap bersih,
nyaman, dan dapat mencegah terjadinya infeksi silang serta tidak
mencemari lingkungan.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa kejadian infeksi di
RS ada hubungannya dengan kondisi RS yang tidak saniter. Untuk
itu apabila RS akan menjadi lembaga swadana, aspek sanitasi
perlu diperhatikan. Karena di samping dapat mencegah terjadinya
pengaruh buruk terhadap lingkungan, juga secara ekonomis dapat
menguntungkan. Sungguh ironis bila RS sebagai tempat
penyembuhan, justru menjadi sumber penularan penyakit dan
pencemar lingkungan.
II.3.2. Konsep Sanitasi Rumah Sakit
Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan yang di
dalamnya terdapat bangunan, peralatan, manusia (petugas,
pasien dan pengunjung) dan kegiatan pelayanan kesehatan,
ternyata di samping dapat menghasilkan dampak positif berupa
produk pelayanan kesehatan yang baik terhadap pasien, juga
dapat menimbulkan dampak negatif berupa pengaruh buruk
kepada manusia seperti pencemaran lingk mgan, sumber
penularan penyakit dan menghambat proses penyembuhan dan
pemulihan penderita. Untuk itu sanitasi RS diarahkan untuk
mengawasi faktor-faktor tersebut agar tidak membahayakan.
Dengan demikian, sesuai dengan pengertian sanitasi, lingkup
sanitasi RS menjadi luas mencakup upaya-upaya yang bersifat
fisik seperti pembangunan sarana pengolahan air limbah,
penyediaan air bersih, fasilitas cuci tangan, masker, fasilitas
pembuangan sampah, serta upaya non fisik seperti pemeriksaan,
pengawasan, penyuluhan, dan pelatihan.
Ben Freedman menyebutkan lingkup garapan sanitasi RS
meliputi :
A. Aspek Kerumahtanggaan (Housekeeping) seperti :
1. Kebersihan gedung secara keseluruhan.
2. Kebersihan dinding dan lantai.
3. Pemeriksaan karpet lantai.
4. Kebersihan kamar mandi dan fasilitas toilet.
5. Penghawaan dan pembersihan udara.
6. Gudang dan ruangan.
7. Pelayanan makanan dan minuman.
B. Aspek khusus Sanitasi.
1. Penanganan sampah kering mudah terbakar.
2. Pembuangan sampah basah.
3. Pembuangan sampah kering tidak mudah terbakar.
4. Tipe incinerator Rumah Sakit.
5. Kesehatan kerja dan proses-proses operasional.
6. Pencahayaan dan instalasi listrik.
7. Radiasi.
8. Sanitasi linen, sarung dan prosedur pencucian.
9. Teknik-teknik aseptik.
10. Tempat cuci tangan.
11. Pakaian operasi.
12. Sistim isolasi sempurna.
C. Aspek dekontaminasi, disinfeksi dan sterilisasi.
1. Sumber-sumber kontaminasi.
2. Dekontaminasi peralatan pengobatan pernafasan.
3. Dekontaminasi peralatan ruang ganti pakaian.
4.Dekontaminasi dan sterilisasi air,makanan dan alat-alat
pengobatan.
5. Sterilisasi kering.
6. Metoda kimiawi pembersihan dan disinfeksi.
7. Faktor-faktor pengaruh aksi bahan kimia.
8. Macam-macam disinfektan kimia.
9. Sterilisasi gas.
D.Aspek pengendalian serangga dan binatang pengganggu.
E.Aspek pengawasan pasien dan pengunjung Rumah
Sakit :
1. Penanganan petugas yang terinfeksi.
2. Pengawasan pengunjung Rumah Sakit.
3. Keamanan dan keselamatan pasien.
F.Peraturan perundang-undangan di bidang Sanitasi
Rumah Sakit.
G. Aspek penanggulangan bencana.
H. Aspek pengawasan kesehatan petugas laboratorium.
I. Aspek penanganan bahan-bahan radioaktif.
J. Aspek standarisasi sanitasi Rumah Sakit.
Dari lingkup sanitasi yang begitu luas tersebut yang paling
penting untuk dikembangkan adalah menyangkut :
a. Program sanitasi kerumahtanggaan yang meliputi
penyehatan ruang dan bangunan serta lingkungan RS.
b. Program sanitasi dasar, yang meliputipenyediaan air minum,
pengelolaan kotoran cair dan padat, penyehatan makanan
dan minuman, pengendalian serangga, tikus dan binatang
pengganggu.
c. Program dekontaminasi yang meliputi kontaminasi
lingkungan karena mikroba, bahan kimia dan radiasi.
d. Program penyuluhan.
e. Program pengembangan manajemen dan perundang-
undangan yang meliputi penyusunan norma dan standar
serta pengembangan tenaga sanitasi RS melalui pelatihan, k
konsultasi.
II.4. Infeksi Nosokomial
II.4.1. Definisi
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau
cairan tubuh yang disertai suatu . rumah sakit dan menunjukkan
tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menun ukkan bahwa masa
inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit,
dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien be
nrada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita
maupun luar tubuh. Infeksi endogen disebabkan oleh
mikroorganisme yang semula memang sudah ada didalam tubuh
dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self infection
atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection)
disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan
dari satu pasien ke pasien lainnya.
II.4.2. Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan suatu tempat dimana orang yang sakit
dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat
ini pasien mendapatkan terapi dan perawatan untuk dapat sembuh.
Tetapi, rumah sakit selain untuk mencari kesembuhan, juga
merupakan depot bagi berbagai macam penyakit yang berasal dari
penderita maupun dari pengunjung yang berstatus karier. Kuman
penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah
sakit, seperti; udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis
maupun non medis. Terjadinya infeksi nosokomial akan
menimbulkan banyak kerugian, antara lain :
• lama hari perawatan bertambah panjang
• penderitaan bertambah
• biaya meningkat
Dari hasil studi deskriptif Suwarni, A di semua rumah sakit di
Yogyakarta tahun 1999 menunjukkan bahwa proporsi kejadian
infeksi nosokomial berkisar antara 0,0% hingga 12,06%, dengan
rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk rerata lama perawatan berkisar
antara 4,3 – 11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari.
Setelah diteliti lebih lanjut maka didapatkan bahwa angka kuman
lantai ruang perawatan mempunyai hubungan bermakna dengan
infeksi nosokomial.
Selama 10-20 tahun belakang ini telah banyak perkembangan
yang telah dibuat untuk mencari masalah utama terhadap
meningkatnya angka kejadian infeksi nosokomial di banyak
negara, dan dibeberapa negara, kondisinya justru sangat
memprihatinkan. Keadaan ini justru memperlama waktu perawatan
dan perubahan pengobatan dengan obat-obatan mahal, serta
penggunaan jasa di luar rumah sakit. Karena itulah, dinegara-
negara miskin dan berkembang, pencegahan infeksi nosokomial
lebih diutamakan untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan
pasien dirumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.
Di beberapa bagian, terutama di bagian penyakit dalam dalam,
terdapat banyak prosedur dan tindakan yang dilakukan baik untuk
membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan
terapi yang dapat menyebabkan pasien cukup rentan terkena
infeksi nosokomial. Pasien dengan umur tua, berbaring lama, atau
beberapa tindakan seperti prosedur diagnostik invasif, infus yang
lama dan kateter urin yang lama, atau pasien dengan penyakit
tertentu yaitu penyakit yang memerlukan kemoterapi, dengan
penyakit yang sangat parah, penyakit keganasan, diabetes, anemia,
penyakit autoimun dan penggunaan imuno supresan atau steroid
didapatkan bahwa resiko terkena infeksi lebih besar.
Sumber penularan dan cara penularan terutama melalui tangan
dan dari petugas kesehatan maupun personil kesehatan lainnya,
jarum injeksi, kateter iv, kateter urin, kasa pembalut atau perban,
dan cara yang keliru dalam menangani luka. Infeksi nosokomial ini
pun tidak hanya mengenai pasien saja, tetapi juga dapat mengenai
seluruh personil rumah sakit yang berhubungan langsung dengan
pasien maupun penunggu dan para pengunjung pasien.
II.4.3. Epidemiologi
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan
kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang
berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi
penyebab utama. Suatu penelitian yang yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14
negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan
Pasifik tetap menunjukkan adanya infeksi nosokomial dengan Asia
Tenggara sebanyak 10,0%.
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang
mikrobiologi meningkat pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit
demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah, tetapi semakin
meningkatnya pasien - pasien dengan penyakit immuno
compromised, bakteri yang resisten antibiotik, super infeksi virus
dan jamur, dan prosedur invasif, masih menyebabkan infeksi
nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus setiap
tahunnya walaupun.
Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat,
mikroorganisme yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan
lebih resisten terhadap obat, karena itu diperlukan antibiotik yang
lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik. Semua kondisi ini
dapat meningkatkan resiko infeksi kepada si pasien.
II.4.4. Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial
II.4.4.1. Agen Infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme
selama ia rawat di rumah sakit. Kontak antara pasien dan
berbagai macam mikroorganisme ini tidak selalu
menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang
dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial.
Kemungkinan terjadinya infeksi tergantung pada:
• karakteristik mikroorganisme,
• resistensi terhadap zat-zat antibiotika,
• tingkat virulensi,
• dan banyaknya materi infeksius.
Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur
dan parasit dapat menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi
ini dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang didapat dari
orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh flora normal
dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan
karena faktor eksternal, yaitu penyakit yang penyebarannya
melalui makanan dan udara dan benda atau bahan-bahan yang
tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya
selalu ada pada manusia yang sebelumnya tidak atau jarang
menyebabkan penyakit pada orang normal.
a. Bakteri
Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam
tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri disini sangat
penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri
patogen. Tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan
infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang
rendah terhadap mikroorganisme. Contohnya Escherichia coli
paling banyak dijumpai sebagai penyebab infeksi saluran
kemih.
Bakteri patogen lebih berbahaya dan menyebabkan
infeksi baik secara sporadik maupun endemik. Contohnya :
Anaerobik Gram-positif, Clostridium yang dapat
menyebabkan gangren
Bakteri gram-positif: Staphylococcus aureus yang
menjadi parasit di kulit dan hidung dapat menyebabkan
gangguan pada paru, pulang, jantung dan infeksi
pembuluh darah serta seringkali telah resisten terhadap
antibiotika.
Bakteri gram negatif: Enterobacteriacae, contohnya
Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, Enterobacter.
Pseudomonas sering sekali ditemukan di air dan
penampungan air yang menyebabkan infeksi di saluran
pencernaan dan pasien yang dirawat. Bakteri gram negatif
ini bertanggung jawab sekitar setengah dari semua infeksi
di rumah sakit.
Serratia marcescens, dapat menyebabkan infeksi serius
pada luka bekas jahitan, paru, dan peritoneum.
b. Virus
Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan
oleh berbagai macam virus, termasuk virus hepatitis B dan C
dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan
endoskopi. Respiratory syncytial virus (RSV), rotavirus, dan
enteroviruses yang ditularkan dari kontak tangan ke mulut
atau melalui rute faecal-oral. Hepatitis dan HIV ditularkan
melalui pemakaian jarum suntik, dan transfusi darah. Rute
penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya.
Infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, penyakit
kulit dan dari darah. Virus lain yang sering menyebabkan
infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza
virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga
dapat ditularkan.
c. Parasit dan Jamur
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular
dengan mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak
jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat
antibiotika bakteri dan obat immunosupresan, contohnya
infeksi dari Candida albicans, Aspergillus spp, Cryptococcus
neoformans, Cryptosporidium.
II.4.4.2. Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi
dan respon tubuh pasien dalam hal ini adalah:
Umur
status imunitas penderita
penyakit yang diderita
Obesitas dan malnutrisi
Orang yang menggunakan obat-obatan immunosupresan
dan steroid
Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan
diagnosa dan terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan
resistensi tubuh terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat
bila penderita menderita penyakit kronis seperti tumor,
anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan
AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi
tubuh terhadap infeksi dari kuman yang semula bersifat
opportunistik. Obat-obatan yang bersifat immunosupresif
dapat menurunkan pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi
seperti biopsi, endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan
pembedahan juga meningkatkan resiko infeksi.
II.4.4.3. Infeksi oleh kontak langsung maupun tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau
tidak langsung dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi
ini dapat melalui tangan, kulit dan baju, seperti golongan
staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang
diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV.
Peralatan dan instrumen kedokteran. Makanan yang tidak
steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan tangan yang
menyebabkan terjadinya cross infection.
II.4.4.4. Resistensi Antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika
penicillin antara tahun 1950-1970, banyak penyakit yang
serius dan fatal ketika itu dapat diterapi dan disembuhkan.
Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan
penggunaan berlebihan dan pengunsalahan dari antibiotika.
Banyak mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten.
Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka
mortalitas terutama terhadap pasien yang
immunocompromised. Resitensi dari bakteri di transmisikan
antar pasien dan faktor resistensinya di pindahkan antara
bakteri. Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini justru
meningkatkan multipikasi dan penyebaran strain yang
resistan. Penyebab utamanya karena:
Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak
terkontrol
Dosis antibiotika yang tidak optimal
Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang
terlalu singkat
Kesalahan diagnosa
Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan
perubahan dari gen yang resisten terhadap antibiotika,
mengakibatkan timbulnya multiresistensi kuman terhadap
obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besar-
besaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama
terjadinya resistensi. Banyak strains dari pneumococci,
staphylococci, enterococci, dan tuberculosis telah resisten
terhadap banyak antibiotikaa, begitu juga klebsiella dan
pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten.
Keadaan ini sangat nyata terjadi terutama di negara-negara
berkembang dimana antibiotika lini kedua belum ada atau
tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka
morbiditas dan mortalitas di rumah sakit, dan menjadi sangat
penting karena:
• Meningkatnya jumlah penderita yang dirawat
• Seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit,
pengobatan atau umur
• Mikororganisme yang baru (mutasi)
• Meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotika
II.4.4.5. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial tertama disebabkan
infeksi dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas,
infeksi kulit, infeksi dari luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus
dan kateter urin lama yang tidak diganti-ganti. Diruang penyakit
dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan terapi infus.
Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis,
fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa:
Ekstravasasi infiltrat: cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi
kanula
Penyumbatan: Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa
dapat dideteksi adanya gangguan lain
Flebitis: Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang
vena
Trombosis: Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena
yang menghambat aliran infus
Kolonisasi kanul: Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari
bagian kanula yang ada dalam pembuluh darah
Septikemia: Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
Supurasi: Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
Beberapa faktor dibawah ini berperan dalam meningkatkan
komplikasi kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter,
pemasangan melalui venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72
jam, kateter yang dipasang pada tungkai bawah, tidak mengindahkan
pronsip anti sepsis, cairan infus yang hipertonik dan darah transfusi
karena merupakan media pertumbuhan mikroorganisme, peralatan
tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes obat, manipulasi
terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung kateter
merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia.
II.4.5. Macam Penyakit yang Disebabkan oleh Infeksi Nosokomial
1. Infeksi saluran kemih
Infeksi ini merupakan kejadian tersering, sekitar 40% dari
infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan
penggunaan kateter urin. Walaupun tidak terlalu berbahaya, tetapi
dapat menyebabkan terjadinya bakteremia dan mengakibatkan
kematian. Organisme yang biaa menginfeksi biasanya E.Coli,
Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, atau Enterococcus. Infeksi yang
terjadi lebih awal lebih disebabkan karena mikroorganisme
endogen, sedangkan infeksi yang terjadi setelah beberapa waktu
yang lama biasanya karena mikroorganisme eksogen.
Sangat sulit untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme
sepanjang uretra yang melekat dengan permukaan dari kateter.
Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu
pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi
tangan atau sarung tangan ketika pemasangan kateter, atau air yang
digunakan untuk membesarkan balon kateter. Dapat juga karena
sterilisasi yang gagal dan teknik septik dan aseptik.
2. Pneumonia Nosokomial
Pneumonia nosokomial dapat muncul, terutama pasien yang
menggunakan ventilator, tindakan trakeostomi, intubasi,
pemasangan NGT, dan terapi inhalasi. Kuman penyebab infeksi ini
tersering berasal dari gram negatif seperti Klebsiella,dan
Pseudomonas. Organisme ini sering berada di mulut, hidung,
kerongkongan, dan perut. Keberadaan organisme ini dapat
menyebabkan infeksi karena adanya aspirasi oleh organisme ke
traktus respiratorius bagian bawah.
Dari kelompok virus dapat disebabkan olehcytomegalovirus,
influenza virus, adeno virus, para influenza virus, enterovirus dan
corona virus. Faktor resiko terjadinya infeksi ini adalah:
Tipe dan jenis pernapasan
Perokok berat
Tidak sterilnya alat-alat bantu
Obesitas
Kualitas perawatan
Penyakit jantung kronis
Penyakit paru kronis
Beratnya kondisi pasien dan kegagalan organ
Tingkat penggunaan antibiotika
Penggunaan ventilator dan intubasi
Penurunan kesadaran pasien
Penyakit yang biasa ditemukan antara lain: respiratory
syncytial virus dan influenza. Pada pasien dengan sistem imun
yang rendah, pneumonia lebih disebabkan karena Legionella dan
Aspergillus. Sedangkan dinegara dengan prevalensi penderita
tuberkulosis yang tinggi, kebersihan udara harus sangat
diperhatikan.
3. Bakteremi Nosokomial
Infeksi ini hanya mewakili sekitar 5 % dari total infeksi
nosokomial, tetapi dengan resiko kematian yang sangat tinggi,
terutama disebabkan oleh bakteri yang resistan antibiotika seperti
Staphylococcus dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat
masuknya alat-alat seperti jarum suntik, kateter urin dan infus.
Faktor utama penyebab infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu
tubuh saat melakukan prosedur invasif, dan perawatan dari
pemasangan kateter atau infus.
4. Infeksi Nosokomial lainnya
a. Tuberkulosis
Penyebab utama adalah adanya strain bakteri yang multi-
drugs resisten. Kontrol terpenting untuk penyakit ini adalah
identifikasi yang baik, isolasi, dan pengobatan serta tekanan
negatif dalam ruangan.
b. Diarrhea dan gastroenteritis
Mikroorganisme tersering berasal dari E.coli, Salmonella,
Vibrio Cholerae dan Clostridium. Selain itu, dari gologan virus
lebih banyak disebabkan oleh golongan enterovirus, adenovirus,
rotavirus, dan hepatitis A. Bedakan antara diarrhea dan
gastroenteritis. Faktor resiko dari gastroenteritis nosokomial dapat
dibagi menjadi faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.
Faktor intrinsik:
o abnormalitas dari pertahanan mukosa, seperti achlorhydria
o lemahnya motilitas intestinal, dan
o perubahan pada flora normal.
Faktor ekstrinsik:
o Pemasangan nasogastric tube dan mengkonsumsi obat-obatan
saluran cerna.
c. Infeksi pembuluh darah
Infeksi ini sangat berkaitan erat dengan penggunaan infus,
kateter jantung dan suntikan. Virus yang dapat menular dari cara
ini adalah virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan HIV.
Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori utama:
Infeksi pembuluh darah primer, muncul tanpa adanya tanda
infeksi sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang
ditemukan dibagian tubuhnya yang lain.
Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari
organisme yang sama dari sisi tubuh yang lain.
d. Dipteri, tetanus dan pertusis
e. Infeksi kulit dan jaringan lunak. Luka terbuka seperti ulkus,
bekas terbakar, dan luka bekas operasi memperbesar
kemungkinan terinfeksi bakteri dan berakibat terjadinya
infeksi sistemik. Dari golongan virus yaitu herpes simplek,
varicella zooster, dan rubella. Organisme yang menginfeksi
akan berbeda pada tiap populasi karena perbedaan pelayanan
kesehatan yang diberikan, perbedaan fasilitas yang dimiliki
dan perbedaan negara yang didiami.
Infeksi ini termasuk:
Infeksi pada tulang dan sendi: Osteomielitis, infeksi tulang
atau sendi dan discus vertebralis Infeksi sistem
Kardiovaskuler: Infeksi arteri atau vena, endokarditis,
miokarditis, perikarditis dan mediastinitis
Infeksi sistem saraf pusat: Meningitis atau ventrikulitis,
absess spinal dan infeksi intra kranial
Infeksi mata, telinga, hidung, dan mulut: Konjunctivitis,
infeksi mata, otitis eksterna, otitis media, otitis interna,
mastoiditis, sinusitis, dan infeksi saluran nafas atas.
Infeksi pada saluran pencernaan: Gastroenteritis, hepatitis,
necrotizing enterocolitis, infeksi intra abdominal
Infeksi sistem pernafasan bawah: Bronkhitis,
trakeobronkhitis, trakeitis, dan infeksi lainnya
Infeksi pada sistem reproduksi: Endometriosis dan luka
bekas episiotomi
II.4.6. Pencegahan Terjadinya Infeksi Nosokomial
Pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu
rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan
cara mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan
septik dan aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang
adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.
Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan
prosedur invasif.
Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya.
a. Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan
menjaga hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini
sulit dilakukan dengan benar, karena banyaknya alasan seperti
kurangnya peralatan, alergi produk pencuci tangan, sedikitnya
pengetahuan mengenai pentingnya hal ini, dan waktu mencuci
tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat
dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada
pasien dengan penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat
adalah: Memakai sarung tangan ketika akan mengambil atau
menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja, urin, membran
mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi, dan
segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
b. Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50%
suntikan yang dilakukan di negara berkembang tidaklah aman
(contohnya jarum, tabung atau keduanya yang dipakai berulang-
ulang) dan banyaknya suntikan yang tidak penting (misalnya
penyuntikan antibiotika).
Untuk mencegah penyebaran penyakit melalui jarum suntik
maka diperlukan:
Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan
Pergunakan jarum steril
Penggunaan alat suntik yang disposabel.
Masker, sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan
melalui udara. Begitupun dengan pasien yang menderita infeksi
saluran nafas, mereka harus menggunakan masker saat keluar dari
kamar penderita.Sarung tangan, sebaiknya digunakan terutama
ketika menyentuh darah, cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung
tangan harus selalu diganti untuk tiap pasiennya. Setelah membalut
luka atau terkena benda yang kotor, sanrung tangan harus segera
diganti.
Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan
pakaian selama kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah
percikan darah, cairan tubuh, urin dan feses.
c. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan
bahwa rumah sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu,
minyak dan kotoran. Perlu diingat bahwa sekitar 90 persen dari
kotoran yang terlihat pasti mengandung kuman. Harus ada waktu
yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai, tempat tidur,
pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah
dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas
kesehatan. Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama
bagi penderita dengan status imun yang rendah atau bagi penderita
yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan
pengaturan udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko
terjadinya penularan tuberkulosis. Selain itu, rumah sakit harus
membangun suatu fasilitas penyaring air dan menjaga kebersihan
pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya
pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan
prasarana yang terbatas dapat menggunakan panas matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit
perawatan pasien diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar
pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi disinfektan.
Disinfektan akan membunuh kuman dan mencegah penularan
antar pasien. Disinfeksi yang dipakai adalah:
Mempunyai kriteria membunuh kuman
Mempunyai efek sebagai detergen
Mempunyai efek terhadap banyak bakteri, dapat melarutkan
minyak dan protein.
Tidak sulit digunakan
Tidak mudah menguap
Bukan bahan yang mengandung zat yang berbahaya baik untuk
petugas maupun pasien
Efektif
tidak berbau, atau tidak berbau tak enak
d. Perbaiki ketahanan tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen
oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang ikut
membantu dalam proses fisiologis tubuh, dan membantu ketahanan
tubuh melawan invasi jasad renik patogen serta menjaga
keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada
umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam saluran cerna
manusia. Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang
sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis perlu
diidentifikasi secara tuntas, sehingga dapat dipakai dalam
mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita penyakit
berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis
pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus
menggunakan antibiotika.
e. Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan
membuat suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan
terutama untuk penyakit yang penularannya melalui udara,
contohnya tuberkulosis, dan SARS, yang mengakibatkan
kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus, contohnya
DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah
eperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu
diisolasi agar terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan
tangan dan makanan, peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi
juga sangat penting. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan
ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada
dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian luar
biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu
ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang
sama.
II.5. Baku Mutu dan Parameter Lingkungan Ketetapan Pemerintah
BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
III.1.1. Kegiatan Rumah Sakit Sulianti Saroso
RSPI-SS adalah rumah sakit khusu penyakit infeksi setingakt dengan
rumah sakit tip B non-pendidikan berdasarkan Kepuutsan Menteri Kesehatan
Nomor 55/Menkes/SKI/1994 tanggal 20 Januari 1994 tentang Organisasi dan
Tata Kerja RSPI-SS Jakarta dan Surat Keputuran Menteri Kesehatan No.
113/Menkes/SKI/II/1996 tanggal 12 Februari 1996 tentang Penetapan Kelas
RSPI-SS Jakarta. Kegiatan yang diselenggarakan oleh RSPI-SS :
1. Pelayanan Medis :
a. Rawat jalan
Pelayanan rawat jalan diberikan melalui kegiatan polikilinik yang
terdiir dari 11 jenis pelayanan yaitu Poliklinik Penyakit Infeksi, Gigi,
konsultasi gizi, THT, Kulit dan Kelamin, Anak, Penyakit Dalam,
Kebidanan, Syaraf, Bedah, dan Rehabilitasi Medik.
b. Rawat darurat,
c. Rawat inap,
d. Rwat instensif (ICU),
e. Kamar operasi.
2. Pelayanan Penunjang Medis
Penunjang medis meliputi patologi klinik, mikrobiologi/parasitologi,
radiologi, farmasi, gizi, rehabilitasi medik, dan sterilisasi sentral.
3. Pelayanan Jasa Non-Medis
Pelayanan jasa non-medis terdiri atas pemeliharaan sarana rumah sakit,
sanitasi, binatu, pemulasaran jenazah, dan rekam medis.
4. Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan
Pada tanggal 21 April 1994 RSPI-SS diresmikan penggunaannya oleh
Menteri Kesehatan. Rumah sakit ini berperan sebagai pusat rujuan
nasional penatalaksanaan penyakit infeksi dan penyakit menural berlokasi
di Jl. Baru Sunter Permai Raya, Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok
Jakarta Utara.
III.1.2. Pengelolaan Limbah Cair
Untuk studi kasus RSPI-SS, berdasarkan literatur yang ada, pengelolaan
limbah cair klinis untuk rumah sakit ini terdiri dari :
a. Pengorganisasian dan Ketenagaan
Pengelolaan limbah cair di RSPI-SS secara struktural berada di bawah unit
instalasi sanitasi. Pengelolaan IPAL secara operasional dilakukan oleh
petugas unit instalasi sanitasi. Namun pemeliharaan dan perbaikan
peralatan IPAL terutama menyangkut mekanikal dan elektrikal dilakukan
oleh unit instalasi pemeliharaan sarana rumah sakit.
Sehingga, dapat dikatahui bahwa belum adanya deskripsi pekerjaan yang
jelas pada pengoperasian IPAL. Akibatnya timbul pembagian tugas yang
tidak jelas bagi petugas unit instalasi sanitasi dan instalasi pemeliharaan
sarana rumah sakit. Kondisi ini akhirnya dapat mengakibatkan tumpang
tindih pengoperasian IPAL.
b. Sumber Limbah Cair Rumah Sakit
Berdasarkan data yang didapatkan pada literatur, sumber limbah cair yang
masuk ke IPAL di raw sewage tank yaitu kegiatan dapur, seluruh kamar
mandi/WC/wastafel,, laboratorium dan sebagian dari ruang radiologi. Dari
raw sewage tank , limbah dipompa ke sedimental separation chamber
untuk menghilangkan bahan padatan secara gravitasi dan selanjutnya
masuk ke tangki ekualisasi untuk mengatur aliran limbah sebelum masuk
ke tangki kontak aerasi. Dari tangki kontak aerasi limbah dialirkan ke
tangki sedimentasi selanjutnya masuk ke tangki pompa defoaming untuk
menghilangkan busa dari proses aerasi. Setelah proses defoaming, limbah
masuk ke tangki kontrol pH 1, untuk pemberian H2SO4. Dari tangki
kontrol pH 1, limbah ke tangki klorinasi untuk pembubuhan NaClO,
selanjutnya ke tangki pH 2, untuk pembubuhan NaOH. Dari tangki pH 2
dialirkan ke tangki pompa effluent.
Limbah cair dari laundry tidak dialirkan ke IPAL, melainkan hanya
dikhlorinasi dan selanjutnya ditampung pada tangki effluent untuk dibuang
ke saluran umum. Bagan alir pengelolaan limbah cair RSPI-SS dapat
dilihat pada gambar berikut
Dapur
Laboratorium
KM/WC/Wastafel
Radiologi
Laundry
Raw Sewage Tank
IPAL Tangki Kontainer 1 dan 2
Ekstrak Ag ke supplier
Tangki Effluent
Badan Air
Tangki Klorinasi
Gambar 3. Bagan Alir Pengelolaan Limbah Cair RSPI-SSSumber : Bagian Instalasi IPSRS RSPI-SS, 2003
c. Karakteristik Limbah Cair RSPI-SS
Berdasarkan studi kasus dari literatur yang ada, karakteristik limbah cair
pada inlet dan outlet IPAL yang diperiksa oleh RSPI-SS tanggal 24
September 2003 adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Hasil Pemerikasaan Limbah Cair RSPI-SS, 24 September 2003
No ParameterHasil Analisis Baku Mutu
LimbahSatuan
Inlet OutletI Fisis1 Zat padat terlarut 865 569 1000 mg/l2 Zat padat tersuspensi 30 10 100 mg/l
II Kimiawi1 Amonia 10,64 1,50 5,0 mg-N/I2 Besi total 0,83 0,51 5,0 mg/l3 Nitrat 0,04 0,42 10,0 mg-N/I4 Nitrit 0,05 1,22 1,00 mg-N/I5 pH 7,0 9,5 6,0-9,0 mg/l6 Seng 0,82 0,05 2,00 mg/l7 Sulfida 0,36 * 0,05 mg/l8 Klorin bebas * 0,27 1,00 mg/l9 Mangan 0,16 * 2,00 mg/l10 Fenol 0,02 0,02 0,50 mg/l11 Senyawa aktif birumetilan 0,31 0,46 1,00 mg/l12 KmnO4 51,13 26,9 85,00 mg/l13 BOD5 21,64 18,24 75,00 mg/l14 COD 64,58 44,44 100,00 mg/l
Keterangan : *) tidak terdeteksiSumber : Laboratorium BPLHD DKI Jakarta, 2003
Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa parameter pH dan nitrit masih
melampaui baku mutu yang dipersyaratkan. Hasil analisis tersebut
menunjukkan bahwa IPAL belum efektif menurunkan konsentrasi
parameter tersebut.
d. Pemilihan Proses Pengolahan Limbah Cair
Untuk memilih proses pengolahan limbah cair, faktor penting yang harus
diperhatikan dan menjadi pertimbangan adalah karakteristik limbah cair
yang akan menentukan teknologi proses pengolahan. Sebagai dasar
menentukan karakteristik limbah cair yang akan diolah yaitu melalui
analisis laboratorium dan simulasi.
Pemilihan teknologi pengolahan limbah cair juga harus
mempertimbangkan dimensi lingkungan yang berarti bahwa limbah yang
diolah harus memenuhi kriteria baku mutu lingkungan, secara teknis
sederhana dan mudah dioperasikan serta stabil terhadap kondisi shock
loading maupun bahan toksik.
Proses pengolahan limbah cair yang dilakukan di RSPI-SS menggunakan
pross biologi dimana sesuai dengan karakteristik limbah cair yang
dihasilkan. Adapun pengolahan biologi yang diterpkan yaitu dengan
sistem kontak aerasi.
e. Teknologi Pengolahan Limbah Cair
Metode pengolahan limbah cair yang digunakan di RSPI-SS adalah
pengolahan sistem aerobic dengan reaktor pertumbuhan melekat (attached
growth reactor) khususnya jenis kontak aerasi (contact aeration). Adapun
proses pertumbuhan melekat adalah proses pengolahan biologi dimana
mikroorganisme yang mendekomposisi zat organic menjadi gas dan sel
bakteri yang melekat pada material media seperti batu, keramik maupun
plastik. Proses ini dikenal sebagai proses film melekat (fixed-film process)
III.1.3. Pengelolaan Limbah Padat Klinis
Untuk studi kasus RSPI-SS, berdasarkan literatur yang ada,
pengelolaan limbah padat (B3) klinis untuk rumah sakit ini terdiri dari
:
a. Pengorganisasian dan Ketenagaan
Pengelolaan limbah padat klinis berada di bawah unit instalasi
sanitasi yang bertanggungjawab pada seluruh kegiatan pengelolaan
limbah padat klinis mulai dari fase pengumpulan, pengangkutan
sampai pemusnahan. Struktur organisasi yang menangani limbah
padat klinis di RSPI-SS sudah mengacu pada SK Menkes Nomor :
55/MENKES/SK/I/1994 tentang bagan organisasi RSPI-SS. Adapun
jumlah personil yang bertugas pada pengelolaan limbah padat klinis
sejumlah satu orang dengan kualifikasi pendidikan SMA. Pada fase
pemusnahan petiugas yang bekerja sebagai operator insenerator
sebanyak tiga orang dengan kualifikasi satu orang SMA dan dua
orang SD.
b. Sumber dan Jumlah
Pengolahan limbah padat klinis di RSPI-SS berasal dari sumber
intern dan ekstern rumah sakit. Sumber dan jumlah timbulan limbah
padat klinis yang dibakar di insenerator RSPI-SS dari intern rumah
sakit pada tahun 2002 sebesar 415 kg, sedangkan jumlah limbah padat
klinis sumber eksternal tahun 2002 adalah sebesar 132.377,5 kg.
Instansi pengirim limbah padat klinis terbesar ke RSPI-SS pada thun
2002 adalah Rumah Sakit Internsional Bintaro, jumlahnya adalah
15.134,5 kg. Adapula instansi pengirim limbah padat klinis lain,
diantaranya RSAB Hermina Podomoro, RS. Medika Gria, Rs. Mitra
Keluarga Jatinegara, dan sebagainya.
Dari hasil penelitian yang ada, didapatkan bahwa selama 7 hari
pengamatan RSPI-SS menghasilkan limbah padat klinis sebanyak 95
kg. volume terbesar dihasilkan oleh ruangan instalasi gawat darurat.
Limbah padat klinis yang dihasilkan di RSPI-SS berasal dari berbagai
sumber yaitu ruang perawatan, ruang operasi, ruang pengobatan,
CSSD, dan laundry, ruang jenazah, instalasi bedah sentral,
laboratorium, instalasi farmasi dan ruang radiologi. Berikut bagan alir
pengelolaan limbah klinis
Gambar 4. Alur Pengelolaan Limbah Padat Klinis di RSPI-SS
III.1.4. Minimalisasi Limbah
a. Tingkat Konsumsi Air Bersih RSPI-SS Tahun 2003
Tingkat konsumsi air bersih di RSPI-SS selama periode tahun
2003 dapat dilihat pada Gambar 5 dibawah ini
Ruang Perawatan
Ruang Operasi
Ruang Pengobatan
CSSD & Laundry
Ruang Jenazah
Instalasi Bedah Sentral
Laboratorium
Radiologi
Kontener Limbah Klinis
Ruangan
Kontener
Kontener
Autoclave
Distributor
Kontener
BATAN
Insinerator
Abu Residu ke Dinas
Kebersihan DKI
Kantong Kuning
Limbah Klinis
Tempat Jarum Suntik Bekas
Farmasi
Kontener
Gambar 5. Tingkat Konsumsi Air Bersih Tahun 2003Berdasarkan gambar diatas terlihat rata-rata penggunaan air bersih
di RSPI-SS selama periode Januari-November 2003 adalah sebesar
3818,6 m3/bulan. Konsumsi tertinggi terjadi pada bulan agustus 2003
dimana pada waktu tersebut angka BOR mencapai 48,6 %. Tingginya
konsumsi air tersebut sehubungan dengan adanya wabah SARS,
dimana RSPI-SS sebagai rumah sakit rujukan.
b. Minimisasi penggunaan Air Bersih
Berdasarkan data literatur yang didapatkan, data penggunaan air
bersih di RSPI-SS tahun 2001-2003 diketahui bahwa rata-rata volum
penggunaan air bersih per bulan sebanyak 3.363.966 liter. Kemudian
didapatkan rentang perbandingan satuan penggunaan air bersih per
tempat tidur di RSPI-SS dibandingkan dengan hasil studi lain sebesar
1,7-5,6 kali. Menurut analisa yang ada, besarnya satuan penggunaan
air bersih per tempat tidur mengindikasikan bahwa telah terjadi
inefisiensi penggunaan air bersih di RSPI-SS. Faktor penyebab
inefisiensi yang paling munngkin adalah pemborosan air bersih oleh
pengunjung rumah sakit yaitu keluarga pasien yang menginap di
rumah sakit, penggunaan air oleh pedagang di depan rumah sakit,
kerusakan pipa dan meteran air serta adanya tukang yang bekerja
pada proyek pembangunan gedung rumah sakit.
III.1.5. Hasil Analisis Kualitas Emisi Udara
Hasil analisis kualitas emisi udara dari insinerator dapat dilihat
pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil analisis emisi gas buang insinerator di
laboratorium BTKL DEPKES (4 November 2003)
No Parameter SatuanBaku Mutu SK. Gub. DKI Jakarta No. 670
tahun 2009Metode Analisis Hasil
1 Amonia (NH3) mg/m3 0.5 Nessleer 0.822 Gas Chlorine (Cl2) mg/m3 10 Ortho Toldin tt
3Hidrogen Chlorida (HCl)
mg/m3 5Ion selective
metrictt
4Nitrogen Dioksida (NO2)
mg/m3 1000Chemiluminescen
ce46.9
5 Debu mg/m3 230 Isokinetik 38.10
6Sulfur Dioksida (SO2)
mg/m3 800 Infra merah 54.48
7Total Sulfur Teroksidasi (H2S)
mg/m3 35Mercury tiocyanat
1.12
8Hidrogen Fluorida (HF)
mg/m3 10Ion selective
metrictt
9Carbon monoksida (CO)
mg/m3 - Infra merah 1571.43
10Carbon Dioksida (CO2)
mg/m3 - Infra merah 3598.3
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa amonia 0.82 mg/m3,
parameter tersebut melebihi baku mutu yang ditetapkan menurut SK
Gubernur DKI Jakarta No. 670 tahun 2000 yaitu 0.5 mg/m3.
Adapun sifat amoniak adalah senyawa kimia dalam bentuk gas
yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah oleh bakteri
pembusuk dan juga oleh kegiatan industri kimia seperti pupuk dan
dapat enyebabkan iritasi pada saluran pernapasan dan mata (Ditjen
PPM & PLP DEPKES, 1994)
Gangguan kesehatan yang ditimbulkan akibat keracunan amoniak
antara lain radang saluran pernafasan bagian atas. Pada konsentrasi
280-490 mg/m3 menyebabkan iritasi mata, tenggorokan dan iritasi
nasal. Pada konsentrasi 1700-4500 mg/,3 menyebabkan odema paru
(Ditjen PPM & PLP DEPKES, 1994). Gas amoniak juga
menimbulkan bau yang merangsang dan sifat lain adalah tidak
berwarna serta korosif terhadap logam.
III.1.6. Analisis Sanitasi Rumah Sakit Khusus Penyakit Infeksius (RSPI-
SS)
1. Minimisasi Limbah Cair
Dari tinjauan pustaka yang didapatkan, dapat dianalisa bahwa
effluent IPAL yang dihasilkan di RSPI-SS ini masih kurang
memenuhi standar yang ada untuk effluent IPAL Rumah Sakit
sehingga IPAL RSPI-SS kemungkinan harus dibenahi untuk
mendapatkan hasil effluent yang sesuai dengan standar. Namun, dari
tinjaun pustaka, hasil effluent tersebut dapat digunakan kembali
(reuse) untuk keperluan penyiraman taman rumah sakit. Hal ini
secara otomatis juga akan mengurangi penggunaan air bersih di
RSPI-SS. Selain itu, RSPI-SS akan mengehemat biaya hingga Rp.
90.950 per hari dari penggunaan kembali effluent IPAL. Selain
memperoleh keuntungan secara ekonomi, RSPI-SS juga sudah
menghemat sumber daya air.
Kemudian, dari beberapa sumber limbah cair di rumah sakit ini,
sebagai upaya segregasi limbah cair RSPI-SS, maka sebelumnya
limbah-limbah cair tersebut harus dilakukan pre-treatment terlebih
dahulu sebelum diolah lebih lanjut.
2. Minimisasi Limbah Padat
Untuk kasus limbah padat di RSPI-SS, meminimalisir limbah ini
dapat dilakukan dengan cara menggunakan kembali kemasan-
kemasan plastik bekas, seperti kemasan alkohol, bayclin, betadine dan
cairan infus. Namun, demi menghindari dampak baru yang mungkin
timbul, sebelumnya kemasan-kemasan tersebut harus distrelisasi.
Pemakaian kembali kemasan-kemasan plastik ini juga akan
memberikan keuntungan secara ekonomis bagi RSPI-SS karena pihak
rumah sakit bias meminimalisir penggunaan dana untuk membeli
kemasan baru untuk keperluan yang sama.
3. Minimisasi Air Bersih
Dari tinjauan pustaka yang didapatkan, penggunaan air bersih
pada tahun 2001-2003 di RSPI-SS sebesar 3.363.966 liter. Hal ini
mengindikasikan terjadi keborosan dalam penggunaan air bersih
sehingga pihak rumah sakit harus mengeluarkan biaya lebih untuk
kebutuhan air bersih di rumah sakit. \
Biaya pemakaian air bersih adalah salah satu kpomponen biaya
operasional rumah sakit. Pemakaian air bersih yang tidak efesien akan
meningkatkan beban biaya operasional pelayanan rumah sakit dan
pada akhirnya dapat memengaruhi beban biaya pelayanan kesehatan
yang ditanggung oleh pasien rumah sakit
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Proses IPAL yang dijalankan selama ini belum efektif menurunkan beberapa
parameter yang ada di pengolahan air limbah, seperti nilai TSS dan koliform yang
melebihi baku mutu. Hal ini dapat disebabkan oleh proses pengolahan biologis
yang tidak sempurna. Penyebab proses pengolahan biologis yang tidak sempurna
pada IPAL RSPI-SS antara lain karena adanya factor kerusakan pada pompa
aerator sehingga proses aerasi tidak optimal. Faktor lain yaitu proses aerasi yang
seharusnya berlangsung terus menerus selama 24 jam sehari, ternyata hanya
dijalankan selama jam kerja karyawan atau kurang lebih selama 8 jam.
Juga terjadi kesalahan prosedur penanganan limbah pada tahap pengumpulan
(collection). Seharusnya input limbah dengan beban pencemaran tinggi ataupun
toksik harus dilakukan pengolahan pendahuluan sebelum limbah masuk ke IPAL.
Suber limbah cair dengan beban pencemaran yang tinggi ataupun toksik tersebut
berasal dari ruang perawatan, IGD, laboratorium, laundry, ataupun ruang operasi.
Emisi udara dari proses insinerator melampaui baku mutu. Parameter yang
melampaui baku mutu adalah amoniak yang merupakan limbah B3, namun
pengelolaannya masih sebagai sumber non B3. Sehingga RSPI-SS harus lebih
memperhatikan prosedur pengelolaan limbah padat dari fase collection,
transportation, storage, hingga disposal.
Perlu dilakukan upaya minimasi limbah, salah satunya dengan cara
mengganti bahan-bahan yang mencemari atau berbahaya dengan bahan-bahan
yang kurang atau tidak mencemari lingkungan, misalnya dengan tidak
menggunakan deterjen secara berlebihan, menggunakan deterjen berkadar fosfat
rendah sehingga akan mengurangi beban pencemaran.
Agar pengelolaan limbah cair, padat, dan gas pada RSPI-SS lebih baik maka
disaankan untuk melakukan hal-hal berikut:
1. Perawatan IPAL dilakukan secara berkala dan diberlakukan sistem reward
and punishment untuk petugas yang bertanggung jawab agar perawatan tidak
terlalaikan
2. Waktu aerasi diperpanjang dengan mengatur operasi aerator secara kontinyu
3. Memberlakukan preliminary treatment pada tahap pengumpulan untuk
limbah B3
4. Memperhatikan kinerja insinerator dan emisinya dikelola sesuai persyaratan
pengelolaan limbah B3
5. Minimalisasi limbah dilakukan dari unit pelayanan rumah sakit yang paling
kecil.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.who.int/csr/resources/publications/whocdscsreph200212.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3455/1/paru-parhusip4.pdf
Olmsted RN. APIC Infection Control and Applied Epidemiology: Principles and
Practice. St Louis, Mosby; 1996
anonymus. Infectious Disease Epidemiology Section. www.oph.dhh.louisiana.gov
Ducel, G. et al. Prevention of hospital-acquired infections, A practical guide. 2nd
edition. World Health Organization. Department of Communicable disease,
Surveillance and Response; 2002
Light RW. Infectious disease, noscomial infection. Harrison’s Principle of
Internal Medicine 15 Edition.-CD Room; 2001
Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI, Jakarta;
2001
Surono, A. Redaksi Intisari. [email protected]
Anonymus. Preventing Nosocomial Infection.Louisiana; 2002
Suwarni, A. Studi Diskriptif Pola Upaya Penyehatan Lingkungan Hubungannya
dengan Rerata Lama Hari Perawatan dan Kejadian Infeksi Nosokomial Studi
Kasus: Penderita Pasca Bedah Rawat Inap di Rumah Sakit Pemerintah dan
Swasta Provinsi DIY Tahun 1999. Badan Litbang Kesehatan Departemen
Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta; 2001
Babb, JR. Liffe, AJ. Pocket Reference to Hospital Acquired infection. Science
Press limited, Cleveland Street, London; 1995
Pohan, HT. Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine. Pusat
Informasi dan Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
Jakarta;2004
Wenzel. Infection control in the hospital,in International society for infectious
diseases, second ed, Boston; 2002
Finley, Samuel. Pengelelolaan Limbah Klinis Rumah Sakit.2004. Universitas
Indonesia