El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

14

Click here to load reader

Transcript of El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

Page 1: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

NAMA : AUFA FADHLI PRATOMO

NPM : 230210080018

PRODI : ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

EL NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KONDISI TERUMBU KARANG

Kondisi oseanografi Indonesia sangat dinamis, hal ini disebabkan oleh arus laut

Indonesia yang juga sangat dinamis. Menurut hasil pantauan satelit, yang diverifikasi

lewat pengukuran oseanografi di laut, ternyata memperlihatkan pola arus laut yang

bergerak dari Samudra Pasifik menuju Samudera Hindia melewati selat-selat di

perairan nusantara kita ini. Pergerakan arus lintas Indonesia, yang dikenal sebagai

Arlindo, mempengaruhi perubahan iklim global, memicu kehadiran variabilitas iklim

ekstrem, seperti El Nino, serta berdampak pada kondisi ekologi terumbu karang.

El-Nino akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan

timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya.

Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan curah

hujan di sekitar kawasan tersebut. Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara

meningkat sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan

bagian timur Indonesia, sehingga di Indonesia mengalami musim kemarau panjang

yang menimbulkan musibah kekeringan yang berdampak luas. Dampak El Nino

terhadap kehidupan di laut nusantara belum banyak dikaji. Tetapi, terdapat beberapa

kenyataan yang menunjukkan bahwa terjadinya El Nino dikaitkan dengan peristiwa

pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan karang ini juga terjadi akibat adanya

akumulasi dari seluruh rangkaian proses yang di akibatkan oleh pemanasan global di

dunia. Kajian mengenai El Nino perlu ditingkatkan untuk mengantisipasi dampak negatif

yang dapat ditimbulkannya.

Pengaruh Iklim Global Terhadap Kondisi Oseanografi Indonesia

Tiga kondisi meteo-oseanografi Indonesia yang dipengaruhi perubahan iklim

global yakni kondisi curah hujan di darat dan di laut, suhu permukaan laut, dan tinggi

Page 2: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

paras laut. Curah hujan sudah diketahui di pengaruhi oleh fenomena El Nino, yang

diperkirakan akan mempengaruhi pula suhu permukaan laut. Pemanasan global akan

menaikkan permukaan laut, dan mungkin pula suhu air laut. Disamping itu, lubang ozon

yang semakin meluas diperkirakan akan mempengaruhi kinerja klorofil untuk

berproduksi, baik di darat maupun di laut.

a. Mekanisme Terjadinya El Nino

Interaksi antara samudra dan atmosfer yang menghasilkan El Nino telah

berlangsung secara rutin, rata-rata terjadinya setiap tiga sampai tujuh tahun serta dapat

mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari setahun. El Nino akan terjadi apabila

perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan timur meningkatkan suhu dan

kelembaban pada atmosfer yang berada diatasnya. Kejadian ini mendorong terjadinya

pembentukan awan yang akan meningkatkan curah hujan di sekitar kawasan tersebut.

Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di

beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dar normal.

Ketika El Nino terjadi, pergerakan sebagian dari massa air tadi berbalik arah dari

wilayah perairan Indonesia menuju Samudra Pasifik. Saat itu, terjadi penurunan volume

massa air yang bergerak dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Kosongnya massa

air di wilayah perairan Indonesia tadi kemudian mendorong munculnya up welling, atau

naikknya massa air dari bawah permukaan ke atas permukaan, yang juga kaya nutrien.

Oleh sebab itu, saat El Nino, justru banyak khlorofil di perairan Indonesia, utamanya di

wilayah Barat Sumatera dan Selatan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. El Nino memang

bisa mengakibatkan gagal panen, kekeringan, serta kebakaran hutan. Namun, El Nino

di perairan Indonesia justru meningkatkan jumlah Khlorofil dan jumlah wilayah up

welling. Ini bisa berarti, saat El Nino Indonesia justru panen ikan, “Sengsara Membawa

Nikmat”.

El Nino adalah sesuatu yang alami dan telah mempengaruhi kehidupan di

wilayah Samudra Pasifik selama ratusan tahun. El Nino jelas merupakan proses alam

yang tanpa kaitan dengan pengaruh ulah manusia. Maka tidak ada upaya yang dapat

dilakukan untuk mencegahnya atau mempengaruhinya selain menghadapi dan

Page 3: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

menganggulangi akibat-akibat yang ditimbulkannya. Dalam rangka itu kemampuan

untuk meramalkan kadatangannya perlu sekali untuk dikembangkan. Meskipun rata-

rata El Nino terjadi setiap tiga hingga tujuh tahun sekali dan dapat berlangsung 12

hingga 18 bulan, ia tidak mempunyai periode tetap. Kenyataan ini membuat El Nino

sulit diprakirakan kejadiannya pada enam hingga sembilan bulan sebelumnya. Namun

demikian secara umum terdapat dua parameter yang biasa digunakan untuk

mendeteksi terjadinya El Nino :

1. Indeks Osilasi Selatan/Southern Oscillation Index(SOI)

     SOI adalah nilai indeks yang menyatakan perbedaan Tekanan Permukaan Laut

(SLP) antara Tahiti dan Darwin-Australia. El Nino dideteksi ketika nilai SOI negatif

selama periode yang cukup lama (minimal tiga bulan).

Nilainya ditentukan dari selisih nilai tekanan udara permukaan yang telah

dinormalisasi antara Tahiti dan Darwin. Menurut BOM (Bureau of Meteorogical)

Australia, jika nilai rata-rata Indeks Osilasi Selatan mulai mencapai nilai lebih kecil atau

sama dengan -10, maka periode El Niño mulai menampakkan diri. Sebaliknya gejala La

Niña akan terjadi bila nilai Indeks Osilasi Selatan positif lebih dari 10.

Ada beberapa metode menghitung SOI. Metode yang digunakan oleh BOM

adalah menghitung selisih tekanan permukaan lautan rata-rata (Mean Sea Level

Pressure/MSLP) antara Tahiti dan Darwin

sebagai berikut:

Keterangan :

Pdiff = (rata-rata MSLP bulanan Tahiti) - (rata-rata MSLP bulanan Darwin)

Pdiffav = rata-rata jangka panjang Pdiff untuk bulan tersebut, dan

SD (Pdiff) = standar deviasi jangka panjang dari Pdiff untuk bulan tersebut.

Page 4: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

Perkalian dengan 10 merupakan konvensi.

2. Suhu Muka Laut/Sea Surface Temperature (SST)

     El Nino terutama ditandai dengan meningkatnya suhu muka laut di Pasifik

Ekuator, SST ini lebih tinggi dibandingkan dengan rata-ratanya dan penyimpangan di

daerah tersebut bernilai positif.

Selama kejadian El Nino, angin pasat timur melemah. Aliran ke Timur berbalik ke

arah Barat. Perairan di sekitar Indonesia dan Australia menjadi dingin dan lebih kering.

Perbedaan anomali suhu muka laut yang sangat kontras antara wilayah Pasifik

tropis bagian tengah dan timur (positif) dengan wilayah perairan Indonesia dan

sekitarnya (negatif), hal ini yang dapat digunakan sebagai indikator episode El Nino.

Kondisi sebaliknya yaitu anomali suhu muka laut wilayah Pasifik Tropis bagian tengah

dan timur negatif (dingin) dan wilayah perairan Indonesia dan sekitarnya positif (panas),

hal ini dapat digunakan sebagai indikator episode La Nina.

Page 5: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

Berdasarkan intensitasnya El Nino dikategorikan sebagai :

El Nino Lemah (Weak El Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik

ekuator +0.5ºC s/d +1,0ºC dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-

turut.

El Nino sedang (Moderate El Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di

Pasifik ekuator +1,1ºC s/d 1,5ºC dan berlangsung minimal selama 3 bulan

berturut-turut.

El Nino kuat (Strong El Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik

ekuator > 1,5º C dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

Salah satu kejadian El Nino yang paling fenomenal adalah yang terjadi

pada tahun 1997/1998. Saat El Nino tahun 1997/1998 terjadi kemarau panjang,

kekeringan, kebakaran hutan yang hebat dan produksi pangan menurun.

Page 6: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

Anomali SST saat terjadi El Niño 1997/1998

Tahun-tahun kejadian El Niño berdasarkan kriteria di atas menurut Pusat Prediksi

Klimatologi NOAA adalah pada waktu sebagai berikut :

agustus 1951 – desember 1951

april 1957 – juni 1958

juli 1963 – januari 1964

juni 1965 – april 1966

nopember 1968 – juni 1969

september 1969 – januari 1970

mei 1972 – maret 1973

september 1976 – februari 1977

september 1977 – januari 1978

mei 1982 – juni 1983

agustus 1986 – februari 1988

Page 7: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

mei 1991 – juli 1992

mei 1994 – maret 1995

mei 1997 – mei 1998

mei 2002 – maret 2003

juni 2004 – februari 2005

agustus 2006 – januari 2007

b. Dampak El Nino di Indonesia

Fenomena El Nino menyebabkan curah Hujan di sebagian besar wilayah

Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari

intensitas El nino tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal

sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh

fenomena El Nino. El Nino pernah menimbulkan kekeringan panjang di Indonesia.

Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk dengan

meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya.

Dampak El Nino adalah kekeringan yang melanda sebagian besar daerah di

benua maritim Indonesia. Kekeringan ini dapat mempermudah atau memicu kebakaran

hutan dan menurunkan produksi pangan. Jumlah dasarian (10 harian) dengan curah

hujan di bawah 50 mm lebih besar dalam tahun-tahun terjadi El Nino dibandingkan

dengan jumlah dasarian dalam tahun-tahun non El Nino.

Di atas wilayah Indonesia terjadi defesiensi curah hujan bahkan dapat terjadi

bencana kekeringan. Keterlambatan musim tanam padi terjadi pada tahun-tahun ENSO

dibandingkan kondisi yang normal. Tanpa irigasi produksi pangan akan menurun.

Tahun ENSO juga mengakibatkan kemarau panjang dan musim hujan yang pendek.

Pada saat El Nino wilayah basah seperti Indonesia menjadi kering, sedangkan

yang biasanya kering seperti pantai barat Amerika Selatan menjadi basah,

Page 8: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

menimbulkan banjir besar dan menurunkan produksi ikan mereka karena melemahnya

upwelling .

Tidak benar bahwa kebakaran hutan disebabkan oleh akibat El Nino. Saat terjadi

El Nino kelembapan udara di Indonesia turun sehingga terjadi kekeringan. Tetapi El

Nino tidak menyebabkan kebakaran. Kebakaran ditimbulkan oleh manusia, sedangkan

kondisi alam memungkinkan menjadi lebih besar karena kelembapan relatif menjadi

jauh berkurang.

Kekeringan dan kebakaran hutan terparah yang pernah terjadi selama 50 tahun

terjadi di tahun 1997. Polusi udara yang ditimbulkannya menyebar hingga ke seluruh

wilayah ditambah negara-negara tetangga, Brunei, Filipina, dan Thailand.

c. Hubungan Suhu Laut Dan Terumbu Karang

Peningkatan temperatur 10–20 C dalam waktu lima minggu akan mengakibatkan

pemutihan karang atau penurunan temperatur hingga 30 C juga mengakibatkan stress

pada ekosistem terumbu karang. laporan-laporan penelitian mengenai terumbu karang

menyebutkan bahwa kebanyakan kerusakan terumbu karang berkisar pada akhir

musim panas. Pemutihan karang juga disebutkan terjadi dengan kondisi angin dengan

kecepatan rendah, langit cerah (tanpa awan), laut yang tenang, dan turbiditas rendah.

Kenaikan suhu muka laut disebabkan terutama oleh efek rumah kaca dan penipisan

lapisan ozon. Anomali suhu laut telah diteliti antara tahun 1986-1988, dimana

hipotesisnya kerusakan terumbu karang disebabkan oleh pemanasan global.

Pemantauan suhu terus-menerus di Pulau Pari menunjukkan bahwa pemanasan air

dimulai 10 januari dan mencapai suhu maksimum sekitar 19 maret 1998. Selama masa

terjadinya pemutihan karang, tercatat suhu air 2 atau 3oC lebih tinggi dari nilai rata-rata

normalnya. Peristiwa pemutihan 1998 menyebabkan akibat yang lebih besar dalam hal

area yang kena serta kematian karang-karangnya, dibandingkan dengan peristiwa yang

sama pada periode El Nino 1982-1983 (Brown &Suharsono, 1990; Dr. Suharsono).

Dari hasil pencitraan satelit pada bulan juli 2009, tercatat bahwa suhu muka laut

pada Juli lalu merupakan yang paling hangat di antara bulan-bulan Juli sepanjang

sejarah pencatatan suhu di muka bumi. Besaran suhu Juli tahun ini juga memastikan

Page 9: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

bahwa fenomena El Nino sedang terbentuk di Samudra Pasifik. Beberapa ilmuwan

mengira semakin melambungnya suhu muka laut dari tahun ke tahun bakal merujuk

kepada perubahan yang lebih luas, yakni perubahan iklim global. Suhu rata-rata muka

laut di sekujur bumi pada Juli lalu tercatat sebesar 16,99 derajat Celsius atau 0,59

derajat lebih hangat daripada suhu rata-rata muka laut sepanjang abad ke-20. Angka itu

juga melampaui rekor Juli terpanas yang dicapai pada 1998. Jika dikombinasikan

antara suhu di laut dan daratan global, 2009 memang tergolong tahun panas. Untuk

kategori ini, suhu rata-rata global 16,37 derajat Celsius yang dicapai Juli tahun ini

menempati peringkat kelima berdasarkan catatan suhu yang dibuat Badan Kelautan

dan Atmosferik Nasional Amerika Serikat (NOAA) sejak 1880. "Tingginya suhu di lautan

bisa mengancam terumbu karang, menyuplai energi lebih untuk produksi hurikan,

menyebabkan ekspansi termal yang bisa mengangkat muka laut dan menenggelamkan

pantai-pantai, memaksa relokasi beberapa spesies akuatik dan karenanya berdampak

terhadap industri perikanan," kata Ahira Sanchez-Lugo, ilmuwan iklim di Pusat Data

Klimatik Nasional NOAA di Asheville, N.C.

Pemutihan (bleaching) atas karang-karang telah terjadi di Indonesia selama

periode El Nino tahun 1998, yang terlihat mulai dari Kepulauan Riau, sampai ke

Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, dan juga di Pulau Bali, Pulau Lombok

dan Selat Sunda. Gejala pemutihan karang dilaporkan pertama kali di Pulau Bali dan

Lombok awal Maret 1998 dan di Kepulauan Seribu pada awal Mei 1998. Pada akhir

agustus 1998 kematian yang meluas telah mencapai 90-95%, yang mencakup mulai

dari rataan terumbu hingga ke kejelukan 25 m, dan yang mengalami pemutihan yang

terparah ialah spesies karang bercabang, yaitu Acropora spp.

Menurut Dr. Wahyu S. Hantoro, terdapat laporan dalam literatur mengenai

rekaman sepanjang tahun 500 tahun tentang kaitan El Nino dan bencana kemarau di

Indonesia. Hal ini terlihat pada tubuh karang yang memperlihatkan sabuk pertumbuhan

(growth banding) yang berbeda-beda lebarnya sesuai dengan keadaaan perbedaan

kondisi iklim, termasuk El Nino. Juga terdapat hubungan yang jelas antara kadar isotop

oksigen yang ada dalam tubuh karang dengan suhu air tempat dia hidup. Demikian pula

halnya dengan isotop karbon dan perbandingan angka strontium terhadap kalsium,

Page 10: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang

yang dua-duanya punya korelasi dengan suhu lingkungan dan juga dengan usia tubuh

karang.

Peristiwa El Nino beberapa tahun terakhir telah menyebabkan pemutihan karang

besar peristiwa-peristiwa di bagian timur Pasifik, dari peningkatan suhu laut. Pada skala

yang lebih besar, pemanasan global adalah perhatian utama sebagai penghasil

perubahan temperatur laut luas. Peristiwa coral bleaching telah mulai menjadi lebih

sering dan luas, dalam dekade terakhir, dan ini menjadi perhatian para ilmuwan dan

lingkungan. Coral bleaching mungkin merupakan tanda pertama dari ekosistem yang

sensitif terhadap perubahan global yang terjadi terhadap lingkungan laut.

d. Perubahan Topografi Paras Laut dan Hubungannya dengan Terumbu Karang

Faktor utama yang mempengaruhi tinggi paras laut ialah pasang surut. Akan

tetapi El Nino disebut sebagai faktor yang mempengaruhi tinggi muka laut. Selanjutnya

tinggi muka laut dapat pula dipengaruhi oleh pemanasan global, berupa makin naiknya

paras laut dan hal ini tentunya akan mempengaruhi kondisi ekologi laut terutama

terumbu karang. Terumbu karang tumbuh mengikuti perubahan muka laut. Terumbu

yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal

50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik

kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada

kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.

Pengukuran terhadap kenaikan muka laut telah dilakukan dan terjadi

peningkatan 10-25 cm dalam kurun waktu 100 tahun dan akan meningkat hingga 95 cm

pada abad selanjutnya (Pittock, 1998 dalam Hoegh-Guldberg, 2004). Kenaikan Muka

laut sehubungan dengan Perubahan Iklim Global diakibatkan oleh: pemanasan Muka

Laut,mencairnya Es di kutub,Rekayasa lingkungan oleh manusia. Jika mengacu pada

tingginya kenaikan permukaan laut terhadap kelangsungan hidup terumbu karang,

maka untuk 50 tahun mendatang, dengan rata-rata kenaikan per tahun adalah 0,7 cm

(IPCC) maka hanya terjadi peningkatan sebesar 35 cm pada tahun 2058. Nilai ini

sangat jauh dari kemampuan terumbu karang untuk bertahan hidup dimana kedalaman

ekstremnya adalah 50 m. Oleh sebab itu kenaikan muka laut belum dapat dijadikan

sebagai stress bagi terumbu karang.

Page 11: El Nino Dan Pengaruhnya Terhadap Kondisi Ekologi Terumbu Karang