EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I BATU...

57
EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I BATU NUSAKAMBANGAN A. Latar Belakang Masalah Ketentuan Pasal 1 ke 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, menyatakan bahwa : Lembaga Permasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Permasyarakatan. Pengertian tentang Permasyarakatan seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 1 ke 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 adalah suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa “sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh

Transcript of EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I BATU...

EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS TERORISME

DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I BATU

NUSAKAMBANGAN

A. Latar Belakang Masalah

Ketentuan Pasal 1 ke 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, menyatakan bahwa :

Lembaga Permasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Permasyarakatan.

Pengertian tentang Permasyarakatan seperti yang telah disebutkan dalam

Pasal 1 ke 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 adalah

suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan

berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian

akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan

bahwa “sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga

Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima

oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat

hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Ini

berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali

Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga negara yang

baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di

masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun

masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam

pembangunan.

Berdasarkan maksud dan tujuan Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan, sangat jelas adanya keiinginan penyelenggara negara

menciptakan kondisi yang lebih baik dalam membina para narapidana agar kelak

dapat berguna di masyarakat serta tetap terlindunginya hak asasi manusia. Untuk

melakukan tujuan tersebut tidak semudah yang kita bayangkan, berbagai faktor

penghambat muncul, baik dari narapidana, institusi, maupun petugas yang

melaksanakan kewenangannya berdasarkan perintah undang-undang, pada proses

hukum maka pelaku kejahatan tersebut akhirnya akan berada didalam Lembaga

Permayarakatan, guna mempertanggungjawabkan tindakan mereka.

Pelaku tindak pidana tersebut oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

dikategorikan sebagai Narapidana Risiko Tinggi. Undang-undang Dasar 1945,

telah meletakan dasar-dasar penghormatan kepada Hak Asasi Manusia, hal

tersebut di implementasikan dalam Undang-Undang Permasyarakatan yang

diejahwantahkan dalam sepuluh prinsip permasyarakatan yang salah satu

prinsipnya adalah “Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih

jahat daripada sebelum dipenjara. Untuk memastikan prinsip tersebut dapat

terlaksana, maka perlu tersedia satu sistem yang jelas mengenai penanganan

perlakuan bagi Narapidana yang terdiri dari aspek pembinaan petugas sebagai

insan manusia dalam sistem, kemudian pembentukan ketentuan peraturan yang

jelas dan pemenuhan sarana dan prasarana yang dikenal dengan material dalam

sistem selanjutnya adalah pemenuhan anggaran dan kejelasan pengelolaannya.

Definisi tindak pidana terorisme secara internasional atau Universal sampai

saat ini memang belum ada sehingga dengan ketiadaan definisi, hukum pidana

internasional mengenai terorisme tidak serta merta berarti meniadakan definisi

hukum tentang terorisme itu menurut hukum nasional masing-masing negara.

Disamping itu bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan

demikian lantas bisa diartikan bahwa terorisme bebas dari tuntutan hakim, ada

suatu azas yang berbunyi “ Nullum Crimen Sine Poena” yang mempunyai makna

tiada kejahatan yang boleh dibiarkan dan berlalu begitu saja tanpa hukuman.1

Kata Teroris adalah pelaku, sedangkan kata Terorisme adalah aksi, yang

1Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Retika Aditama, 2004, hal 22.

berasal dari kata latin “teriere” yang arti sebenarnya kurang lebih membuat

gemetar atau menggemetarkan, sedangkan kata teror juga bisa berarti

menimbulkan kengerian tentu saja kengerian dihati dan pikiran korbannya, akan

tetapi sampai saat ini tidak ada atau belum ada definisi yang bisa diterima secara

universal.2

Pada dasarnya istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep yang memiliki

konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya

pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.3

Ketentuan umum didalam prosedur tetap terhadap perlakuan Narapidana Resiko

Tinggi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-58 .OT.03.01 Tahun

2010 tanggal 23 April 2010 menyatakan:

1. Narapidana adalah terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan.

2. Narapidana Resiko Tinggi adalah Narapidana yang melalui penilaian memenuhi kualifikasi A dan kualifikasi B.

3. Kualifikasi A adalah penilaian terhadap narapidana tertentu yang memuat penilaian memenuhi salah satu hal yang berhubungan dengan jaringan yang masih aktif, kemampuan mengakses senjata dan bahan peledak, memiliki catatan melarikan diri, memiliki akses dan pengaruh didalam Lembaga Pemasyarakatan.

4. Pembinaan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kepribadian dan kemandirian narapidana.

5. Perawatan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memberikan pelayanan yang berhubungan dengan kesehatan narapidana.

6. Pengamanan adalah segala usaha dan kegiatan dalam rangka memberikan perlakuan, perlindungan dan pengayoman kepada narapidana serta penegak hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan.

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan isi penghuninya

sudah dapat dikatakan over kapasitas. Namun demikian adanya dalam kenyataan

Lembaga Permasyarakatan Klas I Batu merupakan satu-satunya merupakan

Lembaga Pemasyarakatan Klas I yang tempatnya terisolir yaitu, di

Nusakambangan dimana letak geografisnya sangat menunjang segi keamanannya

sehingga, untuk pembinaan narapidana tindak pidana terorisme yang merupakan

narapidana resiko tinggi, yang ada diseluruh Indonesia di bina di situ. Demikian

2 Ibid., hal. 23

keadaan keamanan yang sangat kondusif dan bagaimana untuk pelaksanaan

pembinaan narapidana tindak pidana terorisme?

Dalam keadaan yang demikian maka pembinaan narapidana tindak pidana

terorisme bisa saja berjalan, namun kurang sesuai dengan tujuan Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 2 menyatakan: sistem

pemasyarakatan di selenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan

pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,

memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidanan, sehingga dapat

diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam

pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan

bertanggung jawab.

Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum

ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum,

termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa : “Taraf

kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu

sistem hukum. Dan berfungsi-nya hukum merupakan pertanda bahwa hukum

tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan

melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.3 Dalam ilmu sosial antara lain

dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuahan

terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok

dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.4

hingga bagaimana dengan tujuan pemasyarakatan, bisa tercapai dengan

baik, apa tidak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui, bahwa suatu efektivitas

pembinaan diperlukan guna menuju pada kepatuhan dan kesadaran hukum

seorang narapidana terorisme di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk

menghasilkan kepatuhan dan kesadaran hukum seorang narapidana tindak pidana

terorisme tentunya harus dilihat dari bagaimana efektivitas dan proses pembinaan

di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena sangat diharapkan output dari

3Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, .1983, hal. 62

4 Ibid., hal. 20

pembinaan itu dapat menghasilkan secara nyata para teroris yang setelah bebas

dari Lembaga Pemasyarakatan tidak mengulangi tindak pidana serupa atau

lainnya sehingga tujuan sistem pemasyarakatan untuk khusus tindak pidana

terorisme yang telah di bina di Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Tetapi apabila

banyaknya kendala yang dihadapi tentunya akan mempengaruhi efektivitas

pembinaan tersebut, sePenelitian ini ditujukan untuk mengetahui efektivitas

pembinaan narapidana khusus teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan. Selain itu juga ditujukan untuk mengetahui kendala-kendala apa

yang dihadapi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan dalam

melaksanaan pembinaan narapidana khusus teroris. Dengan pendekatan yuridis

sosiologis penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran yang lebih nyata

mengenai efektivitas pembinaan narapidana khusus teroris di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan.

Atas dasar hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut menjadi

pendorong bagi penulis untuk melakukan penelitian guna penyusunan skripsi

yang berjudul “EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS

TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS I BATU

NUSAKAMBANGAN”

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana efektivitas pembinaan narapidana khusus terorisme di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan ?

2. Apa yang menjadi kendala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan dalam melaksanakan pembinaan narapidana khusus

terorisme ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui efektivitas pembinaan narapidana khusus terorisme

di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala di Lembaga Pemasyarakatan Klas

I Batu Nusakambangan dalam melaksanaan pembinaan narapidana

khusus terorisme.

D. Kegunaan Penelitian

1. Keguanaan teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pidana

materiil dan formil .

b. Memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai efektivitas

pembinaan narapidana khusus terorisme .

2. Kegunaan Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi

para pembaca dan penulis untuk lebih giat berusaha dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan hukum .

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

Lembaga Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan dibawah Kementerian Hukum dan HAM

c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

pihak terkait dalam pelaksanaan pembinaan narapidana khusus

terorisme.

E. Metode Penelitian

1. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis

2. Spesifikasi Penelitian deskriptif.

3. Metode Pendekatan kualitatif

4. Lokasi Penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan.

5. Jenis Data

a. Data primer diperoleh mewawancarai pihak terkait dalam kegiatan

pembinaan secara langsung yaitu :

- KepalaLembaga Pemasyarakatan;Kepala Bidang Pembinaan;

- Kepala Seksi/Staff Pembinaan; dan Narapidana Terorisme

b. Data Sekunder

1) Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan, yurisprudensi,5 dan Undang-undang No. 12

Tahun 1995, UU No 1 Tahun 1946 (KUHP), dan KUHAP.

2) Bahan Hukum Sekunder berupa hasil karya dari kalangan

hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel.

6. Metode Pengambilan Data

a. Data Primer,diperoleh menggunakan metode :

(1) Inteview (wawancara)

(2) Observasi

b. Data Sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan,

buku-buku literatur dan dokumen-dokumen lainnya yang

berkaitan dengan objek atau materi penelitian.

7. Analisa Data mempergunakan metode kualitatif

5 Loc cit

I. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Data Primer

2.1. Wawancara dengan Narapidana

2.1.1.Matriks Penempatan Narapidana6

Hasil wawancara dengan narapidana pada awalnya

semua narapidana ditempatkan di karantina, dan

setelah dipantau berkelakuan baik dan tidak

berbahaya diadakan pemencara agar bias berbaur

dengan narapidana lainnya

2.1.2.Matriks Pemahaman Tujuan Pembinaan dan

Pemidanaan7

Hasil wawancara dari 11 narapidana terorisme hanya

terdapat 2 narapidana terorisme yang tidak mau

memahami tentang pembinaan dan lainya benar-benar

aktif dalam pembinaan dan ntanggapannya sangat

positif.

2.1.3.Matriks Pembinaan Keagamaan8

Hasil wawancara dengan semua narapidana terorisme

dan mereka semua aktif dan senang ikuti pembinaan

Agama.

3. 4.

6 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

7 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

8 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

5. 2.1.4.Matriks Pembinaan Keterampilan Kerja/

Kemandirian9

Hasil wawancara dari 11 narapidana yang tidak respons

hanyalah 2 orang dan yang lainnya semangat dan aktif dalam pembinaan

ketrampilan ini.

Sumber : data primer yang diolah

2.1.5.Matriks Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

Hasil wawancara semua narapidana rata - rata 10

2.1.6.Matriks Pembinaan Motivasi dan Konseling

Hasil wawancara narapidana semuanya antosias ikut

aktif dalam pembinaan ini. 11

2.2. Hasil Waawaancara dengan petugas bagian pembinaan

yaitu kepala bidang pembinaan ,Edy Warsono, SH . Kepala

staf bagian pembinaan (sdr. Agung, Iman santoso)

Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Batu Nusakambangan12

Pembinaan khusus tentang pembinaan napi teroris. metode yakni

memasukan narapidana teroris ke dalam blok-blok narapidana lainnya,

tentunya hal ini dengan cara pendekatan persuasif, misalnya untuk

lebih menjaga iman, lebih berbaur, menguji keimanan dan lainnya.

Pembinaan secara umum tetapi mengacu kepada 10 prinsip

pemasyarakatan. Ruang lingkup pembinaan juga tetap mengacu

kepada PP No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan

9 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

10 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

11 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

12 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

Warga binaan pemasyarakatan, yang bertujuan untuk meningkatkan

kualitas ketakwaan, intelektual, sikap dan perilaku, professional,

kesehatan jasmani dan rohani Warga binaan pemasyarakatan.

a. Adapun pembinaan yang dilakukan meliputi ;

b. Pembinaan kepribadian

c. Pembinaan kemandirian

d. Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Untuk pembinaan napi teroris petugas harus paham bahwa

perlakuan terhadap mereka juga ada perlakuan khusus baik dalam

pengawasan maupun pembinaan Perlakuan terhadap mereka lebih

bersifat persuasif namun tidak mengesampingkan kewaspadaan

pengamanan. .

Libatkan dalam kegiatan yang ada dalam lapas baik yang

bersifat keagamaan (pantauan dan pengawasan khusus) ataupun

kegiatan olahraga dan ketrampilanidana terorisme.

Dalam pembinaan narapidana khusus terorisme protap dan

aturan lain untuk pembinaan khususnya terorisme belum terbentuk

dan yang dijadikan dasar undang undang No

2.5.1. narapidana pada umumnya.

2.5.2.Pembinaan narapidana setelah masa adaptasi di Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan terhadap

narapidana teroris ditempatkan pada blok umum dan blok

khusus.

2.5.3.Kegiatan yang di bolehkan untuk dilakukan oleh

narapidana teroris salah satunya adalah kegiatan ibadah

berjamaah.

2.5.4.Standar operasional prosedur pengawasan narapidana

teroris sangat dipengaruhi masa hukumannya apakah

tinggi atau rendah.

2.5.5.Proses adaptasi dan sosialisasi narapidana teroris Lembaga

Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan kami nilai

cukup baik, mereka gampang berasimilasi dengan

narapidana lain .

2.5.6.Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Batu Nusakambangan dalam menghadapi hambatan

pembinaan narapidana teroris adalah dengan berkordinasi

dengan instansi pemasyarakatan lainnya, saling bertukar

informasi, instansi penegak hukum lainnya, pondok

pesantren, dan Majelis Ulama Indonesia guna pembinaan

dan pelurusan akhlak.

2. Data Sekunder

2.1. Kualifikasi Narapidana Resiko Tinggi

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan

No. PAS-58.0T.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23 April 2010

tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi,

2.2. Pembinaan Narapidana

2.2.1.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan (pasal 5, 6, 7, 4, 3, 9

2.2.2.Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan (pasal 2)

Efektivitas Pembinaan Narapidana Khusus Terorisme Di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan .

Pembinaan narapidana terorisme bertujuan agar narapidana sadar akan

perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan

menjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya maupun moral

sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah

masyarakat.

Pengaturan pembinaan tersebut juga dilakukan terhadap narapidana

terorisme, tetapi dengan sedikit perbedaan. Pembinaan narapidana

terorisme dilakukan dengan tahapan awal, tahapan lanjutan pertama,

tahapan lanjutan kedua dan tahapan akhir.

Masa pembinaan awal dapat di gambarkan dalam bagan sebagai

berikut :

Masa pembinaan tahap awal ditentukan berdasarkan masa pidana yang

sudah dijalani Narapidana Resiko Tinggi, terhitung sejak diterima hingga

sekurang-kurangnya 1/3 masa pidana, pada pembinaan tahap awal dilakukan

hal-hal sebagai berikut:

a. Identifikasi latar belakang Narapidana Resiko Tinggi melalui

konseling, melibatkan psikolog, psikiater, hypnotherapist,

pekerja sosial dan pemuka agama.

b. Melakukan penilaian sementara terhadap Narapidana Resiko

Tinggi berdasarkan hasil konseling.

c. Menentukan terapi yang dibutuhkan.

d. Terapi untuk merubah cara pandang dan pola pikir dapat

menggunakan teknik :

e. Pembinaan agama atau spiritual dengan melibatkan pemuka

agama dengan pendekatan belajar yang berbeda.

f. Pendekatan sosial kemasyarakatan dengan melibatkan peran

keluarga dan elemen masyarakat.

Evaluasi Perilakudengan rekomendasi ahli PK BAPAS

Persiapan utk mendapatkan

remisi dan asimilasi

Sejak1/3 sampai ½ bagian dari masa

pidana Pembatasan Informasi

Pembatasan Kunjuangan

Evaluasi untuk peningkatan program

Laporan Ke Kanwil dan Dirjenpas

Program Kerja Sosial

g. Menggunakan metode Cognitive Behaviour Theraphy (CBT)

untuk melakukan terapi kognitif dan terapi perilaku.

h. Menggunakan Hypnotherapy yakni untuk menanamkan nilai-

nilai baru di alam bawah sadarnya.

Pada masa tahapan awal dilakukan Pembinaan Kepribadian meliputi

pembinaan kesadaran agama, pembinaan kesadaran berbangsa dan

bernegara pembinaan kesadaran hukum, pembinaan intelektual,dan terapi

rehabilitasi sosial. Pembinaan kesadaran beragama meliputi kegiatan ber-

bentuk ceramah dan diskusi agama.

Kegiatan inilah yang jarang dilakukan narapidana terorisme.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dalam matriks berikut :

No Nama Informan

Substansi Tema

1. Subur Sugiarto Als AbuMujahid Als Abu Isa AlsMarwan Hidayah

Pembinaan ini tidak penting, negara telah menzolimi perjuangan para pejuang islam pada masa kemerdekaan dan justru negara membuang pahlawan-pahlawan islam yang ikut berjuang.

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

2. Mustagifirin Als Jek Als SukarnoAls Bagas Als Febi Als AdiIrwanto Als Bowo Bin Bajuri

Untuk pembinaan bela negara sepanjang hal tersebut hanya pengetahuan masih saya dengarkan, tetapi untuk upacara saya tidak mau

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

3. Joko Wibowo Als Abu SayyafBin Parman

Saya rasa ini Privasi saya saya tidak mau ikut upacara,

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

4. Achmad Hasan Als Agung CahyonoAls Purnomo

Saya tidak sudi menghormati thogut yang kafir

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

5. Iwan Ideologi berbangsa kami Sikap tidak

Dharmawan Muntho AlsRois Als Fajar Als Abdul FatahAls Dharma Als Yadi Als MuhamadTaufik Als Rido Als Hendi AlsZainudin Bin Muhamad

berbeda, negara sejati adalah dengan menegakan khilafah islamiyah.

menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

6. Joko Suroso Als Pak ManBin Danu Kusno

Kami memang tidak pernah ikut upacara, kadang speker mesjd kami tidak izinkan untuk digunakan dalam upacara

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

7. Syaiful Anam Als Mujahid Als.Brekele Als Idris Als Joko

Pembinaan berbangsa dan bernegara tidak perlu dilakukan.

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

8. Amir Ahmadi Als Abu Jundy AlsAhmad Als Ghozy

Ya memang kadang saya mengikuti upacara kadang tidak.

Sikap cukup menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

9. Mahfud Qomari Als Sutarjo .Als Ayyasi Als Abi Isa

Pembinaan ini adalah hal yang mubazir, tidak perlu dilakukan dan Allah tidak suka hal yang sia-sia.

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

10. Aris Mar'ruf Als Nizar AlsBagong Als Atit Als Wahyu AlsAndre Bin Souman

Untuk pembinaan berbangsa dan bernegara terkadang saya ikut.

Sikap cukup menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

11. Aris Susanto Als Amin

Kalau saya ikut yang terbanyak saja, kalau rekan-rekan jihad ikut saya ikut, jika tidak ya tidak.

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

Sumber: Data primer yang diolah

Berdasarkan matriks tersebut dapat diketahui bahwa, terdapat dua

spesifikasi tema dalam memandang pembinaan berbangsa dan bernegara

yaitu :

a. Sikap cukup menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

b. Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

Berdasarkan tema tersebut dapat diketahui bahwa masih ada

narapidana terorisme yang dapat dibina baik wawasan berbangsa maupun

wawasan bernegara, tetapi banyak juga yang menolak dengan tegas

dilaksanakannya upacara kenegaraan.

Salahuddin Wahid, menyatakan bahwa :

Terorisme dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena

alasan agama, alasan ideologi, alasan untuk memperjuangkan

kemerdekaan, alasan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan, dan

karena alasan kepentingan.13

Nasarudin Mochtar alias Abu Gar alias Harun punya pendapat

menarik, yaitu :

“Jihad ini bukan persoalan perut. Kalau persoalan perut dengan uang akan selesai, tapi ini persoalan ideologi. Mereka bisa tidak mematahkan ideologi kita? Jika mereka secara ilmiah bisa membuktikan bahwa keyakinan kita adalah keliru maka secara otomatis mereka bisa berhasil dengan program deradikalisasi.14

Hal inilah yang sulit untuk dipaksakan, karena pada dasarnya

Narapidana terorisme memang tidak suka untuk melakukan upacara,

menghormati negara, presiden dan lainnya. Pembinaan lainnya yang

dilakukan yaitu pembinaan kesadaran hukum adalah kegiatan melalui

ceramah, diskusi, sarasehan, temuwicara, peragaan dan simulasi hukum

berupa penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran

hukum yang tinggi sehingga mereka menyadari hak dan kewajibannya

sebagai anggota masyarakat.

13Salahuddin Wahid., dalam Abduh Zulfidar Akaha, Op cit, hal. 46.14Taufik Andrie, Op cit.,hal. 4.

Berdasarkan hasil penelitan mengenai kesadaran hukum dan tujuan

pemidanaan, dapat dilihat dalam matriks berikut :

No Nama Informan

Substansi Tema

1. Subur Sugiarto Als AbuMujahid Als Abu Isa AlsMarwan Hidayah

Penjara hanya masa istirahat saya, dan akan tetap berjuang di jalan Allah

Pemahaman negatif

2. Mustagifirin Als Jek Als SukarnoAls Bagas Als Febi Als AdiIrwanto Als Bowo Bin Bajuri

Dipenjara agar saya sadar, pembinaan dilakukan agar menambah keterampilan saya untuk terjun di masyarakat.

Pemahaman positif

3. Joko Wibowo Als Abu SayyafBin Parman

Mengerti, agar membuat saya jera

Pemahaman positif

4. Achmad Hasan Als Agung CahyonoAls Purnomo

Hanya sebagai tempat istirahat saja, saya merasa benar melakukannya, kalaupun saya salah saya siap menanggung dengan hukuman ini

Pemahaman negatif

5. Iwan Dharmawan Muntho AlsRois Als Fajar Als Abdul FatahAls Dharma Als Yadi Als MuhamadTaufik Als Rido Als Hendi AlsZainudin Bin Muhamad

(tidak mau menjawab) -

6. Joko Suroso Als Pak ManBin Danu Kusno

Agar saya jera dan tidak melakukannya lagi

Pemahaman positif

7. Syaiful Anam Als Mujahid Als.

Tempat penjeraan Pemahaman positif

Brekele Als Idris Als Joko

8. Amir Ahmadi Als Abu Jundy AlsAhmad Als Ghozy

Agar tidak melakukannya lagi

Pemahaman positif

9. Mahfud Qomari Als Sutarjo .Als Ayyasi Als Abi Isa

Sebagai tempat melatih mental dan spiritual

Pemahaman positif

10. Aris Mar'ruf Als Nizar AlsBagong Als Atit Als Wahyu AlsAndre Bin Souman

Mengerti, untuk tidak melakukannya lagi.

Pemahaman positif

11. Aris Susanto Als Amin

Agar saya jera dan tidak melakukannya lagi

Pemahaman positif

Sumber: Data Primer yang diolah

Berdasarkan matriks tersebut dapat diketahui beberapa narapidana

memiliki pemahaman yang positif terhadap Lembaga Pemasyarakatan,

terhadap hukum dan terhadap tujuan pemidanaan. Dalam hal ini ada 8

narapidana terorisme yang menyatakan jera, sedangkan 2 orang memiliki

pemahaman yang negatif terhadap Lembaga Pemasyarakatan, terhadap

hukum dan terhadap tujuan pemidanaan.

Berdasarkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak

Warga binaan pemasyarakatan bagi Narapidana yang dipidana karena

melakukan tindak pidana terorisme Pembebasan Bersyarat oleh Menteri

apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3. (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;

b. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; dan

c. Telah mendapat pertimbangan dari direktur jenderal pemasyarakatan.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat memberikan persetujuan

atau penolakan terhadap usulan Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat (PB)

atau Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Surat

persetujuan atau penolakan tersebut disampaikan kepada Kantor Wilayah

untuk diterbitkan keputusan. Direktorat Jenderal dapat memberikan

persetujuan dan menerbitkan surat keputusan Pembebasan Bersyarat (PB).

Pemberian persetujuan terhadap usulan Asimilasi dan Pembebasan

Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas. (CMB), dan Cuti Bersyarat

(CB) ditentukan setelah berkoordinasi dengan instansi terkait yang

berhubungan dengan kejahatannya dalam hal ini Detasemen Khusus 88 Anti

Teror Kepolisian Republik Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian belum

ada narapidana terorisme yang mendapatkan Asimilasi dan Pembebasan

Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas. (CMB), dan Cuti Bersyarat

.15

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikualifikasikan metode

pembinaan dan deradikalisasi narapidana terorisme dilakukan dengan cara-

cara sebagai berikut :

No Tindakan pembinaan

Efek Tindakan Penilaian observasi

1 Pemencaran blok hunian narapidana terorisme

Narapidana terorisme menjadi tidak bergerombol, mengurangi ekses bertemu, bertukar pikiran, menyebarkan paham sesama narapidana terorisme, melihat hal-hal baru

Efektif

2 Pendekatan persuasif, kekeluargaan dan bimbingan konseling

Narapidana menjadi simpatik, melunak,mau untuk berbicara dan tidak mudah mengaggap petugas sebagai kafir

Efektif

15 Taufik Andri, Op cit., hal. 9.

3 Debat aqidah, syariah jihad islam

Narapidana semakin tertantang, semakin radikal dan menjauh dari petugas.

Kurang Efektif

4 Memberikan hak untuk memimpin dan mengurus

Narapidana terorisme merasa bangga dan menurut, mau tidak mau mencontohkan hal yang benar terhadap narapidana umum lainnya

Efektif

5 Metode panggilan Pemanggilan dilakukan dengan menyebut panggilan Uztadz, Antum, Akhi dan sebutan islamiah lainnya. Efeknya mereka merasa nyaman mengobrol dengan petugas.

Efektif

6 Pemasukan nilai-nilai humanistik

Narapidana terorisme sadar akan rasa cinta kasih sayang sesama manusia, menderitanya kehilangan seseorang, mengerti akan nilai sosial dan lainnya.

Efektif

7 Memperkecil nilai-nilai perbedaan

Petugas mencoba memperkecil perbedaan syariah, aqidah, ideologi, kenegaraan dan lainnya, hal ini bertujuan untuk menjaga simpatik narapidana terorisme dengan petugas agar gampang untuk dibina.

Efektif

8 Pembinaan keterampilan pertukangan, las, kaligrafi

Narapidana terampil untuk dapat menghasilkan sesuatu, keterampilan untuk bekerja di masa yang akan datang, termotifasi untuk meninggalkan organisasi, ideologi jihad dan fokus memperbaiki diri, memantapkan tujuan dimasa yang akan datang

Efektif

9 Pembekalan petugas tentang syariah, aqidah, khilafah islamiyah dan anjuran untuk menghindari pembicaraan tersebut.

Petugas terampil dalam memberikan pembinaan, tidak kalah berdebat, dapat mematahkan argumen narapidana terorisme secara logis dan menerima pendapat tersebut.

Efektif

10 Motivasi masa depan dan pembinaan kesadaran hukum.

Narapidana semakin mantap untuk menata masa depan, tidak melakukan tindak pidana terorisme lagi.

Efektif

Secara khusus metode pembinaan dan deradikalisasi yang dilakukan

di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan tersebut

memperoleh hasil yang cukup baik, walaupun ada beberapa narapidana

terorisme yang masih radikal.

Mengukur efektif atau tidak efektifnya suatu metode pembinaan

narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas

suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga

masyarakatterhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga

dikenal suatu asumsi, bahwa : “Taraf kepatuhan hukum yang tinggi

merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan

berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah

mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan

melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup”.16

Pembinaan dan deradikalisasi narapidana terorisme pada dasarnya

dilakukan untuk mengembalikan narapidana kejalan yang benar, selain itu

untuk membina kesadaran hukum .

Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan

efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang ada

dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masysrakat, artinya hukum

16Soekanto Soerjono, Op cit., hal. 62

tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan filosofis.17 Term

efektivitas secara umum menurut Soerjono Soekanto, derajat efektivitas

suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat

terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu

asumsi, bahwa :18

Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.

Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepa-

tuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum

pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif

tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.19 Dalam negara yang

berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum menurut Bustanul

Arifin apabila didukung oleh tiga pilar pokok, yaitu :

a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dan dapat

diandalkan;

b. Peraturan hukum yang jelas dan sistematis;

c. Kesadaran hukum masyarakat tinggi. 20

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan metode

wawancara dan observasi penulis mengkualifikasikan dua karakteristik

narapidana setelah dilakukan metode pembinaan dan deradikalisasi antara

lain :

a. Menerima pembinaan dan deradikalisasi

Narapidana teroris dalam karakteristik pertama ini punya

kecenderungan untuk bersedia menerima bantuan keuangan, mudah

memberi informasi, terbuka dalam tukar pendapat dan mendapatkan

perlakuan khusus dalam penahahan. Proses pendampingan melalui

17 Ibid., hal.5318 Ibid., hal. 6219Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, Op cit., hal. 2020Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan

Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1985, hal. 2.

diskusi ini berjalan dengan cukup baik.

b. Menolak pembinaan dan deradikalisasi

Narapidana teroris karakteristik kedua ini merupakan kebalikan

dari narapidana yang kooperatif, baik terhadap polisi maupun pada

petugas penjara.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Edy Warsono, SH Kasi

Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan dapat diketahui bahwa :

Perlakuan terhadap mereka lebih bersifat persuasive namun tidak mengesampingkan kewaspadaan pengamanan. (bahwa fisik kecil namun efek pengembangan paham mereka cukup besar). Pendekatan dengan mereka dimulai dari waktu admisi orientasi. Tempatkan pada blok khusus adakan pendekatan / silaturahmi, jangan masuk pada percakapan yang terkait dengan aqidah makna jihad dan hal-hal yang khilafiyah, sapa mereka dengan sebutan yang agamis missal antum akhi, ustadz dan lainnya jangan gunakan panggilan “kamu”.

Libatkan dalam kegiatan yang ada dalam lapas baik yang bersifat keagamaan (pantauan dan pengawasan khusus) ataupun kegiatan olahraga dan ketrampilan. Dalam hal hak-hak mereka yang terkait dengan remisi dan Pembebasan Bersyarat pahamkan bahwa lapas sekedar mengusulkan kewenangan ada pada pusat, hal ini karena mereka umumnya cerdas dan normatif (tunjukan surat pengusulannya) ini dilakukan agar mereka tetap percaya pada kita. Melalui metode ini saya rasa cukup berhasil, bahkan negara lain seperti Australia berguru pada Indonesia mengenai metode pembinaan narapidana terorisme.21

1. Kendala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan

Dalam Melaksanakan Pembinaan Narapidana Khusus Teroris.

Van Appeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh Budiono

Kusumohamidjojo menyatakan bahwa, tujuan hukum adalah tertib

masyarakat yang damai dan seimbang. Namun yang menjadi permasalahan

adalah suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi

ketertiban umum belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum.. Sehingga

21Hasil wawancara dengan Edy Warsono, SH Kasi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa fungsi utama dari hukum adalah

untuk menegakkan keadilan.22

Hukum memiliki 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat antara lain:

a. Sebagai sarana pengendali sosial.

b. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial.

c. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.23

Sebagai suatu sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu

sistem, yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements),

semua elemen saling terkait (relation) dan kemudian membentuk struktur

(structure). Lawrence W. Friedman, membaginya menjadi 3 (tiga) elemen,

yaitu: elemen struktural (structure), substansi (substance), dan budaya

hukum (legal culture). Pada bagian lain Lawrence W. Freidman

menambah satu elemen lagi, yaitu dampak (impact). Pandangan Lawrence

W. Freidman tentang sistem hukum dikelompokkan sebagai pandangan

yang luas yang memasukkan elemen-elemen lain yang non-hukum. sebagai

elemen hukum.24

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikelompokan bahwa, kendala

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan antara lain:

a. Tidak adanya peraturan yang jelas

b. Tidak adanya program deradikalisasi yang menyeluruh berlaku

di Indonesia.

c. Tidak adanya patokan pembelajaran pembinaan narapidana

terorisme.

d. Karakteristik narapidana terorisme yang sulit diajak

bekerjasama.

e. Kurangnya Sumber Daya Manusia yang paham mengenai

keagamaan.

22 Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat Hukum Grassindo, Jakarta, 1999, hal. 126.

23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 34.

24 Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 8

Mengkaji kendala Lembaga Pemasyarakatan dalam membina

narapidana terorisme, maka sebelumnya akan melihat cara bekerjanya

hukum di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Chambliss dan Robert

B. Seidman dalam Esmi Warassih menyatakan bahwa dalam bekerjanya

hukum terdapat alur-alur yang dapat dicermati.25 Alur dan faktor-faktor

penting tersebut, yaitu :

a. Peraturan-peraturan hukumnya;b. Badan pembuat undang-undang;c. Badan pelaksana hukum (sanctioning agencies);d. Masyarakat sebagai sasaran pengaturan (dalam diagram

dikualifikasikan sebagai pemegang peran, yang berarti peranannya di dalam masyarakat ditentukan oleh apa yang dirumuskan di dalam peraturan);

e. Proses penerapan hukum;f. Komunikasi hukumnya;g. Kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain yang bekerja atas

diri pembuat undang-undang, birokrasi (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran; dan

h. Proses umpan balik antara semua komponen tersebut. 26

Peraturan menjadi salah satu faktor terpenting dalam proses

pembinaan narapidana terorisme. Tidak ada prosedur dan program yang

baku tentunya akan mengakibatkan banyak variasi pembinaan di dalam

Lembaga Pemasyarakatan. Sejauh ini harus diakui bahwa pemerintah

Indonesia belum memiliki pola deradikalisasi yang integrated, yang

melibatkan multi-institusi. Polisi masih berjalan sendirian. Apakah Lapas

secara institusi punya program deradikalisasi? Sayangnya, tidak semua.

Bahkan Lapas adalah institusi terlemah yang seringkali menjadi kambing

hitam (disalahkan) ketika ada residivisme terorisme. Namun kini setidaknya

Lapas memiliki SOP dalam menangani narapidana teroris.

Menurut Friedman, the substance is composed of substanctive rules

and rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud

substansi menurut Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku yang

nyata manusia yang berada dalam sitem itu. Substansi disini termasuk pula

25 Ibid., hal.12.26 Ibid., hal.121-122.

the living law (hukum yang hidup) dan tidak hanya aturan yang ada dalam

kitab undang-undang atau law in the book. 27

Permasalahan yang sering terjadi adalah peraturan-peraturan yang ada

belum memiliki peraturan pelaksana padahal dalam undang-undang tersebut

diamanatkan demikian, kemudian adapula undang-undang yang tidak diikuti

asas-asas berlakunya undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata

dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam

penafsiran dan penerapannya. Selain itu permasalahan peraturan mengenai

Pemasyarakatan ialah, Undang-Undang 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan sudah usang dan belum menampung pembaharuan-

pembaharuan pemasyarakatan.

Ketidakpastian Hukum juga akan menghambat proses pembinaan

narapidana terorisme. Narapidana teroris pintar bermain peran, kadang

mereka begitu keras dan berani melawan petugas. Kadang mereka begitu

lunak dan kompromi pada petugas. Narapidana teroris punya pengetahuan

dan ketrampilan yang memadai untuk sekedar memasukkan atau

mengeluarkan barang seperti buku dan manuskrip terjemahan. Karena

itulah, perlu dibuat Prosedur Tetap Narapidana Khusus Terorisme dan

program pembinaan serta deradikalisasi yang terintegrasi menjadi satu

kesatuan.

Kendala dalam penerapan program deradikalisasi ini muncul dari dua

sisi. Pertama, dari sisi program deradikalisasi itu sendiri yang belum

memiliki metode dan alat ukur yang jelas. Fokus dan sasaran program atau

subyek deradikalisasi juga masih samar. Kedua program deradikalisasi

hanya bersifat sporadis dan tidak mencakup semua sasaran.

Pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan bukanlah hal yang

gampang, tetapi butuh keuletan, kecerdasan dan juga ketegasan dalam

menghadapi narapidana. Dalam melakukan pembinaan hal yang terlebih

dahulu perlu dicapai adalah keamanan dan ketertiban di lingkungan lembaga

pemasyarakatan. Dalam teori Chambliss dan Robert B. Seidman dikatakan 27 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Op cit., hal.

8

bahwa bekerjanya hukum juga dipengaruhi oleh masyarakat sebagai sasaran

pengaturan (dalam diagram dikualifikasikan sebagai pemegang peran, yang

berarti peranannya di dalam masyarakat ditentukan oleh apa yang

dirumuskan di dalam peraturan). Dalam hal pembinaan narapidana

terorisme maka yang dimaksud dengan masyarakat adalah narapidana

terorisme itu sendiri.

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan merupakan

suatu Lembaga Pemasyarakatan yang memiliki kualifikasi super maximum

securuty. Narapidana yang dibinapun bukan kategori rendah, banyak

narapidana-narapidana yang beresiko tinggi dibina di Lembaga

Pemasyarakatan tersebut, maka penanganan narapidana di sana bukan

perkara mudah. Hal inilah yang menjadi kendala Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Batu Nusakambangan.

Berdasarkan hasil penelitian dan observasi, penulis dapat

mengkualiikasikan karakteristik narapidana terorisme sebagai berikut:

a. Memiliki pemahaman garis keras radikal.

b. Memiliki visi kedepan mengenai suatu negara

c. Karena bersifat organisatoris, memiliki kecendrungan

bergerombol, memisahkan diri dari narapidana lainnya.

d. Sulit diajak bekerjasama

e. Sering menuntut

Karakteristik-karakteristiktersebut tentunya menghambat suatu proses

pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan. Untuk itu perlu dilakukan suatu ide individualisasi

pembinaan narapidana.

Ide individualisasi pemidanaan yang bertujuan membina narapidana

sesuai dengan karakteristik narapidana. Dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Ide Individualisasi pemidanaan ini

diatur dalam Pasal 12 yang berbunyi:

(1) Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar:

a. Umurb. Jenis kelaminc. Lama pidana yang dijatuhkand. Jenis kejahatan, dane. Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau

perkembangan pembinaan..

Untuk menangani kendala yang timbul dalam diri narapidana

terorisme itu sendiri maka petugas harus menerapkan sikap empati dalam

menjalin relasi dengan kliennya. Dengan menguasai prinsip dasar ini

diharapkan tujuan dari pembinaan yang dilakukan di Lapas dapat tercapai

sebaikbaiknya. Seorang Pembina yang professional harus memiliki

kemampuan dalam membimbing klien (yang dibina) agar dapat tertanam

dalam jiwanya memiliki kejujuran dalam hidupnya, memiliki etos kerja

yang kuat, dan memiliki kemampuan yang tinggi di bidangnya masing-

masing. Untuk itu seorang petugas pembina harus mengetahui karakteristik

narapidana terorisme,

Chitambar menyatakan bahwa, interaksi sosial adalah suatu hubungan

antara dua individu atau lebih, ketika individu yang satu mempengaruhi,

mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya.28

Sebagai dasar dari proses interaksi tersebut adalah kerja sama (cooperation),

yang meliputi seluruh kegiatan pada kehidupan kelompokPada akhirnya

Narapidana Terorisme juga harus berusaha dan memiliki kemauan yang

kuat untuk memperbaiki diri, tidak hanya menyerahkan pada pembina.

Narapidana Terorisme, tanpa kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh,

tidak akan dapat mencapai hasil pembinaan yang optimal. Hovland

menjelaskan bahwa, perubahan sikap seseorang akan tergantung pada sejauh

mana dia menanggapi suatu dorongan atau rangsangan (stimulus) itu

diperhatikan, dipahami dan diterima.29 Narapidana Terorisme harus belajar

secara serius dengan cara memperhatikan, memahami dan menerima segala

sesuatu yang diberikan dan ditugaskan oleh para pembina, dan dilakukan

28 JB Chitambar, Introductory Rural Sociology, Wiley Eastern Limited, India, New Delhi, 1973, hal. 265.

29 S. Azwar, Sikap Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 63

secara terus menerus agar berhasil.

Beberapa kekuatan yang diperlukan dan dapat memotivasi individu,

kelompok, organisasi, dan komunitas dalam upaya mengubah mereka yaitu:

a) Kemauan untuk menerima pertolongan, b) Hasrat untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan c) Meyakini bahwa perubahan adalah memungkinkan d) Pembebasan dari kegelisahan e) Adanya respon untuk memaksakan diri, danf) Adanya toleransi pada orang lain.30

Keenam cara memotivasi individu tersebut kunci utamanya adalah

adanya niat yang kuat dari yang dibina (Narapidana Terorisme). Dalam hal

ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa sesungguhnya suatu amalan itu

tergantung pada niatnya.

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pembinaan narapidana khusus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas I Batu Nusakambangan dilakukan melalui metode-metode

pemencaran blok hunian narapidana terorisme dengan Narapidana

terorisme menjadi tidak bergerombol, mengurangi ekses bertemu,

bertukar pikiran, menyebarkan paham sesama narapidana terorisme,

30 A. Pincus, Social Work Practice: Model and Method, Peacock Publishers, Inc. Illinois, Peacock, 1972, hal.151

melihat hal-hal baru. Pendekatan persuasif melalui metode tersebut

narapidana menjadi simpatik, melunak, mau untuk berbicara dan tidak

mudah mengaggap petugas sebagai kafir, metode kekeluargaan dan

bimbingan konseling. Melalui metode pemberikan hak untuk

memimpin dan mengurus dihasilkan Narapidana terorisme yang

menurut, mau tidak mau mencontohkan hal yang benar terhadap

narapidana umum lainnya. Metode panggilan dilakukan dengan

menyebut panggilan Uztadz, Antum, Akhi dan sebutan islamiah

lainnya. Terdapat beberapa efek dari Efeknya mereka merasa nyaman

mengobrol dengan petugas., pemasukan nilai-nilai humanistik,

memperkecil nilai-nilai perbedaan, pembinaan keterampilan

pertukangan, las, kaligrafi, pembekalan petugas tentang syariah,

aqidah, khilafah islamiyah dan anjuran untuk menghindari

pembicaraan tersebut, dan motivasi masa depan dan pembinaan

kesadaran hukum. Metode yang di lakukan Lembaga Pemasyarakatan

Klas I Batu Nusa Kambangan terbukti efektif, melalui metode tersebut

terbangun kerjasama antara petugas dengan narapidana terorisme,

petugas yang dihormati, berwibawa dan dapat diandalkan serta terbina

kesadaran hukum narapidana terorisme. Metode ini cukup efektif

dalam membina narapidana terorisme, dapat berhasil mereka

mengikuti program pembinaan di Lapas Klas I Batu dan selama ini

tidak ada yang masuk Lapas lagi setelah bebas, bahkan metode ini

ditiru oleh negara lain, tetapi memang masih perlu disempurnakan

baik dari segi Sumber Daya Manusia, Sarana dan Prasarana serta

peraturan yang jelas.

2. Kendala-kendala di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan dalam melaksanaan pembinaan narapidana khusus

teroris antara lain tidak adanya peraturan yang jelas, tidak adanya

program deradikalisasi yang menyeluruh berlaku di Indonesia, tidak

adanya patokan pembelajaran pembinaan narapidana terorisme,

kurang tersedianya petugas yang memiliki dasar pengetahuan agama

yang mendalam, dan karakteristik narapidana terorisme yang sulit

diajak bekerjasama.

B. Saran

1. Sebaiknya Direktur Jenderal Pemasyarakatan melakukan

pembentukan standard operational procedures (SOP) yang lengkap

dan tepat berasal dari pengalaman pembinaan ditiapLembaga

Pemasyarakatan yang nantinya dijadikan dasar peraturan yang bersifat

menyeluruh. SOP ini diharapkan dapat berguna untuk memperjelas

proses atau mekanisme yang harus dijalankan oleh petugas dalam

memberikan perlakuan terhadap narapidana terorisme serta

mempermudah dalam menentukan garis pertanggungjawaban dalam

setiap aktifitas.

2. Pemerintah perlu membuat suatu program deradikalisasi narapidana

terorisme yang menyeluruh dan berlaku disetiap Lembaga

Pemasyarakatan.

3. Diperlukan pendidikan dan pelatihan serta pembekalan mengenai

kepribadian dan keagamaan kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan

dalam membina narapidana terorisme.

4. Diperlukan pola rekruitmen petugas pembinaan yang menguasai dasar

pengetahuan dan pemahaman keagamaan.

5. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu untuk memenuhi sarana dan

prasarana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan

yang ruang dan blok huniannya sudah tua.

DAFTAR PUSTAKA

LiteraturA. Pincus. 1972. Social Work Practice: Model and Method. Peacock

Publishers. Inc. Illinois. Peacock.

Akaha, Abduh Zulfidar. 2002. Terorisme dan Konspirasi Anti Islam. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.

Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Andrie, Taufik. 2011. Kehidupan Di Balik Jeruji: Terorisme dan Kehidupan Penjara di Indonesia. Position Paper No. 02. Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). Jakarta.

Arifin, Bustanul. 1985. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah. Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press. Jakarta.

Ashofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta. Jakarta.

Astuti, Fatima. 2012. Sejarah Terorisme di Indonesia. Makalah Yayasan Prasasti Perdamaian. Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. PT Rafika Aditama. Bandung.

Azwar, S. 1995. Sikap Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Bustanul Arifin. 1985. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah. Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press. Jakarta.

Dewanto, B.A. 1987. Peranan Faktor-faktor Sosiologis dalam Pertumbuhan Gereja-gereja Kristen di Kodya Bandung. PPS UNPAD. Bandung.

Dirjosisworo, Soedjono. 1984. Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan). Armico. Bandung.

Golose, Petrus Reinhard. 2010. Deradikalisasi Terorisme. Humanis.Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Yayasan Kajian Pengembangan Ilmu Kepolisian (YPKIK). Jakarta.

Hardiman, F. Budi dkk..2005. Terorisme. Definisi. Aksi dan Regulasi. Imparsial. Jakarta.

Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Djambatan. Jakarta.

JB Chitambar. 1973. Introductory Rural Sociology. Wiley Eastern Limited. India. New Delhi.

J Biesanz. 1969. Introduction to Sociology. Prentice-Hall. New Jersey. USA.

Kusumohamidjojo, Budiono. 1999. Ketertiban yang Adil. Problematik Filsafat Hukum Grassindo. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung.

Manullang, 2001. A.C. Menguak Tabu Intelijen. Motif dan Rezim. Panta Rhei. Jakarta.

Moelyatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Mohamad, Simela Victor. 2002. Terorisme dan Tata Dunia Baru. Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPR-RI. Jakarta.

Muladi. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Muladi. 2002. Demokrasi. HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta. The Habibie Center.

Panjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. 2007. Pidana Penjara Mau Kemana. CV. Indhill Co. Jakarta.

Perpustakaan Nasional. 2009. Memburu Nurdin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia. Bio Pustaka. Yogyakarta.

Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana penjara dengan system Pemasyarakatan. Liberty. Yogyakarta.

Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. PT. Rafika Aditama. Bandung.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman. 2011. Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta. Bandung.

Salam, Moch. Faisal. 2005. Motivasi Tindakan Terorisme. Mandar Maju. Bandung.

Saleh, Roeslan. 1987. Stetsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta.

Santoso, Topo dan Zulfa Achyani. 2001. Kriminologi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soeharto. 1991. Hukum Pidana Materiil. Sinar Grafika. Jakarta.

Soekanto, Soejono. 1996. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pres. Bandung.

----------------------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

-------------------------. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali. Jakarta.

-------------------------. 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono dan Pudji Santoso. 1985. Kamus Kriminologi. Ghalia. Jakarta.

Soerjono, Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. CV. Rajawali. Jakarta.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang.

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta.Bandung.

Sumitro, Ronny Hanintjito. 1988. Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Susanto. Kriminologi. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 1995. hal 78.

Vermonte, Philips J. 2003. Menyoal Globalisasi dan Terorisme dalam buku Terorisme. Definisi. Aksi dan Regulasi. Penerbit Imparsial. Jakarta.

Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama. HAM dan Hukum. Retika Aditama. Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.

Peraturan Direktur Jenderal PemasyarakatanNo. PAS-58.0T.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23 April 2010tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi.

Sumber Lainnya

Azis, Avyanti dan Harijanto.. ”Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme”. Global Jurnal Politik Internasional. Vol. 5 No. 2. Mei 2003. hal. 10. Universitas

Budiman, Sudrajat. 27 Desember 2009. Esensi Lembaga-Pemasyarakatan-Sebagai-Wadah-Pembinaan-Narapidana. http//www.hmibecak.wordpress.com. 26 september 2010.

Endang, Suryadinata. (20 Agustus 2009). Deradikalisasi Ala Belanda. http//EndangWordpress.com. diakses pada tanggal 4 Mei 2012.

Hidayat, Farhan. 2005. Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat. Warta Pemasyarakatan No. 19 Tahun VI. September 2005. Jakarta. hal. 27.

Mardanih. 20 Agustus 2009. Deradikalisasi Terorisme. Program Pemberantasan Terorisme. http//www.kompas.com. diakses pada tanggal 4 Mei 2012.

Muhammad, Mustofa. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI. vol 2 no III (Desember 2002).

Muladi. Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI. vol 2 no III (Desember 2002).

---------. 2004. Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus. bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus. Jakarta. 28 Januari 2004.

NN. History of Terrorism.<http://www.terrorismfiles.org/encyclopaedia/history_of_ terrorism.html. diakses pada tanggal 11 Desember 2011.

NN. Abubakar Ba-asyir. http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ba%27asyir. diakses pada tanggal 1 Mei 2012.

NN. Kepmen-Th-1990-Tentang-Pola-Pembinaan-Narapidana-atau-Tahanan. cjr.or.id. diakses pada tanggal 26 September 2010.

NN. narapidana-dan-lembaga-pemasyarakatan. daceband.com/read.... diakses pada tanggal 26 April 2012.

NN. Cara Dirjen PAS Mengatasi Over Kapasitas. http://www.primaironline.com/berita/hukum/cara-dirjen-pas-atasi-over-capacity-di-lapas. diakses pada tanggal 2 Mei 2012.

Reinhard Hutagaol. Wajah Baru Teroris Di Indonesia. http://reinhardjambi. wordpress.com/ 2009/08/15/wajah-baru-teroris-di-indonesia/. diakses pada tanggal 2 Mei 2012.

Sri Gunting. Tumbuh Kembang Fundamentalisme . Radikalisme Dan Terorisme. Sebagai Bahaya Latent Di Indonesia. http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/03/27/tumbuh-kembang-fundamentalisme-radikalisme-dan-terorisme-sebagai-bahaya-latent-di-indonesia/. diakses pada tanggal 1 Mei 2012.

Selamat Ginting. et all. (28 Oktober 2009). Deradikalisasi Terorisme. http//www. republika.co.id. diakses pada tanggal 4 Mei 2012.

The Britanica On-line Encyclopedia. <http://www.britannica.com/eb/article-9071797/terrorism>. diakses 21 Februari 2007.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Zainal Ashikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung.

Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.

Muladi. 1998. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana. P.T Alumni. Bandung.

----------. 2004. Lembaga Pidana Bersyarat. PT. Alumni. Bandung.

NN, Penjara Menjadi Sekolah Tinggi Kejahatan Bagi Pelanggar Hukum, http://www.bakinnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1389:penjara-menjadi-sekolah-tinggi-kejahatan-bagi-pelanggar-hukum&catid=43:kab-pesisir-selatan&Itemid=65, Kamis, 19 Agustus 2010 06:29, diakses pada tanggal 08 Oktober 2010.

NN, Terlibat Bentrok, Enam Napi Lapas Poso Dilarikan ke Rumah Sakit,

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/04/02/50857, 03 April 2010 | 05:02 wib, diakses pada tanggal 08 Oktober 2010.

Panjaitan, Petrus Irawan dan Wiwik Sri Widiarti. 2008. Pembaharuan pemikiran Dr. Saharjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana. PT. Indhill.co. Jakarta.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana II. Pradnya Paramita. Jakarta.

Purnomo, Bambang. 1985. Pelaksanaan Pembinaan Penjara dengan Sistem Permasyarakatan. Liberty. Yogyakarta.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1987. Stetsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta.

Satmoko, Widoyo. Lapas Purwokerto Over Kapasitas, http://www.progresifjaya.com/NewsPage.php?judul=Menkumham%20RI:%20Lapas%20Purwokerto%20Over%20Kapasitas&kategori_tulisan=Nusantara, 12 May 2009, diakses pada tanggal 08 Oktober 2010.

Sholehuddin, M.. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Rajawali Pers. Jakarta.

Simorangkir, dkk. 1987. Kamus Hukum. Aksara Baru. Jakarta.

Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung.

Sumitro, Ronny Hanintjito. 1988, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia Indonesia.

Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.