EFISIENSI ENERGI DAN UJI KINERJA PROTOTIPE ALAT ... · minyak nilam dunia berkisar 1.500 ton/tahun...
Transcript of EFISIENSI ENERGI DAN UJI KINERJA PROTOTIPE ALAT ... · minyak nilam dunia berkisar 1.500 ton/tahun...
EFISIENSI ENERGI DAN UJI KINERJA
PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN MINYAK
NILAM
Oleh:
IVON WIDIAHTUTI
F 34104028
2008
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
IVON WIDIAHTUTI. F 34104028. Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat-alat Penyulingan Minyak Nilam. Dibawah bimbingan : Meika Syahbana Rusli dan Ade Iskandar. 2008.
RINGKASAN
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas pertanian yang potensial
untuk dikembangkan di Indonesia. Salah satu minyak atsiri Indonesia yang paling penting adalah minyak nilam. Nilai ekspor minyak nilam selalu meningkat, tahun 2001 mencapai US $ 52,97 juta atau 4,4 % nilai ekspor minyak atsiri Indonesia. Indonesia pemasok utama minyak nilam dunia (90 %). Sementara kebutuhan minyak nilam dunia berkisar 1.500 ton/tahun dengan pertumbuhan 5 %.
Kualitas terna nilam tidak cukup untuk menghasilkan minyak nilam dengan mutu tinggi dan ekonomis. Sebagian minyak nilam masih diproduksi dengan alat sederhana sehingga mutu dan efisiensi serta produktifitasnya belum optimal. Oleh karena itu, perlu adanya modernisasi alat produksi seperti prototipe.
Penyulingan minyak nilam ada dua cara yaitu penyulingan uap dan air dan penyulingan dengan uap langsung. Proses penyulingan minyak atsiri dapat dipercepat dengan menaikkan suhu dan tekanan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode penyulingan dengan peningkatan tekanan secara bertahap 0,5 bar; 1 bar; dan 1,5 bar. Proses penyulingan dilakukan selama 6 jam.
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar peralatan penyulingan skala IKM terutama boiler, ketel suling, dan separator, masih memiliki kinerja yang rendah. Kinerja boiler skala IKM (Industri Kecil Menengah) serta prototipe boiler didasarkan atas beberapa parameter seperti luas permukaan pindah panas, fenomena penyalaan api, kestabilan nyala api, kesempurnaan proses pembakaran kayu, dan jumlah bahan bakar.
Jumlah nilam yang disuling 154,5 kg untuk penyulingan IKM dan 120 kg untuk penyulingan prototipe. Jumlah kayu bakar yang digunakan pada penyulingan skala IKM sebanyak 173,49 kg dan 98,38 kg dalam penyulingan prototipe. Luas permukaan pindah panas di boiler skala IKM lebih kecil yaitu sebesar 1,63 m² sedangkan pada prototipe boiler sebesar 14,40 m². Energi masukan (energi kayu) pada boiler skala IKM sebesar 3.365,98 MJ dan energi keluarannya (energi uap air) sebesar 1.141,66 MJ. Energi masukan pada prototipe boiler sebesar 1.908,66 MJ dan energi keluarannya sebesar 1.480,93 MJ. Berdasarkan data-data tersebut, prototipe boiler dapat menghasilkan uap air dengan optimal. Selain itu, penggunaan bahan bakar dan lama waktu penyulingan semakin efisien pada sistem penyulingan prototipe.
Kinerja ketel suling dapat dinilai dari beberapa parameter seperti : kerapatan nilam di dalam ketel, fenomena penetrasi uap, kemampuan ketel mempertahankan panas, dan ada atau tidaknya kebocoran pada ketel suling. Kerapatan nilam pada skala IKM lebih tinggi daripada kerapatan nilam prototipe (0,074 kg/liter) yaitu sebesar 0,154 kg/liter. Total kehilangan panas pada ketel skala IKM sebesar 59,02 MJ sedangkan pada prototipe ketel kehilangan panasnya hanya sebesar 39,41 MJ. Kehilangan panas yang besar pada ketel skala IKM disebabkan luas permukaan dinding ketel yang tidak terlindungi penahan panas
sangat besar dan adanya kebocoran. Kerapatan bahan yang terlalu tinggi juga menyebabkan uap dalam ketel skala IKM tidak dapat berpenetrasi secara optimal.
Kinerja kondensor dinilai berdasarkan beberapa parameter seperti : luas penampang pindah panas kondensor, banyaknya air pendingin yang digunakan, suhu destilat dan laju destilat. Air pendingin yang digunakan dalam penyulingan prototipe sama seperti pada skala IKM sebesar 6.163,2 liter. Laju destilat yang dicapai skala IKM sebesar 0,26 liter/kg bahan jam jauh lebih kecil dari penyulingan prototipe sebesar 0,63 liter/kg bahan jam. Energi yang dilepas kondensor skala IKM sebesar 801,06 MJ sedangkan pada prototipe sebesar 1.336,27 MJ. Suhu akhir destilat yang dihasilkan dari penyulingan skala IKM sebesar 35,91 °C dan suhu destilat penyulingan prototipe sebesar 31,17 °C.
Efisiensi boiler skala IKM sebesar 33,92 % sedangkan efisiensi boiler 77,59 %. Efisiensi ketel suling skala IKM sebesar 94,75 % sedangkan efisiensi prototipe ketel suling memiliki efisiensi 97,20 %. Efisiensi kondensor skala IKM sebesar 75,62 % sedangkan efisiensi prototipe kondensor sebesar 98,57 %. Efisiensi separator kedua sistem penyulingan tersebut tidak dibuat secara persentase, melainkan dinilai dari banyaknya jumlah alat bantu pemisahan minyak selain separator.
Kualitas minyak yang diperoleh baik dari sistem penyulingan skala IKM dan sistem penyulingan prototipe hampir sama. Namun waktu untuk perolehannya lebih singkat yaitu selama 6 jam. Dengan demikian, penggunaan peralatan prototipe dapat meningkatkan produktivitas penyulingan minyak nilam tanpa mengubah komponen di dalam minyak secara signifikan kecuali pada perlakuan tekanan 1,5 bar. Pada tekanan tersebut, mutu minyak nilam tidak memenuhi SNI. Oleh karena itu, perlakuan tekanan yang diterapkan pada proses peyulingan sebaiknya < 1,5 bar. Kadar Patchouli alcohol hasil penyulingan skala IKM dengan prototipe hampir sama yaitu sebesar 35,54 % dan 34,45 %.
IVON WIDIAHTUTI. F 34104028. Energy Efficiency and Performance Test of Distillation Equipments Prototype of Patchouli Oil. Supervised by : Meika Syahbana Rusli and Ade Iskandar. 2008.
SUMMARY
Essential oil is potential export commodity for Indonesia. Patchouli oil is the most important essential oil exported from Indonesia. The good quality of Patchouli oil is produced from the highest quality of Pogostemon plants (Pogostemon cablin Benth). The quality leaves are not enough to produce high quality of Patchouli oil economically. Distillation equipments must be able to produce high quality and yield of oil with reasonable production cost. Because of that, the distillation equipment prototypes must have optimum performances, so that the efficiencies of production can be increased. There are two methods for Patchouli oil distillation namely, water and steam distillation and direct steam distillation. Essential oils distillation process is influenced by using pressure vessel. Therefore, three stages increased distillation pressure of 0,5 bar; 1 bar; and 1,5 bar (pressure gauge) were applied in this experiment. This distillation process conducted for 6 hours. Based on the result of research, most of distillation equipments in IKM (Small Medium Industries) have low performance. IKM distillation equipments consist of furnace and boiler, retort, condenser, and separator. Performances of both furnace and boiler in IKM or prototypes distillation system were based on some parameters like the surface area of heat transfer, flame stability, the burning process, and the usage of fuels (fire woods). Patchouli leaves were 154,5 kg for IKM distillation and 120 kg for prototypes distillation. IKM distillation process used fire woods 173,49 kg and 98,38 kg for prototypes distillation process. The surface area of heat transfer on boiler of IKM is lower than boiler prototype. The surface area of heat transfer on boiler of IKM is 1,63 m². The wide surface of heat transfer on boiler prototype is 14,40 m². Input energy (fire wood energy) of boiler in IKM scale was 3.365,98 MJ and its output energy (steam energy) was 1.141,66 MJ. Input energy of boiler prototype was 1.908,66 MJ and its output energy was 1.480,93 MJ. According to the data, furnace and boiler prototype can produce steam optimally. Besides of that, the consumption of fuels and the duration of prototype distillation process were more efficient. Retort performance was based on several parameters like density in the retort, steam distribution, retort capability for heat saving, and leakage factor in retort. Patchouli density in IKM retort is higher than prototype retort. Patchouli density for IKM retort is 0,154 kg/liter. Patchouli density for prototype retort is 0,074 kg/liter. Accumulation of heat losses for IKM retort is 59,02 MJ. Accumulation of heat losses for retort prototype is 39,41 MJ. The high heat losses in IKM retort due to the fact that. The retort wall does not have any insulator and the steam leakage in retort through seal system. The high density result in the steam can not penetrate optimally.
Condenser performance based on several parameters like the wide surface of heat transfer, the quantities of cooling water, distillate temperature, and the rate of distillate. The amount of cooling water for prototype distillation process was the same as cooling water for IKM distillation process 6.163,2 liter. The distillation rate per hour in IKM distillation system can reach 0,26 liter/kg raw material. It was lower than for prototype distillation process 0,63 liter/kg raw material. Condenser in IKM can transfer of heat 801,06 MJ. While condenser prototype transfers 1.336,27 MJ of heat. Average distillate temperature from IKM distillation system was 35,91 °C and average distillate temperature from prototypes distillation system was 31,17 °C. Efficiency of boiler in IKM was 33,92 % and efficiency of boiler prototype was 77,59 %. Efficiency of IKM retort was 94,75 % and efficiency of retort prototype was 97,20 %. Efficiency of IKM condenser was 75,62 % and efficiency of condenser prototype was 98,57 %. The oil quality both of IKM distillation system and prototypes distillation system were almost the same. However, prototypes distillation system need shorter time than IKM distillation system to accomplish the process. Thus, the usage of prototype equipments can increase the productivities of Patchouli oil distillation without component decompositions except in 1,5 bar treatment. In 1,5 bar treatment, the qualities of Patchouli oil was not compliance with SNI value. Because of improper qualities Patchouli oil with SNI, the treatment was much better if it was used not more than 1,5 bar in distillation process. Patchouli alcohol content from IKM distillation system is 35,54 % and patchouli alcohol content from prototype distillation system is 34,45 %. Both of them have almost the same patchouli alcohol content.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
EFISIENSI ENERGI DAN UJI KINERJA PROTOTIPE ALAT-ALAT
PENYULINGAN MINYAK NILAM
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
IVON WIDIAHTUTI
F 34104028
Dilahirkan pada tanggal 29 November 1985
di Jakarta
Tanggal lulus : 12 Desember 2008
Menyetujui,
Bogor, Januari 2009
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc Ir. Ade Iskandar, M. Si
NIP. 131 841 750 NIP. 131 788 584
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul :
”Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Minyak
Nilam” adalah karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing
akademik, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 12 Desember 2008
Yang memberi pernyataan
Ivon Widiahtuti F 34104028
BIODATA
Penulis bernama lengkap Ivon Widiahtuti.
Penulis lahir pada tanggal 29 November 1985 di
Jakarta. Penulis adalah putri sulung dari ayah
bernama Achmad Amin dan ibu bernama Dyah
Bandiah.
Pendidikan formal penulis dimulai di Taman
Kanak-kanak Barunawati, Jakarta Utara pada tahun
1990. Pendidikan Sekolah Dasar penulis dimulai tahun 1992 di SD Negeri
Pamulang I, Tangerang, Banten. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah
Dasarnya pada tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTP Negeri I Pamulang. Pada
tahun 2001, penulis menyelesaikan studinya di SLTP Negeri I Pamulang.
Kemudian penulis melanjutkan studinya di SMU Negeri 47 Jakarta, Jakarta
Selatan dari tahun 2001 sampai 2004. Tahun 2004 penulis lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program
studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Pada tahun 2006/2007 penulis aktif di Organisasi HIMALOGIN sebagai
staff sekretariat dan administrasi. Selama mengikuti perkuliahan di semester
delapan tahun 2008, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknologi
Minyak Atsiri dan Fitofarmaka, Teknologi Pati dan Gula, dan Peralatan Industri.
Penulis pernah melakukan kegiatan praktek lapang di PT Teh Tambi,
Wonosobo dalam rangka menyelesaikan Program Studi Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan
praktek lapang yang telah dilakukan, penulis menyusun laporan praktek lapang
dengan judul Mempelajari Teknologi Proses Produksi dan Penyediaan Bahan
Baku dan Bahan Bakar dalam Produksi Teh Hitam di Tambi. Kemudian penulis
menulis skripsi dengan judul “Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat
Penyulingan Minyak Nilam” di bawah bimbingan Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli,
MSc dan Ir. Ade Iskandar, Msi dan dinyatakan lulus pada tanggal 12 Desember
2008.
i
KATA PENGANTAR
Pertama-tama penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT
yang telah memberikan kelancaran dan kemudahan dalam penelitian serta
penulisan skripsi ini. Tema penelitian penulis terkait dengan penyulingan minyak
atsiri, dengan judul “Efisiensi Energi dan Uji Kinerja Prototipe Alat Penyulingan
Minyak Nilam”. Penelitian dilakukan di laboratorium METATRON, IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu, ayah, adik, dan seluruh keluarga besar penulis, atas dukungan, doa,
dan kasih sayang.
2. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc. selaku dosen pembimbing akademik
ke-1 yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan dukungan selama
masa perkuliahan hingga akhir penyelesaian tugas akhir.
3. Dr. Ade Iskandar, M. Si. selaku dosen pembimbing akademik ke-2 yang
telah memberi arahan, bimbingan, dan dukungan selama pelaksanaan
penelitian.
4. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS, atas masukan dan kesediaannya sebagai
dosen penguji skripsi ini.
5. Tim prototipe yaitu Danar, Fina, Kak Hari, Bu Ros, Mbak Tutik, dan
Mbak Yus atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini.
6. Para Laboran dan Teknisi, “Terima kasih atas kerja sama serta berbagi
ilmu yang terkait dengan penelitian ini”.
7. Akhiku, yang selalu mengajarkan untuk bersabar.
8. Sahabat-sahabatku Novi, Jo, Ira, Irawan, Asif, Wahyu, Yuyun, Darto,
Nova, yang memberi ini motivasi dan semangat.
9. Seluruh teman-teman TIN 41 yang tidak dapat penulis sebutkan, “Terima
kasih atas kebersamaannya selama ini”.
Penulisan skripsi ini mungkin belum sempurna. Penulis mengharapkan
kritik dan saran untuk lebih menyempurnakan penulisan skripsi penulis. Penulisan
skripsi ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi penambah wawasan bagi
pembacanya.
Bogor, Desember 2008 Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG........................................................................... 1 B. TUJUAN ............................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA A. TANAMAN NILAM ............................................................................ 3 B. MINYAK NILAM ................................................................................ 3 C. PROSES PENYULINGAN ................................................................... 6 1. Sifat Termal Uap ............................................................................... 8 2. Pindah Panas ..................................................................................... 9 D. PERALATAN PENYULINGAN ......................................................... 10 1. Ketel Uap (Boiler) ............................................................................. 10 2. Ketel Suling ....................................................................................... 12 3. Kondensor ......................................................................................... 12 4. Pemisah Minyak (Separator) ............................................................. 13 5. Bahan Peralatan Penyulingan ............................................................ 14
III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 15 1. Bahan dan Alat Uji Kinerja serta Efisiensi Sistem Penyulingan ...... 15 a. Bahan ............................................................................................. 15 b. Alat ................................................................................................ 15 2. Bahan dan Alat Uji Mutu Minyak Hasil Penyulingan ...................... 17 a. Bahan ............................................................................................. 17 b. Alat ................................................................................................ 17 B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN .............................................. 18 C. METODE PENELITIAN ...................................................................... 18 1. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... 18 a. Studi Kinerja Penyulingan Minyak Nilam IKM ........................... 18 b. Uji Kosong Prototipe Alat Penyulingan ........................................ 22 2. Penelitian Utama ............................................................................... 22 a. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak Nilam ................................ 23 b. Proses Penyulingan Minyak Nilam ............................................... 24 c. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe............................................................................ 28
iii
d. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan.......................................... 28 e. Analisa Mutu Minyak Hasil Penyulingan IKM dengan Prototipe 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. STUDI KINERJA PENYULINGAN MINYAK NILAM IKM ........... 30 1. Kondisi Proses dan Disain Alat Penyulingan IKM Secara Umum ... 30 2. Kinerja dan Efisiensi Disain Alat Penyulingan IKM ........................ 30 a. Boiler Skala IKM .......................................................................... 30 b. Ketel Suling Skala IKM ................................................................ 35 c. Kondensor Skala IKM ................................................................... 39 d. Separator Skala IKM ..................................................................... 41 3. Kinerja dan Efisiensi Alat Penyulingan Berdasarkan Proses ............ 42 a. Boiler Skala IKM .......................................................................... 42 b. Ketel Suling Skala IKM ................................................................ 43 c. Kondensor Skala IKM ................................................................... 47 B. UJI KOSONG PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN ........................ 49 C. PENELITIAN UTAMA ........................................................................ 50 1. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak .............................................. 50 2. Proses Penyulingan Minyak Nilam ................................................... 51 a. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Disain .............. 51 b. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Proses .............. 62 c. Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan ................................. 68 3. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe ............................................................................................ 72 a. Pembandingan Efisiensi Boiler Skala IKM dengan Prototipe ...... 72 b. Pembandingan Efisiensi Ketel Suling Skala IKM dengan Prototipe ........................................................................................ 74 c. Pembandingan Efisiensi Kondensor Skala IKM dengan Prototipe ........................................................................................ 76 d. Pembandingan Efisiensi Separator Skala IKM dengan Prototipe . 77 e. Pembandingan Efisiensi Proses Penyulingan Secara Keseluruhan................................................................................... 78 4. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan.............................................. 82 5. Pembandingan Mutu Minyak Hasil Penyulingan IKM dengan Prototipe ............................................................................................ 82 a. Pembandingan Rendemen Minyak Hasil Penyulingan Berdasarkan Tekanan dalam Ketel Suling ......................................................... 84 b. Pembandingan Warna Minyak Nilam ........................................... 86 c. Pembandingan Indeks Bias ........................................................... 88 d. Pembandingan Bobot Jenis ........................................................... 89 e. Pembandingan Putaran Optik ........................................................ 91 f. Pembandingan Bilangan Asam ..................................................... 92 g. Pembandingan Kelarutan Alkohol 90 % ....................................... 94 h. Pembandingan Bilangan Ester ...................................................... 94 i. Pembandingan Kadar Patchouly Alcohol ..................................... 95 j. Analisa α-copaene dan Besi (Fe) ................................................... 96
iv
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ........................................................................................... 98 B. Saran ...................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101
LAMPIRAN .................................................................................................... 104
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komponen-komponen terpen-O dalam minyak nilam ............................ 5
2. Persyaratan mutu minyak atsiri ............................................................... 6
3. Data luas permukaan pindah panas dan uap air yang dihasilkan
penyulingan IKM ................................................................................... 33
4. Keterkaitan luas permukaan pindah panas dengan kehilangan panas
ketel ........................................................................................................ 37
5. Kebutuhan kayu bakar terhadap jumlah uap air yang terbentuk ............ 43
6. Keterkaitan tingkat kerapatan bahan dengan laju destilat ...................... 45
7. Kehilangan energi di ketel suling skala IKM ......................................... 46
8. Data luas permukaan pindah panas boiler dan uap air yang dihasilkan
dalam prototipe penyulingan .................................................................. 52
9. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap total kehilangan panas ........ 58
10. Keterkaitan jumlah kehilangan panas dengan luas permukaan pindah
panas ketel .............................................................................................. 58
11. Data efisiensi energi dalam prototipe boiler .......................................... 63
12. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap efisiensi prototipe ketel ...... 70
13. Perbedaan penggunaan boiler skala IKM dengan prototipe boiler ........ 73
14. Perbandingan efisiensi ketel skala IKM dengan prototipe ..................... 75
15. Perbandingan efisiensi kondensor skala IKM dengan prototipe ............ 76
16. Perbedaan mutu minyak hasil skala IKM dengan prototipe .................. 84
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tanaman nilam ........................................................................................... 3
2. Skema peralatan penyulingan .................................................................... 15
3. Alur kegiatan penelitian utama .................................................................. 23
4. Skema pemurnian minyak nilam ................................................................ 29
5. Sketsa disain boiler skala IKM (tampak depan) ........................................ 31
6. Fenomena pemasakan air dalam boiler IKM (tampak depan) ................... 32
7. Sirkulasi oksigen dalam tungku skala IKM (tampak atas) ........................ 34
8. Fluktuasi jumlah destilat terhadap waktu ................................................... 35
9. Ketel suling skala IKM .............................................................................. 36
10. Fluktuasi kehilangan panas pada ketel suling skala IKM .......................... 38
11. Fenomena arah penetrasi uap dalam ketel IKM ......................................... 39
12. Separator skala IKM .................................................................................. 41
13. Fenomena jalur uap dalam ketel skala IKM .............................................. 44
14. Efisiensi energi kondensor IKM ................................................................ 48
15. Akumulasi destilat terhadap lama waktu proses penyulingan skala IKM . 49
16. Sketsa boiler prototipe (tampak depan) ..................................................... 51
17. Sirkulasi udara dalam tungku dengan blower (tampak samping) .............. 53
18. Kestabilan tekanan uap air dalam prototipe boiler .................................... 54
19. Fenomena aliran uap prototipe ketel suling ............................................... 56
20. Perbandingan kehilangan panas di dinding ketel prototipe dengan IKM .. 57
21. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap kehilangan panas dinding ketel
prototipe ..................................................................................................... 58
22. Perbandingan kehilangan panas di tutup dan bodem ketel ........................ 60
23. Disain prototipe separator .......................................................................... 61
24. Fenomena penetrasi uap tanpa rat hole ...................................................... 63
25. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap total kehilangan panas ketel ...... 65
26. Hubungan peningkatan tekanan terhadap kehilangan panas di tiap bagian
ketel ............................................................................................................ 66
27. Suhu air pendingin di prototipe bak pendingin .......................................... 67
vii
28. Hubungan akumulasi destilat terhadap peningkatan tekanan ketel............ 68
29. Efisiensi prototipe boiler ............................................................................ 69
30. Efisiensi prototipe ketel.............................................................................. 71
31. Efisiensi prototipe kondensor ..................................................................... 72
32. Neraca energi proses penyulingan IKM ..................................................... 80
33. Neraca energi proses penyulingan prototipe .............................................. 81
34. Daun dan batang nilam kering ................................................................... 83
35. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap jumlah minyak ........................... 86
36. Perbandingan minyak hasil penyulingan skala IKM dengan prototipe ..... 87
37. Perbandingan minyak nilam per tahapan tekanan ...................................... 87
38. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai indeks bias minyak nilam 89
39. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai bobot jenis minyak nilam 90
40. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai putaran optik .................... 92
41. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan asam .......................... 93
42. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan ester ........................... 95
43. Pengaruh tekanan bertahap terhadap kadar Patchouly alcohol.................. 96
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data-data yang diukur di penyulingan IKM ....................................... 104
2. Form data-data di penyulingan Prototipe ............................................. 110
3. Perhitungan efisiensi dan kehilangan energi ........................................ 117
4. Prosedur analisis karakterisasi minyak atsiri ....................................... 128
5. Analisa kadar air dan kadar minyak ..................................................... 134
6. Hasil analisa mutu minyak nilam skala IKM dengan prototipe ........... 135
7. Gambar peralatan penyulingan ............................................................ 137
8. Hasil uji gas chromatography .............................................................. 139
1
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki kekayaan alam berupa flora dan fauna yang sangat
beragam. Diantara keragaman flora tersebut terdapat tanaman-tanaman yang
mengandung minyak atsiri dan tanaman yang menjadi bahan baku dalam
pembuatan produk di berbagai industri.
Berdasarkan perkembangan industri minyak atsiri di dunia, tanaman yang
sangat potensial sebagai tanaman penghasil minyak atsiri adalah tanaman
nilam (Pogostemon cablin Benth). Kebutuhan minyak nilam di pasar dunia
semakin meningkat sesuai dengan peningkatan penggunaannya di industri
kosmetik, obatan-obatan, dan antibiotik. Penggunaan minyak nilam di industri
kosmetik dipusatkan sebagai bahan fiksatif dalam pembuatan parfum.
Nilai ekspor minyak nilam selalu meningkat, tahun 2001 mencapai US $
52,97 juta atau 4,4 % nilai ekspor minyak atsiri Indonesia. Indonesia pemasok
utama minyak nilam dunia (90 %). Sementara kebutuhan minyak nilam dunia
berkisar 1.500 ton/tahun dengan pertumbuhan 5 % (Ferry dan Emmyzar,
2004). Oleh karena itu, peluang pasar minyak nilam bagi Indonesia masih
cukup besar. Hal tersebut merupakan salah satu peluang Indonesia untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya para petani dan penyuling
nilam serta meningkatkan devisa negara.
Pada umumnya minyak nilam yang dihasilkan para petani dan penyuling
di Indonesia masih perlu ditingkatkan baik dari segi kualitas maupun
produktivitas serta efisiensi produksi. Peningkatan produktivitas minyak nilam
dapat dilakukan dengan memperhatikan kinerja sistem penyulingan dalam
proses produksi minyak nilam yang terkait dengan disain alat-alat penyulingan.
Peningkatan kualitas minyak nilam dapat dilakukan dengan pengendalian dan
pengontrolan selama proses produksi minyak nilam.
Proses produksi yang efisien tentunya dapat meningkatkan keuntungan
dan mengurangi biaya produksi. Pengefisienan dalam produksi minyak nilam
dapat dilakukan dengan penggunaan bahan bakar (kayu bakar) dan air
pendingin yang hemat serta waktu penyulingan singkat. Penelitian mengenai
2
efisiensi waktu penyulingan telah dilakukan oleh Lesmayanti (2004).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, proses penyulingan dengan tekanan
bertahap terbukti dapat mengefisienkan waktu penyulingan.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini yaitu meningkatkan kinerja dan efisiensi
sistem penyulingan minyak nilam agar mendapatkan rendemen yang tinggi
dengan kualitas yang cukup baik. Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu :
1. Menentukan faktor-faktor penentu kinerja dan efisiensi proses pada
prototipe minyak penyulingan.
2. Menentukan keterkaitan disain alat dan disain proses dengan kinerja dan
efisiensinya pada suatu prototipe sistem penyulingan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TANAMAN NILAM
Nilam (Pogostemon sp) termasuk famili Labiateae. Indonesia memiliki
tiga jenis nilam yaitu nilam Aceh (P. cablin BENTH), nilam Jawa (P.
heyneanus), dan P. hortensis. Namun, kebanyakan nilam yang dibudidayakan
adalah nilam Aceh. Hal ini dikarenakan nilam Aceh memiliki kadar minyak
dan kualitas yang lebih tinggi (Nuryani dan Sutjihno, 1994).
Tanaman nilam merupakan tumbuhan semak dengan tinggi 0,3 sampai
dengan 3,0 meter, pada daerah yang memiliki curah hujan 2.300 – 3.000
mm/tahun (Ketaren, 1985). Menurut Santoso (1990), tanaman nilam dapat
tumbuh subur pada jenis tanah regosol, latosol, dan aluvial. Tanah-tanah
tersebut memiliki tekstur lempung berpasir, pH 6-7, dan tidak tergenang air.
Berikut ini gambar tanaman nilam.
Gambar 1. Tanaman Nilam
Panen pertama dilakukan terhadap tanaman nilam yang telah berumur 4 –
5 bulan. Panen berikutnya dilakukan berturut-turut dengan jarak waktu 2 – 3
bulan, sampai tanaman berumur 2 tahun dan harus diremajakan (Harris, 1993).
B. MINYAK NILAM
Minyak atsiri adalah zat cair yang mudah menguap bercampur dengan
persenyawaan padat yang berbeda dalam hal komposisi dan titik cairnya, larut
4
dalam pelarut organik, dan tidak larut dalam air. Berdasarkan sifat tersebut,
maka minyak atsiri dapat diekstrak dengan 4 cara, yaitu penyulingan
(distillation), pengepresan (expression), ekstraksi dengan pelarut menguap
(solvent extraction), dan absorbsi oleh lemak padat (enfleurasi atau maserasi)
(Ketaren, 1985). Menurut Dowthwaite dan Rajani (2007), metode yang
digunakan untuk memproduksi minyak atsiri yaitu : ekstraksi, pengepresan,
dan distilasi. Umumnya metode yang digunakan yaitu penyulingan.
Minyak nilam adalah minyak yang diperoleh dari penyulingan daun dan
ranting tanaman nilam. Minyak nilam memiliki wangi yang khas, sehingga
banyak digunakan sebagai pewangi parfum dan zat fiksatif (pengikat). Selain
sebagai fiksatif dalam parfum, daun nilam dapat digunakan sebagai pelembab
kulit, untuk pewangi (aroma) masakan atau kue dengan proses oksidasi dan
dihidrolisis dengan isogeunolasetat, dan untuk obat anti infeksi (Santoso,
1990). Semua bagian tanaman nilam yaitu akar, batang, dan tangkai daunnya
mengandung minyak nilam. Minyak nilam yang berasal dari akar dan batang
memiliki nilai berat jenis yang tinggi, mutu, dan rendemen yang rendah bila
dibandingkan dengan minyak dan daun, sehingga tidak dapat disuling
(Ketaren, 1985).
Kandungan minyak nilam terdapat pada waktu tunas mengeluarkan tiga
daun pertama. Minyak nilam mengandung komponen-komponen seperti :
patchouly alcohol, patchouly camphor, eugenol, benzaldehyde, cinnamic
aldehyde, dan cadinene (Santoso, 1990). Kandungan ini tidak bertambah,
meskipun daun bertambah lebar. Oleh karena itu, panen pertama dapat
dilakukan setelah tumbuh lima pasang daun (Harris, 1993).
Berdasarkan komponen kimianya minyak nilam dibagi menjadi dua
golongan utama, yaitu golongan terpen dan terpen-O. Komponen-komponen
golongan terpen diantaranya α-bulnesen, seychellen, α-patchoulen, dan δ-
kadinen. Komponen-komponen yang termasuk dalam golongan terpen-O
disebut juga sebagai komponen-komponen berat diantaranya norpatchoulol,
patchouli alkohol, dan pogostol (Manitto, 1981). Komponen-komponen
minyak nilam lebih jelas dapat dilihat dalam Tabel 1.
5
Tabel 1. Komponen-komponen terpen dan terpen-O dalam minyak nilam
Komponen Formula Persen-
tase(%)
Putaran
Optik
Titik
Didih
(°C)
BM
Patchouli alcohol C15H26O 30 -97,42 280,37 222,4
α-bulnesen C14H22 17 8,28 242,26 190,3
α-gualen C14H22O 16 -64,5 242,25 190,3
Seychellen C16H26 9 -72 259,09 218,4
α-patchoulen C15H24 5 - 245,23 204,4
β-kariofilen C15H24 2,8 - 110-119 204,4
β-patchoulen C15H24 2 - 248,83 204,4
Pogostol C14H24O 2 -20,2 274,43 208,3
δ-kadinen C14H22 2 - 246,84 190,3
Norpatchoulenol C15H26O 1 - 268,88 208,3
Caryophylen
oxide
C13H20O 1 - 243,18 192,3
β-elemen C15H24 0,7 - 117-124 204,4
Nortetrapatchoule
nol
C14H24O 0,001 - 268,88 208,3
Eugenol C10H12O2 - - 253 164,3
Benzaldehid C7H6O6 - - 178 106,1
Sinnamaldehid C6H5CH=
CHCHO
- - 68-80 132,2
Sumber : Ardiana (2006)
Menurut Santoso (1990), penyinaran matahari pada daun nilam dapat
mempengaruhi warna daun dan kadar minyaknya. Nilam yang terkena sinar
matahari langsung maka daunnya berwarna merah kekuningan dan kadar
minyaknya tinggi. Nilam yang tidak terkena sinar matahari secara langsung
daunnya berwarna hijau dan kadar minyaknya rendah.
6
Mutu minyak nilam tergantung pada kondisi prapanen, saat panen, dan
pasca panen. Pasca panen menyangkut masalah warna, bobot jenis, zat asing,
dan sebagainya (Santoso, 1990). Minyak nilam hasil sulingan dapat
digolongkan menjadi empat jenis mutu yang dibedakan menurut aroma yaitu :
1. Jenis ordinary dan medium, merupakan hasil penyulingan dari Indonesia
dan Singapura.
2. Jenis special dan extra special, merupakan hasil penyulingan dari Perancis
dan Inggris, di mana penyulingan dilakukan secara tidak langsung dan daun
dipilih dahulu (Harris, 1993).
Berdasarkan SNI 06-2385-2006 persyaratan mutu minyak nilam
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persyaratan mutu minyak nilam
No. Karakterisasi Satuan Standar 1. Warna - Kuning muda – coklat
kemerahan 2. Bobot jenis 25°C/25°C - 0,950 - 0,975 3. Indeks bias (nD20) - 1,507 – 1,515 4. Kelarutan dalam etanol 90
% pada suhu 20 °C ± 3 °C - Larutan jernih atau opalensi ringan dengan perbandingan volume 1 : 10
5. Bilangan asam - Maksimal 8 6. Bilangan ester - Maksimal 20 7. Putaran optik - (-)48° - (-)65° 8. Patchouli alcohol
(C15H26O) % Minimal 30
9. Alpha copaene (C15H24) % Maksimal 0,5 10. Kandungan besi (Fe) mg/kg Maksimal 25
Sumber : SNI 2006
C. PROSES PENYULINGAN
Penyulingan adalah proses pemisahan komponen yang berupa cairan atau
padatan dari dua macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik
uapnya. Proses ini dilakukan terhadap minyak atsiri yang tidak larut dalam air
(Ketaren, 1985). Menurut Santoso (1990), penyulingan adalah salah satu cara
untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara mendidihkan bahan baku yang
dimasukkan ke dalam ketel hingga terdapat uap yang diperlukan. Atau dengan
7
cara mengalirkan uap jenuh (saturated or supersaturated) dari ketel pendidih
air ke dalam ketel penyulingan.
Jumlah minyak yang menguap bersama-sama dengan uap air selama
penyulingan ditentukan oleh tiga faktor yaitu :
• Besarnya tekanan uap yang digunakan
• Berat molekul masing-masing komponen dalam minyak
• Kecepatan minyak yang keluar dari bahan (Ketaren, 1985)
Berdasarkan hasil penelitian Racharto (1992), air merupakan sumber uap
panas pada metode penyulingan dengan uap langsung. Uap panas yang
dihasilkan terdapat di dalam ketel uap (boiler) yang letaknya terpisah dari ketel
suling. Uap yang dihasilkan adalah uap jenuh atau uap lewat panas
(superheated steam) pada tekanan lebih dari 101,304 kPa. Uap dialirkan
melalui pipa uap melingkar yang berpori, terletak di bawah bahan dan uap
bergerak ke atas melewati bahan yang diletakkan di atas saringan. Pada
penyulingan uap, diameter ketel suling lebih kecil dari tingginya. Hal tersebut
dimaksudkan untuk memperpanjang waktu kontak bahan dengan uap sehingga
akan mempercepat proses penyulingan.
Proses penyulingan minyak atsiri dapat dipercepat dengan menaikkan
suhu dan tekanan atau dengan menggunakan superheated steam. Namun
demikian, hal ini hanya dapat dilakukan terhadap minyak atsiri yang sukar
mengalami dekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. Minyak atsiri dengan
mutu tinggi akan diperoleh dengan proses penyulingan pada suhu rendah atau
suhu tinggi dengan waktu yang singkat (Ketaren, 1985). Metode penyulingan
yang tepat dan proses yang sesuai diharapkan dapat menghasilkan minyak
atsiri yang bermutu tinggi dan rendemen yang tinggi pula.
Menurut Guenther dalam Racharto (1992), faktor penting pada proses
penyulingan adalah pengaruh suhu (panas). Tekanan pada penyulingan dapat
diatasi, akan tetapi suhu uap atau campuran yang menerobos bahan dalam ketel
suling dapat berfluktuasi. Pada umumnya minyak atsiri bersifat labil pada suhu
tinggi. Minyak bermutu tinggi dapat diperoleh dengan cara penyulingan pada
suhu rendah, kemudian perlahan-lahan suhu ditingkatkan.
8
Menurut Guenther dalam Racharto (1992), penyulingan dengan uap
langsung sebaiknya dimulai dari tekanan uap yang rendah (sekitar 1 atm),
kemudian secara bertahap dinaikkan menjadi kurang lebih 3 atm. Jika
permulaan penyulingan dilakukan pada tekanan tinggi, maka komponen kimia
dalam minyak akan mengalami dekomposisi. Apabila minyak dalam bahan
diperkirakan telah habis tersuling, maka tekanan uap ditingkatkan lagi.
Peningkatan tekanan uap tersebut dimaksudkan untuk menyuling komponen
minyak yang bertitik didih lebih tinggi.
Menurut Dowthwaite dan Rajani (2007), penyulingan terdiri atas :
penyulingan air, penyulingan air dan uap, dan penyulingan uap. Penyulingan
air yaitu proses penyulingan di mana bahan yang mengandung minyak atsiri
mengalami kontak langsung dengan air selama proses penyulingan.
Penyulingan air dan uap yaitu proses penyulingan dimana bahan yang
mengandung minyak atsiri tidak kontak langsung dengan air selama proses
penyulingan. Penyulingan uap yaitu proses penyulingan di mana bahan yang
mengandung minyak atsiri tidak kontak langsung dengan air dan uap yang
dihasilkan tidak berada satu tempat dengan bahan.
Laju penyulingan adalah nilai perbandingan antara jumlah air suling
yang dihasilkan dengan waktu (kg destilat/m2 jam). Laju penyulingan harus
diatur sesuai dengan diameter ketel dan volume antar ruang bahan. Jika laju
penyulingan terlalu rendah, maka uap akan terhenti pada bagian bahan yang
padat, sehingga proses ekstraksi minyak tidak dapat berlangsung sempurna.
Jika laju penyulingan terlalu cepat maka uap dalam ketel akan keluar melalui
bahan dengan membentuk jalur uap (rat hole), serta mengangkut partikel bahan
ke dalam kondensor. Laju penyulingan dapat diukur dengan menampung dan
menimbang kondensat yang dihasilkan per satuan waktu (Ketaren, 1985).
1. Sifat Termal Uap
Menurut Kulshrestha (1989), uap merupakan bagian cairan yang
diuapkan dan terdiri dari gas sejati yang masih mengandung partikel-
partikel cairan di dalamnya. Partikel-partikel cairan akan teruapkan dengan
pemanasan. Uap super panas atau uap panas lanjutan (superheated steam)
9
memiliki sifat-sifat seperti suatu gas di bawah suhu kritisnya. Beberapa
metode pemanasan dan ekspansi dari uap adalah sebagai berikut :
a. Volume konstan.
b. Tekanan dan suhu konstan.
c. pv konstan atau hiperbolik.
d. pvn konstan.
e. Entropi konstan.
f. Ekspansi bebas.
2. Pindah Panas
Energi dikenal dalam berbagai bentuk, beberapa diantaranya yang
dijumpai dalam bidang teknik kimia adalah : energi dalam, energi kinetik,
energi potensial, energi mekanis, dan panas. Pengetahuan tentang
mekanisme perpindahan panas mutlak diperlukan untuk dapat memahami
peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam pemanasan, pendinginan,
pendidihan, pengeringan, distilasi, evaporasi, kondensasi, dan lainnya
(Utomo, 1984).
Menurut Utomo (1984), ada tiga cara perpindahan panas yaitu :
• Secara molekular, disebut konduksi.
• Secara aliran, disebut konveksi.
• Secara gelombang, disebut radiasi.
Zat yang tidak bergerak, contohnya padatan, panas pindah hanya
secara konduksi. Panas berpindah karena getaran molekul dari satu molekul
ke molekul lainnya. Pada fluida terjadi juga konduksi panas, akan tetapi di
samping itu panas lebih banyak dipindahkan secara konveksi. Panas di
dalam fluida berpindah karena terbawa massa fluida yang bergerak sebagai
aliran. Berdasarkan gerakan fluida ada dua cara konveksi, yaitu konveksi
alami dan konveksi paksa. Konveksi alami pada fluida disebabkan oleh
adanya perbedaan densitas antara beberapa tempat, terkait dengan adanya
selisih temperatur antara tempat-tempat itu. Konveksi paksa disebabkan
adanya usaha dari luar terhadap fluida, contohnya oleh pompa atau
kompresor (Utomo, 1984).
10
Menurut McCabe (2005), perpindahan kalor terjadi apabila dua
benda yang memiliki suhu berbeda mengalami kontak, maka kalor akan
mengalir dari benda yang bersuhu tinggi ke benda yang bersuhu rendah.
Aliran kalor tersebut akan selalu mengarah kepada penurunan suhu.
Pengaliran kalor tersebut dapat dibedakan menjadi tiga mekanisme yaitu :
konduksi, konveksi, dan radiasi.
Perhitungan perpindahan kalor didasarkan atas luas penukaran
pemanasan. Bila fluida dipanaskan atau didinginkan, suhu fluida di dalam
penampang arus itu akan berbeda-beda. Jika fluida itu sedang mengalami
pemanasan, suhu maksimum terdapat pada dinding permukaan pemanas,
dan berangsur-angsur ke arah pusat arus. Oleh karena itu diperlukan suhu
rata-rata (McCabe, 2005).
Perpindahan kalor ke zat cair mendidih merupakan suatu langkah
yang perlu dilakukan dalam satuan operasi evaporasi (penguapan) dan
distilasi (penyulingan). Kondensasi (pengembunan) uap di atas permukaan
tabung yang lebih dingin dari suhu kondensasi uap sangat penting dalam
pengolahan uap seperti air, hidrokarbon, atau zat atsiri (mudah menguap)
lainnya (McCabe, 2005).
D. PERALATAN PENYULINGAN
Menurut Ketaren (1985), peralatan yang biasanya digunakan dalam
penyulingan terdiri atas : ketel uap (steam boiler), ketel suling, bak pendingin
(kondensor), dan labu pemisah minyak (florentine flask). Peralatan-peralatan
inilah yang menjadi salah satu faktor penentu rendemen minyak atsiri.
1. Ketel Uap (Boiler)
Uap boiler umumnya digunakan untuk keperluan proses pengolahan
dan keperluan sanitasi pabrik serta pembersihan alat-alat pengolahan
(Wiraatmadja, 1989). Menurut Guenther (1947), boiler diperlukan pada
penyulingan dengan uap langsung. Namun terkadang diperlukan sejumlah
superheated steam, dan ini hanya dapat dihasilkan dari ketel uap (boiler)
yang letaknya terpisah.
11
Menurut Ketaren (1985), ketel uap (boiler) dapat dibedakan
berdasarkan tekanannya yaitu boiler tekanan tinggi dan boiler tekanan
rendah. Boiler bertekanan tinggi akan menghasilkan uap dengan tekanan
dan suhu tinggi. Pada tekanan dan suhu tinggi, uap mudah berpenetrasi ke
dalam bahan yang mengandung minyak atsiri. Bila uap mudah berpenetrasi
maka peristiwa kondensasi dalam boiler berkurang sehingga proses
penyulingan akan semakin efisien. Boiler bertekanan rendah akan
menghasilkan volume uap yang cukup besar. Pada proses penyulingan
dalam hal-hal tertentu, tekanan uap yang rendah diinginkan karena
menghasilkan minyak yang lebih mudah larut dalam alkohol dan tidak
mengandung resin.
Boiler yang ada umumnya dapat menggunakan bahan bakar kayu,
gas alam, minyak, dan batu bara. Berdasarkan konfigurasinya, boiler dapat
dibedakan menjadi boiler Haycock, boiler pipa air, boiler pipa api, dan
boiler tipe pipa api dan pipa air (www. boiler\Boiler - Wikipedia, the free
encyclopedia.htm).
Boiler Haycock atau Pot boiler merupakan boiler kuno yang dibuat
pada abad 18. Ukuran boiler Haycock sangat besar tapi hanya dapat
menghasilkan uap dengan tekanan rendah. Boiler pipa air merupakan boiler
di mana air berada di dalam pipa dan lingkungan di sekitar pipa adalah gas
panas. Boiler pipa api merupakan boiler di mana air berada di luar pipa
sedangkan di dalam pipa berupa gas panas. Boiler pipa air dan pipa api
merupakan boiler yang sistemnya merupakan gabungan dari sistem boiler
pipa air dengan pipa api (www. boiler\Boiler - Wikipedia, the free
encyclopedia.htm).
Menurut Wiraatmadja (1989), boiler yang paling aman digunakan
adalah boiler pipa air. Boiler pipa air dianggap aman karena resiko
penggunaan yang ditimbulkan tidak tinggi bila dibandingkan penggunaan
pipa api. Hal tersebut terkait dengan jumlah air yang relatif lebih sedikit
pada boiler pipa air sehingga uap yang dihasilkan lebih sedikit
dibandingkan dengan boiler pipa api. Tekanan operasi pada boiler pipa api
biasanya tidak lebih dari 200 psig, sedangkan tekanan pada boiler pipa air,
12
pada instalasi besar mencapai 2.000 psig. Hal ini berarti bahwa boiler pipa
air dapat dioperasikan pada tekanan 10 kali tekanan boiler pipa api.
2. Ketel Suling
Menurut Ketaren (1985), ketel suling adalah tempat bahan yang
akan disuling, di mana bahan dapat berhubungan langsung dengan air atau
dengan uap. Ketel suling umumnya berbentuk silinder dan terbuat dari seng
tebal (galvanized sheet metal), dilengkapi dengan penutup yang dapat
ditutup rapat. Prinsip kerja penyulingan dengan uap langsung adalah bahan
baku diletakkan di atas saringan di dalam ketel dan dialirkan uap dari
tempat yang berbeda (dari boiler) (Santoso, 1990).
Konstruksi ketel suling dengan metode uap langsung memiliki
kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan ketel suling pada metode
kukus. Perbandingan diameter ketel suling pada metode uap langsung
dengan tingginya sebaiknya 1 : 1,5 (Rusli, 2003). Hal ini dimaksudkan agar
uap dapat kontak lebih lama dengan bahan yang disuling. Hubungan antara
tinggi dan diameter ketel yang digunakan tergantung dari sifat porositas
bahan yang diolah. Ketel yang berukuran tinggi, baik digunakan untuk
menyuling bahan yang bersifat kamba. Ketel berukuran kecil lebih cocok
untuk menyuling bahan yang bersifat kompak. Pengisian ketel pun
sebaiknya tidak terlalu penuh atau sekitar 2/3 dari kapasitas ketel (Ketaren,
1985).
Ketel suling ini dilengkapi pula dengan saringan yang berfungsi
untuk menahan daun dan ranting nilam yang akan disuling. Uap air
dialirkan ke dalam ketel suling melalui pipa di bawah saringan penahan
bahan yang akan disuling. Pipa yang digunakan dapat berbentuk “+” atau
lingkaran dan diberi lubang-lubang kecil pada bagian atasnya (Rusli, 2003).
3. Pendingin (Kondensor)
Menurut Ketaren (1985), kondensor adalah alat yang berupa bak
atau tabung silinder dan di dalamnya terdapat pipa lurus atau berbentuk
spiral yang berfungsi untuk mengembunkan uap menjadi bentuk cair.
13
Kondensor terdiri atas beberapa tipe yaitu : lingkaran (coil), segi empat,
zigzag, dan banyak pipa (multitubular) (Rusli, 2003).
Perubahan fase uap menjadi fase cair disebut kondensasi. Saat
kondensasi terjadi perpindahan (pengeluaran) sejumlah panas dari fase uap.
Panas yang dikeluarkan untuk mengubah fase uap menjadi fase cair dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini :
Q = U x A x ∆T
Keterangan :
Q = panas yang dikeluarkan per satuan waktu (Btu/jam)
U = overall heat transfer coefficient (Btu/ft² jam °F)
A = luas permukaan pipa yang dilalui uap (ft²)
∆T = beda antara suhu uap dan suhu air pendingin (°F)
Harga U tergantung dari bentuk pipa. Jika pipa berbentuk coil maka
nilai U-nya = 40 Btu/ft² jam °F. Bila berbentuk tubular maka nilai U-nya =
200 Btu/ft² jam °F (Ketaren, 1985).
Pada sistem kondensor, suhu udara di sekeliling kondensor sangat
mempengaruhi suhu air dan panjang pipa dibuat antara 10 sampai 30 meter.
Cara pencairan uap yang paling sempurna adalah dengan mengalirkan air
pendingin berlawanan arah dengan aliran uap minyak (Harris, 1993).
4. Pemisah Minyak (Separator)
Menurut Lutony dan Rahmawati (1994), penampung hasil
kondensasi adalah alat untuk menampung distilat yang keluar dari
kondensor lalu memisahkan minyak dari air suling. Pada saat di dalam
separator penguapan dan kehilangan minyak dicegah dengan
mempertahankan suhu destilat dalam separator berkisar antara 20 ºC sampai
dengan 25 ºC (Ketaren, 1985). Namun demikian, menurut Santoso (1990),
suhu destilat hasil penyulingan diperbolehkan mencapai 40 – 45 °C. Hal
tersebut dikarenakan minyak nilam tidak terlalu volatil dibandingkan
minyak atsiri lainnya.
14
Separator pada sistem penyulingan dengan metode uap langsung
biasanya terdiri atas tiga ruangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pemisahan
minyak dapat dilakukan dengan sempurna (Rusli, 2003).
5. Bahan Peralatan Penyulingan
Cara penyulingan dan penanganan bahan baku tentunya dapat
mempengaruhi rendemen minyak nilam hasil sulingan. Namun demikian
bahan yang digunakan dalam pembuatan peralatan-peralatan penyulingan
juga mempunyai peranan dalam mempengaruhi mutu minyak hasil sulingan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan peralatan penyulingan
adalah logam yang digunakan untuk tempat bahan dan pipa pendingin coil
(Harris, 1993).
Logam yang digunakan untuk bahan peralatan penyulingan harus
tidak bereaksi dengan uap air dan uap minyak. Bila bereaksi atau
bersenyawa, hasil minyak akan rusak dan tidak laku dijual. Logam yang
terbukti tidak bereaksi atau bersenyawa dengan minyak atsiri adalah baja
tahan karat (stainless steel) dan kaca tahan panas. Logam-logam lainnya
seperti : alumunium, tembaga, timah putih, besi (Fe), dan seng ada yang
bereaksi dengan minyak atsiri tertentu, ada yang tidak, bergantung pada
jenis minyak yang disuling (Harris, 1993).
15
III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan dan Alat Uji Kinerja serta Efisiensi Sistem Penyulingan
a. Bahan
Bahan yang digunakan untuk meneliti uji kinerja dan efisiensi
sistem penyulingan adalah :
• Nilam kering dari Kuningan, Jawa Barat dengan umur simpan ≤ 7
hari sebagai bahan baku uji coba pada penelitian utama. Nilam
tersebut dipanen saat usia 4-6 bulan.
• Air pendingin digunakan untuk mengubah fase uap campuran
minyak dan air menjadi fase cair campuran minyak dan air.
• Kayu bakar digunakan sebagai bahan bakar di boiler.
b. Alat
Peralatan yang digunakan untuk meneliti uji kinerja dan efisiensi
sistem penyulingan terdiri dari peralatan proses penyulingan dan
peralatan pengukuran dalam proses penyulingan. Berikut ini skema
peralatan penyulingan :
Gambar 2. Skema peralatan penyulingan Separator
16
Peralatan pengukuran selama proses penyulingan di skala IKM
terdiri dari :
• Termometer alkohol dan raksa digunakan untuk mengukur suhu
destilat.
• Termometer digital digunakan untuk mengukur suhu air pendingin.
• Termometer infra red digunakan untuk mengukur suhu permukaan
alat-alat dalam sistem penyulingan.
• Timbangan digunakan untuk menimbang bobot nilam kering.
• Pompa air digunakan untuk mengalirkan air ke boiler dan bak
kondensor.
• Meteran digunakan untuk mengukur dimensi alat.
• Jangka sorong digunakan untuk mengukur diameter pipa.
• Pencatat waktu (Stopwatch).
• Gelas ukur 50 ml digunakan untuk menghitung laju destilat per 10
menit.
Peralatan pengukuran selama proses penyulingan menggunakan
alat penyulingan prototipe terdiri dari :
• Manometer/pressure gauge boiler digunakan untuk mengukur dan
mengontrol tekanan di boiler dengan kapasitas 5 bar gauge.
• Manometer/pressure gauge di ketel suling digunakan untuk
mengukur dan mengatur tekanan yang masuk ke dalam ketel suling
dengan kapasitas 2,5 bar gauge.
• Termometer alkohol dan raksa digunakan untuk mengukur suhu
destilat.
• Termometer digital digunakan untuk mengukur suhu air pendingin.
• Termometer infra red digunakan untuk mengukur suhu permukaan
alat-alat dalam sistem penyulingan.
• Timbangan digunakan untuk menimbang bobot nilam kering.
• Pompa air digunakan untuk mengalirkan air ke boiler dan bak
kondensor.
• Meteran digunakan untuk mengukur dimensi alat.
• Jangka sorong digunakan untuk mengukur diameter pipa.
17
• Pencatat waktu (Stopwatch).
• Labu pemisah digunakan untuk memisahkan minyak dengan air pada
saat setelah proses penyulingan.
• Gelas ukur 50 ml digunakan untuk menghitung laju destilat per 10
menit.
2. Bahan dan Alat Uji Mutu Minyak Nilam Hasil Penyulingan
a. Bahan
Bahan yang digunakan untuk menguji mutu minyak nilam hasil
penyulingan antara lain : Na-sulfat anhidrat, etanol 90%, etanol 95 %,
indikator PP, larutan KOH 0.1 N, larutan KOH 0.5 N, dan larutan HCl
0.5 N.
b. Alat
Peralatan yang akan digunakan dalam analisa mutu minyak nilam
terdiri dari :
• Timbangan analitik digunakan untuk menimbang sampel baik
minyak nilam, kayu bakar, dan nilam kering dengan ketelitian empat
angka di belakang koma.
• Clavenger digunakan untuk membaca volume minyak yang tersuling
dalam uji kadar minyak nilam kering.
• Aufhauser digunakan untuk membaca volume air yang tersuling
dalam pengujian kadar air nilam kering.
• Oven digunakan dalam pengujian kadar air kayu bakar.
• Heating Mantel digunakan sebagai pengganti penangas dalam
pengujian kadar minyak nilam kering.
• Penangas air digunakan sebagai pemanas dalam pengujian kadar air
dan bilangan ester.
• Sirkulator digunakan untuk menyirkulasikan air pendingin yang
digunakan dalam pengujian kadar air dan kadar minyak nilam kering
serta pengujian bilangan ester minyak nilam.
18
• Kondensor digunakan sebagai pendingin pada pengujian kadar air
dan kadar minyak nilam kering serta pengujian bilangan ester.
• Sudip digunakan untuk menuangkan Na-sulfat anhidrat.
• Alumunium foil digunakan sebagai pengganti cawan alumunium
dalam uji kadar air kayu bakar.
• Kain monel digunakan untuk menyaring minyak yang telah
dimurnikan dengan Na-sulfat anhidrat.
• Polarimeter digunakan dalam pengukuran putaran optik minyak
nilam.
• Refraktometer digunakan dalam pengukuran indeks bias minyak
nilam.
• Piknometer digunakan untuk mengukur bobot jenis minyak nilam.
• Peralatan analisis gelas minyak atsiri terdiri dari : termometer
alkohol, buret, gelas ukur 10 ml, gelas ukur 25 ml, gelas ukur 50 ml,
gelas ukur 250 ml, gelas piala 250 ml, labu erlenmeyer 300 ml, labu
erlenmeyer 500 ml, pipet tetes, botol penampung, corong, labu
distilasi 1000 ml, dan pipet tetes.
B. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat yaitu penyulingan rakyat skala
IKM (Industri Kecil Menengah) di Cibeureum, Kuningan dan Laboratorium
Teknologi Industri Pertanian Leuwikopo, Bogor. Penelitian ini dilaksanakan
mulai 8 Maret 2008 sampai dengan 10 Juli 2008.
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini terdiri dari dua tahapan yaitu :
1. Penelitian Pendahuluan
a. Studi Kinerja Penyulingan Minyak Nilam IKM
Kegiatan studi kinerja penyulingan dilakukan untuk mengamati
proses penyulingan yang dilakukan di masyarakat. Studi kinerja
dilakukan di tempat penyulingan minyak nilam skala IKM (Industri
19
Kecil Menengah) di desa Sumur Wiru, Cibeureum, Kuningan. Kegiatan
studi kinerja juga meliputi :
1. Pengamatan kondisi proses dan disain alat penyulingan IKM secara
keseluruhan. Hal ini ditinjau dari parameter tekanan proses
penyulingan, waktu penyulingan, dan disain alat-alat penyulingan
yang digunakan.
2. Pengambilan data selama proses penyulingan di IKM. Data yang
diperlukan berupa bobot kayu bakar yang digunakan, bobot nilam
yang disuling, suhu-suhu permukaan alat-alat penyulingan, dimensi
alat, laju penyulingan/destilat, lama waktu penyulingan, jumlah
minyak yang diperoleh, dan suhu destilat.
3. Pengamatan dan penghitungan kinerja serta efisiensi alat-alat
penyulingan berdasarkan disain dan proses.
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung kehilangan
panas dan efisiensi alat-alat penyulingan sebagai berikut :
• Persamaan Energi yang Disuplai Kayu Bakar :
Qin (MJ) = massa kayu (K.a = 20 %) (kg) x nilai kalor kayu bakar (MJ/kg)
Keterangan :
Nilai kalor kayu bakar (K.a = 20 %) = 19,40 MJ/kg (Abdurahim, et
al., 1989)
• Persamaan Energi Uap yang Dihasilkan (Zemansky, 1982):
Qout = ma x cpa x (Td – Tin) + ma x La Keterangan :
Qout = Energi uap yang dihasilkan (Joule)
ma = Massa air yang diuapkan (kg)
cpa = Kapasitas kalor jenis air (4.190 joule/kg K)
Tin = Suhu air awal (K)
Td = Suhu air berubah menjadi uap (K)
La = Panas laten air (2.256.000 joule/kg)
20
• Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Boiler - Ketel
(Zemansky, 1982) :
Q = (Tpa – Tu) x Apa x c((Tpa – Tu)/dpa)0,25
Keterangan :
Tpa = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju ke ketel (K)
Tu = Suhu udara (K)
Apa = Luas permukaan pipa menuju ke ketel (m²)
dpa = Rata-rata diameter pipa menuju ke ketel (m)
c = Koefisien konveksi alamiah udara pipa boiler-ketel (kal/s m² K)
Q = Energi yang hilang di pipa menuju ketel (joule)
• Persamaan Kehilangan Panas di Tutup Ketel (Zemansky, 1982) :
Q = (Tt - Tu) x At x a(Tt - Tu)0,25
Keterangan :
Tt = Suhu yang terukur di permukaan tutup ketel (K)
Tu = Suhu udara (K)
At = Luas permukaan tutup ketel (m²)
a = Koefisien konveksi alamiah udara pelat hadap atas (kal/s m² K)
Q = Energi yang hilang di tutup ketel (joule)
• Persamaan Kehilangan Panas di Dinding Ketel (Zemansky, 1982) :
Q = (Td – Tu) x Ad x b((Td – Tu)/dk)0,25
Keterangan :
Td = Suhu yang terukur di permukaan dinding ketel (K)
Tu = Suhu udara (K)
Ad = Luas permukaan dinding ketel (m²)
dk = Diameter ketel suling (m²)
b = Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/s m² K)
Q = Energi yang hilang di dinding ketel (joule)
21
• Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Ketel –
Kondensor (Zemansky, 1982) :
Q = (Tpb – Tu) x Apb x e((Tpb – Tu)/dpb)0,25
Keterangan :
Tpb = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju kondensor (K)
Tu = Suhu udara (K)
Apb = Luas permukaan pipa menuju kondensor (m²)
dpb = Rata-rata diameter pipa menuju kondensor (m)
e = Koefisien konveksi alamiah udara pipa ketel-kondensor (kal/s m²
K)
Q = Energi yang hilang di pipa menuju kondensor (joule)
• Persamaan Energi yang Diserap Air Pendingin (Ketaren, 1985):
Q = U x A x ∆T
Keterangan :
Q = Energi yang diserap air pendingin (joule)
U = Overall heat transfer coefficient (817.653,39 joule/m² jam K)
A = Luas permukaan pindah panas kondensor (m²)
∆T = Selisih suhu uap dengan suhu air pendingin (K)
• Persamaan Efisiensi Boiler :
ξ = Qout x 100 % Qin
Keterangan :
Qout = Energi uap yang dihasilkan (MJ)
Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ)
• Persamaan Efisiensi Ketel :
ξ = Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qb - QL
Qout = Qin - Qk
22
Keterangan :
Qb = Q dari boiler (MJ)
QL= Loss energi di pipa boiler-ketel (MJ)
Qk = Loss energi di keseluruhan ketel (MJ)
• Persamaan Efisiensi Kondensor :
ξ = Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qok - Qkk
Qout = Q yang diserap air pendingin
Keterangan :
Qok = Q keluar ketel (MJ)
Qkk = Loss energi di pipa ketel-kondensor (MJ)
• Persamaan Total Efisiensi Proses Penyulingan :
ξ = Qout x 100 % Qin
Qout = Energi yang diserap air pendingin (MJ)
Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ)
b. Uji Kosong Prototipe Alat-alat Penyulingan
Uji kosong dilakukan dengan dua cara yaitu uji kosong tanpa
bahan dan uji kosong dengan bahan (ampas). Masing-masing uji kosong
tersebut memiliki tujuan tertentu. Uji kosong tanpa bahan dimaksudkan
untuk memeriksa ada atau tidaknya kebocoran pada alat. Uji kosong
dengan bahan (ampas) dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi
penyulingan sesuai dengan yang diinginkan.
2. Penelitian Utama
Penelitian utama ini dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu
tahapan analisa kadar air dan kadar minyak nilam, proses penyulingan,
pembandingan efisiensi energi peralatan penyulingan skala IKM dengan
23
prototipe pemurnian minyak hasil penyulingan, dan analisa mutu minyak
hasil penyulingan. Kegiatan penelitian utama secara umum dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3. Alur kegiatan penelitian utama
a. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak Nilam
Analisa kadar air digunakan untuk memeriksa kadar air nilam
kering pada saat sebelum dan sesudah proses penyulingan. Pengujian
kadar air digunakan untuk menentukan perhitungan kadar minyak nilam
basis kering. Menurut Santoso (1990) kadar air nilam kering yang
Pengeringan
Perajangan (± 5 cm)
Analisa kadar air dan kadar minyak
Proses Penyulingan dengan P = 0,5 bar; 1 bar; 1,5 bar gauge
T = 6 jam
Pemurnian minyak dari air dengan Na-sulfat
anhidrat
Analisa kadar air dan kadar minyak
Analisa mutu minyak
Nilam basah
Nilam kering
Minyak nilam Ampas nilam
24
diharapkan untuk proses penyulingan 12-15 % (wb). Bila kadar air nilam
telah sesuai maka proses penyulingan dapat dilaksanakan. Gambar alat
analisa kadar air nilam yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 5
dan perhitungan serta prosedur analisa kadar air nilam terdapat dalam
Lampiran 4.
Analisa kadar minyak sebelum dan sesudah proses penyulingan
ditujukan untuk mengetahui jumlah kandungan minyak yang terdapat
dalam nilam. Gambar alat analisa kadar minyak nilam yang digunakan
dapat dilihat pada Lampiran 5 dan perhitungan serta prosedur analisa
kadar minyak nilam terdapat dalam Lampiran 4.
b. Proses Penyulingan Minyak Nilam
Proses penyulingan minyak nilam dalam penelitian ini dilakukan
selama 6 jam. Pada saat proses penyulingan dilakukan tiga tahapan
perlakuan yang berdasarkan tekanan dalam ketel suling yaitu :
1. Menit ke-0 sampai menit ke-60, tekanan dalam ketel suling 0,5 bar.
2. Menit ke-61 sampai menit ke-180, tekanan dalam ketel suling 1 bar.
3. Menit ke-181 sampai menit ke-360, tekanan dalam ketel suling 1,5
bar.
Selama proses penyulingan dilakukan pengamatan beberapa
parameter seperti :
1. Pengamatan kinerja prototipe alat-alat penyulingan berdasarkan
disain.
2. Pengamatan kinerja prototipe alat-alat penyulingan berdasarkan
proses.
3. Pengambilan data proses penyulingan dengan perlatan prototipe per
30 menit. Data yang diperlukan berupa bobot kayu bakar yang
digunakan, bobot nilam yang disuling, dimensi alat, suhu-suhu
permukaan alat penyulingan, laju penyulingan atau destilat, suhu
destilat, tekanan yang diterapkan, lama waktu penyulingan, dan
jumlah minyak yang diperoleh.
4. Penghitungan efisiensi prototipe alat-alat penyulingan.
25
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam menghitung kehilangan
panas dan efisiensi alat-alat penyulingan sebagai berikut :
• Persamaan Energi yang Disuplai Kayu Bakar :
Qin (MJ) = massa kayu (K.a = 20 %) (kg) x nilai kalor kayu bakar (MJ/kg)
Keterangan :
Nilai kalor kayu bakar (K.a = 20 %) = 19,40 MJ/kg (Abdurahim, et
al., 1989)
• Persamaan Energi Uap yang Dihasilkan (Zemansky, 1982):
Qout = ma x cpa x (Td – Tin) + ma x La + mu x cpu x (Tu – Td)
Keterangan :
Qout = Energi uap yang dihasilkan (Joule)
ma = Massa air yang diuapkan (kg)
mu = Massa uap (kg)
cpa = Kapasitas kalor jenis air (4.190 joule/kg K)
cpu = Kapasitsa kalor jenis uap (2.010 joule/kg K)
Tin = Suhu air awal (K)
Td = Suhu air berubah menjadi uap (K)
Tu = Suhu uap (K)
La = Panas laten air (2.256.000 joule/kg)
• Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Boiler - Ketel
(Zemansky, 1982) :
Q = (Tpa – Tu) x Apa x c((Tpa – Tu)/dpa)0,25
Keterangan :
Tpa = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju ke ketel (K)
Tu = Suhu udara (K)
Apa = Luas permukaan pipa menuju ke ketel (m²)
dpa = Rata-rata diameter pipa menuju ke ketel (m)
c = Koefisien konveksi alamiah udara pipa boiler-ketel (kal/s m² K)
Q = Energi yang hilang di pipa menuju ketel (joule)
26
• Persamaan Kehilangan Panas di Tutup Ketel (Zemansky, 1982) :
Q = (Tt - Tu) x At x a(Tt - Tu)0,25
Keterangan :
Tt = Suhu yang terukur di permukaan tutup ketel (K)
Tu = Suhu udara (K)
At = Luas permukaan tutup ketel (m²)
a = Koefisien konveksi alamiah udara pelat hadap atas (kal/s m² K)
Q = Energi yang hilang di tutup ketel (joule)
• Persamaan Kehilangan Panas di Dinding Ketel (Zemansky, 1982) :
Q = (Td – Tu) x Ad x b((Td – Tu)/dk)0,25
Keterangan :
Td = Suhu yang terukur di permukaan dinding ketel (K)
Tu = Suhu udara (K)
Ad = Luas permukaan dinding ketel (m²)
dk = Diameter ketel suling (m²)
b = Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/s m² K)
Q = Energi yang hilang di dinding ketel (joule)
• Persamaan Kehilangan Panas di Glasswool (Zemansky, 1982) :
Q = (Tg – Tu) x Ag x c((Tg – Tu)/dg)0,25
Keterangan :
Tg = Suhu yang terukur di permukaan glasswool (K)
Tu = Suhu udara (K)
Ag = Luas permukaan glasswool (m²)
dg = Diameter glasswool (m²)
c = Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/sm² °C)
Q = Energi yang hilang di glasswool (joule)
• Persamaan Kehilangan Panas di Bodem Ketel (Zemansky, 1982) :
Q = (Tm - Tu) x Am x e(Tm - Tu)0,25
27
Keterangan :
Tm = Suhu yang terukur di bodem (K)
Tu = Suhu udara (K)
Am = Luas permukaan bodem (m²)
e = Koefisien konveksi alamiah udara hadap bawah (kal/sm² ºC)
Q = Energi yang hilang di bodem (joule)
• Persamaan Kehilangan Panas di Pipa Penghubung Ketel –
Kondensor (Zemansky, 1982) :
Q = (Tpb – Tu) x Apb x e((Tpb – Tu)/dpb)0,25
Keterangan :
Tpb = Suhu yang terukur di permukaan pipa menuju kondensor (K)
Tu = Suhu udara (K)
Apb = Luas permukaan pipa menuju kondensor (m²)
dpb = Rata-rata diameter pipa menuju kondensor (m)
e = Koefisien konveksi alamiah udara pipa ketel-kondensor (kal/s
m² K)
Q = Energi yang hilang di pipa menuju kondensor (joule)
• Persamaan Energi yang Diserap Air Pendingin (Ketaren, 1985):
Q = U x A x ∆T
Keterangan :
Q = Energi yang diserap air pendingin (joule)
U = Overall heat transfer coefficient (817.653,39 joule/m² jam K)
A = Luas permukaan pindah panas kondensor (m²)
∆T = Selisih suhu uap dengan suhu air pendingin (K)
• Persamaan Efisiensi Boiler :
ξ = Qout x 100 % Qin
Keterangan :
Qout = Energi uap yang dihasilkan (MJ)
28
Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ)
• Persamaan Efisiensi Ketel :
ξ = Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qb - QL
Qout = Qin - Qk
Keterangan :
Qb = Q dari boiler (MJ)
QL= Loss energi di pipa boiler-ketel (MJ)
Qk = Loss energi di keseluruhan ketel (MJ)
• Persamaan Efisiensi Kondensor :
ξ = Qout x 100 % Qin
Di mana, Qin = Qok - Qkk
Qout = Q yang diserap air pendingin
Keterangan :
Qok = Q keluar ketel (MJ)
Qkk = Loss energi di pipa ketel-kondensor (MJ)
• Persamaan Total Efisiensi Proses Penyulingan :
ξ = Qout x 100 % Qin
Qout = Energi yang diserap air pendingin (MJ)
Qin = Energi yang disuplai kayu bakar (MJ)
c. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe
Pembandingan efisiensi peralatan penyulingan skala IKM dapat
dilakukan bila penghitungan masing-masing alat baik di IKM maupun
prototipe telah diselesaikan. Dengan demikian, dapat diketahui sistem
penyulingan yang lebih efisien baik dari segi disain maupun prosesnya.
29
d. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan
Minyak nilam yang diperoleh dari hasil penyulingan masih
mengandung air. Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisa mutu
minyak nilam, maka diperlukan proses pemurnian minyak dari air.
Pemurnian minyak ini ditujukan agar selama proses pengujian mutu
minyak, minyak tidak rusak karena pengaruh hidrolisis air.
Pemurnian minyak nilam dari air menggunakan bahan kimia Na-
sulfat anhidrat sebagai berikut :
Gambar 4. Skema pemurnian minyak nilam
Na-sulfat anhidrat ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam minyak
nilam sambil dikocok. Minyak nilam yang telah murni dari air akan
tampak jernih.
e. Analisa Mutu Minyak Hasil Penyulingan IKM dan Prototipe
Analisa mutu minyak hasil penyulingan dilakukan setelah minyak
murni dari air. Hal tersebut ditandai dengan penampakan minyak yang
jernih. Analisa mutu minyak yang dilakukan mengacu pada SNI 06-
2385-2006. Analisa mutu minyak hasil penyulingan meliputi pengujian
warna, rendemen, kelarutan dalam alkohol 90 %, bilangan asam,
bilangan ester, indeks bias, putaran optik, dan bobot jenis. Prosedur
analisa mutu minyak hasil penyulingan ini terdapat pada Lampiran 4.
Minyak nilam (masih terdapat air) + Na-sulfat anhidrat
Minyak nilam (tanpa air)
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. STUDI KINERJA PENYULINGAN MNYAK NILAM IKM
1. Kondisi Proses dan Disain Alat Penyulingan IKM Secara Umum
Kondisi proses dan disain alat yang digunakan pada penyulingan
skala IKM masih sederhana secara umum. Kesederhanaan tersebut
menjadikan proses penyulingan kurang efisien. Peralatan penyulingan
yang digunakan dalam sistem penyulingan skala IKM terdiri dari boiler,
ketel suling, kondensor, dan separator. Selain itu, pada ketel suling IKM
tidak terdapat bahan penyekat panas yang keluar dari ketel suling.
Proses penyulingan di skala IKM dilakukan selama 8 jam. Satu
kali proses penyulingan rata-rata membutuhkan kayu bakar sebagai bahan
bakar sebanyak 369,3 kg (wb). Kapasitas maksimal ketel suling skala IKM
sedikit lebih kecil daripada prototipe yaitu sebesar 100 kg. Namun, pada
pelaksanaan penyulingan pengisian daun dan ranting nilam sering melebihi
kapasitas maksimal dari ketel suling. Suhu destilat yang dihasilkan lebih
tinggi daripada prototipe sebesar 35,91 °C. Suhu destilat pada skala IKM
tersebut masih diperbolehkan menurut Santoso (1990).
Pada boiler IKM tidak terdapat katup pengatur keluarnya uap air
sehingga uap air yang terbentuk langsung mengalir ke ketel suling.
Dengan demikian, tekanan uap air dalam boiler relatif rendah. Selain itu,
pada pipa penghubung antara ketel suling dengan kondensor tidak terdapat
katup pengatur keluarnya uap dari ketel suling sehingga laju destilat tidak
dapat diatur dan fluktuatif. Rata-rata laju destilat pada penyulingan skala
IKM sebesar 0,26 liter/kg jam. Menurut Suryani et al. (2007), laju destilat
yang optimal untuk proses penyulingan sebesar 0,6 liter/kg jam.
2. Kinerja dan Efisiensi Disain Alat Penyulingan IKM
a. Boiler Skala IKM
Boiler pada sistem penyulingan minyak nilam skala IKM,
digunakan sebagai sumber energi panas berupa steam dari air yang
31
berada dalam boiler. Tungku yang digunakan terbuat dari batu bata
sedangkan boiler terbuat dari drum seng. Boiler yang digunakan
berbentuk silinder berdiameter 80 cm dan panjangnya 130 cm. Pengisian
boiler sebelum penyulingan sebanyak 367,5 liter atau setara dengan
56,27 % dari 653,12 liter kapasitas maksimal boiler. Jumlah rata-rata air
yang diuapkan di boiler selama proses penyulingan sebesar 446 liter.
Sketsa disain boiler skala IKM dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Sketsa disain boiler skala IKM (tampak depan) : (a) Boiler, (b) Tungku, (c) Ruang pembakaran, (d) cerobong
Prinsip kerja boiler skala IKM yaitu, api hasil pembakaran dalam
tungku memanaskan air dalam boiler yang berada tepat di atas tungku.
Pemanasan tersebut menghasilkan uap air (Santoso, 1990).
a
b c
d
950 mm
300 mm
1100 mm
800 mm
1390 mm 1240 mm
800 mm
150 mm
32
Berdasarkan sketsa disain tampak depan tungku dan boiler skala
IKM di atas, api dalam tungku hanya mengenai bagian bawah boiler.
Rata-rata suhu tertinggi pada permukaan boiler sebesar 178,5 °C. Rata-
rata suhu tertinggi pada permukaan tungku pembakarannya sebesar 59,94
°C. Pindah panas paling besar pada saat pemasakan air menjadi uap air,
terjadi hanya di bagian bawah boiler. Api menghantarkan panas ke air
dalam boiler melalui dinding bawah boiler secara konduksi. Perpindahan
panas secara konduksi tersebut dikarenakan adanya penghantar berupa
padatan yaitu dinding boiler (McCabe, 2005). Kemudian air bagian
bawah boiler menghantarkan panas secara konveksi ke air bagian atas
dalam boiler. Menurut Kulshresta (1989), perpindahan panas pada fluida
terjadi secara konveksi. Fenomena ini akan diperjelas dalam Gambar 6.
Pada Gambar 6, luas permukaan pindah panas separuh bagian dari
boiler. Data-data luas permukaan pindah panas, jumlah air yang
diuapkan, dan rata-rata penggunaan air setiap jam pada boiler dapat
dilihat dalam Tabel 3.
Gambar 6. Fenomena pemasakan air dalam boiler IKM (tampak depan) : (a) air dalam boiler, (b) aliran panas api, (c) luas permukaan pindah panas boiler, (d) tungku, (e) ruang pembakaran di tungku
a
b
c
d
e
API
33
Tabel 3. Data luas permukaan pindah panas dan uap air yang dihasilkan penyulingan IKM
No. Keterangan Satuan
1. Luas permukaan pindah panas boiler 1,63 m²
2. Jumlah air yang diuapkan dalam proses 446 liter
3. Lama waktu penyulingan 8 jam
4. Uap air yang dihasilkan per jam 34,2 liter/m²
Luas permukaan pindah panas boiler sebesar 1,63 m² dapat
menguapkan 446 liter air dalam waktu 8 jam. Oleh karena itu, dalam
waktu satu jam rata-rata air yang dapat diuapkan dengan menggunakan
boiler IKM sebesar 34,2 liter untuk satu m². Namun demikian, uap air
yang diuapkan berfluktuasi setiap jamnya. Hal ini dikarenakan jumlah
panas dari api dalam tungku fluktuatif, tergantung dari kestabilan api.
Uap air yang dihasilkan bisa lebih besar dari 34,2 liter/m²/jam,
bila nyala api sangat besar. Nyala api yang sangat besar dapat diperoleh
saat jumlah kayu bakar dalam tungku masih banyak dan cukup kering.
Kayu bakar yang digunakan memiliki kadar air rata-rata 62,4 %
sedangkan rata-rata kadar air maksimal kayu bakar sebesar 85 %
(Abdurahim, et al., 1989). Bila jumlah kayu dalam tungku pembakaran
semakin sedikit, maka nyala api akan semakin mengecil. Bila api
mengecil maka energi panasnya berkurang dan uap air yang dihasilkan
bisa menurun, kurang dari 34,2 liter/m²/jam.
Kestabilan api dalam tungku terkait dengan sirkulasi oksigen di
dalam tungku. Adanya oksigen dapat membantu pembakaran kayu
sebagai bahan bakar dalam tungku skala IKM. Oksigen dalam tungku
skala IKM diperoleh dari satu arah yaitu pintu pemasukan kayu. Sirkulasi
oksigen dalam tungku dapat dilihat dalam Gambar 7.
34
Gambar 7. Sirkulasi oksigen dalam tungku skala IKM (tampak atas) : (a) ruang pembakaran, (b) pintu pemasukan kayu bakar (pintu tungku)
Sirkulasi oksigen dimulai dari pintu tungku, kemudian oksigen
mengalir ke arah belakang ruang tungku (Gambar 7). Oksigen dapat
mencapai bagian belakang tungku bila tidak terhalang kayu bakar yang
diletakkan setelah pintu tungku. Bila aliran oksigen ke arah belakang
tungku terhalang, maka api akan sulit menjalar ke kayu bakar yang
diletakkan di bagian belakang. Penjalaran api akan semakin sulit jika
kadar air dalam kayu cukup tinggi. Oleh karena itu, bagian belakang
tungku terkadang terdapat sisa-sisa pembakaran berupa arang.
Ketidakstabilan nyala api dalam tungku tentunya akan
mempengaruhi fluktuasi jumlah uap air yang terbentuk di dalam boiler.
Kestabilan nyala api dalam tungku dapat dilihat dari fluktuasi suhu yang
terukur pada dinding tungku di Lampiran 1.
Selain itu, ketidakstabilan nyala api yang berakibat terhadap
fluktuasi jumlah uap air dapat dilihat berdasarkan fluktuasi jumlah
destilat yang dihasilkan. Fluktuasi jumlah destilat tersebut dapat dilihat
dalam Gambar 8 dan Lampiran 1.
A
B
35
34.07
55.8451.97
43.79
16.88
31.91
52.27
29.16
0
10
20
30
40
50
60
1 2 3 4 5 6 7 8
Jam ke-
Laju destilat (liter/jam)
Gambar 8. Fluktuasi jumlah destilat terhadap waktu
Jumlah destilat pada awal proses penyulingan yaitu jam pertama
sebesar 34,07 liter, lebih kecil dari jumlah destilat pada jam kedua yaitu
sebesar 55,84 liter. Hal ini dikarenakan panas yang digunakan dari api
dalam tungku, belum dapat digunakan secara keseluruhan untuk
memproduksi uap air. Panas dari api tungku pada jam pertama, selain
digunakan untuk memproduksi uap air juga digunakan untuk
memanaskan dinding boiler atau menaikkan suhu lingkungan di sekitar
(dinding-dinding boiler).
Kestabilan nyala api dalam tungku tidak dijaga sehingga jumlah
destilat setelah jam kedua menurun. Hal ini dikarenakan nyala api
semakin mengecil. Penurunan signifikan jumlah destilat terjadi dari jam
keempat menuju jam kelima. Hal tersebut dikarenakan adanya pengisian
air ke dalam boiler. Dengan demikian suhu dalam boiler menurun dan
produksi steam ikut menurun. Hal tersebut dapat dilihat dalam Lampiran
1, di mana suhu bagian atas tungku juga menurun secara signifikan pada
menit ke-270.
b. Ketel Suling Skala IKM
Ketel suling yang digunakan pada skala IKM memiliki model
yang hampir sama dengan prototipe ketel suling. Ketel suling skala IKM
36
memiliki diameter 98 cm, tinggi keseluruhan 153 cm, dan tinggi saringan
dari bibir ketel 133 cm. Perbandingan diameter dengan tinggi ketel suling
dari atas saringan yaitu 1 : 1,36. Kapasitas maksimal ketel suling tersebut
1.002,7 liter. Baut pengunci tutup ketel sebanyak 10 baut. Pada tutup
ketel tidak terdapat penyekat dan tidak terdapat glasswool atau penahan
panas lainnya di dinding ketel suling. Namun pada bagian bawah ketel
dipendam dalam lapisan semen. Hal tersebut tentunya dapat mengurangi
energi panas yang hilang dari bagian bodem (bawah) ketel. Sketsa ketel
suling skala IKM dapat dilihat pada Gambar 9.
Prinsip kerja dari ketel suling ini yaitu uap air yang berasal dari
boiler masuk ke dalam ketel melalui pipa di bawah saringan (Santoso,
1990). Pipa di bawah saringan yang digunakan untuk memasukkan uap
air berbentuk melingkar agar uap air yang dialirkan dapat merata (Rusli,
2003). Uap air tersebut berpenetrasi ke dalam nilam kering dan
membantu keluarnya minyak dari kantung-kantung minyak pada jaringan
terna nilam. Minyak yang keluar berbentuk campuran uap air dengan
minyak (Ketaren, 1987).
Gambar 9. Ketel suling skala IKM : (a) tutup ketel, (b) dinding ketel, (c)
bagian bawah ketel yang tertanam dalam lapisan semen.
150 mm
980 mm
1330 mm
200 mm
1280 mm
a
b
c
37
Berdasarkan disain ketel suling skala IKM di atas, kinerja ketel
dari segi disain dapat diukur dari kemampuan disain ketel tersebut
mempertahankan panas dan mempenetrasikan uap di dalam ketel.
Kemampuan disain ketel suling skala IKM dalam mempertahankan panas
masih cukup rendah. Hal ini dikarenakan adanya kebocoran pada disain
ketel suling tersebut (Fatahna, 2005). Kebocoran terjadi di sela-sela tutup
ketel dengan bibir ketel. Selain itu, tidak adanya penggunaan penahan
panas pada dinding ketel, tentunya akan memperbesar kehilangan energi
panas dari ketel suling.
Kehilangan panas dalam ketel dapat mengakibatkan uap di dalam
ketel lebih cepat terkondensasi, sehingga kemungkinan terjadinya
kehilangan uap air semakin besar. Indikator kehilangan panas dapat
diukur dari fluktuasi suhu yang terukur di permukaan bagian luar ketel.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 1. Semakin besar suhu yang
terukur, maka kehilangan panas pada permukaan bagian tersebut semakin
besar. Hal ini disebabkan panas berpindah dari suhu yang tinggi ke suhu
yang lebih rendah (McCabe, 2005). Namun demikian, jumlah kehilangan
panas pada suatu bagian ketel tidak hanya ditentukan oleh suhu yang
terukur saja, tetapi juga luas permukaan pindah panas bagian ketel
tersebut (Zemansky, 1982). Hal ini akan diperjelas dengan Tabel 4.
Tabel 4. Keterkaitan luas permukaan pindah panas dengan kehilangan
panas ketel
No. Keterangan Tutup Ketel Dinding ketel
1. Luas permukaan pindah panas
ketel 1,05 m² 4,71 m²
2. Total kehilangan panas selama 8
jam 10,23 MJ 48,79 MJ
3. Rata-rata kehilangan panas/jam 1,28 MJ 6,10 MJ
Tabel 4 menunjukkan bahwa luas permukaan pindah panas
dinding ketel lebih besar 4,49 kali dari luas permukaan pindah panas
38
5.396.36 6.40 6.25 6.11 5.84
6.36 6.076.29
7.76 7.80 7.65 7.436.85
7.77 7.46
1.40 1.331.390.90
1.41 1.01 1.41 1.39
0123456789
1 2 3 4 5 6 7 8
Jam ke-
Kehilangan panas
(MJ/jam)
TutupDindingTutup dan Dinding
tutup ketel. Begitu pula dengan perbedaan total kehilangan panas di
dinding ketel lebih besar 4,77 kali dari tutup ketel yaitu sebesar 48,79
MJ. Kehilangan panas per 30 menit dapat lihat dalam Gambar 10 serta
Lampiran 3.
Tutup ketel memiliki suhu yang lebih tinggi daripada dinding
ketel. Namun kehilangan panas pada tutup ketel lebih kecil daripada
dinding ketel seperti terlihat dalam Gambar 10 dan Lampiran 3. Hal ini
disebabkan luas permukaan pindah panas pada tutup ketel hanya sebesar
1,05 m², sedangkan luas permukaan pindah panas pada dinding ketel
sebesar 4,71 m². Dengan demikian, kehilangan energi panas pada bagian
ketel skala IKM sangat dipengaruhi luas permukaan pindah panas tiap
bagian ketel bukan pada suhu yang terukur pada setiap bagian ketel.
Gambar 10. Fluktuasi kehilangan panas pada ketel suling skala IKM
Suhu tutup ketel yang terukur lebih tinggi daripada suhu dinding
ketel. Data lebih rinci terkait dapat dilihat dalam Lampiran 1. Hal ini
terkait dengan pola aliran penetrasi uap di dalam ketel, di mana uap akan
mengalir dari bagian bawah ketel ke bagian atas ketel, tepatnya menuju
tutup ketel. Pola aliran penetrasi uap dapat dilihat pada Gambar 11.
39
Gambar 11. Fenomena arah penetrasi uap dalam ketel IKM : (a) masuknya uap dari boiler, (b) uap yang keluar dari ketel, (c) pipa penyalur uap
Uap dari bagian bawah saringan ketel akan mengalir dan
berpenetrasi ke dalam nilam kering yang berada di atas saringan ketel.
Suhu tutup ketel menjadi lebih tinggi daripada dinding ketel karena
steam akan terakumulasi di bagian atas yaitu tutup ketel.
c. Kondensor Skala IKM
Kondensor pada penyulingan skala IKM di Kuningan memiliki
bentuk serupa dengan prototipe kondensor di Leuwikopo yaitu berbentuk
coil. Namun dimensi kondensor yang digunakan tidak dapat diketahui
dengan pasti karena kondensor ditempatkan pada bak pendingin
permanen yang tertutup. Luas permukaan pindah panas kondensor IKM
sebesar 2,29 m². Perhitungan luas permukaan pindah panas kondensor
IKM diperoleh dari rumus :
Q = U x A x ∆T
Q yang digunakan sebesar 1.059,27 MJ. Nilai energi tersebut
diperoleh dari energi uap yang masuk ke dalam ketel dikurangi dengan
kehilangan panas yang terjadi pada pipa-pipa penghubung dan pada
bagian ketel itu sendiri. Nilai ∆T diperoleh dari rata-rata selisih suhu uap
a c
b
40
dengan air pendingin. Nilai ∆T yang digunakan sebesar 53,48 °C. Nilai U
yang digunakan untuk menghitung luas permukaan pindah panas
kondensor (A) sebesar 40 Btu/ft² hour °F atau setara dengan 817.653,4
joule/m² jam °C (Ketaren, 1985).
Bak pendingin yang digunakan memiliki panjang 2,5 meter, lebar
2,5 meter, dan tinggi 1,7 meter. Diameter kondensor di dalam bak
kondensor 1,8 meter, sedangkan diameter pipa kondensor 1 inchi dan 1,5
inchi dengan panjang masing-masing 2,03 meter. Kondensor ini
berfungsi untuk mengubah campuran uap air dan uap minyak (Ketaren,
1987).
Menurut Santoso (1990), kinerja kondensor dari segi disain
ditentukan oleh : luas penampang pindah panas kondensor. Luas
penampang pindah panas kondensor ini terkait dengan panjang dan
diameter pipa kondensor.
Kapasitas bak pendingin yang digunakan dalam sistem
penyulingan skala IKM lebih besar dari prototipe bak pendingin yaitu
sebesar 10.625 liter. Walaupun kapasitas bak pendingin cukup besar,
namun pengisiannya tidak sampai batas kapasitas maksimalnya.
Pengisian air pendingin hanya sebesar 6.163,2 liter. Penggunaan air
pendingin sebanyak 6.163,2 liter menghasilkan suhu rata-rata destilat
sebesar 35,91 °C. Suhu rata-rata destilat pada skala IKM sudah memadai.
Dengan demikian, pindah panas pada kondensor skala IKM dapat
dianggap telah memadai.
Bila air pendingin yang digunakan jumlahnya terlalu besar dan
luas permukaan pindah panas pipa kondensor kecil, maka energi panas
yang diserap air pendingin dari pipa kondensor semakin kecil. Dengan
demikian, efisiensi kondensor akan semakin kecil. Hal tersebut didukung
dengan persamaan :
Q = U x A x ∆T Dimana, Q = panas yang dibebaskan (joule)
U = overall heat transfer coefficient (joule/m² jam K)
A = luas penampang pindah panas kondensor (m²)
41
∆T = perbedaan suhu antara uap panas dan medium pendingin (K)
Berdasarkan persamaan tersebut, luas permukaan pindah panas
dan perbedaan suhu uap dengan air pendingin berpengaruh terhadap
energi yang dilepaskan kondensor (Ketaren, 1985).
d. Separator Skala IKM
Separator merupakan alat yang digunakan untuk memisahkan air
dengan minyak. Prinsip kerja pemisahan air dengan minyak dalam
separator ini berdasarkan perbedaan bobot jenis minyak dengan air
(Santoso, 1990). Perbedaan bobot jenis ini menyebabkan butiran minyak
berada di lapisan atas sedangkan air di bawah. Separator dalam sistem
penyulingan skala IKM memiliki diameter 30 cm, diameter tabung
bagian dalamnya 20 cm, dan tinggi 50 cm. Kapasitas maksimal separator
dalam menampung jumlah destilat sebesar 35,33 liter. Sketsa separator
yang digunakan dalam skala IKM dapat dilihat dalam Gambar 12.
Gambar 12. Separator skala IKM : (a) kran minyak keluar, (b) pipa
keluaran air sisa penyulingan.
Berdasarkan disain separator IKM di atas, kinerja separator skala
IKM belum optimal. Minyak yang keluar dari kran pipa keluaran minyak
masih mengandung air. Oleh karena itu, diperlukan pemisahan lebih
150 mm
200 mm
30 mm
500 mm
a
b
42
lanjut yaitu pemisahan minyak dan air dengan penyaringan menggunakan
kain monel sebanyak 3 kali penyaringan.
Pemisahan minyak yang kurang optimal pada separator IKM
dikarenakan diameter tabung bagian dalam separator terlalu lebar. Oleh
karena itu, lapisan minyak sulit terbentuk di bagian atas tabung dalam
separator. Bila diameter tabung bagian dalam separator lebih sempit,
mungkin minyak akan terpisah lebih sempurna. Selain itu, dengan
kapasitas maksimal separator sebesar 35,33 liter dan rata-rata jumlah
destilat yang dihasilkan per satu jam sebesar 39,49 liter, maka waktu
tinggal minyak dalam separator kurang dari satu jam.
3. Kinerja dan Efisiensi Alat Penyulingan IKM Berdasarkan Proses
a. Boiler Skala IKM
Boiler skala IKM tidak memiliki katup pengatur, baik panas yang
masuk ke boiler maupun pengatur tekanan dalam boiler. Ketiadaan katup
pengatur pada boiler membuat uap air yang terbentuk di boiler masuk ke
dalam ketel, tidak dapat diatur. Uap air yang dihasilkan di boiler
langsung dialirkan ke dalam ketel suling.
Laju uap yang masuk ke dalam ketel suling dari boiler tidak dapat
diatur. Dengan demikian, tekanan uap yang dihasilkan di boiler tidak
terlalu besar untuk mengekstrak minyak nilam. Tekanan uap yang
dihasilkan diperkirakan tidak lebih dari 1 bar gauge. Tekanan uap yang
rendah tentunya akan sulit untuk mengekstrak komponen-komponen
bertitik didih tinggi dalam minyak nilam. Oleh karena itu, penyulingan di
skala IKM ini memerlukan waktu yang lama yaitu 8 jam.
Penyulingan yang memerlukan waktu lama, tentunya akan
membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak pula. Namun banyaknya
jumlah bahan bakar belum tentu dapat memaksimalkan proses
pembentukan uap air di boiler. Kebutuhan bahan bakar dan jumlah uap
air yang terbentuk dapat dilihat dalam Tabel 5.
43
Tabel 5. Kebutuhan kayu bakar terhadap jumlah uap air yang terbentuk
No. Keterangan Jumlah
1. Jumlah total kayu yang digunakan
(K.A = 20 %) 173,49 kg
2. Total energi yang dihasilkan kayu 3.365,98 MJ
3. Jumlah total air yang diuapkan 446 liter
4. Total energi uap yang dihasilkan 1.141,66 MJ
5. Lama waktu penyulingan 8 jam
6. Rata-rata energi yang dihasilkan
kayu bakar/jam 420,75 MJ
7. Rata-rata energi uap yang
dihasilkan/jam 142,71 MJ
8. Efisiensi energi dalam boiler 33,92 %
Berdasarkan data dalam Tabel 5, maka energi dari kayu bakar
sebesar 420,75 MJ/jam dari kayu sebanyak 28,92 kg. Namun energi yang
dihasilkan kayu bakar tidak seluruhnya digunakan untuk memproduksi
uap. Energi dari kayu yang digunakan untuk membentuk uap hanya
sebesar 142,71 MJ/jam sedangkan sisanya loss ke udara atau lingkungan
sekitar. Dengan demikian, efisiensi penggunaan energi dalam boiler
hanya sebesar 33,92 %.
b. Ketel Suling Skala IKM
Kinerja dan efisiensi ketel suling skala IKM berdasarkan kondisi
proses, dapat dilihat dari kerapatan pengisian bahan ke dalam ketel dan
peristiwa penetrasian uap dalam ketel. Bila dilihat dari ukuran ketel
suling skala IKM, jumlah nilam kering yang dapat dimasukkan dalam
satu kali proses penyulingan sebanyak 100 kg. Namun dalam
pelaksanaannya, pengisian nilam kering ke dalam ketel dapat mencapai
160 kg. Bobot rata-rata nilam kering yang dimasukkan ke dalam ketel
untuk satu kali proses penyulingan sebanyak 154,5 kg.
44
Kerapatan bahan (nilam kering) yang dimasukkan ke dalam ketel
suling akan mempengaruhi kemampuan uap berpenetrasi ke dalam bahan
(Anggraeni, 2003). Rata-rata kepadatan bahan yang digunakan pada
skala IKM dalam proses penyulingan nilam sebesar 0,154 kg/liter.
Pengisian bahan ke ketel yang melebihi kapasitas dapat menurunkan
kinerja ketel suling. Kerapatan bahan yang tidak optimal dapat
menyebabkan uap tidak dapat berpenetrasi dengan baik ke dalam bahan.
Kerapatan pengisian bahan yang tidak merata menyebabkan terjadinya
jalur uap (rat hole). Jalur uap tersebut dapat menyebabkan kehilangan
uap sehingga uap air tidak dapat mengikat minyak dari jaringan-jaringan
kantung minyak tanaman nilam. Fenomena jalur uap terjadi karena uap
akan cenderung mencari celah di antara ruang antar bahan yang mudah
ditembus (Ketaren, 1985). Jalur uap yang terjadi dalam ketel suling skala
IKM dapat dilihat seperti pada Gambar 13.
Gambar 13. Fenomena jalur uap dalam ketel skala IKM
Pada proses penyulingan skala IKM tidak diterapkan kondisi
proses tertentu seperti kondisi tekanan yang digunakan di dalam ketel
suling. Dengan demikian, tekanan di dalam ketel selama proses
penyulingan skala IKM dianggap konstan. Hal tersebut dikarenakan ketel
suling tidak dilengkapi dengan katup pengatur tekanan dalam ketel, katup
45
pengatur laju uap yang keluar dari ketel, dan pengukur tekanan dalam
ketel (manometer gauge). Tidak adanya penggunaan katup pengatur
tekanan uap yang masuk ke dalam ketel, membuat uap yang masuk ke
dalam ketel fluktuatif, tergantung dari jumlah uap yang dihasilkan dari
boiler. Laju uap yang keluar dari ketel juga fluktuatif karena tidak
adanya katup pengatur laju uap yang keluar dari ketel. Dengan demikian,
laju uap yang keluar menjadi destilat tidak dapat dipertahankan pada laju
tertentu.
Berdasarkan tingkat kerapatan bahan, semakin tinggi kerapatan
bahan, semakin tinggi laju rata-rata destilatnya (Anggraeni, 2003).
Namun demikian, laju rata-rata destilat dalam proses penyulingan skala
IKM masih tergolong rendah sehingga tidak sesuai dengan tingkat
kerapatan bahan dalam ketel. Hal tersebut disebabkan pengisian yang
terlalu padat sehingga uap tertahan dan sulit untuk menembus bahan. Uap
yang telah melewati bahan dalam ketel umumnya mengandung minyak.
Bila jalan uap yang mengandung minyak tersebut terhambat maka
rendemen yang diperoleh akan menurun akibat uap terkondensasi lebih
awal (Guenther, 1947). Keterkaitan laju destilat dengan tingkat kerapatan
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Keterkaitan tingkat kerapatan bahan dengan laju destilat
No. Keterangan Penyulingan
1
Penyulingan
2
Penyulingan
3
1. Bobot nilam yang
disuling 159 kg 160 kg 161 kg
2. Kerapatan nilam 0,159
kg/liter
0,160
kg/liter
0,161
kg/liter
3. Laju destilat yang
terhitung
37,99
liter/jam
40,98
liter/jam
69
liter/jam
4. Laju destilat
optimal
95,4
liter/jam
96
liter/jam
96,6
liter/jam
46
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa dari tiga penyulingan,
peningkatan kerapatan pengisian nilam dalam ketel berbanding lurus
dengan peningkatan laju destilatnya. Peningkatan laju destilat terjadi
secara signifikan pada penyulingan ketiga. Hal ini disebabkan api yang
digunakan lebih besar daripada penyulingan pertama dan kedua. Oleh
karena itu, kemungkinan terbentuknya tekanan uap yang besar. Namun
demikian, dari tiga data penyulingan tersebut, tidak ada satu pun proses
penyulingan skala IKM yang mencapai batas optimal laju destilat yang
sesuai dengan bobot nilam yang disuling dalam ketel. Nyala api yang
besar pada penyulingan ketiga belum dapat menghasilkan laju destilat
optimal sebesar 96,6 liter/jam. Hal ini disebabkan tekanan di boiler dan
ketel yang dihasilkan belum cukup tinggi.
Ketiadaan kondisi proses tertentu yang diterapkan dalam ketel
suling skala IKM, menjadikan kehilangan panas yang terjadi di ketel
selama proses penyulingan fluktuatif. Hal ini terlihat dari grafik
kehilangan panas dalam Gambar 10. Pada kondisi proses ketel suling
skala IKM, total kehilangan panas (energi) di ketel sebesar 59,02 MJ.
Sebagian besar kehilangan energi terjadi di dinding ketel sebesar 48,79
MJ. Jumlah kehilangan energi dalam sistem ketel secara rinci dapat
dilihat dalam Tabel 7.
Tabel 7. Kehilangan energi di ketel suling skala IKM
No. Keterangan Jumlah (joule)
1. Energi dari pipa penghubung boiler-ketel 1.123,50 MJ
2. Kehilangan energi di tutup ketel 10,23 MJ
3. Kehilangan energi di dinding ketel 48,79 MJ
4. Energi keluar dari ketel 1.064,48 MJ
5. Efisiensi ketel 94,75 %
Berdasarkan data Tabel 7, energi yang masih dapat dipertahankan
ketel sebesar 1.064,48 MJ. Rata-rata kehilangan energi pada bagian tutup
ketel tiap jamnya sebesar 1,28 MJ. Rata-rata kehilangan energi pada
47
bagian dinding ketel tiap jamnya sebesar 6,10 MJ. Dengan demikian
efisiensi energi dari ketel suling skala IKM yang diperoleh sebesar 94,75
%.
c. Kondensor Skala IKM
Kinerja kondensor skala IKM berdasarkan kondisi proses dilihat
dari perlakuan yang diberikan pada air pendinginnya. Air pendingin yang
digunakan dalam bak pendingin skala IKM bersistem batch. Sistem
batch ini berarti tidak ada penambahan air pendingin ataupun
pengeluaran air pendingin dari bak pendingin selama proses penyulingan
berlangsung. Dengan demikian akan terjadi akumulasi panas pada lapisan
bagian atas air pendingin. Semakin bawah lapisan air pendingin maka
suhu air pendingin menurun menuju suhu air pendingin yang masuk di
awal penyulingan sesuai dengan prinsip pindah panas (McCabe, 2005),
sebelum terjadi pindah panas dari pipa kondensor. Selain itu, semakin
lama waktu penyulingan, suhu air pendingin bagian lapisan atas akan
semakin panas. Peningkatan suhu air pendingin tersebut disebabkan oleh
akumulasi panas pada lapisan bagian atas air pendingin (McCabe, 2005).
Hal ini dapat terlihat pada Lampiran 1.
Bermula dari hubungan kenaikan suhu destilat dan air pendingin
terhadap waktu, maka diperoleh data rata-rata pada kondensor sebagai
berikut :
1. Jumlah rata-rata air pendingin dalam setiap proses penyulingan skala
IKM sama yaitu sebesar 6.163,2 liter.
2. Rata-rata laju destilat yang digunakan 0,26 liter/kg bahan/jam.
3. Rata-rata laju destilat tersebut menghasilkan rata-rata suhu destilat
35,91 °C.
4. Rata-rata selisih suhu air pendingin 53,48 °C.
Rata-rata selisih suhu air pendingin diperoleh berdasarkan rumus :
∆T = (T steam – Ta in) – (T steam – Ta out) Ln (T steam – Ta in) (T steam – Ta out)
(Ketaren, 1985).
48
Berdasarkan data-data tersebut maka rata-rata total keseluruhan
kalor yang dilepaskan dari kondensor dalam sekali proses penyulingan
sebesar 1.059,27 MJ. Efisiensi energi pada kondensor dapat dilihat dalam
Gambar 14.
Gambar 14. Efisiensi energi kondensor IKM
Berdasarkan data dari Gambar 14 seluruh energi yang masuk ke
dalam kondensor tidak dapat diserap seluruhnya oleh air pendingin.
Penyerapan energi sebesar 75,62 % yang terjadi di kondensor
mengakibatkan uap yang masuk ke dalam kondensor dapat diubah
menjadi cairan, dalam hal ini berubah menjadi minyak nilam.
Laju destilat dalam sistem penyulingan skala IKM masih
tergolong rendah karena tidak sesuai dengan jumlah nilam yang disuling
di dalam ketel. Laju destilat yang rendah di skala IKM terkait dengan
pengisian nilam dalam ketel yang terlalu padat. Kemungkinan besar uap
tertahan dalam nilam di ketel dan terkondensasi kembali sebelum
mengalir ke kondensor. Menurut Suryani et al., (2007), laju destilat
optimal penyulingan nilam sebesar 0,6 liter/kg jam. Bila menggunakan
standar laju destilat tersebut maka laju destilat yang optimal digunakan
pada skala IKM seharusnya sebesar 92,7 liter/kg jam. Berdasarkan hal
tersebut, laju destilat dalam proses penyulingan nilam skala IKM belum
mencapai optimal. Laju destilat yang terlalu lambat tidak menyebabkan
efisiensi kondensor rendah. Laju destilat tersebut akan berpengaruh
Kondensor
dan Air pendingin (Efisiensi = 75,62 %)
∆T = 53,48 °C
Energi steam (uap) 1.059,27 MJ
Energi keluar (cair) 801,06 MJ
49
34.07
89.91
141.88
185.67202.55
234.46
286.73315.89
0
50
100
150
200
250
300
350
1 2 3 4 5 6 7 8
Jam ke-
Jumlah destilat (liter)
langsung terhadap lama penyulingan. Laju destilat yang terlalu rendah
akan memperpanjang waktu penyulingan.
Pada penyulingan skala IKM tidak terdapat pengaturan tekanan
uap dalam ketel dan tidak ada pengaturan laju destilat. Dengan demikian,
tekanan uap dalam ketel dianggap konstan. Hal tersebut ditandai dengan
akumulasi jumlah destilat berbanding lurus dengan lama waktu
penyulingan pada Gambar 15.
Gambar 15. Akumulasi destilat terhadap lama waktu proses penyulingan
skala IKM
B. UJI KOSONG PROTOTIPE ALAT PENYULINGAN
Uji kosong pada prototipe peralatan penyulingan dimaksudkan untuk
mengetahui kesiapan alat-alat tersebut dalam proses penyulingan. Kesiapan
alat yang dimaksud yaitu ada atau tidaknya kebocoran dalam sistem peralatan
penyulingan (Fatahna, 2005). Kebocoran pada sistem peralatan penyulingan
menyebabkan kehilangan energi dan rendemen. Hal tersebut tentunya akan
terkait dengan keefektifan dan keefisienan peralatan penyulingan yang
digunakan (Yuhono dan Shinta, 2006).
Pada uji kosong yang dilakukan terhadap prototipe peralatan penyulingan
tidak terdapat kebocoran. Pemeriksaan ada atau tidaknya kebocoran tersebut
dilakukan dengan udara bertekanan dan uap air yang dihasilkan boiler.
pemeriksaan kebocoran tidak hanya dilakukan pada prototipe peralatan
50
penyulingan tetapi juga pada pipa-pipa penghubung prototipe peralatan
penyulingan.
C. PENELITIAN UTAMA
1. Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak Nilam
Analisa kadar air nilam dilakukan untuk mengetahui tingkat
kekeringan daun dan ranting nilam yang akan dan sudah disuling. Analisa
kadar minyak dilakukan untuk mengetahui kadar minyak yang terkandung
dalam daun dan ranting nilam yang akan dan sudah disuling. Selain itu,
analisa kadar minyak setelah penyulingan ditujukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya minyak yang belum tersuling dalam daun dan ranting
nilam.
Menurut Santoso (1990), kadar air daun dan ranting nilam yang siap
proses sebesar 12-15 %. Pada penyulingan prototipe rata-rata kadar air daun
dan ranting nilam sebelum penyulingan sebesar 14,49 %. Bobot daun dan
ranting nilam sebelum proses penyulingan sebesar 120 kg. Hal tersebut
menunjukkan daun dan ranting nilam telah siap untuk disuling. Rata-rata
kadar air daun dan ranting nilam setelah proses penyulingan sebesar 34,32
%. Rata-rata kadar air daun dan ranting nilam setelah proses penyulingan
lebih tinggi daripada sebelum proses penyulingan. Hal tersebut
menunjukkan seluruh bagian daun dan ranting nilam telah dilalui uap air.
Prosedur penghitungan kadar air daun dan ranting nilam dapat dilihat pada
Lampiran 4.
Menurut Santoso (1990), kadar minyak dalam daun dan ranting
nilam dapat mencapai 3 % (db). Berdasarkan analisa kadar minyak daun dan
ranting nilam yang dilakukan sebelum penyulingan sebesar 2,61 % (db)
sedangkan kadar minyak daun dan ranting nilam setelah proses penyulingan
sebesar 0,097 % (db). Persentase minyak yang tersuling sebesar 2,50 %.
Dengan demikian, prototipe peralatan penyulingan dapat dikatakan telah
efektif digunakan dalam proses penyulingan minyak nilam. Peralatan
analisa kadar minyak dapat dilihat pada Lampiran 5 sedangkan prosedur
analisa beserta penghitungan kadar minyak dapat dilihat pada Lampiran 4.
51
2. Proses Penyulingan Minyak Nilam
a. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Disain
1) Prototipe Boiler
Boiler merupakan alat penghasil uap air. Bahan bakar prototipe
boiler yang digunakan pada penyulingan nilam adalah kayu bakar. Boiler
ini terdiri dari pipa-pipa silinder berisi udara panas dan bagian bawahnya
terdapat tungku untuk pembakaran kayu. Bagian dalam tungku terdapat
pipa-pipa silinder berisi air yang digunakan untuk menghantarkan panas
yang dihasilkan api pembakaran pada tungku. Berdasarkan pembagian
pipa-pipa tersebut maka boiler yang digunakan dapat dikatakan sebagai
jenis boiler gabungan pipa api dengan pipa air. Kapasitas air maksimal di
dalam boiler sebesar 770 liter.
Pada saat pembakaran kayu, boiler memerlukan alat pendukung
untuk memperbesar api yaitu dengan menggunakan blower. Sketsa
prototipe boiler dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Sketsa prototipe boiler (tampak depan) : (a) boiler, (b)
tungku, (c) pipa air, (d) pipa api, (e) pintu tungku
API
a
b
c
d
e
52
Pada Gambar 16 terlihat pula fenomena aliran panas yang terjadi
di dalam prototipe boiler. Panas dari api dihantarkan secara konveksi dan
konduksi ke pipa-pipa air di sisi samping tungku. Panas dari pipa air ini
menghasilkan uap air yang dialirkan dalam pipa api. Kemudian uap air
tersebut yang nantinya akan dialirkan ke dalam ketel suling. Prinsip kerja
dari prototipe boiler ini yaitu mengubah air dalam boiler menjadi uap air.
Permukaan pindah panas pada prototipe boiler ini lebih luas
daripada boiler skala IKM. Hal ini disebabkan permukaan pindah panas
yang digunakan cukup banyak yaitu melalui pipa-pipa air, pipa-pipa api,
dan dinding boiler. Luas permukaan pindah panas dalam boiler dan pipa
air serta pipa api sebesar 14,40 m². Rata-rata suhu tertinggi yang terukur
pada permukaan boiler sebesar 158,83 °C. Rata-rata suhu tertinggi pada
permukaan tungku pembakaran sebesar 138,03 °C. Rata-rata jumlah air
yang diuapkan dalam boiler sebesar 556,95 liter dalam satu kali proses
penyulingan. Penyulingan dalam sistem prototipe dilakukan selama 6
jam. Dengan demikian, rata-rata air yang dapat diuapkan dalam boiler
setiap jamnya sebesar 6,45 liter/m². Data-data luas permukaan pindah
panas di boiler serta jumlah air yang dapat diuapkan dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Data luas permukaan pindah panas boiler dan uap air yang dihasilkan dalam prototipe penyulingan.
No. Keterangan Besaran
1. Luas permukaan pindah panas boiler
serta pipa air dan pipa api 14,40 m²
2. Jumlah air yang diuapkan 556,95 liter
3. Lama waktu penyulingan 6 jam
4. Uap air yang dihasilkan/jam 6,45 liter/m²
Rata-rata air yang diuapkan per satuan luas dalam setiap jamnya
pada prototipe sistem penyulingan jauh lebih kecil daripada sistem
penyulingan skala IKM yaitu sebesar 6,45 liter/m²jam. Uap air yang
53
dihasilkan pada skala IKM sebesar 34,2 liter/m²jam. Semakin kecil
jumlah air yang diuapkan per satuan luasnya, maka proses pembentukan
uap air dan pendidihan air akan lebih cepat dan optimal (Guenther,
1947), serta waktu penyulingan dapat dipercepat. Dengan demikian,
disain prototipe boiler lebih menguntungkan terkait dengan luas
permukaan pindah panasnya dalam menghasilkan uap air.
Disain prototipe boiler dilengkapi dengan blower dan katup
pengatur keluarnya uap air dari boiler. Blower digunakan untuk
membantu penyalaan api dan menjaga kestabilan nyala api dalam tungku
pembakaran. Sistem kerja blower dibuat secara otomatis dengan
indikator tekanan uap yang terukur dalam boiler. Indikator tekanan
terendah yaitu sebesar 2,5 bar gauge dan tekanan tertingginya 3,5 bar
gauge. Bila tekanan dalam boiler mencapai indikator tekanan terendah,
maka blower akan menyala secara otomatis. Bila tekanan dalam boiler
mencapai indikator tekanan tertinggi, maka blower akan mati secara
otomatis. Cara kerja blower yang digunakan dalam prototipe sistem
penyulingan digambarkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Sirkulasi udara dalam tungku dengan blower (tampak
samping) : (a) pintu pemasukan kayu, (b) blower
Blower yang digunakan merupakan tipe blower yang menghisap
udara dari dalam tungku dan mengeluarkannya. Dengan demikian, udara
yang masuk dari pintu pemasukan kayu dihisap oleh blower hingga
mencapai bagian belakang tungku, maka sirkulasi udara (oksigen) lebih
a b
54
3.053.3 3.45
2.853.2
2.7
3.7
2.8 2.65
3.3
3.73.35
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Menit ke-
Tekanan (bar gauge)
merata dari bagian depan tungku hingga belakang. Sirkulasi udara yang
telah digambarkan tersebut, dapat membantu penjalaran nyala api kayu
yang diletakkan dari bagian depan tungku hingga belakang. Oleh karena
itu, kemungkinan terbentuk bongkahan arang dalam tungku semakin
kecil.
Berdasarkan sistem kerja blower, kestabilan nyala api dalam
tungku dapat dilihat dari indikator kestabilan tekanan uap dalam boiler.
Kestabilan tekanan uap air dalam boiler dapat dilihat pada Gambar 18.
Kestabilan uap air menunjukkan stabilnya energi yang dihasilkan dari
boiler. Dengan stabilnya suplai tekanan uap dalam boiler, maka suplai
uap ke ketel pun dapat diatur dan stabil. Bila tekanan dalam ketel stabil,
laju destilat yang dihasilkan dapat diatur dan stabil pula.
Gambar 18. Kestabilan tekanan uap air dalam prototipe boiler
Berdasarkan Gambar 18, terlihat peningkatan tekanan dan
penurunan tekanan uap dalam boiler tidak lebih dari 1 bar gauge dalam 1
jam. Tekanan uap pada awal proses penyulingan hingga menit ke-90
meningkat karena suplai energi dari kayu masih banyak dan nyala api
cenderung lebih besar. Tekanan uap akan menurun bila suplai energi dari
kayu menurun dan nyala api mengecil. Bila tekanan uap menurun hingga
55
mencapai 2,5 bar gauge, maka blower akan menyala. Dengan demikian,
tekanan uap dalam boiler tidak pernah di bawah 2,5 bar gauge.
Lama waktu penggunaan blower ditentukan oleh lamanya waktu
yang dibutuhkan untuk meningkatkan tekanan uap dalam boiler agar
tetap berada pada kisaran 2,5 bar hingga 3,5 bar gauge.
Adanya katup pengatur tekanan yang digunakan pada disain
prototipe boiler, membuat kestabilan nyala api dalam tungku tidak dapat
diindikasikan berdasarkan laju destilatnya. Katup ini berfungsi untuk
mengatur jumlah uap yang masuk ke dalam ketel. Dengan demikian,
tekanan uap dalam ketel dapat stabil. Tekanan uap dalam ketel akan lebih
stabil, bila terdapat stok uap dalam boiler. Pengaturan stok uap dalam
boiler merupakan salah satu fungsi dari katup pengatur tekanan uap air
dalam boiler.
2) Prototipe Ketel Suling
Prototipe ketel suling memiliki cukup banyak perbedaan dengan
ketel suling skala IKM. Prototipe ketel suling dilengkapi dengan
glasswool, manometer, penyekat karet antara bibir ketel dengan tutup
ketel, jumlah baut pengunci yang lebih banyak yaitu 14 baut, dan bagian
bawah ketel (bodem) tidak diisolasi. Dimensi prototipe ketel suling ini
lebih besar daripada ketel suling skala IKM. Prototipe ketel suling
memiliki tinggi 1,54 meter dari atas saringan dan diameter 1,16 meter.
Perbandingan diameter dan tinggi ketel dalam prototipe sistem
penyulingan sebesar 1 : 1,33. Perbandingan diameter dan tinggi ketel
suling ini penting terkait dengan lama kontak uap dengan nilam kering
dalam ketel selama proses penyulingan. Perbandingan tinggi ketel yang
lebih besar daripada diameter sangat cocok digunakan dalam
penyulingan bahan yang bersifat kamba seperti nilam (Rusli, 2003).
Prinsip kerja prototipe ketel suling sama dengan ketel suling skala IKM.
Prinsip kerja dan sketsa disain prototipe ketel suling dapat dilihat pada
Gambar 19.
56
Gambar 19. Fenomena aliran uap prototipe ketel suling : (a) tutup ketel,
(b) glasswool, (c) pipa keluar uap, (d) pipa masuk uap, (e) dinding ketel
Pada disain prototipe ketel suling ini, tidak terdapat kebocoran
sehingga dapat mengurangi resiko kehilangan panas yang disebabkan
adanya kebocoran. Selain itu, penggunaan glasswool dapat mengurangi
kehilangan panas yang terjadi pada dinding ketel. Pengaruh penggunaan
glasswool dapat terlihat dengan membandingkan jumlah kehilangan
panas ketel suling pada skala IKM dengan prototipe ketel suling.
Perbandingan jumlah kehilangan panas pada kedua ketel tersebut dapat
dilihat pada Gambar 20.
a
e
b
c
d
57
3.13
4.02
4.835.16 5.21
4.795.39
6.40 6.36 6.47 6.40 6.25
0
1
2
3
4
5
6
7
1 2 3 4 5 6Jam ke-
Kehilangan panas (MJ)
Dinding prototipe ketel
Dinding ketel skala IKM
Gambar 20. Perbandingan kehilangan panas di dinding prototipe ketel denganIKM
Penggunaan glasswool pada dinding prototipe ketel suling dapat
mengurangi kehilangan panas (Santoso, 1990) (Gambar 20), bila
dibandingkan dengan ketel suling skala IKM. Rata-rata pengurangan
kehilangan panas oleh glasswool sebesar 1,69 MJ/jam. Walaupun
glasswool dapat mengurangi kehilangan panas pada dinding prototipe
ketel suling, namun pada permukaan glasswool tetap saja terdapat
kehilangan panas. Jumlah kehilangan panas di bagian-bagian ketel suling
baik skala IKM maupun prototipe dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 20 menunjukkan perbedaan kehilangan panas antara
dinding prototipe ketel suling dengan dinding ketel suling skala IKM.
Perbedaan kehilangan panas dari Gambar 20 belum dapat mewakili
secara keseluruhan pengaruh penggunaan glasswool pada dinding ketel
suling. Hal ini dikarenakan dimensi dan disain kedua ketel tersebut
sedikit berbeda. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap kehilangan
panas pada dinding prototipe ketel dapat dilihat pengaruhnya secara
signifikan pada Gambar 21.
58
3.134.38 4.83 5.16 5.21 4.79
12.54
14.37 14.48
16.09 16.4815.39
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
1 2 3 4 5 6
Jam ke-
Kehilangan panas (MJ)
Dengan Glasswool
Tanpa Glasswool
Gambar 21. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap kehilangan panas
dinding prototipe ketel
Penggunaan glasswool sangat berpengaruh terhadap kehilangan
panas pada dinding prototipe ketel suling (Gambar 21). Bila dinding
prototipe ketel suling tidak menggunakan glasswool, maka rata-rata
kehilangan panas dari dinding ketel sebesar 14,89 MJ/jam. Bila dinding
prototipe ketel suling menggunakan glasswool, maka rata-rata kehilangan
panas pada dinding ketel hanya sebesar 4,58 MJ/jam. Dengan demikian
penggunaan glasswool pada dinding prototipe ketel dapat mengurangi
kehilangan panas hingga 69,23 %. Pengaruh penggunaan glasswool
terhadap total kehilangan panas dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap total kehilangan panas
Keterangan Kehilangan Panas
(6 jam)
Total kehilangan panas keseluruhan dinding
nonglasswool 89,35 MJ
Total kehilangan panas dinding dengan
glasswool 27,49 MJ
59
Keterangan Kehilangan Panas
(6 jam)
Selisih kehilangan panas keseluruhan dinding
nonglasswool dengan glasswool 61,86 MJ
Persentase pengurangan kehilangan panas 69,23 %
Luas permukaan pindah panas pada setiap bagian ketel dapat
mempengaruhi besarnya jumlah kehilangan panas (Zemansky, 1982).
Semakin luas permukaan pindah panas pada bagian tertentu ketel, maka
semakin tinggi kehilangan panasnya. Namun kehilangan panas pada
bagian ketel juga ditentukan oleh perbedaan suhu yang terukur di
permukaan bagian ketel. Keterkaitan jumlah kehilangan panas dengan
luas permukaan bagian prototipe ketel suling dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Keterkaitan jumlah kehilangan panas dengan luas permukaan pindah panas ketel
No. Bagian ketel
Luas permukaan
pindah panas
(m²)
Total kehilangan panas
(MJ)
1. Tutup 1,16 8,86
2. Dinding
nonglasswool 0,69 9,23
3. Glasswool 6,29 18,27
4. Bodem 1,16 3,06
Tabel 10 menunjukkan bahwa peningkatan jumlah kehilangan
panas pada bagian ketel berbanding lurus dengan luas permukaan pindah
panasnya (Zemansky, 1982). Namun demikian, luas permukaan pindah
panas pada bagian tutup dan bodem sama besarnya tetapi jumlah
kehilangan panasnya berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan suhu yang
terukur di permukaan kedua bagian tersebut.
60
1.16
1.44 1.43
1.61 1.561.66
0.420.50 0.52 0.57 0.54 0.52
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
1 2 3 4 5 6
Jam ke-
Kehilangan Panas (MJ)
Tutup KetelBodem Ketel
Bagian bodem kehilangan panasnya lebih kecil karena suhu yang
terukur pun lebih rendah dari bagian tutup. Perbedaan suhu tersebut terkait
dengan fenomena arah aliran uap dalam ketel yang digambarkan dalam
Gambar 19. Arah aliran uap menuju ke tutup ketel sehingga panas lebih
terakumulasi di bagian tutup ketel daripada bodem ketel. Perbandingan
kehilangan panas bagian bodem dengan tutup pada ketel suling prototipe
dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 3.
Gambar 22. Perbandingan kehilangan panas di tutup dan bodem ketel
3) Prototipe Kondensor
Prototipe kondensor yang digunakan memiliki dua diameter yaitu
1,5 inchi sepanjang 19,79 meter dan 1 inchi sepanjang 25,45 meter. Luas
penampang keseluruhan kondensor sebesar 4,40 m². Namun tidak seluruh
luas permukaan kondensor digunakan sebagai media pindah panas, yang
digunakan sebagai media pindah panas hanya seluas 3,72 m². Prototipe
kondensor ini berbentuk koil. Bentuk koil ini berguna untuk mengurangi
kebutuhan ruang penempatannya dalam bak pendingin. Oleh karena
bentuknya yang koil, maka nilai koefisien pindah panas kondensor
sebesar 40 Btu/ft² jam °C atau setara dengan 817.653,39 joule/m² jam °F
(Ketaren, 1985). Bak pendingin yang digunakan memiliki panjang 2,4
meter, lebar 2,4 meter, dan tinggi 1,2 meter. Kapasitas maksimal air
61
pendingin yang dapat ditampung dalam bak pendingin sebesar 6.912
liter.
Jumlah air pendingin yang digunakan dalam prototipe bak
pendingin sebesar 6.163,2 liter. Jumlah air pendingin ini sama dengan
yang digunakan pada sistem penyulingan skala IKM. Namun suhu
destilat yang dihasilkan berbeda. Suhu rata-rata destilat yang dihasilkan
dari sistem penyulingan prototipe sebesar 31,17 °C. Rata-rata suhu
destilat hasil penyulingan prototipe lebih kecil daripada hasil
penyulingan skala IKM. Hal ini disebabkan panjang pipa kondensor di
sistem penyulingan prototipe lebih panjang dibandingkan skala IKM.
Gambar bak pendingin dan kondensor yang digunakan dalam sistem
penyulingan prototipe dapat dilihat dalam Lampiran 7.
4) Prototipe Separator
Prototipe separator yang digunakan memiliki prinsip kerja yang
sama dengan separator skala IKM. Walaupun memiliki prinsip kerja
yang sama, bentuk prototipe separator dengan separator skala IKM
berbeda. Prototipe separator memiliki diameter 50 cm, diameter tabung
bagian dalam 15 cm, dan tinggi 45 cm. Kapasitas maksimal volume
prototipe separator sebesar 90 liter.
Bagian atas prototipe separator dibuat agak mengerucut. Hal ini
dimaksudkan agar minyak dapat terpisah secara sempurna berdasarkan
perbedaan bobot jenisnya dengan bobot jenis air. Semakin sempit luas
permukaan bagian atas separator (Santoso, 1990), maka butiran minyak
akan lebih mudah terkumpul. Disain prototipe separator yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 23.
62
Gambar 23. Disain prototipe separator: (a) kaca pengamatan, (b) pipa pengeluaran air, (c) corong masuk destilat, (d) kran keluaran minyak.
Disain separator di atas ternyata belum mampu memisahkan
minyak dengan air secara sempurna. Pemisahan lebih lanjut dilakukan
menggunakan labu pemisah berukuran 500 ml.
b. Kinerja Prototipe Alat Penyulingan Berdasarkan Proses
1) Prototipe Boiler
Pada sistem penyulingan prototipe, kondisi tekanan uap yang
diterapkan berkisar antara 2,5 bar gauge hingga 3,5 bar gauge. Hal
tersebut dimaksudkan untuk menjaga kestabilan tekanan uap air yang
masuk ke dalam ketel. Walaupun tekanan uap air dalam boiler fluktuatif
pada kisaran 2,5 bar hingga 3,5 bar, namun tekanan uap yang ada di
dalam ketel suling tetap berkisar 0,5 bar pada satu jam pertama, 1 bar
pada dua jam kedua, dan 1,5 bar pada tiga jam berikutnya. Dengan
demikian fluktuasi laju destilat tidak berpengaruh terhadap tekanan uap
di boiler. Hal ini berlawanan dengan yang terjadi di sistem penyulingan
skala IKM. Tekanan uap boiler yang cenderung stabil menghasilkan data
efisiensi energi seperti pada Tabel 11.
a
b
c
d
500 mm 450 mm
63
Tabel 11. Data efisiensi energi dalam prototipe boiler
No. Keterangan Jumlah
1. Jumlah kayu yang digunakan (K.A = 20
%) 98,38 kg
2. Energi total yang dihasilkan kayu 1.908,66 MJ
3. Jumlah air yang diuapkan 556,95 liter
4. Energi total uap air yang dihasilkan 1.480,93 MJ
5. Lama waktu penyulingan 6 jam
6. Efisiensi energi dalam tungku dan
boiler 77,59 %
Berdasarkan data dalam Tabel 11, maka kebutuhan energi dari
kayu bakar sebesar 318,11 MJ/jam dari kayu sebanyak 16,40 kg. Namun
energi dari kayu tersebut tidak digunakan untuk membentuk uap air
seluruhnya karena efisiensi energi dari boiler sebesar 77,59 %. Energi
kayu yang digunakan untuk pembentukan uap air hanya sebesar 246,82
MJ/jam.
2) Prototipe Ketel Suling
Kinerja dan efisiensi prototipe ketel suling berdasarkan kondisi
proses, dapat dilihat dari kerapatan pengisian bahan ke dalam ketel dan
kehilangan panas berdasarkan peningkatan tekanan uap dalam ketel. Bila
dilihat dari ukuran prototipe ketel suling, jumlah maksimal nilam kering
yang dapat dimasukkan dalam satu kali proses penyulingan sebanyak 160
kg. Namun pada pelaksanaannya pengisian nilam ke dalam ketel hanya
sebanyak 120 kg. Dengan demikian kerapatan nilam dalam ketel sebesar
0,074 kg/liter.
Penggunaan kerapatan pengisian nilam sebesar 0,074 kg/liter atau
setara dengan 74,1 % (b/v) dari kapasitas maksimal volume ketel, tidak
menimbulkan jalur uap (rat hole) selama proses penyulingan. Tidak
64
adanya jalur uap ditandai dengan setiap bagian daun dan ranting nilam
basah setelah proses penyulingan. Dengan demikian, kepadatan pengisian
bahan sebesar 0,074 kg/liter pada prototipe ketel suling dapat dianggap
optimal. Jalur uap tidak terbentuk pada sistem penyulingan prototipe,
dipengaruhi pula dengan adanya pemadatan daun dan ranting nilam
sebelum disuling. Pemadatan daun dan ranting nilam sebelum disuling
dapat membantu meratakan tingkat kerapatan bahan pada setiap bagian
ketel. Dengan tingkat kerapatan bahan yang merata dapat memperkecil
kemungkinan terjadinya jalur uap. Hal ini dikarenakan semakin kompak
pengisian bahan, maka semakin kecil celah-celah antar bahan
(Anggraeni, 2003). Fenomena penetrasi uap tanpa adanya jalur uap dapat
dilihat pada Gambar 24.
Gambar 24. Fenomena penetrasi uap tanpa rat hole : (a) uap masuk,
(b) uap keluar
Sistem penyulingan prototipe menggunakan tekanan bertahap
dalam ketel selama proses penyulingan minyak nilam. Besarnya tekanan
uap dalam ketel dapat mempengaruhi jumlah kehilangan panas pada tiap
bagian ketel yang terdiri dari tutup ketel, dinding ketel, glasswool, dan
bodem ketel. Keterkaitan modifikasi tekanan bertahap terhadap pengaruh
kehilangan panas pada keseluruhan bagian ketel dapat dilihat pada
b
a
65
4.70
13.09
21.62y = 15.041Ln(x) + 4.1528R2 = 0.9762
0
5
10
15
20
25
0.5 1 1.5
Tekanan (bar gauge)
Total Kehilangan Panas (MJ)
Gambar 25. Kehilangan panas lebih spesifik pada tiap bagian ketel dapat
dilihat dalam Gambar 26.
Selain peningkatan tekanan dalam ketel, titik kritis dari
penyulingan yaitu pengisian bahannya dalam ketel harus sesuai dengan
kapasitas ketel, agar kinerja ketel dapat optimal terkait dengan proses
penetrasi uap dalam ketel.
Gambar 25. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap total kehilangan
panas ketel
Gambar 25 menunjukkan bahwa peningkatan tekanan uap dalam
ketel akan meningkatkan jumlah total kehilangan panas pada permukaan
ketel. Data lebih rinci mengenai Gambar 25 dapat dilihat pada Lampiran
3. Dengan demikian, peningkatan perlakuan tekanan dalam suatu sistem
penyulingan merupakan salah satu titik kritis dalam menentukan jumlah
kehilangan panas yang terjadi pada ketel selama proses penyulingan.
Total kehilangan panas tertinggi di ketel terjadi pada saat tekanan 1,5 bar
sebesar 21,62 MJ yang diterapkan selama 3 jam. Pada tekanan 1 bar
kehilangan panas tiap jamnya sebesar 6,54 MJ. Dengan demikian
kehilangan panas untuk tiap jam pada tekanan 1,5 bar sebesar 7,21 MJ.
Total kehilangan panas terendah di ketel terjadi pada tekanan 0,5 bar
66
1.16 1.43 1.61
3.11 3.40
0.42 0.51 0.54
4.70
6.547.21
1.291.49 1.65
1.83
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0.5 1 1.5
Tekanan (bar gauge)
Kehilangan panas
(MJ/jam)
TutupDindingGlasswoolBodemKeseluruhan bagian
sebesar 4,70 MJ selama 1 jam. Kenaikan kehilangan panas dari tekanan
0,5 bar menjadi 1 bar tiap jamnya sebesar 1,84 MJ. Kenaikan kehilangan
panas dari tekanan 1 bar menjadi 1,5 bar tiap jamnya sebesar 0,67 MJ.
Gambar 26. Hubungan peningkatan tekanan terhadap kehilangan panas
di tiap bagian ketel
Bila dilihat dari Gambar 26, kehilangan panas pada tiap bagian
ketel bervariasi. Hal tersebut dikarenakan luas permukaan pindah
panasnya berbeda antar tiap bagian ketel. Kehilangan panas akan terus
meningkat seiring dengan peningkatan tekanan. Namun demikian,
peningkatan kehilangan panas pada tiap bagian ketel pada akhirnya akan
mencapai titik tertentu, di mana kehilangan panasnya akan konstan bila
tekanannya terus ditingkatkan. Hal ini terlihat dari Gambar 25 yang
menunjukkan hubungan logaritmik antara peningkatan tekanan terhadap
kehilangan panas.
3) Prototipe Kondensor
Kinerja prototipe kondensor dari segi kondisi prosesnya ini
diindikasikan berdasarkan perlakuan yang diterapkan pada air
pendinginnya. Sistem air pendingin yang digunakan selama proses yaitu
batch, di mana tidak ada penggantian air pendingin selama proses
penyulingan berlangsung. Sistem air pendingin yang batch,
menyebabkan akumulasi panas dimulai dari lapisan air pendingin paling
67
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360
Menit ke-
Suhu(K)
T steamT air keluarT air masukT
atas hingga bawah. Dengan demikian suhu air pendingin meningkat dari
lapisan bagian atas. Peningkatan suhu air pendingin dan selisih
perubahan suhu pada air pendingin dapat dilihat pada Gambar 27 berikut
dan keterangan lebih rinci pada Lampiran 2.
Gambar 27. Suhu air pendingin di prototipe bak pendingin
Proses penyulingan prototipe menggunakan kondisi proses
peningkatan tekanan bertahap pada ketel, namun laju destilatnya tidak
dikondisikan mengikuti peningkatan tekanan uap pada ketel, melainkan
laju destilatnya dipertahankan sebesar 0,63 liter/kg jam atau setara
dengan 75,6 liter/kg jam. Dengan demikian, akumulasi jumlah destilat
akan berbanding lurus dengan peningkatan tekanan uap dalam ketel
seperti terlihat pada Gambar 28. Data lebih rinci terkait dengan Gambar
28 dapat dilihat pada Lampiran 2.
68
70.52
228.64
154.71
y = 79.059x - 6.8252R2 = 0.9986
0
50
100
150
200
250
0.5 1 1.5
Bar gauge
Jumlah destilat (liter)
Akumulasi destilat (liter)
Linear (Akumulasi destilat(liter))
Gambar 28. Hubungan akumulasi destilat terhadap peningkatan tekanan
ketel
c. Efisiensi Energi Prototipe Alat Penyulingan
1) Prototipe Boiler
Prototipe boiler memiliki luas permukaan pindah panas yang
lebih besar dari boiler skala IKM. Luas permukaan pindah panas ini akan
menjadi lebih optimal, bila luas permukaan pindah panas itu dapat
digunakan seluruhnya untuk memanaskan dan menguapkan air. Oleh
karena itu, diperlukan panas yang merata pada permukaan pindah panas
di boiler. Dengan luas permukaan pindah panas prototipe boiler sebesar
14,40 m², dapat menghasilkan uap air rata-rata sebesar 6,45 liter/m² jam.
Rata-rata uap air yang dihasilkan sebesar 6,45 liter/m² jam,
membutuhkan energi kalor kayu sebesar 318,11 MJ/jam, sehingga
diperoleh efisiensi prototipe boiler sebesar 77,59 %. Gambaran efisiensi
prototipe boiler dapat dilihat dalam Gambar 29.
69
Gambar 29. Efisiensi prototipe boiler
Selain keunggulan disain prototipe boiler pada luas permukaan
pindah panasnya, keunggulan dari disain prototipe boiler lainnya yaitu
adanya penggunaan katup pengatur tekanan uap air dalam boiler dan
blower.
Sumber panas berasal dari api pembakaran kayu di tungku.
Adanya penggunaan blower dapat membantu meratakan panas api dari
bagian depan boiler sampai dengan bagian belakang boiler. Selain itu,
penggunaan blower dapat mempertahankan nyala api dalam tungku
stabil. Hal tersebut diindikasikan dengan stabilnya tekanan uap dalam
boiler. Penggunaan katup pengatur tekanan uap di boiler, dapat
digunakan untuk menghasilkan tekanan uap yang tinggi. Dengan pasokan
tekanan uap air yang tinggi di boiler, maka kestabilan tekanan uap yang
masuk ke dalam ketel suling dapat diatur dan laju penyulingan juga
konstan. Indikasi kestabilan laju penyulingan ini dilihat dari laju destilat
yang dihasilkan, di mana rata-rata laju destilatnya sebesar 0,63 liter/kg
jam. Dengan penambahan disain pada tungku dan boiler prototipe,
kinerja tungku dan boiler dapat ditingkatkan sehingga produktivitas uap
air pun dapat meningkat.
Berdasarkan kinerja dari segi disain boiler, sehingga
menghasilkan kondisi tekanan uap air yang stabil dalam boiler, maka
efisiensi energi yang dihasilkan pada prototipe boiler sebesar 77,59 %.
Boiler
ξ = 77,59 % Tair awal = 25,5 °C Tsteam = 145,20 °C
Energi kayu bakar 1.908,66 MJ
Energi uap air (gas) 1.480,93 MJ
Loss energi 427,73 MJ
70
2) Prototipe Ketel Suling
Efisiensi prototipe ketel suling dikatakan efisien penggunaan
energinya, bila ketel tersebut dapat meminimalkan energi (panas) yang
hilang dari ketel selama proses penyulingan. Kehilangan energi (panas)
pada prototipe ketel suling paling besar terdapat di dinding ketel. Selain
itu, kondisi proses yang berupa peningkatan tekanan uap dalam ketel,
juga akan meningkatkan kehilangan panas di permukaan ketel. Dengan
demikian, titik kritis kehilangan panas pada ketel terdapat pada
permukaan luas pindah panas di ketel dan kondisi proses peningkatan
tekanan uap.
Penggunaan glasswool dan katup pengatur tekanan uap di ketel
dapat meningkatkan efisiensi kinerja ketel suling dari segi disain dan
proses. Penggunaan kondisi proses peningkatan tekanan uap bertahap
dapat mengefisienkan lama waktu penyulingan, tanpa harus mengalami
kehilangan panas yang besar. Peningkatan tekanan uap secara bertahap
dapat dilakukan karena adanya penggunaan katup pengatur tekanan uap
di ketel. Dengan demikian, penggunaan glasswool menyokong kondisi
proses yang diterapkan dalam ketel suling. Bila kinerja ketel suling dari
segi disain dan proses meningkat, maka efisiensi dari ketel suling
tersebut tinggi (Yuhono dan Shinta, 2006). Efisiensi prototipe ketel
suling yang diperoleh sebesar 97,20 %. Pengaruh penggunaan glasswool
terhadap efisiensi ketel dapat dilihat dalam Tabel 12.
Tabel 12. Pengaruh penggunaan glasswool terhadap efisiensi prototipe ketel
Keterangan Jumlah
Energi yang masuk ke ketel 1.406,39 MJ
Loss energi di ketel :
1. Tutup ketel
2. Dinding ketel nonglasswool
3. Dinding ketel glasswool
4. Bodem ketel
8,86 MJ
9,23 MJ
18,27 MJ
3,06 MJ
71
Keterangan Jumlah
Total kehilangan panas ketel 39,41 MJ
Total kehilangan panas dinding
nonglasswool keseluruhan 89,35 MJ
Total kehilangan panas dinding
glasswool keseluruhan 27,49 MJ
Pengurangan kehilangan panas
dengan glasswool 61,86 MJ
Persentase pengurangan
kehilangan panas oleh glasswool 69,23 %
Efisiensi ketel 97,20 %
Gambaran efisiensi prototipe ketel secara umum dapat dilihat pada
Gambar 30 berikut ini.
Gambar 30. Efisiensi prototipe ketel
3) Prototipe Kondensor
Efisiensi prototipe kondensor sangat tinggi yaitu hanya sebesar
98,57 %. Hal ini disebabkan panjang pipa kondensornya terlalu panjang.
Total panjang kondensor secara keseluruhan sebesar 45,24 meter. Namun
pada uji coba penyulingan prototipe kondensor, panjang kondensor yang
mengalami kontak dengan air (tenggelam) sebesar 39,58 meter. Air
pendingin yang digunakan dapat menyerap panas dari pipa kondensor
secara optimal sehingga kinerja pipa kondensor menjadi tinggi dan
Ketel Suling ξ = (97,20 %)
P = 0,5;1;1,5 bar T = 111,61;120,42;127,62 °C
Energi masuk (gas/uap) 1.406,39 MJ
Energi keluar (gas/uap) 1.366,98 MJ
Energi hilang (gas/uap) 39,41 MJ
72
efisiensinya pun meningkat. Efisiensi energi yang tinggi pada kondensor
menyebabkan suhu rata-rata destilat yang dihasilkan sudah cukup
optimal dan cenderung lebih dingin yaitu sebesar 31,17 °C. Efisiensi
energi kondensor ini dapat dilihat lebih jelas perhitungannya pada
Lampiran 3 dan dalam Gambar 31 berikut ini.
Gambar 31. Efisiensi Prototipe Kondensor
3. Pembandingan Efisiensi Peralatan Penyulingan Skala IKM dengan Prototipe
a. Pembandingan Efisiensi Boiler Skala IKM dengan Prototipe
Alat penghasil uap air yang digunakan dalam penyulingan skala
IKM berupa gabungan tungku dan boiler. Boiler skala IKM yang
digunakan berupa drum yang berisi air. Kapasitas air dalam boiler skala
IKM lebih kecil daripada prototipe boiler. Bila kapasitas air dalam boiler
skala IKM kecil maka jumlah uap air yang dihasilkan juga lebih kecil.
Namun bila jumlah uap air yang dihasilkan memerlukan energi kayu
bakar yang sedikit, maka kinerja dan efisiensi alat tersebut semakin baik.
Kinerja boiler skala IKM serta prototipe boiler telah diuraikan pada
pembahasan sebelumnya. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini,
yang menjadi sorotan utamanya yaitu efisiensi kedua peralatan
penyulingan tersebut. Perbedaan penggunaan boiler skala IKM dengan
prototipe boiler dapat dilihat pada Tabel 13.
Kondensor ξ = (98,57 %)
Tsteam = 111,61;120,42;127,62 °C
Tdestilat = 31,17 °C
Energi keluar (cairan) 1.336,29 MJ
Energi masuk (gas) 1.355,63 MJ
73
Tabel 13. Perbedaan penggunaan boiler skala IKM dengan prototipe boiler
No. Keterangan Boiler Skala IKM Prototipe
Boiler
1. Rata-rata penggunaan total
air/jam 55,75 liter/jam
92,83
liter/jam
2. Rata-rata konsumsi kayu
bakar/jam 21,69 kg/jam 16,40 kg/jam
3. Total energi uap air yang
dihasilkan 1.141,66 MJ 1.480,93 MJ
4. Total energi yang disuplai
kayu 3.365,98 MJ 1.908,66 MJ
5. Konsumsi uap air/jam 142,71 MJ 246,82 MJ
6. Konsumsi energi kayu/jam 420,75 MJ 318,11 MJ
7. Rata-rata kadar air kayu 62,4 % 75,25 %
8. Lama penyulingan 8 jam 6 jam
9. Efisiensi 33,92 % 77,59 %
Berdasarkan data-data Tabel 13, penggunaan air pada prototipe
boiler lebih besar daripada boiler skala IKM. Walaupun kebutuhan
penggunaan air pada prototipe boiler lebih besar, namun energi uap air
yang dihasilkan pun lebih besar. Jumlah uap air yang kecil membuat
proses penyulingan berjalan lebih lama.
Energi uap yang dihasilkan prototipe boiler lebih besar 339,27
MJ dari boiler skala IKM. Jumlah energi uap yang lebih besar tersebut,
dapat mempercepat proses penyulingan selama ± 2 jam dalam sistem
penyulingan prototipe. Oleh karena itu, bila ditinjau dari segi lama waktu
proses penyulingan, maka sistem penyulingan prototipe lebih efisien
(Lesmayanti, 2004).
Jika industri penyulingan dilakukan selama 24 jam nonstop, maka
dengan menggunakan alat prototipe, penyulingan dapat dilakukan
74
sebanyak 4 kali. Namun bila menggunakan alat skala IKM, proses
penyulingan hanya dapat dilakukan 3 kali. Oleh karena itu, produktivitas
para penyuling minyak nilam dapat ditingkatkan dengan menggunakan
alat prototipe penyulingan (Yuhono dan Shinta, 2006).
Penggunaan kayu bakar dalam sistem penyulingan skala IKM
lebih besar. Hal tersebut dapat dilihat dari energi yang disuplai kayu
bakar dalam sistem penyulingan skala IKM lebih besar. Bila ditinjau dari
penggunaan kayu bakar, sistem penyulingan menggunakan prototipe
boiler lebih ekonomis dibandingkan boiler skala IKM. Berdasarkan
pertimbangan keekonomisan, dengan menggunakan prototipe boiler, para
penyuling minyak nilam dapat menghemat biaya bahan bakar (Yuhono
dan Shinta, 2006).
Energi yang disuplai kayu dalam sistem penyulingan skala IKM
sebesar 3.365,98 MJ, tidak dapat dimanfaatkan secara optimal dalam
pembentukan energi uap air. Energi yang disuplai kayu tersebut hilang
(loss) begitu saja. Adanya kehilangan energi tersebut membuat efisiensi
boiler skala IKM menjadi rendah. Kehilangan energi pada boiler IKM
lebih besar dengan ditandai suhu yang terukur pada permukaan boiler
IKM lebih besar daripada prototipe, yaitu sebesar 178,5 °C sedangkan
pada prototipe boiler sebesar 158,83 °C. Pada prototipe boiler,
efisiensinya mencapai 77,59 %. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar
energi yang disuplai kayu digunakan untuk menghasilkan energi uap air.
Energi dari suplai kayu yang hilang pada prototipe boiler hanya sebesar
427,73 MJ setara dengan 22,41 % dari total uap air yang dihasilkan.
b. Pembandingan Efisiensi Ketel Suling Skala IKM dengan Prototipe
Efisiensi ketel suling dalam sistem penyulingan perlu
diperhatikan. Efisiensi ketel ditinjau dari kehilangan panas yang mungkin
terjadi pada ketel selama proses penyulingan dan kinerjanya. Kinerja
ketel suling skala IKM dan prototipe ketel suling telah dibahas
sebelumnya. Oleh karena itu, pada bagian pembahasan ini, yang akan
dibahas lebih jauh yaitu mengenai kehilangan panas terhadap efisiensi
75
ketel. Kehilangan panas pada ketel suling sama dengan salah satu
kehilangan energi dalam proses penyulingan.
Efisiensi prototipe ketel suling sebesar 97,20 % sedangkan
efisiensi ketel suling skala IKM sebesar 94,75 %. Efisiensi dari kedua
alat tersebut hampir sama, hanya saja efisiensi ketel suling skala IKM
lebih rendah 2,45 %. Pada prototipe ketel suling kehilangan panas total
sebesar 39,41 MJ sedangkan kehilangan panas di ketel suling skala IKM
sebesar 59,02 MJ. Berdasarkan kehilangan panas total di kedua ketel
tersebut, terlihat bahwa kehilangan panas pada ketel suling skala IKM
lebih besar maka sudah tentu efisiensinya lebih rendah. Oleh sebab itu,
semakin besar kehilangan panas di ketel suling, maka semakin rendah
efisiensinya. Data-data tersebut dapat dilihat dalam Tabel 14.
Tabel 14. Perbandingan efisiensi ketel skala IKM dengan prototipe
Keterangan Skala IKM Prototipe
Energi yang masuk ke ketel 1.123,50 MJ 1.406,39 MJ
Kehilangan energi di ketel :
1. Tutup ketel
2. Dinding ketel non-
glasswool
3. Dinding ketel glasswool
4. Bodem ketel
10,23 MJ 8,86 MJ
48,79 MJ 9,23 MJ
- 18,27 MJ
- 3,06 MJ
Pengurangan kehilangan
panas dengan glasswool - 61,86 MJ
Total kehilangan panas ketel 59,02 MJ 39,41 MJ
Efisiensi ketel 94,75 % 97,20 %
Kehilangan terbesar panas di ketel suling skala IKM terdapat di
bagian dinding ketel yaitu sebesar 48,79 MJ. Hal ini disebabkan tidak
adanya penahan panas (glasswool) pada dinding ketel. Pada dinding
prototipe ketel suling kehilangan panas tidak terlalu besar yaitu sebesar
9,23 MJ karena sebagian besar dinding diselimuti glasswool. Kehilangan
76
panas pada dinding prototipe ketel jauh lebih kecil dari ketel suling skala
IKM. Hal ini tidak terlepas dari peran glasswool yang meminimalkan
panas yang keluar dari dinding ketel.
Glasswool memang dapat mengurangi kehilangan panas pada
dinding ketel. Namun demikian kehilangan panas tidak dapat dicegah
100 % dengan glasswool. Hal ini terbukti dengan pengukuran suhu pada
glasswool yang digunakan untuk menghitung kehilangan kalornya. Suhu
yang terukur pada permukaan glasswool ternyata masih cukup tinggi.
Oleh karena itu, kehilangan panas terjadi pula di glasswool ketel suling
prototipe.
Kehilangan panas di glasswool pada dinding prototipe ketel
suling sebesar 18,27 MJ. Total kehilangan panas di dinding dan
glasswool prototipe ketel suling sebesar 39,41 MJ. Kehilangan panas
total pada dinding prototipe ketel jauh lebih kecil bila dibandingkan
dengan kehilangan panas total pada dinding ketel suling skala IKM.
Perbandingan kehilangan panas pada ketel suling skala IKM dengan
prototipe dapat dibandingkan dengan melihat Lampiran 3.
c. Pembandingan Efisiensi Kondensor Skala IKM dengan Prototipe
Kondensor skala IKM memiliki ukuran lebih kecil dari prototipe
kondensor. Keduanya memiliki bentuk yang sama yaitu koil. Luas
permukaan pindah panas kondensor skala IKM ditentukan dengan rumus
yang telah diterangkan pada sub bab sebelumnya. Perbandingan efisiensi
kondensor skala IKM dengan prototipe dapat dilihat dalam Tabel 15.
Tabel 15. Perbandingan efisiensi kondensor skala IKM dengan prototipe
Keterangan Skala IKM Prototipe
Energi yang masuk ke
kondensor 1.059,27 MJ 1.355,63 MJ
Energi yang diserap air
pendingin 801,06 MJ 1.336,29 MJ
77
Keterangan Skala IKM Prototipe
Efisiensi kondensor 75,62 % 98,57 %
Efisiensi kondensor skala IKM yang terukur sebesar 75,62 %
sedangkan efisiensi prototipe kondensor sebesar 98,57 %. Nilai efisiensi
prototipe kondensor sangat tinggi sebesar 98,57 %. Persentase efisiensi
kondensor yang tinggi disebabkan oleh air pendingin yang dapat
menyerap panas dari pipa kondensor secara optimal. Suhu destilat yang
dihasilkan pada penyulingan IKM lebih tinggi dari prototipe yaitu
sebesar 35,91 °C sedangkan suhu destilat pada penyulingan prototipe
sebesar 31,17 °C.
Berdasarkan keterkaitan efisiensi dan suhu destilat yang keluar
dari kondensor, maka kondensor skala IKM lebih pendek daripada
prototipe kondensor. Selain berdasarkan, keterkaitan efisiensi dan suhu
destilat, panjang kondensor skala IKM dapat diperkirakan berdasarkan
fenomena laju destilatnya.
Laju destilat yang tinggi seharusnya menghasilkan suhu destilat
yang tinggi pula sedangkan laju destilat yang rendah akan menghasilkan
suhu destilat yang rendah pula. Hal itu terkait dengan lamanya kontak
panas kondensor dengan air pendingin (berhubungan dengan dimensi
kondensor).
Laju destilat pada skala IKM lebih kecil daripada prototipe,
namun suhu destilatnya lebih tinggi. Fenomena ini menandakan waktu
kontak panas kondensor dengan air pendingin cukup singkat walaupun
laju destilatnya rendah. Hal ini membuktikan pipa kondensor skala IKM
pendek serta luas penampang pindah panasnya lebih pendek. Laju
destilat pada prototipe kondensor cukup tinggi tetapi suhu destilatnya
cenderung rendah. Fenomena tersebut menandakan waktu kontak panas
prototipe kondensor dengan air pendingin lebih lama (Santoso, 1990).
Hal ini membuktikan pipa prototipe kondensornya panjang.
78
d. Pembandingan Efisiensi Separator Skala IKM dengan Prototipe
Separator merupakan salah satu alat yang penting dalam sistem
penyulingan. Campuran minyak dengan air akan dipisahkan di dalam alat
ini. Prinsip pemisahan minyak dengan air yang berlaku di separator skala
IKM sama dengan prototipe separator walaupun bentuknya berbeda.
Separator dikatakan efisien penggunaannya bila minyak dapat
langsung terpisah sempurna dengan air setelah keluar dari separator.
Indikator minyak terpisah sempurna dengan air yaitu penampakan
minyak yang jernih setelah keluar dari separator. Selain itu air sisa
penyulingan tidak mengandung butir-butir minyak.
Separator skala IKM masih belum efisien bila ditinjau dari segi
disain. Disain tabung dalam separator skala IKM diameternya lebih besar
daripada diameter tabung dalam prototipe separator. Diameter tabung
dalam separator yang terlalu luas sulit untuk menyatukan butiran-butiran
minyak yang terdapat di air lapisan atas dalam tabung bagian dalam
separator. Diameter tabung bagian dalam prototipe separator juga belum
optimal untuk menyatukan butiran-butiran minyak pada lapisan atas
permukaan air pada tabung bagian dalam prototipe separator. Diameter
tabung bagian dalam untuk tiap separator telah dijelaskan pada sub bab
pembahasan sebelumnya.
e. Pembandingan Efisiensi Proses Penyulingan Secara Keseluruhan
Efisiensi proses penyulingan secara keseluruhan sangat
ditentukan dari tiap sub sistem yang menyusunnya. Efisiensi proses
penyulingan secara keseluruhan pada penyulingan IKM dan prototipe
dapat dilihat dalam Gambar 32 dan 33. Gambar 32 memperlihatkan
efisiensi pada setiap sub sistem penyulingan IKM dan efisiensi proses
penyulingan secara keseluruhan sebesar 23,80 %. Nilai efisiensi tersebut
masih sangat rendah. Bila dilihat berdasarkan efisiensi sub sistemnya,
nilai efisiensi proses penyulingan keseluruhan yang rendah, disebabkan
rendahnya nilai efisiensi pada boiler yang digunakan yaitu sebesar 33,92
%. Pada proses penyulingan skala IKM, energi banyak terbuang di
79
boiler. Selain efisiensi boilernya yang rendah, rendahnya efisiensi proses
penyulingan keseluruhan juga disebabkan oleh rendahnya efisiensi
kondensor. Air pendingin di dalam bak kondensor belum terlalu optimal
dalam menyerap panas dari kondensor. Hal ini terlihat dari suhu destilat
yang dihasilkan masih lebih tinggi dari suhu destilat hasil penyulingan
prototipe yaitu sebesar 35,91 °C.
Berdasarkan Gambar 33, efisiensi proses penyulingan
keseluruhan prototipe jauh lebih baik daripada skala IKM yaitu sebesar
70,01 %. Hal tersebut tidak terlepas dari efisiensi tiap sub sistemnya.
Misalnya saja efisiensi prototipe boiler dan kondensor jauh lebih baik
daripada IKM. Dengan demikian, efisiensi proses secara keseluruhannya
pun akan lebih meningkat.
80
Gambar 32. Neraca energi proses penyulingan IKM
Boiler ξ = 33,92 %
Tair awal = 27,5 °C
Tsteam = 100 °C
Energi kayu
bakar (padatan) 3.365,98 MJ
Loss energi di boiler
2.224,32 MJ
Energi steam yang keluar
(uap), Tsteam = 100 °C 1.141,66 MJ
Loss energi di pipa boiler-ketel
18,16 MJ ξ = 98,41 %
Ketel P = < 1 bar gauge
ξ = 94,75 %
Energi uap air yang masuk
ke ketel (uap) 1.123,50 MJ
Loss energi di seluruh
permukaan bagian ketel 59,02 MJ
Energi uap air yang masuk
ke kondensor (uap) T = 100 °C
1.059,27 MJ
Loss energi di pipa ketel-
kondensor ξ = 99,51 %
5,20 MJ
Kondensor (uap-cairan)
801,06 MJ ξ = 75,62 %
Destilat (Minyak dan Air)
T = 35,91 °C, ξtotal = 23,80 %
81
Gambar 33. Neraca energi proses penyulingan prototipe
Boiler ξ = 77,59 %
Tair awal = 25,5°C
Tsteam = 145,2 °C
Energi kayu
bakar (padatan) 1.908,66 MJ
Loss energi di boiler
427,73 MJ
Energi uap air yang keluar (uap), Tsteam =
145,2 °C 1.480,93 MJ
Loss energi di pipa boiler-ketel
74,54 MJ ξ = 94,97 %
Ketel P = 0,5;1;1,5 bar
gauge ξ = 97,20 %
Energi uap air yang masuk ke ketel (uap)
1.406,39 MJ
Loss energi di seluruh
permukaan bagian ketel 39,41 MJ
Energi uap air yang masuk ke kondensor
(uap) T =
111,61;120,42;127,62 °C 1.355,63 MJ
Loss energi di pipa ketel-
kondensor ξ = 99,17 %
11,34 MJ
Kondensor (uap-cairan)
1.336,29 MJ ξ = 98,57 %
Destilat (Minyak dan Air)
T = 31,17 °C, ξtotal = 70,01 %
82
4. Pemurnian Minyak Hasil Penyulingan
Kerusakan mutu minyak selama penyimpanan dapat terjadi karena
reaksi oksidasi atau hidrolisis oleh air. Hal tersebut tentunya menyebabkan
bilangan asam meningkat dan mutu minyak turun. Oleh karena itu, agar
tidak terjadi kerusakan pada minyak selama masa penyimpanan, dilakukan
pemurnian minyak nilam dari air menggunakan natrium sulfat anhidrat
(Guenther, 1947).
Natrium sulfat anhidrat yang ditambahkan dikocok sehingga air
dapat diserap sempurna. Bila minyak telah berwarna jernih, maka minyak
dipisahkan dari endapan natrium sulfat anhidrat. Natrium sulfat anhidrat
tidak bereaksi dengan minyak nilam sehingga tidak akan berpengaruh
terhadap mutu minyak nilam. Penggunaan natrium sulfat anhidrat yang
berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya rendemen minyak (Guenther,
1947).
5. Pembandingan Mutu Minyak Nilam Hasil Penyulingan IKM dengan Prototipe
Mutu dan rendemen minyak nilam hasil proses penyulingan
ditentukan oleh beberapa hal mulai dari varietas nilam yang digunakan,
penanganan bahan pasca panen, proses penyulingan, dan penyimpanan.
Varietas daun nilam menentukan jumlah rendemen dan aroma. Varietas
yang dianggap unggul yaitu varietas nilam Aceh. Varietas nilam Aceh ini
memiliki rendemen yang tinggi dan aroma yang lebih kuat dibandingkan
dengan varietas lainnya. Kandungan Patchouly Alcohol (PA) nilam Aceh
lebih tinggi.
Penanganan pasca panen daun nilam yang tepat juga dapat
meningkatkan rendemen dan mutu minyak nilam (Guenther, 1947).
Penanganan pasca panen yang dimaksud yaitu pengeringan dan perajangan
yang dilakukan sebelum proses penyulingan. Pengeringan dimaksudkan
untuk mengurangi kadar air dalam bahan, sehingga minyak akan lebih
mudah disuling. Selain untuk mempermudah penyulingan, pengeringan juga
bertujuan untuk menghindari tumbuhnya jamur pada nilam kering yang
83
belum akan disuling (Santoso, 1990). Begitu pula dengan perajangan yang
ditujukan untuk membuka kantung minyak dalam batang dan daun nilam
agar minyak lebih cepat keluar saat disuling (Ketaren, 1985). Berikut ini
contoh nilam kering yang siap suling.
Gambar 34. Daun dan batang nilam kering
Kondisi proses penyulingan juga memiliki peranan penting dalam
menghasilkan kualitas minyak nilam baik dari segi warna, bau, tingkat
keasaman, dan kandungan Patchouly Alcohol (PA). Bagian proses
penyulingan yang dapat mempengaruhi kualitas minyak nilam hasil
sulingan yaitu penerapan tekanan bertahap dalam ketel suling (Lesmayanti,
2004). Titik kritis dari penetapan tekanan dalam ketel adalah pengendalian
uap air yang masuk ke dalam ketel dari boiler dan pengendalian laju
destilat.
Penyulingan minyak nilam skala IKM umumnya tidaknya
menggunakan perlakuan tertentu. Tekanan uap air yang diberikan dalam
ketel suling skala IKM sesuai dengan kemampuan boiler skala IKM dalam
menghasilkan uap air. Kemampuan boiler skala IKM tersebut tidak terlepas
dari besar kecilnya nyala api dalam tungku. Penyulingan minyak nilam
dengan peralatan prototipe menerapkan perlakuan tekanan bertahap dalam
proses penyulingannya. Adanya perbedaan kondisi penyulingan
memungkinkan adanya perbedaan mutu minyak nilam yang dihasilkan.
Perbedaan mutu minyak secara keseluruhan hasil penyulingan skala IKM
84
dengan minyak hasil penyulingan hasil peralatan prototipe dapat dilihat
pada Tabel 16.
Tabel 16. Perbedaan mutu minyak hasil skala IKM dengan prototipe
No. Parameter Skala IKM Prototipe SNI 06-2385-
2006
1. Penampakan warna
minyak nilam
Kuning
agak
kecokelatan
Kuning
kecokelatan
Kuning
muda-cokelat
kemerahan
2. Indeks bias (nD20) 1,488 1,414 1,507-1,515
3. Bobot jenis (t = 20
°C) 0,973 0,953 0,950 – 0,975
4. Putaran optik -53,6 -63,8 (-)48° - (-)65°
5. Bilangan asam 1,51 8,21 Maksimal 8
6. Kelarutan dalam
etanol 90 % 1 : 8,5 1 : 3,5
Maksimal 1 :
10
7. Bilangan ester 5,57 35,58 Maksimal 20
8. Kadar Patchouly
Alcohol (% PA) 35,54 34,45 Minimal 30
a. Pembandingan Rendemen Minyak Hasil Penyulingan Berdasarkan Tekanan dalam Ketel Suling
Efisiensi peralatan penyulingan tentunya akan berpengaruh terhadap
rendemen karena rendemen merupakan output dari proses yang dilakukan
peralatan penyulingan (Yuhono dan Shinta, 2006). Semakin tinggi efisiensi
suatu alat maka semakin tinggi pula output yang dihasilkan dengan energi
yang seminimal mungkin. Efisiensi yang tinggi pada proses penyulingan
minyak nilam ditandai dengan tingginya minyak yang dapat tersuling dari
nilam kering, sehingga mencapai batas maksimal minyak yang terkandung
dalam nilam kering.
Efisiensi dan kehilangan panas pada prototipe peralatan penyulingan
tidak terlalu dipengaruhi oleh perlakuan tekanan yang dimaksudkan untuk
85
mempercepat proses penyulingan. Namun perlakuan tekanan dalam ketel
selama proses penyulingan akan membawa dampak pada kualitas dan
jumlah rendemen minyak nilam yang dihasilkan.
Menurut Yuhono dan Shinta (2006), minyak atsiri yang bermutu
tinggi dengan harga pokok relatif rendah (rendemen ≥ 2 %) dapat diperoleh
dengan menggunakan peralatan penyulingan yang efisien dan efektif.
Rendemen minyak nilam hasil penyulingan skala IKM mencapai 2,30 %
(db) dari 2,46 % (db) minyak yang terkandung di dalam nilam kering.
Rendemen minyak nilam hasil penyulingan alat prototipe mencapai 2,5 %
(db) dari 2,61 % (db). Kehilangan rendemen pada penyulingan skala IKM
sebesar 0,16 % (db) sedangkan kehilangan rendemen hasil penyulingan
dengan alat prototipe sebesar 0,11 % (db). Berdasarkan data kehilangan
rendemen tersebut, penyulingan dengan alat prototipe lebih efisien dalam
menghasilkan rendemen yang optimal. Selain itu, penyulingan dengan alat
prototipe dapat menghasilkan rendemen yang optimal dengan waktu yang
relatif lebih singkat dibandingkan dengan peralatan penyulingan skala IKM.
Pada Gambar 35 menunjukkan adanya penambahan minyak yang
tersuling seiring dengan peningkatan tekanan. Namun demikian,
penambahan minyak tersebut akan mencapai batas tertentu dan tidak
mengalami penambahan. Hal tersebut dikarenakan minyak dalam bahan
telah habis tersuling. Berdasarkan Gambar 35, peningkatan tekanan dari 0,5
bar menjadi 1 bar akan menambah perolehan minyak sebanyak 305,6 gram.
Peningkatan tekanan dari 1 bar menjadi 1,5 bar akan menambah perolehan
minyak sebanyak 524,8 gram.
Pada tekanan 0,5 dan 1 bar gauge minyak yang tersuling cukup
banyak. Hal ini dikarenakan jumlah komponen minyak yang diekstrak
dengan titik didih lebih rendah dari 120,42 °C lebih banyak daripada jumlah
komponen minyak yang bertitik didih di atas 120,42 °C. Selain itu,
peningkatan tekanan menjadi 1,5 bar atau lebih, tidak dapat menyuling lebih
banyak minyak. Hal tersebut dikarenakan kandungan minyak dalam daun
dan ranting nilam sudah semakin sedikit.
86
955.4
1,261.0
524.8
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0.5 1 1.5Tekanan (bar gauge)
Jumlah minyak nilam (gram)
Gambar 35. Pengaruh peningkatan tekanan terhadap jumlah minyak
b. Pembandingan Warna Minyak Nilam
Warna minyak nilam merupakan salah satu daya tarik dari minyak
nilam selain baunya yang khas. Warna minyak nilam dapat rusak bila proses
penyulingan dilakukan terlalu lama. Selain waktu proses penyulingan yang
terlalu lama, warna minyak nilam dapat rusak karena penggunaan suhu
penyulingan yang terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
terjadinya kegosongan (burnt) (Lesmayanti, 2004).
Minyak nilam hasil penyulingan skala IKM memiliki warna yang
lebih terang dibandingkan dengan minyak nilam hasil penyulingan dengan
menggunakan alat prototipe. Perbandingan warna kedua minyak nilam
tersebut dapat dilihat pada Gambar 37.
Minyak nilam hasil penyulingan skala IKM memiliki warna yang
lebih cerah karena suhu uap yang digunakan tidak terlalu tinggi. Suhu uap
yang tidak tinggi dikarenakan tekanan yang diterapkan dalam proses
penyulingan tidak lebih dari 1 bar. Oleh karena itu, tekanan juga dapat
mempengaruhi perubahan warna minyak (Lesmayanti, 2004).
87
Gambar 36. Perbandingan minyak hasil penyulingan skala IKM dengan prototipe : (a) minyak nilam hasil penyulingan skala IKM, (b) minyak nilam hasil penyulingan alat prototipe
Warna minyak nilam hasil penyulingan dengan alat prototipe
berubah seiring dengan peningkatan tekanan dapat dilihat pada Gambar 37.
Pada gambar tersebut, minyak nilam akan cenderung semakin berwarna
gelap seiring dengan peningkatan tekanan. Hal tersebut dikarenakan adanya
kenaikan suhu yang cenderung membuat minyak menjadi gosong. Warna
yang gosong pada minyak nilam sangat dihindari karena dapat menurunkan
kualitas bau dari minyak tersebut (Ketaren, 1985).
Gambar 37. Perbandingan minyak nilam per tahapan tekanan : (a) minyak
hasil tekanan 0,5 bar, (b) minyak hasil tekanan 1 bar, (c) minyak hasil tekanan 1,5 bar.
(a) (b)
(a) (b) (c)
88
Gambar 37 menunjukkan penerapan tekanan 1,5 bar gauge pada
proses penyulingan prototipe akan merusak warna minyak nilam. Pada
tekanan tersebut, warna minyak nilam menjadi gelap atau mengalami
kegosongan. Dengan demikian, proses penyulingan sebaiknya dilakukan
pada tekanan di bawah 1,5 bar gauge agar tidak merusak warna minyak
nilam. Kelemahan warna minyak yang dihasilkan pada tekanan 1,5 bar
gauge dapat diatasi dengan mencampurkan minyak hasil penyulingan
dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar dengan perbandingan yang sesuai
dengan perolehan minyak tiap tahapannya. Selain itu, agar tidak terjadi
kegosongan pada warna minyak nilam yang dihasilkan sebaiknya batas
tertinggi penerapan tekanan dalam proses penyulingan kurang dari 1,5 bar
gauge.
c. Pembandingan Indeks Bias
Nilai indeks bias dipengaruhi oleh kekentalan dan kerapatan minyak,
semakin tinggi kerapatan minyak maka nilai indeks biasnya semakin tinggi.
Kerapatan minyak yang tinggi disebabkan banyaknya komponen minyak
yang merupakan fraksi berat yaitu seskuiterpen (Nurjannah, et al., 1991).
Menurut Deguerry, et al. (2006), komponen seskuiterpen minyak nilam
mayoritas berupa patchoulol.
Berdasarkan data Tabel 16, fraksi berat hasil penyulingan skala IKM
lebih besar daripada hasil penyulingan dengan alat prototipe. Hal ini dapat
disebabkan oleh waktu penyulingan pada skala IKM yang lebih lama
daripada penyulingan dengan alat prototipe. Peningkatan tekanan pada
kondisi proses penyulingan prototipe menyebabkan nilai indeks biasnya
meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah fraksi berat dalam
minyak sehingga kerapatan molekul minyak semakin tinggi. Keterkaitan
peningkatan tekanan terhadap nilai indeks bias dapat dilihat pada Gambar
38.
89
1.414
1.417
1.415
1.413
1.41
1.411
1.412
1.413
1.414
1.415
1.416
1.417
1.418
0.5 1 1.5 Campuran
Tekanan (bar gauge)
Nilai indeks bias
Gambar 38. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai indeks bias minyak nilam
Pada Gambar 38 terlihat nilai indeks bias terendah dihasilkan dari
kondisi proses penyulingan dengan tekanan 0,5 bar yaitu sebesar 1,413.
Nilai indeks bias tertinggi diperoleh dari penyulingan dengan tekanan 1,5
bar sebesar 1,417. Hal tersebut menunjukkan pada tekanan 1,5 bar,
komponen yang tersuling merupakan komponen berat yang menyebabkan
nilai indeks biasnya tinggi. Selain itu, semakin lama waktu penyulingan
maka nilai indeks bias akan semakin meningkat (Guenther, 1947).
Pencampuran pada minyak hasil penyulingan prototipe dimaksudkan untuk
memperoleh nilai indeks bias minyak secara keseluruhan dalam satu kali
proses penyulingan dengan peralatan prototipe.
d. Pembandingan Bobot Jenis
Tinggi rendahnya nilai bobot jenis minyak bergantung pada
komponen yang dominan di dalam minyak tersebut. Semakin tinggi bobot
jenis minyak nilam maka semakin tinggi kandungan komponen fraksi
beratnya. Fraksi-fraksi berat tersebut tentunya memiliki angka bobot
molekul yang tinggi (Nurjanah, et al., 1991).
Berdasarkan data Tabel 16, bobot jenis minyak hasil penyulingan
skala IKM sebesar 0,973 sedangkan bobot jenis minyak hasil penyulingan
dengan alat prototipe sebesar 0,953. Bobot jenis minyak nilam hasil
1.410
90
0.953
0.9870.975
0.914
0.86
0.88
0.9
0.92
0.94
0.96
0.98
1
0.5 1 1.5 Campuran
Tekanan (bar gauge)
Nilai bobot jenis
penyulingan dengan alat prototipe lebih rendah dari skala IKM. Hal ini
membuktikan komponen fraksi berat dalam minyak hasil penyulingan
dengan alat prototipe lebih sedikit. Hal tersebut juga didukung dari
pengujian indeks biasnya.
Peningkatan tekanan dalam kondisi proses penyulingan prototipe
dapat mengekstrak komponen fraksi berat. Fraksi berat dalam proses sistem
penyulingan prototipe dapat terekstrak dengan menggunakan tekanan 1,5
bar gauge. Semakin tinggi tekanan yang diterapkan dalam kondisi proses
penyulingan prototipe maka semakin tinggi bobot jenisnya. Selain itu,
semakin lama proses penyulingan maka bobot jenis minyak yang dihasilkan
akan semakin tinggi (Guenther, 1947). Hal ini terkait dengan semakin
banyaknya komponen fraksi berat yang dapat terekstrak.
Gambar 39. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai bobot jenis
minyak nilam
Berdasarkan Gambar 39 bobot jenis minyak terendah diperoleh dari
hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar sebesar 0,914. Hal tersebut
dikarenakan pada kondisi tekanan penyulingan 0,5 bar, komponen yang
tersuling merupakan komponen ringan. Nilai bobot jenis tertinggi diperoleh
dari proses penyulingan dengan 1,5 bar sebesar 0,967. Bobot jenis minyak
secara keseluruhan sebesar 0,953. Bobot jenis minyak keseluruhan tersebut
91
diperoleh dengan menguji minyak nilam campuran dari hasil proses
penyulingan dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar. Dengan demikian,
bobot jenis minyak keseluruhan dalam satu kali proses penyulingan dengan
peralatan prototipe dapat diketahui.
e. Pembandingan Putaran Optik
Nilai putaran optik dapat dipengaruhi oleh komponen dalam minyak
nilam dan lama waktu penyulingan saat proses penyulingan. Bila nilai
negatif putaran optik semakin tinggi maka komponen yang memutar bidang
polarisasi ke arah kiri lebih banyak. Demikian pula sebaliknya, bila nilai
positif putaran optik semakin tinggi maka komponen yang memutar bidang
polarisasi ke arah kanan lebih dominan (Ketaren, 1985).
Minyak hasil penyulingan skala IKM memiliki nilai putaran optik
yang lebih tinggi daripada minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe.
Nilai putaran optik minyak nilam hasil penyulingan skala IKM sebesar -53,6
sedangkan minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe sebesar -63,8.
Dengan demikian, komponen minyak skala IKM lebih bersifat memutar
bidang polarisasi ke arah kanan.
Peningkatan tekanan dalam sistem penyulingan prototipe akan
mengekstrak lebih banyak komponen yang bersifat memutar ke kiri. Dengan
demikian, semakin tinggi tekanan yang diterapkan dalam kondisi proses
penyulingan, maka semakin rendah nilai putaran optiknya. Hal ini dapat
dilihat pada Gambar 40.
92
-56.3
-66.5-72.5
-63.8
-80
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
00.5 1 1.5 Campuran
Tekanan (bar gauge)
Nilai putaran optik
Gambar 40. Hubungan peningkatan tekanan terhadap nilai putaran optik minyak nilam
Berdasarkan Gambar 40, nilai putaran optik tertinggi diperoleh dari
proses penyulingan dengan tekanan 0,5 yaitu sebesar -56,3. Nilai putaran
optik terendah diperoleh dari proses penyulingan dengan tekanan 1,5 bar
sebesar -72,5. Komponen berat pada minyak nilam bersifat memutar ke kiri.
Dengan demikian, dapat terlihat bahwa minyak nilam yang diperoleh pada
tekanan 1,5 bar didominasi dengan komponen berat. Uji nilai putaran optik
pada minyak hasil penyulingan dengan tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar
dimaksudkan untuk mendapatkan nilai putaran optik dari minyak yang
dihasilkan pada satu kali proses penyulingan.
f. Pembandingan Bilangan Asam
Sebagian besar komponen minyak nilam terdiri dari komponen-
komponen bersifat asam. Komponen-komponen bersifat asam ini terdapat
pada komponen-komponen dengan bobot molekul tinggi (Zainuddin,
Dadan, dan Yanyan, 2004). Komponen-komponen dengan bobot molekul
yang tinggi tidak mudah diekstrak. Oleh karena itu diperlukan tekanan
bertahap dalam proses penyulingan ini. Namun bila nilai bilangan asam
93
1.15
6.34
23.69
8.21
0
5
10
15
20
25
0.5 1 1.5 Campuran
Tekanan (bar gauge)
Bilangan asam
terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada minyak yang berupa
perubahan bau minyak (Guenther, 1947).
Bilangan asam pada minyak hasil penyulingan skala IKM hanya
sebesar 1,51 sedangkan minyak hasil penyulingan dengan alat prototipe
bilangan asamnya mencapai 8,21. Tingginya bilangan asam minyak hasil
penyulingan dengan alat prototipe disebabkan tingginya suhu penyulingan.
Hal tersebut dikarenakan adanya perlakuan tekanan bertahap. Semakin
tinggi tekanan yang digunakan selama penyulingan, maka suhu juga akan
meningkat. Semakin tinggi tekanan yang digunakan, semakin tinggi
bilangan asam minyak nilam (Ketaren, 1985). Fenomena ini dapat dilihat
dalam data analisa minyak pada Lampiran 6 dan pada Gambar 41.
Gambar 41. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan asam
Pada Gambar 41 terlihat bahwa minyak nilam hasil penyulingan
dengan tekanan 0,5 bar memiliki nilai bilangan asam yang terendah yaitu
sebesar 1,15. Pada minyak nilam hasil penyulingan dengan tekanan 1,5 bar
bilangan asamnya sangat tinggi. Hal tersebut dikarenakan komponen fraksi
berat yang tersuling pada tekanan 1,5 bar bersifat asam (Zainuddin, Dadan,
dan Yanyan, 2004). Oleh karena itu, agar nilai bilangan asam minyak nilam
hasil penyulingan dengan alat prototipe tidak terlalu tinggi, maka diperlukan
pencampuran minyak hasil dari ketiga proses penyulingan tersebut. Dengan
94
pencampuran tersebut, bilangan asam yang dihasilkan tidak terlalu tinggi
yaitu sebesar 8,21. Selain itu, untuk mendapatkan minyak nilam dengan
bilangan asam yang rendah dapat dilakukan dengan menurunkan tekanan
kurang dari 1,5 bar gauge.
g. Pembandingan Kelarutan Alkohol 90 %
Minyak nilam hasil penyulingan skala IKM lebih sukar larut dalam
etanol 90 %. Hal ini ditandai dengan tingginya nilai perbandingan
kelarutannya yaitu 1 : 8,5. Fenomena sebaliknya terjadi pada minyak hasil
penyulingan menggunakan peralatan prototipe. Minyak hasil penyulingan
dengan alat prototipe lebih mudah larut dalam alkohol dengan perbandingan
1 : 3.
Kelarutan minyak nilam dalam etanol juga dipengaruhi komponen
yang ada di dalamnya. Bila komponen yang lebih dominan di dalam minyak
nilam adalah seskuiterpen dan terpen-Onya cenderung sedikit, maka minyak
akan sukar larut dalam alkohol. Dengan demikian, komponen yang dominan
dalam minyak hasil skala IKM seskuiterpen dan kandungan terpen-Onya
kecil. Hal ini seiring dengan hasil pengujian bobot jenis dan indeks biasnya
yang cenderung tinggi.
Pada minyak nilam hasil penyulingan dengan peralatan prototipe,
peningkatan tekanan menghasilkan minyak nilam yang makin mudah larut
dengan alkohol. Hal tersebut dikarenakan kadar patchouly alcohol makin
meningkat seiring dengan perlakuan tekanan. Bila kadar patchouly alcohol
dalam minyak nilam meningkat maka kelarutan dalam alkoholnya pun
meningkat. Hal ini dikarenakan patchouly alcohol termasuk ke dalam
golongan seskuiterpen alkohol (Zainuddin, Dadan, dan Yanyan, 2004).
h. Pembandingan Bilangan Ester
Bilangan ester dapat menurun karena adanya hidrolisa ester menjadi
asam dan alkohol. Komponen ester dalam minyak nilam merupakan salah
satu komponen yang membentuk bau khas pada minyak. Komponen ester
dalam minyak hasil penyulingan dengan peralatan prototipe lebih tinggi
95
17.522.54
57.62
35.58
0
10
20
30
40
50
60
70
0.5 1 1.5 Campuran
Tekanan (bar gauge)
Bilangan ester
sehingga bau khas minyak nilam lebih terasa daripada minyak hasil
penyulingan skala IKM.
Bilangan ester akan menurun bila terjadi hidrolisa ester dengan air
dan suhu yang terlalu tinggi. Hidrolisa ester akan meningkatkan bilangan
asam. Hal tersebut dikarenakan hidrolisa ester akan menghasilkan asam dan
alkohol. Semakin tinggi tekanan yang diterapkan dalam kondisi proses,
maka semakin tinggi pula suhu yang digunakan. Dengan demikian, semakin
tinggi tekanan, semakin tinggi pula bilangan esternya (Guenther, 1947). Hal
ini dapat dilihat pada Gambar 42.
Pada tekanan 1,5 bar bilangan ester dari minyak nilam sebesar 57,62.
Dengan demikian, kandungan minyak tersebut sebagian besar didominasi
oleh komponen ester. Bau khas nilam lebih menyengat pada minyak hasil
penyulingan dengan tekanan 1,5 bar. Hal ini dikarenakan komponen ester
yang membentuk aroma khas dari minyak (Ketaren, 1985).
Gambar 42. Hubungan peningkatan tekanan terhadap bilangan ester
i. Pembandingan Kadar Patchouly Alcohol (PA)
Patchouly alcohol (PA) merupakan komponen yang paling penting
dalam minyak nilam. Semakin tinggi kadar PA minyak nilam, maka
semakin tinggi harga jualnya. Kadar PA ditentukan dari kualitas jenis nilam
yang disuling. Kadar PA minyak nilam hasil penyulingan skala IKM
96
8.57
49.31 50.86
34.45
0
10
20
30
40
50
60
0.5 1 1.5 Campuran
Tekanan (bar gauge)
Kadar Patchouly Alcohol (%)
hampir sama dengan kadar PA minyak nilam hasil penyulingan dengan
peralatan prototipe. Hal ini disebabkan kesamaan penggunaan jenis nilam.
Patchouly alcohol merupakan senyawa seskuiterpen alkohol tersier.
Tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik yang
lain. Mempunyai titik didih 280,37 °C dan kristal yang terbentuk memiliki
titik leleh 56 °C (Zainuddin, Dadan, dan Yanyan, 2004).
Komponen patchouly alcohol dapat tersuling pada suhu yang agak
tinggi. Oleh karena itu, tingginya kadar PA dalam minyak nilam hasil
penyulingan dengan peralatan prototipe terdapat pada perlakuan tekanan 1
bar dan 1,5 bar. Pada tekanan tersebut suhu menjadi lebih tinggi, sehingga
PA dapat tersuling (Ketaren, 1985). Suhu yang tinggi dikarenakan tekanan
yang semakin tinggi dalam ketel. Kadar PA ini dapat dianalisa melalui uji
Gas Chromatography. Hasil uji GC dari minyak hasil penyulingan skala
IKM dan minyak hasil penyulingan dengan peralatan prototipe dapat dilihat
pada Lampiran 8 dan Gambar 43.
Gambar 43. Pengaruh tekanan bertahap terhadap kadar Patchouly Alcohol
j. Analisa α-copaene dan Besi (Fe)
Analisa α-copaene dan Fe tidak dilakukan dalam penelitian ini.
Namun bila terdapat kandungan α-copaene dan Fe yang melebihi batas
maksimum berdasarkan SNI 2006, maka minyak nilam akan mengalami
penurunan. Berdasarkan gugus fungsinya α-copaene termasuk ke dalam
97
golongan terpen yang dapat teroksidasi. Kadar α-copaene yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan bilangan asam dalam minyak meningkat.
Kandungan Fe dalam minyak hasil penyulingan dengan peralatan
prototipe diasumsikan sangat kecil. Hal tersebut dikarenakan penggunaan
bahan stainless steel pada peralatan prototipe. Kontaminasi Fe pada minyak
nilam dapat menyebabkan perubahan mutu warna minyak nilam (Guenther,
1947).
98
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Peningkatan efisiensi dan efektifitas proses produksi minyak atsiri
khususnya minyak nilam masih dapat dilakukan. Peningkatan efisiensi dan
efektifitas proses produksi minyak nilam ini dapat dilakukan dengan
meningkatkan kinerja peralatan yang digunakan dalam proses penyulingan.
Kinerja peralatan dalam sistem penyulingan minyak nilam dapat
ditingkatkan dengan mengurangi kehilangan panas pada tiap bagian rangkaian
sistem penyulingan. Hal tersebut berlaku bagi ketel suling, pipa penghubung
boiler ke ketel suling, dan pipa penghubung ketel suling ke kondensor.
Pengurangan kehilangan panas dalam ketel dapat dilakukan dengan cara
penggunaan glasswool pada dinding ketel. Penggunaan glasswool dapat
mengurangi kehilangan panas dari 89,35 MJ menjadi 27,49 MJ. Dengan
demikian efisiensi energi di prototipe ketel sebesar 97,20 % sedangkan
efisiensi ketel skala IKM sebesar 94,75 %.
Kehilangan panas di pipa penghubung antar peralatan penyulingan
ditentukan pula oleh panjang pipa penghubung tersebut. Dalam sistem
penyulingan skala IKM kehilangan panas di pipa penghubung sebesar 23,36
MJ sedangkan pada penyulingan prototipe sebesar 85,88 MJ. Hal tersebut
dikarenakan panjang pipa-pipa penghubung dalam sistem penyulingan
prototipe lebih panjang daripada skala IKM sehingga luas permukaan pindah
panasnya lebih besar.
Kinerja dan efisiensi prototipe boiler sudah dapat dikatakan baik karena
tidak ada sisa pembakaran dalam tungku. Oleh sebab itu, penggunaan kayu
sebagai bahan bakar dapat dioptimalkan. Hal tersebut tidak terlepas dari
penggunaan blower dalam pembakaran kayu bakar di ruang pembakaran
prototipe boiler. Selain itu, dengan adanya katup pengatur tekanan pada
prototipe boiler, tekanan uap air yang dihasilkan prototipe boiler lebih besar
daripada boiler IKM. Dengan demikian efisiensi prototipe boiler lebih besar
yaitu 77,59 % dan efisiensi boiler skala IKM hanya sebesar 33,92 %.
99
Kinerja dan efisiensi prototipe kondensor tidak begitu baik karena pipa
kondensor yang digunakan terlalu panjang. Efisiensi prototipe kondensor
sebesar 98,57 % sedangkan efisiensi kondensor skala IKM sebesar 75,62 %.
Kinerja dan efisiensi prototipe peralatan penyulingan secara
keseluruhan dapat dikatakan lebih baik daripada peralatan penyulingan skala
IKM. Penggunaan tekanan bertahap (0,5 bar selama 1 jam, 1 bar selama 2
jam, dan 1,5 bar selama 3 jam) pada penyulingan prototipe menjadikan
kehilangan panas selama proses penyulingannya lebih kecil daripada
penyulingan skala IKM. Selain itu, rendemen yang diperoleh pada
penyulingan prototipe mendekati kadar minyak dalam bahan sebelum suling
dan kehilangan minyak yang terjadi sangat kecil. Perolehan rendemen yang
optimum pada penyulingan prototipe didapat dengan proses penyulingan
selama 6 jam sedangkan pada penyulingan skala IKM selama 8 jam. Hal
tersebut dikarenakan penyulingan prototipe menggunakan perlakuan tekanan
bertahap selama proses penyulingan sehingga waktu penyulingan lebih singkat
dibandingkan dengan penggunaan tekanan konstan yang diterapkan
penyulingan skala IKM.
B. Saran
Pada sistem penyulingan prototipe sudah cukup baik. Namun, masih
terdapat beberapa kekurangan dalam kinerja separator. Sebaiknya dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai disain separator untuk mengoptimalkan
fungsi separator sebagai pemisah minyak dan air.
Pengefisienan energi dalam proses penyulingan dengan alat prototipe
masih dapat dilakukan dengan penggunaan kembali air pendingin dalam
kondensor. Air pendingin yang telah menyerap panas dari kondensor hingga
suhu tertentu dapat dialirkan ke boiler. Pengaliran tersebut diharapkan dapat
mengefisienkan waktu pembentukan uap air di boiler serta penghematan
penggunaan air.
Pemasangan instalasi peralatan penyulingan sebaik tidak terlalu
berjauhan agar penggunaan pipa penghubung tidak terlalu panjang.
100
Penggunaan pipa penghubung yang terlalu panjang dapat menyebabkan
kehilangan panas pada pipa-pipa tersebut menjadi lebih besar.
Sebaiknya tekanan yang digunakan dalam proses penyulingan prototipe
kurang dari 1,5 bar gauge agar tidak merusak mutu minyak yang dihasilkan.
Selain itu, perlu dilakukan pencampuran minyak hasil penyulingan dengan
tekanan 0,5 bar, 1 bar, dan 1,5 bar agar diperoleh rendemen yang tinggi
dengan mutu yang baik sesuai SNI 2006.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahim, dan Martawijaya. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Departemen Kehutanan. Bogor.
Anggraeni, D. 2003. Kinerja Proses Penyulingan Minyak Nilam Pada Tekanan
Uap dan Kepadatan Bahan yang Berbeda. Skripsi. FATETA. Institut Pertanian Bogor.
Ardiana, I. 2006. Kajian Proses Pemucatan Minyak Nilam Menggunakan Asam
Sitrat Pada Skala Pilot Plant. Skripsi. FATETA IPB, Bogor. Dowthwaite, S V. dan Samjamjaras R. 2007. Vertiver : Perfumers’ Liquid Gold.
Thai-Cina Flavours and Fragrances Co. Ltd. Bangkok. Emmyzar, dan Yulius F. 2004. Pola Budidaya untuk Peningkatan Produktifitas
dan Mutu Minyak Nilam (Pogostemon cablin Benth). Vol. XVI, No.2. Perkembangan Teknologi TRO.
Fatahna, I. 2005. Disain dan Uji Kinerja Kondensor dan Analisis Efisiensi Energi
Prototipe Sistem Penyulingan Minyak Atsiri. Skripsi. FATETA. Institut Pertanian Bogor.
Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Semangat Ketaren. 1988.
Direktorat Jenderal Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Guenther, E. 1947. Minyak Atsiri. Diterjemahkan oleh Semangat Ketaren. 1988.
Di dalam Racharto, Aris. 1992. Model Matematik dan Karakteristik Penyulingan Sereh Wangi Menggunakan Metode Uap Langsung. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
Harris, R. 1993. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya. Jakarta. Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka. Jakarta. Ketaren, S. 1987. Minyak Atsiri. UI-PRESS. Jakarta. Ketaren, S. dan Rina. 1991. Mempelajari Cara Pemucatan dan Pengaruh Bahan
Pemucat Terhadap Warna Serta Sifat Fisiko Kimia Minyak Kenanga (Canangium odoratum Baill). Vol. 4(3), 59-68. Teknologi Industri Pertanian.
Kulshrestha, S. K. 1989. Buku Teks Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan
Panas. UI-Press. Jakarta.
Lesmayanti, S. 2004. Modifikasi Proses Penyulingan Minyak Nilam dengan Peningkatan Tekanan Secara Bertahap. Skripsi. FATETA. Institut Pertanian Bogor.
Lutony, T. L dan Y. Rahmayanti 1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri.
Penebar Swadaya. Jakarta. Manitto. 1981. dalam Ardiana, I. 2006. Kajian Proses Pemucatan Minyak Nilam
Menggunakan Asam Sitrat Pada Skala Pilot Plant. Skripsi. FATETA IPB, Bogor.
McCabe, W. L., Julian C. S., Peter H. 2005. Unit Operations of Chemical
Engineering. Seventh Edition. McGraw-Hill International. Nurjannah, N., S. Ketaren, dan Desiyarni. 1991. Percobaan Penyulingan Minyak
Lada Menir. Buletin Littri. Maret. No.2. Nuryani, Y. dan Sutjihno. 1994. Hubungan Berbagai Karakter Morfologi dengan
Produksi dan Kadar Minyak Nilam. Vol. IX, No. 2. Balitro. Racharto, A. 1992. Model Matematik dan Karakteristik Penyulingan Sereh Wangi
Menggunakan Metode Uap Langsung. Skripsi. FATETA IPB. Bogor. Rusli, S. 2003. Nilam, Teknologi Penyulingan dan Penanganan Minyak Bermutu
Tinggi. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. Santoso, H. B. 1990. Bertanam Nilam Bahan Industri Wewangian. Kanisius.
Yogyakarta. Suryani, A., Suprihatin, Semangat K., Meika S. R., Muhammad R., Hermawan,
dan Angga Y. 2007. Panduan Cara Produksi yang Baik Minyak Nilam (GMP). Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah. Departemen Perindustrian. Jakarta.
Utomo, T. 1984. Teori Dasar Fenomena Transpor. IKAPI. Bandung. Wiraatmadja, S. 1989. Peralatan Industri. FATETA-IPB. Bogor. Yuhono J. T. dan Shinta S. 2006. Status Pengusahaan Minyak Atsiri dan Faktor-
faktor Teknologi Pasca Panen yang Menyebabkan Rendahnya Rendemen Minyak. Vol. XVII, No. 2. Bul. Littro.
Zainuddin A., Dadan S., dan Yanyan F. N. 2004. Peningkatan Kadar Patchouli
Alkohol dalam Minyak Nilam (Patchouli Oil) dan Usaha Derivatisasi Komponen Minornya. Vol. XVI. No. 2. Perkembangan Teknologi TRO.
Zemansky, S. 1982. Fisika untuk Universitas 1 Mekanik, Panas, Bunyi. Bina
Cipta. Jakarta.
www. boiler\Boiler - Wikipedia, the free encyclopedia.htm. (Tanggal akses 30
Juli 2008).
104
Lampiran 1. Data-data yang diukur di penyulingan IKM No. Keterangan Jumlah
1. Bobot kayu bakar basah (kg) 369,25
2. Kadar air kayu bakar (%) 62,4
3. Bobot daun dan ranting nilam kering (kg) 154,5
4. Kadar air nilam sebelum penyulingan (%) 35
5. Kadar air nilam sesudah penyulingan (%) 35
6. Kadar minyak nilam sebelum penyulingan (%) 2,46
7. Kadar minyak nilam sesudah penyulingan (%) 0,06
8. Jumlah air yang diuapkan selama proses
penyulingan (liter) 446
9. Suhu air awal (°C) 27,5
10. Suhu udara sekitar (°C) 28
11. Lama waktu penyulingan (jam) 8
Data dimensi :
a) Tempat penyimpanan air : • Diameter :................................................57.....................................cm. • Tinggi :..............................................87,5....................................cm.
b) Boiler : • Diameter :..............................................80.......................................cm. • Panjang :..............................................130.....................................cm.
c) Pipa dari boiler ke ketel suling : • Diameter :....................................95, 84.........................................mm. • Panjang :................................65, 180.............................................cm.
d) Ketel suling : • Tinggi keseluruhan ketel :.........................153.....................cm. • Tinggi bibir ketel ke saringan :.........................133.....................cm. • Diameter :..........................98......................cm.
e) Pipa dari ketel ke kondensor : • Diameter :.......................................................47,5.........................mm. • Panjang :........................................................138...........................cm.
f) Bak kondensor : • Panjang :....................................................250..............................cm. • Lebar :....................................................250..............................cm. • Tinggi :....................................................170..............................cm.
g) Kondensor : • Panjang :....................................................250..............................cm.
105
• Diameter :....................................................250..............................cm. • Tinggi :....................................................170..............................cm.
Data Suhu Boiler
Menit ke- Suhu (°C) Suhu (K)
Tengah Kiri Kanan Tengah Kiri Kanan
30 125 155 120 398 428 393
60 144 167 154 417 440 427
90 139 144 131 412 417 404
120 271 247 281 544 520 554
150 167 185 139 440 458 412
180 194 191 163 467 464 436
210 158 216 139 431 489 412
240 166 154 137 439 427 410
270 209 184 160 482 457 433
300 161 146 113 434 419 386
330 251 173 140 524 446 413
360 165 157 152 438 430 425
390 236 143 125 509 416 398
420 166 142 121 439 415 394
450 145 141 140 418 414 413
480 159 154 115 432 427 388
Rata-rata 178,5 168,69 145,63 451,5 441,69 418,63
Data Suhu di Tungku Pembakaran
Menit ke- Suhu (°C) Suhu (K)
Depan Tengah Atas Depan Tengah Atas
30 41 40 46 314 313 319
60 43 43 50 316 316 323
90 41 42 52 314 315 325
120 49 41 54 322 314 327
106
Menit ke- Suhu (°C) Suhu (K)
Depan Tengah Atas Depan Tengah Atas
150 44 43 61 317 316 334
180 54 43 64 327 316 337
210 48 42 62 321 315 335
240 45 42 63 318 315 336
270 46 42 52 319 315 325
300 48 44 58 321 317 331
330 47 42 66 320 315 339
360 46 40 65 319 313 338
390 48 42 68 321 315 341
420 43 42 64 316 315 337
450 45 43 68 318 316 341
480 45 43 66 318 316 339
Rata-rata 45,81 42,13 59,94 318,81 315,13 332,94
Data Suhu Ketel Suling
Menit ke- Suhu (°C) Suhu (K)
Tutup Dinding Tutup Dinding
30 48,33 53,33 321,33 326,33
60 82,67 66 355,67 339
90 83 63 356 336
120 82,33 65,67 355,33 338,67
150 83 64 356 337
180 83 65 356 338
210 83 62,67 356 335,67
240 82,67 65 355,67 338
270 81,33 64,33 354,33 337,33
300 79,67 62 352,67 335
330 59 57 332 330
360 80,67 66,67 353,67 339,67
107
Menit ke- Suhu (°C) Suhu (K)
Tutup Dinding Tutup Dinding
390 83 66 356 339
420 83 62,67 356 335,67
450 82 64,33 355 337,33
480 83 61,67 356 334,67
Data Suhu Uap dan Air Pendingin di Kondensor
Menit ke- Suhu (°C) Suhu (K)
T steam Ta in Ta out T steam Ta in Ta out
30 100 27,5 45 373 300,5 318
60 100 27,5 55 373 300,5 328
90 100 27,5 57 373 300,5 330
120 100 27,5 59 373 300,5 332
150 100 27,5 60 373 300,5 333
180 100 27,5 62 373 300,5 335
210 100 27,5 63 373 300,5 336
240 100 27,5 64 373 300,5 337
270 100 27,5 65 373 300,5 338
300 100 27,5 64 373 300,5 337
330 100 27,5 63 373 300,5 336
360 100 27,5 64 373 300,5 337
390 100 27,5 65 373 300,5 338
420 100 27,5 67 373 300,5 340
450 100 27,5 67 373 300,5 340
480 100 27,5 68 373 300,5 341
108
Data Suhu Pipa-pipa Penghubung
Menit ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Boiler-Ketel Kondensor-
Ketel Boiler-Ketel
Kondensor-
Ketel
30 73,33 33,33 346,33 306,33
60 73 70,67 346 343,67
90 78 71,67 351 344,67
120 76,67 72 349,67 345
150 78 72 351 345
180 75,67 72,33 348,67 345,33
210 73 68,67 346 341,67
240 78 69,67 351 342,67
270 82,67 71 355,67 344
300 70,67 69,67 343,67 342,67
330 72 43,67 345 316,67
360 74 68,67 347 341,67
390 73,33 70,33 346,33 343,33
420 75 72 348 345
450 72,33 70,33 345,33 343,33
480 74,67 70,33 347,67 343,33
Data Suhu dan Laju Destilat
Menit ke-
Suhu
Destilat
(°C)
Suhu
Destilat
(K)
Laju
Destilat
(liter/jam)
Jumlah Destilat
Tiap Jam (liter)
Akumulasi
Jumlah
Destilat
(liter)
30 30 303 7,44
60 34 307 60,70 34,07 34,07
90 36 309 60,67
120 35 308 51 55,84 89,91
109
Menit ke-
Suhu
Destilat
(°C)
Suhu
Destilat
(K)
Laju
Destilat
(liter/jam)
Jumlah Destilat
Tiap Jam (liter)
Akumulasi
Jumlah
Destilat
(liter)
150 36 309 54,08
180 40 313 49,85 51,97 141,88
210 38 311 39,82
240 36 309 47,76 43,79 185,67
270 37 310 26,78
300 37 310 6,98 16,88 202,55
330 27,5 300,5 16,84
360 36 309 46,99 31,91 234,46
390 37 310 53,08
420 40 313 51,46 52,27 286,73
450 38 311 35,47
480 37 310 22,86 29,16 315,89
Rata-rata 35,91 308,91 39,49 39,49
110
Lampiran 2. Form data-data di penyulingan Prototipe
No. Keterangan Jumlah
1. Bobot kayu bakar basah (kg) 319,55
2. Kadar air kayu bakar (%) 75,25
3. Bobot daun dan ranting nilam kering (kg) 120
4. Kadar air nilam sebelum penyulingan (%) 14,49
5. Kadar air nilam sesudah penyulingan (%) 34,32
6. Kadar minyak nilam sebelum penyulingan (%) 2,61
7. Kadar minyak nilam setelah penyulingan (%) 0,09
8. Jumlah air yang diuapkan selama proses
penyulingan (liter) 556,95
9. Suhu air awal (°C) 25,5
10. Suhu udara sekitar (°C) 25,5
11. Lama waktu penyulingan (jam) 6
Data dimensi :
a) Boiler : Pipa api • Diameter :..........................................3,75........................................cm. • Panjang :..........................................152.........................................cm. • Jumlah :............................................36.........................................cm. Pipa air • Diameter :...............................................5........................................cm. • Panjang :............................................83.........................................cm. • Jumlah :............................................34.........................................cm. Silinder boiler • Diameter :.............................................74........................................cm. • Panjang :...........................................152........................................cm. Luas permukaan pindah panas : ........................14,40..............................m².
b) Pipa dari boiler ke ketel suling : Pipa Vertikal 1 • Diameter :.........................................4,78....................................... cm. • Panjang :............................................85........................................cm. Pipa Horizontal 1 • Diameter :..........................................4,78........................................cm. • Panjang :...........................................200........................................cm. Pipa Horizontal 2 • Diameter :..........................................4,78........................................cm. • Panjang :...........................................110........................................cm.
111
Pipa Horizontal 3 • Diameter :.........................................4,78.........................................cm. • Panjang :..........................................300.........................................cm. Pipa Vertikal 2 • Diameter :...........................................5............................................cm. • Panjang :.........................................182..........................................cm. Pipa Lekukan • Diameter :..........................................5.............................................cm. • Panjang :......................................1,21............................................cm.
c) Ketel suling : • Tinggi keseluruhan ketel :.........................184......................cm. • Tinggi bibir ketel ke saringan :.......................145,5.....................cm. • Diameter :........................116.......................cm. • Tinggi Glasswool :........................165.......................cm. • Diameter Glasswool :.......................121,5.....................cm. • Tinggi Dinding tanpa Glasswool :...........................19......................cm. • Luas Permukaan Tutup Ketel :..........................1,15....................m². • Luas Permukaan Bodem :..........................1,15....................m².
d) Pipa dari ketel ke kondensor : Pipa Horizontal 1 • Diameter :............................................5...........................................cm. • Panjang :........................................68,5..........................................cm. Pipa Vertikal 1 • Diameter :...........................................5............................................cm. • Panjang :.........................................96,5.........................................cm. Pipa Horizontal 2 • Diameter :..........................................3,81........................................cm. • Panjang :......................................384,5..........................................cm.
e) Bak kondensor : • Panjang :..........................................240.........................................cm. • Lebar :...........................................240........................................cm. • Tinggi :...........................................120........................................cm.
f) Kondensor Pipa 1 • Panjang :..........................................2.545......................................cm. • Diameter :.............................................2,5.......................................cm. Pipa 2 • Panjang :...........................................1.979.....................................cm. • Diameter :.............................................3,8.......................................cm. Luas Permukaan yang Tenggelam :.....................4,4...........................m². Luas Permukaan Tak Tenggelam :......................3,72........................m².
112
Data Suhu Boiler
Menit
ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Depan Kiri Kanan Belakang Depan Kiri Kanan Belakang
30 155,33 51,17 43,5 121,17 428,33 324,17 316,5 394,17
60 143 58,67 92 74 416 331,67 365 347
90 142 47,5 48,17 137,5 415 320,5 321,17 410,5
120 149 56,17 47,84 127,84 422 329,17 320,84 400,84
150 165,33 52,5 46,67 134 438,33 325,5 319,67 407
180 170 55,84 47,67 135 443 328,84 320,67 408
210 139,67 59,5 49 122 412,67 332,5 322 395
240 156,5 54,84 47,5 132,67 429,5 327,84 320,5 405,67
270 179 54,84 46,33 143,67 452 327,84 319,33 416,67
300 172 103 46 136,84 445 376 319 409,84
330 172,84 52,67 41,84 136,84 445,84 325,67 314,84 409,33
360 161,33 55,5 44,33 130 434,33 328,5 317,33 403
Rata-
rata 158,83 58,51 50,07 127,58 431,83 331,51 323,07 400,58
Data Suhu di Tungku Pembakaran
Menit
ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Depan Kiri Kanan Belakang Depan Kiri Kanan Belakang
30 156 39,67 41,5 44 429 312,67 314,5 317
60 145,17 43,5 44,5 46 418,17 316,5 317,5 319
90 147 43,67 45,17 47,33 420 316,67 318,17 320,33
120 141,17 43,5 46,67 48,33 414,17 316,5 319,67 321,33
150 155,17 43,83 47 49,33 428,17 316,83 320 322,33
180 125,67 43,67 47 49,67 398,67 316,67 320 322,67
210 135,33 45,17 46,33 48 408,33 318,17 319,33 321
240 128,84 44,84 44,67 48,84 401,84 317,84 317,67 321,84
270 140 44,33 45 48,5 413 317,33 318 321,5
300 129,5 44 43,5 48,17 402,5 317 316,5 321,17
113
Menit
ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Depan Kiri Kanan Belakang Depan Kiri Kanan Belakang
330 124,33 42 42,84 45,33 397,33 315 315,84 318,33
360 128,17 43,33 41 46,17 401,17 316,33 314 319,17
Rata-
rata 138,03 43,46 44,60 47,47 411,03 316,46 317,60 320,47
114
Data Suhu Uap dan Air Pendingin di Kondensor
Tekanan Menit
ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
T steam Ta in Ta out T steam Ta in Ta out
0,5 30 111,61 25,5 37 384,61 298,5 310
60 111,61 25,5 57 384,61 298,5 330
1
90 120,42 25,5 66 393,42 298,5 339
120 120,42 25,5 70,5 393,42 298,5 343,5
150 120,42 25,5 71 393,42 298,5 344
180 120,42 25,5 73 393,42 298,5 346
1,5
210 127,62 25,5 73 400,62 298,5 346
240 127,62 25,5 74 400,62 298,5 347
270 127,62 25,5 75 400,62 298,5 348
300 127,62 25,5 75,5 400,62 298,5 348,5
330 127,62 25,5 76,5 400,62 298,5 349,5
360 127,62 25,5 75,5 400,62 298,5 348,5
Data Suhu Pipa-pipa Penghubung
Tekanan
(bar gauge) Menit ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Boiler-
Ketel
Ketel-
Kondensor
Boiler-
Ketel
Ketel-
Kondensor
0,5 30 113,39 66,67 386,39 339,67
60 112,17 58,58 385,17 331,58
1
90 103,95 59,25 376,95 332,25
120 108,83 58,83 381,83 331,83
150 111,78 56,5 384,78 329,5
180 109,11 57,25 382,11 330,25
1,5
210 108,06 58,75 381,06 331,75
240 312,22 59,08 385,22 332,08
270 110,05 56,42 383,05 329,42
300 105,11 55,42 378,11 328,42
330 112,05 54,25 385,05 327,25
115
Tekanan
(bar gauge) Menit ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Boiler-
Ketel
Ketel-
Kondensor
Boiler-
Ketel
Ketel-
Kondensor
1,5 360 108,33 54,5 381,33 327,5
Data Suhu dan Laju Destilat
Tekanan
(bar
gauge)
Menit
ke-
Suhu
Destilat
(°C)
Suhu
Destilat
(K)
Laju
Destilat
(liter/jam)
Jumlah
Destilat
Tiap Jam
(liter)
Akumulasi
Jumlah
Destilat
(liter)
0,5 30 27 300 67,72
60 28 301 73,33 70,53 70,53
1
90 29,5 302,5 79,58
120 30,5 303,5 81,40 80,49 151,02
150 31,4 304,5 76,07
180 32 305 72,37 74,22 225,24
1,5
210 31,5 304,5 76,26
240 32,5 305,5 75,63 75,95 301,19
270 32,5 305,5 78,60
300 33 306 78,03 78,32 379,51
330 33 306 75,12
360 33 306 73,64 74,38 453,89
Rata-rata 31,17 304,17 75,65 75,65
116
Lampiran 2. Form data-data yang diukur di penyulingan Prototipe
Data Suhu Ketel Suling
Tekanan
(bar gauge) Menit ke-
Suhu (°C) Suhu (K)
Tutup Dinding Glasswool Bodem Tutup Dinding Glasswool Bodem
0,5 30 67,17 73 33 58,33 340,17 346 306 331,33
60 70,5 75,5 39,92 57 343,5 348,5 312,92 330
1
90 76,67 81,08 40,33 62,5 349,67 354,08 313,33 335,5
120 77,33 78,67 42,67 62,83 350,33 351,67 315,67 335,83
150 76 79,92 43,25 62 349 352,92 316,25 335
180 77,67 80,5 43,59 64,67 350,67 353,5 316,59 337,67
1,5
210 83,17 86,33 43,84 67,83 356,17 359,33 316,84 340,83
240 80,83 83,67 44,42 64,83 353,83 356,67 317,42 337,83
270 80,33 84,83 44,59 66 353,33 357,83 317,59 339
300 81 87,5 43,75 63,17 354 360,5 316,75 336,17
330 82 81,17 42,67 65 355 354,17 315,67 338
360 84,67 84,67 43,08 61,83 357,67 357,67 316,08 334,83
117
Lampiran 3. Perhitungan Efisiensi dan Kehilangan Energi
Data di Boiler
• Luas Permukaan Pindah Panas di Boiler IKM
Luas permukaaan = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang
= 3,14 x (½ x 0,4 m) x 1,3 m
= 1,63 m²
• Luas Permukaan Pindah Panas di Boiler
Luas permukaan pipa api = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang x jumlah pipa
= 3,14 x (½ x 0,0375 m)² x 1,52 m x 36
= 6,44 m²
Luas permukaan pipa air = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang x jumlah pipa
= 3,14 x (½ x 0,05 m)² x 0,83 m x 34
= 4,43 m²
Luas silinder boiler = 3,14 x (½ x diameter)² x panjang
= 3,14 x (½ x 0,37 m)² x 1,52 m
= 3,53 m²
Luas keseluruhan = luas permukaan pipa air + luas permukaan pipa api + luas permukaan silinder boiler
= 6,44 m² + 4,43 m² + 3,53 m² = 14,40 m².
118
Keterangan IKM Rata-rata Prototipe Rata-rata Contoh Ulangan Contoh Ulangan Bobot kayu bakar (kg) 172,62 174,36 173,49 99,28 97,47 98,38 Jumlah air yang diuapkan (kg) 446 446 446 550,1 563,8 556,95 Energi yang dihasilkan kayu (Qin) (joule) 3.349.036.822 3.382.916.920 3.365.976.871 1.926.281.253 1.891.040.615 1.908.660.934 Energi uap yang dihasilkan (Qout) (joule) 1.141.659.650 1.141.659.650 1.141.659.650 1.759.987.465 1.803.819.183 1.480.933.949 Efisiensi boiler (%) 34,09 33,75 33,92 91,37 95,39 77,59
Perhitungan bobot kayu bakar yang digunakan di penyulingan IKM :
Bk (K.a = 20 %) = Ba – (K.a1 x Ba)
= 369, 25 kg – (62,4 % x 369,25 kg)
= 138,79 kg
Bobot kayu penghasil energi (K.a = 20 %) = (20 % x Bk) + Bk 100 % - 20 %
= (20 % x 138,79 kg) + 138,79 kg 100% - 80 %
= 173,49 kg
119
Perhitungan bobot kayu bakar yang digunakan di penyulingan Prototipe :
Bk (K.a = 20 %) = Ba – (K.a2 x Ba)
= 319,55 kg – (75,25 % x 319,55 kg)
= 78,70 kg
Bobot kayu penghasil energi (K.a = 20 %) = (20 % x Bk) + Bk 100 % - 20 %
= (20 % x 78,70 kg) + 78,70 kg 100 % - 20 %
= 98,38 %
Perhitungan Efisiensi dan Kehilangan Energi Boiler IKM Perhitungan Efisiensi dan Kehilangan Energi Prototipe Boiler
Diketahui :
Nilai kalor kayu bakar (kadar air 20%) = 19.401.631,2 joule/kg
= 19,40 MJ/kg
Suhu rata-rata air yang masuk ke boiler (Tin) = 27,5 °C = 300,5 K
Suhu air berubah menjadi uap (Td) = 100 °C = 373 K
C air = 4.190 joule/kg K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
Diketahui :
Nilai kalor kayu bakar (kadar air 20%) = 19.401.631,2 joule/kg
= 19,40 MJ/kg
Suhu rata-rata air yang masuk ke boiler (Tin) = 25,5 °C = 298,5 K
Suhu air berubah menjadi uap (Td)= 100 °C = 373 K
Suhu uap pada tekanan 3,17 bar gauge (Tu) = 145,20 °C = 418,20 K
C air = 4.190 joule/kg K
120
Jumlah air yang digunakan (ma) = 446 kg
Jumlah kayu bakar yang digunakan = 173,49 kg
C uap = 2.010 joule/kg K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
Jumlah air yang digunakan (ma = mu) = 556,95 kg
Jumlah kayu bakar yang digunakan = 98,38 kg
Perhitungan Qout :
Qout = ma x C air x (Td – Tin) + ma x L air
= 446 x 4.190 x (373 – 300,5) + 446 x 2.256.000
= 135.483.650 joule + 1.006.176.000 joule
= 1.141.659.650 joule = 1.141,66 MJ
Perhitungan Qin :
Q in = massa kayu bakar x nilai kalor kayu bakar
= 173,49 x 19.401.631,2
= 3.365.988.997 joule = 3.365,99 MJ
Perhitungan Loss :
Loss = Qin - Qout
= 3.365.988.997 - 1.141.659.650 = 2.224.329.347 joule
= 2.224,33 MJ
Efisiensi Boiler :
Perhitungan Qout :
Qout = ma x C air x (Td – Tin) + ma x L air + mu x C uap x (Tu – Td)
= 556,95 x 4.190 x (373-298,5) + 556,95 x 2.256.000 +
556,95 x 2.010 x (418,20-373)
= 173.854.727,3 joule+ 1.256.479.200 joule+50.600.021,4 joule
= 1.480.933.949 joule = 1.480,93 MJ
Perhitungan Qin :
Q in = massa kayu bakar x nilai kalor kayu bakar
= 98,38 x 19.401.631,2
= 1.908.732.477 joule = 1.908,73 MJ
Perhitungan Loss :
Loss = Qin - Qout
= 1.908.732.477 - 1.480.933.949 = 427.798.528 joule
= 427,80 MJ
121
ξ = Qout x 100 % Qin
= 1.141.659.650 joule x 100 % = 33,92 % 3.365.988.997 joule
Efisiensi Boiler :
Maka ξ = Qout x 100 % Qin
= 1.480.933.949 joule x 100 % = 77,59 % 1.908.732.477 joule
Data di Ketel Suling IKM
Diketahui :
Suhu udara rata-rata (K) 301
Luas permukaan tutup (m²) 1,05
Luas permukaan dinding (m²) 4,71
Koefisien konveksi alamiah udara hadap atas (kal/sm² ºC) 0,595
Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/sm² ºC) 1
Diameter ketel (m) 0,98
Menit ke- Suhu rata-rata (K) Kehilangan panas (kalori/s) Tutup Dinding Tutup Dinding Total
30 321,33 326,33 26,89 268,94 295,82 60 355,67 339 92,53 446,45 538,98 90 356 336 93,24 402,83 496,07
120 355,33 338,67 91,83 441,56 533,39
122
Menit ke- Suhu rata-rata (K) Kehilangan panas (kalori/s) Tutup Dinding Tutup Dinding Total
150 356 337 93,24 417,27 510,51 180 356 338 93,24 431,81 525,05 210 356 335,67 93,24 398,04 491,28 240 355,67 338 92,53 431,81 524,34 270 354,33 337,33 89,72 422,11 511,83 300 352,67 335 86,23 388,50 474,73 330 332 330 45,53 318,45 363,98 360 353,67 339,67 88,32 456,26 544,58 390 356 339 93,24 446,45 539,69 420 356 335,67 93,24 398,04 491,28 450 355 337,33 91,13 422,11 513,23 480 356 334,67 93,24 383,74 476,98
Total kehilangan panas (joule) 10.229.697 48.792.382 Kehilangan panas seluruh bagian (joule) 59.022.079
Data di Prototipe Ketel Suling
Diketahui :
Suhu udara rata-rata (K) 298,5
Luas permukaan dinding non glasswool (m²) 0,69
Luas permukaan tutup (m²) 1,16
Luas permukaan bodem (m²) 1,16
Luas permukaan glasswool (m²) 6,29
123
Diameter ketel (m) 1,16
Diameter glasswool (m) 1,21
Tinggi glasswool (m) 1,65
Tinggi non glasswool (m) 0,19
Koefisien konveksi alamiah udara hadap atas (kal/sm² ºC) 0,595
Koefisien konveksi alamiah udara vertikal (kal/sm² ºC) 1
Koefisien konveksi alamiah udara hadap bawah (kal/sm² ºC) 0,314
Menit ke- Suhu rata-rata (K) Kehilangan panas (kalori/s) Tutup Dinding Glasswool Bodem Tutup Dinding Glasswool Bodem
30 340,17 346 306 331,33 73,07 83,16 74,42 28,63 60 343,5 348,5 312,92 330 80,44 88,66 168,44 27,18 90 349,67 354,08 313,33 335,5 94,45 101,21 174,53 33,24
120 350,33 351,67 315,66 335,83 95,99 95,74 209,48 33,61 150 349 352,92 316,25 335 92,92 98,56 218,44 32,68 180 350,67 353,5 316,58 337,67 96,76 99,88 223,61 35,69 210 356,17 359,33 316,84 340,83 109,68 113,29 227,48 39,33 240 353,83 356,67 317,42 337,83 104,16 107,12 236,59 35,88 270 353,33 357,83 317,58 339 102,99 109,81 239,17 37,21 300 354 360,5 316,75 336,17 104,55 116,01 226,20 33,99 330 355 354,17 315,66 338 106,91 101,40 209,48 36,07 360 357,67 357,67 316,08 334,83 113,26 109,43 215,91 32,49
Total kehilangan panas (joule) 8.856.507 9.226.335 18.266.135 3.059.719 Kehilangan panas keseluruhan (joule) 39.408.696
124
Catatan : Koefisien konveksi alamiah udara didapat dari tabel koefisien konveksi alamiah udara (Zemansky, 1982). Halaman : 397.
Perhitungan Efisiensi di Ketel Suling IKM Perhitungan Efisiensi di Prototipe Ketel Suling
Diketahui :
Q dari boiler (Qb) = 1.141.659.650 joule
Loss energi di pipa boiler-ketel (QL) = 18.161.486 joule
Loss energi di keseluruhan ketel (Qk) = 59.022.079 joule
Diketahui :
Q dari boiler (Qb) = 1.480.933.949 joule
Loss energi di pipa boiler-ketel (QL) = 74.544.148 joule
Loss energi di keseluruhan ketel (Qk) = 39.408.696 joule
Perhitungan Qin ketel :
Qin = Qb - QL
= 1.141.659.650 joule - 18.161.486 joule
= 1.123.498.164 joule
Perhitungan Qout ketel :
Qout = Qin - Qk
= 1.123.498.164 joule - 59.022.079 joule
= 1.064.476.085 joule
Perhitungan efisiensi ketel :
ξ = Qout x 100 % Qin
= 1.064.476.085 joule x 100 % = 94,75 % 1.123.498.164 joule
Perhitungan Qin ketel :
Qin = Qb - QL
= 1.480.933.949 joule - 74.544.148 joule
= 1.406.389.801 joule
Perhitungan Qout ketel :
Qout = Qin - Qk
= 1.406.389.801 joule - 39.408.696 joule
= 1.366.981.105 joule
Perhitungan efisiensi ketel :
ξ = Qout x 100 % Qin
= 1.366.981.105 joule x 100 % = 97,20 % 1.406.389.801 joule
125
Data Kondensor
Perhitungan Efisiensi dan Pindah Panas Kondensor IKM Perhitungan Efisiensi dan Pindah Panas Prototipe Kondensor
Diketahui :
U = 817.653,39 joule/m² jam °C
A = 2,29 m²
∆T LMTD = 53,48 °C
Jumlah destilat = 315,84 liter = 315,84 kg
Jumlah air pendingin = 6.163,2 kg
Suhu air pendingin yang masuk = 27,5 °C = 300,5 K
Suhu air pendingin keluar = 61,75 °C = 334,75 K
Suhu uap berubah menjadi cair (Tu) = 100 °C = 373 K
C air = 4.190 joule/kg K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
Rata-rata suhu destilat yang dihasilkan = 35,19 °C = 308,19 K
Q keluar ketel (Qok) = 1.064.476.085 joule
Loss energi di pipa ketel-kondensor (Qkk) = 5.203.608 joule
Diketahui :
U = 817.653,39 joule/m² jam °C
A = 3,72 m²
∆T LMTD = 73,22 °C
Jumlah destilat = 453,96 liter = 453,96 kg
Jumlah air pendingin = 6.163,2 kg
Suhu air pendingin yang masuk = 25,5 °C = 298,5 K
Suhu air pendingin keluar = 68,67 °C = 341,67 K
Suhu uap berubah menjadi cair (Tu) = 122,55 °C = 395,55 K
C air = 4.190 joule/kg K
C uap = 2.010 joule/kg K
Panas laten air (L air) = 2.256.000 joule/kg
Rata-rata suhu destilat yang dihasilkan = 31,17 °C = 304,17 K
Q keluar ketel (Qok) = 1.366.981.105 joule
126
Loss energi di pipa ketel-kondensor (Qkk) = 11.345.411 joule
Perhitungan Qin :
Qin = Qok - Qkk
= 1.064.476.085 joule - 5.203.608 joule
= 1.059.272.477 joule
Perhitungan Qout dengan rumus U x A x ∆TLMTD :
Qout = 817.653,39 x 2,29 x 53,48 x 8
= 801.057.369 joule
Perhitungan efisiensi kondensor :
ξ = Qout x 100 % Qin
= 801.057.369 joule x 100 % = 75,62 % 1.059.272.477 joule
Perhitungan Qin :
Qin = Qok - Qkk
= 1.366.981.105 joule - 11.345.411 joule
= 1.355.635.694 joule
Perhitungan Qout dengan rumus U x A x ∆TLMTD :
Qout = 817.653,39 x 3,72 x 73,22 x 6
= 1.336.266.733 joule
Perhitungan efisiensi kondensor :
ξ = Qout x 100 % Qin
= 1.336.266.733 joule x 100 % = 98,57 % 1.355.635.694 joule
Data Efisiensi Keseluruhan Sistem Penyulingan
Perhitungan Efisiensi Keseluruhan Sistem Perhitungan Efisiensi Keseluruhan Sistem
Diketahui :
Qin = 3.365.976.871 joule
Diketahui :
Qin = 1.908.732.477 joule
127
Qout kondensor dengan rumus = 1.059.969.224 joule
Qout kondensor dengan rumus = 1.336.266.733 joule
Perhitungan Efisiensi dengan Qout (a) :
ξ = Qout x 100 % Qin
= 801.057.369 joule x 100 % = 23,80 % 3.365.976.871 joule
Perhitungan Efisiensi Qin dengan Qout (a) :
ξ = Qout x 100 % Qin
= 1.336.266.733 joule x 100 % = 70,01 % 1.908.660.934 joule
128
Lampiran 4. Prosedur Analisis Karakterisasi Minyak Atsiri
1. Penentuan Warna Minyak Nilam
Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan
indra penglihatan (mata) langsung, terhadap contoh minyak nilam.
Prosedur :
Contoh minyak nilam dipipet sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi serta hindari adanya gelembung. Tabung reaksi berisi contoh
minyak nilam disandarkan pada kertas berwarna putih. Kemudian diamati
warnanya dengan mata langsung. Jarak pengamatan 30 cm antara mata dengan
contoh.
2. Kadar Air Nilam Kering
Metode pengukuran kadar air yang digunakan adalah Bidwell-Sterling.
Sebanyak 10 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 500 ml, dan
ditambahkan 200 ml toluen. Lalu labu dipasangkan pada aufhauser yang
dilengkapi dengan pendingin tegak (kondensor) dan dididihkan selama 1 jam.
Jika jumlah air tidak bertambah lagi, maka penyulingan dihentikan. Volume
air yang tersuling dapat dibaca pada skala yang terdapat pada aufhauser.
Perhitungan untuk mencari kadar air adalah sebagai berikut :
Kadar air (% wb) = Volume air (ml) x 100 %
Bobot contoh (gr)
3. Kadar Air Kayu Bakar berdasarkan ASTM (American Society for Testing
and Material ) D2016
Sampel kayu bakar diiris kecil-kecil dan tipis sebanyak 5 gram. Kemudian
dimasukkan ke dalam wadah alumunium foil yang telah ditimbang sebagai
pengganti cawan alumunium. Lalu bobot sampel kayu bakar dan wadah
alumunium foil ditimbang dan dicatat.
Setelah dilakukan penimbangan awal, sampel kayu bakar beserta
wadahnya dimasukkan ke dalam oven selama 4 jam pada suhu 103 °C ± 2 °C.
Lalu didinginkan selama 15 menit di dalam desikator. Kemudian ditimbang
129
bobot akhir secara keseluruhan. Pemanasan sampel dan wadahnya dilakukan
di dalam oven lagi selama 30 menit dan didinginkan kembali dalam desikator.
Setelah itu bobot sampel dan wadah ditimbang kembali. Prosedur tersebut
dilakukan berulang kali sampai bobot sampel dan wadah konstan.
Perhitungan kadar air kayu bakar ini dapat menggunakan rumus :
Kadar air (% b/b) = m1 - m2 x 100%
m1
Keterangan : m1 = bobot awal sampel + bobot wadah
m2 = bobot akhir sampel + bobot wadah
Perhitungan bobot kayu bakar yang menghasilkan energi :
Bk (K.a = 0 %) = Ba – (K.a1 x Ba)
Bobot kayu penghasil energi (K.a = 20 %) = (20 % x Bk) + Bk 100 % - 20 %
Keterangan :
Bk = bobot kayu bakar kering tanpa air
Ba = bobot kayu bakar basah
4. Rendemen (SNI 06-3735-1995)
Rendemen minyak ditentukan berdasarkan perbandingan antara volume
minyak yang dihasilkan dengan berat bahan awal yang disuling. Rendemen
minyak dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Rendemen minyak (% wb) = Volume minyak (ml)
Berat bahan (g)
5. Bobot Jenis (SNI 06-1312-1998)
Bobot jenis adalah perbandingan antara bobot minyak terhadap bobot air
pada volume dan suhu yang sama.
Prosedur :
Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dibilas dengan etanol.
Bagian dalam piknometer dikeringkan dengan arus udara kering dan tutupnya
disisipkan. Piknometer diletakkan di dalam lemari timbangan selama 30 menit
dan ditimbang (m). Piknometer diisi dengan air suling terlebih dahulu, lalu
130
didinginkan sampai suhu 25 ºC, sambil menghindari adanya gelembung-
gelembung. Piknometer dicelupkan ke dalam termostat pada suhu 25 ºC ± 0,2
ºC selama 30 menit dan atur permukaan air suling sampai garis tanda. Lalu
piknometer dibiarkan di dalam timbangan selama 30 menit, kemudian
ditimbang beratnya (m1). Setelah itu, piknometer dikosongkan dan dicuci
dengan etanol, lalu dikeringkan dengan arus udara kering. Piknometer diisi
dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembung-gelembung udara.
Piknometer dicelupkan kembali ke dalam penangas air pada suhu 25 ºC ± 0,2
ºC selama 30 menit dan permukaan minyak diatur sampai garis tanda.
Piknometer dikeringkan dan tutupnya disisipkan. Piknometer dibiarkan di
dalam lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m2). Perhitungannya
sebagai berikut :
Bobot Jenis d 25 25 = m2 – m
m1 – m
Keterangan :
m adalah bobot piknometer kosong
m1 adalah bobot piknometer berisi air pada suhu 25 ºC
m2 adalah bobot piknometer berisi minyak atsiri pada suhu 25 ºC
6. Indeks Bias
Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang
dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap.
Prosedur :
Air dialirkan melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu
pembacaan yang dilakukan. Suhu tidak boleh lebih dari ± 2 ºC dari suhu
referensi dan harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 ºC. Suhu minyak
harus sama dengan suhu dimana pengukuran dilakukan. Pemanasan dilakukan
bila suhu telah stabil. Perhitungannya sebagai berikut :
Indeks bias ntD = nt1
D + 0,0004 (t1 - t)
Keterangan :
t1 adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t1.
t adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan t.
131
0,0004 adalah faktor koreksi untuk indeks bias minyak nilam setiap
derajat.
7. Putaran Optik
Metode putaran optik didasarkan pada pengukuran sudut bidang dimana
sinar terpolarisasi yang diputar oleh lapisan minyak yang tebalnya 10 cm pada
suhu tertentu.
Prosedur :
Sumber cahaya dinyalakan dan ditunggu sampai diperoleh kilauan
maksimum sebelum alat digunakan. Tabung polarimeter diisi dengan contoh
minyak pada suhu tertentu dan diusahakan tidak ada gelembung udara dalam
tabung. Selanjutnya, tabung diletakkan di dalam polarimeter dan dibaca
putaran optik dekstro (+) atau levo (-) dari minyak pada skala yang terdapat di
alat. Hasil rata-rata dari tiga kali pembacaan dicatat, masing-masing
pembacaan harus sesuai sekitar 0,08 ° (5”).
Penyajiannya : putaran optik harus dinyatakan dalam derajat lingkar sampai
mendekati 0,01 °. Putaran optik dekstro harus diberi tanda (+) dan putaran
optik levo harus diberi tanda negatif (-).
8. Bilangan Asam
Jumlah miligram kalium hidroksida (KOH) yang diperlukan untuk
menetralkan asam-asam bebas yang terdapat dalam 1 gram minyak nilam.
Prosedur :
Contoh minyak sebanyak 4 ± 0,05 gram dilarutkan dalam 5 ml etanol
dalam labu penyabunan. Indikator PP ditambahkan sebanyak 5 tetes.
Kemudian dititrasi dengan larutan KOH 0,1 N sampai cairan merah muda.
Perhitungan :
Bilangan Asam = 56,1 x V x N
m
56,1 adalah bobot setara KOH
V adalah volume (ml) larutan KOH yang diperlukan
132
N adalah normalitas larutan KOH
m adalah massa dalam gram bobot minyak yang diuji.
9. Bilangan Ester
Penyabunan ester-ester dengan larutan alkali standar dan menitrasi
kembali kelebihan alkali tersebut.
Prosedur :
Blangko :
Etanol sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan
ditambahkan 25 ml larutan KOH 0,5 N. Kemudian direfluks selama 1 jam
setelah mendidih di atas penangas air. Lalu campuran larutan tersebut
didiamkan hingga dingin. Selanjutnya kondensor refluks dilepaskan dan
ditambah 5 tetes larutan indikator PP dan dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai
diperoleh perubahan warna.
Contoh :
Contoh minyak sebanyak 4 gram ± 0,05 gram dimasukkan ke dalam labu
dan ditambahkan KOH 0,5 N sebanyak 25 ml. Lalu campuran larutan tersebut
direfluks selama 1 jam setelah mendidih. Kemudian larutan didinginkan dan
dilepaskan dari kondensor refluks. Setelah itu larutan ditetesi indikator PP
sebanyak 5 tetes dan dilanjutkan dengan titrasi menggunakan HCl 0,5 N
sampai terjadi perubahan warna.
Perhitungan :
Bilangan Ester : (V2-V1) x N x 56,1 m
Keterangan :
V2 adalah volume (ml) larutan HCl 0,5 N yang diperlukan untuk blangko
V1 adalah volume (ml) larutan HCl 0,5 N yang diperlukan untuk contoh
m adalah massa (g) contoh uji
N adalah normalitas HCl.
56,1 adalah bobot setara KOH
133
10. Kelarutan dalam Etanol 90 %
Prinsip :
Kelarutan minyak nilam dalam etanol absolut atau etanol 90 %
membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan-perbandingan
seperti yang dinyatakan.
Prosedur :
Sebanyak 1 ml contoh minyak dimasukkan ke dalam gelas ukur 10 ml.
Kemudian ditambahkan etanol 90 % dari buret setetes demi setetes. Setiap
penambahan 1 ml etanol 90 % dari buret dikocok sejernih mungkin. Setiap
penambahan etanol 90 % diamati sifat kelarutannya apakah larut jernih atau
keruh. Batas jumlah penambahan etanol sampai 10 ml.
Cara menyatakan hasil uji :
Contoh minyak akan membentuk larutan jernih atau opalensi ringan,
apabila ditambahkan etanol sebanyak maksimum sepuluh kali volume contoh.
11. Kadar Minyak
Sebanyak 50 gram bahan dimasukkan ke dalam labu berukuran 2 liter,
kemudian ditambahkan air sebanyak 1000 ml (sampai seluruh contoh
terendam). Selanjutnya labu dipasangkan pada clavenger yang dilengkapi
dengan pendingin (kondensor). Labu dipanaskan dengan heat mantel dengan
panas maksimum.
Penyulingan dilakukan selama 4 sampai 5 jam hingga tidak terdapat
tetesan minyak lagi. Setelah penyulingan selesai, dibiarkan beberapa saat
supaya air dan minyak terpisah, lalu dilakukan pengukuran volume minyak
yang tersuling sesuai yang terbaca pada skala clavenger. Perhitungan kadar
minyak adalah sebagai berikut :
Kadar minyak (% db) = bkv x 100%
Keterangan : v = volume minyak atsiri (ml)
bk = bobot contoh (1 – kadar air (% wb))
134
Lampiran 5. Analisa kadar air dan kadar minyak Analisa kadar air Analisa kadar minyak
135
Lampiran 6. Hasil Analisa Mutu Minyak Nilam Skala IKM dengan Prototipe
No. Indikator mutu IKM ke- 1 IKM ke- 2 Prototipe ke-1 Prototipe ke-2 SNI 1 Kadar air sebelum suling 49,77% 35% 16% 14,25% 2 Kadar air sesudah suling 60,33% 35% 32,36% 34,32% 3 Kadar minyak sebelum suling 5,57% 1,6% 2,1% 2,23% 4 Kadar minyak sesudah suling 1,12% 0,04% 0,2% 0,07% 5 Rendemen 1,59% 1,5% 1,78% 2,14%
6
Indeks bias : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
1,488 1,416 1,505 1,413 1,414 1,417 1,418
1,507-1,515
7
Bobot jenis : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
1,016 0,940
0,941
0,914 0,975 0,987 0,953
0,950 – 0,975
8
Putaran optik : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
-10,73 -80
-31,63
-56,3 -66,5 -72,5 -63,8
(-) 48° - (-) 65°
9
Bilangan asam : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
1,5 3,84
1,49
1,15 6,34
23,69 8,21
Max. 8
136
No. Indikator mutu IKM ke-1 IKM ke-2 Prototipe ke-1 Prototipe ke- 2 SNI
10
Kelarutan dalam etanol 90% : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
1 : 8,5 1 : 1
1 : 6
1 : 6,5 1 : 1 1 : 1
1 : 3,5
1 : 1 sampai 1 : 10
11
Bilangan ester : a) 0,5 bar b) 1 bar c) 1,5 bar d) Blending
5,57 17,18
3,59
17,5 22,54 57,62 35,58
Max. 20
137
Lampiran 7. Gambar-gambar Peralatan Penyulingan
• Peralatan-peralatan Penyulingan Skala IKM
Tungku dan Boiler Skala IKM Ketel Suling Skala IKM
Separator Skala IKM
138
• Peralatan-peralatan Penyulingan Prototipe
Tungku dan Prototipe Boiler Ketel Suling Prototipe
Kondensor Prototipe
Separator Prototipe
139
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
0,5 bar prototipe
Kadar PA
140
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
0,5 bar prototipe
141
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
1 bar prototipe
142
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Kadar PA
1 bar prototipe
143
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Kadar PA
1,5 bar prototipe
144
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
1,5 bar prototipe
145
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Penyulingan IKM
146
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Kadar PA
Penyulingan IKM
147
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Penyulingan Prototipe (campuran)
148
Lampiran 8. Analisa Kadar Patchouly Alcohol
Kadar PA
Penyulingan Prototipe (campuran)