EFEKTIFITAS DAN PERANAN SOSIAL.docx
description
Transcript of EFEKTIFITAS DAN PERANAN SOSIAL.docx
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum merupakan alat rekayasa sosial yang digunakan untuk mengubah
pola dan tingkah laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang
dikehendaki oleh hukum. Dewasa ini banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan
yang terjadi di masyarakat, seperti kasus penerobosan lampu merah yang banyak
dilakukan oleh masyarakat pengguna jalan.
Memang ada studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat
yang merupakan cabang dari Ilmu hukum tetapi tidak di sebut sebagai sosiologi
hukum melainkan disebut sebagai Sosiologi Jurispudence. Penelahan hukum
secara sosiologis menunjukkan bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan
masyarakat. Yakni merupakan refleksi dari unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hukum merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.
2. Hukum merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas
universal.
3. Hukum merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu
keadilan dan ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Di samping itu, pesatnya perkembangan masyarakat , teknologi dan
informasi pada abad kedua puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah
menyebabkan orang berpikir ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan
perhatianya terhadap interaksi antara sektor hukum dan masyarakat di mana
hukum tersebut diterapkan. Namun masalah kesadaran hukum masyarakat masih
menjadi salah satu faktor terpenting dari efektivitas suatu hukum yang
diperlakukan dalam suatu negara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Efektifitas Hukum dan Peranan Sosial
Berbicara efektifitas hukum, Soerjono Soekanto (2011: 26) berpendapat
tentang pengaruh hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun
sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia.
Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau
kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak
atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif”.
Ketaatan seseorang bersikap tindak atau berperilaku sesuai dengan
harapan pembentuk undang-undang bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak
atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan
atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep
ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan sebenarnya berkaitan
dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Bilamana hukum tersebut
berisikan kebolehan, perlu dipergunakan konsep-konsep lain, yakni penggunaan
(use), tidak menggunakan (nonuse) dan penyalahgunaan (misuse); hal tersebut
adalah lazim dalam bidang hukum perikatan.
Efektifitas penegakan hukum dibutuhkan kekuatan fisik untuk
menegakkan kaidah-kaidah hukum tersebut menjadi kenyataan berdasarkan
wewenang yang sah. Sanksi merupakan aktualisasi dari norma hukum threats
dan promises, yaitu suatu ancaman tidak akan mendapatkan legitimasi bila tidak
ada faedahnya untuk dipatuhi atau ditaati. Internal values merupakan penilaian
pribadi menurut hati nurani dan ada hubungan dengan yang diartikan sebagai
suatu sikap tingkah laku.
Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan erat dengan efektifitas
hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk
menegakkan sanksi tersebut. Suatu sanksi dapat diaktualisasikan kepada
masyarakat dalam bentuk ketaatan (compliance), dengan kondisi tersebut
menunjukkan adanya indikator bahwa hukum tersebut adalah efektif.
Sanksi merupakan aktual dari norma hukum yang mempunyai
karakteristik sebagai ancaman atau sebagai sebuah harapan. Sanksi akan
memberikan dampak positif atau negatif terhadap lingkungan sosialnya.
Disamping itu, sanksi ialah penilaian pribadi seseorang yang ada kaitannya
dengan sikap perilaku dan hati nurani yang tidak mendapatkan pengakuan atau
dinilai tidak bermanfaat bila ditaati. Pengaruh hukum dan konsep tujuan, dapat
dikatakan bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang
dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan, berpengaruh positif atau
efektifitasnya yang tergantung pada tujuan atau maksud suatu kaidah hukum.
Suatu tujuan hukum tidak selalu identik dinyatakan dalam suatu aturan dan belum
tentu menjadi alasan yang sesungguhnya dari pembuat aturan tersebut.
Hubungan antara hukum dan sikap, agar hukum mempunyai pengaruh
terhadap sikap tindak atau perilaku manusia, perlu diciptakan kondisi-kondisi
yang harus ada, antara lain bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan,
sebagaimana dikemukakan Friedmann (1975:111) “ a legal act (rule, doctrine,
practice), whatever functions it serves, is message.”
Komunikasi itu sendiri merupakan suatu proses penyampaian dan
penerimaan lambing-lambang yang mengandung arti-arti tertentu. Tujuan
komunikasi adalah menciptakan pengertian bersama, dengan maksud agar terjadi
perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku. Masalah sanksi sebagai aktivitas
hukum, Soerjono Soekanto (1985:82) mengemukakan “bahwa kalangan hukum
lazimnya kurang memperhatikan masalah sanksi positif. Sanksi negatif lebih
banyak dipergunakan karena adanya anggapan kuat bahwa hukuman lebih efektif.
Dapatlah dikatakan bahwa sanksi-sanksi tersebut tidak mempunyai efek yang
bersifat universal. Efek suatu sanksi merupakan masalah empiris, oleh karena itu
manusia mempunyai persepsi yang tidak sama mengenai sanksi-sanksi tersebut.”
Dalam sanksi negatif, yang penting adalah kepastiannya. Pentingnya
kepastian tersebut antara lain mengakibatkan bahwa yang penting pada sanksi
negatif adalah kepastiannya. Pentingnya kepastian tersebut antara lain
mengakibatkan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan
tersebut harus dilakukan secara ketat. Suatu ancaman hukuman benar-benar
efektif atau tidak untuk mencegah terjadinya kejahatan, tergantung pula pada
persepsi manusia terhadap resiko yang dideritanya apabila melanggar suatu norma
tertentu. Pokok masalahnya adalah bagaimana menimbulkan anggapan bahwa
kalau seseorang melanggar ketentuan tertentu akan mendapat risiko ancaman
hukuman yang berat ? Disamping itu, kecepatan penindakan pelaksanaan
hukuman dengan kepastian dan beratnya hukuman mempunyai efek yang lebih
besar daripada hal itu ditunda.
Ancaman hukuman dalam sanksi negatif akan lebih berpengaruh terhadap
perilaku instrumental dari pada perilaku kriminal ekspresif. Karakteristik suatu
ancaman dan harapan dari sebuah sanksi ialah The nature of the sanction, reward
and punishment, perception of risk and the speed of enforcement. Sanksi secara
konvensional dibagi dalam dua bagian besar yaitu imbalan (reward) dan
penghukuman (punishment).
Reward dan punishment merupakan konsep sanksi yang selalu banyak
didiskusikan oleh semua orang dalam kaitan dengan sebuah pertanyaan mana
yang lebih efektif antara reward dan punishment. Punishment (penghukuman)
kelihatannya tidak sebaik apabila dikenakan suatu reward (imbalan). Kecepatan
dalam memberikan hukuman atau imbalan akan mendatangkan kepastian yang
amat penting dan mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sangat pelik.
Penghukuman atau imbalan secara lebih awal akan memberikan pengaruh,
dibanding dengan menunda-nunda permasalahannya.
Peranan penegak hukum dalam arti fungsi dan maknanya merupakan
bagian dari konsep struktur hukum. Oleh sebab itu, sebelum dilakukan
pembahasan tentang peranan penegak hukum terlebih dahulu diketahui tentang
pengertian sistem hukum.
Menurut Friedmann (2001: 8) mengemukakan bahwa sebuah sistem
hukum, pertama mempunyai struktur. Kedua memiliki substansi, meliputi aturan,
norma dan perilaku nyata manusia yang berada didalam sistem itu. Termasuk pula
dalam pengertian substansi ini adalah semua produk, seperti keputusan, aturan
baru yang disusun dan dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem itu pula.
Aspek ketiga, budaya hukum meliputi kepercayaan, nilai, pemikiran serta
harapannya. Struktur dapat diibaratkan sebagai mesin. Substansi adalah apa yang
dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu. Budaya hukum (legal culture) adalah
apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan
mesin itu, serta bagaimana mesin itu harus digunakan.
Ancaman hukuman dalam sanksi negatif Lawrence Friedman (2001: 11-
18) selanjutnya menguraikan tentang fungsi sistem hukum yakni:
1. Fungsi kontrol (social control), yang menurut Donald Black bahwa semua
hukum berfungsi sebagai kontrol social pemerintah.
2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa (dispute settlement) dan
konflik (conflict). Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian
yang sifatnya berbentuk pertentangan lokal berskala kecil (mikro).
Sebaliknya pertentangan-pertentangan yang bersifat makro dinamakan
konflik.
3. Fungsi redistribusi atau rekayasa social (redistributive function or social
engineering function). Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum
untuk mengadakan perubahan social yang berencana yang ditentukan oleh
pemerintah.
4. Fungsi pemeliharaan social (social maintenance function). Fungsi ini
berguna untuk menegakkan struktur hukum agar tetap berjalan susuai
dengan aturan mainnya (rule of the game).
Berdasarkan hal tersebut di atas, bahwa fungsi penegakan hukum adalah
untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-
citakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku
manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang telah ditetapkan oleh suatu
undang-unang atau hukum. Pengertian sistem penegakan hukum menurut
Soerjono Soekanto (1985:13) adalah:“…kegiatan menyerasikan hubungan nilai-
nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan menilai
yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering),
memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan
hidup”.
Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah
menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku nyata
manusia. Pada hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin
kehidupan sosial masyarakat, karena hukum dan masyarakat terdapat suatu
interelasi.
Mengenai hal ini, dalam mengidentifikasi tentang hubungan penegakan
hukum pidana dengan politik kriminal dan politik sosial menyatakan bahwa
“penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan
kejahatan (politik kriminal). Tujuan akhir dari politik kriminal ialah perlindungan
masyarakat untuk mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal
pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat wajarlah bila dikatakan
bahwa usaha penanggulangan kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum
pidana) merupakan integral dari rencana pembangunan nasional.
Berdasarkan orientasi pada kebijakan sosial itulah, dalam menghadapi
masalah kriminal atau kejahatan, menurut Djoko Prakoso (1999:12), harus
diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:
1. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang merata materiil dan spirituiil berdasarkan Pancasila. Sehubungan
dengan ini, maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman
masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan
hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian materiil dan spirituiil atas warga
masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya
dan hasil”.
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai melampaui beban tugas (overbelasting).
Disamping itu, beberapa sarjana hukum mengemukakan tentang tujuan
hukum pidana sebagaimana dikemukakan oleh Sunar Agus, (2006:19) sebagai
berikut:
1. Untuk menakut-nakuti orang, jangan sampai melakukan kejahatan baik
dengan menakut-nakuti orang banyak (general preventive), maupun
menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar
dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventive).
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang suka melakukan
kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat
bagi masyarakat.
3. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman Negara,
masyarakat dan penduduk yakni:
1. Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna.
2. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak
pidana.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan hukum
Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak
efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam
perspektif efektifitas hukum. Artinya benarkah hukum yang tidak efektif atau
pelaksana hukumkah sesungguhnya yang berperan untuk mengefektifkan hukum
itu?
Sebenarnya pada hakikatnya persoalan efektifitas hukum seperti yang
diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH., MH., dalam bukunya Sosiologi dan
Sosiologi Hukum, persoalan efektifitas hukum mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan persoalan penerapan, pelaksanaan dan penegakan hukum dalam
masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya hukum benar-benar berlaku
secara filosofis, juridis dan sosiologis.
Untuk menmbahas ketidakefektifan hukum, ada baiknya juga
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas suatu penerapan
hukum. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Ishaq, SH., MHum., dalam
bukunya Dasar-dasar Ilmu Hukum yang menyebutkan dalam proses penegakan
hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi dan mempunyai arti sehingga
dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor tersebut.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor tersebut ada lima, yaitu :
1. Hukumnya sendiri.
2. Penegak hukum.
3. Sarana dan fasilitas.
4. Masyarakat.
5. Kebudayaan.
A. Faktor Hukum
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan
kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara
normatif.
Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar
hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada hakikatnya
penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement saja, namun
juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya
merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian
Dengan demikian, tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat
diselesaikan dengan hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan
perundang-undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang
isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara
kebutuhan untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.
Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum
perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan hukum
ilmuwan atau doktrin. Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak
saling bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara
perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang dipergunakan
harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan pesan kepada warga
masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.
Mengenai faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363
KUHP yang perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya
saja, yaitu 7 tahun penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya
hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok
perbedaan antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini
merupakan suatu penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
B. Faktor Penegakan Hukum
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas
petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan
dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak hukum
dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang mengatakan :
“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum
bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan
kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan
hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif manusianya) keadilan dan
kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus diaktualisasikan”.
Di dalam konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas
penegak hukum, bahwa selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum,
artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak
hukum. Sayangnya dalam melaksanakan wewenangnya sering timbul persoalan
karena sikap atau perlakuan yang dipandang melampaui wewenang atau perbuatan
lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini
disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.
Hal ini dapat berakibat tidak memahami batas-batas kewenangan, karena
kurang pemahaman terhadap hukum, sehingga terjadi penyalahgunaan wewenang
dalam melakukan tugas penyidikan dan tugas kepolisian lainnya.
Masalah peningkatan kualitas ini merupakan salah satu kendala yang dialami
diberbagai instansi, tetapi khusus bagi aparat yang melaksanakan tugas
wewenangnya menyangkut hak asasi manusia (dalam hal ini aparat penegak
hukum) seharusnya mendapat prioritas.
Walaupun disadari bahwa dalam hal peningkatan mutu berkaitan erat
dengan anggaran lainnya yang selama ini bagi Polri selalu kurang dan sangat
minim.
C. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan
yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis
konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di dalam
tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam
tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan wewenang kepada jaksa,
hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum
siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi begitu
luas dan banyak.
Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah sarana fisik yang berfungsi
sebagai faktor pendukung. Sebab apabila sarana fisik seperti kertas tidak ada dan
karbon kurang cukup dan mesin tik yang kurang baik, bagaimana petugas dapat
membuat berita acara mengenai suatu kejahatan. Menurut Soerjono Soekanto dan
Mustafa Abdullah pernah mengemukakan bahwa bagaimana polisi dapat bekerja
dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi
yang proporsional ?
Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat
penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut,
tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual.
D. Faktor Masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok sedikit
banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul adalah taraf
kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.
Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah
satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung,
dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan
hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan
sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan
hukum.
E. Faktor Kebudayaan
Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal
kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang
sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya
kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan
adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan
mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.
Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal
pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolok ukur dari efektifitas
penegakan hukum. Dari lima faktor penegakan hukum tersebut faktor penegakan
hukumnya sendiri merupakan titik sentralnya. Hal ini disebabkan oleh baik
undang-undangnya disusun oleh penegak hukum, penerapannya pun dilaksanakan
oleh penegak hukum dan penegakan hukumnya sendiri juga merupakan panutan
oleh masyarakat luas.
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut, tidaklah
disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh atau mutlaklah semua
faktor tersebut harus mendukung untuk membentuk efektifitas hukum. Namun
sistematika dari kelima faktor ini jika bisa optimal, setidaknya hukum dinilai
dapat efektif.
Sistematika tersebut artinya untuk membangun efektifitas hukum harus
diawali untuk mempertanyakan bagaimana hukumnya, kemudian disusul
bagaimana penegak hukumnya, lalu bagaimana sarana dan fasilitas yang
menunjang, kemudian bagaimana masyarakat merespon serta kebudayaan yang
terbangun.
Dari apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto, tentu bukan hanya kelima
faktor tersebut, tetapi banyak faktor-faktor lainnya yang ikut mempengaruhi
efektifnya suatu hukum diterapkan. Salah satu inisialnya adalah faktor keadaan
atau kondisi yang melingkupi penerapan suatu hukum.
Hukum disini bisa saja menjadi tidak menentu dan menjadi wilayah “abu-
abu” tidak jelas dan samar-samar bahkan kerapkali dipermainkan untuk
kepentingan tertentu sehingga tidaklah heran bila orang yang tidak bersalah sama
sekali bisa di hukum dan orang yang bersalah menjadi bebas.
Di negeri ini telah banyak contoh-contoh kasus, semisal kasus Ryan yang cukup
menjadi sorotan karena dalam kasus pembunuhan ini terjadi salah tangkap pelaku
yang sebenarnya. Bisa dibayangkan bagaimana penegak hukum bekerja tanpa
bukti awal yang mengeratkan sehingga seseorang ditangkap lalu di tahan.
Mencermati kasus Ryan ini sungguh menarik membahasnya dalam ranah hukum,
dimana profesionalisme penegak hukum yang prosesnya diawali dari Polri, jaksa
dan hakim (penegak hukum), dituntut untuk menjunjung tinggi hukum.
Dalam hukum dikenal asas praduga tak bersalah sekaligus asas praduga bersalah.
Polisi dituntut untuk menjadikan asas ini sebagai suatu bekal dalam bertindak
terutama dalam melakukan penangkapan. Tetapi menurut Prof. Dr. Achmad Ali,
SH. MH. membicarakan asas praduga ini haruslah berhati-hati karena masyarakat
bisa saja keliru memahami, khususnya membicarakan asas praduga bersalah.
Polisi dalam profesionalismenya bekerja bisa saja menganut asas praduga bersalah
karena mungkin telah cukup kuat bukti, namun dalam proses hukum haruslah
mengedepankan asas praduga tak bersalah.
Prof. Dr. Achmad Ali, SH., MH., dalam bukunya menjelajahi kajian
empiris terhadap hukum, disebutkan Polisilah yang berada pada Garda terdepan
karena Polisi yang paling banyak berhubungan langsung dengan warga
masyarakat, dibandingkan dengan Penegak Hukum lainnya yang berada “dibalik
tembok tinggi” perkantoran tempat mereka bekerja sehari-hari.
Oleh karena itu sikap dan keteladanan Personal Kepolisian menjadi salah
satu faktor dihargai atau tidaknya mereka oleh warga masyarakat terhadap
penegak hukum, yang cukup berpengaruh terhadap ketaatan mereka.
Olehnya itu, kualitas dan keberdayaan Polisi menurut Prof. Dr. Achmad Ali, SH.,
MH., merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan efektif atau tidaknya
ketentuan hukum yang berlaku.
Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, maka selain faktor-
faktor tersebut, ada juga pandangan lain seperti ajaran realisme yaitu
pengindentikan hukum dengan proses pengadilan.
Salmond, misalnya memperbaiki pandangan kaum positivis, khususnya
uraian Austin tentang wujud atau sifat hukum yang memodifikasi pendekatan
positivisme itu menjadi pendekatan yang realistis.
Salmon mendefinisikan hukum sebagai sekumpulan asas-asas yang diakui
dan diterapkan oleh Negara melalui peradilan. Hukum boleh tumbuh di luar
kebiasaan maupun dunia praktek, tetapi bagi Salmond, ia baru memperoleh
karakter hukum nanti pada saat ia diakui dan diterapkan oleh pengadilan dalam
putusan yang dijatuhkannya.
Menurut Salmond, pengujian hukum yang sebenarnya adalah ketika ia
dilaksanakan oleh pengadilan. Salmond melalui definisi hukumnya yang dikaitkan
dengan Pengadilan, menuntut agar tujuan hukum ditukarkan pada jaminan
keadilan.
Pandangan-pandangan Salmond ini di kecam dan di bantah bahwa
keadilan bukan satu-satunya tujuan hukum. Dimasa moderen ini, tujuan hukum
seperti yang tampak diterima, secara universal adalah terjaminnya ketertiban di
dalam masyarakat, kebahagian sebesar-besarnya warga masyarakat dan
merekonsiliasi atau penyesuaian antara keinginan seseorang dengan kebebasan
orang lain.
Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan, maka kesulitannya karena
keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif
dari masing-masing orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si
Baco belum tentu di rasakan adil bagi si Sangkala.
Bahkan ada pula ilmuwan yang pernah mengungkapkan kekecewaannya
selama mengamati pelaksanaan penegakan hukum di Negara yang berlambang
Burung Garuda ini, dengan lantang mempublikasikan pernyataannya dalam suatu
tulisan, bahwa seandainya Negara, Hakim, Jaksa, Polisi dan Pengacara tidak
peduli pada Penegakan Hukum, maka orang-orang yang cinta hukum tidak boleh
putus asa.
Hal ini, diungkapkan Dr. Syamsuddin Pasamai, SH bahwa dalam bukunya
Sosiologi dan Sosiologi Hukum, dimana pada hakikatnya persoalan efektivitas
hukum mempunyai hubungan yang sangat erta dengan persoalan penerapan,
pelaksanaan hukum dalam masyarakat demi tercapainya tujuan hukum. Artinya
hukum benar-benar berlaku secara Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.
Berkenaan dengan morfologi antara efektivitas hukum dengan persoalan-
persoalan di sekitar penerapan pelaksanaan dan penegakan hukum tersebut, tidak
jarang ditemukan ada warga masyarakat yang memvonis bahwa keadaan
Pemerintah (arti luas) di Indonesia, secara empiric mencerminkan bahwa
penerapan pelaksanaan dan Penegakan hukum ternyata masih belum atau kurang
efektif. Hal ini disebabkan fungsi hukum belum dijalankan sebagaimana mestinya
sehingga berakibat tidak dapatnya diwujudkan tujuan-tujuan postif dari hukum.
Menurut L.J. Van Apeldoorn, bahwa efektivitas hukum berarti keberhasilan
keberhasilan, kemajemukan atau kekujaraban hukum atau Undang-Undang untuk
mengatur pergaulan hidup masyarakat secara damai.
Pandangan L.J. Van Apeldoorn ini, memandang efektifnya suatu hukum
dilihat dari output, bila di sana-sini masih saja terjadi berbagai pelanggaran-
pelanggaran hukum, kriminalitas masih marak dilakukan di mana-mana dengan
berbagai modus operasional baru, maka disinilah hukum dipertanyakan, walaupun
dengan ini dapat saja dibantah bahwa bukan hanya hukumnya saja tetapi termasuk
pelaksanaan hukumnya.
Pertanyaan yang patut untuk dijawab, karena masih saja ada pelanggaran
hukum, kenapa orang masih saja mencuri, kenapa orang masih saja ada yang
membunuh, kenapa masih saja saja orang melanggar lalu lintas, kenapa masih saja
ada yang korupsi dan sederet lagi pertanyaan-pertanyaan yang seakan tidak habis
untuk dipertanyakan, sementara hukumnya yang mengatur jelas dengan sangsi-
sangsinya.
Jawaban dari semua ini adalah bahwa efektivitas hukum hanya dapat
terlaksana dengan baik, manakala hukum dijunjung tinggi dan moralitas penegak
hukumnya serta masyarakat yang mensupport ke arah itu.
C. Fungsi Hukum dalam Masyarakat
1. Fungsi Hukum dalam Masyarakat
Apabila membicarakan masalah efektif atau berfungsi tidaknya suatu hukum
dalam arti undang-undang atau produk hukum lainnya, maka pada umumnya
pikiran diarahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku
atau tidak dalam masyarakat. Dalam teori-teori hukum biasanya dibedakan antara
3 (tiga) macam hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Mengenai pemberlakuan
kaidah hukum menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1987:23)
bahwa :
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi tingkatnya atau bila berbentuk menurut cara
yang telah ditetapkan atau apabila menunjukkan hubungan keharusan
antara suatu kondisi dan akibatnya
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif
artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa
walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat atau kaidah tadi berlaku
karena diterima dan diakui oleh masyarakat.
3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan cita-
cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Jika ditelaah secara mendalam, maka untuk berfungsinya atau efektifnya
suatu hukum haruslah memenuhi ketiga unsur tersebut, sejalan dengan hal
tersebut menurut Mustafa Abdullah (1982:14) bahwa agar suatu peraturan atau
kaidah hukum benar-benar berfungsi harus memenuhi empat faktor yaitu :
1. Kaidah hukum atau peraturan itu sendiri
2. Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan
3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaidah
hukum atau peraturan tersebut
4. Warga masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan tersebut.
Masalah berlakunya hukum sehingga dapat efektif di masyarakat termasuk
yang dibicarakan dalam skripsi ini yaitu efektivitas suatu peraturan daerah dalam
mendukung terwujudnya ketertiban dalam masyarakat, maka ada 2 komponen
harus diperhatikan yaitu :
1. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian oleh
hukum atau dengan kata lain bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan
perubahan masyarakat.
2. Sejauh mana hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju
suatu perubahan yang terencana, dalam hal ini hukum berperan aktif atau
dikenal dengan istilah sebagai fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial
“a tool of social engineering”.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut pendapat Hugo
Sinzheimer (Achmad Ali, 1996:203) bahwa :
Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimuali sejak adanya
kesenjangan antara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-
hubungan dalam masyarakat, dengan hukum yang mengaturnya. Bagaimanapun
kaidah hukum tidak mungkin kita lepaskan dari hal-hal yang berubah sedemikian
rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan diri agar hukum
masih efektif dalam pengaturannya.
Persoalan penyesuaian hukum terhadap perubahan yang terjadi dalam
masyarakat adalah bagaimana hukum tertulis dalam arti peraturan perundang-
undangan karena mesti diingat bahwa kelemahan peraturan perundang-undangan
termasuk di dalamnya peraturan daerah adalah sifatnya statis dan kaku.
Dalam keadaan yang sangat mendesak, peraturan perundang-undangan
memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat, tetapi tidak mesti
demikian sebab sebenarnya hukum tertulis atau perundang-undangan telah
mempunyai senjata ampuh untuk mengatasi terhadap kesenjangan tersebut,
kesenjangan yang dimaksud dalam hal ini adalah dalam suatu peraturan
perundang-undangan termasuk peraturan daerah diterapkan adanya sanksi bagi
mereka yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan daerah tersebut.
2. Efektivitas Hukum
Tujuan efektivitas hukum akan lebih banyak menggunakan optik atau
kacamata sosiologis dari pada optik normatif, namun bukan berarti optik normatif
terlupakan sebab terlebih dahulu harus mengetahui perihal kaidah hukum itu
sendiri dan tujuan dari hukum tersebut, barulah dapat dipahami apakah hukum itu
efektif atau tidak.
Pendapat mengenai efektivitas hukum dapat dilihat dari pendapat Hans
Kelsen (Soleman B. Taneko 1993:49) bahwa:
“teori mengenai efektivitas yang disebut principle of effectiveness yang
menyatakan orang seharusnya bertingkah laku atau bersikap sesuai dengan tata
kaidah hokum”.
Salah satu aspek pembicaraan efektivitas hukum sering kali dikaitkan
dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat inti dari pengaruh hukum terhadap
masyarakat adalah pola perilaku warga masyarakat yang sesuai dengan hukum
yang berlaku atau telah diputuskan. Jika tujuan hukum tercapai yaitu bila warga
masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikehendaki oleh
hukum, hal ini dinamakan hukum efektif (Otje Salman, 1989:61).
Selanjutnya menurut Adam Podgorecky (Achmad Ali, 1998:198) mengatakan
bahwa agar suatu undang-undang diharapkan berlaku efektif yaitu :
Penggambaran yang baik situasi yang sedang dihadapi;
1. Melakukan analisis terhadap penilaian-penilaian tersebut ke dalam tata
susunan yang hierarkis sifatnya. Dengan cara ini maka akan diperoleh
suatu pegangan atau pedoman, apakah penggunaan suatu sarana
menghasilkan sesuatu yang positif artinya apakah sarana penyembuhannya
tidak lebih buruk daripada penyakitnya;
2. Verifikasi terhadap hipotesis-hipotesis yang diajukan menjamin
tercapainya tujuan-tujuan yang dikehendaki atau tidak;
3. Pengukuran terhadap efek-efek peraturan yang diperlukan;
4. Identifikasi terhadap faktor-faktor yang akan menetralisir efek-efek yang
buruk dari peraturan-peraturan yang diperlukan;
5. Pelembagaan peraturan-peraturan di dalam masyarakat, sehingga tujuan
pembaharuan berhasil dicapai.
Studi efektivitas adalah suatu strategi perumusan masalah yang bersifat
umum yaitu perbandingan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Secara
khusus, terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan dengan hukum dalam teori.
Menurut Donald Black (Soleman B. Taneko, 1993:119) mengatakan bahwa :
Studi-studi keefektifan hukum berbeda satu dengan yang lainnya dalam
jenis-jenis ideal hukum setelah temuan-temuannya dinilai. Pada satu sisi yang
ekstrim adalah studi dampak yang membandingkan antara realitas dan ideal
hukum dengan suatu arti yang sangat sederhana dan dapat dilaksanakan secara
spesifik. Dua sisi ini alat untuk mengukur hukum mungkin suatu undang-undang
yang tujuannya adalah agak lebih jelas dapat dilihat dari suatu keputusan
pengadilan yang dengan jelas menyatakan kebijaksanaan khusus. Pada akhirnya
ahli sosiologi dapat berusaha untuk membandingkan realitas hukum dengan suatu
ideal hukum, baik yang tidak berdasarkan undang-undang maupun yang tidak
berdasarkan case law. Di sini peneliti menilai materi-materi empirisnya terhadap
standar keadilan seperti pemerintahan berdasarkan hukum. Kesewenang-
wenangan, legalitas atau konsep pembelaan diri yang tidak secara implisit
dicantumkan dalam acara dari konstitusi.
Kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang
terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang
diharapkan ada, kesadaran hukum yang dimiliki suatu warga belum menjamin
bahwa warga akan menaati suatu peraturan hukum. Kesadaran hukum itu tidak
lain adalah suatu kesadaran yang ada dalam kehidupan manusia untuk selalu patuh
dan taat pada hukum. Menurut OK. Chairuddin, (1991:104) bahwa kesadaran
hukum dalam masyarakat transisi memberikan batasan tentang kesadaran hukum
itu meliputi, pengetahuan tentang hukum, penghayatan terhadap hukum dan
ketaatan terhadap hukum.
Pendapat Laica Marzuki (1995:152) bahwa pengertian kesadaran hukum
yaitu :
Pertama-tama bertitik tolak dari pemahaman yang memandang bahwa kesadaran
hukum merupakan bagian alam kesadaran manusia. Hanya pada manusia yang
berada dalam kondisi kesadaran yang sehat serta adekuat (compos menitis) dapat
bertumbuh dan berkembang penghayatan kesadaran hukum. Kesadaran hukum
bukan bagian dari alam ketidaksadaran manusia, meskipun pertumbuhannya
dipengaruhi oleh naluriah hukum (rectsinstinct) yang menempati wujud bawah
peraaan hukum (lagere vorm van rechtsgevoed).
H.C. Kelman menyatakan bahwa ketaatan hukum dapat dibedakan kualitasnya
dalam 3 (tiga) jenis yaitu:
1. Ketaatan yang bersifat compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu
aturan hanya karena ia takut terkena sanksi.
2. Ketaatan yang bersifat identification, yaitu jika seseorang taat terhadap
suatu aturan hanya karena takut hubungan baiknya dengan seseorang
menjadi rusak.
3. ketaatan yang bersifat Internalization, yaitu jika seeorang taat terhadap
suatu aturan karena benar-benar ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-
nilai intrinsik yang dianutnya (Achmad Ali, 1998:193)
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa efektivitas
hukum merupakan bahwa orang benar benar berbuat sesuai dengan norma norma
hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma norma itu benar benar di
terapkan dan dipatuhi. Untuk mengetahui apakah hukum itu benar benar
diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor
yaitu :
1. Faktor hukum
2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas pendukung
4. Faktor masyarakat
5. Faktor kebudayaan
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi
dari penegakan hukum itu,juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum.
Jadi apabila semua faktor itu telah terpenuhi barulah keadilan dalam
masyarakat dapat dirasakan sepenuhnya.Karena seperti diketahui bahwa keadilan
adalah tujuan utama dari penerapan hukum.Berarti dengan adanya keadilan
hukum itu bisa diterima oleh masyarakat umum dan barulah efektivitas hukum itu
terwujud.
B. Saran
Bagi para penegak hukum dalam membuat peraturan perundang undangan
harus melihat terlebih dahulu dapat diterimakah hukum itu oleh masyarakat dan
sejauh mana peraturan itu memberikan keadilan supaya terciptanya kepastian
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
http://catatanhansenchaniago.blogspot.com/2012/01/fungsi-hukum-dalam-
masyarakat.html
http://pratamaiin.blogspot.com/2012/12/efektivitas-hukum.html
http://sarmyendrahendy.blogspot.com/2012/06/dalamrealita-kehidupan-
bermasyarakat.html
http://www.negarahukum.com/hukum/efektivitas-hukum.html