edit.docx
description
Transcript of edit.docx
BAB I
STATUS PASIEN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Usia : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Pekerjaan : Pensiun
Agama : Islam
Alamat : Kompleks TNI AL Sunter, Jakarta Utara
Pendidikan : STM
Status : Sudah Menikah
ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 29 Januari 2013 pukul 09.00 WIB
Keluhan Utama : Mata kanan sakit sejak 9 hari yang lalu
Keluhan Tambahan : Mata merah, pegal, berair, penglihatan agak buram
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Poli Mata RSAL Mintohardjo dengan keluhan mata kiri sakit sejak 9
hari yang lalu. Awalnya mata merah sejak 1 hari sebelum mata sakit. Kemudian matanya
menjadi sakit, pegal, terasa gatal, dan kadang-kadang berair. Penglihatan pasien awalnya
tidak mengalami gangguan tetapi 3 hari setelah mata sakit, penglihatan mata kiri menjadi
kabur tetapi masih bisa membaca koran dan menonton tv.
Pasien belum mengkonsumsi obat apapun dan belum berobat kemanapun. Tetapi
pasien mengaku mencoba pengobatan tradisional dengan merendam mata kirinya
menggunakan air rebusan daun sirih selama 5 hari tetapi matanya tidak mengalami perbaikan.
Pasien mengaku mata tidak keluar kotoran dan pasien tidak merasakan matanya
menjadi silau. Pasien sampai saat ini menggunakan kacamata baca dan masih bisa membaca
dengan cukup jelas. Tidak ada riwayat trauma ataupun alergi. Pasien memiliki gigi geraham
yang bolong di bagian bawah kiri sejak 1 bulan yang lalu dan kadang-kadang terasa ngilu
tetapi belum berobat ke dokter gigi. Pasien saat ini menggunakan kacamata +3 untuk
membaca.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan pada kedua matanya yang serupa seperti saat
ini. Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi, tidak memiliki riwayat DM.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga tidak ada.
Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok tetapi sudah berhenti 13 tahun yang lalu.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital : Tekanan darah : 120/80 mmHg Suhu: afebris
Nadi : 84 x/menit Pernafasan : 20 x/menit
Kepala : Normocephali
Mata : Lihat status oftalmologi
Telinga : Normotia, sekret -/-, serumen -/-
Hidung : Septum deviasi (-), sekret -/-, konka hiperemis -/-
Mulut : Lidah kotor (-), tonsil T1-T1 tenang, faring hiperemis (-)
Terdapat caries pada gigi molar 1 bawah kiri
Leher : KGB dan tiroid tidak teraba membesar
Thorax : Paru : Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal.
Ekstremitas : simetris, oedem (-)
2
Status Oftalmologi
OD (Mata Kanan) OS (Mata Kiri)6/6 Visus 6/6,5
Kedudukan Bola MataOrtoforia
Bola mata bergerak ke segala arah
Pergerakan Bola Mata
Bola mata bergerak ke segala arah
Oedem (-), Ptosis (-), blefaritis (-), lagoftalmus (-), hordeolum (-), kalazion (-), ektropion (-) entropion (-), trikiasis (-), hematoma (-)
Palpebra
Oedem (-), Ptosis (-), blefaritis (-), lagoftalmus (-), hordeolum (-), kalazion (-), ektropion (-) entropion (-), trikiasis (-), hematoma (-)
Hiperemis (-), Papil (-)
Injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (-), subkonjungtiva bleeding (-), pterigium (-), pinguekula (-)
Hiperemis (-), Papil (-)
KonjungtivaTarsalis superior
Bulbi
Tarsalis inferior
Hiperemis (+), Papil (-)
Injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (+), subkonjungtiva bleeding (-), pterigium (-), pinguekula (-)
Hiperemis (+), Papil (-)Jernih Kornea JernihDalam, hifema (-), hipopion (-), flare (-)
COADalam, hifema (-), hipopion (-), flare (+)
Warna coklat, kripti baik, atrofi (-), oedem (-), neovaskularisasi (-)
IrisWarna coklat, kripti baik, atrofi (-), oedem (-), neovaskularisasi (-)
Bentuk bulat, letak sentral, tepi reguler, refleks cahaya langsung (+) , refleks cahaya tidak langsung (+)
Pupil
Bentuk bulat, letak sentral, tepi irreguler, refleks cahaya langsung (+) , refleks cahaya tidak langsung (+)
Jernih, shadow test (-) Lensa Jernih, shadow test (-)Refleks fundus (+) Funduskopi Refleks fundus (+)Normal/palpasi TIO Normal/palpasi
RESUME
Pasien laki – laki 63 tahun datang ke Poli Mata dengan keluhan mata kiri sakit sejak 9 hari
yang lalu. Awalnya mata merah sejak satu hari sebelum mata sakit, kemudian matanya
menjadi sakit, gatal, pegal, gatal dan kadang-kdang berair. Penglihatan menjadi sedikit buram
sejak 3 hari setelah mata menjadi sakit. Pasien mengaku gigi geraham bawah kirinya bolong
3
sejak 1 bulan yang lalu dan kadang-kadang terasa ngilu. Pada pemeriksaan oftalmologi dextra
didapatkan: visus 6/6,5, konjungtiva tarsalis superior dan inferior hiperemis (+), konjungtiva
bulbi injeksi siliar (+), pada COA terdapat flare (+), pupil tepinya tidak irreguler (+).
DIAGNOSIS KERJA
Uveitis anterior
DIAGNOSIS BANDING
Konjungtivitis
PEMERIKSAAN ANJURAN : -
PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa:
1. Jaga kebersihan mata dan tidak menggosok-gosok mata
2. Anjuran mengobati gigi yang bolong
3. Rutin menggunakan obat tetes mata sesuai anjuran dokter
4. Kontrol kembali ke poli bila keluhan membaik ataupun memburuk
Medikamentosa:
1. Metil prednisolon 30 tablet: 2x3 tablet sehari
2. Dexametason 0,1%, Neomisin sulfat 3,5 mg/ml, Polimiksin B sulfat 6000iu/ml
diberikan 6 x/hari sebanyak 5 tetes mata di mata kiri
4
3. Atropine sulfat 3 kali 2 tetes sehari pada mata kiri
PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
5
BAB II
ANALISIS KASUS
Dari resume anamnesis diatas, dapat disimpulkan terdapat suatu keadaan mata
merah disertai sakit, gatal dan penglihatan yang turun perlahan. Maka penyakit – penyakit
dengan kondisi mata merah dengan penglihatan normal dapat disingkirkan. Karena keluhan
pasien atau gejala yang paling dirasakan pada mata kirinya yaitu sakit, mata merah, pegal,
gatal, keluar air dan penglihatan turun perlahan maka dapat dibuat hipotesis awal berupa
uveitis anterior. Dapat dipikirkan penyebab uveitis tersebut dari fokal infeksi yang terdapat
pada gigi pasien karena pasien mengaku memiliki gigi geraham bawah kiri yang bolong dan
terkadang terasa ngilu. Maka dari gejala dan kemungkinan penyebab dapat disimpulkan
diagnosis untuk pasien ini adalah uveitis anterior.
Pada pemeriksaan fisik yaitu status oftalmologis ditemukan pada oculi sinistra : visus
6/6,5, konjungtiva tarsalis superior dan inferior hiperemis (+), konjungtiva bulbi injeksi siliar
(+), pada COA terdapat flare (+), kornea jernih, pupil tepinya tidak irreguler (+), TIO normal
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas ditegakkan diagnosis
kerja yaitu uveitis anterior akut OS.
Uveitis anterior akut ditegakkan karena keluhan baru dirasakan sejak 9 hari yang
lalu. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan onset dibagi 2 yaitu akut dan kronis. Uveitis
diklasifikasikan sebagai akut bila berlangsung kurang dari 5 minggu dan diklasifikasi sebagai
kronis bila berlangsung lebih dari 5 minggu..
Diagnosis uveitis anterior ditegakkan dengan dasar gejala – gejala yang biasanya
ditemukan pada uvea bagian depan:
Mata merah
Mata sakit/ terasa pegal
Mata berair
Penglihatan menurun ringan sampai berat
Tidak terdapat sekret
Penyebab dari uveitis anterior pada pasien ini adalah suspek adanya infeksi fokal di gigi
karena : Pasien mengaku gigi geraham kiri bawahnya bolong dan tekadang terasa ngilu.
6
Diagnosis banding untuk kasus ini adalah konjungtivits yang mana memiliki gejala
yang mirip pada anamnesis. Yang membedakan adalah pada penderita terdapat injeksi ciliar
sedangkan pada konjungtivitis ditemukan injeksi konjungtiva, dan biasa disertai sekret
Penatalaksanaan pada kasus ini dibagi dua yaitu non medikamentosa dan
medikamentosa. Non medikamentosa yaitu anjuran untuk menjaga kebersihan mata dan tidak
menggosok-gosok mata, anjuran mengobati gigi yang bolong, rutin menggunakan obat tetes
mata sesuai anjuran dokter, kontrol kembali ke poli bila keluhan memburuk atau membaik.
Sedangkan tatalaksana medikamentosa meliputi : pemberian metil prednisolon 30 tablet: 2x3
tablet sehari, Dexametason 0,1%, Neomisin sulfat 3,5 mg/ml, Polimiksin B sulfat 6000iu/ml
diberikan 6 x/hari sebanyak 5 tetes mata di mata kiri. Ini merupakan tetes mata kombinasi 2
antibiotik dan antiinflamasi kortikosteroid, Atropine sulfat 3 kali 2 tetes sehari pada mata kiri,
tetes mata tersebut merupakan golongan midriatik dan siklopegik.
Prognosis untuk kedua mata pasien, ad vitam adalah ad bonam karena tidak
menggangu fungsi kehidupannya, ad fungsionam adalah ad bonam karena dapat sembuh
tanpa menggangu fungsi penglihatannya bila berobat secara rutin., ad sanationam adalah
dubia ad bonam yaitu ragu – ragu ke arah baik karena pasien bisa memiliki kecendrungan
untuk kambuh lagi bila fokus infeksi penyebab tidak diobati.
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Uveitis adalah proses peradangan pada organ uvea (iris, badan siliar, dan koroid.
Berdasarkan lokasi peradangannya, uveitis dibedakan menjadi:
Uveitis anterior yaitu bila peradangan mengenai uvea bagian depan saja ( iris dan
badan siliar)
Uveitis posterior yaitu bila peradangan mengenai uvea bagian dalam (lapisan
koroid)1,2
Uveitis anterior dibedakan menjadi akut dan kronik yang dapat disebabkan oleh berbagai
etiologi. 1,2
B. Anatomi dan Fisiologi
Uvea merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang terdiri dari iris, korpus siliar, dan
koroid. Bagian ini dilindungi oleh kornea dan sklera. Uvea ikut memasok darah ke retina.
Uvea dibagi menjadi 2 bagian yaitu uvea anterior yang terdiri dari iris dan badan siliar dan
uvea posterior yaitu koroid (Wijana, 1993; Vaughan et al, 2000). Dalam tulisan ini hanya
dibahas mengenai uveia anterior saja.2,3
1. Iris
Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa permukaan pipih
dengan apertura bulat di tengahnya yang disebut dengan pupil. Iris terletak bersambungan
dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera okuli anterior dan kamera
okuli posterior, yang masing-masing berisi humor aqueus. Di dalam stroma iris terdapat
sfingter dan otot-otot dilator.
Secara histologis terdiri dari stroma yang jarang dan diantaranya terdapat lekukan-
lekukan di permukaan anterior yang berjalan radier yang dinamakan kripta. Di dalam
stroma terdapat sel pigmen yang bercabang, banyak pembuluh darah dan serabut saraf. Di
permukaan anterior ditutupi oleh endotel, terkecuali pada kripta, di mana pembuluh darah
pada stroma dapat berhubungan langsung dengan kamera okuli anterior. Di bagian
posterior dilapisi oleh dua lapisan epitel, yang merupakan lanjutan epitel pigmen retina.
8
Warna dari iris tergantung dari sel-sel pigmen yang bercabang yang terdapat di dalam
stroma yang jumlahnya dapat berubah-ubah dan juga epitel pigmen yang jumlahnya tetap.
Ada 2 otot yang ada di dalam iris antara lain otot sfingter pupil (M. sphincter
pupillae) yang berjalan sirkuler, yang terletak di dalam dekat pupil dan dipersarafi oleh
saraf parasimpatis (N. III), dan otot dilatator pupil (M. dilatator pupillae) yang berjalan
radier dari akar iris ke pupil, terletak di bagian posterior stroma dan disarafi oleh saraf
simpatis. 2,3
Pasokan darah ke iris berasal dari circulux major iris. Kapiler-kapiler iris memiliki
lapisan endotel yang tak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresin
yang disuntikkan secara intravena. Persyarafan iris adalah melalui serat-serat nervus
siliare.
Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil
pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas
parasimpatik yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan
oleh aktifitas simpatik.
Cahaya yang mengenai mata diterima oleh sel-sel batang dan kerucut di retina,
diteruskan oleh N. II ke kiasma optikum, radiasio optika, setinggi korpus genikulatum
lateral, serat pupilomotor melepaskan diri ke brachium kolikulus superior, ke midbrain,
komisura posterior di daerah pretektalis, kemudian mengadakan semidikusasi dan
keduanya menuju ke nucleus Edinger Westphal di kedua sisi. Dari sini keluar saraf eferen
(saraf parasimpatis) yang memasuki N. III, ke ganglion siliaris, serat saraf postganglioner
melalui Nn. siliaris brevis. 2,3
Menurut Wijana (1993), bila seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka
terjadi trias akomodasi yaitu:4
Kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa
dapat mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina.
Konstriksi dari otot rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata
tertuju pada benda itu.
Konstriksi otot konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang
masuk tak berlebih, dan terlihat dengan jelas.
9
Gambar Uvea
2. Korpus Siliaris
Pada potongan melintang korpus siliare secara kasar berbentuk cincin segitiga
yang membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (± 6mm).
Terdiri dari dua zona, yaitu zona anterior dengan permukaan berjonjot lekuk dan
menonjol yang disebut dengan pars pikata (± 2mm), dan zona posterior yang datar
dengan permukaan licin disebut pars plana (± 4mm). Processus siliaris ini berasal dari
pars plikata. Processus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena
yang bermuara ke vene-vena vorteks. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang
sehingga membocorkan fluoresin yang disuntikkan secara intravena. Ada dua lapis
epitel siliaris: satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan
neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan
perluasan lapisan epitel pigmen retina. Prosessus siliaris dan epitel siliaris
pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor aquaeus.2,3
Korpus siliaris mengandung otot polos yang tersusun longitudinal, sirkular,
dan radial. Otot-otot ini berfungsi untuk menarik dan mengendorkan serabut zonula
Zinni, yang menghasilkan perubahan tegangan pada kapsul lensa. Ketegangan kapsul
10
lensa yang berubah akan menyesuaikan kekuatan lensa mata sesuai dengan jarak
benda yang dilihat agar bayangannya tepat di retina.
Procesus siliaris mengandung terutama pembuluh kapiler dan venanya yang
menumpahkan darahnya ke luar melalui vena vorticosa. Kapilernya besar dan mudah
dirembesi larutan suntikan fluresin. Pars plana terdiri atas selapis tipis otot siliaris dan
pembuluh siliar yang diselimuti epitel siliar. Serabut zonula berorigo di lekukan dari
procesus siliaris.
Pembuluh darah dibadan siliar berasal dari sirkulus iridis mayor, sedang syaraf
sensoris berasal dari syaraf siliaris.2,3
3. Koroid
Koroid adalah lapisan pembuluh darah pada mata, yang terletak di antara
retina dan sklera. Koroid berfungsi mengalirkan oksigen dan nutrisi ke retina. Struktur
koroid secara umum dapat dibagi menjadi empat lapisan:
Lapisan Haller - Bagian terluar dari koroid, memiliki diameter pembuluh
darah yang paling besar
Lapisan Sattler - Lapisan dengan pembuluh darah menengah
Koriokapilaris - Lapisan kapiler
Membran bruch - Bagian terdalam dari lapisan koroid.4
C. EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di
Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000
penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak
pada usia sekitar 30-an. 3,4
Menurun AOA (2004), berdasarkan etiologinya ada beberapa faktor resiko yang
menyertai kejadian uveitis anterior antara lain, penderita toxoplasmosis dan yang
berhubungan dengan hewan perantara toxoplasma. Beberapa penyakit menular seksual
juga meningkatkan angka kejadian uveitis anterior seperti sifilis, HIV, dan sindroma
Reiter.3,4
11
D. Etiologi
1. Berdasarkan spesifitas penyebab:
Penyebab spesifik (infeksi):
Disebabkan oleh virus, bakteri, fungi,ataupun parasit yang spesifik.
Penyebab non spesifik (non infeksi) atau reaksi hipersensitivitas
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas terhadap mikroorganisme atau antigen
yang masuk kedalam tubuh dan merangsang reaksi antigen antibodi dengan
predileksi pada traktus uvea. 2,3
2. Berdasarkan asalnya:
Eksogen
Pada umumnya disebabkan oleh karena trauma, operasi intra okuler, ataupun
iatrogenik.
Endogen
Dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ lain ataupun reaksi autoimun.
3. Berdasarkan perjalanan penyakit:
Akut
Apabila serangan terjadi satu atau dua kali, dan penderita sembuh sempurna diluar
serangan tersebut.
Residif
Apabila serangan terjadi lebih dari dua kali disertai penyembuhan yang sempurna
di antara serangan-serangan tersebut.
Kronis
Apabila serangan terjadi berulang kali tanpa pernah sembuh sempurna di
antaranya.
4. Berdasarkan reaksi radang yang terjadi:
Non granulomatosa
Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel plasma dan limfosit.
Granulomatosa
Infiltrat yang terjadi terdiri dari sel epiteloid dan makrofag.
E. PATOFISIOLOGI
12
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma
tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik
yang diproduksi mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang
berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan (antigen endogen). Dalam banyak
hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius .Sehubungan dengan hal ini peradangan
uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas. 2,8
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrrier sehingga
terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam humor akuos yang tampak pada
slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler (aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk
menghambat gerakan kuman, akan tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan,
misalnya perlekatan iris pada permukaan lensa (sinekia posterior). 2,8
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk
presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea.
Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi pupil disebut koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa
dan sudut bilik mata depan. Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak
sehingga menimbulkan hipopion. 2,8
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan miosis dan
dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi seklusio maupun oklusio
pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior tidak dapat mengalir sama sekali
mengakibatkan tekanan dalam dalam camera okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam
camera okuli anterior sehingga iris tampak menggelembung kedepan yang disebut iris bombe
(Bombans). 2,8
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan
tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat berkumpul
di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi
glukoma sekunder. Pada fase akut terjadi glaucoma sekunder karena gumpalan – gumpalan
pada sudut bilik depan,sedang pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya
13
seklusio pupil. Naik turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan
prostaglandin. 2,8
F. GEJALA KLINIK
1. Pada anamnesa penderita mengeluh:
Mata merah disertai air mata.
Nyeri, baik saat ditekan ataupun digerakkan. Nyeri bertambah hebat bila telah
timbul glaukoma sekunder.
Fotofobia, penderita menutup mata bila terkena sinar
Penglihatan kabur atau menurun ringan, kecuali bila telah terjadi katarak
komplikata, penglihatan akan banyak menurun.
2. Dari pemeriksaan fisik didapatkan:
Kelopak mata edema ringan
Konjungtiva merah, kadang-kadang disertai kemosis.
Hiperemia perikorneal, yaitu dilatasi pembuluh darah siliar sekitar limbus,
dan keratic precipitate.
Bilik mata depan keruh (flare), disertai adanya hipopion atau hifema bila
proses sangat akut. Sudut BMD menjadi dangkal bila didapatkan sinekia.
Iris edema dan warna menjadi pucat, terkadang didapatkan iris bombans.
Dapat pula dijumpai sinekia posterior ataupun sinekia anterior.
Pupil menyempit, bentuk tidak teratur, refleks lambat sampai negatif.
Lensa keruh, terutama bila telah terjadi katarak komplikata.
Tekanan intra okuler meningkat, bila telah terjadi glaukoma sekunder.5,6
G. DIAGNOSIS BANDING
Konjungtivitis: penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada tahi mata dan
umumnya ada sakit, fotofobia, atau injeksi konjungtiva
Keratitis atau keratokunjungtivitis: penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan
fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zooster
dapat menyertai uveitis anterior sebenarnya.
Glaukoma akut: pupil melebar, penglihatan turun mendadak, tekanan bola mata
meningkat, tidak ada sinekia posterior, dan korneanya beruap.5
14
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Flouresence Angiografi
FA merupakan pencitraan yang penting dalam mengevaluasi penyakit korioretinal dan
komplikasi intraokular dari uveitis posterior. FA sangat berguna baik untuk
intraokular maupun untuk pemantauan hasil terapi pada pasien. Pada FA, yang dapat
dinilai adalah edema intraokular, vaskulitis retina, neovaskularisasi sekunder pada
koroid atau retina, N. optikus dan radang pada koroid.
2. USG
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan keopakan vitreus, penebalan retina dan pelepasan
retina
3. Biopsi Korioretinal
Pemeriksaan ini dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan dari gejala dan
pemeriksaan laboratorium lainnya
4. Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya apalagi kalau jenisnya non
granulomatosa atau jelas berespon dengan terapi non spesifik. Sedangkan pada uveitis
anterior yang tetap tidak responsive harus diusahan untuk menemukan diagnosis
etiologinya.
I. TERAPI
Tujuan terapi uveitis anterior menurut AOA (2004), antara lain:
Mengembalikan tajam penglihatan,
Mengurangi rasa nyeri di mata,
Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan,
Mencegah terjadinya sinekia iris,
Mengendalikan tekanan intraokular.
Sedangkan prinsip pengobatan uveitis menurut Sjamsoe (1993) antara lain:
Menekan peradangan,
Mengeliminir agen penyebab,
15
Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar
mata.
Adapun terapi uveitis anterior dapat dikelompokkan menjadi:
Terapi non spesifik
1.Penggunaan kacamata hitam
Kacamata hitam bertujuan untuk mengurangi fotofobi, terutama akibat pemberian
midriatikum.
2. Kompres hangat
Dengan kompres hangat, diharapkan rasa nyeri akan berkurang, sekaligus untuk
meningkatkan aliran darah sehingga resorbsi sel-sel radang dapat lebih cepat.
3. Midritikum/ sIkloplegik
Tujuan pemberian midriatikum adalah agar otot-otot iris dan badan silier relaks,
sehingga dapat mengurangi nyeri dan mempercepat panyembuhan. Selain itu,
midriatikum sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya sinekia, ataupun
melepaskan sinekia yang telah ada.
Midriatikum yang biasanya digunakan adalah:
- Sulfas atropin 1% sehari 3 kali tetes
- Homatropin 2% sehari 3 kali tetes
- Scopolamin 0,2% sehari 3 kali tetes
4. Anti inflamasi
Anti inflamasi yang biasanya digunakan adalah kortikosteroid, dengan dosis
sebagai berikut:
Dewasa : Topikal dengan dexamethasone 0,1 % atau prednisolone 1 %.
Bila radang sangat hebat dapat diberikan subkonjungtiva atau periokuler :
o dexamethasone phosphate 4 mg (1 ml)
o prednisolone succinate 25 mg (1 ml)
o triamcinolone acetonide 4 mg (1 ml)
o methylprednisolone acetate 20 mg
Bila belum berhasil dapat diberikan sistemik prednisone oral mulai 80 mg per
hari sampai tanda radang berkurang, lalu diturunkan 5 mg tiap hari.
Anak : prednison 0,5 mg/kgbb sehari 3 kali
16
Pada pemberian kortikosteroid, perlu diwaspadai komplikasi-komplikasi yang
mungkin terjadi, yaitu glaukoma sekunder pada penggunaan lokal selama lebih
dari dua minggu, dan komplikasi lain pada penggunaan sistemik.
Terapi spesifik
Terapi yang spesifik dapat diberikan apabila penyebab pasti dari uveitis anterior telah
diketahui. Karena penyebab yang tersering adalah bakteri, maka obat yang sering diberikan
berupa antibiotik: 7,8
Dewasa :
Lokal berupa tetes mata kadang dikombinasi dengan steroid
Subkonjungtiva kadang juga dikombinasi dengan steroid
Per oral dengan Chloramphenicol 3 kali sehari 2 kapsul
Anak : Chloramphenicol 25 mg/kgbb sehari 3-4 kali
Walaupun diberikan terapi spesifik, tetapi terapi non spesifik seperti disebutkan
diatas harus tetap diberikan, sebab proses radang yang terjadi adalah sama tanpa
memandang penyebabnya.
Terapi terhadap komplikasi
1.Sinekia posterior dan anterior
Untuk mencegah maupun mengobati sinekia posterior dan sinekia anterior, perlu
diberikan midriatikum, seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
2.Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada uveitis
anterior. Terapi yang harus diberikan antara lain:
Terapi konservatif:
timolol 0,25 % - 0,5 % 1 tetes tiap 12 jam
acetazolamide 250 mg tiap 6 jam
Terapi bedah:
Dilakukan bila tanda-tanda radang telah hilang, tetapi TIO masih tetap tinggi.
sudut tertutup: iridektomi perifer atau laser iridektomi, bila telah terjadi
perlekatan iris dengan trabekula (Peripheral Anterior Synechia atau PAS)
dilakukan bedah filtrasi.
sudut terbuka: bedah filtrasi
3. Katarak komplikata
Komplikasi ini sering dijumpai pada uveitis anterior kronis. Terapi yang diperlukan
17
adalah pembedahan, yang disesuaikan dengan keadaan dan jenis katarak serta
kemampuan ahli bedah. 8
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas Sidarta, Uveitis Anterior, Ilmu Penyakit Mata, ed II, FKUI, Jakarta: 2002
2. Vaughan G Daniel, anatomi dan Embriologi Mata, Oftalmologi Umum ed 14, Widya
Medika, Jakarta: 2000 hal8-9.
18
3. American Academy of Opthalmology. External Disease and Cornea. Section 11. San
Fransisco: MD Association, 2005-2006
4. Voughan Daniel G, Asburg Taylor, Eva-Riordan Paul. Sulvian John H,editors.
Optalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta. Widya Medika. 2000 : 266-78.
5. Ardy, H., 1993, Diagnosis Etiologik Uveitis Anterior, dalam Cermin Dunia
Kedokteran no 87. sept 1993, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Jakarta: 47-54
6. Putz, R. & Pabst R. Sobotta. Jilid 1. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2000. hal 356.
7. Wijaya,Nana. Ilmu Penyakit Mata. Cetakan ke-6. Semarang. Universitas
Diponegoro. 1993 : 75-6.
8. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000
19