EKSISTENSIALISME DALAM FILSAFAT
Click here to load reader
-
Upload
abaz-zahrotien -
Category
Documents
-
view
4.633 -
download
1
Transcript of EKSISTENSIALISME DALAM FILSAFAT
EKSISTENSIALISME DALAM FILSAFAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Umum yang diampu oleh Bpk. Nurul Mubin, M.Si
Disusun Oleh:Abaz Zahrotien
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO2008
EKSISTENSIALISME DALAM FILSAFAT
Pendahuluan
Dalam kajian filsafat, benturan antar aliran akan banyak ditemui,
terutama setelah satu pandangan dengan pandangan lain bertemu pada satu tema
besar yang menjadi inti dari masing-masing aliran itu. Dampaknya, untuk para
pemula dalam bidang ini, akan mengalami berbagai macam kebingungan karena
komplektisitas dan penuh dialektika didalamnya.
Dan dari masing-masing aliran filsafat tersebut, ternyata berangkat dari
cara pandang tokoh tertentu ketika memandang sesuatu, dan sebagai antitesis
terhadap cara pandang itu, akhirnya memunculkan satu cara pandang baru yang
nyata-nyata bertentangan dengan cara pandang sebelumnya, begitu seterusnya.
Pola tesis antitesis ini tidak diakhiri dengan menemukan sintesis yang baku yang
dapat dijadikan rujukan dan bersifat tetap, tetapi justru sintesis yang merupakan
perpaduan dari tesis awal dengan antitesis ini justru menjadi tesis baru yang akan
muncul antitesisnya dalam perkembangan selanjutnya.
Secara sederhana, semua aliran merupakan bentuk pertentangan dari cara
pandang yang telah ada dan berlaku secara menyeluruh, untuk kemudian
ditemukan formula baru dalam memandang. Pola komunikasi yang semacam
inilah yang membuat filsafat sampai hari ini masih selalu menarik untuk bahan
kajian yang diminati banyak orang.
Yang paling menarik dari semua itu adalah, bahwa dari berbagai macam
aliran filsafat, ternyata tidak hanya tokoh-tokoh tertentu saja yang menggunakan
cara pandang tersebut sebagai pisau analisis, tetapi hamper berlaku secara
menyeluruh dalam kehidupan social. Atau semua aliran memiliki basis kuat di
masyarakat.
Eksistensialisme
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia
membuat benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala
yang ada mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon
mangga menjadi pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi
manusia. Namun, dengan esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita
dapat membayangkan kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun,
belum pasti apakah semua itu sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di
sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu
berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat
tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia
dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain.
Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir.
Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada,
tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu
mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan
eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan.
Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan
berperan.
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para
pengamat eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada.
Karena memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon
mangga adalah pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah
manusia. Namun, mereka mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan
untuk apa berada1.
Oleh karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang
eksistensia. Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan
ikut terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada
bukan hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optima. Untuk manusia, ini
berarti bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam
kondisi ideal sesuai dengan kemungkinaan yang dapat dicapai. Dalam kerangka
pemikiran itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang
paling tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itu, keterbukaan hidup
dapat ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau
meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus
disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib,
peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka
dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke belakang
1 Muhammad Baqir Ash Sadr, 1991, Falsafatuna: Dirasah, Mawudhu’iyyah fi mu’tarak Al Shira’ Al Fikriy Al Qa’im baina Mukhtalaf Al Tahayarat Al Falsafiyyah wa Al Falsafah Al Islamiyyah wa Al Maddiyyah Al Diyaliktikiyyah (Al Markisiyyah). Penerj. M. Nur Mufid bin Ali, Mizan Pustaka, Bandung, hal.217
dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan menjadi
tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang
kemerdekaan sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptima
mungkin. Untuk menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak
diperlukan. Berdasarkan dan atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja
yang dianggap mendukung penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata
tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya saja
sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian cita-cita
proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang
pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan segala peraturan dan
hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang
adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala konsekuensi yang
datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama.
Satu-satunya hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam menghadapi
perkara untuk menyelesaikan proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan
pokok mereka adalah apa yang paling baik yang menurut pertimbangan dan
tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam situasi itu. Yang baik adalah
yang baik menurut pertimbangan norma mereka, bukan berdasarkan perkaranya
dan norma masyarakat, negara, atau agama.
Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika
eksistensialis adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan
atas peran situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain
yang berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti
adanya, dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini
belum selesai, tidak harus diterima sebagai adanya, dan dapat diubah, bahkan
harus diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi, masyarakat,
bangsa, dan dunia seanteronya.
Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai proyek. Orang yang
memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah dan
"menerima", sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup sebagai belum
selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus
diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung jawab.
Setiap orang harus bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh
berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi,
situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting, mendesak, atau
genting. Karena hidup selalu berjalan normal.
Namun, bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai,
setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap
situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan
bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang yang menerima hidup sudah sampai
titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan tidak amat berperan karena masa
depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa yang ada sekarang. Namun,
bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup yang ada dan yang
merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor yang penting.
Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup dimungkinkan dan
pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian, gaya hidup
kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan optimis menuju ke
masa depan.
Filsuf yang menggunakan eksistensialisme sebagai pisau analisis serta
pahamnya diantaranya yang paling terkenal adalah Jean-Paul Sartre. Filsuf-filsuf
lain dari aliran ini lebih senang disebut "filsuf-eksistensi". Di antara mereka
adalah S. Aabye Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900),
Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel
(1889-1973) dan M. Merleau-Ponty (1908-1961)2.
Penutup
Eksistensialisme sebagai bagian dari aliran filsafat memiliki cara
pandang yang cukup akrab dengan kondisi riil dalam konteks kenyataan di
lapangan. Sehingga filsafat ini lebih mengandalkan eksistensi objek dibandingkan
harus memaknai objek tersebut secara lebih mendalam seperti mengkaji aspek
metafisismenya.
Demikian makalah ini dibuat, semoga bermanfaat sebagai pengantar
kajian filsafat eksistensialisme. Terima kasih kepada semua pihak yang membantu
menyelesaikan makalah ini dan mohon maaf apabila ditemukan kesalahan dan
kekurang tepatan dalam pembahasannya.
2 http://filsafatkita.f2g.net/alr3.htm/ post at Monday, January 14th.2008 01.42 pm
Referensi
Majid, Abdul, http://filsafatkita.f2g.net/alr3.htm/ post at Monday, January
14th.2008 01.42 pm
Ash Sadr, Muhammad Baqir, 1991, Falsafatuna: Dirasah, Mawudhu’iyyah fi
mu’tarak Al Shira’ Al Fikriy Al Qa’im baina Mukhtalaf Al Tahayarat Al
Falsafiyyah wa Al Falsafah Al Islamiyyah wa Al Maddiyyah Al Diyaliktikiyyah
(Al Markisiyyah). Penerj. M. Nur Mufid bin Ali, Mizan Pustaka, Bandung