EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA TANAMAN KARET ...repository.uts.ac.id/71/1/Dariati_Skripsi.pdfPPBBI yang...
Transcript of EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA TANAMAN KARET ...repository.uts.ac.id/71/1/Dariati_Skripsi.pdfPPBBI yang...
EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA TANAMAN
KARET (Hevea brasiliensis) KLON BPM1 DAN IRR118
SKRIPSI
OLEH
DARIATI
14.01.021.005
PROGRAM STUDI TEKNOBIOLOGI
FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA
SUMBAWA BESAR
2018
EMBRIOGENESIS SOMATIK PADA TANAMAN KARET (Hevea
brasiliensis) KLON BPM1 DAN IRR118
SKRIPSI
Diajukan kepada
Universitas Teknologi Sumbawa
sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Sarjana Strata Satu (S1)
Oleh
DARIATI
14.01.021.008
PROGRAM STUDI TEKNOBIOLOGI
FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA
SUMBAWA BESAR
2018
vii
ABSTRAK
Dariati. 2018. Embriogenesis Somatik pada Tanaman Karet (Hevea brasiliensis)
Klon BPM1 Dan IRR118. Skripsi. Program Studi Teknobiologi, Fakultas
Teknobiologi, Universitas Teknologi Sumbawa. Pembimbing: (I) Baso
Manguntungi, S.Si., M,Si., (II) Dr. Imron Riyadi, M.Si.
Indonesia merupakan negara dengan luas perkebunan karet terbesar di dunia,
tetapi produksinya masih rendah. Hal ini, disebabkan karena proses perbanyakan
bibit yang masih menggunakan sistem pembibitan di lapangan dan teknik okulasi
yang memerlukan waktu lama dan kualitas bibit yang dihasilkan memiliki
heterogenitas tinggi. Oleh karena itu, diperlukan teknik perbanyakan yang lebih
efisien dalam skala massal dan seragam. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
adalah menggunakan teknik kultur jaringan melalui embriogenesis somatik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) konsentrasi terbaik dari kombinasi
BAP dan air kelapa untuk embriogenesis somatik tanaman karet klon BPM1 dan
IRR118 (2) konsentrasi terbaik dari kombinasi sitokinin (BAP dan kinetin) dan
putresin untuk embriogenesis somatik tanaman karet klon BPM1. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kalus karet klon BPM1 dan IRR118 yang
telah diinisiasi dari anther. Media dasar yang digunakan adalah medium MH
dengan penambahan ZPT berupa 2,4-D dan BAP dengan konsentrasi 5;10;15 μM
dikombinasikan dengan air kelapa dengan konsentrasi 5;10;15;20 % v/v pada
kultur suspensi. Kemudian pada kultur media padat tahap 1, dilakukan
penambahan 5 μM BAP dikombinasikan dengan putresin konsentrasi 1;5;10 μM
khusus untuk perlakuan 1 sampai 3, sedangkan pada perlakuan 4 sampai 6
dilakukan penambahan kombinasi kinetin 5 μM dengan putresin konsentrasi
1;5;10 μM. Perlakuan kultur media padat tahap 2, yaitu kombinasi BAP
konsentrasi 0;5;10 μM dengan putresin konsentrasi 0;0,5;1;1,5 μM. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi BAP 5 μM dengan air kelapa
5 % merupakan medium terbaik untuk proliferasi kalus karet klon BPM1 pada
kultur suspensi. Sementara pada kalus karet klon IRR118, media tersebut tidak
menginduksi proliferasi kalus. Namun, setelah didiamkan cukup lama yaitu 15
minggu, terjadi pembentukan embrio fase globular dengan jumlah tertinggi
diperoleh pada perlakuan kombinasi antara 10 μM BAP + air kelapa 5 %,
sedangkan kultur media padat tahap 1 dan 2 belum mampu menghasilkan embrio
somatik pada semua perlakuan.
Kata kunci: Hevea brasiliensis, media, embriogenesis somatik.
viii
ABSTRACT
Dariati. 2018. Somatic Embryogenesis in Rubber Plant (Hevea brasiliensis) clone
BPM 1 and IRR 118. Undergraduate Thesis. Department of
Biotechnology, Faculty of Biotechnology, Sumbawa University of
Technology. Supervisers: (1) Baso Manguntungi, S.Si., M,Si., (II) Dr.
Imron Riyadi, M.Si.
Indonesia is the largest rubber plant plantation area in the world. However, the
production amount is still low because the seedling propagation still uses ground
nursery system and grafting which require longer time and has high heterogeneity.
Therefore, effective cultivation with mass scale production and homogeneous
seedling is required to improve productivity. To meet the demand, rubber plant
seedling can be done by tissue culture through somatic embryogenesis. This
research objectives were to get the best combination composition between BAP
and coconut water for rubber plant BPM1 and IRR118 clone somatic
embryogenesis and to get best concentration combination between BAP and
putrescine in rubber plant somatic embryogenesis induction for BPM1 clone.
Materials used in this research were rubber plant callus, BPM1 and IRR118
clones which have been initiated from anther. Basic medium used were MH
medium added with ZPTs (2,4-D and BAP) with 5:10;15 μM in concentration and
coconut water (5;10;15;20 % in concentration, v/v in suspension culture). Into
solid culture medium phase 1, treatments 1 to 3 consist of 5 μM BAP combined
with 1;5;10 μM of putrescine. While the rests, treatments 4 to 6, 5 μM kinetin
combined with 1;5;10 μM of putrescine were added. Second solid culture phase
2, consist of combination between 0;5;10 μM concentration of BAP and
0;0,5;1;1,5 μM concentration of putrescine. Results of this study showed that
combination of 5 μM BAP and 5% coconut water was the best suspension
medium for BPM1 callus proliferation. On the other hand, this combination did
not induce the IRR118 clone proliferation. However, after 15 weeks incubation,
embryo in globular phase was formed with the highest result showed in
combination between 10 μM BAP + 5 % coconut water treatment, while solid
culture stage 1 and 2 have not been produce somatic embryo at all treatments yet.
Key world: Hevea brasiliensis, medium, somatic embryogenesis.
ix
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ”Embriogenesis Somatik pada
Tanaman Karet (Hevea brasiliensis) Klon BPM 1 dan IRR 118”. Tugas Akhir
ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar
Sarjana Bioteknologi di Program Studi Teknobiologi, Fakultas Teknobiologi,
Universitas Teknologi Sumbawa. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir
ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara moril
maupun materil. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih.
Kepada:
1. Orang tua (ayahanda Rahmad dan ibunda Masita) yang selalu memberikan
dukungan dalam bentuk moril maupun materil dari awal persiapan hingga
selesainya kegiatan.
2. Bapak Baso Manguntungi S.Si, M.Si., selaku pembimbing I yang telah
sabar dalam membimbing dan memberikan arahan kepada penulis selama
pelaksanaan penelitian tugas akhir dan penyususan skripsi ini, serta
kesabarannya dalam merevisi skripsi penulis.
3. Bapak Dr. Imron Riyadi, M.Si., selaku pembimbing II penulis yang telah
banyak memberikan bantuan, saran dan telah mengizinkan melakukan
penelitian tugas akhir di Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi
Tanaman, Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia
(PPBBI).
4. Seluruh dosen dan staf di Program Studi Teknobiologi, Fakultas
Teknobiologi, Universitas Teknologi Sumbawa (Khotibul Umam, M.Sc.,
Lili Suharli, S.Si., M.Pd, Riri Rimbun Anggih Chaidir, M.Sc.,
Kusdianawati, S.Pt., M.Si., Dwi Ariyanti, S.Pt., M.Biotech., Ali Budhi
Kusuma, M.Sc., Maya Fitriana, S.Si., Sausan Nafisah, S.Si., Win Ariga
Mansur Malonga, S.Pi., Izzul Islam, S.Pi., M.Eng., dan Hurul Aini As
Silmi, S.Si.) atas segala didikan yang penulis terima sejak pertama kali
penulis menimbah ilmu hingga akhirnya mampu menyelesaikan tugas
akhir.
5. Pertamina Foundation yang telah memberikan biaya pendidikan selama 4
tahun.
6. Universitas Teknologi Sumbawa, yang telah menjadi rumah pembelajaran
yang nyaman.
7. Seluruh karyawan Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi Tanaman
PPBBI yang telah memberikan bantuan, arahan, saran, dan kenyamanan
selama melaksanakan penelitian tugas akhir.
8. Sahabat seperjuangan angkatan 2014 Fakultas Teknobiologi, Universitas
Teknologi Sumbawa yang selalu menyemangati, membantu dan saling
mendukung.
9. Kakak tingkat angkatan 2013 yang telah memberikan bantuan dalam
penyusunan tugas akhir.
x
Akhir kata, penulis berharap Allah Subhanahu wa Ta’ala berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Harapan penulis
semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Sumbawa Besar, 13 Juli 2018
Dariati
xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK. ……………………………………………………………………... vii
ABSTRACT.. ………………………………………………………………….... viii
KATA PENGANTAR.. ………………………………………………………... ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………….. xii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………….... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………………... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3.Tujuan ................................................................................................... 4
1.4.Manfaat ................................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Botani Umum Tanaman Karet ............................................................... 5
2.2.Media Pertumbuhan In Vitro .................................................................. 6
2.3.Embriogenesis Somatik .......................................................................... 7
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 10
3.2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 10
3.3 Langkah Kerja ....................................................................................... 10
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Percobaan 1 (Kultur Suspensi Tahap 1) ................................................ 14
4.2 Percobaan 2 (Kultur Suspensi Tahap 2 dan Media Padat Tahap 1) .......
4.3 Percobaan 3 (Kultur Media Padat Tahap 2 dan Suspensi Tahap 3) ...... 22
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 25
5.2 Saran ..................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26
LAMPIRAN ........................................................................................................ 31
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ 42
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Kombinasi konsentrasi perlakuan BAP dan air kelapa……………... 11
Tabel 3.2. Konsentrasi perlakuan BAP, kinetin dan putresin………………........ 12
Tabel 4.1. Pengaruh kombinasi BAP dan air kelapa terhadap perkembangan
dan perubahan kalus karet klon BPM 1 minggu ke-7 setelah
kultur....................................................................................................
15
Tabel 4.2. Pengaruh kombinasi BAP dan air kelapa terhadap perkembangan
dan perubahan kalus karet klon BPM 1 dan IRR 118 minggu ke-7
setelah kultur………………………………………………………...
17
Tabel 4.3. Pengaruh kombinasi BAP dan putresin terhadap proliferasi dan
perkembangan kalus karet klon BPM 1……………………..............
23
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Hevea brasiliensis........................................................................... 4
Gambar 2.2. Tahapan perkembangan embrio somatik pada tanaman dikotil
dan monokotil ……………………………………………………
8
Gambar 4.1 Pertambahan diameter titik kalus pada subkultur 1 (umur 4
minggu) dan subkultur 2 (umur 8 minggu) setiap perlakuan (BP:
Berasal dari kalus yang berhasil proliferasi, TBP: Berasal dari
kalus yang tidak berhasil proliferasi)……………………………..
19
Gambar 4.2. Massa awal dan massa akhir kalus setelah 8 minggu disubkultur.. 20
Gambar 4.3. a) kalus hasil proliferasi, b) kalus remah pada umur 4 minggu
setelah kultur, c) kalus pada umur 8 minggu setelah
subkultur………….........................................................................
21
Gambar 4.4. Embrio yang terbentuk pada minggu ke-15 setelah subkultur, a)
perlakuan nomor 1 (globular, ditunjukkan oleh panah merah), b)
perlakuan nomor 3 (tidak terbentuk embrio), c) dan d) perlakuan
nomor 5 (globular)……………………………………………......
24
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tahap suspensi…………………………………………………... 31
Lampiran 2. Data perhitungan Cell Volume after Sedimentation (CVS)……… 31
Lampiran 3. Perkembangan kalus pada kultur padat tahap 1………………… 32
Lampiran 4. Struktur kalus pada kultur padat tahap 2 subkultur 1 dan
subkultur 2……………………………………………………….
33
Lampiran 5. Struktur kalus pada kultur padat tahap 2 subkultur 1 di bawah
mikroskop………………………………………………………..
36
Lampiran 6. Struktur kalus pada kultur padat tahap 2 subkultur 2 di bawah
mikroskop………………………………………………………..
39
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman karet merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika dan
saat ini telah menyebar luas ke seluruh dunia (Janudianto et al., 2013). Tanaman
karet diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1864 oleh Hofland. Pemanukan dan
Ciasem, Jawa Barat merupakan daerah pertama kalinya dibuka perkebunan karet
Indonesia (Bardani et al., 2014). Jenis karet yang pertama kali ditanam adalah
karet rambung atau Ficus elastic (Nafery et al., 2016). Kemudian pada tahun
1902, tanaman karet jenis Hevea (Hevea brasiliensis) yang merupakan salah satu
komoditas utama di Indonesia untuk ekspor mulai ditanam di daerah Sumatera
Timur (Pusari dan Haryanti, 2014).
Berdasarkan pada data dari Direkrorat Jendral Perkebunan (2016)
menunjukkan bahwa pada tahun 2015 Indonesia merupakan negara dengan
perkebunan karet terluas di dunia yaitu sekitar 3.621.102 ha dan hasil produksi
sebesar 3.145.398 ton/tahun. Hasil produksi tersebut masih di bawah Thailand
yang hanya memiliki luas lahan sebesar 3.015.361 ha, tetapi mampu
menghasilkan produksi karet lebih besar dari Indonesia yaitu sebesar 4,5 juta
ton/tahun (Win, 2017). Padahal, tanaman karet termasuk salah satu tanaman
perkebunan yang penting di Indonesia karena selain sebagai sumber lapangan
kerja bagi masyarakat, komoditi ini juga memberikan kontribusi yang signifikan
sebagai salah satu sumber penghasil devisa non migas bagi negara (Damanik,
2012).
Tahun 2025 pemerintah telah mentargetkan Indonesia akan menjadi
produsen karet nomor satu dunia (Sayurandi et al., 2016). Hal tersebut dilakukan
untuk lebih mempermudah dalam pengendalian harga di pasar dunia dan
meningkatkan devisa negara melalui nilai ekspor karet. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk pencapaian target tersebut adalah dengan menggunakan
klon-klon karet unggul dengan potensi hasil yang tinggi. Beberapa klon karet
unggul diantaranya Avros 2037, BPM 1, BPM 107, RRIM 712, PRIC 100, PRIC
102, PRIC 110, PRIC 120, IRR 118dan TM (Damanik, 2012).
2
Perbanyakan bibit karet unggul hingga saat ini khususnya di tingkat
penangkar dilakukan dengan sistem pembibitan di lapangan (ground nursery) dan
menggunakan teknik okulasi. Oleh karena itu, meskipun sudah menggunakan
bibit unggul produksi karet di Indonesia tetap masih rendah. Hal ini disebabkan
karena teknik tersebut memiliki kelemahan diantaranya membutuhkan waktu yang
lama (Admojo et al., 2014). Menurut Boerhendhy (2013), bibit hasil okulasi siap
disalurkan setelah 12-18 bulan sejak pertunasan. Kelemahan lain dari teknik
okulasi yaitu kebutuhan lahan yang luas, musim biji yang terbatas, dan
memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak (Admojo et al., 2014). Selain itu,
teknik okulasi merupakan teknik yang menggabungkan sifat unggul dua induk
dengan cara menyambungkan batang atas yang berasal dari mata tunas dengan
batang bawah yang berasal dari biji dan memiliki sistem perakaran sendiri. Hal
ini, dapat menyebabkan ketidaksesuaian atau inkompatibilitas antara batang atas
dan batang bawah tanaman karet sebagai respon fisiologis yang tidak cocok antara
kedua bagian tanaman. Hal tersebut, dapat menyebabkan menurunnya
produktivitas tanaman dan menimbulkan heterogenitas yang tinggi pada bibit
yang dihasilkan (Bintarti, 2015). Oleh karena itu, pengembangan teknik
pembibitan yang efektif diperlukan untuk meningkatkan produksi dan kualitas
bibit karet, di antaranya menggunakan teknik kultur jaringan melalui
embriogenesis somatik.
Embriogenesis somatik tanaman adalah suatu proses perkembangan sel
somatik (baik haploid maupun diploid) yang membentuk individu tumbuhan baru
melalui tahap perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet
(Riyadi, 2016). Teknik ini memiliki beberapa keuntungan diantaranya yaitu dapat
digunakan untuk perbanyakan bibit dalam jumlah massal, seragam dalam waktu
yang relatif singkat, dan tidak tergantung musim (Purnamaningsih, 2002). Selain
itu, embriogenesis somatik menjadi alternatif perbanyakan klonal pada tanaman
karet untuk mendapatkan bahan tanam dengan sistem perakaran sendiri dan
identik dengan induknya (Bintarti, 2015). Pembentukan embriogenesis somatik
terjadi melalui dua jalur yaitu secara langsung dan tidak langsung atau melewati
fase kalus (Utami et al., 2007).
3
Perbanyakan tanaman karet melalui embriogenesis somatik telah berhasil
dilakukan oleh beberapa lembaga penelitian di dunia dengan menggunakan
berbagai jenis eksplan diantaranya anther, integumen biji muda, kotiledon, dan
fragmen dari embrio somatik primer (Bintarti, 2015). Namun, di Indonesia sendiri
tingkat keberhasilannya masih relatif rendah yang disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya jenis klon eksplan dan komposisi media yang digunakan
(Darojat et al., 2015). Penelitian mengenai embriogenesis somatik karet di
Indonesia telah dilakukan sejak akhir 1990-an di Balai Penelitian Bioteknologi
Perkebunan Indonesia (BPBPI) namun tingkat keberhasilannya masih sangat
rendah (<10 %) (Darojat et al., 2015).
Media yang optimal untuk embriogenesis somatik tanaman karet di
Indonesia hingga saat ini belum ditemukan. Oleh karena itu, sebagai usaha untuk
menemukan media yang optimal untuk embriogenesis somatik tanaman karet,
maka dilaksanakan penelitian “Embriogenesis Somatik pada Tanaman Karet
(Hevea brasiliensis) Klon BPM 1 dan IRR 118”. Penelitian ini, mencari dan
menentukan penggunaan air kelapa, zat pengatur tumbuh sitokinin dan senyawa
poliamin berupa putresin. Ketiga zat tersebut digunakan, karena memiliki
kemampuan dalam menginduksi pembelahan sel dan menginduksi pembentukan
embrio somatik pada tanaman. Selain itu, penambahan air kelapa dalam media
kultur juga telah mempengaruhi keberhasilan pengembangan kultur sel di banyak
spesies tanaman, seperti Phalaenopsis cornucervi (Breda) dan Curcuma (Srichuay
et al., 2014). Setelah dilakukan penelitian ini, diharapkan akan ditemukan media
yang cocok untuk optimasi embriogenesis somatik karet yang masih belum
banyak berhasil dilakukan di Indonesia sehingga dapat meningkatkan produksi
dan menjadikan Indonesia pengekspor karet nomor satu dunia.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian adalah:
1. Berapakah konsentrasi terbaik dari kombinasi BAP dan air kelapa untuk
embriogenesis somatik kalus karet klon BPM 1 dan IRR 118 pada kultur
suspensi tahap 1, 2 dan 3?
4
2. Berapakah konsentrasi terbaik dari kombinasi sitokinin (BAP dan kinetin)
dan putresin untuk induksi embriogenesis somatik tanaman karet klon BPM
1 pada kultur media padat tahap 1 dan 2?
1.3. Tujuan
Berikut tujuan dari penelitian ini:
1. Mengetahui konsentrasi terbaik dari kombinasi BAP dan air kelapa untuk
embriogenesis somatik kalus karet klon BPM 1 dan IRR 118 pada kultur
suspensi tahap 1, 2, dan 3.
2. Mengetahui konsentrasi terbaik dari kombinasi sitokinin (BAP dan kinetin)
dan putresin untuk induksi embriogenesis somatik tanaman karet klon BPM
1 pada kultur media padat tahap 1 dan 2.
1.4. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini dapat membatu dalam studi embriogenesis somatik pada
tanaman karet (Hevea brasiliensis).
2. Regenerasi klonal unggul BPM 1 dan IRR 118 pada tanaman karet secara
massal melalui kultur in vitro.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Botani Umum Tanaman Karet
Tanaman karet (Hevea brasiliensis) merupakan tanaman yang berasal dari
hutan Amazon Amerika dan rata-rata tingginya mencapai 30 hingga 40 meter
(Venkatachalam et al., 2013). Tanaman karet yang dibudidayakan biasanya jarang
memiliki ketinggian melebihi 25 – 30 meter. Hal ini disebabkan karena terjadinya
pengurangan pertumbuhan akibat panen lateks dengan teknik penyadapan
(Webster dan Paardekooper, 1989). Berdasarkan data dari Interagency Taxonomic
Information System (ITIS), berikut klasifikasi tanaman karet:
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Euphorbiales
Family : Euphorbiaceae
Sub-family : Crotonoideae
Genus : Hevea
Species : Hevea brasiliensis
Gambar 2.1. Hevea brasiliensis
(Ditjenbun, 2016)
Tanaman karet memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang
yang berkembang dengan baik yaitu sekitar 2 – 5 meter setelah 3 tahun (Verheye,
2010), akar lateral yang menempel pada akar tunggang dan akar serabut
(Purwanta et al., 2008). Bunga karet bersifat berumah satu (monoecious) dan
termasuk bunga majemuk berbatas yaitu bunga majemuk yang ujung ibu
tangkainya selalu ditutupi suatu bunga. Bunga jantan dan betina pada tanaman
karet memiliki warna yang berbeda yaitu warna kuning bagi bunga jantan dan
bunga betina berwarna kuning kehijauan (Udarno et al., 2017). Sementara, helaian
anak daun pada tanaman kaet memiliki ciri-ciri bertangkai pendek dan berbentuk
lonjong oblong, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua
6
dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5 – 35 cm dan lebar 2,5 – 12,5 cm
(Sianturi, 2001).
Karet alam biasanya memiliki lingkar batang sebesar 1 – 2 meter dan
memiliki kekhasan menghasilkan lateks yang kaya akan partikel karet alam (Cilas
et al., 2004). Sintesis lateks pada tanaman karet berlangsung dalam pembuluh
lateks menggunakan bahan dasar berupa sukrosa yang ditranspor dari daun
sebagai hasil fotosintesis (Dalimunthe, 2004). Semakin banyak jumlah daun pada
pohon karet, maka akan semakin banyak lateks yang akan dihasilkan. Hal ini
disebabkan karena daun merupakan tempat fotosintesis karbohidrat (sukrosa dan
pati) yang akan digunakan untuk menghasilkan lateks (Zulkifli et al., 2014).
Tanaman karet memiliki daun berwarna hijau, akan tetapi ketika musim kemarau
daun akan berubah warna menjadi kuning atau merah dan kemudian rontok
(Fahrizal, 2013).
Budidaya tanaman karet memerlukan kondisi yang tepat agar diperoleh
pertumbuhan dan produksi yang baik. Daerah yang cocok untuk tanaman karet
adalah pada zona antara 150 o
LS dan 150 o
LU, dengan suhu harian 25 – 30 oC
(Damanik et al., 2010). Kemudian derajat keasaman mendekati normal lebih
cocok untuk tanaman karet yaitu pH 5 – 6. Namun, batas toleransi pH tanah
tanaman karet adalah 4 – 8 (Marpaung dan Hartawan, 2014). Selain atau di luar
syarat tersebut, pertumbuhan tanaman karet agak terhambat sehingga memulai
produksinya juga terlambat.
2.2. Media Pertumbuhan In Vitro
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara in vitro sangat bergantung
pada media yang digunakan. Media dasar dalam kultur in vitro berfungsi
menyediakan unsur hara makro, mikro dan vitamin yang sangat diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan (Ajijah, 2016). Unsur senyawa
makro diperlukan dalam jumlah besar oleh tumbuhan. Hal ini disebabkan karena
unsur tersebut merupakan komponen utama senyawa-senyawa organik yang
membentuk struktur tumbuhan. Unsur-unsur makro terdiri atas sembilan unsur
yaitu karbon, oksigen, hidrogen, nitrogen, fosfor, sulfur, kalium, kalsium dan
magnesium (Campbell et al., 2008). Kemudian unsur mikro merupakan unsur
yang dibutuhkan dalam jumlah kecil oleh tumbuhan (<1.000 mg/kg) (Pendias,
7
2011 dalam Stevanus et al., 2015). Unsur-unsur mikro terdiri atas delapan unsur
yaitu klorin, besi, mangan, boron, seng, tembaga, nikel, dan molibdenum
(Campbell et al., 2008).
Media kultur in vitro biasanya juga diberikan penambahan zat pengatur
tumbuh untuk mendukung pertumbuhan tanaman sesuai yang diinginkan. Zat
pengatur tumbuh merupakan senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambat serta dapat mengubah proses fisiologi
tumbuhan (Fauza, 2017). Zat pengatur tumbuh yang sering digunakan dalam
kultur in vitro adalah auksin, sitokinin, giberelin, dan asam absisat. Penggunaan
zat pengatur tumbuh di dalam kultur in vitro tergantung pada arah pertumbuhan
jaringan tanaman yang diinginkan. Pembentukan tunas pada umumnya digunakan
sitokinin, sedangkan untuk pembentukan akar digunakan auksin (Lestari, 2011).
Namun, ketika konsentrasi kedua zat pengatur tumbuh ini berada pada tingkat
tertentu, massa sel terus tumbuh dalam bentuk suatu gugusan sel-sel yang tidak
terdeferensisi atau disebut kalus (Campbell at al., 2008). Menurut Abidin (1985)
dalam Harahap et al. (2015), giberelin mempunyai peranan dalam mendukung
perpanjangan sel (cell elongation), aktivitas kambium dan mendukung
pembentukan RNA baru dalam sintesa protein. Sementara asam absisat diketahui
memiliki fungsi untuk toleransi terhadap kekeringan dengan cara mencegah
kehilangan air secara berlebihan pada sel (Muliawati et al., 2016).
Media dasar yang digunakan dalam kultur in vitro tumbuhan terdapat
berbagaimacam jenis. Pemelihan media yang akan digunakan bergantung pada
tujuan, jenis tanaman serta jenis dan umur jaringan yang akan dikulturkan
(Karjadi dan Buchory, 2008). Media dasar yang sering digunakan dalam
perbanyakan secara in vitro adalah media Murashige dan Skoog (MS) (1962),
(Marlina, 2004). Medium MS mengandung unsur nitrogen yang lebih besar
dibandingkan media-media yang lain, yaitu sebesar 40 mM dalam bentuk NO3
dan 29 mM dalam bentuk NH4+ (Karjadi dan Buchory, 2008).
2.3. Embriogenesis Somatik Tanaman
Perkembangan protokol kultur jaringan dalam perbanyakan sel dan jaringan
telah sampai pada level yang memungkinkan untuk melakukan industrialisasi
perbenihan yaitu dengan menggunakan teknik embriogenesis somatik. Teknik ini
8
merupakan suatu proses dimana sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid)
berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio
yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (Sukmadjaja, 2005). Embriogenesis
somatik secara fisiologi dan morfologi memiliki tahapan perkembangan embrio
yang sama dengan embrio zigotik (Deo et al., 2010). Secara spesifik tahap
perkembangan tersebut meliputi proembrio, embrio tahap globular, tahap hati,
tahap torpedo dan tahap kotiledon pada tanaman dikotil (Gray, 2005 dalam Husni
et al., 2010). Kemudian pada tanaman monokotil tahap perkembangan embrio
somatiknya meliputi globular, elongated, scutellar dan coleoptilar (Godbole et
al., 2002 dalam Riyadi, 2016). Secara rinci, tahap perkembangan embrio somatik
pada tanaman dikotil dan monokotil ditunjukkan pada gambar 2.2.
Gambar 2.2. Tahapan perkembangan embrio somatik pada tanaman dikotil (Jha
dan Ghosh, 2005 dalam Riyadi, 2016)
Embriogenesis somatik termasuk salah satu teknik perbanyakan in vitro
yang paling menguntungkan untuk spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
(Yelnititis, 2013). Hal ini disebabkan karena bibit yang dihasilkan dari
embriogenesis somatik dapat memberikan beberapa keuntungan diantaranya
9
jumlah bibit yang diperoleh jauh lebih banyak, populasi tanaman yang dihasilkan
identik dengan tetuanya, dan embrio somatik tersebut dapat berkembang menjadi
plantlet (Rani dan Raina, 2000). Namun, selain keuntungan terdapat juga kendala
dari embriogenesis somatik yaitu peluang terjadinya mutasi lebih tinggi, metode
lebih sulit, ada penurunan daya morfogenesis dari kalus embriogenik karena
subkultur berulang serta memerlukan penanganan yang lebih intensif karena
kultur lebih rapuh (Yelnititis, 2013).
Embriogenesis somatik dapat terjadi secara langsung dan secara tidak
langsung. Embriogenesis somatik langsung merupakan pembentukan embrioid
yang langsung berasal dari jaringan tanpa adanya induksi kalus, sedangkan
embriogenesis somatik tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus dan
embrioid dapat dihasilkan melalui budidaya kalus maupun suspensi sel (Molina et
al., 2002). Secara umum, embriogenesis somatik mempunyai beberapa tahapan
pengerjaan yaitu induksi sel dan kalus embriogenik, pendewasaan,
perkecambahan, hardening, dan aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002). Tahap
induksi kalus dianggap berhasil apabila kalus yang diperoleh bersifat embriogenik
dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti besar, vakuola
kecil-kecil dan mengandung butir pati (Admojo et al., 2014). Tahap pendewasaan
adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan
primordia akar (Neliyati, 2013). Kecepatan proses embriogenesis somatik
dipengaruhi oleh dua faktor pembatas yaitu inisiasi embrio somatik dan regenerasi
tanaman. Keduanya membutuhkan kondisi yang tepat termasuk komposisi media
dan zat pengatur tumbuh (Rianawati et al., 2009).
10
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan sejak Oktober 2017 sampai dengan Mei 2018 di
Laboratorium Biak Sel dan Mikropropagasi Tanaman, Pusat Penelitian
Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI), Jalan Jabaru II No. 21, Pasir
Kuda, Bogor, Jawa Barat.
3.2. Alat dan Bahan
3.2.1. Alat peneltian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laminar Air Flow (LAF),
autoklaf, timbangan analitik, hot plate dengan magnetic stirrer, erlenmeyer, gelas
ukur, labu ukur, gelas beker, pipet ukur, pinset, spatula, lampu bunsen, pH meter,
oven, saringan, aluminium foil, pipet mikro, tip, petri, shaker dan kamera.
3.2.2. Bahan penelitian
Bahan yang digunakan sebagai eksplan dalam penelitian ini adalah kalus
karet klon BPM 1 pada kultur suspensi tahap 1, kalus karet klon BPM 1 dan IRR
118 pada kultur suspensi tahap 2 dan kalus IRR 118 pada kultur suspensi tahap 3.
Kalus yang digunakan sebagai eksplan awal dalam penelitian ini berupa kalus
remah yang diinisiasi dari anther dan telah diseleksi sebelum digunakan.
Kemudian, bahan yang digunakan sebagai eksplan untuk kultur media padat tahap
1 adalah kalus yang berasal dari kultur suspensi tahap 1, sedangkan kultur media
padat tahap 2 menggunakan kalus karet yang berhasil proliferasi pada kultur
suspensi tahap 2. Media dasar yang digunakan adalah media MH (Medium for
Hevea) dengan penambahan air kelapa, senyawa poliamin berupa putresin dan zat
pengatur tumbuh berupa 2,4-D dan BAP.
3.3. Langkah Kerja
3.3.1. Pembuatan Media
3.3.1.1. Kultur Suspensi Tahap 1, 2 dan 3
Perlakuan pada suspense tahap 1 adalah kombinasi antara ZPT BAP
dengan taraf konsentrasi (5 μM, 10 μM dan 15 μM) dan air kelapa (5 μM, 10 μM,
15 μM dan 20 μM). Jumlah seluruh perlakuan pada tahap ini terdiri dari 12
11
perlakuan tanpa ulangan. Kombinasi media perlakuan suspensi tahap 1 disajikan
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Kombinasi Konsentrasi Perlakuan BAP dan Air Kelapa
No. Kode Media Konsentrasi BAP
(μM)
Konsentrasi Air Kelapa
(%)
1 B5C5 5 5
2 B5C10 5 10
3 B5C15 5 15
4 B5C20 5 20
5 B10C5 10 5
6 B10C10 10 10
7 B10C15 10 15
8 B10C20 10 20
9 B15C5 15 5
10 B15C10 15 10
11 B15C15 15 15
12 B15C20 15 20
Pembutan media kultur suspensi dilakukan dengan cara melarutkan 3 %
gula di dalam labu ukur, kemudian tambahkan 20 mL/L MH A, 10 mL/L MH B,
20 mL/L MH C, 10 mL/L MH D, 10 mL/L MH E, 1 mL/L MH F, 10 mL/L MH
G, 1 mL/L MH H, 1 mL/L MH I, dan 1 mL/L MH J. Selanjutnya, dilakukan
penambahan 2,4-D sebanyak 10 μM, BAP dan air kelapa sesuai perlakuan,
kemudian tingkat keasaman media diatur pada PH 5,7. Media dipindahkan ke
dalam erlenmeyer ukuran 100 mL dengan volume media diatur sebanyak 10
mL/erlenmeyer. Selanjutnya media disterilisasi dengan cara dimasak
menggunakan autoklaf selama 2 jam pada tekanan 1 atm, kemudian media
disimpan di ruang penyimpanan media hingga digunakan. Tiga medium terbaik
pada kultur suspensi tahap 1, akan diuji lanjut terhadap dua jenis klon karet yaitu
klon BPM 1 dan klon IRR II8 (kultur suspensi tahap 2). Kultur suspensi tahap 3
juga menggunakan media yang sama dengan kultur suspensi tahap 2, tetapi
dilakukan penambahan waktu kultur.
3.3.1.2. Kultur Media Padat Tahap 1 dan 2
Perlakuan pada kultur media padat tahap 1 adalah kombinasi zat pengatur
tumbuh BAP sebesar 5 μM dengan konsentrasi putresin sebesar 1; 5; 10 μM pada
perlakuan 1 sampai 3, sedangkan pada perlakuan 4 sampai 6 dilakukan
penambahan kombinasi kinetin 5 μM dengan putresin sebesar 1; 5; 10 μM.
12
Jumlah seluruh perlakuan pada percobaan kultur media padat tahap 1, terdiri dari
6 perlakuan. Berikut perlakuan yang digunakan terdapat pada tabel di bawah ini
(Tabel 3.2).
Tabel 3.2. Konsentrasi perlakuan BAP, Kinetin dan Putresin
No Kode Media Konsentrasi BAP dan
Kinetin (μM)
Konsentrasi Putresin
(μM)
1 B5P1 BAP 5 1
2 B5P5 BAP 5 5
3 B5P10 BAP 5 10
4 K5P1 Kinetin 5 1
5 K5P5 Kinetin 5 5
6 K5P10 Kinetin 5 10
Apabila media perlakuan yang digunakan belum mampu menginduksi
embrio somatik, maka akan dilakukan kultur media padat tahap 2 untuk pengujian
media lebih lanjut dengan cara mencoba menggunakan media dengan konsentrasi
yang mendekati media yang menunjukkan hasil terbaik pada tahap sebelumnya.
Taraf konsentrasi BAP yang digunakan pada kultur media padat tahap 2 adalah 0
μM, 5 μM dan 10 μM. Kemudian, konsentrasi putresin yang digunakan adalah 0
μM, 0,5 μM, 1 μM dan 1,5 μM. Perlakuan pada kultur media padat tahap 2
merupakan kombinasi dari kedua faktor sehingga total perlakuan adalah 12
perlakuan.
Proses pembuatan media pada kutur padat, sama seperti proses pembuatan
media pada kultur suspensi. Namun, pada tahap ini ditambahkan gelzan (pemadat)
sebanyak 3,5 g/L. Setelah media disterilkan dengan cara dimasak menggunakan
autoklaf dan masih panas, media dituangkan ke petri dengan masing-masing
sebanyak 10 mL. Selanjutnya media disimpan di ruang penyimpanan media
hingga digunakan.
3.3.2. Kultur Suspensi Tahap 1, 2 dan 3
Proses kultur tanaman karet pada penelitian ini dilakukan dalam kondisi
yang sama dan homogen dalam berbagai aspek seperti sumber eksplan, kondisi
laminar air flow, peralatan kultur yang digunakan serta kondisi ruang inkubasi.
Kalus remah yang diinisiasi dari anter karet klon BPM 1 dan telah diseleksi,
ditimbang sebanyak 0,3 g kemudian dikultur pada media suspensi. Media
selanjutnya ditempatkan di atas orbital shaker dengan kecepatan 80 rpm selama 7
13
minggu pada kultur suspensi tahap 1, 6 minggu pada kultur suspensi tahap 2 dan
15 minggu pada kultur suspensi tahap 3. Pengamatan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan kalus tanaman karet dilakukan setiap minggu, yang meliputi tiga
parameter, yaitu (1) pertambahan volume kalus, (2) warna kalus per minggu, dan
(3) bentuk perkembangan kalus.
3.3.3. Kultur Media Padat tahap 1 dan Tahap 2
Tahap induksi embrio merupakan tahapan yang sangat aktif. Kalus yang
dihasilkan dari suspensi tahap 1, disaring kemudian dikulturkan pada petri yang
mengandung media padat perlakuan. Setiap satu petri kultur dibuat tiga titik kalus.
Selanjutnya, kalus karet pada semua perlakuan diinkubasi di dalam ruang terang
selama 8 minggu. Tahapan dari induksi embrio tahap 1 dan 2 tediri dari 2 kali
kultur. Setelah 4 minggu kultur (kultur-1) selanjutnya disubkultur (kultur-2) pada
media yang sama dengan kultur-1. Durasi kultur-1 dan 2 masing-masing selama 4
minggu sehingga total waktu kedua kultur yaitu 8 minggu. Pengamatan terhadap
respons eksplan pada media perlakuan dilakukan setiap minggu.
Kalus yang digunakan pada kultur media padat tahap 2 yaitu kalus yang
dihasilkan dari suspensi tahap 2. Metode pengerjaan dan tahapan pada induksi
embrio somatik tahap 2, sama dengan induksi embrio somatik tahap 1. Namun,
medium yang digunakan adalah variasi konsentrasi mendekati medium perlakuan
terbaik dari tahap sebelumnya yaitu kombinasi antara BAP dengan putresin.
3.3.4. Analisis Data
Data yang diperoleh dari kultur suspensi (tahap 1 dan 3) dan kultur media
padat tahap 1 akan dianalisis secara deskriptif kualitatif. Alasan penggunaan
analisis kualitatif adalah karena sampel yang digunakan sedikit, tidak mencukupi
untuk dilakukan analisis kuantitatif. Sementara penelitian kultur suspensi tahap 2
dan kultur media padat tahap 2 dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor. Data yang diperoleh dianalisis
menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Perbedaan antar perlakuan
ditentukan dengan menggunakan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada taraf uji α = 5 %.
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Percobaan 1 (Kultur Suspensi Tahap 1)
Zat pengatur tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam
pembentukan kalus maupun regenerasi tanaman dalam proses embriogenesis
somatik. Seperti pada tanaman lainnya, proses embriogenesis somatik pada
tanaman karet juga membutuhkan zat pengatur tumbuh yang spesifik dan
seimbang. Zat pengatur tumbuh yang digunakan pada tahap ini adalah kombinasi
antara BAP dan air kelapa. BAP merupakan salah satu jenis sitokinin sintetik
yang sering digunakan dalam penelitian kultur in vitro (Karjadi dan Buchory,
2008). Air kelapa sering kali digunakan dalam kultur in vitro sebagai pengganti
atau untuk mengurangi penggunaan zat pengatur tumbuh sintetik auksin dan
sitokinin. Air kelapa mengandung zat pengatur tumbuh alami sitokinin 5,8 mg/L,
auksin 0,07 mg/L, dan giberelin (Bey et al., 2006), serta senyawa lainnya seperti
protein, lemak, mineral, karbohidrat, vitamin C, dan B kompleks (Ningsih et al.,
2010 dalam Marpaung dan Hutabarat, 2015). Senyawa-senyawa tersebut sangat
penting untuk perkembangan tanaman yang memainkan peran penting sebagai
penyangga fisiologis (Krikorian, 1991 dalam Souza et al., 2013).
Embriogenesis somatik pada tahap ini dilakukan menggunakan kalus
remah karet klon BPM1 (subkultur ke-40) hasil kultur anther. Kultur in vitro
anther pada tanaman karet digunakan untuk menghasilkan tanaman haploid
(Satchuthananthavale dan Irugalbandara, 1972 dalam Bintarti, 2015). Sementara,
penggunaan kalus bertekstur remah dianggap baik karena memudahkan dalam
pemisahan menjadi sel-sel tunggal pada proses kultur suspensi, disamping itu
akan meningkatkan aerasi oksigen antar sel (Rosmaina et al., 2015).
Hasil pengamatan pada semua media menunjukkan bahwa hanya dua
media perlakuan yang berhasil mengalami proliferasi kalus yaitu perlakuan nomor
1 dan 5 dengan persentase peningkatan masing-masing sebesar 887,5 % dan
757,14 % dari volume awal (Tabel 4.1). Sementara perlakuan yang lain tidak
mengalami pertambahan volume kalus, bahkan terdapat perlakuan yang
mengalami pengurangan volume kalus dari volume awal yaitu perlakuan nomor 4
dengan persentase pengurangan sebesar 42,86 %. Massa awal kalus setiap media
15
perlakuan adalah 0.3 g. Kemudian, pada minggu ke-7 setelah penimbangan, kedua
media yang berhasil proliferasi (1 dan 5) menunjukkan pertambahan massa
sebesar 19 dan 18 kali lipat dari massa awal, sedangkan media yang lain tidak
terlalu menunjukkan perbedaan berat awal sebelum subkultur dengan berat akhir
setelah disaring.
Tabel 4.1. Pengaruh Kombinasi BAP dan Air Kelapa terhadap Perkembangan dan
Perubahan Kalus Karet Klon BPM1 Minggu ke-7 Setelah Kultur
No Kode
media
CVS (ml) Massa (g) Perkembagan Warna
Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir
1 B5C5 0,8 7,9 0,3 5,692 kalus kalus Kce
2 B5C10 0,8 0,8 0,3 0,352 kalus kalus Cke
3 B5C15 0,7 0,7 0,3 0,322 kalus kalus CK
4 B5C20 0,7 0,4 0,3 0,305 kalus kalus KC
5 B10C5 0,7 6 0,3 5,363 kalus kalus Kce
6 B10C10 0,8 0,8 0,3 0,439 kalus kalus KC
7 B10C15 0,7 0,7 0,3 0,323 kalus kalus CK
8 B10C20 0,7 0,7 0,3 0,289 kalus kalus CK
9 B15C5 0,7 0,7 0,3 0,292 kalus kalus KC
10 B15C10 0,7 0,7 0,3 0,317 kalus kalus KC
11 B15C15 0,7 0,7 0,3 0,329 kalus kalus KC
12 B15C20 0,7 0,7 0,3 0,371 kalus kalus C Keterangan:
Kc : Kuning sedikit kecokelatan
Cke : Cokelat keruh
CK : Cokelat kekuningan
KC : Kuning kecokelatan
C : Cokelat
CVS : Cell Volume after Sedimentation
Tingginya proliferasi kalus pada perlakuan nomor 1 dan 5 disebabkan
karena interaksi antara BAP dan air kelapa pada kedua perlakuan merupakan
konsentrasi yang optimal dalam mendorong sel-sel membelah dan membesar
sehingga membentuk kalus lebih cepat. Hal ini, sesuai dengan Allan (1991)
dalam Hayati et al. (2010) bahwa keseimbangan konsentrasi auksin dan sitokinin
dalam kultur in vitro diketahui dapat memacu pembentukan kalus melalui
interaksi dalam pembesaran dan pembelahan sel. Menurut Santoso dan Nursandi
(2003) dalam Widyawati (2010), pengaruh sitokinin dalam kultur jaringan
tanaman berhubungan dengan proses pembelahan sel dan proliferasi kalus.
Kemudian, peran auksin yang terkandung dalam air kelapa yang diserap oleh
jaringan tanaman yaitu akan mengaktifkan energi cadangan makanan dan
16
meningkatkan pembelahan sel sehingga dapat memacu terbentuknya kalus
(Manurung et al., 2017). Selain itu, air kelapa juga kaya akan magnesium, fosfat
dan mengandung gula dalam jumlah tinggi sekitar 2,5 % (v/v) serta memiliki
kadar nitrogen yang tinggi dalam bentuk asam amino yang sangat penting dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Krikorian, 1991 dalam Souza et al.,
2013).
Pada minggu pertama dan kedua kalus karet klon BPM 1 yang diberi
perlakuan kombinasi konsentrasi BAP dan air kelapa belum menunjukkan adanya
respon proliferasi kalus (Lampiran 2). Respon kalus karet klon BPM 1 baru
terlihat pada minggu ke-3 setelah subkultur tetapi hanya pada dua perlakuan yaitu
perlakuan nomor 1 dan 5. Sementara, media perlakuan lain hingga minggu ke-7
setelah subkultur tidak menunjukkan adanya respon terhadap proliferasi kalus.
Hal ini disebabkan karena kandungan atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang
terlalu tinggi dan tidak seimbang sehingga proses pembelahan sel terhambat
bahkan mati karena karacunan. Diketahui bahwa, air kelapa mengandung zat
pengatur tumbuh alami sitokinin sebesar 5,8 mg/L (Bey et al., 2006), sehingga
ketika ditambahkan lagi BAP yang juga termasuk kedalam kelompok sitokinin
menyebabkan konsentrasi sitokinin yang berlebih didalam tumbuhan dan
mengakibatkan tumbuhan keracunan kemudian mati. Menurut Wicaksono et al.
(2017), respon zat pengatur tumbuh akan baik jika diberikan pada konsentrasi
yang tepat pada fase pertumbuhan tanaman.
Warna kalus merupakan salah satu indikator pertumbuhan eksplan secara in
vitro yang dapat dilihat dan menggambarkan penampilan visual mengenai kondisi
eksplan. Berdasarkan warna kalus, dapat diketahui apakah suatu kalus masih
memiliki sel-sel yang aktif membelah atau telah mati (Rosmaina et al., 2015).
Jaringan kalus yang dihasilkan dari suatu eksplan biasanya memunculkan warna
yang berbeda-beda. Kualitas kalus yang baik memiliki warna yang hijau dan
remah (friable) (Andaryani, 2010). Semua kalus yang terbentuk pada percobaan
ini, tidak diperoleh kalus yang berwarna hijau. Kedua media yang berhasil,
memiliki kalus berwarna kuning sedikit kecokelatan. Hal ini disebabkan karena
kalus terlalu lama berada dalam media kultur dan tidak segera disubkultur,
sehingga kalus kehabisan nutrisi untuk pertumbuhan pada medianya. Selain itu,
17
warna coklat tersebut disebabkan karena oksidasi senyawa fenol dan
menghasilkan kuinon yang beracun bagi tumbuhan sehingga mematikan sel
(Rahayu et al., 2003).
4.2. Percobaan 2 (Kultur Suspensi Tahap 2 dan Media Padat Tahap 1)
4.2.1. Kultur Suspensi Tahap 2
Tahap ini merupakan lanjutan dari percobaan 1, dimana tiga media terbaik
dari percobaan 1 akan diuji lanjut terhadap dua klon karet yaitu BPM 1 dan IRR
118. Tujuan dari percobaan tahap ini yaitu untuk mengetahui pengaruh tiga media
terbaik pada klon BPM 1 terhadap klon IRR 118. Berdasarkan hasil pengamatan
(Tabel 4.2) menunjukkan bahwa media tersebut tidak memberikan respon yang
sama terhadap klon IRR 118, dimana kalus IRR 118 tidak mengalami proliferasi
kalus serta warna berubah menjadi kuning sedikit kecokelatan.
Tabel 4.2. Pengaruh Kombinasi BAP dan Air Kelapa terhadap Perkembangan dan
Perubahan Kalus Karet Klon BPM1 dan IRR 118 Minggu ke-7 Setelah
Kultur
No
Kode
Media
Pertambahan
Volume Warna
Fase
Perkembangan
BPM
1
IRR
II8
BPM 1 IRR II8 BPM 1
IRR
II8 Awal Akhir Awal Akhir
1 B5C5 6,33 a 0 b PK Kce K Kce Kalus Kalus
5 B10C5 3,67 a 0 b PK Kce K Kce Kalus Kalus
6 B10C10 0 b 0 b PK KC K Kce Kalus Kalus Keterangan :
PK : Putih kekuningan
Kce : Kuning sedikit kecokelatan
KC : Kuning kecokelatan
Sementara, kalus karet klon BPM 1 menunukkan hasil proliferasi terbaik
pada perlakuan nomor 1 dan 5 yang berbeda nyata dengan perlakuan nomor 6.
Perbedaan respon pada klon karet BPM 1 dan IRR 118, disebabkan karena adanya
perbedaan genotipe dan fisiologi pada masing-masing klon tanaman karet. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Srichuay et al., (2014) pada klon
karet 2-nr dan 1-tF, dimana respon masing-masing genotipe berbeda meskipun
dalam perlakuan yang sama.
18
4.2.2. Kultur Media Padat Tahap 1
Eksplan yang digunakan pada kultur media padat tahap 1 berasal dari kalus
kultur suspensi tahap 1 dan dikelompokkan ke dalam dua jenis yaitu eksplan yang
berasal dari kalus berhasil proliferasi dan eksplan yang berasal dari kalus yang
tidak berhasil proliferasi. Media perlakuan yang digunakan pada kultur media
padat tahap 1 yaitu kombinasi antara sitokinin (BAP dan kinetin) dan putresin.
Pada umumnya, sitokinin diperlukan pada fase awal embriogenesis somatik, yaitu
mendorong pembelahan sel dan proliferasi kalus serta pembentukan embrio
somatik pada fase globular (Chorabik, 2011). Sementara putresin digunakan
karena karena mampu meningkatkan induksi embrio, salah satunya dengan cara
membantu sel menahan stres oksidatif yang disebabkan oleh produksi berlebihan
dari oksigen reaktif (ROS) (Reis et al., 2016).
4.2.2.1. Diameter titik kalus dan pertumbuhan massa kalus
Pertambahan ukuran diameter kalus tertinggi pada subkultur 1 untuk
eksplan yang berasal dari kalus berhasil proliferasi diperoleh pada perlakuan
nomor 1 dengan periode empat minggu yaitu 78,79 %, diikuti oleh perlakuan
nomor 2 yaitu 75,76 % (Gambar 4.1). Tertinggi ketiga yaitu perlakuan nomor 5
dengan pertambahan diameter sebesar 70,97 %. Selanjutnya yaitu perlakuan
nomor 6 dan 3 dengan masing-masing pertambahan diameter sebesar 67,74 % dan
37,84 %. Kemudian pertambahan diameter terendah yaitu perlakuan nomor 4
sebesar 0 %. Sementara, eksplan yang berasal dari kalus tidak berhasil proliferasi,
hanya pada media perlakuan nomor 1 yang mengalami pertambahan diameter
yaitu sebesar 16,22 %, sedangkan pada media yang lain tidak mengalami
pertambahan diameter.
Pada subkultur 2 urutan perlakuan yang menghasilkan diameter titik kalus
tertinggi ke terendah hampir sama dengan subkultur 1. Namun, proliferasi
perlakuan nomor 3 lebih tinggi dibandingkan perlakuan nomor 6. Akan tetapi,
secara keseluruhan pada subkultur 2 terjadi penurunan proliferasi kalus dari
subkultur 1.
19
Gambar 4.1. Pertambahan diameter titik kalus pada subkultur 1 (umur 4 minggu)
dan subkultur 2 (umur 8 minggu) setiap perlakuan (BP: Berasal dari
kalus yang berhasil proliferasi, TBP: Berasal dari kalus yang tidak
berhasil proliferasi)
Terjadinya pertambahan diameter dan massa kalus pada tahap ini
disebabkan karena penggunaan BAP dan kinetin yaitu zat pengatur tumbuh
kelompok sitokinin yang memiliki fungsi pembelahan sel. Meskipun ditambahkan
dalam jumlah yang sama dan termasuk zat pengatur tumbuh kelompok sitokinin,
BAP dan kinetin memiliki kemampuan induksi pembelahan sel yang berbeda,
dimana BAP mempunyai pengaruh lebih baik dibandingkan kinetin. Menurut
George dan Sherrington (1984) dalam Lizawati (2012) bahwa BAP merupakan
salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena
tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman. Mun (2015) juga memaparkan
bahwa kombinasi 0,2 mg/L BAP dengan 0,2 mg/L 2,4-D pada tanaman Rheum
coreanum menghasilkan jumlah kalus lebih banyak, dibandingkan ketika
menggunakan kinetin dalam jumlah konsentrasi yang sama dengan BAP.
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
Per
sen
tase
per
tam
ba
ha
n d
iam
eter
ka
lus
Kode media
subkultur 1 BP subkultur 2 BP subkultur 1 TBP subkultur 2 TBP
B5P5 B5P1 B5P10 K5P1 K5P5 K5P10
20
Gambar 4.2. Pertambahan massa kalus setelah 8 minggu subkultur (BP: Eksplan
berasal dari kalus yang berhasil proliferasi, TBP: Eksplan berasal
dari kalus yang tidak berhasil proliferasi)
Eksplan kalus berhasil proliferasi yang dikultur pada semua perlakuan
mengalami pertambahan massa yang cukup pesat (Gambar 4.3). Setelah 8 minggu
kultur, pertumbuhan massa kalus pada semua perlakuan selain perlakuan nomor 4
meningkat lebih dari 400 % dibanding massa awal. Massa tertinggi pada kultur
eksplan kalus berhasil proliferasi yaitu perlakuan nomor 1 dengan massa 960 %.
Massa terendah diperoleh pada perlakuan nomor 4 yaitu hanya sebesar 2,57 %.
Sementara massa tertinggi pada kultur yang menggunakan eksplan kalus tidak
berhasil proliferasi, sama dengan kultur yang menggunakan eksplan kalus berhasil
proliferasi yaitu perlakuan nomor 1 sebesar 108 %, sedangkan massa terendah
diperoleh pada perlakuan nomor 6 yaitu hanya 0,57 %. Eksplan kalus tidak
berhasil proliferasi pada semua perlakuan, tidak terlalu mengalami pertumbuhan
massa. Hal ini, disebabkan karena kalus tersebut telah rusak dan terhambat
pembelahan selnya karena tingginya zat pengatur tumbuh yang digunakan pada
tahap sebelumnya (kultur suspensi tahap 1).
4.2.2.2.Bentuk Perkembangan
Semua perlakuan pada kultur media padat tahap 1, baik subkultur 1
maupun subkultur 2 pada kedua jenis eksplan (BP dan TBP) belum terjadinya
pembentukan embrio somatik meskipun telah ditambahkan putresin untuk
meningkatkan persentase terbentuknya embriosomatik (Gambar 4.4). Hal ini
0%
200%
400%
600%
800%
1000%
1200%
Per
sen
tase
per
tam
ba
ha
n m
ass
a k
alu
s
pertambahan massa kalus BP pertambahan massa kalus TBP
Kode media
B5P
5
B5P
1
B5P10 K5P1 K5P5 K5P10
21
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Admojo (2015) pada tanaman
karet klon PB 360 dengan penambahan putresin, perak nitrat (AgNO3) dan arang
aktif belum cukup efektif untuk meningkatkan pembentukan embrio dan
menghambat terjadinya browning pada fase diferensiasi kalus. Minggu ke empat
pada semua perlakuan dengan eksplan kalus berhasil proliferasi, berhasil
terbentuk kalus remah dengan ciri-ciri bertekstur lunak dan berikatan longgar
serta berwarna putih kekuningan. Namun, pada minggu ke-4 setelah subkultur
kedua ke media yang sama dengan media sebelumnya (minggu ke-8) kalus karet
mengalami perubahan warna menjadi cokelat kehitaman yang berarti kalus
tersebut mengalami kematian. Sementara pada eksplan kalus tidak berhasil
proliferasi tidak mengalami perkembangan sama sekali, yang disebabkan kalus
sudah rusak dan mati.
Gambar 4.3. (a) kalus hasil proliferasi (b) kalus remah pada umur 4 minggu
setelah kultur (c) kalus pada umur 8 minggu setelah subkultur
Belum terbentuknya embrio pada semua perlakuan disebabkan karena
belum didapatkan komposisi media yang cocok untuk menginduksi terbentuknya
embrio somatik. Selain itu, hal ini juga disebabkan karena penggunaan bahan
kalus yang sudah disubkultur berulang kali dan sudah lama sehingga
mengakibatkan adanya penurunan daya morfogenesis dari kalus (Purnamaningsih,
2002). Hal ini sesuai dengan pendapat Harahap (2011) bahwa kalus yang
diperoleh dari inisiasi awal akan memiliki kemampuan untuk beregenerasi
membentuk embrio somatik yang tinggi dibandingkan dengan kalus hasil
subkultur. Penurunan daya morfogenesis dari kalus disebabkan karena
menurunnya enzim peroksidase yang berfungsi dalam meningkatkan toleransi
terhadap stres dan protein terlarut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Singh et
a b c
22
al. (2011) menggunakan kalus Naringi crenulata (Roxb.) bahwa pada umur 4
minggu kalus memiliki aktivitas peroksidase dan protein terlalut yang tinggi yaitu
masing-masing sekitar 0,88 perunit/menit/g berat jaringan segar dan 1,96 mg/g
jaringan, sedangkan ketika usia kalus meningkat, aktivitas peroksidase dan protein
terlarut terus menurun menjadi masing-masing di bawah 0,4 dan 1,7 pada umur 8
minggu.
Kalus memiliki warna kuning kecokelatan saat pertama kali disubkultur
ke media padat. Kemudian, secara berangsur-angsur kalus berubah warna menjadi
bening krem pada minggu 4 setelah subkultur (Subkultur-1). Pada minggu 5
hingga 8 (subkultur 2), mulai berangsur-angsur berubah warna menjadi
kecokelatan (browning) kemudian menghitam dan tidak berkembang (Lampiran
3). Penyebab tidak terjadinya perkembangan lebih lanjut bahkan kematian pada
kalus, kemungkinan disebabkan karena ketidaksesuaian media dengan fase
perkembangan kalus. Pierik (1997) dalam Nabihaty et al. (2018) mengemukakan
bahwa perkembangan kalus yang stagnan setelah pindah tanam (subkultur)
mengindikasikan bahwa media yang digunakan sudah tidak sesuai.
4.3. Percobaan 3 (Kultur Media Padat Tahap 2 dan Suspensi Tahap 3)
Kalus karet klon BPM 1 yang proliferasi pada kultur suspensi tahap 2 akan
dikulturkan ke media padat (kultur media padat tahap 2). Sementara, kalus karet
klon IRR 118 yang tidak berhasil proliferasi akan didiamkan di dalam media
suspensi tahap 2 hingga total waktu di media suspensi yaitu 15 minggu.
4.3.1. Kultur Media Padat Tahap 2
Media yang digunakan pada kultur media padat tahap 2 menggunakan
rentang konsentrasi mendekati konsentrasi terbaik sitokinin dan putresin dari
kultur media padat tahap 1. Hasil pengamatan pada percobaan kultur media padat
tahap 2 menunjukkan bahwa proliferasi kalus pada subkultur pertama lebih besar
dibandingkan subkultur ke-2 (Tabel 4.3). Berdasarkan hasil analisis menunjukan
bahwa pada subkultur ke-1, proliferasi kalus terbaik secara berurutan terdapat
pada perlakuan nomor 12, 7 dan 8 yaitu sebesar 1,25 mm, 1,19 mm dan 0,93 yang
berbeda nyata dengan kontrol (nomor 1). Sementara pada subkultur ke-2,
proliferasi kalus terbaik terdapat pada perlakuan nomor 7 yaitu sebesar 0,52 mm.
23
Sementara perlakuan yang lain tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata antar
perlakuan.
Tabel 4.3 Pengaruh Kombinasi BAP dan Putresin terhadap Proliferasi dan
Perkembangan Kalus Karet Klon BPM 1.
Kode
Media
Pertambahan
Diameter Kalus
(mm)
Struktur Kalus Warna
Sub
kultur
ke-1
Sub
kultur
ke-2
Subkultur
ke-1 (mm)
Subkultur
ke-2 (mm)
Sub
kultur
ke-1
Sub
kultur
ke-2
B0P0 0,00 c 0,08 b Kalus kapas Kalus kapas krC KrC
B0P0,5 0,00 c 0,525 b Kalus kapas Kalus kapas krC KrC
B0P1 0,00 c 0,13 ab Kalus kapas Kalus kapas krC KrC
B0P1,5 0,00 c 0,13 ab Kalus kapas Kalus kapas krC KrC
B5P0 0,13 bc 0,06 b Kalus kapas Kalus kapas krC KrC
B5P0,5 0,18 bc 0,21 ab Kalus remah Kalus remah krC KrK
B5P1 1,19 a 0,52 a Kalus remah Kalus remah PK H
B5P1,5 0,93 ab 0,03 b Kalus remah Kalus remah PK CH
B10P0 0,87 bc 0,03 b Kalus remah Kalus remah PK KrC
B10P0,5 0,71 abc 0,08 b Kalus remah Kalus remah PK KrKe
B10P1 0,78 abc 0,08 b Kalus remah Kalus remah PK KrKe
B10P1,5 1,25 a 0,13 ab Kalus remah Kalus remah PK KrKH Keterangan Bilangan yang didampingi huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata.
krC : Krem kecoklatan
PK : Putih Kekuningan
H : Hitam
CH : Cokelat Hitam
krKH : Krem, kuning kehitaman
Ditinjau dari perkembangan kalus, percobaan kultur media padat tahap 2
menunjukkan hasil perkembangan yang sama dengan tahap 1, bahwa
perkembangan kalus hanya berhasil terjadi sampai terbentuknya kalus berstruktur
remah dengan warna putih kekuningan pada subkultur 1 (Lampiran 5).
4.3.2. Kultur Suspensi tahap 3
Kultur Suspensi tahap 3 merupakan lanjutan dari kultur suspensi tahap 2,
dimana media yang digunakan sama, namun dilakukan penambahan waktu
perendaman menjadi total perendaman 15 minggu. Pada minggu ke-6 kalus karet
klon IRR 118 pada ketiga perlakuan tidak menunjukkan terjadinya proliferasi dan
perkembangan kalus. Namun, setelah didiamkan selama 15 minggu, terjadi
perkembangan kalus membentuk embrio globular (Gambar 4.4). Berdasarkan
hasil pengamatan, perolehan embrio somatik tertinggi didapatkan pada media
24
perlakuan nomor 5 dengan rata-rata 59,5 buah/erlemeyer. Tertinggi kedua yaitu
perlakuan nomor 1 dengan rata-rata sebesar 16,1 buah/erlemeyer, sedangkan
perlakuan nomor 3 tidak menghasilkan embrio.
Gambar 4.5 Embrio yang terbentuk pada minggu ke-15 setelah subkultur, a)
perlakuan nomor 1 (globular, ditunjukkan oleh tanda panah merah),
b) perlakuan nomor 3 (tidak terbentuk embrio), c) dan d) perlakuan
nomor 5 (globular).
Pembentukan embrio somatik pada media kultur suspensi dapat
disebabkan oleh adanya zat pengatur tumbuh sitokinin berupa BAP dan zat
pengatur tumbuh alami auksin dan sitokinin dari air kelapa yang terdapat di dalam
medium. Intraksi antara zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin tersebut dapat
meransang terjadinya pembelahan sel dan dan mempengaruhi jalur deferensiasi,
sehingga membentuk embrio. Tahun 1940-an, Johannes Van Overbeek,
menemukan bahwa ia dapat meransang pertumbuhan embrio tumbuhan dengan
cara menambahkan santan, endosperma cair (air) kelapa ke media kulturnya
(Campbell et al., 2008). Embrio globular yang dihasilkan tampak berwarna
cokelat agak buram, tidak bening seperti embrio seharusnya. Hal ini diakibatkan
karena lamanya kultur di dalam media tersebut sehingga nutrisi yang terkandung
di dalam media sudah habis serta adanya senyawa fenolik yang dihasilkan oleh
kalus itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya browning (mencokelat)
(Pusparani, 2011).
a b
c d
25
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada kultur suspensi
tahap 1 dan 2, belum didapatkan kombinasi terbaik BAP dan air kelapa dalam
embriogenesis somatik tanaman karet klon BPM 1 dan IRR 118. Namun, dapat
diketahui bahwa media perlakuan kombinasi BAP 5 μM dengan air kelapa 5 %
dan kombinasi BAP 10 μM dengan air kelapa 5 % merupakan dua medium terbaik
untuk proliferasi kalus karet klon BPM 1. Kedua media tersebut mampu
melakukan proliferasi kalus sebesar 887,5 % dan 757,14 % dari volume awal.
Sementara pada kultur suspensi tahap 3, dapat diketahui bahwa perlakuan yang
mengandung kombinasi antara BAP 10 μM dengan air kelapa 5 % adalah media
terbaik untuk embriogenesis somatik tanaman karet klon IRR 118. Media tersebut,
mampu menginduksi terjadi pembentukan embrio fase globular dengan rata-rata
sebesar 55,9 buah/erlemeyer.
Kultur media padat tahap 1 dan 2, belum ditemukan media terbaik untuk
embriogenesis somatik karet klon BPM 1. Namun, pada kultur media padat tahap
1 dapat diketahui bahwa kombinasi antara BAP 5 μM dengan putresin 1 μM
merupakan media proliferasi kalus terbaik yang menghasilkan petambahan massa
kalus sebesar 78,79 % pada subkultur ke-1. Kemudian pada kultur media padat
tahap 2 media proliferasi terbaik yaitu kombinasi antara BAP 10 μM dengan
putrescin 1,5 μM yang menghasilkan petambahan massa kalus sebesar 1,25 mm
dari diameter awal. Semua media perlakuan pada kultur media padat tahap 1 dan 2
belum mampu menginduksi terbentuknya embrio somatik.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kalus karet klon BPM 1 pada
media kultur suspensi dengan cara melakukan penambahan waktu kultur seperti
kalus karet klon IRR 118.
26
DAFTARA PUSTAKA
Admojo, L., Indrianto, A., Hadi, H. 2014. Perkembangan Penelitian Induksi Kalus
Embriogenik pada Jaringan Vegetatif Tanaman Karet Klonal (Hevea
brasiliensis Muell. Arg). Warta Perkaretan. 33(1): 19-28.
Admojo, L. 2015. Kultur In Vitro Organ Vegetatif Tanaman Karet Klonal PB 330
(Hevea brasiliensis Muell. Arg). Tesis. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Ajijah, N. 2016. Pengaruh Komposisi Media Dasar dan Jenis Eksplan terhadap
Pembentukan Embrio Somatik Kakao. Jurnal Tanaman Industri dan
Penyegar. 3(3): 127–134.
Andaryani, S. 2010. Kajian Penggunaan Berbagai Konsentrasi BAP dan 2,4-D
terhadap Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatrophacurcas L.) secara In Vitro.
Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 2007.
Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet Edisi Kedua. Jakarta
Selatan.
Bardani, Z., Ismail., Kamarubayana, L. 2014. Studi Kelayakan Usahatani Karet
(Hevea brasiliensis) di Desa Bunga Putih Kecamatan Marangkayu
Kabupaten Kutai Kartanegara. Jurnal AGRIFOR. 13(2).
Bey, Y., Syafii, W., Sutrisna. 2006. Pengaruh pemberian Giberelin (GA3) dan Air
Kelapa terhadap Perkecambahan Bahan Biji Anggrek Bulan (Phalaenopsis
amabilis BL) Secara In Vitro. Jurnal Biogenesis. 2(2): 41-46.
Bintarti, A. F. 2015. Perkembangan Kultur In vitro pada Tanaman Karet (Hevea
brasiliensis, Müell. Arg.) Melalui Embriogenesis Somatik di Cirad
Perancis. Warta Perkaretan. 34 (1): 1-10.
Boerhendhy, I. 2013. Prospek Perbanyakan Bibit Karet Unggul dengan Teknik
Okulasi Dini. Jurnal Litbang Pertanian. 32(2): 85-90.
Campbell, N. A., Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A.,
Minorsky, P. V., Jackson, R. B. 2008. Biologi Edisi 8, Jilid 2. Erlangga.
Jakarta.
Chorabik, K. N. (2011). Somatic Embryogenesis in Forest Plants. In
Embryogenesis. University of Agriculture in Kraków: 424–446.
Cilas, C., Costes, E., Milet, J., Legnate, H., Gnagne, M., Demange, A. 2004.
Characterization of Branching in Two Hevea brasiliensis Clones. Journal
of Experimental Botany. 55(399): 1045-1051.
Dalimunthe A. 2004. Biosintesis Lateks. Program Studi Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
27
Damanik, S. 2012. Pengembangan Karet (Havea brasiliensis) Berkelanjutan di
Indonesia. Perspektif. 11(1): 91– 102.
Deo, P. C., Tyagi, A.P., Taylor, M ., Harding, R., Becker, D. 2010. Factors
Affecting Somatic Embryogenesis and Transformation in Modern Plant
Breeding. The South Pacific Journal of Natural and Applied Sciences. 28:
27-40.
Direktorat Jendral Perkebunan. Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017.
Jakarta.
Darojat, M. R., Pasaribu, S. A. 2015. Perbanyakan Tanaman Karet dengan
Embriogenesis Somatik. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Industri. 1(3).
Fahrizal. 2013. Pengaruh Media Kecambah dan Kedalaman Tanam terhadap
Viabilitas dan Vigor Benih Karet (Hevea brasiliensis Muel.Arg). Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Teuku Umar Meulaboh. Aceh Barat.
Fauza, S. 2017. Respon Pemberian Auksin Terhadap Pertumbuhan Stek Tanaman
Tin (Ficus carica. L). Jurnal Agrotropika Hayati. 4(3).
Harahap, F. 2011. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Negeri Medan Press.
Medan
Harahap, L., Siregar, L. A. M., Hanafiah, D. S. 2015. Respon GA3 Terhadap
Induksi Tunas Mikro Tanaman Karet (Hevea brasiliensis (Muell). Arg).
Jurnal Agroekoteknologi. 4(1): 1689-1694.
Hayati, S. K., Nurchayati, Y., Setiari, N. 2010. Induksi Kalus dari Hipokotil
Alfalfa (medicago sativa l.) secara In Vitro dengan Penambahan Benzyl
Amino Purine (BAP) dan α-Naphtalene Acetic Acid (NAA). BIOMA.
12(1): 6-12.
Husni, A., Purwito, A., Mariska, I., Sudarsono. 2010. Regenerasi Jeruk Siam
Melalui Embriogenesis Somatik. Jurnal AgroBiogen. 6(2): 75-83.
Interagency Taxonomic Information System (I).(Database Online).
(https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&sea
rch_value=506431#null (Diakses pada 28 Mei 2018)
Janudianto, Prahmono, A., Napitupulu, H., Rahayu, S. 2013. Panduan Budidaya
Karet untuk Petani Skala Kecil (Rubber Cultivation Guide For Small-
Scale Farmers). Lembar Informasi AgFor 5. Bogor.
Karjadi, A., Buchory, A. 2008. Pengaruh Komposisi Media Dasar, Penambahan
BAP, dan Pikloram terhadap Induksi Tunas Bawang Merah. J. Hort.
18(1): 1-9.
Lestari, E. G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman
melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen. 7(1):63-68.
28
Lizawati. 2012. Proliferasi Kalus dan Embriogenesis Somatik Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) dengan Berbagai Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh
dan Asam Amino. 1(4).
Manurung, D. E. B., Heddy, S., Hariyono, D. 2017. Pengaruh Pemberian Air
Kelapa pada Beberapa Batang Atas terhadap Pertumbuhan Bibit Karet
(Hevea brasiliensis Muell Arg.) Hasil Okulasi. Jurnal Produksi Tanaman.
5(4): 684-694.
Marlina, N. 2004. Teknik Modifikasi Media Murasig dan Skoog (MS) untuk
Konservasi In Vitro Mawar (Rossa spp.). Buletin Teknik Pertanian. 9(1).
Marpaung, A. E., Hutabarat, R. C. 2015. Respons Jenis Perangsang Tumbuh
Berbahan Alami dan Asal Setek Batang Terhadap Pertumbuhan Bibit Tin
(Ficus carica L.). J. Hort. 25(1): 37-43.
Marpaung, R., Hartawan, R. 2014. Karakteristik Fisik Tanaman dan Mutu Lateks
Karet (Hevea brasilliensis Mull. Arg) Dataran Rendah dan Dataran Tinggi.
Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 14(4).
Molina, D.M., M.E. Aponte, H. Cortina dan G. Moreno. 2002. The Effect of
Genotype and Explant Age on Somatic Embryogenesis of Coffee. Plant
Cell Tissue and Organ Culture. 71: 117-125.
Muliawati, E., Anggarwulan, E., Pitoyo, A. 2016. Pengaruh Asam Absisat
terhadap Viabilitas Biji Sintetis Grammatophyllum scriptum (Orchidaceae)
Selama Masa Penyimpanan Kering. Jurnal Bioteknologi. 13(1): 1-8.
Mun, S. C., Mun, G. S. 2015. Development of an efficient callus proliferation
system for Rheum coreanum Nakai, a Rare Medicinal Plant Growing in
Democratic People’s Republic of Korea. Saudi Journal of Biological
Sciences. 23(4): 488-494.
Nabihaty, F., Taryono., Wulandari, R.A. 2018. Pengaruh Pemeraman Eksplan
Daun dengan Kolkisina Secara In Vitro terhadap Keberhasilan
Pembentukan Terung Tetraploid. Jurnal Vegetalika. 7(1): 26-38.
Nafery, R., Usman, E., Trinawaty, M., Suradi. 2016. Pengaruh Lama
Penyimpanan Entres dalam Media Simpan Terhadap Tingkat Keberhasilan
Okulasi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg.) Klon PB 260.
Jurnal TriAgro. 1(1).
Neliyati. 2013. Regenerasi Embriosomatik Tengkawang (Shorea stenoptera
Burck) pada Beberapa Konsentarsi Zat Pengatur Tumbuh GA3 dan BAP.
2(2). ISSN : 2302-6472.
Purnamaningsih, R. 2002. Regenerasi Tanaman melalui Embriogenesis Somatik
dan Beberapa Gen yang Mengendalikannya. Buletin AgroBio. 5(2): 51-58.
Purwanta, J. H., Kiswanto., Slameto. 2008. Teknologi Budidaya Karet. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung. Bandar Lampung.
29
Pusari, D., Haryanti, S. 2014. Pemanenan Getah Karet (Hevea brasiliensis Muell.
Arg) dan Penentuan Kadar Karet Kering (KKK) dengan Variasi
Temperatur Pengovenan di PT. Djambi Waras Jujuhan Kabupaten Bungo,
Jambi. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 22(2): 64-7.
Pusparani, R. 2011. Induksi Embrio Somatik Durian (Durio zibethinus) pada
Beberapa Media yang Dilengkapi dengan Auksin dan Sitokinin. Skripsi.
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, B., Solichatun., Anggarwulan, E. 2003. Pengaruh Asam 2,4-
Diklorofenoksiasetat (2,4-D) terhadap Pembentukan dan Pertumbuhan
Kalus serta Kandungan Flavonoid Kultur Kalus Acalypha indica L. Jurnal
Biofarmasi. 1(1): 1-6.
Rani, V., Raina, S. N. 2000. Genetic Fidelity of Organized Meristem-Derived
Micropropagated Plants: A Critical Reappraisal. In Vitro Cellular &
Developmental Biology – Plant. 36: 319-330.
Reis, R. S., Vale, E. M., Heringer, A. S., Santa-Catarina, C., Silveira, V. 2016.
Putrescine Induces Somatic Embryo Development and Proteomic Changes
in Embryogenic Callus of Sugarcane. Journal of Proteomics. 130: 170–
179.
Rianawati, S.,Purwito, A., Marwoto, B., Kurniati, R., Suryanah. 2009.
Embriogenesis Somatik dari Eksplan Daun Anggrek Phalaenopsis sp L.. J.
Agron. Indonesia. 37(3): 240-248.
Riyadi, I. 2016. Embriogenesis Somatik Sagu (Metroxylon sagu Rottbol) Metode
Kultur Cair untuk Pengembangan Teknologi Perbanyakan Benih Bermutu.
Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rosmaina, Zulfahm., Sutejo, P., Ulfiatun., Maisupratina. 2015. Induksi Kalus
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack) Melalui Eksplan Daun dan Petiol.
Jurnal Agroteknologi. 6(1): 33-40.
Sayurandi., Wirnas, D., Woelan, S. 2016. Analisis Daya Hasil Lateks dan
Heritabilitas Karakter Kuantitatif dari Beberapa Genotipe Karet Pp/07/04.
Jurnal Penelitian Karet. 34(1): 1-12.
Sianturi, H. S. D. 2001. Budidaya Tanaman Karet. Universitas Sumatera Utara
Press, Medan.
Singh, N., Meena, M.K dan Patni, V. 2011. Effect of Plant Growth Regulators,
Explants Type and Efficient Plantlet Regeneration Protocol Through
Callus Induction in Naringi crenulata (Roxb.) Nicolson and its
Biochemical Investigation. Afr. Jurnal Biotechnol. 10: 17769–17777.
Souza, R. V. A., Braga, F. T., Setotaw, T. A., Neto, J. V., Azevedo, P. H.,
Azevedo, V. H., Cançado, G. M. A. 2013. Effect of coconut water on
growth of olive embryos cultured in vitro. Jurnal Ciência Rural, Santa
Maria. 43(2): 290-296.
30
Sukmadjaja, D. 2005. Embriogenesis somatik langsung pada Tanaman Cendana.
Jurnal Bioteknologi Pertanian. 10(1): 1-6.
Srichuay, W., Kalawong, S., Sirisom, Y., Te-chato, S. 2014. Callus Induction and
Somatic Embryogenesis from Anther Cultures of Hevea brasiliensis Muell
Arg.. Jurnal Kasetsart. 48: 364-375.
Stevanus, C. T., Saputra, J., Wijaya, T. 2015. Peran Unsur Mikro bagi Tanaman
Karet. Warta Perkaretan. 34(1): 11-18.
Udarno, L., Setiyono, R. T., Balittri. 2017. Biologi Bunga dan Teknik Persilangan
Bunga Karet. Warta Pertanian. 23(2).
Utami, E. S. W., Sumardi, I., Taryono., Semiarti, E. 2007. Pengaruh α-
Naphtaleneacetic Acid (NAA) terhadap Embriogenesis Somatik Anggrek
Bulan Phalaenopsis Amabilis (L.) Bl. Jurnal Biodiversitas. 8(4): 295-299.
Venkatachalam, P., Geetha, N., Sangeetha, P., Thulaseedharan, A. 2013. Natural
Rubber Producing Plants: an Overview. African Journal of Biotechnology.
12: 1297-1310.
Verheye, W. 2010. Growth and Production of Rubber. In: Verheye, W. (ed.),
Land Use, Land over and Soil Sciences. Encyclopedia of Life Support
Sistems (EOLSS), UNE SCO-EOLSS Publishers, Oxford, UK. 2.
Yelnititis. 2013. Induksi Embrio Somatik Shorea pinanga Scheff. Pada Kondisi
Fisik Media Berbeda. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan. 7(2): 73-84.
Webster, C. C. and Paaradkooper, E. C. (1989). The Botany of the Rubber Tree.
In: (Eds.C. C. Webster W.J. and Baulkwill) Rubber. Longman Scientific
and Technical, Essex: 572-84.
Wicaksono, F. Y., Putri, A.F., Yuwariah, Y., Maxiselly, Y., Nurmala, T. 2017.
Respons Tanaman Gandum Akibat Pemberian Sitokinin Berbagai
Konsentrasi dan Waktu Aplikasi di Dataran Medium Jatinangor. Jurnal
Kultivasi. 16(2).
Widyawati, G. 2010. Pengaruh Variasi Konsentrasi NAA dan BAP terhadap
Induksi Kalus Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Tesis. Universitas Sebelas
Maret. Surakarta.
Win, H. E. 2017. Economic Importance of Rubber in Thailand. Center for Applied
Economics Research Thailand.
Zulkifli, M. A., Fitmawati., Roslim, D. 2014. Analisis Korelasi Karakter
Morfologi Tanaman Karet (Hevea brasiliensis (Willd. Ex A. Juss) Mull.
Arg.) dengan Produktivitasnya dari Lima Sentra Produksi Karet Propinsi
Riau. Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas Riau. 1(2).
31
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Tahap Suspensi
Hasil seleksi kalus Penimbangan kalus Kalus didalam media
suspensi
Shaking Penyaringan Kalus hasil suspensi
Lampiran 2. Data Perhitungan Volume Sel Setelah Pengendapan (CVS)
Kode
Nomor Treatment
CVS Progress per Observation (ml/weeks)
0 1 2 3 4 5 6 7
ml ml ml ml ml ml ml ml
1 B5CW5 0.8 0.8 0.8 1.5 2.9 4.8 6.2 7.9
2 B5CW10 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
3 B5CW15 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
4 B5CW20 0.7 0.7 0.7 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
5 B10CW5 0.7 0.7 0.7 1 1.4 2.8 3.9 6
6 B10CW10 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8 0.8
7 B10CW15 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
8 B10CW20 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
9 B15CW5 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
10 B15CW10 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
11 B15CW15 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
12 B15CW20 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7
32
Lampiran 3. Perkembangan Kalus pada Kultur Padat Tahap 1
Minggu 1 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8
1
Krem Krem Krem, Cokelat Krem, cokelat
2
Krem Krem Krem Cokelat, Krem Cokelat, Hitam
3
Krem cokelat, Krem Cokelat, hitam
4
Krem Krem Krem Cokelat, hitam
5
Krem Krem Cokelat, Krem Cokelat
6
Krem Krem Cokelat, Hitam Cokelat, hitam
33
Lampiran 4. Perkembangan Kalus pada Kultur Padat Tahap 2 subkultur 1
dan Subkultur 2
Subkultur 1 Subkultur 2
Minggu 1 Minggu 4 Minggu 1 Minggu 4
1
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
2
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
3
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
4
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
5
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
34
6
Kuning
kecokelatan
Krem
kecokelatan
Putih
kekuningan,
cokelat
Putih
kekuningan,cok
elat
7
Krem
kecokelatan Putih kekuningan
Putih
kekuningan Hitam
8
Krem
kecokelatan Putih kekuningan
Putih
kekuningan Cokelat, Hitam
9
Krem
kecokelatan Putih kekuningan
Krem
kecokelatan Krem, cokelat
10
Krem
kecokelatan Putih kekuningan
Krem
kecokelatan
Krem
kecokelatan
11
Krem Putih kekuningan Krem Krem
35
kecokelatan kecokelatan kecokelatan
12
Krem
kecokelatan Putih kekuningan
Putih
kekuningan
Krem
kecokelatan,
hitam
36
Lampiran 5. Struktur Kalus pada Kultur Padat Tahap 2 Subkultur 1 di
Bawah Mikroskop
Kode
media Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
1
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
2
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
3
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
4
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
37
5
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
6
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus remah Kalus remah
7
Kalus biasa
yang belum
berkembang
Kalus biasa
yang belum
berkembang
Kalus remah Kalus remah
8
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus remah Kalus remah
9
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus remah Kalus remah
38
10
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus remah Kalus remah
11
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus remah Kalus remah Kalus remah
12
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus remah Kalus remah
39
Lampiran 6. Struktur Kalus pada Kultur Padat Tahap 2 Subkultur 2 di
Bawah Mikroskop
No Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
1
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
2
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
3
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
4
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
40
5
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
Kalus biasa
dengan struktur
seperti kapas
6
Kalus remah Kalus remah Kalus remah Kalus remah
7
Kalus remah Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
8
Kalus remah Kalus remah Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
9
Kalus remah Kalus remah Kalus remah Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
41
(mati)
10
Kalus remah Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
11
Kalus remah Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
12
Kalus remah Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)
Kalus remah
yang mulai
hitam dan kisut
(mati)