EFEKTIFITAS FREEZE DRY RUMPUT LAUT SEBAGAI …repository.ub.ac.id/12578/1/Jessintya Palupi.pdf ·...
Transcript of EFEKTIFITAS FREEZE DRY RUMPUT LAUT SEBAGAI …repository.ub.ac.id/12578/1/Jessintya Palupi.pdf ·...
EFEKTIFITAS FREEZE DRY RUMPUT LAUT
SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NON SPESIFIK
DHC UDANG VANAME Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) YANG
DIINFEKSI WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV)
SKRIPSI
Oleh:
JESSINTYA PALUPI
NIM. 145080101111022
PROGAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
EFEKTIFITAS FREEZE DRY RUMPUT LAUT
SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NON SPESIFIK
DHC UDANG VANAME Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) DIINFEKSI
WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan
di Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya
Oleh:
JESSINTYA PALUPI
NIM. 145080101111022
PROGAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
SKRIPSI
iii
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : Efektifitas Freeze Dry Rumput Laut
Sebagai Imunostimulan Terhadap Respon
Imun Non Spesifik DHC Udang Vaname
Litopenaeus vannamei (Boone, 1931)
Diinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Nama Mahasiswa : Jessintya Palupi
NIM : 145080101111022
Progam Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING
Pembimbing 1 : Dr. Yuni Kilawati, S.Pi, M.Si
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
Dosen Penguji 1 : Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP.
Dosen Penguji 2 : Setya Widy Ayuning Permanasari, S.Pi, MP
Tanggal Ujian : 6 Juni 2018
iv
PERNYATAAN ORIGINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan sepanjang pengetahuan
saya juga, dibawah payung penelitian Dr. Yuni Kilawati, S.Pi, M.Si, tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali
yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
penjiplakan (plagiasi) maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Malang, Maret 2018
Jessintya Palupi
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Tidak lupa saya sebagai penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada:
1. Tuhan YME, yang telah memberikan berkat, karunia, kesehatan dan
kelancaran.
2. Papa Drs.Joko Susilo S.Pd, Mama Angela Marici Lies Setyawati, Adik
Maria Margareta Jolanda Alma Puspitasari dan Alm. Eyang Putri Sujati
beserta keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan doa.
3. Dr. Yuni Kilawati S.Pi, MP selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan masukan dan dorongan dalam penyusunan usulan skripsi ini.
4. Muchlis Zainudin Arif., A. Md, Ibu Iwin Zunairoh, A.Md, Ibu Reni Astuti,
S.TP, Bapak Wahyudi Arif dan Ibu Titin Yuniastutik, S.TP Laboran di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya serta BKIPM
Kelas I Juanda dan UPT PBAP Bangil yang telah membimbing dari awal
hingga akhir.
5. Ibu Nanik Retno Buwono, S.Pi, MP dan Ibu Ayu Widy Setya P., S.Pi, MP
selaku dosen penguji.
6. Pembimbing Sekolah Kreativitas Mahasiswa Ir. Sukandar MP, IPM,
Dr. Ir. Dewa Gede Raka Wiadnya MSc dan teman-teman (Mas Jefri, Mas
Naufal, Mas Dofir, Mbak Juni, Mbak Mia, Mas Farid, Wildan, Mbak Ita,
Romi, Andi, Irfan, Alfian, Zaki, Mbak Cilia, Mbak Okki, Billy, Mbak Ruli,
Vina, Diana, Yahya, Lutfi, Imanudin, Bayyan, Lilik, Vetty dan lain-lain),
7. Tim Asisten Ichtyology 2016, Tim Asisten Biologi Perikanan 2016, Tim
Asisten Produktivitas Perairan 2016, Tim Asisten Manajemen Kualitas Air
2017, dan Tim Asisten Dinamika Populasi 2017 sebagai tempat berproses.
vi
8. KMK ST. Petrus FPIK, KMKK FPIK, UAKKAT UB, Racana Brawijaya, SKB
2014, RKIM, SPV Raja Brawijaya 2016, Jangkar Brawijaya, Kementrian
Luar Negeri BEM FPIK 2016 (Mbak Auranggie, Mas Ergha dan lain-lain),
dan FORMABARA FPIK rekan perjuangan.
9. Tim Skripseaweed (Rosita, Shilvia, Siti dan Bram), Tim Penyemangat
(Mbak Ade, Mbak Tita, Febri), BJD, Jessin Porter’s (Yana, Acong, Fathur,
Hanif, Ghafari, Cengir dan Tangguh), Kos 77A (Mbak Veni, Mbak Dilla,
Mbak Mia, Mbak Hana, Mbak Melly dan Mbak Nita), Kost Putri Cah Ayu,
Tim PKM Jogja Squad dan Lab Sumberpasir squad, Pak Jamal, Pak
Andre, Pak Iman, Mas Syamsul, Ali, Pak Ateng, Mas Syamsul, Alhadi,
Mbak Neni, Mbak Uswatun, Dika, Mbak Defina, Mbak Puspita) yang selalu
menemani saat penelitian hingga menyelesaikan laporan skripsi.
10. Teman-teman MSP angkatan 2014 yang selalu bekerja sama dan saling
memberikan dukungan serta motivasi dalam kebersamaan.
Malang, Maret 2018
Penulis
vii
RINGKASAN
Jessintya Palupi. Efektifitas Freeze Dry Rumput Laut Sebagai Imunostimulan Terhadap Respon Imun Non Spesifik DHC Udang Vaname Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) Diinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) (Dibawah bimbingan Dr. Yuni Kilawati S.Pi, M.Si).
Kondisi perairan yang tercemar menyebabkan kondisi hewan air mengalami penurunan daya tahan sehingga mudah terserang penyakit. Penyakit viral WSSV yang secara masal menginfeksi L. vannamei menyebabkan kerugian financial petambak. Perlu suatu bahan alamiah yang berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh L. vannamei dalam menghadapi guncangan lingkungan dan serangan penyakit. Perlu adanya informasi tentang potensi bahan alam rumput laut sebagai imunostimulan bagi L. vannamei dalam rangka pencegahan dan penanganan penyebaran virus WSSV dengan kandungan antioksidan tertinggi. Hasil yang diperoleh diharapkan menjadi solusi yang paling efektif untuk menekan dan menghentikan virus WSSV yang menginfeksi L. vannamei. Tujuan dari penelitian ini mengetahui pengaruh pemberian beberapa freeze dry rumput laut sebagai imunostimulan terhadap respon imun non spesifik L. vannamei yang diamati melalui parameter DHC dan parameter kualitas air. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 - Maret 2018 di Pulau Poteran Madura, Jabon Sidoarjo, Materia Medika Batu Malang, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan LSIH. Materi yang digunakan adalah empat rumput laut yaitu Sargassum sp., Padina sp., Eucheuma sp. dan Gracillaria sp. yang ditambahkan pada pakan dengan dosis 10 g/kg pakan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen, dengan enam perlakuan kontrol positif (A), kontrol negatif (B), penambahan Sargassum sp. (C), Padina sp. (D), Eucheuma sp. (E) dan Gracillaria sp. (F). Selanjutnya data diolah menggunakan SPSS Rancangan Acak Lengkap Faktorial uji LSD Duncan. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan perlakuan freeze dry rumput laut Eucheuma sp. (E) dan Sargassum sp. (C) tersignifikan meningkatkan DHC L. vannamei yang terinfeksi WSSV, peningkatan hialin ini menangkal infeksi lebih baik sehingga peningkatan sel granul dan sel semi granul tersignifikan hanya pada perlakuan kontrol (-) dengan selang kepercayaan 95%. Kualitas air berdasarkan parameter fisika dan kimia pada semua perlakuan tidak berpengaruh secara signifikan. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai pengaplikasian freeze dry skala lapang agar langsung dapat diterapkan oleh petambak.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan YME karena berkat dan
karunia-Nya saya dapat menyelesaikan usulan skripsi ini dengan judul “Efektifitas
Freeze Dry Rumput Laut Sebagai Imunostimulan Terhadap Respon Imun Non
Spesifik DHC Udang Vaname Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) Diinfeksi
White Spot Syndrome Virus (WSSV)”. Usulan skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat untuk meraih gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya, Malang. Di bawah bimbingan: Dr. Yuni Kilawati S.Pi, MP
Penulis menyadari bahwa usulan skripsi ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan dalam penyusunan laporan skripsi
selanjutnya sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, Amin.
Malang, Maret 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. ii HALAMAN IDENTITAS TIM PENGUJI ................................................................ iii PERNYATAAN ORIGINALITAS .......................................................................... iv UCAPAN TERIMAKASIH ..................................................................................... v RINGKASAN ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix DAFTAR TABEL ................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xii 1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 4 1.3 Tujuan ........................................................................................................ 5 1.4 Hipotesis ..................................................................................................... 5 1.5 Kegunaan ................................................................................................... 5 1.6 Tempat dan Waktu. .................................................................................... 5
2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 7 2.1 Udang Vanname (L. vannamei) .................................................................. 7
2.1.1 Morfologi Udang Vanname (L. vannamei) .......................................... 9 2.1.2 Sistem Pertahanan Tubuh Udang Vanname (L. vannamei) ............. 10 2.1.3 Hemosit Udang Vanname (L. vannamei) ......................................... 12 2.1.4 Mekanisme Masuknya Bahan Aktif ke Dalam Jaringan Tubuh Udang
Vanname (L. vannamei) .................................................................. 13 2.2 White Spot Syndrome Virus (WSSV) ........................................................ 15 2.2.1 Morfologi dan Karakteristik WSSV ............................................................ 15 2.2.2 Infeksi dan Tanda Penyerangan WSSV (White Spot Syndrome Virus) ..... 16 2.3 Rumput Laut ............................................................................................. 18
2.3.1 Sargasum sp. .................................................................................. 19 2.3.2 Padina sp. ..................................................................................... 20 2.3.3 Eucheuma sp. ................................................................................. 22 2.3.4 Gracilaria sp. ................................................................................... 25
2.4 Ekstraksi Rumput Laut .............................................................................. 26 2.5 Freeze Dry ................................................................................................ 27 2.6 Pengaplikasian Penambahan Freeze Dry Rumput Laut pada Metode ...... 29 2.7 Imunostimulan .......................................................................................... 29 2.8 Rumput Laut Sebagai Imunostimulan ....................................................... 31 2.9. Differential Haemocyte Count (DHC) ........................................................ 31 2.10 Kualitas Air ............................................................................................... 33
2.10.1 Parameter Fisika ........................................................................... 34 2.10.2 Parameter Kimia ........................................................................... 35
x
3. METODE PENELITIAN .................................................................................. 38 3.1 Materi Penelitian ....................................................................................... 38 3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 38 3.3 Metode Pengambilan Data ....................................................................... 38 3.4 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 39
3.4.1 Data Primer ..................................................................................... 39 3.4.2 Data Sekunder ................................................................................ 39
3.5 Rancangan Penelitian ............................................................................... 40 3.6 Prosedur Penelitian .................................................................................. 42
3.6.1 Ekstraksi Rumput Laut ..................................................................... 42 3.6.2 Freeze Drying .................................................................................. 43 3.6.3 Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut pada Metode Pakan ........ 43 3.6.4 Persiapan Hewan Uji ....................................................................... 47 3.6.5 Persiapan Bak Percobaan ............................................................... 48 3.6.6 Penyediaan Larutan Inokulum WSSV (White Spot Syndrome Virus) 48 3.6.7 Uji Tantang Udang Vanname (L. vannamei) dengan WSSV ............ 49
3.7. Perubahan Tingkah Laku dan Gejala Klinis L. vannamei .......................... 51 3.8. Differential Haemocyte Count (DHC) ........................................................ 52 3.9 Kualitas Air ............................................................................................... 52
3.9.1 Parameter Fisika ............................................................................. 53 3.9.2 Parameter Kimia .............................................................................. 53
3.10 Analisa Data ............................................................................................. 56
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 57 4.1 Uji Proksimat ............................................................................................ 57 4.2 Hasil Uji Fitokimia Freeze Dry Rumput Laut.............................................. 58
4.2.1 Sargasum sp. .................................................................................. 59 4.2.2 Padina sp. ..................................................................................... 59 4.2.3 Eucheuma sp. ................................................................................. 59 4.2.4 Gracilaria sp .................................................................................... 60
4.3 Perubahan Tingkah Laku dan Gejala Klinis L. vannamei .......................... 60 4.4. Differential Haemocyte Count (DHC) ........................................................ 62 4.5 Kualitas Air ............................................................................................... 74
4.5.1 Parameter Fisika ............................................................................. 76 4.5.2 Parameter Kimia .............................................................................. 77
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 83 5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 83 5.2 Saran ...................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 84
LAMPIRAN ........................................................................................................ 93
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakteristik Tingkah Laku L. vannamei sebelum dan Setelah infeksi WSSV. 18
2. Rancangan Perlakuan ................................................................................... 41
3. Hasil Uji Proksimat Pakan .............................................................................. 58
4. Perubahan Morfologi dan Tingkah Laku dan Gejala Klinis L. vannamei ......... 60
5. Keterangan Karakteristik Tingkah Laku L. vannamei sebelum dan Setelah infeksi WSSV. ............................................................................................... 61
6.Rata-Rata Jumlah Sel Hialin ........................................................................... 64
7. Analize Between Subject Nilai Hialin ............................................................. 65
8. Homogeneous Subsets Nilai Hialin ................................................................ 66
9.Rata-Rata Jumlah Sel Granular ...................................................................... 67
10. Analize Between Subject Nilai Granul ......................................................... 68
11. Homogeneous Subsets Nilai Granul ............................................................ 69
12.Rata-Rata Jumlah Sel Hialin ......................................................................... 70
13. Analize Between Subject Nilai Granul ......................................................... 72
14. Homogeneous Subsets Nilai Semi Granul ................................................... 72
15. Hasil Rata-Rata Pengukuran Kualitas Air Sebelum Uji Tantang WSSV ....... 75
16. Hasil Rata-Rata Pengukuran Kualitas Air Setelah Uji Tantang WSSV ......... 75
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kondisi normal L. vannamei (Sakthivel et al., 2014) ......................................... 8
2. (A) Eksternal dan (B) Internal Anatomi Submarga Litopenaeus ....................... 9
3. Diagram alur sederhana sistem pertahanan krustasea .................................. 12
4. (A) Morfologi WSSV dan (B) WSSV dengan Mikroskop Elektron Perbesaran 250 nm (Bonilla et al., 2008). ......................................................................... 16
5. Sargasum sp. (Widyartini et al., 2017). .......................................................... 19
6. Padina sp. (Geraldino et al., 2005) ............................................................... 21
7. Eucheuma sp. (Machmud et al., 2014)........................................................... 23
8. Gracillaria sp. (Machmud et al., 2014). .......................................................... 25
9. Mekanisme Kerja Imunostimulan (Saraswati et al., 2013) .............................. 30
10. Hemosit L. vannamei ( H: Hialin, G, Granul dan SG: Semi Granul)). ............ 33
11. Rancangan Penelitian dengan Metode RAL (Data Primer, 2018) ................. 42
12. Pakan Merk Irawan (CP Prima, 2009). ......................................................... 58
13. Hasil Freeze Dry rumput laut (A) Sargassum sp. (B) Padina sp. (C) Gracillaria sp. (D) Eucheuma sp. (Data Primer, 2018). .................................. 58
14. Histogram rerata rata-rata Hialin L. vannamei yang diaplikasikan penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data Primer, 2018). ................................................ 64
15. Sel Hialin (A) data primer (2018), dan data sekunder .................................. 65
16. Histogram rerata rata-rata Granul L. vannamei yang diaplikasikan penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data Primer, 2018). ................................................ 68
17. Sel Granul (A) data primer (2018), dan data sekunder. ................................ 68
18. Histogram rerata rata-rata Semi Granul L. vannamei yang diaplikasikan penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data Primer, 2018). ................................................ 71
19. Sel Semi Granul (A) data primer (2018), dan data sekunder ........................ 71
xiii
20. Histogram rerata parameter fisika suhu L. vannamei dengan perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018). ............................................................. 76
21. Histogram rerata parameter kimia pH L. vannamei dengan perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018). ............................................................. 78
22. Histogram rerata parameter kimia DO L. vannamei dengan perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan dengan dosis berbeda pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018). ................ 79
23. Histogram rerata parameter kimia salinitas L. vannamei dengan perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018). ............................................................. 80
24. Histogram rerata parameter kimia amonia L. vannamei dengan perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018). ............................................................. 82
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Flow Chart Penelitian ..................................................................................... 93
2. Alat dan Bahan dalam Penelitian ................................................................... 94
3. Uji Fitokimia menggunakan Metode GC-MS .................................................. 95
4. Prosedur Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut Imunostimulan ................ 99
5. Lembar Hasil Uji Proksimat Pakan (Sudarmaji, 1990). ................................. 100
6. Hasil Analisis Ragam Terhadap Sel Hialin (H) (%) yang Diberi Perlakuan Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut pada Campuran Pakan L. vannamei Terhadap Respon Imun Sebelum dan Setelah Diinfeksi WSSV .................. 101
7. Hasil Analisis Ragam Terhadap Sel Granular (G) (%) yang Diberi Perlakuan Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut pada Campuran Pakan L. vannamei Terhadap Respon Imun Sebelum dan Setelah Diinfeksi WSSV .................. 106
8. Hasil Analisis Ragam Terhadap Sel Semi Granular (SG) (%) yang Diberi Perlakuan Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut pada Campuran Pakan L. vannamei Terhadap Respon Imun .......................................................... 111
9. Tabulasi Hasil Analisis Ragam Kualitas Air .................................................. 116
10. Skema Prosedur Penyediaan Virus WSSV ................................................ 116
11. Skema Prosedur Pengenceran Larutan Virus yang Akan Diinfeksi ............ 137
12. Lembar Hasil Uji PCR ................................................................................ 138
13. Peta Lokasi Pengambilan Rumput Laut Pulau Poteran Madura dan Jabon, Sidoarjo (Data primer, 2018). ...................................................................... 143
14. Dokumentasi Kegiatan Penelitian .............................................................. 145
15. Glosarium .................................................................................................. 148
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Riwayat produksi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dilihat dari data
statistik ekspor perikanan telah mengalami peningkatan yaitu pada tahun 2004
sebesar US$ 773.532.632, kemudian tahun 2005 sebesar US$ 806.519.180,
tahun 2006 sebesar US$ 943.996.879, tahun 2007 sebesar US$ 824.434.585,
terhitung rata-rata pertahun 1.4% atau US$ 12.181.213 (DKP, 2009). LIPI (2011),
menyatakan L. vannamei memiliki keunggulan dari udang yang lain kandungan
protein pada pakan yang dibutuhkan hanya sekitar 35% lebih sedikit bila
dibandingkan jenis lain, sehingga dapat menekan harga pasar dan biaya
produksi. Keunggulan lain L. vannamei dianggap tahan terhadap serangan
penyakit. Namun seiring waktu timbul keresahan pada pembudidaya L. vannamei
terkait penanganan infeksi WSSV (White Spot Syndrome Virus).
Amrillah et al. (2015), menyatakan WSSV adalah penyakit yang secara signifikan
menyebabkan tingginya mortalitas dan kerusakan parah pada budidaya udang.
Selain itu menurut Fajri et al. (2015), prosentasi mortalitas yang mencapai 100%
tentunya mengakibatkan petani tambak udang mengalami kerugian yang cukup
besar.
Penelitian ini berfokus pada penyakit viral WSSV yang secara masal
menginfeksi L. vannamei menyebabkan kerugian financial petambak. Perlu suatu
bahan alamiah yang mempunyai fungsi memperbaiki kondisi lingkungan dan
diperuntukkan sebagai imunostimulan yang dibutuhkan oleh organ vital udang.
Dibutuhkan suatu informasi yang akurat mengenai penanganan penyebaran
virus WSSV sehingga didapatkan solusi paling efektif untuk menekan dan
menghentikan penyebarannya pada media hidup L. vannamei. Ditawarkan solusi
oleh Wahjuningrum et al. (2006), adanya penanganan yang tepat perihal kualitas
2
dan kelangsungan hidup yang menjadi masalah sehingga membatasi
produktivitas budidaya sehingga L. vannamei mudah terserang penyakit.
Efektifitas upaya pengendalian menggunakan bahan kimia secara berlebih dapat
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan perairan, kesehatan konsumen
dan menimbulkan resistensi patogen. Disisi lain muncul solusi imunostimulan
yang paling tepat dari vaksin, antibiotik dan disinfektan untuk meningkatkan daya
tahan udang. Dibutuhkannya bioaktif, dengan adanya antioksidan alami (seperti
senyawa fenolik) maupun sintesis dapat menghambat oksidasi lipid, mencegah
kerusakan dan perubahan komponen organik. Komponen antioksidan dapat
ditemukan salah satunya melimpah pada rumput laut yang dengan mudah
ditemui di pesisir Jawa Timur, diantaranya: Sargassum sp. (alga coklat),
Padina sp. (alga coklat), Cottoni sp. (alga merah) dan Gracillaria sp. (alga
merah) yang ada di Pulau Poteran Madura. Menurut Pakidi dan Suwoyo (2016),
beberapa rumput laut menghasilkan metabolit sekunder yang mempunyai
aktivitas antioksidan. Metabolit sekunder ini dapat menunda atau memperkecil
laju reaksi oksidasi pada bahan yang mudah teroksidasi. Oleh karena itu perlu
diketahui rumput laut yang menghasikan antioksidan tertinggi. Menurut Rahma et
al. (2014), penyebaran WSSV sendiri dapat secara vertikal melalui induk
menularkan ke larvanya dan secara horizontal melalui air (waterborne
transmission), kotoran udang yang terinfeksi, kanibalisme, makanan alami/ segar
jenis krustasea dan hama tambak jenis krustasea. Pernyataan ini mengerucut
pada sistem budidaya dimana WSSV dapat ditransmisikan melalui air yang
terkontaminasi.
Pentingnya imunostimulan haruslah ditekankan karena berhubungan
langsung dengan sel sistem imun yang membuat sel tersebut lebih aktif yang
ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh menguntungkan
pada L. vannamei dengan memperbaiki keseimbangan mikroba ususnya.
3
Sehingga hal ini menjamin perbaikan dalam penggunaan pakan atau
memperbaiki nutrisinya, memperbaiki respon inang terhadap penyakit atau
memperbaiki kualitas lingkungannya.
Kawasan budidaya penting diperhatikan, kondisi air budidaya yang buruk
memicu pertumbuhan organisme penyebab penyakit yang menginfeksi
L. vannamei perlakuan preventif perlu dilakukan melalui monitoring kualitas air
secara intensif, periodik dan kontinu. Hal ini didukung oleh Peraturan Menteri
Kelautan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016
parameter kualitas air yang diamati parameter fisika (suhu > 27 0C) dan kimia
(pH 7,5-8,5, Dissolved Oxygen ≥ 4 ppm, salinitas 26–32 ppt dan amonia ≤ 0,1
ppm) harus tetap pada batas toleransi. Timbulnya infeksi penyakit pada
L. vannamei merupakan ancaman yang sangat mempengaruhi produksi
budidaya. Berdasarkan penelitian Amrillah et al. (2015), hal ini dapat
teridentifikasi melalui gejala-gejala yang ditimbulkan, akibat interaksi dari ketiga
faktor yaitu lingkungan, agen penyakit dan inang. Peninjauan WWF Indonesia
(2014), menyatakan perlu dilakukan 5 cara yang harus perhatikan dalam
keberlanjutan produksi L. vannamei, yaitu: 1) daya dukung tambak dan
lingkungannya, 2) kualitas benur yang baik, manajemen tanah tambak dan
kualitas air, 3) kualitas dan manajemen pakan 4) manajemen kesehatan udang
dan pengendalian penyakit, 5) serta pengolahan air buangan tambak. Disisi lain
komoditas ini masih dipertahankan karena masih menduduki puncak primadona
perdagangan ekspor dunia (Darwanti et al., 2016). Keseluruhan pemaparan
tersebut disinergikan dalam mewujudkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016 tentang Pedoman
Umum Pembesaran Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vanname
(L. vannamei).
4
1.2 Perumusan Masalah
Kualitas lingkungan mempengaruhi kondisi L. vannamei, bila kualitas air
lingkungan kurang baik dan pada stadia larva L. vannamei sudah terjangkit
penyakit. Biomanipulasi Manajemen kualitas air dengan menggunakan
parameter fisika dan kimia sangatlah penting dilakukan dalam masa
pemeliharaan agar tetap pada kondisi optimal. Dimana pada penelitian ini yang
berfokus pada infeksi WSSV. Pada penelitian terdahulu bahwa kualitas benih
dapat ditingkatkan antara lain melalui rekayasa genetik, aplikasi probiotik,
pengelolaan lingkungan dan perbaikan nutrisi (WWF, 2014). Salah satu cara
menghindari pemakaian zat kimia yang bersifat resisten patogen dan merusak
lingkungan dewasa ini perlu digunakannya bahan yang bersifat alamiah sebagai
solusi yang paling tepat. Suatu bahan alamiah yang mempunyai fungsi
memperbaiki kondisi lingkungan dan diperuntukan sebagai imunostimulan yang
dibutuhkan oleh organ vital L. vannamei (Jasmanindar, 2011).
Bahan alamiah yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah
Sargassum sp., Padina sp., Cottoni sp. dan Gracillaria. Perlu adanya
pengamatan dan analisa Differential Hemocyte Count (DHC).
Dari uraian di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh pemberian beberapa Freeze Dry rumput laut sebagai
imunostimulan terhadap respon imun non spesifik L. vannamei yang
diamati melalui parameter DHC?
2. Bagaimana pengaruh pemberian beberapa Freeze Dry rumput laut yang
diamati melalui beberapa parameter kualitas air?
5
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh pemberian beberapa Freeze Dry rumput laut
sebagai imunostimulan terhadap respon imun non spesifik L. vannamei
yang diamati melalui parameter DHC.
2. Mengetahui pengaruh pemberian beberapa Freeze Dry rumput laut yang
diamati melalui beberapa parameter kualitas air.
1.4 Hipotesis
H0 : Diduga pengaplikasian imunostimulan berupa Freeze Dry rumput laut
tidak berpengaruh terhadap respon imun L. vannamei dan ketahanan
terhadap WSSV.
H1 : Diduga pengaplikasian imunostimulan berupa Freeze Dry rumput laut
berpengaruh terhadap respon imun L. vannamei dan ketahanan terhadap
WSSV.
1.5 Kegunaan
Diharapkan penelitian ini dapat mengevaluasi efektifitas Freeze Dry rumput
laut sebagai imunostimulan untuk pencegahan infeksi WSSV pada
L. vannamei.
1.6 Tempat dan Waktu.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2017 sampai Maret
2018. Dilaksanakan di beberapa tempat:
1. Pulau Poteran Madura untuk mendapatkan Sargassum sp., Padina sp dan
Eucheuma sp.
6
2. Jabon Sidorajo tempat pengambilan rumput laut Gracillaria verucossa.
3. Materia Medika Batu Malang untuk penjemuran rumput laut dan
penggilingan.
4. Laboratorium Budidaya Divisi Reproduksi Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya untuk melakukan maserasi rumput laut.
5. Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya untuk melakukan evaporasi.
6. Laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Brawijaya untuk melakukan evaporasi
7. Laboratorium Kimia Organik Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang untuk melakukan freeze drying.
8. Laboratorium Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian UB untuk uji
proksimat pakan.
9. Tambak Jabon Sidoarjo untuk mengambil L. vanname
10. Unit Perikanan Budidaya Air Tawar Sumberpasir Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya untuk aklimatisasi, RAL L. vanname
dan analisis kualitas air.
11. Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Budidaya Air Payau Bangil untuk
mendapatkan L. vannamei terinfeksi WSSV dan PCR.
12. Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan keamanan Hasil Perikanan
Kelas I Surabaya I Juanda untuk mendapatkan informasi persebaran
WSSV dan PCR.
13. Laboratorium Budidaya Divisi Parasit dan Penyakit Ikan untuk pembuatan
supernatan WSSV.
14. Laboratorium Sentral Ilmu dan Teknologi Pangan Laboratorium Sentral
Ilmu Hayati Universitas Brawijaya untuk uji DHC (Differential Hemocyte
Count).
7
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang Vanname (L. vannamei)
L. vannamei berasal dari daerah subtropis pantai barat Amerika, mulai dari
Teluk Califarnia di Mexico bagian utara sampai pantai barat Guatemala, El
Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika
Selatan. L. vannamei resmi diizinkan masuk Indonesia melalui SK Menteri
Kelautan dan Perikanan RI. No. 41/ 2001, dimana produksi udang windu
menurun sejak 1996 akibat serangan penyakit dan penurunan kualitas
lingkungan. Pemerintah kemudian melakukan kajian komoditas udang selain
udang windu di Indonesia (WWF, 2014).
L. vannamei berasal dari perairan Amerika dan mulai masuk ke Indonesia
pada tahun 2001. Sampai saat ini komoditas L. vannamei sudah menyebar
keseluruh Indonesia dan telah berhasil dikembangkan oleh para pembudidaya.
Hal di atas didukung oleh regulasi dan progam kerja pemerintah terkait dengan
didirikannya hatchery (balai benih) L. vannamei diberbagai daerah untuk
memenuhi permintaan pasar. Dengan adanya hatchery L. vannamei dapat
membantu kebutuhan para pembudidaya tambak karena ketersediaan benur dari
alam sangat terbatas (Yustianti et al., 2013). Morfologi L. vannamei disajikan
pada Gambar 1. L. vannamei diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Series : Eumalacrostaca
Superorder : Eucarida
Ordo : Decapoda
8
Subordi : Dendrobrachiata
Infrabangsa : Penaidae
Infraorder : Penaeoidea
Suku : Penaidae
Marga : Paneus
Submarga : Litopenaeus
Jenis : Litopenaeus vannamei
(FAO, 2011).
Gambar 1. Kondisi normal L. vannamei (Sakthivel et al., 2014)
L. vannamei masuk ke dalam bangsa Decapoda karena sama halnya
seperti lobster, kepiting dan berbagai jenis udang lain, yaitu mempunyai karapas
yang berkembang sehingga menutup kepala dan dada menjadi satu atau disebut
cephalothorax. Sedangkan tergolong anggota suku Penaidae, dikarenakan
mempunyai karakter menetaskan telur di luar tubuhnya, setelah telur dikeluarkan
oleh udang betina dan mempunyai tanduk atau rostrum. Genus Penaeus
bercirikan terdapat gigi pada bagian atas dan bawah rostrum. Rostrum
memanjang dan memiliki 2-4 gigi pada tepi rostrum bagan ventral dan 8-9 gigi
pada rostrum bagian dorsal (FAO, 2011).
9
2.1.1 Morfologi Udang Vanname (L. vannamei)
Udang ini memiliki tubuh yang dilapisi kitin berwarna kekuning-kuningan
dengan berwarna putih. Tubuhnya terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
cephalothorax terdiri atas kepala dan dada serta bagian abdomen, bagian ini
dilindungi oleh kitin tebal yang disebut karapas (carapace). Selain itu bagian
tubuh yang kedua adalah rostrum, bagian ini bergigi dengan 9 gerigi pada bagian
atas dan 2 gerigi pada bagian bawah (Amri dan Kanna, 2008). Terdiri dari
anatomi eksternal (1) Chepalothorax, (2) Abdomen, (3) Antennules, (4) Antenna,
(5) Antenna scale, (6) Rostrum (horn), (7) Eye, (8) Mouthparts, (9) Carapace,
(10) Walking legs, (11) Abdominal segment, (12) Swimmerets, (13) Sixth
abdominal segment, (14) Telson, (15) Uropod dan (16) Gills dan anatomi internal
eksternal (1) Esophagus (2) Stomatch, (3) Hemocoel, (4) Digestive gland, (5)
Hearth, (6) Rintestine dan (7) Abdominal muscle. Berikut anatomi L. vannamei
ditampilkan pada Gambar 2.
(A) (B)
Gambar 2. (A) Eksternal dan (B) Internal Anatomi Submarga Litopenaeus (Johnson, 1995).
L. vannamei merupakan jenis introduksi dari Amerika Latin, yang tersebar
meliputi Pantai Pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Selatan Amerika. Namun
sekarang telah menjadi produk andalan di negara-negara Pasifik (Cheng et al.,
10
2005). Di Indonesia keberadaan jenis ini telah dijadikan produk unggulan sektor
perikanan sejak tahun 2001. Di dunia L. vannamei mempunyai berbagai nama
yaitu Pasific white shrimp, West coast white shrimp, Penaeus vannamei,
Camaron blanci Langostino, White leg shrimp, Crevette pattes blanches,
Camaron pati blanco.
Bagian tubuh L. vannamei terdiri atas kepala dan perut (abdomen).
Kepalanya dilengkapi oleh antenula, antenna, mandibula dan sepasang maxilla.
Pada kepala terdapat 5 pasang kaki jalan (periopod), yang dilengkapi 2 pasang
maxillae dan 3 pasang maxilliped. Sedangkan pada perut terdiri atas 6 ruas dan
5 pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropods yang menyerupai kipas
bersama-sama telson, yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan renang
(Elovaraa, 2001). Adapun bagian tubuh L. vannamei yang behubungan dengan
imunitas menurut Alifudin (2002), berupa jaringan limfoid menyatu dengan
jaringan mieloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid (produksi
jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik selular
maupun humoral. Organ limfoid L. vannamei disebut sebagai organ oka, yang
mirip dengan sel dentritik retikulum pada folikel mamalia. Organ oka ini terdiri dari
dua lobus, terletak di dorso-anterior dan posterior; secara histologis, anastomosa
tubuh organ limfoid mengandung massa basofilik. Sel hemosit yang identik
dengan leukosit vertebrata adalah granulosit dan hialosit. Granula sekretori pada
hemosit mengandung phenoloksidase (PO), prophenoloksidase (proPO) dan
serin protease yang berperan dalam respon humoral
2.1.2 Sistem Pertahanan Tubuh Udang Vanname (L. vannamei)
L. vannamei merupakan hewan arthropoda yang memiliki eksoskeleton
yang terdiri atas kitin dan merupakan perlindungan terhadap berbagai jenis
11
bahaya. Eksoskeleton adalah pertahanan tubuh pertama L. vannamei dalam
mencegah infeksi penyakit melalui lendir yang dihasilkan oleh sel-sel epithel
terluar. Apabila eksoskeleton ini gagal menangkal patogen yang masuk dalam
tubuh, maka selanjutnya mengandalkan pertahanan internal dalam merespon
infeksi tersebut melalui respon seluler dan humoral (Saraswati et al., 2013).
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Sedangkan
imun merupakan gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap infeksi. Resistensi dapat dilihat dari kelangsungan hidup
maupun respon imun yang diberikan berupa reaksi yang dikoordinasi sel-sel,
molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya (Baratawidjaja, 2006).
Skema mekanisme bagaimana faktor-faktor pada sistem pertahanan L. vannamei
berperan penting dalam respon terhadap partikel non self. Pada mekanisme
pertahanan L. vannamei terlihat bahwa hemosit yang bersirkulasi berperan
sangat penting tidak hanya secara langsung menghambat dan membunuh agen
infeksi tetapi juga melalui sintesis dan ekositosis sejumlah molekul bioaktif yang
aktif (Smith et al., 2003).
Berbeda dengan vertebrata, imunitas avertebrata tidak berdasarkan pada
imunoglonulin dan interaksi subpopulasi limfosit. Dalam hal ini tidak
memproduksi antibodi spesifik atau antibodi spesifik atau antibodi sangat sedikit
pada krustasea. Namun imunitas avertebrata efisien dan adanya interaksi
komponen selular dan humoral. Sejak dulu dikatakan bahwa imunitas avertebrata
dipengaruhi oleh interaksi sel fagositosis dengan patogen, bersamaan dengan
sejumlah faktor humoral seperti lisosim (Jasmanindar, 2009). Sistem pertahanan
krustasea disajikan pada Gambar 3.
12
Gambar 3. Diagram alur sederhana sistem pertahanan krustasea
(Smith et al., 2003).
2.1.3 Hemosit Udang Vanname (L. vannamei)
Hemosit disintesis oleh jaringan hematopoietic yang merupakan sepasang
epigastrik nodule. Produksi tersebut dilakukan untuk mencapai keadaan
homeostatis pasca introduksi imunostimulan. Jaringan tersebut terletak tepat
dibagian dorsal pada lambung bagian (anterior stomatch) merupakan tempat
sintesa haemocyanin. Bila imunostimulan dapat meningkatkan hemocyanin,
maka secara langsung akan terjadi pula peningkatan hemosit (Ekawati et at.,
2012).
Hemosit L. vannamei berperan penting pada awal dan memelihara respon
imun non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi)
merupakan sel compoten immunology yang tertua dan sangat konsisten. Untuk
mengaktifkan imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifitas dimana
untuk termasuk perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan
cenderung untuk terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif
13
berserat (crenelated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu)
yang digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna)
patogen (Jasmanindar, 2009).
Menurut Smith et al. (2003), peningkatan jumlah hemosit dapat dijadikan
sebagai salah satu parameter suatu zat atau senyawa mampu menstimulasi
sistem pertahanan non-spesifik L. vannamei. Hemosit memegang peranan
penting dalam respon seluler pertahanan tubuh. L. vannamei yang meliputi
fagositosis, enkapsulasi, melanisasi, cytotoksisitas dan komunikasi antar sel.
Berdasarkan ada tidaknya granula sitoplasma, hemosit dibagi menjadi 3 jenis
yaitu sel hyalin, sel semi granular dan sel granular. Peningkatan pertahanan
tubuh terhadap serangan penyakit tidak hanya dapat dilakukan dengan
pemberian pakan dengan komposisi nutrien yang seimbang melainkan dapat
juga disertai pemberian imunostimulan dalam pakan.
2.1.4 Mekanisme Masuknya Bahan Aktif ke Dalam Jaringan Tubuh Udang
Vanname (L. vannamei)
Menurut Jasmanindar (2009), proses pertama yang penting adalah
pengenalan mikroorganisme yang masuk tubuh L. vannamei yang dimediasi oleh
hemosit dan protein plasma. Pengenalan patogen melalui pola molekular,
dilakukan oleh beberapa protein pengenal yang disebut Pattern recognitation
Protein (PRPs). Protein ini mengenali karbohidrat dari komponen dinding sel
mikroorganisme, misalnya lipopolisakarida (LPS) atau peptidoglikan (PG) bakteri.
Hemosit udang berperan penting pada awal dan pemelihara respon imun
non spesifik. Fagosit hemosit (makrofage pada hewan tingkat tinggi) merupakan
sel kompoten immunology yang tertua dan sangat konsisten. Pengaktifan
imunologi, hemosit ini harus melewati keadaan aktifasi dimana termasuk
perubahan morfologi tertentu. Hemocyte yang tidak diaktifkan cenderung untuk
14
terlihat halus dan membulat, sementara hemocyte yang aktif berserat
(crenallated) dan may extrude pseudopods (mempunyai kaki semu) yang
digunakan untuk menangkap dan fagositosis (mencerna) patogen. Secara
singkat dikatakan bahwa hemosit melakukan reaksi inflammatory-type seperti
fagositosis, penggumpulan hemosit, menghasilkan reactive oxygen metabolites
dan melepaskan protein mikrobisidal (Smith et al., 2003). Imunostimulan
berhubungan langsung dengan sel sistem imun yang membuat sel tersebut lebih
aktif yang ditambahkan ke dalam pakan yang dapat memberikan pengaruh
menguntungkan bagi L. vannamei dengan memperbaiki keseimbangan mikroba
ususnya. Dengan demikian sistem imun seluler terdiri dari Hemosit dan fixed
phagocytes (sel yang tidak bergerak yang tersebar pada insang, jantung dan
jaringan pengikat) yang memberikan pengaruh menguntungkan pada inang,
menjamin perbaikan dalam penggunaan pakan atau memperbaiki nustrisinya,
memperbaiki respon inang terhadap penyakit atau memperbaiki kualitas
lingkungannya.
Di alam udang penaeid bersifat karnivor yang memangsa krustase kecil,
ampipoda, policaeta. Di tambak, udang vaname makan makanan tambahan
atau detritus. Udang vaname bersifat nokturnal. Udang muda tetap
membenamkan diri dalam substrat selama siang hari dan tidak makan atau
tidak mencari makanan. Tingkah laku makan ini dapat diubah dengan
pemberian pakan ke dalam tambak. Hasil penelitian di Ocean Institute Honolulu
menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan beberapa kali sehari tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan udang yang hanya diberi pakan sekali dalam
satu hari (Manoppo, 2011).
15
2.2 White Spot Syndrome Virus (WSSV)
White Spot Syndrome Virus atau virus yang sangat mematikan dan
menular dengan cepat, ditandai dengan bitik putih pada L. vannamei (WWF,
2014). WSSV merupakan virus yang mempunyai bentuk batang atau baccil
(bacciliform) dengan ukuran diameter 83 nm dengan panjang tubuh 275 nm,
dengan menggunakan mikroskop elektron virus ini memiliki inti sel yang
berwarna kehitaman dengan tebal lapisan luar sel 10 nm dan lapisan dalam sel 5
nm. (Lighner, 1996).
Menurut Rahma et al. (2014), white spot merupakan penyakit yang paling
banyak menimbulkan kerugian secara ekonomi, diperkirakan lebih dari 300 juta
dollar AS per tahun. Penularan WSSV sangat cepat dan menyebabkan kematian
100% dalam waktu 3-10 hari sejak timbul gejala klinis. Virus ini dapat
menginfeksi L. vannamei pada post larva (PL) sampai ukuran 40 g. Penyebaran
WSSV dapat secara vertikal melalui induk menularkan ke larvanya dan secara
horizontal melalui air (waterborne transmission), kotoran udang yang terinfeksi,
kanibalisme, makanan alami/ segar jenis krustasea dan limbah tambak
krustasea. Dalam sistem budidaya, WSSV dapat ditransmisikan melalui air yang
terkontaminan.
2.2.1 Morfologi dan Karakteristik WSSV
Menurut Lightner (1996), WSSV merupakan virus yang mempunyai bentuk
batang atau baccil (bacciliform) dengan ukuran diameter 83 nm dengan panjang
tubuh 275 nm. Dengan menggunakan mikroskop elektron virus ini memiliki inti
sel yang berwarna kehitaman dengan tebal lapisan luar sel 10 nm dan lapisan
dalam sel 5 nm. Dengan perwarna hematoxylin dan eosin, intranuklear hipertrofi
16
inti sel pada sel-sel epitel kutikula dan jarngan konektif terlihat eosinofilik
permanen atau hampir basofilik. Badan oklusi tidak ada.
Pada fase awal perkembangan badan inklusi terlihat eosinofilik,
sentronuklear. Pembengkakan pada bagian nukleus menyebabkan terjadinya
perkembangan dan pertumbuhan virion pada bagian nukleus. Pada
perkembangan berikutnya, badan inklusi berkembang menjadi lebih basofilik
pada penampilannya disediakan histologis yang diamati (Gambar 4).
(A) (B)
Gambar 4. (A) Morfologi WSSV dan (B) WSSV dengan Mikroskop Elektron Perbesaran 250 nm (Bonilla et al., 2008).
White Spot Syndrome Virus berbentuk batang, terbungkus dalam sampul
tidak berbadan oklusi, eliptik dan nukleokapsidnya berbentuk silindris yang
memiliki cincin-cincin yang melingkar serta memiliki badan inklusi yang
intranukleas. WSSV terdiri dari DNA double strand DNA tersebut panjangnya
kira-kira 190-200 kilo bases (Kilawati dan Maimunah, 2014). Komponen
penyusun protein virus terdiri dari 3 jenis protein dan protein tersebut mempunyai
molekul-molekul yang memiliki berat masing-masing 19, 23,5 dan 27,5 kDA.
Ukuran dari virion virus WSSV bervariasi (Wang et al., 2014).
2.2.2 Infeksi dan Tanda Penyerangan WSSV (White Spot Syndrome Virus)
Penyebaran penyakit WSSV diawali oleh penularan partikel WSSV dengan
cara mengikat sel rentan untuk memanfaatkan protein bagian luar dari sel. Pada
Nucleocapsid Envelope
Tail-like appendage
17
inti sel virus melepaskan genom, kemudian genom WSSV mulai menggandakan
diri. Pada sitoplasma, genom WSSV melakukan regenerasi dengan cara
membentuk membran yang terdiri dari materi gelembung elektron berbentuk
cincin. Gelembung tersebut ditempatkan pada inti sel yang rentan, kemudian
menyebar pada sitoplasma sehingga menyebabkan membran terganggu
(Dananjaya, 2013).
Serangan WSSV dapat menyebabkan L. vannamei menjadi lemah dan
gejala klinis yang nampak antara lain usus kosong, tubuh pucat dan kemerah-
merahan serta munculnya bercak putih berdiameter 0,5-2 mm pada bagian
cephalotorax sampai menyebar keseluruh tubuh. Virus ini biasanya menyerang
L. vannamei pada tahap pembesaran yaitu pada umur 1-2 bulan dan virus dapat
menyebar ke seluruh tambak L. vannamei dalam waktu 2 hari dan dapat
menyebabkan kematian 70% hingga 100% (Pranawaty et al., 2012).
Organ target WSSV adalah ephitelium kutikula dan jaringan ikat pada
insang, sel epithelia sub kutikular, limfoid, kelenjar antennal dan hemolim. Tetapi
infeksi WSSV jarang terjadi pada ephitelium kelenjar antennal, sel sarung organ
limfoid, simpul syaraf dan hepatopankreas. Bintik putih timbul pada bagian dalam
karapas saat akhir fase infeksi. Diameter bintik putih berkisar antara 0,5-2 dan
disebabkan oleh deposit garam kalsium yang abnormal pada epidermis kutikula
(Lightner, 1996). Linear dengan pendapat Wang et al. (1998), terdapat 16 organ
target WSSV yaitu: pleopod, insang, perut, otot abdominal, hemolim, usus, hati,
periopod, organ limfoid, epidermis, organ saraf, hepatopankreas, testis, ovari,
spermatophorus dan tangkai mata.
Menurut Supriyatna (2004), WSSV dapat menginfeksi berbagai krustasea,
dari udang panaeid, kepiting laut dan payau sampai udang air tawar. WSSV
dapat menginfeksi pada stadia post larva (PL) sampai L. vannamei berukuran 40
gram. WSSV dapat menyebabkan kematian L. vannamei hingga 100% selama 3-
18
10 hari setelah timbulnya gejala klinis. Gejala tersebut berupa terjadinya
penurunan konsumsi pakan, lemah, kutikula lepas dan terjadi pelunturan warna
(diskolorisasi) pada hepatopankreas dari warna merah muda hingga menjadi
cokelat kemerahan, anoreksia, lethargi, warna kemerahan pada abdomen dan
bintik putih. Karakteristik tingkah lau dan morfologi L. vannamei yang terinfeksi
WSSV dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Tingkah Laku L. vannamei sebelum dan Setelah infeksi
WSSV.
No. Kriteria L. vannamei
Sehat Terinfeksi WSSV
1. Aktivitas Sering di bawah (bentik) Sering di permukaan 2. Gerakan Aktif Pasif, lathergi (lemah) 3. Respon Makan Normal, usus penuh Nafsu makan menurun 4. Warna Badan Biru/ hijau normal Kemerahan, karapas
berbintik putih 5. Hepatopankreas Coklat Pucat
Sumber: Wang et al. (2013)
Pemeriksaan L. vannamei bertujuan untuk menghitung prevalensi dan
tingkat keganasan WSSV pada L. vannamei uji. Penularan atau penyebaran
penyakit WSSV dapat disebabkan oleh adanya organisme carrier, yaitu
organisme pembawa penyakit yang dapat menularkan penyakit pada organisme
lainnya, tetapi organisme carrier tersebut tidak menunjukan gejala klinis
penyakitnya. Penularan penyakit horizontal pada L. vannamei melalui organisme
carrier seperti rebon, udang putih, kepiting dan L. vannamei itu sendiri (Apriliza,
2010).
2.3 Rumput Laut
Rumput laut merupakan alga multiseluler yang mengandung substansi
yang aktif secara imunologi (Ridlo dan Pramesti, 2009). Pada penelitian ini
adapun rumput laut yang digunakan sebagai berikut:
19
2.3.1 Sargasum sp.
Klasifikasi tumbuhan Sargassum sp. menurut Anggadiredja et al. (2006),
adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Phaeophyta
Class : Phaeophyceae
Ordo : Fucales
Family : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Species : Sargassum sp.
Gambar 5. Sargasum sp. (Widyartini et al., 2017).
Menurut Izaati (2007), Sargassum sp. adalah salah satu kelompok dari
alga coklat (Phaeophyta). Sargassum sp. merupakan alga yang memiliki bentuk
thallus silindris atau gepeng dengan warna thallus coklat, bentuk daun melebar,
lonjong, seperti pedang dengan percabangan yang rimbun dan juga memiliki
gelembung berisi udara yang disebut dengan blader. Alga ini biasanya melekat
dan tumbuh diatas benda keras seperti batu karang yang telah mati, namun tidak
jarang juga ditemui terapung terbawa air.
Ciri-ciri yang terdapat pada marga ini menurut Jahili (2015), adalah :
1. Bentuk thallus umumnya silindris atau gepeng.
20
2. Cabangnya rimbun menyerupai pohon didarat.
3. Mempunyai gelembung udara yang umumnya soliter.
4. Panjangnya mencapai 7 meter.
5. Warna thallus umumnya coklat Sargassum.sp tersebar luas di Indonesia,
tumbuh diperairan yang terlindung maupun yang berombak besar pada
habitat batu
6. Zat yang dapat diekstraksi dari alga ini berupa alginat yaitu suatu garam
dari asam alginik yang mengandung ion sodium, kalsium, dan barium
2.3.2 Padina sp.
Padina sp. termasuk kedalam rumput laut yang memiki ukuran besar dan
mudah dilihat dengan mata biasa, bentuknya seperti kipas, dalam
perkembangbiakannya bagian talus sering terkoyak ada dalam bentuk cluster.
Padina sp. mempunyai tubuh buah yang terdiri dari hold-fast (seperti akar),
stipe (seperti batang), blade (seperti daun) (Haryani et al., 2010). Padina sp.
disajikan pada Gambar 5. Menurut Payri (2007), Padina sp. diklasifikasikan
sebagai berikut:
Phylum : Cavalier-Smith, 1995
Sous Phylum : Phaeista Cavalier-Smith, 1995
Infra-Phylum : Limnista Cavalier-Smith, 1995
Super-Classis : Fucistia Cavalier-Smith, 1995
Classis : Pheophyceae Kjellman, 1891
Ordo : Dictyotaceae Bory, 1828
Familia : Dictyotales Bory, 1828
Tribu : Zonarieae
Genus : Padina Adanson, 1763
Species : Padina sp. Hauck, 1887
21
Gambar 6. Padina sp. (Geraldino et al., 2005)
Padina sp. mempunyai talus berbentuk lembaran pipih seperti kipas
berwarna coklat, terdiri dari epidermis dan sel parenkim (Fitrya, 2008). Padina sp.
berpotensi sebagai antioksidan alami dan mempunyai kandungan senyawa aktif
di dalamnya sebagai flavonoid, alkaloid, tanin, triterpenoid, saponin, fenolat dan
pigmen seperti korofil a, klorofil c, karotenoid, fukosantin, fukoxantol dan β-
karonten (Hidayati et al., 2017). Rumput laut coklat juga diketahui mengandung
senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenolik
yang memiliki gugus kromofor. Gugus kromofor tersebut menyebabkan
kemampuan untuk menyerap gelombang sinar UV. Jenis rumput laut coklat yang
potensial untuk dimanfaatkan salah satunya adalah Padina sp. (Maharany et
al., 2017).
Bentuk jaringan Padina sp. seperti kipas, membentuk segmen-segmen
lebaran tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan perkapuran di
bagian permukaan daun. Warna coklat kekuning-kuningan atau kadang–kadang
memutih karena terdapat perkapuran. Holdfast berbentuk cakram kecil
berserabut. Bagian atas lobus agal melebar dengan pinggir rata dan pada bagian
puncak terdapat lekukan-lekukan yang pada ujungnya terdiri dari dua lapisan sel.
Dalam Padina sp. , perbedaan bentuk lobus, garis rambut radia; ketebalan
lembaran thallus dan kuantitas kalsifikasi (perkapuran) dijadikan identitas
22
perbedaan jenisnya. Habitat alga ini menempel substrat berbatu pada
kebanyakan lingkungan laut, terutama terumbu karang dangkal (Coremap,
2007). Pemeriksaan makroskopis menunjukan bahwa talus Padina sp. seperti
kipas membentuk segmen-segmen lembaran dengan garis-garis radial dan
bagian permukaan berkapur (Gambar 6). Warna cokelat kekuningan dan
kadang-kadang memutih karena perkapuran, lembaran mudah robek. Ukuran
lembaran talus 5-10 cm. Alat penempel berupa serabut tebal. Alga ini tidak
mengalami perubahan warna dalam keadaan kering (Fitrya, 2008).
Kandungan alga coklat (Phaeophyta): Klorofil a, klorofil c (c1 dan c2) dan
karotenoid (fukoxantin, violaxantin, zeaxantin). Menurut Tukan (2014), komponen
aktif ekstrak metanol Padina sp. berupa alkaloid, wagner, dragendorf, mayer,
flavonoid, komponen fenolik, steroid, triterpenoid dan saponin. Alkaloid sendiri
dapat menghambat tirosinase. Kandungan fenolik dan flavonoid juga sebagai
inhibisi terhadap kerja tirosinase. Selanjutnya steroid merupakan salah satu dari
inhibitor tirosinase. Flavonoid sebagai antibakteri adalah merusak komponen
dinding sel sehingga lapisan dinding sel menjadi tidak utuh dan menyebabkan
kematian sel.
2.3.3 Eucheuma sp.
Eucheuma sp. merupakan salah satu jenis rumput laut merah. Eucheuma
sp. memiliki nama lain Kappaphycus alvarezii karena karaginan yang dihasilkan
rumput laut ini termasuk fraksi kappa-karagina (Sari et al., 2012). Menurut
Santhanam (2015), klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
23
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieracea
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma sp.
Gambar 7. Eucheuma sp. (Machmud et al., 2014).
Lokasi yang bagus untuk tempat hidup Eucheuma sp. adalah lokasi yang
jauh dari sumber air tawar seperti sungai, area estuari dan sumber limbah.
Lokasi yang baik adalah lokasi yang terlindungi dari ombak dan gelombang yang
besar, karena hal tersebut dapat merusak lahan budidaya. Arus air berkisar 20-
40 meter permenit. Pergerakan air berpengaruh pada pertumbuhan tanaman
rumput laut karena mempermudah penyerapan nutrien. Ketinggian air laut yang
baik adalah pada surut terendah lebih dari 0,5-1 m dan pada saat pasang
tertinggi 2-3 m. Kondisi tanaman rumput laut harus terbenam pada kondisi surut
terendah. Area yang memiliki pasir kasar sampai dengan batu karang merupakan
lokasi yang paling tepat bagi tumbuhnya jenis rumput laut ini (Kurmianto dan
Triandiza, 2013). Secara fisik Eucheuma sp. mempunyai thalus berbentuk
silindris, permukaan licin. Warnanya tidak selalu sama, hal ini disebabkan warna
pada jenis rumput laut ini bergantung pada lingkungan nya. Eucheuma sp.
memiliki warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah (Gambar 1.). Kejadian ini
24
merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi
pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaaan (Wibowo et al., 2014).
Rumput laut bukanlah suatu hal yang asing bagi masyarakat yang
bermukim di daerah pesisir, masyarakat telah mengenal dan memanfaatkan
dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan obat tradisional maupun bahan
makanan. Adanya kemajuan teknologi dibidang penelitian rumput laut,
mendorong pemanfaatan rumput tidak terbatas pada aspek kesehatan tetapi
memasuki ke segala bidang. Rumput laut atau alga merupakan tumbuhan laut
yang tidak dapat dibedakan antara akar,daun dan batang, sehingga seluruh
tubuhnya disebut thallus. Berdasarkan kandungan pigmen yang terdapat dalam
thallus rumput laut, maka dapat dibedakan Chlorophyceae (Alga Hijau),
Rhodophyceae (Alga merah) dan Phaeophyceae (Alga coklat). Ketiga golongan
tersebut mempunyai nilai ekonomis penting karena kandungan senyawa
kimianya (Soenardjo, 2011).
Rumput laut mempunyai fungsi baik secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung atau dikenal secara ekologi rumput laut menyediakan
makanan bagi ikan dan invertebrta terutama thallus muda (Mann, 1982).
Sedangkan secara tidak langsung rumput laut digunakan dalam berbagai industri
yaitu pangan, kosmetik, obat-obatan, pupuk, tekstil, kulit dan industri lainnya
(Indriani dan Sumiarsih,1991). Rumput laut sudah banyak dibudidayakan dengan
tujuan untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Eucheuma sp.
merupakan salah satu jenis algae merah menghasilkan karagenan yang banyak
dimanfaatkan dalam bidang industri kimia. Di Indonesia budidaya rumput laut
umumnya menggunakan genus Eucheuma dan biasanya metode budidaya yang
digunakan adalah metode dasar dan lepas dasar atau metode terapung (Aslan,
1991). Usaha budidaya dilakukan secara intensif akan memberikan hasil yang
baik, yaitu meningkatnya produksi dan ekspor rumput laut (Soenardjo, 2011).
25
2.3.4 Gracilaria sp.
Klasifikas Gracilaria verrucosa menurut Dawes (1981), mempunyai
taksonomi sebagai berikut:
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Familia : Gracilariaceae
Genus : Gracilaria
Species : Gracilaria verrucosa
Gambar 8. Gracilaria sp. (Machmud et al., 2014).
Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar (macroalgae)
yang merupakan tanaman tingkat rendah dan termasuk dalam divisi thallophyta.
Gambaran umum rumput laut adalah macrobentik (besar dan melekat),
organisme autotrofik membutuhkan cahaya untuk keberlangsungan hidupnya
sehingga rumput laut tidak dapat hidup pada kedalaman laut yang tidak ada
penetrasi cahaya. Ukuran, bentuk dan warna rumput laut bervariasi. Rumput laut
dapat ditemukan di beberapa variasi habitat sepanjang pantai dan melekat pada
banyak jenis substrat seperti pasir, lumpur, batu, cangkang hewan laut, karang,
kayu dan jenis rumput laut lainnya (Guanzon, 2003). Dari segi morfologinya,
rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan
daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip,
26
walaupun sebenarnya berbeda. Proses metabolisme alga memerlukan
kesesuaian faktor-faktor fisika dan kimia seperti perairan, gerakan air, suhu,
kadar garam, nutrisi atau zat hara seperti nitrat dan fosfat, dan pencahayaan
sinar matahari (Amalia, 2013).
Gracilaria verrucosa merupakan salah satu jenis rumput laut yang
mempunyai batang daun semu sehingga dimasukkan dalam golongan
Thallophyta. Talus Gracilaria verrucosa tersusun oleh jaringan yang kuat, warna
merah ungu kehijau-hijauan, bercabang-cabang mencapai tinggi 1-3 dm dengan
garis tengah cabang antara 0,5-2,0 mm. Percabangan “alternate”. Kadang-
kadang hampir dikotom dengan perulangan lateral. Bentuk cabang silindris dan
meruncing di ujung cabang (Irvine dan Price, 1978).
Gracilaria verrucosa hidup sebagai fitobentos, melekat pada substrat
dengan holdfast. Substrat yang baik untuk pertumbuhannya adalah batu-batuan,
karang mati, kayu, kulit kerang atau hidup menempel dengan alga lainnya (Bold
dan Wynne, 1978). Gracilaria merupakan jenis makroalga laut yang paling
banyak digunakan dalam produksi agar. Hal ini karena Gracilaria mudah
diperoleh, murah harganya dan juga lebih mudah dalam proses pengolahannya.
Jenis ini berperan cukup dominan dalam pembentukan gel agar pada saat
ekstraksi. Gracilaria memiliki kandungan agarosa dan agaroptin yang cukup baik
sehingga dapat menentukan kekuatan gel agar yang kuat dan kokoh
dibandingkan dengan hasil ekstraksi dari Gelidium (Winarno, et al., 1990).
2.4 Ekstraksi Rumput Laut
Ekstraksi dilakukan dengan metanol teknis, kemudian ekstrak yang
diperoleh dievaporasi dengan rotavapor vakum sampai metanol habis menguap.
Ekstrak kental yang mengandung air selanjutnya ditambahkan dengan 50 ml etil
27
asetat, lalu dimasukkan ke dalam corong pisah, dikocok selama lebih kurang 2
menit. Bagian atas dari campuran (fraksi etil asetat) dipisahkan dan segera
dievaporasi, sedangkan bagian bawah (fraksi air) ditampung ditempat terpisah
(Nursid et al., 2013). Menurut Dotulang et al. (2013), metanol 95% yang
digunakan menggunakan perbandingan 1:10 dengan melakukan maserasi
selama 1×24 jam.
Menurut Istiqomah (2013), metode ekstraksi yang dapat dilakukan salah
satunya maserasi. Maserasi proses pengekstrakkan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat
berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan.
Menurut Mukhriani (2011), proses ekstraksi khususnya untuk bahan yang
berasal dari tumbuhan adalah sebagai berikut:
1. Pengelompokan bagian tumbuhan (daun, bunga, dll), pengeringan dan
penggilingan bagian tumbuhan.
2. Pemilihan pelarut
3. Pelarut polar: air, etanol, metanol dan sebagainya.
4. Pelarut semipolar: etil asetat, diklorometan dan sebagainya.
5. Pelarut nonpolar: n-heksan, petrole-umeter, kloroform dan sebagainya.
2.5 Freeze Dry
Pengeringan beku atau lyophilization adalah penghapusan air dengan
sublimasi dari keadaan beku (es). Dalam proses ini, bahan pertama dibekukan
dan kemudian mengalami vakum tinggi, di mana es air menyublim (yaitu,
menguap secara langsung, tanpa meleleh). Uap air yang dilepaskan biasanya
ditangkap di permukaan kondensor pada suhu yang sangat rendah. Panas
28
sublimasi dipasok ke makanan dengan berbagai metode, dijelaskan di bawah ini.
Sebagai fenomena fisik dan teknik laboratorium, pengeringan beku sudah
diketahui pada akhir abad ke-19. Namun, itu tidak berkembang menjadi proses
industri sampai setelah Perang Dunia II. Pengeringan beku dilakukan pada suhu
rendah, sehingga menjaga rasa, warna dan penampilan, dan meminimalkan
kerusakan termal pada nutrisi yang sangat kuat. Karena seluruh proses terjadi
dalam keadaan padat, penyusutan dan perubahan struktural lainnya sangat
dihindari. Namun, pengeringan beku adalah metode dehidrasi yang mahal.
Secara ekonomi layak hanya dalam kasus produk bernilai tambah tinggi dan
kapan pun kualitas unggul produk membenarkan biaya produksi yang lebih tinggi
(Ratti, 2001).
A. Uji Fitokimia dengan Metode Uji GC-MS
Selanjutnya dilakukan uji GC-MS. Kromatografi gas-spektrometer masa
(GC-MS) adalah metode yang mengkombinasikan kromatografi gas dan
spektometri masa untuk mengidentifikasi senyawa yang berbeda dalam analisis
sampel. GC-MS terdiri dari dua blok bangunan utama yaitu kromatografi gas dan
spektromater masa. Fungsi dari kromatografi gas-spektromater masa adalah
untuk melakukan pemisahan dinamis dan identifikasi semua jenis senyawa
organik yang mudah menguap dan juga untuk melakukan analisis kualitatif
senyawa dalam suatu campuran (Khotimah et al., 2013). Kromatografi gas-
spektrometer masa (GC-MS) digunakan untuk mengidentifikasi suatu senyawa,
baik satu komponen maupun campuran. Spektrometri masa dapat menentukan
fragmentasi dan molekul-molekul serta dapat mengidentifikasi komponen-
komponen yang terdapat dalam jumlah kecil. Kromatografi gas memiliki
kemampuan yang sangat baik dalam hal pemisahan dan analisis kuantitatif
komponen sedangkan spektrometri masa memiliki kemampuan yang tinggi
29
dalam hal identifikasi atau analisis kualitatif. Sistem kerja GC-MS yaitu
berdasarkan perbedaan kepolaran dan masa molekul sampel yang dapat
diuapkan. Sampel yang berupa cairan atau gas dapat langsung diinjeksikan ke
dalam injektor, jika sampel dalam bentuk padatan maka harus dilarutkan pada
pelarut yang dapat diuapkan (Hastutik dan Sunarso, 2014).
2.6 Pengaplikasian Penambahan Freeze Dry Rumput Laut pada Metode
Pakan
Menurut Dugger dan Jory (1999), pemberian imunostimulan dapat
dilakukan dengan secara oral. Memberikan respon imun non spesifik yang baik
dan merupakan metode yang lebih efektif. Metode ini merupakan satu-satunya
cara yang tidah berpotensi menimbulkan stress. Memungkinkan untuk digunakan
pada imunostimulasi masal untuk L. vannamei ukuran berapapun serta tidak
membutuhkan banyak tenaga dan biaya.
Linear dengan pendapat Kartadinata et al. (2011), substitusi bahan lain
untuk memperbaiki kualitas pakan dalam perkembangan L. vannamei perlu
dilakukan. Pemberian substitusi pakan terhadap kelangsungan hidup dan
efisiensi pemberian pakan lebih baik. Keberhasilan kedua variabel itu juga dapat
meningkatkan laju pertumbuhan L. vannamei.
2.7 Imunostimulan
Imunostimulasi merupakan cara untuk memperbaiki fungsi sistem imun.
Menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut (Baratawidjaja, 2006).
Pemberian imunostimulan secara luas dilakukan dengan maksud untuk
mengaktifkan sistem imun non-spesifik sel seperti makrofag pada vertebrata dan
hemosit pada avertebrata (Dugger dan Jory, 1999).
30
Imunostimulan berhubungan langsung dengan sel sistem imun yang
membuat sel tersebut lebih aktif. Sistem imun seluler terdiri dari hemosit dan
fixed phagocytes (sel yang tidak bergerak yang tersebar pada insang, jantung
dan jaringan pengikat). Faktor pertahanan humoral seperti penggumpalan
protein, aglutin (seperti lektin), enzim hidrolitik dan peptide antimikroba yang
dihasilkan oleh dan akibat aksi sel imun (Prajitno, 2009).
Menurut Tizard (1982), proses terbentuknya sistem kekebalan tubuh
adalah sebagai berikut: bila antigen memasuki tubuh, maka antigen tersebut
akan dijerat oleh makrofag sedemikian rupa sehingga dapat diketahui sebagai
bahan asing. Bahan asing tersebut akan dikirimkan ke sistem pembentuk
antibodi dan terjadilah pembentukan antibodi. Sistem kekebalan (imunitas) harus
menyimpan memori tentang kejadian yang sama sehingga pada kesempatan
berikutnya dengan antigen yang sama juga, memiliki impuls yang bekerja jauh
lebih efisien. Mekanisme kerja imunostimulan terdapat pada Gambar 10.
Gambar 9. Mekanisme Kerja Imunostimulan (Saraswati et al., 2013)
31
2.8 Rumput Laut Sebagai Imunostimulan
Menurut Ridlo dan Pramesti (2009), imunostimulasi biasa dilakukan
dengan pemberian komponen mikrobia seperti β-glukan dan lipopolisakarida
(LPS) atau sel bakteri yang telah dimatikan. Kelemahan dari imunostimulan ini
adalah harganya relatif mahal, sehingga diperlukan usaha pencarian sumber
alternatif imunostimulan yang murah dan mudah penanganannya, salah satunya
adalah dari rumput laut. Rumput laut merupakan alga multiselular yang
mengandung substansi yang aktif secara imunologi. Pemanfaatan rumput laut
selama ini masih terbatas pada produk karagenan dan agar.
Didukung oleh pendapat Izzati (2007), potensi rumput laut di bidang
pengendalian penyakit masih belum banyak dieksplorasi dan dieksploitasi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumput laut mempunyai prospek yang
masih terbuka bagi pengembangannya dalam bidang pengendalian penyakit.
Ekstrak rumput laut telah diketahui mempunyai aktivitas sebagai antitumor,
meningkatkan aktivitas kemotaksis macrophage, menstimulasi aktivitas sekresi
radikal oksigen dan fagositosis pada peritonial and splenic marine macrophage.
Rumput laut mampu meningkatkan aktivitas fagositosis. Hematosit udang
memegang peranan penting dalam respon imun diantaranya melalui recognition,
phagocytosis, melanization, cytotoxicity dan komunikasi antar sel.
2.9. Differential Haemocyte Count (DHC)
DHC adalah perbedaan prosentase komponen darah yang terdiri dari
hialin, granul dan semi granul. Hemolim ini digunakan untuk pengamatan
terhadap differentia; haemocyte count. Liniear dengan pendapat Darwantin et al.
(2016), penghitungan DHC dilakukan dengan mengambil hemolimfe dari udang.
Hemolimfe diteteskan pada gelas objek dan dibuat ulasan, lalu dikering anginkan
dan difikasi dengan methanol 100% selama 5 menit. Kemudian diwarnai dengan
32
larutan Giemsa 10% dan didiamkan selama 10 menit, setelah itu dicuci dengan
air mengalir selama 30 detik dan dikeringanginkan kembali. Preparat yang sudah
jadi diamati menggunakan mikroskop perbesaran 100 kali dan dibedakan
menurut jenis selnya. Penghitungan DHC dilakukan dengan mengelompokkan
sel hemosit dalam 3 tipe sel yaitu sel granular, semi granular dan hialin di bawah
mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Tipe sel hemosit yang dihitung berjumlah
100 sel lalu presentase tiap jenis sel dihitung dengan rumus presentase jenis sel
hemosit. Menurut penelitian sebelumnya milik Indraswati et al. (2010), DHC
dihitung pada hari ke 0, 7, 14, 21 dan 30.
Hemosit memegang peranan penting dalam respon seluler pertahanan
tubuh udang yang meliputi fagositosis, enkapsulasi, melanisasi, cytotoksisitas
dan komunikasi antar sel. Berdasarkan ada tidaknya granula sitoplasma, hemosit
dibagi menjadi 3 jenis yaitu (Ekawati et al. 2012):
A. sel hialin,
B. sel granular
C. dan sel semi granul.
Peningkatan pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit tidak hanya
dapat dilakukan dengan pemberian pakan dengan komposisi nutrien yang
seimbang, melainkan dapat juga disertai Padina emberian imunostimulan dalam
pakan. Pengamtan jumlah sel differensial hemosit (hyalin, semi granular dan
granular) dalam persentase berdasarkan kriteria morfologi dengan menggunakan
mikroskop cahaya perbesaran 1.000 × [2].
33
Gambar 10. Hemosit L. vannamei ( H: Hialin, G, Granul dan SG: Semi
Granul) (Estrada et al., 2016).
2.10 Kualitas Air
Biomanipulasi L. vannamei perlu dilakukan untuk selalu menjaga kondisi
kualitas air tetap optimal dan lingkungan percobaan hampir menyerupai keadaan
sebenarnya di tambak. Kesehatan L. vannamei salah satunya dipengaruhi oleh
kualitas air. Kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan secara
optimal. Hal itu berhubungan dengan faktor stress L. vannamei akibat perubahan
parameter kualitas air. Faktor lingkungan ini mengakibatkan prdosuksi antibodi
berkurang sehingga imunitas atau kekebalan tubuh L. vannamei terhadap
serangan penyakit menjadi berkurang (Amrillah et al., 2015).
Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari. Usaha-usaha yang dapat
dilakukan selama proses ini antara lain:
1. persiapan air yang steril,
2. pengaturan set aerator untuk optimalisasi DO,
3. pengenceran air laut dengan refraktometer untuk optimalisasi salinitas,
4. pemakaian heater untuk optimalisasi suhu, pemakaian termometer untk
pemantauan, alas sterofoam untk mencegah penuruanan sushu yang
34
drastis saat malam hari dan penutup berupa hapa untuk memecah angin
dan mencegah L. vannamei meloncat keluar media.
5. dan jika terdapat sisa makanan atapun kotoran maka dilakukan penyiponan
secara hati-hati setiap harinya (Haliman dan Adijaya, 2005).
Adapun parameter kualitas air yang diukur berupa parameter fisika suhu
serta parameter kimia berupa pH, DO, salinitas dan amonia.
2.10.1 Parameter Fisika
Adapun parameter fisika yang diukur sebagai berikut:
A. Suhu
Pertumbuhan L. vannamei tidak lepas dari faktor kualitas air media
pertambahannya. Kualitas air L. vannamei yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan di fase post larva salah satunya adalah suhu. Pengaruh suhu air
media tidak secara langsung berpengaruh terhadap L. vannamei, parameter ini
berpengaruh melalui kelarutan oksigen dalam air, semakin tinggi suhu air maka
semakin rendah daya larut oksigen dalam air dan sebaliknya (Pasongli, 2015).
L. vannamei dapat hidup pada toleransi suhu 12 – 37 0C, namun suhu tumbuh
paling optimal berkisar antara 24 – 34 0C dan suhu 28 – 31 0C (Kordi, 2010).
Hal ini didukung oleh Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016 parameter yang diamati secara intensif
parameter fisika pHberkisar antara suhu > 27 0C. Linier dengan pernyataan
Sahrijanna dan Sahabuddin (2014), standar suhu dalam budidaya L. vannamei
berkisar antara 20 – 30 0C. Sedangkan pengaruh suhu untuk dapat tumbuh baik
menentukan kehidupan udang, yaitu berkisar 23-30 oC. Pada suhu air di bawah
15o atau di atas 33 oC selama 24 jam atau lebih akan terjadi kematian. Untuk
L. vannamei yang masih muda akan dapat tumbuh dengan baik apabila kondisi
35
perairan hangat, namun semakin dewasa maka lebih menyukai suhu relatif lebih
rendah. Suhu yang baik untuk larva ialah 27-29 oC (Elovaraa, 2001).
2.10.2 Parameter Kimia
Adapun parameter kimia yang diukur sebagai berikut:
A. pH
pHmerupakan derajat asam basa yang ada diperairan. Nilai Derajat
Keasaman (pH) dalam perairan juga berpengaruh pada pertumbuhan
L. vannamei, pada pHdiatas 10 dapat menyebabkan kematian sedangkan
pHdibawah 5 mengakibatkan pertumbuhan L. vannamei terhambat (Amri dan
Iskandar, 2008). Kisaran pH yang cocok bagi stadia post larva L. vannamei yaitu
antara 7,8-8,4 dengan pH optimum 8 (Yustianti et al., 2013).
Hal ini didukung oleh Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016 parameter yang diamati secara intensif
parameter kimia pHberkisar antara 7,5-8,5. Linier dengan pernyataan Sahrijanna
dan Sahabuddin (2014), standar pH dalam budidaya L. vannamei berkisar antara
7,5 – 8,5. Untuk pH L. vannamei dapat dengan tumbuh baik nilai pHoptimum
pada L. vannamei 6,8 – 9 dan untul larva, pHberkisar 7,8-8,4 (Elovaraa, 2001).
B. Dissolved Oxygen (DO)
Pada media pertumbuhan L. vannamei, oksigen terlarut yang optimum bagi
pertumbuhan yaitu berkisar 4-8 mg/l (Fuady et al., 2013). Oksigen terlarut
berperan sebagi pendukung proses dekomposisi aerobik bahan organik dan
nitrifikasi oleh bakteri, jika kandungan oksigen terlarut pada perairan berkurang
maka oksigen terlarut dapat menurun secara dratis dibawah 3 ppm dalam satu
36
waktu (Makmur et al., 2016). Oksigen mutlak dibutuhkan oleh organisme dalam
air untuk respirasi yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kebutuhan metabolisme.
Selain itu, adanya oksigen terlarut akan mempercepat reaksi kimia dari
bahan-bahan toksik yang membahayakan kehidupan organisme. Hal ini
didukung oleh Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik Indonesia Nomor
75/ PERMEN-KP/ 2016 secara intensif parameter kimia Dissolve Oxygen ≥ 4
ppm. Linier dengan pernyataan Sahrijanna dan Sahabuddin (2014), standar DO
dalam budidaya L. vannamei berkisar antara 3,55 mg/l.
C. Salinitas
Salinitas yang tinggi akan mengakibatkan proses osmoregulasi meningkat.
Salinitas berpengaruh sebagai faktor pembatas pada air media pertumbuhan
udang karena parameter ini berhubungan langsung dengan sistem osmoregulasi
(Zulpikar et al., 2016). L. vannamei hidup di air payau yang bersalinitas 0,1-60
ppt, tumbuh dengan baik pada salinitas 10-30 ppt dan ideal 15-25 ppt (Kordi,
2010).
Hal ini didukung oleh Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016 secara intensif parameter yang diamati
secara intensif parameter kimia berkisar antara salinitas 26 – 32 ppt. Linier
dengan pernyataan Sahrijanna dan Sahabuddin (2014), standar salinitas dalam
budidaya L. vannamei berkisar antara 15-25 ppt. Sedangkan untuk L. vannamei
dapat tumbuh dengan baik salinitasnya berkisar 34-53 ppt dan larva salinitas
yang layak ialah 26-36 ppt (Elovaraa, 2001).
D. Amonia
Amonia merupakan senyawa yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
L. vannamei. Penyebab timbulnya amonia di dalam tambak adalah akibat adanya
37
sisa pakan yang tidak termakan, bangkai hewan dan tumbuhhan, kotoran
L. vannamei dan bahan organik lainnya (seperti ganggang) yang membusuk. Hal
ini didukung oleh Peraturan Menteri Kelautan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016 secara intensif parameter kimia amonia ≤ 0,1 ppt.
Linier dengan pernyataan Sahrijanna dan Sahabuddin (2014), standar amonia
dalam budidaya L. vannamei berkisar antara > 1 ppt. Pada masalah yang
dipaparkan 0,45 ppm amonia dapat menghambat pertumbuhan L. vannamei
sampai 50%. Untuk menunjang pertumbuhan L. vannamei maka kandungan
amonia di dalam tambak tidak boleh lebih dari 0,1 ppm (Amri dan Kanna, 2008).
Amonia di perairan merupakan racun bagi biota hewani. Nilai amonia yang
tinggi dapat memberikan efek negatif bagi kehidupan organisme. Daya racun
amonia akan meningkat sebanding dengan meningkatnya pHdan kandungan
CO2 bebas. Amonia di perairan dapat mempengaruhi pertumbuhan, menambah
energi untuk keperluan detoksifikasi, mengganggu osmoregulasi dan
mengakibatkan kerusakan fisik pada jaringan (Wahyudewantoro, 2011).
38
3. METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi dalam penelitian ini adalah mengenai respon imun L. vannamei
dalam hal DHC dengan penginfeksian WSSV. Analisa dan monitoring yang
dilakukan diantaranya meliputi:
1. Analisa respon imun (DHC) L. vannamei pada uji tantang WSSV dengan
pemeliharaan selama 21 hari dengan penambahan freeze dry rumput laut
Sargassum sp., Padina sp. , Eucheuma sp. dan Gracillaria sp. pada pakan
menggunakan dosis yang sama (10g/ kg pakan).
2. Monitoring kualitas air agar tetap pada kondisi optimal, diukur dengan
parameter fisika (suhu) dan parameter kimia (pH, DO, salinitas dan
amonia).
3.2 Alat dan Bahan
Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian ini menggunakan alat dan bahan
untuk mendapatkan data primer. Alat dan bahan yang diperlukan selama
penelitian disajikan pada Lampiran 2.
3.3 Metode Pengambilan Data
Pada penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Menurut Churchill
(2001), metode eksperimen merupakan suatu metode penelitian yang bertujuan
untuk menilai pengaruh dari berbagai perlakuan. Penelitian ini dilakukan secara
sengaja oleh peneliti untuk memberikan perlakuan tertentu terhadap subjek
penelitian guna membangkitkan sesuatu kejadian/ keadaan yang akan diteliti
bagaimana akibatnya.
39
Penelitian eksperimen bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan sebab
akibat dengan cara mengenakan kepada suatu atau lebih kondisi perlakuan dan
membandingkan hasilnya dengan sesuatu atau lebih kelompok terkontrol
(Suryana, 2010). Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis mengenai
potensi rumput laut sebagi imunustomulan terhadap L. vannamei yang di uji
tantang dengan WSSV secara kuantitatif dengan metode pakan dilakukan
perhitungan perubahan DHC.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini didapatkan
berdasarkan pengolahan data primer dan data sekunder. Data primer data yang
didapatkan secara langsung oleh peneliti. Sedangkan data sekunder
meruapakan datang yang didpatkan dari referensi, sebagai berikut:
3.4.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
yaitu individu atau perseorangan yang membutuhkan pengelolahan lebih lanjut
seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuisioner (Wandansari, 2013). Data
primer yang diambil dalam penelitian ini meliputi analisa parameter kualitas air
sebagai penunjang yang berupa parameter fisika dan kimia L. vannamei. Data
primer dalam penilitian ini diperoleh dari hasil partisipasi aktif, observasi,
wawancara dan dokumentasi dengan pihak yang tekait.
3.4.2 Data Sekunder
Menurut Churchill (2001), data sekunder adalah data yang diperoleh
secara tidak langsung atau dari sumber kedua, keunggulan data sekunder
40
terletak pada waktu dan uang yang dapat dihemat oleh periset. Jika informasi
yang diperlukan tersedia sebagai data sekunder, maka periset hanya perlu
menuju ke perpustakaan atau menjelajahi internet, menentukan sumber yang
sesuai, serta mengambil dan mencatatat informasi yang diinginkan. Data
sekunder dalam usulan skripsi ini didapatkan dari instansi yang terkait, jurnal,
majalah, laporan PKL/ skripsi, situs internet serta kepustakaan.
3.5 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimen di laboratorium menggunakan
rancangan acak lengkap dengan perlakuan perbedaan rumput laut
menurut Ridlo dan Pramesti (2009), Sargassum sp., Padina sp. , Cottoni sp. dan
Gracillaria sp.dengan dosis terefektif 10 g/ kg pakan dengan masing-masing
empat ulangan. Kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah kontrol positif
tanpa pemberian freeze dry dan tanpa uji tantang dan kontrol negatif tanpa
pemberian freeze dry rumput laut.
Eksperimental yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu: (1) Menguji
ketahanan L. vannamei terhadap WSSV setelah diaplikasikan freeze dry rumput
laut pada campuran pakan selama 14 hari pemeliharaan; (2) Mengukur
parameter imun dari L. vannamei terhadap WSSV setelah diaplikasikan freeze
dry rumput laut. pada campuran pakan selama 30 hari pemeliharaan ditinjau
parameter Udang Vanname (L. vannamei) dari DHC. Mengetahui freeze dry
rumput laut yang efektif dalam pengaplikasian melalui pakan selama
pemeliharaan terhadap daya tahan optimal serangan WSSV. Penentuan dosis
penambahan freeze dry rumput laut pada pengaplikasian pakan selama
pemeliharaan mengacu pada penelitian terdahulu, yaitu dengan penghancuran
pellet yang digiling, selanjutnya ditambahkan freeze dry rumput laut 10 g/ kg
41
pakan, dicampur sampai homogen dan dilakukan pembuatan pellet yang
digunakan untuk uji L. vannamei diaklimatisasi dalam bak yang dilengkapi
dengan sistem aerasi dan sirkulasi air selama 14 hari serta pemberian pelet
komersil secara adlibitum (sampai kenyang) (Rodriguez et al., 2004). Hal ini juga
linier dengan penelitian Darwantin et al. (2016) bahwa penggunaan
imunostimulan dengan dosis 10% dalam pakan buatan merupakan dosis
optimum dan efektif untuk meningkatkan respon imun dan kelulushidupan.
Berikut merupakan rancangan perlakuan disajikan pada Tabel 2 dan penelitian
Gambar 10 dengan metode acak.
Tabel 2. Rancangan Perlakuan
Ulangan Perlakuan
A B C D E F
1 A1 B1 C1 D1 E1 F1 2 A2 B2 C2 D2 E2 F2 3 A3 B3 C3 D3 E3 F3 4 A4 B4 C4 D4 E4 F4
Sumber: Data Primer, 2017 Keterangan: A : perlakuan L. vannamei normal tanpa diinfeksi WSSV dan
tanpa aplikasi freeze dry. pada pakan (Kontrol +) B : perlakuan L. vannamei normal dengan diinfeksi WSSV dan
tanpa aplikasi freeze dry. pada pakan (Kontrol -) C : pengaplikasian pakan komersil dengan Freeze Dry
Sargassum sp. 10 g/ kg D : pengaplikasian pakan komersil dengan Freeze Dry Padina
sp. 10 g/ kg
E : pengaplikasian pakan komersil dengan Freeze Dry Cottoni sp. 10 g/ kg
F : pengaplikasian pakan komersil dengan Freeze Dry Gracilaria sp. 10 g/ kg
42
Gambar 11. Rancangan Penelitian dengan Metode RAL (Data Primer, 2018)
Penelitian ini menggunakan pemberian imunostimulan dengan
pengapikasian freeze dry rumput laut pada pakan, hal ini lebih efektif
dibandingkan pakan dalam air. Penggunaan imunostimulan pada pakan buatan
dapat meningkatkan imun (DHC) pada L. vannamei sehingga ketahanan tubuh L.
vannamei meningkat. Penggunaan imunostimulan dalam pakan buatan dapat
meningkatkan kelulushidupan L. vannamei (Darwantin et al., 2016).
3.6 Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap yaitu ekstraksi rumput laut,
freeze dry rumput laut, persiapan hewan uji, persiapan bak percobaan,
penyediaan larutan inokulum WSSV, Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut
pada pakan, uji tantang L. vannamei dengan WSSV, pengamatan fisiologi dan
tingkah laku. Adapun prosedur penelitian disajikan pada Lampiran 1.
3.6.1 Ekstraksi Rumput Laut
Sampel rumput laut dikumpulkan dari lokasi budidaya rumput laut di daerah
Madura dan Jabon Sidoarjo (Lampiran 14.), dicuci dengan air laut dan air tawar
untuk menghilangkan garam, epifit, mikroorganisme dan bahan lainnya. Rumput
43
laut yang sudah bersih dikering anginkan di udara terbuka tanpa terkena cahaya
matahari langsung. Selanjutnya sampel yang sudah kering digiling halus (50
mesh size). Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Pelarut yang
digunakan metanol teknis dengan perbandingan simplisia dan pelarut 1:3
(weight/ volume) artinya 10 gram simplisia direndam dalam 30 ml metanol teknis.
Diaduk dengan stirrer, diendapkan selama1×24 jam, kemudian disaring. Hasil
saring (filtrat) dievaporasi dengan menggunakan penguap putar (rotary
evaporator) pada suhu 40 0C.
3.6.2 Freeze Drying
Freeze dry yang dilakukan pada penelitian ini mengacu metode
Baranauskiene et al. (2006), ekstrak kasar rumput laut yang diperoleh
sebelumnya dicampurkan dengan maltodekstrin, dengan formulasi penyalut 30 %
(w/v) terhadap pelarut, dan ekstrak 20 % (w/w) terhadap penyalut, selanjutnya
dilakukan kecepatan 1800 rpm selama 10 menit, dibekukan dalam frezzer.
Proses freeze dry selama 2 x 24 jam.
3.6.3 Pengaplikasian Freeze Dry Rumput Laut pada Metode Pakan
Dalam percobaan ini pakan yang digunakan adalah pakan dalam bentuk
pelet kering. Komposisi pakan uji disajikan pada Tabel 1. yang dihomogenkan
dengan dosis imunostimulan freeze dry rumput laut. Loyang yang berisi pelet
seberat 500 gram diratakan setelah itu disemprotkan dengan spray bottle berisi
campuran freeze dry dan aquades (1:1). Agar mudah homogen pilin dengan
menggunakan kedua tangan, selanjutnya timbang sesuai kebutuhan dan simpan
kedalam kemasan untuk menjaga suhu dan khasiat. Perlakuan
L. vannamei normal tanpa diinfeksi WSSV dan tanpa aplikasi freeze dry rumput
44
laut pada pakan, pengaplikasian pakan dengan freeze dry Sargassum sp.,
Padina sp, Eucheuma sp. dan Gracillaria sp. (Johnny et al., 2007).
Pengaplikasian freeze dry rumput laut. disajikan pada Lampiran 4. Didapatkan
literasi hasil uji GC-MS freeze dry rumput laut (Lampiran 3.) dan selanjutnya
dilakukan uji proksimat (Sudarmaji, 1980). Pengujian proksimat terhadap pakan
udang meliputi kadar lemak, kadar air, kadar abu dan kadar karbohidrat perlu
dilakuakan untuk memastikan nurtrisi yang dibutuhkan tercukupi sebagai berikut :
A. Kadar Lemak
Pengujian kadar lemak dilakukan dengan metode soxhlet (AOAC, 1990)
dalam Sudarmadji, et al. (1997), sebanyak 5 g sampel yang telah dihaluskan,
dibungkus dengan kertas saring, dimasukkan dalam tabung ekstraksi soxhlet.
Kemudian dipasang cawan lemak yang telah diketahui beratnya dan dipasang
tabung ekstraksi pada alat distilasi Soxhlet yng telah diisi dengan pelarut hingga
turun ke cawan lemak, kemudian dialirkan air pendingin dan alat dinyalakan.
Ekstraksi dilakukan selama 4-5 jam. Setelah itu, dipisahkan pelarut dengan
lemak dan dikeringkan cawan yang berisi lemak pada oven dengan suhu 100-
105C selama 27 30 menit. Berat residu dalam cawan lemak dinyatakan sebagai
berat lemak atau minyak
Keterangan: A = berat Contoh B = berat cawan + lemak C = berat cawan kosong
B. Kadar Air
Pengujian kadar air dilakukan dengan metode gravimetri (AOAC, 1990)
dalam Sudarmadji et al. (1997), cawan porselen dikeringkan dalam oven selama
𝐊𝐚𝐝𝐚𝐫 𝐥𝐞𝐦𝐚𝐤 (%) =𝐁 − 𝐂
𝑨 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
45
30 menit, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 1-2 g
sampel ditimbang lalu dimasukan kedalam cawan porselen dan dikeringkan di
dalam oven pada suhu 105-110oC selama 3 -5 jam tergantung bahan yang
digunakan. Setelah didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian
ditimbang. Setelah diperoleh hasil penimbangan pertama, lalu cawan yang berisi
sampel tersebut dikeringkan kembali selama 30 menit setelah itu didinginkan
dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Perlakuan ini diulang
sampai tercapai berat konstan. Bila penimbangan kedua mencapai pengurangan
bobot tidak lebih dari 0,001 g dari penimbangan pertama maka dianggap
konstan. Kemudian cawan dan sampel kering ditimbang. Kadar Lemak (%) = B -
C x 100% A 28 Kadar air dapat dihitung dengan rumus:
C. Kadar Abu
Pengujian kadar abu dilakukan dengan metode pengeringan (AOAC, 1990)
dalam Sudarmaji et al. (1997), cawan porselin yang bersih terbebas dari kotoran
dipanaskan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105oC lalu dinginkan dalam
desikator selama 15 menit kemudian timbang (A). Sebanyak ± 2 g sampel,
dimasukan kedalam cawan kemudian timbang (B). Cawan yang berisi sampel
dibakar diatas kompor hingga tidak berasap (bisa ditambah alkohol 95%).
Pengabuan dengan tanur pada suhu 600oC selama 3 jam. Setelah pengabuan
cawan didinginkan dalam desikator, detelah didinginkan cawan di timbang (C).
Kadar abu dapat dihitung dengan rumus:
𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒂𝒊𝒓 (%) =𝐁𝐞𝐫𝐚𝐭 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐬𝐚𝐦𝐩𝐞𝐥 (𝐠) − 𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 (𝒈)
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒂𝒘𝒂𝒍 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍 (𝒈) 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
𝑲𝒂𝒅𝒂𝒓 𝑨𝒃𝒖 (%) =𝐂 − 𝐀
𝑩 − 𝑨 𝒙 𝟏𝟎𝟎%
46
Keterangan: A = cawan kosong B = cawan dan sampel C = cawan dan abu D = kadar Protein
Penentuan kadar protein dilakukan dengan cara makro Kjeldahl (AOAC,
1990) dalam Sudarmadji et al. (1997), ditimbang sebanyak 0,5 – 1,0 g bahan
yang telah dihaluskan dan masukkan dalam labu kjeldahl, tambahkan 10 g K2S
atau Kadar Abu (%) = C – A x 100% B – A 29 Na2SO4 anhidrat, dan 10 – 15 ml
H2SO4 pekat. Kalau distruksi sukar dilakukan perlu ditambah 0,1 – 0,3 g CuSO4
dan gojok. Kemudian dilakukan distruksi diatas pemanas listrik dalam lemari
asam, mula mula dengan api kecil, setelah asap hilang api dibesarkan,
pemanasan diakhiri setelah cairan menjadi jernih tak berwarna lagi. Dibuat
perlakuan blangko, yaitu seperti perlakuan diatas tanpa contoh. Setelah dingin
tambahkan kedalam labu kjeldahl aquades 100 ml, serta larutan NaOH 45 %
sampai cairan bersifat basis, pasanglah labu kjeldahl dengan segera pada alat
Destilasi. Panaskan labu Kjeldahl sampai ammonia menguap semua, distilat
ditampung dalam erlenmeyer berisi 25 ml HCL 0,1N yang sudang diberi indikator
PhenolPtalein 1 % beberapa tetes. Distilasi diakhiri setelah distilat tertampug
sebanyak 150 ml atau setelah distilat yang keluar tak bersifat basis. Kelebihan
HCl 0,1 N dalam distilat dititrasi dengan larutan basa standar (larutan NaOH 0,1
N) Kadar protein dapat dihitung dengan rumus :
Keterangan: % Protein = % N X Faktor Konversi
% 𝐍 =(𝐦𝐋 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐛𝐥𝐚𝐧𝐤𝐨 − 𝐦𝐋 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡)𝐱 𝐍 𝐍𝐚𝐎𝐇 𝐱 𝟏𝟒, 𝟎𝟎𝟖
𝐠. 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐨𝐡 𝐱 𝟏𝟎
47
D. Kadar Karbohidrat
Penentuan kadar karbohidrat dengan cara perhitungan kasar disebut juga
Carbohydrate by difference yaitu penentuan karbohidrat dengan menggunakan
perhitungan dan bukan analisis (AOAC, 1990) dalam Sudarmadji et al. (1997)
3.6.4 Persiapan Hewan Uji
L. vannamei diperoleh dari Probolinggo Jawa Timur. L. vannamei yang
digunakan berada pada stadia PL 100. L. vannamei dipelihara dalam bak dengan
padat tebar 1 ekor/ 2 liter. Wadah pemeliharaan berupa ember plastik ukuran 20
L sebanyak 15 buah yang diisi sebanyak 18 liter, tiap bak berisi 10 ekor L.
vannamei dilengkapi dengan sistem aerasi. Ember tersebut ditutup dengan
waring agar L. vannamei tidak lompat (Prawira et al, 2014). L. vannamei
diaklimatisasi dalam bak yang dilengkapi dengan sistem aerasi dan sirkulasi air
selama 15 hari serta pemberian pelet komersil secara adlibitum (sampai
kenyang) (Rodriguez et al., 2004). Selama periode aklimatisasi, L. vannamei
diberi pakan komersial dua kali, yaitu pada pukul 10.00 dan 19.00 WIB. Pakan
yang diberikan adalah pakan udang komersil, dengan feeding rate 3% dari bobot
biomassa/ hari (Truong-Giang Huynh, 2011). Sebelum diberi perlakuan pakan,
terlebih dahulu dilakukan uji DHC untuk mengidentifikasi dan mengkonfirmasi
udang tidak terinfeksi WSSV. Hanya udang sehat yang digunakan sebagai objek
penelitian (Wahjuningrum et al., 2006). Penentuan jumlah hewan uji perbak
menggunakan rumus Federer (t-1)(n-1)>15 dengan t= 6 perlakuan dan n= 6
Karbohidrat (%) = 100% - (air + abu + lemak + serat + protein)
48
adalahn banyaknya sampel setiap kelompok perlakuan sehingga didapatkan
minimal 4 ekor/ bak dan 4 kali ulangan.
3.6.5 Persiapan Bak Percobaan
Bak percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak dengan
ukuran 20 liter yang dilengkapi dengan sistem aerasi pada masing-masing bak.
Sebelum digunakan wada di sterilisasi menggunakan kaporit sebanyak 100 ppm
selama 24 jam, kemudian dibilas dengan air bersih dan di keringkan
(Jasmanindar, 2009). Setiap bak diisi sebanyak 18 l dengan air yang sudah
melalui treatment. Metode treatment air inilah air yang ditampung pada bak
penampungan, kemudian diberi kaporit 60 ppm dan dibiarkan selama 24 jam.
Setelah 24 jam, air diberi Na-thiosulfat sebanyak 30 ppm yang berfungsi untuk
menetralkan kadar kaporit yang ada pada air tersebut. Kemudian air dibiarkan
selama 3 hari hingga siap digunakan untuk media hidup L. vannamei selama
penelitian.
3.6.6 Penyediaan Larutan Inokulum WSSV (White Spot Syndrome Virus)
Virus diisolasi dari organ (insang dan daging) L. vannamei yang terinfeksi
WSSV dari Probolinggo Jawa Timur. Sebelumnya dilakukan uji PCR untuk
memastikan udang positif terserang WSSV. Sebanyak 1 g organ (insang dan
daging) digerus sampai halus, kemudian disuspensikan dalam 9 ml air laut steril,
lalu di sentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit dan kecepatan
8000 rpm selama 20 menit masing-masing dengan suhu 4 0C. Kemudian
supernatannya disaring dengan kertas miliopore dengan 0,45 µm menggunkan
filter holder dan shyringe sehingga didapatkan suspensi virus dengan dosis 10%
49
(w/v) yang setara dengan dosis 20 mg/ l virus (Rahma et al., 2014). Metode
inokulum virus terdapat pada Lampiran 11.
Metode yang digunakan untuk penginfeksian virus WSSV pada udang uji
adalah metode pakan dalam 1 liter larutan virus dengan pengenceran 10-3 (dosis
20 µg/ ml). Cara mendapatkan virus dengan dosis 20 µg/ ml digunakan metode
Amrillah et al. (2015), yaitu dengan menyiapkan 2 tabung reaksi, pada tabung 1,
ambil 1 ml larutan virus 20 mg/l ditambahkan dengan 9 ml air laut kemudian di
homogenisasi dengan menggoyang-goyangkan tabung reaksi (Lampiran 12).
Ambil 10 ml larutan virus 2 mg/ l dan tambahkan 90 ml air laut. Ambil 100 ml
larutan virus 0,2 mg/ ml dan tambahkan 90 ml air laut. Ambil 100 ml larutan virus
0,2 mg/ ml ditambahkan 900 ml air laut. 1000 ml larutan virus 0,02 mg/ ml yang
digunakan sebagai pakan.
3.6.7 Uji Tantang Udang Vanname (L. vannamei) dengan WSSV
Pemeliharaan dilakukan selama 21 hari, setelah dilakukan persiapan alat
dan bahan. Menurut penelitian sebelumnya milik Indraswati et al. (2010),
penempatan RAL selama 14 hari, aklimatisasi dan penginfeksian WSSV dengan
pakan (3 jam) serta freeze dry rumput laut. selama 14 hari maka pada hari ke-15
setelah penginfeksian dengan pakan selanjutnya L. vannamei dilakukan uji
tantang WSSV. Proses penginfeksian L. vannamei dengan WSSV dilakukan
dengan metode pakan dalam 1 liter larutan virus dengan pengenceran 10-3 (dosis
20 µg/ ml) selama 3 jam (Rahma et al., 2014). Proses ini menggunakan bak
dengan volume air 3 liter/ bak, jaring penutup ember dan aerasi. Kepadatan L.
vannamei 10 ekor/ bak. Inokulum WSSV dimasukkan menggunakan spuit suntik
kedalam bak yang telah berisi air dan L. vannamei secara merata. Setelah 3 jam,
L. vannamei ditempatkan kembali dalam bak awal dengan volume air 18 l dan
50
kepadatan 10 ekor/ bak.L. vannamei uji yang telah diinfeksi WSSV dipelihara
selama 5 hari (Saraswati et al., 2013) (Lampiran 12 dan 13.).
Pengambilan sampel untuk pengamatan respon imun dilakukan sebelum (6
hari sebelum penginfeksian dengan metode pakan) dan Setelah (5 hari Setelah
penginfeksian dengan metode pakan) diinfeksi WSSV (Saraswati et al., 2013).
Selama pemeliharaaan dilakukan pengamatan terhadap tingkat kematian dan
tanda-tanda klinis L. vannamei. Cara mengetahui perubahan tingkah laku dan
gejala klinis L. vannamei yang diinfeksi WSSV maka dilakukan pengamatan
morfologi terhadap aktivitas, gerakan, respon makan, warna tubuh dan kematian.
Pengamatan in dilakukan setelah uji tantang sampai dengan hari ke-5 setelah
diinfeksi dengan WSSV. Pada akhir pemeliharaan dilakukan pengamatan
terhadap kelulushidupan L. vannamei. Selanjutnya dilakukan uji WSSV dengan
metode Real-Time Polymerase Chain Reaction:
A. Isolasi jaringan
Pada penelitian ini udang vannamei yang digunakan untuk isolasi jaringan
sudah berumur lebih dari 1,5 bulan dengan panjang badan ± 13-14,5cm, untuk
itu bagian tubuh yang dijadikan untuk isolasi jaringan DNA cukup diambil pada
bagian pleopod dan insang (Supriatna, 2013).
B. Ekstraksi DNA
Ekstraksi DNA pada udang vannamei menggunakan metode CTAB-DTAB
(IQ2000®) (Fajri et al., 2015) sebagai berikut :
Amplifikasi DNA
Tahap Pengenceran :
1. Terhadap standar positif WSSV (P(+)) dengan membuat 5 tingkat
pengenceran berturut-turut yaitu 105, 104, 103, 102 dan 101
51
2. Pengenceran dimulai dengan mengambil sebanyak 1 µl kontrol positif
P(+)105 (stok) dipindahkan ke dalam tube dengan kode 104
3. kemudian ditambahkan 9 µl ddH2O sebanyak 1 µl P(+) Standar 103
dipindahkan ke dalam tube dengan kode 102
4. kemudian ditambahkan 9 µl ddH2O, begitu seterusnya hingga konsentrasi
5.
Menyiapkan master mix PCR :
1. Semua reagen diencerkan terlebih dahulu pada suhu ruang, vortex ± 5
detik
2. Lalu spin sebentar agar reagen tercampur rata
3. Masukkan 20 µl master mix ke dalam masing-masing well
4. Kemudian tambahkan 8 µl sampel DNA dan 8 µl kontrol positif serta 8 µl
RT-PCR grade water (ddH2O) untuk NTC (kontrol negatif)
5. Setting siklus PCR dengan mengatur suhu, waktu dan jumlah siklus dalam
tahapan-tahapan PCR
3.7. Perubahan Tingkah Laku dan Gejala Klinis L. vannamei
Transmisi WSSV dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Transmisi
WSSV secara horizontal dapat terjadi melalui suplai air terkontaminasi, pakan
terkontaminasi, peralatan terkontaminasi, tanah atau lumpur terkontaminasi, dan
kohabitasi dengan udang carrier seperti burung, keong, dan cacing. Transmisi
vertikal terjadi pada lokasi pembenuran melalui reproduksi, yaitu dari broodstock
(induk) yang terinfeksi virus kepada larvanya (Feriza, 2010).
White Spot Syndrome Virus menginfeksi sel ektodermal dan mesodermal
inangnya, kemudian menyebabkan perubahan sel epitel insang, jaringan otot,
kelenjar antena, jaringan hematopoetik, jaringan syaraf, dan jaringan epitel usus.
Replikasi virus terjadi pada nukleus, selanjutnya virion terbentuk dan menyebar
52
dari sel yang terinfeksi ke sel lain. Fase akut menunjukkan diskolorasi pada
bagian hepatopankreas (lambung) yang berubah menjadi kemerahan. Inclusion
bodies berupa titik-titik putih berdiameter 1-2 mm akan terbentuk pada sel
terinfeksi dengan perubahan warna dari eosinofil menjadi basofil (menggunakan
teknik pewarnaan Hematoxilin dan Eosin).
3.8. Differential Haemocyte Count (DHC)
Differential Haemocyte Count (DHC) dihitung sesuai metode Ekawati et al.
(2012), 0,1 hemolim diambil dari pangkal kaki renang keempat, menggunakan
srynge 1 ml berisi 0,1 ml antikoagulan Na-sitrat 10%, lalu dihomogenkan dengan
cara menggerakan tangan membentuk angka delapan selama 5
menit.Ditambahkan 0,1 ml trypan blue dan dihomogenkan. Trypan blue berfungsi
sebagai pemberi warna pada hemosit, sehingga mudah diamati di bawah
mikroskop. Kemudian satu tetes larutan diletakkan pada haemocytometer dan
jumlah sel per ml dihitung prosentase berdasarkan kriteria morfologi hemosit
(hialin, semi granular dan granular) dengan menggunakan mikroskop.
Prosentase tiap jenis sel dihitung dengan rumus sebagai berikut:
3.9 Kualitas Air
Adapun parameter kualitas air yang dikur adalah parameter fisika dan kimia
setiap pagi dan malam hari selama 14 hari pemeliharaan, untuk pengukuran
amonia dilakukan pada awal, tengah dan akhir penelitian. Untuk menjaga
kualitas air tetap baik perlu dilakukan monitoring agar kondisi tetap optium.
Kualitas air yang tetap baik dibantu dengan perlakuan rutin mensipon feses dan
𝐏𝐫𝐞𝐬𝐞𝐧𝐭𝐚𝐬𝐞 𝐉𝐞𝐧𝐢𝐬 𝐒𝐞𝐥 𝐇𝐞𝐦𝐨𝐬𝐢𝐭 =𝐉𝐮𝐦𝐥𝐚𝐡 𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐬𝐞𝐥 𝐡𝐞𝐦𝐨𝐬𝐢𝐭
𝐓𝐨𝐭𝐚𝐥 𝐇𝐞𝐦𝐨𝐬𝐢𝐭 ×100
fpengencer
53
melakukan pergantian air sebanyak volume air yang terbuang. Penyiponan
dilakukan setiap hari (Widyantoko et al., 2015). Berikut metode pengukuran
kualitas air:
3.9.1 Parameter Fisika
Adapun parameter fisika yang diukur berupa suhu sebagai berikut:
A. Suhu
Menurut Standard Nasional Indonesia (2005), cara metode ini digunakan
untuk menetapkan suhu air menggunakan termometer air raksa. Air raksa dalam
termometer akan memuai atau menyusut sesuai dengan panas air yang
diperiksa, sehingga suhu air dapat dibaca pada skala termometer (0C). Peralatan
berupa termometer air raksa yang mempunyai skala sampai 110 0C. Penetapan
contoh uji air permukaan sebagai berikut:
1. Mencelupkan termometer ke dalam contoh uji dan biarkan 2 menit sampai
dengan 5 menit sampai termometer menunjukan nilai stabil.
2. Mencatat pembacaan skala termometer.
3.9.2 Parameter Kimia
Adapun parameter kimia yang diukur adalah pH, DO, salinitas dan amonia,
sebagai berikut:
A. pH
Derajat keasaman atau biasa disingkat dengan pH(puissance negative de
H) adalah logaritma negatif dari kepekatan ion-ion hidrogen yang terlepas dalam
cairan. Adapun penggunaan pHmeter (merk Eutech) menurut Intruction Manual
(2007), sebagai berikut:
54
1. Mengecek baterai (baterai A3 4 buah).
2. Memasang elektroda dan termometer.
3. Menyalakan alat dengan tekan ON.
4. Mengkalibrasi dengan tekan Cal, memasukkan ke buffer 7, tekan enter,
dibilas dengan aquades dan dikeringkan dengan tisu, Kemudian
memasukan elektroda ke buffer 4, tekan enter, dibilas dengan aquades dan
dikeringkan dengan tisu.
5. Menekan MEAS (menu)
6. Memasukkan elektroda ke sampel, membaca hasil sampai tulisan READY
stabil/ tidak berkedip.
7. Mencatat hasilnya.
8. Membilas elektroda dengan aquades dan dikeringkan dengan tisu.
9. Mematikan alat dengan menekan OFF.
B. Dissolved Oxygen (DO)
Menurut Extech Instrument (2015), penggunaan DO meter untuk mengukur
kadar oksigen sebagai berikut:
1. Merendam DO meter ke dalam larutan yang diuji sampai kedalaman
minimal 10 cm. Spesifikasi kedalaman penting karena pengukuran suhu
larutan dan sirkuit kompensasi suhu otomatis mengandalkan kedalaman
DO meter untuk beroperasi dengan benar.
2. Membiarkan bereaksi dengan stabil selama beberapa menit untuk
mencapai kesetimbangan termal antara sampel dan pengukurannya.
3. Memastikan kecepatan larutan 0,2-0,3 m/s, sehingga didapatkan
keseimbangan termal.
4. Untuk pengukuran di area laboratorium sebaiknya menggunakan pengaduk
magnetis, hal ini untuk meminimalisir terjadinya difusi udara.
55
5. Hasil dari pengukuran tersebut akan ditampilkan pada layar LCD secara
otomatis, selanjutnya catat hasilnya.
C. Salinitas
Menurut Instruction Manual ATAGO (2007), penggunaan refraktometer
untuk mengukur salinitas sebagai berikut:
1. Menyiapkan refraktrometer.
2. Membuka penutup kaca prisma.
3. Mengkalibrasi dengan aquades.
4. Membersihkan dengan tissue secara searah.
5. Meneteskan 1-2 tetes air yang akan diukur salinitasnya,
6. Menutup kembali dengan hati-hati agar tidak terjadi gelembung udara
dipermukaan kaca prisma.
7. Mengarahkan ke sumber cahaya,
8. Melihat bila salinitasnya dari air yang diukur
D. Amonia
Adapun menurut Departemen Pekerjaan Umum (1990), pereaksi yang di
butuhkan dalam pengukuran amonia ammonium chlorida 10 ppm NH4-N,
aquades dan nessler. Berikut prosedur pengukuran:
1. Menyaring air sampel agar bahan yang berbentuk partikel terambil dari air
sampel tersebut. Kemudian ambil 25 ml (a).
2. Membuat larutan NH4 (NH3) .
3. Larutan baku tersebut sebagai (b).
4. Menambahkan ke dalam air sampel (a) dan larutan baku (b) masing-
masing 0,5 ml.
5. Menunggu sekitar 10-30 menit agar terbentuk warna dengan sempurna.
56
6. Membandingkan air sampel dengan larutan baku untuk menaksir kadar
ppm amonia nitrogen. Apabila menggunakan spektrofotometer, gunakan
panjang gelombang 425 nm.
3.10 Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, akan dianalisis secara statistik
dengan menggunakan analisis keragaman (ANOVA) menggunakan software
progam SPSS 15 untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dilanjutkan
dengan menggunakan uji duncan untuk mengetahui perbedaan rerata perlakuan.
57
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Uji Proksimat
L. vannamei sebagai hewan uji adalah PL 60 berukuran 15 cm, tergolong
kedalam udang muda dengan spesifikasi pakan no. 3 (Grower 3). Grower 3
adalah ukuran pelet panjang 1,5 – 2,5 mm, diameter 0,5 mm, diberikan setelah
umur 50 hari dengan berat badan 9-15 g/ ekor (Suyanto dan Takarani, 2009).
Hasil uji proksimat pakan Merk Irawan yang didapat selama penelitian yaitu
protein 25.16%, lemak 6.24%, air 9.7%, abu 7.95% dan karbohidrat 50.95%
dengan harga Rp 14.000/ kg (Lembar hasil pada Lampiran 5).
Kadar kandungan pakan komersil salah satunya dipengaruhi oleh faktor
penyimpanan. Kandungan protein omega tiga yang efisien pada L. vannamei
berkisar ±30%. Sehingga pakan yang di aplikasikan petani tambak belum
memenuhi kriteria yang baik, namun L. vannamei masih pada batas tolerasi
tingkat kelulusan hidupnya. Menurut Iskandar dan Fitriadi (2017), protein
berperan penting untuk pertumbuhan, karena mengandung asam amino esensial
dan non-asensial. Protein merupakan sumber energi utama pada L. vannamei,
jika kebutuhan protein belum memenuhi standar dalam pakan maka akan terjadi
penurunan drastis atau penghentian pertumbuhan. Dengan kehilangan bobot
tubuh karena L. vannamei akan menarik kembali protein dari beberapa jaringan
untuk mempertahankan fungsi dari jaringan yang lebih vital. Adapun hasil uji
proksimat pakan disajikan pada Tabel 4. sebagai berikut:
58
Tabel 3. Hasil Uji Proksimat Pakan
No Parameter Hasil (%)
1. Protein 25.16 2. Lemak 6.24 3. Air 9.7 4. Abu 7.95 5. Karbohidrat 50.95
(Sumber: Data Primer, 2018).
Gambar 12. Pakan Merk Irawan (CP Prima, 2009).
4.2 Hasil Uji Fitokimia Freeze Dry Rumput Laut
Rumput laut merupakan alga multiseluler yang mengandung substansi
yang aktif secara imunologi (Ridlo dan Pramesti, 2009). Menurut Ridlo dan
Pramesti (2009), pemberian freeze Dry rumput laut paling efektif pada dosis
10g/ kg pakan. Adapun proses pembuatan Freeze Dry rumput laut dapat dilihat
pada Lampiran 1. dan hasil uji fitokimia berdasarkan literasi sebagai berikut:
(A) (B) (C) (D)
Gambar 13. Hasil Freeze Dry rumput laut (A) Sargassum sp. (B) Padina sp.
(C) Gracillaria sp. (D) Eucheuma sp. (Data Primer, 2018).
59
4.2.1 Sargasum sp.
Rumput laut coklat Sargassum sp. juga diketahui mengandung senyawa
flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenolik yang
memiliki gugus kromofor. Gugus kromofor tersebut menyebabkan kemampuan
untuk menyerap gelombang sinar UV (Maharany et al., 2017) (Lampiran 3.).
Alga coklat ini lebih dikenal sebagai penghasil algin dan iodine. Karakteristik
kandungan thalli lebih didominasi oleh pigmen dengan khlorofil a, c, beta
karoten, violassantin dan fucosantin. Plastida terdapat pirenoid dan thilakoid.
Persediaan makanan dalam thalli berupa laminarin (beta 1 - 3 ikatan glucan)
(Kadi, 2004).
4.2.2 Padina sp.
Kandungan alga coklat (Phaeophyta) Padina sp. : Klorofil a, klorofil c (c1
dan c2) dan karotenoid (fukoxantin, violaxantin, zeaxantin). Menurut Tukan
(2014), komponen aktif ekstrak metanol Padina sp. berupa alkaloid, wagner,
dragendorf, mayer, flavonoid, komponen fenolik, steroid, triterpenoid dan saponin
(Lampiran 3.).
4.2.3 Eucheuma sp.
Eucheuma sp. merupakan salah satu jenis alga merah menghasilkan
karagenan yang banyak dimanfaatkan dalam bidang industri kimia. Di Indonesia
budidaya rumput laut umumnya menggunakan genus Eucheuma dan biasanya
metode budidaya yang digunakan adalah metode dasar dan lepas dasar atau
metode terapung (Aslan, 1991) (Lampiran 3.). Eucheuma sp. Kelompok
karagenofit yakni rumput laut merah penghasil koloid karagenan, asam karagenik
60
dan garam karagenat. Koloid karagenan mempunyai fraksi iota dan kappa. Fraksi
iota kandungan koloid karagenan larut dalam air dingin (Kadi, 2004).
4.2.4 Gracilaria sp
Gracilaria sp. memiliki kandungan agarosa dan agaroptin yang cukup baik
sehingga dapat menentukan kekuatan gel agar yang kuat dan kokoh
dibandingkan dengan hasil ekstraksi dari Gelidium (Winarno, et al., 1990)
(Lampiran 3.). Glacillaria sp. adalah alga merah termasuk kedalam kelompok
Agaroflt yakni rumput laut merah penghasil koloid agar dan asam agarinik (Kadi,
2004).
4.3 Perubahan Tingkah Laku dan Gejala Klinis L. vannamei
Uji tantang L. vannamei yang diaplikasikan freeze dry rumput laut dilakukan
dengan penginfeksian WSSV melalui pakan selama 3 jam. Untuk mengetahui
perubahan tingkah laku dan gejala klinis L. vannamei yang diinfeksi WSSV, maka
dilakukan pengamatan secara morfologi terhadap aktifitas, nafsu makan, gejala
klinis dan kematian. Pengamatan ini dilakukan setelah uji tantang sampai dengan
hari ke-5 setelah infeksi WSSV. Hasil pengamatan tingkah laku dan gejala klinis
L. vannamei adalah sebagaimana dalam Tabel 5. berikut.
Tabel 4. Perubahan Morfologi dan Tingkah Laku dan Gejala Klinis L. vannamei
Kemunculan (Hari Ke-)
Perlakuan
A B C D E F
1 - - - - - - 2 - - - - - - 3 - ++ - ++ - ++ 4 - +++ + +++ ++ ++ 5 - +++ ++ +++ ++ +++ Status Sehat Terinfeksi Sehat Terinfeksi Sehat Terinfeksi
(Sumber: Data primer, 2018).
61
Tabel 5. Keterangan Karakteristik Tingkah Laku L. vannamei sebelum dan Setelah infeksi WSSV.
No. Kriteria L. vannamei
Sehat Terinfeksi WSSV
1. Aktivitas Sering di bawah (bentik) Sering di permukaan 2. Gerakan Aktif Pasif, lathergi (lemah) 3. Respon Makan Normal, usus penuh Nafsu makan menurun 4. Warna Badan Biru/ hijau normal Kemerahan, karapas
berbintik putih 5. Hepatopankreas Coklat Pucat
Range * 0-2 3<
Sumber: Wang et al. (2013)
Berikut hasil deskripsi perubahan tingkah laku L. vannamei setelah uji
tantang WSSV:
- Hari pertama dan kedua belum dan perubahan tingkah laku dan morfologi.
- Hari ketiga perlakuan B (kontrol negatif), D (Padina sp), dan F
(Gracillaria sp.) mengalami perubahan langsung dengan penurunan respon
makan dan aktifitas sering di permukaan.
- Hari keempat perlakuan C (Sargassum sp.) mengalami perubahan tingkah
laku mulai mendekati aerasi ke arah permukaan, perlakuan E (Euchema
sp) dan F (Gracillaria sp.) mengalami penuruan respon makan dan aktifitas
serta perlakuan B (kontrol negatif) dan D (Padina sp. ) mulai mengalami
hepatopankreas pucat, tubuh kemerahan dan berenang miring.
- Hari kelima perlakuan C (Sargassum sp.) dan E (Euchema sp) mengalami
penurunan respon makan dan aktifitas serta perlakuan B (kontrol negatif),
F (Gracillaria sp.) dan D (Padina sp.) mulai mengalami hepatopankreas
pucat, tubuh kemerahan dan berenang miring.
Dari pengamatan parameter perubahan morfologi dan tingkah laku
L. vannamei selama pemeliharaan, menunjukan bahwa WSSV masih dapat
menginfeksi L. vananmei uji selama pemeliharaan, menunjukan bahwa WSSV
masih dapat menginfeksi L. vannamei uji yang diberi aplikasi freeze dry rumput
62
laut pada pakan. Waktu kemunculan gejala klinis yang berbeda tiap perlakuan
dan kontrol menunjukan bahwa tingkat infeksi WSSV berbeda bahkan tidak
virulen terhadap L. vannamei. Munculnya gejala klinis yang lebih awal atau lebih
cepat terjadi pada kontrol negatif dari kelompok perlakuan. Hal ini menunjukan
bahwa perlakuan secara pakan L. vannamei uji dalam freeze dry rumput laut
berpengaruh terhadap patogenesis WSSV. Uji PCR dilakukan untuk mengetahui
lebih lanjut reaksi infeksi WSSV secara lebih lanjut (Lampiran 16.).
Serangan WSSV dapat menyebabkan L. vannamei menjadi lemah dan
gejala klinis yang nampak antara lain usus kosong, tubuh pucat dan kemerah-
merahan serta munculnya bercak putih berdiameter 0,5-2 mm pada bagian
cephalotorax sampai menyebar keseluruh tubuh. Virus ini biasanya menyerang
L. vannamei pada tahap pembesaran yaitu pada umur 1-2 bulan dan virus dapat
menyebar ke seluruh tambak L. vannamei dalam waktu 2 hari dan dapat
menyebabkan kematian 70% hingga 100% (Pranawaty et al., 2012).
4.4. Differential Haemocyte Count (DHC)
Secara umum, ada tiga jenis haemocyte berbeda pada darah udang seperti
sel-sel hialin, semigranular, dan granular. Adapun hasil perhitungan DHC
didapatkan hasil sebagai berikut:
A) Kontrol Positif (A)
Data hasil pengematan menunjukkan bahwa L.vannamei kontrol positif (A)
memiliki jumlah rata-rata nilai sel hialin sebesar 46,62 %, nilai sel semi granular
sebesar 37 % dan sel granular sebesar 15,87 %. Secara morfologi, hemosit
dibedakan atas tiga jenis menurut ukuran dan kuantitas granulanya yaitu:
hialinosit (hyalinocyte), granulosit (granulocyte) dan semi granulosit (semi-
granulocyte) (Van de Braak et al., 2000). Beberapa peneliti melaporkan bahwa
63
sel hemosit mempunyai fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan tipe selnya.
Sel hialin berperan dalam proses fagositosis dan aktivitas seperti halnya
makrofage pada ikan dan binatang berdarah panas lainnya.
Sel hialin ditandai dengan sedang tidak memiliki sitoplasma yang sebagai
agranular dan memiliki ukuran terkecil di antara sel haemocyte. Sel ini dapat
kehilangan partikel asing pada tubuh krustasea air melalui aktivitas fagositosis.
Sel semi granular ditandai oleh sejumlah granular kecil. Sel ini memiliki
kemampuan untuk mengetahui dan merespon partikel yakin atau molekul asing
dan responsing polisakarida dari dinding sel bacteri atau β-glukan yang berasal
dari jamur atau dikenal sebagai sel aktif dalam freeze dry. Namun, sel granular
memiliki sejumlah besar granul dan difungsikan pada memproduksi, menyimpan,
dan secresing senyawa antimikroba (Saraswati et al., 2013). Analisa data
menggunakan SPSS 15 RALF (Rancangan Acak Lengkap Faktorial) Uji LSD
Duncan (Lampiran 5), sebagai berikut:
A. Sel Hialin
Hasil histogram rata-rata sel hialin L. vannamei yang diaplikasikan
penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan dengan sebelum
dan setelah diinfeksi WSSV terlihat pada Gambar 14. Adapun rerata dari jumlah
sel hialin sebagai berikut:
64
Tabel 6.Rata-Rata Jumlah Sel Hialin
No
Perlakuan Rata-Rata
Sebelum Sesudah
1. B. Kontrol (-) 43,3 31,25 2. C. Sargassum sp. 58 67,5 3. D. Padina sp. 52 59,5 4. E. Eucheuma sp. 58,5 67,75 5. F. Gracillaria sp. 60 59,75
(Sumber: Data primer, 2018)
Hasil pengamatan sel hialin (Gambar 15) pada darah udang vaname
sebelum dan sesudah infeksi didapatkan data bahwa sebelum infeksi rata-rata
sel hialin pada perlakuan perlakuan B37,29%, C sebesar 62,75 %, perlakuan D
sebesar 55,75 %, perlakuan E sebesar 63,1 %.dan perlakuan F 59,8 %. Sel
hialin merupakan sel dengan perbandingan inti sel lebih tinggi dari sitoplasma
dan memiliki sedikit granula. Sel hialin melakukan fungsi dalam imunitas sebagai
fagositosis (Johansson et al., 2000). Persentase sel hialin berkisar antara 37,29 –
63,1 %.
Gambar 14. Histogram rerata rata-rata Hialin L. vannamei yang diaplikasikan
penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data Primer, 2018).
65
(A) (B) Gambar 15. Sel Hialin (A) data primer (2018), dan data sekunder
(Estrada et al., 2016).
Tabel 7. Analize Between Subject Nilai Hialin
Source Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Corrected Model 4513,900(a) 9 501,544 53,073 ,000
Intercept 124099,600 1 124099,600 13132,233 ,000
Imunostimulan 3824,150 4 956,038 101,168 ,000
WSSV 84,100 1 84,100 8,899 ,006
Imunostimulan * WSSV
605,650 4 151,412 16,022 ,000
Error 283,500 30 9,450
Total 128897,000 40
Corrected Total 4797,400 39
a R Squared = ,941 (Adjusted R Squared = ,923) (Sumber: Data primer, 2018)
Pada Tabel 7 nilai hialin diketahui dengan selang kepercayaan 95% yaitu
corrected model, intercept, imunostimulan, WSSV serta hubungan antara
imunostimulan didapatkan signifikansi < 0,05 (alfa) yaitu dengan hasil 0,00.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hialin dengan pemberian frezze dry rumput
laut berbeda memiliki model valid. Untuk mengetahui jenis frezze dry rumput laut
mana yang menghasilkan sel hialin berbeda nyata dengan yang lain dan
tersignifikan, maka perlu dilakukan uji homogeneous subsets.
66
Tabel 8. Homogeneous Subsets Nilai Hialin
Freeze Dry Rumput Laut N Subset
Notasi
1 2 3 4 1
Duncan(a,b)
Kontrol (-) 8 37,0625
a
Padina sp. 8 55,5625 b
Gracillaria sp. 8 59,0625 c
Eucheuma sp. 8 62,8750 d
Sargassum sp. 8 63,9375 d
Sig. 1,000 1,000 1,000 ,495
(Sumber: Data primer, 2018)
Dari Tabel 8 dapat dijelaskan bahwa perlakuan kontrol (-) memiliki
perbedaan, freeze dry rumput laut Padina sp. dan Gracillaria sp. adalah sama,
serta Eucheuma sp. dan Sargassum sp. adalah sama. Sehingga dapat
disimpulkan diduga perlakuan Eucheuma sp. dan Sargassum sp. memiliki notasi
yang berbeda dan Sargassum sp. tersignifikan meningkatkan hialin. Menurut
Saraswati (2013), peningkatan sel hialin dikarenakan LPS pada ekstrak dapat
menginduksi terjadinya proliferasi sel hemosit. Proliferasi sel terjadi karena
adanya polisakarida LPS pada ekstrak dapat memacu respon imun hewan air.
Sehingga kemungkinan mampu mempercepat proses maturasi precussor cell
hemosit di jaringan hematopoitik yang kemudian diikuti dengan pelepasan
hemosit baru ke hemolim. Pelepasan hemosit baru akan meningkatkan total sel
hialin dan mempercepat proses maturasi hemosit di jaringan penghubung
sehingga memberikan kontruksi pada kelimpahan sel granular di hemolim saat
terjadi infeksi patogen (Lampiran 7).
Ekawati et al. (2012), menambahkan bahwa apabila terjadi serangan
pathogen sel hialin merupakan Sel yang berperan lebih besar dari pada sel
lainnya. Sel hialin menjadi sel utama dalam proses fagositosis dan sel semi
granular lebih berperan dalam proses freeze dry yang mengindikasikan adanya
penggabungan beberapa sel hemosit untuk menghalangi partikel asing dalam
67
peredaran darah (Soderhall and Cerenius, 1992). Dengan demikian, peningkatan
sel-sel hialin dalam hemosit meruapakan salah satu parameter peningkatan
status kesehatan atau ketahanan tubuh L. vananmei yang tentunyatidak lepas
dari jenis sel lain dalam hemosit.
B. Sel Granular
Hasil histogram rata-rata sel granular L. vannamei yang diaplikasikan
penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan dengan sebelum
dan Setelah diinfeksi WSSV terlihat pada Gambar 16.
Tabel 9.Rata-Rata Jumlah Sel Granular
No
Perlakuan Rata-Rata
Sebelum Sesudah
1. Kontrol (-) 36 43,75 2. Padina sp. 25,75 21,25 3. Gracillaria sp. 29 27 4. Eucheuma sp. 29 23,75 5. Sargassum sp. 30,5 30,5
(Sumber: Data primer, 2018)
Hasil pengamatan sel granular (Gambar 17) pada darah udang vaname
sebelum dan sesudah infeksi didapatkan data bahwa sebelum infeksi rata-rata
sel granular pada perlakuan perlakuan B 39,87% perlakuan C sebesar 23,5 %,
perlakuan D sebesar 28 %, perlakuan E sebesar 26,3 % dan perlakuan F 30,5
%. Sel Granular merupakan sel dengan perbandingan inti sel lebih rendah dari
sitoplasma. Sel ini berfungsi dalam menyimpan dan melepaskan sistem proPO
maupun sebagai sitotoksis bersama-sama dengan sel semi granular (Johansson
et al., 2000). Persentase sel granular berkisar 23,5 – 39.87 %.
68
Gambar 16. Histogram rerata rata-rata Granul L. vannamei yang diaplikasikan
penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data Primer, 2018).
(A) (B) Gambar 17. Sel Granul (A) data primer (2018), dan data sekunder
(Estrada et al., 2016).
Tabel 10. Analize Between Subject Nilai Granul
Source Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Corrected Model 4096,475(a) 9 455,164 21,640 ,000
Intercept 44957,025 1 44957,025
2137,418
,000
Imunostimulan 1651,350 4 412,837 19,628 ,000
WSSV 731,025 1 731,025 34,756 ,000
Imunostimulan * WSSV
1714,100 4 428,525 20,374 ,000
Error 631,000 30 21,033
Total 49684,500 40
Corrected Total 4727,475 39
a R Squared = ,867 (Adjusted R Squared = ,826) (Sumber: Data primer, 2018)
69
Pada Tabel 10 nilai granul diketahui dengan selang kepercayaan 95%
yaitu corrected model, intercept, imunostimulan, WSSV serta hubungan antara
imunostimulan didapatkan signifikansi < 0,05 (alfa) yaitu dengan hasil 0,00.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai granul dengan pemberian frezze dry
rumput laut berbeda memiliki model valid. Untuk mengetahui jenis frezze dry
rumput laut mana yang menghasilkan sel granul berbeda nyata dengan yang lain
dan tersignifikan, maka perlu dilakukan uji homogeneous subsets.
Tabel 11. Homogeneous Subsets Nilai Granul
Freeze Dry Rumput Laut N Subset
Notasi
1 2 3 4 1
Duncan(a,b)
Eucheuma sp. 8 25,3125
a
Gracillaria sp. 8 30,2500 b
Padina sp. 8 30,4375 b
Sargassum sp. 8 38,3125 c
Kontrol (-) 8 43,3125 d
Sig. 1,000 ,935 1,000 1,000
(Sumber: Data primer, 2018)
Dari Tabel 11 dapat dijelaskan bahwa perlakuan freeze dry rumput laut
Eucheuma sp. memiliki perbedaan, serta Gracillaria sp.dan Padina sp. adalah
sama, perlakuan Sargassum sp. memiliki perbedaan dan perlakuan kontrol (-)
memiliki perbedaan. Sehingga dapat disimpulkan diduga perlakuan kontrol (-)
memiliki notasi yang berbeda. Sel granular merupakan sel dengan perbandingan
inti sel lebih rendah dari sitoplasma. Sel ini berfungsi dalam menyimpan dan
melepaskan proPO maupun sebagai sitotoksis bersama-sama dengan sel semi
granul (Johansson et al., 2000).
Sel granular yang teramati mengalami penurunan setelah diinfeksi dengan
WSSV hal ini menunjukkan bahwa sel granular berperan dalam menjaga
ketahanan tubuh udang dari serangan petogen yaitu WSSV. Fungsi sel granular
70
lebih pada proses menghasilkan enzim phenoloksidase yang memiliki peranan
penting dalam sistem pertahanan non spesifik. Granula pada sel granular
hemosit terdiri dari propenoloksidase. Dalam aktivasi prophenoloksidase (proPO)
akan membebaskan suatu enzim dari sel granular. Sistem ini juga dipacu oleh
adanya komponen mikrobial seperti β-glucan. Proses prophenoloksidase
bertanggung jawab terhadap produksi dan sekresi metabolit toksik seperti
quinon. Produk akhir dari sistem ini adalah munculnya blackish nodules yang
biasanya berada di sekitar insang atau eksoskeleton. Saat terjadinya serangan
patogen, sel granular dan semi granular akan melakukan proses degranulasi,
cytotoxicity dan lisis terhadap material tersebut dengan demikian jumlah sel
granular yang beredar dalam hemolim akan mengalami penurunan (Ekawati et
al., 2012) (Lampiran 8.).
C. Sel Semi Granul
Hasil histogram rata-rata sel semo granul L. vannamei yang diaplikasikan
penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan dengan sebelum
dan Setelah diinfeksi WSSV terlihat pada Gambar 18.
Tabel 12.Rata-Rata Jumlah Sel Hialin
No
Perlakuan Rata-Rata
Sebelum Sesudah
1. B. Kontrol (-) 21 25,5 2. C. Sargassum sp. 12,6 11,25 3. D. Padina sp. 18 13,5 4. E. Eucheuma sp. 12 8,5 5. F. Gracillaria sp. 13 9,75
(Sumber: Data primer, 2018)
Hasil pengamatan sel semi granular (Gambar 19) pada darah udang
vaname sebelum dan sesudah infeksi didapatkan data bahwa sebelum infeksi
nilai rata-rata sel semi granular pada perlakuan perlakuan B sebesar 23,2 %,
71
perlakuan C sebesar 11,9 % perlakuan D sebesar 15,7 %, perlakuan E sebesar
10,2 % dan perlakuan F 11,3 %. Sel semigranular merupakan sel dengan jumlah
inti sel yang lebih rendah dibandingkan sitoplasmanya. Sel semigranular
berperan dalam enkapsulasi, sitotoksis dan melepaskan sistem proPO
(Johansson et al., 2000). Persentase sel semigranular berkisar pada 10,25 –
23,25 %.
Gambar 18. Histogram rerata rata-rata Semi Granul L. vannamei yang
diaplikasikan penambahan imunostimulan freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data Primer, 2018).
(A) (B) Gambar 19. Sel Semi Granul (A) data primer (2018), dan data sekunder
(Estrada et al., 2016).
Co
un
t
3
2
1
03
2
1
03
2
1
03
2
1
0
Nilai Semi Granular
24,0020,5019,0017,5015,5014,0013,0012,0011,009,508,005,00
3
2
1
0
Fre
eze
Dry
Ru
mp
ut L
au
t
Ko
ntro
l (-)S
arg
assu
m
sp
.P
ad
ina s
p.
Eu
ch
eu
ma
sp
.G
racilla
ria
sp
.
Sesudah
Sebelum
Uji Tantang
72
Tabel 13. Analize Between Subject Nilai Granul
Source Type III Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
Corrected Model 1005,475(a) 9 111,719 21,263 ,000
Intercept 8294,400 1 8294,400
1578,633
,000
Imunostimulan 863,537 4 215,884 41,088 ,000
WSSV 19,600 1 19,600 3,730 ,063
Imunostimulan * WSSV
122,337 4 30,584 5,821 ,001
Error 157,625 30 5,254
Total 9457,500 40
Corrected Total 1163,100 39
a R Squared = ,864 (Adjusted R Squared = ,824) (Sumber: Data primer, 2018)
Pada Tabel 13 nilai semi granul diketahui dengan selang kepercayaan
95% yaitu corrected model, intercept, imunostimulan, WSSV serta hubungan
antara imunostimulan didapatkan signifikansi < 0,05 (alfa) yaitu dengan hasil
0,00. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai sel semi granul dengan pemberian
frezze dry rumput laut berbeda memiliki model valid. Untuk mengetahui jenis
frezze dry rumput laut mana yang menghasilkan sel semi granul berbeda nyata
dengan yang lain dan tersignifikan, maka perlu dilakukan uji homogeneous
subsets.
Tabel 14. Homogeneous Subsets Nilai Semi Granul
Freeze Dry Rumput Laut N Subset
Notasi
1 2 3 1
Duncan(a,b)
Eucheuma sp. 8 10,5000
a
Gracillaria sp. 8 10,5625 a
Sargassum sp. 8 12,3125 a
Padina sp. 8 15,7500 b
Kontrol (-) 8 22,8750 c
Sig. ,145 1,000 1,000
(Sumber: Data primer, 2018)
Dari Tabel 14 dapat dijelaskan bahwa perlakuan freeze dry rumput laut
Eucheuma sp., Gracillaria sp. dan Sargassum sp. adalah sama, perlakuan
73
Padina sp memiliki perbedaan dan perlakuan kontrol (-) memiliki perbedaan.
Sehingga dapat disimpulkan diduga perlakuan kontrol (-) memiliki notasi yang
berbeda. Sel ini lebih berperan dalam proses freeze dry yang mengindikasikan
adanya penggabungan beberapa sel hemosit untuk menghalangi partikel asing
dalam sel darah. Sel semi granul dicirikan dengan adanya sejumlah kecil granul.
Menurut Van De Braak et al (2002), sel semi granular merupakan pematangan
dari sel hilain yang ketika terjadi seranagn patogen maka yang berperan pertama
adalah sel hialin, sehingga sel ini tidak berkembang menjadi sel semi granular
dan terlihat penurunan jumlah sel semi granular yang terdapat dalam hemosit.
Hasil pengamatan menunjukkan sel semi granular mengalami penurunan
Setelah infeksi kecuali pada perlakuan kontrol (-), hal ini berarti bahwa sel semi
granular hanya sedikit berperan dalam proses ketahanan tubuh udang, karena
sejatinya sel semi granular hanya pematangan dari sel hialin yang berperan
dalam proses freeze dry pathogen diduga sel hialin berperan lebih banyak
dibandingkan dengan sel semi granular sehingga jumlah sel semi granular
menurun. Sel semi granular merupakan pematangan dari sel hyalin yang ketika
terjadi serangan patogen maka yang berperan pertama adalah sel hyalin,
sehingga sel ini tidak berkembang menjadi sel semi granular dan terlihat
penurunan jumlah sel semi granular yang terdapat dalam hemosit Sel semi
granular dikarakteristikkan dengan terdapatnya granula pada sitoplasma. Sel ini
mampu merespon polisakarida dari dinding sel bakteri atau β-glucan yang
berasal dari jamur. Sel semi granular ini dapat melakukan proses freeze dry dan
sedikit berperan dalam proses fagositosis. freeze dry adalah merupakan reaksi
pertahanan melawan partikel dalam jumlah yang besar dan tidak mampu
difagosit oleh sel hemosit (Ekawati et al., 2012).
74
D. Signifikansi Pemberian Freeze Dry Rumput Laut Terhadap Keseluruhan
Hasil Parameter DHC
Pengaruh pemberian beberapa freeze dry rumput laut sebagai
imunostimulan terhadap respon imun non spesifik L. vannamei yang diamati
melalui parameter DHC, sebagai berikut disimpulkan secara signifikan rumput
laut perlakuan E (Eucheuma sp.) dan C (Sargassum sp.) dari keseluruhan
parameter DHC yang diujikan berdasarkan kriteria terbukti paling signifikan
meningkatkan sel hialin dibandingkan perlakuan lain. Hal ini disebabkan antigen
memasuki tubuh, maka antigen tersebut akan dijerat oleh makrofag sedemikian
rupa sehingga dapat diketahui sebagai bahan asing. Bahan asing tersebut akan
dikirimkan ke sistem pembentuk antibodi dan terjadilah pembentukan antibodi.
Sel hialin bila mengalami infeksi akan bertransformasi menjadi sel semi granul
dan lalu sel granul oleh karena itu kontrol (-) pada kedua sel tersebut paling
tinggi peningkatannya. Sehingga E (Eucheuma sp.) dan C (Sargassum sp.)
berpotensi memiliki bahan aktif paling tinggi yang dapat meningkatkan sel imun
non spesifik L. vannamei yang terinfeksi WSSV (Lampiran 6).
4.5 Kualitas Air
Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran kualitas air yang bertujuan
memanajemen kualitas air agar tetap dalam kondisi yang tepat. Parameter
kualitas air yang di ukur meliputi parameter fisika suhu yang diukur
menggunakan termometer dan parameter kimia pH, DO, salinitas dan amonia
yang diukur. Menurut Lisna dan Insulistyowati (2015), manajemen kualitas air
sangat penting karena air merupakan media hidup organisme akuatik. Dari hasil
pengkuran kualitas air didapatkan hasil yang ditunjukan pada Tabel 15 dan
Tabel 16 perhitungan data hasil pengamatan kualitas air ditunjukan pada
75
Lampiran 10. Analisa data menggunakan SPSS Uji RALF LSD Duncan, sebagai
berikut:
Tabel 15. Hasil Rata-Rata Pengukuran Kualitas Air Sebelum Uji Tantang WSSV
No Perlakuan
Nilai Rata-rata Kualitas Air Sebelum Uji Tantang WSSV
Suhu (oC) pH DO (mg/L) Salinitas
(ppt) Amonia (ppm)
1 A (kontrol +)
27,69±0,24 a 8,08±0,20 a 8,24±0,18 a 11,88±0,85 a 0,05±0,01 a
2 B (kontrol -)
27,69±0,24 a 8,10±0,08 a 8,20±0,14 a 11,63±0,95 a 0,06±0,01 a
3 C (Sargassum sp.)
27,88±0,25 a 8,10±0,02 a 8,26±0,23 a 12,13±1,03 a 0,06±0,01 a
4 D (Padina sp.)
27,75±0,35 a 8,09±0,05 a 8,24±0,20 a 11,75±0,96 a 0,06±0,01 a
5 E (Euchema sp.)
28,00±0,20 a 8,08±0,15 a 8,16±0,09 a 12,75±0,71 a 0,06±0,01 a
6 F (Gracilaria sp.)
27,81±0,31 a 8,08±0,10 a 8,19±0,35 a 11,75±0,29 a 0,06±0,01 a
7 Standart Baku Mutu
28-32 7-8,5 >5 5-34 <0,1
(Data Primer, 2018) Keterangan : Standart baku mutu yang digunakan berdasarkan Keputusan
Negara Lingkungan Hidup No.75 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Tabel 16. Hasil Rata-Rata Pengukuran Kualitas Air Setelah Uji Tantang WSSV
No Perlakuan
Nilai Rata-rata Kualitas Air Setelah Uji Tantang WSSV
Suhu (oC)
pH DO
(mg/L) Salinitas (ppt)
Amonia (ppm)
1 A (kontrol +)
25,44±0,31 a 8,28±0,22 b 8,25±0,13 a 11,75±0,96 a 0,02±0,00 a
2 B (kontrol -)
25,63±0,48 a 7,72±0,57 a 8,18±0,24 a 12,25±1,89 a 0,02±0,01 a
3 C (Sargassum sp.)
25,25±0,29 a 8,33±0,24 b 8,28±0,22 a 12,75±1,71 a 0,02±0,01 ab
4 D (Padina sp.)
25,50±0,41 a 8,28±0,21 b 8,30±0,14 a 12,50±1,91 a 0,03±0,01 ab
5 E (Euchema sp.)
25,75±0,35 a 8,33±0,24 b 8,30±0,18 a 12,50±1,91 a 0,04±0,01 b
76
No Perlakuan
Nilai Rata-rata Kualitas Air Setelah Uji Tantang WSSV
Suhu (oC)
pH DO
(mg/L) Salinitas (ppt)
Amonia (ppm)
6 F (Gracilaria sp.)
25,38±0,32 a 8,29±0,21 b 8,28±0,17 a 12,50±0,58 a 0,02±0,02 ab
7 Standart Baku Mutu
28-32 7-8,5 >5 5-34 <0,1
(Data Primer, 2018)
Keterangan : Standart baku mutu yang digunakan berdasarkan Keputusan Negara Lingkungan Hidup No.75 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
4.5.1 Parameter Fisika
Hasil pengukuran parameter fisika yaitu suhu sebagai berikut:
A. Suhu
Pengukuran parameter fisika suhu selama 21 hari pengaplikasian freeze
dry rumput laut pada pakan dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Histogram rerata parameter fisika suhu L. vannamei dengan
perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018).
Co
un
t
4
3
2
1
04
3
2
1
04
3
2
1
04
3
2
1
0
Nilai Suhu
28,0027,5026,0025,7525,5025,2525,00
4
3
2
1
0
Fre
eze
Dry
Ru
mp
ut L
au
t
Ko
ntro
l (-)S
arg
assu
m
sp
.P
ad
ina s
p.
Eu
ch
eu
ma
sp
.G
racilla
ria
sp
.
Sesudah
Sebelum
Uji Tantang
77
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai suhu terendah
sebelum uji tantang WSSV sebesar didapatkan nilai suhu terendah 27,7 0C
perlakuan A (kontrol positif) dan tertinggi 28 0C perlakuan E (Euchema sp.),
sedangkan suhu terendah setelah uji tantang WSSV sebesar 25,25 0C perlakuan
C (Sargassum sp.) dan tertinggi 25,7 0C perlakuan E (Euchema sp.). Nilai suhu
diketahui dengan selang kepercayaan 95% yaitu tidak memiliki perbedaan
sebelum dan sesudah uji tantang WSSV dikarenakan dilakukan biomonitoring
kualitas air.
Kisaran suhu selama pemeliharaan tidak berkisar jauh terhadap ketetapan
Badan Standarisasi Nasional (2014) untuk pemeliharaan L. vannmei yaitu
berkisar antara 27-32 0C. Selama penelitian ini suhu pada bak pemeliharaan
terus dikontrol, karena suhu merupajan salah satu faktor pembatas utama yang
memegang peran penting dalam pertumbuhan L. vannamei (Mansyur, 2010).
Berdasarkan penelitian Taqwa (2008), suhu pemeliharaan juga berpengaruh
terhahap laju metabolisme biota air,
4.5.2 Parameter Kimia
Hasil pengukuran parameter kimia yaitu pH, DO, salinitas dan amonia
dapat dilihat pada Tabel 8.
A. pH
Pengukuran parameter kimia pH selama 21 hari pengaplikasian freeze dry
rumput laut pada pakan dilihat pada Gambar 15.
78
Gambar 21. Histogram rerata parameter kimia pH L. vannamei dengan perlakuan
pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018).
pH merupakan faktor penting yang berpengaruh pada pertumbuhan berat
L. vannamei. Berikut hasil pH selama penelitian 21 hari yang disajikan pada
Gambar 21. Nilai pH tersebut termasuk dalam kondisi optimal, pH air akan
berpengaruh terhadap nafsu makan dan reaksi kimia dalam air. Menurut Mustafa
et al. (2015), pada umumnya pH air yang baik bagi organisme akuatik termasuk
udang adalah 6,5 – 9,0. Pada pH 9,5 -11,00 dan 4,0 – 6,0 mengakibatkan
produksi rendah dan apabila lebih kecil dari 4,0 atau lebih besar dari 11,0 maka
udang akan mati. Nilai pH diketahui dengan selang kepercayaan 95% yaitu tidak
memiliki perbedaan sebelum dan sesudah uji tantang WSSV dikarenakan
dilakukan biomonitoring kualitas air.
Kisaran pH ini sesuai dengan kisaran pH yang ditetapkan Badan
Standarisasi Nasional (2014), pH untuk pemeliharaan udang vannamei yaitu
berkisar 7,5-8,5, namun pada rentang kisaran tersebut L. vannamei masih dapat
Co
un
t
2.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Nilai pH
8,508,338,318,308,188,168,138,128,118,108,098,078,068,018,007,997,956,87
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Fre
eze D
ry R
um
pu
t Lau
t
Ko
ntro
l (-)S
arg
assu
m
sp
.P
ad
ina s
p.
Eu
ch
eu
ma
sp
.G
racilla
ria
sp
.
Sesudah
Sebelum
Uji Tantang W
79
tumbuh baik. Selain itu, fluktuasi kadar CO2 maupun O2 juga mempengaruhi
tinggi rendahnya nilai pHpada air tersebut (Rukminasari et al., 2014). Menurut
Kordi dan Andi (2007), kadar pHyang berubah pada media pemeliharaan sangat
berpengaruh pada kelangsungan hidup L. vannamei.
B. Dissolved Oxygen (DO)
Pengukuran parameter kimia DO selama suhu selama 21 hari
pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan dapat dilihat pada Gambar
22.
Gambar 22. Histogram rerata parameter kimia DO L. vannamei dengan
perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan dengan dosis berbeda pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018).
Oksigen terlarut merupakan salah satu parameter penting yang
berpengaruh pada pertumbuhan serta kelangsungan hidup L. vannamei.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, nilai DO terendah sebelum uji
tantang WSSV sebesar 8,16 mg/L perlakuan E (Euchema sp.) dan tertinggi yaitu
8,26 mg/L perlakuan C (Sargassum sp.). Nilai DO terendah sesudah uji tantang
Co
un
t
2.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Nilai DO
8,608,508,408,358,308,258,208,158,108,007,957,75
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Fre
eze D
ry R
um
pu
t Lau
t
Ko
ntro
l (-)S
arg
assu
m
sp
.P
ad
ina s
p.
Eu
ch
eu
ma
sp
.G
racilla
ria
sp
.
Sesudah
Sebelum
Uji Tantang
80
WSSV sebesar 8,18 mg/L perlakuan B (kontrol negatif) dan tertinggi yaitu 8,30
mg/L perlakuan E (Euchema sp.). Nilai DO diketahui dengan selang kepercayaan
95% yaitu tidak memiliki perbedaan sebelum dan sesudah uji tantang WSSV
dikarenakan dilakukan biomonitoring kualitas air.
Kadar oksigen terlarut selama penelitian ini optimum untuk pemeliharaan
L. vannamei karena kandungan optimum bagi pemeliharaan L. vannamei yaitu
>5 ppm (Suwarsih et al., 2016). Berdasarkan penelitian Clifford (1998) dalam
Suwoyo (2009), tingkat minimum oksigen terlarut yang berpengaruh pada
kesehatan L. vannamei yaitu 3 ppm dan yang berpotensial menyababkan
kematian yaitu <2 ppm. Kandungan oksigen pada media pemeliharaan dapat
berpengaruh pada pertumbuhan L. vannamei serta fungsi biologisnya.
C. Salinitas
Pengukuran parameter kimia salinitas selama 21 hari pengaplikasian
freeze dry rumput laut pada pakan dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Histogram rerata parameter kimia salinitas L. vannamei dengan
perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018).
Co
un
t
2.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.02.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Nilai Salinitas
15,0013,0012,0011,5011,00
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
Fre
eze D
ry R
um
pu
t lau
t
Ko
ntro
l (-)S
arg
assu
m
sp
.P
ad
ina s
p.
Eu
ch
eu
ma
sp
.G
racilla
ria
sp
.
Sesudah
Sebelum
Uji Tantang
81
Salinitas berperan penting dalam mengatur osmoregulasi pada
L. vannamei. Pada penelitian didapatkan hasil dari salinitas media awal
pemeliharaan udang vannamei 11 ppt. Nilai tersebut masih berada kondisi
optimum. Salinitas yang didapatkan disesuaikan dengan salinitas pada tambak di
UPT PBAP Bangil yang merupakan tempat pengambilan udang. Hal ini bertujuan
untuk mengurangi resiko perubahan salinitas yang besar saat selama
pemeliharaan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan nilai salinitas
terendah sebelum uji tantang WSSV sebesar 11,63 ppt perlakuan B (kontrol
negatif) dan tertinggi yaitu 12,75 ppt perlakuan E (Euchema sp.). Nilai salinitas
terendah sesudah uji tantang WSSV sebesar 11,75 ppt perlakuan A (kontrol
positif) dan tertinggi yaitu 12,75 ppt perlakuan C (Sargassum sp.). Nilai salinitas
diketahui dengan selang kepercayaan 95% yaitu tidak memiliki perbedaan
sebelum dan sesudah uji tantang WSSV dikarenakan dilakukan biomonitoring
kualitas air.
Nilai salinitas selama penelitian sesuai, karena L. vannamei dapat hidup
pada rentang salinitas yang lebar dan dapat hidup pada kondisi hypo serta hyper
yaitu dengan kisaran 5-50 ppt (Suwoyo dan Markus, 2010). Berdasarkan data
Badan Standarisasi Nasional (2014), L. vannamei hidup pada kisaran 5-32 ppt.
D. Amonia
Adapun Pengukuran parameter kimia amonia suhu selama 21 hari
pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan dapat dilihat pada Gambar
24.
82
Gambar 24. Histogram rerata parameter kimia amonia L. vannamei dengan
perlakuan pengaplikasian freeze dry rumput laut pada pakan sebelum dan Setelah diinfeksi WSSV (Data primer, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan nilai amonia terendah sebelum
uji tantang WSSV sebesar 0,05 ppm perlakuan A (kontrol positif) dan tertinggi
yaitu 0,06 ppm pada setiap perlakuan B, C, D, E, dan F. Nilai amonia terendah
sesudah uji tantang WSSV sebesar 0,02 ppm perlakuan A, B, C, F dan tertinggi
yaitu 0,04 ppm perlakuan E (Euchema sp.). Nilai amonia diketahui dengan
selang kepercayaan 95% yaitu tidak memiliki perbedaan sebelum dan sesudah
uji tantang WSSV dikarenakan dilakukan biomonitoring kualitas air.
Menurut Muslim (2013), konsentrasi amonia di bawah 1 ppm merupakan
konsentrasi yang belum terpolusi dan baik untuk kehidupan organisme. Menurut
WWF Indonesia (2014), nilai amonia yang diperbolehkan berdasarkan Kepmen
28/2005 tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak yaitu < 0,1 mg/l.
Rendahnya kualitas air akan berakibat pada rendahnya sintasan, pertumbuhan,
frekuensi ganti kulit, serta peningkatan jumlah mikroba atau bakteri patogen yang
merugikan.
Co
un
t
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.01.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.01.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.01.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Nilai Amonia
,08,07,07,06,06,06,05,05,05,04,04,04,03,01,01,01,01,00
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Fre
eze
Dry
Ru
mp
ut L
au
t
Ko
ntro
l (-)S
arg
assu
m
sp
.P
ad
ina s
p.
Eu
ch
eu
ma
sp
.G
racilla
ria
sp
.
Sesudah
Sebelum
Uji Tantang
83
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil efektifitas freeze dry rumput laut sebagai imunostimulan
terhadap respon imun non spesifik udang vaname Litopenaeus Vannamei
(Boone, 1931) dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pengaruh pemberian beberapa freeze dry rumput laut sebagai
imunostimulan terhadap respon imun non spesifik L. vannamei yang
diamati melalui parameter DHC: freeze dry rumput laut perlakuan E
(Eucheuma sp.) dan C (Sargassum sp.) dari keseluruhan parameter DHC
yang diujikan berdasarkan kriteria terbukti paling signifikan meningkatkan.
DHC tertinggi dari semua perlakuan, sementara itu uji F menunjukkan
bahwa perlakuan (Eucheuma sp.) dan C (Sargassum sp.) berbeda
signifikan pada selang kepercayaan 95 %, sehingga membuktikan bahwa
perlakuan (Eucheuma sp.) dan C (Sargassum sp.) yang terbaik.
2. Pengaruh pemberian beberapa freeze dry rumput laut yang diamati melalui
beberapa parameter kualitas air perlakuan A, B, C, D, E dan F kualitas air
secara berturut-turut parameter fisika dan kimia variabel perlakuan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap perbedaan rata-rata perlakuan.
5.2 Saran
Berdasarkan efektifitas freeze dry rumput laut sebagai imunostimulan
terhadap respon imun non spesifik udang vaname Litopenaeus Vannamei
(Boone, 1931) disarankan penelitian ini dapat mengevaluasi efektifitas freeze dry
rumput laut sebagai imunostimulan untuk pencegahan infeksi WSSV pada
L. vannamei, sehingga langsu dapat diaplikasikan petambak.
84
DAFTAR PUSTAKA
Alifuddin, M. 2002. Imunostimulan pada Hewan Akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1(2): 87-92.
Anggadiredja, T. 2006. Rumput Laut: Jakarta: Penerbit penebar Swadaya
Amalia, D. R. N. 2013. Efek Temperatur Terhadap Pertumbuhan Gracilaria Verrucosa. Skripsi. UNEJ
Amrillah, A. M., S. Widyarti dan Y. Kilawati. 2015. Dampak Stres Salinitas Terhadap Pravelensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) dan Survival Rate Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) pada Kondisi Terkontrol. Research Journal of Life Science 2(1): 34-47.
Amri, K dan I. Kanna. 2008. Budidaya Udang Vanname Secara Intensif. Agromedia Pustaka: Jakarta. Halaman 1-175.
Apriliza. 2010. Alga hijau, merah dan coklat. Online. http://www. coremap.or.id. Diakses 6 Desember 2017. Halaman 1-275.
A. Rodriguez, A. Cuesta, M. A. Esteban dan J. Meseguer. 2004. The Effect of Dietary Administration of The Fungus Mucor circinelloides on-spesific Immune Responses of Gilthhead Seabream. Fish and Shellfish Immunology 16: 241-249.
Baranauskiene, R., Venskutonis, P. R., Dewettinck, K., Verhe, R., 2006, Properties Of Oregano (Origanum Vulgare L.), Citronella (Cymbopogon Nardus G.) And Marjoram (Majorana Hortensis L.) Flavors Encapsulated Into Milk Protein-Based Matrices. J. Feed Research International. (39): 413–425.
Baratawidjaja. 2006. Efisiensi Penggunaan Imunostimulan dalam Pakan Terhadap Laju Pertumbuhan, Respon Imun dan Kelulushidupan Udang Vannamei (Litopenaeus vannmei). Jurnal Biosains 18(2): 1-18.
Bonilla, C. M. E., V. A. Sanz, M. Wille, P. Sorgeloos, M. B. Pensaert dan H. J. Nauwynck. 2008. W revies on the Morphology, Molecular Characterization Morphogenesis and Pathogenesis of White Spot Syndrome Virus. Journal of Fish Disease. 31:1-18.
Bold dan Wynne. 1978. profiless of four different chinese medicinal Sargassum seaweeds by GC-MS and chemotrics. Marine Drugs. 14(68): 2-11.
Cheng, W., L.U. Wang dan J.C. Chen. 2005. Effect of Water Temperature on the Immune Response of White Shrimp Litopenaeus vannamei to Vibrio alginolyticus. Aquaculture (250) 592– 601.
Chen, Zhen, Yibing Xu, Lining Zhang, Hongbing Liu and Huashi Guan. Comparative Studies on the characteristic fatty acid profiless of four different chinese medicinal Sargassum seaweeds by GC-MS and chemotrics. Marine Drugs. 14(68): 2-11.
85
Churchill, G. Jr. 2001. Dasar-Dasar Pemasaran Jilid 1. Erlangga: Surabaya. Halaman 1-255.
Cordova, A. I. C., N. Y. H. Saavedra dan F. Ascencio. 2002. Superoxide dismutase as modulator of immune function in American white shrimp (Litopenaeus vannamei). Comparative Biochemistry and Physiology Part C. 133: 557-565.
Coremap. 2007. Deskripsi Alga hijau, merah dan coklat. Online. http://www. coremap.or.id. Diakses 6 Desember 2017. Halaman 1-275.
Dananjaya. 2013. Prospek Pemberian Imunoglobulin Y (Igy) Secara Peroral Pada Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Sebagai Imunisasi Pasif Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB : Bogor
Darwantin, K., R. Sidik dan G. Mahasri. 2016. Efisiensi Penggunaan Imunostimulan dalam Pakan Terhadap Laju Pertumbuhan, Respon Imun dan Kelulushidupan Udang Vannamei (Litopenaeus vannmei). Jurnal Biosains 18(2): 1-18.
Dawes, C.J., 1981. Marine Botany. John Wiley Dawson University of South Florida New York.
Departemen Pekerjaan Umum. 1990. Metode Pengujian Kadar Amonium Dalam Air dengan Alat Speltrofotometer secara Nessler. Kumpulan SNI Edisi Akhir 1990 SK SNI M-48-1990-03. 15 Halaman.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2009. Data Perikanan Budidaya. KKP: Jakarta. Hal 1-27.
Dotulang, V., S. B. Widjanarko, Yunianta dan L. P. Mamahit. 2013. Antioxidant Activity of Three-Marine Algae Methanol Extract Collected from North Sulawesi Waters, Indonesia. International Journal of Science and Engineering Investigations. 2: 26-30.
Dugger D. and De Jory. 1999. Bio-Modulation of The Non-Specific Immune Response Bonami. Application of Gene Probes as Diagnostic Tools for White Spot Baculovirus (WSBV) of Penaeid Shrimp. Disease Of Aquatic Organisms. 27: 59-66.
Ekawati, A. W., H. Nursyam, E. Widjayanto dan Marsoedi. 2012. Diatome Chaetoceros ceratosporum dalam Formula Pakan Meningkatkan respon Imun Seluler Udang Windu (Penaeus monodon iFab.). J. Exp Life Sci. 2(1):20-28.
Elovaara, A.K. 2001. Shrimp Farming Manual: Practical Technology for Intensive Commercial Shrimp Production. Carribian Press Ltd. USA. 200pp. 2(1):20-28.
Estrada, N., E. Velazquez, C. R. Jaramillo dan F. Escencio. 2016. Carbihydrate Moieties and Cyoenzymatic Characyerization of Hemocytes in Whiteleg Shrimp Litopenaeus vannamei. Hindawi. 2016(9).
86
Extech Instrument. 2015. Dissolved Oxygen (DO) Meter: SD Card real-time Datalogger, Model SDL 150. 16 Halaman.
Federe. 2003. Effect of Water Temperature on the Immune Response of White Shrimp Litopenaeus vannamei to Vibrio alginolyticus. Aquaculture (250) 592– 601
Feriza, D. 2010. Prospek Pemberian Imunoglobulin Y (Igy) Secara Peroral Pada Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Sebagai Imunisasi Pasif Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB : Bogor
Feed dan Aquaculture Organization. 2011. Penaeus vannamei (Boone, 1931). Diakses Tanggal 5 Desember 2017. <http://www.fao.org/fishery/ culturedspecies/Litopenaeus_vannamei/en>. Halaman 1.
Fajri, N. A., M. Ali dan S. N. Depamade. 2015. Deteksi WSSV (White Spot Syndrome Virus) pada Lobster Air Tawar (Procambarus clarkii) Menggunakan Metode Real Time-PCR. Jurnal Sains dan Lingkungan. Volume 1(1): 30-36.
Fitrya. 2008. Pemeriksaan Karakteristik Simplisia Alga Padina australis Hauck (Dictyotaceae). Jurnal Penelitian Sains. 13(3): 46-49.
Francavilla, M., M. Franchi, M. Monteleone dan C. Caroppo. The red seaweed
Gracilaria gracilis as a multi products source. Marine drugs doi:
10.3390.
Fuady, M. F., M. N. Supardjo dan Haeruddin. 2013. Pengaruh Pengelolaan Kualitas Air terhadap Tingkat Kelulushidupan dan Laju Pertumbuhan udang Vannamei(Litopenaeus vannamei) di PT. Indokor Bangun Desa, Yogyakarta. Diponegoro Journal of Maquares. 2(4): 155-162.
Geraldino, P. J. L., L. M. Liao dan S. M. Boo. 2005. Morphological Study of the Marine Algal Genus Padiba (Dictyotales, Phaeophyceae) from Southern Philippines: 3 Species New to Phillippines. Algae. 20(2): 99-112.
Guanzon, N.G.Jr., 2003. Seaweed Biology and Ecology. Lecture Note. Responsible Aquaculture Development Training Programe. Aquaculture Department. SEAFDEC. Tingbauan. Iloilo. Philipines.
Haliman, R. W. Dan D. Adijaya. 2005. Udang Vanname, Pembudidayaa dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya: Jakarta. Halaman 1-47.
Handayani, N. K. dan a. Zuhrotun. 2010. Padina australis dan Potensinya sebagai Obat Herbal Antikanker, Antibakteri dan Antioksidan. Farmaka. 15(2): 90-96.
Haryani. 2010. Penambahan Vitamin C dalam Pakan untuk Meningkatkan Imunitas Benih Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus Terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis. Jurnal Akuakultur Indonesia 6(1): 43-53.
87
Hidayati. 2017. Pengaruh Substitusi tepung Skeletonema costatum dalam Pakan Buatan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Juvenil Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 2(2): 1-8.
Indraswati. 2010. Penambahan Vitamin C dalam Pakan untuk Meningkatkan Imunitas Benih Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus Terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis. Jurnal Akuakultur Indonesia 6(1): 43-53.
Indriani dan Sumiarsih. 1991. Identifikasi efek analgesik alga coklat Sragassum sp. pada mencit (Mus muscullus). Skripsi: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar.
Instruction Manual ATAGO – Salinity Refractometer. Cat No. 2493 ATAGO CO. LTD. Tokyo Japan. 2007. 25 Halaman.
Instruction Manual pH300310 Waterproof Hand-Held pH/ mVI Temperature Metter, EUTECH INSTRUMENS revs9 2007. Halaman 1-30.
Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi terhadap Kadar Priperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrafracti fructus). Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Halaman 1-66
Irvine, D. E. G. and Price. J. H., 1978. Modern Approaches to The Taxonomy of Red and Brown Algae. Academic Press, London.
Izzati, M. 2007. Skreening Potensi Antibakteri pada beberapa Spesies Rumput Laut terhadap Bakteri Patogen pada Udang Windu. BIOMA. 9(2): 62-67.
Jahili, Z. 2015. Identifikasi efek analgesik alga coklat Sragassum sp. pada mencit (Mus muscullus). Skripsi: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar.
Johansson, M. W., Keyser P., Sritunyalucksana, K. dan Sonderhall K. 2000. Crustacean Haemocytyes and Haemotopiesis. Aquaculture. 101: 45-52.
Kadi, A. 2004. Potensi Rumput laut Dibeberapa Perairan Pantai Indonesia. Oseana. 29(4): 25-36.
Kilawati, Y. Maimunah, Y. 2014. Kualitas Lingkungan Tambak Intensif Litopenaeus vannamei Dalam Kaitannya Dengan Prevalensi Penyakit White Spot Syndrome Virus. FPIK Unibraw : Malang. Journal Of Life Science. 1(2):127-136.
Kordi, M. G. H dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. PT Rineka Cipta: Jakarta. Halaman 1-170.
Jasmanindar, Y. 2009. Penggunaan Ekstrak Gracilaria verrucosa untuk Meningkatkan Sistem Ketahan Udang Vanname (Litopenaeus vannamei). Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor: Bogor. Halaman 1-120.
88
Johnny, F., K. Mahardika, I. N. A. Giri dan D. Roza. Penambahan Vitamin C dalam Pakan untuk Meningkatkan Imunitas Benih Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus Terhadap Infeksi Viral Nervous Necrosis. Jurnal Akuakultur Indonesia 6(1): 43-53.
Johnson, S. K. 1995. Handbook of Shrimp Diseases. Departement of Wildlife and Fisheries Sciences Texas A&M University. Halaman 1-30.
Kartadinata, A., A. Setiawan dan T. Herawati. 2011. Pengaruh Substitusi tepung Skeletonema costatum dalam Pakan Buatan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Juvenil Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 2(2): 1-8.
Khotimah, K., Darius dan B. B. Sasmito. 2013. Uji Aktivitas Senyawa Aktif Alga Coklat (Sargassum fillipendulla) sebagai Antioksidan pada Minyak Ikan Lemuru (Sardinella longiceps). Thpi Student Journal. 1 (1): 10-20.
Kordi, M. G. H dan A. B. Tancung. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. PT Rineka Cipta: Jakarta
Lightner, D. V. 1996. A Handbook of Shrimp Pathology and Diagnostic Prducers for Diseases of Culture Panaeid Shrimp. The world Aqaculture Society: USA. Halaman 1-110.
LIPI. 2011. Fauna Indonesia. Pusat Penelitian Biologi. 2(10).
Machmud. 2014. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Sokletasi terhadap Kadar Priperin Buah Cabe Jawa (Piperis retrafracti fructus). Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Halaman 1-66
Maharany. 2017. Pengaruh Substitusi tepung Skeletonema costatum dalam Pakan Buatan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Juvenil Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). 2(2): 1-8.
Makmur, H. S. Suwono dan R. Syah. Aplikasi Feeding Regime pada Pemeliharaan Udang Vannamei (Litopenaeus Vannamei) Pola Super Intersif. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Halaman 1-20.
Mansyur, A., H. S. Suwono dan Rachmansyah. 2010. Pengaruh pengurangan ransum pakan secara periodik terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) Pola Semi-Intensif di Tambak. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Manoppo, H. 2011. Peran Nukleotida Sebagai Imunostimulan Terhadap Respon Imun Nonspesifik Dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei). TESIS. Sekolah Pascasarjana. IPB : Bogor.
Mann. 1982. Virus Penyakit Ikan/ Udang. Penerbit: Universitas Negeri Malang: Malang. Halaman 1-106.
Mukhriani. 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa dan Identifikasi senyawa aktif. Jurnal Kesehatan. 7(2): 361-367.
89
Nuhman. 2008. Pengaruh Prosentase Pemberian Pakan Terhadap Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei). Berkala Ilmiah Perikanan. 3(1): 35-39.
Nursid, M., T. Wikanta dan R. Susilowati. 2013. Aktivitas Antioksidan, Sitotoksisitas dan Kandungan Fukosantin Ekstrak Rumput Laut Coklat Dari Pantai Binuangeun, Banten. JPB Kelautan dan Perikanan. 8(1): 73-84.
Nurwati. 2002. Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase, Katalase, dan Glutation Persokside Penderita Sindrom Metabolik. MKB. 1: 7-12.Pakidi, C. S. dan H. S. Suwoyo. 2016. Potensi dan Pemanfaatan Bahan Aktif Alga Cokelat Sargasum sp. OCTOPUS Jurnal Ilmu Perikanan. 6(1): 551-562.
Pranawary. 2012. Kajian Kualitas Air pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Sistem Pergiliran Pakan Di Tambak Intensif. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Hal 329-337
Prawira, M. A., A. Sudaryono dan D. Rachmawati. 2014. Penggantian Tepung Ikan dengan Tepung Kepala Lele dalam Pakan Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Pakan dan Pertumbuhan Juvenil Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Journal of Aquaculture Management Technology 3(4): 1-8.
Peraturan Menteri Kalautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/ PERMEN-KP/ 2016 tentang Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu (Penaeus monodon) dan Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Sekretaris Negara Republik Indonesia. Halaman 1-30.
Pasongli, H. G. D. Dirawan dan Suprapta. 2015. Zonasi Kesesuaian Tambak untuk Pengembangan Budidaya Udang Vannamei(Penaeus vannamei) pada Aspek Kualitas Air di Desa Todowongi Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal Bioedukasi. 3(2): 324 – 335.
Prajitno, A. 2008. Virus Penyakit Ikan/ Udang. Penerbit: Universitas Negeri Malang: Malang. Halaman 1-106.
Prayi. 2007. Udang Vanname, Pembudidayaa dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya: Jakarta. Halaman 1-47.
Rahma, H. N., S. B. Prayitno dan A. H. C. Haditomo. Infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) yang Dipelihara pada Salinitas Media yang Berbeda. Journal of Aquaculture Management and Technology. 3(3): 25-34.
Rahmawati, E. 2017. Ketahanan Udang Vanname (L. vannamei, Boone 1931) yang Diberi Probiotik Bacillus sp. D2.2 Terhadap Infeksi Vibrio alginolyticus. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Halaman 1-34.
Ratti, C. 2001. Hot air and freeze-drying of highvalue Feeds: a review. Journal of Feed Engineering, 49, 311-31
90
Ridlo, A. dan Subagiyo. 2013. Pertumbuhan, Rasio Konversi Pakan dan Kelulushidupan Udang Litopenaeus vannamei yang Diberi Pakan dengan Suplementasi Prebiotik FOS (Fruktooligosakarida). Buletin Oseanografi Marina. 2(4): 1-8.
Ridlo, A. dan R. Pramesti. 2009. Aplikasi Ekstrak Rumput Laut sebagai Agen Imunostimulan Sistem Pertahanan Non Spesifik pada Udang (Litopenaeus vannamei). 14(3): 133-137.
Rukminasari, N., Nadiarti dan Awaluddin. 2014. Pengaruh Derajat Keasaman (pH) Air Laut terhadap Konsentrasi Kalsium dan Laju Pertumbuhan Halimeda sp. Torani (Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan). 24(1):28-34
Santhaman. 2015. Ekstraksi Rumut Laut Coklat Padina sp. dan Pengujian Ekstrak Sebagai Inhibitor Tirosinase. Skripsi: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Sahrijanna, A. dan Sahabuddin. 2014. Kajian Kualitas Air pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Sistem Pergiliran Pakan Di Tambak Intensif. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Hal 329-337.
Sakthivel, A., O. Selvakumar dan A. Gopalakrishnan. 2014. Effect of Mineral Deposition on Shrimp Litopenaeus vannamei in High Alkaline Water of Pennar River, Andhra Pradesh of Southeast Coast of India. Journal Aquaculture Research and Development. 5(4): 1-6.
Santoso. 2004. Statistik Jilid 1. Penerbit Swadaya
Saraswati, E., A. Prayitno, U. Yanuhar dan A. L. Abadi. 2013. Immune Response of White Shrimp Litoenaeus vannamei that Injected with the Extract of Diatomae Chaetoceros ceratosphorum. Journal Basic and Applied Scientifis Research. 3(7):998-1004.Sari 2012
Smith, V. J., J, H. Brown and C. Hauton. 2003. Immunostimulation In Crustaceans: Does It Really Protect Against Infecctions. Fish and Shellfish Immunology. 15(1): 71-90.
SNI. 2004. Air dan Air Limbah - Cara Uji Derajad Keasaman (pH) dengan Menggunakan Alat pHMeter. Badan Standarisasi Nasional.
Soenardjo. 2011. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Jakarta.
Standard Nasional Indonesia. 2005. Pengukuran Suhu. SNI 06-6989.23. ICS No. 13.060.01. Halaman 1-10.
Sudarmadji, Slamet., Bambang dan Suhari. 1997. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Fakultas Pertanian UGM Liberty. Yogyakarta.
Supriatna. 2013. Pengaruh Salinitas Terhadap Efek Infekssi Vibrio harveyi pada Udang Vaname (Litopenaeus vannmaei). Journal of Aquaculture Management 5(1):82-90.ent and Technology.
Suryana. 2010. Metodologi Penelitian: Model Praktis penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Buku Ajar Perkuliahan. Universitas Pendidikan Indoneisa; Jakarta. Halaman 1-110.
91
Suryaningrum, Th. D., T. Wikanta dan H. Kristiana. 2006 Uji aktivitas senyawa
antioksidan dari rumput laut Halymenia harveyana dan Eucheuma
sp.. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 1:
1
Suwarsih., Marsoedi., N. Harahab dan M. Mahmudi. 2016. Kondisi Kualitas Air pada Budidaya Udang di Tambak Wilayah Pesisir Kecamatan Palang Kabupaten Tuban. Prosiding Seminar Nasional Kelautan. Universitas Brawijaya.
Suwoyo, H. S dan M. Mangampa. 2010. Aplikasi Probiotik dengan Konsentrasi Berbeda pada Pemeliharaan Udang Vannamei(Litopenaeus vannamei). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau.
Suyanto, Rachmatun dan E. P. Takarina. 2009. Panduan Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya: Depok.
Taqwa, F. H. 2008. Pengaruh Penambahan Kalium pada Masa Adaptasi Penurunan Salinitas dan Waktu Pergantian Pakan Alami oleh Pakan Buatan terhadap Performa Pascalarva Udang Vannamei(Litopenaeus vannamei). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Tizard, I. 1982. Vaterinary Immunology. An Introduction. Third Ed. W. B. Saunders co Masduki Partodirejo, Penerjemah. 1988. Airlangga University Press, surabya. Halaman 1-90.
Truong-Giang Huynh, Su-Tuen Yeh, Yong-Chin Lin, Jeng-Feng Shyu, Li-Li Chen dan Jiann-Chu Chen. 2011. White Shrimp Litopenaeus vannamei Immersed in Seawater Containing Sargassum Hemiphyllumvar Chinensefreeze dry and Its Extract Showed Increased Immunity and Resistance Againts Vibrio alginolyticus and White Spot Syndrome Virus. Fish and Shellfish Immunology. 31: 286-293.
Tukan, M. V. N. 2014. Ekstraksi Rumut Laut Coklat Padina sp. dan Pengujian Ekstrak Sebagai Inhibitor Tirosinase. Skripsi: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Utami, W., Sarjito dan Desriana. 2016. Pengaruh Salinitas Terhadap Efek Infekssi Vibrio harveyi pada Udang Vaname (Litopenaeus vannmaei). Journal of Aquaculture Management 5(1):82-90.ent and Technology.
Van e Braak, C. B. T., M. H. A. Botterblom, E. A. Huisman, J. H. W. M. Rombout and W. P. W. Van Der Knaap. 2002. Preliminary Study on Heamocyte Response to White Spot Syndrom Virus Infection in Black Tiger Shrimp Penaeus monodon. Disease of Aquatic Organism. 51(2): 149-155.
Wandansari, N. D. 2013. Perlakuan Akutansi Atas PPHPasal 21 pada PT. Artha Prima Finance Kotamobagu. Jurnal emba. 1(3): 558-566.
Wahjuningrum, D., S. H. Sholeh dan S. Nuryati. 2006. Pencegahan Infeksi Virus White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu Penaeus monodon dengan Cairan Ekstrak Pohon Mangrove (CEPM)
92
Avicennia sp. dan Sonneratia sp. Jurnal Akuakultur Indonesia 5(1): 65-75.
Wahyudewantoro, G. 2011. Catatan Biologi Udang Putih Litopenaeus monodon (Boone, 1931). Fauna indonesia. 10(2):1-7.
Wang, Xian-Wei, Yi-Hui Xu, Ji-Dong Xu, Xiao-Fan Zhao dan Jin-Xing Wang. 2014. Collaboration Between a Soluble C-Type Lectin and Calreticulin Facilitates White Spot Syndrome Virus Infection in Shrimp. The Journal of Immunology. DOI: 10.4049. 1(2): 9-17.
Winarsi, H., S. P. M. Wijayanti dan A. Purwanto. 2012. Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase, Katalase, dan Glutation Persokside Penderita Sindrom Metabolik. MKB. 1: 7-12.
Wibowo. 2014. Pertumbuhan dan Sintasan Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Melalui Substitusi Tepung Ikan dengan Tepung Usus Ayam. Jurnal Mina Laut Indonesia. 1(1): 93-103.
Widyartini, D. S., P. Widodo dan A. B. Susanto. 2017. Thallus variation of Sargassum polycystum from Central Java, Indonesia. Biodiversitas. 18(3): 1004-1011.
Widyantoko W., Pinandoyo dan V. E. Herawati. 2015. Optimalisasi Penambahan Tepung Rumput Laut Coklat (Sargassum sp.) yang Berbeda dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan dan Kelulushidupan Juvenil Udang Windu (Penaeus monodon). Journal Aquacuture Management and Technology. 4(2): 9-17.
Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1990. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Jakarta.
Winarno F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT, Gramedia Pustaka Utama.
WWF Indonesia. 2014. Better Management Practice, Seri Panduan Perikanan Skala Kecil, Budidaya Udang Vannamei: Tambak Semi Intensif dengan Pengolahan Air Limbah (IPAL). Jakarta Selatan: WWF Indonesia Edisi 1 Desember 2014.
Yudiati, E., A. Isnansetyo, Murwantoko, Ayuningtyas, Triyanto, C. R. Handayani. 2016. Innate immune-stimulating and immune genes up-regulating activities of three types of alginate from Sargassum siliquosum in Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Fish and Shellfish Immunology. 54 (2016): 46-53.
Yustianti, M. N. Ibrahim dan Ruslaini. 2013. Pertumbuhan dan Sintasan Larva Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Melalui Substitusi Tepung Ikan dengan Tepung Usus Ayam. Jurnal Mina Laut Indonesia. 1(1): 93-103.