Efektivitas Kinerja P elaksanaan Program Beras Miskin di K ... · seperti kasus-kasus kerusuhan...
Transcript of Efektivitas Kinerja P elaksanaan Program Beras Miskin di K ... · seperti kasus-kasus kerusuhan...
1FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Efektivitas Kinerja Pelaksanaan
Program Beras Miskin
di Kota Banjarmasin1
Oleh Ahmad Syauqi2
ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT
This research is motivated by the fact irregularities in the implementa-tion of Raskin program in the city of Banjarmasin, especially on themechanism for distribution at the distribution point. The purpose of thisstudy was to determine how the implementation of Raskin program inthe city of Banjarmasin, the factors that influence the success ofthe Raskinprogram, and strategies to implement the Raskin program to make itbetter, according to indicators 6T: on target beneficiaries, the right price,right amount, right time, proper administration, and appropriate qual-ity. Design research uses descriptive analysis with a qualitative approach.Formulation of a strategy using SWOT analysis. The results showedthat the implementation of Raskin program in the city of Banjarmasinscattered at 50 distribution points. In 2009, there were delaysindistribution and reduction in maximum allocation from the govern-ment. Factors affecting the success of the program include factors raskincommunication, resourcesand factors of disposition/behavior and bu-reaucratic structure.
A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang
bersifat multidimensional, dan berkaitan erat dengan aspek sosial,
1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Implementasi Program Beras untuk MasyarakatMiskin (Raskin) di Kota Banjarmasin” yang dibuat oleh Ahmad Syauqi di bawahbimbingan Dr. Syahriani,MSDr. Syahriani,MSDr. Syahriani,MSDr. Syahriani,MSDr. Syahriani,MS dan Dr. Ahmad Alim Bachri, MSi.Dr. Ahmad Alim Bachri, MSi.Dr. Ahmad Alim Bachri, MSi.Dr. Ahmad Alim Bachri, MSi.Dr. Ahmad Alim Bachri, MSi.
2 Ahmad SyauqiAhmad SyauqiAhmad SyauqiAhmad SyauqiAhmad Syauqi adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi PembagunanUniversitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan I, dan status pekerjaannyaketika itu adalah sebagai PNS di Pemko Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
2 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Kemiskinan ditandai dengan
rendahnya tingkat pendapatan masyarakat, keterisolasian,
keterbelakangan dan pengangguran, yang kemudian meningkat
menjadi ketimpangan antar daerah, antar sektor, dan antar golongan
penduduk (Sumodiningrat,1998). Kemiskinan timbul karena ada
sebagian daerah yang belum sepenuhnya tertangani, ada sebagian
sektor yang harus menampung tenaga kerja secara berlebih dengan
tingkat produktifitas yang rendah, dan ada pula sebagian masyarakat
yang belum ikut serta dalam proses pembangunan sehingga belum
dapat menikmati hasilnya secara memadai.
Kemiskinan yang disebabkan keterpurukan ekonomi ditandai
dengan penurunan daya beli masyarakat. Hal itu bisa jadi karena
disebabkan kenaikan kebutuhan hidup masyarakat, atau banyaknya
pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam kondisi tekanan hidup
semakin berat biasanya dapat disusul dengan kondisi rawan konflik
seperti kasus-kasus kerusuhan yang terjadi pada tahun 1997-1998.
Faktanya, menjelang keruntuhan rezim Orde Baru persentase jumlah
penduduk miskin periode 1996 -1999 meningkat sebesar 13,96 % karena
krisis ekonomi. Jumlah penduduk miskin tahun 1996 sebesar 34,01 juta
jiwa meningkat menjadi 49,50 juta jiwa pada tahun 1998 atau 24,23
dari seluruh penduduk. Sedangkan tahun 1999 jumlah penduduk
miskin sebesar 14,97 juta jiwa atau 23,43 % (BPS, 2000). Tetapi sejak
tahun 2000, telah dilakukan sejumlah perbaikan struktur perekonomian
nasional, dan karena kebijakan itu diduga menyebabkan turunnya
jumlah penduduk miskin di Indonesia. Jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 %
penduduk Indonesia pada saat itu. Dibandingkan dengan tahun 2007
dalam bulan yang sama penduduk miskin pada saat itu sebanyak 37,17
juta jiwa atau 16,58 % dari jumlah penduduk Indonesia saat itu, berarti
untuk tahun 2008 jumlah penduduk miskin mengalami penurunan
sebesar 2,21 juta jiwa. Sedangkan pada bulan yang sama tahun 2009
jumlah penduduk miskin sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%), berarti
mengalami penurunan sebesar 2,43 juta jiwa, (BPS, 2009).
Penduduk miskin di Indonesia dalam hal ini adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di bawah
Garis Kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari 2 (dua) komponen
3FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
yaitu: Garis kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-
Makanan (GKBM). Periode Maret 2008 - Maret 2009, Garis Kemiskinan
naik sebesar 9,65 persen, yaitu Rp182.636 menjadi Rp200.262 per kapita
per bulan. Sumbangan GKM jauh lebih besar dibandiag GKBM dalam
GK, yaitu 74,07 % pada tahun 2008 dan turun menjadi 73,57 %, pada
tahun 2009, (BPS, 2009). Secara riil, garis kemiskinan penduduk itu
sungguh relevan dengan kebutuhan mereka akan beras, sebagai
komoditas pangan utama penduduk Indonesia; dan karena itu
sebenarnya garis kemiskinan penduduk bisa dikonversikan dengan
pemilikan beras (Sarman,1998).
Komoditas makanan atau pangan yang paling penting bagi
penduduk Indonesia terutama penduduk miskin adalah beras.
Kebutuhan pangan merupakan kebutuhun pokok yang harus dipenuhi
oleh nyaris setiap penduduk di negeri ini. Oleh sebab itu dibutuhkan
suatu ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
tersebut.
Program pemulihan dan stabilitas kondisi ekonomi bagi
masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah adalah upaya
pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak bagi setiap warga
negara, sehingga pada pertengahan tahun l998 (letika terjadi krisis
moneter yang kemudian dilanjutkan dengan krisis ekonomi nasional)
Pemerintah menetapkan kebijakan nasional program operasi pasar
khusus Beras. Program Operasi Pasar Khusus (OPK) tahun 2002 telah
diubah menjadi program nasional beras untuk Rumah Tangga Miskin
(Raskin). Program nasional beras untuk rumah tangga miskin (Raskin)
merupakan salah satu program dari 3 kluster upaya penanggulangan
kemiskinan, yaitu kluster I (bantuan dan perlindungan sosial), kluster
II (PNPM Mandiri), dan kluster III (kredit usaha rakyat). Program
Raskin masuk di dalam kluster I bersama program perlindungan dan
bantuan sosial lainnya seperti, jaminan kesehatan masyarakat
(jamkesmas), bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan
(PKH), dan bantuan operasional sekolah (BOS). Program Raskin
bertujuan untuk membantu rumah tangga miskin dalam memenuhi
kebutuhan Pangan dan mengurangi beban finansial melalui
penyediaan beras bersubsidi.
4 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Presiden mengeluarkan Instruksi nomor 13 Tahun 2005 sebagai
tindak lanjut dari kebijakan perberasan yang ditujukan kepada para
Menteri dan Kepala LPND terkait serta Gubernur dan Bupati/Walikota
seluruh Indonesia. Instruksi tersebut dikeluarkan sebagai upaya
peningkatan pendapatan petani, ketahanan pangan dan
pengembangan ekonomi pedesaan. Secara khusus kepada Perum Bulog
diinstruksikan untuk menyediakan dan menyalurkan beras bersubsidi
bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan, yang
penyediaannya mengutamakan pengadaan beras dari gabah petani
dalam negeri.
Progam nasional beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) adalah
wujud nyata komitmen pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan
pangan bagi Rumah Tangga Sasaran (RTS). Sebagai upaya pemerintah
dalam rangka kesuksesan program Raskin ini, pelaksana program telah
melakukan kerjasama dengan beberapa lembaga perguruan tinggi
negeri secara regional untuk melakukan penelitian terhadap
implementasi pelaksanaan program Raskin secara nasional.
Selama sepuluh tahun pelaksanaan penyaluran beras bersubsidi
(targeted subsidy) kepala keluarga miskin, telah banyak mengalami
perubahan menuju kepada perbaikan sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan. Permasalahan mendasar yang dihadapi selama perjalanan
program Raskin sampai dengan tahun 2007 adalah belum dapat
dijangkaunya seluruh Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang tercatat di
BPS. Baru pada tahun 2008, sejak dikeluarkannya program Raskin,
seluruh Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang tercatat oleh BPS pada
tahun 2005 dapat dijadikan sasaran program. Dengan jumlah sasaran
Raskin yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (dengan dukungan DPR)
tersebut maka sangat diharapkan pelaksanaan program nasional beras
untuk keluarga miskin (Raskin) akan dapat ditingkatkan kinerjanya,
terutama dalam konteks tepat sasaran.
Program Raskin sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu
program strategis dalam ketahanan pangan khususnya dikaitkan
dengan tugas publik yang diamanatkan kepada Perum BULOG. Raskin
adalah outlet penting untuk menyalurkan beras hasil pengadaan gabah
dan beras dari dalam negeri dalam rangka menjamin harga ditingkat
petani sesuai dengan harga pembelian pemerintah. Terkait dengan
5FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, Raskin sangat membantu
akses Rumah Tangga Sasaran (RTS) untuk secara teratur dapat
memenuhi kebutuhan pokok akan pangan (beras) mereka. Melalui
pemenuhan sebagian kebutuhan pangan tersebut masyarakat miskin
seharusnya diringankan beban pengeluarannya sehingga dapat
mengalokasikan sisa pendapatannya untuk kebutuhan seperti lauk
pauk yang lebih bergizi. Secara lintas sektor adanya program Raskin
akan mendukung dan mempercepat program penanggulangan
kemiskinan melalui peningkatan kemampuan fisik Rumah Tangga
Sasaran (RTS ).
Tabel 1. Pagu Raskin Provinsi Kalimantan SelatanTabel 1. Pagu Raskin Provinsi Kalimantan SelatanTabel 1. Pagu Raskin Provinsi Kalimantan SelatanTabel 1. Pagu Raskin Provinsi Kalimantan SelatanTabel 1. Pagu Raskin Provinsi Kalimantan Selatan
Sumber: Perum Bulog Divisi Regional Kalimantan Selatan, 2009
Secara Nasional berdasarkan data BPS Pusat untuk pagu Raskin
tahun 2009 Provinsi Kalimantan Selatan semula mendapat jatah
27,684,180 ton dengan jumlah Rumah Tangga Miskin penerima
Manfaat 153,901 RTM; kemudian disesuaikan menjadi 36.893,700 ton
dan jumlah Rumah Tangga Miskin penerima Manfaat sebanyak 204,965
RTM (Surat Gubernur Kalsel tanggal 16 Februari 2009). Dengan alokasi
tersebut berarti dari jumlah Rumah Tangga Sasaran (RTS) berdasarkan
data dari BPS telah semuanya dapat menerima manfaat dari beras
Raskin; dengan ketentuan setiap Rumah Tangga Sasaran (RTS)
memperoleh 15 Kg/bulan selama 12 bulan dengan harga Rp 1.600 per
kilogram.
6 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Tabel 2. Pagu Raskin Kota BanjarmasinTabel 2. Pagu Raskin Kota BanjarmasinTabel 2. Pagu Raskin Kota BanjarmasinTabel 2. Pagu Raskin Kota BanjarmasinTabel 2. Pagu Raskin Kota Banjarmasin
Sumber: Perum Bulog Divisi Regional Kalimantan Selatan, 2009.
Kota Banjarmasin merupakan salah satu dari 13 Kabupaten/Kota
di Kalimantan Selatan dengan jumlah penduduk paling miskin
terbanyak, karena mencapai 16% dari jumlah rumahtangga yang ada
di Kota ini. Pelaksanaan pendistribusian beras untuk rumah tangga
miskin (Raskin) di Kota Banjarmasin tersebar meliputi 50 titik distribusi
yang terdapat dimasing- masing kelurahan.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman lapang sebagai
pelaksana program di tingkat kelurahan selama lebih dari 4 tahun yaitu
antara Mei 2002 sampai dengan Juni 2006, peneliti dapat
mengemukakan beberapa permasalahan yang masih muncul dalam
pendistribusian beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) di Kota
Banjarmasin. Salah satu permasalahan yang cenderung klasik adalah
beras untuk rakyat miskin (Raskin) itu tidak tepat pada sasaran.
Fakta di lapangan yang masih ditemukan hingga pelaksanaan
program tahun 2009 antara lain, jumlah beras Raskin yang diberikan
pada Rumah Tangga Sasaran (RTS) tidak sepenuhnya dibagikan
kepada RTS, melainkan dijual kepada warga lain di wilayah yang sama
tetapi dengan tingkat harga lebih tinggi dari ketentuan, atau jumlah
yang diberikan kurang dari ketentuan 15 per kg per KK, serta
pembagian beras Raskin menggunakan ukuran liter (dari seharusnya
ukuran kilogram) tanpa dilakukan konversi terlebih dahulu. Dari
observasi pra penelitian beberapa contoh kasus tersebut masih dapat
dijumpai pada RT-48 Kelurahan Kelayan selatan, RT-01 Kelurahan
Seberang Mesjid, RT-05 Kelurahan Surgi Mufti, R-. 12 Kelurahan
Kuripan, RT-02 Kelurahan Pengambangan, RT-16 Kelurahan Basirih,
RT-33 Kelurahan Telaga Biru, dan RT-46 Kelurahan Pelambuan. Khusus
7FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
untuk Kelurahan Kuripan kasusnya sudah ditangani oleh pihak
Kejaksaan. Padahal berbagai fakta negatif yang berkaitan dengan
implementasi program Raskin itu dapat mempengaruhi keberhasilan
pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan dalam Pedoman
Umum.
A. 2. Pokok Permasalahan
Implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin sebenarnya
cukup mendapat perhatian yang serius dari Pemerintah Kota, antara
lain dengan mengalokasikan dana talangan penebusan beras Bulog
dan bantuan operasional untuk pendistribusian beras. Maksudnya
adalah agar program Raskin mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditentukan.
Namun, berbagai deviasi dan kendala teknis di lapangan jelas bisa
mengundang kekurangberhasilan distribusi program Raskin. Ada
sejumlah faktor internal yang diduga menjadi faktor penghambat, dan
sejumlah faktor eksternal yang tidak cukup kondusif untuk mendukung
keberhasilan program. Mestinya, dengan mengeliminir berbagai kendala
internal dan hambatan eksternal itu dapat meningkatkan peluang
keberhasilan program Raskin di Kota Banjarmasin. Dan untuk itulah
dasar alasan pentingnya penelitian ini.
A. 3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas, maka
rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Strategi apa yang dapat
ditawarkan untuk meningkatkan kinerja program Raskin di Kota
Banjarmasin sehingga tercapai sasaran program yang lebih baik?
A. 4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: (a) bagaimana
implementasi program beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) di
Kota Banjarmasin, dan (b) faktor-faktor dominan apa yang menjadi
penghambat keberhasilan program dalam rangka memberikan
perlindungan optimal bagi kelompok miskin yang menjadi sasaran
utama program Raskin.
8 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
B. METODOLOGIB. 1. Kerangka Konseptual
Administrasi pembangunan berkembang karena adanya
kebutuhan di negara-negara yang sedang membangun unfuk
mengembangkan institusi sosial, politik dan ekonomi agar pembangunan
dapat berhasil dengan demikian pada dasarnya administrasi
pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem
administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya
untuk meningkatkan kemampuanya. Sehingga kaidah-kaidah umum
yang terdapat pada administrasi negara akan berlaku untuk
administrasi pembangunan. Tetapi menurut Siagian (2000), teori,
rumus, prinsip, dan dalil-dalil administrasi negara tidak lagi ampuh
untuk dijadikan instrumen penyelenggaraan pembangunan. Bahkan
Kartasasmita (1997) menunjukkan terbatasnya pembahasan
administrasi negara yang hanya meliputi penyelenggaraan
pemerintahan secara umum; seperti memelihara keamanan dan
ketertiban, penegakan hukum, pengaturan pajak memberikan
pelayanan publik dan menyelenggarakan hubungan luar negeri.
Padahal administrasi pembangunan itu bersifat dinamis dan inovatif,
karena berkaitan dengan upaya melakukan perubahan sosial. Adanya
inovasi dibidang pertanian akan menumbuhkan cara dan sikap men-
tal bertani yang baru. Adanya sistem gaji akan mendorong masyarakat
dari orientasi status menjadi orientasi prestasi Pergeseran titik berat
pembangunan dari pertanian kepada industri akan menyuburkan
urbanisasi, gejala-gejala di bidang sosial pernyataan masyarakat tentang
keadilan, pengaruh-pengaruh negatif lingkungan hidup dan lain-lain.
Hal-hal seperti ini merupakan bagian dari perubahan sosial yang
semuanya perlu ditampung oleh kemampuan administrasi.
Cara pendekatan administrasi pembangunan merupakan bagian
dari suatu keseluruhan proses pembangunan sebagai suatu proses
perubahan sosial yang komprehensif. Administrasi berperan dalam
pembangunan dan juga menjadi hasil pembangunan itu sendiri.
Dengan kata lain sistem administrasi yang mampu menyelenggarakan
pembangunan menjadi prasyarat bagi berhasilnya pembangunan suatu
negara. Dengan demikian maka administrasi pembangunan memiliki
9FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
ciri-ciri yang lebih maju dari administrasi negara sebagaimana yang
dikemukakan oleh Tjokroamidjojo (l999: 9) yaitu:
1. Lebih memberikan perhatian terhadap lingkungan masyarakat
yang berbeda-beda, terutama bagi lingkungan masyarakat
Negara-negara baru berkembang.
2. Administrasi pembangunan mempunyai peran aktif dan
berkepentingan (committed) terhadap tujuan-tujuan
pembangunan, baik dalam perumusan kebijaksanaannya
maupun dalam pelaksanaannya yang efektif bahkan
administrasi ikut serta mempengaruhi tujuan-tujuan
pembangunan masyarakat dan menunjang pencapaian tujuan-
tujuan sosial, ekonomi dan lain-lain vang dirumuskan
kebijaksanaan melalui proses politik.
3. Justru berorientasi kepada usaha-usaha yang mendorong
perubahan-perubahan ke arah yang dianggap lebih baik untuk
suatu masyarakat dimasa depan. Berorientasi masa depan.
4. Lebih berorientasi kepada pelaksanaan tugas-tugas
pembangunan (development functions) dari pemerintah. Dalam
hal ini untuk merumuskan kemampuan kebijaksanaan-
kebijaksanaan pembangunan dan pelaksanaannya yang efektif
seperti telah disebutkan terdahulu yang terakhir juga dapat
disebutkan sebagai kemampuan dan pengendalian instrumen-
instrumen bagi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan.
Administrasi pembangunan lebih bersikap sebagai “agent of
development”.
5. Administrasi pembangunan harus mengaitkan diri dengan
substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan-
tujuan pembangunan di berbagai bidang yaitu ekonomi, sosial,
budaya dan lain-lain. Dengan perkataan lain administrasi dari
kebijaksanaan dan isi pro gram-program pembangunan.
6. Dalam administrasi pembangunan administrator dalam
aparatur pemerintah juga bisa merupakan penggerak perubahan
(change agents).
7. Lebih berpendekatan lingkungan (ecological approach),
berorientasi pada kegiatan (action oriented) dan bersifat
pemecahan masalah (problem solving).
10 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Salah satu pokok bahasan dalam administrasi pembangunan
adalah proses perumusan kebijakan pembangunan yang menghasilkan
program pembangunan untuk dijalankan secara efektif atau kebijakan
publik (Tjokroamidjojo,1991). Program Nasional beras untuk rumah
tangga miskin (Raskin) adalah satu contoh tentang kebijakan program
pembangunan dimaksud. Program ini merupakan salah satu bentuk
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga Miskin (RTM)
Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki
tujuan-tujuan publik yang ingin dicapai dan bersifat mengikat terhadap
stakeholders kebijakan. Pendapat Muhammad Tasrif (2008) patut
diperhatikan, karena kebijakan publik dipahami sebagai petunjuk-
petunjuk (directives) yang dikeluarkan dan disebarluaskan oleh
Pemerintah dengan tujuan: pertama, menciptakan dan membangun
iklim dan kondisi yang pelu untuk mendukung (to facilitate)
pelaksanaan strategi; dan, kedua, memberikan kepastian kepada un-
sur-unsur dunia usaha, masyarakat luas dan penyelenggara pemerintah
tentang arah, ruang lingkup dan tingkat keleluasaan masing-masing
dalam memilih upaya yang berkaitan dengan strategi tersebut.
Bagaimana suatu kebijakan dapat memecahkan permasalahan yang
terjadi dalam masyarakat serta menjawab kebutuhan dan kepentingan
masyarakat, maka dapat dilihat dari proses, prosedur dan tahapan-
tahapan yang benar dengan pengetahuan dan informasi yang baik
antar tahapan tersebut.
Meminjam konsep Howlet dan Ramesh sebagaimana dirujuk oleh
Subarsono (2008), proses kebijakan publik itu seharusnya meliputi lima
tahapan, sebagai berikut:
(1) Penyusunan agenda (agenda setting), yakni suatu proses agar
suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah;
(2) Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni proses
perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah;
(3) Pembuatan kebijakan (decision making), yakni proses ketika
pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan;
(4) Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu proses
untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil
11FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(5) Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni proses untuk
memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan.
Kendati semua tahapan itu penting adanya, namun tetap saja
perihal yang paling perlu mendapatkan perhatian (untuk tujuan
evaluasi) adalah bagaimana implementasi sebuah program kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Suatu kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno, 2008).
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Pada sisi evaluasi, implementasi
program merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat
dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai
suatu manfaat (outcome) hingga pada akhirnya dapat dinilai
dampaknya.
Meminjam pemahaman Dwidjowijoto (2004), untuk
mengimplementasikan kebijakan publik itu paling tidak harus
melakukan pilihan, apakah langsung mengimplementasikannya dalam
bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau
turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk
undang-undang atau peraturan daerah adalah jenis kebijakan publik
yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang diistilahkan
sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung
operasional antara lain Keputusan Presiden, Instruksi Presiden,
Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas dan lain-lain.
Secara struktural, ada dua pilihan model implementasi kebijakan;
pertama, adalah implementasi kebijakan yang berpola “dari atas ke
bawah” (top-bottomer) atau dari “bawah ke atas” (bottom-topper),
dan pemilihan implementasi yang berpola paksa (command-and-con-
trol) dan mekanisme pasar (economic incentive). Implemeentasi
kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap
kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan
suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan
para pelaksana terhadap kebijakan.
12 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Menggunakan pemikiran Hogwood dan Gunn, untuk dapat
mengimplementasikan kebijaksanaan negara secara sempurna (Wahab,
2005), dibutuhkan sejumlah syarat sebagai berikut:
(1) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana
tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius;
(2) Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-sumber
yang cukup memadai;
(3) Perpaduan antara sumber-sumber yang diperlukan benar-benar
tersedia;
(4) Kebijaksanaan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu
hubungan kausalitas yang andal;
(5) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata
rantai penghubungnya;
(6) Hubungan saling ketergantungan harus kecil;
(7) Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan;
(8) Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang
tepat;
(9) Komunikasi dan koordinasi yang sempurna;
(10)Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Program Raskin pada dasarnya bukanlah perkecualian dari
keharusan untuk mengikuti acuan konseptual tentang bagaimana
implementasi kebijakan yang baik dan efektif semacam itu.
Implementasi program Raskin bukan hanya perlu memperhatikan
faktor-faktor internal yang berkaitan dengan aspek pelaksana program,
tetapi juga wajib memperhatikan faktor-faktor eksternal yang berkaitan
dengan aspek penerima program, yakni kelompok miskin (khususnya
di perkotaan) yang karakteristiknya unik.
Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tak
terpisahkan, disatu sisi ada masyarakat yang hidup serba kecukupan
tetapi pada sisi yang lain masih banyak masyarakat yang hidup dalam
kondisi kemiskinan. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena sosial
yang senantiasa hadir dalam masyarakat khususnya di Negara
berkembang, seperti Indonesia. Sudah menjadi kewajiban pemerintah
untuk dapat membuat sejahtera bagi rakyatnya, sehingga diperlukan
13FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
kebijakan-kebijakan yang serius memihak kepada keluarga miskin.
Secara umum, kemiskinan biasa didefinisikan sebagai kondisi
keterbatasan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup secara
layak.
Penentuan penerima manfaat beras Raskin berdasarkan data dari
BPS mengkategorikan Rumah Tangga Miskin kedalam empat kategori,
yaitu: miskin, hampir miskin, hampir tidak miskin, dan tidak miskin.
Mengikuti indikator Wrihatnolo dan Dwijowijoto (2007: 156-157)
Rumah Tangga Miskin (RTM) apabila diasumsikan jumlah anggota
rumah tangga (household size) sebuah rumah tangga rata-rata empat
orang, maka batas kemiskinan rumah tangga itu adalah:
(1)Rumah tangga dikatakan sangat miskin apabila tidak mampu
memenuhi kebutuhan dasar sebesar 4 x Rp120.000 = Rp480.000 per
rumah tangga per bulan;
(2)Rumah tangga dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi
kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 x Rp150.000 = Rp600.000
per rumah tangga per bulan tetapi diatas Rp480.000;
(3)Rumah tangga dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan
memenuhi kebutuhan dasamya hanya mencapai 4 x Rp175.000 =
Rp700.000 per rumah tangga per bulan, tetapi diatas Rp600.000.
Dengan demikian maka strategi penanggulangan kemiskinan
seharusnya mempunyai sasaran pokok sebagai berikut:
(l) Meningkatkan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap
pelayanan dasar terutama pendidikan, kesehatan dan prasarana
dasar termasuk air minum dan sanitasi;
(2) Berkurangnya beban pengeluaran masyarakat miskin terutama
untuk pendidikan dan kesehatan, prasarana dasar khususnya
air minum dan sanitasi, pelayanan KB dan kesejahteraan ibu,
serta kecukupan pangan dan gizi;
(3) Meningkatnya kualitas keluarga miskin, ditandai oleh
menurunnya beban konsumsi keluarga miskin. Dalam tahap
berikutnya akan disertai oleh semakin meningkatnya
penghasilan keluarga miskin;
(4) Meningkatnya pendapatan dan kesempatan berusaha kelompok
masyarakat miskin termasuk meningkatnya akses masyarakat
14 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
miskin terhadap permodalan, bantuan teknis dan berbagai
sarana dan prasarana produksi (Wrihatnolo, 2008).
Idealnya strategi penanggulangan kemiskinan itu dapat melibatkan
warga masyarakat yang berkepentingan atas programnya. Dari
perspektif kebijakan publik, keterlibatan masyarakat dalam masalah-
masalahnya pada gilirannya menyebabkan warga masyarakat akan
memperoleh pengetahuan dan pemahaman, mengembangkan rasa
tanggungjawab sosial yang penuh, dan menjangkau kepentingan
mereka diluar batas-batas kehidupan pribadi. Merujuk pada Moelyarto
(2007), partisipasi masyarakat itu adalah komponen strategis
pendekatan pembangunan sosial, karena pada dasarnya rakyat adalah
fokus sentral dan tujuan akhir dari pembangunan, dimana partisipasi
merupakan akibat logis dari dalil tersebut.
Dilihat dari hubungan dengan pelaku-pelaku yang terlibat dalam
aktivitas pembangunan, paling tidak secara umum ada dua macam
bentuk partisipasi (Tangkilisan, 2007), yaitu:
(1) Partisipasi horizontal, yaitu partisipasi diantara sesama warga
atau anggota masyarakat dimana masyarakat mempunyai
kemampuan berprakarsa dalam menyelesaikan secara bersama
suatu bentuk kegiatan pembangunan;
(2) Partisipasi vertikal, yaitu partisipasi antar masyarakat sebagai
suatu keseluruhan dengan pemerintahan, dalam hubungan
dimana masyarakat berada pada posisi sebagai pengikut atau
klien.
Agar partisipasi dapat terkembangkan dengan baik, maka
beberapa prinsip dalam perwujudannya perlu diperhatikan (Hamdi,
2008: 21), yaitu:
(l) Agar partisipasi dapat berlangsung dengan efektif, maka semua
pihak sebaiknya secara bersama-sama terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan publik sejak penyusunan agenda kebijakan
sampai dengan tahap evaluasi dengan relevansi peranan dan
kegiatan yang proporsional. Disamping itu, partisipasi selalu
dikembangkan sebagai pencerminan kesukarelaan, sehingga
sekali kesepakatan tercapai dapat diharapkan adanya kemauan
yang kuat dan konsisten untuk melaksanakannya;
15FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(2) Pembangunan partisipasi hendaknya berarti penguatan semua
pihak yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan publik
untuk bersikap aktif dalam nnenyatakan aspirasi, berdiskusi dan
bernegosiasi dalam semangat demokratis. Sikap aktif ini
terutama sangat diperlukan dalam perwujudan kesepakatan
mengenai tujuan dan sarana partisipasi. Semakin bervariasi
aspirasi tentang tujuan dan cara tersebut semakin diperlukan
waktu untuk mewujudkan kesepakatan;
(3) Pembangunan partisipasi perlu selalu dimaknai sebagai suatu
proses pembelajaran dan pengembangan semua pihak yang
terlibat. Sebagai suatu bentuk interaksi partisipasi akan
melibatkan rangkaian aksi dan reaksi terhadap perbedaan yang
terjadi.
Dengan demikian, agar program Raskin dapat mencapai
tujuannya, yaitu mengurangi beban rumah tangga miskin, maka
tentunya dibutuhkan partisipasi dari masyarakat untuk mendukung
dan mengawasi pelaksanaan programnya di lapangan agar program
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaannya. Prinsip
pengelolaan Raskin adalah suatu nilai-nilai dasar yang selalu menjadi
landasan atau acuan dalam setiap pengambilan keputusan atau
tindakan yang akan diambil dalam dalam pelaksanaan rangkaian
kegiatan RASKIN. Prinsip-prinsip pengelolaan RASKIN, adalah:
(1) Keberpihakan kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS), yang
maknanya mendorong RTM untuk ikut berperan aktif dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan
seluruh kegiatan RASKIN, baik di Kelurahan dan Kecamatan,
termasuk menerima manfaat dan menikmati hasilnya;
(2) Transparasi, yang maknanya membuka akses informasi kepada
lintas pelaku Raskin terutama masyarakat penerima RASKIN,
yang harus tahu, memahami dan mengerti adanya kegiatan
Raskin serta memiliki kebebasan dalam melakukan
pengendalian secara mandiri;
(3) Partisipatif, yang maknanya mendorong berperan secara aktif
dalam setiap tahapan RASKIN, mulai dari tahapan sosialisasi,
perencanaan, pelaksanaan dan Pengendalian;
16 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(4) Akuntabilitas, yang maknanya mengingkatkan bahwa setiap
pengelolaan kegiatan Raskin harus dapat dipertanggung-
jawabkan kepada masyarakat setempat maupun kepada semua
pihak yang berkompeten sesuai dengan peraturan dan
ketentuan yang berlaku atau yang telah disepakati.
Namun demikian, harus dipahami bahwa untuk menetapkan
apakah pelaksanaan program Raskin itu berhasil atau kurang berhasil
dibutuhkan indikator yang jelas dan terukur. Sesuai dengan Pedoman
Pelaksanaan Program Raskin, indikator keberhasilan pelaksanaan pro-
gram Raskin adalah: (a) Tepat Sasaran Penerima Manfaat, (b) Tepat
Jumlah, (c) Tepat Harga, (d) Tepat Waktu, (e) Tepat Administrasi, dan
(f) Tepat Kualitas (atau yang biasa disingkat sebagai 6T).
1. Tepat Sasaran Penerima Manfaat, adalah beras Raskin hanya
diberikan kepada Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat
(DPM-1) dan diberi identitas tertentu;
2. Tepat Jumlah, adalah jumlah beras Raskin yang hak penerima
manfaat adalah sebanyak 10 Kg/RTM/bulan selama l0 bulan.
(Catatan: untuk bulan Pebruari 2008 ditambah jumlahnya
menjadi 15 Kg/RTM/bulan selama 9 bulan) ;
3. Tepat Harga beras Raskin adalah sebesar Rp. 1.600, -/Kg netto
di titik distribusi;
4. Tepat Waktu, waktu pelaksanaan distribusi beras kepada
Rumah Tangga Miskin Penerima Manfaat Raskin sesuai dengan
rencana distribusi;
5. Tepat Administrasi, terpenuhinya persyaratan administrasi
secara benar dan tepat waktu;
6. Tepat Kualitas terpenuhinya persyaratan kualitas medium,
kondisi baik dan tidak berhama sesuai dengan standart kualitas
pembelian pemerintah sebagaimana diatur dalam aturan
perundang-undangan.
B. 2. Metode Penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
deskriptif berbasis survai. Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah
para koordinator dan pelaksana program serta rumah tangga sasaran
17FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
penerima manfaat (RTSPM). Pemilihan sampel untuk tim koordinator
program dan penanggungjawab pelaksana program penanggung–
jawab pelaksana di titik distribusi ditentukan secara purposive, karena
populasinya terbatas dan eksklusif bertugas mengawasi distribusi Raskin
di lima kecamatan yang ada diwilayah Kota Banjarmasin. Sedangkan
untuk warga masyarakat penerima Raskin ditentukan dengan
menggunakan snowball, karena secara teknis agak kesulitan melacak
kembali daftar penerima Raski n hanya dengan mengandalkan catatan
administratif yang dipegang oleh koordinator program.
Penelitian ini pada dasarnya adalah penelitian implementasi pro-
gram. Karena itu meskipun menggunakan metode survai, tetap saja
teknik pengumpulan data primernya juga mengandalkan instrumen
observasi dan wawancara dan verifikasi dokumen. Observasi dilakukan
terhadap teknis pelaksanaan distribusi Raskin di lapangan. Wawancara
dilakukan kepada sejumlah RTS yang telah menerima dan
memanfaatkan program Raskin. Sedangkan verifikasi dokumen
dibutuhkan untuk klarifikasi hasil observasi dan wawancara.
Untuk menganalisis data lapangan, selain ditafsirkan secara
kualitatif, juga mengandalkan metode analisis SWOT (Strengths,
Weaknessses, Opportunities, Threats). Digunakannya analisis SWOT
karena program Raskin pada dasarnya merupakan implementasi pro-
gram strategis; dan konsep strategi itu sendiri bermakna pola alokasi
sumberdaya dalam upaya mencapai berbagai sasarannya. Efektif-
tidaknya suatu strategi ditentukan oleh ada-tidaknya kesepadanan
antara sumberdaya dalam hal ini pemerintah daerah, dengan
lingkungan luarnya, yakni masyarakat. Konsep ini tercermin dalam
paradigma SWOT dimana strenghts dan weaknesses merupakan faktor-
faktor eksternalnya.
C. HASIL PENELITIAN
C. 1. Pelaksanaan Pendistribusian Raskin di Kota Banjarmasin
Pelaksanaan pendistribusian beras untuk rumah tangga miskin
(Raskin) oleh Bulog Divisi Regional Kalimantan Selatan di Provinsi
Kalimantan Selatan secara teknis penyediaan beras tersebar dalam tiga
tempat, yaitu:
18 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
1. Kantor Divisi Regional Banjarmasin yang meliputi daerah
operasional Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Banjar,
Kabupaten Barito Kuala, Kota Banjarmasin dan Kota
Banjarbaru.
2. Kantor Seksi Logistik Kotabaru yang meliputi daerah operasinal
Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tanah Bumbu.
3. Sub Divisi Regional Barabai yang meliputi daerah operasional
Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu sungai utara, Kabupaten
Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai selatan,
Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Balangan.
Kondisi seperti ini dimaksudkan agar penyediaan beras yang
dilakukan oleh Perum Bulog dapat secara cepat didistribusikan dan
diterima oleh Rumah Tangga Sasaran penerima manfaat.
Pelaksanaan distribusi Raskin sebagai implementasi program
nasional beras untuk rumah tangga miskin (Raskin) yang bertujuan
untuk mengurangi beban rumah tangga miskin melalui pemenuhan
sebagian kebutuhan bahan pokok berupa beras. Dalam pelaksanaan
program Raskin di Kota Banjarmasin ini beberapa tahapan yang
dijalankan dimulai dengan penentuan pagu atau plafon Raskin dan
dilanjutkan dengan pendistribusian beras Raskin sampai kepada rumah
tangga sasaran penerima manfaat.
Tim Koordinasi Raskin Kota Banjarmasin berdasarkan Keputusan
walikota Banjarmasin Nomor 29A Tahun 2009, melakukan rapat
koordinasi untuk menetapkan pagu Raskin di masing-masing
Kecamatan dan Kelurahan yang ada di Kota Banjarmasin. Penetapan
pagu Raskin Kecamatan dan Kelurahan didasarkan pada pagu Raskin
Kota Banjarmasin dan data rumah tangga sasaran (RTS) Kecamatan
dan Kelurahan berdasar data BPS Kota Banjarmasin yang telah dengan
jelas tertera by name by address. Setelah mendapat plafon dari provinsi,
untuk Kota Banjarmasin dirapatkan bersama dengan tim Raskin Kota
Banjarmasin dan para Camat untuk menentukan pagu di masing-
masing kecamatan bersama sama dengan BPS sebagai penyedia data
penduduk miskin.
Tugas Tim Koordinasi Program Beras Miskin (Raskin), sebagaimana
yang termuat dalam Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor 29A
Tahun 2009, yaitu:
19FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
1. Mengkoordinasikan kegiatan program Raskin;
2. Menetapkan flapon alokasi (pagu) kuantum beras per Kecamatan;
3. Melaksanakan pemantauan sampai sejauh mana kemajuan
pelaksanaan program Raskin di Kota Banjarmasin;
4. Mengevaluasi kegiatan operasional Raskin di lapangan;
5. Melaporkan hasil kegiatan kepada Walikota.
Dalam perkembangan program selama 4 tahun terakhir sejak
tahun 2005, ternyata pagu Raskin untuk Kota Banjarmasin cenderung
fluktuatif (Tabel 3). Hal itu sampai terjadi diduga karena data RTSPM
yang disediakan BPS Kota Banjarmasin juga fluktuatif, dan tidak pernah
jelas apa alasannnya sehingga hal itu bisa terjadi. Tetapi ada aspek
lain yang kadangkala luput dari perhatian, yakni tidak terserapnya
seluruh pagu di satu tahun anggaran. Itulah sebabnya pada tahun
2010 dibuat kebijakan berdasarkan pedoman umum pelaksanaan
Raskin (2009: 14), bahwa apabila pagu Raskin di suatu Provinsi/
Kabupaten/Kota/Kecamatan/Desa/Kelurahan tidak dapat
didistribusikan sampai dengan 31 Desember 2009, maka sisa pagu
tersebut tidak dapat disalurkan pada tahun 2010.
Tabel 3. Realisasi Pagu Raskin di Kota BanjarmasinTabel 3. Realisasi Pagu Raskin di Kota BanjarmasinTabel 3. Realisasi Pagu Raskin di Kota BanjarmasinTabel 3. Realisasi Pagu Raskin di Kota BanjarmasinTabel 3. Realisasi Pagu Raskin di Kota Banjarmasin
Sumber: diolah dari data Bagian Kesra Pemko Banjarmasin, 2000.
Penetapan Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM)
dimasing-masing Kelurahan menggunakan data dari BPS Kota
Banjarmasin yang terdiri dari Rumah Tangga Sangat Miskin, Rumah
Tangga Miskin, Rumah Tangga Hampir Miskin. Data BPS tersebut
20 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
diperoleh dari pendataan program perlindungan sosial Tahun 2008
(PPLS 2008) yang merupakan sasaran program penanggulangan
kemiskinan secara nasional, termasuk program Raskin. Daftar RTSPM
di masing-masing Kelurahan berdasarkan data dari BPS hasil pendataan
tahun 2008. Selanjutnya ditetapkan dalam Daftar Penerima Manfaat
(DPM-1) yang ditandatangani oleh Lurah serta disahkan oleh Camat.
Apabila terdapat nama-nama RTS data BPS yang sudah tidak sesuai
dengan kondisi di masing-masing Kelurahan, maka perlu dilaksanakan
Musyawarah Kelurahan (Muskel), yang melibatkan aparat Kelurahan,
tokoh masyarakat dan perwakilan dari RTS, sebagai media verifikasi
data yang ada tanpa mengubah jumlah pagu RTSPM setiap Kelurahan.
Dalam Musyawarah Kelurahan (Muskel) untuk Kriteria Rumah Tangga
Sasaran (RTS) yang dinyatakan tidak sesuai meliputi: pertama, RTS
pindah tempat tinggal ke luar wilayah Kelurahan tersebut. Kedua, RTS
yang tidak layak lagi sebagai penerima manfaat (sudah menjadi
keluarga mampu). Perlu untuk diperhatikan terhadap kedua kelompok
RTS tersebut dapat digantikan dengan rumah tangga yang lain yang
menurut Musyawarah Kelurahan (Muskel) dianggap layak menerima
Raskin. Terhadap nama kepala RTS yang telah meninggal dunia dan
masih dianggap layak menerima Raskin maka digantikan oleh anggota
rumah tangganya sesuai data RTS BPS Kota Banjarmasin. Namun di
lapangan, apa yang sebaiknya dilakukan itu justru tidak pernah
dilakukan karena pihak kelurahan umumnya tidak mau mengganti
data RTSPM yang pindah atau meninggal itu dengan alasan takut kalau
bersentuhan dengan pihak hukum.
Pada pelaksanaan program tahun 2009, sebagai fokus
permasalahan dalam penelitian ini, pelaksanaannya ternyata
mengalami beberapa kali penundaan atau keterlambatan. Klarifikasi
dari Camat Banjarmasin Barat, hal itu sampai terjadi disebabkan oleh
situasi politik menjelang pemilu legislatif dimana kantor-kantor
kelurahan sudah penuh dengan kotak-kotak suara, sehingga sulit dalam
penyimpanan beras Raskin ditambah data yang turun dari pusat juga
mengalami keterlambatan. Selain itu juga terjadinya perubahan RTSPM
sebanyak 4 (empat) kali oleh BPS serta menunggu Keputusan dari
Gubernur Kalimantan Selatan. Oleh karena itu pagu Raskin untuk
21FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
alokasi bulan Januari baru bisa terbagikan kepada RTSPM di bulan
April dan Mei.
Informasi serupa tetapi dengan fokus berbeda disampaikan oleh
Camat Banjarmasin Tengah sebagai klarifikasi kasus. Pokok
permasalahannya adalah pada sinkronisasi data yang mengalami
perubahan karena ada data baru dari Kementerian Kesra (yang
menetapkan berkurangnya pagu sekitar 40%). Setelah didiskusikan,
dan cukup memakan waktu, akhirnya disepakati data yang dipakai
adalah data BPS yang telah diubah oleh Menko Kesra, dan hal itulah
yang menyebabkan keterlambatan distribusi beras Raskin di Kota
Banjarmasin tahun 2009.
Pendistribusian beras Raskin untuk sampai kepada RTSPM secara
nasional dilaksanakan dengan menggunakan 2 (dua) alternatif pola
distribusi, yaitu pembagian Raskin melalui Titik Distribusi, dan atau
melalui “warung Desa”. Secara keseluruhan pendistribusian beras
Raskin di Kota Banjarmasin menggunakan cara yang pertama, yaitu
melalui Titik Distribusi di masing-masing kelurahan. Dan kebijakan
itulah yang dimuat dalam nota kesepakatan antara pemerintah Kota
Banjarmasin dengan Perum Bulog Divre Kalimantan Selatan pada hari
Rabu, 25 Maret 2009. Penyerahan beras di titik distribusi oleh Satker
Raskin kepada pengelola distribusi dituangkan dalam bentuk Berita
Acara Serah Terima (BAST) yang ditandatangani oleh Satker Raskin,
Pengelola/pelaksana titik distribusi, dan Lurah atau yang mewakili,
dengan nama-nama yang jelas dan dicap stempel. Sebagai pedoman
bagi pelaksanaan distribusi Raskin kepada masing-masing pelaksana
titik distribusi untuk berpegang pada pedoman umum Raskin yang
telah dibagikan kepada masing-masing Lurah.
Sesuai dengan pedoman pelaksanaan distribusi Raskin,
pembayaran beras Raskin oleh RTSPM di masing-masing titik distribusi
dilakukan secara langsung/tunai pada saat RTSPM mengambil
berasnya dengan ketentuan yang telah ditetapkan, yaitu Rp1.600 per
kilogram netto dengan kuantum 15 Kg/RTSPM. Jadi harga yang harus
dibayarkan oleh RTSPM adalah Rp 24.000.
Setelah pembayaran beras Raskin dari RTSPM terhimpun oleh
pelaksana titik distribusi, maka selanjutnya disetorkan ke Bagian Kesra
22 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Setda Kota Banjarmasin secara langsung atau melalui rekening Bank
BPD Kalsel. Jarak waktu penyetoran dari titik distribusi kepada Bagian
Kesra diberikan waktu antara 1 minggu sampai dengan 10 hari setelah
beras dibagikan kepada RTSPM. Setoran itu harus dilakukan oleh
pelaksana titik distribusi karena pada dasarnya beras yang diterima
oleh RTSPM itu pembayarannya telah ditalangi oleh Pemerintah Kota.
Pada tahun 2009, dana talangan yang telah disediakan oleh Pemerintah
Kota adalah sebesar Rp500.000.000, sedangkan dana Raskin yang harus
dibayarkan untuk 5 Kecamatan sebesar Rp628.272.000. Oleh karena
itu cara yang digunakan oleh Bagian Kesra, sebagai pelaksana harian
program Raskin di Kota Banjarmasin, adalah menggulirkan dana
talangan tersebut per Kecamatan. Jadi pendistribusian Raskin di Kota
Banjarmasin tidaklah dapat serentak di lima Kecamatan sekaligus;
melainkan 3 kecamatan dulu yang dibayarkan ke Bulog sambil
menunggu pembayaran dari 3 Kecamatan yang sudah dibagikan
kurang lebih satu minggu, dan baru kemudian dua Kecamatan lainnya
difasilitasi. Dan gara-gara pola dana talangan bergulir semacam itu
berakibat pada ketidakpastian waktu distribusi Raskin yang ada di titik
distribusi di Kecamatan yang mendapatkan giliran mendapatkan dana
talangan.
C. 2. Aspek Implementatif Program Raskin di Kota Banjarmasin
Implementasi kebijakan program nasional beras untuk rumah
tangga miskin (Raskin) diawali pada pertengahan tahun 1998 dengan
nama Operasi Pasar Khusus (OPK) dan baru pada tahun 2002 pro-
gram ini diubah namanya menjadi program Raskin.
Merujuk pada konsep Edwads III (sebagaimana dikutip Subarsono,
2008), bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel,
yaitu: komunikasi, sumberdaya, disposisi (watak/perilaku), dan
struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu
sama lainnya; dan konsep itulah yang digunakan untuk menganalisis
aspek implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin.
(1) Faktor Komunikasi
Keberhasilan dari program Raskin mensyaratkan pelaksana atau
implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Secara riil bentuk
23FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
komunikasi yang telah dilakukan oleh tim Raskin Kota Banjarmasin
adalah dengan mengadakan koordinasi kepada stakeholders.
Koordinasi dimaksud adalah melakukan rapat koordinasi yang bersifat
internal tim pelaksana (aparat BPS dan Badan Kesra Pemko), termasuk
para camat, Lurah dan Bulog, pada awal tahun anggaran sebelum
petunjuk dari pusat turun sekaligus melakukan evaluasi pelaksanaan
Raskin tahun sebelumnya. Setelah ada surat dari Gubernur, diadakan
rapat koordinasi internal bersama dengan stakeholders terkait yang
merupakan ranah eksternal, termasuk unsur Kepolisian Resort dan
Kejaksaan Negeri. Dilibatkannya pihak kepolisian dan kejaksaan untuk
mengantisipasi beberapa persoalan yang berkaitan dengan hukum yang
pernah muncul dari hasil evaluasi tahun sebelumnya, sehingga dianggap
perlu melibatkan unsur aparat penegak hukum untuk melakukan
pembinaan ataupun langkah yang bersifat preventif.
Dari hasil pengamatan dan sejumlah wawancara dalam rangka
konfirmasi, dari penelitian ini ditemukan fakta bahwa dalam hal
komunikasi ini ternyata tetap saja muncul permasalahan dalam bentuk
kurangnya pemahaman pelaksana distribusi di tingkat Kelurahan
dalam memahami setiap agenda pertemuan atau koordinasi. Hal itu
dapat dibuktikan dari pengakuan sejumlah penerima program Raskin
yang tidak pernah menerima sosialisasi dari pihak Kelurahan tetapi
tiba-tiba saja beras sudah didistribusikan. Padahal seharusnya apa yang
menjadi tujuan dan sasaran program Raskin perlu ditransmisikan
kepada kelompok sasaran; agar implementasi dari program ini tidak
menimbulkan distorsi implementasi dan kemungkinan munculnya
kesalahpahaman dari obyek sasaran karena tidak tahu persis substansi
program itu untuk apa, atau kalaupun tahu hanya setengah-setengah;
dan pada akhirnya bisa berakibat pada munculnya resistensi antar
kelompok sasaran. Resistensi dimaksud misalnya penolakan cara
distribusi yang dianggap memberatkan, atau curiga dengan kualitas
beras yang didistribusikan apabila dibanding harga jualnya, dan lain-
lain.
Bahwa komunikasi program masih bermasalah dapat dibuktikan
dari adanya kasus Rukun Tetangga (sebagai titik distribusi) yang
menjual beras di atas harga ketentuan yang telah ditetapkan dari hasil
rapat koordinasi. Hal itu antara lain dapat dijumpai di RT-48 Kelurahan
24 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Kelayan Selatan, RT=05 Kelurahan Surgi Mufti, RT-12 Kelurahan
Pengambangan, RT-16 Kelurahan Basirih, RT-33 Kelurahan Telaga Biru,
dan RT-46 Kelurahan Pelambuan. Alasan pihak pengelola titik
distribusi, harga jual itu terpaksa lebih tinggi karena mereka butuh
biaya tambahan untuk mengambil beras dari kantor kecamatan sebagai
titik distribusi pertama dari gudang Bulog; dan selisih harga itulah yang
digunakan untuk biaya angkut dimaksud. Padahal menurut informasi
Badan Kesra sebagai koordinator umum pelaksanaan program Raskin
di Kota Banjarmasin, untuk operasional Raskin ini diberikan dana
operasional dari Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp150 per kilo-
gram. Jadi, dalam kasus semacam ini prinsip transparansi tampaknya
masih merupakan masalah.
Bahkan dalam penelitian dapat ditemukan sejumlah RTSPM
ternyata tidak tahu kalau dirinya masuk dalam daftar penerima beras
Raskin; sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Asm, warga RT-16
Kelurahan Basirih, Kecamatan Banjarmasin Barat. Kronologinya
sebenarnya berawal dari penyediaan data yang terlambat; dan lalu
menyebabkan keterlambatan pelaksanaan distribusi Raskin di Kota
Banjarmasin. Masih banyak warga miskin setelah dilakukan verifikasi
di lapangan ternyata tidak masuk dalam daftar penerima Raskin; atau
sebaliknya karena pernah masuk dalam daftar lalu tidak dilakukan
validasi lagi. Ihwalnya sebenarnya karena dalam validasi data RTSPM
itu tidak melibatkan pengurus Rukun Tetangga dan tokoh-tokoh
masyarakat setempat yang mestinya lebih tahu siapa saja di lingkungan
rukun tetangganya itu yang masih miskin dan yang mana saja yang
sudah tidak miskin lagi.
(2) Faktor Sumberdaya
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara
cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan
sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan, maka implementasi tersebut cenderung tidak efektif
(Winarno, 2008). Pedoman umum Raskin telah disusun oleh
Kementerian Kesejahteraan Rakyat sebagai panduan sumber informasi
bagi pelaksana atau implementors program Raskin, agar apa yang
menjadi tujuan dan sasaran program terlaksana. Namun, ternyata tidak
25FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
semua pelaksana di tingkat titik distribusi dapat memahami makna
penjelasan yang termuat dalam pedoman umum raskin tersebut. Ada
fakta bahwa Tim Koordinasi Raskin Kota Banjarmasin tidak optimal
kinerjanya dalam memanfaatkan sumberdaya manusia aparatur tidak
sama antara Kelurahan yang satu dengan Kelurahan yang lain. Hal
itu dapat dibuktikan dari sejumlah kasus yang menunjukkan adanya
kesulitan aparat pelaksana di tingkat kelurahan dalam “menjual tunai”
beras program Raskin agar tidak terutang, dan segera dapat
mengembalikan dana talangan Pemko. Pasalnya, Pemerintah Kota
Banjarmasin untuk memperlancar program Raskin ini telah
mengalokasikan dana talangan sebesar Rp 500.000.000 sebagai dana
awal yang akan dibayarkan kepada Bulog sambil menunggu
pengembalian dari Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM)
di tingkat titik distribusi setiap bulannya. Permasalahan yang muncul
adalah pengembalian dana talangan tersebut dari Rumah Tangga
Sasaran Penerima manfaat (RTSPM) kepada pengelola Raskin di tingkat
Kelurahan tidak lancar, sehingga mengakibatkan tidak lancar pula
untuk pendistribusian Raskin bagi titik-titik distribusi yang
mendapatkan giliran berikutnya.
Tetapi kalau ditelisik lebih lanjut, pokok persoalannya tidak melulu
ada pada aparat pelaksana program di tingkat kelurahan. Fakta yang
tak terbantahkan adalah, kondisi kemampuan masyarakat miskin
penerima beras Raskin yang terbagi dalam 3 bagian, yaitu sangat miskin,
miskin, dan hampir miskin, sehingga kemampuan untuk menyediakan
dana untuk menebus beras Raskin juga berbeda-beda. Tidak semua
RTSPM mampu “membeli beras” di kala beras program Raskin tiba
dan didistribusikan kepada warga masyarakat miskin. Ada kalanya
mereka hanya mampu membeli sedikit, karena uang untuk membeli
beras itu tidak ada, dan model beli beras sedikit itu tidak dikenal dalam
sistem distribusi Raskin karena sifatnya satu paket.
Celakanya, selain aparat pelaksana program Raskin sendiri
jumlahnya terbatas, juga sarana komunikasi dengan kelompok
penerima program Raskin tidak disediakan. Di Bagian Kesra Pemko
Banjarmasin dan hanya ada 1 (satu) orang staf yang membidangi
Raskin ini dengan tanggungjawab harus mengkoordinasikan
pelaksanaan program di lima Kecamatan dan 50 titik distribusi di
26 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
masing-masing Kelurahan. Tidak adanya sarana informasi pengaduan-
pengaduan baik dari masyarakat miskin maupun tokoh masyarakat,
menyebabkan aparat pelaksana di tingkat Pemko hanya akan bergerak
untuk menyelesaikan masalah kalau ada laporan masuk. Jadi sifatnya
sangat reaktif terbatas dan tidak proaktif.
(3) Faktor Disposisi
Disposisi merupakan watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementors, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis (Subarsono,
2008). Jika para pelaksana kebijakan bersikap baik dan proaktif
terhadap pelaksanaan program yang akan dijalankannya, maka hal
ini dibuktikan dengan adanya dukungan yang positif kepada kebijakan
atau program tersebut, dan kemungkinan besar para pelaksana ini akan
melaksanakan program kebijakan yang menjadi tanggung jawabnya
secara optimal. Sebaliknya, apabila sikap dan perilaku para pelaksana
program tidak sesuai dengan agenda kebijakan yang telah ditentukan,
maka ia merupakan pertanda bahwa mereka tidak akan mampu
melaksanakan program kebijakan dengan baik dan benar. Hal itu pula
yang mestinya berlaku pada pelaksanaan program raskin di Kota
Banjarmasin.
Dari hasil wawancara dengan sejumlah RTSPM di Kota
Banjarmasin, ada pengakuan yang menarik, bahwa pelayanan yang
diberikan oleh pelaksana program dirasakan sangat baik, ramah dan
lancar. Bahwasanya kemudian ada fakta lain yang memberikan
indikasi adanya penyimpangan, maka seharusnya ia ditafsirkan sebagai
kasus yang tentu saja ada faktor sebab musababnya. Contohnya, ada
Ketua RT yang tidak menyerahkan kartu miskin kepada satu orang
warganya sehingga yang bersangkutan tidak dapat memanfaatkan
beras program Raskin, ketika ditelisik lebih lanjut, menurut Ketua RT
tersebut oknum yang “seharusnya” mendapatkan kartu miskin itu
bukan kategori RTSPM! Atau ada kasus dijualnya beras program Raskin
yang seyogyanya menjadi hak suatu RT dan ternyata dijual ke RT lain
di kelurahan yang sama, ternyata berkaitan dengan ulah oknum dan
tidak validnya data berkaitan dengan daftar RTSPM. Laporan yang
diterima Camat, sebagai koordinator wilayah kecamatan, semua
berjalan lancar dan beras langsung didistribusikan kepada kantor-
27FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
kantor kelurahan sebagai titik distribusi. Padahal ada fakta lain, tidak
satupun kantor kelurahan memiliki gudang penampungan beras pro-
gram Raskin(!) dan karena itu persoalan distribusi membutuhkan
pengawasan yang lebih intens dan pembangunan fasilitas infrstruktur
penunjang yang memadai.
(4) Faktor Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu badan yang paling sering bahkan
secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara
sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk
kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-masalah
sosial yang berkaitan dengan peran fungsionalnya. Struktur birokrasi
yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah prosedur operasi
yang standar (standard operating procedures atau SOP).
Pelaksanaan program Raskin di Kota Banjarmasin untuk tingkat
Kota sebagai pelaksananya adalah Bagian Kesra. Rentang kendali yang
dilakukan oleh Bagian Kesra itu sesungguhnya terlalu jauh dengan
perbandingan jumlah staf atau personil di Bagian Kesra yang harus
menangani 50 titik distribusi Raskin di setiap Kecamatan. Keterlibatan
Kecamatan tidak terlalu signifikan sebagai koordinator. Hal ini dapat
dilihat dalam proses pelaksanaan program Raskin, bahwa beras yang
datang dari Bulog langsung ke titik distribusi yaitu di Kelurahan
kemudian proses pembayaran beras Raskin dari titik distribusi
menyetorkannya ke Bagian Kesra dan laporan administrasi realisasi
DPM-2 ke Perum Bulog Divre Kalsel. Jadi secara teknis dari alur tersebut
peran Kecamatan hampir tidak ada. Satu-satunya informasi yang
diterima oleh pihak kecamatan adalah surat tembusan laporan kegiatan
yang dibuat oleh pihak kelurahan kepada Tim Raskin Kota
Banjarmasin.
Dengan kata lain, tidak adanya standard operating procedures
(SOP) untuk pelaksanaan program Raskin di Kota Banjarmasin
menjadikan pelaksanaannya menjadi tidak efektif.
28 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
C. 3. Pembahasan
Pelaksanaan program beras untuk rumah tangga miskin (Raskin)
di Kota Banjarmasin relatif sudah cukup baik. Tetapi jikalau indikator
kinerja yang digunakan, maka pembahasannya seharusnya merujuk
pada model indikator kinerja program yang berorientasi pada 6T: Tepat
Sasaran Penerima Manfaat, Tepat Jumlah, Tepat Harga, Tepat Waktu,
Tepat Administrasi, dan Tepat Kualitas. Ternyata klarifikasi dengan
sejumlah pejabat penanggungjawab program Raskin di Kota
Banjarmasin menunjukkan gambaran bahwa indikator 6T itu tidak
sepenuhnya dapat digunakan. Ada pengakuan, meskipun dengan dalih
yang logis untuk tidak mengakuinya sebagai sebuah kekurangan,
pelaksanaan program Raskin di Kota Banjarmasin masih terkendala
pada persoalan kesadaran dari unsur-unsur pelaksana di tingkat
kelurahan untuk bekerja secara optimal dan “tanpa pamrih”; serta
adanya pengharapan kepada para RTSPM untuk menerima
kekurangan pelayanan sebagai hal yang lumrah karena keterbatasan
sumberdaya. Bahkan pejabat penanggungjawab program menghendaki
adanya dukungan semua pihak untuk keberhasilan program Raskin.
Semua alibi dan bantahan semacam itu sebenarnya tidak menjawab
akar permasalahan.
Untuk memahami isu strategis dari permasalahan yang terjadi
dalam implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin, peneliti
menggunakan alat analisis SWOT. Analisis SWOT didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(oppotunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threaths). Secara konseptual,
alat analisis SWOT ini sangat efektif digunakan untuk menentukan
arah pemecahan masalah dengan menentukan sasaran yang terukur
dan teruji dengan melihat kondisi lingkungan internal dan lingkungan
eksternal (Rangkuti, 2006). Dengan asumsi demikian, maka akar
permasalahan implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Kekuatan (Strengths)Faktor intemal organisasi terdapat beberapa kekuatan dalam
mendukung peningkatan implementasi program Raskin di Kota
29FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Banjarmasin. Hasil analisis kekuatan organisasi tersebut adalah:
(a) Adanya dukungan anggaran dari APBD Kota Banjarmasin
(b) Luas wilayah yang relatif tidak luas;
(c) Loyalitas bawahan kepada atasan secara berjenjang (Lurah,
Camat, Walikota beserta jajarannya);
(d) Adanya keinginan yang kuat dari Tim Raskin terhadap
implementasi program Raskin yang lebih baik;
(e) Adanya Pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesejahteraan Rakyat;
(f) Kelembagaan di tingkat Kelurahan yang telah tersedia secara
lengkap;
(g) Meningkatkan peran Kecamatan;
(h) Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM) mendapat
kartu Raskin;
(i) Musyawarah Kelurahan sebagai bentuk konsensus di tingkat
Kelurahan yang diakui dan dapat dipertanggungjawabkan;
(j) Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor: 29A Tahun 2009
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Program Beras Miskin
(Raskin) Kota Banjarmasin.
(2) Kelemahan (Weaknesses)Faktor internal organisasi di samping ada kekuatan juga ada
kelemahannya yang dapat menghambat implementasi pogram Raskin
di Kota Banjarmasin. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui
kelemahan-kelemahan dalam implementasi program Raskin, sebagai
berikut:
(a) Sumberdaya Manusia di Kantor Kelurahan masih rendah tingkat
pendidikannya;
(b) Belum adanya petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis pro-
gram Raskin untuk tingkat Kota Banjarmasin;
(c) Belum adanya standard operating procedures (SOP) terhadap
distribusi Raskin di Kota Banjarmasin;
(d) Lemahnya pertanggungjawaban dan transparansi pelaksana
program Raskin di tingkat titik distribusi;
30 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(e) Tidak adanya gudang penyimpanan beras Raskin sementara di
setiap titik distribusi;
(f) Sistem pelaporan belum teratur dan sering terlambat;
(g) Belum optimalnya peran musyawarah kelurahan (Muskel)
dalam program Raskin;
(h) Tidak adanya jadwal yang pasti terhadap distribusi beras Raskin
di titik distribusi;
(i) Sosialisasi program Raskin tidak dilakukan sampai kepada
Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM).
(3)Peluang (Opportunities)
Faktor eksternal yang dianggap positif adalah peluang yang dapat
mendukung keberhasilan pelaksanaan program, antara lain:
(a) Penambahan anggaran untuk operasional Raskin dalam APBD
Kota Banjarmasin;
(b) Dukungan dari stakeholderstim Raskin tingkat Kota
Banjarmasin;
(c) Dukungan regulasi dari Pemerintah Kota Banjarmasin berupa
peraturan yang mendukung Program Raskin;
(d) Sistem warung desa/kelurahan atau koperasi kelurahan;
(e) Situasi masyarakat yang kondusif;
(f) Peluang diadakannya program Raskinda;
(g) Kemajuan fasilitas media cetak dan elektronik yang semakin
pesat;
(h) Pendataan warga miskin dengan melibatkan pengurus RT dan
tokoh masyarakat.
(4) Ancaman (Threats)
Faktor eksternal selanjutnya adalah Ancaman yang dapat
menganggu atau mengancam implementasi program Raskin di Kota
Banjarmasin, dan faktor ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:
(a) Masyarakat semakin berfikir demokratis dan kritis;
(b) Masyarakat miskin bertambah;
(c) Ketergantungan warga miskin kepada pengurus RT;
(d) Keterlambatan pembayaran beras Raskin dari RTSPM kepada
titik distribusi;
31FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(e) Kultur social masyarakat yang heterogen;
(f) Penarikan dana talangan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin;
(g) Dihentikannya program Raskin oleh Pemerintah Pusat;
(h) Penyediaan data miskin yang tidak dapat mengakomodir
seluruh warga miskin di Kota Banjarmasin;
(i) Ketua RT memanfaatkan program Raskin untuk mengambil
keuntungan pribadi dari warga miskin;
(j) Tingginya tuntutan masyarakat terhadap transparansi
implementasi program Raskin;
(k) RTSPM tidak mampu secara penuh atau sebagian dalam
membeli beras Raskin.
Perpaduan faktor-faktor internal dan ekternal dalam matrik SWOT
dipilih masing-masing 3 (tiga) faktor dari setiap aspek kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman. Setiap faktor yang dipilih
berdasarkan tingkat pentingnya peran masing-masing faktor dalam
setiap aspek (Bryson, 1999). Namun untuk mengukur pentingnya
keberadaan suatu faktor dilakukan dengan mengkomparasi seluruh
faktor pada masing-masing aspek dengan menggunakan skala likert
(LAN, 2008). Hasil Perbandingan setiap faktor pada masing-masing
aspek dan dipilih berdasarkan urutan nilai tertinggi adalah sebagai
berikut:
a. Faktor Kekuatan:
l. Adanya pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesejahteraan Rakyat;
2. Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor: 29A Tahun 2009
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Program Raskin Kota
Banjarmasin;
3. Tersedianya dukungan dana dari APBD Kota Banjarmasin.
b. Faktor Kelemahan:
1. Belum adanya petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis pro-
gram Raskin untuk tingkat Kota Banjarmasin;
2. Lemahnya pertanggungjawaban dan transparansi pelaksanaan
program Raskin di tingkat titik distribusi;
32 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
3. Belum optimalnya peran Musyawarah Kelurahan (Muskel)
dalam program Raskin.
c. Faktor Peluang:
1. Kesempatan penambahan anggaran untuk operasional Raskin
dan dana talangan di APBD Kota Banjarmasin:
2. Peluang diadakannya program Raskinda;
3. Pendataan warga miskin dengan melibatkan pengurus RT dan
tokoh masyarakat.
d. Faktor Ancaman:
1. Masyarakat semakin berfikir demokratis dan kritis;
2. Masyarakat miskin bertambah;
3. Penyediaan data miskin yang tidak dapat mengakomodir
seluruh warga miskin di Kota Banjarmasin.
Untuk mendapatkan asumsi strategis yang nantinya dapat menjadi
rumusan alternatif strategi mencapai tujuan dan sasaran yang lebih
baik, tahapannya adalah dengan melakukan perpaduan setiap faktor
tersebut dalam sebuah tabel matrik SWOT. Berdasarkan tabel matrik
SWOT itulah dapat dibuat asumsi-asumsi strategis sebagai berikut:
(1) Asumsi Strategis S-O Asumsi Strategis S-O Asumsi Strategis S-O Asumsi Strategis S-O Asumsi Strategis S-O terdiri dari:
a. Penambahan dana talangan sehingga sesuai dengan pagu
raskin;
b. Peningkatan dana operasional sehingga harga raskin sampai
pada RTSPM sesuai ketentuan
c. Peningkatan dana operasional untuk pendataan warga miskin
oleh ketua RT dan tokoh masyarakat.
d. Memaksimalkan kegiatan koodinasi Tim Koodinasi Raskin
e. Meningkatkan kegiatan suvermisi dan monitoring Tim
Koordinasi Raskin Kota Banjarmasin;
f. Meningkatkan peran Camat sebagai anggota Tim Koordinasi
dalam Program raskin:
g. Penjabaran Pedoman Umum dalam petunjuk pelaksanaan dan
juknis Standar Opeasional Prosedur Raskin
g. Dilibatkanya ketua RT dan tokoh masyarakat dalam
pendataan warga miskin
33FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
h. Dilibatkannya ketau RT dan tokoh masyarakat dalam proses
verifikasi data miskin.
(2) Asumsi Strategis WO, Asumsi Strategis WO, Asumsi Strategis WO, Asumsi Strategis WO, Asumsi Strategis WO, terdiri dari:
a. Melakukan konsultasi secara intensif bagi pelaksana titik
distribusi dengan bantuan dana operasional.
b. Melakukan koordinasi secara berkala antara pelaksana di titik
distribusi dan pemerintah kecamatan.
c. Menggunakan dana operasional raskin sesuai dengan
peruntukannya;
d. Mengefektifkan mekanisme pelaporan dan monitoring dan
evaluasi melalui peningkatan dana operasional raskin.
e. Menyingkronkan mekanisme pelaporan yang dilakukan secara
berkala dan berjenjang.
f. Mengaitkan antara penambahan dana operasional dengan
kineja pelaksana titik distribusi.
g. Mengefektifkan pelaksanaan musyawarah keluahan secara
berkala;
h. Memberikan kesempatan menyampaikan saran dan pendapat
yang seluas-luasnya kepada RT dan tokoh masyarakat.
i. Meningkatkan peran musyawarah kelurahan (muskel) dalam
mencari solusi masalah raskin di tingkat Kelurahan.
(3) Asumsi Strategis S-T, Asumsi Strategis S-T, Asumsi Strategis S-T, Asumsi Strategis S-T, Asumsi Strategis S-T, terdiri dari:
a. Penggunaan anggaran secara akuntabel dan tansparan
b. Optimalisasi penggunaan anggaran untuk rakyat miskin
c. Menyediakan anggaran cadangan untuk pelunasan sisa beras
di titik distibusi
d. Meningkatkan profesionalisme Tim Koordinasi Raskin
e. Meningkatkan kinerja Tim Koodinasi Raskin
f. Tidak memanipulisai ketentuan pedoman umum
g. Kekurangan ketentuan dalam pedoman umum tidak
digunakan untuk kepentingan pibadi/ golongan.
h. Mentaati segala aturan yang ada dalam Pedoman Umum
Raskin untuk menghindari implikasi dalam implementasi pro-
gram Raskin di tingkat Kelurahan/titik distribusi;
34 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
i. Mengusulkan “raskinda” bagi warga miskin yang belum
terakomodir termasuk penambahan warga miskin melalui
APBD.
(4) Asumsi Strategi W-T, Asumsi Strategi W-T, Asumsi Strategi W-T, Asumsi Strategi W-T, Asumsi Strategi W-T, tediri dari:
a. Transparansi dalam melaksanakan program raskin;
b. Tidak bosan untuk melakukan konsultasi jika muncul
persoalan dalam pelaksanaan raskin;
c. Melakukan koordinasi secara berkala;
d. Melibatkan secara aktif tokoh masyaraka/ketua RT, RW untuk
memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa
kemampuan pemerintah dalam pemberikan subsidi beras
untuk rumah tanggamiskin terbatas;
e. Sosialisasi program Raskin sampai kepada RTSPM;
f. Meningkatkan profesionalisme Tim Koordinasi Raskin;
g. Meningkatkan kinerja Tim Koodinasi Raskin;
h. Memperbaiki dan memelihra data raskin sehingga warga
miskin dapat terakomodir dalam raskin;
i. Menjadikan musyawarah kelurahan sebagai sarana demokrasi
dan bertukar pendapat.
Usaha mencapai keadaan atau tingkat pelaksanaan program yang
optimal pada dasarnya akan menghadapi hambatan-hambatan kinerja.
Dalam kaitan itu dibutuhkan penilaian tingkat urgensi tiap faktor
dengan metode komparasi urgensi atau komparasi faktor. Untuk
menentukan faktor yang menjadi kebutuhan dalam pencapaian tujuan
dan sasaran perlu mengkondisikan faktor-faktor penentu terhadap
setiap faktor yang teridentifikasi. Suatu faktor disebut penting terhadap
pencapaian tujuan dan sasaran apabila memiliki nilai lebih dari faktor
yang lain. Adapun analisis urgensi faktor internal dan eksternal dapat
dilihat pada matrik urgensi pada Tabel 4. Dari Tabel 4 tersebut terlihat
bahwa faktor kekuatan internal yang mempunyai nilai urgensi tertinggi
adalah adanya Pedoman Umum Raskin yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesejahteraan Rakyat. Sedangkan faktor kelemahan in-
ternal yang memiliki nilai urgensi tertinggi adalah lemahnya
pertanggungjawaban dan transparansi pelaksanaan program Raskin
di tingkat titik distribusi.
35FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Tabel 4. Matriks Urgensi Faktor InternalTabel 4. Matriks Urgensi Faktor InternalTabel 4. Matriks Urgensi Faktor InternalTabel 4. Matriks Urgensi Faktor InternalTabel 4. Matriks Urgensi Faktor Internal
Keterangan:
1. Simbol huruf mewakili masing-masing faktor yang dikomparasi.
2. Simbol angka menunjukkan nilai kumulatif hasil komparasi antar faktor
dari masing-masing faktor.
Untuk menghitung urgensi faktor eksternal juga menggunakan
asumsi perhitungan seperti untuk faktor internal (Tabel 5). Dari Tabel
5 itu tampaklah bahwa terdapat 2 peluang eksternal yang mempunyai
nilai tertinggi yaitu terbukanya kesempatan penambahan anggaran
untuk operasional Raskin dan dana talangan di APBD Kota
Banjarmasin. Sedangkan ancaman eksternal yang tertinggi adalah
masyarakat semakin berfikir demokratis dan kritis.
36 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Tabel 5. Matriks Urgensi Faktor EksternalTabel 5. Matriks Urgensi Faktor EksternalTabel 5. Matriks Urgensi Faktor EksternalTabel 5. Matriks Urgensi Faktor EksternalTabel 5. Matriks Urgensi Faktor Eksternal
Komparasi antar faktor ini menunjukkan seberapa penting atau
menjadi kebutuhan untuk pencapaian tujuan dan sasaran. Faktor yang
telah dikomparasi antar faktor mempunyai nilai tertinggi adalah 5
(NF=5), sehingga dapat dikatakan bahwa faktor tersebut sangat besar
peranannya dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran; sebaliknya
komparasi yang mempunyai nilai kecil 1(NF=1) dikatakan urgensinya
rendah dalam pencapaian tujuan dan sasaran. Hasil NF di setiap faktor
akan menghasilkan bobot faktor (BF %) dari setiap faktor.
Bobot suatu faktor dalam suatu organisasi menurut Armstrong &
Murlis dalam buku The Art HRD Reward Management (LAN, 2008)
adalah ukuran relatif pentingnya keberadaan suatu faktor dalam
mencapai tujuan dan sasaran.
Untuk mengetahui faktor-faktor kunci keberhasilan, yang
dibutuhkan adalah melakukan identifikasi dan analisis masalah serta
37FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
penentuan faktor-faktor kunci keberhasilan. Dengan analisis SWOT,
yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah evaluasi terhadap faktor
internal dan eksternal. Evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui
seberapa besar dukungan setiap faktor yang ada pada internal dan
eksternal terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi.
Selanjutnya harus diketahui pula Nilai Rata-rata keterkaitan faktor-
faktor internal dan ekternal dalam mencapai misi organisasi. Dengan
adanya keterkaitan itu akan tercipta sinergi dalam mencapai tujuan
dan sasaran organisasi. Hasil penilaian faktor internal dan eksternal
itu digunakan sebagai acuan penentuan faktor kunci keberhasilan, peta
posisi kekuatan organisasi dan isu strategi.
Berdasarkan hasil evaluasi faktor-faktor intenal dan eksternal
didapat total nilai bobot (TNB) dari setiap aspek yang dijumlahkan
untuk memperoleh hasil kekuatan (sebesar 3,88), kelemahan (sebesar
2,39), peluang (sebesar 3,55) dan ancaman (sebesar 1,96).
Sebagai tahapan analisis selanjutnya adalah penting dilakukan
penentuan Faktor Kunci Keberhasilan (FKK). FKK merupakan faktor-
faktor yang strategis yang menjadi faktor kunci keberhasilan organisasi
dalam mencapai misi. Penentuan FKK dari tiap kategori strength, weak-
nesses, opportunities, threats masing-masing dipilih 2 FKK berdasarkan
TNB. FKK yang mempunyai TNB terbesar dalam setiap kategori menjadi
peringkat I.
Berdasarkan selisih antara TNB S=3,88 dan W=2,39 menghasilkan
titik pada S (Kekuatan) =1,49. Selisih antara hasil TNB O=3,55 dan
T=1,96 menghasilkan titik ordinat O (Peluang) =1,49. Pertemuan antar
ordinat membentuk garis koordinat pada Kwadran I yang membentuk
posisi organisasi, sebagaimana terlukis pada Gambar 1. Pada Gambar
1 tersebut menunjukan posisi kekuatan organisasi berada pada kwadran
I, artinya organisasi memiliki kemampuan yang dapat diunggulkan
untuk melakukan perubahan atau sering disebut memiliki keunggulan
kompetitif atau keunggulan daya saing. Berkaitan dengan implementasi
Program Raskin bahwa Tim Koordinasi maupun pelaksana di titik
distribusi memiliki kemampuan untuk melaksanakan program Raskin
sehingga tercapai tujuan yang dikehendaki sesuai Pedoman umum.
38 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Gambar 1. Peta Kekuatan
Berdasarkan perpaduan faktor-faktor kunci keberhasilan dari
aspek kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dihasilkan 7 (tujuh)
alternatif strategi yang dirumuskan dari asumsi-asumsi strategi sebagai
berikut:
1. Memaksimalkan dukungan anggaran dari APBD Kota
Banjarmasin;
2. Memaksimalkan peran Tim Koordinasi Raskin untuk mendukung
keberhasilan implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin;
3. Menggunakan Pedoman Umum Raskin sebagai dasar pembuatan
petunjuk pelaksanaan atau teknis implementasi program Raskin
di Kota Banjarmasin;
4. Mentaati segala aturan yang ada dalam Pedoman umum Raskin
untuk lmenghindari implikasi dalam implementasi program
Raskin di tingkat Kelurahan/titik distribusi ;
5. Memaksimalkan peran musyawarah kelurahan (muskel) dalam
rangka menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam
implementasi program Raskin di tingkat Kelurahan;
6 Meningkatkan kinerja Tim Raskin tingkat Kelurahan untuk
mendukung keberhasilan implementasi program Raskin di Kota
Banjarmasin;
7 Transparansi terhadap implementasi program Raskin di tingkat
Kelurahan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat miskin
terhadap kinerja pemerintah.
39FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Adapun masing-masing alternatif strategis tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Memaksimalkan dukungan anggaran dari APBD Kota Banjarmasin.
Program Raskin merupakan program pemerintah pusat yang
bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran Rumah Tangga
Sasaran Penerima Manfaat melalui pemenuhan sebagian kebutuhan
pangan pokok dalam bentuk beras. Yang digunakan sebagai dasar
penerima manfaat dalam program ini adalah menggunakan data
BPS secara nasional berjenjang sampai dengan BPS tingkat
Kabupaten/Kota.
Dalam implementasinya terkadang data yang digunakan
sebagai pedoman sasaran program tersebut tidak dapat secara
keseluruhan mengakomodir masyarakat miskin yang ada di Kota
Banjarmasin, sehingga plafon (pagu) Raskin untuk Kota Banjarmasin
hanyalah penerima manfaat yang namanya terdaftar dalam data
yang dikeluarkan oleh BPS Kota Banjarmasin tersebut. Hal ini
menjadikan kecemburuan bagi warga miskin yang lain, yang secara
nyata sebenarnya kondisinya terkadang lebih miskin daripada warga
miskin yang terdaftar dalam data BPS Kota Banjarmasin tersebut.
Pemerintah Kota Banjarmasin dapat menyelenggarakan Pro-
gram Raskin Daerah sebagai pendukung program Raskin Nasional.
Sumber dana Raskin daerah yang meliputi harga beras dan biaya
operasionalnya berasal dari APBD. Keberadaan program Raskin
Daerah sebagaimana telah disebutkan diatas, untuk menutup
kesenjangan data daerah dengan data BPS dan atau menambah
alokasi pagu Raskin Nasional 15 Kg/RTSPM/bulan.
Sudah menjadi tugas pemerintah untuk dapat mensejahterakan
masyarakatnya, sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan
Undang-undang Dasar 1945. Oleh sebab itu isu yang cukup strategis
ini adalah sebagai upaya untuk memberikan backup terhadap pro-
gram Raskin yang ada di Kota Banjarmasin agar seluruh warga
miskin yang benar-benar tidak mampu, baik terdaftar maupun tidak
dalam data BPS dapat menerima beras Raskin baik alokasi nasional
maupun daerah. Hal juga harus melihat skala prioritas anggaran
daerah yang dialokasikan pada penanggulangan kemiskinan.
40 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
(2)Memaksimalkan peran Tim Koordinasi Raskin untuk mendukung
keberhasilan implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin.
Tim Koordinasi Raskin Kota Banjarmasin sebagaimana
Keputusan Walikota Banjarmasin Nomor: 29A Tahun 2009 yang
mempunyai tugas antara lain:
1. Mengkoordinasikan kegiatan program Raskin;
2. Menetapkan plafon alokasi (pagu) kuantum beras per
Kecamatan;
3. Melakukan pemantauan sampai sejauhmana kemajuan
pelaksanaan program Raskin di Kota Banjarmasin;
4. Mengevaluasi kegiatan operasional Raskin di lapangan;
5. Melaporkan hasil kegiatan kepada Walikota.
Koordinasi antar organisasi dalam tim koordinasi Raskin Kota
Banjarmasin sangat penting untuk dilakukan. Dengan adanya
koordinasi maka arah, tujuan dan tindakan yang akan dilakukan
menjadi jelas (Nurcholis, 2007). Koordinasi juga akan menciptakan
kesatupaduan tindakan dan metode yang akan dipakai. Dengan
demikian, siapa mengerjakan apa dan kepada siapa bertanggung
jawab menjadi jelas. Koordinasi dimaksudkan untuk mensinkronkan
dan mengintegrasikan segala tindakan, supaya terarah kepada
sasaran yang ingin dicapai (Hasibuan, 2007)
(3)Menggunakan Pedoman Umum Raskin sebagai dasar pembuatan
petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis implementasi program
Raskin di Kota Banjarmasin.
Sebagai petunjuk atau pedoman implementasi program Raskin
Secara nasional telah diterbitkan buku Pedoman Umum Raskin oleh
Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
(MenkoKesra). Secara umum di dalam pedoman umum Raskin telah
dijelaskan bagaimana aturan-aturan yang harus digunakan oleh
implementers dalam melaksanakan program Raskin ini di lapangan.
Permasalahan yang muncul adalah tidak semua pelaksana di
titik distribusi yaitu ditingkat Kelurahan dapat memahami secara
menyeluruh makna yang termuat dalam pedoman umum Raskin
tersebut, sehingga terjadi keragu-raguan ataupun ketidak beranian
oleh pengelola Raskin ditingkat titik distribusi dalam setiap
41FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
implementasi program Raskin tersebut. Karena itu dibutuhkan suatu
regulasi teknis secara operasional yang dapat digunakan atau dipakai
sebagai pedoman daram implementasi program Raskin ini di tingkat
Kelurahan. Peraturan pelaksana ini dapat dalam bentuk petunjuk
pelaksanaan atau petunjuk teknis yang memuat aturan-aturan yang
lebih spesifik dan teknis berdasarkan kondisi nyata wilayah dan
kondisi sosial masyarakat di Kota Banjarmasin.
(4) Mentaati segala aturan yang ada dalam Pedoman Umum Raskin
untuk menghindari implikasi dalam implementasi program Raskin
ditingkat Kelurahan atau di titik distribusi.
Isu yang cukup strategis tersebut dihasilkan dari menggunakan
kekuatan yang ada dalam organisasi untuk menghadapi ancaman
atau tantangan dari luar organisasi. Persyaratan pertama bagi
implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang
melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan (Edwards III, sebagaimana dirujuk Winarno, 2008). Sebagai
pedoman atau panduan bagi pelaksanaan program Raskin adalah
pedoman umum Raskin yang dikeluarkan oleh Kementerian
Kesejahteraan Rakyat setiap tahunnya. Apa yang menjadi tujuan
dan sasaran program telah tertuang dengan jelas dalam buku
pedoman umum Raskin tersebut. Selanjutnya tergantung
bagaimana seorang implementor dapat memahami aturan-aturan
yang tertuang dalam pedoman umum Raskin tersebut. Keberhasilan
suatu program yang akan diimplementasikan juga akan dipengaruhi
oleh konsistensi para implementors dalam melaksanakan program
tersebut sesuai petunjuk dan pedoman yang telah ditentukan.
Apabila dalam implementasinya terjadi penyimpangan-
penyimpangan oleh implementors, maka akan terjadi resistensi pada
tataran obyek dari produk kebijakan tersebut.
Secara teknis di lapangan para pelaksana program Raskin di
tingkat Kelurahan atau titik distribusi mungkin akan sedikit
mengalami kesulitan dalam memahami makna-makna yang terdapat
dalam pedoman umum Raskin Karena itu peran dari aparatur di
atasnya untuk dapat memberikan penjelasan-penjelasan secara
operasional terhadap pelaksana tersebut penting adanya. Jika
42 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
kebijakan-kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya,
maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya untuk dipahami,
melainkan petunjuk-petunjuk itu harus jelas (Winarno, 2008). Jika
petunjuk itu kurang jelas, maka implementors juga akan mengalami
kesulitan untuk menafsir sehingga boleh jadi mereka pun tidak
konsisten dalam pengambilan suatu keputusan. lmplikasi yang
terjadi akibat tidak konsistennya para implementors dalam
menerapkan semua aturan yang telah ditetapkan akan
mengakibatkan tujuan dari program Raskin tersebut tidak tercapai
sebagaimana yang diharapkan.
Upaya-upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam
menghadapi masalah tersebut, antara lain:
1. Dalam melakukan sosialisasi program Raskin semua stakehold-
ers harus dilibatkan, terutama para pelaksana di lapangan
yang berhubungan langsung dengan masyarakat miskin dalam
hal ini adalah Tim Raskin Tingkat Kelurahan;
2. Perlunya menguraikan satu persatu penjelasan-penjelasan
dalam buku pedoman umum Raskin agar mudah dipahami
untuk dilaksanakan dalam tataran operasional di lapangan;
3. Perlunya suatu petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis
pelaksanaan program Raskin di Kota Banjarmasin.
(5)Memaksimalkan peran Musyawarah Kelurahan (Muskel) dalam
rangka menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam
implementasi program Raskin di tingkat Kelurahan.
Isu yang satu ini sifatnya hanyalah operasional saja tetapi tidak
strategis. Permasalahan yang dibahas dalam musyawarah Kelurahan
hanyalah bersifat teknis, tidak menimbulkan kebijakan yang baru
dan tidak boleh mengubah alokasi atau plafon yang sudah ada. Yang
perlu diperhatikan oleh aparat Kelurahan sebagai pelaksana pro-
gram Raskin di titik distribusi adalah bagaimana secara teratur untuk
dapat mendokumentasikan atau mengarsipkan setiap bentuk
pertemuan yang menghasilkan keputusan bersama sehingga hal
tersebut sebagai bahan pegangan dan pedoman secara khusus di
titik distribusi apabila diperlukan sebagai pertanggungjawaban
pelaksanaan program Raskin di tingkat Kelurahan.
43FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Perlunya pemahaman kepada pelaksana distribusi Raskin di
tingkat Kelurahan karena pentingnya forum musyawarah ini untuk
dapat dijadikan dasar dalam setiap pengambilan kebijakan yang
belum diatur dalam pedoman umum Raskin atau petunjuk
pelaksanaannya.
(6)Meningkatkan kinerja Tim Raskin tingkat Kelurahan untuk
mendukung keberhasilan implementasi program Raskin di Kota
Banjarmasin.
Permasalahan mendasar dalam implementasi program Raskin
di Kota Banjarmasin salah satunya adalah masih rendahnya kualitas
sumberdaya manusia yang berada pada tingkat pelaksana di
lapangan dalam menelaah dan memahami setiap aturan-aturan
yang ada sebagai pedoman pelaksanaan proglam Raskin di Kota
Banjarmasin. Terjadinya komplikasi dalam proses implementasi
kebijakan karena para implementors tidak dapat menjalankan
aturan yang telah ditetapkan sebagaimana mestinya. Kadangkala
yang terjadi dilapangan adalah suatu bentuk kesepakatan-
kesepakatan di luar aturan dengan dalih sudah saling setuju antara
pihak pelaksana dengan obyek kebijakan.
Oleh sebab itu untuk memperoleh hasil yang diharapkan, yaitu
implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin dapat memenuhi
indikator kinerja program 6 T, tepat sasaran penerima manfaat, tepat
jumlah, tepat harga, tepat administrasi, tepat kualitas, tepat waktu;
diperlukan kerja keras aparatur Kelurahan yang membidangi
masalah Raskin atau Tim Raskin tingkat Kelurahan.
Menurut Miftah Thoha (2007) selama ini birokrat memiliki
sejumlah stigma, misalnya lamban dalam bekerja, berbelit-belit dalam
prosedural, pasif dan cenderung korup. Meski demikian, masih
banyak segi positif dari birokrasi sebagai salah satu tipologi bentuk
pemerintahan. Oleh sebab itu, untuk mewujudkan peran dan
fungsinya dalam suatu organisasi yang maksimal maka pengelola
birokrasi tersebut perlu diberdayakan.
Dalam konteks kinerja Tim Raskin tingkat Kelurahan,
bagaimana strategi agar pelaksana dalam tim tersebut dapat
memenuhi target indikator yang telah ditetapkan untuk keberhasilan
44 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
implementasi program Raskin yang telah disebutkan di atas secara
lebih operasional adalah: (1) Raskin hanya diberikan kepada RTSPM
hasil Musyawarah Kelurahan yang terdaftar dalam Daftar penerima
Manfaat (DPM-l) dan diberi identitas (Kartu Raskin atau bentuk
lain) ; (2) jumlah beras Raskin yang merupakan hak RTSPM adalah
sebanyak 15 Kg/RTS/Bulan selama 12 bulan, tidak lebih tidak
kurang; (3) harga tebus Raskin adalah Rp1.600, -/Kg netto di titik
distribusi/warung desa, tidak boleh ditambah dengan alasan
apapun; (4) waktu pelaksanaan distribusi beras kepada RTSPM
Raskin harus sesuai dengan rencana distribusi; (5) terpenuhinya
persyaratan administrasi secara benar, lengkap dan tepat waktu;
(6) terpenuhinya persyaratan kualitas beras sesuai dengan standar
kualitas beras Bulog.
(7)Transparansi terhadap implementasi program Raskin di tingkat
Kelurahan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat miskin
terhadap kinerja pemerintah.
Transparansi merupakan konsep yang penting dan menjadi
sangat penting sejalan dengan semakin kuatnya keinginan untuk
mengembangkan praktik good government. Transparansi bermakna
membuka akses informasi kepada pemangku kepentingan Raskin,
terutama RTSPM, yang harus mengetahui dan memahami adanya
kegiatan Raskin serta dapat melakukan pengawasan secara mandiri
(Pedoman Umum Raskin, 2009).
Upaya yang harus dilakukan oleh pelaksana di tingkat titik
distribusi adalah melakukan sosialisasi program Raskin sampai
kepada obyeknya yaitu Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat
(RTSPM), kemudian secara terbuka menyampaikan alokasi pagu
Raskin Kelurahan kepada masyarakat melalui perwakilan RT/RW
dan Dewan Kelurahan, selanjutnya penetapan harga harus sesuai
dengan harga yang telah ditentukan dalam Pedoman umum Raskin
yang ada. Hal-hal di luar ketentuan itu mestinya dapat diselesaikan
dengan cara dimusyawarahkan bersama.
45FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
D. KESIMPULANBerdasarkan analisis hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin dari proses
perencanaan sampai dengan pendistribusiannya kepada Rumah
Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM) secara umum telah
berjalan cukup baik. Namun demikian masih ditemukannya
kekurangan dalam hal implementasi program seperti: harga jual
beras Raskin di atas ketentuan, jumlah beras yang diterima oleh
RTSPM di bawah ketentuan, pembayaran beras Raskin dari
RTSPM kepada pengelola sering terlambat, dan laporan
administrasi pengelola di titik distribusi sering terlambat
disampaikan kepada Tim Koordinasi Raskin Kota Banjarmasin
melalui Bagian Kesra.
2. Data Rumah Tangga Miskin yang dikeluarkan oleh BPS Kota
Banjarmasin tidak dapat secara keseluruhan mengakomodasi
warga miskin di Kota Banjarmasin dikarenakan dalam
pendataan warga miskin tidak melibatkan Ketua RT dan Tokoh
Masyarakat yang diasumsikan lebih mengetahui status sosial
warga di wilayahnya, sehingga hal ini memberikan pekerjaan
tambahan bagi pelaksana di titik distribusi untuk
menyelesaikannya.
3. Untuk tahun 2009, saat penelitian ini dilakukan, distribusi
Raskin mengalami keterlambatan disebabkan adanya pemilu
legistatif, keterlambatan data dan perubahan data miskin hingga
sampai empat kali (disebabkan data yang akan digunakan
sebagai dasar pagu Raskin belum jelas antara data PPLS 2005
dan PPLS 2008 yang belum selesai diverifikasi), sehingga alokasi
untuk bulan Januari baru dapat didistribusikan pada bulan April
dan sampai penelitian ini dilakukan baru terealiasikan 33,33%
dan keseluruhan pagu Raskin.
4. Pendistribusian Raskin di Kota Banjarmasin tersebar pada 50
titik distribusi di masing-masing Kelurahan. Untuk membantu
kelancaran program Raskin ini Pemerintah Kota Banjarmasin
menyiapkan dana talangan setiap tahunnya Rp500.000.000; dan
bermasalah ketika koordinator wilayah tidak mampu menjamin
46 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
kelancaran pembayaran dana talangan tersebut agar tidak
macet, karena kemacetan dimaksud justru dapat menghambat
distribusi Raskin di wilayah yang menunggu pelunasan dana
bergulir tersebut.
5. Sejak tahun 2008 Pemerintah Kota sebenarnya telah
memberikan insentif biaya operasional Raskin sebesar Rp150 per
kilogram; namun insentif tersebut tidak begitu jelas
implementasinya sehingga ada kasus pengelola program di titik
distribusi menambah harga jual beras program Raskin dengan
alasan untuk menutupi ongkos angkut beras dari kecamatan ke
titik distribusi.
6. Implementasi program Raskin di Kota Banjarmasin dipengaruhi
beberapa faktor yang menghambat, namun yang terutama
adalah faktor komunikasi. Pembentukan tim Raskin hanya
sebatas tingkat Kota, tetapi tidak ikuti oleh Kecamatan dan
Kelurahan; sosialisasi program Raskin tidak sampai kepada
RTSPM; kurangnya transparansi pada titik distribusi yang dapat
dibuktikan dari kasus ada RTSPM yang tidak tahu kalau dirinya
masuk dalam daftar.
DAFTAR RUJUKAN
Bryson, JohnM., 1999. Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
David HJ & Thomas L. Wheelen, 2003. Manajemen Strategis. Penerbit
ANDY Yogyakarta.
Dunn, William N., 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Dwijowijoto, Riant Nugroho, 2004. Kebijakan Publik: Formulasi,
Implementasi dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Hadari Nawawi, 2005. Manajemen Strategis. Gadjah Mada Pers,
Yogyakarta
47FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Hamdi, Muchlis 2008. Membangun Kebijakan Publik yang Partisipatif
(Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar pada tanggal 22 Mei
2008 di Kampus IPDN, Jakarta.
Kartasasmita, Ginanjar l997. Administrasi Pembangunan,
Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia. LP3ES,
Jakarta.
Luankali, Bernandus 2007. Analisis Kebijakan Publik dalam Proses
Pengambilan Keputusan. Amelia Press, Bandung.
Rangkuti, Freddy 2006. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Salusu, J., 2003. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi
Publik dan Organisasi Non-profit. PT Gramedia, Jakarta.
Sarman, Mukhtar 1998, Dimensi Kemiskinan, Agenda Pemikiran
Sajogyo. Pusat P3RYAE, Bogor.
______________, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial, Pustaka
FISIP UNLAM, Banjarmasin.
Sarman, Mukhtar & Sajogyo, 2000. Masalah Penanggulangan
Kemiskinan. Puspa Swara, Jakarta.
Siagian, Sondang, 2004. Manajemen Stratejik. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
______________, 2008. Administras Pembangunan, Konsep, Dimensi,
dan Strateginya. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
Sinambela, LP, 2008. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan
Implementasi, PT Bumi Aksara, Jakarta
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survei.
LP3ES, Jakarta.
Solichin Abdul Wahab, 2005. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi
ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
Subarsono, AG., 2008. Analisis Kebijakan Publik: Konsep Teori dan
Aplikasi. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sugiyono, 2002. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung.
48 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Suharto, Edi 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat:
Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjan Sosial. Refika Aditama, Bandung.
___________, 2006. Analisis Kebiiakan Publik: Panduan Praktis
Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta, Bandung.
Sumodiningrat, Gunawan 1998. Membangun Perekonomian Rakyat.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Suwarsono, Muhammad, 1994. Manajemen Stratejik Konsep dan
Kasus. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Tangkilisan, Hessel Nogi S,. 2008. Manajemen Publik. PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Tasrif, Muhammad 2006. Analisis Kebijakan Menggunakan Model
System Dynamics. Program Magister Studi Pembangunan ITB,
Bandung.
Tjokroamidjojo, Bintoro 1991. Pengantar Administrasi Pembangunan.
LP3ES, Jakarta
Winarno, Budi, 2008. Kebijakan Publik: Teori dan Proses. Media
Pressindo, Yogyakarta.
Wrihatnolo, RR. dan RN Dwidjowijoto, 2007. Manajemen
Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan untuk
Pemberdayaan Masyarakat. PT Elex Media Komputindo,
Jakarta.
Yunus, Muhammad, 2008. Bank Kaum Miskin: Kisah Yunus dan
Gramen Bank Memerangi Kemiskinan. Marjin Kiri, Depok.