Ekologi Pangan Dan Gizi

12
Meningkatnya Bencana Ekologi Bencana ekologi kian semakin sering terjadi di berbagai belahan di dunia. Kejadian banjir, kekeringan dan longsor telah menjadi berita harian. Dalam setiap tahunnya, berbagai daerah di Kaltim mengalami tiga kali kejadian banjir. Bahkan di tahun ini ( 2007 ), kejadian banjir telah menjadi sebuah kejadian yang sangat luar biasa dibandingkan tahun sebelumnya, karena telah terjadi dalam waktu yang lebih lama dan wilayah kejadian yang lebih luas. Sementara di sebagian wilayah lain di Indonesia tengah mengalami kekeringan berkepanjangan. Tanah- tanah merekah dan tak cukup baik untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Krisis air bersih juga melanda wilayah-wilayah tersebut. Sebuah fenomena yang sebenarnya telah diprediksi sebelumnya. Akibat pemanasan global, beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah. Krisis Pangan Yang Tak Diatasi Di perkotaan, sebagian masyarakat mulai merasakan keresahannya dengan semakin meningkatnya harga produk-produk pangan. Harga minyak goreng yang

description

tentang ekologi pangan dan gizi masyarakat

Transcript of Ekologi Pangan Dan Gizi

Meningkatnya Bencana Ekologi

Bencana ekologi kian semakin sering terjadi di berbagai belahan di dunia. Kejadian banjir, kekeringan dan longsor telah menjadi berita harian. Dalam setiap tahunnya, berbagai daerah di Kaltim mengalami tiga kali kejadian banjir. Bahkan di tahun ini ( 2007 ), kejadian banjir telah menjadi sebuah kejadian yang sangat luar biasa dibandingkan tahun sebelumnya, karena telah terjadi dalam waktu yang lebih lama dan wilayah kejadian yang lebih luas.

Sementara di sebagian wilayah lain di Indonesia tengah mengalami kekeringan berkepanjangan. Tanah-tanah merekah dan tak cukup baik untuk diusahakan sebagai lahan pertanian. Krisis air bersih juga melanda wilayah-wilayah tersebut.

Sebuah fenomena yang sebenarnya telah diprediksi sebelumnya. Akibat pemanasan global, beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.

Krisis Pangan Yang Tak Diatasi

Di perkotaan, sebagian masyarakat mulai merasakan keresahannya dengan semakin meningkatnya harga produk-produk pangan. Harga minyak goreng yang melambung hingga harga beras yang mencekik setiap keluarga di negeri ini. Operasi pasar selalu dilakukan sebagai jawaban singkat atas krisis yang dialami rakyat negeri ini.

Iklim dan cuaca yang sudah tidak mampu lagi diprediksi keberadaannya menjadikan sebagian besar lahan pertanian produktif tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat negeri ini. Banjir dan kekeringan telah menghadirkan kegagalan panen. Petani semakin terpuruk diantara relung keterpurukan negeri saat ini.

Semakin meluasnya perijinan yang diberikan kepada industri ekstraktif dan industri besar dan luas oleh pemerintah juga sangat berkontribusi terhadap terjadinya krisis pangan. Lahan-lahan produktif rakyat secara paksa dialihkelolakan kepada pemodal-pemodal besar dengan dalih untuk menopang ekonomi makro negeri. Perluasan lapangan kerja dan kepastian investasi menjadi sebuah slogan yang diangkat untuk melakukan penggusuran lahan produktif rakyat.

Agresifnya pemerintah dalam berpihak pada investasi juga telah secara nyata menghadirkan kejadian bencana ekologi di berbagai wilayah di negeri ini. Banjir dan kekeringan juga tidak hanya semata disebabkan akibat pemanasan global, namun lebih disebabkan pada hancurnya tatanan ekosistem sebuah kawasan akibat pembukaan hutan, rawa, kerangas dan pegunungan kapur bagi kepentingan industri.

Memilih Berdiam Atau Melakukan Sesuatu

Ada dua pilihan bagi rakyat negeri ini. Berdiam diri menyaksikan penghancuran ekosistem berkelanjutan ataukah mengambil langkah-langkah nyata dalam mengatasi krisis kehidupan di masa mendatang. Kejadian bencana ekologi dan krisis pangan harusnya menjadi sebuah pembelajaran yang baik bagi penciptaan sistem berkehidupan yang lebih baik.

Rakyat sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung terhadap alam dan ekosistemnya, serta memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan arah gerak negeri ini, sudah selayaknya mengambil alih kedaulatan yang selama ini diambil paksa oleh segelintir pihak yang menamakan dirinya pemerintah.

Posisi pemerintah yang harusnya menjadi pelayan publik harus benar-benar diwujudkan. Tidak semata melakukan pendekatan kepada rakyat pada masa-masa kampanye pemilihan anggota legislatif atau kepala daerah, namun lebih jauh dari itu, pemerintah dan pihak lainnya harus berada dalam membela kepentingan rakyat.

Bersatu dan berdaulat atas sumber-sumber kehidupan harus menjadi kerangka pikir rakyat dalam menjalani kehidupan. Melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan proses-proses penghancuran ekologi yang tengah berlangsung di sekitarnya menjadi sebuah keharusan. Tidak memilih berdiam diri dan menjadi anak manis yang menikmati segala krisis yang sedang berlangsung.

Krisis pangan, krisis air bersih, hingga berbagai krisis lainnya, bila tidak dilakukan upaya sistematis secepatnya, akan berbuah pada sebuah pertarungan kehidupan, baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali lagi, rakyat yang akan menjadi korban. Sementara kelompok-kelompok kepentingan lain akan dengan mudah untuk melarikan diri dari pertarungan yang berlangsung dan mencari tempat lain untuk berkehidupan.

Pemanasan global, bencana ekologi dan krisis pangan bukanlah sebuah permasalahan yang dapat diserahkan kepada waktu untuk menyelesaikannya. Rakyat dapat menentukan pilihan, berdiam diri atau melakukan sesuatu!Ketika satu komunitas menempati sebuah wilayah, saat itu juga diperlukan ruang untuk memenuhi kebutuhannya. Tidak hanya tempat tinggal, untuk memenuhi keberlanjutan dari penghidupan komunitas tersebut, diperlukan sumber air, sumber energi, pepohonan untuk menghasilkan zat asam (oksigen), jalan untuk transportasi dan tentu saja area pertanian untuk menumbuhkan aneka pangan bahkan tempat pembuangan sampah.

Pertanyaannya adalah, dengan bertambahnya jumlah penduduk pada suatu wilayah, seberapa besar kemampuan daya dukung lingkungan untuk menyediakan semua kebutuhan manusia secara berkelanjutan?

Pertumbuhan penduduk pada satu wilayah, mengakibatkan semakin meluasnya area pemukiman, meningkatnya kebutuhan sarana transportasi dan semakin menumpuknya sampah sisa konsumsi. Tingginya populasi menuntut untuk membangun lebih banyak rumah, membangun jalan lebih luas, menyediakan lebih banyak air bersih, memperluas area pengolah sampah dan meningkatkan produksi pangan. Sayangnya daratan tidak bisa lagi bertambah, bumi hanya ada satu.

Yang terjadi kemudian adalah, perebutan lahan untuk kepentingan tertentu. Hutan dibabat untuk aneka peruntukan, sementara stok air bersih harus dipertahankan. Lahan-lahan pertanian dan dikorbankan untuk jalan dan bangunan, sementara masyarakat masih perlu makan. Laju alih fungsi lahan menjadi semakin tinggi, peruntukan lahan untuk satu fungsi akan mengurangi peruntukan yang lain. Lahan pertanian di perdesaan dan di pinggir kota, adalah sasaran empuk bagi pembangunan perumahan atau bangunan yang lain. Jika hal ini berlangsung terus maka akan menyebabkan semakin kecilnya area untuk penyedia air, oksigen dan pangan.

Lahan pertanian adalah area yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah, karena : (1) Secara umum kepadatan penduduk pada ekosistem yang didominai persawahan jauh lebih tinggi dibandingkan lahan kering. (2) Area pesawahan umunya berdekatan dengan perkotaan; (3) Infrastruktur diarea persawahan relatif lebih baik, seperti adanya jalan dan saluran air, (4) Topografi yang datar menarik untuk dikembangkan menjadi area pembangunan prasarana dan sarana pemukiman atau kawasan industri.

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi dan hanya didapatkan dari proses budidaya tanaman. Karena produktivitas lahan mempunyai ambang batas, proses budidaya tanaman pangan sendiri memerlukan luasan lahan tertentu untuk menghasilkan pangan yang cukup. Lahan pertanian di Indonesia saat ini mengalami penciutan akibat perubahan fungsi.

Tapak ekologi (Ecological Footprint) adalah konsep untuk mencermati pengaruh manusia terhadap cadangan dan daya dukung bumi. Daya dukung bumi (earth carrying capacity) secara spasial berhubungan dengan ketersediaan lahan dimana suatun komunitas tinggal. Konsep kapasitas daya dukung bumi tersebut mengukur besaran maksimum populasi yang mampu ditopang secara berkelanjutan oleh luasan area tertentu di bumi.

Memahami tapak ekologi memungkinkan untuk melihat seberapa besar kekayaan alam (renewable) yang masih tersisa, dan seberapa besar pengaruh konsumsi manusia terhadap ketersediaannya [1]. Sementara itu tidak semua jengkal di bumi menjadi area yang produktif secara biologi (biologically productive area-BPA) yang mampu mendukung kehidupan manusia. [2] Semakin besar kebutuhan konsumsi seseorang ataupun komunitas akan sumber daya, semakin besar pula pengaruh komunitas tersebut pada luasan BPA yang ada di bumi. Lebih jauh lagi, pengabaian atas kebutuhan ruang yang beragam tersebut menimbulkan kurangnya area penyerapan air, area untuk memproduksi pangan bahkan area hijau untuk menyediakan zat asam.

Peta kawasan yang ada saat ini menggambarkan arena hutan (dengan beragam fungsinya) dan area penggunaan lain. Sedangkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah dikembangkan lebih banyak didasarkan pada kearah mana pengembangan area kota akan dilakukan (pemukiman dan pusat kegiatan ekonomi). Jika pun wilayah produksi pangan dijadikan pertimbangan, namun nyatanya justru area persawahan menjadi tempat yang paling terancam untuk dikonversi. Perencanaan pembangunan mestinya diletakkan pada pemahaman akan kebutuhan dasar manusia yang hanya dapat dicukupi dari area produktif biologi (BPA).

Pada bidang pertanian perlu penataan kawasan (landscape management) dengan mengalokasikan lahan pertanian tanaman pangan, area konservasi, produksi, serta sarana-prasarana yang mendukung produksi pangan. Hal yang lebih penting adalah bagaimana mempertahankan luasan lahan sawah produktif sehingga optimal dapat mencukupi kebutuhan pangan suatu komunitas.

Mengadaptasi konsep Ecological Footprint, idealnya pemerintah daerah saat ini mulai menghitung dan mem-plot bentangan alam, menjadi fungsi-fungsi biologis yang diperlukan. Berapa hutan yang harus tetap dipertahankan untuk menjamin ketersediaan air, berapa sawah harus tetap ditanami untuk menyediakan pangan sejalan dengan berapa luas pemukiman dan jalan baru yang harus dibangun.

Dalam skala yang lebih kecil masyarakat di pedesaan mestinya sudah mulai menimbang neraca pangan komunitasnya. Hal ini bisa dimulai dengan mengidentifikai berapa luas lahan pertanian yang diperlukan untuk memenuhi pangan dan berapa luas untuk keperluan lainnya. Wilayah perdesaan seyogyanya dipetakan untuk mengantisipasi kebutuhan pangan, kayu untuk bangunan atau perkakas, tanaman cash crop sebagai sumber pendapatan, hutan dan daerah serapan air, bangunan yang diperlukan hingga keperluan lahan untuk tempat pembuangan sampah dan pengolahan limbah. Kenyataannya, populasi penduduk desa bukan angka yang tetap, justru semakin besar. Secara umum hal tersebut juga akan membawa dampak pada penciuatan lahan produktif.

Pada sisi yang lain membengkaknya populasi juga berarti semakin banyaknya pangan yang diperlukan. Ini berarti mempertahankan luas area produktif selama ini bukan sesuatu yang mudah, apalagi dengan pertimbangan proyekti pertumbuhan penduduk di masa mendatang. Mendatangkan pangan dari daerah lain bisa saja dilakukan, jika suatu wilayah benar-benar tidak produktif untuk pangan. Akan tetapi mestinya juga dilandasi dengan kesadaran bahwa di daerah lain pertumbuhan populasi dan penciutan area produksi pangan juga terjadi.

Pada tingkat makro, PBB memproyeksikan bahwa uuntuk mengimbangi pertumbuhan populasi, diperlukan peningkatan produksi pangan hingga 57% pada tahun 2050. Dengan budaya pangan saat ini diperlukan sekitar 0,5 ha untuk menyediakan beragam pangan dengan protein tinggi. Gambaran tersebut menunjukkan pentingnya masyarakat perdesaan dan pada tingkat wilayah yang lebih luas, mulai menimbang antara produksi pangan dan konsumsinya. Kajian atas neraca pangan komunitas dan forum pangan daerah yang kini tengah diusung oleh KRKP, mudah-mudahan dapat menjadi pemicu untuk melangkah kesana (Uah).

SEORANG filosof dan antropolog, Claude Levi-Strauss dalam bukunya yang berjudul the rawa and the cooked yang terbit di tahun 1970 menulis bahwa Tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki bahasa ujaran. Demikian pula tidak ada satu kelompok manusia yang tidak mempunyai cara mengolah makanan, mulai dari mendapatkan sampai memasaknya. Keunikan itu tidak hanya berhenti sampai pada proses memasak saja, tapi pola penyajian dan cara memakan juga berbeda pada berbagai kelompok masyarakat. Perubahan pola tersebut terjadi dari waktu ke waktu seiring perkembangan peradaban yang dimiliki.

Orang-orang Batak di beberapa tempat, terbiasa untuk menyajikan makanan dalam piring yang sangat lebar dan disantap oleh beberapa orang sekaligus dengan menggunakan jari mereka untuk menghantarkan makanan tersebut ke mulut. Masyarakat Etopia dan sekitarnya juga hal yang sama dilakukan masyarakat dalam mengkonsumsi makanan.

Suku Lani di Lembah Baliem, Papua terbiasa untuk tidak menggunakan banyak alat makan. Makanan dimasak di bawah debu panas, disajikan dengan deduanan dan dinikmati bersama-sama. Sedangkan masyarakat di perkotaan, terbiasa untuk menyajikan kue-kue atau nasi sekalipun dalam kotak kertas, plastik atau styrofoam. Segala perlakuan terhadap makanan tadi sangat mempengaruhi keberadaan unsur gizi yang dikonsumsi. Karenannya dari satu aspek ini saja kita dapat berdiskusi banyak tentang pengaruh budaya pada gizi.

Makanan adalah lebih dari sekedar sumber gizi. Ia berperan penting dan tertanam dalam kehidupan sosial, keyakinan, politik dan ekonomi. Di banyak tempat, makanan memiliki arti simbolik, ia mengartikulasikan dan menciptakan hubungan antar manusia, antara manusia dengan lingkungan. Karenanya makanan adalah bagian penting dari masyarakat. Bahkan tidak jarang makanan mengatur kehidupan manusia.

Proses menyiapan makanan adalah salah satu aspek penting dalam menggambarkan budaya suatu masyarakat. Suatu kelompok masyarakat dapat dibedakan dari kelompok lainnya dari bahan makanan, cara mengolah, cara memakannya.

Dalam berbagai masyarakat, makanan digolongkan dalam beberapa kriteria, makanan dan bukan makanan, atau bisa/biasa dimakan dan tidak bisa/biasa dimakan. Misalnya ular, tikus. Yang kedua, pengolongan halal dan tidak halal. Yang ketiga panas dan dingin, misalnya ayam digolongkan dingin, sedangkan kambing digolongkan panas. Beberapa makanan tertentu dianggap sebagai obat. Ada beberapa jenis makanan yang memiliki makna sosial yang menandai hubungan antar manusia, perayaan atau peringatan sesuatu.

Budaya dan gizi salah karena penggolongan tersebut, budaya mengakibatkan tidak/kurang mengkonsumsi unsur gizi tertentu. Selain itu juga lebih mengkonsumsi unsur gizi tertentu sesuai dengan budaya dan keyakinan berdasarkan kebiasaan turun temurun dari nenek moyang.

Pada dialog kami dengan masyarakat Madura beberapa waktu lalu di Surabaya dalam kunjungan lapangan di acara workshop nutrisi, terindikasi ada keyakinan perlunya memberikan makanan berupa pisang kepada anak-anak bayi bawah 6 bulan. Dalam bebarapa kasus, anak yang diberikan makanan terlalu dini mengalami masalah pencernaan. Ketika dibawa ke Puskesmas, para medis pun menyayangkan perilaku masyarakat seperti itu. Sekalian saja diberikan rujak biar nggak nanggung kata petugas seperti yang ditirukan masyarakat. Namun karena sudah mengetahui dampaknya, mereka tidak mau melakukannya.

Masyarakat Kalimantan Barat juga mempunyai pandangan dan budaya tentang makanan secara spesifik. Ada pantangan tertentu yang tidak bisa diberikan kepada ibu hamil dan menyusui karena berbagai keyakinan. Padahal jika ditinjau dari segi kebutuhan gizi, makanan tersebut diperlukan untuk menunjang pertumbuhan janin dan balita. Selain itu ada jenis yang diajurkan untuk dikonsumsi secara terus menerus dalam jumlah banyak. Namun dari segi kandungan gizi tidaklah mencukupi.